TANAH TERLANTAR MENURUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO. 36 TAHUN 1998 DAN PERMASALAHAN-PERMASALAHAN YANG TERDAPAT DI LAPANGAN CHALISAH PARLINDUNGAN, SH.,MS. Fakultas Hukum Bagian Hukum Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Landasan UUPA adalah Pancasila dan UUD 45 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal 1 ayat 3 UUPA berbunyi hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Hubungan yang bersifat abadi pengertiannya hubungan bangsa Indonesia bukan hanya dalam generasi sekarang saja tetapi generasi seterusnya untuk anak cucu kita. Oleh karena itu sumber daya alam harus dijaga jangan sampai dirusak atau diterlantarkan UUPA No.5 tahun 1960 hak atas tanah terhapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan. Berdasarkan uraian diatas tanah tidak boleh menjadi barang komoditas ataupun spekulasi yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebesarbesarnya, untuk itulah UUPA No.5 tahun 1960 telah menentukan larangan penguasaan tanah melampaui batas, karena itu tidak seorangpun yang mempunyai hak yang sah untuk memiliki lahan yang berlebihan. GBHN 1998 dalam bab IV tentang pembangunan 5 tahun ke 7 sub 19 mengenai pertanahan menyatakan : Penguasaan dan penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan pemanfaatannya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penguasaan atas tanah oleh negara sesuai dengan tujuan pemanfaatannya perlu memperhatikan kepentingan masyarakat luas dan tidak menimbulkan sengketa tanah. Penataan penggunaan tanah dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dengan memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian termasuk berbagai upaya lain untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah dan penelantaran tanah. Penataan penguasaan dan penggunaan tanah untuk pembangunan sekala besar yang mendukung upaya pembangunan nasional dan daerah dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan aspek politik, sosial, pertahanan keamanan serta pelestarian lingkungan hidup. Penataan penguasaan dan penggunaan tanah melalui kegiatan redistribusi tanah atau konsolidasi tanah yang disertai pemberian kepastian hak atas tanah diarahkan untuk menunjang dan mempercepat pengembangan wilayah, penanggulangan kemiskinan dan mencegah kesenjangan penguasaan tanah . Jika ketentuan GBHN tersebut diatas dikaitkan dengan pasal 6 UUPA No.5 tahun 1960 merumuskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dalam penyelesaian UUPA dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh semata-mata mempergunakan tanah untuk kepentingan pribadinya, pemakaian atau tidak dipakainya tanah yang mengakibatkan kerugian masyarakat.
© 2003 Digitized by USU digital library
1
Dalam kehidupan masyarakat tanah memegang peran yang sangat penting, untuk itu memerlukan penanganan yang serius dan professional. Dengan meningkatnya pembangunan disegala bidang, baik pertanian pemukiman perindustrian maka kebutuhan akan tanah tanah semakin meningkat pula. Dengan meningkatnya kebutuhan akan tanah semakin meningkat pulalah rnasalah-masalah yang ditimbulkan oleh tanah yang harus ditangani dengan segera. Salah satu masalah yang perlu ditangani dengan segera adalah masalah tanah terlantar, karena masalah ini sangat rumit sekali jika melihat adanya estalasi dari harga-harga tanah memuat masalah untuk dinyatakan tanah menjadi terlantar. Terlantar dalam arti tanah tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal oleh pemegang hak. Dalam perspektif logika hukum Agraria mengenai tanah tersebut dapat mempedomani apa yang uraikan dalam UUPA No.5 tahun 1960, pasal 2 ayat 2, pasal 6, 7, 10, 14, I5, 18, 19 sesuai dengan fungsi sosial hak atas tanah, bahwa dilarang menguasai tanah melampaui batas larangan absente peraturan tata guna tanah pemeliharaan tanah dan keharusan penaftaran tanah. Disamping ketentuan hukum tersebut diatas juga dapat mempedomani beberapa ketentuan lain misalnya: 1. Undang-undang No.5 tahun 1960 dan PP.No.224 Tahun 1961 tentang pembatasan hak atas tanah yang lebih terkenal dengan ketentuan landreform baik maksimum penguasaan tanah, larangan absenteeisme dan redistribusi tanah untuk para petani. 2. Undang-Undang No.3 tahun 1972 tentang ketentuan pokok transmigrasi. 3. Keppres No.54 tahun 1980 tentang pencetakan sawah. 4. Instruksi Menteri Dalam Negeri No.2 tahun 1982 tentang pengertian tanah didaerah perkotaan yang dikuasai oleh badan hukum/perorangan yang tidak dimanfaatkan/diterlantarkan . 5. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 593/570 tanggal 22 Mei 1984, tentang pencabutan wewenang Kepala Kecamatan untuk memberikan izin membuka tanah seperti yang diatur oleh PMDN No.6 tahun 1972. 6. Keputusan Menteri Dalam Negeri No.268 tahun 1982 tanggal 17 September 1982 tentang pokok-pokok kebijaksanaan penertiban/pemanfaatan tanah yang dicadangkan bagi dan atau dikuasai oleh perusahaan-perusahaan. 7. Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, menteri Kehakiman No.39 tahun 1982 No. 70/KPTS/UM/2/1982 No. M.01/UM/02.06/1982, tentang syarat-syarat khusus pemberian Hak Guna Usaha baru untuk perusahaan kebun besar dalam rangka melaksanakan Keppres No.32 tahun 1979. 8. Undang-Undang No.4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup. 9. Keppres RI No.26 tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional dan Keputusan Badan Pertanahan Nasional No.1 tahun 1989 tentang tata kerja Kanwil BPN Propinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kotamadya. 10. PP.RI. No.24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. 11. PP.RI No.36 tahun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.
© 2003 Digitized by USU digital library
2
I.A. PERMASALAHAN 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.36 tahun 1998 tidak/belum menjelaskan untuk katagori tanah terlantar jangka waktunya berapa tahun. 2. Untuk di Desa dan Perkotaan beturn diperinci berapa luas dan berapa tahun tanah terlantar. 3. Peraturan Perundangan Republik Indonesia No.36 tahun 1998 untuk tanah terlantar baru hanya untuk tanah Hak Milik. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Bagaimana untuk tanah-tanah terlantar untuk Hak atas tanah yang lain a. tanah waqaf b. tanah yang dipergunakan untuk Real Estate, tanah sudah dibebaskan tetapi ternyata hanya sebagian yang dibangun dan sebahagian lagi hanya menjual tanah (spekulasi tanah). 4. Tanah-tanah adat dan Hak Ulayat belum ada katagori yang disebut sebagai katagori tanah terlantar. II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam pasal 1 ayat 5 PP.RI. No.36 tahun 1998 difinisi dari Tanah Terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kriteria tanah telantar dalam pasal 3 hanyalah Hak Milik. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan. Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifatnya dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Identifikasi adanya tanah yang dapat dinyatakan terlantar (pasal 9) dilakukan oleh Kantor Pertanahan baik secara kedinasan maupun berdasarkan perintah dari Menteri atau Kepala Kantor Pertanahan Wilayah atau laporan dari Instansi Pemerintah lain atau dari masyarakat. Identifikasi tersebut meliputi: a. Nama dan alamat atau badan hukum yang menjadi pemegang hak atau badan buku yang menjadi pemegang hak atau telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang bersangkutan. b. Letak, luas ,status hak dan keadaan fisik tanah yang bersangkutan. c. Keadaan yang mengakibatkan tanah yang bersangkutan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksud pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, dan pasal 8 Sesudah diidentifikasi tanah terlantar, maka disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Negara, lalu apa tindakan yang dilakukan. Tanah terlantar tersebut bergantung kepada keputusan Menteri Negara Agraria, berapa lama tanah terlantar menurut Peraturan Pemerintah secara umum. Kalau ditemukan tanah terlantar, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Negara memberi peringatan secara tertulis dalam jangka waktu 12 (dua relas) bulan dalam rangka pemberian hak. Kemudian kalau belum juga dijalankan maka diberi lagi peringatan yang kedua dalam jangka waktu nya selama 12 (dua belas) bulan lagi dan apabila tidak dilaksanakan, maka Menteri Agraria akan memberi kesimpulan kepada pemegang hak tersebut maka akan dikenakan melalui pelelangan umum atau tanah yang sudah dinyatakan terlantar tersebut maka tanah ini langsung dikuasai oleh Negara. Kepada pemegang atas hak dberi ganti rugi, berdasarkan yang
© 2003 Digitized by USU digital library
3
telah dibayar. Kalau pemegang hak telah melaksanakan secara phisik, maka akan diganti rugi. Ganti rugi dibebankan kepada pemegang hak yang baru. Sebagaimana tanah terlantar tersebut, maka Menteri Negara Agraria juga ada mengeluarkan Surat Edaran No. 500/1953 tanggal 27 juni 1959 tentang pemanfa'atan tanah kosong untuk tanaman pangan. Dalam rangka Peraturan Menteri No.3/98 yang menyebutkan bahwa tanah kosong yaitu Hak Milik, Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan, dan Hak pakai yang disebutkan dalam pasal 2, disebutkan manusia yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan: a. menunjang pembangunan sosial ekonomi (pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan lain-lain) bahwa pemegang hak atau yang sebagai penguasaan tanah wajib seseorang dengan peruntukan digunakan untuk keperluan, sesuai dengan tujuan tidak boleh dengan tanah yang kosong, yang dilaksanakan sendiri dengan pihak lain, sesuai penguasaan tanah yang tak digunakan, Pemerintah Daerah wajib mengusahakan tanah untuk tanaman pangan dan kalau juga juga tidak dimanfaatkan untuk dipergunakan Peraturan Pemerintah No.36/98 tentang penerapan tanah terlantar untuk tanaman pangan. Walaupun belum tuntas tanah terlantar diberi peringatan pertama, kedua dan ketiga, dan jika belum bisa maka dibuat untuk tanaman pangan. Atau boleh juga menanam tanaman pangan atau kerjasama dengan orang lain atau diberikan dengan Pemda. Dalam UUPA sebenarnya banyak pasal-pasal yang menyebutkan tentang tanah terlantar, misalnya berakhirnya hak atas tanah karena ditelantarkan, hak atas tanah yang sudah dipunyainya. Dalam pasal 10 UUPA menyebutkan: 1. Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan . 2. Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat 1 pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan pemerintah. Dalam pasal 10 UUPA adalah merupakan suatu ketentuan untuk mengusahakan sendiri atau apa yang dalam bidang pertanian dapat dikatakan sebagai land-to-the tillers, dan dalam kaitan dengan pengertian agraria pada umumnya yang mencakup bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya bahwa setiap unsur dari apa yang termasuk dalam pengertian agraria itu harus diusahakan atau dimanfa'atkan secara maksimal. Dan dengan larangan latifundia tersebut akan dapat kita lihat penangkalan lahan-lahan terlantar, karena tidak sesuainya apa yang ingin dikembangkan oleh para tuan tanah dengan soorang yang ingin menyewa atau membagi hasil, karena terjadinya suatu pemerasan kepada mereka yang akan menyewa/bagi hasil akibat harga yang ditawarkan oleh tuan tanah tidak sesuai/tidak cukup untuk kehidupan mereka. Akibatnya tanah tersebut tidak dikerjakan dan menjadi terlantar. Demikian pula kalau tanah tersebut ada di desa lain dan tidak dikerjakan maka tanah tersebut menjadi absentee dan absentee ini mengarah kepada tidak dikerjakan dan menjadi terlantar . Prinsip yang dikembangkan dalam pasal 10 ini seharusnya kelak dalam peraturan perundangan yang ada haruslah secara tegas menyatakan dalam kriteria yang bagaimana dapat dinyatakan tanah tersebut dalam keadaan tidak dikerjakan/ diusahakan sendiri secara aktif. Dalam hal-hal apa saja yang merupakan perkecualian seperti juga yang dijelaskan dalam ayat 3 pasal 10 ini. Demikian pula dalam Repelita V arah dan strateginya disebutkan:
© 2003 Digitized by USU digital library
4
1. Mengembangkan konsep penataan ruang yang berwawasan pembangunan, lingkungan dan b. menunjang kelestarian dan meningkatan mutu lingkungan hidup. c. berwawasan manusia (mempersiapkan dan memperhitungkan unsur manusia dalam pembangunan) . Dengan demikian jelaslah kita ingin optimalisasi atas land use, water use dan air use dengan berwawasan lingkungan hidup (pasal 14 dan 15 UUPA). 2. Pasal 27 UUPA menyatakan hak milik hapus bila: a. tanahnya jatuh pada negara karena (ditelantarkan). 3. Pasal 34 UUPA menyatakan hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan 4. Pasal 40 UUPA rnenyatakan hak Guna Bangunan di hapus karena ditelantarkan ..43 tentang Hak Pakai, demikian pula dalam ketentuan 44-45 UUPA tentang hak sewa tidak ada dibicarakan tentang berakhirnya hak atas tanah karena ditelantarkan, namun secara analoog dapat kita terapkan bahwa yang demikian juga berlaku untuk kedua pranata hukum tersebut. Karena Hukum Adat kita mengenal adanya tanah terlantar tersebut dan demikian pula pasal 6 UUPA telah mempertegas tentang adanya fungsi sosial hak atas tanah, termasuk juga seluruh aspek dari Agraria. Dan berpijak dari ketentuan Hukum Adat tersebut tentulah kita segera menetapkan suatu peraturan perundangan tentang tanah terlantar tersebut. baik untuk kepastian hukum ataupun untuk menangkal adanya tanah absentee baru ataupun dimanfa'atkannya secara optimal tanah tersebut terlebih-lebih lagi tanah-tanah pertanian yang subur. Dalam pasal 5 dan 3 UUPA yang mengakui bahwa Hukum Agraria itu adalah hukum adat yang telah disesuaikan dengan kemajuan zaman dan demikian pula tentang pengakuan akan hak ulayat, dimana didalamnya tergantung masalahmasalah dan penyelesaian akan kasus- kasus tanah terlantar tersebut. Dengan telah diundangkannya peraturan pelaksana dari pendaftaran tanah (pasal 19 UUPA), yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.36 tahun 1998, maka sifat komunal yang terdapat dalam hukum adat tidak lagi terdapat seperti yang ada didalam P.P. N0.36 tahun 1998 yang telah menuju kepada individualisasi dari hak-hak atas tanah dengan telah terdaftarnya hak-hak atas dengan telah terdaftarnya hak-hak atas tanah tersebut dan berbeda dengan hukum adat yang lebih menonjolkan sifat komunal dari hak-hak atas tanah. Sifat komunal hak atas tanah dalam hukum adat begitu menonjol, sehingga sudah ada istilah-istilah dari tanah terlantar misalnya di daeah Tapanuli disebut dengan nama salipi ni tartar di Sulawesi orang menyebutnya dengan nama tanah kebo. Sebenarnya dalam beberapa daerah diIndonesia istilah tanah terantar tersebut sudah ada, tetapi tidak secara terinci menyebutnya dan sanksi apa yang oleh Pengetua Adat atau tindakan apa yang akan diberikan untuk tanah-tanah terlantar tersebut. Menurut kepustakaan Belanda dapat kita baca dari: Pandecten 1 nomor 1524 menyebutkan jika seorang pemilik tanah-tanah meninggalkan kampungnya, maka haknya atas tanah-tanah yang dibangun atau yang tidak dibangun menjadi berakhir tetapi apa yang dibangunnya dan ditanamnya seperti rumah, pohon kelapa, kopi dan lain-lainnya dapat dijualnya kepada orang lain atau didirikannya kepada orang lain. Pandecten I nomor 1616 menyebutkan tanah-tanah sawah di daerah Grobogan semenjak zaman baik dibiarkan terlantar, dan hanya dikerjakan bahagian tertentu diusahakan, yang diberikan oleh masyarakatnya untuk waktu 3 hingga 5 tahun akan jatuh kembali kepada masyarakatnya. Pandecten van het Adatrecht III no. 1642, menyebutkan bahwa didaerah jambi yang diterima sebagai tanah terlantar, apabila:
© 2003 Digitized by USU digital library
5
1. Apabila ladang tersebut dari hutan, hutan tua, belukar, dua atau tiga tahun kemudian dibiarkan tidak diusahakan . 2. Apabila sawah 5 tahun tidak dikerjakan . Pandecten 1664, sawah maupun ladang di Palembang jika menjadi hutan kembali, maka kembali ke tangan masyarakat hukumnya. III. BEBERAPA KASUS TANAH TERLANTAR YANG TERDAPAT DI LAPANGAN 1. Kasus di Sukaramai II Medan Daerah ini semenjak tahun 1949 telah dihuni oleh masyarakat dan makin lama makin banyak tanah tersebut dihuni oleh masyarakat yang meliputi lebih kurang seluas II HA dan terdiri kira-kira 1000 KK. Tanah tersebut asal mulanya adalah merupakan tanah hutan, yang dbuka sendiri oleh masyarakat tersebut Daerah tersebut juga dikenal nama Loh A Yok, dihuni campur dari pribumi maupun warga negera keturunan Cina. Surat-surat yang dipegang oleh masyarakat tersebut berupa-rupa ada yang jual-beli dibawah tangan sudah beberapa tangan, ada sural penghulu, ada surat keterangan Camat dan ada juga yang sudah ada setifikat tanah. Pada tahun 1979 lokasi ini terbakar atau ada juga yang mengatakan sengaja dibakar, hal ini dapat dikatakan demikian karena api sepertinya melonjat dari satu rumah kerumah yang lain dengan iarak lima rumah dan begitulah seterusnya, dan sebentar saja lokasi tersebut habis menjadi abu, dan masyarakat tidak diberi kesempatan sedikitpun untuk mengambil barang-barang miliknya bahkan hanya baju yang ada dibadannya saja. Masyarakat yang sudah kehilangan rumah tersebut ingin kembali membangun rumah diatas tanah mereka, dan hal ini dilarang oleh Pemda setempat mereka hanya dibangun barak-barak sementara . Beberapa bulan berselang keluarlah putusan Pengadilan Negeri dengan puuan serta merta tanah tersebut harus dikosongkan dan ada juga konsinyasi, yang mana masyarakat boleh mengambil uang ganti rugi sebesar RP.40.000,-/ M2. Jika dalam waktu yang sudah ditentukan uang yang yang ada di pengadilan tidak diambil maka uang akan hilang dan bangunan yang masih ada dan dihuni oleh pemiliknya akan segera dibuldozer, masyarakat panik dan tak sempat mengadukan haknya, walaupun demikian masih ada juga sebahagian dari masyarakat mengadu ke mahkamah Agung dan keluarlah surat dari Mahkamah Agung agar exekusi Pengadilan ditunda, tetapi panitia exekusi dari Pengadilan mengatakan bahwa surat dari Mahkamah Agung tersebut tidak laku dan exekusi tetap dilaksanakan. Kemudian dengan berdalih akan dibangun rumah RSS oleh perumnas dan dalam jangka waktu satu tahun izin prinsip dan izin lokasi tersebut dibeli oleh P.T. IRA dan dibangunlah pertokoan-pertokoan mewah dan dapat dikatakan serogai pusat perbelanjaan mewah yang ada di kota Medan atau dapat dikatakan kota satelit. Bahwa izin lokasi dan izin prinsip diperoleh oleh perusahaan tersebut tahun 1984 dan diperpanjang lagi pada tahun 1985 . Pembangunan dilaksanakan baru 50% dari tanah seluas 11 HA dan 5 1/2 HA lagi Sampai sekarang tahun 1998 sama sekali belum di jamah dan perusahaan tersebut tidak lagi membangun dan jika ada orang ingin membangun perusahaan tersebut hanya menjual tanah dengan harga 1 M2 harga dari Rp.1000 s/d Rp.2000,dan membangun sendiri. Berarti sudah lebih 10 tahun tanah tersebut sudah menjadi semak, apakah ini yang disebut tanah terlantar atau spekulasi tanah. 2. Kasus ke 2 HGU di Puluban Seruwei Labuhan Deli. Hak Guna Usaha atas perusahaan P.T Seruwei adalah suatu perkebunan kelapa yang terkenal semenjak zaman kolonial dan luas kebun kelapa ini sangat luas, lebih besar separuh dari kecamatan labuhan sendiri .
© 2003 Digitized by USU digital library
6
letak tanah perkebunan ini sangat strategis ditepi jalan Tol Medan-Belawan dan dipinggir laut. Ketika Universitas Indonesia menyuruh USU meneliti didaerah arah Belawan untuk mencari tanah akan dijadikan kawasan Berikat, maka salah satu tempat yang kami teliti adalah perkebunan tersebut, dan ternyata perkebunan kelapa ini sebahagian besar sudah mati. Pohon-pohon kelapa dibiarkan begitu saja mati dan tidak diganti dengan tanaman lain atau replanting, Dan kelihatannya P.T. ini tetap mempertahankan tanah perkebunan ini walaupun tidak ditanami lagi. Dan ketika kami menemukan hal ini maka melaporkannya seolah-olah sebagai spekulasi tanah atau yang disebut juga sebagai tanah terlantar. Untuk perpanjangan HGU berikutnya BPN tidak lagi memberikan perpanjangan HGU seluas pertama diberikan. 3. Kasus ke tiga tentang Waqaf Keluarga Sultan Asahan lda zamannya mempunyai tanah yang sangat lebar, sebagian dari tanahnya yang terletak di Simpang Kawat, Asahan telah dijadikan objek landreform oleh pemerintah, kemudian yang menjadi masalah tanahnya yang dijadikannya tanah waqaf keluarga ada dua yaitu waqaf kebun kelapa yang tujuannya adalah memungut hasil bagi keluarga yang memerlukannya dan membantu anak-anak sekolah yang kurang biaya, boleh memetik hasil dari buah kelapa yang menjadi masalah adalah pohon kelapa sudah tua-tua, bahkan banyak yang sudah mati, tetapi tak ada satupun dari ahli waris yang mau meremajakan pohon-pohon tersebut. Karena tanah tersebut adalah tanah waqaf tak ada yang berani menjual nya dan sudah lebih dari 15 tahun dan sudah dapat dikatagorikan sebagai tanah terlantar. Masih ada lagi waqaf keluarga yang dibangun rumah-rumah sewa untuk diperoleh hasilnya bagi keluaga dan karena rumah-rumah sewa tersebut sudah tua dan menjadi kumuh dan tak seorang keluargapun yang berani mejual tanah-tanah tersebut padahal tanah-tanah tersebut sangat strategis letaknya secara ekonomis dan para ahli waris pun sangat membutuhkan biaya, karena keadaan para ahli waris sangat miskin, dan satu-satunya cara dengan dinyatakan tanah-tanah tersebut adalah tanah terlantar . Demikianlah ketiga kasus tersebut yang penulis sendiri memegang masalahnya. IV. ANALISA Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.36 tahun 1998, tentang tanah terlantar ini belum mencakup seluruh hak atas tanah dan kenyataan yang terdapat di lapangan masih banyak kekurangan-kekurangan tidak menjelaskan secara terperinci tanah terlantar berapa tahun berturut-turut tidak dikerjakan atau ditinggalkan oleh pemiliknya. Seperti hak-hak yang belum diatur lainnya masih ada lagi kekurangannya misalnya seperti yang didapati kenyataan dalam kasus-kasus yaitu untuk waqaf terutama waqaf keluarga selain daerah itu kumuh juga lalu lintas ekonomi juga terhalang, apalagi jika terdapat dikota juga melanggar peraturan daerah (Peraturan Tata Kota Daerah), bagaimana untuk perkembangan kota, atau rencana kota. Walaupun Hukum Islam mengatakan bahwa tanah waqaf tidak boleh dijual, tetapi jika bertentangan dengan peraturan pemerintah dan menghalangi lalu lintas ekonomi, sudah saatnya pula pemerintah rnengatur hal ini . Kemudian untuk Real Estate jika pada tahun 1986 sudah tidak aktif lagi dibangun lagi berarti lebih 10 tahun lokasi tersebut sudah tidak dibangun lagi, hanya menjual tanah yang harganya sangat mahal dan ternyata juga tak ada orang yang membeli tanah tersebut. Hal ini sudah merupakan spekulasi tanah yang mana sudah bertentangan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 45. Walaupun untuk tanah pertanian sudah diatur ceilingnya dan untuk tanah perkotaan belum jelas secara terperinci pengaturannya, yaitu untuk tanah perkotaan
© 2003 Digitized by USU digital library
7
hanya boleh 4 persil tanah dan untuk persil yang kelima harus ada izin. Hal ini bukan berarti satu persil itu luasnya tak terbatas dan tak ada control dari pemerintah dan akan kembali berjalan praktek tuan-tuan tanah diperkotaan. Peraturan Pemerintah ini harus ditinjau kembali atau ditingkatkan menjadi Undang-Undang dan dalam peraturan pelaksana akan lebih diperinci apa dan bagaimana yang disebut tanah terlantar tersebut. Apalagi kita sekarang ini dalam era reformasi yang tadinya dalam orde baru perolehan tanah seseorang dapat saja dilakukan dengan cara apapun dan sampai sekarang kita belum mulai dengan reformasi hukum pertanahan. V .KESIMPULAN / SARAN Dari permasalahan tinjauan pustaka kasus-kasus yang terdapat di lapangan dan analisa maka dapat ditarik kesimpulan. 1. Peraturan Pemerinah No.36 tahun 1998 tesebut masih banyak kekurangankekurangan, karena tanah terlantar yang terdapat dilapangan, ternyata masih banyak lagi hak-hak atas tanah yang belum di atur oleh peraturan pemerintah tersebut baik berapa lama /tahun tanah tersebut tidak dikerjakan ditinggalkan, padahal hukum adat sudah mengaturnya. 2. Di desa atau tanah pertanian sudah ada ceiling dikota belum jelas ceilingnya hanya jika seseorang memiliki lebih dari 4 persil harus minta izin dan tidak jelas setiap persil ditanah perkotaan boleh berapa M2. 3. Untuk tanah waqaf umum atau waqaf keluarga belum diatur padahal sudah ada bahwa tanah-tanah waqaf harus di daftarkan (Peaturan Pemerintah No.28 tahun 1977). Khusus pendaftaran tanah waqaf juga sudah ada pejabat membuat akte ikrar (P.P.A.I.W) dan pemerintah sudah membantu pendaftaran ini dengan proyek prona. Kemudian untuk tanah yang ada izin prisip dan izin lokasi sudah habis waktunya dan sudah tidak dibangun lebih dari 10 tahun dan sudah menjadi semak. Apakah hal ini tidak ada tindakan dari pejabat yang berwenang dan telah menjadi spekulasi tanah padahal rakyat sipemilik tanah asal sudah mejadi sangat miskin. 4. Untuk tanah-tanah adat yang terlantar belum diatur pada hukum adat beberapa daerah sudah mengatur tentang tanah terlantar kenapa hukum adat ini tidak diresipir. Saran-saran Peraturan Pemerintah ini sebaiknya ditingkatkan menjadi Undang-undang dan mengundangkan pula Peraturan pelaksana, hal ini adalah mengatur lebih terperinci tentang tanah-tanah terlantar yang belum diatur oleh PP No.36 tahun 1998.
© 2003 Digitized by USU digital library
8