Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998
STUDI STRATEGI KEBUTUHAN ENERGI-PROTEIN UNTUK DOMBA LOKAL : 2. TINGKAT ENERGI-PROTEIN RANSUM, ATAS DASAR JUMLAH FOETUS I W. MAnuus, B.
SuDARYArrro,
dan AMn,SON
Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Tingginya tingkat kematian domba anak, terutama satu minggu setelah lahir disebabkan oleh rendahnya produksi susu . Hal tersebut disebabkan oleh tingkat kebutuhan domba induk, terutama pada fase bunting tua tidak terpenuhi terutama energi dan protein . Pengamatan dilakukan untuk mempelajari pengaruh jumlah energi dan protein terhadap penampilan produksi domba induk. Selama fase bunting 12 minggu pertama, domba diberi ransum standar. Selanjutnya, pada kurun waktu delapan minggu terakhir kebuntingan, domba dikelompokkan dalam tiga group atas dasar jummlah foetus yang dikandung dan diberi perlakuan pakan yang berbeda . Ransum percobaan tersebut adalah, R, (untuk induk dengan anak tunggal), Rz (untuk induk dengan anak kembar dua) dan R3 (untuk induk dengan anak lebih dari dua). Rataan kenaikan bobot hidup harian untuk 12 minggu pertarna umur bunting adalah 120 g dengan rataan konsumsi bahan kering harian adalah 912 g/ekor/hari . Laju pertumbuhan domba induk pada 8 minggu terakhir umur bunting berbeda secara nyata (P<0,05) . Induk dengan foetus tunggal cenderung memperlihatkan pertambahan bobot hidup 126 g/ekor/hari . Secara keseluruhan tingkat kematian domba anak pada tiga hari pertama setelah melahirkan mencapai 22,8%. Laju angka kematian meningkat, sejalan dengan tingkat prolifikasi (15,4 vs 27,8 vs 30%) . Kebutuhan protein dan energi untuk hidup pokok domba induk pada fase 8 minggu akhir kebuntingan adalah 5,2 g dan 0,621 MJ EM/kg BH°-'s . Kata kunci : Energi-protein, jumlah foetus, domba induk lokal PENDAHULUAN Status nutrisi pada akhir fase kebuntingan sangat berpengaruh terhadap taraf kematian domba anak dan produksi susu, terutama pada fase awal laktasi (KHALAF et al., 1979). Konsekuensinya taraf produktivitas seekor domba induk selama siklus reproduksi akan terpengaruh . Kebutuhan akan nutrien pada fase kebuntingan, terutama pada fase 8 minggu terakhir meningkat (Ross, 1989), khususnya energi dan protein (ORR et al., 1983). Kebutuhan tersebut akan meningkat lagi apabila jumlah foetus yang dikandung lebih dari satu (RusSEL, 1979) . Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok domba induk, kebutuhan nutrien dalam jumlah yang banyak tersebut diperlukan untuk (i) memenuhi kebutuhan pertumbuhan foetus, (ii) energi cadangan yang disimpan dalam tubuh domba induk dan (iii) perkembangan organ reproduksi (ambing) dalam mempersiapkan produksi susu (FOLDAGER dan SEMEN, 1987). Kebutuhan akan energi dan protein untuk domba di daerah temperate/iklim sejuk telah banyak dilaporkan (RuSSEL, 1979; DONEY, 1979), namun hanya sedikit yang diketahui mengenai kebutuhan energi dan protein domba induk di daerah tropika basah, sebagaimana yang terjadi terhadap domba lokal di Indonesia . Penelitian ini bertujuan mempelajari kebutuhan energi dan protein domba induk, khususnya pada fase bunting . Diharapkan dengan mengetahui kebutuhan energi dan protein domba induk 461
SeminarNasionalPeternakan dan Veteriner 1998
bunting, penyusunan/formulasi pakan lengkap dan strategi pola pemberian pakan domba induk selama siklus reproduksi dapat dikembangkan. Hal ini dirasakan cukup penting dalam upaya , pengadaan dan pengembangan domba dan sekaligus merupakan dasar bagi pengembangan agroindustri ternak domba. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kandang Percobaan dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Bogor. Empat puluh lima ekor domba betina (bobot hidup 28,1±2,1 kg) yang telah dikawinkan ditempatkan secara acak dalam kandang panggling individu (150 cm x 90 cm) dan diberi pakan dasar. Pakan dasar tersusun dari campuran tepung rumput Raja (Pennisetum purpuphoides) dan konsentrat komersial (1 : 1) (Tabel 1) dan diberikan dalam bentuk pelet (penampang 0,5 cm dan paujang 0,5-1,0 cm) sebanyk 3% dari bobot hidup (BH) . Air minueti disediakan secara bebas dalam ember plastik kapasitas 5 liter . Untuk mengetahui junilah foetus yang dikandung maka pada umur kebuntingan 12 minggu dilakukan uji kebuntingan dengan menggunakan sinarX Selanjutnya domba dibedakan dalam tiga tingkat kesuburan, yakni doluba denganjumlah foetus satu, dua dan lebih dari dua. Tabel 1.
Komposisi nutrien ransum pelet pada awal penelitian*
Uraian
BK
PK SDN SDA L Abu Ca P ----------------------------- - % BK -- __----------------------------
Tepung rumput (4)** 89,95 9,58 Konsentrat ***(4)** 90,65 15,94 Pakan pelet (9)** 95,48 12,44 Komposisi nutrien pakan perlakuan****:
Energi (MJ/kg)
75,78
41,94
3,24
8,12
0,31
0,05
16,953
44,95
12,08
4,58
7,69
2,91
0,69
16,878
60,21
31,02
3,17
9,21
2,00
0,40
17,401
R1
95,00
14,8
43,84
28,89
-
-
0,68
0,56
16,594
R2
96,7
18,1
46,1
30,4
-
-
0,64
0,53
17,631
R3
93,6
20,9
20,9
33,23
-
-
1,03
1,0
18,916
BK PK SDN SDA L Ca P
Basil Analisa Laboratorium Balitnak, Bogor Jumlah sampel Tersusun dari, bungkil kedelai, bungkil kelapa, pollard, jagung dan pertnix Tersusun dari biji kapas, bungkil kedelai, jagung giling, pollar, premix dan tepung rumput Raja Bahan kering, Protein kaear, Serat deterjen netral, Serat deterjen asain, Lemak, Kalsiurn, Posphorus
Pakan perlakuan Pada umur dua bulan akhir fase bunting, pemberian pakan didasarkan pada tingkat kesuburan . Dengan demikian terdapat tiga macam ransum domba induk bunting, yakni R, untuk domba induk dengan jumlah foetus satu, RZ untuk domba induk dengan jumlah foetus dua dan R3 untuk domba induk dengan jumlah foetus lebih dari dua . Variasi ransum tersebut adalah R, mengandung protein kasar 15% dan energi 16,5 MJ/kg BK (bahan kering) ; R= mengandung protein kasar 18% dan energi 17,75 MJ/kg BK; sedangkan R3 mengadung protein kasar 21% dan energi 19 MJ/kg BK (Tabel 1). Komposisi bahan penyusun ransum dan nutrien pakan perlakuan pelet tertera dalam Tabel 1 dan diberikan sebanyk 3-5% dari bobot hidup (BH). 462
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998
Parameter pengamatan Parameter yang diukur selama pengamatan adalah penggunaan nutrien clan penampilan produksi ternak . Parameter penggunaan nutrien yang dicatat adalah, konsumsi nutrien, ketercernaan nutrien clan efisiensi penggunaan pakan. Sedangkan untuk penampilan produksi yang diamati adalah perubahan bobot hidup dalam kurun waktu fase bunting, jumlah anak per kelahiran, bobot lahir dan perubahan bobot hidup domba induk pada saat melahirkan. Analisis nutrien contoh bahan dilakukan dengan metoda sebagai yang telah diuraikan terdahulu (MATHIUS et al., 1996). Pendugaan energi termetabolisasi (EM) diasumsikan setara dengan 0,62 energi yang dikonsumsi/gross energi (ORSKOV clan RYLE, 1990). Energi urin (E-ur) dihitung berdasarkan persamaan yang diutarakan SHIRLEY (1986), yakni E-ur (kkal) = g nitrogen urin x 6,25 x 1,2, sedangkan energi methan disetartkan dengan 8% dari energi yang dikonsumsi (BLAXTER, 1969) . Pengolahan data Data yang diperoleh dianalisis sesuai petunjuk PETERSON (1985) dengan Model Linear Unulm (General Linear ModelIGLM) paket SAS (1987) . Pengujian nilai rataan antara perlakuan dilakukan dengan uji beda nyata terkecil. Oleh karena jumlah domba induk bunting dengan kandungan jumlah foetus yang tidak sama menyebabkan pengolalian data dilakukan dengan jumlah ulangan yang berbeda . HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum pada fase bunting muda Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsumsi ballan kering (BK) pada bulan pertama kebuntingan adalah 850 g/ekor/hari dan meningkat menjadi 1 .075 g/ekor/hari pada bunting bulan ketiga. Pengaruh pemberian pakan dasar pelet memberikan dampak yang positif terhadap penampilan produksi ternak dengan rataan kenaikan bobot hidup harian (PBHH) 120 g/ekor clan konsumsi bahan kering (BK) harian sebesar 912 g/hari serta rataan tingkat efisiensi penggunaan pakan 7,6 dengan kisaran 7,1 sampai 9,7 . Keadaan tersebut menunjukkan baliwa pemberian pakan pelet (PK 12,44% clan energi 17,401 MJ kg/BK) sebanyak 3% dari berat hidup telah dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok ternak domba bunting muda clan bahkan cukup untuk berproduksi . Keadaan terakhir diketahui dengan adanya kenaikan bobot hidup harian ternak . Penelitian terdahulu melaporkan bahwa domba bunting muda (BH 30 kg) clan dengan PBHH 100 g membutuhkan energi termetabolisasi (EM) 9,581 MJ clan protein kasar (PK) sebesar 98 g (KEARL, 1982) . Dengan asumsi energi termetabolisasi (EM) setara dengan 0,62 MJ gross energi (GE) (ORSKOv clan RYLE, 1990) maka konsutusi EM pada penelitian ini adalah 9,839 MJ (0,62 x 17,401 MJ x 912 g). Dengan perkataan lain, domba induk bunting muda yang mendapat/mengkonsumsi EM sejumlah 9,839 MJ/hari dan protein kasar (PK) sebanyak I I I g/hari telah cukup tnetnenulu kebutuhan hidup pokok clan berproduksi . Tanpa memperhatikan bangsa domba yang dipergunakan baik pada penelitian ini maupun pada laporan terdahulu inaka dapat dikatakan bahwa domba lokal Indonesia dengan status fisiologis bunting muda, membutuhkan EM clan PK yang sama junilalinya dengan yang disarankan KEARL (1982) . Hal tersebut dapat diketaluti dari tingkat PBHH yang dicapai dalain penelitian ini, di mana dengan jumlah konsutusi PK clan EM yang lebih banyak, telah mampu memberikan respon PBHH yang lebih baik daripada yang dianjurkan KEARL (1982) . HADJIPANAYIOTOCJ et al. (1996) melaporkan bahwa konsutusi EM akan dipergunakan pertama kali untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, clan selebihnya akan digunakan untuk tujuan produksi. Ross (1989) melaporkan bahwa kebutuhan hidup pokok EM domba bunting muda adalah sama 46 3
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1998
dengan domba yang tidak bunting. Apabila kebutuhan hidup pokok domba tersebut disetarakan dengan yang dilaporkan terdahulu, yakni 481,56 kJ EM untuk setiap kg BH metabolis (AL-JASSIN
et al .,
1996 ; MATHius
et al.,
1996), maka seekor domba bunting muda dengan bobot hidup (BH)
40 kg membutuhkan 7,659 MJ EM (400,'s x 481,56 kJ) . Dari nilai tersebut diketahui adanya kelebihan EM yang dikonsumsi sebanyak 9,839-7,659 MJ, yakni 2,179 MJ . Kelebillan konsumsi EM pada umumnya digunakan untuk tujuan produksi
(HADIIPANAYIOTOU et al .,
1996), yang
diekspresikan dalam bentuk PBHH yakni sebesar 120 g. Dengan demikian maka untuk setiap gram PBHH diperlukan 18,16 kJ EM.
Rataan jumlah konsumsi air harian adalah 4,1 kg/ekor/hari atau setara dengan 4 ml/g BK
yang dikonsumsi dan jumlah ini sama dengan yang pernah dilaporkan GIHAD (1976) . Selanjutnya dilaporkan bahwa kebutuhan pokok hidup domba akan air adalah
sebesar 2 ml/g BK yang
dikonsumsi dan jumlah ini akan meningkat sebesar 50-100% dari kebutuhan hidup pokok selama
fase bunting. Perbedaan konsumsi air dapat terjadi dan hal tersebut dimungkinkan oleh adanya perbedaan status
fisiologis
dilakukan (SHKOLNIK
et
ternak
yang
digunakan dan
perbedaan
Mini
tempat
penelitian
al ., 1980), yakni Mini sub-tropis vs tropis .
Konsumsi dan penampilan domba pada fase bunting tua Pakan perlakuan menyebabkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap konsumsi BK (g/kg BH°"S) (Tabel 2) . Secara alamiah ternak domba akan mengkonsumsi pakan sesuai dengan yang
dibutuhkan, yakni untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi . Oleh karena itu dengan
tingkat kepadatan protein dan energi yang berbeda dapat menyebabkan tingkat konsumsi bahan
kering yang berbeda . Tern k yang mendapat perlakuan pakan dengan kandungan protein dan energi yang lebih tinggi akan dapat memenuhi kebutuhan protein dan energi dalam satuan bahan kering yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan ternak yang mendapat pakan dengan tingkat
kepadatan protein dan energi yang lebill rendah . Kemungkinan lain perbedaan konsumsi bahan kering boleh jadi disebabkan oleh jumlah janin yang dikandung (RUSSEL
et
al .,
1977). Dari Tabel
2, terlihat bahwa domba bunting tua dengan jumlah foetus yang dikandung lebih dari 2 ekor (R,) menkonsumsi nutrien yang lebih sedikit daripada junilah konsumsi nutrien oleh domba induk bunting dengan foetus satu atau dua (R I atau R2) . Hal ini dimungkinkan karena makin banyak jumlah foetus yang dikandung maka makin kecil kemungkinan tersedianya ruang rongga penit untuk dapat menampung pakan yang dikonsumsi (ORR et al., 1983). Pola yang sama juga terjadi
pada junilah nutrien yang dicerna, yakni pada domba induk bunting tua dengan jumlah foetus lebill
dari dua memperoleh nutrien tercerna terendah (P<0,05) . Perbedaan jumlah nutrien tercerna antara
perlakuan yang berbeda tersebut disebabkan perbedaan jumlah nutrien yang dikonsumsi . Keadaan ini terlihat dari tingkat kecernaan nutrien yang tidak berbeda secara nyata (P>0,05) . Rataan
koefisien cerna bahan kering, protein kasar, serat detergent netral, serat detergent asam bertunitturut adalah 49%, 72%, 33%, dan 25%. Ketersediaan dan pemanfaatan nitrogen dan energi Perbedaan jumlah nitrogen yang dikonsumsi dengan yang dikeluarkan dari tubuh melalui feses dan urin menpakan gambaran tingkat nitrogen yang dapat dimanf iatkan dan merupakan tingkat efisiensi pemanfaatan nitrogen
oleh
ternak .
Data
penganlatan
menunjukkan bahwa
terjadinya retensi nitrogen (RN) yang positif dan meningkat dengan makin meningkatnya nitrogen
yang dikonsumsi (NK) . Hubungan tersebut mengikuti persamaan RN (g/kgBH"") = - 0,32 + 0,52
NK (g/kg BIC ) ; r = 0,74 . Dari persamaan tersebut diketahui bahwa kebutuhan nitrogen untuk
46 4
Seminar Nosional Peternakan dan Veteriner 1998 5 hidup pokok domba induk bunting tua adalah 0,61 g/kg BH" " /hari, dan lebih banyak junilahnya dari yang dilaporkan oleh ORSKOV (1982), yakni sejumlah 0,53 g/kg BH° " S . Hal tersebut menunjukkan bahwa domba lokal Indonesia membutulilcan lebih banyak nitrogen untuk hidup pokok . Selain faktor lingkungan, kemungkinan tersebut dapat diakibatkan oleh variasi potensi genetik yang beragam dari domba yang dipergunakan . INOUNLI et al . (1993) melaporkan bahwa keragaman potensi genetik domba lokal Indonesia cukup bervariasi, clan boleh jadi lial tersebut merupakan faktor utama perbedaan kebutulian nitrogen antara bangsa domba lokal dengan bangsa domba di daerah beriklim sedang . Data pengamatan juga menunjukkan baliwa makin tinggi jumlah konsumsi nitrogen menyebabkan jumlah nitrogen yang dikeluarkan tnelalui urin meningkat (MC CLELLAND dan FORBES, 1971) . Hubungan antara nitrogen yang dikonsumsi dan yang dikeluarkan melalui urin (N-ur) mengikuti persamaan N-ur (g/kg Blf7s) = 0,5972 + 0,18479 NK (g/kg BH °- ' 5 ); dengan tingkat keeratan hubungan r = 0,64 . Apabila persamaan tersebut diekstrapolasi hingga diperoleh konsumsi nitrogen sama dengan nol maka diperoleh nitrogen yang dikeluarkan melalui urin sejumlah 0,60 g/kg BHo, ' 5 . Dengan perkataan lain pada saat tidak ada pasokan nitrogen dari luar (pakan), maka akan terjadi perombakan/katabolisme protein tubuh . Dengan N-urin sejumah 0,6 g diketalmi terjadi perombakan protein tubuh sejumlah 3,75 g/kg BH°,75 . Untuk tidak terjadi perombakan protein tubuh atau untuk memenuhi kcbutuhan hidup pokok domba terhadap nitrogen, maka pakan yang dikonsutnsikan lianis dapat inenyediakan .75 protein kasar sejumlah 5,2 g/kg BH° (koefisien cerna protein kasar = 72%) . Nilai tersebut Iebih 15 rendah 1,1 unit dari yang disarankan KEARL (1982), yakni sebesar 6,4 g protein/kg 131-10, untuk hidup pokok domba dengan BH seberat 40 kg . Tabel 2 .
Konsunlsi, nutrien tercenta dan ketersediaan energi dari berbagai pakan yang berbeda
Uraian
Ri
Konsumsi(g/kgBH°75 ) :
RZ
R3
Bahan Kering
76,12 b
73,44 b
Protein Kasar
11,43 a 33,5 a
13,24 b
13,52b
12,73
22,3 a
33,41 a 24,1 b
35,5 b 21,5 a
34,14 22,64
63,6 b
63,6 b
55,6 a
60,93
0,5 a
0,6 b
0,7 b
0,60
0,4 a
0,4 a
0,6 b
0,50
21,35
21,12
SDN SDA Bahian Organik Ca P Ketersediaan EM (MJ/ekor) : pakan
64,6 a
Rataan 71,39
feses
8,327
21,65 8,994
20,35 7,200
urin
0,08
0,10
0,09
1,71 11,233
1,49 11,069
11,32
11,207
0,869
0,633
0,861
0,797
10,365
10,435
10,461
0,612
0,624
0,627
methan metabolis Kebuttthan untuk (MJ) : fetus hidup pokok - per ekor -kg BH° 75
1,74
8,174 0,09 1,68
10,42 0,621
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyat<1(P<0,05) SDN SDA
Serat deterjen netral, Serat deterjen asam,
Ca P
:
.
Kalsium Posphoms
46 5
Seminar NasionalPeternakan dan Peteriner 1998 Ketersediaan clan pemanfaatan energi pada pengamatan ini juga menunjukkan pengaruh yang BH0''S) nyata (P<0,05) . Hubungan yang positif antara konsumsi energi (EK) (MJ/kg dan energi °'") yang dikeluarkan melalui urin (E-ur ; MJ/kg BH0,15) tnengikuti perkmaan E-ur (MJ/kgBH = 5) '' 0,0687f0,0182 EK (MJ/kg BH° dengan keeratan hubungan (r) 0,61 . Ketersediaan energi dan pemanfaatannya tertera pada Tabel 2 . Dengan asumsi bahwa kebutuhan EM untuk setiap grain pertambahan bobot hidup selama fase bunting tua adalah 7,1128 kJ (RATTRAY, 1974) inaka rataan EM yang dibutuhkan untuk hidup pokok domba adalah 10,42 MJ (Tabel 2) . Dengan perkataan lain kebutuhan hidup pokok domba induk bunting tua adalah 0,621 MJ/kg BHO"S . Nilai tersebut lebilt tinggi dari yang dilaporkan RATTRAY (1974) clan GUADA et al. (1975), yakni 0,539 clan 0,510 MJ EM/kg BHP' 5 . Perbedaan nilai yang diperoleh nntngkin disebabkan oleh banyak faktor seperti keragaman genetik domba lokal yang cukup bervariasi, lingkungan penelitian (daeralt tropis) dan jenis serta bentuk pakan yang dipergunakan . Terlihat bahwa ternak domba yang ntendapat perlakuan dengan pemberian ranstun R, (induk bunting dengan kandungan foetus dua) nienunjukkan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) (Tabel 3) yang terendah (P<0,05) . Rendaltnya penampilan domba bunting tua dengan jumlah foetus dua disebabkan kurang efisiennya pakan yang dikonsumsi untuk dimanfaatkan olelt tubuh ternak tersebut (Tabel 2 dan 3) . Hal tersebut dapat dilihat dari junilah nutrien yang dikonsumsi namun memberikan respon yang lebili rendah . Tidak diketahui dengan jelas ntengapa domba bunting tua dengan jumlah foetus lebili dari dua, lebih efisien memanfaatkan nutrien yang dikonsumsi . Hal tersebut bolelt jadi dinningkinkan lebih aktifnya hornion yang berfungsi selama fase bunting (RHIND et al ., 1985) . Selaujutnya dikatakan bahwa domba dengan junilah foetus yang lebih banyak mengekskresikan lebih banyak hormon sehingga lebili efisien memanfaatkan nutrien yang dikonsumsi . Secara unturn, dapat dikatakan baliwa domba induk pada periode bunting tua yang diberi ransum perlakuan telah dapat mentenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi, meskipun belum mampu mengekspresikan potensi genetik produksi yang optinial . Tabel 3 .
Bobot hidup (kg) domba induk selama fise bunting tua
Bulan ke
Perlakuan R,
3 4
40,1
Rz 40,2
5
42,9
42,9
47,2 126 b
45,2
PBHH (g) Efsiensi pakan (BK/PBHI-1)
10,1
89 a 13,7
Rz
Rataan
40,2
40,2
42,1 56,9
42,6 46,5
121 b 8,9
112 10,9
Keterangan : Nlai dan diikuti oleh hurufyang berbeda pada baris yang sanla adalah berbeda nyata (P 0 .05) PBBH pertambahan bobot hidup harian, BK bahan kering Laju pert untbultan organ reproduksi seperti ambing, plasenta, foetus dalam rahitn selama periode 2 bulan terAhir unntr kebuntingan cukup besar (Ross, 1989), clan sebagai konsekuensinya kebutuhan akan nutrien lebili banyak (ROBINSON, 1987) . Kebutuhan nutrien pada fase bunting tua akan lebili ineningkat lagi, oleh karena selain dibutuhkan untuk perkembangan organ reproduksi, juga dikeuakan untuk perkembangan tubuh induk, seperti cadangan energi tubuli yang ditimbun dalam bentuk lemak clan protein tubuh . Dilaporkan bahwa keterbatasan kenianipuan saluran pencernaan untuk nienampung pakan yang dikonsumsi nienyebabkan domba bunting kenibar selalu kekurangan nutrisi, sementara di sisi lain kebutuhan domba induk akan imtrien harus
46 6
Seminar Nosional Peternakan dan Veteriner 1993
dipenuhi . Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan teknik frekuensi pemberian pakan yang sesering mungkin (KAUFMANN, 1979).
Tingkat kelahiran dan kematian domba anak pada fase beranak terlihat pada Tabel 4. Dari 45 ekor domba induk yang dikawinkan, ternyata hanya 27 ekor domba induk yang beranak pada
penelitian ini. Kegagalan bunting dan beranak domba induk, kenwngkinan disebabkan kesalahan teknis tatalaksana perkawinan clan terjadinya penyerapan kembali janin seperti yang diutarakan
HAMRA dan BRYANT (1982) . Dugaan di alas dipertegas dengan terjadinya beberapa kasus, di mana domba yang secara visual bunting, ternyata tidak beranak. Ambing yang tergantung besar pada
periode bunting (bulan ke-4), secara berangsur-angsur mengecil clan kembali normal sebagaimana keadaan pada periode tidak bunting atau bunting muca . Total taraf kematian domba anak pada
penelitian ini cukup tinggi, ykni 23%. Tingkat kematian yang tinggi terjadi selama kurun waktu sejak proses kelahiran sampai hari ke-3 setelah beranak. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, besarnya foetus menyebabkan induk domba mengalami kesulitan untuk beranak clan rendalinya produksi air susu, clan balikan tidak menghasilkan air susu . Kesulitan beranak pada
umumnya terjadi pada domba anak yang berasal dari tipe kelahiran tunggal. Dari domba induk yang beranak tunggal, empat ekor domba induk terpaksa mendapat pertolongan clan hanya 2 ekor
yang berhasil diselamatkan . Persentase kematian tertinggi diperoleh pada domba anak dengan tipe kelahiran anak lebih dari dua . Walaupun proses beranak berlangsung dengan baik, persentasc kematian mencapai tingkat yang tertinggi . Hal ini disamping anak yang dilahirkan cukup Iemall .
produksi colustrum domba induk tidak mencukupi kebutuhan domba anak seperti yang dilahorkan
KHALAF et al . (1979) . Bobot lahir yaug rendah uniumnya diikuti dengan kondisi anak yang lemah. Penelitian dengan mempergunakan ternak dari bangsa domba
temperate
mendapatkan tingkat
kematian tertinggi, yakni 29% terjadi pada domba anak dengan bobot lahir di bawah 2 kg . Ambing
yang besar clan berkembang dengan baik selama fase kebuntingan belum menipakan jaminan banyknya jumlah air susu yang dapat dihasilkan, meskipun keadaan tersebut menipakan salah
satu indikator yang selalu dipergunakan pada pengamatan produksi susu . Kegagalan ambing untuk dapat menghasilkan air susu kemungkinan disebabkan tingginya kadar energi pakan yang
diberikan. Pakan dengan kandungan energi yang
tinggi
akan merangsang
perkernbangan jaringan ambing selama periode bunting (SEJRSEN
et al .,
pert umbulian dan
1982). Perkembangan
tersebut diikuti oleh tingginya kandungan hormon insulin yang dihasilkan . Sclanjuinya diketalmi
bahwa
meningkatnya
kandungan
hormon
pembuatan air susu oleh ambing (RIIIND
et al .,
insulin 1985) .
akan
menyebabkan
terhambatnya
proses
Pada Tabel 4 terlihat bahwa bobot lahir per-ekor domba anak dengan tipe kelahiran tunggal lebih berat daripada bobot lahir domba anak dengan tipe kelahiran kembar. Sedangkan perbedaan total produksi domba induk dengan tipe kelahiran kembar dua dan Iebill dari dua tidak berbeda. Bila dilihat dari total produksi domba anak per induk maka domba induk dengan tipe kelahiran
kembar lebill tinggi dari total produksi domba anak per induk dari tipe kelahiran tunggal . Namun bila dikaitkan dengan tingkat kematian domba anak yang tinggi pada domba induk dengan anak lebih dari dua, maka domba induk dengan anak tipe kelahiran tunggal masili memberikan nilai terbaik. Dari Tabel 4 juga diperoleh bahwa pakan perlakuan yang diberikan tidak memberikan campak negatif terhadap penampilan domba induk setelah melahirkan, dengan rataan
yang
bobot hidup setelah melahirkan adalah 35 kg. Nilai tersebut masill berada di alas bobot hidup domba induk pada saat dikawinkan .
Seminar Nosional Peternakan dan Veteriner 1998 Tabel 4.
Pengaruh perlakuan ransum terhadap persentase kelahiran clan rataan bobot lahir Perlakuan
Uraian Jumlah domba induk (ekor) Bobot lahir anak/ekor (kg) Produksi anak/induk (kg) kematian sampai 3 hari setelah beranak: Produksi anak yang hidup/induk melahirkan (kg) BK plasenta(g) : Bobot induk saat dikawinkan (kg) sebelum lahir (kg), sesudahlahir(kg), Perbedaan bobot: sebelum vs sesudah beranak: (kg) (%)
ss
R,
R3
R2 9
13
Rataan
5
3,4
2,1
1,4
2,2
3,4
4,1
4,2
3,9
15,4 2,9
(13)"
27,8 (18)
30,0
(16)
22,8
3,0
2,5
2,8
112
130
139
127
27,9
28,8
27,7
28,1
47,2 (13)*
43,2(9)
46,9(5)
45,8
36,1 (13)
34,1 (9)
35,2 (5)
35,2
11,7
10,6
20
16
11,1
9,1
11
15
jumlah domba induk, jumlah domba anak
KESIMPULAN DAN SARAN Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pakan dengan kandungan protein kasar 15% dar energi 16,6 MJ kg/BK telah mampu rnenunjang kebutuhan induk domba bunting tua dengan anal tunggal . Kebutuhan protein kasar clan energi untuk hidup pokok domba bunting tua adalah 5, ; g/kg BH°, ' 5 dan 0,621 MJ EM/kg BH""S. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa tow produksi anak yang dilahirkan (kg domba anak/induk) diperoleh pada perlakuan domba indul dengan anak kembar lebih dari dua, namun total produksi domba anak yang mampu hidup sampa tiga hari setelah beranak (kg domba anak/induk melahirkan) lebih rendah dari produksi indul dengan tipe kelahiran tunggal dan kembar. Rataan tingkat kematian anak pada tiga hari pertain setelah melahirkan adalah 23%. Perlu dilakukan pendekatan terpadu dari berbagai disiplin ilin (genetik, pakan dan tatalaksana), agar produksi susu domba induk dapat meningkat. Stratel pengembangan ternak domba hingga saat ini disarankan menggimakan ternak domba denga kemampuan beranak dua ekor. UCAPAN TERIMA KASIR Terima kasih kepada lbu Soraya Askar dan staf laboran Balitnak, Lokasi Bogor, at; bantua.nnya dalam menganalisa contoli-contoh penelitian. Pengliargaan kepada Sdr . Rollma Kusma dan Ridwan atas perhatiannya dalam penanganan ternak selama penelitian berlangsung . DAFTAR PUSTAKA AL-JASSIN, R.A.M.A., S.A. HAssAN, and A.N. AL-Awi . 1996 . Metabolizable energy requirements I maintanenance and growth of Awassi lambs. Small Ruminant Res . 20 :239-245 . BLAXTER, K. L. 468
1969 . The EnerKv Afetabolism ofRvntinants .
Hutchinson &
Co .
LTD . Londotl .
SerninarNasionalPeternakan dan Veteriner 1998
DoNEY, J.M. 1979 . Nutrition and the Reproductive Function In Female Sheep. In . British Council (Ed) . 77re Management and Diseases of Sheep. The British Council. London . p. 152-160. FOLDAGER, J. and K. SEJRSEN. 1987 . Mammary gland development and milk production in dairy cows in relation to feeding and hormon manipulation during rearing. In. Research in Cattle Production Danish Status andPrespectives. Contribution in honor of A.Neimaiul Sorensen . Landlilluslloldingsselskabets, Forlag, Copenhagen . p. 102-116 .
GUADA, J.A., J.J . ROBINSON, and C. FRASER . 1975 . The effect of dietary energy concentration on protein utilization during pregnancy in ewes . J. Agric. Sci. Camb . 85 :175-182 . HADJIPANAYIOTOU, M., A.KOUMAS, G. HADJIGAVRIEL, I. ANTONIOU, A. PHOTIOU, and M. THEODORIDOU. 1996 . Feeding dairy ewes and goats and growing lambs and kids mixtures of protein supplements. Small Ruminant Res. 21 :203-211 .
HAMRA, A.M. and M.J . BRYANT . 1982 . The effects of level of feeding during rearing and early pregnancy upon reproduction in young female sheep. Arrim. Prod. 34 :4148. INOUNU, L, L. INIGUEZ, G.E . BRADFORD, SUBANDRYo, and B. TJESNAMURTI. 1993 . Production performance of prolific Javanese ewes . Small Ruminant Res. 12 : 243-257 . KEARL, L.C . 1982 . Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. hit'] feedstuff hlst . Utah Agric. Exp. Sta. USU. Loga n Utah . USA.
KAUFFMANN, W. 1979 . Protein utilization. In . BROSTER, W.H. and H. SWAN (Eds). Feeding Strategy for then High Yielding Dairy Cows. Granada Publishing, London . p. 90-113 . KHALAF, A.M ., D.L . DOXEY, J.T . BAXTER, W.J .M . BLACK, J. FITZSIMONS, and J.A . FERGUSON . 1979 . Late pregnancy ewe feeding and lambs performance in early live . 2. Factors associated with perinatal lambs mortality. Anim. Prod . 29 : 393-399.
MATHIUS, I-W, M. MARATAWIDJAJA, A. WILSON, dan T. MANURuNc;. 1996 . Studi strategi kebutuhan eneriprotein untuk domba lokal: I. Fase pertumbuhan. Jumal Ilmn Ternak dan Veterriner 2 (2):84-91 .
MC CLELLAND, T.H . and T.J . FORBES . 1971 . A study of protein requirements of housed Scottish Blackface ewes during late pregnancy. Anim . Prod. 13 :643-651 .
NRC. 1985 . Nutrient Requirement ofSheep. National Academy of Science. Washington, DC . ORR, R.J ., J.E . NEWTON, and C.A . JACKSON. 1983 . Th e intake and performance of ewes offered concentrate and grass silage in late pregnancy. Arrim. Prod . 36 : 21-27.
ORSKOv, E.R . 1982 . Protein Nutrition in Ruminat. Academic Press., London . 160 .pp. ORSKOV, E.R . and M. RYLE . 1990 . Energy Nutrition in Ruminants. Elsevier Sci . Publisher Ltd. England. 149p . PETERSEN, R.G . 1985 . Design andAnalysis of Experiments. Marcel Dekker, Inc. New York . 429 p. RATTRAY, P.V . 1974 . Energy requirements for net energy in sheep. Proc . New Zealand Soc. of Anim . Prod. 35 :67.
RIuND, S.M., I.D . LESLIE, R.G . GUNN, and J.M . DONEY. 1985 . Plasma FSH, LH, prolactin and progesterone profiles of Cheviot ewes with different levels of intake before and after mating, and associated effects on reproductive performance. Anim . Rep. Sci. 8 : 301-313.
ROBINSON, J.J . 1987 . Energy and protein requirements of the ewe. In . Haresign, W. and D.J .A . Cole (Eds). Recent Advances in Animal Nutrition . Butterwortlts, London . p. 187-204. Ross, C . V. 1989. Sheep Production and Management . Prentice Hall Inc. New Jersey. 481 p.
46 9
Seminar Nasional Peternakan dam Veteriner 1998 RUSSEL, A.J .F ., T .J . MAXWELL, A .R . SIBBALD, and D . Mc DONALD . 1977. Relationship between enerl intake, nutritional state and lamb birth weight in Greyface ewes . J. Agric. Sci . 89 : 667-673 . RUSSEL, A .J .F . 1979 . The nutrition of the pregnant ewes . In . The British Council (Ed) Alanagement at Diseases of Sheep . The British Council, London . p . 221-240 . SAS . 1987 . SAS User's Guide: Stastistics . SAS hist .hic ., Cary, NC . SEJRSEN, K ., J.T. HUBER, H .A . TUCKER, and R .M . AKERS . 1982 . Influence of nutrition on aimna development in pre-and postpubertal heifers . J. Dairy Sci . 65 : 793-800 . SHIPLEY, R .L . 1986 . Nitrogen and Energy Nutrition of Rundnants . Academic Press Inc ., Orlando, Flori 32887 USA . 358 pp . SHKONIK, A ., E . MAL"rz, and 1. CHOSHNIAK . 1980 . The Role of the Ruminants Digestive Tract as a Wal Reservoir . In . Ruckebush, Y and P . Thivend (Ells) . Digestive Physiology and Metabolism Ruminants . Avi Publishing Co . hic. Westport, Connecticut . p 731-742 . VIPOND, J .E ., E .A . HUNii.R, and M .E . KING . 1982 . Effects of cereal and protein supplements to swell (Brassicanapns) on intake and performance of pregnant and lactating ewes kept indoors . Anitn . Pr( 34 : 131-137.