4
TINJAUAN PUSTAKA
Famili Kubis-Kubisan Kubis-kubisan adalah sayuran yang dimanfaatkan daunnya dan bernilai gizi tinggi. Tanaman ini tumbuh hampir di seluruh belahan bumi, biasanya ditanam untuk sayuran, penambah rasa, atau diambil minyaknya. Sayuran ini dapat ditanam di dataran rendah maupun di dataran tinggi dengan curah hujan rata-rata 850-900 mm. Daunnya bulat, oval, sampai lonjong, membentuk roset akar yang besar dan tebal, warna daun bermacam-macam, diantaranya putih (forma alba), hijau, dan merah keunguan (forma rubra) (www.iptek.net.id). Asal-usul tanaman kubis-kubisan diduga berasal dari tanaman kubis liar (Brassica oleracea var. sylvestris) yang tumbuh di sepanjang pantai Laut Tengah, Inggris, Denmark, dan sebelah utara Perancis Barat, serta pantai Glamorgan. Semula tanaman kubis liar tumbuh menahun (perennual) dan dua musim (biennual), kemudian oleh orang-orang Eropa dipanen bijinya dan selanjutnya ditanam kembali hingga akhirnya diketemukan turunan tanaman kubis-kubisan yang akar-akarnya membengkak dan daun-daunnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan (Rukmana 1994). Keluarga kubis ternyata banyak sekali jenisnya, diantaranya yang dikenal adalah sawi hijau, sawi putih, kembang kol, kailan, kolrabi, salad air, dan brokoli. Semua keluarga kubis-kubisan merupakan sumber vitamin (A, B1, dan C) dan sumber mineral (kalsium, kalium, klor, fosfor, sodium, dan sulfur). Kandungan serat kasar pada kubis dapat memperkecil resiko penyakit kanker lambung dan usus (Adiyoga et al. 2004). Permasalahan OPT Salah satu permasalahan yang terjadi pada budidaya kubis-kubisan adalah adanya organisme penggangggu tanaman (OPT). Menurut Kalshoven (1981), jenis hama yang menyerang tanaman kubis-kubisan di Indonesia adalah Plutella xylostella (L.), Crocidolomia pavonana (F.), Agrotis ipsilon (Hufn.), Spodoptera litura F.,
5
Hellula undalis (F.), Phyllotreta vittata F., dan Lipaphis erysimi Kalt. Sementara itu, Semangun (2007) menjelaskan bahwa jenis penyakit yang menyerang tanaman kubis-kubisan adalah akar gada atau akar pekuk (P. brassicae Wor.), bercak daun Alternaria (Alternaria brassicae (Berk.) Sacc. dan A. brassicicola (Schw.) Wiltsh.), kaki hitam (Phoma lingam (Tode ex Fr.) Desm.), tepung berbulu (Peronospora parasitica Pers. ex Fr.), busuk hitam (Xanthomonas campestris pv. campestris (Pamm.) Dye), busuk basah (Erwinia carotovora pv. carotovora (Jones) Dye), mosaik pada caisin (Turnip Mosaic Virus), dan rebah semai (Rhizoctonia solani Kühn, Pythium debaryanum Hesse, dan Fusarium spp.). Permasalahan yang terjadi akibat serangan OPT tersebut dapat menurunkan hasil baik kualitas maupun kuantitas, bahkan beberapa OPT dapat mengakibatkan kematian dan gagal panen pada tanaman kubis-kubisan. Plasmodiophora brassicae Wor. P. brassicae Wor. merupakan patogen tular tanah yang sangat penting dan dapat menyebabkan penyakit akar gada pada tanaman kubis-kubisan. Penyakit ini juga sering disebut penyakit akar pekuk atau penyakit akar bengkak. Agrios (2005) mengklasifikasikan
patogen
tersebut
ke
dalam
kingdom
Protozoa,
filum
Plasmodiophoromycota, kelas Plasmodiophoromycetes, dan ordo Plasmodiophorales. Cendawan patogen ini merupakan parasit obligat, yaitu patogen yang dapat tumbuh dan berkembang biak secara alami hanya dalam inang yang hidup. Semangun (2007) menjelaskan bahwa kelebihan dari cendawan ini adalah dapat membentuk spora tahan yang berbentuk bulat, hialin, dan garis tengahnya dapat mencapai 4 µm. Spora tahan ini dapat berkecambah dalam medium yang sesuai, membengkak sampai ukuran beberapa kali dari ukuran semula, dan menjadi satu spora kembara (zoospora), yang muncul melalui satu celah pada dinding sel. Spora tahan akan terbebas dari akar sakit jika akar ini terurai oleh jasad-jasad sekunder. Spora ini dapat segera tumbuh, tetapi dapat juga bertahan sangat lama di dalam tanah selama 10 tahun atau lebih, meskipun tidak terdapat tumbuhan inang di sekitar tanah terinfestasi.
6
Kerusakan yang diakibatkan oleh P. brassicae selain dapat menyebabkan bengkak pada akar, yang dapat mengganggu fungsi akar seperti translokasi zat hara dan air mineral dari dalam tanah ke daun, namun dapat juga menyebabkan tanaman layu, kerdil, kering, dan akhirnya mati (Cicu 2006). Dixon (2009) melaporkan bahwa kerugian tahunan yang diakibatkan P. brassicae di seluruh dunia dapat mencapai 10 15%. Sementara itu di Indonesia, intensitas serangan yang diakibatkan oleh patogen ini pada tanaman caisin di Cipanas, Jawa Barat mencapai 19.83 - 89.91% (Djatnika 1989), sedangkan pada tanaman kubis sekitar 88.60% (Widodo dan Suheri 1995). Berbagai penanggulangan penyakit akar gada telah dilakukan, antara lain perbaikan drainase, perlakuan tanah, perlakuan benih, penggunaan varietas resisten, penggunaan bahan kimia, dan pemanfaatan mikroorganisme antagonis (Cicu 2006). Peningkatan pH tanah dengan cara pengapuran di lahan pertanaman kubis-kubisan dapat menekan serangan penyakit tersebut (Semangun 2007). Menurut Agrios (2005), tanaman kubis-kubisan yang ditanam di lahan yang cukup kering atau lahan yang diberikan pengapuran sehingga pH tanah menjadi 7.2 (sedikit lebih dari netral), dapat menghambat perkecambahan spora patogen tersebut. Penanggulangan penyakit akar gada perlu dilakukan secara terintegrasi. Metode pengendalian terbaik ialah dengan mengintroduksi varietas resisten atau analisis kesehatan tanah pada budidaya tanaman kubis-kubisan (Staniaszek et al. 2008). Perlakuan solarisasi tanah dilaporkan dapat mengendalikan beberapa penyakit yang disebabkan oleh patogen tular tanah, termasuk penyakit akar gada pada tanaman kubis-kubisan (Widodo dan Suheri 1995). Pemanfaatan mikroorganisme antagonis dapat dilakukan untuk menekan serangan penyakit akar gada, seperti Microbispora rosea subsp. rosea (Lee et al. 2008), Bacillus subtilis, Gliocladium catenulatum (Peng et al. 2010), dan Streptomyces griseoruber (Wang et al. 2011). Mikroorganisme antagonis lainnya yang dapat menanggulangi penyakit akar gada ialah Trichoderma spp. Cheah dan Page (1997) melaporkan bahwa agens antagonis Trichodema spp. berpotensi untuk mengendalikan penyakit akar gada. Pemanfaatan cendawan antagonis Trichoderma spp. dapat menurunkan serangan P. brassicae sekitar 25%, sedangkan pemberian bahan organik hasil dekomposisi kotoran hewan
7
ternak bersama Trichoderma spp. dalam media tanam kubis, dapat menurunkan serangan P. brassicae sebesar 51% (Legowo 2010). Trichoderma spp. Trichoderma spp. merupakan cendawan yang berada hampir di semua tanah dan habitat lainnya yang beragam. Cendawan tersebut sering disebut sebagai cendawan yang paling umum membudaya di dalam tanah. Novizan (2002) mengungkapkan bahwa, cendawan Trichoderma spp. merupakan agens hayati yang paling banyak diteliti oleh para ahli tentang kemampuannya untuk mengendalikan cendawan dan bakteri perusak tanaman. Cendawan ini merupakan cendawan saprofit yang hidup di tanah dan mudah diproduksi masal dengan media buatan. Cendawan Trichoderma spp. dapat menjadi hiperparasit pada beberapa spesies cendawan patogen, pertumbuhannya sangat cepat, dan tidak menjadi penyakit untuk tanaman tingkat tinggi. Spesies yang umum adalah T. viride, T. hamatum, dan T. harzianum. Agrios (2005) dan Mohiddin et al. (2010) mengklasifikasikan cendawan Trichoderma spp. ke dalam kingdom Fungi, filum Ascomycota, sub division Pezizomycotina, kelas Sordariomycetes, ordo Hypocreales, famili Hypocreaceae, dan genus Trichoderma. Trichoderma spp. biasa digunakan sebagai agens antagonistik terhadap banyak cendawan patogenik tumbuhan. Patogen yang dapat dikendalikan oleh Trichoderma spp. diantaranya Pythium, Phytophthora, Fusarium, Rhizoctonia, Sclerotium, dan Verticillium (Nederhoff 2001; Agrios 2005; Arya dan Perello 2010). Mekanisme antagonistik cendawan antagonis terjadi melalui kompetisi, antibiosis, dan hiperparasitisme. Menurut Soenandar et al. (2010), sifat antagonistik Trichoderma meliputi tiga tipe sebagai berikut: (1) Trichoderma menghasilkan sejumlah enzim ekstraseluler β (1,3) glukonase dan kitinase yang dapat melarutkan dinding sel patogen; (2) beberapa anggota Trichoderma spp. menghasilkan trichodermin. Toksin tersebut
dapat
menghancurkan
propagul
yang
berisi
spora-spora
patogen
di sekitarnya; (3) jenis T. viride menghasilkan antibiotik gliotoksin dan viridin yang dapat melindungi bibit tanaman dari serangan penyakit rebah kecambah.
8
Trichoderma spp. biasa digunakan pada budidaya sayuran, budidaya bunga, budidaya anggrek, budidaya anggur, rumput lapangan olahraga, dan lansekap. Analisis Usahatani Dalam melakukan suatu usaha, termasuk usahatani, diperlukan suatu alat analisis atau kajian dalam mempertimbangkan kelayakan dari usaha atau proyek tersebut. Analisis yang dapat dilakukan salah satunya dengan melalui analisis biaya – manfaat (cost – benefit analysis). Nas (1996) mengungkapkan bahwa terdapat tiga jenis aturan yang umum digunakan dalam analisis biaya – manfaat, diantaranya net present value (NPV), benefit cost ratio (BCR), dan internal rate of return (IRR). Kriteria yang sering digunakan dalam mengkaji kelayakan usaha atau proyek adalah analisis BCR atau disebut juga analisis manfaat dan biaya. Soeharto (1996) mengungkapkan bahwa penggunaan BCR dikenal dalam mengevaluasi proyekproyek untuk kepentingan umum atau sektor publik. Penekanannya ditujukan kepada manfaat (benefit) bagi kepentingan umum dan bukan keuntungan finansial. Nilai BCR diperoleh berdasarkan perbandingan nilai sekarang manfaat (PVB) terhadap nilai sekarang biaya (PVC). Bila nilai BCR yang diperoleh lebih dari satu, maka usaha dapat dikatakan layak untuk dilaksanakan. Sementara itu, bila nilai BCR kurang dari satu, maka usaha tersebut ditolak atau dapat dikatakan tidak layak untuk dilaksanakan.