TINJAUAN PUSTAKA
Eksplorasi Jamur Eksplorasi adalah kegiatan pelacakan atau penjelajahan guna mencari, mengumpulkan, dan meneliti jenis plasma nutfah tertentu untuk mengamankan dari kepunahan. Langkah pertama pengeksplorasian adalah mencari informasi
ke
dinas-dinas dan instansi terkait lainnya untuk memperoleh informasi tentang jenis dan habitat tumbuhnya. Informasi ini kemudian dikembangkan pada saat eksplorasi ke lokasi sasaran yang umumnya daerah asal dan penyebaran jenis tanaman (Andriani et al., 2010). Eksplorasi hendaknya dilakukan pada sentra produksi, daerah produksi tradisional, daerah terisolir, daerah pertanian lereng-lereng gunung, pulau terpencil, daerah suku asli, daerah dengan sistem pertanian tradisional/belum maju, daerah yang masyarakatnya menggunakan komoditas yang bersangkutan sebagai makanan pokok/utama/penting, daerah epidemik hama/penyakit, serta daerah transmigrasi lama dan baru. Eksplorasi dan koleksi plasma nutfah disertai dengan menggali keterangan dari petani yang berkaitan dengan kriteria preferensi petani terhadap varietas tanaman yang bersangkutan. Di samping itu, benihnya harus sehat dan jumlahnya mencukupi. Eksplorasi mikroba pertanian dilakukan dengan berbagai cara isolasi dan koleksi di habitatnya atau
di tempat-tempat yang diduga
mengandung mikroba tersebut. Terhadap mikroba yang telah diisolasi dan dikoleksi dilakukan karakterisasi baik dari sifat dan karakter morfologi koloninya pada media khusus maupun bentuk sel dan cirinya, serta sifat-sifat biokimiawi-nya (Kusumo et al., 2002).
Universitas Sumatera Utara
Pengenalan Jamur (Mushroom) Gambaran Umum Jamur Istilah jamur berasal dari bahasa Yunani, yaitu fungus (mushroom) yang berarti tumbuh dengan subur. Istilah ini selanjutnya ditujukan kepada jamur yang memiliki tubuh buah serta tumbuh atau muncul di atas tanah atau pepohonan. Organisme yang disebut jamur bersifat heterotrof, dinding sel spora mengandung kitin, tidak berplastid, tidak berfotosintesis, tidak bersifat fagotrof, umumnya memiliki hifa yang berdinding yang dapat berinti banyak (multinukleat), atau berinti tunggal (mononukleat), dan memperoleh nutrien dengan cara absorpsi (Gandjar et al., 2006). Menurut Tampubolon (2010) makrofungi (jamur makroskopis) adalah mencakup banyak jamur yang berukuran besar, makroskopik dengan tubuh buah yang kompleks. Sebagian besar spesies berhabitat terestrial dan terdiri dari Ascomycetes dan Basidiomycetes. Ciri-ciri Umum Jamur Menurut El Shirazi (2010), ciri-ciri jamur berbeda dengan organisme lainnya, yaitu dalam hal : struktur tubuh, cara makan, dan reproduksinya. Berikut ini dijelaskan secara terperinci. a. Struktur Tubuh Struktur tubuh jamur ada yang satu sel, misalnya: khamir, ada pula jamur yang multi seluler membentuk tubuh buah besar yang ukurannya mencapai satu meter, misalnya : jamur kayu. Tubuh jamur tersusun dari komponen dasar yang disebut hifa. Hifa membentuk jaringan yang disebut miselium. Miselium menyusun jalinan-jalinan semu menjadi tubuh buah.
Universitas Sumatera Utara
Tubuh buah jamur pada umumnya tersusun oleh bagian-bagian yang dinamakan tudung/cap (pileus), bilah (lamellae), kumpulan bilah (gills), cincin (annulus/ring), batang/tangkai (stipe), cawan (volva), akar semu (rhizoids), sisik (scale). Bagian-bagian tubuh jamur tersebut dapat dilihat pada gambar 1. sebagai berikut.
Sumber : El Shirazy, 2010 Gambar 1. Bagian Tubuh Jamur
b. Cara Makan Di dalam memperoleh makanannya, jamur menyerap zat organik dari lingkungan melalui hifa dan miseliumnya yang akan disimpan dalam bentuk glikogen. Jamur bersifat heterotrof yaitu sebagai konsumen murni yang bergantung pada subtrat yang menyediakan karbohodrat, protein, vitamin, dan senyawa kimia lainnya. Sebagai makhluk heterotrof, jamur dapat bersifat parasit obligat, parasit fakultatif, atau saprofit.
Universitas Sumatera Utara
1. Parasit Obligatif, merupakan sifat jamur yang hanya dapat hidup pada inangnya, sedangkan diluar inangnya tidak dapat hidup, misalnya Pneumonia carinii (khamir yang menginfeksi paru-paru penderita AIDS). 2. Parasit Fakultatif, merupakan jamur yang bersifat parasit jika mendapat inang yang sesuai, tetapi dapat bersifat saprofit jika tidak menemukan inang yang cocok. 3. Saprofit, merupakan jamur pelapuk dan pengubah susunan zat organik yang telah mati. c. Reproduksi Reproduksi jamur dapat dilakukan secara seksual (generative) dan aseksual (vegetative). Secara aseksual, jamur menghasilkan spora. Sedangkan secara seksual pada jamur melalui kontak gametangium dan konjugasi. Kontak gametangium mengakibatkan terjadinya singami, yaitu persatuan sel dari dua individu.
Pengidentifikasian Jamur Beracun Menentukan suatu jamur ke dalam kelas yang dapat dikonsumsi atau beracun sangat sukar dilakukan. Salah satu cara untuk menentukannya adalah dengan mengetahui dengan tepat spesies dari jamur tersebut. pengalaman sangat karakteristik perbedaan jamur yang dapat dikonsumsi dengan spesies beracun. Berikut ini adalah beberapa aturan dari petunjuk yang dapat membantu untuk menghindari jamur beracun : 1. Jamur yang tidak boleh dimakan yaitu, spesies amanita dan khususnya yang harus memperhatikan dalam mengidentifikasi jamur yang menyerupai spesies Amanita atau berbagai jamur putih lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Pada umumnya mempunyai warna yang menyolok, seperti : merah darah, hitam legam, biru tua, ataupun warna-warni lainnya (El Shirazi, 2010). Menghindari jamur yang berwarna cokelat dan jamur yang berwarna cokelat muda, khususnya insang dengan warna kemerah mudaan, kecoklat-coklatan, ungu kecoklatan atau kehitaman. 3. Menghasilkan bau busuk yang menusuk hidung, seperti telur busuk H2S ataupun bau amoniak (El Shirazi, 2010). 4. Mempunyai cincin atau cawan, akan tetapi ada juga jamur yang mempunyai cincin tetapi tidak beracun seperti jamur merang dan jamur kompos
(El
Shirazi, 2010). 5. Umumnya tumbuh pada tempat-tempat yang kotor seperti tempat pembuangan sampah dan kotoran hewan. 6. Apabila jamur beracun tersebut dikerat dengan pisau yang terbuat dari perak maka pisau tersebut akan berwarna hitam atau biru. Hanya sedikit jamur yang dapat menyebabkan sakit parah dan yang lainnya dapat menyebabkan penyakit yang lebih ringan. Jamur beracun dapat juga menyebabkan Hallucinogenic (Fly) dan terkadang menimbulkan reaksi yang tidak dapat diprediksi (Mahardika, 2008).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur Kondisi iklim dan letak geografis yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan mikroorganisme. Ditinjau dari kerusakan akibat pelapukan jamur, temperatur dan presipitasi merupakan faktor iklim yang sangat penting (Arif et al., 2008)
Universitas Sumatera Utara
Menurut Tambunan dan Nandika (1989), ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan jamur, antara lain : a) Temperatur Jamur perusak kayu dapat berkembang pada interval suhu yang cukup lebar, tetapi pada kondisi-kondisi alami perkembangan yang paling cepat terjadi selama periode-periode yang lebih panas dan lebih lembab dalam setiap tahun. suhu optimum berbeda-beda untuk setiap jenis, tetapi umumnya berkisar antara 22 0C sampai 350C. Suhu maksimumnya berkisar antara 27 0C sampai 390C, dengan suhu minimum kurang lebih 5 0C. b) Oksigen Oksigen sangat dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan respirasi yang menghasilkan CO2 dan H2O. Sebaliknya untuk pertumbuhan yang optimum, oksigen harus diambil secara bebas dari udara. Tanpa adanya oksigen, tidak ada jamur yang dapat hidup. c) Kelembaban Kebutuhan jamur akan memiliki kelembaban yang berbeda-beda, namun hampir semua jenis jamur dapat hidup pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air substrat yang rendah sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jamur. hal ini terutama berlaku bagi jenis jamur yang hidup pada kayu atau tanah. Kayu dengan kadar air kurang dari 20 % umumnya tidak terserang jamur perusak. Sebaliknya kayu dengan kadar air 35-50 % sangat disukai oleh jamur perusak. Jamur pelapuk akan menyerang kayu yang berbeda pada lingkungan yang lembab dalam waktu yang relatif lama.
Universitas Sumatera Utara
d) Konsentrasi Hidrogen (pH) Pada umumnya jamur akan tumbuh dengan baik pada pH kurang dari 7 (dalam suasana asam sampai netral). Pertumbuhan yang optimum akan dicapai pada pH 4,5 sampai 5,5. e) Bahan Makanan Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin dan zat isi sel lainnya. Selulosa, hemiselulosa, lignin yang menyusun kayu terdapat sebagai makromolekul yang terlalu besar dan tidak larut dalam air untuk diasemilasi langsung oleh cendawan.
Klasifikasi Toksin/Racun yang Terdapat Pada Jamur Beracun Mikotoksin tidak hanya dihasilkan oleh kapang, tetapi juga oleh cendawan. Menurut Gandjar et al. (2006) di antara cendawan yang menarik terdapat jenis-jenis yang bila dimakan menyebabkan halusinasi (mengkhayal tanpa sadar), antara lain dari genus Psilocybe, P. mexicana, P. caerulescens, dan P. cubensis (=Stropharia cubensis) yang terdapat di mexico. Pscilocybe spp. menghasilkan toksin psilocybin. Cendawan lain juga menyebabkan halusinasi adalah Amanita muscaria yang dapat berwarna merah atau kuning, dan lebih dikenal sebagai “the fly agaric”. Cendawan ini disebut “fly agaric”, sebab lalat yang hinggap di cendawan ini akan mati. Di Eropa Tengah dan di Asia kadang-kadang ekstrak cendawan tersebut diletakkan di suatu wadah di luar jendela agar lalat-lalat di lingkungan rumah hinggap di wadah tersebut. Senyawa yang terdapat pada fungus ini adalah muskarin. Toksik yang dihasilkan oleh Amanita phalloides sangat kuat dan menyebabkan kematian dalam waktu sangat singkat. Cendawan penghasil phallotoksin tersebut (merusak struktur
Universitas Sumatera Utara
sel hati, ginjal, dan saluran pencernaan) juga disebut “the death angel” karena selalu menyebabkan kematian bila dikonsumsi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit. Menurut BPOMRI (2011), ada beberapa jenis racun/toksin pada jamur beracun dan menyebabkan bermacam-macam dampaknya pada kesehatan manusia, yaitu Amatoxin / Amanatin (Cyclopeptida), Gyromitrin, Orellanine, Ibotenic Acid, Muscimol, Psilocybin, Coprine, berikut penjelasannya disajikan secara rinci. 1. Amatoxin/Amanitin (Cyclopeptide) Terbagi menjadi tiga kelas toksin: Amatoxins, Phallotoxins dan Virotoxins. Dari ketiga kelas tersebut Amatoxins yang sering menyebabkan keracunan. Racun ini mengganggu transkripsi DNA dan menyebabkan nekrosis pada sel-sel dengan sintesa protein tingkat tinggi. Kerusakan yang paling penting adalah nekrosis hati. Kelompok jamur Amatoxins adalah kelompok jamur Amanita (Amanita phalloides, Amanita virosa) atau dikenal dengan The Death- cap atau Destroying Angel, The Fool’s Mushroom (A. verna). Spesies-spesies seperti A. rubescens dan A. spissa di dalam beberapa kasus keracunan, telah keliru untuk dikonsumsi. Dua jenis jamur ini ditemukan di beberapa belahan bumi dan tumbuh di dalam hutan musiman, terutama Beech dan Birch, dan juga beberapa pohon daun jarum. Beberapa jenisjenis yang berkaitan dengan racun atau produksi komponen-komponen aktif dideteksi dalam beberapa jenis fungi seperti A. regalis, A. strobiliformis, A. solitaria dan A. cothurnata juga telah dilaporkan, tetapi kemungkinan potensi racun tersebut dipermasalahkan.
2. Gyromitrin
Universitas Sumatera Utara
Gyromitrin merupakan salah satu grup hidrazin yang mengikat protein dan banyak ditemukan pada genus Gyromitra. Toksin Gyromitrin (N-methyl-N formylhydrazone) terurai dengan cepat dalam lambung dan usus duodenum, menjadi asetaldehida dan N-methyl-N-formylhydrazine, melalui hidrolisis lambat diubah menjadi monomethylhydrazine (MMH) dan hidrazin lainnya. Monomethylhydrazine diyakini menjadi penyebab utama dari keracunan jamur spesies Gyromitra esculenta (the false Morel) dan spesies Gyromitra lainnya (G. gigas and G. fastigiata). Terkadang jenis jamur ini dikenal sebagai jamur spons, dan morels palsu ini masuk ke dalam genus Gyromitra. Jamur morel salah satu jamur yang mudah dikenali, bentuknya menyerupai lipatan-lipatan otak hewan dan manusia. 3. Orellanine Cortinarius merupakan genus yang memiliki kurang lebih 800 spesies di Amerika Utara. Sejak peristiwa keracunan pertama karena spesies C. Orellanus, Cortinarius banyak ditemukan mengandung racun Orellanine. The Lethal webcaps, dua spesies genus Cortinarius, yang termasuk dalam jamur beracun di dunia yaitu The Deadly Webcap (Cortinarius rubellus) dan The Fool's Webcap
(C.
Orellanus). Gejala keracunan yang umum adalah sakit kepala terus-menerus, menggigil, kelesuan, kelelahan, ketidaknyamanan muskuloskeletal dan sendi dan kurangnya nafsu makan disertai dengan oligura gagal ginjal yang progresif, atau lebih jarang poliuria, dan akhirnya anuria. Pada pemeriksaan laboratorium, tandatanda gagal ginjal terbukti nyata.
4. Ibotenic Acid dan Muscimol
Universitas Sumatera Utara
The Fly Agaric (Amanita muscaria) dan Panthercap (Amanita pantherina) menghasilkan toksin Ibotenic Acid dan Muscimol. Keduanya mengandung asam yang dengan cepat dilepaskan dari dalam tubuh jamur karena proses memasak dan merebus, namun proses ini tidak menghilangkan semua zat beracun yang dikandungnya atau tidak memperlihatkan toksisitas yang lebih rendah. Muscimol 5 kali lebih potensial dari Ibotenic Acid. Gejala Ibotenic Acid dan Muscimol antara lain : mual, muntah, pusing, vertigo, ketiadaan koordinasi, mengantuk. Gejalagejala ini sering diikuti dengan kebingungan, ataksia, euforia mirip keracunan etanol. 5. Psilocybin Genus Psilocybe, Panaeolus, Copelandia, Gymnopilus, Conocybe dan Pluteus memproduksi toksin Psilocybin. Jamur ini biasa dikenal nama Deadly conobye, bentuk topinya mengerucut dan memiliki warna coklat pudar. Memiliki nama ilmiah Pholiotona filaris, jamur ini tersebar di Amerika bagian barat laut Pasifik. Keberadaannya sering membuat orang tertukar dengan jamur Psilocybe. Jamur conocybe mengandung racun mycotoxins yang menyebabkan kematian jika dikonsumsi manusia. 6. Coprine. Genus Coprinus (Coprinus atramentarius, Coprinus cornatus, Coprinus disseminatus, Coprinus micacues, Coprinus picaceus) memproduksi toksin coprine. Efek dari jamur ini tidak seperti jamur pada umumnya, efeknya akan terlihat jika dikonsumsi bersamaan dengan alkohol (etanol) sedangkan jika dikonsumsi secara tunggal tidak beracun. Kondisi Umum Hutan Pendidikan Gunung Barus
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Nota Kesepakatan Kerjasama Nomor 2764/H.1.R/KPM/2012 tentang pelaksanaan pendidikan di Taman Hutan Raya Bukit Barisan, antara Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dengan Universitas Sumatera Utara, telah ditetapkan hutan seluas 1000 ha dalam kawasan Taman Hutan Raya Bukit Barisan sebagai kawasan hutan pendidikan yang dinamakan Hutan Pendidikan USU. Hutan pendidikan ini merupakan laboratorium alam yang akan digunakan sebagai tempat praktik dan penelitian mahasiswa dan dosen, khususnya Program Studi Kehutanan USU, serta pengembangan ekowisata yang tidak memerlukan sarana dan prasarana bangunan fisik (Program Studi Kehutanan USU, 2012). Hutan Pendidikan USU belum genap dua tahun diresmikan, sehingga sampai saat ini belum banyak diketahui kekayaan sumberdaya alam hayati yang dimiliki Hutan Pendidikan USU. Perlu diadakan berbagai penelitian untuk menggali kekayaan sumberdaya alam hayati di kawasan hutan pendidikan ini, untuk meningkatkan manajemen pengelolaan, terutama jika kawasan ini akan dikembangkan menjadi daerah tujuan ekowisata, pendidikan, dan penelitian (Setiawan, 2012). Hutan Pendidikan Gunung Barus berada disekitar Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo, yang terletak 103 km di sebelah Utara ibukota Provinsi Sumatera Utara. Letak geografis 98 0 35' Lintang Utara dan 03 0 10' Bujur Timur (Abednegro, 2008). Suhu udara rata-rata di Kabupaten Karo berkisar antara 18,40C - 19,30C, dengan kelembaban udara pada tahun 2006 rata-rata setinggi 88,39 %, tersebar antara 86,3 % sampai dengan 90,3 %. Di Kabupaten Karo seperti daerah lainnya terdapat dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim hujan
Universitas Sumatera Utara
pertama mulai bulan Agustus sampai dengan bulan Januari dan musim hujan kedua mulai bulan Maret sampai dengan bulan Mei. Pada tahun 2006 ada sebanyak 172 hari jumlah hari hujan dengan rata-rata kecepatan angin 1,32 M/DT. Arah angin terbagi 2 (dua) arah/gerak yaitu angin yang berhembus: Dari arah Barat kira-kira bulan Oktober sampai dengan bulan Maret Dari arah Timur dan Tenggara antara bulan April sampai dengan bulan September Pada tahun 2009 curah hujan rata-ratanya berkisar 158,25 mm/tahun (BPS, 2010).
Keberadaan Jamur Mikroskopis di Hutan Pendidikan Gunung Barus Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tampubolon (2013), bahwa di Hutan Pendidikan Gunung Barus ditemukan jamur makroskopis dengan kelas Agaricomycetes yang terdiri atas 7 ordo, yakni Agaricales, Auriculariales, Boletales, Cantharellales, Hymenochaetales, Polyporales dan Russulales. Ordo Agaricales dan Polyporales merupakan ordo yang mendominasi di kelas ini. Agaricales merupakan ordo terbesar yang ditemukan dalam penelitian ini yang terdiri atas 7 famili, yakni Agaricaceae, Amanitaceae, Hygrophoraceae, Marasmiaceae, Mycenaceae, Pleurotaceae dan Psathyrellaceae. Total spesies dalam ordo ini adalah 19 spesies, dimana famili dengan jumlah spesies terbanyak adalah famili Marasmiaceae, yakni 10 spesies. Dengan demikian, seperti halnya famili Polyporaceae dari ordo Polyporales, famili ini juga merupakan famili terbesar dalam penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa kedua famili ini memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik terhadap lingkungan pegunungan yang
Universitas Sumatera Utara
ekstrim seperti kawasan Hutan Pendidikan USU, sehingga spesiesnya lebih beraneka ragam dibandingkan famili lain yang ditemukan dalam penelitian ini. Ordo Agaricales adalah kelompok jamur yang paling familiar dengan bentuk seperti payung. Bagian bawah payung terdiri atas bilah-bilah atau gills yang tersusun radial. Anggota ordo Agaricales sangat banyak dan kompleks, kelompok ini umum disebut Mushroom atau cendawan. Cendawan adalah kelompok jamur yang berdaging, terkadang sedikit kenyal. Bagian yang membentuk spora disebut sporofor tempat terdapatnya basidia pada bilah-bilah atau gill dan bisa juga berupa lubang-lubang kecil (pores) seperti pada famili Boletaceae (Tampubolon, 2010).
Penggunaan Pestisida Alami Pestisida nabati merupakan pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Tumbuhan banyak mengandung bahan kimia yang digunakan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu. Bahan kimia yang terkandung biasa disebut sebagai metabolit sekunder yang berupa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin dan lain-lain. Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak essensial bagi pertumbuhan organisme, yang ditemukan dalam bentuk unik atau berbeda-beda antara spesies satu dengan spesies lainnya. Berbagai senyawa metabolit sekunder telah digunakan sebagai obat atau bahan untuk membuat obat, pestisida dan insektisida. Metabolit sekunder tidak mempunyai peranan yang terlalu penting pada proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, namun pada jumlah yang sangat besar mampu melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit (Lestari, 2012). Pengurangan penggunaan pestisida di areal pertanian menuntut tersedianya cara pengendalian lain yang aman dan ramah lingkungan, diantaranya dengan
Universitas Sumatera Utara
memanfaatkan musuh alami dan pestisida nabati. Timbulnya masalah- masalah akibat penggunaan pestisida kimia ini merangsang penggunaan insektisida nonkimia sebagai insektisida yang aman bagi lingkungan dengan memanfaatkan senyawa beracun dari tumbuhan, mikroba, ataupun jamur entomopatogen (Soeharjan, 1993). Beberapa golongan jamur seperti Ascomycetes, Basidiomycetes dan jamur imperfecti umumnya dapat menghasilkan senyawa-senyawa antibiotik. Antibiotik merupakan senyawa yang bersifat toksik terhadap patogen dan mempunyai sebaran yang sangat luas. Kemampuan menghasilkan senyawa toksin tersebut akan sangat penting dalam menentukan keuntungan persaingan. Di samping itu, hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan agensia hayati adalah kemampuan relatif untuk mengkolonisasi lingkungan mikro yang berbeda dan menggunakan substrat yang berbeda. Contoh kasus ini adalah ektomikoriza yang dapat berperan sebagai pengendali hayati terhadap pathogen yang menginfeksi akar (Nurhayati, 2011). Menurut Ulfa dan Efendi (2008) bahwa cendawan ektomikoriza ditemukan pada tanaman dari famili Dipterocarpaceae, yaitu
Shorea
teysmanniana, S. uliginosa, S. balangeran, dan Dryobalanops sp. Dilaporkan bahwa hasil eksplorasi menunjukkan bahwa tubuh buah ektomikoriza pada umumnya ditemukan tumbuh dekat dengan permukaan tanah dan serasah. Pada serasah yang cukup tebal menutupi lantai hutan banyak ditemukan ektomikoriza dari jenis late stage, yaitu genus Boletus sp., Russula sp., Strobilomyces sp., Gasteromycetes sp., dan Lactarius sp. Sedangkan pada tempat yang terbuka dan cahaya matahari masuk mencapai lantai hutan, ditemukan jenis early stage dari spesies Scleoderma sp. dan
Universitas Sumatera Utara
Laccaria sp. dalam kondisi berkelompok. Radius ditemukannya tubuh buah ektomikoriza dari batang pohon inang juga bervariasi dari 20 cm – 300 cm. Pengendalian kedua jenis patogen tular tanah, seperti rebah kecambah dan busuk pangkal yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii, pada umumnya digunakan dengan cara pengaturan pola tanam, pengapuran, varietas tahan, drainase yang baik, dan aplikasi fungisida sistemik, sedangkan penggunaan mikoriza untuk pengendalian sudah dilakukan pada padi gogo (Djunaedy, 2008).
Kandungan Senyawa Fitokimia dan Pengaruhnya terhadap Organisme 1. Alkaloid Menurut Arbiastutie dan Muflihati (2008) bahwa alkaloid merupakan golongan zat metabolit sekunder terbesar. Alkaloid biasanya tak berwarna dan diidentikkan dengan rasa pahit di lidah, seringkali beracun bagi manusia dan mempunyai banyak kegiatan fisiologis yang menonjol sehingga digumakan luas dalam pengobatan. Alkaloid secara umum mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan alkaloid berbentuk padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Alkaloid dapat juga berbentuk amorf atau cairan. Beberapa alkaloid diketahui beracun terhadap organisme lain (Cahyadi, 2009). Struktur dari alkaloid beranekaragam, dari mulai alkaloid berstruktur sederhana sampai yang rumit. Salah satu alkaloid yang mempunyai struktur tersederhana adalah nikotina, tetapi nikotina ini dampak fisiologinya cukup besar.
Universitas Sumatera Utara
Dalam dosis tinggi, nikotina bersifat racun (toksik) dan pernah juga digunakan sebagai insektisida, sedangkan dalam dosis rendah nikotina berfungsi sebagai stimulan terhadap sistem syaraf otonom. Jika dosis ini dilanjutkan maka nikotina dapat menekan sistem syaraf sehingga aktifitasnya dibawah normal
(Taofik,
2010). Nikotin merupakan racun syaraf yang bereaksi cepat. Nikotin berperan sebagai racun kontak bagi serangga sehingga efektif untuk mengendalikan hama pengisap juga serangga seperti: ulat perusak daun, aphids, triphs, dan pengendali jamur (fungisida) (Dinas Pertanian TPH Kabupaten Grobogan, 2012). Uji alkaloid terhadap ekstrak Kloroform kulit batang Bakau Merah (EKBM) berpengaruh terhadap penghentian aktivitas makan ulat grayak karena rasa sepat dan pahit yang mengidentifikasikan adanya kandungan senyawa alkaloid dalam EKBM. Ulat grayak yang mengalami gejala keracunan ditandai oleh aktivitas makan yang menurun (antifeedant) (Budianto dan Tukiran, 2012). Alkaloid tesebar luas di dunia tumbuhan. Berbagai perkiraan menyatakan bahwa persentase jenis tumbuhan yang mengandung alkaloid teletak dalam rentang 15-30 %. Alkaloid dikenal karena pengaruh fisiologinya terhadap binatang menyusui dan penggunaannya di bidang farmasi. Alkaloid dapat berfungsi sebagai penyimpan nitrogen, dalam pengatur tumbuh seperti merangsang perkecambahan, karena memiliki sifat basa maka dapat mempertahankan keseimbangan basa mineral dalam mempertahankan keseimbangan ion dalam tumbuhan (Fauzia, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Fauzia, 2010 Gambar 2. Struktur inti Alkaloida 2. Terpenoid dan Steroid Terpenoid biasanya terdapat dalam daun dan buah, seperti apel dan pir yang berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan (Euphorbia, Hevea dan lain-lain). Triterpenoid tertentu dikenal karena rasanya, terutama kepahitannya (Taofik, 2010). Terganggunya sistem syaraf dan sistem metabolisme ulat grayak disebabkan oleh adanya senyawa triterpenoid pada Ekstrak Kloroform kulit batang Bakau Merah (EKBM). Senyawa triterpenoid merupakan senyawa yang bersifat repellent (penolak serangga), sehinga sering dimanfaatkan sebagai insektisida (Budianto dan Tukiran, 2012). Steroid adalah senyawa organik bahan alam yang dihasilkan oleh organisme melalui metabolit sekunder, senyawa ini banyak ditemukan pada jaringan hewan dan tumbuhan. Asal usul biogenetic dari steroid mengikuti reaksireaksi pokok yang sama, dengan demikian maka golongan senyawa ini memiliki kerangka dasar yang sama. Senyawa steroid terdapat dalam setiap makhluk hidup. Steroid yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan disebut fitosterol, sedangkan yang ditemukan dalam jaringan hewan disebut kolesterol. Beberapa senyawa ini jika terdapat dalam tumbuhan akan dapat berperan menjadi pelindung. Senyawa ini tidak hanya bekerja menolak beberapa serangga tetapi juga menarik beberapa serangga lain (Fauzia, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Fauzia, 2010 Gambar 3. Struktur inti senyawa Steroida
Sumber : Fauzia, 2010 Skualena
Ursana Gambar 4. Senyawa Terpenoid
3. Flavonoid Fauzia (2010) menyatakan flavonoid tertentu mengandung komponen aktif untuk mengobati gangguan fungsi hati dan kemungkinan sebagai antimikroba dan antivirus, sedangkan senyawa steroid jika terdapat pada tumbuhan kemungkinan berperan sebagai pelindung. Tidak ada benda yang begitu menyolok seperti flavonoida yang memberikan kontribusi keindahan dan kesemarakan pada bunga dan buah-buhan di alam. Flavin memberikan warna kuning atau jingga, antodianin memberikan warna mera, ungu atau biru, yaitu semua warna yang terdapat pada pelangi kecuali warna hijau. Secara biologis flavonoida memainkan peranan penting dalam kaitan
Universitas Sumatera Utara
penyerbukan tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoida mempunyai rasa pahit sehingga dapat bersifat menolak sejenis ulat tertentu (Lenny, 2006). Biji Mahoni mengandung senyawa flavonoid dan saponin yang berfungsi sebagai larvasida. Senyawa-senyawa itu juga mampu menghambat pertumbuhan larva, terutama tiga hormon utama dalam serangga, yaitu hormon otak (brain hormon), hormon edikson dan hormon pertumbuhan (juvenile hormon). Tidak berkembangnya hormon tersebut dapat mencegah pergerakan larva
(Karimah,
2006).
Sumber : Fauzia, 2010 Gambar 5. Struktur inti senyawa Flavonoid 4. Saponin Saponin adalah suatu kelas gabungan senyawa kimia atau salah satu senyawa metabolit sekunder yang ditemukan dari sumber alami dan dari berbagai macam spesies tanaman. Secara spesifik, saponin merupakan glikosida amphiatik dengan struktur seperti busa sabun yang dihasilkan bila dikocok pada larutan berair dan strukturnya terdiri dari satu atau lebih glikosida hidrofilik dikombinasikan dengan derivat triterpene lipofilik (Cahyadi, 2009). Saponin adalah suatu glikosida yang mungkin ada pada banyak macam tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagianbagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui, mungkin sebagai bentuk
Universitas Sumatera Utara
penyimpanan karbohidrat, atau merupakan waste product dari metabolisme tumbuh-tumbuhan. Kemungkinan lain adalah sebagai pelindung terhadap serangan serangga. Dua jenis saponin yang dikenal yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid. Aglikonnya disebut Sapogenin, diperoleh dengan hidrolisis dalam asam atau menggunakan enzim. Saponin mempunyai rasa pahit, dapat mengadsorbsi Ca dan Si dan membawanya dalam saluran pencernaan. Sebagian besar berupa glikosida yang dapat mengikat satu (monodesmosida), dua (bidesmosida) atau tiga (tridesmosida) rantai glukosa dan aglikonnya yang mengikat gugus fungsi –OH, –COOH dan –CH. Saponin juga bersifat bisa menghancurkan butir darah merah lewat hemolisis, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, dan banyak di antranya digunakan sebagai racun ikan. Saponin bila terhidrolisis akan menghasilkan aglikon yang disebut sapogenin. Ini merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat dimurnikan dan dipelajari lebih lanjut. Saponin yang berpotansi keras atau beracun seringkali disebut sapotoksin (Gunawan, 2004). Berdasarkan identifikasi dengan spektrum UV Visibel dan FTIR menunjukkan bahwa senyawa saponin mengandung gugus hidroksil, ester, eter, karboksil dan ikatan rangkap tak terkonjugasi (Fauzia, 2010). Semua saponin mengakibatkan hemolisis. Oleh karena itu, relatif berbahaya bagi semua organisme binatang bila saponin diberikan secara parentaral. Saponin dikarakteristikan dengan pembentukan solusi koloidal di dalam air yang berbusa ketika dikocok. Saponin mengandung rasa yang lebih pahit, aroma yang tajam, dan racun-racun yang berisikan zat-zat yang biasanya menyebabkan bersin dan lainnya menyebabkan iritasi ke selaput membran. Senyawa saponin
Universitas Sumatera Utara
menghancurkan sel-sel darah merah melalui hemolisis dan umumnya beracun, terutama pada hewan-hewan yang berdarah dingin, banyak yang telah digunakan sebagai racun ikan (Claus, 1961).
Sumber : Fauzia, 2010 Gambar 6. Struktur inti senyawa Saponin Pada kadar tertentu, senyawa-senyawa tersebut dapat bersifat toksik, yang dalam hal ini dapat menyebabkan kematian terhadap hewan percobaan yaitu larva Artemia salina Leach. Mekanisme kematian larva berhubungan dengan fungsi senyawa alkaloid, triterpenoid, saponin dan flavonoid dalam buah pare yang dapat menghambat daya makan larva (antifedant). Cara kerja senyawa-senyawa tersebut adalah dengan bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa-senyawa ini masuk ke dalam tubuh larva, alat pencernaannya akan terganggu (Cahyadi, 2009).
Universitas Sumatera Utara