STUDI PERILAKU DAN PAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch) DI PUSAT STUDI SATWA PRIMATA IPB DAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO : Penyiapan Pelepasliaran
DEDE AULIA RAHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Perilaku dan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) Di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango : Penyiapan Pelepasliaran adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Dede Aulia Rahman NRP. P053090021
ABSTRACT DEDE AULIA RAHMAN. Study of Behavior and Feeding of Javan Gibbon in Primate Research Center IPB and Gunung Gede Pangrango National Park : Preparation of Release. Under direction of DEWI APRI ASTUTI and ENTANG ISKANDAR Study on behavior and food analysis of the Javan gibbon at the IPB Primate Research Center (IPB PRC) and Gunung Gede Pangrango National Park (GGPNP) has been conducted to evaluate the plan on releasing the Javan gibbon at the IPB PRC captive facility to the natural habitat. Focal animal and adh-libitum sampling method have been used to record behavior and food preference (quantity, quality and palatability) from January through March 2011, data were analysed using chi-square test. Result showed that there were differences on behavior between Javan gibbon at IPB PRC and GGPNP (Rasamala Forest), example especially significant different on vocalitation the Javan gibbon at Rasamala Forest has a greater frequency of vocalitation than IPB PRC. Another significant difference in behavior is locomotion, some Javan gibbon in PRC often perform a bipedal walking movement (Individual OJ and JLO) and this rarely happens in the Owa of Java in the Forest Rasamala. The largest proportion of activity and behavior in the PRC and Rasamala forest that is on activity and feeding behavior, with the percentage of activity and feeding behavior in PRC reached 15.63% -39.72% and in the rasamala forest reached 15.43% -42.57%. While the activities and behavior that is lowest in vocalisation activity, with the percentage of activity and behavior of vocalisation in the PSSP (0% -0.14%) and in the rasamala forest reach (0% -0.75). For value of nutrient, Total consumption of dry matter (DM), fat and energy in Javan gibbon at PRC higher than rasamala forest. But in terms of nutritional intake of crude fiber and protein, Javan gibbon groups at rasamala forest consume nutrients was higher than PRC. Based on body weight data of Javan gibbon are available on the PRC, DM consumption can be estimated at adult age classes reach 3% of body weight and 7% of body weight for age classes of infant. Related to the need for energy to support the activities and movement and other activity on juvenile age class and reproductive activity in adult age classes, the total energy consumption per body weight reaches 30-50 Cal / kg BW. Considering behavioral, nutrient and health management, release program of Javan gibbon at the IPB PRC needs to be reconsidered, otherwise, building new cage to separate individuals in the group would be best solution at mean while. Key word :Javan gibbon, behavior, food, release.
RINGKASAN DEDE AULIA RAHMAN. Studi Perilaku dan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) Di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango : Penyiapan Pelepasliaran. Dibimbing oleh DEWI APRI ASTUTI dan ENTANG ISKANDAR. Owa Jawa (Hylobates moloch, Audebert 1797) merupakan satu dari lima spesies genus Hylobates yang hidup di Indonesia. Berdasarkan Laporan Conservation Assessment and Management Plan PrimataIndonesia (Supriatna, et.al. 2001), saat ini diperkirakan hanya tersisa antara 400-2.000 individu spesies kera ini di habitat alaminya. Hal ini terjadi karena adanya tekanan atau degradasi habitat Owa Jawa dan perdagangan liar satwa ini sebagai hewan peliharaan (Supriatna 2006). Melalui program pelestarian Owa Jawa secara eksitu diharapkan mampu menunjang konservasi in-situ melalui program pelepasliaran ke habitat alaminya. Studi komparasi antara perilaku di alam (insitu) dan di habitat eksitu merupakan kunci bagi program konservasi spesies dan solusi bagi permasalahan tersebut. Hasil kajian mengenai komparasi dirumuskan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan dan arah kegiatan pengelolaan manajeman eksitu di PSSP. Studi ini ditunjukan dalam rangka menyiapkan individu di penangkaran sehingga mampu beraktivitas dan berperilaku serta memanfaatkan pakan sebagai mana ketika berada di alam serta ditunjukan dalam penetapan kriteria kesiapan individu yang akan dilepasliarkan. Data-data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Pengamatan dilakukan secara langsung dilapangan terhadap aktivitas dan perilaku serta pakan Owa Jawa baik di PSSP maupun di Hutan rasamala (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) serta melalui studi literature yang relevan dengan bidang kajian. Pengumpulan data primer meliputi data kondisi bio-fisik, pengkayaan lingkungan kandang Owa Jawa, aktivitas dan perilaku, serta pakan. Berdasarkan hasil pengamatan pada kelompok Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala. Kedua kelompok ini sudah dalam batas maksimal terkait jumlah individu dalam kelompok. Kerentanan pada kelompok Owa Jawa yang terdapat di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang terdapat di hutan rasamala. Beberapa bulan kedepan Owa Jawa di PSSP akan bertambah dengan lahirnya individu baru (betina dewasa saat ini dalam masa bunting). Dengan ukuran kandang yang relatif kecil (panjang 7,9 m, lebar 7 m dan tinggi 3,3 m, terbagi atas dua ruang yang dipisahkan oleh sekat) untuk menampung sejumlah individu Owa Jawa tersebut menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya konflik dalam kelompok karena keterbatasan ruang. Kemungkinan inbreeding (perkawinan sedarah) antara OJ dan JLO pun dapat terjadi, OJ saat ini telah memasuki usia pradewasa dan menunjukan perilaku siap kawin. Terkait dengan aspek kesehatan, hasil cek kesehatan Owa Jawa di PSSP menunjukan hampir seluruhnya diketahui mengidap penyakit hepatitis, hanya ada satu individu yang diketahui tidak mengidap penyakit ini yaitu OO. Pemantauan kesehatan individu terutama bagi individu yang hingga saat ini diketahui negatif hepatitis harus lebih diprioritaskan, hal ini terkait dengan ketidaklayakan individu Owa Jawa yang memiliki penyakit seperti hepatitis untuk dilepasliarkan ke habitat alaminya.
Pola aktivitas dan perilaku harian Owa Jawa di PSSP umumnya sama dengan primata diurnal lain, yaitu bangun pada pagi hari dengan aktivitas dan perilaku pertama yaitu membuang kotoran, urinasi (eliminative behavior) atau melakukan aktivitas suara kemudian dilanjutkan dengan melakukan puiergerakan untuk mencari makan, dan sore hari mencari pohon tidur untuk tidur sepanjang malam. Secara umum urutan aktivitas yang ditunjukan oleh kelompok Owa Jawa yang terdapat di PSSP dan Hutan rasamala hampir sama, namun aktivitas bersuara rendah pada Owa Jawa di PSSP. Perbedaan perilaku lain yang signifikan adalah perilaku bergerak, beberapa Owa Jawa di PSSP sering melakukan pergerakan secara bipedal walking (individu OJ dan JLO) dan hal ini jarang terjadi pada Owa Jawa di hutan rasamala. Proporsi terbesar aktivitas dan perilaku di PSSP dan hutan rasamala yaitu pada aktivitas dan perilaku makan, dengan presentase aktivitas dan perilaku makan di PSSP mencapai 15,63%-39,72% dan di hutan rasamala mencapai 15,43%-42,57%. Aktivitas dan perilaku terendah yaitu pada aktivitas bersuara, dengan presentase aktivitas dan perilaku bersuara di PSSP (0%-0,14%) dan di hutan rasamala mencapai (0%-0,75). Jenis pakan, jenis pakan yang paling disukai di PSSP yaitu jeruk dan di Hutan rasamala yaitu daun rasamala. Jumlah Konsumsi bahan kering (BK), lemak dan energi di PSSP lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Owa Jawa di hutan rasamala. Namun dalam hal konsumsi gizi berupa serat kasar dan protein kelompok hutan rasamala mengkonsumsi zat gizi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Owa Jawa di PSSP. Berdasarkan data bobot badan yang tersedia pada kelompok Owa Jawa di PSSP, dapat diestimasi konsumsi BK pada kelas umur dewasa mencapai 3% dari bobot badan dan 7% dari bobot badan untuk kelas umur anak. Terkait dengan kebutuhan akan energi untuk menunjang aktivitas dan aktivitas bergerak dan lainnya pada kelas umur remaja dan aktivitas reproduksi pada kelas umur dewasa maka total konsumsi energi per bobot badan mencapai 30 - 50 Kal/Kg BB. Walaupun demikian kedua kelompok ini masih menunjukan kecukupan zat gizi, hal ini tampak dari kemampuan tumbuh, reproduksi dan merawat anak (menyusui). Perbedaan yang mendasar baik dalam hal aktivitas dan perilaku, khususnya perilaku sosial dan pergerakan serta jenis pakan kelompok Owa Jawa di PSSP dan di Hutan rasamala mengindikasikan perlunya penyiapan proses pelepasliaran individu atau kelompok melalui berbagai tindakan manajeman lain untuk siap dilepasliarkan terkait perilaku, pakan dan kesehatan. Kata kunci : Owa Jawa, Aktivitas dan Perilaku, Pakan, Pelepasliaran.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
STUDI PERILAKU DAN PAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch) DI PUSAT STUDI SATWA PRIMATA IPB DAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO : Penyiapan Pelepasliaran
DEDE AULIA RAHMAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi : Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., PhD
PRAKATA Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains primatologi dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Pusat Studi Satwa Primata dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Resort Bodogol). Tesis berjudul “Studi Perilaku dan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) Di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo : Penyiapan Pelepasliaran” ini disusun berlandaskan atas kepedulian terhadap keberadaan Owa Jawa di beberapa habitat insitu yang semakin terdesak keberadaannya akibat hilang dan terfragmentasinya habitat alami yang mengakibatkan ancaman kepunahan. Fenomena hilangnya habitat dan ancaman bagi spesies ini mendasari sebuah kajian mengenai komparasi antara pola aktivitas dan perilaku harian termasuk di dalamnya pakan dan kelompok sosial antara habitat alami (insitu) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dirumuskan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan dan arah kegiatan pengelolaan bagi manajeman eksitu di PSSP dalam rangka penyiapan pelepasliaran dan penetapan kriteria kesiapan individu yang akan dilepasliarkan . Dalam tesis ini diuraikan tentang pola perilaku, pakan dan kelompok sosial Owa Jawa baik pada habitat insitu maupun eksitunya. Selain itu, diuraikan pula mengenai faktor-faktor yang menentukan dalam penetapan kriteria pelepasliaran. Akhirnya, disadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, kekeliruan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Juni 2011 Penulis
PERSEMBAHAN Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains primatologi dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Pusat Studi Satwa Primata dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Resort Bodogol). Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: (1) Kepala Pusat Studi Satwa Primata dan PT. Wanara Satwaloka, yang telah memberikan izin dan sponsor beasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Sains di Institut Pertanian Bogor, (2) Prof. drh. Dondin Sajuthi MST, Ph.D selaku Ketua Program Studi Primatologi yang telah memberikan izin dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Prof. Dr. Ir. Supraptini Mansjoer, MS atas motivasi dan masukan yang sangat berharga kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan magister, (4) Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan bantuan selama penelitian berlangsung. Terima kasih pula kepada kawan-kawan seperjuangan mahasiswa S2 Primatologi, Ibu Yanti, Pak Yana, Pak Sofwan, Bu Uum dan Pak Ismail atas bantuannya. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Komisi Pembimbing, yakni: Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS selaku ketua Komisi, Dr. Ir. Entang Iskandar, MSi selaku anggota Komisi atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Kepada Prof. drh. Dondin Sajuthi MST, Ph.D yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai penguji luar komisi diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Akhirnya ucapan terimakasih secara khusus penulis sampaikan kepada Bapak tercinta Komarudin Effendi dan Ibu Unay Yulia (Alm), Ibu Dewi Panca MKH dan kakak adik tersayang Novita Anggraeni, Dicky Rizal Samsir Alam, Lembah Nandono dan Kalimas Nandono serta Sarlita Fitri Pasaribu atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani studi. Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Januari 1987 di Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Komarudin Effendi dan Ibu Unay Yulia (Alm). Pada tahun 1998 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar di SDN 4 Cihideung Ilir Kabupaten Bogor, tahun 2001 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Ciampea Kabupaten Bogor. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, lulus pada tahun 2008. Sejak tahun 2008 sampai sekarang penulis bekerja sebagai asisten dosen di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan sekolah
pada
program Magister Sains IPB pada Program Studi Primatologi. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Primatologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian tentang “Studi Perilaku dan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) Di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo : Penyiapan Pelepasliaran” yang dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS sebagai Ketua dan Dr. Ir. Entang Iskandar, MSi sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................ i DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ vi I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ................................................................................ 1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.3. Manfaat Penelitian .......................................................................... 1.4. Perumusan Masalah ......................................................................... 1.5. Kerangka Pemikiran ..........................................................................
1 3 3 3 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bio-ekologi Owa Jawa ...................................................................... 2.1.1. Klasifikasi dan Taksonomi....................................................... 2.1.2. Morfologi ................................................................................ 2.1.3. Habitat dan Penyebaran .. ........................................................ 2.1.4. Aktivitas Harian dan Perilaku.. ................................................ 2.1.5. Pakan dan Pengkayaan Pakan ................................................. 2.1.6. Kelompok Sosial dan Pengkayaan Sosial ................................. 2.1.7. Status Konservasi .................................................................... 2.2. Pengkayaan Lingkungan (Enrichment) .. .......................................... 2.2.1. Pengkayaan Struktural..... ........................................................ 2.2.2. Pengkayaan Objek .. ................................................................ 2.3. Persiapan Pelepasliaran .....................................................................
5 5 6 7 9 11 12 13 14 14 16 17
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Sejarah Singkat Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) .......................... 3.2. Laboratorium dan Kegiatannya ......................................................... 3.2.1. Laboratorium Sumberdaya Hewan Penelitian .......................... 3.2.2. Unit Karantina dan Penangkaran .............................................. 3.3. Sejarah Singkat TN Gunung Gede Pangrango (TNGP) ...................... 3.3.1. Letak dan Luas ........................................................................ 3.3.2. Bio-Fisik Kawasan .................................................................. 3.3.3. Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) ...........
19 20 20 20 27 28 29 33
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu ........................................................................ 4.2. Peralatan dan Bahan .................................................................... 4.3. Pengumpulan Data ........................................................................ 4.3.1. Studi Literatur ....................................................................... 4.3.2. Kondisi Fisik Lingkungan Kandang ....................................... 4.3.3. Komponen Biotik Lingkungan Kandang ................................ 4.3.4. Pengkayaan Lingkungan (Enrichment) ................................... (i)
37 37 38 38 38 39 39
4.3.5. Perilaku, Pakan dan Kelompok Sosial ..................................... 4.4. Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 4.4.1. Durasi, Frekuensi dan Transisi Perilaku .................................. 4.4.2. Pakan, Aktivitas dan Perilaku Makan...................................... 4.4.3. Kelompok Sosial ....................................................................
39 43 43 44 45
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Populasi Owa Jawa di PSSP dan Bodogol ......................................... 5.2. Aspek Kesehatan Individu Owa Jawa di PSSP .................................. 5.3. Kondisi Bio-Fisik Lingkungan Kandang Owa Jawa........................... 5.4. Aktivitas dan Perilaku Owa Jawa ...................................................... 5.4.1. Aktivitas dan Perilaku Berpindah.......................................... ... 5.4.2. Aktivitas dan Perilaku Makan .................................................. 5.4.3. Aktivitas dan Perilaku Sosial ................................................... 5.4.4. Aktivitas dan Perilaku Beristirahat dan Tidur .......................... 5.5. Pakan dan Pengkayaan Pakan ........................................................... 5.5.1. Waktu Pemberian Pakan ......................................................... 5.5.2. Cara Pemberian Pakan ............................................................ 5.5.3. Jenis Pakan ............................................................................. 5.5.4. Pemilihan Pakan ..................................................................... 5.5.5. Bagian Pakan yang Dikonsumsi .............................................. 5.5.6. Jumlah Pakan yang Diberikan dan Dikonsumsi ....................... 5.5.7. Komposisi Nutrisi Pakan ......................................................... 5.6. Kelompok Sosial .............................................................................. 5.7. Penilaian Kesiapan Pelepasliaran ...................................................... 5.8. Standar Desain Manajeman Penangkaran PSSP ................................
46 47 48 49 52 56 59 68 71 71 72 72 78 80 82 85 88 90 91
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... ................................................................................. 6.2. Saran .... .......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... .............. LAMPIRAN ..............................................................................................
(ii)
94 95 96 102
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Kategori tingkat umur pada kelompok Owa Jawa ...................................... 7
2. Terminologi penentu dalam mengidentifikasi jenis kandang ........................15 3. Ukuran kandang individual yang direkomendasikan untuk Primata .............15 4. Interpretasi Palpasi dan Umur Kebuntingan.................................................23 5. Susunan gigi geligi dan estimasi umur.........................................................23 6. Interpretasi hasil uji tuberkulinasi ................................................................24 7. Jalu-jalur Pengamatan di Resort Bodogol ....................................................36 8. Nama, jenis kelamin dan umur Owa Jawa di Pusat Studi Satwa Primata......38 9. Tipe variasi suara Owa Jawa (Hylobates moloch) ......................................42 10. Ukuran dan komposisi kelompok Owa Jawa di PSSP dan Hutan Rasamala ....................................................................................................46 11. Kondisi kesehatan dan paparan penyakit pada Owa Jawa di PSSP ...............48 12. (a) Alokasi waktu harian Owa Jawa di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) ........................................................................................................51 (b) Alokasi waktu harian Owa Jawa di Resort Bodogol hutan rasamala .......51 13. Persentase cara pergerakan kelompok Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala ......................................................................................................55 14. Perbandingan dan hubungan antar individu yang melakukan parawatan (grooming) dengan individu yang dirawat ..................................66 15. Jadwal pemberian pakan dan jenis pakan yang diberikan.............................71 16. Jenis pakan yang diberikan pada Owa Jawa di PSSP ...................................74 17. Jenis pakan yang diberikan pada Owa Jawa di JGC .....................................75 18. Presentase jenis pakan Owa Jawa kelompok hutan rasamala .......................76 19. Jenis, urutan pemilihan dan konsumsi pakan pada Owa Jawa di PSSP .........79 20. Jenis, urutan pemilihan dan konsumsi pakan pada Owa Jawa di Hutan rasamala ......................................................................................80 21. Jenis pakan dan bagian yang dikonsumsi oleh Owa Jawa pada kedua kelompok ....................................................................................................80 22. Jumlah pakan yang diberikan per hari (untuk 5 individu Owa Jawa) ...........82 23. Konsumsi pakan pada masing-masing individu pada kelompok Owa Jawa di PSSP ..............................................................................................83 24. Konsumsi pakan dalam satu hari kelompok hutan rasamala .........................84
(iii)
25. Kandungan gizi pakan Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala ...................86 26. (a) Estimasi konsumsi zat gizi Owa Jawa di PSSP .......................................86 (b) Estimasi konsumsi zat gizi Owa Jawa di Hutan rasamala .......................86
(iv)
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Skema Kerangka pemikiran penelitian ...................................................
4
2.
Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) ........................................
6
3.
Peta penyebaran Owa Jawa (Hylobates moloch) (Nijman 2001) .............
8
4.
Contoh bentuk design kandang luar (housing) Owa Jawa di kebun binatang ................................................................................................. 16
5.
Peta kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ........................ 28
6.
Peta Studi Area Bodogol di wilayah Resort Bodogol .............................. 35
7.
Lokasi penelitian studi penangkaran Owa Jawa (Hylobates moloch) di Pusat Studi Satwa Primata .................................................................. 37
8.
Persentase waktu aktivitas dan perilaku bergerak Owa Jawa di PSSP dan hutan rasamala ................................................................................. 52
9.
Pergerakan kelompok Owa Jawa di PSSP dengan (a) brakiasi dan (b) bipedal walking ..................................................................................... 54 Presentase aktivitas dan perilaku makan kelompok PSSP dan Hutan rasamala ................................................................................................. 58
10. 11.
(a). Tipe suara Owa Jawa di PSSP-IPB; (b) Tipe suara Owa Jawa di hutan rasamala (Resort Bodogol-TNGGP)............................................ 61
12.
Presentase aktivitas dan perilaku bersuara Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala (Resort Bodogol) ........................................................... 62
13.
Aktivitas grooming pada Owa Jawa di (a) PSSP dan (b) Hutan rasamala ................................................................................................. 63
14.
Aktivitas grooming pada kelompok Owa Jawa di PSSP (a) Jantan remaja menggrooming jantan dewasa (b) Jantan dewasa menggrooming betina dewasa dan anak (c) aktivitas autogrooming ...... 65
15.
Presentase aktivitas dan perilaku bermain Kelompok Owa Jawa di PSSP dan hutan rasamala ....................................................................... 68
16.
(a) Pakan sayur dan buah yang diberikan pada Owa Jawa di PSSP (b) Formulasi pakan tambahan berupa monkey chow .................................... 74
17.
Jenis pakan Owa Jawa di hutan rasamala (a) puspa (b) rasamala (c) liana susu (d) afrika ................................................................................ 77
18.
Beberapa contoh pakan yang tidak habis dikonsumsi.............................. 79
(v)
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Ukuran dan komposisi kelompok Owa Jawa di Resort Bodogol tahun 2003-2007 ................................................................................................ 102
2.
Jenis pakan Owa Jawa di Resort Bodogol ................................................ 104
3.
Uji Chi-square pada tipe aktivitas dan perilaku Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala ........................................................................................ 107
4. International studbook keeper (Husbandry Manual for the Javan Gibbon (Hylobates moloch)) ................................................................... 108
(vi)
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) merupakan satu dari lima spesies genus Hylobates yang hidup di Indonesia. Spesies ini merupakan jenis endemik dan hanya terdapat di Pulau Jawa yaitu di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah (Supriatna & Wahyono 2000). Fragmentasi hutan yang terus terjadi di Pulau Jawa merupakan ancaman paling serius bagi kelestarian Owa Jawa (Supriatna 2006). Gangguan terhadap habitat seperti aktivitas penebangan, merupakan contoh faktor yang menimbulkan ancaman bagi kelestarian populasi Owa Jawa karena mengakibatkan hilang serta menyempitnya habitat Owa Jawa serta menciptakan kepunahan spesies. Owa Jawa termasuk kedalam jenis primata dengan kategori terancam (endangered) menurut IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) dan populasinya cenderung terus menurun (IUCN 2008). Owa Jawa masuk ke dalam daftar 25 jenis primata yang paling rentan terhadap kepunahan pada tahun 2000 (Mittermier et al. 2007). Hal ini terjadi karena adanya tekanan atau degradasi terhadap habitat Owa Jawa dan perdagangan liar satwa tersebut sebagai hewan peliharaan (Supriatna 2006). Berdasarkan Laporan Conservation Assessment and Management Plan PrimataIndonesia (Supriatna, et.al. 2001), saat ini diperkirakan hanya tersisa antara 400-2.000 individu spesies kera ini di habitat alaminya. Habitat Owa Jawa merupakan kawasan hutan, mulai dari hutan tropis dataran rendah sampai dengan hutan tropis dengan ketinggian dibawah 1.600 m dpl (Asquith 2001, Nijman 2004). Habitat Owa Jawa terpusat di daerah berhutan, seperti hutan dataran rendah dan hutan pegunungan dengan kondisi relatif utuh terutama di daerah-daerah yang dilindungi seperti di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN Halimun-Salak, TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Ciremai, Cagar Alam (CA) Leuweung Sancang, Hutan Lindung (HL) Gunung Papandayan, HL Gunung Wayang, HL Gunung Jayanti dan HL Gunung Porang. Di Jawa Tengah, Owa Jawa dapat ditemukan di Gunung Dieng dan Gunung Slamet (Supriatna & Wahyono 2000). Luas habitat Owa Jawa sampai akhir abad 19 1
menyusut sekitar 96%. Habitatnya semula diperkirakan memiliki luas 43.274 km2, berkurang menjadi sekitar 1.608 km2 (Supriatna & Wahyono 2000). Penyusutan habitat dan tekanan perburuan menyebabkan populasi spesies kera kecil ini terus mengalami penurunan dan semakin terdesak sebarannya hanya pada kawasan hutan yang dilindungi. Penurunan populasi di alam tersebut sangat memprihatinkan, hal ini berkaitan dengan semakin langkanya Owa Jawa di alam. Selain itu hal lain yang harus menjadi perhatian kita adalah mengenai informasi dan pengetahuan dasar spesies ini yang masih sangat terbatas terutama ketika spesies ini berada dalam suatu manajemen eksitu. Program pelestarian Owa Jawa melalui konservasi eksitu diharapkan tidak hanya menjadi sarana penangkaran bagi spesies tersebut namun diharapkan mampu menunjang konservasi insitu melalui program pelepasliaran ke habitat alaminya. Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) merupakan salah satu instansi yang bergerak dalam pengembangan riset terkait primata yang tidak hanya terfokus pada aspek biomedis, biologi namun juga pada aspek pelestarian spesies primata. Program penangkaran eksitu yang dilakukan oleh PSSP merupakan upaya dalam mendukung pelestarian satwa primata, terutama bagi spesies yang terancam punah seperti penangkaran Owa Jawa dan beberapa satwa primata lainnya. Komparasi antara perilaku di alam dan di habitat buatannya merupakan kunci bagi program konservasi spesies ini, kajian mengenai komparasi antara pola aktivitas dan perilaku harian termasuk di dalamnya pakan dan kelompok sosial antara habitat alami (insitu) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan semi eksitu di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center) dirumuskan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan dan arah kegiatan pengelolaan bagi manajeman eksitu di PSSP dalam rangka penyiapan pelepasliaran dan penetapan kriteria kesiapan individu yang akan dilepasliarkan .
2
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : 1.
Melihat perilaku individu Owa Jawa sebagai akibat dari tindakan manajemen di habitat penangkaran (PSSP) dan di habitat alam (TNGGP)
2.
Mengenal jenis pakan dan status nutrisi pada Owa Jawa di PSSP dan TNGGP
3.
Memberikan penilaian kesiapan pelepasliaran terhadap perilaku dan status kecukupan pakan Owa Jawa di PSSP dengan model Owa Jawa TNGGP
1.3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai berbagai faktor terkait penangkaran (manajemen penangkaran) berbasis ekologi perilaku. Secara umum, data dan informasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam penyusunan desain penangkaran terbaik untuk pengelolaan dan pelestarian populasi Owa Jawa, serta menentukan pola terbaik untuk melepasliarkan satwa sehingga mampu bertahan hidup di habitat insitunya. 1.4. Perumusan Masalah Ancaman terhadap kelestarian Owa Jawa yang semakin tinggi akibat perambahan hutan dan perburuan dewasa ini berimplikasi pada berbagai upaya penyelamatan spesies ini dari ancaman kepunahan. Salah satu upaya terbaik adalah melalui kegiatan konservasi eksitu seperti yang dilakukan oleh Pusat Studi Satwa Primata. Namun dalam pengelolaannya perlu ditinjau berbagai hal terkait aspek manajemen penangkarannya, timbulnya penyimpangan
perilaku yang
mungkin timbul dan tentu akan menyulitkan dalam proses menuju pelepasliaran. Oleh karena itu perlu kiranya dibuat sebuah rumusan yang pada akhirnya dapat digunakan untuk penyempurnaan penyusunan desain penangkaran.
3
1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian Studi Perilaku dan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango : Penyiapan Pelepasliaran ini lebih ditekankan pada analisis mengenai manajeman penangkaran dan perilaku yang ditimbulkannya. Manajemen Penangkaran Owa Jawa
Pakan
Status Kecukupan Gizi
Perilaku
Perilaku Abnormal
Kelompok Sosial
Perilaku Normal
Desain Standar Manajemen Penangkaran (Perilaku, Pakan dan Kelompok Sosial
Kriteria Kesiapan Pelepasliaran
Keterangan:
= fokus penelitian
Gambar 1. Skema kerangka pemikiran 4
TNGGP Manajeman di Alam
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Bio Ekologi Owa Jawa
2.1.1. Klasifikasi dan Taksonomi Owa Jawa Terdapat sebelas jenis primata dari family Hylobatidae yang tersebar di Asia Tenggara, enam spesies diantaranya termasuk ke dalam Genus Hylobates, yaitu Hylobates agilis F. Cuivert 1821 (ungko, dark head gibbon), H. klosii Miller 1903 (siamang kerdil, klossi gibbon), H. lar Linnaeus 1771 (ungko lengan putih, white handed gibbon), H. muelleri
Martin 1841(kelawat, gray gibbon), H.
Moloch Audebert 1797 (Owa Jawa, silvery gibbon), dan Hylobates pileatus Gray 1861. Dari keenam spesies ini hanya H. Pilleatus Gray yang penyebarannya tidak meliputi wilayah Indonesia (Geissman 2002, Mootnick 2006) Berdasarkan Napier & Napier (1967), Owa Jawa (Hylobates molloch Audebert 1797), diklasifikasikan sebagai berikut: Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Primata
Famili
: Hylobatidae
Genus
: Hylobates
Spesies
: Hylobates moloch Audebert (1797). Owa Jawa dalam bahasa Inggris disebut javan gibbon atau silvery gibbon,
sedangkan nama lokalnya adalah owa atau wau-wau kelabu. Arti kata hylobates menurut Nowak (1999) adalah penghuni pohon, oleh karena itu ketangkasan genus ini dikenal melebihi satwa lain pada saat bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya.
5
2.1.2. Morfologi Owa Jawa (H. moloch) adalah salah satu satwa primata yang termasuk dalam kelompok kera dengan ukuran tubuh yang kecil. Tungkai tangan lebih panjang dibandingkan dengan tungkai kaki, tidak berekor dan pada bagian pantat terdapat kulit tebal (ischial callosities) yang terpisah. Seluruh tubuh ditutupi oleh rambut dengan warna bervariasi dari hitam, abu-abu keperakan, coklat kemerahan dan coklat kekuningan. Bagian wajah, telapak tangan dan telapak kaki tidak berambut dan berwarna hitam (Napier & Napier 1967). Warna rambut Owa Jawa bersifat monokromatik artinya warna rambut dari bayi hingga dewasa tidak mengalami perubahan.
Gambar 2. Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) Owa Jawa jantan dewasa memilki berat berkisar antara 4300–7928 gram sedangkan betina dewasa 4100–6800 gram. Panjang badan dan kepala berkisar antara 400–635 mm untuk jantan dewasa dan 403–635 mm untuk betina dewasa (Napier & Napier 1967). Menurut Supriatna & Wahyono (2000), berat tubuh jantan dewasa berkisar 4–8 kg dan betina dewasa antara 4–7 kg, panjang tubuh jantan dan betina dewasa berkisar antara 75–80 cm.
6
Tabel 1. Kategori tingkat umur pada kelompok Owa Jawa Kategori kelas umur Jantan dewasa (Adult male)
Keterangan Berumur 9-33 tahun, ukuran badan besar, warna rambut abu-abu pucat, warna muka hitam dan terdapat rambut putih pada muka. Bunyi suara pendek dan keras, sering berada pada lingkaran terluar dari kelompoknya. Betina dewasa Kelenjar susu terlihat. Bunyi suara panjang dan (Adult female) monoton, sering terlihat menggendong bayi atau dekat dengan individu anak ketika belum masuk kedalam masa sapih. Jantan remaja Beumur 4-9 tahun, ukuran badan sedang, warna (Sub-adult male) rambut abu-abu, terdapat rambut hitam berbentuk segitiga di atas kepala. Scrotum mulai terlihat berwarna hitam dan sering memisahkan diri atau menjaga jarak dengan kelompoknya. Betina remaja Kelenjar susu masih kecil, bunyi suara rendah dan (Sub-adult female) sering berada dalam kelompoknya. Anak Berumur 2-4 tahun, ukuran badan kecil, dapat (Juvenil) berjalan sendiri, warna rambut abu-abu keputihan Bayi Berumur 0-2 tahun, sering dalam gendongan induk (Infant) betinanya dan warna rambut putih kekuningkuningan Sumber : Kappler (1981) Owa Jawa memiliki gigi seri kecil dan sedikit ke depan, sehingga memudahkan untuk menggigit dan memotong makanan. Gigi taring panjang dan berbentuk seperti pedang yang berfungsi untuk mengigit dan mengupas makanan. Gigi geraham atas dan bawah untuk mengunyah makanan (Napier & Napier 1967). 2.1.3. Habitat dan Penyebaran Owa Jawa dapat ditemukan pada beberapa habitat mulai dari garis pantai sampai dengan ketinggian 1.400–1.600 m dpl (Supriatna & Wahyono 2000). Jenis ini jarang ditemukan di hutan berketinggian lebih dari 1.500 mdpl karena umumnya vegetasi dan jenis tumbuhan pada daerah setinggi ini bukan merupakan sumber pakan Owa Jawa. Selain itu banyaknya lumut yang menutupi pepohonan di pegunungan menyulitkan pergerakan brakiasi Owa Jawa. Selain itu suhu pada ketinggian di atas 1.500 m dpl lebih rendah dibandingkan suhu di bawahnya sehingga tidak sesuai bagi Owa Jawa (Rowe 1996)
7
Owa Jawa merupakan genus Hylobates yang membutuhkan pepohonan besar dengan tajuk rapat dan memiliki percabangan yang tumbuh horizontal untuk membantu mereka dalam berpindah. Jenis ini juga merupakan satwa yang benarbenar hidup arboreal sehingga membutuhkan hutan dengan kanopi antar pohon yang berdekatan (Kappeler 1984). Penyebaran Owa Jawa hanya terdapat di separuh Pulau Jawa ke arah barat. Wilayah sebaran Owa Jawa di Jawa Barat meliputi TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun-Salak, TN Ujung Kulon, TN Gunung Ciremai, CA Gunung Simpang, CA Leuweung Sancang, Hutan Lindung (HL) Gunung Papandayan, HL Gunung Wayang, HL Gunung Jayanti, dan HL Gunung Porang. Di Jawa Tengah, Owa Jawa dapat ditemukan di HL Gunung Slamet, HL Gunung Prahu dan HL Pegunungan Dieng (Supriatna & Wahyono 2000).
Gambar 3. Peta penyebaran Owa Jawa (Hylobates moloch) (Nijman 2001)
Supriatna dan Wahyono (2000) membedakan Owa Jawa menjadi dua subspesies, yaitu H. Moloch moloch yang memilki warna rambut lebih gelap, dan H. moloch pangoalsoni dengan rambut berwarna lebih terang. Pola penyebaran H. moloch moloch memiliki daerah sebaran di wilayah Jawa Barat sedangkan H. Moloch pangoalsoni di Jawa Tengah. Di Taman Nasional Ujung Kulon Owa Jawa bisa ditemukan didaerah Curug Cikacang dan Cikanolong (Rinaldi 1999). Daerah lain dari wilayah Gunung Honje yang bisa ditemukan owa adalah Cipunaga, Cihonje, Cinimbung, Cilimus, Cibiuk dan Ermokla (Atmoko et al. 2008)
8
2.1.4. Aktivitas Harian dan Perilaku Aktivitas dan Perilaku Berpindah Pada saat melakukan aktivitas harian, Owa Jawa lebih bersifat arboreal dan jarang turun ke tanah. Pergerakan dari pohon ke pohon dilakukan dengan cara bergelayutan atau brankiasi. Pohon yang tinggi dapat digunakan untuk bergelayutan, berpindah tempat, tidur, menelisik (grooming) antara jantan dan betina atau antara induk betina dan anaknya serta mencari makan (Supriatna & Wahyono 2000). Aktivitas dan Perilaku Makan Aktivitas Owa Jawa dalam mencari makan dilakukan pada pagi hari dan setelah istirahat di siang hari sampai menjelang sore hari. Owa Jawa merupakan satwa frugivora yang memakan buah-buahan masak, kaya akan gula dan banyak mengandung air. Menurut Kappeler (1984), persentase jenis pakan yang dikonsumsi oleh Owa Jawa terdiri dari 61% buah, 38% daun dan 1% bunga. Karena bersifat monogami dan teritorial, maka Owa Jawa selalu bergerak bersama dengan kelompoknya dalam mencari makan dan dipimpin oleh betina dewasa (Sinaga, 2003). Jantan dewasa memiliki intensitas untuk melakukan aktivitas makan yang lebih rendah dibandingkan betina, hal ini berkaitan dengan peranan jantan untuk mempertahankan kelompok dari serangan predator (Campbell et al. 2007). Menurut Kappeler (1981), saat melakukan aktivitas makan, Owa Jawa akan berdiam pada satu tempat dengan berbagai posisi seperti duduk, bergantung dan berdiri dengan satu atau dua tungkainya bebas untuk mengambil makanan. Ditambahkan oleh Chivers (1980), posisi tubuh saat beraktivitas dipengaruhi oleh faktor jenis pakan yang sedang dikonsumsi. Posisi bergantung dipilih Owa Jawa saat sedang mengkonsumsi buah-buahan, sedangkan duduk dilakukan saat sedang mengkonsumsi dedaunan. Terdapat beberapa faktor yang menentukan perilaku makan Owa Jawa, antara lain adalah teknik makan, tempat dan ketinggian, komposisi pakan, bagian yang dimakan, variasi pakan, jumlah pakan serta pola pergerakan (Bismark, 1984).
9
Aktivitas dan Perilaku Sosial Menurut McDonald (1993) bahwa perilaku sosial pada Owa Jawa meliputi aktivitas vokalisasi (bersuara), grooming (menelisik) dan bermain. Aktivitas dan Perilaku Bersuara Aktivitas Owa Jawa diawali dengan bersuara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari pakan (Rinaldi 1999). Pada pagi hari, Owa Jawa akan mengeluarkan suara berupa lengkingan nyaring yang disebut morning call, dengan durasi antara 10–30 menit. Suara Owa Jawa dapat diidentifikasi hingga radius 500–1.500 m. Suara yang dapat diidentifikasi adalah suara betina untuk menandai teritorinya, suara jantan ketika bertemu dengan kelompok lainnya, suara antar individu ketika terjadi konflik, dan suara anggota keluarga ketika melihat bahaya (Geissman et al. 2005). Perilaku bersuara pada Owa Jawa memiliki karakter khusus yang membedakan dengan family Hylobatidae lain, yaitu individu berperan lebih besar dalam penjagaan daerah jelajah. Hal tersebut ditunjukkan melalui alokasi penggunaan waktu bersuara Owa Jawa betina yang lebih besar dibandingkan jantan. Aktivitas dan Perilaku Grooming (Menelisik) Menurut Alexander (1974); Freeland (1976), beberapa sebab terjadinya grooming dalam kelompok primata adalah memelihara individu satwa dari gangguan parasit dan kotoran, selain itu pun aktivitas grooming ditunjukan untuk memelihara ketertarikan sosial antar individu dalam kelompok. Aktivitas ini umumnya meningkat disaat periode istirahat berlangsung. Aktivitas dan Perilaku Bermain Aktivitas
dan
perilaku
bermain
merupakan
bagian
dari
upaya
menghilangkan perasaan bosan oleh individu satwa dan mempererat ikatan sosial diantara individu dalam kelompok. Pada kelompok Hylobates lar di TN. Khao Yai, Thailand, aktivitas bermain mempunyai proporsi waktu 29% dari total waktu aktivitas sosial dan dilakukan oleh individu anak dan remaja (Bartlett 2003). Pada kelompok hutan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, aktivitas bermain mempunyai proporsi waktu 15,09% dan berkutuan 16,98% (Ladjar 1996). 10
Aktivitas dan Perilaku Tidur dan Beristirahat Pohon tidur adalah jenis pohon yang digunakan Owa Jawa sebagai tempat beristirahat, tidur dan tempat berlindung dari predator. Gibbon akan melakukan perpindahan pohon tidur secara berkala. Jantan dan betina tidur pada pohon yang berbeda. Pada saat berada di pohon tidur, gibbon tidak akan bersuara untuk menghindari bahaya (Islam & Feeroz 1992). Setelah melakukan jelajah harian, Owa Jawa akan kembali ke pohon tidur beberapa jam sebelum matahari terbenam, dan tinggal di pohon tersebut sampai kira-kira 14–17 jam. Biasanya betina dewasa dan bayi menuju pohon tidur terlebih dahulu, diikuti juvenil atau anak yang beranjak dewasa dan terakhir jantan dewasa. Iskandar (2008) menyatakan bahwa di TN Gunung Gede Pangrango terdapat sekitar 17 jenis vegetasi yang merupakan tempat tidur Owa Jawa yang tergolong kedalam 7 famili. Pohon tidur Owa Jawa tersebut adalah teureup (Artocarpus elasticus), rasamala (Altingia excelsa), kondang (Ficus variegata), Afrika (Maesopsis eminii), dan manggong (Macaranga rhizinoides). Pada umumnya vegetasi yang dimanfaatkan Owa Jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur adalah vegetasi tingkat pohon. Hal tersebut disebabkan pola hidup Owa Jawa yang bersifat arboreal dengan memanfaatkan strata pohon tengah dan atas (Iskandar 2007). 2.1.5. Pakan dan Pengkayaan Pakan Pola makan primata umumnya dibagi kedalam tiga kategori berdasarkan kuantitas jenis pakan yang dikonsumsinya yaitu frugivorus (banyak memakan buah), folivorus (banyak memakan dedaunan) dan insectivorus (banyak memakan serangga) (NRC 2005, Rowe 1996). Pohon tempat aktivitas Owa Jawa dapat dibedakan menjadi pohon pakan dan pohon tidur. Pohon pakan adalah jenis pohon yang dimanfaatkan Owa Jawa sebagai pakan. Bagian pohon yang biasanya dimanfaatkan adalah buah, daun, bunga dan hewan-hewan kecil (serangga, ulat, rayap). Kelompok gibbon pada umumnya mengonsumsi buah matang dalam proporsi yang tinggi. Presentase jenis pakan tertinggi adalah buah-buahan matang (61%), dedaunan (38%) dan bunga (1%) (Kappeler 1984).
11
Sekitar 44 jenis pohon pakan Owa Jawa yang terdapat di TN Gunung Gede Pangrango, yang merupakan anggota dari 24 famili. Pohon pakan tersebut adalah rasamala (Altingia excelsa), afrika (Maesopsis eminii), teureup (Artocarpus elasticus), saninten (Castanopsis argentea) dan puspa (Schima wallichii) (Iskandar 2008). Di Taman Nasional Ujung Kulon setidaknya terdapat 27 jenis tumbuhan sumber pakan bagi Owa Jawa (Rinaldi 1999). Bagian vegetasi yang dijadikan makanan Owa Jawa adalah daun muda, buah dan bunga. Di penangkaran, pemberian pakan bergizi yang bervariasi dan cukup sesuai dengan karakteristik pakan Owa Jawa yang lebih frugivorus dan folivorus, dengan cara-cara berbeda penting untuk meningkatkan kualitas hidup satwa. Pemberian berbagai jenis pakan yang beranekaragam jenisnya baik buahbuahan, daun, maupun serangga pada jenis-jenis primata bukan hanya memberikan pemenuhan akan kebutuhan makanan terkait rasa lapar namun juga memberikan manfaat lain dalam hal pemenuhan gizi yang amat dibutuhkan bagi aktivitas mereka. Pengkayaan jenis pakan ini pun pada dasarnya merupakan salah satu cara atau strategi dalam pengeliminiran rasa bosan pada jenis pakan tertentu ketika jenis pakan tersebut diberikan secara terus menerus dan berulang-ulang dalam waktu yang terus menerus (setiap hari). Strategi pemberian pakan harus dibangun dengan mengedepankan faktor kesehatan dan mengelimir segala bentuk kontaminan yang mungkin masuk ketubuh satwa. Ketika satwa berada dalam kelompok maka strategi pemberian pakan ditunjukan agar seluruh individu memperoleh kesempatan makan tanpa harus terlalu dibatasi oleh adanya perbedaan struktur sosial (Keiley and Arthur 1995). 2.1.6. Kelompok Sosial dan Pengkayaan Sosial Sebagaimana owa lainnya, Owa Jawa hidup berpasangan dalam sistem keluarga monogami. Dalam kelompok owa terdapat sepasang individu dewasa, termasuk satu bayi (infant) (0-2 atau 2,5 tahun), satu anak (juvenil) (2-4 tahun, pergerakan tetap dipantau induknya), satu remaja (adolescent) (4-6 tahun, ukuran tubuh tidak sama dengan individu dewasa), dan satu pra remaja (sub adult) (lebih dari 6 tahun, pertumbuhan lengkap tapi belum matang kelamin) (Leighton 1986). Individu yang sudah mulai dewasa dihalau dari koloni untuk membentuk koloni 12
baru dengan pasangannya (Supriatna & Wahyono 2000; Suyanto 2002). Masa bunting antara 197-210 hari, dengan jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lainnya berkisar 3-4 tahun, dan umumnya owa jawa dapat hidup hingga 35 tahun (Supriatna & Wahyono 2000; Suyanto 2002). Terkait dengan manajeman penangkaran, pengkayaan berupa kelompok sosial untuk spesies primata adalah suatu hal yang penting. Mensosialisasikan satwa dengan sejenisnya atau tidak merupakan bagian dari perilaku berkelompok spesies primata. Secara umum primata sebagian besar hidup secara berkelompok, paling sedikit 2-3 individu hidup dalam kelompok yang dikenal sebagai keluarga. Pada umumnya kelompok ini merupakan kelompok primata monogamus (sistem kawin dengan satu jantan dan satu betina), di Indonesia sendiri jenis primata yang hidup dengan pola perkawinan ini adalah Owa Jawa. Berbeda dengan Owa Jawa, terdapat jenis primata lain yang hidup dalam kelompok besar seperti bekantan, simpai dengan pola perkawinan harem (satu jantan dengan banyak betina) atau banyak jantan dengan banyak betina seperti pada Macaca fascicularis. Bentuk pengkayaan yang menempatkan individuindividu dalam satu kandang yang sama atau penempatan boneka indukan betina bagi bayi primata yang kehilangan induk betinanya merupakan suatu bentuk pengkayaan sosial yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi kandang yang hampir mirip dengan kondisi alaminya sehingga berbagai aktivitas sosial seperti bermain, kawin, memelihara dan meminta dipelihara termasuk didalamnya grooming dapat dilakukan oleh individu-individu dalam kelompok tersebut. 2.1.7. Status Konservasi Owa Jawa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 termasuk jenis satwa yang dilindungi. Dalam daftar Red List IUCN tahun 1999, Owa Jawa dikategorikan sebagai jenis kritis (Critically endangered). Mulai tahun 2000– 2004, Owa Jawa termasuk ke dalam salah satu dari 25 spesies primata yang paling terancam punah di dunia (Mittermier et al. 2007). Namun berdasarkan Red List IUCN tahun 2008, status Owa Jawa turun dari kritis menjadi terancam, hal ini dikarenakan dari penelitian terhadap populasi Owa Jawa di beberapa kawasan di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa populasi spesies tersebut masih lebih dari 4.000 individu (Supriatna 2000). 13
Konvensi CITES metetapkan Owa Jawa dalam daftar Appendiks I. Hal ini berarti bahwa jenis ini termasuk yang terancam punah sehingga perdagangan internasional untuk tujuan komersil tidak diperbolehkan. 2.2.
Pengkayaan Lingkungan (Enrichment) Pengayaan lingkungan merupakan metode untuk memberikan kondisi dan
perlakuan tertentu yang sesuai dengan hidup alaminya. Proses pengayaan lingkungan bermaksud untuk menghindari satwa dari ancaman stres, kebosanan, kegelisahan dan perilaku menyimpang maupun meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Beberapa jenis enrichment untuk satwa meliputi pengkayaan struktural, untuk memperbaiki susunan lingkungan kandang. Misalnya, pemberian kandang yang cukup luas supaya satwa dapat melakukan gerakan alami seperti lari atau terbang, dan tempat untuk berteduh. Pengkayaan obyek, dan obyek itu termasuk sesuatu yang dapat digunakan supaya mengurangi kebosanan dan menghindari perkembangan perilaku menyimpang. Kenyataannya, tidak dapat dilupakan bahwa satwa merasa bosan dan membutuhkan kegiatan yang merangsangnya melakukan perilaku alami, penambahan objek seperti penyediaan fitur tambahan untuk sarana memanjat, bermain dan fitur lainnya dibuat agar satwa berperilaku secara normal. Pengkayaan sosial, yaitu, mensosialisasikan satwa dengan sejenisnya atau tidak, hal ini dikarenakan tidak semua jenis satwa hidup berkelompok. Pengkayaan pakan, pemberian pakan bergizi yang bervariasi dan cukup yang disesuaikan dengan kondisi di alam, dengan cara-cara berbeda yang penting untuk meningkatkan kualitas hidup satwa. 2.2.1. Pengkayaan Struktural Pada awal tahun 1960an, ukuran dan design kandang menjadi sesuatu yang amat penting, percobaan mengenai hal tersebut pertama kali dicobakan pada spesies Macaca. Rekomendasi penggunaan bahan stainless-steel merupakan hasil nyata dari percobaan ini. Kebanyakan fasilitas penelitian primata dalam hal perkandangannya dibangun atas kekhasan jenis primata yang dikelolanya. Pusat Primata California dan Oregon membuat suatu perkandangan luar (University of California1979) dengan lantai berupa koral (Alexander et al. 1969). Pada perkembangan selanjutnya sebuah badan yang dikenal sebagai National Institute 14
of Health (1985) membangun sebuah standarisasi terkait aspek perkandangan satwa primata dalam bentuk regulasi dan pedoman yaitu Animale Welfare Act (1985). Dalam perencanaan perkandangan terdapat beberapa faktor penting yang harus dipertimbangkan yaitu :1) kandang harus dibuat sedemikian rupa dengan maksud untuk mendukung kenyamanan psikologis bagi satwa yang ada didalamnya; 2) kandang dibuat sesuai dengan ukuran satwa, perilaku sehingga satwa dapat tumbuh dengan normal dan kandang harus mampu mencegah adanya kemungkinan timbulnya penyakit; 3) kandang harus dilengkapi dengan sarana salinitas yang baik; 4) kandang dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan peneliti dan perawat satwa untuk mengelola satwa; 5) kandang dibuat berdasarkan standar baku yang telah direkomendasikan oleh Animal Welfare Act (1985). Jenis kandang sangat ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu : jenis satwa, jumlah individu, umur satwa, tujuan penelitian, keselamatan kerja pekerja, faktor keselamatan dan kesejahteraan satwa, kondisi iklim setempat, adapun terminologi yang umum digunakan dalam mengidentifikasi jenis kandang dapat dilihat pada Tabel 2. Table 2. Terminologi penentu dalam mengidentifikasi jenis kandang Basis Jenis kandang Tipe kandang Satu jantan/satu bentina Kandang individu Satu jantan/banyak betina Kandang harem Banyak jantan/banyak betina Kandang kelompok Lokasi kandang Indoor Kandang individu/harem/kelompok Outdoor Kandang koral/lapangan/pulau kecil Indoor/outdoor Kandang rumput Sumber : Bayne 1989; Bielitzki et al. 1990 Ukuran kandang individual ketika satwa dipisahkan dalam koloni atau dikenai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 3. Ukuran kandang individual yang direkomendasikan untuk satwa primata Berat badan Luas alas minimal Tinggi minimal 2 < 1 kg 0,15 m 50,8 cm 1 kg – 3 kg 0,28 m2 76,2 cm 2 3 kg – 15 kg 0,40 m 76,2 cm 15 kg – 25 kg 0,74 m2 91,4 cm 2 > 25 kg 2,33 m 213,4 cm Sumber : National Institute of Health (1985) 15
Ukuran kandang (housing) luar dibuat menyerupai habitat aslinya, berbagai bentuk pengkayaan seperti penyediaan pohon-pohon dan tali temali di dalam kandang untuk satwa arboreal, lantai tanah atau koral untuk satwa terestrial dibuat sedemikian rupa untuk menciptakan kenyamanan pada individu di dalam kandang. Pada Owa Jawa dapat dibuat kandang terbuka dengan tinggi minimum 4,5 m, disarankan 3m terakhir dari dinding atau pagar harus memungkinkan untuk tidak mungkin dipanjat, pagar atau dinding harus diperluas setidaknya 50cm di bawah tanah, fitur kandang ukuran: 30m x 7m. Pohon Penghubung Pintu
Compartment Akses masuk keeper
Kemiringan Area Pelayanan
Kandang Malam Kandang Perlakuan Perencanaan
Gambar 4. Contoh bentuk design kandang luar (housing) Owa Jawa di kebun binatang
2.2.2. Pengkayaan Objek Perkandangan luar (housing) memerlukan fitur lainnya dalam bentuk objek yang memungkinkan satwa untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya serta memungkinkan satwa terhindar dari rasa bosan. Fitur tambahan seperti sarana memanjat, bermain dan fitur lainnya dibuat agar satwa berperilaku secara normal. Penambahan fitur dibuat sedemikian rupa agar satwa dapat mengekspresikan berbagai aktivitasnya dengan tetap mengedepankan faktor keamanan satwa dan pekerja. Selain itu fitur tambahan berupa kompartemen yang berfungsi sebagai pemisah diperlukan pula sebagai sebuah cara untuk mengurangi 16
kemungkinan agresi atau traumatik akibat agresi oleh individu lain. Penyediaan barang-barang seperti tongkat, bola, mainan plastik diketahui mampu mengurangi stres, timbulnya agresi dan traumatik pada satwa dalam kandang. Fitur tambahan dapat dibuat sealami mungkin atau dengan modifikasi yang benar-benar tidak ditemui ketika satwa berada diluar habitat alaminya. Penyediaan fitur alami seperti kayu atau pohon-pohonan dalam kandang luar memungkinkan satwa untuk bereksplorasi dengan fitur tersebut. Fitur buatan yang bersifat artifisial dibuat dengan maksud menciptakan kesenangan pada satwa sehingga satwa terhindar dari rasa bosan, sebagai contoh adanya fitur seperti box kecil yang dimodifikasi sebagai tempat pakan memberikan manfaat dalam hal terciptanya kondisi satwa yang tetap mampu melakukan aktivitas mencari makan (foraging), selain itu penggunaan feeding puzzle
atau mekanisme pemberian
hadiah berupa makanan merupakan salah satu cara terbaik untuk menghindarkan satwa dari kebosanan (Bloom & Cook 1989) 2.3.
Persiapan Pelepasliaran Terancamnya kelestarian Owa Jawa (Hylobates moloch) menyebabkan
satwa endemik tersebut memerlukan upaya konservasi yang bermanfaat bagi peningkatan jumlah populasinya di alam. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melepasliarkan Owa Jawa yang telah melalui proses rehabilitasi ke habitat alaminya. Menurut Cyne (2004) rehabilitasi tidak dapat menggantikan proses pembelajaran seperti di alam, namun melalui rehabilitasi Owa Jawa dapat belajar berbagai kemampuan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di alam. Baker (2002) menyatakan bahwa terdapat dua strategi pelepasan satwa liar ke habitat alaminya (reintroduksi) yaitu soft release dan hard release. Strategi soft release atau uji coba pelepasan yang dilakukan dengan menempatkan satwa pada atau berdekatan dengan titik pelepasan dan memberikan post monitoring support sebagai slah satu upaya mendukung aklimatisasi satwa. Strategi hard-release dilakukan dengan menempatkan satwa di titik pelapasan tanpa disertai dengan post monitoring support. Chebey (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga kriteria keberhasilan rehabilitasi dan pelepasan Owa Jawa. Kriteria pertama yaitu satwa dapat hidup di habitat alami yang diindikasikan dengan kemampuan mencari dan menemukan 17
pakan. Kriteria kedua yaitu terjaganya ikatan antar pasangan yang ditandai dengan terjadinya kopulasi. Kriteria ketiga yaitu dihasilkannya keturunan yang mampu bertahan hidup. Tingkat keberhasilan pelepasan Hylobatidae yang telah dilakukan relatif rendah, yaitu hanya 11% dari 145 pelepasan. Fischer and Lindermayer (2000) melaporkan bahwa 87 pelepasan Hylobatidae yang telah dilakukan memiliki tingkat keberhasilan sebesar 25%. Tingkat keberhasilan yang rendah menunjukkan banyak individu yang tidak mampu bertahan hidup setelah pelepasliaran dilakukan. Menurut Cheyne (2004) tingkat keberhasilan rehabilitasi dan pelepasan owa yang rendah disebabkan satwa tidak memenuhi kriteria kesiapan perilaku pelepasan dan tidak dilakukannya post monitoring support. Ravasi (2004) menyatakan bahwa rehabilitasi Hylobates lar (ungko lengan putih) di Thailand telah melakukan pelepasan satu kelompok ungko lengan putih yang terdiri atas 14 individu (reintroduksi) dalam rentan waktu 1993 hingga 1995. Berdasarkan post released monitoring diketahui bahwa satu individu mati dan 13 individu lainnya berpisah. Hasil serupa juga diperoleh saat melakukan post released monitoring terhadap sepuluh individu yang dilepaskan pada tahun 1996 hingga 2002, yaitu tiga individu dipindahkan dari lokasi pelepasan, tiga individu mati, dan empat individu berpisah. Ravasi (2004) dan Cheyne (2004) menyatakan bahwa ikatan pasangan yang kuat merupakan syarat utama bagi Owa yang dilepaskan. Oleh karena itu, harus dipastikan pasangan yang akan menjalani uji coba pelepasan harus dapat melakukan kopulasi. Cheney (2004) juga menambahkan bahwa salah satu perencanaan menjelang pelepasan adalah memastikan pasangan yang akan dilepaskan telah memiliki kemampuan hidup. Hal tersebut dapat diketahui dengan mengetahui pemenuhan parameter kesiapan perilaku menjelang uji coba pelepasan. Pusat penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Centre), telah berhasil melepasliarkan satu pasang Owa Jawa ke habitat alami di blok Hutan Patiwel, Taman Nasioanal Gunung Gede Pangrango pada awal Oktober 2009. Peristiwa tersebut merupakan palepaslliaran Owa Jawa rehabilitan yang pertama dilakukan. Informasi mengenai kehidupan Owa Jawa rehabilitan sangat dibutuhkan karena tidak ada referensi sebelumnya mengenai kehidupan Owa Jawa rehabilitan setelah dilepasliarkan. 18
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi 1 3.1. Sejarah Singkat Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Pusat Studi Satwa Primata IPB didirikan tahun 1990 melalui SK Rektor No. 080/C/1990. Pembentukan pusat studi ini merupakan respon terhadap kebutuhan akan suatu institusi yang dapat berperan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan manajeman yang berhubungan dengan satwa primata serta dapat berperan pada tingkat nasional maupun internasional. Tujuan didirikannya PSSP, antara lain : 1. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan pendidikan, penelitian, pelatihan, seminar dan publikasi yang berhubungan dengan primatologi. 2. Memberi pertimbangan dan menghasilkan panduan dalam menunjang kebijakan pembangunan berkelanjutan untuk kepentingan konservasi dan pemanfaatan satwa primata di bidang biologi, life-science, biomedis dan kedokteran. 3. Membina dan mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak di dalam dan luar negeri untuk memajukan alih teknologi, pertukaran informasi dan tenaga ahli, serta penelitian dan pendidikan primatologi. 4. Menangkarkan satwa primata Indonesia baik secara alami maupun eks-situ sebagai upaya mendukung program konservasi dan memanfaatkannya untuk kepentingan penelitian biologi dan biomedis. Program – program yang terdapat di PSSP sebagian besar adalah program riset dan pendidikan. Penelitian utama dibagi kedalam 3 kategori, yaitu : 1. Konservasi jenis primata Indonesia. 2. Studi biologi dan genetik jenis primata Indonesia. 3. Penggunaan jenis primata Indonesia dalam penelitian biomedis sebagai hewan model.
19
Dalam upaya mewujudkan program-program PSSP yang berfokus pada konservasi primata Indonesia,
biologi,
dan penelitian
biomedis,
enam
laboratorium atau unit utama didirikan sebagai pendukung program-program tersebut, yaitu : 1. Laboratorium hewan penelitian 2. Laboratorium mikrobiologi dan imunologi 3. Laboratorium patologi 4. Laboratorium biologi dan reproduksi 5. Unit penangkaran 6. Unit karantina 3.2.
Laboratorium dan Kegiatannya Terkait dengan kegiatan pengelolaan owa jawa dan penelitian terhadap
aspek pengkayaan lingkungan, perilaku dan kelompok sosial dari jenis satwa ini, secara khusus laboratorium atau unit yang terlibat meliputi : 3.2.1. Laboratorium Hewan Penelitian Laboratorium ini menunjang seluruh perawatan dan kegiatan penanganan penelitian dan pelatihan/pendidikan yang menggunakan hewan di PSSP LPPMIPB. Selain itu, menunjang penanganan kesehatan satwa primata untuk program konservasi, seperti Owa Jawa (Hylobathes moloch). Fasilitas dan kegiatan yang berada di Kampus Lodaya IPB telah terakreditasi oleh AAALAC internasional tahun 2006 3.2.2. Unit Karantina dan Penangkaran Prosedur Karantina di PSSP LPPM-IPB Prosedur penerimaan dan karantina satwa primata yang dilakuakan di PSSP LPPM-IPB adalah sebagai berikut : 1. Pasca kedatangan, hewan diistrahatkan terlebih dahulu selama beberapa hari di karantina 2. Pembiusan dilakukan untuk pemberian identifikasi (tato) dan pemeriksaan umum, jenis kelamin, umur, berat badan dan kondisi fisik lainnya seperti patah tulang, kebuntingan, luka-luka atau adanya ektoparasit.
20
3. Dilakukan uji tuberkulinasi dengan Mamalian Old Tuberculin dosis 1500 IU per ekor secara intra dermal di kolopak mata dan pengambilan sampel feses untuk pemeriksaan bakteriologis (Salmonella sp, Shigella sp), parasitologi dan pengambilan darah untuk uji serologis dan virology serta parasit. 4. Hewan diberikan vitamin bila terlihat kurus seperti kombinasi hematopan 0.5 ml per ekor dengan biosalamin 0.5 ml per ekor. 5. Hewan kemudian ditempatkan di dalam kandang-kandang individual di ruang karantina. 6. Selama periode karantina hewan, uji tuberkulinasi dilakukan selama 2 minggu sekali. Jika terbukti positif uji tuberkulinasi hewan harus dieuthanasi. Hewan dengan status dilindungi harus diobati dengan regimen pengobatan TBC manusia. 7. Hewan diberikan prophilaksis anti parasit yaitu ivomec (ivormectin 1%) 200 g/kg berat badan secara subkutan. Sekurang-kurangnya 2 kali selama masa karantina dan diulang sebelum hewan dikeluarkan dari karantina. 8. Penimbangan berat badan dilakukan setiap kali hewan disedasi. Prosedur ini sesuai dengan penerimaan dan karantina menurut Butler et al. (1995). Prosedur Penggunaan Hewan coba di PSSP LPPM-IPB Penelitian yang akan menggunakan hewan laboratorium untuk penelitian, pengujian atau training sebelumnya harus disetujui oleh Komisi Etik atau ACUC (Animal Care and Use Committee) yang sekurang-kurangnya terdiri dari seorang peneliti (Scientisi), seorang dokter hewan dan satu orang awam yang bukan peneliti/pengguna hewan atau tidak berafiliasi dengan lembaga (PSSP). Lamanya persetujuan diterimanya proposal tergantung pada jenis penelitiannya dimana waktu yang paling cepat 1 minggu hingga yang paling lama 3 minggu. Proposal dapat disetujui, disetujui bersyarat, ditolak (biasanya berkaitan dengan ketidaktersediaan fasilitas yang memadai, misal biosafety level 3). Pemeriksaan Kesehatan Hewan di Karantina dan Penangkaran Selama hewan berada di karantina, penangkaran maupun di fasilitas penelitian dilakukan pemeriksaan harian dan berkala. Pemeriksaan harian (general checking) dilakukan sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi hari (jam 07.30-08.00) 21
dan pada sore hari (jam 13.30-14.00). Pada pemeriksaan tersebut yang diamati adalah : 1. Keadaan umum hewan. Dilihat aktifitasnya apakah hewan lincah, lesu atau meringkuk di kandangnya. Pada kandang kelompok biasanya hewan yang sakit akan memisahkan diri dari kelompoknya dan sering berada di lantai kandang. 2. Pemeriksaan nafsu makan dapat dilihat dari sisa monkey chow atau buahbuahan seperti pisang, jambu yang tertinggal di kandang individual maupun di kandang kelompok (gang cage). Pada kandang individual observasi lebih mudah dilakukan dibandingkan kandang kelompok karena hanya berisi 1-2 ekor hewan (pair housing) tiap kandangnya. 3. Pemeriksaan feses meliputi pengamatan konsistensi fesesnya apakah padat normal (N), agak lembek (NF) ataupun diarrhea water (DW). Pada kandang kelompok observasi lebih sulit dilakukan karena banyaknya jumlah hewan. Biasanya observasi pada kandang kelompok dilihat kotor atau tidaknya daerah sekitar anus dan ekornya. 4. Pemeriksaan luka pada tubuh hewan. Hewan pada kandang kelompok lebih rawan untuk terluka dibandingkan yang dikandangkan dalam kandang individual, dimana kejadian untuk dapat terjadi kontak langsung dengan hewan lain lebih kecil daripada berada di kandang kelompok karena itu harus selalu dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan terjadinya luka akibat berkelahi ataupun ha lainnya. Namun luka pada hewan yang dikandangkan individu masih dapat terjadi akibat abnormalitas perilaku ataupun akibat rusaknya kandang. 5. Keadaan yang juga harus diperhatikan adalah adanya nasal dischrge, batuk, eye discharge, menstruasi, muntah dan sebagainya. 6. Pemeriksaan fasilitas, kerusakan kandang, exhaust, fan, saluran air, lampu, hama (pest) dan lain-lain.
22
Pemeriksaan berkala dilakukan setiap 2 minggu sekali untuk di karantina dan 3 bulan sekali untuk hewan non-karantina di fasilitas hewan penelitian dan penangkaran yang meliputi : 1. Penimbangan berat badan. Pengecekan kenaikan atau penurunan berat badan seiring dengan pertambahan usia. 2. Pemeriksaan kebuntingan umumnya dilakukan dengan palpasi abdominal. Palpasi dapat dilakukan pada saat umur kebuntingan mencapai 25 hari, seperti dijelaskan dalam Tabel 4. Tabel 4. Interpretasi palpasi dan umur kebuntingan Diameter Hari kebuntingan Kisaran Keterangan uterus (mm) rata-Rata 20 7-10 0-21 Sukar didiagnosa 25 18 11-33 Uterus terasa lunak hari ke 21 fundus uteri terasa 30 35 28-40 Fundus terasa menyerupai balon 35 42 36-45 Lebih berkembang 40 45 40-53 Hampir sama 45 48 48-65 Balon lebih memenuhi ruang abdomen 50 62 54-70 Bentuk uterus mudah dikenali dengan tekanan 55 70 59-70 Fetus dapat dipalpasi Sumber : Wolff, 1991 a. Pemeriksaan umur dapat ditentukan dengan melihat gigi geligi Tabel 5. Susunan gigi geligi dan estimasi umur Gigi Molar I Incisivus I Incisivus I Molar II Caninus Premolar I Premolar II Molar III Sumber : Wolff, 1991 Keterangan : I (Incisivus) C (Canine)
: gigi seri : gigi taring
Umur (dalam bulan) 18-24 26-36 33-40 38-48 44-48 44-57 44-58 78-90
P (Premolar) : gigi geraham depan M (Molar) : gigi geraham belakang
23
b.
Uji Tuberkulinasi dilakukan untuk mengetahui status infeksi terhadap Mycobacterium penyebab TBC (Mycobacterium tuberculosis, M.bovis). uji tuberkulinasi di karantina dilakukan setiap 2 minggu sekali sedangkan di fasilitas hewan penelitian dilakukan setiap 3 bulan sekali. Infeksi terjadi melalui inhalasi, ingesti dan tusukan jarum. Reaksi yang terjadi pada uji ini adalah reaksi delayed hypersensitivity (hypersensitivitas tipe IV). Interpretasi pembacaan hasil uji tuberkulinasi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Interpretasi hasil uji tuberkulinasi Hasil Tanda-tanda yang terlihat Negatif (-) Grade 0 Tidak ada kelainan Grade 1 Terjadi memar dan perembesan darah pada kelopak mata, yang disebabkan oleh tujukan jarum biasanya terjadi Grade 2 Terjadi eritema pada sisi tusukan jarum tanpa ada kebengkakan Dibius (+/-) Grade 3 Terjadi kebengkakan minimal tanpa atau dengan eritema Positif (+) Grade 4 Terjadi kebengkakan pada kelopak mata dengan kelopak mata yang jatuh (droopy) kebawah sampai hampir menutup dan eritema Grade 5 Terjadi kebengkakan kelopak mata disertai dengan nekrosis dan penutupan kelopak mata. Sumber: Butler, et al (1995). Setelah penyuntikan diamati pada 24, 48 dan 72 jam untuk mengetahui reaksi uji. Jika terjadi hasil yang positif maka hewan tersebut di euthanasia. Hewan yang dilindungi akan diobati. Hasil dubius ulang atau dilakukan uji lain untuk konfirmasi (misalnya roentgent).
c.
Pemberian antiparasit dilakukan pada saat hewan masuk ke karantina sebanyak 3 kali (uji TB I, II dan saat karantina berakhir. Pemberian obat cacing di koloni penangkaran dan penelitian dilakukan setiap 6 bulan sekali. Obat cacing yang digunakan adalah ivermectin dengan dosis 200 g/kg berat badan.
Sistem Perkandangan di Karantina dan Penangkaran PSSP LPPM-IPB Hewan yang berada di karantina PSSP LPPM-IPB ditempatkan dalam kandang individual. Kandang yang digunakan berupa kandang stainless steel yang memiliki sisi belakang yang dapat ditarik sebagai kandang jepit yang akan mempermudah prosedur penangkapan, pembiusan dan pengobatan hewan. 24
Kandang individu ditempatkan dalam bangunan/ruangang yang tertutup, sehingga terlindungi dari cuaca dan lingkungan luar. Udara yang masuk dan keluar ruangan harus menggunakan sistem tertentu, untuk membatasi paparan bibit penyakit yang akan membahayakan hewan dan manusia. Sistem tertutup ini diperlengkapi dengan exhaust untuk menjaga sirkulasi udara dan menjaga agar perubahan temperatur dan kelembaban tidak terlalu tinggi. Ruangan dilengkapi dengan lampu yang dilengkapi pengatur otomatis agar selama 12 jam menyala dan 12 jam mati. Karantina satwa primata selama 90 hari sesuai dengan syarat dari Code of Federal Regulations tahun 1987 dan waktu ini dinilai cukup untuk mendeteksi adanya penyakit pada primata (Butler et al. 1995). Fasilitas Hewan Penelitian menggunakan 3 macam kandang yang berbeda, yaitu kandang koral (semi terbuka), kandang kelompok (gang cage) dan kandang individu. Kandang koral merupakan kandang semi terbuka dengan sebagian tempat beratap sebagai tempat berlindung apabila cuaca buruk. Udara dapat keluar masuk secara bebas termasuk sinar matahari pun dapat masuk ke ruangan ini. Luas minimum kandang koral adalah 2 hektar tanpa adanya penghalang yang permanen, dimana pada kandang koral terdapat 2 macam daerah yaitu yang ditumbuhi rumput dan berupa peralatan bersemen untuk meletakkan makanan monyet. Di dalam kandang disediakan beberapa panggung dan tonggak kayu untuk satwa bermain-main dan terhindar dari hujan serta terik matahari (Sajuthi 1983). Luas kandang koral di Fasilitas Hewan Penelitian Lodaya adalah 15 m x 8.5 m untuk menampung kapasitas hewan yang lebih sedikit. Di Fasilitas Hewan Penelitian Lodaya terdapat 2 kandang koral dengan 2 macam lantai yaitu batu (pengayaan lingkungan) dan daerah berlantaikan keramik yang atapnya tertutup. Dalam kandang ini hewan dibiarkan hidup bebas dan berkembang biak secara alami. Pemberian air minim menggunakan system air otomatis. Pakan ditempatkan di beberapa “feeders”. Kandang kelompok (gang cage) beralaskan keramik, dinding terbuat dari stainless steel dan beratap dengan luas 5.2 m x 4.15 m = 21.58 m. Didalam kandang ini digantungkan secara bersambung rantai dan mainan yang digunakan monyet untuk bermain-main.
25
Kandang individual dipergunakan untuk hewan yang sakit atau yang menderita abdormalitas perilaku yang membahayakan koloni seperti mencuri anak dari indukan lain (infant stealling) atau hewan yang terlalu agresif sehingga menyerang anakan bahkan sampai membunuhnya (infanticide). Sistem Pembersihan Kandang di Karantina dan Penangkaran PSSP LPPM IPB Sistem pembersihan kandang yang dilakukan adalah dengan sistem basah. Pembersihan kandang dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi hari jam 07.30 sampai selesai dan sore hari pada jam 13.30 sampai selesai. Lantai kandang dan tempat minum pada umumnya disikat, dan kotoran yang ada dikumpulkan dan dibuang. Limbah yang terkumpul selanjutnya dialirkan ke septic tank. Pembersihan kandang selalu dilakukan sebelum pemberian makan. Lantai kandang juga disemprotkan dengan desinfektan setiap minggu. Sistem Pemberian Makan dan Minum di Penangkaran PSSP LPPM-IPB Pakan yang diberikan adalah pakan yang sudah diketahui komposisi, jumlah dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh satwa. Pakan yang diberikan berupa biskuit (Monkey Chow) dengan kandungan serat kasar (5,18%), protein kasar (27,20%), lemak (4,90%), kalsium (1,31 %), phosphor (1,09%) dan energi bruto (4.386,00 kal/kg) serta sebagai tambahan diberikan buah-buahan misalnya pisang, jambu batu, pepaya dan lain-lain. Air minum yang diberikan untuk primata adalah air bersih yang dianalisa setiap 3 bulan untuk kelayakan dikonsumsi. Pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI no. 907/Menkes/SK/VI/2002 tanggal 29 Juli 2002 mengenai kualitas air minum yang layak untuk dikonsumsi. Air tersebut diperiksa baik secara fisika, kimia maupun mikrobiologi. Analisa secara fisika meliputi pemeriksaan; suhu, warna, kekeruhan, padatan terlarut (TDS), bau dan rasa. Analisis secara kimia meliputi pemeriksaan pH, kesadahan total, klorida, nilai permanganat (TOM), nitrit, nitrat, sulfat, besi, boron, klorin, arsen, barium, natrium, nikel, mangan, krom hehsavalen, kadmium, perak, selenium, seng, tembaga, timbal, raksa, fluorida, sianida dan aluminium. Analisa mikrobiologi meliputi pemeriksaan total koliform dan fecal koliform. Air minum 26
ini diberikan secara ad libitum (selalu tersedia) dan diganti setiap pagi dan sore. Hewan di kandang koral dan gang cage dialiri oleh sistem air otomatis. Pada hewan yang sakit memerlukan suplai vitamin maka dapat diberikan secara oral seperti multivitamin biolisin dengan dosis disamakan dengan dosis untuk anak-anak (digunakan untuk hewan dewasa, sedangkan dosis untuk anakan ½ dosis hewan dewasa). Hewan dalam keadaan sakit yang serius harus diberikan vitamin dengan rute parenteral, misalnya diberikan injeksi IM kombinasi vitamin hematopan dengan dosis 0.5 ml per ekor dan biosalamin dengan dosis 0.5 ml per ekor.
Lokasi 2 3.3.
Sejarah Singkat TN Gunung Gede Pangrango (TNGP) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan salah satu
dari beberapa kawasan konservasi yang pertama kali ditetapkan sebagai taman nasional di Indonesia berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980, yang kemudian ditetapkan secara administratif dengan SK Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 yang meliputi kawasan hutan seluas 15.196 ha. Kawasan konservasi ini berasal dari penyatuan kawasan-kawasan Cagar Alam Cimungkad (56 ha), Cagar Alam Cibodas (1.040 ha), Kawasan Hutan Gede Pangrango (14.000 ha) dan Taman Wisata Situ Gunung (100 ha). Kawasan TNGP merupakan perwakilan hutan hujan tropis dataran tinggi dengan ketinggian antara 1.000 - 3.019 m dpl (TNGP 2005). Sebagai kawasan konservasi yang ditunjuk sebagai taman nasional, TNGP memiliki fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman jenis tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya. Pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh Balai TNGP berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 yang selanjutnya diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Pada tahun 1977, MABUNESCO menetapkan TNGP sebagai kawasan Cagar Biosfer berdasarkan
27
kekayaan keanekaragaman hayati serta keterwakilan ekologi dan biogeografi dari TNGP (Soedjito 2004). 3.3.1. Letak dan Luas Secara geografis, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) (Gambar 4) terletak di antara 106°51` - 107°02` BT dan 6°41’ - 6°51` LS. Secara administratif pemerintahan, wilayah TNGP tercakup dalam 3 (tiga) kabupaten, yaitu: Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Dalam pengelolaannya, TNGP dibagi ke dalam 3 wilayah pengelolaan, yaitu Wilayah Pengelolaan I Sukabumi, Wilayah Pengelolaan II Bogor, dan Wilayah Pengelolaan III Cianjur dengan 13 resort pemangkuan taman nasional. Batas kawasan TNGP adalah sebelah utara : Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bogor, sebelah barat : Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, sebelah selatan : Kabupaten Sukabumi, dan sebelah timur : Kabupaten Cianjur.
Gambar 5.
Peta kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Kawasan TNGP pada awalnya memiliki luas 15.196 ha di 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Cianjur (3.599,29 ha), Kabupaten Sukabumi (6.781,98 ha), dan Kabupaten Bogor (4.514,73 ha). Kawasan konservasi ini kemudian mengalami 28
perluasan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, dimana luas TNGP yang semula 15.196 ha diperluas menjadi 21.975 ha. Areal perluasan tersebut sebelumnya berfungsi sebagai hutan produksi, hutan rawang, hutan lindung, tanah terlantar, lahan garapan masyarakat dan lahan lainlain yang diperuntukkan bagi keperluan persemaian. Kawasan TNGP hasil perluasan tersebut mencakup 3 kabupaten, yaitu Sukabumi (9.356,10 ha), Bogor (7.155,00 ha), dan Cianjur (5.463,90 ha). Dalam SK yang sama, ditetapkan pula panjang batas luar 375.198 m dan pal batas sebanyak 7.278 buah (TNGP 2005). 3.3.2. Bio-Fisik Kawasan Ekosistem Berdasarkan Rencana Pengelolaan TNGP Tahun 2005-2020, secara umum tipe-tipe ekosistem di dalam kawasan TNGP khususnya resort bodogol dapat dibedakan menurut ketinggiannya, antara lain (a) ekosistem hutan pegunungan bawah; (b) ekosistem hutan pegunungan atas; dan (c) ekosistem sub alpina. Selain ketiga tipe ekosistem utama tersebut, ditemukan pula beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat yaitu ekosistem hutan tanaman. (a). Ekosistem Hutan Pegunungan Bawah dan Hutan Pegunungan Atas Tipe ekosistem hutan pegunungan bawah terdapat pada ketinggian 1.000 1.500 m dpl, sedangkan ekosistem hutan pegunungan atas terdapat pada ketinggian 1.500 – 2.400 m dpl. Pada umumnya, tipe ekosistem hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas dicirikan oleh keanekaragaman jenis vegetasi yang tinggi, dengan pohon-pohon besar dan tinggi yang membentuk tiga strata tajuk hutan. Tinggi tajuk hutan di dalam kawasan TNGP sekitar 30 – 40 m, dan strata tertinggi didominasi oleh jenis-jenis Litsea spp. dan Castanopsis spp. (b). Ekosistem Hutan Sub Alpina Tipe ekosistem ini terdapat pada ketinggian 2.400 – 3.019 m dpl, memiliki strata tajuk sederhana dan pendek yang disusun oleh jenis-jenis pohon kecil (kerdil) dengan tetumbuhan bawah yang tidak terlalu rapat. Keanekaragaman jenis vegetasi pada tipe ekosistem sub alpina ini lebih rendah dibandingkan kedua tipe ekosistem lain (ekosisitem hutan pegunungan bawah dan hutan 29
pegunungan atas). Pepohonan di puncak Gunung Gede memiliki batang yang lebih kurus, memiliki kerapatan yang lebih tinggi, serta ditumbuhi lumut lebih banyak dibandingkan keadaan hutan di puncak Gunung Pangrango. (g). Ekosistem Hutan Tanaman Jenis Damar (Agathis lorantifolia) merupakan tanaman dominan dalam ekosistem ini. Jenis ini ditanam pada tahun 1920 di wilayah Situ Gunung dengan luas 2,5 ha (TNGP 2005). Flora dan Fauna TNGP dikenal dan banyak dikunjungi oleh wisatawan dan peneliti karena memiliki potensi hayati yang tinggi, utamanya keanekaragaman jenis flora. Di kawasan ini hidup lebih dari 1.000 jenis flora, dimana jenis-jenis yang tergolong tetumbuhan berbunga (Spermatophyta) berjumlah sekitar 900 jenis, tetumbuhan paku lebih dari 250 jenis, lumut lebih dari 123 jenis, ditambah berbagai jenis ganggang, spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya. Pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m dapat ditemukan di kawasan ini di sekitar jalur pendidikan pada wilayah Pos Cibodas. Jenis puspa terbesar dengan diameter batang 149 cm dan tinggi 40 m terdapat di jalur pendakian Selabinta – Gunung Gede, sedangkan pohon Jamuju terbesar ditemukan di wilayah Pos Bodogol. Selain pepohonan raksasa, di kawasan ini juga terdapat jenis-jenis tetumbuhan yang unik dan menarik, seperti: Kantong semar (Nepenthes gymnamphora), bunga Rafflesia (Rafflesia rochusseni) dan bunga Sembilan tahun (Strobilanthus cernua) yang berbunga sekali sembilan tahun (TNGP 2005). Keanekaragaman flora di kawasan ini membentuk keanekaragaman habitat bagi berbagai jenis satwaliar, seperti mamalia, reptilia, amfibia, aves, insekta, dan kelompok satwa tak bertulang belakang. Dari kelompok burung (Aves), di dalam kawasan TNGP hidup 251 jenis atau lebih dari 50% jenis-jenis burung yang hidup di Jawa. Salah satu diantaranya yang merupakan jenis endemic dan sangat langka adalah elang jawa (Spizaetus bartelsi). Dari kelompok mamalia tercatat sekitar 110 jenis yang terdapat dalam kawasan TNGP, di antaranya owa jawa (Hylobates moloch) yang langka, endemik dan unik; Anjing hutan (Cuon alpinus) yang sudah semakin langka serta Kijang 30
(Muntiacus muntjak). Selain itu, terdapat pula serangga (insekta) lebih dari 300 jenis, reptilia sekitar 75 jenis, katak sekitar 20 jenis, dan berbagai jenis binatang lunak (molusca) (TNGP 2005). Topografi Kawasan TNGP merupakan rangkaian gunung berapi, yaitu Gunung Gede (2.958 m dpl) dan Gunung Pangrango (3.019 m dpl) yang merupakan dua dari tiga gunung berapi tertinggi di Jawa Barat. Topografinya bervariasi, mulai dari landai hingga bergunung dengan kisaran ketinggian antara 700 - 3.000 m dpl. Jurang dengan kedalaman sekitar 70 m banyak dijumpai pada kedua kawasan tersebut. Sebagian besar kawasan TNGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil merupakan daerah rawa, utamanya di daerah Cibeureum yaitu Rawa Gayonggong (TNGP 2005). Pada bagian selatan kawasan, yaitu daerah Situ Gunung, memiliki kondisi lapangan yang berat karena terdapat bukit-bukit (misalnya bukit Masigit) dengan kemiringan lereng sekitar 20 – 80%. Kawasan Gunung Gede yang berada di bagian Timur dihubungkan dengan Gunung Pangrango di bagian barat oleh punggung bukit yang berbentuk tapal kuda sepanjang ±2.500 m, dengan sisisisinya yang membentuk lereng-lereng curam berlembah menuju dataran Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Di bawah puncak Gunung Pangrango ke arah Barat laut terdapat kawah mati berupa alun-alun seluas 5 ha dengan diameter ±250 m, sedangkan di Gunung Gede masih ditemukan kawah aktif. Ke arah Timur dari Gunung Gede sejajar dengan punggung gunung terdapat Gunung Gumuruh yang merupakan dinding kawah pegunungan tua yang terpisahkan oleh alun-alun Suryakancana pada ketinggian sekitar 2.700 m. Alun-alun Suryakencana memiliki panjang ±2 km dengan lebar ± 200 m, membujur ke arah Timur laut – Barat daya (TNGP 2005).
31
Tanah Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan jenis tanah adalah bahan induk, topografi, iklim dan vegetasi. Bahan induk merupakan bahan batuan yang telah terlapukkan dari bebatuan geologi yang didominasi oleh batuan vulkanik tersier dan kuarter. Kondisi iklim dengan curah hujan yang relatif tinggi (3.000 mm/tahun) mempercepat proses pelapukan bahan induk dan proses pencucian unsur-unsur hara. Proses ini dipercepat pula dengan keadaan topografi yang curam sampai dengan sangat curam. Dengan merujuk Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat dengan skala 1:250.000, jenis-jenis tanah yang mendominasi kawasan TNGP adalah latosol coklat, asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, kompleks regosol kelabu dan litosol, abu pasir, tuf, dan batuan vulkanik intermediet sampai dengan basis (TNGP 2005). Iklim Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, curah hujan di dalam kawasan TNGP termasuk dalam Tipe A (Nilai Q = 5 - 9 %). Curah hujan yang tinggi dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 3.000 – 4.200 mm menyebabkan kawasan ini menjadi salah satu daerah terbasah di Pulau Jawa. Suhu udara rata-rata di puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango pada siang hari berkisar 10°C dan di Cibodas berkisar 18°C, sedangkan pada malam hari suhu udara di puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango berkisar 5°C. Pada musim kering atau kemarau, suhu udara di puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango bisa mencapai 0°C. Kelembaban udara cukup tinggi, yaitu antara 80 – 90%, sehingga memungkinkan tumbuhnya jenis-jenis lumut pada batang, ranting dan dedaunan pada pepohonan yang ada. Pada hutan pegunungan berketinggian antara 1.500 - 2.000 m dpl, kelembaban yang tinggi menyebabkan terhambatnya aktivitas biologis dan pelapukan kimiawi tanah sehingga terbentuk jenis tanah yang khas yaitu “peaty soil”. Secara umum, angin yang bertiup di kawasan ini merupakan angin muson yang berubah arah menurut musim. Pada musim hujan, utamanya pada bulan Desember – Maret, angin bertiup dari arah barat daya dengan kecepatan cukup tinggi dan seringkali mengakibatkan kerusakan hutan. Di sepanjang musim kemarau, angin bertiup dari arah Timur laut dengan kecepatan rendah. 32
Hidrologi Merujuk Peta Hidro-Geologi Indonesia skala 1 : 250.000 (Dit Geologi Tata Lingkungan 1986), sebagian besar kawasan TNGP merupakan akuifer daerah air tanah langka dan sebagian kecil merupakan akuifer produktif sedang dengan sebaran yang luas. Akuifer produktif ini memiliki keterusan yang sangat beragam. Umumnya air tanah tidak tertekan dengan debit air kurang dari 5 liter/detik. Daerah yang paling produktif kandungan air tanahnya adalah daerah kaki Gunung Gede, yaitu Cibadak Sukabumi dengan mutu yang memenuhi persyaratan untuk air minum dan air irigasi. Akuifer terpenting di daerah ini adalah bahan lepas hasil produk gunung berapi, seperti tufa pasiran, lahar maupun lava vesikuler. Secara berangsur, produktifitas akuifer di daerah lereng Gunung Gede makin membesar ke arah kaki gunungnya. Hal ini disebabkan oleh aliran tanah dari daerah puncak bergerak secara alami ke arah kaki gunung, yang didukung pula oleh tahanan batuan sedimen terlipat yang lebih tua di daerah Sukabumi yang bertindak sebagai penghalang aliran air tanah. TNGP merupakan hulu dari 55 sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil. Aliran-aliran kecil mengalir dari dinding kawah menuju ke bawah dan menghilang pada tanah vulkanik yang mempunyai porositas tinggi. Umumnya, kondisi sungai-sungai di dalam kawasan ini masih terlihat baik dan belum rusak oleh manusia. Kualitas air sungai cukup baik dan merupakan sumber air utama bagi kota-kota yang terdapat di sekitarnya. Lebar sungai di hulu berkisar 1 – 2 m dan di hilir mencapai 3 - 5 m dengan debit air yang cukup tinggi. Kondisi fisik sungai ditandai dengan kondisi yang sempit dan berbatu besar pada tepi sungai bagian hilir (TNGP 2005). 3.3.3. Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) Kawasan Resort Bodogol merupakan salah satu kawasan yang termasuk dalam Seksi Konservasi Wilayah II Bogor, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Resort Bodogol memiliki luas keseluruhan lebih kurang 2.600 ha (26 km2), sedangkan daerah studi yang digunakan dalam penelitian-penelitian lapangan di Bodogol mencakup 300 ha (3 km2). Letak hutan Bodogol secara geografis adalah antara 6032’ – 6034’ LS dan 106056’ BT. Ketinggian berkisar antara 700-1500 m dpl dan memiliki tofografi berupa perbukitan yang berjajar 33
memanjang dari Timur ke Barat. Di studi area Bodogol, curah hujan rata-rata setiap bulan berkisar 312,2 mm dengan curah hujan tertinggi terjadi pada Desember yaitu 733 mm dengan suhu minimum rata-rata 1800 C dan suhu maksimu rata-rata 3200 C. Dalam kawasan Resort Bodogol masih dijumpai satwasatwa yang dilindungi dan berada di ambang kepunahan seperti Owa Jawa (Hylobathes moloch), Surili (Presbytis comata), Kukang Jawa (Nycticebus javanicus), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Macan tutul (Pantera pardus). Untuk lebih meningkatkan peran TNGGP dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati, maka diperlukan peran serta berbagai pihak untuk turut serta dalam mewujudkannya. Melalui konsorsium pendidikan konservasi alam Bodogol pada tahun 1998 berdiri Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) yang diprakarsai oleh Conservation International Indonesia, Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Yayasan Alam Mitra Indonesia. Seiring dengan upaya peningkatan perlindungan keanekaragaman hayati di Bodogol, maka pada tahun 2000 berdiri Stasiun Penelitian Bodogol (SPB) yang juga merupakan kerjasama dari berbagai lembaga seperti Conservation International Indonesia, Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Universitas Indonesia dan UNESCO. Stasiun Penelitian Bodogol merupakan salah satu stasiun penelitian yang berada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Stasiun penelitian ini sangat berperan dalam berbagai kegiatan penelitian ilmiah, dengan peranannya tersebut maka Stasiun Penelitian Bodogol berupaya menjadi penyedia informasi ilmiah keanekaragaman hayati yang terdapat di kawasan Resort Bodogol khususnya dan TNGGP pada umumnya. Adapun tujuan didirikannya Stasiun Penelitian Bodogol ini adalah : Memperoleh dan menggali informasi potensi keanekaragaman hayati sebagai dasar dalam upaya konservasi. Membantu para kader konservasi dari berbagai kalangan dalam melaksanakan suatu kegiatan atau kajian ilmiah. Meningkatkan
peran
serta
masyarakat
keanekaragaman hayati.
34
dalam
upaya
pelestarian
Membina kerjasama antara lembaga pemerintah, lembaga konservasi internasional dan lembaga akademik. Program-program yang terdapat di Stasiun Penelitian Bodogol secara garis besar dibagi menjadi 3 program, yaitu program penelitian, program pelatihan dan program informasi konservasi. Program-program tersebut ada yang bersifat tetap, dalam artian program dilakukan terus menerus (continue) baik ada atau tidak adanya kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti seperti kegiatan pemantauan (monitoring) keanekaragaman hayati khususnya jenis-jenis yang dilindungi dan endemik. Program yang bersifat sementara, dalam artian program dilakukan tidak secara terus menerus dan tidak didasarkan pada waktu kegiatan yang terjadwal dan telah ditentukan, seperti kegiatan pendidikan dan pelatihan untuk penelitian.
Gambar 6.
Peta Studi Area Bodogol di wilayah Resort Bodogol
35
Untuk memudahkan kegiatan lapangan, pada studi area Bodogol juga telah dibuat jalur-jalur pengamatan. Adapun jalur-jalur pengamatan tersebut antara lain: Tabel 7. Jalur-jalur pengamatan di Resort Bodogol No.
Nama jalur
Panjang jalur (m)
1.
Cipadaranten
1640
2.
Rasamala
1600
3.
Bambu
2450
4.
Kanopi
1000
5.
Tangkil
3500
6.
Tepus
675
7.
Cipanyairan I
940
8.
Cipanyairan II
1525
9.
Afrika
540
36
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian studi perilaku dan pakan Owa Jawa
(Hylobates moloch) di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango : Penyiapan Pelepasliaran ini dilaksanakan di PSSP dan TN Gunung Gede Pangrango (Resort Bodogol-Hutan Rasamala) pada bulan Januari 2011 sampai Maret 2011. Lokasi penelitian di PSSP berada di lingkup area PSSP, tepatnya pada kandang Owa Jawa seperti disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Lokasi penelitian studi perilaku dan pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) di Pusat Studi Satwa Primata IPB
4.2.
Peralatan dan Bahan Peralatan untuk pengolahan dan analisis data penggunaan waktu (time
budget) terdiri atas perangkat lunak SPSS ver 17, Microsoft Excell 2007, dan MiniTab. Peralatan yang digunakan untuk melakukan pengamatan lapangan dalam penelitian ini antara lain: spektogram, binokuler Cannon, kamera Nikon SLR D80, termometer, altimeter dan bentuk-bentuk enrichment serta lembar kerja untuk mencatat data di lapangan.
37
Objek penelitian ini terdiri dari satu keluarga Owa Jawa (5 individu Owa Jawa) yang terdiri atas satu pasang induk dewasa serta tiga anak. Tabel 8. Nama, jenis kelamin dan umur Owa Jawa di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) No. Nama Jenis kelamin Umur 1. Ari (Induk) Jantan ± 15 tahun 2. Mimis (induk) Betina ± 15 tahun 3. OJ (anak ke-1) Jantan 6 tahun 4. JLO (anak ke-2) Betina 5 tahun 5. OLA (anak ke-3) Betina 6. OO (anak ke-4) Jantan 1,5 tahun 4.3.
Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Istilah
data primer digunakan untuk data yang diperoleh secara langsung di lapangan dan berkaitan langsung dalam menunjang pencapaian tujuan dari penelitian. Data ini berupa data enrichment serta perilaku Owa Jawa dikandang dan habitat alaminya. Data sekunder digunakan untuk data yang diperoleh dari dokumen-dokumen dan publikasi yang terkait dengan penelitian ini melalui studi literatur. 4.3.1. Studi literatur Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder yang diperoleh tediri atas: sejarah Owa Jawa yang berada di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP), penelitian-penelitian lainnya terkait mengenai bio-ekologi Owa Jawa pada umumnya dan perilaku pada khususnya baik penelitian di berbagai habitat alaminya (insitu) maupun penelitian di luar habitat alaminya (eksitu), hal ini dimaksudkan sebagai bahan komparasi semua hal menyangkut bio-ekologi dan perilaku diantara kedua habitat tersebut. 4.3.2. Kondisi Fisik Lingkungan Kandang Data komponen fisik disekitar kandang Owa Jawa terdiri dari aspek pengandangan (bahan, jenis, bentuk, ukuran dan penempatan kandang serta fasilitas pendukungnya), ketinggian tempat (elevasi), suhu dan kelembaban lingkungan di kandang dan sekitarnya pada pagi, siang dan malam hari dan jarak terdekat dari aktivitas manusia. Pengumpulan data suhu lingkungan ini dilakukan secara berulang selama penelitian dengan ulangan pada pagi, siang dan malam
38
hari. Ketinggian tempat dan jarak terdekat dari aktivitas manusia dilakukan pada awal pengamatan. 4.3.3. Komponen Biotik Lingkungan Kandang Komponen biotik di sekitar kandang Owa Jawa yang diukur dan diamati meliputi struktur dan komposisi vegetasi serta jenis vegetasi pakan. Data tersebut dikumpulkan melalui pendataan langsung jenis-jenis dan jumlah tanaman yang berada di dalam dan diluar kandang. Pengambilan data vegetasi tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa kondisi vegetasi akan mempengaruhi komponen fisik disekitar kandang serta berpengaruh terhadap perilaku Owa Jawa. Selain jenis vegetasi pakan, struktur dan komposisi vegetasi, juga dilakukan pengamatan terhadap strata tajuk untuk mengetahui kontinuitas kanopi pohon.
Hal ini dikarenakan menurut Kappeler (1984), Owa Jawa di alam
membutuhkan hutan dengan kanopi antar pohon yang berdekatan. Kanopi yang berdekatan dan bersambung (kontinyu) merupakan bagian dari pohon strata B–C. Pohon-pohon pada strata B memiliki tinggi antara 20–30 m dan pada stara C memiliki tinggi antara 4–20 m (Soerianegara & Indrawan 2005). 4.3.4. Pengkayaan Lingkungan Berbagai informasi bentuk pengkayaan lingkungan dikumpulkan melalui metode observasi langsung dilapangan. Pengukuran ukuran kandang, jenis bahan kandang, fasilitas di dalam kandang (pohon, tali temali sebagai media untuk bergelantungan/brakhiasi, sarang tidur, mainan), jenis pakan, jadwal pemberian pakan, cara pemberian pakan, jumlah dan kualitas pakan, percobaan perangkat auditory untuk merangsang vokalisasi dikandang dilakukan untuk melihat respon dan tingkah laku kelompok yang telah ada dengan adanya vokalisasi tersebut. 4.3.5. Perilaku, Pakan dan Kelompok Sosial Aktivitas dan Perilaku Owa Jawa Pengamatan aktivitas harian atau perilaku Owa Jawa di dalam kandang maupun di habitat alaminya dilakukan menggunakan metode time budget. Pengamatan dilakukan setiap hari mengikuti pola aktivitas Owa Jawa yang diurnal, yaitu pada saat Owa Jawa beraktivitas pada pagi hari (pukul 05.30-18.30), pengamatan pada tiap individu di kandang dilakukan dengan menggunakan
39
metode focal animal sampling dan scan sampling untuk kelompok, untuk kelompok Owa Jawa di TNGGP dilakukan dengan metode adh-libitum sampling (Martin dan Bateson 1993), sedangkan untuk melihat presentase perilaku makro dan mikro tertentu terhadap perilaku lainnya dilakukan dengan metode one zero sampling. Berbagai aktivitas dan perilaku Owa Jawa dikandang dan habitat alaminya diamati secara menyeluruh, perilaku dibagi dan dibatasi berdasarkan runtunan akitivitas yang meliputi : a. Makan (ingestive), yaitu aktivitas yang dimulai ketika satwa mulai melihat makanan/minuman, memilih, mengambil, membawa, memasukkan makanan kedalam mulut, menggigit, mengunyah dan menelannya sampai ketika satwa berhenti makan/minum. Aktivitas ini didefinisikan sebagai satu perilaku utuh. Dalam aktivitas makan ini pun dicatat jenis pakan (alami dan buatan) yang di makan serta diukur nilai kandungan gizinya. b. Berpindah/bergerak (locomotion), yaitu pergerakan satwa dari satu tempat ke tempat lain, meliputi : i) Berjalan/berlari, yaitu posisi tubuh dengan cara berdiri diatas dua kaki (bipedal) dilanjutkan dengan melangkahkan kaki kanan dan kiri atau sebaliknya.Berlari dan berjalan merupakan aktivitas yang sama namun berbeda dalam hal kecepatan. ii) Melompat, dilakukan dengan pijakan/tolakan awal yang diikuti dengan lompatan iii) Memanjat/menuruni batang atau sarang, dilakukan dengan cara memegang batang/dahan dengan kedua tangan kemudian bergerak kearah vertikal iv) Berayun/bergantung
(brakhiasi),
dilakukan
dengan
menggunakan
keempat kakinya, yang dimulai dengan tangan kanan atau kiri secara bergantian dari satu batang/dahan pohon yang satu ke batang/dahan yang lainnya. Dalam kondisi berada dikandang dapat juga terjadi dari satu tali ke tali berikutnya c. Istirahat, yaitu aktivitas diam yang meliputi duduk dan tidur. Posisi duduk dilakukan dengan menempelkan bagian belakang bawah tubuhnya (pantat)
40
pada dahan, lantai atau sarang dengan posisi kaki ditekuk atau diluruskan. Aktivitas tidur dapat dilakukan dengan berbagai variasi posisi tubuh, yaitu sambil duduk atau berbaring. d. Membuang kotoran, meliputi defekasi (pembuangan feses) dan urinasi (pembuangan air seni). e. Aktivitas sosial, meliputi : i) Bermain (playing), yaitu aktivitas yang baisanya dilakukan oleh anak-anak sampai individu muda/remaja yang meliputi aktivitas berkejar-kejaran, tarik menarik dan berguling sambil bergulat, ii) Berkelahi (aggressive/agonistic), yaitu aktivitas yang ditandai dengan ancaman mimik muka/gerak badan, memburu serta baku hantamdan diakhiri dengan kekalahan lawan. Ancaman mimik muka dilihat dari raut muka yang menunjukkan gigi. Memburu merupakan aktivitas mengejar lawan, sedangkan baku hantam ditandai dengan adanya kontak fisik dengan lawan, iii) Menelisik (grooming), yaitu aktivitas mencari kotoran atau ektoparasit dari tubuh sendiri atau tubuh individu lain. Aktivitas ini dimulai dengan mencari disela-sela rambut tubuh, menjilat dan kemudian mengunyahnya, iv) Bersuara (calling), yaitu aktivitas mengeluarkan suara baik pada individu betina maupun jantan, namun lebih sering pada individu betina, merupakan bagian dari beberapa perilaku sosial baik yang bersifat agonistik (bertentangan), ingestif (meniru), maupun care solicting (meminta dipelihara). Aktifitas bersuara dilakukan Owa Jawa untuk memberitahukan keberadaannya kepada kelompok lain yang lokasinya berdekatan sekaligus sebagai upaya untuk memperingatkan kelompok lain agar menjauh, hal ini berkaitan dengan usaha untuk menghindari konflik atau kontak langsung antar kelompok. Aktivitas bersuara ini akan didokumentasikan/direkam dengan alat spektogram untuk melihat karakteristik suara antar individu dan maksudnya, adapun pada habitat alaminya berbagai tipe suara Owa Jawa dapat dilihat pada Tabel 9.
41
Tabel 9. Tipe variasi suara Owa Jawa (Hylobates moloch) No. Tipe suara Individu bersuara 1 Female song bout Betina dewasa, kadang pradewasa mengikuti 2 Scream bout Betina dewasa 3 Male song bout Jantan dewasa 4 Disturbance hoot Seluruh individu bout 5 Communal call bout Seluruh individu 6 Immature song bout Anakan
betina
f. Kawin (copulation/seksual), yaitu aktivitas hubungan seksual antara satwa jantan dengan betina, dimulai dengan aktivitas untuk menarik perhatian lawan jenis dan kemudian dilanjutkan dengan kopulasi. g. Perilaku abnormal, aktivitas yang bersifat abnormal diluar kebiasaan sebagai akibat stres pada individu akibat berbagai tekanan. Berbagai aktivitas sebagai rangkaian perilaku Owa Jawa tersebut dicatat dalam hal lama Owa Jawa melakukan aktivitas (total waktu yang digunakan Owa Jawa untuk melakukan suatu aktivitas), frekuensi aktivitas (jumlah/banyaknya suatu aktivitas dilakukan dalam selang waktu tertentu), transisi/urutan dilakukannya aktivitas. Pakan dan Pengkayaan Pakan Dalam aktivitas makan dicatat jenis pakan (alami dan buatan) dan jumlah yang di makan serta diukur nilai kandungan gizinya. Pengamatan untuk melihat tingkat kesukaan terhadap pakan dilakukan saat pemberian pakan, beberapa komponen yang dicatat adalah a) jenis pakan, b) jumlah konsumsi bahan kering, c) urutan jenis pakan yang diambil, d) bagian yang dimakan, e) palatabilitas jenis pakan berdasarkan konsumsi jenis pakan terbanyak, f) konsumsi nutrien (protein, serat kasar, lemak) dan energi. Pengamatan dilakukan dengan metode ad libitum sampling. Bobot pakan yang diberikan pada satu hari ditimbang untuk setiap jenisnya dan sisa pakan keesokan harinya yang masih berada di dalam kandang dikumpulkan dan ditimbang perjenis pakan. Banyaknya pakan yang dikonsumsi dihitung dengan menimbang seluruh pakan yang diberikan dikurangi dengan pakan yang tersisa (gram).
42
Khusus untuk kelompok hutan rasamala konsumsi berat segar daun, bunga dan buah di estimasi dengan menghitung jumlah pakan yang diambil dan di makan oleh setiap individu. Tiap sampel bahan yang dikonsumsi diambil dan ditimbang sesuai jumlah yang dikonsumsi lalu di analisis proksimat. Pengukuran dilakukan sebanyak 15 kali ulangan, sebagian diambil untuk dianalisis di laboratorium, yang meliputi kandungan protein, serat kasar, lemak dan energi. Kelompok Sosial Percobaan perangkat auditory dilakukan untuk melihat respon kelompok Owa Jawa di PSSP dan merangsang vokalisasi dan tingkah laku sosial kelompok yang telah ada dengan rangsangan vokalisasi tersebut. 4.4.
Pengolahan dan Analisis Data
4.4.1. Durasi, Frekuensi dan Transisi Perilaku Data yang diperoleh akan disajikan dan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk presentase dan grafik serta secara kualititatif. Penyajian secara deskriptif untuk menguraikan perilaku harian. Penyajian presentase dan grafik untuk menggambarkan proporsi aktivitas. Metode One-Zero digunakan untuk mendapatkan presentase perilaku makro dan mikro yang diamati dengan menghitung jumlah perilaku sejenis yang dilakukan oleh setiap individu (X) dalam n jam berbanding jumlah seluruh perilaku yang diamati dalam n jam pada individu tersebut (Y) Presentase perilaku
=
X x100% Y
Analisis kualititatif yang digunakan untuk menguji hipotesis dari bentukbentuk aktivitas harian Owa Jawa dilakukan dengan pendekatan uji chi-square (χ2), uji ini dilakukan pada taraf nyata 0,05 dan 0,01 (Walpole 1995). k
2 i 1
(Oi
Ei ) 2 Ei
43
dimana : Oi adalah frekuensi pengamatan perilaku ke-i Ei adalah frekuensi harapan ke-i dengan Ei = Total baris x Total kolom Total pengamatan Kriteria uji : Jika χ2 hitung ≥ χ2 tabel maka terima H1 Jika χ2 hitung < χ2 tabel maka terima H0 dimana : H0
= Tingkah laku Owa Jawa di PSSP dan Owa Jawa di habitat alaminya sama
H1
= Tingkah laku Owa Jawa di PSSP dan Owa Jawa di habitat alaminya berbeda nyata
4.4.2. Pakan, Aktivitas dan Perilaku Makan serta Pengkayaan Pakan Untuk mengetahui jenis dan jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari data yang diperoleh ditabulasi dan ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk presentase perbandingan dari masing-masing jenis makanan sehingga muncul grafik perbandingannya. a. Seluruh jenis pakan yang diberikan dicatat dan ditimbang tiap jenisnya (gram), karena pemberian pakan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pagi dan siang hari maka seluruhnya dihitung sebagai pemberian pakan dalam satu hari, sampling dilakukan selama 15 kali ulangan. b. Urutan jenis pakan yang disukai dan bagian pakan yang dimakan dicatat berdasarkan pakan yang pertama di ambil, yang kedua dan seterusnya, sedangkan jenis pakan yang kurang disukai adalah jenis pakan yang paling akhir diambil dan sudah diambil lalu dibuang c. Banyaknya pakan yang dikonsumsi diperoleh dengan menimbang seluruh pakan yang diberikan dikurangi dengan pakan yang tersisa (gram) untuk melihat tingkat palatabilitas jenis pakan.
44
d. Jenis tumbuhan yang dijadikan pakan diambil contohnya kemudian dilakukan uji proksimat terhadap jenis pakan tersebut, senyawa yang dianalisis meliputi kandungan protein, lemak, serat kasar, energi. 4.4.3. Kelompok Sosial Data yang diperoleh akan disajikan dan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk presentase dan grafik serta secara kualititatif untuk melihat pengaruh kehadiran kelompok yang berbeda terhadap respon individu atau kelompok. Penyajian secara deskriptif untuk menguraikan perilaku sosial yang ditunjukan akibat
adanya kelompok lain. Penyajian presentase dan grafik untuk
menggambarkan proporsi aktivitas sosial seluruh individu dalam kelompok.
45
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Populasi Owa Jawa di PSSP dan Hutan Rasamala (Bodogol) Berdasarkan pemantauan terhadap Owa Jawa yang terdapat di PSSP IPB
dan Resort Bodogol (hutan rasamala), diketahui ukuran kelompok berkisar antara 5-6 individu dalam satu kelompok/keluarga. Secara umum kedua kelompok ini terdiri atas satu individu jantan dan betina dewasa, individu muda/remaja, anak dan bayi (Tabel 10). Tabel 10. Ukuran dan komposisi kelompok Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala Lokasi Jumlah Komposisi Bobot badan Umur Nama (Kg) (tahun) individu Pusat Studi 5 ♂ dewasa 7,05 ± 15 Ari Satwa ♀ dewasa 7,50 ± 15 Mimis Primata ♂ pradewasa 7,10 6 OJ (PSSP) ♀ remaja 5,65 5 JLO ♂ Bayi 2,05 1,5 OO Hutan 6 ♂ dewasa NA NA rasamala ♀ dewasa NA NA ♂ pradewasa NA NA ♀ remaja NA NA Anak NA NA Bayi NA NA Ket : NA (Not available/tidak tersedia)
PSSP hanya memiliki satu kelompok Owa Jawa yang terdiri dari 5 individu dengan Ari dan Mimis sebagai indukan. Berdasarkan informasi dari pengelola, indukan Owa Jawa yang berada di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) ini berasal dari Taman Safari Bogor. Menurut riwayatnya kedua individu ini merupakan individu hasil sumbangan dari masyarakat dan sebelumnya pernah hidup di habitat alami (di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango). Sebelum didatangkan ke PSSP kedua individu tersebut belum berpasangan. Pemasangan kedua individu dilakukan setelah keduanya berada di bawah pengelolaam PSSP. Adapun individu lain yaitu OLA, OJ, JLO dan OO, mereka merupakan penghuni asli di PSSP yang merupakan anakan dari pasangan Ari dan Mimis. OLA adalah anak ketiga dari pasangan ini namun mati karena infeksi bakteri (Personal communication, Iskandar). Beberapa bulan kedepan populasi Owa Jawa di PSSP akan mengalami peningkatan dengan lahirnya 46
individu baru, hal ini dikarenakan saat ini Mimis sedang berada dalam masa bunting. Di Resort Bodogol, berdasarkan pemantauan terhadap Owa Jawa sejak tahun 2003-2007, diketahui terdapat 8 kelompok Owa Jawa yang tersebar pada berbagai tipe vegetasi hutan yang berbeda dan di dominansi oleh suatu jenis vegetasi tertentu (Lampiran 1). Kedelapan kelompok tersebut yaitu kelompok Kanopi, Rasamala, Afrika, DAM, Pinus, Cipanyairan, Cipadaranten dan Tangkil. Penamaan setiap kelompok disesuaikan dengan jalur-jalur penelitian yang ada di Resort Bodogol. Selama penelitian dan survey dibeberapa kelompok yaitu kelompok Rasamala, Afrika dan Cipadaranten, diketahui ukuran kelompok Owa Jawa berkisar antara 2-6 individu dalam satu kelompok, hal ini cukup berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa umumnya populasi Owa Jawa berkisar antara 2-5 individu. Rata-rata jumlah individu dalam satu keluarga adalah 3,8 individu/kelompok. Masing-masing kelompok mememiliki ukuran dan kelompok yang berbeda satu sama lain. Namun sebagian besar dari ke tiga kelompok tersebut terdiri atas satu pasang jantan dan betina dewasa serta individu muda/remaja dan anak atau bayi. 5.2.
Kondisi Kesehatan Owa Jawa di PSSP Kondisi kesehatan Owa Jawa di penangkaran merupakan salah satu
indikator yang menentukan apakah individu atau kelompok tersebut dapat dilepasliarkan kembali ke alam. Hal ini terkait dengan kemungkinan penularan penyakit (zoonosis) yang mungkin terjadi antara populasi satwa dalam penangkaran maupun penularan penyakit dari satwa yang berasal dari penangkaran dengan populasi di alam ketika kegiatan pelepasliaran dilakukan. Berdasarkan hasil cek kesehatan Owa Jawa di PSSP maka hampir seluruhnya saat ini telah diketahui mengidap penyakit hepatitis(PSSP 2011). Adapun informasi lengkap mengenai kondisi kesehatan tiap individu disajikan pada tabel di bawah iini.
47
Tabel 11. Kondisi kesehatan dan paparan penyakit pada Owa Jawa di PSSP No 1.
Nama Ari
Pemeriksaan dan kondisi kesehatan Hasil pemeriksaan yang menunjukkan Thrombositopenia dan Hiperbilirubinemia salah satu penyebabnya adalah adanya penyakit hati yang kronis atau tumor pada hati. Sedangkan hasil HBs Ag (+), anti-HBs (-) dan HBe Ag (-), anti-HBe (+) di atas dapat disimpulkan bahwa Owa Jawa (ARI) tersebut terinfeksi Hepatitis B Virus dengan status “Low infectivity chronic carrier”
2.
Mimis
3.
OJ
4.
JLO
Apabila HBs Ag (+) selama lebih dari 6 bulan tanpa diikuti dengan perkembangan anti-HBs, maka status infeksi adalah ”Chronic carrier”. Sedangkan untuk derajat penyakit belum dapat disimpulkan karena belum ada tes HBe Ag dan anti-Hbe Apabila HBs Ag (+) selama lebih dari 6 bulan tanpa diikuti dengan perkembangan anti-HBs, maka status infeksi adalah ”Chronic carrier”. Sedangkan untuk derajat penyakit belum dapat disimpulkan karena belum ada tes HBe Ag dan anti-HBe. Hasil pemeriksaan menggambarkan keadaan bahwa satwa tersebut positif terinfeksi Hepatitis B virus, akan tetapi belum diketahui status dan derajat infeksi karena belum dilakukan pemeriksaan ulang.
5.
5.3.
OO
Hasil pemeriksaan menggambarkan individu ini negatif terinfeksi hepatitis B, namun akan terus dilakukan pengecekan ulang untuk melihat kemungkinan tertular
Kondisi Bio-Fisik Lingkungan Kandang Owa Jawa Owa Jawa yang berada di PSSP, seluruhnya berjumlah lima individu dan
disatukan dalam satu kandang enclosure serta telah membentuk satu kelompok (family group). Kandang Owa Jawa di PSSP ini berbentuk persegi panjang seperti terlihat pada Gambar 7. Panjang 7,9 m, lebar 7 m dan tinggi 3,3 m dengan suhu rata-rata lingkungan kandang 25 ± 2 oC dan rata-rata curah hujan berkisar antara 3.000 – 4.000 mm (BMKG 2009). Kondisi lingkungan kandang sebagian besar berupa vegetasi pepohonan dan semak belukar. Vegetasi yang umum ditemukan berupa pohon akasia, kemang, kelapa, bambu dan semak. Di dalam kandang terdapat pohon mangga yang berfungsi sebagai kanopi yang memberikan perlindungan dari terik matahari dan hujan serta digunakan untuk tempat beristirahat dan merupakan salah satu jenis tanaman pakan, dimana daun dari pohon ini terkadang dikonsumsi oleh Owa Jawa di dalam kandang. Kandang Owa Jawa merupakan kandang yang terbagi atas dua ruang yang dipisahkan oleh sekat (compartment), dengan dinding kandang terbuat dari kawat 48
stainless steel, atap kandang terbuat dari bahan yang sama. Tiang penyangga dibuat dari bahan yang sama berbentuk bulat. Di masing-masing kandang digantungkan lima rantai yang diujungnya terdapat handle (pegangan) yang digunakan oleh individu Owa Jawa untuk bergelantungan atau sarana melakukan aktivitas brakiasi. Selain itu ditempatkan pula beberapa bentuk pengkayaan lingkungan struktural seperti tempat duduk untuk beristirahat
(tiap kandang
terdapat dua) dan drum air (kandang 1) yang masing-masing ditempatkan pada ketinggian 1,65 m dan 2,5 m serta box kayu sebagai pengganti pohon tidur ketika individu Owa Jawa berada pada habitat alaminya. Pada masing-masing kandang pun terdapat beberapa bentuk pengkayaan objek seperti tempat pakan dan minum yang dibuat sedemikian rupa sebagai bagian dari pengkayaan lingkungan. 5.4.
Aktivitas dan Perilaku Owa Jawa Pola tingkah laku harian Owa Jawa di PSSP umumnya sama dengan
primata diurnal lain, yaitu bangun pada pagi hari dengan aktivitas dan perilaku pertama yaitu membuang kotoran, urinasi (eliminative behavior) atau melakukan aktivitas suara kemudian dilanjutkan dengan melakukan pergerakan untuk mencari makan, dan sore hari mencari pohon tidur untuk tidur sepanjang malam, demikian juga yang terjadi pada kelompok Owa Jawa di Hutan rasamala. Owa Jawa memulai aktivitas hariannya pada pagi hari rata-rata antara pukul 05:45 sampai pukul 06:20 WIB yang ditandai dengan bergeraknya Owa Jawa dari pohon tidurnya dan diakhiri pada pukul 16:00 sampai pukul 17:20 WIB saat Owa Jawa mengambil posisi tidur pada pohon tidur berikutnya. Hal ini senada dengan pernyataan Purwanto (1992) yang menyebutkan bahwa aktivitas dan perilaku Owa Jawa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memeliki suatu pola yang teratur dalam hal penggunaan waktu yang digunakan dalam satu hari. Aktivitas dimulai dengan mengeluarkan suara di pagi hari (sekitar pukul 05.00) dan berakhir ketika Owa Jawa memasuki pohon tidur (pukul 18.00). Berdasarkan pengamatan pada kelompok di Hutan rasamala, rata-rata waktu aktif Owa Jawa adalah 11 jam, hal itu hampir sama dengan pola aktif Owa Jawa yang terdapat di PSSP, namun sedikit berbeda dalam hal waktu dimulainya aktivitas di pagi hari yang lebih lambat dan berakhirnya aktivitas yang lebih cepat pada sore hari.
49
Pengamatan aktivitas harian Owa Jawa di PSSP dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Resort Bodogol) yang dilakukan terhadap masingmasing kelompok Owa Jawa memiliki jumlah waktu perjumpaan yang berbeda. Pada kelompok (family group) di PSSP, perjumpaan terjadi selama 201 jam 15 menit dengan rata-rata jumlah jam perjumpaan 9 jam 35 menit dalam 20 kali perjumpaan. Sedangkan pada kelompok di hutan rasamala yang merupakan jalur pengamatan di Resort Bodogol terjadi selama 168 jam 27 menit dengan rata-rata jumlah jam perjumpaan 6 jam 54 menit dalam 24 kali perjumpaan. Berdasarkan pemantauan terhadap Owa Jawa yang terdapat di PSSP IPB dan Resort Bodogol (hutan rasamala), diketahui ukuran kelompok berkisar antara 5-6 individu dalam satu kelompok. Secara umum kedua kelompok ini terdiri atas satu individu jantan dan betina dewasa, individu muda/remaja, anak dan bayi. Perbandingan aktivitas dan perilaku Owa Jawa didasarkan pada kesamaan jenis kelamin dan struktur umur. Anggota kelompok dengan struktur umur anak tidak diperbandingkan, hal ini dikarenakan tidak terdapatnya individu pada struktur umur anak pada kelompok Owa Jawa yang terdapat di PSSP. Aktivitas harian Owa Jawa di PSSP dan hutan rasamala dibagi ke dalam empat aktivitas utama yang meliputi aktivitas makan, berpindah, diam (istirahat) dan aktivitas sosial seperti bermain, grooming, dan bersuara. Aktivitas harian Owa Jawa dapat dipengaruhi oleh kondisi cuaca, saat kondisi cuaca cerah, maka aktivitas Owa Jawa akan lebih panjang, tetapi sebaliknya saat cuaca mendung atau hujan, Owa Jawa akan mengurangi waktu aktifnya, tidak banyak melakukan pergerakan dan menuju pohon tidurnya lebih cepat. Dalam melakukan aktivitas harian, umumnya Owa Jawa menggunakan strata vertikal hutan yang berbeda untuk setiap tipe aktivitas dan perilaku hariannya. Pada saat melakukan aktivitas dan perilaku makan Owa Jawa di habitat alaminya lebih sering menggunakan strata pohon II dan III, sedangkan pada saat melakukan aktivitas bergerak lebih sering menggunakan strata pohon I. Untuk aktivitas dan perilaku istirahat kelompok Owa Jawa lebih memilih strata II dan saat melakukan aktivitas dan perilaku sosial banyak dilakukan pada strata III. Alokasi waktu harian kedua kelompok Owa Jawa dapat dilihat pada Tabel 12.a dan 12.b.
50
Tabel 12a. Alokasi waktu harian Owa Jawa di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) No Tipe Aktivitas Ari Mimis % Durasi % Durasi 1 Diam (Istirahat) 40,02 76:53:00 44,80 86:00:00 2 Berpindah 15,90 30:41:00 13,32 25:57:00 3 Makan 19,65 37:57:00 15,63 30:01:00 4 Bersuara 0 00:00:00 0 00:00:00 5 Membuang kotoran 0,21 00:41:00 0,16 00:30:00 6 Menelisik 22,54 43:10:00 12,15 23:51:00 7 Bermain 0,05 00:10:00 0 00:00:00 8 Merawat bayi 0 00:00:00 13,24 25:42:00 9 Minta dirawat 0 00:00:00 0 00:00:00 Total 100 189:32:00 100 192:01:00
Kelompok di PSSP OJ % Durasi 14,19 22:21:00 28,15 44:08:00 32,76 51:30:00 0 00:00:00 0,70 01:09:00 6 09:39:00 17,95 28:10:00 0 00:00:00 0 00:00:00 100 156:57:00
JLO % 10,84 34,63 28,58 0 0,16 6,22 18,92 0 0 100
Durasi 20:17:00 64:46:00 53:19:00 00:00:00 00:30:00 11:58:00 35:22:00 00:00:00 00:00:00 186:12:00
% 6,62 19,03 39,72 0,14 0,21 4,68 26,00 0 3,21 100
OO Durasi 13:00:00 37:37:00 78:02:00 00:28:00 00:41:00 09:19:00 51:07:00 00:00:00 06:30:00 196:42:00
Tabel 13b. Alokasi waktu harian Owa Jawa di Resort Bodogol hutan rasamala No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Total
Tipe Aktivitas
Diam (Istirahat) Berpindah Makan Bersuara Membuang kotoran Menelisik Bermain Merawat bayi Minta dirawat
Jantan dewasa % Durasi 39,49 42:34:00 27,05 29:42:00 29,85 32:00:00 0,39 00:42:00 0,11 00:12:00 3,74 04:01:00 0 00:00:00 0 00:00:00 0 00:00:00 100 107:21:00
Betina dewasa % Durasi 35,30 51:00:00 13,22 19:11:00 24,60 35:54:00 0,75 01:08:00 0,15 00:22:00 1,57 02:27:00 0,27 00:39:00 23,59 34:08:00 0 00:00:00 100 144:49:00
Kelompok di Hutan rasamala Jantan pradewasa Betina remaja % Durasi % Durasi 15,72 18:17:00 16,94 18:46:00 29,86 34:51:00 29,63 32:20:00 42,57 49:20:00 41,53 45:27:00 0,08 00:09:00 0,19 00:21:00 0,16 00:18:00 0,14 00:15:00 2,98 03:45:00 1,95 02:13:00 9,67 11:18:00 8,61 09:38:00 0 00:00:00 0 00:00:00 0 00:00:00 0 00:00:00 100 115:58:00 100 109:00:00
51
% 11,71 25,91 40,68 0 0,29 5,65 14,91 0 0 100
Anak Durasi 11:02:00 24:39:00 38:30:00 00:00:00 00:27:00 05:32:00 14:04:00 00:00:00 00:00:00 94:14:00
% 27,62 2,95 15,43 0,08 0,09 5,23 3,83 0 44,18 100
Bayi Durasi 38:26:00 04:09:00 21:37:00 00:11:00 00:13:00 07:24:00 05:31:00 00:00:00 61:19:00 138:50:00
5.4.1. Aktivitas dan Perilaku Berpindah Bismark (1986) mengatakan bahwa marga Hylobatidae melakukan aktivitas bergerak atau berpindah dalam kaitannya dengan pengontrolan wilayah. Aktivitas berpindah ini juga berkaitan dengan aktivitas pencarian dan pemilihan pohon pakan yang kesemuanya merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta merupakan upaya kelompok Owa Jawa untuk menghindari predator atau bahaya. Aktivitas berpindah pada Owa Jawa merupakan aktivitas yang dilakukan sepanjang hari dalam waktu aktifnya dengan persentase yang lebih rendah dibandingkan dengan aktivitas makan. Pada kelompok Owa Jawa di PSSP, aktivitas berpindah individu jantan pradewasa dan betina remaja memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan individu lain, yaitu masing-masing sebesar 28,15 dan 34,63% , sedangkan proporsi aktivitas berpindah masingmasing pada jantan dewasa dan betina dewasa, yaitu 15,90 % dan 13,32%. Pada kelompok yang ditemukan di hutan rasamala tidak begitu berbeda dengan kelompok Owa Jawa yang terdapat di PSSP. Jantan pradewasa dan betina remaja ditemukan lebih sering bergerak dibandingkan individu lain dalam kelompok dengan proporsi sebesar 29,86% dan 29,63% . Berdasarkan chi-square test (χ2 = 23,872, DF = 5) maka kelompok Owa Jawa PSSP dan hutan rasamala tidak memiliki perbedaan yang nyata dalam hal durasi yang digunakan untuk aktivitas bergerak berdasarkan jenis kelamin dan struktur umur, terkecuali pada anak yang tidak dapat diperbandingkan.
Gambar 8.
Persentase waktu aktivitas dan perilaku bergerak Owa Jawa di PSSP dan hutan rasamala 52
Pergerakan harian Owa Jawa di hutan rasamala dipimpin oleh betina dewasa yang berperan sebagai individu penentu orientasi pergerakan kelompok dan selalu bergerak terlebih dahulu untuk kemudian diikuti oleh individu lain. Jantan dewasa merupakan individu yang bergerak terakhir dalam kelompok yang diperkirakan sebagai upaya perlindungan dan pengamanan kelompok. Hal ini berbeda dengan kelompok Owa Jawa di PSSP, pergerakan bersifat acak, orientasi pergerakan tidak ditentukan oleh salah satu individu. Menurut Iskandar (2007), aktivitas pergerakan dilakukan terutama bertujuan untuk mencari sumber pakan. Mengingat sebaran sumber pakan owa yang lebih banyak mengkonsumsi daun, di hutan rasamala tersebar merata, maka kelompok tersebut tidak perlu melakukan perjalanan yang jauh. Selain itu, pakan daun memerlukan waktu lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan buah, sehingga mengurangi aktivitas pergerakan merupakan pilihan strategi dalam menyikapi sedikitnya pilihan sumber pakan buah dan untuk menghemat energi. Panjang pergerakan harian (day range) pada kelompok PSSP dan hutan rasamala didapatkan dengan mengukur jarak terpendek dan terjauh yang ditempuh oleh kelompok Owa Jawa baik di dalam kandang untuk kelompok PSSP maupun di dalam hutan untuk kelompok hutan rasamala dalam satu hari perjalanan dari pagi pada saat meninggalkan pohon tidur dan sore hari menjelang petang ketika memasuki pohon tidur. Setelah dirata-ratakan Owa Jawa kelompok PSSP memiliki jarak pergerakan di dalam kandang 243 m dengan jarak terpendek 157 m dan jarak terjauh 416 m. Sedangkan untuk Owa Jawa kelompok hutan rasamala memiliki jarak pergerakan rata-rata 613 m dengan jarak terpendek 273 m dan jarak terjauh yaitu 789 m. Menurut Kartono (2002), pergerakan yang dilakukan oleh Owa Jawa terdiri dari brakhiasi, berjalan secar bipedal, memanjat secara quadropedal, melompat dan memanjat melalui akar atau liana serta menjatuhkan diri dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Berdasarkan pengamatan cara berpindah yang sering dilakukan oleh kedua kelompok pada masing-masing lokasi yaitu dengan cara berayun (brakhiasi), cara ini mereka gunakan karena tungkai depan yang lebih panjang dibandingkan dengan jenis primata lain. Namun perbedaan mendasar adalah pada media yang digunakan untuk bergerak. Pada 53
kelompok di PSSP pergerakan secara berayun dilakukan dengan memanfaatkan rantai atau sela-sela kawat pada kandang sedangkan pada kelompok hutan rasamala, adanya tajuk yang rapat
memudahkan kelompok melakukan
perpindahan dari satu tajuk ke tajuk lainnya dengan cara berayun. Cara lain yang digunakan melompat (leaping). Pada kelompok di hutan rasamala cara ini dilakukan apabila jarak tajuk yang akan diseberangi cukup jauh atau berada di bawah posisisnya. Cara memanjat (climbing) juga dilakukan oleh kedua kelompok tersebut, khususnya pada kelompok di hutan rasamala perpindahan ke satu pohon yang kemudian menggunakan akar yang merambat untuk melakukan pemanjatan. Cara berjalan dengan menggunakan kedua tungkai belakangnya (bipedal) juga terlihat dilakukan, cara yang sangat unik dan jarang dilakukan karena cara ini membutuhkan keseimbangan badan dan biasanya dilakukan apabila Owa Jawa melalui pohon yang besar.
(a)
(b) Gambar 9.
Pergerakan kelompok Owa Jawa di PSSP dengan (a) brakiasi dan (b) bipedal walking
Hal ini berbeda dengan kelompok di PSSP dimana bipedal merupakan salah satu cara pergerakan yang sering terlihat dilakukan oleh individu Owa Jawa (OJ dan JLO) walaupun dengan proporsi yang relatif kecil dibandingkan dengan 54
cara pergerakan yang lain. Aktivitas pergerakan bipedal diatas permukaan tanah sering dilakukan ketika aktivitas dan perilaku makan dan bermain dilakukan oleh kedua individu ini dan hampir tidak pernah dilakukan oleh individu lain dalam kelompok. Ketika Owa Jawa hidup dalam habitat alam, cara pergerakan bipedal di atas permukaan tanah ini hampir jarang bahkan tidak pernah dilakukan karena resiko predasi yang mungkin dapat mengancam, selain itu pada kenyataannya Owa Jawa merupakan spesies arboreal yang selalu hidup dan bergerak diantara satu pohon ke pohon yang lain (Supriatna & Wahyono 2000). Kekhawatiran adanya ketergantungan dengan cara pergerakan di lantai kandang tersebut hendaknya disiasati dengan mencontoh sistem pengelolaan di Pusat Penyelamatan Owa Jawa (Javan Gibbon Center/JGC) seperti tidak lagi menggunakan lantai semen dan digantikan dengan lantai hutan alami dengan membiarkan dan menanami lantai kandang dengan tanaman bawah. Kondisi ini membuat Owa Jawa untuk turun ke lantai menjadi berkurang. Hal ini sesuai dengan sasaran program jangka pendek JGC yaitu berupaya melakukan penilaian dan perbaikan melalui serangkaian kegiatan pengelolaan terhadap status perilaku dan kemudian dilakukan peningkatan dengan diiringi perubahan perilaku ke arah perilaku normal. Berdasarkan hasil pengamatan cara pergerakan antara kelompok Owa Jawa yang terdapat di PSSP dan hutan rasamala, perbedaan cara bergerak lebih disebabkan perbedaan subtrat dan keterbatasan kondisi lingkungan kandang yang belum dapat mengakomodasi seluruh cara pergerakan yang mungkin ditunjukan oleh Owa Jawa ketika berada di habitat alaminya. Tabel 13. Persentase cara pergerakan kelompok Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala Lokasi PSSP Hutan rasamala
Brakiasi 84,2 77,4
Bipedal 3 1,5
Pergerakan (%) Memanjat Melompat 1,6 11,2 4,3 14,8
Menjatuhkan diri 0,0 2,0
Sedangkan proporsi masing-masing bentuk pergerakan yang dilakukan Owa Jawa rehabilitan adalah sebagai berikut : brakiasi 38,9-49,2%, lompat 30,9-41,1%, memanjat 15,7-18.8%, bipedal 2,4-4% (Ario 2010). Hal ini menunjukkan bahwa bentuk pergerakan utama yang dilakukan Owa Jawa rehabilitan di Hutan Patiwel adalah brakiasi, hal ini sesuai dengan karakter Owa Jawa secara umum. Mereka 55
mampu melakukan pergerakan brakiasi dan bentuk pergerakkan lainnya di hutan Patiwel, karena sejak menjalani proses rehabilitasi di JGC, mereka telah dibiasakan untuk melatih anggota gerak tubuh mereka dengan cara menempatkan mereka pada kondisi kandang beserta alat bantu yang memungkinkan mereka untuk melakukan pergerakkan tersebut. Berdasarkan hasil monitoring aktivitas harian dua individu Owa Jawa rehabilitan di blok hutan Patiwel, diketahui aktivitas bergerak sebesar 35,3-38,1% dari keseluruhan aktivitas harian kedua Owa Jawa tersebut (Ario 2010). Nilai persentase pergerakan pada dua individu tersebut terlihat cukup besar. Hal ini disebabkan karena hutan Patiwel merupakan area hutan yang baru bagi pasangan tersebut, sehingga upaya penjelajahan terhadap hutan tersebut sering dilakukan. Pasca pelepasliaran, yaitu pada 1 dan 2 minggu pertama pelapasliar, Echi dan Septa hanya melakukan penjelajaha 25% dari keseluruhan luasan areal hutan blok Patiwel. Frekuensi meningkat pada minggu ke 3 dan 4 mencapai 50%. Setelah 30 hari menempati hutan Patiwel, pasangan tersebut hingga saat ini telah memanfaatkan keseluruhan areal hutan patiwel dalam aktivitas dalam penjelajahannya (Ario 2010). Pengenalan seluruh area Patiwel bagi pasangan tersebut sangat penting dilakukan karena sebagai strategi pengenalan kawasan secara keseluruhan dari segi ancaman sumber daya pakan. 5.4.2. Aktivitas dan Perilaku Makan Aktivitas dan perilaku makan sangat dipengaruhi oleh jenis pakan. Aktivitas dan perilaku makan dalam penelitian ini dibatasi sebagai aktivitas yang dimulai dari memilih makanan, mengambil makanan, memasukan kedalam mulut dan mengunyah makanan. Aktivitas dan perilaku makan pada kelompok Owa Jawa di PSSP dan hutan rasamala sedikit berbeda dalam hal rangkaian perilaku yang dilakukan. Pada kelompok Owa Jawa di PSSP aktivitas dan perilaku makan dilakukan dengan waktu yang relatif sama setiap harinya, hal ini terkait dengan jadwal pemberian pakan yang diberikan secara teratur di pagi (pukul 08.00) dan siang (pukul 14.00) dan tanpa diawali dengan aktivitas dan perilaku lainnya seperti aktivitas dan perilaku bersuara (morning call) yang biasa dilakukan oleh Owa Jawa di habitat alaminya. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya kelompok lain di PSSP, 56
aktivitas bersuara di pagi hari merupakan salah satu cara penandaan keberadaan kelompok terhadap kelompok lain dan penguasaan akan pakan jenis tertentu dalam wilayah jelajah dan teritorinya. Untuk kelompok hutan rasamala aktivitas dan perilaku makan beberapa saat sering dilakukan setelah aktivitas bersuara di pagi hari oleh individu betina atau jantan Owa Jawa dilakukan (morning call). Aktivitas dan perilaku makan pada kelompok hutan rasamala dimulai di pagi hari sekitar pukul 05.30 dan berlangsung sampai sekitar pukul 10.00. Setelah pukul 10.00 aktivitas dan perilaku makan akan mengalami penurunan hingga pukul 13.00 dan mulai meningkat kembali pukul 14.00 hingga beberapa saat sebelum memasuki pohon tidur. Hal tersebut merupakan ritme aktivitas yang normal, menurut Priyanto (1978) aktivitas dan perilaku makan dalam kondisi yang aman atau normal pada kelompok Owa Jawa dengan frekuensi yang tinggi terjadi sekitar pukul 06.0011.00 dan selanjutnya aktivitas dan perilaku makan akan menurun serta akan meningkat kembali sekitar pukul 15.00 sampai pukul 17.00. Berdasarkan hasil pengamatan mengenai aktivitas dan perilaku makan pada seluruh individu Owa Jawa di PSSP maupun di hutan rasamala, aktivitas dan perilaku makan memiliki proporsi terbesar dibandingkan dengan aktivitas utama lainnya, hal ini berkaitan dengan kebutuhan akan energi yang digunakan untuk melakukan seluruh aktivitas lainnya. Pada kelompok Owa Jawa di PSSP, aktivitas makan individu jantan pradewasa dan betina remaja memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan individu dewasa, yaitu masing-masing sebesar 32,76% dan 28,583%, sedangkan proporsi aktivitas makan pada jantan dewasa dan betina dewasa, masing-masing yaitu 19,65 % dan 15,63%. Pada kelompok yang ditemukan di hutan rasamala tidak begitu berbeda dengan kelompok Owa Jawa yang terdapat di PSSP. Jantan pradewasa dan betina remaja ditemukan lebih sering makan dibandingkan individu lain dalam kelompok dengan proporsi sebesar 42,57% dan 41,53% . Uji chi-square (χ2 = 10,273, DF = 5) menunjukan kelompok Owa Jawa PSSP dan hutan rasamala tidak berbeda nyata dalam hal durasi yang digunakan untuk aktivitas makan berdasarkan jenis kelamin.
57
Gambar 10. Presentase aktivitas dan perilaku makan kelompok PSSP dan Hutan rasamala Sikap tubuh dalam aktivitas dan perilaku makan antara kelompok Owa Jawa yang terdapat di PSSP dan hutan rasamala cenderung sama namun yang berbeda adalah media yang digunakan. Menurut Chivers et al. (1975), sikap tubuh dalam kegiatan makan Owa Jawa berhubungan dengan ukuran penyangga tubuh dan bagian tumbuhan yang dimakan. Sikap bergantung biasanya dilakukan pada penyangga tubuh yang berukuran kecil (ranting atau pucuk) dan sikap duduk pada penyangga tubuh yang berukuran besar, seperti pada batang atau cabang. Bagianbagian tumbuhan (batang, cabang, ranting dan pucuk) sangat berkaitan dengan aktivitas makan secara umum meliputi letak dan posisi makan. Dari hasil yang didapatkan Owa Jawa dewasa dan remaja yang terdapat di PSSP dan hutan rasamala dalam aktivitas makannya lebih banyak dilakukan dengan cara menggantung pada ranting pada kelompok hutan rasamala dan disela dinding kawat pada kelompok hutan rasamala sedangkan untuk anak lebih banyak dilakukan dengan cara duduk. Hal ini disebabkan karena tungkai depan anak Owa Jawa belum cukup kuat untuk bergelantungan pada waktu yang lama. Ketika mengambil pakan Owa Jawa pun sering memanfaatkan bagian tubuh lainnya yaitu kaki untuk memegang pakan dan ini sering terlihat pada kelompok Owa Jawa yang berada di PSSP, hal ini terkait dengan mekanisme persaingan dan strategi untuk meningkatkan peluang memperoleh pakan dalam jumlah yang lebih banyak karena keterbatasan kemungkinan mengeksplorasi pakan yang hanya terdapat dalam kandang.
58
5.4.3. Aktivitas dan Perilaku Sosial Menurut McDonald (1993) dalam Herawati (2003) bahwa perilaku sosial pada Owa Jawa meliputi aktivitas vokalisasi (bersuara), grooming (menelisik) dan bermain. Keseluruhan aktivitas dan perilaku sosial tersebut berdasarkan hasil pengamatan berbeda anatara satu kelompok dengan kelompok lainnya, hal ini sangat terkait dengan sistem manajeman khususnya sebaran dan kesediaan pakan serta luasan tempat hidup Owa Jawa pada masing-masing kelompok baik kelompok yang berada di bawah pengelolaan PSSP maupun Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (hutan rasamala). Aktivitas dan Perilaku Bersuara Famili Hylobatidae dikenal sebagai spesies yang unik karena mampu mengeluarkan suara yang keras dan panjang sehingga dapat terdengar sampai radius sejauh 1,5 km. Pada Owa Jawa, betina dewasa lebih sering melakukan aktivitas bersuara dibandingkan dengan jantan dewasa, hal ini berkaitan dengan peranan betina sebagai individu dominan dalam kelompok Owa Jawa. Aktivitas bersuara oleh betina dewasa merupakan upaya untuk berkomunikasi dengan kelompok lainnya dan menunjukkan batas teritorinya (Tenaza 1976; Kappeler 1981; Mitani 1987 dalam Kartono 2002). Menurut Geissman (2005), perilaku bersuara pada Owa Jawa memiliki karakter khusus dibandingkan dengan anggota Hylobatidae lain, yaitu individu betina berperan lebih besar dalam penjagaan daerah jelajah. Aktivitas bersuara pada Owa Jawa merupakan salah satu cara berkomunikasi yang berfungsi untuk menyatakan lokasi keberadaan satu kelompok kepada kelompok lain dengan jarak yang berdekatan agar menjauh, hal ini berkaitan dengan usaha untuk menghindari konflik atau kontak langsung antar kelompok. Selain itu, aktivitas bersuara merupakan tanda kepemilikan suatu sumber pakan yang tersedia. Aktivitas bersuara berhubungan erat dengan sistem perilaku pada Owa Jawa. Suara yang dikeluarkan oleh Owa Jawa merupakan bagian dari beberapa perilaku sosial baik yang bersifat agonistik (bertentangan), allelomimetik (meniru), maupun care solicting (meminta dipelihara). Suara Owa Jawa biasanya terdengar bersahut-sahutan antara satu kelompok dengan kelompok lain, karena 59
suara atau nyanyian yang dikeluarkan oleh satu kelompok akan menstimulasi kelompok lain untuk ikut bersuara (Chivers 1975) dan satu kelompok Owa Jawa akan menjawab panggilan kelompok lain dengan tipe suara yang sama. Selama pengamatan berlangsung, total durasi suara yang terekam sebanyak 151 menit dan seluruhnya berasal dari kelompok yang berada di hutan rasamala dan hanya 25 menit durasi suara Owa Jawa yang terekam di PSSP dari seluruh total jam pengamatan di masing-masing lokasi. Suara yang terekam di PSSP merupakan suara yang berasal dari individu anak yang ditunjukan untuk meminta perlindungan atau perawatan oleh induk betina. Berdasarkan chi-square test (χ2 = 38,514, DF = 5) maka kelompok Owa Jawa PSSP dan hutan rasamala berbeda sangat nyata dalam hal durasi yang digunakan untuk aktivitas bersuara baik berdasarkan jenis kelamin maupun habitatnya. Tipe suara yang terekam di hutan rasamala dikategorikan sebagai female song bout, scream bout, male song bout dan immature song bout. Dalam penelitian ini, aktivitas bersuara sering dilakukan pada pagi hari (morning call) sebagai bagian dari penandaan teritori oleh individu betina dan dilakukan pertama kali sesaat setelah individu dalam kelompok bangun dari tidurnya (pukul 05.30), selain itu pun suara tanda bahaya (alarm call) yang dilakukan pada dua malam beberapa kali terekam selama penelitian berlangsung (pukul 22.00-23.48), bentuk alarm call ini terekam sebagai bagian dari perilaku anti predator karena pada malam tersebut terdengan suara macan dahan (panther pardus) yang merupakan salah satu predator Owa Jawa disekitar stasiun penelitian yang berdekatan dengan kelompok hutan rasamala dan afrika. Khusus morning call dikeluarkan oleh betina dan alarm call dikeluarkan oleh keduanya. Berdasarkan gambar dibawah ini, terlihat bahwa presentase tipe suara yang dikeluarkan oleh Owa Jawa di PSSP hanya tipe suara anakan (100%), sedangkan untuk Owa Jawa di hutan rasamala cenderung beragam, yaitu tipe suara akibat gangguan dan berfungsi sebagai alarm call (37,75%), konflik wilayah (8,61%), betina dewasa (17,22%), jantan dewasa (29,14%) dan tipe suara anakan (7,28%) yang merupakan tipe suara terkecil di hutan rasamala.
60
(a) (b) Gambar 11. (a). Tipe suara Owa Jawa di PSSP-IPB; (b) Tipe suara Owa Jawa di hutan rasamala (Resort Bodogol-TNGGP) Pada jalur pengamatan lain kelompok hutan afrika lebih sering melakukan aktivitas bersuara dibandingkan kelompok hutan rasamala dengan persentase sebesar 64%. Hal ini diduga berhubungan dengan jumlah kelompok dan wilayah keberadaan kedua kelompok tersebut. Jumlah kelompok pada hutan afrika yang lebih banyak dibandingkan kelompok hutan rasamala menyebabkan kelompok hutan afrika lebih bersifat agresif dibandingkan dengan kelompok hutan rasamala, hal ini terkait adanya persaingan dengan kelompok lain pada wilayah yang saling berdekatan. Selain itu, di sekitar homerange maupun teritori kelompok hutan afrika lebih banyak terdapat beberapa kelompok Owa Jawa lain, sehingga memungkinkan terjadinya kontak langsung maupun tidak langsung yang lebih sering antar kelompok. Pada kelompok hutan rasamala selama pengamatan hanya ditemukan satu kelompok yang hidup pada tipe vegetasi yang didominasi oleh pohon rasamala tersebut. Jika dibandingkan dengan kelompok yang terdapat di PSSP, hal ini sangat berbeda. Selama pengamatan hanya dijumpai tipe aktivitas bersuara yaitu immature song bout yang dikeluarkan oleh anakan (OO) sebagai bagian perilaku care solicting (meminta dipelihara) (Gambar 14). Tidak bervariasinya tipe suara yang dikeluarkan mungkin disebabkan tidak adanya kelompok lain pada enclosure sehingga perilaku sosial melalui suara oleh betina atau jantan untuk penandaan teritori atau wilayah jelajah terhadap kehadiran kelompok lain tidak dilakukan sebagai bagian dari aktivitas sosial. Aktivitas dan perilaku bersuara Owa Jawa di PSSP hanya dijumpai sebagai bagian dari perilaku sosial antra individu dalam satu kelompok dan merupakan bagian dari perilaku yang ditunjukan oleh individu 61
anak yang masih muda kepada induk betina untuk meminta perlindungan atau perawatan terhadap perilaku agonistik individu lain dalam kelompok.
Gambar 12. Presentase aktivitas dan perilaku bersuara Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala (Resort Bodogol) Ketidakmampuan individu-individu Owa Jawa di PSSP untuk melakukan aktivitas
dan perilaku
bersuara
mengisyaratkan
bahwa
proses
menuju
pelepasliaran Owa Jawa di PSSP masih memerlukan waktu yang lebih panjang, dimana sebagai contoh ketika kegiatan pelepasliaran pasangan Owa Jawa rehabilitan (Septa dan Echi) di Blok Hutan Patiwel Taman Nasional Gunung Gede Pangrango oleh pihak JGC. Kemampuan mereka bersuara morning call dan alarm call telah ditunjukkan oleh mereka sejak masih dalam proses rehabilitasi di JGC (± 3 bulan setelah berada dalam pengelolaan JGC). Seperti diketahui umumnya betina dewasa Owa Jawa akan menyerukkan morning call sebagai bentuk penandaan teritori. Echi telah mampu melakukan hal tersebut sebagai bentuk penandaan teritori di hutan Patiwel (Ario 2010). Aktivitas bersuara sebagai tanda bahaya (alarm call) dilakukan oleh Septa dan Echi secara bergantian. Alarm call yang disuarakan oleh kedua Owa Jawa tersebut menunjukan kemampuan mereka dalam hal kewaspadaan, biasanya apabila terlihat adanya satwa lain maupun adanya kehadiran manusia. Echi mengeluarkan morning call hampir terjadi setiap hari dan umumnya terjadi pada pukul 06.00 - 07.00 WIB, namun lebih sering terjadi pada pukul 08.00 - 09.00 WIB. Ini disebabkan pengaruh faktor cuaca, dimana cuaca dalam keadaan hujan dan berkabut pada pagi hari (Ario 2010). Selama kegiatan penelitian berlangsung di hutan rasamala dan afrika aktivitas bersuara pagi 62
umumnya terjadi pada pukul 06.00 - 08.00, hal ini berkaitan dengan kondisi iklim, dimana saat penelitian berlangsung sedang dalam musim penghujan, sehingga cuaca sering mendung dan berkabut. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Iskandar. Menurut Iskandar (2009), Owa Jawa di hutan rasamala, bersuara pagi dilakukan sejak pukul 05.30 pagi. Namun jika cuaca mendung dan kabut tebal, morning call baru dilakukan pada pukul 06.00 - 07.00. pada kelompok Owa Jawa di hutan Cikaniki morning call dilakukan pada pukul 04.20 hingga pukul 05.15 (Ladjar 1996). Namun tidak setiap hari aktivitas harian diawali dengan aktivitas bersuara. Faktor cuaca pagi yang kadang-kadang hujan dan juga suhu udara pagi yang berkisar antara 20 – 22 0C turut mempengaruhi waktu awal melakukan aktivitas bersuara. Pada kalawet yang hidup di habitat hutan gambut dilakukan lebih awal, yaitu pada pukul 05.00 (Duma 2007). Aktivitas Grooming (Menelisik) Sebagai primata yang hidup dalam kelompok sosial, merawat diri atau grooming merupakan salah satu aktivitas yang sering dilakukan sebagai salah satu komunikasi melalui sentuhan antar anggota kelompoknya untuk memelihara kerikatan sosial antar individu dalam kelompok, juga sebagai sarana membersihkan diri dari kotoran atau parasit yang melekat di permukaan tubuh primata (Perez & Vea 2000). Perilaku grooming dilakukan oleh masing-masing kelompok dengan durasi dan persentase yang berbeda. Perbandingan tingkah laku grooming pada kelompok Owa Jawa di PSSP dan hutan rasamala selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 13.
(a) (b) Gambar 13. Aktivitas grooming pada Owa Jawa di (a) PSSP dan (b) hutan rasamala 63
Pada
gambar
tersebut
diatas
terlihat
bahwa
kelompok
dewasa
mendominasi seluruh aktivitas grooming. Kelompok dewasa mendominasi seluruh aktivitas grooming (Gambar 3). Aktivitas grooming pada individu dewasa meningkat di waktu istirahat dengan frekuensi tertinggi terjadi dari pukul 11.00 – 13.00. Sedangkan aktivitas grooming pada kelompok anak meningkat pada jam senja menjelang tidur (pukul 17.00-18.30). Kelompok Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala menunjukan ritme waktu yang sama dalam hal aktivitas grooming. Grooming biasanya dilakukan antara dua atau lebih individu dewasa. Pada saat kelompok dewasa melakukan grooming kelompok anak biasanya masih tetap melakukan aktivitas bermain, sehingga tidak ada waktu yang khusus bagi anak untuk melakukan aktivitas grooming. Grooming yang dilakukan terhadap anak biasanya pada saat laktasi terjadi. Anak yang sedang laktasi akan dibersihkan bagian-bagian tubuhnya oleh induknya, kadang dibantu oleh individu jantan dewasa. Dengan demikian persentase terbesar grooming terhadap anak juga dilakukan pada saat akan tidur, baik istirahat pendek pada siang hari atau tidur di malam hari. Grooming dengan frekuensi tertinggi tercatat terjadi dari pukul 11.00 – 13.00, pada saat ini seluruh individu dalam kelompok biasanya sudah mendapat asupan pakan yang cukup sehingga aktivitas beristirahat sering dibarengi dengan saling
melakukan grooming. Grooming pada Owa Jawa selalu dilakukan
bergantian antar dua individu, pada saat grooming individu yang dibersihkan tubuhnya akan menyorongkan bagian badannya yang ingin dibersihkan ke arah individu yang akan melakukan perawatan.
64
(a)
(b)
(c) Gambar 14. Aktivitas grooming pada kelompok Owa Jawa di PSSP (a) Jantan remaja menggrooming jantan dewasa (b) Jantan dewasa menggrooming betina dewasa dan anak (c) aktivitas autogrooming Grooming atau merawat diri dibedakan menjadi dua kategori, yaitu autogrooming dan allogrooming. Autogrooming yaitu merawat diri yang dilakukan sendiri sedangkan allogrooming adalah merawat diri dilakukan bersama individu lain. Demikian juga yang terjadi pada Owa Jawa di PSSP. Secara umum autogrooming atau merawat dan membersihkan diri sendiri juga dilakukan oleh Owa Jawa untuk membersihkan diri dari kotoran dan parasit, yang dilakukan dengan cara mengusap, meraba, menjilat, menelisik, menggaruk, menjilat, dan menggigit (Perez & Vea 2000). Menggaruk merupakan tingkah laku yang dilakukan pada autogrooming, tingkah laku ini tidak pernah dijumpai pada allogrooming. Allogrooming merupakan salah satu komunikasi sosial melalui sentuhan antar individu dalam satu kelompok primata. Pada Owa Jawa di PSSP grooming antar individu atau allogrooming selalu dilakukan secara bergantian, misalnya antara Ari dan Mimis, jika satu atau dua bagian tubuh Ari sudah dirawat, maka Mimis akan menyorongkan bagian tubuhnya untuk dirawat oleh Ari begitu seterusnya. Grooming yang dilakukan antar individu dilakukan dengan cara 65
mengusap, meraba, menelisik, menjilat, dan menggigit. Cara ini selain berfungsi untuk membersihkan diri dari kotoran, kutu atau parasit, juga sebagai salah satu bentuk affiliatif pada Owa Jawa (Smuts dkk. 1987, Alikodra dkk. 1990, Perez & Vea 2000). Allogrooming dilakukan dengan menyodorkan bagian tubuh yang akan dibersihkan kepada lawan grooming. Cara menyodorkan bagian tubuh pada allogroooming bermacam-macam, bisa dalam posisi memunggungi, terbaring, tengkurap, telentang, miring, nungging, duduk tegak sambil menyodorkan dada, perut, atau selangkangan. Duduk sambil mengangkat satu tangan dan menundukkan kepala. Bagian yang disodorkan inilah yang akan dibersihkan oleh individu lain yang ada di dekatnya.
Individu yang merawat
Tabel 14.
Perbandingan dan hubungan antar individu yang melakukan parawatan (grooming) dengan individu yang dirawat Individu yang dirawat (%) Ari
Ari Mimis OJ JLO OO
Mimis 9,34
23,41 9,16 17,84 0
5,67 1,39 0
OJ 1,02 0 15,97 0
JLO 2,49 0 3,91
OO 2,46 7,34 0 0
0
Pada Tabel 14 memperlihatkan perbandingan frekuensi dan hubungan antar individu yang melakukan grooming dan yang menjadi sasaran grooming selama 20 hari pengamatan. Pada tabel itu terlihat behwa Mimis paling sering melakukan grooming terhadap Ari dengan nilai 23,41%, selanjutnya yang juga melakukan grooming terhadap OO sebesar 7,434%. Mimis dan JLO merupakan individu yang paling sering melakukan grooming terhadap individu lain. OJ tidak pernah tercatat melakukan grooming terhadap OO, tetapi melakukan grooming terhadap individu yang lain termasuk JLO, bahkan grooming yang paling sering adalah terhadap Ari yaitu sebesar 9,16%, hal ini dilakukan oleh OJ biasanya setelah OJ melakukan aktivitas bermain dengan mengejar JLO. Sedangkan OO tidak melakukan aktivitas grooming pada siapa pun. Berdasarkan chi-square test (χ2 = 33,617, DF = 5) maka kelompok Owa Jawa PSSP dan hutan rasamala memiliki perbedaan yang nyata dalam hal durasi yang digunakan untuk aktivitas grooming berdasarkan jenis kelamin. 66
Aktivitas dan Perilaku Bermain Aktivitas dan perilaku bermain ditunjukan ole individu anak dan remaja. Dari hasil pengamatan di peroleh alokasi waktu yang berbeda dalam hal durasi yang digunakan untuk bermain oleh kelompok Owa Jawa yang terdapat di PSSP dan hutan rasamala. Kelompok Owa Jawa PSSP menunjukan durasi yang lebih lama dalam hal perilaku bermain baik pada individu remaja maupun anak. Hal ini sangat mungkin ditunjukan sebagai strategi menghilangkan rasa bosan di dalam kandang yang memiliki keterbatasan dalam berbagai hal baik pakan, ruang gerak maupun interaksi dengan kelompok lain. Pada individu anak aktivitas dan perilaku bermain dilakukan dengan bermain disekitar induk betina dan diawasi oleh induk betinanya tersebut. Hal ini berkaitan dengan upaya menghindarkan anak dari serangan predator ketika berada di habitat alaminya atau gangguan oleh individu lain ketika berada dalam suatu enclosure bersamaan. Individu anak pada kelompok hutan rasamala sering terlihat melakukan aktivitas ini pada tingkat strata pohon yang rendah. Pada strata ini percabangan pohon berukuran besar dan kuat sehingga memberikan ruang gerak yang luas bagi anak untuk bermain. Pada individu remaja aktivitas dan perilaku bermain ditunjukan dengan saling berkejar-kejaran satu sama lain. Aktivitas ini hampir terlihat seperti aktivitas agonistik namun pada dasarnya bukanlah suatu perilaku agonistik karena ditunjukan bukan untuk menyakiti individu lainnya melainkan merupakan sarana mempereat hubungan individu remaja dalam kelompok dan sebagai mekanisme untuk melatih dan mempertahankan kebugaran melaui gerakan berpindah dan berkejar-kejaran seperti yang terlihat pada kelompok Owa Jawa di PSSP. Berdasarkan chi-square test (χ2 = 10,171, DF = 5) maka kelompok Owa Jawa PSSP dan hutan rasamala tidak berbeda nyata dalam hal durasi yang digunakan untuk aktivitas bermain berdasarkan jenis kelamin.
67
Gambar 15. Presentase aktivitas dan perilaku bermain kelompok Owa Jawa di PSSP dan hutan rasamala 5.4.4. Aktivitas dan Perilaku Berisirahat dan Tidur Aktivitas istirahat merupakan aktivitas diam dan periode tidak aktif Owa Jawa yang dibagi ke dalam dua ketegori yaitu istirahat panjang atau tidur dan istirahat pendek, dengan indikasi bahwa Owa Jawa tidak melakukan aktivitas lain selama 10 menit atau lebih dan kembali melanjutkan aktivitas setelahnya (Sutrisno, 2001). Istirahat pendek pada kelompok Owa Jawa di PSSP dan hutan rasamala dilakukan dengan posisi tubuh bergantung, duduk dan merebahkan diri. Istirahat pendek yang dilakukan Owa Jawa pada kedua kelompok ini relatif sama yaitu dilakukan siang hari antara pukul 11:30 WIB sampai dengan pukul 13:00 WIB. Menurut Leighton (1987) aktivitas istirahat owa jawa di alam dilakukan diantara waktu periode aktifnya dengan proporsi waktu untuk istirahat sekitar 20%-51%. Proporsi waktu istirahat terbesar Owa Jawa pada kelompok di PSSP dilakukan oleh individu betina dewasa dan jantan dewasa yaitu masing-masing 44,80 dan 40,02 %, sedangkan jantan dan betina remaja serta anak memiliki proporsi yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan jantan dan betina remaja lebih sering melakukan pergerakan dibandingkan istirahat untuk melatih kekuatan dan stamina tubuhnya. Pada kelompok di hutan rasamala, betina dewasa memiliki proporsi waktu istirahat yang lebih besar dan dan lebih sering berdiam diri pada satu pohon dalam jangka waktu yang cukup lama dibandingkan jantan dewasa, yaitu sebesar 35,30%. Hal ini dikarenakan betina dalam kelompok ini memiliki anak yang masih belum dalam masa sapih sehingga masih terlihat sering digendong oleh induk betina walaupun terkadang bergerak sendiri untuk bermain 68
namun tetap dalam jarak yang relatif dekat dengan induk betinanya. Melalui uji chi-square (χ2 = 9,4513, DF = 5) maka kelompok Owa Jawa PSSP dan hutan rasamala tidak berbeda nyata dalam hal durasi yang digunakan untuk aktivitas beristirahat berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian lain aktivitas harian dua individu owa jawa rehabilitan dalam hal aktivitas dan perilaku istirahat sebesar 16,2-18,3% dari keseluruhan aktivitas harian kedua Owa Jawa tersebut (Ario 2010). Saat istirahat pendek, pada Owa Jawa di hutan rasamala akan memilih pepohonan dengan tajuk tertutup, hal ini bertujuan untuk melindungi diri dari sengatan matahari. Strata pohon yang banyak digunakan Owa Jawa pada saat istirahat berada pada ketinggian 21-25 m, strata ini merupakan tajuk bagian tengah yang rimbun dengan percabangan yang relatif besar. Sedangkan saat istirahat panjang atau tidur, Owa Jawa akan memilih pohon yang dijadikan lokasi untuk tidur terletak tidak jauh dari pohon pakan yang terakhir dikunjungi. Hal ini dilakukan untuk mengefektifkan waktu aktivitas makan keesokan harinya. Jenis pohon rasamala merupakan salah satu jenis yang digunakan sebagai pohon tidur, hal ini dikarenakan karakteristik pohon ini selain memiliki diameter yang besar serta tinggi juga memiliki kanopi yang cukup lebar dan merupakan jenis pohon pakan yang tersedia sepanjang waktu. Owa Jawa tidak selalu tidur mengelompok dalam satu pohon, tetapi tetap berada dalam pohon yang berdekatan. Selain itu Owa Jawa memilih tidur pada tajuk atas kanopi, hal ini merupakan salah satu strategi Owa Jawa untuk menghindari predator. Menurut Tanudimaja & Kusumadiharja (1975), pemilihan tempat untuk tidur merupakan tingkah laku mencari perlindungan. Hal tersebut sangat berbeda dengan Owa Jawa yang terdapat di PSSP yang tidak memiliki kesempatan untuk melakukan aktivitas istirahat atau tidur dengan cara yang sama karena ketidaktersediaan pepohonan yang tinggi sebagai tempat untuk beristirahat dan tidur. Aktivitas dan perilaku tidur dan beristirahat pada kelompok PSSP dilakukan dengan memanfaatkan tempat duduk yang melintang horizontal yang terdapat dalam kandang atau memanfaatkan box kayu dan sela diantara percabangan pada pohon yang terdapat dalam kandang satu.
69
Proporsi tubuh saat beristirahat adalah duduk di cabang pohon sambil kedua tangannya berpegangan pada ranting pohon, juga terkadang dilakukan dengan berbaring. Terkadang selama pengamatan diketahui posisi istirahat pada saat hujan, mereka duduk dengan melipat kakinya dan mendekatkan kedua kakinya ke dada. Proporsi bentuk aktivitas istirahat pada kedua kelompok di PSSP dan hutan rasamala masing-masing dilakukan dengan duduk yaitu 76,4 dan 96,8%, berbaring 23,6 dan 3,2%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian owa jawa liar lainnya yang menyatakan bahwa umumnya posisi istirahat owa jawa lebih banyak dilakukan dengan cara duduk. Menurut Fleagle (1980) dalam Nurcahyo (1999) posisi duduk adalah posisi paling sering dilakukan. Persentase duduk yang besar mungkin dilakukan untuk memberi kesempatan lambung memfermentasikan makanan dalam pencernaan (Bismark 1986 dalam Nurcahyo 1999). Menurut Carpenter (1940); Fleagle (1980) dalam Breukeur (1996) bahwa posisi duduk adalah posisi yang biasa diamati di alam dan dikandang. Satwa duduk dengan menyandarkan bahu, dan tangan menekuk kedepan, kaki mendekati tubuh dan memegang ranting. Kaki menekuk tajam dan mendekatkan lutut mereka ke dagu dan kedua tangan melipat diatas lutut dan dada. Posisi ini sering terlihat ketika satwa dalam keadaan istirahat, tidur dan melindungi diri dari hujan maupun angin. Setelah melakukan jelajah harian, Owa Jawa akan kembali ke pohon tidur beberapa jam sebelum matahari terbenam, dan tinggal di pohon tersebut sampai kira-kira 14–17 jam. Biasanya betina dewasa dan bayi menuju pohon tidur terlebih dahulu, diikuti juvenil atau anak yang beranjak dewasa dan terakhir jantan dewasa. Owa Jawa berbeda dengan kera besar seperti Orangutan yang melakukan manipulasi dengan membangun sarang pada kanopi pohon sebagai tempat tidurnya, Owa Jawa tidur tanpa membangun sarang, tetapi tidur dengan posisi berbaring atau duduk yaitu dengan cara menempelkan bagian bawah tubuhnya (pantat) di atas dahan, menekuk kedua lutut mendekati dada, kemudian tangan mendekap tubuh dan kepala tertunduk dimasukkan di antara lutut dan tangan. Berdasarkan hasil penelitian pada kelompok hutan rasamala terdapat sekitar 8 jenis vegetasi yang merupakan tempat tidur Owa Jawa yang tergolong kedalam 3 famili. Pohon tidur Owa Jawa tersebut adalah rasamala (Altingia excelsa),
70
kondang (Ficus variegata), Afrika (Maesopsis eminii), dan manggong (Macaranga rhizinoides). 5.5.
Pakan dan Pengkayaan Pakan
5.5.1. Waktu Pemberian Pakan Kegiatan pemberian pakan di PSSP dilakukan secara teratur dilokasi penelitian dan dikerjakan dengan pengawasan yang cukup ketat. Secara lengkap jadwal dan komposisi pakan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 15 di bawah ini. Tabel 15. Jadwal pemberian pakan dan jenis pakan yang diberikan Waktu Komposisi pakan Keterangan 08.00 Pakan komersial (hasil Diberikan dalam bentuk potongan pertanian) dan monkey chow yang dimasukan ke dalam keranjang berbentuk persegi panjang, berjumlah empat keranjang pakan, rata-rata @ 598,75 g (berat segar) 14.00 Pakan komersial (hasil Diberikan dalam bentuk potongan pertanian) dan monkey chow yang dimasukan ke dalam keranjang berbentuk persegi panjang, berjumlah empat keranjang pakan, rata-rata @ 598,75 g (berat segar) Pemberian pakan dilakukan secara rutin sebanyak dua kali dalam sehari, pemberian pakan yang pertama dilakukan sekitar pukul 08.00 WIB, jenis pakan komersil yang diberikan berupa buah-buahan, sayuran dan pakan khusus untuk primata (monkey chow). Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan akan bahan makanan yang mengandung glukosa, secara umum ternyata Owa Jawa tertarik untuk mengkonsumsi bahan makanan yang memiliki rasa manis dan bermafaat sebagai sumber energi untuk memulai aktivitas hariannya. Pihak pengelola memberikan dalam jumlah yang relatif tidak terlalu banyak yaitu sekitar 2392 g untuk lima individu. Pakan ini ditaruh di kandang dalam dan di cuci terlebih dahulu sebelum diberikan. Sebelum pakan diberikan petugas kandang akan membersihkan kandang inti secara menyeluruh baik melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa pakan maupun membersihkan feses dan urine yang melekat di lantai atau dinding kawat pada kandang. Setelah kandang dibersihkan pakan utama pagi yaitu pakan komersil diberikan pada pukul 08.00. Pakan-pakan ini disimpan di beberapa tempat di dalam kandang. 71
Pemberian pakan selanjutnya dilakukan pada siang hari yaitu pada pukul 14.00 WIB. Pemberian pakan siang ini pun sama dengan pemberian pakan pagi baik jenis pakan, komposisi maupun cara pemberiannya. Pemberian pakan pada siang hari merupakan pemberian pakan terakhir dalam satu hari. Terkadang pada pemberian pakan pada pagi hari petugas memberikan pakan non komersil (daun muda dan pucuk dari tanaman lokal) yaitu daun atau pucuk kemang. Hal ini dimaksudkan sebagai pemenuhan kebutuhan serat yang tinggi. Selama pengamatan pun sering dijumpai aktivitas mengambil daun dari tanaman yang terdapat disekitar kandang oleh Owa Jawa. 5.5.2. Cara Pemberian Pakan Teknik pemberian pakan pada Owa Jawa dilakukan dengan cara yang relatif sama dengan jenis primata lainnya yang terdapat di PSSP. Pemberian pakan komersil berupa buah-buahan, sayuran dan pakan tambahan berupa monkey chow hampir secara keseluruhan diberikan dengan dipotong-potong terlebih dahulu. Untuk pemberian pakan dikandang dalam pemberiannya dilakukan dengan menaruhnya di beberapa tempat di kandang inti yaitu pada keranjang-keranjang kawat berbentuk persegi panjang yang terdapat di dinding kandang, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi persaingan untuk memperoleh pakan dan merupakan salah satu strategi dalam pengelolaan Owa Jawa dalam penangkaran (environmental enrichment). Owa Jawa yang berada dekat keranjang akan mengambil pakan pilihannya terlebih dahulu dilanjutkan dengan pakan yang lain sampai pada pakan yang kurang begitu disukai. Sebelum pakan diberikan seluruh Owa Jawa akan di giring agar masuk ke dalam kandang dalam yang terletak ditengah yang difungsikan sebagai pemisah antara kandang satu dan kandang dua. 5.5.3. Jenis Pakan Pakan primata di alam bervariasi meliputi daun, pucuk, buah, bunga, biji, getah, serangga dan telur. Pemilihan berbagai jenis pakan yang dikonsumsi dengan proporsinya dipengaruhi oleh musim seperti yang diutarakan oleh Chapman & Champan (1990) diacu dalam National Research Council (NRC 2003). Menurut (Bermann & Lindburg 1978) dalam (Sawitri et al. 1998) jenis pakan yang disukai Owa Jawa adalah buah-buahan, daun-daunan, tunas, dan biibijian. Senada dengan pernyataan (Kappeler 1981) makanan Owa jawa terdiri dari 72
buah-buahan dan daun-daunan. Daun merupakan makanan yang penting untuk primata meskipun jarang ada jenis yang memakan daun lebih dari 75% dari seluruh menunya (Jolly 1985). Owa jawa termasuk jenis primata yang banyak memakan buah, terutama buah yang masak karena banyak mengandung gula dan air. Pada dasarnya satwa akan memilih makanan yang banyak mengandung nutrisi. Satwa biasanya tidak akan memilih makanan yang mengandung bahan penyusun yang relatif sukar dicerna dan mengandung komponen seperti tannin dan felonik yang bersifat mengikat protein dan mineral (Fe, Ca, Mg) serta mengandung racun yang berbahaya (Dunbar 1988 dalam Nurcahyo 1999). Persentase makan daun lebih kecil dibandingkan makan buah kemungkinan karena Owa jawa mengalami kesulitan untuk mencerna kandungan serat daun. Daun tua memiliki kandungan protein yang rendah, namun tinggi kandungan serat kasarnya sedangkan buah lebih banyak mengandung vitamin dan karbohidrat. Glittin & Raemackers (1980) dalam Nurcahyo (1999) menyatakan bahwa untuk mengekstrasi daun tua dibutuhkan enzim selulase dan hemiselulase banyak energi yang diperlukan untuk memfermentase pakan tersebut di dalam usus sehingga mampu memecah serat menjadi karbohidrat. Berdasarkan penelitian Kappeler (1984), Hylobathes moloch dalam satu hari rata-rata memakan 59% buah-buahan, 39% daun-daun muda serta tunas daun, 1% kuncup bunga, sebagai tambahan makanan Hylobathes moloch juga memakan serangga, ulat, rayap dan antropoda lainnya. Sebagai primata frugivorus, Owa Jawa memerlukan pakan berupa buahbuahan lebih banyak dari pada jenis pakan lainnya. Pemberian pakan yang diberikan terhadap Owa Jawa yang dikelola di PSSP didasarkan pada pengetahuan terhadap hal tersebut, pihak pengelola telah mengupayakan pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan pakan primata ini di alam, dari 12 jenis pakan yang umum diberikan untuk Owa Jawa, 5 jenis merupakan buah-buahan dan diberikan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan jenis pakan berupa sayuran atau pakan yang telah diformulasikan lihat Tabel 16. Pakan seluruhnya merupakan hasil pakan komersil (buah, sayur dan monkey chow) dengan satu pakan non komersil (daun kemang) namun jarang diberikan hal ini terkait dengan ketersediaan daun muda dan pucuk yang sangat 73
terbatas karena hanya terdapat satu pohon di lingkungan PSSP. Pakan-pakan komersil memiliki komposisi nutrisi yang berbeda dengan daun dan buah yang berasal dari hutan (Nijober et al. 2005; Edwards et al. 1997). Tabel 16. Jenis pakan yang diberikan pada Owa Jawa di PSSP No Nama lokal Nama ilmiah Keterangan 1 Jeruk Citrus sinensis PK 2 Apel Pyrus malus PK 3 Salak Salacca edulis PK 4 Pisang Musa sp PK 5 Jambu biji Psidium guajava PK 6 Wortel Daucus corota PK 7 Buncis Phaseoulus vulgaris PK 8 Kacang panjang Vigna sinensis PK 9 Bayam Amaranthus caudatus PK 10 Kangkung Ipomoea aquatica PK 11 Sawi Brassica juncea PK 12 Monkey chow PK 13 Kemang Mangifera kemanga PNK
% terhadap total 27,62 6,46 2,86 25,08 2,84 2,86 1,16 1,02 7,33 7,91 8,08 6,78 -
Keterangan : PNK = Pakan Non Komersial, diambil bagian daun muda dan pucuk yang didapat disekitar PPS PK = Pakan Komersial/hasil pertanian
Gambar 16.
(a) (b) (a) Pakan sayur dan buah yang diberikan pada Owa Jawa di PSSP (b) Formulasi pakan tambahan berupa monkey chow
Sebagai perbandingan terhadap jenis pakan di PSSP. Pada pengelolaan Owa Jawa rehabilitan di Javan Gibbon Center (JGC) yang telah berhasil melepasliarkan Owa Jawa di Blok hutan Patiwel, pemberian pakannya pun secara umum masih menggunakan berbagai jenis pakan komersil namun tetap dikombinasikan dengan jenis pakan non komersil sebagai bagian dari upaya menyiapkan individu-individu Owa Jawa agar dapat hidup sealami mungkin sehingga kesiapan untuk dilepasliarkan menjadi sangat mungkin dilakukan. 74
Tabel 17. Jenis pakan yang diberikan pada Owa Jawa di JGC No Nama lokal Nama ilmiah Keterangan 1 Jeruk Citrus sinensis PK 2 Apel Pyrus malus PK 3 Salak Salacca edulis PK 4 Pisang Musa sp PK 5 Jambu biji Psidium guajava PK 6 Manggis Garcinia mangostana PK 7 Rambuatan Nephelium lapacceum PK 8 Alpukat Persea americana PK 9 Kedongdong Spondilas cytherea PK 10 Asam Tamarindus indica PK 11 Duku Lansium domesticum PK 12 Markisa Passiflora quadrangularis PK 13 Pir Pyrus bretschneideri PK 14 Bengkuang Pachyrrhizus erosus PK 15 Nanas Ananas comosus PK 16 Semangka Citrullus vulgaris PK 17 Mangga Mangifera indica PK 18 Anggur Vitis vinifera PK 19 Wortel Daucus corota PK 20 Buncis Phaseoulus vulgaris PK 21 Kacang panjang Vigna sinensis PK 22 Bayam Amaranthus caudatus PK 23 Kangkung Ipomoea aquatica PK 24 Sawi Brassica juncea PK 25 Kentimun Cucumis sativus PK 26 Terong Solanum melongena PK 27 Ubi Manihot utillissima PK 28 Jagung Zea mays PK 29 Tomat Solanum lycopersicum PK 30 Daun pepaya Carica papaya PK 31 Beunying Ficus pistulosa PNK 32 Afrika Maeopsis eminii PNK 33 Darangdang Ficus sinuate PNK 34 Hampelas Ficus hampelas PNK 35 Kondang Ficus variegate PNK 36 Bareubeuy badak Rapanea avenis PNK 37 Kokosan monyet Dysoxylum alliaceum PNK 38 Hamirung Vernonea arborea PNK 39 Walen Ficus ribes PNK 40 Rasamala Altingia excels PNK 41 Jirak Symplocos chonchinen PNK 42 Kondang Poikilospermum suaveolens PNK Adapun pakan tambahan yang diberikan pada Owa Jawa rehabilitant yang berada di JGC meliputi susu, bubur sereal, tahu, tempe, telur puyuh, vitamin 75
sakatonik A,B,C dan vitamin vitcom. Berbeda halnya dengan pakan yang diberikan di Perth Zoo (Australia), kebun binatang ini merupakan salah satu kebun binatang terbaik yang berhasil mengembangbiakan Owa Jawa secara sukses, adapun jenis pakan yang diberikan berupa : buah-buahan, sayuran, ayam masak, telur, keju dan pakan suplemen berupa pellet (Collier 1990) (Lampiran 4). Sebagai informasi, Owa memiliki sistem pencernaan sensitif dan memiliki ketidakmampuan untuk mengkonsumsi buah-buahan dengan kandungan asam yang tinggi seperti tomat, anggur, nanas. Buah-buahan tersebut dapat mengakibatkan reaksi fisiologis (misalnya diare, mata membengkak, dll) (Mootnick dan Nyunt-Lwin 1987). Seledri dianjurkan untuk dipotong-potong 5 cm untuk mencegah tersedak (Mootnick 1996). Pakan dengan serat panjang seperti kacang tanah harus dihindari karena dapat menjadi sumber aflatoksin yang bila dikonsumsi dalam jumlah besar dapat menyebabkan kanker hati (Mootnick 1996). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jenis pakan Owa Jawa di Resort Bodogol khususnya kelompok hutan rasamala. Owa Jawa pada kelompok hutan ini hanya terlihat mengkonsumsi empat jenis pohon pakan, yaitu rasamala, puspa, hantap dan liana susu. Adapun presentase pemilihan pakan disajikan pada Tabel 18 dibawah ini. Tabel 18. Presentase jenis pakan Owa Jawa kelompok hutan rasamala No Nama Nama latin Bagian yang dimakan Presentase daerah (%) Daun Bunga Buah 1. Rasamala Altingia √ √ 55,07 excelsa 2. Puspa Schima √ √ 23.59 wallichii 3. Hantap Maeopsis √ 12,47 eminii 4. Liana susu √ 8,87
76
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 17. Jenis pakan Owa Jawa di hutan rasamala (a) rasamala ; (b) puspa; (c) hantap dan (d) liana susu Selama penelitian berlangsung berdasarkan survei di seluruh kawasan Resort Bodogol berhasil mengidentifikasi berbagai jenis pohon pakan baik yang berupa buah-buahan, bunga, daun, kuncup maupun tumbuhan jenis merambat seperti liana atau rotan. Terdapat sebanyak 68 jenis pakan yang berhasil diidentifikasi diseluruh areal Bodogol (Lampiran 1) dari total 97 jenis tanaman (35 famili) yang dimakan Owa Jawa (Lampiran 2). Namun ada beberapa jenis yang berbeda dari penelitian sebelumnya yang menyebutkan total jenis pakan yang ditemukan di Resort Bodogol,sebanyak 97 jenis sehingga kemungkinan masih dapat dibuat daftar jenis baru yang belum masuk kedalam daftar yang telah ada sebelumnya. (Ario 2007) menyebutkan bahwa dari ke 97 jenis pakan tersebut 67,01% Owa Jawa memakan bagian buah, 14,43% memakan bagian daun terutama daun muda dan 18,55% memakan buah dan daun dari satu jenis tanaman tertentu. Rendahnya keanekaragaman jenis pakan yang terdapat di hutan rasamala dengan jenis tumbuhan rasamala sebagai jenis dengan tingkat dominasi yang tinggi menyebabkan kelompok ini lebih teradaptasi memakan daun-daunan atau 77
bunga dari tanaman ini, selain itu belum datangnya musim berbuah tanaman hutan (kelimpahan buah hutan meningkat mulai bulan Juli) yang terdapat diseluruh area Bodogol dan hutan rasamala khususnya kelompok Owa Jawa yang terdapat pada hutan rasamala membuat suatu strategi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik dan biotic di habitatnya. 5.5.4. Pemilihan Pakan Berdasarkan urutan pakan yang dikonsumsi dan proporsi pakan rata-rata yang dikonsumsi, tercatat ada beberapa jenis pakan yang disukai dibandingkan dengan jenis pakan lainnya. Owa Jawa di PSSP memiliki karakteristik pemilihan pakan yang hampir sama antara satu individu dengan indivudu lainnya. Dari kelompok pakan komersil Owa Jawa di PSSP sangat menyukai berbagai jenis buah-buahan terutama jeruk dan pisang serta sayur-sayuran yaitu sawi dan kangkung. Pemilihan ke empat jenis tersebut lebih di sebabkan pada rasa yang manis dan helaian bagian daun pada sayuran yang tidak terlalu tebal sehingga memudahkan dalam proses pengunyahan dan mencernanya. Dalam hal pemilihan pakan sayuran, bagian daun pada sayuran merupakan bagian yang paling disukai sedangkan batang sayuran sering terlihat tidak dimakan dan dibuang. Beberapa jenis pakan setelah kegiatan penyiapan pakan dalam kandang selesai dan diberikan akan segera dikonsumsi sedangkan beberapa jenis lainnya selalu diambil terakhir ketika pakan yang disukai habis. Dari hasil pengamatan dapat diberikan rekomendasi mengenai efisiensi pemberian pakan terutama untuk jenisjenis sayuran hendaknya tidak perlu memberikan seluruh bagian dari jenis sayuran ini, hanya bagian daun dari sayuran yang sudah dipotong dan dipisahkan dari batangnya karena selama pengamatan bagian tersebut tidak dikonsumsi oleh Owa Jawa. Ketika pemberian pakan dikombinasikan dengan pakan non komersil berupa daun kemang, jenis daun ini selalu terambil pertama kali dibandingkan jenis tanaman komersil lainnya. Hal ini mengindikasikan peluang mendatangkan jenis pakan non komersil yang bersifat alami sehingga Owa Jawa yang berada di PSSP menjadi terbiasa untuk mengkonsumsi jenis pakan-pakan tersebut dan pada akhirnya akan sangat mendukung bagi program penyiapan pelepasliaran Owa Jawa di penangkaran ke habitat alaminya. 78
Berdasarkan proporsi pakan rata-rata yang dikonsumsi dan urutannya, tercatat ada beberapa jenis pakan yang disukai yaitu jeruk dan pisang serta sayursayuran seperti sawi dan kangkung (pakan komersil). Selain itu tingkat kesukaan terhadap jenis pakan dapat dilihat juga dari jumlah pakan yang dikonsumsi (100% habis) seperti apel, pisang, salak. Ada pakan tertentu yang dikonsumsi kurang dari 100% tetapi sebenarnya disukai, seperti sayur sawi dan kangkung.
Gambar 18. Beberapa contoh pakan yang tidak habis dikonsumsi Tabel 19. Jenis, urutan pemilihan dan konsumsi pakan pada Owa Jawa di PSSP Nama lokal Urutan pemilihan pakan Rataan konsumsi (gram) Ari Mimis OJ JLO OO Jeruk 1 2 3 2 3 1154,87 Pisang 2 4 4 4 5 1084,70 Sawi 3 1 2 3 2 336,18 Kangkung 7 3 7 9 6 329,17 Bayam 11 9 10 10 10 304,70 Monkey chow 8 6 9 5 9 282,07 Apel 5 7 5 7 4 268,74 Wortel 9 12 11 13 13 119,07 Salak 6 5 8 6 7 118,12 Jambubiji 4 8 6 8 8 71,13 Buncis 12 11 13 11 11 48,16 Kacang panjang 10 10 12 12 12 42,36 Kemang 1 1 1 Keterangan : PNK = Pakan Non Komersial, diambil bagian daun muda dan pupuk yang didapat disekitar PSSP PK = Pakan Komersial/hasil pertanian
79
Tabel 20. Jenis, urutan pemilihan dan konsumsi pakan pada Owa Jawa di Hutan rasamala Nama daerah Urutan pemilihan pakan Rataan konsumsi (gram) ♂ dewasa ♀ remaja anak Rasamala 2 3 2 484,80 Puspa 4 4 4 207,70 Hantap 3 1 1 109,80 Liana susu 1 2 3 78,00 5.5.5. Bagian Pakan yang Dikonsumsi Hasil pengamatan menunjukan berbagai pemanfaatan bagian pakan antara kelompok Owa Jawa di PSSP dan hutan rasamala mulai dari pemanfaatan berupa buah dan kulit, bunga, tunas dan daun, maupun umbi. Tabel 21 menunjukan pemanfaatan dari bagian pakan-pakan tersebut. Tabel 21. Jenis dan bagian pakan yang dikonsumsi oleh Owa Jawa pada kedua kelompok Kelompok Owa Jawa di PSSP Jenis pakan Bagian yang dimakan Bh Bj Kl Dn Ub Jeruk √ Apel √ Pisang √ Jambu biji √ √ Sawo √ √ Wortel √ Sawi √ Kangkung √ Bayam √ Buncis √ √ Kacang panjang √ √ Monkey chow % 46,67 20 6,67 20 6,67
Keterangan : Bh = Buah Bj = Biji
Kl = Kulit Dn = Daun
Kelompok Owa Jawa di hutan rasamala Jenis pakan Bagian yang dimakan Bh Dn Bn Rasamala √ √ Puspa √ √ Hantap √ Lara susus √
33,33 33,33
33,33
Bn = Bunga Ub = Umbi
Sebagai primata pemakan buah, Owa Jawa di PSSP dan hutan rasamala juga banyak mengkonsumsi bagian buah dari pakan baik yang diberikan maupun yang diperoleh secara alami. Proporsi bagian pakan yang dikonsumsi oleh Owa Jawa mengindikasikan karakteristik frugivour dari spesies ini. Biji dan daun merupakan bagian tumbuhan yang dikonsumsi terbesar kedua setelah buah. Beberapa jenis pakan pun dikonsumsi tidak hanya bagian buahnya saja melainkan
80
juga biji, seperti pada jeruk dan jambu biji. Hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Rowe (1996). Pada kelompok hutan rasamala, bagian tumbuhan yang banyak dikonsumsi adalah berupa daun, hal ini berkaitan dengan rendahnya keragaman jenis tanaman pakan dan adanya dominansi jenis rasamala dalam tingkat yang tinggi serta rendahnya kelimpahan pohon pakan yang menyediakan buah karena terbatasnya jenis tumbuh-tumbuhan berbuah pada kelompok hutan ini. Selain itu belum masuknya siklus berbuah dari berbagai tanaman buah yang terdapat di hutan rasamala selama penelitian menyebabkan rendahnya kelimpahan buah dan teradaptasinya kelompok hutan rasamala untuk menyesuaikan kondisi tersebut. Dalam melakukan aktivitas makannnya, Owa Jawa yang terdapat di hutan rasamala banyak mengkonsumsi bagian tumbuhan rasamala terutama daun-daun muda atau bunga dari tanaman ini. Selain rasamala terdapat juga jenis puspa yang cukup disukai bagian tunas atau daun mudanya sehingga selama pengamatan terlihat bahwa bagian tumbuhan berupa daun muda dan tunas dari puspa yang sering dikonsumsi oleh Owa Jawa. Bagian buah dari pohon hantap secara umum dikonsumsi hampir oleh seluruh Owa Jawa yang terdapat pada Resort Bodogol, hal ini terlihat dari aktivitas makan pada beberapa kelompok yang teramati selain kelompok hutan rasamala, yaitu kelompok hutan afrika dan cipadaranten. Jenis tumbuhan dengan bagian berupa buah ini merupakan jenis dengan palatabilitas tertinggi yang teramati selama pengamtan berlangsung. Namun karena rendahnya sebaran pakan berupa buah hantap pada kelompok hutan rasamala menjadikan jenis pakan ini sebagai pakan yang menjadi pilihan kedua bagi Owa Jawa yang terdapat pada hutan rasamala, selain itu rendahnya kemungkinan kelompok Owa Jawa untuk mengeksplorasi hutan disekitarnya menjadi pembatas bagi kelompok ini untuk memanfaatkan jenis pakan tersebut karena adanya mekanisme pembagian teritori dan wilayah jelajah. Alternatif pakan buah pada kelompok hutan rasamala adalah berupa buah pada tumbuhan liana. Buah yang dimanfaatkan oleh Owa Jawa dalam kelompok ini adalah buah yang telah matang (di tandai dengan warna buah yang lebih merah, daging buah tidak keras dan memiliki lebih sedikit getah) dan berukuran besar. 81
5.5.6. Jumlah Pakan yang Diberikan dan Dikonsumsi Jumlah pakan yang diberikan oleh petugas setiap harinya dilakukan dengan kuantitas yang berbeda, hal ini karena pemberian pakan didasarkan pada banyaknya pakan (jumlah persatuan), misalnya 12 buah jeruk, 2 apel, 10 pisang, dan sebagainya. Pemberian pakan tidak didasarkan atas pengukuran bobot pakan per bobot badan Owa Jawa (gram tiap pakan) hanya pada estimasi kebutuhan pakan kelompok Owa Jawa dalam satu kandang. Hal ini juga dilakukan terhadap primata lainnya yang terdapat di PSSP. Dari pengkuran sampel pakan yang dilakukan selama 15 kali pemberian pakan pagi dan siang hari dengan komposisi yang lengkap pada lima individu Owa Jawa (sepasang induk, jantan pradewasa dan betina remaja, serta anak berkelamin jantan) secara kuantitas jumlahnya dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Jumlah pakan yang diberikan per hari (untuk 5 individu Owa Jawa) Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah Rataan STDEV
Jumlah yang diberikan (g) 4.790 4.646 4.843 4.721 4.685 4.615 4.817 4.751 4.735 4.787 4.687 4.738 4.941 4.717 4.740 71.213 4.748 81,12
Sisa (g) 199 179 108 134 118 76 143 127 75 53 111 114 60 71 98 1.666 111,06 41,83
Jumlah yang dikonsumsi (g) 4.591 4.467 4.735 4.587 4.567 4.539 4.680 4.624 4.660 4.734 4.576 4.624 4.881 4.646 4.642 69.553 4.636,87 97,51
Persentase yang dikonsumsi (%) 95,85 96,15 97,77 97,16 97,48 98,35 97,16 97,33 98,42 98,89 97,63 97,59 98,79 98,49 97,93 1.465 97,67 0,88
Persentase yang tersisa (%) 4,15 3,85 2,23 2,84 2,52 1,65 2,88 2,67 1,58 1,11 2,37 2,41 1,21 1,51 2,07 35 2,34 0,88
Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi oleh lima individu Owa Jawa paling sedikit tercatat sebanyak 4.467 g dan terbanyak yaitu 4.881 g dengan rata-rata jumlah yang dikonsumsi sebesar 4.645, 93 g, dari informasi tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi rata-rata sebesar 111,06 g. Jika dihitung berdasarkan persentase rata-rata pakan yang dikonsumsi, maka jumlah terkecil pakan yang dikonsumsi sebesar 95,85% dan terbanyak mencapai 98,89% dengan rata-rata pakan yang dikonsumsi sebesar 97,66%. 82
Presentase pakan tersisa sangat kecil yaitu sebesar 1,11% - 4,15%. Hal ini menunjukan efisiensi tingkat pemberian pakan yang tinggi. Bagian yang tidak dimakan oleh Owa Jawa di PSSP biasanya hanya berupa batang dari bagian sayur yang diberikan atau sepah jeruk yang telah habis sari buahnya dan potongan pisang yang terlalu matang. Walaupun demikian dari hasil pengukuran dapat dilakukan efisiensi sehingga semakin mengurangi jumlah paka yang tersisa, yaitu dengan memberikan pakan yang disukai dan disesuaikan dengan bobot dan umur individu Owa Jawa yang terdapat di dalam kandang. Tabel 23. Konsumsi pakan pada Jawa di PSSP Nama lokal Ari Jeruk 253,4 Apel 46,1 Salak 20,6 Pisang 257,9 Jambu biji 71,3 Wortel 37,2 Buncis 7,5 Kacang Panjang 9 Bayam 20,7 Kangkung 59,8 Sawi 50,2 Monkey chow 52,1 Kemang Total 885,8
masing-masing individu pada kelompok Owa Konsumsi pakan (gram) Mimis OJ JLO 238,7 308,1 221,4 31,3 80,75 64,3 33,6 28,1 18,7 269,5 228,5 224 70,4 70,1 60,3 23,8 15,2 17,8 11,1 9,4 12,5 10 7 8,5 92 60,9 50,4 81,7 60 74 89 88 77 73,5 63 60 1024,6 1019,05 888,9
OO 133,2 46,2 17 108 40,1 25,1 7 8 80,5 54 32 34,5 585,6
Tabel 23 memperlihatkan terdapat beberapa kecenderungan yang signifikan, dimana individu bayi (OO) lebih banyak mengkonsumsi pakan berupa bayam, hal ini disebabkan karena jenis pakan ini merupakan pakan yang relatif mudah dalam proses pengunyahan dan pencernaan dibandingkan jenis pakan yang lain (daun lunak dan tidak tebal). Konsumsi pakan apel yang tinggi pada OJ lebih disebabkan karena rasa buah yang manis dan proses pengambilan pakan yang selalu menjadi salah satu pilihan utama pakan berupa buah-buahan. Pada kelompok hutan rasamala hanya tiga individu yang berhasil diamati konsumsi pakan dalam satu harinya. Pengamatan aktivitas makan dilakukan ketika individu berada dalam masa aktif untuk makan pada pagi yaitu pukul 05.30-11.30 dan dilanjutkan siang pada pukul 13.00-17.00. Dari 24 kali 83
perjumpaan hanya 5 kali perjumpaan yang berhasil mengamati aktivitas makan pada tiga individu Owa Jawa yang berada pada hutan rasamala. Adapun ketiga individu tersebut tergolong dalam jenis kelamin dan struktur umur yaitu jantan dewasa, betina remaja dan anak. Individu betina dewasa dan bayi sulit sekali teramati karena selalu bersembunyi dalam tajuk pohon yang rapat dan berada cukup jauh dengan kelompok (25-50 m), sedangkan untuk jantan pradewasa sulit terlihat karena pergerakannnya yang sangat tinggi. Pengukuran berat daun, bunga dan buah di estimasi dengan berat sampel masing-masing-masing bagian tumbuhan tersebut dikalikan dengan banyaknya konsumsi per individu. Untuk kebutuhan akan pakan pada betina dewasa coba didekatkan dengan jantan dewasa sedangkan untuk betina remaja dan bayi di estimasi masing-masing dengan jantan pradewasa dan anak. Tabel 24. Konsumsi pakan dalam satu hari kelompok hutan rasamala Jenis pakan Rasamala Puspa Hantap Liana susu Total
Bagian yang dimakan Daun, bunga Daun Buah Buah
Berat rata-rata per 1 bagian (g) 1,2 0,9 2,1 318
Konsumsi pakan (gram) ♀ remaja Anak 159,60 226,80 98,40 51,30 34,20 24,30 78,90 109,20 18,70 26,00 39,10 12,90 777,50 409,30 154,30
♂dewasa
Jika diestimasi dengan metode diatas maka untuk satu kelompok Owa Jawa di hutan rasamala mengkonsumsi pakan dalam satu hari untuk jenis daun dan bunga rasamala sebanyak 969,6 g, daun puspa 219,4 g, buah hantap 413,8 g dan liana susu sebanyak 156 g dengan total konsumsi dalam satu hari yaitu 1.776,8 g. Berdasarkan tingkat konsumsi pakan pada kedua kelompok tersebut, secara umum jika mengacu pada (Chivers dan Raemaekers 1986) terdapat perbedaan kuantitas jumlah pakan yang diberikan dan dimakan. Chivers dan Raemaekers (1986) menyatakan bahwa secara umum kuantitas pakan harian yang diberikan pada Owa Jawa di penangkaran memiliki kuantitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan di alam. Di penangkaran kuantitas pakan yang diberikan biasanya berkisar antara 300-800 g dan di alam diperkirakan sekitar 800 g atau lebih. Hal ini berkaitan dengan tingkat aktivitas yang cukup rendah di penangkaran. 84
5.5.7. Komposisi Nutrisi Pakan Owa Jawa termasuk jenis primata yang banyak mengkonsumsi buah dalam dietnya terutama buah yang masak karena banyak mengandung gula dan air. Pada dasarnya satwa akan memilih makanan yang banyak mengandung nutrisi. Pada primata yang terspesialisasi untuk mengkonsumsi dedaunan memperlihatkan beberapa adaptasi gastrointestinal terhadap pakan yang dikonsumsinya, seperti kantung lambung yang besar, adanya kemampuan untuk mengakomodasi mikroorganisme yang membantu proses pencernaan (Hladik 1977, Edwards et al. 1997, Yeager et al. 1997, NRC 2003). Demikian halnya dengan Owa Jawa yang berada di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP), sebagai satwa frugivorus primata ini banyak mengkonsumsi buah-buahan di dalam kandang. Namun secara umum komposisi nutrisi pakan komersil berbeda dengan pakan non komersil, misalnya kadar gula sederhana dan karbohidrat yang tinggi serta kandungan serat yang rendah pada pakan komersil (Edwards et al. 1997). Berbeda dengan Owa Jawa yang terdapat di hutan rasamala (Resort Bodogol) yang lebih banyak mengkonsumsi daun, hal ini disebabkan dan sangat berhubungan dengan musim. Pada musim buah di alam, Owa Jawa akan lebih banyak mengkonsumsi buah dan biji, sebaliknya ketika musim buah berlalu pakan terbanyak biasanya berupa dedaunan seperti terlihat pada saat penelitian berlangsung. Pemberian pakan pada kelompok Owa Jawa di PSSP secara umum tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, pemberian pakan Owa Jawa tidak dipengaruhi musim berbuah, dengan demikian asupan komposisi nutrisinya hampir sama setiap harinya. Owa Jawa di PSSP diberi berbagai jenis pakan yang diketahui komposisi gizinya melalui analisis proksimat. Pakan mengandung protein, serat kasar, lemak dan energi. Keempat komponen tersebut dikatakan tinggi jika kandungannya protein lebih dari 18% dan energi lebih dari 3000 kal/g. Jenis pakan kacang panjang (17,30%) dan monkey chow (15,50%) memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Kandungan energi untuk semua jenis pakan hasil analisis proksimat, kecuali monkey chow menunjukan angka yang rendah yaitu dibawah 3000 kal/g (Tabel 25). 85
Tabel 25. Kandungan gizi pakan Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala Pakan Berat Serat kasar Protein (%) Lemak Energi Kering (%) (%) (%) (kal/g) Jeruk * 12,80 2,40 0,90 0,20 45,00 Apel * 15,90 0,70 0,30 0,40 58,00 Salak * 21,40 0,95 0,40 0,00 77,00 Pisang ** 28,00 4,16 1,20 0,20 286,60 Jambu biji * 14,00 5,60 0,90 0,30 49,00 Wortel * 67,33 2,10 1,20 0,30 42,00 Buncis * 11,10 1,20 2,40 0,20 35,00 Kacang panjang * 87,80 2,50 17,30 1,50 357,00 Bayam * 13,10 0,80 3,50 0,50 36,00 Kangkung * 28,24 1,00 3,00 0,30 29,00 Sawi * 7,80 1,20 2,30 0,30 22,00 Monkey chow ** 87,72 5,18 15,50 5,00 4.386,00 Daun Kemang ** 36,90 10,39 0,80 986,00 Rasamala *** 48,99 14,26 11,31 3,89 2.045,00 Hantap *** 23,17 5,51 11,84 13,67 241,48 Puspa *** 57,80 22,59 7,43 3,29 232,08 Liana susu *** 27,34 17,11 9,98 6,98 190,64 Sumber :* Komposisi zat gizi makanan (Slamet & Tarwotjo 1980), ** Analisis proksimat Divisi Nutrisi TSI (1987), *** Analisis proksimat PAU Hayati IPB (2011).
Estimasi kecukupan gizi Owa Jawa (Tabel 27a,b) dan konsumsi bahan kering diperoleh dari jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan keesokan harinya. Konsumsi zat gizi (protein, lemak) dan energi, dihitung dari berat kering dikalikan dengan data proksimat (Tabel 25). Tabel 26a. Estimasi konsumsi gizi Owa Jawa di PSSP Individu ♂ Dewasa ♀ Dewasa ♂ Pradewasa ♀ Remaja ♂ Bayi
BK (g/Ind/h) 229,37 260,61 236,56 220,70 147,14
Serat kasar (g/Ind/h) 18,23 20,55 19,76 16,44 10,12
Konsumsi zat gizi Protein Lemak (g/Ind/h) (g/Ind/h) 12,24 11,07 15,17 16,34 17,58 14,62 13,86 13,21 9,98 3,02
Energi (kal/Ind/h) (kal/kg/h) 228,43 32,40 312,22 41,63 267,78 37,72 255,60 45,24 147,27 71,84
Tabel 26b. Estimasi konsumsi gizi Owa Jawa di Hutan rasamala Individu ♂ Dewasa ♀ Remaja ♂ Anak
BK (g/Ind/h) 133,23 166,87 70,11
Serat kasar (g/Ind/h) 20,07 23,53 32,58
Konsumsi zat gizi Protein Lemak (g/Ind/h) (g/Ind/h) 13,92 7,01 18,10 9,18 7,36 3,18
86
Energi (kal/Ind/h) (kal/kg/h) 172,55 239,54 103,56 -
Hasil perhitungan menunjukan bahwa Owa Jawa dengan kelas umur dan jenis kelamin berbeda akan mengkonsumsi bahan kering, serat kasar, protein, lemak dan energi yang berbeda. Konsumsi bahan kering, lemak dan energi di PSSP lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Owa Jawa di hutan rasamala. Namun dalam hal konsumsi gizi berupa serat kasar dan protein kelompok hutan rasamala mengkonsumsi zat gizi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Owa Jawa di PSSP. Berdasarkan data bobot badan yang tersedia pada kelompok Owa Jawa di PSSP, dapat diestimasi konsumsi BK pada kelas umur dewasa mencapai 3% dari bobot badan dan 7% dari bobot badan untuk kelas umur anak. Terkait dengan kebutuhan akan energi untuk menunjang aktivitas dan aktivitas bergerak dan lainnya pada kelas umur remaja dan aktivitas reproduksi pada kelas umur dewasa maka total konsumsi energi per bobot badan mencapai 30 - 50 Kal/Kg BB. Khusus untuk pemberian pakan berupa pakan sumber protein tinggi (kacang panjang) di PSSP sebagai sumber protein untuk anak Owa Jawa perlu ditingkatkan, karena jumlahnya masih rendah atau dapat diupayakan pula dengan pemberian tempe dan telur puyuh. Dalam rangka penyiapan pelepasliaran, pemberian monkey chow di PSSP perlu dikurangi, selain itu monkey chow merupakan pakan impor dengan harga yang mahal, sehingga tidak efisien dalam hal biaya, alokasi dana dapat digunakan untuk pemenuhan pakan lainnya dengan kandungan protein atau lemak yang lebih tinggi sehingga angka kecukupan gizi protein dan lemak dapat dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan lemak pada Owa Jawa dapat dilakukan dengan pemberian pakan alternatif berupa buah yang mengandung lemak yang tinggi seperti alpukat atau sawo secara teratur setiap harinya guna menunjang kecukupan lemak untuk reproduksi (hormone steroid). Kedua kelompok menunjukan performa yang baik dalam hal kemampuan reproduksi dan merawat anak, hal ini berarti kecukupan zat gizi pada kedua kelompok ini masih cukup baik. Meskipun Owa Jawa mudah beradaptasi dengan pakan seimbang berupa buah-buahan, sayuran dan protein hewani dalam suatu penangkaran
(Chivers
dan
Raemaekers
1986).
Diet
dalam
suatu
penangkaran/kebun binatang seharusnya tidak hanya memberikan nutrisi basal tetapi harus mencerminkan diet alami (Orgeldinger 1995). Faktor penting dalam 87
rangka penyiapan pelepasliaran adalah melakukan pengenalan dan substitusi secara bertahap berbagai jenis pakan alam pada kelompok Owa Jawa di PSSP. 5.6.
Kelompok Sosial Sebagaimana diketahui bahwa Owa Jawa adalah primata dengan sistem
organisasi sosial berbentuk keluarga (monogami). Dalam kelompok owa terdapat sepasang individu dewasa, termasuk satu bayi (infant) (0-2 atau 2,5 tahun), satu anak (juvenil) (2-4 tahun, pergerakan tetap dipantau induknya), satu remaja (adolescent) (4-6 tahun, ukuran tubuh tidak sama dengan individu dewasa), dan satu pra remaja (sub adult) (lebih dari 6 tahun, pertumbuhan lengkap tapi belum matang kelamin) (Leighton 1986). Berdasarkan hasil pemantauan terhadap kelompok Owa Jawa yang terdapat di PSSP dan hutan rasamala, kedua kelompok ini sudah dalam batas maksimal terkait jumlah individu dalam kelompok. Namun meskipun demikian kerentanan pada kelompok Owa Jawa yang terdapat di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang terdapat di hutan rasamala. Saat ini individu yang terdapat dalam kelompok Owa Jawa di PSSP berjumlah 5 individu dan beberapa bulan kedepan akan bertambah dengan lahirnya individu baru (betina dewasa saat ini dalam masa bunting). Dengan ukuran kandang yang relatif kecil untuk menampung sejumlah individu Owa Jawa tersebut menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya konflik dalam kelompok karena keterbatasan ruang dan faktor lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan yang terfokus pada satu individu jantan remaja yaitu OJ. Saat ini individu tersebut berada dalam struktur umur yang hampir dewasa. Di alam ketika individu sudah mulai memasuki usia dewasa dalam kelompok, maka individu tersebut akan dihalau dari koloni untuk membentuk koloni baru dengan pasangannya (Supriatna & Wahyono 2000; Suyanto 2002). Hal tersebut merupakan bagian dari strategi mempertahankan keberlanjutan spesies ini dari kepunahan serta meminimalkan kemungkinan kawin sedarah antara satu undividu dengan individu lainnya dalam kelompok (keluarga) yang sama. Aktivitas dan Perilaku OJ yang sering memegangi dan memainkan alat genitalnya serta mengejar JLO menyerupai perilaku agonistik yang kenyataannya 88
hanyalah sebuah aktivitas dan perilaku bermain selama pengamatan berlangsung mengindikasikan kesiapan dan keinginan untuk kawin, hal itu senada dengan informasi yang diberikan oleh pihak JGC yang menyebutkan individu yang terlihat sering memegangi organ genitalnya memiliki keinginan untuk kawin. Perlu disadari kemungkinan perkawinan atau aktivitas kopulasi dengan individu sedarah akan sangat besar ketika keterbatasan untuk mendapatkan pasangan kecil bahkan tidak ada sama sekali seperti yang terjadi di Pusat Studi Satwa Primata. Keadaan di PSSP memaksa individu jantan atau betina (OJ dan JLO) yang telah berada pada struktur umur pra dewasa tetap bertahan di dalam kelompok ini akibat keterbatasan jumlah dan luasan kandang. Pembuatan kandang baru atau mendatangkan individu baru adalah salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Terkait dengan manajeman penangkaran pengkayaan berupa kelompok sosial untuk spesies primata adalah suatu hal yang penting, mensosialisasikan satwa dengan sejenisnya atau tidak merupakan bagian dari perilaku berkelompok spesies primata. Namun memutuskan OJ dalam pelepasliaran adalah sebuah peluang yang tidak mungkin dilakukan bukan karena faktor kesiapan yang harus dipersiapkan terlebih dahulu tetapi yang terpenting adalah kondisi medis OJ yang telah diketahui mengidap Hepatitis B sehingga tidak mungkin untuk dilepasliarkan ke habitat alaminya karena kemungkinan zoonosis yang tinggi terhadap Owa Jawa yang ada di alam. Satu hal yang mungkin adalah mempersiapkan individu lain yang hingga saat ini diketahui tidak mengidap penyakit yang sama yaitu OO dan individu baru yang kemungkinan akan dilahirkan nanti untuk dipersiapkan dalam kegiatan pelepasliaran. 5.7.
Penilaian Kesiapan Pelepasliaran Kesiapan pelepasliaran individu dan kelompok Owa Jawa di PSSP
didasarkan pada aktivitas dan perilaku umum yang ditunjukan oleh individu atau kelompok yang berada pada habitat alaminya. Secara khusus penilaian lebih diarahkan pada kesiapan dalam hal bertahan hidup di alam yang sangat ditentukan oleh : 1. Kemampuan untuk memperoleh dan mengidentifikasi jenis pakan alam serta mengolahnya tanpa bantuan manusia, hal ini terkait dengan pentingnya 89
kemampuan perilaku ini dalam kehidupan Owa Jawa, dimana seperti diketahui aktivitas dan perilaku makan merupakan perilaku dengan persentase terbesar diantara perilaku lainnya. 2. Kemampuan melakukan aktivitas sosial terutama mengeluarkan suara, kemampuan untuk berinteraksi melalui aktivitas bersuara dalam kelompok maupun antar kelompok sangat penting sebagai bagian untuk memperetat ikatan dalam kelompok atau menghindarkan konflik diantara kelompok yang berbeda dan menandakan adanya faktor bahaya. Sebagai mana yang telah dilakukan oleh JGC dalam pelepasliaran mereka mensyaratkan individu telah mampu melakukan vokalisasi sebelum diputuskan untuk siap dilepasliarkan. 3. Kemampuan bergerak dari satu pohon ke pohon yang lain atau dari satu bentuk pengkayaan yang menstimulasi individu Owa Jawa untuk selalu berada diatas (lebih bersifat arboreal) dan meminimalisir pergerakan dipermukaan tanah. 4. Kemampuan menunjukan aktivitas seksual (kopulasi) sebelum dilepasliarkan, hal ini berkaitan dengan post released monitoring terhadap sepuluh individu yang dilepaskan pada tahun 1996 hingga 2002, yaitu tiga individu dipindahkan dari lokasi pelepasliaran, tiga individu mati, dan empat individu berpisah. Ravasi (2004) dan Cheyne (2004) menyatakan bahwa ikatan pasangan yang kuat merupakan syarat utama bagi Owa yang dilepaskan. Oleh karena itu, harus dipastikan pasangan yang akan menjalani uji coba pelepasan harus dapat melakukan kopulasi.. Berdasakan keempat kriteria tersebut maka peneliti mencoba memberikan penilaian sederhana terhadap kesiapan pelepasliaran kelompok Owa Jawa yang berada di PSSP. Kemampuan mengidentifikasi, memperoleh pakan sudah dapat ditunjukan dengan mengambil pakan diluar pakan yang diberikan, selama pengamatan sering terlihat aktivitas pemanfaatan tumbuhan sekitar kandang sebagai salah satu jenis pakan yang dapat dikonsumsi, namun untuk proses pengolahan pakan masih sangat bergantung pada keepers. Kemampuan berpasangan dan melakukan kopulasi telah ditunjukan secara baik oleh induk serta berhasil membesarkan keturunannya. Sedangkan aktivitas bersuara belum mampu ditunjukan oleh hampir seluruh individu dalam kelompok, hanya individu anak yang mengeluarkan suara selama penelitian berlangsung. Dalam hal aktivitas 90
bergerak dan berpindah, kelompok Owa Jawa telah mampu melakukan seluruh cara pergerakan, namun perlu dibuat suatu metode untuk meminimalkan perilaku bipedal yang sering terlihat dilakukan oleh OJ dan JLO. Secara umum kelompok Owa Jawa di PSSP hanya mampu menunjukan aktivitas seksual, namun dalam hal aktivitas dan perilaku makan serta bersuara belum menunjukan kesamaan yang signifikan dengan di alam. Selain itu jenis pakan pada kelompok Owa Jawa di PSSP masih berupa jenis pakan komersil yang sangat berbeda dengan pakan yang terdapat di alam. Berdasarkan penilaian terhadap aspek-aspek tersebut maka kesiapan pelepasliaran individu atau kelompok yang terdapat di PSSP masih cukup
jauh sehingga membutuhkan
berbagai tindakan manajeman yang lain. 5.8.
Standar Desain Manajeman Penangkaran PSSP Design penangkaran diarahkan pada penyiapan individu, pasangan atau
kelompok menuju pelepasliaran. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembuatan desain penangkaran, kesemua faktor yang menentukan perencanaan ditentukan berdasarkan pengetahuan dasar yang diperlukan oleh individu-individu Owa Jawa sehingga dapat bertahan hidup ketika dikembalikan pada habitat alaminya. Secara umum desain dibagi kedalam tiga sistem perencanaan, yaitu perencanaan tapak dalam hal ini terkait pengkayaan lingkungan kandang dengan berbagai perangkat lainnya, perencanaan manajeman pakan dan kelompok dan perencanaan manajamen kesehatan. Beberapa permasalahan terkait aktivitas dan perilaku, pakan dan kelompok sosial menjadi dasar dalam pembuatan desain ini. 1.
Perencanaan tapak Pembuatan kandang baru amerupakan alternatif terbaik untuk mengatasi
ukuran populasi yang semakin bertambah atau dengan mempertinggi atap kandang. Namun hal lain yang terpenting ketika hal tersebut tidak dapat dilakukan adalah dengan mulai memisahkan individu (OJ atau JLO) pada kandang lain secara permanen sehingga akses untuk pindah pada kandang lain menjadi tertutup. Populasi mulai dibagi menjadi dua, pengupayaan didatangkannya individu baru sebagai bagian dari upaya pembentukan kelompok baru perlu diusakan. Beberapa
91
bentuk pengkayaan lingkungan dapat ditambahkan pada kandang penangkaran. Penambahan bentuk pengkayaan lingkungan tersebut dapat berupa : a.
Penambahan aksen-aksen seperti bambu, batang pohon yang melintang secara horizontal dengan ukuran yang cukup besar di kedua kandang dimaksudkan untuk membiasakan Owa Jawa untuk melakukan pergerakan pada bentuk batang pohon atau melakukan istirahat pada bentuk pengkayaan tersebut
b.
Penumbuhan tumbuhan bawah pada lantai kandang dengan pemotongan tinggi tumbuhan bawah secara teratur, hal ini dimaksudkan untuk dapat meminimalkan pergerakan bipedal beberapa individu pada lantai kandang.
c.
Peletakan perangkat auditory pada kandang, upaya memperdengarkan rekaman suara individu Owa Jawa di alam perlu dilakukan sebagai bagian dalam proses pembelajaran sehingga diharapkan melalui proses ini setiap inividu akan mencoba meniru stimulus tersebut.
d.
Penanaman pohon pakan disekitar kandang, pohon pakan diprioritaskan berupa jenis buah-buahan hutan yang dapat dimanfaatkan buah dan daunnya. Pada ketinggian tertentu dilakukan maintenance dengan melakukan pemotongan pada cabang-cabang pohon tertententu sehingga pertumbuhan tajuk akan lebih mengarah ke kandang dan Owa Jawa dalam kandang dapat meanfaatkan jenis tumbuhan tersebut sebagai pakan melalui pengambilan pada sela-sela kawat kandang.
2.
Manajeman pakan Terkait dengan manajamen pakan, pengaturan pemberian pakan komersil
dan non komersil harus segera diupayakan. Pengaturan pemberian pakan kedua jenis ini secara rutin dilakukan dengan maksud meningkatan proporsi konsumsi pakan non komersil pada Owa Jawa dari waktu ke waktu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan : a.
Mengurangi kuantitas pemberian pakan komersil menurut ritme waktu tertentu. Sebagai contoh pada tahun pertama dan kedua pemberian pakan non komersil dapat diupayakan dengan mencampurnya pada jenis pakan komersil. Perbandingan pakan komersil dan non komersil adalah 75% pakan komersil dan 25% pakan non komersil. Memasuki tahun ketiga dan 92
keempat, proporsi pemberian pakan komersil dan non komersil dibuat sama yaitu 50% pakan komersil dan 50% pakan non komersil. Pada tahun ke lima proporsi dibuat terbalik, pemberian pakan dilakukan dengan membalik proporsi pakan seperti tahun ke satu dan kedua. Namun pemberian pakan tambahan seperti vitamin perlu juga diupayakan. b.
Pemberian pakan dilakukan sealami mungkin, pembelajaran dilakukan dengan meminimalisir penyiapan pakan oleh petugas. Sebagai contoh pada tahap pertama jenis pakan-pakan yang memiliki kulit buah dibiarkan masih mengandung kulit buah, setengah kulit dikupas dan setengahnya lagi dibiarkan aktivitas pemotongan terhadap pakan tetap dilakukan. Pada tahap selanjutnya, kulit buah dikupas sedikit atau tidak sama sekali, pemotongan pakan tidak dilakukan dan pakan dibiarkan dengan ukuran sebenarnya. Namun sebelum masuk pada tahap-tahap tersebut, sebaiknya dicobakan penggunaan alat simualsi seperti peletakan pakan dalam kotak atau botol berisi air, hal ini dimaksudkan untuk melihat dan membiasakan pembelajaran mengolah pakan dengan cara mengambil pakan pada kotak tertutup atau botol air tersebut.
c.
Pengupayaan penggantian formulasi pakan berupa monkey chow dilakukan dengan pakan hidup berupa serangga, namun sebelum mencobakan pakan berupa serangga tersebut, hendaknya penggantian pakan dicobakan dengan membuat formulasi pakan yang mudah didapatkan, misalnya pemberian pakan yang tinggi akan kandungan protein nabati berupa tempe dan telur puyuh (protein hewani).
d.
Penimbangan bobot pakan sebelum diberikan hendaknya dilakukan berdasarkan kebutuhan kualitas dan kuantitas pakan perbobot badan individu Owa Jawa.
3.
Manajeman kesehatan Pemantauan kesehatan individu terutama bagi individu yang hingga saat ini
diketahui negatif hepatitis harus lebih diprioritaskan, hal ini terkait dengan ketidaklayakan individu Owa Jawa yang memiliki penyakit seperti hepatitis untuk dilepasliarkan ke habitat alaminya.
93
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Kesimpulan dari kegiatan penelitian ini adalah : 1.
Urutan aktivitas yang ditunjukkan oleh kelompok Owa Jawa yang terdapat di PSSP dan hutan rasamala hampir sama, namun aktivitas bersuara rendah pada kelompok Owa Jawa di PSSP. Perbedaan perilaku lain yang signifikan adalah perilaku bergerak, beberapa Owa Jawa di PSSP sering melakukan pergerakan secara bipedal (Individu OJ dan JLO) dan hal ini jarang terjadi pada Owa Jawa di hutan rasamala. Proporsi terbesar aktivitas dan perilaku di PSSP dan hutan rasamala yaitu pada aktivitas dan perilaku makan, dengan presentase mencapai 15,63-39,72% di PSSP dan 15,43-42,57% di hutan rasamala. Aktivitas dan perilaku terendah yaitu pada aktivitas bersuara, dengan presentase aktivitas dan perilaku bersuara di PSSP (00,14%) dan di hutan rasamala mencapai (0-0,75%).
2.
Jenis pakan yang paling disukai di PSSP yaitu jeruk dan di Hutan rasamala yaitu daun rasamala. Konsumsi bahan kering (BK), lemak dan energi di PSSP lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Owa Jawa di hutan rasamala. Namun dalam hal konsumsi gizi berupa serat kasar dan protein kelompok hutan rasamala mengkonsumsi zat gizi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Owa Jawa di PSSP. Berdasarkan data bobot badan pada kelompok Owa Jawa di PSSP, dapat diestimasi konsumsi BK pada kelas umur dewasa mencapai 3% dari bobot badan dan 7% dari bobot badan untuk kelas umur anak. Konsumsi energy pada kelas umur remaja dan dewasa mencapai 30-50 Kal/kg BB, kebutuhan ini untuk menunjang aktivitas harian remaja serta aktivitas reproduksi pada kelas umur dewasa. Walaupun demikian kedua kelompok ini masih menunjukan kecukupan zat gizi, hal ini tampak dari kemampuan tumbuh, reproduksi dan merawat anak (menyusui).
94
3.
Kesiapan pelepasliaran individu atau kelompok yang terdapat di PSSP masih membutuhkan berbagai tindakan manajeman yang lain untuk siap dilepasliarkan terkait aspek perilaku, pakan dan kesehatan.
6.2. Saran Saran yang dapat diberikan sebagai pertimbangan dalam rangka program pelepasliaran Owa Jawa ke habitat alaminya dalam manajeman PSSP adalah : 1. Perumusan mengenai tujuan program yang diusung harus jelas, lebih dititik beratkan pada breeding atau release program atau kombinasi dari kedua program tersebut. Jika merupakan kombinasi keduanya, hendaknya disiapkan sedini mungkin proses pengenalan pakan, kelompok sosial dan aktivitas dan perilaku bersuara bagi individu muda (OO dan calon anakan lainnya) seperti manajamen di Javan Gibbon Center. 2. Pemantauan kesehatan individu terutama bagi individu yang hingga saat ini diketahui negatif hepatitis harus lebih diprioritaskan, hal ini terkait dengan ketidaklayakan individu Owa Jawa yang memiliki penyakit seperti hepatitis untuk dilepasliarkan ke habitat alaminya. 3. Individu OJ dan JLO harus dipisahkan satu dengan lainnya termasuk dengan kelompoknya. Pembuatan kandang baru merupakan salah satu solusi terbaik untuk meminimalisir kemungkinan inbreeding (perkawinan sedarah) antara dua individu ini atau konflik sosial dengan kelompok lainnya. 4. Perumusan desain penangkaran dengan tujuan pelepasliaran diarahkan pada aspek-aspek kesiapan bertahan hidup dialam. Desain dibuat melalui tiga sistem perencanaan, yaitu manajeman perencanaan tapak dalam hal ini terkait pengkayaan lingkungan, manajeman pakan dan kelompok serta manajeman kesehatan.
95
DAFTAR PUSTAKA
Alexander B K, Hall A S and Bowers J M. 1969. A primate coral. J Am Vet Med Assoc. 155 : 1144-1150. Alikodra HS, Yasuna S, Santoso N, Soekmadi R dan Suzanna E. 1990. Studi ekologi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb 1781) di Hutan Lindung Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi tahun 1989/1990. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Animale Welfare Act. 1985. Title 9 Code of Federal Regulations. Part 1 Definations, Part 2 Regulations Effective October 31, Part 3 Standars Effective March 18,1991. Ario A. 2010. Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jakarta. Conservation International (CI) Indonesia. Atmoko SSU, I M Wedana, H Oktavinalis, E Bukharie. 2008. Survey to update population and distribution estimastes of Javan Gibbon. The Gibbon’s Voice. 10(1). Asquith NM. 2001. Misdirection in conservation biology. Journal Conservation Biology. 15 (2) : 345-352. Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. New York: Wiley. Baker, LR. 2002. Newsletter of the re-introduction specialist group of IUCN’s Species Survival Commission (SSC) 21: 33 hlm. Bartlett TQ. 2003. Intragroup anf intergroup social interaction in white handed gibbon. International Journal of Primatology (24) No. 2. Bismark. 1986. Perilaku bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) dalam memanfaatkan lingkungan hutan bakau di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur [thesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bloom K and Cook M. 1989. Environmental Enrichment: Behavioural Responses of Rhesus to Puzzle Feeders. Lab Anim, 18 : 31-33. Breukeur C. 1996. Rehabilitated White-Handed Gibbons (Hylobates lar) on Ko Boi Yai, Thailand. Australia : Department of Zoology Institute of Evolutionary and Ecological Science, Leiden University. 96
Campbell C, Andayani N, Cheyne S, Pamungkas J, Manullang B, Usman F, Wedane M, Traylor-Holzer K. 2008. Indonesian Gibbon Conservation and Management Workshop Final Report. IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN : 95 hlm. Cheyne, SM. 2004. Assesing rehabilitation and reintroduction of captive-raised gibbons in Indonesia [disertation]. England : University of Cambridge : xviii + 23 hlm. Chivers DJ, JJ Reamakers and FPG Aldrich-Blake. 1975. Long term observation of siamang behaviour. Folio Primatologica 23 : 1-49. Chivers DJ. 1980. The siamang in Malaya a field stud tropical rain forest. New York.
y of a primate in
Chivers, D.J. and Raemaekers, J.J. (1986). Natural and synthetic diets of Malayan gibbons. In: Primate ecology and conservation:Volume 2. J.G. Else & P.C. Lee. (eds.). pp 39-56.Cambridge University Press. Collier, J. (1999). A review of diets for captive gibbons. Internal Perth Zoo submission. Duma Y. 2007. Kajian habitat, tingkah laku dan populasi kelawat (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Edwards MS, Crissey SD and Offedal OT. 1997. Leaf Eating Primates : Nutrition and Dietry Husbandary. Nutrition Advisory Group. San Diego. Geissmann T. 2002. Taxonomy and evaluation of gibbon. http://www.interscience.willey.com. Diunduh pada tanggal 4 Agustus 2009. Geisman T, Eyring SB, Heuck A. 2005. The male song of Javan Gibbon (Hylobates moloch). Journal Contribution to Zoology 7 (1/2). Hladik CM. 1977. A comparative study of feeding strategies of two sympatric species of leaf monkeys : Presbytis senex and Presbytis etellus. PLondon. Academic Press. In : Primate Ecology (TH Clutton-Brock eds.) 324-353. Iskandar E. 2007. Habitat dan populasi Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1797) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). 97
Iskandar F. 2008. Habitat dan populasi Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1797) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango jawa Barat. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Islam MA, MM Feeroz. 1992. Ecology of Hoolock Gibbon of Bangladesh.Journal Primatas. 33: 451-464. Dalam Iskandar E. 2007. Habitat dan populasi Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1797) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). IUCN. 2008. Hylobates moloch (Silvery Javan Gibbon). www.iucnredlist.org . di unduh tanggal 1 Oktober 2009. Jolly A. 1985. The evolution of primate behaviour. Second Edition. United State of Chicago, America. Kappeler M. 1984. Diet and feeding behaviour of Moloch gibbon. Dalam Preuschoft H. et.al. Editor. Evolutionary and Behavioural Biology. Edinburgh University press. Pdf file. Kartono AP, Prastyono & I Maryanto. 2002. Variasi aktivitas harian Hylobates moloch (Audebert, 1978) menurut kelas umur di Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Berita Biologi Vol 6 (1) : 67-73 hlm. Ladjar LN. 1996. Aktivitas harian dan penggunaan habitat pada keluarga Owa Jawa liar (Hylobates moloch) di Cikabiki, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat [skripsi]. Jakarta : Universitas Nasional. Leighton M. 1986. Gibbons; teritoriality and monogamy. Primate Societie. Chicago and London : The University of Chicago Press : 135-145 hlm. Leighton M. 1987. Gibbons; teritoriality and monogamy. Primate Societie. Chicago and London : The University of Chicago Press. Martin P, Bateson P. 1993. Measuring Behaviour. Volume 2. London : Cambridge University Br. Mittermeier RA, J Ratsimbazafy, AB Rylands, L Williamson, JF Oates, D Mbora, JU Ganzhorn, E Rodríguez-Luna, E Palacios, EW Heymann, M C M Kierulff, L Yongcheng, J Supriatna, C Roos, S Walker, and JM Aguiar. 2007. Primatas in Peril: The world’s 25 most endangered primatas, 2006 – 2008. Journal Primata Conservation 22: 1 – 40
98
Mootnick, A. R., Haimoff, E. H. & Nyunt-Lwin, K. (1987). Conservation and captive management of hoolock gibbon in the Socialist Republic of the Union of Burma. AAZA 1987Annual proceedings. 398 . 424. Mootnick, A. R. (1996). Captive management and the reproduction of the Pileated Gibbon (Hylobates pileatus) at the International Center for Gibbon Studies, California. International Zoo Year Book 35. Napier JR dan Napier PH. 1967. A Hand Book of Living Primatas: Morphology, Ecology and Behaviour of Nonhuman Primatas. London: Academy press. National Institute of Health. 1985. Guide for The Care and Use of Laboratory Animals. DHEW Publ No (NIH) 85-23, pp.1-83. Committee on Care and Use of Laboratory Animals of The Insitute of Laboratory Animal Resources, U.S. Dept of Health and Human Services, Public Healt Services. National Institute of Health, Bethesda, M D. National Research Council. 2003. Nutrient Requirements of Nonhuman Primates, 2 nd Revised Edition. The National Academic Press, Washington D.C. http//www. nap.edu. Nijman V. 2004. Conservation of the Javan Gibbon Hylobates moloch: Population estimates, local extinctions and conservation priorities. Makalah dalam The Raffles Bulletin of Zoology 52 (1): 271-280. Nijober J. Dierenfeld ES, Yeager CP, Bennet EL, Bleisch W and Mitchell AH. 2005. Chemical composition of Southeast Asian Colobine foods. New York. Wildlife Conservation Society. Norder, H. et al. (1996). Complete sequencing of a gibbon Hepatitis B virus genome reveals a unique genotype distantly related to the chimpanzee Hepatitis virus. Virology 218: 214-223. Nowak RM. 1999. Primatas of the World. Baltimore: The John Hopkins University Press. Nurcahyo A. 1999. Studi perilaku harian siamang (Hylobates syndactylus) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Wildlife Conservation Society Indonesia Programme : 71-76 hlm. Orgeldinger, M. 1995. Feeding captive siamangs: A nutritional analysis and some proposals to enhance feeding in a more natural manner. International Zoo News. 42 (4):223-235.
99
Perez AP and Vea JJ. 2000. Allogrooming behavior in Cercocebus torquatus : the case for the hygienic functional hypothesis. Primates 41 (2) : 199-207. Personal communication, Iskandar. 2011. Primate Research Center, Bogor, Indonesia. Purwanto Y. 1992. Studi habitat Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Pusat Studi Satwa Primata (PSSP). 2011. Kondisi kesehatan Owa Jawa di PSSP. Tidak dipublikasikan. Bogor. Indonesia. Ravasi D. 2004. Phuket’s forest sings again. The Gibbon Rehabilitation Project, Phuket : ii + 97 hlm. Rinaldi D. 1999. Food preference and habitat utilization of Javan Gibbon (hylobates moloch) in Ujung Kulon National Park, West Java. [Tesis]. Gotingen: Georg-August University Gotingen Germany. Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to The Living Primatas. New York: Pogonian Press. Sajuthi, D. 1983. Satwa primata sebagai Hewan Laboratorium. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sawitri R, Abdullah SM, Bismark. 1998. Studi populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) dan upaya pelestarian di Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan Vol 612 : 15-26 hlm. Smuts BB, Cheney DL, Seyfarth RM, Wrangham RW and Struhsaker TT. 1987. Primate Societies. The University of Chicago Press. Soerianegara I, A Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Supriatna J. 2006. Conservation program for the endangered Javan Gibbon (Hylobates moloch). Primata Conservation, 21: 155-162 Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan: Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
100
Supriatna, J. J. Manangsang, L. Tumbelaka, N. Andayani, M. Indrawan, L. Darmawan, S.M. Leksono, Djuwantoko, U. Seal, and O. Bryers. 2001. Conservation Assessments and Management Plan for the Primates of Indonesia: Final Report. Conservation Breeding Specialist Group (SS C/ IUCN), Apple Valley, MN. University of California, Davis. 1979. Rhesus Monkey Housing, in Comfortable Quarters for Laboratory Animals. pp.32-33. Animale Welfare Insitute, Washington DC. Walpole RE. 1995. Pengantar statistik, Edisi Ke-3. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Wolff, A., and Rupert, C. 1991. A practical assessment of a nonhuman primate exercise program. Lab. Anim. 20(2):36-39. [TNGGP] Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2005. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Review). Cibodas : TNGGP.
101
LAMPIRAN
Lampiran 1. Ukuran dan komposisi kelompok Owa Jawa di Resort Bodogol tahun 2003-2007 No
Kelompok
2003 Komposisi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 2 anak
1
Kanopi
∑ 4
∑ 5
2
Rasamala
4
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak
4
3
Afrika
2
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa
3
4
DAM
2
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa
3
5
Pinus
3
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 bayi
6
Cipayairan
3
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak
2004 Komposisi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak 1 bayi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak
∑ 4
2005 Komposisi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak
∑ 4
4
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak
5
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 bayi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak
2
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa
2
3
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak
3
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak
3
3
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak
3
102
2006 Komposisi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak
∑ 5
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak 1 bayi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa
5
3
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak
4
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak
3
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak
4
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak
4
1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 bayi
4
3
2007 Komposisi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak 1 bayi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak 1 bayi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 bayi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak 1 bayi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 bayi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 bayi
No
Kelompok
2004 Komposisi 7 Cipadaranten 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak 1 bayi 8 Tangkil 3 1 ♂ dewasa 4 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak 1 remaja 1 bayi Sumber : Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (2007) ∑ 4
2003 Komposisi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak
∑ 5
∑ 4
4
103
2005 Komposisi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 bayi
∑ 4
4
2006 Komposisi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak
∑ 4
3
2007 Komposisi 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 remaja 1 anak 1 ♂ dewasa 1 ♀ dewasa 1 anak
Lampiran 2. Jenis pakan Owa Jawa di Resort Bodogol No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Jenis Afrika Angrit Bareubeuy Bareubeuy badak Beleketebe Bisoro Campaka Gunung Cangcaratan Hamerang Hamerang Badak Hamirung Haruman Huru Huru Batu Huru bodas Huru gemblong Huru koneng Huru leksa Huru leuer Huru manuk Huru payung Huru peucang Janitri Janitri badak Janitri leutik
Nama Latin Maesopsis eminii Neonuclea lanceolata Rapanea haselteii Rapanea avenis Sloanea sigun Ficus laevicarpa Plater latefolia Nauneoplea optusa Ficus alba Ficus globosa Verminia arborea Pithecelobium montanum Phobea grandis Litsea tumentosa Neolitsea javanica Litsea diversifolia Litsea angulata Litsea resinosa Persea excelsa Litsea mapossea Litsea volianthra Elaeocarpus pierrei Elaeocarpus stipularis Acronychia punctata
Famili Rubiaceae Myrsinaceae Myrsinaceae Elaeocarpaceae Moraceae Magnoliaceae Rubiaceae Moraceae Moraceae Asteraceae Fabaceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Elaeocarpaceae Elaeocarpaceae Elaeocarpaceae
104
Lokasi Pertemuan Bodogol v v v v v v v v v v v
v v
v
Bagian yang di makan Buah Daun v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
No. 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
Nama Jenis Jirak Jirak leuteuk Karembi Kawoyang Kiara Kibancet Kibangkong Kientah Kihujan Kijebug Kijeruk Kikopi Kileho Kimerak Kiputri Kiracun Kisampang Kisauheun Kiseuer Kitambaga Kitambiang Kiteja Kokosan monyet Kondang Kondang beuying Kopo
Nama Latin Symplocos javanica Symplocos fasciculata Omalantus papulnea Pygeum latifolium Ficus infoluceratus Turpinia montana Turpinia saephaerocarpa Gordonia excelsa Engelhardia spicata Polyosma integrifolia Acronycia laurifolia Hypobathrum frutescens Sauraija pendula Eurya javanica Podocarpus neuriifolia Macropanax dispermum Evodia sarmentoda Orophea hexandra Antidesma tetrandum Eugenia cuprea Celtis timorensis Daphiniphylum glaucescens Dyxocylum aleaceum Ficus variegata Ficus fistulosa Eugenia densiflora
Famili Symploceae Symploceae Euphorbiaceae Rosaceae Moraceae Saxisfragaceae Saxisfragaceae Theaceae Juglandaceae Saxisfragaceae Rutaceae Rubiaceae Sauraniaceae Theaceae Podocarpaceae Araliaceae Rutaceae Annonaceae Euphorbiaceae Myrtaceae Ulmaceae Daphniphyllaceae Meliaceae Moraceae Moraceae Myrtaceae
105
Lokasi Pertemuan Bodogol v v v v v
v v v v v v v
v v v
Bagian yang di makan Buah Daun v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
No.
Nama Jenis
52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76
Kupa landak Kurai Leungsir Manggong Manglid Mereme gunung Muncang Cina Nagsi Pasang Pasang batu Pasang gunung Pasang kayang Pingku Pisitan monyet Puspa Rasamala Riung anak Salam gunung Saninten Soka Suren Teureup Totongoan Tunggeureuk Walen
Nama Latin Trema orientalis Pomitea sp Macaranga rhizinoides Magnolia blumei Ochidion cyrtostilum Ostodes paniculata Vellebrunia rubescens Lithocarpus pallidus Quercus induta Quercus spicata Quercus pseudomolucca Dyxoxilum axcelsum Dyxocsilum aliaceum Schima walichii Altingia excelsa Castanopsis javanica Eugenia clavimirtus Castanopsis argentea Toona suren Artocarpus sp Debregia sp Castanopsis tunggurut Ficus ribes
Famili Meliaceae Meliaceae Euphorbiaceae Magnoliaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Urticaceae Fagaceae Fagaceae Fagaceae Fagaceae Meliaceae Meliaceae Theaceae Altingiaceae Fagaceae Myrtaceae Fagaceae Meliaceae Moraceae Urticaceae Fagaceae Moraceae
106
Lokasi Pertemuan Bodogol v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Bagian yang di makan Buah Daun v v v v v v v v v v v v v v v v
v
v v
v v v
v v v v v
Lampiran 3.
Hasil uji Chi-Square alokasi penggunaan waktu berdasarkan tipe aktivitas dan perilaku pada kelompok Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala
Aktivitas dan Perilaku
Nilai χ2 hitung
Berpindah Makan Sosial Bersuara Grooming Bermain Beristirahat dan Tidur
23,872 10,273
0,05 11,071 11,071
0,01 15,086 15,086
38,514 33,617 10,171 9,4513
11,071 11,071 11,071 11,071
15,086 15,086 15,086 15,086
Hasil
Nilai χ2 tabel
: Nilai χ2 hitung > χ2 tabel ; keputusan Terima H1 Nilai χ2 hitung < χ2 tabel ; keputusan Terima H0
Dengan derajat bebas (DF) = (b-1) (k-1); dalam hal ini b adalah jumlah baris (kelas umur) dan k adalah jumlah kolom (jenis aktivitas)
107
Lampiran 4. International studbook keeper (Husbandry Manual for the Javan Gibbon (Hylobates moloch)).
Appendix satu Program pemberian pakan - kuantitas makan per hewan. Unit-gram Waktu
Pagi
Item pakan
Buah
Penyiapan
Tanpa jeruk
Daun Pellets
Sore
Sayuran
Menyediakan berbagaicam puran sayuran mentah. Menyediakan hijauan,terutama brokoli & paprika. Semua sayuran akar diberikan mentah.
Bobot /Hewan (gm`s)
Total Bobot(gm`s) RF2
300g
Gibbons 3.1.0 1.2 kg
40g
160g
300g
1.2 kg
25g 1 or 30g
100g 4 or 120g
Mencari
Mencari
Potong seledri tidak lebih dari 5cms. Hati domba/ayam Telur atau keju
No Beetroot. Hati domba/ayam dimasak Dimasak/dikupas
Mencari Lain-lain: air segar tersedia di setiap saat.
108
Appendix dua Pellet Primata: Bahan Jelai, lupi, gilingan, oat, bungkil kedelai, gandum, ragi,sukrosa, molasse,dikalsium fosfat, lucerne, metionin, daging, garam, vitamin/mineral premiks. Diproduksi menjadi pelet dengan diameter : 8 mm. Analsis perhitungan : Protein Phospor Lemak Garam Serat kasar Energi metabolisme Kalsium
17.5% 0.6% 4.4% 0.7% 9.6% 9.4mj/kg 1.0%
Komposisi Amino Acid Lysine 0.86% Methionine 0.38% Cystine 0.24% Threonine 0.61% Tryptophane 0.21%
Leucine Isoleucine Arginine Tyrosine Phenylalanine
1.1% 0.64% 1.4% 0.55% 0.95%
Penambahan Vitamin dan Mineral per Kilogram Vitamin A 20,000IU Vitamin D Vitamin E 200mg Vitamin K Vitamin B12 60ug Vitamin C Nicotinic Acid 50mg Calcium Pantothenat Folic Acid 4mg Riboflavin Thiamine 12mg Biotin Pyridoxine 12mg Copper 32mg Iron Magnesium 200mg Manganese Selenium 0.2mg Zinc Molybdenum 1.0mg Iodine
109
4,000IU 4mg 325mg 40mg 12mg 200ug 1.0mg 140mg 120mg 1.0mg