Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
EFEKTIVITAS KROMIUM ORGANIK HASIL HIDROLISIS LIMBAH PADAT PENYAMAKAN KULIT SEBAGAI RANSUM PREKONDISI TERHADAP PENYUSUTAN BOBOT BADAN SAPI AKIBAT TRANSPORTASI (Effectiveness of Organic Chromium Hydrolysis as Waste Product of Leather Tannery in Precondition Ration on Weight Loss of Transported Cattle) Ujang Suryadi Jurusan Peternakan Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip PO Box. 164 Jember
[email protected]
ABSTRACT Long-distance transportation causes loss in body weight upon arrival at the destination. Research has been conducted to study the effectiveness of organic chromium from hydrolised tannery solid waste as trace minerals supplement in precondition ration to decrease loss weight due to transportation. The study was conducted to 32 head Ongole Grade bulls given rations containing organic chromium for 6 days prior to transported and 4 head of control. Transportation was transported cattle from Wirasaba, Central Java to Malangbong, West Java with duration time about 18 hours. Study was carried out in two stages; first stage was done to obtained highest and lowest organic chromium solubility, by combining of 3 levels temperature and 4 levels of NaOH concentration for hydrolysing tannery solid waste. Research done in completely randomized design. The second stage was done to evaluate effectiveness of organic chromium supplement which has highest and lowest solubility in ration at different doses on weight loss due to transportation. This study was arranged in a completely randomized design in factorial treatments. Results shows that cattle fed rations containing organic chromium with high solubility at a dose of 6.0 mg/kg, was able to reduce the percentage of body weight loss by 33% Key Words: Chromium, Leather Tanning, Weight, Cattle, Transport ABSTRAK Transportasi jarak jauh menyebabkan penyusutan bobot badan sapi setibanya di lokasi tujuan. Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari efektivitas kromium organik hasil hidrolisis limbah padat penyamakan kulit sebagai trace mineral yang disuplementasikan ke dalam ransum prekondisi untuk menurunkan tingkat penyusutan bobot badan sapi akibat transportasi. Penelitian menggunakan 32 ekor sapi jantan Peranakan Ongole yang diberi ransum mengandung kromium organik selama 6 hari sebelum transportasi dan 4 ekor sapi kontrol. Transportasi sapi dilakukan dari Wirasaba-Jawa Tengah ke Malangbong Jawa Barat dengan waktu tempuh 18 jam. Penelitian dua tahap; tahap pertama dilakukan untuk mencari rasio kelarutan kromium organik tertinggi dan terendah dengan 12 kombinasi 3 level temperatur dan 4 level konsentrasi NaOH untuk hidrolisis limbah padat penyamakan kulit. Penelitian ini dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Tahap kedua dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas kromium organik yang memiliki rasio kelarutan tertinggi dan terendah pada 4 dosis yang berbeda (1,5; 3,0; 4,5 dan 6,0 mg/kg)terhadap penurunan penyusutan bobot badan sapi akibat transportasi, penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial. Hasil penelitian menunjukkan sapi yang diberi ransum mengandung kromium organik pada dosis 6,0 mg/kg, mampu menurunkan persentase penyusutan bobot badan sebsar 33%, yaitu dari penyusutan 11,5% menjadi 7,7%. Kata Kunci: Kromium, Penyamakan Kulit, Bobot Badan Sapi, Transportasi
128
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
PENDAHULUAN Transportasi jarak jauh dapat menyebabkan terjadinya penyusutan bobot badan sapi setibanya di lokasi tujuan. Transportasi dapat menyebabkan kehilangan bobot badan sapi antara 3 dan 11% untuk lama transportasi 1824 jam (Knowles dan Warriss 2000). Ilham dan Yusdja (2010) menyatakan bahwa penyusutan bobot badan sapi selama proses transportasi untuk dalam Jawa sekitar 5,5% dan luar Jawa 10,5%. Minka dan Ayo (2007) menyatakan banyak faktor yang dapat memengaruhi besarnya penyusutan bobot badan akibat transportasi, diataranya ransum prekondisi sebelum transportasi. Jenis pakan yang dikonsumsi sebelum transportasi mempunyai pengaruh nyata terhadap penyusutan. Pakan yang diberikan berbentuk biji-bijian sebelum pengiriman dapat membantu mempertahankan bobot badan sapi dan mengurangi penyusutan. Phillips et al. (1991) melaporkan bahwa sapi kastrasi yang diberi hay, penyusutan bobot badannya lebih besar dibandingkan dengan sapi yang diberi konsentrat 50%. Cole dan Hutcheson (1987) mengemukakan bahwa sapi yang diberi 35% bahan kasar cenderung penyusutan bobot badannya lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang diberi serat kasar lebih tinggi. Pritchard dan Mendez (1990) menyatakan telah terjadi penurunan penyusutan bobot badan 40,5% pada sapi muda yang dilakukan prekondisi sebelum diangkut dari penampungan ke tempat penggemukan dibandingkan dengan sapi yang dipindahkan secara langsung. Hutcheson et al. (1984) mengemukakan manipulasi ransum merupakan variabel yang dapat digunakan untuk menekan penyusutan bobot badan selama sapi diangkut. Penyediaan nutrisi ransum sebelum transportasi diharapkan dapat menggantikan zat nutrisi yang hilang segera setelah mengalami pemuasaan selama transportasi. Suplementasi trace mineral dalam ransum ternak biasanya digunakan untuk tujuan mendorong peningkatan produksi seperti pencapaian bobot badan, penampilan reproduksi dan sistem imunitas. Tiga unsur trace mineral yang sudah banyak perhatian meliputi tembaga, selenium, dan seng. Akhir-
akhir ini unsur kromium (Cr) mulai banyak dieksplorasi untuk kepentingan nutrisi ternak. Kromium merupakan logam berat yang memiliki bilangan valensi +2 sampai +6. Kromium bervalensi 3 (trivalen) merupakan bentuk yang paling stabil dan mempunyai fungsi fisiologis, namun demikian kromium dengan valensi 3 sangat sukar diabsorpsi dari saluran pencernaan, oleh karena itu kromium yang diberikan harus dalam bentuk organik. Pemberian kromium dalam bentuk kompleks organik seperti kromium pikolinat (CrPic), kromium nikotinat (CrNic), dan highchromium yeast, diserap lebih efisien dibandingkan dengan kromium klorid (CrCl3) (Beitz et al. 1997). Kromium adalah mineral mikro esensial yang berperan dalam transportasi glukosa ke dalam sel karena merupakan subtansi anorganik penting dalam hormon insulin. Kromium adalah komponen aktif pada glucose tolerance factors (GTF) dan esensial untuk pemeliharaan metabolisme karbohidrat dan lemak (Mertz 1993). Suplementasi kromium dapat meningkatkan penyimpanan energi dalam bentuk glikogen di dalam otot sehingga kasus penyusutan bobot karkas dapat ditekan (Mowat 1994). Sumber kromium dalam pakan jumlahnya relatif sedikit dan bervariasi sehingga tidak cukup memenuhi kebutuhan tubuh untuk mengaktivasi kerja hormon insulin. Masukan kromium dari ransum dan minuman rata-rata 50-100 mikrogram setiap hari (Pilliang 2000), oleh karena itu kromium merupakan mikro mineral yang perlu disuplementasikan pada ransum untuk meningkatan pemanfaatan energi ransum. Sumber kromium untuk disuplementasikan dalam ransum dapat diperoleh dengan memanfaatkan limbah padat penyamakan kulit krom melalui proses hidrolisis dengan menggunakan NaOH, proses tersebut untuk menurunkan kandungan kromium dan membentuk ikatan kompleks kromium dengan protein kulit sehingga terbentuk kromium organik. Kromium organik dari limbah padat penyamakan kulit sebagai mineral proteinat dapat diperoleh dari hasil khelat garam dapat larut dengan asam amino pada proses hidrolisis protein kulit (Suryadi 2011). Suplementasi kromium organik telah digunakan dan
129
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
dipelajari pada ternak, namun demikian studi suplementasi kromium sebagai ransum prekondisi sebelum transportasi belum banyak dikaji terutama dalam peranannya menurunkan dampak negatif transportasi. MATERI DAN METODE Penelitian penyusutan bobot badan akibat transportasi dilakukan dengan mengevaluasi 36 ekor sapi jantan Peranakan Ongole (PO) berbobot badan 244,64±13,56 kg yang terbagi atas 32 ekor sapi diberi ransum mengandung kromium organik dan 4 ekor sapi kontrol. Pemberian ransum mengandung kromium organik pada 32 ekor sapi dilakukan selama seminggu sebelum transportasi. Suplementasi kromium organik pada ransum dihitung berdasarkan jumlah pemberian bahan kering ransum 2,5% dari bobot badan sapi, ransum yang diberikan terdiri atas jerami padi dan konsentrat. Penelitian dilakukan melalui metode eksperimental dengan dua tahapan, tahap pertama mencari nilai rasio kelarutan kromium organik yang tertinggi dan terendah dari 12 kombinasi temperatur dan konsentrasi NaOH yang digunakan ketika hidrolis limbah padat penyamakan kulit. Kromium organik diperoleh dengan cara menghidrolisis limbah padat penyamakan kulit dengan mengkombinasikan temperatur dan konsentrasi NaOH, hidrolisat yang diperoleh dan diikat dengan menggunakan tepung tapioka. Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap pertama adalah Rancangan Acak Lengkap Sederhana. Perlakuan penelitian yaitu; temperatur 60oC, NaOH 1% (T1K1), temperatur 60oC, NaOH 4% (T1K2), temperatur 60oC, NaOH 7% (T1K3), temperatur 60oC NaOH 10% (T1K4), temperatur 80oC, NaOH 1% (T2K1), temperatur 80oC, NaOH 4% (T2K2), temperatur 80oC, NaOH 7% (T2K3), temperatur 100oC, NaOH 1% (T3K1), temperatur 100oC, NaOH 4% (T3K2), temperatur 100oC, NaOH 7% (T3K3), dan temperatur 100oC, NaOH 10% (T3K4). Tahap kedua mengevaluasi efektivitas kromium organik yang memiliki nilai rasio kelarutan dan dosis pemberian berbeda terhadap penurunan penyusutan bobot badan sapi akibat transportasi. Penelitian tahap kedua menggunakan Rancangan Acak Lengkap.
130
Perlakuan penelitian berupa kombinasi nilai rasio kelarutan kromium tertinggi dan terendah dengan dosis kromium yang disuplementasikan, yaitu: 1. 1,5 mg/kg BK ransum 2. 3,0 mg/kg BK ransum 3. 4,5 mg/kg BK ransum 4. 6,0 mg/kg BK ransum Sehingga diperoleh 8 kombinasi perlakuan yaitu: 1. Rasio kelarutan tinggi pada dosis 1,5 mg/kg (Cr1D1) 2. Rasio kelarutan tinggi pada dosis 3,0 mg/kg (Cr1D2) 3. Rasio kelarutan tinggi pada dosis 4,5 mg/kg (Cr1D3) 4. Rasio kelarutan tinggi pada dosis 6,0 mg/kg (Cr1D4) 5. Rasio kelarutan rendah pada dosis 1,5 mg/kg (Cr2D1) 6. Rasio kelarutan rendah pada dosis 3,0 mg/kg (Cr2D2) 7. Rasio kelarutan rendah pada dosis 4,5 mg/kg (Cr2D3) 8. Rasio kelarutan rendah pada dosis 6,0 mg/kg (Cr2D4) Pada penelitian tahap pertama parameter yang diamati adalah: Nilai rasio kelarutan kromium organik yang ditentukan dengan cara membagi nilai kelarutan kromium di rumen oleh nilai kelarutan kromium di abomasum. KCrr NKCrra = KCra NKCrra = Nilai rasio kelarutan kromium organik KCrr = Kelarutan kromium organik di rumen KCra = Kelarutan kromium organik di abomasum Kelarutan kromium organik dievaluasi secara in vitro. Kelarutan kromium organik di rumen secara in vitro dilakukan dengan melarutkan satu gram kromium organik dalam 50 mL pelarut yang terdiri dari campuran cairan rumen dan larutan McDougall perbandingan 1 : 4 pada pH 6,5-6,8, kemudian diinkubasi 24 jam pada temperatur 39 oC. Evaluasi kelarutan kromium di abomasum dilakukan dengan melarutkan satu gram kromium dalam 50 mL HCl 0,1% pada pH 2-3 dan diinkubasi selama 24 jam pada temperatur
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
39oC. Supernatan dari setiap larutan kromium diambil untuk diukur kandungan kromiumnya dengan menggunakan AAS. Pada penelitian tahap kedua parameter yang diamati adalah penyusutan bobot badan sapi yang ditentukan dengan cara membagi selisih bobot badan awal transportasi dan bobot akhir transportasi dibagi oleh bobot badan awal transportasi kali 100%. Penyusutan (%) =
A-B A
x 100
A = Bobot badan awal transportasi B = Bobot badan akhir tansportasi HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi kelarutan kromium organik Hasil evaluasi kelarutan kromium organik dalam rumen, abomasum dan nilai rasio kelarutannya disajikan pada Tabel 1. Nilai rasio kelarutan Cr tertinggi dimiliki oleh kromium organik hasil hidrolisis pada temperatur hidrolisis 60oC konsentrasi NaOH 4% (T1K2), yaitu 2,10. Nilai rasio kelarutan Cr terendah dimiliki oleh kromium organik hasil hidrolisis pada temperatur 80oC konsentrasi NaOH 10% (T2K4), yaitu 0,23. Perbedaan antar kombinasi perlakuan setelah uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa kromium organik yang disintesis dengan kombinasi perlakuan temperatur hidrolisis 60oC dengan konsentrasi NaOH 4% (T1K2), yaitu 2,10 nyata (P<0,05) memiliki nilai rasio kelarutan Cr paling tinggi dibandingkan dengan nilai rasio kelarutan Cr yang disintesis pada temperatur hidrolisis 80oC dengan konsentrasi NaOH 10% (T 2K4), yaitu 0,23. Bila ditinjau dari nilai rasio kelarutan Cr, stabilitas ikatan antara khelat asama amino dengan kromium pada produk kromium organik hasil sintesis limbah penyamakan kulit dipengaruhi oleh kondisi pH di dalam saluran pencernaan. Nilai rasio kelarutan Cr yang tinggi pada kombinasi perlakuan temperatur hidrolisis 60oC dengan konsentrasi NaOH 4% terjadi karena lingkungan pH di rumen menyebabkan pelepasan Cr dari agen khelatnya lebih tinggi dibandingkan pada kondisi asam di abomasum, dengan demikian kromium organik yang disintesis dari
kombinasi perlakuan tersebut memiliki stabilitas khelat yang lemah pada suasana pH mendekati netral di rumen. Kromium organik yang disintesis pada temperatur hidrolisis 60oC konsentrasi NaOH 4% memiliki stabilitas khelat yang kuat terhadap degradasi asam di abomasum. Hal ini sangat diharapkan dalam mengefektifkan penyerapan kromium di abomasum. Abomasum merupakan bagian perut ternak ruminansia yang berhubungan dekat dengan duodenum yang diketahui sebagai tempat penyerapan unsur nutrisi diantaranya mineral. Kelarutan kromium organik yang rendah berpengaruh positif terhadap pemenuhan kebutuhan kromium. Rendahnya kelarutan tersebut menunjukan kelarutan kromium proteinat tetap stabil artinya kromium tetap terikat oleh asam amino. Kondisi kuatnya agen khelat mengikat kromium, hal ini sangat diharapkan untuk mempermudah penyerapan kromium di saluran pencernaan. Khelat dapat meningkatkan pergerakan melalui selaput sel sehingga khelat memudahkan penyerapan mineral yang diikatnya dibandingkan dengan mineral anorganik (Miles dan Henry 1999). Efek suplementasi kromium organik terhadap penyusutan bobot badan Efek suplementasi kromium organik terhadap penyusutan bobot badan dapat ditelaah pada Tabel 2. Data pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pemberian ransum yang mengandung suplemen kromium organik pada sapi sebelum transportasi memberikan dampak positif terhadap penurunan penyusutan bobot badan setibanya di tempat tujuan. Penyusutan bobot badan sapi selama transportasi pada sapi kontrol mencapai 11,5% sedangkan sapi yang diberi ransum mengandung suplemen kromium organik berkisar antara 7,7-10,5%. Hal ini memperlihatkan bahwa suplementasi kromium organik mampu menurunkan persentase penyusutan bobot badan antara 8-33%. Hasil analisis antara perlakuan nilai rasio kelarutan dengan dosis kromium organik menunjukkan tidak ada interaksi nyata terhadap penyusutan bobot badan sapi. Secara tunggal, faktor nilai rasio kelarutan kromium organik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap
131
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
132
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
penyusutan bobot badan sapi, tetapi dosis kromium organik tidak memberikan efek nyata terhadap penyusutan bobot badan sapi. Penyusutan bobot badan yang rendah pada sapi yang ransumnya diberi suplemen kromium organik dengan nilai rasio kelarutan tinggi pada dosis 6,0 mg kg-1 sebelum transportasi, dimungkinkan karena kromium organik yang diberikan sebelum transportasi berdampak terhadap pembentukan cadangan glikogen, sehingga selama transportasi cadangan glikogen tersebut digunakan untuk aktivitas kontraksi otot dan merespons stresor akibat transportasi. Selama transportasi upaya untuk menebus kehilangan energi yaitu dengan memobilisasi glikogen dari hati dan otot untuk memasuki ke dalam sirkulasi sistemik. Hati adalah tempat cadangan utama energi yang dengan mudah dapat dimobilisasi untuk energi selama tidak diberi pakan selama transportasi, sedangkan glikogen otot cenderung dipertahankan (Minka dan Ayo 2009). Ketika pengurasan sumber energi dalam bentuk glikogen di otot telah terjadi maka akan mengarah pada mobilisasi lemak tubuh (Knowles dan Wariss 2007). Berdasarkan mekanisme penggunaan cadangan energi tersebut di atas, maka rendahnya penyusutan bobot badan sapi yang disuplementasi kromium organik dengan nilai rasio kelarutan tinggi pada dosis 6,0 mg kg-1, diduga penggunaan sumber energi tidak sampai terjadi proses katabolisme yang berat yaitu sampai terjadi perombakan lemak tubuh menjadi sumber energi (lipolysis), tetapi baru sampai pada penggunaan glikogen di dalam otot. Kromium organik yang disuplementasikan dengan nilai rasio kelarutan tinggi pada dosis 6,0 mg/kg diguga telah berperan sebagai komponen aktif glucose tolerance factor (GTF) dan berfungsi meningkatkan efektivitas kerja insulin unuk uptake glukosa ke dalam sel, sehingga kelebihan glukosa dalam sel akan dibentuk menjadi glikogen otot untuk cadangan sumber glukosa pada saat mengalami stres transportasi. Pada sapi kontrol, tingginya penyusutan bobot badan dimungkinkan telah terjadi pengurasan sumber energi utama yang mengarah pada pengurangan segera energi cadangan yang tersedia berupa glikogen otot atau bahkan mungkin telah terjadi mobilisasi lemak tubuh. Perombakan lemak tubuh
tersebut akan berdampak pada penyusutan bobot badan karena lemak merupakan bagian komponen utama bobot badan. Berdasarkan hasil kajian efek suplementasi kromium organik dari limbah padat penyamakan kulit terhadap penyusutan bobot badan suplemen kromium organik yang disintesis pada temperatur hidrolisis 60ºC dan konsentrasi NaOH 4% dengan dosis 6,0 mg/kg, mampu menurunkan persentase penyusutan bobot badan 33% dari penyusutan 11,5% menjadi 7,7%. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi yang diberi ransum mengandung kromium organik dengan nilai rasio kelarutan tinggi (disintesis pada temperatur 60oC dan konsentrasi NaOH 4%) pada dosis 6,0 mg.kg-1, mampu menurunkan persentase penyusutan bobot badan 33% dari penyusutan 11,5% menjadi 7,7%. DAFTAR PUSTAKA Beitz D, Fahey G, Gatlin D, Horst RL, Lewis AJ, Parsons C, Pell A, Potter GD, Witttenberg M. 1997. The role of chromiumin animal nutrition. committee on animal nutrition board on agriculture. National Research Council National Academy Press. Washington. Cole NA, Hutcheson DP. 1987. Influence of Pre-fast Dietary Roughage Content on Recovery from Feed and Water Deprivation in Beef Steers. J Anim Sci. 65:1049. Hutcheson DP, Cole NA, McLaren JB. 1984. Effects of Pretransit Diets and Post-transit Potassium Levels for Feeder Calves. J Anim Sci. 58:700. Ilham N, Yusdja Sistem Y. 2010. Transportasi perdagangan ternak sapi dan implikasi kebijakan di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Knowles TG, Warriss PD. 2007. Stress physiology of animals during transport. In: Grandin T (ed.) Livestock Handling and Transport. CABI Publishing, Wallingford, UK. Knowles TG, Warriss, 2000. Stres physiology of animals during transport. In Livestock Handling and Transport. 2nd Edn (ed. T. Grandin). CAB International.
133
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Mertz W. 1993. Chromium in human nutrition: A review. J Nutr. 123:626-633. Miles RD, Henry PR. 1999. Relative trace mineral bioavailability. Proceeding. Calif. Animal Nutrition Conference. Fresno (CA). Minka NS, Ayo JO. 2007. Effects of loading behaviour and road transport stres on traumatic injuries in cattle transported by road during the hot-dry season. Life Sci. 107:91-95. Minka NS, Ayo JO. 2009. Physiological responses of food animals to road transportation stress. Afric J Biotechnol. 8:7415-7427. Mowat DN. 1994. Suplemental organic chromium for beef and dairy cattle. chromium Consulting of Animal Nutrition. University of Guelph, Canada.
Phillips WA, Juniewicz PE, VonTungeln DL. 1991. The effect of fasting, transit plus fasting, and administration of adrenocorticotropic hormone on the sourceand amount of weight lost by feeder steers of different ages. J Anim Sci. 69:2342. Piliang WG. 2000. Fisiologi Nutrisi. Volume II. Edisi Ketiga. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pritchard RH, Mendez JK. 1990. Effects of Preconditioning on Pre-and Post-shipment Performance of Feeder Calves. J Anim Sci. 68:28. Suryadi U. 2011. Efek suplementasi kromium organik hasil hidrolisis limbah penyamakan kulit terhadap stres transportasi dan performa produksi periode pemulihan pada sapi potong. Disertasi. Bandung (Indonesia): Universitas Padjadjaran.
DISKUSI Pertanyaan: Rasio kelarutan Cr organik diperoleh pada perlakuan berapa yang tertinggi? Kelarutan yang dibutuhkan pada bagian mana?. Jawaban: Pada perlakuan T1K2 dengan kombinasi twemperatur 600C dan HaOH 4%. Kelarutan di dalam rumen atau abomasum.
134