III.
TINJAUAN PUSTAKA
A. MINYAK SAWIT Minyak sawit merupakan minyak yang didapatkan dari buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) seperti yang terlihat pada Gambar 3. Menurut Hartley (1977) kelapa sawit merupakan tamaman monokotil (berkeping satu) yang termasuk famili Palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion yang berarti minyak, sedangkan guineensis berasal dari Guines, nama tempat pertama kali ditemukannya tanaman kelapa sawit di pantai Afrika Selatan oleh seseorang bernama Jacquin.
Gambar 3. Buah Kelapa Sawit Secara umum jenis minyak yang dihasilkan oleh tanaman ini adalah minyak sawit (palm oil) dan minyak inti sawit (palm kernel oil). Sebanyak 85% lebih pasar dunia dikuasai oleh Indonesia dan Malaysia. Minyak sawit merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis karena merupakan bahan baku utama pembuatan minyak makan. Sementara itu, minyak makan termasuk salah satu dari sembilan kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Permintaan akan minyak makan di dalam dan luar negeri yang kuat merupakan indikasi pentingnya peranan komoditas kelapa sawit dalam perekonomian bangsa. Minyak sawit berupa Crude Palm Oil (CPO) didapatkan dari daging buah kelapa sawit. Tahapan teknologi pengolahan CPO terdiri atas tahap ekstraksi, pemurnian, dan pengolahan lanjut menjadi produk pangan dan non pangan. Proses tersebut dilakukan untuk memperbaiki mutu dan meminimalisasi potensi kerusakan minyak sawit. Tahap ekstraksi merupakan proses mengeluarkan minyak dari buah sawit menjadi minyak sawit kasar (CPO), proses ini terdiri atas perebusan, pemipilan, pencacahan, pengempaan (pemerasan), pemurnian, serta pemisahan biji dan sabut. Tahap selanjutnya adalah pemurnian (refining), pemucatan (bleaching), dan penghilangan aroma (deodorizing). Hasil dari rangkaian proses tersebut disebut dengan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO). Karakteristik dari RBDPO secara umum mengandung asam lemak bebas maksimal 0.1%, bilangan peroksida maksimal 0, dan kadar air maksimal 0.1% (Birker dan Padley 1987). Karakteristik dari minyak sawit disajikan pada Tabel 1.
15
Tabel 1. Karakteristik Minyak Sawit (RBDPO) Karakteristik Kimia
Kisaran
Bilangan Penyabunan (mg KOH/g Oil) Bilangan Iodin (Wijs)a SMP (°C)a Densitas (g/ml pada 50°C)b Karotenoid Total (β-karoten) (ppm)b a Basiron (2005) b Salunkhe (1992)
a
190.1-201.7 50.6-55.1 30.8-37.6 0.8896-0.8910 500-1000
Sekitar 90% hasil produksi minyak sawit digunakan untuk produk-produk pangan seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, shortening, dan lain sebagainya. Tiap asam lemak mempunyai titik leleh yang spesifik, minyak dan lemak sawit merupakan campuran esensial dari berbagai asam lemak sebagai triasilgliserol (seperti stearat, oleat, dan linolenat), sehingga tidak memiliki titik leleh yang tajam (Lawson 1995). Komposisi asam lemak yang terkandung di dalam minyak sawit disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Asam lemak Minyak Sawit (RBDPO) Asam lemak
Minyak sawit (%)
Laurat (C:12) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Palmitoleat (C16:1) Stearat (C18:0) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3) Arakidat (C20:0)
0.1-1.0 0.9-1.5 41.8-46.8 0.1-0.3 4.2-5.1 37.3-40.8 9.1-11.0 0-0.6 0.2-0.7
Sumber: Bailey (1994)
Komposisi asam lemak tersebut juga berpengaruh terhadap SMP yang dimiliki oleh minyak sawit. SMP minyak sawit berkisar antara 31.1ºC hingga 37.6 ºC (Bailey 1994). Selain itu, sifat fisik lainnya seperti kandungan lemak padat yang terkandung di dalam minyak sawit juga dapat dipengaruhi oleh kandungan asam lemaknya. Nilai SFC dari berbagai suhu observasi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai SFC Minyak Sawit (RBDPO) pada Berbagai Suhu Solid Fat Content 5ºC 10ºC 15ºC 20ºC 25ºC 30ºC 35ºC 40ºC 45ºC
Rata-rata 60.5 49.6 34.7 22.5 13.5 9.2 6.6 4.0 0.7
Kisaran 50.7-68.0 40.0-55.2 27.2-39.7 14.7-27.9 6.5-18.5 4.5-14.1 1.8-11.7 0.0-7.5 -
Sumber: Bailey 1994
16
B. MINYAK OLEIN SAWIT Olein sawit merupakan fraksi cair dari minyak sawit yang didapatkan dari proses fraksinasi minyak sawit. Minyak ini didominasi oleh asam lemak tak jenuh sehingga bersifat cair pada suhu ruang. Fraksinasi minyak sawit dapat dilakukan karena triasilgliserol di dalam minyak mempunyai SMP yang berbeda. Pada suhu tertentu, triasilgliserol yang mempunyai SMP lebih rendah akan mengkristal menjadi padatan sehingga memisahkan minyak sawit menjadi fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin). Fraksi yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan penyaringan. Gambaran umum fraksinasi kelapa sawit disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Alur Proses Fraksinasi Minyak sawit (O’Brien 1994) Pemisahan fraksi padat dan cair dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penyaringan kering (viz dry) dan penyaringan basah (detergent fractionation). Secara umum, industri pengolahan kelapa sawit cenderung memakai teknik penyaringan kering, karena lebih ekonomis dan ramah lingkungan. Olein sawit yang dihasilkan dari penyaringan kering melalui tahap kristalisasi dan penyaringan menggunakan mesin membrane filter press (Pahan 2006). Olein sawit merupakan produk utama dari fraksinasi, sedangkan stearin merupakan produk samping. Komposisi asam lemak yang terkandung di dalam olein sawit disajikan pada Tabel 4. Olein sawit dapat dicampur dengan berbagai minyak makan lain, sehingga sering kali olein sawit disebut dengan ‘blending partner’. Olein sawit hasil dari fraksinasi langsung dapat dikemas menjadi minyak goreng (Gunstone 2005). Olein sawit juga dikenal sebagai minyak dengan stabilitas tinggi terhadap proses degradasi selama penggorengan. Olein sawit memiliki slip melting point sekitar 22.7 ± 0.4°C atau maksimal 24°C (CODEX 1999) dan dapat digunakan untuk menggantikan permintaan terhadap lemak hewan serta fungsinya sebagai lemak reroti (shortening) maupun minyak goreng (frying fats) (Basiron 2005). Harga jual olein sawit merupakan yang tertinggi dari olahan kelapa sawit, namun cukup terjangkau untuk menggantikan lemak hewani.
17
Tabel 4. Komposisi Asam Lemak Olein Sawit Asam Lemak Olein Sawit (%) 12:0 0.1-0.5 14:0 0.9-1.4 16:0 37.9-41.7 16:1 0.1-0.4 18:0 4.0-4.8 18:1 40.7-43.9 18:2 10.4-13.4 18:3 0.1-0.6 20:0 0.2-0.5 Sumber: Bailey 1994
C. KARAKTERISTIK MINYAK TERKAIT MARGARIN 1. KARAKTERISTIK FISIK a. KANDUNGAN LEMAK PADAT (SFC)
DENGAN
KUALITAS
Penentuan jumlah padatan lemak (solid fat content) merupakan salah satu karakter fisik yang paling penting dalam industri minyak, lemak, dan produk turunannya. SFC merupakan indeks proporsi kristal lemak dan lemak cair pada suhu tertentu (Asianagri 2007). Kandungan padatan lemak atau solid fat content (SFC). Pengujian kandungan lemak padat pada minyak atau lemak dilakukan untuk mengetahui jumlah lemak padat pada berbagai suhu observasi. Pengukuran SFC menggunakan alat Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Gunstone dan Norris (1983) menyebutkan bahwa pengukuran SFC atau (SFI) penting dalam industri pengolahan lemak. Hal ini dibutuhkan untuk mengontrol proses dalam hidrogenasi, interestifikasi, dan pencampuran. SFC merupakan hal yang penting dari formulasi pembuatan margarin dan sejenisnya. Menurut Hendrikse et. al. (1994), persentase solid yang dihasilkan dari pengukuran dengan NMR dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara respon dari inti hidrogen dalam fase solid dengan respon dari keseluruhan inti hidrogen dalam sampel. Atom hidrogen inilah yang akan didefinisikan sebagai SFC. Dari percobaan yang dilakukan oleh Steidley et. al. (2004) dirumuskan bahwa pengukuran SFI menghasilkan nilai empiris untuk rasio solid/liquid, sedangkan NMR menghasilkan nilai mutlak SFC. Kelebihan lain NMR antara lain dapat melakukan pengujian secara independen menggunakan tube yang berbeda untuk masing-masing perlakuan suhu sehingga menghasilkan waktu pengujian yang lebih efisien. Data yang dihasilkan akan lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan (Hendrikse et. al.1994). Pengukuran SFC dilakukan menggunakan spektrometer NMR dengan resolusi denyut yang rendah (low-resolution pulse). Standar deviasi dari denyut spektrometer NMR tidak boleh lebih lebih besar dari 0.3% padatan. Berdasarkan Nielsen (1998), pengujian SFC pada prinsipnya adalah pendinginan minyak untuk mengetahui jumlah lemak padat pada berbagai tingkat suhu. SFC dapat diukur dengan
18
menggunakan NMR baik yang berdenyut (pulsed) ataupun yang menggunakan gelombang kontinu (continous wave). Pada prinsipnya, sampel diletakkan di dalam alat NMR dan diberikan denyut (pulse) dengan frekuensi radio. Hal ini akan menginduksi sinyal NMR dalam sampel yang kemudian menghasilkan kecepatan gelombang yang berbeda antara padatan maupun likuid dalam minyak tersebut. Sinyal yang dihasilkan dari padatan lemak akan mengalami memiliki kecepatan lebih cepat daripada sinyal yang berasal dari fase likuid nya sehingga kedua komponen tersebut dapat dibedakan. Penentuan SFC menggunakan NMR dilihat dari intensitas relaxation signal yang disebabkan oleh atom hidrogen dalam triasilgliserol. Atom hidrogen yang diinduksi oleh magnet dari NMR akan menyesuaikan arah sesuai dengan kandungan magnetnya lalu menghasilkan sebuah sinyal. Sinyal tersebut dibaca sebagai SFC oleh NMR. Minyak dan lemak, dalam hal ini minyak sawit, terdiri atas triasilgliserol (trigliserida) campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Setiap jenis minyak atau lemak secara umum tidak berbeda gliseridanya, hanya berbeda dalam bentuk wujudnya. Triasilgliserol adalah senyawa ester dari gliserol dan tiga asam lemak (Johnson 1971). Skema pembentukan triasilgliserol dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 5. Skema Komponen Penyusun Triasilgliserol (Chang 2006) Asam lemak dapat berasal dari tipe yang sama maupun yang tidak sama. Sifat triasilgliserol akan tergantung pada perbedaan asam-asam lemak yang bergabung membentuk triasilgliserol. Oil blend yang diformulasikan dapat berasal dari minyak yang berbeda dengan komposisi asam lemak yang berbeda pula. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap profil kandungan minyak padat pada suhu tertentu. Asam lemak yang tidak jenuh memiliki SMP yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak jenuh yang memiliki panjang rantai yang serupa (Pahan 2006). Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat C16:0 (jenuh) dan asam oleat C18:1 (tidak jenuh). Minyak sawit memiliki asam lemak jenuh dan tak jenuh dalam jumlah yang hampir sama. Kandungan asam lemak pada minyak sawit paling tinggi secara umum adalah palmitat dan kemudian oleat diikuti dengan linoleat, stearat, dan miristat (Sambanthamurthi 2000). Minyak sawit memiliki kandungan asam lemak jenuh sekitar 43-56% dari total asam lemak dimana kandungan tertinggi adalah asam palmitat yaitu 40.0-46.0%. Kandungan asam lemak tak jenuh pada minyak sawit terutama berasal dari asam oleat yaitu sekitar 39.0-45.0%. O’Brien (1994) menjelaskan bahwa SFC pada
19
suhu 10°C (50°F) merupakan indikator kualitas penyebaran produk di suhu refrigerator. Suhu 21.1°C (70°C) merupakan indikator ketahanan produk pada suhu ruang penyimpanan atau ruang produksi. Suhu 33.3°C (92°F) merupakan indikator karakteristik produk saat meleleh di dalam mulut. Sedangkan 40°C (104°F) merupakan indikator saat kondisi awal penggorengan. Profil SFC pada oil blend akan menentukan kesesuaian pengaplikasian pada produk akhir. Contoh produk margarin dan shortening serta profil SFC-nya pada berbagai suhu disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Contoh Produk Margarin dan Shortening berserta Profil SFC-nya Tipe produk Stick Margarine Soft Tube Margarine Liquid Oil + 5% Hard Fat Baker's Margarine Roll-In Margarine All Purpose Shortening Modified Lard Lard Icing Shortening Pie Crust Shortening Fluid Shortening Frying Fats Filler Fat Puff Pastry (Chrysam 1996)
Solid (%) 10°C 28 13 7 27 29 23 25 25 34 23 8 42 44 26
Solid (%) 21.1°C 16 8 6 18 24 19 11 20 28 20 8 29 30 24
Solid (%) 26.7°C 12 6 6 16 22 9 12 27 18 25 23
Solid (%) 33.3°C 2-3 2 5.4 12 16 14 6 4 22 12 7 13 13 22
Solid (%) 37.8°C 0 0 4.8 8 12 3 2 18 21
Solid (%) 40°C 11 4 6 3 2.5 -
b. SLIP MELTING POINT (SMP) Titik leleh sempurna (complete melting point) merupakan suhu di mana minyak padat menjadi minyak cair seluruhnya (Lawson 1995). Setiap asam lemak memiliki titik leleh yang berbeda. Asam lemak yang memiliki rantai pendek memiliki titik leleh yang lebih rendah dan mudah larut dalam air. Sebaliknya, semakin panjang rantai asam lemak, maka akan menyebabkan titik leleh yang lebih tinggi. Titik leleh juga tergantung pada derajat ketidakjenuhan. Pahan (2006) berpendapat bahwa asam lemak-asam lemak yang tidak jenuh memiliki titik leleh yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak-asam lemak yang memiliki panjang rantai serupa. Selain itu posisi asam lemak pada molekul gliserol juga mempengaruhi titik leleh. Krischenbauer (1960) berpendapat bahwa struktur asam lemak juga dapat mempengaruhi titik leleh, di mana asam lemak berstruktur trans akan mempunyai titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak yang berstruktur cis. Keragaman komposisi asam lemak dalam suatu jenis minyak membuat minyak tersebut memiliki kisaran dalam titik lelehnya, hal ini yang disebut dengan slip melting
20
point. Keragaman SMP berdasarkan asam lemak dan bentuknya dapat dilihat pada tabel 6.
Jenis
Tabel 6. Beberapa Jenis Asam Lemak dan Titik Lelehnya SMP dalam berbagai bentuk (°C) Atom Karbon a Asam Lemak monoasilgliserol b 1,3-diasilgliserol b
C 4:0 As Butirat C 6:0 Kaproat C 8:0 Kaprilat C 10:0 Kaprat C 12:0 Laurat C 14:0 Miristat C 16:0 Palmitat C 18:0 Stearat C 18:1 Oleat C 18:2 Linoleat C 18:3 Linolenat C 20:0 Arakhidat C 22:0 Behenat C 22:1 Erukat Olein sawitC StearinC a Anonim (2007) b Johnson dan Davenport (1971) c Gunstone dan Norris (1983)
-7.9 -3 16.0-17.0 31.0 44.0-46.0 58.8 63.0-64.0 69.0-70.0 13.0-14.0 -6.5 -12.8 75.5 74.0-78.0 33.8 18.0-20.0 48.0-50.0
63 70.5 77 81.5 35.2 12.3 15.7 -
57.8 66.8 76.3 79.4 21.5 -2.6 -12.3 -
triasilgliserol b 46.4 57.0 63.5 73.1 5.5 -13.1 -24.2 -
2. KARAKTERISTIK KIMIA a. BILANGAN IOD Bilangan iod digunakan untuk mengukur derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak. Bilangan iod akan menunjukkan jumlah rata-rata ikatan rangkap yang terdapat pada sampel minyak sehingga dapat juga digunakan sebagai spesifikasi untuk menentukan jenis minyak atau lemak (Weiss 1983). Jika bilangan iod dari setiap formulasi minyak campuran dapat diketahui, maka komponen asam lemak yang terkandung dalam minyak campuran dapat diketahui derajat ketidakjenuhannya. O’Brien (1994) berpendapat bahwa analisis bilangan iod merupakan cara sederhana dan cepat untuk menentukan kandungan kimia di dalam minyak atau lemak. Zaliha et.al. (2004) melaporkan bahwa bilangan iod juga dapat dipengaruhi oleh proses produksi minyak. Sehingga bilangan iod menjadi salah satu parameter penting dalam pengujian kualitas minyak atau lemak. Nilai minimum bilangan iod CPO menurut SNI 01-3555-1998 adalah sebesar 56 g iod/100 g sampel.
b. BILANGAN PEROKSIDA Chang (2000) menyebutkan bahwa Bilangan Peroksida merupakan salah satu parameter untuk menentukan tingkat kerusakan pada minyak akibat proses oksidasi. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya membentuk
21
peroksida. Peroksida adalah komponen yang dapat mempercepat oksidasi. Bilangan peroksida yang rendah menandakan bahwa kerusakan oksidatif belum dimulai dan masih relatif stabil terhadap oksidasi. Aplikasi termal dapat memicu pembentukan peroksida. Nilai peroksida minyak sawit (RBDPO) maksimum mengacu pada SNI 013555-1998 adalah sebesar 1 meq O2/kg.
c. KADAR ASAM LEMAK BEBAS Kadar Asam Lemak Bebas (ALB) merupakan korelasi dari kadar air sekaligus indikator pendugaan kerusakan minyak lebih lanjut. ALB merupakan senyawa alifatik dengan gugus karboksil. Senyawa ini dapat terikat sebagai gliserida maupun bebas akibat adanya hidrolisis. Nilai asam lemak bebas menunjukkan tingkat kerusakan minyak. Kadar ALB yang tinggi menandakan minyak memiliki mutu buruk. Ketaren (1986) menyatakan bahwa kadar ALB yang tinggi dapat dikurangi dengan proses netralisasi pada minyak tersebut sebelum digunakan sebagai bahan baku. Nilai ALB maksimum margarin menurut SNI 01-3555-1998 adalah sebesar 0.3% dihitung sebagai asam lemak oleat dari 100% lemak yang diuji.
22