Arifni Netrirosa
Tari Saputangan dalam Konteks Tradisi
TARI SAPUTANGAN DALAM KONTEKS TRADISI Arifni Netrirosa Tari Saputangan merupakan salah satu tari tradisional yang terdapat di daerah Talaok, Pesisir Selatan Sumatera Barat. Secara koreografis Tari Saputangan merupakan perkembangan dari Tari Rantak Kudo yang lebih dahulu muncul di daerah tersebut. Tari ini dibawakan oleh sepasang laki‐laki dewasa dengan memakai properti saputangan. Ekspresi Tari Saputangan merupakan ungkapan perasaan emosi dari pengalaman lingkungan yang subjektif, tetapi secara konseptual direfleksikan dan diimajinasikan dalam simbol‐simbol gerak. Tulisan ini lebih jauh akan mengkaji struktur Tari Saputangan dalam konteks tradisi, sebagai salah satu upaya memberi gambaran dan pemahaman tentang kedudukan tarian yang mencerminkan perilaku, tradisi, dan pandangan hidup bagi masyarakatnya. Pendahuluan Tari Saputangan merupakan salah satu tarian yang terdapat di daerah Talaek, Kecamatan Bayang, Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat. Tari ini diperkirakan sudah cukup lama ada dan berkembang di dalam masyarakatnya dengan pola-pola tradisi. Tetapi Tari Saputangan tidak bisa dipastikan siapa penciptanya dan kapan diciptakan. Tari tradisional ialah semua tarian yang telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup lama, yang selalu bertumpu pada pola-pola tradisi yang telah ada (Soedarsono, 1986:93). Dengan mengacu pada pendapat yang dikemukakan di atas, jelas Tari Saputangan dapat dikelompokkan pada tari tradisional. Secara koreografi, Tari Saputangan merupakan perkembangan dari Tari Rantak Kudo. Hal tersebut dapat dilihat dari pola gerak Tari Saputangan yang menggunakan gerak Tari Rantak Kudo seperti; gerak titi batang, gerak sikuteteh dan gerak rantak senjang (Yusfil, 1992:12). Dari struktur tari ada bagian-bagian gerak yang saling terkait satu sama lainnya dan gerak tersebut memiliki makna naratif. Tetapi ada juga sebagian gerak yang merupakan variasi makna naratif, dan sebagian gerak lainnya merupakan variasi saja dalam Tari Saputangan. Tari pada dasarnya merupakan kegiatan kreatif dan konstruktif yang dapat menimbulkan intensitas emosional dan makna (Amir Rohkyatmo, 1986:73). Tari saputangan dibawakan oleh sepasang penari laki-laki dewasa yang dikenal dengan sebutan penari tradisi. Tari ini termasuk jenis tari hiburan, karena dalam pertunjukannya tidak terkait langsung dengan upacara apapun. Tari ini dilengkapi dengan properti saputangan, dan gerakan-gerakan tari sudah diberi nama sesuai dengan lingkungan alam dan kehidupan sosial masyarakatnya. Secara filosofis sulit untuk dimengerti makna dari gerak-geraknya. Dalam teori komposisi tari, hadirnya gerak dapat ditimbulkan karena beberapa faktor rangsang. Adapun rangsang tersebut adalah rangsang visual, kinestetik, rabaan, dan gagasan (Ben Suharto, 1985: 20 – 21). Berpedoman pada pendapat di atas, gerak di dalam Tari Saputangan timbul dari rangsang visual dan rangsang kinestetik. Rangsang visual bisa dilihat dari nama-nama gerak, seperti: titi batang, yang mengacu pada orang yang sedang meniti di pematang sawah, jinjieang bantai, yang mengacu pada orang yang sedang menjinjing daging saat Hari Raya Idul Adha. Gerak siganjua lalai, yang mengacu pada orang atau seorang gadis yang sedang berjalan dengan lemah gemulai, dan lain-lain. Sedangkan rangsang kinestetik bisa dilihat dari rangsang gerak Tari Saputangan itu sendiri dan juga dari peniruan gerak tari lain seperti, peniruan gerak Tari Rantak Kudo yang banyak dijumpai di dalam Tari Saputangan, gerak titi batang, jinjieang bantai, sikuteteh, dan lain-lain.
Halaman 302
Etnomusikologi, Vol.1 No. 3, Januari 2006: 334-342
Struktur dan Isi dalam Bentuk Struktur adalah susunan yang merupakan proyeksi kekuatan-kekuatan dalam, ke dalam bentuk luar ungkapan mereka. Hal ini merupakan gabungan elemen-elemen penggerak ke dalam satu arti penuh, yaitu pola yang dapat dilihat (Margaret, 1985:138). Berdasarkan pendapat Margaret, struktur gerak Tari Saputangan dapat dikelompokkan menjadi 7 ragam gerak pokok, seperti: - titi batang - sikuteteh - alang manyemba - lenggang karaie - siganjua lalai - basitinjek - rantak senjang Selain 7 gerak pokok tersebut, ada juga satu gerak sambah pembuka yang selalu disajikan di awal tarian dan satu gerak sambah penutup yang disajikan setelah tari berakhir. Urutan gerak pokok tersebut bukan merupakan urutan yang sudah baku, tetapi dalam pertunjukannya bisa saja urutan gerak berubah sesuai dengan kemauan si penari dan bahkan bisa diperpanjang atau diperpendek hitungan geraknya. Dari 7 gerak pokok di atas, gerak titi batang merupakan gerak penghubung dari ragam-ragam gerak pokok tersebut dan dianggap sebagai gerak inti. Setiap penari dalam pertunjukan memiliki berbagai macam karakter untuk pengungkapan geraknya, walaupun pada dasarnya ragam gerak yang dihasilkan sama wujudnya. Wujud lahiriah pada dasarnya adalah struktur dimana eksistensi seni tari itu menyatakan dirinya. Sedangkan struktur itu tidak ada artinya tanpa adanya isi, yang merupakan ekspresi kejiwaan penari di dalam menghidupkan seni tari (Yulianti Parani, 1975:55). Dengan demikian, isi dalam bentuk merupakan satu kesatuan yang secara konstruktif terwujud dari tataan gerak-gerak yang dapat memberi pengungkapan yang lebih lengkap dan berarti. Struktur tari umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu; pembuka, isi, dan penutup. Tetapi dalam tari saputangan, struktur tari dibagi menjadi 4 bagian, terdiri dari: awal tarian, pokok (isi tarian), akhir tarian, dan penutup. Kemudian juga dijumpai tataan babakan, di mana setiap babak ditandai dengan adanya perubahan tempo musikalnya. Babak I gerakannya tanpa memakai saputangan, dan babak II gerakannya memakai saputangan. Antara babak I dan babak II tidak terlalu panjang dan cenderung terjadi pengulangan dari ragam-ragam geraknya. Untuk melihat isi dan bentuk Tari Saputangan, dapat dianalisis secara struktural dengan menentukan struktur gerak dan dibagi menjadi: a.
Bentuk Pokok I Bentuk pokok I dalam babakannya tidak memakai saputangan, tempo gerakannya lambat dan sedang, seperti: • gerak sambah pembuka • gerak titi batang • gerak sikuteteh • gerak alang mayemba • gerak kantak sanjang • gerak sambah penutup b. Bentuk Pokok II Bentuk pokok II dalam babakannya memakai saputangan dan pengembangan dari bentuk pokok I. Tempo geraknya sedang dan cepat seperti: • gerak lenggang karaie • gerak siganjua lalai • gerak basitinjek • gerak rantak senjang
Halaman 303
merupakan
Arifni Netrirosa
Tari Saputangan dalam Konteks Tradisi
c.
Bentuk pengulangan (pengulangan gerak) Pengulangan pada gerak sering terjadi seperti: gerak titi batang, jinjiang bantai, sikuteteh dan alang mayemba. Pengulangan gerak ini dijumpai dalam bentuk pokok I maupun bentuk pokok II. Bila dirinci lebih jauh, Tari Saputangan cukup rumit untuk dikenali sambungansambungannya serta penggalan-penggalan gerak satu sama lainnya. Tari Saputangan merupakan rentetan pola gerak yang sambung-menyambung dan sering berulang. Dalam bentuk pokok I dan II, banyak muncul gerak titi batang sebagai gerak penghubung dengan gerak lain. Gerak titi batang memiliki beberapa motif gerak yang diberi variasi atau tambahan motif. Kemudian gerak lenggang karaie juga sering berulang pada bentuk pokok II. Menurut Jacqueline Smith, (terjemahan Ben Suharto 1985:35), motif adalah pola gerak sederhana, tetapi di dalamnya terdapat sesuatu yang memiliki kapabilitas untuk dikembangkan. Bila diuraikan lebih jauh, motif adalah bagian terkecil dari sebuah tari dan dikembangkan menjadi sebuah frase dan selanjutnya dikembangkan lagi menjadi kalimat gerak. Kemudian dalam gerak tersebut sudah terjadi penyelesaian yang bermakna, maka disebut sebagai gugus gerak. Tari Saputangan memiliki 43 motif gerak, 12 frase gerak, 7 kalimat gerak, dan 5 gugus gerak (Yusfil, 1992:25). Secara konsep, tradisi Tari Saputangan selalu diawali dengan gerak sambah pembuka dan ditutup dengan gerak sambah penutup. Di dalam Tari Saputangan belum dijumpai pembaharuan dalam merangkai gerak. Tetapi kalau diamati lebih jauh, senimanseniman tradisi tersebut menyusun gerak Tari Saputangan telah mempertimbangkan faktor-faktor dan elemen penataan tari dengan jelas dalam membangun struktur-struktur kecil pada masingmasing babak. Ditinjau lebih jauh sasaran ke arah pembabakan disain dramatik sudah tersusun dengan baik dan secara koreografis sudah memberikan ciri-ciri dan ikatan-ikatan dalam pola struktur tarinya. Tari Saputangan Sebagai Pernyataan Imajinatif Tari saputangan merupakan pernyataan imajinatif penata tari yang tertuang lewat kesatuan simbol-simbol baik melalui gerak, tenaga, waktu maupun ruang. Simbol dalam kesenian merupakan simbol yang maknanya tersendiri dan tidak terpisah dari nilai-nilai latar belakang budayanya. Gerak Tari Saputangan merupakan kristalisasi dari aktivitas masyarakatnya. Di Minangkabau, segala sesuatu yang menyangkut hidup dan kehidupan selalu berlandaskan kepada alam sesuai dengan falsafah adat Minangkabau “alam takambang jadi guru” (Navis, 1984:59). Jadi, secara umum budaya Minangkabau tidak pernah lepas dan selalu berpedoman pada alam sebagai sumber ide. Penciptaan gerak Tari Saputangan bersumber dari alam, seperti kegiatan sehari-hari masyarakat dan perilaku binatang. Seperti gerak titi batang, yang merupakan cerminan dari perilaku masyarakat sedang meniti pematang sawah. Lalu gerak alang mayemba, cerminan dari perilaku burung elang yang sedang menangkap mangsanya. Nama-nama gerak Tari Saputangan mencerminkan gerakan-gerakan yang artistik sesuai dengan ungkapan, maksud atau makna yang terkandung, dan diekspresikan melalui simbol ragam gerak pokok, seperti: titi batang, sikuteteh, alang mayemba, lenggang karaie, siganjua lalai, basitinjek dan rantak senjang. Secara fisik, bentuk-bentuk gerak di atas sudah terekspresikan dengan sempurna. Sementara secara ilmu, seniman tari masa lalu sudah menciptakan motif-motif gerak sesuai dengan teori-teori tari yang dikemukakan Jacqueline yaitu menggunakan rangsang visual dan kinestetik seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Ekspresi dalam Tari Saputangan merupakan ungkapan perasaan emosi dari pengalaman lingkungan yang subjektif, tetapi secara konseptual mereka refleksikan dan imajinasikan ke dalam simbol-simbol gerak. Musik Pengiring Tari Peranan musik dalam sebuah tari sangat penting, karena bisa dirasakan kehadiran tari tanpa musik terasa hambar dan tidak menarik untuk ditonton. Sejak zaman prasejarah sampai sekarang dapat dikatakan di mana ada tari, di sana ada musik. Musik dalam tari bukan hanya sekadar iringan, tetapi musik adalah partner tari yang tidak diiringi oleh musik dalam arti yang sesungguhnya, tetapi ia pasti diiringi oleh salah satu elemen dari musik (Soedarsono, 1986:109). Halaman 304
Etnomusikologi, Vol.1 No. 3, Januari 2006: 334-342
Kemudian dalam perkembangannya dibedakan antara bunyi yang lahir dari penari sendiri dan bunyi yang lahir dari alat musik, yaitu iringan internal dan iringan eksternal. Dengan perkembangan semacam di atas hubungan antara tari dan musik kemudian menjadi lebih rumit lagi. Hubungan yang kemudian dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan akan ritme, tempo, suasana, gaya, bentuk, dan inspirasi (Sal Murgiyanto, 1986:131). Di dalam Tari Saputangan, musik sebagai pengatur tempo gerak dan sebagai patokan perpindahan babak ke babak berikutnya. Struktur metrikal musik Tari Saputangan berfungsi memperkuat struktur metrikal tarian atau tempo musik yang bersesuaian dengan tempo gerak tarinya. Beberapa instrumen yang dipakai dalam musik Tari Saputangan, yaitu: seperangkat talempong pacik yang terdiri dari 5 buah talempong, 1 alat tiup, dan 2 buah gendang. Tempo musik Tari Saputangan juga bervariasi dan bisa dilihat melalui geraknya seperti: • gerak sambah pembuka - lambat • gerak titi batang - sedang • gerak sikuteteh - sedang • gerak alang manyemba - sedang • gerak lenggang karaie - sedang dan cepat • gerak siganjua lalai - sedang • gerak basitinjek - cepat • gerak rantak senjang - sedang dan cepat • gerak sambah penutup - lambat Tata Busana Busana memegang peranan penting dalam struktur tari dan busana yang dipakai tidak terlepas dari pakaian adat. Busana Tari Saputangan, terdiri dari: • baju taluak balango (gunting cina), berwarna hitam, tanpa saku (kantong), dan berlengan lapang (longgar). • sarawa galembong (celana longgar), berwarna hitam, tanpa kantong dan bagian kaki berukuran kecil. • deta (destar), kain berbentuk segitiga yang diikatkan di kepala dan berwarna hitam. • cawek (ikat pinggang), digunakan untuk mengikat celana galembong dan juga berwarna hitam. • saputangan berukuran standar, warna putih dengan motif kotak-kotak yang dipakai untuk menari. Fungsi Tari Saputangan Tari Saputangan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kesenangan, keindahan, dan hiburan. Menurut Richard, dalam (Hermin Kusmayati, 1990:2), fungsi tari adalah: • Sebagai suatu bentuk penguat sosial, suatu acara mengungkapkan kesetiaan dan kekuatan nasional atau suku. • Suatu bentuk seni, salah satu jalan keluar pengekspresian diri serta kreativitas pribadi, di antara berbagai cabang utama warisan budaya, tari mungkin menjadi sumber karya besar yang diselenggarakan sebagai bagian dari tradisi yang terus berlanjut, atau dasar untuk melanjutkan eksperimentasi artistik. • Dibawakan sebagai suatu cara pengungkapan kegembiraan yang luar biasa melalui fisik, kekuatan, dan keterampilan. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Tari Saputangan diciptakan karena memiliki fungsi bagi masyarakat pendukungnya sebagai suatu ekspresi seni dan lebih jauh merupakan ungkapan batiniah dan ekspresi kultural. Penari Tari Saputangan ditarikan oleh penari laki-laki dan berjumlah genap. Terkait dengan penari laki-laki, hal ini merupakan pengaruh dari sistem matrilineal yang dianut masyarakat Minangkabau. Sistem matrilineal tersebut memposisikan kedudukan wanita lebih tinggi di
Halaman 305
Arifni Netrirosa
Tari Saputangan dalam Konteks Tradisi
lingkungan masyarakatnya. Secara kultural wanita mengurusi harta warisan keluarga besarnya, sementara kaum laki-laki mengurusi anak kemenakan, belajar di surau (tempat belajar agama), dan di sasaran (tempat latihan ketangkasan atau pencak silat). Oleh adat ditegaskan bahwa wanita tidak boleh menari, karena menari merupakan pekerjaan yang bersifat menghibur di masyarakat Minangkabau apalagi yang dihibur itu adalah kaum laki-laki dan hal ini jelas bertentangan dengan adat. Wanita secara adat dipandang sebagai figur “bundo kanduang” yang dihormati dan harus menjaga perilakunya secara adat dan agama. Keterikatan secara adat tersebut membatasi gerak-gerik kaum wanita dan memberi fasilitas dan motivasi terhadap kehidupan kaum laki-laki untuk berkembang dalam seni bela diri, seni tari, seni karawitan, dan seni sastra. Kemudian secara umum kegiatan di atas dilakukan waktu malam hari, sedangkan wanita dipandang tidak baik dan tidak layak keluar pada malam hari, apalagi dengan mempertontonkan kemampuan dan kepandaiannya di hadapan orang banyak. Akhirnya hal ini berdampak pada kesenian tradisional di Minangkabau dan salah satunya Tari Saputangan, yang sampai sekarang tetap disajikan oleh penari laki-laki. Dalam penyajiannya Tari Saputangan selalu ditarikan secara berpasangan. Jumlah genap adalah simbol dari sifat keseimbangan, keadilan, kekokohan, dan sebagainya, yang ada pada budaya Minangkabau. Jumlah genap ini melambangkan keseimbangan yang kokoh, misalnya keseimbangan baik-buruk, kiri-kanan, pulang-pergi, dan sebagainya (Murni, 2001:32). Penutup Minangkabau merupakan salah satu daerah yang banyak menyimpan kekayaan seni tari yang dapat disumbangkan pada masyarakat luas. Tari Saputangan merupakan salah satu tari tradisi yang sudah tertata dengan sempurna berdasarkan teori-teori tari oleh seniman-seniman tari pada masa lalu. Tari Saputangan adalah pengembangan dari Tari Rantak Kudo yang sudah ada sebelumnya. Tari Saputangan merupakan pernyataan imajinatif penata tari yang diungkapkan melalui simbol-simbol gerak yang berpedoman pada alam. Berdasarkan strukturnya dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: awal tarian, pokok atau isi tari, akhir tari, dan penutup. Dalam penyajiannya dibagi menjadi dua babak, babak I tanpa memakai saputangan dan babak II memakai saputangan dengan sasaran babakan desain dramatik. Secara struktural, Tari Saputangan banyak terdapat pengulangan motif gerak, walaupun pada dasarnya juga mempunyai ragam gerak pokok yang terdiri dari gerak titi batang, gerak sikuteteh, gerak alang menyemba, gerak lenggang karaie, gerak siganjua lalai, gerak basitinjek, gerak rantak senjang, dan satu gerak sambah pembuka, satu gerak sambah penutup. KEPUSTAKAAN Hakimy, Idrus, Datuk Penghulu. 1977. Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Minangkabau, Bandung: Remaja Rosdakarya. Holt, Claire, 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Kusmayati, A. M. Hermien. 1990. Makna Tari dalam Upacara di Indonesia. Ilmiah Dies Natalis Ke VI.
Yogyakarta: Pidato
Margaret. N. 1985. Dance: A Creative Art. Experience. Medison. Wisconsin: University of Wisconsin Press. Murgiyanto, Sal. 1992. Dasar-Dasar Koreografi Tari. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Navis, A. A. 1984. Alam Takambang Jadi Guru. Jakarta: Pustaka Grafiti Press. Parani, Yulianti. 1975. Sejarah Tari Umum. (Diktat Kuliah). Jakarta: Pendidikan Tinggi Kesenian.
Halaman 306
Etnomusikologi, Vol.1 No. 3, Januari 2006: 334-342
Rohkyatmo. Amir. 1986. Bagaimana Menyajikan Pementasan Tari yang Baik. Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Royce, Anya Peterson. 1989. The Antropology of Dance. Bloomington & London University Press. Smith, Jacqueline. 1985. Komposisi Tari. Terj. Ben Suharto. Yogyakarta: Ikalisti. Soedarsono. 1976. Pengantar Pengetahuan Tari. Yogyakarta: ASTI.
--------------. 1986. Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Jakarta. Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Widaryanto, F. X. 2002. Merengkuh Sublimitas Ruang. Bandung: STSI Press. Yusfil. 1992. Analisis Struktural pada Tari Saputangan Tradisi (Laporan Penelitian). Padang Panjang). ASKI.
Halaman 307