STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN IRIGASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL Dr. Gede Sandiasa, S.Sos, M.Si1 1
staf edukatif pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Panji Sakti
Abstraksi Sistem irigasi berbasis kearifan lokal, peran dan fungsi ―subak” sebagai sosio agraris religius mengalami degradasi dan kinerja sistem irigasi subak penting menjadi perhatian bagi kebijakan pemerintah dengan melaksanakan prinsip-prinsip good governance, dalam mendorong potensi dan keterlibatan kelembagaan subak, guna meningkatkan hasil pertanian dan kesejahteraan masyarakat petani. Keberhasilan dalam mencapai tujuan kebijakan irigasi adalah menyangkut kemampuan dalam menyusun strategi kebijakan antara lain 1) membentuk Subak Gede dan menyusun awig-awig (peraturan subak) dengan berlandaskan pada Trihita Karana; 2) memperkuat awig-awig; (3) melaksanakan rapat evaluasi rutin; dan 4) melakukan pengembangan organisasi dan usaha pendukung. Di samping itu juga dipengaruhi oleh kemampuan kelembagaan subak dalam menjawab tantangan dan hambatan dihadapi dalam sistem irigasi yaitu: 1) tingkat pendidikan petani yang rendah berpengaruh pada upaya pemeliharaan dan manajemen sistem irigasi, serta pengembangan usaha ekonomi pertanian, 2) menurunnya sinergitas pemerintah akibat ditiadakannya fungsi sedahan agung yang berfungsi menangani permasalahan-permasalahan subak dan 3) alih fungsi tanah yang tidak dapat dikendalikan. Refleksi terhadap kebijakan publik di masa mendatang, adalah terwujudnya kebijakan yang berbasis harmoni, yaitu harmoni manusia pada keyakinan dan kepercayaannya, harmoni hubungan manusia dengan manusia, harus dipahami sebagai gerakan moral, upaya mengangkat martabat manusia dan harmoni hubungan manusia dengan lingkungan alamiah, bahwa seluruh tujuan kebijakan ditujukan pada upaya penyelamatan lingkungan hidup dan alamiah, yang dapat memberi kemanfaatan bagi seluruh kehidupan manusia dan mahluk lainnya Kata-kata Kunci: Kebijakan, sistem irigasi, subak, kearifan lokal 1. Pendahuluan Kebijakan menjadi acuan dan pedoman dalam upaya melakukan perbaikan dan mencari solusi terhadap sejumlah persoalan masyarakat. Namun seringkali produk kebijakan publik, tidak dapat menyentuh akar persoalan yang dihadapi dan diinginkan oleh masyarakat, tetapi lebih nampak pada upaya mengisi kekosongan politik dan mengandung muatan-muatan politik, yang sebenarnya semata-mata bertujuan untuk mempertahankan konstituen dan menempatkan kelompok di atas kepentingan publik. Parsons (1981) mengungkapkan bahwa ilmu kebijakan adalah Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 2
pengetahuan dari masyarakat yang mempersiapkan cara-cara hidup yang lebih baik ―a way of making it better‖. Proses merajut pengalaman-pengalaman kebijakan sebagai dasar untuk mereformulasi kebijakan akan melahirkan kebijakan publik dengan cara pandang baru, semangat baru, antusiasm baru, optimistik yang berorientasi pada masa depan, kreatifitas baru dan menambah komitmen pada publik (Indiahono, 2009). Selanjutnya keberhasilan suatu kebijakan disebabkan oleh dua faktor yaitu: (1) kualitas dari kebijakan yang dapat dilihat dari substansi kebijakan yang dirumuskan dan (2) adanya dukungan strategi kebijakan yang dirumuskan (Abidin, 2012). Di samping itu sinergitas di antara para aktor yang terlibat juga berpengaruh pada keberhasilan pelaksanaan kebijakan, seperti pendapat Anderson bahwa:, ―redistributive policies involve deliberative effort by the government to shift the allocation of wealth, income, property, or rights among broad classes or groups of the population” (Anderson, 1979). Hal ini memungkinkan terjadinya penciptaan jaringan di seluruh sektor-sektor yang menghasilkan nilai publik (Morse, 2007), serta mendorong kebijakan yang memungkinkan pihak swasta dan lainnya terlibat dalam menangani masalah-masalah yang ditangani kebijakan. ―Democracy of local government...in term of (local) governance refers to a more or less polycentric system in which a variety of actors are engaged in local public decision making process” (Stoker et al.,2011). Reformasi kebijakan di bidang pertanian di Indonesia telah dilakukan melalui berbagai kebijakan penting baik langsung maupun tidak langsung menangani pertanian, yang mana kebijakan ini mendukung asumsi bahwa sektor pendukung utama pembangunan dan perekonomian bangsa Indonesia adalah hasil pertanian. Namun demikian keberuntungan tidak selalu berpihak kepada masyarakat petani, dan hasil reformasi di segala bidang belum mampu mensejahterakan serta memberi pelayanan yang terbaik bagi masyarakat sebagai citizen‟s. Bahkan menurut Mollingga menyebutkan bahwa bangunan kebijakan pertanian disebutkan “dominate Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 3
as a form of production and merchant capital continued to „drink the blood of the peasant”(Mollinga, 2010). Demikian juga di Bali pembangunan hotel dan perluasan airport, peningkatan sampah plastik, limbah dan polusi udara; salinasi pada air bawah tanah; pengambilan air pertanian untuk dijual ke hotel dan lapangan golf; konversi lahan produktif – seringkali lewat tekanan dan intimidasi menjadi fasilitas pariwisata; dan keterlibatan pemerintah dalam memfasilitasi proyek‖ (Warren, 1996). Dalam RPJPD Provinsi Bali Tahun 2005-2025 diakui beberapa persoalan yang dihadapi petani Bali, yaitu: luas lahan rata-rata yang diusahakan oleh petani sangat sempit yaitu di bawah 0,38 ha, berpengaruh pada rendahnya pendapatan Rumah Tangga petani, terjadinya penurunan lahan pertanian pertahun mencapai 28 ha, 80 % tingkat pendidikan petani adalah sekolah dasar berdampak pada rendahnya penguasaan teknologi pertanian, selanjutnya meningkatnya masalah kelangkaan air untuk irigasi, bahkan hampir di semua kabupaten di Bali (Sutantra, 2009). Namun kondisi yang demikian, tidak membuat terpuruk sektor pertanian di Bali secara drastik, hal ini disebabkan oleh daya dukung kelembagaan sistem irigasi yang dikenal dengan sebutan subak. Subak sebagai alat keirigasian yang nampak sangat sederhana, adalah merupakan salah satu organisasi petani pemakai air yang paling canggih di seluruh dunia Ambler (1990). Fungsi utama subak secara tradisional adalah distribusi air ke sawah dan pemeliharaan kuil serta persembahan pada Tuhan (Parker, 2003). Subak sebagai kearifan lokal keberadaannya perlu diatur dengan peraturan pemerintah yang merupakan salah satu produk kebijakan publik, soal mengatur tentang irigasi, di mana secara nasional mendapat pengakuan dalam UU No. 2004 tentang Sumberdaya Air dan UU No. 11 tahun 1974 tentang pengairan, yang menghargai kearifan budaya lokal (UU No. 41 2009, tentang PLPPB), termasuk pengakuan secara langsung bahwa subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosio agraris religius, pada PP No. 23 tahun 1982 tentang Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 4
irigasi, serta penguatan juga dilakukan melalui
Perda No. 2/PD/DPRD/1972,
tentang Sistem Irigasi Bali, yang telah diperbaharui dengan Perda No. 9 tahun 2012, tentang subak. Dengan demikian subak telah menjadi bagian dari kepentingan pemerintah daerah Bali, sehingga penting membuat aturan dalam bentuk kebijakan publik, yang ditujukan untuk memperkuat keberadaan dan eksistensi subak sebagai lembaga
yang
menjalankan
tatakelola
sistem
irigasi
serta
meningkatkan
kemampuan dalam melayani kepentingan masyarakat petani.
2. Kebijakan Publik Hadirnya UU Otonomi daerah 22 tahun 1999 sampai dengan UU 25/2099 tentang perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah upaya pemerintah untuk dapat mempercepat pelaksanaan pembangunan dan upaya pemberdayaan secara merata di seluruh daerah, hal ini diperkuat oleh pendapat Andrisani ―upaya memperkuat dan pemberdayaan yang lebih luas dari pemerintah daerah untuk mengatasi masalahmasalah lokal dan mulai menawarkan isu-isu kebijakan" (Andrisani, 2002 p.11). Kewenangan untuk mengelola potensi daerah secara maksimal makin terbuka, namun demikian tantangan yang dihadapi daerah tidaklah begitu mudah untuk dapat memenuhi kepentingan daerah, dengan berbagai persoalan di daerah, kepentingan personal, kepentingan berskala daerah, kepentingan keseimbangan dengan kemajuan kompetititor di daerah lain turut menjadi perhitungan dalam mengelola daerah. Kinerja pemerintahan daerah dapat terlihat dari upaya gigih pemerintah daerah dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, melalui kewenangan dalam menyusun kebijakan, sebagai instrumen dalam mencapai tujuan bersama, instrumen dalam mewujudkan tingkat kepatuhan aktor-aktor kebijakan. Pembuatan kebijakan adalah merupakan kombinasi dari keputusan-keputusan dasar, komitmenkomitmen dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh mereka yang memegang Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 5
posisi pemerintahan atau berpengaruh (Gerston, 2002). Dengan demikian arah dan tujuan kebijakan pemerintah sebagai kebijakan publik adalah bagaimana dapat mewujudkan pemberdayaan pada masyarakat, sehingga mampu meningkatkan kapasitas kelembagaan mereka dalam upaya mencapai kesejahteraan bersama. Menurut Edward III, Friedrick mendefinisikan kebijakan publik sebagai ―serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pejabat pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat hambatanhambatan (kesulitan-kesulitan)
dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-
kesempatan) terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Islamy, 2014). Di sisi lain David Easton memberikan pengertian kebijakan publik merupakan pengalokasian nilai-nilai secara paksa dan sah kepada seluruh anggota masyarakat (Santosa, 2008). Kalau disimak dari beberapa pengertian di atas eksistensi dari kebijakan pemerintah terjadi apabila apa yang dihasilkan output maupun outcome dari kebijakan pemerintah mampu mencerminkan agregasi nilai yang ada di masyarakat, dan pengalokasiannya dapat diterapkan dengan nyata demi kepentingan semua kelompok, individu maupun pemerintah, berkenaan dengan permasalahan yang diselesaikan. Hal tersebut senada dengan pendapat Anderson (1979) yang menyatakan bahwa, semua kebijakan publik dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perilaku manusia dalam beberapa cara, untuk mendorong orang untuk bertindak sesuai dengan aturan yang amanatkan pemerintah atau tujuan negara.
3. Kearifan Lokal dalam Menjamin Ketertiban dan Harmoni dalam Masyarakat Kearifan lokal adalah adat kebiasaan dalam masyarakat yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai budaya berdasarkan hasil inovasi lokal, yang dapat dimanfaatkan secara maksimal dan diarahkan secara positif dalam berbagai bentuk dan upaya untuk mengatasi persoalan (Supadi, 2009). Di samping itu kearifan lokal Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 6
akan tetap membimbing masyarakat sepanjang zaman (Hidayat & Vidjanarko, 2008 h. 548). Sebuah kearifan lokal biasanya mencakup perawatan ketertiban dalam kehidupan di antara manusia dengan penguasa tunggal, di antara manusia dengan para arwah leluhurnya, di antara sesama, di antara manusia dengan alam bumi dengan segala isinya, dan di antara manusia dengan cakrawala yang melingkupi bumi. Dengan demikian sebuah kearifan lokal merupakan rumusan jati diri (identify) masyarakatnya. Jati diri ini mencakup visi, misi, dan nilai-nilai dalam kehidupannya, nilai-nilai itu pulalah yang dapat dipetik untuk upaya kelanjutan berkehidupan dan berpenghidupan dengan sesama dan sekaligus sebagai upaya pemeliharaan lingkungan hidup berbasis kearifan lokal yang memiliki makna universal. Ketertiban (cosmos) pada suatu sistem akan memancarkan nilai keindahan yang didukung dan dibentuk oleh suatu keteraturan. Keindahan itu menyimpan banyak informasi, sehingga pola-pola interaksi di antara beragam subsistem dengan ukuran dapat berlangsung secara proporsional, seimbang, serasi dan harmonis (Sulistyo, dkk., 2010 h. 13). Kerangka kerja subak mengandung nilai-nilai yang terkandung dalam konsep kearifan lokal. ―the local wisdom subscribed by the Balinese, that life must be I accordance with the changing environment, and that happiness can only be achieved if the life is in balance, a concept locally known as „Tri hita karana” (Pitana, 2010 p. 139). Berbagai konsep nilai dan budaya mewarnai pelaksanaan aktivitas subak,
agar dapat terlaksana dengan baik, dan mampu meningkatkan upaya
pencapaian kesejahteraan petani, perlu memiliki strategi yang tepat. Menurut Schneider & Barsoux (2003) proses strategi berkaitan dengan budaya adalah meliputi membangun tim (building a team); memilih tehnik komunikasi yang tepat (choosing how to communicate); memperkuat partisipasi (eliciting participation); penanganan
konflik
(resolving
conflict);
dan
evaluasi
kinerja
(evaluating
performance). Strategi ini, sangatlah tepat dipergunakan dalam melakukan kajian Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 7
pada implementasi kebijakan pemerintah pada subak yang memiliki kekentalan dalam dimensi kebudayaan. Selain itu subak juga melaksanakan fungsi ekonomi dan manajemen organisasi yang sangat luas, seperti pandangan Geertz sebagai berikut: “the subak organized the economic resources of company of peasants-land, labor, water, technical know-how, and, to a rather limited extent, capital equipmentinto an astonishingly effective productive apparatus‖ (Geertz, 1980 p. 50). Dengan berbagai pemahaman di atas dapat disampaikan bahwa subak sebuah organisasi irigasi yang dapat ditinjau dari lima dimensi, yaitu (1) dimensi sosial, religius dan budaya, yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan irigasi penuh nilai spiritual keagamaan, sebagai basis dari berkembangnya budaya yang dilaksanakan dalam suasana sosial yang harmonis dan dinamis, (2) dimensi ekonomi bahwa kelembagaan subak ini selain berbasis ekonomi pertanian, juga melaksanakan kegiatan ekonomi dan pengelolaan keuangan mikro, (3) dimensi politik, bahwa proses pengaturan dan manajemen pengelolaan sistem irigasi dan pengairan melibatkan
proses
demokrasi
deliberasi
yang
dapat
menghasilkan
politik
pengaturan air dan sumberdaya manusia dalam mengelola sistem irigasi (4) hukum dan kepercayaan adalah menyangkut penerapan sanksi dan distribusi air berdasarkan kepercayaan dan hukum lokal yang diterapkan oleh pengurus subak (kelian subak) berdasarkan persetujuan bersama dan (5) dimensi ekologi dan agraris, bahwa dalam mengelola sistem pertanian dan irigasi selalu berupaya menjaga lingkungan dan keberlangsungan sistem pertanian, melalui cara-cara pengelolaan alamiah dan ramah lingkungan.
4.
Strategi Implementasi Kebijakan Irigasi Berbasis Kearifan Lokal Kemampuan mentransfer komitmen dalam pelaksanaan kebijakan, yang
didukung oleh kemampuan dalam memahami data kebutuhan, adanya pembagian tanggungjawab yang jelas dan sistem pemantauan, didukung oleh pelaporan yang Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 8
baik, para pemegang kebijakan penuh tanggungjawab dan akuntabel, menurut Gerston (2002), dapat berpengaruh besar dalam implementasi kebijakan publik. Dengan demikian penyusunan strategi dalam upaya pelaksanaan kebijakan subak menjadi penting, yang telah disusun secara bottom up,
dan dilaksanakan pula
dengan cara yang sama, sehingga rasa memiliki dan tanggungjawab bersama menjadi kental sebagai ciri dari kebijakan subak ini. Menurut Brinkerhoff dan Crosby (2002), menyebutkan bahwa strategi adalah menyangkut 4 hal, yaitu (1) pengembangan kesepakatan dan sejumlah sasaran kebijakan; (2) evaluasi internal dan eksternal, (3) mengembangkan opsi-opsi dan strategi; (4) melaksanakan dan monitoring. Subak dapat menunjukkan keadaan bahwa adanya konsistensi dalam proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan, yaitu melalui keputusan bersama yang di ambil dengan model musyawarah mufakat ―deliberasi” (Habermas dalam Hardiman, 2009, Winarno, 2007, & Rostboll 2008), melalui media paruman, dan pelaksanaan serta monitoring dilakukan dengan sangkepan rutin setiap 35 hari, untuk penanganan hal-hal tertentu dapat dilakukan sangkepan secara insidental menurut kebutuhan, seperti jadwal pembinaan dari pemerintah, pelaksanaan lomba, perbaikan-perbaikan saluran yang bersifat urgen dll. Strategi pertama, yang
dikembangkan oleh subak adalah mengatur
pembagian air melalui Subak Gede (gabungan subak) dan menyusun awig-awig (peraturan subak) yang berlandasakan tri hita karana, yaitu (1) ―parhyangan” yaitu harmoni hubungan manusia dengan Tuhannya yang bersangkutan dengan persembahan dan tempat suci, yang dapat berfungsi pengendalian perilaku petani melalui proses religius spiritual dan keagamaan, (2) ―pawongan” adalah harmoni hubungan manusia dengan manusia dalam hal ini berkaitan dengan keanggotaan subak, dan (3) ―palemahan”, yakni harmoni manusia dengan lingkungan alamiah, yaitu wilayah sistem irigasi dan lahan sawah yang menjadi garapan. Proses Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 9
pengaturan dan distribusi air ini, lepas dari pengaruh intervensi Negara, di mana masyarakat petani mengawali dengan mencari sumber air, membuat saluran dan mengawasi serta memelihara saluran irigasi, bentuk bangunan sebagian besar adalah semi teknis. Sebagai strategi kedua adalah memperkuat fungsi awig-awig, berdasarkan pengalaman dan perjalanan panjang masyarakat melakukan pengaturan dan pembatasan perilaku individu dalam batas-batas kesopanan dan norma yang bisa diterima oleh individu maupun kelompok lainnya. Sebagai bentuk budaya dan pengetahuan yang dimiliki dan dilindungi, selalu dikembangkan agar masyarakat lokal memiliki poisisi tawar yang kuat terhadap negara, maka nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan itu dibakukan dan dirumuskan dalam bentuk peraturan-peraturan dalam rangka mengelola sumberdaya, agar memperoleh manfaat yang adil dan saling menguntungkan, memerlukan keterlibatan para pemilik pengetahuan lokal tersebut, hal ini dapat mendukung hasil penelitian Talaat, dkk (2012). Melalui metode acces and benefit sharing (ABS) masyarakat melakukan 1) menetapkan identifikasi nilai-nilai dan otoritas yang berlaku, 2) menginventarisasi pengetahuan lokal dan 3) membentuk pengaturan dan prosedur yang tepat. Pengaturan dalam bentuk awig-awig ini tidak dapat berjalan secara otomatis, dan berlanjut apabila tidak ada upaya-upaya yang mengarah pada pemberlakuan dan penguatan awig-awig. Dalam hal penguatan awig-awig
dilakukan beberapa
langkah, yaitu: (1) menempuh proses formal yaitu pengesahan dari pejabat daerah, dimaksudkan untuk memperoleh legitimasi dan penguatan secara hukum yang tidak saja dapat diberlakukan pada anggotanya, tetapi hendaknya juga diketahui dan dipahami oleh masyarakat secara umum, yang dapat bersentuhan langsung dan memiliki kepentingan akan keberadaan subak. Penguatan kedua adalah adanya sinkronisasi aturan subak dengan subak lainnya, dan dengan subak gede, dengan demikian dalam penerapan aturan adanya kemiripan pelaksanaan bagi subakProsiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 10
subak yang bersinggungan, atau yang akan melaksanakan kerjasama dalam skala yang lebih besar. Langkah ketiga adalah penerapan awig-awig, evaluasi pelaksanaan dan penyesuaian-penyesuaian, yang dapat dilaksanakan melalui media pertemuan rutin, yang disebut dengan sangkepan. Adanya pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh anggota, maupun pihak lain, ketidaksinkronan aturan dengan perkembangan permasalahan yang ada dievaluasi setiap 35 hari, yang dapat melakukan penerapan sanksi dan revisi-revisi guna mengarahkan bentuk aturan yang tidak kaku dan dapat disesuaikan dengan perkembangan permasalahan yang ada, serta bertujuan menghasilkan kebijakan yang lebih baik di masa mendatang. Strategi Ketiga, melaksanakan rapat evaluasi secara rutin, pelaksanaan paruman atau sangkepan secara rutin setiap 35 hari, memberi manfaat antara lain: terjadi proses pengambilan keputusan secara langsung dan demokrasi, melalui proses pembelajaran publik, dan upaya meningkatkan rasa memiliki serta tanggungjawab yang tinggi dari para anggotanya, mengatur keterlibatan tingkat lokal dalam pengelolaan air secara berkelanjutan (Heer & Jenkins, 2012). Hal ini disukung oleh hasil penelitian Hoogesteger (2012), di mana para pengguna air, bekerja secara efektif melalui demokrasi dalam manajemen air, dengan menggunakan kekuatan aktor-aktor pada grassroot. Keterlibatan semua anggota dalam proses pengambilan keputusan dalam rangka implementasi dan monitoring awig-awig sebagai instrumen utama kebijakan subak dapat dipahami sebagai langkah pemberdayaan public, dalam rangka membangun kapasitas anggota, yang dapat mendukung kegiatan subak maupun pengelolaan sistem pertanian yang mereka geluti. Terdapat beberapa prinsip yang dilaksanakan oleh subak dalam melaksanakan aktivitas membangun kapasitas ini, yang dapat diambil dari pendapat Eade 1997 (dalam Bevir 2011) antara lain:
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 11
1) Meskipun menjadi komunitas terpinggirkan selalu memiliki cara dan kapasitas dalam menangani berbagai persoalan yang dapat dikembangkan. 2) Dapat mengidentifikasi kebutuhannya sendiri, memiliki aspirasi dan kemampuan untuk memilih masalah untuk diselesaikan dengan cara mereka sendiri. 3) Mampu menempatkan setiap komponen pendukung sebagai agen perubahan, dengan memanfaatkan potensi dan kemampuan anggota. 4) Membangun kolaborasi dan kerjasama dengan pihak yang diinginkan dengan metode partisipasi, sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. 5) Mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan guna dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi. 6) Segala proses pengembangan kapasitas dilakukan untuk memungkinkan setiap individu dapat mengembangkan potensi, berada dalam proses belajar untuk ikut bertanggungjawab mengembangkan modal sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, melalui pengembangan jejaring sosial, ekonomi dan budaya yang ada. Sebagai strategi keempat adalah melakukan pengembangan organisasi dan usaha. Era keterbukaan dalam mengelola sumberdaya alam, pada sektor agraria dan khusus manjemen pengelolaan air, tidak saja dapat diarahkan pada upaya pengelolaan air pertanian yang efisien dan efektif, tetapi juga mengarah pada kegiatan masyarakat lokal dalam membentuk ketahanan pangan, menjaga kualitas lingkungan dan sumber penghidupan (Mahapatra & Mitra, 2012). Dalam hal ini subak tidak saja melakukan kegiatan yang bersangkutpaut dengan distribusi air, tetapi sudah meluas pada sumber-sumber atau peluang kehidupan yang lebih luas, dalam rangka menjaga kualitas lingkungan dan kehidupan petani. Adanya berbagai kelompok, baik yang dibentuk langsung oleh subak terkecil dari subak),
seperti tempekan (bagian
kelompok ternak, KWT (kelompok wanita tani), Simantri
(system pertanian terintegrasi), Gapoktan (gabungan kelompok tani) dan Koperasi Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 12
Tani, maupun kelompok yang dibentuk oleh perkumpulan anggota sendiri, seperti suka-duka (kelompok sosial), skaa manyi (kelompok panen), skaamula (kelompok tanam), skaa santhi (kelompok paduan suara) adalah upaya untuk dapat mempercepat tercapainya peningkatan usaha dan kesejahteraan petani di segala bidang. Kelompok-kelompok ini menghadirkan dimensi ―ekonomi dan sosial‖ yang memungkinkan rumah tangga
petani
menghasilkan
“income‖
yang
cukup
mendukung peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian (Lorenzen & Lorenzen, 2011), serta dapat menggali potensi dan memberikan akses yang cukup kepada
keluarga
petani,
dalam
bidang
ekonomi
dan
pelayanan
sosial
kemasyarakatan. Berbagai kegiatan ekonomi dapat dilakukan oleh organisasiorganisasi ini, seperti simpan-pinjam, pengelolaan ternak, pengolahan pupuk, saprodi dan lain-lain kebutuhan yang bersifat konsumtif, sangat membantu kebutuhan keluarga petani. Hal ini sesuai dengan pendapat Todaro dengan menyebutnya
sebagai ―complimentary
imputs”,
seperti
irigasi,
pemupukan,
penanganan hama ―insecticides”, kredit dan pengembangan pertanian lainnya (1990) dan Geertz menyebutnya sebagai ―capital equipment” (1980, p. 50). Di bidang
pelayanan
sosial
kemasyarakatan
tidak
kalah
pentingnya,
dalam
penyelenggaraan tenaga gotong-royong, yang dapat berupa tenaga dan material untuk
kebutuhan
upacara
keagamaan,
senantiasa
berjalan
secara
berkesinambungan dalam bentuk kelompok yang dinamakan skaa suka-duka.
5. Awig-Awig Sebagai Refleksi Pola Pengaturan layanan Secara Komprehensif Selanjutnya di dalam kebijakan subak dalam bentuk awig-awig (peraturan subak) peraturan pemerintah baik dari pemerintah pusat, menyangkut tatakelola air dan berkaitan dengan hak ulayat, serta esensi dari kebijakan daerah terakomodasi dan dituangkan dalam isi dari awig-awig subak yang juga merupakan cerminan dan implementasi dari kebijakan pemerintah,
yang berlandaskan kearifan lokal
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 13
masyarakat petani. Awig-awig memiliki landasan pelaksanaan kebijakan yang kuat, dan spesifik di mana dalam setiap perumusan kebijakan melalui proses sangkepan (musyawarah mufakat), implementasi dan berbagai proses lainnya, selalu mengedepankan 1) harmoni antara petani dengan Tuhannya dalam rangka meningkatkan keyakinan dan sujud bhakti pada yang pencipta, yang dapat mendorong rasa percaya diri, sikap jujur dan tanggungjawab terhadap semua mahluk, termasuk keselamatan tanaman dan ternak peliharaannya; 2) harmoni antara manusia dengan manusia yang menghadirkan sikap tolong menolong, kerjasama dan gotong royong, dan 3) harmoni dengan lingkungannya, yang menghadirkan tata kelola lingkungan yang bersih, lestari dan menjaga keselamatan wilayah irigasi dan lahan. Prinsip tatakelola kebijakan dalam keberimbangan dan harmoni ini dikenal dalam masyarakat Bali sebagai Trihita Karana (Yuliana, 2010). Keberdayaan subak yang secara politik memiliki otonomi yang luas dalam mengatur pola hidup dan kewilayahan perlu dipertahankan dan dilestarikan, yang dapat mendorong kehidupan masyarakat yang harmoni dalam dimensi ruang, waktu dan rasa bhaktinya terhadap Sang Pencipta alam semesta. Penerapan awig-awig (peraturan subak) bagi pelanggarnya selalu dikaitkan dengan pendekatan spiritual dan sanksi pengurangan hak terhadap penggunaan air. Dimensi-dimensi yang dapat ditampilkan dan dijamin dalam awig-awig adalah (1) nama dan batas-batas wilayah, (2) maksud dan tujuan dari dibentuknya organisasi subak merupakan sasaran dan tujuan kebijakan subak
dan juga
yang telah ditetapkan melalui
mekanisme pengambilan keputusan deliberasi dan model bottom up; (3) menyangkut tata kelola keanggotaan meliputi cara pengambilan keputusan, rekruitmen
dan
pemberhentian
anggota,
pengangkatan/penetapan
dan
tanggungjawab pengurus, pola penyampaian informasi dan komunikasi, asset dan sarana subak yang harus di pertangungjawabkan dan dirawat oleh anggota; (4) penyelenggaraan kegiatan keagamaan, menyangkut tanggungjawab terhadap Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 14
sejumlah pura, pelaksanaan upacara di pura yang ada, dan penyelenggaraan upacara keagamaan lainnya termasuk upacara yang diselenggarakan secara pribadi di rumah masing-masing anggota, yang memerlukan keterlibatan dari seluruh unsur subak. Sebagai hal yang terpenting yang diatur dalam awig-awig adalah persoalan tentang tata kelola persubakan, tata kelola wilayah kerja dan hubungan antar wilayah sawah yang berdekatan, pembagian dan pengaturan air, penanaman dan aturan tanam, upaya pengendalian hama penyakit dan aturan-aturan yang menyangkut pemeliharaan ternak yang berada di wilayah persawahan, yang intinya tidak merusak tanaman, atau mengganggu lingkungan yang lain di wilayah lahan pertanian. Berbagai permasalahan baik yang akan timbul dan maupun sudah terjadi juga menjadi bahan terapan di dalam awig-awig, penanganan terhadap berbagai pelanggaran terhadap aturan, melalui penerapan sanksi dan proses penanganan permasalahan tertera dengan jelas dalam awig-awig. Dimensi motivasi dan bentuk dorongan moril bagi para menganutnya, senantiasa dirumuskan dan diakui dalam awig-awig, hal ini memberi dampak pada meningkatnya motivasi kerja dan fungsi awig-awig dengan menumbuhkan goodwill pada pada petani dan dapat menghindari denda (Ricoer, 2003). Aspek yang ingin disampaikan dan diterapkan dalam awigawig
ini adalah (1) terjadi jaminan kepastian tentang pola pembagian hak dan
kewajiban bagi setiap anggota yang terlibat; (2) adanya pedoman untuk bertindak dan melakukan kegiatan di subak maupun pola kehidupan sehari-hari dalam kaitan pengelolaan lahan pertanian, yang selalu mengacu pada kepentingan bersama dan berlandaskan pada keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa; (3) sebagai langkah kemajuan persyaratan untuk melakukan kerjasama dan kemitraan dengan pihak luar maupun dalam mengakses berbagai program yang dikembangkan oleh pemerintah. Dan (4) Membangun tingkat kepatuhan pada semua anggota maupun pengurus, bahkan pihak lain yang meyakini bahwa proses Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 15
yang terjadi dan dilakukan subak selalu mengkaitkan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Aturan-aturan subak secara tertulis maupun tidak tertulis yang masih diberlakukan, merupakan rasionalisasi dari berbagai aturan secara turun-temurun yang mendapatkan penyesuaian-penyesuaian selama kurun waktu berjalan. Dalam hal ini disebut sebagai ―powerful institutional rules” (Powell & DiMaggio, 1991), merupakan manisfestasi mitos atau keyakinan yang selalu berusaha dirasionalisasi dalam kehidupan kelompok, terutama yang terlibat di lahan pertanian basah.
6. Tantangan dan Hambatan Kebijakan Subak di Masa Mendatang Kendala yang pertama dihadapi subak dan anggotanya adalah: tingkat pendidikan dan usia petani yang tidak mendukung kebertahanan petani. Mindsite para petani sulit dikembangkan dan beradaptasi pada setiap program yang dikembangkan pemerintah, bantuan pemerintah berupa sarana-prasarana untuk mendukung kemajuan subak tidak bisa dikelola secara mandiri dan maksimal. Hal ini dapat berpengaruh pada melemahnya berbagai aktivitas yang ditujukan untuk mengangkat kesejahteraan petani, yang dapat disebabkan beberapa hal berikut: 1) Lemahnya kemampuan sumberdaya pengurus, baik dari sisi manajemen keuangan maupun manajemen anggota, keterbatasan waktu pengurus (kerja paruh waktu). 2) Keinginan belajar anggota terhadap berbagai kegiatan seperti sekolah lapang pertanian, kegiatan berkoperasi masih sangat rendah; 3) Rendahnya kemampuan lembaga-lembaga bentukan subak seperti sekaa, koperasi dan gapoktan dalam melayani anggota. 4) Pengetahuan dan kesadaran anggota tentang perkoperasian masih rendah; 5) Banyaknya penyedia layanan jasa keuangan yang bersaing dengan koptan
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 16
6) Sumberdana yang dimiliki anggota terbatas, dan bertumpu pada kegiatankegiatan non produktif, seperti piodalan, dan bangunan fisik. Dengan demikian kebijakan yang telah disusun untuk menopang kebijakan sistem irigasi melalui pengembangan berbagai kegiatan di subak, belum efektif dan berpotensi menimbulkan persoalan baru, seperti penanganan kredit macet, yang dapat menambah beban kerja pengurus subak, di sisi lain berbagai kegiatan pengembangan subak belum tersurat dalam awig-awig subak. Ketersentuhan rasa dan tanggungjawab sosial serta ekonomi masyarakat petani menjadi penting, ketika pemerintah melaksanakan sosialisasi program-program pembangunan. Rasa memiliki, keterkaitan antara kebutuhan yang dirasakan oleh petani, tingkat pemahaman akan program, dan pendekatan teknologi, yang dipahami oleh petani tidak dijauhkan dari pola kerja yang telah digeluti selama ini, mesti menjadi bahan kajian dalam setiap program pemerintah. Masyarakat memiliki pemikiran dan tindakan yang rasional yang tidak melibat pada persoalan yang rumit, tapi sederhana dapat dijangkau dan tidak menjauhkan petani dengan lingkungan kerjanya. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan memberi dampak positif bagi anggota, antara lain: a) anggota subak diberikan kesempatan untuk dapat berdiskusi langsung, berkenaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi, b) dapat memperoleh informasi langsung dari sumbernya, baik dari tenaga penyuluh maupun dari pengurus, c) dilibatkan dalam pembagian tugas dalam rangka melaksanakan kegiatan rutin, keagamaan, dan pelaksanaan program pemerintah dan gotong-royong; d) merencanakan penggunaan dana, suku bunga uang dan lain sebagainya. Model deliberasi pengambilan keputusan melalui sangkepan yang merupakan ―outonomous managerial decision” (King & Stiver, 1998), memungkinkan setiap orang untuk terlibat, saling tukar menukar informasi, terjadinya saring pendapat Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 17
bahkan resources, di samping itu dapat menimbulkan rasa kepercayaan yang tinggi dan rasa memiliki terhadap sistem yang telah mereka bangun sebagai ―local committee system” (Anderson, 1979). Sebagai permasalahan kedua, adalah tergerus dan menurunnya peran pemerintah akibat ditiadakannya fungsi sedahan agung (lembaga pemerintah yang menangani berbagai persoalan subak) berdasarkan Perda No. 2/PD/DPRD/1972, tentang Sistem Irigasi Bali. Kewenangan sedahan agung ini, juga menyangkut pengusulan anggaran, baik yang dipergunakan untuk kepentingan tugas Sedahan Agung, maupun kepentingan para subak yang ada di wilayahnya, dengan demikian peran Sedahan Agung bagi kepentingan subak adalah sangat penting, dan lengkap serta satu pintu. Sedangkan realitas pengelolaan subak sekarang ditangani secara terpisah, dari dinas-dinas yang ada di kabupaten, yang membawa konskwensi sebagai berikut: 1) Terdapat permasalahan yang lepas tidak tertangani oleh lembaga pemerintah secara baik, seperti potensi konflik dengan pemukiman maupun para pengembang; potensi konflik dengan pengguna saluran air penduduk baik perorangan maupun kelompok; 2) Membawa dampak secara administrasi yang memerlukan kemampuan lebih, dalam hal pengusulan program, melakukan komunikasi dengan dinas-dinas dan sistem pertanggungjawaban yang rumit, dan bervariasi menurut dinas yang mengeluarkan program; 3) Tumpang tindih pelaksanaan program, yang kadang tidak menyesuaikan terhadap alokasi waktu yang dimiliki oleh subak, maupun anggotanya; 4) Menurunnya daya dukung masyarakat petani, yang tergabung dalam subak terhadap program pemerintah, akibat menurunnya intensitas komunikasi yang dibangun oleh dinas terkait, di luar dinas pertanian;
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 18
5) Menurunnya kemampuan subak dalam memenuhi kebutuhan petani, berkaitan dengan tanggungjawab keberlanjutan sistem irigasi, karena kebuntuan saluran aspirasi yang biasanya dikembangkan dan diajukan melalui sedahan,
sebab
fungsi sedahan saat ini lebih banyak berkaitan dengan pemungutan pajak. Dengan berbagai konskwensi di atas dapat diprediksi, mempengaruhi tingkat kemampuan dan kepercayaan petani terhadap lembaga subak maupun pemerintah, hal ini diperparah lagi dengan menurunnya tingkat kemampuan produksi pertanian dan menurunnya harapan kesejahteraan dari hasil pertanian padi. Persoalan yang terakhir, adalah alih fungsi tanah setiap tahun bertambah, terutama menjadi pemukiman atau tanah kapling, menyebabkan keanggotaan subak menjadi berkurang yang dapat berakibat, pada kemampuan pengumpulan anggaran dan tenaga yang dapat diberdayakan dalam mengelola kebutuhan subak. Tanggungjawab bersama dalam mengelola, wilayah dan sumberdaya air melalui tanggung renteng (pikul bersama), menjadi berat tatkala jumlah petani yang aktif dalam melaksanakan kewajiban gotong-royong maupun berkontribusi terhadap anggaran menjadi berkurang. Kebijakan subak hanya berlaku pada areal terbatas, artinya tidak mampu menjangkau ketika berhadapan dengan areal publik, seperti kasus dengan tanah kaplingan, batas rumah penduduk, batas di luar area subak, pengguna air yang tidak menjadi anggota subak, anggota terikat karena tanah garapan, tapi bila tanah garapan sudah hilang apa yang bisa dilakukan oleh subak, hutang-hutang bekas anggota subak dari tanah yang beralih fungsi tidak terbayar, karena kesulitan menerapkan sanksi subak.
Simpulan Pelaksanaan kebijakan sistem irigasi subak, berlandaskan pada tri hita karana, tiga penyebab kesejahteraan, yang berlandaskan pada harmoni hubungan manusia dengan Hyang Pencipta, harmoni hubungan antara manusia dengan Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 19
manusia, yang dimulai dari perumusan kebijakan melalui penentuan tujuan bersama dalam proses deliberasi yang melibatkan beberapa aktor kebijakan, yaitu subak dengan anggotanya, subak gede, Pemerintah, Desa Pakraman dan Lembaga Perkreditan Desa maupun pihak swasta. Namun sisnergitas swasta dan pemerintah dengan subak belum dapat dilaksanakan secara maksimal, masih perlu ditingkatkan dan perlunya program-program pemerintah yang berkepentingan menyentuh program pertanian, lebih banyak di rumuskan dan dikerjakan berdasarkan pendekatan bottom-up. Landasan yang ketiga adalah harmony antara manusia dengan lingkungannya, bahwa pengembangan sistem irigasi subak, tidak saja ditujukan pada upaya peningkatan fungsi sistem irigasi guna mendukung peningkatan kesejahteraan petani, tetapi lebih mengedepankan kelestarian dan memelihara tata wilayah pertanian, baik dari sisi kesuburan tanah, tata kelola wilayah mengandung unsur keselamatan dan keindahan alam, pengembangan pertanian berbasis lingkungan. Refleksi terhadap kebijakan publik di masa mendatang, adalah terwujudnya kebijakan yang berbasis harmoni, yaitu harmoni manusia pada keyakinan dan kepercayaannya, yang dapat menumbuhkan rasa senang, ketenangan bathin, percaya diri, tingkat kepatuhan yang hakiki menyangkut moral spiritual. Didukung oleh harmony hubungan manusia dengan manusia, harus dipahami sebagai gerakan moral yang berlandaskan pada pengembangan modal sosial dan kebudayaan, berdimensi saling menghormati, gotong-royong, kerjasama dan hidup menghargai martabat manusia, yang ditujukan untuk mencapi harmony ketiga, yaitu hubungan manusia dengan lingkungan alamiah, bahwa seluruh tujuan kebijakan ditujukan pada upaya penyelamatan lingkungan hidup dan alamiah, yang akan selalu dapat menunjukkan kemanfaatan bagi seluruh kehidupan manusia dan mahluk lainnya.
Daftar Pustaka Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 20
Abidin, Said Zainal. 2012. Kebijakan Publik. Salemba Humanika. Jakarta Anderson, James. 1979. Public Policy Making. Rinehart and Winston. New York Anderson, James. 1979. Public Policy Making. Rinehart and Winston. New Y Andrisani, Paul J., et al., (eds.). 2002. The New Public Management Lessons From Innovating Governors and Mayors. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. Bevir, 2011.Governance.Sage Publications. London. Brinkerhoff, Deric W & Benjamin L Crosby. 2002. Managing Policy Reform: Concepts and Tools for Decision Makers in Developing and Transitioning Countries. Kumarian Press Ins, Blue Hills Avenue. USA. Brinkerhoff, Deric W & Benjamin L Crosby. 2002. Managing Policy Reform: Concepts and Tools for Decision Makers in Developing and Transitioning Countries. Kumarian Press Ins, Blue Hills Avenue. USA. Geertz, Clifford. 1980. Negara The Theatre State In Nineteenth-century Bali. Princeton University Press. New Jersey. Gerston, Larry N. 2002. Public Policy Making in a Democratic Society. M.E Sharpe. New York. Gerston, Larry N. 2002. Public Policy Making in a Democratic Society. M.E Sharpe. New York. Gerston, Larry N. 2002. Public Policy Making in a Democratic Society. M.E Sharpe. New York. Hardiman, 2009. Demokrasi Deliberatif. Kanisius. Yogyakarta. Heer, Jaap M. de & Andrew Jenkins. 2012. ―Practices of Cross Cultural Collaboration in Sustainable Water Management in Bangladesh‖. In International Journal of Business Anthropology vol. 3(1) 2012. (p. 15-38). Hidayat, Komaruddin & Putut Widjanarko. 2008. Reinventing Indonesia Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Mizan.Jakarta Selatan. Hoogesteger, Jaime. 2012. ―Democratizing Water Governance from The Grassroots: The Development of Interjuntas-Chimborazo in The Ecuadorian Andes”. In Democratizing Water Governance from the Grassroots: The Development Human Organization; Spring 2012; 71, 1; ProQuest. (P. 76-86). Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik: Berbasis Dynamic Policy Analysis. Gava Media. Yogyakarta. Islamy, M. Irfan. 2014. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta. King, Simrell & Camilla Stivers. 1998. Government Is Us: Public Administration in an Anti Government Era. Sage Publication Inc. California. Lorenzen, Rachel P. & Stephan Lorenzen. 2011. ―Changing Realities— Perspectives on Balinese Rice Cultivation‖. In Hum Ecol (2011) 39:29–42, Springer Science+Business Media. LLC 2011. Mahapatra, Sushanta & Sudip Mitra, 2012. ―Managing Land and Water under Changing Climatic Conditions in India: A Critical Perspective‖. In Journal of Environmental Protection, 2012, 3, 1054-1062 doi:10.4236/jep.2012.39123 Published Online September 2012 (http://www.SciRP.org/journal/jep). Mollinga, Peter P. 2010.―The Material Conditions of a Polarized Discourse: Clamours and Silences in Critical Analysis of Agricultural Water UseinIndia‖in Journal of Agrarian Change, Vol. 10 No. 3, July 2010, pp. 414–436. Blackwell Publishing Ltd. Morse, Ricardo S., et al., edt. 2007. Transforming Public Leadership for the 21st Century. M.E.Sharpe Armonk. New York and London. Parker, Lyn. 2003. From Subjects to Citizens: Balinese Villagers in The Indonesian Nation State. Nias Pres. Nias. Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 21
Pitana, I Gde. 2010. ―Tri Hita Karana-The Local Wisdom of the Balinese in Managing Development‖. In Roland Conrady and Martin Buck, eds. 2010.Trends and Issues in Global Tourism 2010.Springer & ITB Library. London. Powell, Walter W, & Paul J DiMaggio. 1992. The New Institutionalism in Organizational Analysis. The University of Chicago Press. Chicago. Ricoeur, Paul, 2003. ―Citizen of the world: business ethics and social responsibility‖ in Schneider & Jean-Lois Barsoux. 2003. Managing Across Cultures. Prentice Hall. England. Santosa, Panji. 2008. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance. Refika Aditama. Bandung. Sulistyo, Budi, Ninok Leksono, & Odie Perdanakusuma. 2010. MDGs sebentar Lagi: Sanggupkah kita Menghapus Kemiskinan di Dunia. Kompas Media Nusantara. Jakarta Selatan Supadi. 2009. Model Pengelolaan Irigasi Memperhatikan Kearifan Lokal. Hibah Bersaing Universitas Pasca Sarjana, Universitas Di Penegoro. Semarang. Sutantra, Nyoman. 2009. ―Harapan Mensinergikan Pariwisata dan Pertanian di Bali‖.ajegbali.org/taxonomy/term09/25/2009. Talaat, W I A W, Norhayati Moh Tahir & Mohd Lokman Husain. 2012. ―Traditional Knowledge on Genetic Resources: Safeguarding the Cultural Sustenance of Indigenous Communities”. In Asian Social Science Vol. 8, No. 7; June 2012. Todaro, Michael P. 1990. Economic For A Developing World. Logman Group. England. Warren, Caroll. 1996. Menari Diatas Pijakan Rapuh (Refleksi Keterdesakan Bali Dari Ekspansi Industri Pariwisata).Http://taman65.wordpress.Com /2008/08/30/menari-diatas-pijakan-rapuh-refleksi-keterdesakan-bali-dariekspansi -industri-pariwisata Winarno, 2007. Globalisasi dan Krisis Demokrasi. PT Buku Kita, Jakarta Yuliana, E Dewi, 2010.Transformasi Pertanian (Tinjauan dari Proses dan Bentuk). Paramita, Surabaya
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 22