5
TINJAUAN PUSTAKA Anemia pada Ibu Hamil Pengertian Anemia Anemia adalah suatu keadaan darah yang tidak normal yang ditunjukkan oleh berkurangnya ukuran atau jumlah sel darah merah dalam sirkulasi darah merah yang akan berpengaruh terhadap kandungan hemoglobin. Klasifikasi anemia dapat didasarkan baik pada ukuran sel darah merah maupun konsentrasi hemoglobin. Berdasarkan ukuran sel darah merah, anemia diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: makrositik (ukuran sel besar), normositik (ukuran sel normal), dan
mikrositik
(ukuran
sel
kecil),
sedangkan
berdasarkan
kandungan
hemoglobinnya anemia diklasifikasikan menjadi dua yaitu: hipokromik (berwarna pucat), dan normokromik (berwarna normal) (Kasdan 1996). Ibu hamil yang menderita anemia gizi besi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan zat-zat gizi dirinya dan janinnya di dalam kandungan. Hal ini dapat menyebabkan kematian ibu dan janinnya, serta dapat berakibat pada berat badan lahir rendah (BBLR), atau kelahiran prematur (Lamsihar 2006). Menurut WHO(2005), kadar hemoglobin pada wanita hamil dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu : a. Normal
: bila kadar Hb 11 gr/dl atau lebih
b. Anemia Ringan
: bila kadar Hb antara 8 gr/dl sampai < 11 gr/dl
c. Anemia berat
: bila kadar Hb kurang dari 8 gr/dl
Patofisiologi Anemia Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan karena selama masa kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya perubahanperubahan dalam darah dan sumsum tulang (Price, AS; Lorraine M; Wilson 1995). Pertambahan
volume
darah
selama
kehamilan
disebut
dengan
hypervolemia, tetapi bertambahnya sel-sel darah lebih sedikit dibandingkan dengan bertambahnya plasma darah sehingga terjadi pengenceran darah. Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian fisiologis dalam kehamilan dan bermanfaat bagi ibu hamil, karena pengenceran tersebut meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat selama masa kehamilan yang disebabkan oleh peningkatan cardiac output akibat hipervolemia. Kerja
6
jantung akan lebih ringan bila viskositas darah rendah. Oleh karena itu anemia fisiologis atau pseduanemia hemodilius ini dimulai pada trimester I kehamilan, yaitu pada minggu ke 12 - 20 dan maksimal terjadi pada umur kehamilan 20 – 36 minggu. Akibat dari faktor hemodilius, kadar Hb dalam darah ibu hamil di bawah normal. Kondisi ini disebabkan oleh faktor hemodilius yang disertai dengan faktor lainnya yang menyebabkan turunnya cadangan zat besi. Kekurangan zat besi dapat dilihat dari perubahan sel darah merah dengan berbagai bentuk (mikrositer anisositosis). Gambaran khusus pada pemeriksaan preparat darah tepi dapat dilihat pada produksi asam lambung yang mungkin kurang (anhydria), permukaan lidah licin dan kurang bintik bintik, kadar zat besi dalam darah rendah dengan kemampuan mengikat zat besi meningkat (fe-binding capacity) disertai dengan kadar zat feritin dalam serum yang rendah. Kondisi zat besi dalam darah juga berkaitan dengan ada tidaknya kelainan dalam darah seperti talasemia, dan leukimia (kanker darah). Adanya kelainan lain dalam darah ini dapat menyebabkan kemampuan tubuh dalam mengabsorbsi zat besi menjadi terganggu bahkan terjadi ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi sel darah secara optimal. Menurut mekanisme patofisiologi, klasifikasi penyebab anemia pada masa kehamilan dibagi dalam 3 macam yaitu : 1. Menurunnya produksi sel darah merah a. Faktor nutrisi / metabolik i. Defisiensi besi ii. Defisiensi asam folat iii. Defisiensi B12 b. Gangguan sumsum tulang 2. Meningkatnya destruksi sel darah merah a. Abnormalitas sel darah merah b. Abnormalitas ekstrinsik 3. Perdarahan akut dan kronik Klasifikasi Anemia 1. Anemia Defisiensi Besi Anemia dalam kehamilan yang paling sering dijumpai ialah anemia akibat kekurangan besi. Kekurangan ini dapat disebabkan karena
7
kurangnya unsur besi dalam makanan, gangguan absorbsi, gangguan penggunaaan atau karena terlampau banyaknya besi yang keluar dari tubuh misalnya pada perdarahan (Price, AS; Lorraine M; Wilson 1995). 2. Anemia Megaloblastik Anemia karena kekurangan asam folat (pteroylglutamic acid) disebut juga anemia megaloblastic (sel darah merah besar dan abnormal) (Price, AS; Lorraine M; Wilson 1995). Diagnosis
anemia
megaloblastik
dibuat
apabila
ditemukan
megaloblas atau promegaloblas dalam darah atau sumsum tulang. Seringkali anemia sifatnya normositer dan normokrom. Hal ini disebabkan karena defisiensi asam folat sering berdampingan dengan defisiensi besi dalam kehamilan. 3. Anemia Hipoblastik Anemia pada wanita hamil yang disebabkan karena sumsum tulang kurang mampu membuat sel-sel darah baru, dinamakan anemia hipoplastik. Etiologi anemia hipoplastik karena kehamilan hingga kini belum diketahui dengan pasti, kecuali yang disebabkan oleh sepsis, sinar roentgen, racun atau obat-obatan. 4. Anemia Hemolitik Anemia hemolitik disebabkan karena penghancuran sel darah merah berlangsung lebih cepat dari pembuatannya. Wanita dengan anemia hemolitik sukar menjadi hamil, apabila ia hamil, maka anemianya akan lebih berat. Pengukuran Anemia Dalam pengukuran Hemoglobin, metode yang sering digunakan adalah metode cyanmethemoglobin menggunakan system HemoCue sesuai anjuran WHO dan International Committe for Standarduzation in Himatologi (ICSH). Metode ini digunakan untuk melihat kadar Hemoglobin secara kuantitatif dan merupakan metode laboratorium yang terbaik (Stoltzfus and Dreyflus 1998). Untuk memperkirakan prevalensi anemia dengan mengukur hemoglobin dengan metode chyanmethemoglobin, mempunyai nilai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 82.4% dan 94.0%.
8
Prevalensi Anemia Ibu Hamil Ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang berisiko mengalami anemia. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga dari tahun 1992, 1995 dan 2001 menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia terjadi penurunan dari tahun ke tahun, yaitu sebesar 63,5% pada tahun 1992, 50,9% pada tahun 1995 dan menjadi 40,1% pada tahun 2001. Khusus di Provinsi Sulawesi Tenggara, prevalensi anemia pada ibu hamil sebesar 67,25%. Faktor yang Berhubungan dengan Anemia Ibu Hamil Karakteristik Ibu Hamil Usia. Usia dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi wanita untuk hamil guna menghindari risiko kehamilan. Masa reproduksi yang sehat dan kurang berisiko terhadap komplikasi kehamilan adalah usia antara 20 - 35 tahun, sedangkan umur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan kehamilan yang berisiko. Hal ini terkait dengan kondisi biologis dan psikologis ibu yang sedang hamil (Depkes 2005). Pada wanita hamil yang berusia kurang dari 20 tahun, memiliki perkembangan organ reproduksi belum optimal, sehingga secara psikologis kejiwaan masih labil yang menimbulkan komplikasi (Titiek 1994 dalam Irwansyah 2005). Pada usia muda mempunyai masalah kompetitif antara ibu dan janinnya, karena di usia muda kebutuhan zat besi diperlukan oleh seorang wanita untuk kematangan tubuh pada fase akhir. Jika wanita muda tersebut hamil, maka kebutuhan zat besi akan terbagi dengan janin yang dikandungnya. Selain itu pengalaman dan pengetahuan tentang persiapan dan pemeliharan kehamilan masih rendah (Arisman 2005) Pada usia di atas 35 tahun, kejadian anemia disebabkan oleh adanya kemunduran terhadap fungsi faal tubuh dan munculnya kelainan degeneratif seperti hipertensi, diabetes, asam urat dan lain-lain, sehingga terjadi gangguan terhadap perdarahan serta turunnya metabolisme tubuh dan kemampuan absorbsi tubuh terhadap zat besi. Hal ini diperberat dengan interval kehamilan yang pendek dan paritas yang tinggi (lrwansyah 2005). Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa kehamilan berisiko diantaranya usia ibu hamil yang kurang dari 20 tahun dan yang lebih dari 35 tahun (Depkes RI 2005).
9
Penelitian yang dilakukan oleh Amiruddin dan Wahyuddin (2004) menyebutkan bahwa ibu hamil yang berusia kurang dari 20 tahun dan di atas 35 tahun mempunyai faktor risiko 2.8 untuk terkena anemia dibandingkan dengan ibu hamil yang berusia 20 sampai 35 tahun. Adapun hasil penelitian yang dilakukan Aminah (2000), menyebutkan bahwa ibu hamil dengan usia kurang dari 19 tahun dan lebih dari 35 tahun memiliki risiko 9.7 kali terkena anemia dibandingkan dengan ibu hamil yang berusia antara 19 - 35 tahun. Beberapa penelitian tentang variabel usia ibu hamil dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1 Hasil penelitian hubungan usia dengan anemia pada ibu hamil No 1.
Peneliti /Tahun
Judul
Desain studi
Hasil
Budi
Faktor risiko terjadinya
Case
Usia merupakan
Iswansyah,
anemia pada ibu hamil
Control
faktor risiko terjadinya
(2005)
anemia bagi ibu hamil (OR=4.128)
2.
Maya
Faktor yang berhubungan
Case
Pada kelompok usia
Rahmatiah
dengan kejadian anemia gizi
Control
risiko tinggi kejadian
, (2005)
ibu hamil di wilayah kerja
anemia pada ibu
Puskesmas Wongkaditi Kota
hamil sebesar 70.4%
Gorontalo 3.
I Kadek
Faktor yang berhubungan
Cross
Terdapat hubungan
Sutomo,
dengan kejadian anemia
sectional
yang signifikan antara
(2009)
pada ibu hamil di Puskesmas
usia ibu hamil dengan
Amonggedo Baru tahun 2008
kejadian anemia (p=0.000)
Umur Kehamilan. Prevalensi anemia kurang besi pada ibu hamil masih sangat memprihatinkan terutama pada umur kehamilan trimester III dibandingkan trimester I (Hidayat 1994). Terdapat bukti yang kuat bahwa defisiensi zat besi yang terjadi pada trimester pertama kehamilan menghasilkan penurunan yang signifikan terhadap pertumbuhan janin, dan hanya sedikit efek terhadap pertumbuhan janin jika anemia terjadi pada trimester II dan III (Beard 2000). Studi Zhou (1998) dalam (Beard 2000) di Sanghai China juga mendapatkan bahwa kelahiran preterm dapat dideteksi selama trimester pertama sebelum terjadi ekspansi volume plasma ibu. Angka kelahiran preterm dan BBLR
10
meningkat pada ibu hamil yang mengalami anemia pada trimester pertama kehamilan. Risiko lahir preterm dan BBLR 2 kali lebih besar pada ibu hamil anemia sedang dan lebih dari 3 kali pada ibu hamil anemia berat selama trimester pertama (School 2005). Demikian pula hasil penelitian Breyman (2005) yang berhasil membuktikan dampak anemia ibu hamil terhadap risiko untuk melahirkan preterm sebesar 2 kali, dan berisiko 3 kali untuk melahirkan BBLR, dan juga kematian ibu. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Buana (2004) yang membuktikan bahwa ada hubungan antara umur kehamilan terhadap anemia pada ibu hamil di Kecamatan Abung Surakarta Lampung Utara (p value <0.05). Jarak Kelahiran. Pada trimester III kehamilan, cadangan zat besi pada ibu hamil akan berkurang dan diperlukan waktu sekitar 2 tahun untuk mengembalikan cadangan zat besi ke tingkat normal dengan syarat kondisi kesehatan yang cukup baik dan asupan gizi yang baik pula. Sehingga dianjurkan untuk memperhatikan jarak kelahiran lebih dari 2 tahun, karena dengan tenggang waktu 2 tahun diharapkan ibu dapat mempersiapkan secara dini fisik dan psikis dan memberikan kesempatan pada tubuh untuk memulihkann kembali fungsi faal tubuh maupun anatomis. Dikaitkan dengan adanya janin di dalam perut, maka kecukupan zat besi akan terbagi antara ibu dan janinnya, sehingga jarak kelahiran yang pendek akan menguras cadangan zat besi dalam tubuh ibu hamil tersebut. Ibu hamil membutuhkan energi dan gizi yang lebih banyak dibandingkan yang tidak hamil, sehingga bila terjadi siklus kehamilan yang pendek pada kondisi dimana asupan gizi yang relatif tetap bahkan cenderung menurun akan menyebabkan status gizi ibu akan menjadi buruk termasuk kejadian anemia selama kehamilan. Bila kondisi anemia tersebut tidak ditanggulangi bisa menyebabkan masalah kesehatan bagi ibu dan janin yang dikandungnya. Beberapa
penelitian
menyatakan
bahwa
makin
pendek
jarak
kelahiran maka makin besar risiko kematian untuk ibu dan anak (Manuaba 1998). Selain itu, jarak kelahiran yang kurang dari 2 tahun mempunyai risiko 21.36 kali terkena anemia dibandingkan yang melahirkan dengan jarak lebih dari 2 tahun (Aminah 2002). Penelitian yang dilakukan Amiruddin dan Wahyuddin (2004) juga menyebutkan bahwa jarak kelahiran yang kurang dari 2 tahun merupakan faktor risiko kejadian anemia pada ibu hamil
11
dengan nilai OR = 2.343. Peneiitian tersebut membuktikan bahwa jarak kelahiran merupakan faktor risiko kejadian anemia bagi ibu hamil. Adapun hasil penelitian tentang variabel jarak kelahiran dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Hasil penelitian hubungan jarak kelahiran dengan anemia pada ibu hamil. N o
Peneliti/ Tahun
1.
Amiruddin,
Studi Kasus Kontrol
Wahyuddin
Faktor Biomedis
dari dua tahun berisiko
(2004)
Terhadap Kejadian
lebih besar untuk
Anemia Ibu Hamil
menderita anemia
Judul
Desain studi Studi kasus
Hasil Jarak kelahiran kurang
(OR=2.343) 2.
Case Control
Budi
Faktor risiko
Jarak kelahiran < 24
Iswansyah,
terjadinya anemia
bulan merupakan faktor
2005
pada ibu hamil
risiko terjadinya anemia bagi ibu hamil (OR=8.333)
3.
4.
Case Control
Aminah,
Faktor risiko
Jarak kelahiran
< 24
2002
terjadinya anemia
bulan merupakan faktor
pada ibu hamil
risiko terjadinya anemia
Di RSIB St. Fatimah
bagi ibu hamil
Makasar
(OR=21.36)
I Kadek
Faktor yang
Cross
Terdapat hubungan yang
Sutomo,
berhubungan dengan
sectional
signifikan antara jarak
kejadian anemia
study
kelahiran dengan
(2009) 5.
pada ibu hamil di
kejadian anemia
pusk. Amonggedo
(p=0.012)
Baru thn 2008
Gravida. Dalam setiap kehamilan akan menyebabkan cadangan besi berkurang oleh karena itu perlu diperhatikan frekuensi kehamilan serta jarak kehamilannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan cadangan zat besi ke tingkat normal, dengan syarat bahwa selama masa tenggang waktu tersebut kondisi kesehatan dan mutu makanan baik. Maka sebaiknya jarak persalinan terakhir dengan persalinan berikutnya minimal 2 tahun. Manuaba (1998) menyebutkan bahwa makin pendek jarak kehamilan makin besar kematian
12
maternal bagi ibu dan anak terutama jika jarak tersebut kurang dari 2 tahun dapat terjadi komplikasi kehamilan dan persalinan seperti anemia berat, partus dan perdarahan. Oleh karena itu seorang wanita memerlukan waktu 2 – 3 tahun jarak kehamilan agar pulih secara fisiologis dari suatu kehamilan atau persalinan dan dapat mempersiapkan diri untuk persalinan berikutnya. Seorang ibu yang sering mengalami kehamilan akan lebih mudah mengalami defisiensi zat besi akibat berkurangnya cadangan zat besi dan ini bisa menyebabkan anemia. Ibu dengan jumlah kehamilan >3 merupakan salah satu faktor risiko yang dapat mempengaruhi kehamilan dan persalinan, salah satunya berkaitan dengan kejadian anemia (Manuaba 1998). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Mendrofa (2003) yang dilakukan di Kabupaten Nias yang mengatakan bahwa ada korelasi antara gravida dengan anemia pada ibu hamil. Malaria Pengertian Malaria. Penyakit malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Penyakit malaria ini dapat menyerang siapa saja terutama penduduk yang tinggal di daerah di mana tempat tersebut merupakan tempat yang sesuai dengan kebutuhan nyamuk untuk berkembang biak. Malaria sudah diketahui sejak zaman Yunani. Kata malaria tersusun dari dua kata yaitu mal = busuk dan aria = udara. Nama diambil dari kondisi yang terjadi yaitu suatu penyakit yang banyak diderita masyarakat yang tinggal
di sekitar rawa-rawa yang
mengeluarkan bau busuk. Di Indonesia ditemukan 4 spesies parasit malaria yang menginfeksi manusia yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Dimana P. falciparum menyebabkan malaria tertiana maligna (malaria tropika), P. vivax menyebabkan tertiana benigna, disebut juga malaria vivax atau ”tertiana ague”, P. Malariae menyebabkan malaria kuartana spesies ini paling jarang dijumpai, P. Ovale menyebabkan malaria tertiana benigna atau malaria ovale. Spesies yang paling banyak ditemukan ialah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan, tergantung pada tingkat kekebalan seseorang terhadap infeksi parasit malaria dan paritas (jumlah kelahiran). Ibu hamil dari daerah endemik yang tidak mempunyai
13
kekebalan dapat menderita malaria klinis berat sampai menyebabkan kematian (Mc. Gregor 1984). Ibu hamil yang menderita malaria disebabkan karena
lisis sel darah
merahnya mengandung parasit sehingga mengakibatkan anemia. Pada infeksi P.falcifarum dapat terjadi anemia berat karena semua eritrosit dapat diserang. Baik eritrosit berparasit maupun tidak akan mengalami hemolisis karena fragilitas osmotik meningkat (Harijanto; Agung Nugroho; Carta 2010). Di daerah endemisitas tinggi, malaria berat dan kematian ibu hamil jarang dilaporkan. Gejala klinis malaria dan densitas parasitemia dipengaruhi paritas, sehingga akan lebih berat pada primigravida (kehamilan pertama) daripada multigravida (Gregor 1984). Pada ibu hamil dengan malaria, gejala klinis yang penting diperhatikan ialah demam, anemia, hipoglikemia, edema paru akut. Gejala Klinis Malaria. Gejala umum penyakit malaria yaitu demam. Di duga terjadinya demam berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon). Gambaran karakteristik dari malaria adalah demam periodik, anemia dan splenomegali. Berat ringannya manifestasi malaria tergantung jenis plasmodium yang menyebabkan infeksi. Malaria P.falciparum demam tiap 24-48 jam, P.vivax demam tiap hari ke-3, P.malariae demam tiap hari ke-4, dan P.ovale memberikan infeksi yang paling ringan dan sering sembuh spontan tanpa pengobatan. Sebelum demam, biasanya penderita mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual di hulu hati, atau muntah, semua gejala awal ini disebut gejala prodromal (Harijanto; Agung Nugroho; Carta 2010). Epidemiologi Malaria. Malaria ditemukan di daerah-daerah yang terletak pada posisi 64° Lintang Utara sampai 32° Lintang Selatan. Penyebaran malaria pada ketinggian 400 meter di bawah permukaan laut dan 2600 meter di atas permukaan laut. Plasmodium vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas yaitu mulai daerah beriklim dingin, subtropik, sampai dengan daerah tropik, kadang-kadang juga dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium falciparum jarang ditemukan di daerah beriklim dingin tetapi paling sering ditemukan di daerah tropis (Harijanto; Agung Nugroho; Carta 2010). Di Indonesia malaria ditemukan tersebar luas di semua pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda-beda. Penyakit tersebut dapat berjangkit di daerah yang mempunyai ketinggian sampai dengan 1800 meter di atas permukaan laut. Spesies terbanyak yang dijumpai adalah P.falciparum dan
14
P.vivax, P.ovale pernah ditemukan di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Kondisi wilayah yang adanya genangan air dan udara yang panas mempengaruhi tingkat endemisitas penyakit malaria di suatu daerah (Harijanto; Agung Nugroho; Carta 2010). Diagnosis Malaria. Diagnosis malaria secara pasti bisa ditegakkan jika ditemukan parasit malaria dalam darah penderita. Oleh karena itu, cara diagnosis malaria yang paling penting adalah dengan memeriksa darah penderita secara mikroskopis dengan membuat pengecatan GIEMSA tipis/tebal yang merupakan gold standard dalam diagnosis malaria. Mikroskop dapat mendeteksi 20-50 μl parasit per darah (Depkes 2007). Hubungan Malaria Terhadap Anemia Ibu Hamil. Menurut defenisi WHO, anemia pada kehamilan adalah bila kadar hemoglobin (Hb) < 11 g/ dl. Mc. Gregor; Wilson; Billewicz (1983) mendapatkan data bahwa penurunan kadar Hb dalam darah hubungannya dengan parasitemia, terbesar terjadi pada primigravida dan berkurang sesuai dengan peningkatan paritas. Van Dongen and Van’t hof MA (1983) melaporkan bahwa di Zambia, primigravida dengan infeksi P. falciparum merupakan kelompok yang berisiko tinggi menderita anemia dibandingkan dengan multigravida. Di Nigeria Fleming; Harriso K.A; Briggs N. D (1984) melaporkan bahwa malaria sebagai penyebab anemia ditemukan pada 40% penderita anemia primigravida. Anemia pada malaria terjadi karena lisis sel darah merah yang mengandung parasit (Harijanto; Agung Nugroho; Carta 2010). Hubungan antara anemia dan splenomegali dilaporkan oleh Brabin B.J, Ginny; M Sapau; Galme K and Paino J (1990) yang melakukan penelitian pada wanita hamil di Papua Neu Geuinea, dan menyatakan bahwa makin besar ukuran limpa makin rendah nilai Hb-nya. Pada penelitian yang sama Brabin melaporkan hubungan BBLR (berat badan lahir rendah) dan anemia berat pada primigravida. Ternyata anemia yang terjadi pada trimester pertama kehamilan, sangat menentukan apakah wanita tersebut akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah atau tidak karena kecepatan pertumbuhan maksimal janin terjadi sebelum minggu ke 20 usia kehamilan. Kecacingan Salah satu penyebab anemia gizi adalah kehilangan darah secara kronis. Kehilangan besi dapat pula diakibatkan oleh infestasi seperti cacing. Hal
15
ini lazim terjadi di negara tropis, lembab serta kondisi sanitasi yang buruk (Arisman 2004). Infeksi kecacingan pada manusia baik oleh cacing gelang, cacing cambuk maupun cacing tambang dapat menyebabkan pendarahan yang menahun yang berakibat menurunnya cadangan besi tubuh dan akhirnya menyebabkan timbulnya anemia kurang besi (Pawlowski, ZS; Ga, Sehad; and GJ, Stott 1991). Pada daerah-daerah tertentu anemia gizi diperberat keadaannya oleh investasi cacing. Cacing menempel pada dinding usus dan memakan darah. Akibat gigitan sebagian darah hilang dan dikeluarkan dari dalam badan bersama tinja. Jumlah cacing yang sedikit belum menunjukkan gejala klinis tetapi bila dalam jumlah yang banyak yaitu lebih dari 1000 ekor maka orang yang bersangkutan dapat menjadi anemia. Perdarahan itu terjadi akibat proses penghisapan aktif oleh cacing dan juga akibat perembesan darah disekitar tempat hisapan. Cacing berpindah tempat menghisap, setiap 6 jam perdarahan di tempat yang ditinggalkan segera berhenti dan luka menutup kembali dengan cepat karena turn over sel epithel usus sangat cepat. Kehilangan darah yang terjadi pada infeksi kecacingan dapat disebabkan oleh adanya lesi yang terjadi pada dinding usus juga oleh karena dikonsumsi oleh cacing itu sendiri,
walaupun ini masih belum terjawab dengan jelas
termasuk berapa besar jumlah darah yang hilang dengan infeksi cacing ini Metode untuk mengetahui banyaknya cacing di dalam usus dapat dilakukan dengan menghitung banyaknya telur dalam tinja. Bila di dalam tinja terdapat sekitar 2000 telur/gram tinja, berarti ada kira-kira 80 ekor cacing di dalam perut dan dapat menyebabkan darah yang hilang kira-kira sebanyak 2 ml per hari. Dengan jumlah 5000 telur/gram tinja adalah berbahaya untuk kesehatan orang dewasa. Bila terdapat 20.000 telur/gram tinja berarti ada kurang lebih 1000 ekor cacing dalam perut yang dapat menyebabkan anemia berat (Depkes 2007). Diagnosis seseorang terinfeksi cacing secara pasti bisa ditegakkan jika ditemukan salah satu atau lebih jenis telur cacing dalam pemeriksaan feses secara
laboratorium.
Metode
yang
biasa
digunakan
adalah
Kato-Katz
(Depkes, 2007). Beberapa penelitian tentang variabel penyakit malaria dengan infeksi cacing dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini :
16
Tabel 3 Hasil penelitian hubungan malaria dan kecacingan dengan anemia pada ibu hamil N o
Peneliti/ Tahun
1 Wijianto (2007)
Judul
Desain studi
Hasil
Kontribusi infeksi
Cross-
- Ada hubungan anemia
malaria, infeksi
sectional
dengan infeksi
kecacingan terhadap
kecacingan.
anemia ibu hamil di Kab.
- Ibu hamil yang terinfeksi
Banggai
kecacingan berisiko 5 kali (95% CI : 1.592-16.809) menderita anemia dibanding dengan yang tidak terinfeksi cacing
2 Mangihut
Analisis Faktor Yang
Sekat Silang
-Parasit (cacing) secara
.
Silalahi
Berhubungan Dengan
signifikan berpengaruh
(2006)
Anemia Ibu Hamil Di Kab.
terhadap anemi, dengan
Dairi Tahun 2006
p= 0.000 OR= 12.078
3 Lidia
Hubungan Malaria
Kohort
- ibu hamil dengan malaria
.
Gomes
falciparum dan Malaria
retrospektif
falciparum mengalami
(2004)
vivax pada Ibu Hamil
anemia (OR 8.560, CI
dengan Kejadian Anemia
95% = 1.674 - 43.766)
di Kab. Purworejo, Provinsi Jateng
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pemeriksaan Kehamilan. Beberapa hal yang penting pada pelayanan kesehatan pada kehamilan yang baik ialah : 1. Semua wanita hamil mendapatkan kesempatan dan menggunakan kesempatan untuk menerima pengawasan serta pertolongan dalam kehamilan, persalinan, dan nifas. 2. Pelayanan yang diberikan bermutu. 3. Walaupun tidak semua persalinan berlangsung di rumah sakit, namun ada kemungkinan untuk mendapat perawatan segera di rumah sakit jika terjadi komplikasi. 4. Diberikan prioritas bersalin di rumah sakit untuk :
17
a. Wanita dengan komplikasi obstetrik (panggul sempit, pre-eklampsia dan eklampsia, kelainan letak, kehamilan ganda dan sebagainya); b. Wanita dengan riwayat obstetrik yang jelek (perdarahan postpartum, kematian
janin
sebelum
lahir,
dan
lain-lain
pada
kehamilan
sebelumnya); c. Wanita hamil dengan penyakit umum, seperti penyakit jantung, diabetes dan sebagainya; d. Wanita dengan kehamilan ke 4 atau lebih; e. Wanita dengan umur 35 tahun keatas; f.
Primigravida;
g. Wanita
dengan keadaan
di
rumah
yang
tidak
memungkinkan
persalinan dengan aman. 5. Adanya pencatatan yang baik mengenai kelahiran serta kematian maternal menurut umur dan paritas. Adanya pencatatan mengenai kematian perinatal serta penyebab kematian maternal dan perinatal (Wiknjosastro 1999 dalam Herlina 2005). Menurut Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (Depkes 2005),
kunjungan kehamilan atau kunjungan antenatal sebaiknya
dilakukan paling sedikit 4 kali selama kehamilan yaitu satu kali pada triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga. Pelayanan/asuhan standar minimal termasuk “7T” yaitu : (Timbang) berat badan; ukur (Tekanan) darah; ukur (Tinggi) fundus uteri; pemberian imunisasi (Tetanus Toksoid) TT lengkap; konsumsi (Tablet) tambah darah, minimum 90 tablet selama kehamilan, (Tes) terhadap penyakit menular seksual; serta (Temu) wicara dalam rangka persiapan rujukan. Penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara kunjungan Antenatal Care (ANC) dengan kejadian anemia menunjukkan ada hubungan antara kunjungan ANC dengan kejadian anemia pada ibu hamil dengan nilai p=0.02 < α=0.05 (Rahmatiah 2005). Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet Tambah Darah. Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh yang berarti taat. Kepatuhan adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan dokter atau oleh orang lain (Arisman 2004).
18
Menurut Sudarwati (1998) dalam Rias Wipayani (2008), tingkat kepatuhan adalah pengukuran pelaksanaan kegiatan, yang sesuai dengan langkah-langklah yang telah ditetapkan, tingkat kepatuhan dapat di kontrol bahwa pelaksana program telah melaksanakan kegiatan sesuai standar. Kepatuhan pasien yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku tersebut dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau dengan tokoh yang menganjurkannya. Motivasi ini belum dapat dijadikan jaminan bahwa pasien akan mematuhi seterusnya karena jika pasien sudah merasa jenuh atau bosan maka dia tidak perlu lagi melanjutkan perilaku tersebut (Sarwono 1997 dalam Rias Wipayani 2008). Kadang-kadang tablet tambah darah menimbulkan perasaan tidak enak seperti sakit perut, tidak enak, mual, susah buang air besar, tinja berwarna hitam, ini karena kandungan zat besinya tinggi yaitu 200 mg atau 60 mg besi elemental dan 0.25 mg asam folat. Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi efek tersebut sebaiknya tablet tambah darah di minum setelah makan malam atau menjelang tidur, akan tetapi lebih baik bila setelah minum tablet tambah darah disertai makan buah-buahan yang mengandung vitamin C tinggi (Nuri 2005 dalam Rias Wipayani 2008). Menurut WHO (1995) manfaat dan kepatuhan ibu hamil meminum tablet tambah darah yaitu : 1. Bisa mencegah anemia defisiensi besi Karena pada wanita hamil cenderung mengalami defisiensi baik zat besi maupun folat. Oleh karena itu penting sekali bagi ibu hamil untuk meminum tablet tambah darah setiap hari. 2. Bahaya selama kehamilan, persalinan dan nifas dapat dihindari Sedangkan dampak dari ketidakpatuhan ibu hamil meminum tablet tambah darah yaitu: 1. Bisa terjadi anemia defisiensi besi 2. Meningkatkan bahaya kehamilan, persalinan dan nifas Untuk program pencegahan anemia di daerah dengan prevalensi rendah ibu hamil diharuskan mengkonsumsi tablet besi sehari satu tablet (60 mg elemental iron dan 0,25 mg asam folat) berturut-turut selama minimal 90 hari masa kehamilannya, sampai 42 hari setelah melahirkan. Seorang ibu hamil bila
19
kadar Hb <11 gr/dl, konsumsi menjadi 3 tablet sehari selama 90 hari masa kehamilannya, sampai 42 hari setelah melahirkan (Husaini 2001). Adapun kemungkinan untuk toksis, misalnya terhadap penderita anemia thalasemia perlu diperimbangkan. Namun toksis hampir tidak pernah terjadi pada wanita hamil yang normal, selama tablet tambah darah diberikan secara oral, kecuali efek samping pada sebagian orang, namun hal tersebut tidak membahayakan. Oleh karena itu, tablet tambah darah diberikan pada semua ibu hamil yang anemia maupun tidak anemia (Husaini 2001). Beberapa hasil penelitian tentang variabel kepatuhan mengkonsumsi tablet tambah darah dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Hasil penelitian hubungan frekuensi kunjungan antenatal care dan kepatuhan mengkonsumsi tablet tambah darah dengan anemia pada ibu hamil N o 1.
Peneliti/ Tahun Nina Herlina,
Judul Faktor Risiko Kejadian Anemia pada Ibu Hamil
cross sectional study
Fauzia
2.
Desain studi
Hasil Ibu hamil yang kurang patuh mengkonsumsi tablet tambah darah mempunyai proporsi
Djamilus
kejadian anemia sebesar
(2004)
58.8%,
Sri Prihatini (2007)
Faktor Determinan Risiko
Potong
Ketidakpatuhan
Anemia WUS di Prop. Bali
Lintang
mengkonsumsi tablet tambah
dan Banten
darah berpeluang menderita anemia (OR=0.440, CI= .2430.830)
3.
4.
Maya
Faktor yang berhubungan
cross
- Pada kelompok bumil
Rahmatiah,
dengan kejadian anemia gizi
sectional
konsumsi tablet tambah
(2005)
ibu hamil di wilayah kerja
study
darah kurang mengalami
Puskesmas Puskesmas
anemia sebesar 82.4% (ada
Wongkaditi Kota Gorontalo
hubungan)
Lidia
Hubungan Malaria falciparum
Kohort
Gomes,
dan Malaria vivax pada Ibu
retrospektif
(2004)
Hamil dengan Kejadian Anemia di Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah
- Pada kelompok ANC kurang kejadian anemia pada ibu hamil sebesar 85,2% (ada hubungan) - Pelayanan kehamilan ANC dengan standar minimal 5T (OR 3.823, CI 95% = 1.14912.720)
20
Kebiasaan Makan Pola konsumsi merupakan gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan bagian dari gaya hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Astawan 1998 dalam Farida 2007). Pola konsumsi adalah cara individu atau kelompok individu memilih bahan makanan dan mengkonsumsinya sebagai tanggapan dari pengaruh fisiologi, sosial dan budaya diukur dengan frekuensi, jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari (Suhardjo 2002). Kebutuhan Zat Besi pada Masa Kehamilan. Selama masa kehamilan terjadi pembentukan jaringan-jaringan baru melalui beberapa tahapan tertentu. Jaringan-jaringan yang terbentuk, tumbuh dan berkembang dalam rahim tersebut meliputi janin dan jaringan-jaringan lain yang berfungsi sebagai pendukung yang mampu menjaga kelangsungan hidup janin. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi gizi yang kurang selama kehamilan berdampak buruk pada bayi yang dilahirkan maupun bagi sang ibu. Sering kali bayi yang kurang mendapat suplai zat gizi dari ibu, lahir dalam keadaan meninggal dan ibu mengalami perdarahan pada saat melahirkan dan akibat lain yang sering kali membahayakan kesehatan bayi seperti lahir premature dan berat badan lahir rendah. Jumlah zat besi yang dibutuhkan wanita hamil jauh lebih besar dari pada saat tidak hamil. Pada trimester I kehamilan, kebutuhan zat besi lebih rendah dibanding kebutuhan trimester berikutnya (Husaini 1989). Kebutuhan akan
zat
besi
selama kehamilan
akan mengalami
peningkatan. Selama kehamilan (280 hari) terjadi kehilangan besi basal 250 mg, kebutuhan janin dan plasenta 315 mg dan kebutuhan untuk meningkatkan massa hemoglobin (termasuk simpanan) 500 mg atau total sekitar 1.1 gram. Pada trimester I belum ada kebutuhan yang meningkat drastis sehingga kecukupan besi sama dengan kecukupan pada wanita dewasa yang masih menstruasi yaitu 26 mg/hari. Pada saat melahirkan ada kehilangan besi sekitar 250 mg sehingga sebanyak 250 mg masih tersimpan. Jika ditambah dengan kebutuhan untuk janin dan plasenta 315 mg maka diperlukan besi sekitar 550 mg. Jumlah ini harus dipenuhi selama trimester II dan III (192 hari) maka diperlukan tambahan besi rata-rata 2.9 mg/hari atau 2.7 mg/hari selama trimester II dan 3.1 mg/hari selama trimester III. Median kehilangan besi basal dalah 0,8 mg/hari (55 kg x 0.014 mg/kg/hari). Dengan tingkat penyerapan
21
10%, maka Estimated Average Requirement (EAR) trimester II adalah 35 mg/hari dan trimester III adalah 39 mg/hari. Demikian maka Recommended Dietary Allowance (RDA) trimester II adalah 42 mg/hari dan trimester III adalah 47 mg/hari. Tingkat penerapan besi selama masa kehamilan sangat efisien (ditetapkan 12%) sehingga RDA yang telah disesuaikan adalah 35 mg/hari untuk trimester II dan 39 mg/hari untuk terimester III
(FAO/WHO
2001 dalam Rahmatiah 2007). Kebutuhan zat gizi selama kehamilan dapat terpenuhi dari makanan normal yang bervariasi, kecuali kebutuhan akan zat besi. Oleh karena itu, pada trimester kedua dan ketiga, ibu hamil harus mendapatkan tambahan zat besi berupa suplementasi zat besi. Sumber Zat Besi dari Makanan. Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini diperlukan dalam pembentukan darah, yaitu dalam sintesa hemoglobin (Sediaoetama 1999). Zat besi di dalam tubuh sebagian disimpan di dalam hati dalam bentuk feritin. Apabila konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup maka zat besi dari feritin dimobilisasi untuk memproduksi hemoglobin. Jumlah zat besi yang diserap tubuh setiap harinya hanya 1 mg atau setara dengan 10-20 mg zat besi yang terkandung dalam makanan. Zat besi dalam pangan nabati berbentuk ikatan feri ini harus dipecah terlebih dahulu dalam bentuk fero oleh getah lambung. Sementara dalam pangan hewani zat besi sudah berada dalam bentuk fero yang lebih mudah diserap. Zat besi dari pangan hewani sering disebut heme-iron, sedangkan yang berasal dari nabati disebut non heme-iron. Sumber zat besi nabati hanya diserap 1-2%, sedangkan penyerapan zat besi asal bahan makanan hewani dapat mencapai 10-20%. Diperkirakan wanita hamil sampai melahirkan memerlukan zat besi kurang lebih 40 mg/hari atau 2 kali lipat kebutuhannya dari pada saat kondisi normal (tidak hamil). Tidak mengherankan bila banyak wanita hamil akhirnya menderita anemia gizi besi karena kebutuhan meningkat, tetapi konsumsi makanannya tidak memenuhi syarat gizi. Salah satu upaya mengatasi anemia adalah memperbaiki mutu makanan. Di Indonesia, berbagai penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil mengkonsumsi pangan pokok, pangan hewani, sayur dan buah dalam jumlah yang tidak memadai, yang berimplikasi pada tidak terpenuhinya kebutuhan energi, protein dan berbagai mineral yang penting bagi kehamilan seperti besi, iodium dan seng yang kaya dalam pangan hewani, serta vitamin
22
utamanya vitamin C dan asam folat yang banyak terkandung pada buah dan sayur (Hardinsyah 2002 dalam Patimah 2007). Demikian pula dengan hasil penelitian Herlina (2005) yang melaporkan bahwa semakin kurang baik pola makan, maka semakin tinggi angka kejadian anemia pada ibu hamil, dan hal ini menunjukkan kebermaknaan secara statistik (p < 0.05). Anemia gizi besi sering juga dihubungkan dengan konsumsi makanan yang rendah kandungan zat besinya, serta faktor yang dapat mempercepat dan menghambat penyerapan zat besi. Khusus pada ibu hamil, kecukupan asupan tidak hanya dipenuhi dari konsumsi makanan sumber zat besi (daging, sapi, ayam, ikan, telur, dan lain lain), tetapi dipengaruhi juga oleh variasi penyerapan, yang disebabkan oleh kondisi fisiologis ibu hamil, sehingga meningkatkan kebutuhan zat besi, jenis zat besi yang dikonsumsi, dan faktor yang menghambat dan mempercepat penyerapan zat besi. Tabel 5 Jenis bahan makanan yang mempercepat dan menghambat penyerapan zat besi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Fe Protein (mg/100g) (gr/100 g) Menghambat penyerapan Fe Beras ketan hitam tumbuk 6.2 8.0 Jagung 2.8 6.2 Daun kelor 6.0 5.1 Daun Singkong 2.0 6.2 Daun Pakis 2.3 4.5 Buncis 0.7 2.4 Jambu bool 0.3 2.3 Teh 11.8 19.5 Kopi 4.1 17.4 Mempercepat penyerapan Fe Tempe 4.0 20.8 Tahu 3.4 10.9 Udang segar 8.0 21 Kerang 15.6 14.4 Ikan segar 1.0 17 Telur ayam ras 3.0 12.8 Daging sapi (sedang) 2.8 18.8 Daging ayam 1.5 18.2 Hati sapi 6.6 19.7 Jeruk 0.4 0 Pepaya 1.7 0.5 Mangga 1.0 0.5 Daun katuk 3.5 6.4 Kangkung 2.3 3.4 Sawi 2.9 2.3 Kacang panjang 0.6 2.3 Bahan Makanan
Vit.C (mg/100 g)
Serat (gr/100 g)
0 0 22 103 2.5 11 22 0 0
1.0 2.6 8.2 2.4 2.0 1.9 3.5 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 31 49 78 12 164 17 102 46
1.4 0.1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.6 1.5 2.0 0 2.7
Sumber: Tabel Komposisi Pangan Indonesi (PAGI, 2009)
Oleh karena itu, keanekaragaman konsumsi makanan sangat penting
23
dalam membantu mempercepat penyerapan zat besi di dalam tubuh. Kehadiran protein hewani, vitamin C, seng, asam folat, dapat mempercepat penyerapan zat besi dalam tubuh. Namun pada sebagaian menu masyarakat juga mengandung serat dan fitat yang merupakan faktor menghambat penyerapan besi (Sediaoetama 1999). Kebiasaan Makan Ibu Hamil. Kebiasaan makan ibu hamil harus mengacu pada RDA (Recommended Dietary Allowance) atau AKG (Angka Kecukupan Gizi), dimana banyak unsur-unsur zat gizi dibutuhkan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan sebelum hamil. Melalui aneka ragam bahan makanan, kekurangan zat gizi pada bahan makanan yang satu dapat dilengkapi oleh jenis bahan makanan lainnya. Bahan pangan yang dikonsumsi hendaknya terdiri atas sumber energi, protein (hewani dan nabati), susu dan olahannya, roti dan biji-bijian, serta buah dan sayur. Jika seluruh bahan makanan ini digunakan, maka seluruh zat gizi yang dibutuhkan akan terpenuhi, kecuali zat besi dan asam folat harus ditambahkan melalui suplementasi (Arisman 2004). Tabel 6 Daftar tambahan kebutuhan jumlah setiap zat gizi selama kehamilan
Penilaian Kebiasaan Makan. Metode food frequency dibuat untuk mendapatkan informasi tentang pola makan atau kebiasaan makan seseorang
24
secara kualitatif.
Tujuan dari food frequency untuk menentukan frekuensi
penggunaan bahan makanan selama periode tertentu (setiap hari, minggu, bulan, tahun). Sedangkan metode food frequency semi quantitative di samping melihat bahan makanan yang biasa dikonsumsi sampel, juga mengukur porsi dari bahan makanan yang dikonsumsi. Untuk membantu sampel dalam mengingat jumlah bahan makanan yang dikonsumsi, digunakan food models. Dengan
demikian
metode
food
frequency
semi
quantitative
dapat
menggambarkan kebiasaan konsumsi sehari-hari di masa lalu. Keuntungan dari metode food frequency semi quantitative adalah cepat, relatif tidak mahal, dapat memperkirakan makanan yang biasa dikonsumsi beserta frekuensi dan porsinya (Gibson 1993 dalam Patimah 2007). Tabel 7 Hasil penelitian hubungan kebiasaan makan dengan anemia pada ibu hamil No
Peneliti/ Tahun
Desain studi
1
Nina
Faktor Risiko Kejadian
cross
Semakin kurang baik pola
Herlina
Anemia pada Ibu Hamil di
sectional
makan, maka akan
(2005)
Wilayah Kerja Puskesmas
study
semakin tinggi angka
Judul
Bogor
Hasil
kejadian anemia. Hasil uji statistic juga menunjukkan kebermaknaan (p > 0.05).
2.
St.
Kebiasaan makan Ibu hamil
cross
Faktor penyebab
Patimah
dan Hubungannya dengan
sectional
terjadinya anemia,
(2007)
Kejadian Anemia Gizi Besi
study
kebiasaan makan merupakan faktor yang paling dominan (50%)
Peran Keluarga Berbagai faktor
penyebab
langsung kematian
ibu
hamil
seperti
perdarahan, infeksi, sepsis dan eklamsia (keracunan kehamilan). Secara tidak langsung di pengaruhi oleh keterjangkauan dan kualitas pelayanan perawatan antenatal dan persalinan serta kesehatan wanita secara umum dan kesiapan untuk hamil. Terkait dengan kompleksitas permasalahan pada kesehatan ibu hamil, diperlukan pendekatan yang multi sektoral. Intervensi medis yang telah dilaksanakan selama ini perlu didukung oleh lingkungan sosial-ekonomi, hubungan sosial dan hubungan gender yang setara, termasuk diantaranya
25
adalah dukungan yang melibatkan peran laki-laki (suami) dan anggota keluarga lainnya. Hal ini karena suami atau keluarga, mempunyai peran kunci selama kehamilan, persalinan dan setelah bayi lahir. Keputusan dan tindakan mereka berpengaruh terhadap kesakitan, kesehatan dan kematian bayi (Thadeus, S and Maine, D 1994). Dalam perawatan selama kehamilan (antenatal), peran suami dan anggota keluarga lainnya diperlukan untuk mendukung ibu hamil agar mendapatkan pelayanan antenatal yang baik, termasuk ikut serta dalam konsultasi pada saat pemeriksaan antenatal. Dengan keikutsertaan dalam kegiatan konseling, diharapkan suami dan atau anggota keluarga lainnya dapat mempelajari mengenai gejala dan komplikasi-komplikasi selama kehamilan yang mungkin dialami oleh ibu (Widayatun 2001). Dukungan suami dan anggota keluarga lainnya dalam pemeliharaan kesehatan ibu hamil dan menjaga agar bayi dapat dilahirkan dengan selamat adalah melalui usaha menjamin ibu hamil mendapatkan makana bergizi, terutama makanan yang banyak mengandung zat besi dan vitamin A (Widayatun 2001). Peranan keluarga dalam penelitian ini adalah usaha-usaha yang dilakukan keluarga untuk meningkatan kesehatan ibu hamil yang terdiri atas anjuran melakukan pemeriksaan kehamilan sesuai waktunya, anjuran untuk rutin meminum tablet tambah darah, bersedia mengantar ibu untuk memeriksakan kehamilan, turut menyediakan makanan sehat untuk ibu serta senantiasa memberikan informasi tentang cara menjaga kesehatan selama kehamilan. Sedangkan keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini terdiri dari suami, orang tua atau mertua, anak serta anggota keluarga lainnya seperti kakak, adik, ipar dan kakek serta nenek.