STUDI POTENSI TAMAN ATAP UNTUK MENINGKATKAN LUASAN RTH KOTA
LENI PRITIKA SARI
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Studi Potensi Taman Atap untuk Meningkatkan Luasan RTH Kota adalah benar merupakan hasil karya sendiri hasil arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini, Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013
Leni Pritika Sari NIM A44070024
ABSTRAK LENI PRITIKA SARI. Studi Potensi Taman Atap untuk Meningkatkan Luasan RTH Kota. Dibimbing oleh INDUNG SITTI FATIMAH dan AKHMAD ARIFIN HADI. Kualitas lingkungan perkotaan dapat meningkat dengan keberadaan RTH. Namun, perkembangan kawasan perkotaan telah menekan keberadaan RTH. Penghijauan bangunan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah RTH di kawasan perkotaan. Penghijauan bangunan dapat dilakukan dengan pengembangan taman atap pada atap bangunan yang banyak terdapat di kawasan perkotaan. Studi ini dilakukan untuk menganalisis potensi pengembangan taman atap pada beberapa bangunan di wilayah Jakarta Utara. Studi potensi pengembangan taman atap diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan luasan RTH kota untuk mengimbangi fenomena peningkatan suhu udara perkotaan. Potensi pengembangan taman atap dianalisis dengan teknik purposive sampling. Sampel bangunan dipilih di wilayah perdagangan, perkantoran, dan jasa yang terletak di sisi koridor jalan nasional. Nilai potensi taman atap dihitung berdasarkan luasan digitasi atap sampel bangunan dikalikan dengan persentase penghijauan bangunan berdasarkan klasifikasi ketinggian menurut undang-undang. Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat potensi peningkatan RTH sebesar 19,4 Ha dengan pengembangan taman atap. Kata kunci: taman atap, RTH, dan kota
ABSTRACT LENI PRITIKA SARI, Studi Potensi Taman Atap untuk Meningkatkan Luasan RTH Kota. Dibimbing oleh INDUNG SITTI FATIMAH dan AKHMAD ARIFIN HADI. The quality of urban environment can be improved by green open space. However, the development of urban area pressed the existences of green open space. Buildings greenery is one way to increase the amount of green open space in urban area. Buildings greenery can be done by developing roof garden on top of the building that is widely available in urban area. This study was conducted to analyze the potential development of roof garden in North Jakarta. The study of roof garden potential development is expected to be an alternative to increase the amount of green open space to reduce urban heat phenomena. This study analyzed the potential of roof garden development by purposive sampling technique. Building samples was selected in the trade, offices, and services area located on main nasional roadside. The potential value of roof garden was calculated by the multiplication of roof digitizing and the percentage of building greenery based on the classification of the height by the law. The study showed that there is potential increasing of 19,4 hectares of green open space by roof garden development. Keyword: roof garden, green open space, urban area
STUDI POTENSI TAMAN ATAP UNTUK MENINGKATKAN LUASAN RTH KOTA
LENI PRITIKA SARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
•
Judul Skripsi: Studi Potensi Taman Atap untuk Meningkatkan Luasan RTH Kota Nama : Leni Pritika Sari NIM : A440070024
Disetujui oleh
Dr Ir Indung Sitti Fatimah, MSi Pembimbing I
Tanggal Lulus:
3 1 JUL lOla
Akhmad Arifin Pembimbing II
Judul Skripsi : Studi Potensi Taman Atap untuk Meningkatkan Luasan RTH Kota Nama : Leni Pritika Sari NIM : A440070024
Disetujui oleh
Dr Ir Indung Sitti Fatimah, MSi Pembimbing I
Akhmad Arifin Hadi, SP MA Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan atas segala nikmat dan karunia Allah SWT sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Studi Potensi Taman Atap untuk Meningkatkan Luasan RTH Kota. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi. dan Akhmad Arifin Hadi, SP.MA. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr. selaku penguji dan pembimbing akademik yang telah banyak memberikan kritik dan masukan dalam penyelesaian skripsi serta segenap staf pengajar Departemen Arsitektur Lanskap yang telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Departemen Arsitektur Lanskap. Ungkapan terima kasih terutama untuk keluarga tercinta (Ayah, Ibu, dan Kakak), keluarga besar ARL 44, seluruh staf dan mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, sahabat, dan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Besar harapan penulis, skripsi ini dapat memberikan manfaat baik berupa pengetahuan maupun masukan untuk pengembangan taman atap sebagai salah satu RTH di wilayah perkotaan. Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk terwujudnya penelitian yang lebih baik di kemudian hari. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca umumnya. Bogor, Juni 2013
Leni Pritika Sari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA Kota
3
Ruang Terbuka Hijau
4
Taman Atap
6
METODE Bahan
11
Alat
11
Prosedur Analisis Data
11
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
17
Pembahasan
30
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
36
Saran
36
DAFTAR PUSTAKA
37
RIWAYAT HIDUP
38
DAFTAR TABEL Perbandingan antara taman atap intensif dan ekstensif
8
Pertimbangan pengembangan taman atap antara bangunan baru dan bangunan eksisting
9
Contoh tanaman untuk taman atap
10
Data yang digunakan dalam proses studi
11
Jalan nasional non jalan tol yang melalui Jakarta Utara
14
Luas wilayah Jakarta Utara menurut kecamatan
17
Tutupan lahan utama kota Jakarta Utara awal tahun 2009
19
Jumlah RTH pertamanan di wilayah Jakarta Utara
19
Jumlah penduduk berdasarkan kecamatan
21
Estimasi luasan taman atap pada bangunan terseleksi
26
Kebutuhan RTH berdasarkan proyeksi penduduk 2030
34
Kebutuhan RTH DKI Jakarta (target RTH 30%)
34
DAFTAR GAMBAR Kerangka pikir penelitian
2
Bagan proporsi RTH kawasan perkotaan
5
Contoh struktur lapisan roof garden
7
Contoh taman atap pada bangunan publik
8
Alur kerja penelitian
12
Kawasan perkantoran, perdagangan, dan jasa
13
Koridor jalan nasional lokasi sampel bangunan
14
Contoh sampel bangunan gedung eksisting
15
Karakter fisik bangunan gedung eksisting berdasarkan ketinggian
16
Rencana pola ruang Jakarta Utara
18
Kondisi RTH di wilayah penelitian (Taman Hutan Kota Penjaringan)
20
Kondisi ruang terbangun di wilayah penelitian
20
Pola bangunan perkotaan yang kompleks dengan KDB tinggi
22
Beragam bentukan atap bangunan gedung eksisting tinggi dengan peruntukan yang berbeda
24
Pemanfaatan sebagian kecil ruang atap untuk penghijauan
24
Pemanfaatan ruang atap untuk taman atap
25
Klasifikasi bangunan sampel berdasarkan ketinggian
25
Penghijauan prasarana umum (halte) di Causeway Bay, Hongkong
30
Potensi pengembangan taman atap pada bangunan sarana dan prasarana umum di wilayah perkotaan
31
PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan kota di Indonesia terutama kota-kota di kawasan pesisir yang relatif cepat menimbulkan permasalahan multidimensional, seperti meningkatnya kebutuhan lahan untuk perumahan, industri, perdagangan dan jasa, pelabuhan, pergudangan, wisata bahari, serta sarana dan prasarana (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2004). Kebutuhan lahan yang meningkat tidak sebanding dengan luasan lahan yang tersedia. Dampak dari hal tersebut yaitu semakin menurunnya luasan ruang terbuka hijau akibat tergerus oleh pembangunan. Kebutuhan akan ruang terbuka hijau sebagai penyeimbang lingkungan perkotaan perlu mendapat perhatian khusus sehingga morfologi kotakota di Indonesia bisa tertata dengan baik. Hal tersebut bisa dilakukan dengan instrumen penataan ruang untuk mewujudkan kualitas lingkungan perkotaan yang berkelanjutan (Ernawi, 2010). Dalam proses penataan ruang perkotaan, proporsi luas ruang terbuka hijau ditetapkan dan diupayakan secara bertahap sebesar tiga puluh persen dari luas wilayah kota dengan alokasi ruang terbuka hijau publik sebesar dua puluh persen dan ruang terbuka hijau privat sebesar sepuluh persen. Ketetapan tersebut dinyatakan dalam Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 pada Pasal 29 yang menjadi dasar pengembangan dan penataan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan di Indonesia. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. DKI Jakarta yang merupakan ibukota Negara Indonesia harus memenuhi luasan RTH sebesar 9544,79 Ha berdasarkan Perda DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang RTRW 2010. Namun, luasan RTH yang dikuasai oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta baru mencapai 9,97% luas wilayah.1 Peningkatan pembangunan di ibu kota menyebabkan penyempitan luasan RTH. Berdasarkan hasil penelitian Suwargana dan Sutanto (2005), Kota Administrasi Jakarta Utara yang merupakan bagian dari ibu kota yang berada di pesisir Laut Jawa selama tahun 1983-2002 telah mengalami penurunan luas RTH dari 822,2 Ha (23,1%) menjadi 216,9 Ha (5,9%) dengan penurunan sebesar 17,2%. Sedangkan wilayah urban dari tahun 1983-2002 telah mengalami peningkatan dari 5107,6 Ha (36,8%) menjadi 9584 Ha (68,9%) dengan peningkatan sebesar 32,1%. Kota Administrasi Jakarta Utara memiliki luas area 14.666 Ha setara dengan 22,14% luas seluruh daratan DKI Jakarta telah banyak mengalami pembangunan struktural. Berdasarkan data Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta menunjukkan bahwa luasan RTH pertamanan Kota Administrasi Jakarta Utara pada tahun 2010 baru mencapai 184,39 Ha atau setara dengan 1,26% total keseluruhan wilayah daratan. Dalam Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030 telah dijelaskan bahwa peningkatan kuantitas RTH di wilayah DKI Jakarta diupayakan mencapai 14,27% untuk RTH publik dan 20,24% untuk RTH
1
Nirwono Joga, Aspek Lingkungan dalam Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan, Presentasi dalam Workshop Nasional Pembangunan Kota yang Berkelanjutan, Jakarta 1 Oktober 2009 (Sutanto, 2009)
2 privat sehingga total pencapaian RTH menjadi sebesar 34,51%. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu alternatif bentuk ruang terbuka hijau yang sesuai dengan kondisi kawasan perkotaan dengan permasalahan keterbatasan lahan untuk membantu peningkatan kuantitas RTH kota. Salah satu alternatif bentuk ruang terbuka hijau yang bisa dikembangkan yaitu taman atap pada bangunan gedung eksisting yang kian menjamur di kawasan perkotaan ( Liu, 2001). Taman atap tersebut merupakan ruang bervegetasi yang dikreasikan terintegrasi dan terstruktur pada struktur atap buatan manusia. Taman atap dikembangkan untuk memberikan manfaat peningkatan kualitas lingkungan perkotaan terutama dalam mengatasi fenomena peningkatan suhu udara perkotaan akibat Urban Heat Island (Thownsend dan Duggie, 2007). Urban Heat Island (UHI) dicirikan seperti pulau udara permukaan panas yang terpusat di area urban dan akan akan semakin turun temperaturnya di daerah sekelilingnya pada daerah suburban/rural. Perumusan Masalah Pesatnya pembangunan di wilayah perkotaan yang menyebabkan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu faktor yang memicu timbulnya fenomena peningkatan suhu udara perkotaan atau yang lebih dikenal dengan Urban Heat Island. Kondisi tersebut menjadi dasar pemikiran untuk menganalisis potensi pengembangan taman atap sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan luasan RTH kota yang ditujukan untuk menurunkan peningkatan suhu udara perkotaan. Analisis potensi pengembangan taman atap pada bangunan gedung eksisting dilakukan sesuai alur pemikiran pada Gambar 1. Pesatnya pembangunan di perkotaan mempersempit luasan RTH kota Peningkatan suhu udara perkotaan (urban heat island) Peningkatan luasan RTH kota dengan taman atap Pengintegrasian taman atap pada bangunan gedung eksisting Kawasan perdagangan, jasa, dan perkantoran
Sisi jalur nasional Digitasi luas atap
Sampel bangunan
Skenario taman atap
Tinggi (>9 lantai)
Sedang (5-9 lantai)
Rendah (<5 lantai)
45% luas atap
30% luas atap
15% luas atap
Potensi peningkatan luasan RTH kota
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya studi potensi taman atap ini yaitu menganalisis potensi pengembangan taman atap sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan luasan RTH kota. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil studi potensi taman atap terhadap peningkatan RTH kota ini diharapkan dapat menjadi alternatif pemikiran bagi para penentu dan pelaku kebijakan maupun masyarakat dalam mengupayakan pengembangan taman atap sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan luasan RTH kota. Ruang Lingkup Penelitian Studi ini dilakukan dengan beberapa batasan yang meliputi, a. wilayah penelitian terbatas pada Kota Administrasi Jakarta Utara, b. data yang dijadikan sebagai bahan analisis diasumsikan setara dengan kondisi tahun 2011, c. analisis potensi pengembangan taman atap pada bangunan menggunakan sampel terbatas sesuai dengan desain studi yang telah direncanakan, d. bangunan sampel terseleksi diasumsikan memiliki struktur ideal untuk pengembangan taman atap, dan e. hasil skenario taman atap diasumsikan sebagai nilai potensi peningkatan luasan RTH kota.
TINJAUAN PUSTAKA Kota Simonds dan Starke (2006) mendefinisikan kota sebagai pusat kepadatan populasi dari kegiatan ekonomi, sosial, dan politik yang memiliki posisi geografi yang relatif tetap dan kekuasaan pemerintah yang diatur dalam bagian dari suatu negara. Kota dapat dimaknai sebagai pusat peradaban dari suatu kebudayaan perkotaan. Menurut Santoso (2006), kota menjadi habitat manusia yang terspesialisasi lebih beragam tidak hanya terpaku pada kegiatan pertanian sehingga keadaan ekonomi, sosial, dan budayanya terorganisasi secara kompleks. Kawasan perkotaan menurut Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 didefinisikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Tata perundangan tersebut juga mengatur perencanaan tata ruang kota dalam penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka nonhijau beserta prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah. Selain itu juga dikemukakan
4 bahwa tata ruang dalam lanskap kota merupakan suatu pembagian wilayah ke dalam suatu kawasan-kawasan tertentu dengan fungsi-fungsi tertentu seperti kawasan permukiman, industri, niaga, dan termasuk ruang terbuka hijau. Sebagaimana yang tertera pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan, struktur ruang kota merupakan susunan pusat-pusat permukiman sistem jaringan prasarana dan sarana di kota yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarki memiliki hubungan fungsional. Kota didefinisikan sebagai lingkungan binaan yang terus tumbuh dan berkembang sehingga membutuhkan suatu kebijakan terhadap perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang. Lanskap kota berkembang akibat perkembangan aktivitas manusia sebagai makhluk penghuni ruang kota dalam berinteraksi dengan lingkungan sebagai usaha untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Perkembangan kota dengan segala permasalahan multidimensionalnya menyebabkan keseimbangan ekologis kota sering terabaikan. Pelaksanaan penataan ruang perkotaan cenderung lebih mengedepankan pembangunan struktural tanpa mengindahkan kebutuhan ruang terbuka hijau (Pedersen, 2002). Pembangunan struktural tersebut terutama bangunan tinggi telah banyak menggantikan kondisi alam dan cenderung menimbulkan efek pemborosan energi dan emisi gas rumah kaca di lingkungan perkotaan. Efek rumah kaca tersebut mengakibatkan terjadinya akumulasi panas di atmosfer atau urban heat island yang berimbas pada peningkatan temperatur udara perkotaan (Liu, 2001). Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka seringkali diidentikkan dengan taman yang merupakan ruang dengan penggunaan terbatas dan bentuk yang luwes, dikembangkan dengan konstruksi yang minimal namun maksimal dalam hal material alami yang tidak diproses, dioptimalkan dalam fungsi kenyamanan dalam melakukan aktivitas saat senggang (Eckbo, 1964). Eckbo (1964) juga mengkategorikan fungsi ruang terbuka ditinjau dari perilaku pengguna yaitu untuk penggunaan yang intensif, misalnya plaza, lapangan, dan alun-alun; untuk daerah aktivitas, misalnya playground; dan untuk penggunaan kurang intensif, misalnya ruang terbuka hijau. Kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik terutama ruang terbuka hijau (RTH) saat ini mengalami penurunan yang sangat signifikan dan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan kehidupan perkotaan. Hal tersebut menjadi pertimbangan dalam penetapan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Ruang terbuka hijau yang dimaksud adalah ruang memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Dijelaskan pula bahwa tujuan penyelenggaraan RTH meliputi menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air, menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat serta meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.
5 wa penyediaaan RTH di d kawasan Dalaam peraturann tersebut diatur bahw pperkotaan dapat d ditentu ukan berdasarkan luass wilayahnyya yang dikkategorikan m menjadi RT TH publik dan d RTH prrivat. Proporrsi RTH paada wilayah perkotaan a adalah sebessar minimall 30% yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH p privat (Gambbar 2). Ruang Perkotaan
Terbangun
Terbuuka
Hunian (40% %)
Non Hunian (2 20%)
T Taman (12,5%))
Jalan (220%)
lain nnya (7,5%)
KDB (80% %)
KDB B (90%)
KDB (0%)
KDB (7 70%)
K KDB (80%)
RTH (8%)
RTH H (2%)
RTH (12,5%)
RTH (66%)
RT TH (1,5%)
RTH Puublik (20% %)
RTH Privat (10%)
RTH H Kota (330%)
S Sumber: Peratu uran Menteri Pekerjaan P Umuum Nomor 05/P PRT/M/2008
Gambar 2 Bagan prooporsi RTH kawasan perrkotaan Apaabila luas RT TH baik pubblik maupunn privat di kota yang bersangkutan ttelah memiliiki total luass lebih besar dari peraturran atau peruundangan yaang berlaku, m maka propo orsi tersebutt harus tetaap dipertahaankan keberradaannya. Selain itu, p penyediaan RTH juga dapat d didasaarkan pada jumlah j pendduduk yang menghuni w wilayah perkkotaan. Luassan RTH yaang dibutuhkkan ditentukkan dengan mengalikan m j jumlah pend duduk yang dilayani d denggan standar luas RTH peer kapita sessuai dengan p peraturan yaang telah diteetapkan. Jeniss RTH kaw wasan perkootaan berdasarkan Peraaturan Menteri dalam N Negeri Nom mor 1 Tahun n 2007 melliputi taman kota, tamaan wisata allam, taman r rekreasi, tam man lingkuungan perum mahan dan permukimaan, taman lingkungan l p perkantoran dan gedung g komersial, taman hutaan raya, hutaan kota, hutaan lindung, b bentang alam m seperti gu unung, bukitt, lereng dan n lembah, caagar alam, kebun k raya,
6 kebun binatang, pemakaman umum, lapangan olah raga, lapangan upacara, parkir terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET), sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa, jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian, kawasan dan jalur hijau, daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara, dan taman atap (roof garden). Penataan RTHKP yang dilakukan oleh pemerintah kota meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah. Taman Atap Menurut Townshend dan Duggie (2007), taman atap didefinisikan sebagai ruang bervegetasi yang dikreasikan terintegrasi dan terstruktur pada struktur atap buatan manusia. Ruang bervegetasi yang dimaksud bisa terletak di tengah maupun di atas level bangunan, dek atap, atau level paling atas dari suatu bangunan, tetapi di semua kasus tersebut tanaman tidak ditanam di permukaan tanah. Sedangkan taman atap menurut Liu dan Baskaran (2005) didefinisikan sebagai atap yang sengaja ditumbuhkan dengan vegetasi. Manfaat keberadaan taman atap pada suatu bangunan dikategorikan menjadi tiga hal menurut Townshend dan Duggie (2007), yaitu nilai kenyamanan dan keindahan, nilai lingkungan, serta nilai ekonomi. Nilai kenyamanan dan keindahan tersebut disesuaikan dengan fungsi yang ingin dikembangkan pada taman atap apakah taman atap tersebut mampu menjadi ruang terbuka bagi pengguna, bernilai indah secara visual, untuk pengembangan kesehatan dan terapi maupun produksi makanan. Hal tersebut bisa dikreasikan dengan pemilihan jenis tanaman yang akan ditumbuhkan pada taman atap tersebut. Untuk nilai lingkungan dipaparkan lebih lanjut oleh Townshend dan Duggie (2007) sebagai penyeimbang ekologis dan satwa liar, manajemen air, penyeimbang kualitas udara, penyerap bising, dan mengurangi efek kondisi termal yang tinggi. Sedangkan nilai ekonomi didasarkan pada peningkatan manfaat atap, dan efisiensi energi pada bangunan. Berkaitan dengan efisiensi energi tersebut, Feriadi dan Frick (2008) mengemukakan bahwa nilai perpindahan kalor dari atap (roof thermal transfer value/ RTTV) sekitar 35 W/m2. Angka tersebut lebih kecil dari batas maksimal sistem selubung bangunan hijau sebesar 45 W/m2 menurut Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau. Manfaat yang bisa dirasakan dari keberadaan taman atap yaitu ketahanan termal (resistence value) dari tanaman dan lapisan tanah yang bisa mereduksi pemakaian energi dalam bangunan gedung eksisting sekaligus melindungi lapisan kedap air atap dari paparan sinar matahari secara langsung dan air hujan. Struktur Taman Atap Pembangunan taman atap harus mempertimbangkan beban struktural yang akan disalurkan pada pondasi bangunan. Menurut Feriadi dan Frick (2008), pertimbangan struktural pembangunan taman atap yang harus diperhatikan meliputi beban mati, beban hidup yang disesuaikan dengan fungsi yang akan dikembangkan, dan beban angin. Lebih lanjut lagi dikemukakan bahwa beban mati merupakan berat kotak tanaman atau dinding pembatas yang biasanya berupa
7 bahan beton bertulang dengan bobot rata-rata 24 kN/m3. Beban hidup yang disangga rata-rata 1,5 kN/m3. Berat tanah basah sebagai media tumbuh dari tanaman pada taman atap tergantung kedalaman lapisan tanah yang dipakai yaitu sekitar 22 kN/m3 untuk kedalaman lapisan tanah 0,3-0,5 m untuk taman yang ditanami rumput dan perdu dan antara 1-1,5 m untuk pohon kecil maupun sedang. Sedangkan beban angin yang harus diperhitungkan didasarkan pada ketinggian bangunan gedung eksisting dan jenis tanaman yang ditanam. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008, penyediaan RTH pada atap bangunan harus mempertimbangkan beberapa aspek yang meliputi struktur bangunan, lapisan kedap air (waterproofing), sistem utilitas bangunan, media tanam, pemilihan material, aspek keselamatan dan keamanan, serta aspek pemeliharaan tanaman. Cutlip (2006) menjelaskan bahwa faktor kunci untuk implementasi taman atap pada bangunan gedung eksisting merupakan lapisan kedap air untuk menghindari kebocoran pada level di bawahnya. Contoh struktur lapisan taman atap yang dapat diimplementasikan pada atap bangunan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Digambar Ulang dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008
Gambar 3 Contoh struktur lapisan roof garden Jenis-jenis Taman Atap Taman atap dapat dikategorikan menjadi dua tipe berdasarkan intensitas pemeliharaannya menurut Townshend dan Duggie (2007), yaitu taman atap ekstensif dan taman atap intensif. Taman atap ekstensif memiliki karakteristik bobot ringan, biaya pembuatan murah, dan perawatan sederhana. Media tanam yang dipakai terbuat dari campuran pasir, gravel, pecahan batu bata, bahan organik, dan tanah dengan ketebalan yang bervariasi antara 0,05-0,15 m. Kedangkalan tanah tersebut mengharuskan penggunaan jenis tanaman yang tahan kering sepanjang tahun, dengan perawatan hanya sekitar dua atau tiga kali untuk penyiangan dan pengecekan membran. Sedangkan taman atap dengan kategori intensif memiliki karakteristik bobot yang lebih besar dibandingkan taman atap ekstensif, biaya pembuatan lebih mahal, dan perawatan yang cukup kompleks. Tanaman ditumbuhkan layaknya penanaman pada permukaan tanah dengan ketebalan media tanam berkisar antara 0,2 m untuk lawn hingga 2 m untuk
8 penanaman pohon dengan menyesuaikan beban struktural bangunan. Dengan peningkatan kedalaman tanah, pemilihan jenis tanaman untuk taman atap intensif lebih beragam dan membentuk ekosistem yang lebih kompleks. Kebutuhan pemeliharaannya juga dicukupi secara terus-menerus. Contoh taman atap pada bangunan publik dapat dilihat pada Gambar 4. Sedangkan perbandingan antara kedua tipe taman atap tersebut dijabarkan pada Tabel 1. Adapun pertimbangan pengembangan taman atap pada bangunan baru maupun bangunan eksisting dijelaskan pada Tabel 2.
(a)
(b)
Keterangan: (a) Taman atap ekstensif pada bangunan residensial, Hongkong (kiri); (b) Taman atap intensif pada bangunan Rumah Sakit Tang Shiu Kin, Hongkong (kanan) Sumber: Urbis Ltd, 2007
Gambar 4 Contoh taman atap pada bangunan publik
Tabel 1 Perbandingan antara taman atap intensif dan ekstensif Taman Atap Intensif Memberikan fungsi ruang terbuka dan penyedia iklim mikro yang ramah lingkungan. Peningkatan nilai kenyamanan sekaligus peningkatan nilai bangunan bangunan. Penggunaan jenis tanaman yang lebih beragam Memberikan manfaat lingkungan yang lebih baik, seperti ekologi dan satwa liar, manajemen air, peningkatan kualitas udara, dan reduksi pemanasan kota. Memberikan manfaat insulasi pada bangunan seperti, penyerapan bising, transfer panas, dan penghematan penggunaan penyejuk udara Sumber: Townshend dan Duggie (2007)
Taman Atap Ekstensif Biaya pembuatan yang lebih murah Biaya perawatan yang lebih murah Bobot struktural cukup ringan Sesuai untuk proyek peremajaan bangunan
9 Tabel 2 Pertimbangan pengembangan taman atap antara bangunan baru dan bangunan eksisting Bangunan Baru Biaya lebih hemat karena pembuatan dak telah terencana dari awal Slab pelat atap dapat didesain untuk bobot dengan kedalaman lebih Lapisan kedap air dapat menjadi bagian dari slab pelat atap dibandingkan menggunakan membran sistem tangki Perluasan dinding samping untuk kelebihan angin bisa menyatu dengan desain dek Sumber: Townshend dan Duggie (2007)
Bangunan Eksisting Keterbatasan pengembangan ketebalan media tanam Umur dan kondisi bangunan mempengaruhi kemungkinan pengintegrasian taman atap Instalasi drainase yang baru diperlukan Lapisan kedap air harus ditambahkan Sistem utilitas bangunan yang diletakkan pada bagian atap akan membatasi ruang taman atap
Pemeliharaan Taman Atap Seperti jenis taman lainnya, taman atap juga memerlukan pemeliharaan yang disesuaikan dengan karakteristiknya sehingga bisa ditentukan intensitas pemeliharaan yang diperlukan apakah pemeliharaan intensif atau pemeliharaan ekstensif. Luckett (2009) mengemukakan bahwa kegiatan pemeliharaan utama yang harus dilakukan terhadap taman atap berkaitan dengan keberlangsungan hidup tanaman yang ditumbuhkan pada taman atap. Kegiatan pemeliharaan utama yang harus dilakukan meliputi penyiraman atau proses irigasi, pemupukan, penyiangan dan pembarantasan hama. Kegiatan pemeliharaan tersebut perlu diperhatikan dalam proses perencanaan taman atap sehingga hasil yang didapatkan sesuai dengan yang direncanakan. Proses pengairan taman atap perlu mendapatkan perencanaan yang matang mengingat lokasi pembangunannya yang berada di permukaan atap suatu bangunan. Pertimbangan instalasi sarana irigasi otomatis perlu dilakukan apabila tidak memungkinkan penyiraman secara manual. Instalasi sarana irigasi tersebut direncanakan saat proses pembangunan sehingga bisa terhitung pula bobot sarana instalasi tersebut yang turut disangga oleh struktur bangunan. Frekuensi dan volume kebutuhan air disesuaikan dengan jenis tanaman yang ditumbuhkan untuk menghindari kematian tanaman akibat kekurangan maupun kelebihan air. Proses pemupukan juga penting dilakukan karena media taman atap merupakan media buatan yang diupayakan seperti kondisi tanah. Proses pemupukan ini diperlukan terutama pada 3 hingga 5 tahun pertama pembangunan taman atap. Penyiangan dan pemberantasan hama juga perlu dilakukan untuk menghindari berkembangnya hama maupun timbulnya penyakit yang mampu menghambat keberlangsungan hidup tanaman pada taman atap. Struktur Vegetasi pada Taman Atap Perencanaan dan perancangan taman atap perlu memperhatikan beberapa faktor yang berkaitan dengan sifat pertumbuhan tanaman dan faktor lingkungan tumbuhnya yang meliputi media tumbuh, daya dukung slop, fasilitas pembuangan dan konservasi air, perlindungan dari angin kencang, dan pemilihan jenis tanaman yang tahan terhadap hama penyakit dan kekeringan. (Sulistyantara et al., 2004)
10 Kuhn (1995) menyatakan bahwa taman atap memiliki kondisi iklim mikro yang spesifik seperti kecepatan angin yang besar, intensitas penyinaran tinggi, dan temperatur yang ekstrim. Hal ini menimbulkan efek langsung terhadap pemilihan jenis tanaman, perlakuan irigasi, dan perawatan tanaman. Sulistyantara et al. (2004) menjelaskan bahwa faktor iklim yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis tanaman yang sesuai untuk taman atap meliputi, a. Panas yang Ekstrim Suatu kondisi panas berlebih yang bersumber dari sinar matahari terus menerus yang menyebabkan proses penguapan berlangsung terus menerus sehingga mengakibatkan kekeringan pada tanaman. Penguapan tersebut dapat terpicu kembali saat ruang-ruang di sekitar tanaman masih didominasi oleh perkerasan. b. Angin Kencang Semakin tinggi bangunan dapat menyebabkan kecepatan angin yang tinggi pula. Angin akan meningkatkan proses penguapan air dari dalam tubuh tanaman sehingga tubuh tanaman bisa mengalami defisit air. Berdasarkan penelitian Arisanti (2005) terhadap adaptasi anatomis pohon pada taman atap menunjukkan bahwa pohon dengan daun yang memiliki trikoma (rambut) dan lapisan lilin dapat direkomendasikan sebagai pohon yang baik digunakan pada lokasi taman atap. Trikoma dan lapisan lilin merupakan suatu bentuk adaptasi anatomis yang mampu menahan pengeluaran air secara berlebihan. Adapun jenis tanaman yang bisa ditanam pada taman atap ekstensif dengan beban atap relatif kecil yaitu rumput-rumputan, tanaman penutup tanah, dan semak rendah. Beberapa contoh tanaman yang sesuai untuk taman atap dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Contoh tanaman untuk taman atap Nama Tanaman Nama Latin Keterangan Perdu/ Semak Akalipa Merah Acalypha wilkesiana Daun berwarna Nusa indah Merah Musaenda eryttrophylla Berbunga Daun Mangkokan Notophanax scutellarium Berdaun unik Bougenvil Merah Bougenvillea glabra Berbunga Azalea Rhododendron indicum Berbunga Soka Daun Besar Ixora javanica Berbunga Bakung Crinum asiaticum Berbunga Oleander Nerium oleander Berbunga Palem Kuning Chrysalidocaus lutescens Daun berwarna Sikas Cycas revolata Bentuk unik Alamanda Alamanda cartatica Merambat berbunga Puring Codiaeum varigatum Daun berwarna Kembang Merak Caesalphinia pulcherima Berbunga Penutup Tanah Rumput Gajah Axonophus compressus Tekstur kasar Lantana Ungu Lantana camara Berbunga Rumput Kawat Cynodon dactylon Tekstur sedang Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008
11
METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam proses studi merupakan data hasil proses inventarisasi dan survei lapang yang dijabarkan pada Tabel 4. Tabel 4 Data yang digunakan dalam proses studi Data Citra Quickbird Jakarta Utara tahun 2011 Data kependudukan Data paparan wilayah Data legal/kebijakan pemerintah
Fungsi Analisis sampel bangunan Analisis demografi Analisis kondisi tapak Analisis kebijakan pengembangan taman atap
Data penunjang
Sumber http://pu.go.id http://jakutkota.bps.go.id http://www.jakarta.go.id/web/bankdata RTRW DKI Jakarta 2030 RDTR Jakarta Utara Tata perundangan dan studi literatur
Alat Dalam proses studi digunakan beberapa alat dan program komputer yang diperlukan untuk membantu proses inventarisasi dan analisis, meliputi 1. Peta dasar 2. Kamera digital 3. GPS (Global Positioning System), Garmin GPS 60 4. Garmin trip and waypoint manager v5 5. Microsoft office 2010 6. ArcGIS 9.3 7. Adobe Photoshop CS3
Prosedur Analisis Data Metode penelitian yang dilakukan yaitu metode deskriptif dengan teknik survei lapang. Kegiatan survei lapang dilakukan untuk mengamati kondisi tapak penelitian dan objek studi secara langsung. Objek studi yang diteliti diwakili dengan pengambilan sampel bangunan gedung eksisting. Fokus pengamatan ditujukan untuk mengamati kondisi fisik bangunan gedung eksisting berupa ketinggian bangunan. Dalam proses pelaksanaannya terbagi menjadi beberapa tahapan yang meliputi inventarisasi data, survei lapang, serta analisis dan sintesis yang tergambarkan pada Gambar 5.
12
1. 2. 3.
Pengumpulan Data (Inventarisasi) Citra satelit Quickbird Jakarta Utara Data kependudukan Data legal/ kebijakan pemerintah
1. 2. 3.
Survei Lapang Observasi kondisi lokasi penelitian Inventarisasi sampel studi (bangunan gedung eksisting) Klasifikasi sampel studi (ketinggian)
1. 2.
Analisis dan Sintesis Analisis deskriptif Skenario peningkatan RTH dengan taman atap Produk Nilai peningkatan luasan RTH kota dengan skenario taman atap
INPUT
SURVEI LAPANG
ANALISIS dan SINTESIS OUTPUT
Gambar 5 Alur kerja penelitian Inventarisasi Pada tahap inventarisasi dilakukan pengumpulan data yang dibutuhkan untuk melakukan studi. Data diambil dari proses observasi lapang, jejaring berkala, dan publikasi ilmiah. Survei Lapang Studi ini dilakukan untuk mencapai hasil akhir berupa estimasi nilai potensi peningkatan RTH Kota yang dilakukan di wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara dengan skenario pengintegrasian taman atap pada bangunan gedung eksisting sebagai sampel studi. Analisis dengan metode sampling dilakukan untuk memenuhi keterbatasan peneliti dalam proses pengumpulan data. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, yang dimaksud dengan bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Dalam proses survei lapang dilakukan pembatasan terhadap bangunan yang akan dijadikan sampel di lapangan dengan teknik purposive sampling2. 1. Penentuan batas tapak penelitian Objek yang diteliti dalam studi ini yaitu bangunan gedung eksisting yang ada di wilayah Jakarta Utara sebagai ruang untuk pengembangan taman atap. Pembatasan dilakukan untuk mengimbangi keterbatasan peneliti akibat tapak penelitian yang terlalu luas. Batasan tapak yang diteliti dipersempit berdasarkan beberapa variabel pembatas yang meliputi,
2
Purposive Sampling merupakan teknik penyeleksian sampling dengan pembatas yang ditentukan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. (Given (Ed.), 2008)
13 a.
kawasan pusat perdagangan, perkantoran, da n jasa; Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 1 Tahun 2012 tentang RTRW 2030, yang dimaksud dengan kawasan pusat perkantoran, perdagangan, dan jasa adalah kawasan yang terpusat diperuntukkan bagi kegiatan perkantoran, perdagangan dan jasa, termasuk pergudangan, yang diharapkan mampu mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya dan memberikan nilai tambah pada suatu kawasan perkotaan. Penentuan kawasan pusat perdagangan, perkantoran, dan jasa dilakukan berdasarkan peta pola ruang Jakarta Utara RTRW DKI Jakarta 2030 (Gambar 6). Kawasan pusat perkantoran, perdagangan, dan jasa merupakan kawasan pusat pembangunan dengan KDB tinggi sehingga berpotensi untuk dikembangkan taman atap.
Keterangan: Batas Wilayah Perkantoran, Perdagangan,dan Jasa
Sumber: Citra Google Earth, 2010
Gambar 6 Kawasan perkantoran, perdagangan, dan jasa (berdasarkan peta pola ruang Jakarta Utara RTRW DKI Jakarta 2030) b.
terletak di sisi koridor jalan nasional; Kepadatan bangunan di sekitar koridor jalan nasional mengindikasikan bahwa perkembangan kota sejalan dengan arus mobilitas penduduk. Dalam proses inventarisasi, pengambilan sampel bangunan dibatasi untuk bangunan yang berada di sisi koridor jalan nasional untuk memudahkan peneliti dalam proses survei lapang. Yang termasuk kelompok jalan nasional adalah jalan nasional primer dan jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan lain yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional. Berdasarkan penetapan KepmenPU Nomor 631/KPTS/M/2009, yang termasuk jalan nasional pada tapak penelitian dirincikan pada Tabel 5.
14 Tabel 5 Jalan nasional bukan jalan tol yang melalui Jakarta Utara No Nama Jalan 1 Jalan Laksamana Yos Sudarso 2 Jalan Raya Pelabuhan 3 Jalan Jampea 4 Jalan Cilincing Raya 5 Jalan Enggano 6 Jalan Taman Stasiun Priok 7 Jalan RE Martadinata 8 Jalan Lodan 9 Jalan Krapu 10 Jalan Pakin 11 Jalan Gedong Panjang 12 Jalan Pluit Selatan Raya 13 Jalan Cakung-Cilincing 14 Jalan Akses Marunda Sumber: Dinas PU (2009)
Panjang Jalan (Km) 6,726 0,357 1,138 1,731 0,945 0,450 7,210 1,391 0,160 0,585 0,316 1,489 9,030 3,620
Keterangan: Batas wilayah Perkantoran, Perdagangan,dan Jasa Jalan nasional
Keterangan: Penomoran jalan sesuai dengan Tabel 5 Sumber: Citra Google Earth, 2010
Gambar 7 Koridor jalan nasional lokasi sampel bangunan 2. Inventarisasi sampel studi Pada tahapan ini dilakukan pengecekan langsung ke lapang untuk menginventarisasi sampel studi. Bangunan gedung eksisting yang dijadikan sebagai sampel studi merupakan bangunan gedung fungsi usaha yang dijumpai pada tapak penelitian. Bangunan gedung usaha dipilih karena potensi pengembangan taman atap ditujukan untuk memaksimalkan partisipasi pemilik properti untuk meningkatkan luasan RTH kota dari sektor RTH privat. Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yang termasuk bangunan gedung fungsi usaha meliputi, a. perkantoran, termasuk kantor yang disewakan; b. perdagangan, seperti warung, toko, pasar, dan mal;
15 c. perindustrian, seperti pabrik, laboratorium, dan perbengkelan; d. perhotelan, seperti wisma, losmen, hostel, motel, dan hotel; e. wisata dan rekreasi, seperti gedung pertemuan, olah raga, anjungan, bioskop, dan gedung pertunjukan; f. terminal, seperti terminal angkutan darat, stasiun kereta api, bandara, dan pelabuhan laut; g. penyimpanan, seperti gudang, tempat pendinginan, dan gedung parkir. Selain itu, terdapat pula kombinasi fungsi dalam bangunan gedung eksisting misalnya kombinasi fungsi hunian dan fungsi usaha, seperti bangunan gedung eksisting rumah-toko, rumah-kantor, apartemen-mal, dan hotel-mal, atau kombinasi fungsi-fungsi usaha seperti bangunan gedung eksisting kantor-toko dan hotel-mal.
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
(f)
Keterangan: (a) Bangunan perdagangan; (b) Bangunan perkantoran; (c) Bangunan perhotelan; (d) Bangunan perindustrian; (e) Bangunan penyimpanan; dan (f) Bangunan terminal Sumber: (d) http://www.pdw-architects.com/images/isuzu-1%20%28Custom%29.jpg (e) http://www.panoramio.com/photo/3092174 (dok. oleh: Stehbens, 2007)
Gambar 8 Contoh sampel bangunan gedung eksisting
3. Klasifikasi sampel studi Sampel bangunan gedung eksisting diklasifikasikan berdasarkan ketinggian bangunan sesuai dengan penetapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang bangunan gedung. Klasifikasi bangunan didasarkan pada jumlah lantai bangunan yang meliputi bangunan gedung tinggi dengan jumlah lantai lebih dari 9 lantai, bangunan gedung sedang dengan jumlah lantai antara 5 sampai dengan 9 lantai, dan bangunan gedung rendah dengan jumlah lantai kurang dari 5 lantai.
16
(a)
(b)
(c)
Keterangan: (a) Bangunan rendah (kurang dari 5 lantai); (b) Bangunan sedang (5-9 lantai); (c) Bangunan tinggi (lebih dari 9 lantai) Sumber: (a) http://www.panoramio.com/photo/38159253 (dok. oleh: Mike, 2010)
Gambar 9 Karakter fisik bangunan gedung eksisting berdasarkan ketinggian Analisis dan Sintesis Data Pada tahapan ini dilakukan pengolahan data hasil proses inventarisasi untuk menganalisis kondisi ekologis wilayah penelitian dan potensi pengembangan taman atap pada sampel bangunan. Seluruh data dianalisis untuk menghasilkan sintesis berupa skenario peningkatan luasan RTH dengan pengintegrasian taman atap pada sampel bangunan gedung eksisting. Analisis yang dilakukan meliputi, a. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan untuk mengolah data inventarisasi yang didapat melalui studi pustaka dan observasi langsung kondisi di lapang. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi wilayah penelitian, jumlah penduduk, dan kebijakan pengembangan RTH oleh pemerintah setempat. b. Skenario Peningkatan RTH dengan Pengembangan Taman Atap Skenario peningkatan RTH dengan pengembangan taman atap pada bangunan gedung eksisting dilakukan dengan mengasumsikan atap bangunan memiliki kondisi struktur yang memungkinkan untuk pengintegrasian taman atap. Asumsi tersebut dilakukan untuk memproyeksikan kondisi ideal suatu bangunan dengan integrasi taman atap untuk meningkatkan luasan RTH kota. Pendigitasian atap bangunan dilakukan dengan bantuan Citra Quickbird dengan resolusi 2,4-2,8 meter. Hasil digitasi kemudian dianalisis dengan program ArcGIS 9.3. untuk mendapatkan nilai luasan atap sampel bangunan sebagai ruang pengembangan taman atap. Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2012 ditetapkan bahwa pengembangan taman atap merupakan salah satu unsur pengembangan bangunan gedung hijau (green building). Dalam penyediaan RTH pada green building, kebutuhan perencanaan dan pelaksanaan penanaman vegetasi alami pada dan/atau di dalam bangunan gedung dapat dilakukan salah satunya dengan metode penghijauan atap (green roof), dengan kriteria: a. untuk bangunan dengan jumlah lantai <5 (lima), luas penanaman vegetasi alami sebesar ≥15% (lima belas persen) dari luas lantai dasar; b. untuk bangunan dengan jumlah lantai ≤9 (sembilan), luas penanaman vegetasi alami sebesar ≥30% (tiga puluh persen) dari luas lantai dasar; dan
17 c. untuk bangunan dengan jumlah lantai >9 (sembilan), luas penanaman vegetasi alami sebesar ≥45% (empat puluh lima persen) dari luas lantai dasar. Hasil digitasi luasan atap bangunan gedung selanjutnya dikalikan dengan persentase penghijauan atap sesuai dengan ketinggian bangunan yang diidentifikasi pada saat survei lapang. Hasil akumulasi dari keseluruhan nilai luasan penghijauan atap tersebut dijadikan sebagai potensi peningkatan luasan RTH kota.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Inventarisasi Letak Geografis dan Administratif Kota Administrasi Jakarta Utara merupakan salah satu bagian wilayah dari provinsi DKI Jakarta yang terletak di bagian Utara dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Wilayah daratannya membentang dari Barat ke Timur sepanjang kurang lebih 35 km, menjorok ke darat antara 4 s.d. 10 km. Kota Administrasi Jakarta Utara terletak antara 06o10’00” Lintang Selatan dan 106o 20’00” Bujur Timur. Wilayah Jakarta Utara mempunyai batas–batas geografis sebagai berikut: - Sebelah Utara: Laut Jawa - Sebelah Selatan: Kabupaten Dati II Tangerang, Jakarta Pusat, dan Jakarta Timur. - Sebelah Barat: Kabupaten Dati II Tangerang dan Jakarta Pusat. - Sebelah Timur: Kabupaten Dati II Bekasi. Luas Wilayah Administratif Berdasarkan SK Gubernur KDH DKI Jakarta Nomor 171 Tahun 2007, secara administratif Kota Administrasi Jakarta Utara dibagi menjadi 6 wilayah kecamatan dan 31 wilayah kelurahan seperti yang tertera pada Tabel 6. Tabel 6 Luas wilayah Jakarta Utara menurut kecamatan Kecamatan Penjaringan Pademangan Tanjung Priok Koja Kelapa Gading Cilincing Jakarta Utara Sumber: BPS Jakarta Utara (2010)
Luas (Ha) 4.540,57 1.191,87 2.251,74 1.225,44 1.486,7 3.969,96 14.666,28
Persentase 30,96% 8,13% 15,36% 8,35% 10,13% 27,07% 100%
Dari Tabel 6 menunjukkan wilayah Kecamatan Penjaringan merupakan wilayah terluas dengan total luas wilayah mencapai 4.540,57 Ha atau setara dengan 30,96% total luas wilayah Jakarta Utara. Sedangkan wilayah terkecil yaitu
18 Kecamatan Pademangan dengan luas 1.191,87 Ha atau setara dengan 8,13% total luas wilayah Jakarta Utara. Pola Ruang Kota Administrasi Jakarta Utara sebagian besar terdiri dari rawa-rawa yang mempunyai ketinggian rata-rata 0 sampai dengan 1 meter diatas permukaan laut walaupun terdapat pula kawasan yang memiliki ketinggian rata-rata antara 14 meter diatas permukaan laut terutama untuk kawasan selatan. Kondisi tersebut berimplikasi pada pemanfaatan kawasan ruang daratan yang terbagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Sumber: RTRW DKI Jakarta 2030
Gambar 10 Rencana pola ruang Jakarta Utara Arahan pengembangan pola ruang kawasan budi daya, meliputi a. kawasan terbuka hijau budi daya; b. kawasan permukiman; c. kawasan perkantoran, perdangangan, dan jasa; d. kawasan pariwisata; e. kawasan perikanan; dan f. kawasan industri dan pergudangan. Tutupan Lahan Berdasarkan hasil survei Bappeda (2009) pada Tabel 7 menunjukkan kondisi tutupan lahan Kota Jakarta Utara yang didominasi oleh bangunan dan
19 pemukiman. Area terbangun yang diwakili oleh tutupan lahan pemukiman tercatat sebesar 133,75 Ha atau sebanding dengan 91,20 %. Sedangkan area bervegetasi berupa tutupan lahan pertanian dan hutan kota berturut-turut sebesar 4,75 % dan 1,36 %. Sisanya merupakan ruang terbuka biru berupa sungai sebesar 1,4 % dan tutupan lahan waduk/ rawa/ danau sebesar 1,3 %. Dari hasil data kondisi tutupan lahan tersebut menunjukkan bahwa peningkatan luasan RTH di wilayah Jakarta Utara perlu untuk dilakukan sebagai upaya untuk mengimbangi pesatnya pembangunan. Tabel 7 Tutupan lahan utama kota Jakarta Utara awal tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tutupan Lahan Pemukiman Pertanian Padang rumput Semak/ alang- alang Hutan dan hutan kota Lahan kritis Lahan lain/sungai Waduk/ rawa/ danau Total Sumber: Bappeda DKI Jakarta (2009)
Luas (Ha) 133,75 6,97 2,00 2,04 1,90 146,66
Persentase (%) 91, 20 4,75 1,36 1,4 1,3 100%
Ruang Terbuka Hijau Luasan RTH Pertamanan di wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara pada tahun 2010 mengalami kenaikan sekitar 9% dari tahun 2009. Namun jumlah luasan RTH pertamanan yang dikuasai baru mencapai 184,39 Ha atau setara dengan 1,26% total keseluruhan wilayah (Tabel 8). Dalam usaha peningkatan jumlah RTH sesuai dengan acuan perundangan sebesar 30% luas wilayah atau setara dengan 4.399,88 Ha, maka jumlah RTH publik yang harus dipenuhi yaitu 2.933,26 Ha setara dengan 20% luas wilayah dan RTH privat seluas 1.466,63 Ha setara dengan 10% luas wilayah. Jumlah RTH pertamanan yang dikuasai pada saat ini baru memenuhi 6,29% target RTH publik sehingga untuk meningkatkan kuantitas RTH secara keseluruhan dapat diupayakan dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam meningkatkan RTH privat. Salah satu RTH pertamanan yang dijumpai di wilayah penelitian yaitu taman hutan kota Penjaringan yang tampak pada Gambar 11. Tabel 8 Jumlah RTH pertamanan di wilayah Jakarta Utara Jenis RTH
2009 Jumlah 111 122 18 13 10
Luas (Ha) Taman kota 19,98 Jalur hijau jalan 77,72 Taman bangunan umum 0,73 Tepian air 2,03 Taman rekreasi RTH pemakaman 68,53 Jumlah Total 168,99 Sumber: Dinas Pertamanan dan Pemakaman (2010)
Jumlah 112 122 18 13 10
2010 Luas (Ha) 24,34 77,72 0,73 2,03 79,58 184,39
20
Sumber: http://pertamananpemakaman.jakarta.go.id/assets/data/files/thkp_sesudah.jpg
Gambar 11 Kondisi RTH di wilayah penelitian (Taman Hutan Kota Penjaringan) Ruang Terbangun Kondisi wilayah Jakarta Utara didominasi oleh struktur bangunan sebagai salah satu ciri khas bagian dari kota metropolitan Jakarta. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Jakarta Utara telah mengalami pembangunan struktural yang cukup pesat. Hampir sebagian besar wilayah dipenuhi oleh pemukiman, jalan, dan bangunan lainnya yang menjadi ciri khas suatu wilayah perkotaan. Jakarta Utara sebagai bagian dari ibu kota provinsi telah banyak mengalami perkembangan struktural sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi sehingga mempersempit keberadaan RTH di wilayah tersebut (Gambar 12).
Gambar 12 Kondisi ruang terbangun di wilayah penelitian Kependudukan Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk 2010 yang dilakukan oleh BPS Kota Administrasi Jakarta Utara, jumlah penduduk Jakarta Utara tercatat sebanyak 1.423.611 jiwa. Sebaran terbanyak di Kecamatan Tanjung Priok sebesar 24,95%, diikuti Kecamatan Cilincing sebesar 23,43%, Kecamatan Koja sebesar 19,46%, dan Kecamatan Penjaringan sebesar 15,23%. Sedangkan Kecamatan Pademangan dan Kelapa Gading sebaran penduduknya berada di bawah 10% berturut-turut 8,83% dan 8,09% . (Tabel 9).
21 Tabel 9 Jumlah penduduk berdasarkan kecamatan Kecamatan Penjaringan Pademangan Tanjung Priok Koja Kelapa Gading Cilincing Jakarta Utara Sumber: BPS Jakarta Utara (2010)
Penduduk (jiwa) 216.842 125.770 355.128 277.089 115.199 333.583 1.423.611
Persentase 15,23% 8,83% 24,95% 19,46% 8,09% 23,43% 100%
Dalam paparan Perda Nomor 1 Tahun 2012, diproyeksikan kenaikan jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu) jiwa penduduk yang persebarannya diarahkan 18,6% (delapan belas koma enam persen) di Kota Administrasi Jakarta Utara. Jumlah tersebut setara dengan 2.325.000 (dua juta tiga ratus dua puluh lima ribu) jiwa penduduk yang berarti diperkirakan peningkatan yang akan terjadi hampir dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah penduduk saat ini. Konsekuensi yang timbul dari kondisi tersebut adalah kebutuhan ruang termasuk di dalamnya RTH sebagai penyeimbang lingkungan yang semakin meningkat sehingga diperlukan langkah nyata untuk mempertahankan dan meningkatkan kuantitas RTH yang ada. Kebijakan Pemerintah Dalam arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) DKI Jakarta 2030, disebutkan bahwa Kota Administrasi Jakarta Utara sebagai bagian terintergrasi dari hirarki perencanaan provinsi DKI Jakarta. Rencana pemanfaatan ruang diarahkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sehingga dirincikan ke dalam beberapa sektor pengembangan yang disesuaikan dengan kondisi masingmasing wilayah. Salah satu arahan pengembangan taman kota yang telah disebutkan pada RTRW DKI Jakarta 2030 adalah upaya pengembangan roof garden dan dinding hijau di kawasan permukiman dan perkantoran terutama di kawasan dengan KDB tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bentuk RTH roof garden dan dinding hijau merupakan alternatif yang sesuai untuk kawasan dengan kondisi lahan yang terbatas seperti kawasan dengan KDB tinggi. Koefisien dasar bangunan atau disingkat dengan KDB adalah perbandingan antara luas dasar bangunan dan luas persil. Kawasan KDB tinggi umumnya dijumpai pada kawasan yang terletak di tepi jalan nasional dengan fungsi utama sebagai pusat perekonomian, sosial, dan pemerintahan. Seperti yang tertera pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau bahwa perencanaan dan pelaksanaan penanaman vegetasi alami pada dan/atau pada bangunan gedung eksisting dapat dilakukan dengan metode, a. penghijauan atap datar (green roof); b. pembuatan taman di dalam bangunan gedung eksisting (inner court/ interior scape); c. penghijauan vertikal (vertical greenery). Dengan adanya peraturan tersebut menujukkan bahwa pengembangan taman atap telah menjadi kebijakan untuk pemilik bangunan gedung sehingga
22 peningkatan RTH kota terutama di sektor privat bisa diupayakan dengan maksimal. Potensi Pengembangan Taman Atap di Wilayah Jakarta Utara Potensi pengembangan taman atap dianalisis dengan mengidentifikasi pola bangunan yang ada di wilayah penelitian. Secara umum, pola bangunan di wilayah Jakarta Utara merupakan struktur yang kompleks dan padat dengan KDB tinggi. Kondisi tersebut dapat dijumpai terutama di sekitar jalur utama seperti Jalan Jembatan Tiga, Jalan Gunung Sahari, Jalan Yos Sudarso, dan Jalan Martadinata (Gambar 13). Struktur perkotaan yang kompleks dan padat tersebut semakin menggeser keberadaan RTH yang berimplikasi pada penurunan kondisi mikroklimat lingkungan perkotaan.
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: (a) Pola bangunan di sekitar pusat perdagangan Mangga Dua; (b) Pola bangunan di sekitar CBD Pluit; (c) Pola bangunan di sekitar Sunter; (d) Pola bangunan di sekitar Tanjung Priok Sumber: (a) http://www.panoramio.com/photo/23389816 (dok. oleh: Nazrul, 2009) (b) http://www.panoramio.com/photo/3092174 (dok. oleh: Stehbens, 2007) (c) http://www.panoramio.com/photo/30345826 (dok. oleh: Dicky, 2009) (d) http://www.panoramio.com/photo/8304803 (dok. oleh: Steven, 2008)
Gambar 13 Pola bangunan perkotaan yang kompleks dengan KDB tinggi Kondisi di sekitar jalan nasional yang merupakan jalur utama mobilitas penduduk perkotaan umumnya merupakan kawasan perkantoran, perdagangan, jasa dan campuran. Kecenderungan yang sering terjadi yaitu pembangunan di
23 wilayah perkotaan berpusat di sekitar jalan nasional tersebut untuk menunjang mobilitas manusia maupun barang dalam berkegiatan sehari-hari. Hal-hal yang diakibatkan dari kondisi tersebut yakni semakin berkurangnya RTH terutama di sekitar jalur utama akibat pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ruang dan mobilitas penduduk. Kuantitas RTH yang semakin berkurang tersebut juga tidak seimbang dengan peningkatan polusi akibat semakin meningkatnya arus kendaraan yang terjadi. Hampir di sebagian besar wilayah Jakarta Utara terutama di sekitar jalur utama merupakan struktur bangunan gedung dengan beragam kategori ketinggian, bentuk, maupun fungsi. Kawasan pusat perdagangan seperti Mangga Dua yang terletak di sekitar Jalan Gunung Sahari, banyak dipenuhi oleh bangunan dengan kategori ketinggian sedang maupun tinggi dengan fungsi perdagangan seperti mall, ruko, dan rukan. Selain itu, mengarah ke wilayah utara di sekitar kawasan Ancol banyak dijumpai bangunan gedung eksisting tinggi dengan fungsi perhotelan maupun hunian. Di wilayah Jakarta Utara bagian barat terdapat kawasan CBD (Central Business District) Pluit yang terletak di sekitar Jalan Jembatan Tiga. Kawasan ini merupakan kawasan padat yang dipenuhi bangunan perdagangan, perindustrian maupun perkantoran. Semakin mengarah ke bagian utara merupakan ruang perumahan dengan berbagai macam fasilitas penunjang seperti bangunan perdagangan maupun pelayanan publik. Selain itu, di sekitar kawasan waduk pluit juga dijumpai bangunan hunian tinggi berupa apartemen maupun bangunan perhotelan. Kondisi tersebut hampir serupa dengan wilayah Jakarta Utara bagian Timur. Di sekitar Jalan Laksamana Yos Sudarso yang mengapit kawasan Sunter dan Kelapa Gading dipenuhi oleh struktur bangunan yang kompleks dan padat. Sebagian besar bangunan gedung eksisting di sekitar Jalan Laksamana Yos Sudarso merupakan bangunan gedung eksisting tinggi dengan fungsi perdagangan, perkantoran, dan perindustrian. Mengarah ke wilayah utara terdapat bangunan gedung eksisting kantor walikota yang merupakan pusat pemerintahan wilayah Jakarta Utara. Di wilayah paling utara merupakan Kawasan Tanjung Priok. Wilayah ini merupakan kawasan pelabuhan skala besar dengan pola bangunan cukup padat seperti perkantoran maupun ruang peti kemas yang menunjang kegiatan di pelabuhan. Pola bangunan dengan struktur kompleks dan padat yang memenuhi hampir di sebagian besar wilayah Jakarta Utara merupakan suatu bentuk penyesuaian terhadap kebutuhan ruang untuk berkegiatan oleh manusia sebagai penggunanya. Bangunan gedung eksisting yang dijumpai di sekitar jalur utama umumnya merupakan bangunan dengan kategori ketinggian tinggi maupun sedang. Hal tersebut dilakukan untuk mengimbangi kebutuhan ruang yang cukup besar di lahan perkotaan yang umumnya terbatas. Pembangunan kearah vertikal tersebut semakin marak dilakukan dengan beragam modifikasi bentuk bangunan hingga ruang atap yang banyak difungsikan sebagai ruang untuk penempatan sistem utilitas bangunan maupun fungsi lain yang lebih kompleks seperti ruang olahraga maupun ruang rekreasi berupa kolam renang maupun taman yang tidak memenuhi untuk pengembangan horizontal (Gambar 14).
24
(a)
(b)
Keterangan: (a) Beragam bentukan permukaan atap; (b) Atap bangunan yang dimanfaatkan untuk ruang rekreasi (kolam dan taman) dan sistem utilitas bangunan Sumber: Citra Google Earth, 2010
Gambar 14 Beragam bentukan atap bangunan gedung eksisting tinggi dengan peruntukan yang berbeda Dalam proses pengamatan lapang juga menjumpai beberapa penghijauan atap bangunan yang telah banyak dilakukan oleh pemilik bangunan bangunan (Gambar 15). Namun hal tersebut hanya dilakukan di sebagian kecil ruang atap yang proposinya kurang seimbang dengan luasan bangunan yang cukup besar. Kondisi tersebut tampak pada bangunan pusat perbelanjaan maupun perkantoran yang umumnya memiliki ruang atap dengan luasan cukup besar namun minim penghijauan. Upaya penghijauan atap tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa potensi pengintegrasian taman atap dapat dikembangkan pada bangunan perkotaan. Selain itu, juga dijumpai beberapa gedung yang telah terintegrasi dengan taman atap. Integrasi taman atap pada level tengah bangunan tersebut difungsikan sebagai ruang rekreasi penghuni bangunan sehingga taman, kolam renang, area santai maupun lapangan olahraga menjadi satu kesatuan dengan struktur bangunan (Gambar 16).
Sumber: Citra Google Earth, 2010; http://www.sinarmasland.com/demo/site/files/images/projectlist/314ITCcempakamas.jpg
Gambar 15 Pemanfaatan sebagian kecil ruang atap untuk penghijauan
25
S Sumber: Citra Google Earth, 2010; //www.panoram mio.com/photo//7235359 (dokk. oleh: 印度尼西亚, 2012) http://
Gambar 16 Pemanfaaatan ruang attap untuk tam man atap S Skenario Peeningkatan Luasan RT TH dengan Taman T Atap p Sken nario pening gkatan RTH H dengan taman ataap dilakukaan dengan mengasumsiikan pengem m mbangan tam man atap dilakukan d paada sampel bangunan. S Sampel banngunan diklasifikasikann berdasarkaan ketinggiaan bangunan n menurut P Peraturan Menteri M Peekerjaan Um mum Nom mor 29/PRT T/M/2006. Klasifikasi b bangunan beerdasarkan ketinggian k d didasarkan p pada jumlah lantai bang gunan yang m meliputi banngunan geduung eksistingg bertingkat tinggi denggan jumlah lantai l lebih d 9 lantaii, bangunan gedung eksisting bertinngkat sedangg dengan jum dari mlah lantai a antara 5 sam mpai dengaan 9 lantai, dan bangun nan rendah dengan jum mlah lantai k kurang dari 5 lantai. Beerdasarkan hasil h klasifikkasi bangunaan sampel berdasarkan b k ketinggian y yang terlihaat pada Gam mbar 17 men nunjukkan bbahwa 50% % bangunan s sampel merrupakan ban ngunan denngan ketinggian rendahh atau setaara dengan k ketinggian hingga h 4 lanttai. Sedangkan bangunan n dengan kettinggian sedaang atau 58 lantai dann bangunan tinggi t dengaan ketinggiann lebih dari 8 lantai berrturut-turut 2 28% dan 22% %.
22%
Tinggi Sedang
50% 28%
Rendah
Gam mbar 17 Klaasifikasi banngunan samp pel berdasarkkan ketinggiaan
26 Skenario pengembangan taman atap dilakukan pada bangunan sampel yang telah terklasifikasikan berdasarkan ketinggian bangunan. Hasil digitasi luasan atap bangunan dikalikan dengan persentase penanaman vegetasi untuk bangunan berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2012, dengan kriteria: a. untuk bangunan dengan jumlah lantai <5 (lima), luas penanaman vegetasi alami sebesar ≥15% (lima belas persen) dari luas lantai dasar; b. untuk bangunan dengan jumlah lantai ≤9 (sembilan), luas penanaman vegetasi alami sebesar ≥30% (tiga puluh persen) dari luas lantai dasar; dan c. untuk bangunan dengan jumlah lantai >9 (sembilan), luas penanaman vegetasi alami sebesar ≥45% (empat puluh lima persen) dari luas lantai dasar. Hasil perhitungan luas potensi pengembangan taman atap dengan skenario tesebut dirincikan pada tabel 10. Tabel 10 Estimasi luasan taman atap pada bangunan sampel
1
Ajinomoto Sales Indonesia
Rendah
2,947.51
Luas Potensi (m2) 442.13
2 3 4 5
Al Azhar KG Ancol terang Astra Honda Motor Astra Internasional
Rendah Rendah Rendah Rendah
3,777.16 6,633.68 1,732.62 2,780.10
566.57 995.05 259.89 417.01
6 7 8 9 10
Asuransi Jiwa Enggano Auto 2000 Bank Buana Bank Mega Sunter Baruna Shipping Line
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
343.11 394.06 2,973.75 403.44 886.97
51.47 59.11 446.06 60.52 133.05
11 12 13 14 15
BCA Enggano BCA Pluit Biro Klasifikasi Indonesia BNI Ancol Bukopin Enggano
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
2,434.58 1,459.63 728.93 1,720.90 3,552.96
365.19 218.94 109.34 258.14 532.94
16 17 18 19 20
Bunda Mandiri Daihatsu Duta Jaya Unggul Elektrindo Nusantara Gading Kirana Otomotif
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
5,301.71 2,793.95 16,753.59 3,577.25 1,425.66
795.26 419.09 2,513.04 536.59 213.85
21 22 23 24 25
Gedung Nissan GOR Graha Auto Center Gudang Toyota Astra Infokom Elektrindo
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
7,800.04 2,124.38 1,036.44 2,191.33 7,400.11
1,170.01 318.66 155.47 328.7 1,110.02
26 27
Inkoaka Institut Bisnis dan Informatika
Rendah Rendah
2,510.26 35,435.11
376.54 5,315.27
No
Nama Bangunan
Ketinggian
Luas Atap (m2)
27
28
Isuzu Sunter
Rendah
1,403.71
Luas Potensi (m2) 210.56
29 30 31 32 33
Japalindo Pritama Kantor Bursa Mobil Axon Kantor Camat Tanjung Priok Kantor Pajak Tanjung Priok Kejaksaan Tanjung priok
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
1,325.45 574.94 2,722.53 8,326.30 19,454.21
198.82 86.24 408.38 1,248.94 2,918.13
34 35 36 37
Kelapa Gading Trade Center Lottemart Mandiri Enggano Mandom
Rendah Rendah Rendah Rendah
12,544.14 58,826.39 23,523.66 3,057.19
1,881.62 8,823.96 3,528.55 458.58
38 39 40 41 42
Mulford Indonesia Musashi Indonesia NISP Enggano Nusa Pola Persada Oyama Ltd.
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
5,896.38 3,229.57 517.31 1,545.18 2,064.16
884.46 484.43 77.6 231.78 309.62
43 44 45 46 47
P2O LIPI Panin Bank Parkir Gedung Artha Gading Pertamina Pertamina logistic
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
3,830.39 414.74 6,424.55 2,629.14 6,440.89
574.56 62.21 963.68 394.37 966.13
48 49 50 51 52
PLN tanjung priok Pritindo Mitra Usaha Pujasera Pusat Riset Perikanan Tangkap Ruko Bukit Gading
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
2,871.54 793.6 7,065.98 3,278.08 554.81
430.73 119.04 1,059.90 491.71 83.22
53 54 55 56 57
Ruko Gading Indah Ruko Gading Mutiara Ruko Inkopal Blok A Ruko Inkopal Blok B Ruko Inkopal Blok C
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
9,254.83 14,430.05 8,348.27 7,256.50 5,405.66
1,388.23 2,164.51 1,252.24 1,088.47 810.85
58 59 60 61
Ruko Kelapa Gading Villa Ruko Puri Mutiara Sentosa Ocean Line Showroom Kelapa Gading
Rendah Rendah Rendah Rendah
15,592.55 16,642.42 825.86 5,172.42
2,338.88 2,496.36 123.88 775.86
62 63 64 65 66
Stasiun Tanjung Priok Tanjung priok Indah Lines Telkom Jakut Total Teknik Internasional Vihara Mahavira
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
12,815.90 832.19 1,522.00 2,672.89 2,702.83
1,922.39 124.83 228.3 400.93 405.42
403,908.44
60586.28
No
Nama Bangunan
Ketinggian
Luas Atap (m2)
28
1
Emporium Pluit
Sedang
4,462.34
Luas Potensi (m2) 1,338.70
2 3 4 5 6
FK Atmajaya Gedung Ekatama Gedung Gading Marina Gedung Kharisma Hotel Cempaka Jaya
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
16,987.33 531.04 3,171.41 3,537.52 773.66
5,096.20 159.31 951.42 1,061.26 232.1
7 8 9 10
ITC Mangga Dua Kampus Bunda Mulia Kantor Gading Emas Kantor Samsat
Sedang Sedang Sedang Sedang
5,043.52 647.85 3,850.36 2,808.20
1,513.06 194.35 1,155.11 842.46
11 12 13 14 15
Kantor Walikota La Piazza Mall Artha Gading Mall Kelapa Gading Mangga Dua Square
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
20,649.71 34,177.26 1,177.92 2,405.45 5,558.60
6,194.91 10,253.18 353.38 721.64 1,667.58
16 17 18 19 20
Maspion Plaza Peugeot Plaza Koja Pluit Auto Plaza Pluit Junction
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
5,488.57 2,947.43 1,262.56 1,871.24 7,443.43
1,646.57 884.23 378.77 561.37 2,233.03
21 22 23 24 25
Pluit Plaza Pluit Village RS Atmajaya RS Gading Pluit RS Mitra Keluarga
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
1,617.86 40,572.15 11,553.56 2,675.84 2,769.38
485.36 12,171.65 3,466.07 802.75 830.81
26 27 28 29 30
RS Pluit RS Port Medical Center Ruko Mangga Dua Ruko Marina Mangga Besar STT Telkom
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
5,299.24 3,952.18 19,452.45 16,050.56 1,368.44
1,589.77 1,185.65 5,835.73 4,815.17 410.53
31 32 33 34
Toyota Astra Toyota Astra Kelapa Gading Wisma Justus Wisma Pantekosta
Sedang Sedang Sedang Sedang
1,891.14 2,291.48 1,693.63 1,187.28
567.34 687.44 508.09 356.18
35 36 37
Wisma SMR WTC Mangga Dua Yos Sudarso Megah Building
Sedang Sedang Sedang
1,290.04 17,038.74 3,677.23
387.01 5,111.62 1,103.17
259,176.60
77,752.97
No
Nama Bangunan
Ketinggian
Luas Atap (m2)
1
Apartemen Laguna Pluit
Tinggi
7,087.57
3,189.41
2 3 4
Apartemen Metro Sunter Apartemen Mitra Bahari Apartemen Mitra Sunter
Tinggi Tinggi Tinggi
4,124.16 9,103.01 10,168.86
1,855.87 4,096.35 4,575.99
29
5
Apartemen The Summit
Tinggi
3,679.70
Luas Potensi (m2) 1,655.86
6 7 8 9 10
Aston Marina Ancol Cordova Tower Gading River View City Home Graha Kirana Graha Kita Kirya
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
8,231.17 1,909.28 2,005.50 1,323.62 1,693.65
3,704.03 859.18 902.48 595.63 762.14
11 12 13 14
Graha Rekso Graha Sera Hotel Alexis Hotel Grand Ancol
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
4,555.07 1,452.17 1,013.27 17,980.58
2,049.78 653.48 455.97 8,091.26
15 16 17 18 19
Hotel Maestro Hotel Mercure Hotel MH Sepinggan Hotel Mitra Bahari Hotel Raddin
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
735.82 6,918.56 4,037.96 2,558.22 3,854.10
331.12 3,113.35 1,817.08 1,151.20 1,734.35
20 21 22 23 24
Hotel Sanno Menara 7 Gading Menara Kelapa Gading Pondok Impian Hotel Ancol Rusun Pluit
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
6,653.25 1,380.96 1,626.32 2,816.22 5,803.66
2,993.96 621.43 731.85 1,267.30 2,611.65
25 26 27 28
Sun Lake Hotel Villa Gading Indah Wisma ADR Wisma Gading Permai
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
4,003.48 5,717.25 701.9 2,450.55
1,801.57 2,572.76 315.86 1,102.75
123,585.86
55,613.66
TOTAL 786,670.89 Keterangan: Tinggi: >9 lantai; Sedang: 5-9 lantai; Rendah : <5 lantai
193,952.88
No
Nama Bangunan
Ketinggian
Luas Atap (m2)
Sumber: Analisis ArcGIS 9.3
Dari hasil keseluruhan proses studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa nilai potensi peningkatan RTH dengan skenario pengembangan taman atap pada bangunan gedung eksisting di kawasan perdagangan, perkantoran, dan jasa yang berada di sisi koridor jalan nasional di wilayah Jakarta Utara sebesar 19,4 Ha. Potensi peningkatan tersebut setara dengan 1,3% dari 10% target RTH privat kota Jakarta Utara. Nilai potensi peningkatan yang tidak terlalu besar disebabkan oleh pembatasan dalam pemilihan sampel bangunan. Apabila skenario tersebut bisa diaplikasikan pada sampel bangunan yang lebih besar maka nilai potensi peningkatan luasan RTH kota dengan taman atap juga akan semakin besar. Nilai yang diperoleh tersebut juga tidak sepenuhnya terbebas dari galat karena keterbatasan peneliti pada saat proses pendigitasian maupun ketelitian citra yang digunakan. Hasil analisis yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap bangunan sampel memiliki struktur yang memungkinkan untuk menyangga taman atap
30 mempengaruhi besarnya peningkatan RTH kota bila skenario taman atap pada bangunan gedung eksisting diaplikasikan secara nyata. Sehingga, diperlukan penelitian yang lebih menyuruh untuk mendapatkan bangunan yang memenuhi kriteria pengembangan taman atap. Berdasarkan hasil pada Tabel 10, luas potensi taman atap yang mencapai 19,4 Ha setara dengan rata-rata 24,65 % luas keseluruhan atap. Proporsi potensi peningkatan RTH kota dengan taman atap pada sampel bangunan berketinggian sedang lebih besar bila dibandingkan dengan bangunan rendah maupun tinggi. Potensi peningkatan RTH pada bangunan berketinggian sedang mencapai 7,78 Ha sedangkan untuk bangunan rendah dan tinggi berturut-turut sebesar 6,06 Ha dan 5,56 Ha. Bangunan dengan ketinggian sedang cenderung memiliki luasan bangunan yang lebih besar sehingga potensi penghijauan atap pada bangunan dengan ketinggian sedang menjadi lebih besar. Pembahasan Potensi Pengembangan Taman Atap sebagai RTH Kota Kondisi lingkungan perkotaan yang semakin terdegradasi akibat peningkatan perkembangan struktural menyebabkan kota menjadi ruang hidup yang kurang nyaman bagi masyarakat. Fenomena urban heat island yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim dunia dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat kota dengan terjadinya peningkatan suhu udara perkotaan yang kian memanas. Struktur buatan manusia seperti jalan dan bangunan mempunyai albedo lebih rendah bila dibandingkan dengan permukaan natural seperti vegetasi dan air sehingga menyerap lebih banyak radiasi tampak. Kondisi tersebut yang menyebabkan peningkatan akumulasi panas di pusat kota-kota besar di Indonesia seperti Bandung, Semarang, dan Surabaya yang telah mengalami perluasan daerah UHI (suhu 30-35oC). Kota-kota tersebut mengalami peningkatan suhu yang cukup signifikan seiring dengan peningkatan kawasan terbangun yang bertambah akibat laju urbanisasi (Tursilowati, 2007).
Sumber: Urbis Ltd, 2007
Gambar 18 Penghijauan prasarana umum (halte) di Causeway Bay, Hongkong Peningkatan kawasan terbangun di wilayah perkotaan harus diimbangi dengan peningkatan luasan RTH agar kondisi lingkungan perkotaan tetap terjaga.
31 Pemanfaatan ruang atap sebagai lahan untuk pengembangan taman atap dilakukan untuk memaksimalkan peningkatan luasan RTH akibat keterbatasan lahan. Kondisi perkotaan yang dipenuhi oleh struktur bangunan yang kompleks dan padat bukan merupakan kendala untuk melakukan peningkatan luasan RTH. Pengembangan taman atap tidak harus dilakukan pada atap bangunan gedung. Teknologi yang berkembang semakin pesat memudahkan manusia untuk memanfaatkan beragam struktur buatan manusia agar bisa menjadi media untuk pengembangan taman atap. Di kota-kota besar di dunia, kewajiban pengembangan taman atap tidak terbatas pada atap bangunan melainkan juga diaplikasikan pada bangunan sarana dan prasarana umum (Gambar 18). Dengan demikian, upaya untuk memaksimalkan penghijauan bisa diwujudkan secara signifikan.
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: (a) SPBU; (b) Halte busway dan jembatan penyebrangan ; (c) Gerbang Tol; (d) Halte bus kota Sumber: (a) http://www.panoramio.com/photo/46573464 (dok. oleh: Prolindo, 2011) (b) http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/92/091121HalteHarmoni2.jpg (c) http://www.panoramio.com/photo/62526849 (dok. oleh: Rhicard, 2011) (d) http://www.wargajakarta.com/wp-content/uploads/2012/09/Halte-Dipercantik.jpg
Gambar 19 Potensi pengembangan taman atap pada bangunan sarana dan prasarana umum di wilayah perkotaan Kondisi tersebut juga bisa diupayakan untuk diwujudkan di kota-kota di Indonesia. Banyaknya sarana dan prasarana umum yang belum terhijaukan bisa menjadi salah satu alternatif untuk media pengembangan atap. Beberapa sarana dan prasarana umum yang dijumpai di wilayah perkotaan seperti bangunan SPBU, halte, jembatan penyeberangan, peron kereta, dan sarana publik lainnya bisa
32 menjadi media untuk pengembangan taman atap seperti yang telah dikembangkan di luar negeri (Gambar 19). Hal tersebut bisa diwujudkan dengan pengaplikasian teknologi yang mendukung sehingga peningkatan luasan RTH kota bisa dimaksimalkan. Kebijakan Pengembangan Taman Atap di Wilayah Perkotaan Kawasan perkotaan dengan kondisi luas lahan terbuka terbatas dapat memanfaatkan ruang terbuka di kawasan bangunan sebagai ruang untuk penyediaan RTH. Penyediaan RTH di kawasan bangunan tersebut dapat dilakukan pada atap gedung, teras-teras bangunan bertingkat, dan lain-lain dengan memakai media tambahan, seperti pot dengan berbagai ukuran maupun instalasi sistem taman atap sesuai luasan lahan yang tersedia. Untuk lahan dengan KDB diatas 90% seperti pada kawasan perkantoran, perdagangan, dan jasa atau pada kawasankawasan dengan kepadatan tinggi dengan lahan yang sangat terbatas, RTH dapat disediakan pada atap bangunan sebagai wujud penghijauan bangunan. Kebijakan pengembangan green building yang diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2012 berimplikasi pada pengembangan taman atap sebagai salah satu unsur bangunan gedung hijau. Potensi pengembangan RTH dalam bentuk taman atap sebagai RTH privat dapat dioptimalkan mengingat banyaknya pembangunan bangunan gedung baru yang diarahkan untuk memenuhi spesifikasi bangunan gedung hijau. Bangunan gedung hijau merupakan bangunan gedung yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien dari sejak perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, pemeliharaan, sampai dekonstruksi. Dalam penyediaan RTH pada green building, kebutuhan perencanaan dan pelaksanaan penanaman vegetasi alami pada dan/atau di dalam bangunan gedung dapat dilakukan dengan metode penghijauan atap datar (green roof), pembuatan taman didalam bangunan gedung (inner court/ interior scape), dan penghijauan vertikal (vertical greenery). Untuk perencanaan dan pelaksanaan penanaman vegetasi alami pada dan/atau di dalam bangunan gedung, dilakukan dengan kriteria: a. untuk bangunan dengan jumlah lantai ≤5 (lima), luas penanaman vegetasi alami sebesar ≥15% (lima belas persen) dari luas lantai dasar; b. untuk bangunan dengan jumlah lantai ≤9 (sembilan), luas penanaman vegetasi alami sebesar ≥30% (tiga puluh persen) dari luas lantai dasar; dan c. untuk bangunan dengan jumlah lantai >9 (sembilan), luas penanaman vegetasi alami sebesar ≥45% (empat puluh lima persen) dari luas lantai dasar. Peningkatan RTH privat dengan kebijakan taman atap merupakan salah satu bagian dari upaya pengembangan green building. Kebijakan penanaman vegetasi pada bangunan menjadi sebuah kewajiban bagi setiap bangunan, bukan hanya bangunan dengan atap datar. Namun, untuk pencapaian target RTH privat dengan pengaplikasian taman atap baik pada bangunan gedung eksisiting maupun bangunan gedung baru perlu dilakukan beberapa upaya yang mendukung proses tersebut terutama dengan pemberdayaan masyarakat untuk mengembangkan taman atap (roof garden) di kawasan permukiman, perkantoran, perdagangan, dan jasa serta peningkatan peran serta pengembang dalam pembangunan bangunan gedung baru dengan pengembangan taman atap di atas bangunan.
33 Pemberdayaan masyarakat dan pelaku properti dalam usaha untuk pengembangan taman atap dapat dilakukan dengan beberapa cara yang meliputi, a. memberikan dan menyelenggarakan diskusi dan tukar pendapat, dorongan, pengayoman, pelayanan, bantuan teknik, bantuan hukum, pendidikan, dan atau pelatihan tentang pengembangan taman atap, b. menyebarluaskan semua informasi mengenai proses pengembangan taman atap kepada masyarakat secara terbuka, c. pemberian insentif terhadap masyarakat perorangan maupun pengembang yang melakukan pengembangan taman atap berupa penghargaan secara langsung, kemudahan dalam perizinan pembangunan maupun pengurangan beban pajak, dan pemberlakuan sistem disinsentif yang tegas berupa sanksi administratif maupun pencabutan izin bagi properti yang tidak memenuhi ketentuan penyediaan RTH yang telah ditetapkan.
Implikasi Kebijakan Peningkatan RTH di Kawasan DKI Jakarta Kebijakan peningkatan RTH DKI Jakarta telah tercantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW 2030 yang menyatakan bahwa pengembangan RTH untuk mencapai 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan Provinsi DKI Jakarta terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat yang didedikasikan sebagai RTH bersifat publik seluas 20% (dua puluh persen) dan RTH Privat seluas 10% (sepuluh persen) sebagai upaya peningkatan kualitas kehidupan kota. Pengupayaan penyediaan RTH tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kualitas kehidupan yang optimal bagi seluruh penduduk DKI Jakarta. Berdasarkan paparan RTRW 2030, kenaikan jumlah penduduk DKI Jakarta secara keseluruhan hingga tahun 2030 diproyeksikan mencapai 12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu) jiwa. Kenaikan tersebut diupayakan untuk dibatasi agar tidak melebihi daya tampung masing-masing wilayah. Persebaran penduduknya diarahkan sebanyak 9,2% (sembilan koma dua persen) di Kota Administrasi Jakarta Pusat, 18,6% (delapan belas koma enam persen) di Kota Administrasi Jakarta Utara, 24,1% (dua puluh empat koma satu persen) di Kota Administrasi Jakarta Timur, 22,6% (dua puluh dua koma enam persen) di Kota Administrasi Jakarta Selatan, 25,3% (dua puluh lima koma tiga persen) di Kota Administrasi Jakarta Barat, dan 0,2% (nol koma dua persen) di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Jumlah penduduk yang setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup besar memberikan konsekuensi terhadap kebutuhan peningkatan RTH. Apabila proyeksi kenaikan jumlah penduduk DKI Jakarta sejumlah 12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu) jiwa, maka kuantitas RTH yang harus dipenuhi juga harus ditingkatkan untuk mengimbangi peningkatan jumlah penduduk tersebut. Peningkatan kuantitas RTH DKI Jakarta yang harus dilakukan hingga tahun 2030 apabila dihitung dengan mengalikan jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita mencapai 21,625 Ha (Tabel 11). Standar luas RTH per kapita yang digunakan yaitu 17,3 m2/jiwa berdasarkan Kepmen PU Nomor 387 tahun 1987 yang menetapkan kebutuhan RTH kota terdiri atas fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa dan penyangga lingkungan kota 15 m2/jiwa.
34 Tabel 11 Kebutuhan RTH berdasarkan proyeksi penduduk 2030 Kota Administrasi
Penduduk (jiwa)
Jakarta Pusat 1.150.000 Jakarta Utara 2.325.000 Jakarta Timur 3.012.500 Jakarta Selatan 2.825.000 Jakarta Barat 3.128.750 Kab. Kep. Seribu 25.000 DKI Jakarta 12.500.000 Sumber: Hasil analisis data
RTH pertamanan (Ha) 417,56 184,45 1.283,11 564,38 185,81 4,50 2639,81
Target RTH (Ha)
Kekurangan (%)
1.989,50 4.022,25 5.211,63 4.887,25 5.412,74 43,25 21,625
79,01% 95,41% 7538% 88,45% 96,57% 89,60% 87,79%
Peningkatan kuantitas RTH oleh pemerintah dilakukan secara berkesinambungan untuk memenuhi target RTH yang telah ditetapkan. Dari Tabel 12 memperlihatkan bahwa hampir di seluruh wilayah DKI Jakarta masih belum memenuhi target RTH 30% sesuai ketetapan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa optimalisasi peningkatan RTH di wilayah DKI Jakarta perlu mendapatkan perhatian khusus untuk meningkatan kualitas kehidupan penduduk. Ditinjau dari sektor RTH publik berupa RTH Pertamanan yang dikelola oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta pada Tabel 12, kekurangan untuk memenuhi target RTH 30% sesuai ketetapan perundang-undangan yang berlaku mencapai 86,71%. Untuk memenuhi target RTH 30% tersebut bisa dilakukan dengan mendorong optimalisasi RTH privat oleh pengembang selaku pihak swasta maupun masyarakat pada umumnya. Optimalisasi penyediaan RTH privat tersebut diharapkan mampu meringankan beban pemerintah dalam memenuhi target penyediaan RTH sehingga pencapaian RTH bisa dilakukan. Tabel 12 Kebutuhan RTH DKI Jakarta (target RTH 30%) Luas (Ha)
RTH eksisting (Ha)
Target RTH 30% (Ha)
Kekurangan
Jakarta Pusat Jakarta Utara
4.813 14.666
417,56 184,45
1.443,90 4.399,80
71,08% 95,81%
Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat Kep. Seribu (Kab. Administrasi) DKI Jakarta Sumber: Hasil analisis data
18.803 14.127 12.954 870 66.233
1.283,11 564,38 185,81 4,50 2639,81
5.640,90 4.238,10 3.886,20 261,00 19.869,90
77,25% 86,68% 95,22% 98,28% 86,71%
Kota Administrasi
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mencapai target RTH 30% dapat dilakukan dengan pembelian lahan, peremajaan kawasan, penetapan kewajiban pengembang, mempertahankan RTH yang sudah ada dan melalui refungsionalisasi, pengamanan dan sosialisasi, dan mendorong pemanfaatan RTH privat secara lebih optimal dan inovatif seperti penggunaan roof garden, wall garden, serta peningkatan konsistensi perijinan3.
3
Implikasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terhadap Penyediaan Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Non Hijau di Provinsi DKI Jakarta. (Handayani, 2009)
35 Dalam pelaksanaan pencapaian target RTH tersebut tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan mudah. Terdapat beberapa permasalahan dan kendala yang dialami oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta yang menghambat pencapaian RTH yang meliputi, a. Masih adanya peruntukan RTH yang dimanfaatkan untuk kegiatan non RTH secara ilegal; b. Ketersediaan lahan yang semakin menipis ditambah peningkatan aktivitas ekonomi Jakarta menyebabkan harga tanah semakin tinggi dan diatas NJOP; c. Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap keberadaan taman, jalur-jalur hijau dan tanaman – tanaman penghijauan yang ada; d. Terbatasnya sumber daya pemerintah dan masih belum terselesaikannya permasalahan transportasi dan banjir di Jakarta yang membutuhkan anggaran biaya yang sangat besar; e. Belum optimalnya sistem pendataan dan informasi mengenai RTH; f. Kurangnya koordinasi antar instansi terkait dalam penataan RTH; g. Masih terdapatnya mis-persepsi dan mis-informasi mengenai RTH yang mengakibatkan partisipasi masyarakat tidak optimal; h. Kurang efektifnya penegakan hukum; i. Rendahnya pengendalian kewajiban penyediaan fasos fasum untuk RTH; j. Distribusi RTH yang kurang merata di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Peningkatan penyediaan RTH di kawasan perkotaan dapat dioptimalkan dari sektor RTH Privat untuk menutupi ketimpangan keterbatasan penyediaan RTH publik. RTH privat merupakan RTH yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh pemerintah provinsi. Dalam proses pelaksanaannya perlu dilakukan pembenahan mekanisme insentif dan disinsentif dalam penyediaan RTH, meningkatkan konsistensi perizinan, serta memperbaiki metode sosialisasi agar partisipasi, kesadaran, serta kepatuhan masyakat untuk menyediakan RTH pada lahan miliknya semakin meningkat. Untuk menyesuaikan target RTH 30% dapat dilakukan dengan mengembangkan RTH privat yang didedikasikan sebagai RTH bersifat publik melalui penetapan KDH secara ketat pada kawasan pemerintahan, kawasan perkantoran, perdagangan dan jasa, dan kawasan industri pergudangan seperti yang tercantum pada RTRW 2030. Yang dimaksud dengan RTH privat yang didedikasikan sebagai RTH bersifat publik adalah RTH privat yang secara prinsip pemanfaatannya bersifat dan untuk kepentingan publik. RTH ini berada di dalam daerah perencanaan/persil/blok yang dimiliki, disediakan, dan dikelola privat (bukan oleh pemerintah) tetapi penyediaan, pengelolaan, dan pemanfaatannya dilakukan sesuai dengan standar/ketentuan/peraturan mengenai RTH publik. Dengan melakukan penyesuaian terhadap proporsi RTH publik dan RTH privat tersebut diharapkan target RTH 30% bisa direalisasikan secara nyata. Beban penyediaan RTH tidak hanya bertumpu pada pemerintah melainkan terbagi dengan pihak lain baik dari pelaku properti maupun masyarakat umum. Pencapaian target RTH tersebut bisa terwujud apabila sinergi antara pemerintah, pelaku properti, dan masyarakat bisa berlangsung dengan baik. Dengan demikian, fokus peningkatan RTH dapat dilakukan secara bertahap dan terbagi secara efisien.
36
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil proses studi menunjukkan bahwa pengembangan taman atap sebagai salah satu RTH pada bangunan berpotensi untuk meningkatkan luasan RTH kota. Taman atap berpotensi untuk meningkatkan kuantitas RTH kota bila ditinjau dari jumlah bangunan di kawasan perkotaan yang semakin meningkat. Pengembangan taman atap pada bangunan dilakukan untuk mengimbangi keterbatasan lahan untuk RTH akibat peningkatan pembangunan. Merujuk pada hasil studi menunjukkan bahwa potensi peningkatan luasan RTH kota dengan skenario taman atap mencapai 19,4 Ha atau sekitar 1,3% dari 10% target RTH privat. Angka tersebut masih memungkinkan untuk dimaksimalkan dengan penambahan sampel bangunan. Kebijakan penyediaan RTH pada bangunan yang telah menjadi suatu ketetapan baru dalam upaya pengembangan green building merupakan suatu alternatif untuk meningkatkan kuantitas RTH terutama dari segi RTH privat. Pemberlakuan aturan penanaman vegetasi pada bangunan dengan proporsi tertentu yang disesuaikan dengan ketinggian bangunan diupayakan untuk menyeimbangkan beban penyediaan RTH pada setiap jenis bangunan. Dari keseluruhan proses studi memperlihatkan bahwa kebijakan peningkatan RTH dengan penghijauan atap berpotensi dalam meningkatkan luasan RTH kota. Namun, hal tersebut perlu mendapatkan pertimbangan khusus dalam proses pengaplikasiannya baik dari segi teknologi maupun regulasi yang berlaku. Diperlukan sebuah sinergi yang baik antara pemerintah, pelaku properti, dan masyarakat agar pewujudan penyediaan RTH dapat memenuhi target yang telah ditentukan.
Saran Pesatnya peningkatan ruang terbangun telah menimbulkan ketidakseimbangan antara jumlah RTH dengan kemampuannya sebagai salah satu penyokong ekosistem kota. Sehingga perlu dilakukan realisasi pembangunan RTH di lingkungan perkotaan, misalnya dengan pembangunan taman atap pada bangunan. Untuk mewujudkan upaya tersebut, diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap struktur dan tata persyaratan bangunan yang mampu menampung beban taman atap. Selain itu, pengembangan teknologi yang mendukung untuk pengaplikasian taman atap pada bangunan perlu untuk dilakukan. Penelitian mengenai jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi penanaman pada atap bangunan dan iklim tropis Indonesia juga perlu mendapat kajian lebih lanjut untuk mendapatkan hasil pertumbuhan tanaman yang ideal. Persepsi dan preferensi masyarakat tentang taman atap juga perlu dikaji sehingga bisa mendapatkan Gambaran mengenai tingkat pemahaman dan faktor-faktor yang meningkatkan antusiasme partisipasi masyarakat dalam pengembangan taman atap. Dengan demikian, pengembangan RTH dalam bentuk taman atap bisa mencapai manfaat optimal sesuai yang telah direncanakan.
37 Diperlukan pemikiran yang lebih lanjut dalam menciptakan suatu strategi dalam mensosialisasikan kebijakan penghijauan bangunan dengan taman atap seperti yang telah ditetapkan dalam Pergub DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang bangunan hijau untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kuantitas RTH kota. Pembenahan pemberlakuan sistem insentif dan disinsentif bisa menjadi salah satu upaya untuk menarik minat pelaku properti untuk mengembangkan taman atap pada bangunan. Dengan demikian, pemerintah, pelaku properti, dan masyarakat bisa bersinergi dalam memenuhi target pencapaian RTH kota.
DAFTAR PUSTAKA Arisanti, A. 2005. Adaptasi Anatomis Pohon Roof Garden [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [BPS Jakarta Utara]. 2010. Jakarta Utara Dalam Angka 2010. http://www.jakutkota.bps.go.id/. [4 Maret 2011] Cutlip, J. 2006. Green Roofs: A Sustainable Technology, Proceeding “Sustainability and the Built Environment”. US: UC Davis Extension. [Departemen Dalam Negeri]. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. http://depdagri.go.id. [17 April 2011] [Direktorat Jendral Penataan Ruang]. 2004. Pedoman Pemanfaatan Ruang Tepi Pantai di Kawasan perkotaan. http://ciptakarya.pu.go.id/. [4 Maret 2011] [Direktorat Jendral Penataan Ruang]. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. http://ciptakarya.pu.go.id/. [4 Maret 2011] [Direktorat Jendral Penataan Ruang]. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. http://ciptakarya.pu.go.id/. [4 Maret 2011] [Direktorat Jendral Penataan Ruang]. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan perkotaan. http://ciptakarya.pu.go.id/. [4 Maret 2011]. [Dinas Tata Kota DKI Jakarta]. 2011. RTRW DKI Jakarta 2030. www.tatakotajakartaku.net/. [28 Agustus 2011] Eckbo, G. 1964. Urban Landscape Design. US: Mc. Graw-Hill. Inc. Ernawi, I. S. 2010. Morfologi-Transformasi dalam Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan [Paper]. Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum. Feriadi, H. dan Frick, H. 2008. Atap Bertanaman Ekologis dan Fungsional. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Given (Ed.). 2008. Purposive Sampling. The Sage Encyclopedia pf Qualitative Research Methods Vol. 2, pp. 697-698. Sage: Thousand Oaks, CA. Handayani. 2009. Implikasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terhadap Penyediaan Ruang Terbuka Non Hijau di Provinsi DKI Jakarta.
38 Butaru Edisi Maret-April 2008. Jakarta: Direktorat Jendral Penataan Ruang. http://ciptakarya.pu.go.id/. [4 Maret 2011] Kuhn M. 1995. Roof Top Resources City Farmer. Canada’s Office of Urban Agriculture. http://www.roofmeadow.com. [22 November 2011] Liu, K. 2001. Towards Sustainable Roofing, Presentation “Sustainable-Low Slope Workshop” Oak Ridge National Laboratory. Canada: Institut for Research in Construction. Liu, K. and Baskaran, B. 2005. Performance of Green Roof Systems, Proceeding “Cool Roofing Symposium”, Atlanta, GA. Canada: Institut for Research in Construction. Liu, K. and Baskaran, B. 2005. Using Garden Roof Systems to Achieve Sustainable Building Envelopes, Journal of Construction Technology Update No. 65. Canada: Institut for Research in Construction. Luckett, K. 2009. Green Roof Construction and Maintenance. New York: Mc Graw-Hill Inc. Pedersen, M. 2002. Roof Top Permaculture: Transformation of the Inner City Environment [Report]. Wellington: [Penerbit tidak diketahui]. [Pemprov DKI Jakarta]. 1999. Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 6 tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakarta 2010. http://jakarta.go.id. [17 April 2011] [Pemprov DKI Jakarta]. 2012. Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 38 tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau. http://jakarta.go.id. [17 April 2011] Santoso, J. 2006. Kota Tanpa Warga. Jakarta: Penerbit KPG dan Sentropolis. Simonds, J. O. and Starke, B. W. 2006. Landscape Architecture: A manual of Environmental Planning and Design. New York: Mc Graw-Hill Inc. Sulistyantara B, Agung S, Jimmy S. 2004. Panduan Rancang Bangun Roof Garden. Jakarta: Suku Dinas Pertamanan Sutanto, A. 2009. Strategi Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan. Buletin Tata Ruang Edisi Juli-Agustus 2009. http://bulletin.penataanruang.net/. [4 Maret 2011] Suwargana, N. dan Sutanto. 2005. Deteksi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh. Prosiding “Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV “Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”. Jakarta: LAPAN. Townshend, D. and Duggie, A. 2007. Study on Green Roof Application in Hongkong [Report]. Hongkong: Urbis Ltd. Tursilowati, L. 2007. Urban Heat Island dan Kontribusinya pada perubahan Iklim dan Hubungannya dengan Perubahan lahan. Prosiding “Seminar Nasional Pemanasan Global dan Perubahan Global,.Fakta, Mitigasi, dan Adaptasi”.
39
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Pasuruan pada tanggal 15 September 1990. Penulis merupakan anak bungsu dari dua bersaudara dari Ayahanda Supriyadi (Alm.) dan Ibunda Lilik Hidayati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 1 Sidoarjo pada tahun 2007 dan memasuki perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dengan mayor Arsitektur Lanskap. Setelah menjalani masa satu tahun sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, penulis memulai pendidikan di Departemen Arsitektur Lanskap pada tahun 2008. Selama melaksanakan studi sebagai mahasiswa IPB, penulis juga melakukan aktivitas di luar kegiatan akademik seperti menjadi pengurus BEM TPB 2007, pengurus HIMASKAP 2008-2010, dan pengurus OMDA HIMASURYA 2008-2010. Penulis juga aktif terlibat dalam penyelenggaraan seminar pertanian yang dilaksanakan secara kontinu di Surabaya, Gresik, Mojokerto, dan Sidoarjo bersama anggota OMDA HIMASURYA. Penulis pernah mendapatkan pengalaman sebagai asisten praktikum Kimia untuk TPB di tahun 2008 dan Komputer Grafik untuk Arsitektur Lanskap di tahun 2011. Penulis juga pernah melaksanakan program kreativitas mahasiswa (PKM) bidang penelitian di tahun 2010. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti beberapa kompetisi desain, pelatihan, dan seminar yang mendukung kegiatan akademis. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian, penulis melakukan penelitian ilmiah yang berjudul “Studi Potensi Taman Atap untuk Meningkatkan Luasan RTH Kota” di bawah bimbingan Dr. Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi. dan Akhmad Arifin Hadi, SP. MA.