1 BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Komoditas jagung (Zea mays L.) hingga kini masih sangat diminati oleh
masyarakat dunia. Kebutuhan jagung dunia mencapai 770 juta ton/tahun, 42% diantaranya merupakan kebutuhan masyarakat di benua Amerika (Sugiarto, 2008). Di Indonesia jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Di beberapa daerah di Indonesia jagung dijadikan sebagai bahan pangan utama, dan juga sebagai bahan pakan ternak dan industri (Yusuf, 2009). Produktivitas jagung di tingkat nasional dewasa ini mencapai 3,4 ton/ha (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2003). Penelitian oleh berbagai instansi pemerintah maupun swasta telah menghasilkan teknologi budidaya jagung dengan produktivitas 4,5-10,0 ton/ha, tergantung pada potensi lahan dan teknologi produksi yang diterapkan (Subandi dkk., 2006). Indonesia memiliki peluang menjadi pemasok kebutuhan jagung dunia karena memiliki ketersediaan lahan yang cocok ditanami jagung.
Jagung
menempati posisi penting dalam perekonomian nasional karena merupakan sumber karbohidrat (Akil dan Hadijah, 2011). Tanaman jagung dapat menghasilkan biji dan biomas hijauan, jagung diperlukan dalam pengembangan ternak sapi. Kebutuhan jagung dalam negeri untuk pakan sudah mencapai 4,9 juta ton pada tahun 2005 dan diprediksikan 6,6 juta ton pada tahun 2010 (Ditjen Tanaman pangan, 2003).
2 Produksi jagung di Bali selama tahun 2009 mencapai 92.998 ton pipilan kering atau meningkat 15.379 ton pipilan kering (19,81%) dari tahun sebelumnya. Peningkatan ini karena kenaikan produksi yang cukup tinggi pada musim tanam I (Januari-April) yakni 33,64%, sedangkan tingkat produktivitas jagung juga meningkat 0,31 kuintal/ha atau 1,09% (BPS Provinsi Bali, 2010). Upaya peningkatan produksi jagung di dalam negeri diarahkan pada pemanfaatan lahan marginal (Aria dan Chozin, 2009). Menurut Yusuf (2009) lahan penanaman jagung di Indonesia 80% di lahan kering dan 20% di lahan sawah irigasi. Suratmini dan Adijaya (2006) menyatakan bahwa produksi jagung nasional dapat ditingkatkan melalui perluasan areal tanam (ekstensifikasi) utamanya pada lahan kering ataupun dengan peningkatan hasil per satuan luas (intensifikasi). Lahan kering berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian produktif mengingat sebarannya sangat luas di Indonesia. Menurut Minardi (2009) Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah seluas 40,29 juta ha (22%) dari 188,20 juta total luas dataran. Luas pulau Bali 5.632,86 km2, dan 2.181,19 km2 (38,73%) diantaranya merupakan lahan kering yang sebagian besar terletak di bagian Timur dan Utara (BPS Propinsi Bali, 2010). Luas wilayah kabupaten Bangli sebesar 520,81 km2 atau 9,25% dari luas wilayah Propinsi Bali. Ketinggian dari permukaan laut antara 100 - 2.152 m, sehingga merupakan satu-satunya kabupaten yang tidak memiliki pantai. Dari luas wilayah yang ada sekitar 2.890 ha merupakan lahan sawah, 29.087 ha merupakan lahan kering, 9.341 ha merupakan hutan negara, 7.719 ha merupakan tanah
3 perkebunan dan sisanya seluas 3.044 ha merupakan lahan lain-lain (jalan, sungai dan lain-lain). Kabupaten Bangli sebagian besar daerahnya merupakan dataran tinggi, hal ini berpengaruh terhadap keadaan iklim di wilayah ini. Keadaan iklim dan perputaran atau pertemuan arus udara yang disebabkan karena adanya pegunungan didaerah ini yang menyebabkan curah hujan didaerah ini tahun 2008 relatif tinggi. Hal ini terjadi pada bulan-bulan Januari, Maret, April dan Desember (Aswajanu, 2008). Masalah utama penanaman jagung di lahan kering adalah kebutuhan air sepenuhnya tergantung pada curah hujan, bervariasinya kesuburan lahan dan adanya erosi yang mengakibatkan penurunan kesuburan lahan (Adisarwanto dan Widyastuti, 2002). Masalah lain di lahan kering adalah kondisi tanah memiliki pH dan unsur hara yang rendah. Kekurangan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman dapat ditanggulangi dengan cara pemupukan. Pemupukan yang tepat, berbeda-beda tergantung dari tingkat kesuburan dan jenis tanah. Kesuburan tanah memberikan kontribusi 55% terhadap produksi tanaman (Gunarto, 2007). Salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produksi jagung di lahan kering dengan pupuk organik. Pemanfaatan pupuk kandang sapi 15 ton/ha yang dikombinasikan dengan biourin sapi 75.000 liter/ha menghasilkan 4,23 ton/ha biji, atau meningkat 157,93% dibandingkan tanpa pemupukan (Adijaya, 2010). Pemberian pupuk kandang ayam menghasilkan tongkol tertinggi yaitu 11,576 ton/ha, meningkat sebesar 88,93% bila dibandingkan tanpa pupuk kandang sebesar 6,127 ton/ha (Mayadewi, 2007). Penggunaan pupuk organik
4 kascing pada tanaman kedelai dan hasilnya mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman tersebut pada dosis 15 ton/ha (Awalita dkk., 2006). Pemberian pupuk organik dapat memperbaiki sifat-sifat tanah seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah terutama pada struktur tanah, menaikan bahan serap tanah terhadap air, memperbaiki kondisi kehidupan di dalam tanah, dan sebagai sumber zat makanan bagi tanaman. Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan daya larut unsur P, K, Ca dan Mg, meningkatkan C-organik dan density (BD) tanah (Lund dan Doss, 1990). Pupuk organik dapat menjadi sumber nutrisi penting bagi tanaman serta untuk peningkatan produktivitas tanah (Cezar, 2004). Pemanfaatan
berbagai
macam
pupuk
organik
dengan
keunggulan
dan
kelemahannya masing-masing tersedia di lapangan. Penggunaan pupuk organik misalnya pupuk kandang sapi dan kascing akhir-akhir ini memegang peranan yang sangat penting dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan akan lingkungan (Aribawa dkk., 2009). Limbah ternak berupa urin (air kencing) dijumpai dalam jumlah yang besar selain kotoran (fases) dari ternak. Urin ternak mengandung N ± 10 gram/liter, sebagian besar berbentuk urea. Urin juga mengandung sejumlah unsurunsur mineral (S P, K, Cl dan Na) dalam jumlah bervariasi tergantung jenis dan makan ternak, keadaan fisiologis dan iklim. Hara tersebut dibutuhkan oleh mikroba dan pertumbuhan tanaman. Urea dalam urin adalah bahan padat utama yang umumnya lebih besar dari 70% nitrogen dalam urin. Penerapan suatu teknologi perlu memperhatikan dari sisi ekonomi usaha tani. Penelitian ini perlu
5 dilakukan sehingga menarik untuk dikaji pupuk organik dan biourin sapi pada tanaman jagung.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas dalam penelitian ini masalah yang akan di jawab adalah : 1. Berapakah dosis pupuk organik dan biourin sapi yang optimum terhadap pertumbuhan dan hasil jagung di lahan kering? 2. Apakah ada interaksi antara pupuk organik dan dosis biourin sapi terhadap pertumbuhan dan hasil jagung di lahan kering? 3. Apakah
pemanfaatan
pupuk
organik
dan
dosis
biourin
sapi
menguntungkan dari segi usahatani jagung?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Menentukan
dosis optimum pupuk organik dan biourin sapi terhadap
pertumbuhan dan dosis optimum hasil jagung di lahan kering. 2. Menentukan pengaruh interaksi antara pupuk organik dan dosis biourin sapi terhadap pertumbuhan dan hasil jagung di lahan kering. 3. Menganalisis pendapatan kotor (gross margin) usahatani jagung dari teknologi pupuk organik dan dosis biourin sapi.
6 1.4 Manfaat Penelitian 1. Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pemanfaatan pupuk organik dan dosis biourin sapi untuk pemupukan jagung di lahan kering. 2. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada petani tentang pemanfaatan pupuk organik dan dosis biourin sapi untuk pemupukan jagung yang sesuai dengan daerah tersebut.