Pengelolaan Limbah/Residu Pertanian untuk Energi : Potensi Peran Koperasi
mulai tahun 2005 Pemerintah memberikan subsidy US $ 193,1 juta.4 Dalam reformasi angkutan umum ini termasuk menggabungkan dan mengkoordinasikan struktur ongkos untuk memadukan pelayanan angkutan kereta api bawah tanah (subway) dan bus.
Herry Suhermanto, Ir., MCP, PhD. Perencana Madya - Bappenas
Kebijakan tarif angkutan umum yang sebelumnya didasarkan pada pembayaran untuk sekali perjalanan maka sistem tarif yang baru adalah bervariasi sesuai mode angkutan yang digunakan dan total jarak yang ditempuh penumpang. Pertama dikenakan Tarif dasar untuk pelayanan bus 10 km pertama dan tambahan untuk se ap 5 km tambahan perjalanan. Tarif dasar ini sudah termasuk bebas biaya pindah dari satu moda ke moda yang lain atau jurusan yang lain sampai 4 kali dalam waktu 30 menit sesudah perjalanan yang pertama baik untuk bus maupun subway terlepas jenis angkutan apa yang pertama dipilih. Sistem tarif berdasarkan jarak ini juga digunakan untuk tarif subway yang beroperasi mulai jam 5.30 am sampai tengah malam (jam 12.00 malam) yakni dengan tarif dasar untuk 10 km pertama.
Abstrak
P
emanfaatan limbah/ residu pertanian masih memerlukan penataan dan pengorganisasian hingga bisa memiliki skala ekonomi dan sosial yang berar bagi masyarakat. Limbah/ residu pertanian, dengan pengelolaan yang tepat, merupakan sumber yang pen ng untuk pengembangan energi biomassa. Energi biomassa sebagai energi yang terbarukan merupakan alterna f saat energi fosil dak lagi menjadi andalan. Dukungan dan komitmen pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan ketahanan energi (biomassa) yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat (melalui koperasi). In nya adalah bagaimana mengintegrasikan koperasi dalam pengembangan energi biomassa. Koperasi merupakan instrumen yang sangat pen ng dalam membangun kultur sosial yang mengedepankan kebersamaan dan kegotongroyongan dalam menjalankan aksi/ usaha kolek f berbasis keanggotaan. Koperasi sangat potensial dalam membangun integrasi (ver kal/ horisontal) usaha di bidang pengembangan energi (biomassa dan listrik) dengan memanfaatkan limbah/ residu pertanian menjadi energi.
Foto: www.antaranews.com
LATAR BELAKANG
P
emerintah telah mengeluarkan Undang-undang (UU) yang mengatur sampah, yaitu UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah di Indonesia. Sampah didefinisikan sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau residual dari proses alam yang berbentuk padat. Undang-undang tersebut mengatur tentang pengelolaan sampah, pembagian kewenangan dan penyelenggaraannya, serta mengategorikan sampah ke dalam : (a) sampah rumah tangga, (b) sampah sejenis sampah rumah tangga; dan (c) sampah spesifik. Proses alam ataupun kegiatan manusia menyisakan buangan/ residual baik yang berbentuk padat, gas, ataupun cair. Yang dimaksud dengan sampah rumah tangga adalah buangan/ sisa kegiatan yang berasal dari kegiatan sehari-hari rumah tangga, dak termasuk nja dan sampah spesifik. Sampah sejenis sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya. Adapun yang dimaksud dengan sampah spesifik melipu : 1. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun; 2. sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun; 3. sampah yang mbul akibat bencana;
10
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Limbah ampas tebu dan enceng gondok bahan pembuatan biobriket.
4. 5. 6.
puing bongkaran bangunan; sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau sampah yang mbul secara dak periodik.
Meskipun dak secara tegas dikemukakan, sampah pertanian dapat dikategorikan sebagai sampah spesifik, yakni sebagai sampah yang mbul secara dak periodik dan yang secara teknologi belum (dapat) diolah. Dalam beberapa hal, sampah pertanian bisa saja mbul secara periodik, sebagai limbah panen dari hasil pola tanam tertentu. Untuk selanjutnya, is lah sampah yang memiliki konotasi sengaja dibuang, kiranya dapat dipahami juga adanya limbah/
Pemerintah Kota Seoul juga membedakan tarif berdasarkan usia dan cara pembeliannya. Penumpang dibedakan penumpang umum dalam ar usia di atas 19 tahun dan penumpang anak anak usia 6-12 tahun, dan remaja usia 13-18 tahun. Penumpang anak anak dan remaja mendapat potongan harga. Pengguna angkutan umum bebas memilih cara pembayaran apakah menggunakan smart card (T-Money) atau tunai. Pembayaran dengan T-Money bebas biaya untuk pindah moda maupun jurusan serta mendapat potongan harga. Efek vitas dari tak adanya biaya pindah angkutan dari bus ke subway mampu meningkatkan jumlah penumpang baik untuk subway maupun bus.
BMTA dan MRTA Bangkok-Thailand Angkutan umum perkotaan di Bangkok pada dasarnya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat melalui Kementerian Transportasi. Pada tahun 1976 dibentuk Bangkok Metropolitan Transport Authority (BMTA) untuk mengambil alih pelayanan angkutan umum bus yang kebanyakan merugi saat itu. Dengan demikian angkutan umum bus (fixed routes) dikuasai oleh The BMTA. Saat ini BMTA merupakan kependekan dari Bangkok Mass Transit Authority yang dibebani untuk
memberikan pelayanan bus kepada orang yang nggal dan bekerja di Bangkok dan propinsi terdekat. BMTA membagi 6 pe pelayanan dan membedakannya dengan warna bus. Ada dua regular bus dengan dua warna yang berbeda yakni warna Cream-Merah dan Pu h-Biru. Tipe pelayanan bus Express dengan warna Cream-Merah. Tiga pe pelayanan bus dengan sistem tarif sekali naik sama atau flat rate dan beroperasi sama yakni mulai jam 05.00 am sampai jam 23.00. Sedangkan Bus yang diberi fasilitas pendingin udara (Air Condi oned Bus) dengan warna Cream-Biru dan Bus yang masuk kategori Euro II dengan tarif yang tergantung pada jarak yang ditempuh. Kedua pe tersebut juga beroperasi mulai jam 05.00 am sampai jam 23.00. Tipe ke enam adalah pelayanan bus malam hari dengan beroperasi mulai jam 23.00 sampai jam 05.00 am dan tarif yang dikenakan sistem flat rate sebesar Thai 8 baht. BMTA juga memberikan potongan harga bahkan membebaskan kewajiban membayar tarif angkutan bus untuk orang orang tertentu yang memenuhi persyaratan. Orang yang dibebaskan dari pembayaran tarif adalah : petugas pengawas bus BMTA, rahib dan calon rahib budha, petugas pos yang sedang bertugas, pemegang kartu pegawai BMTA, dan pemegang sertifikat atau medali yang dicantumkan dalam peraturan pembebasan pembayaran tarif angkutan bus. Sedangkan penumpang yang diberi potongan 50% untuk naik bis reguler adalah : orang buta pemegang sertifikat dari asosiasi orang buta, tentara dan polisi berseragam, pemegang sertifikat atau medali yang dicantumkan dalam pemberian konsesi yang ditetapkan oleh Pengendali Transport yakni Medali Kemenangan, Medali Perang dari Kerajaan Eropa, Medali Petugas Perbatasan, Medali Perlindungan Orang Bebas, Non Aktive Veteran Perang kelas 1,2,3 sampai 4. Sementara itu pengurangan tarif untuk pelayanan bus ber pendingin udara diberikan kepada pemegang sertifikat atau Medali Kemenangan, Medali Perang dari Kerajaan Eropa, Medali Petugas Perbatasan, Medali PerlindunganOrang Bebas, Non Aktive Veteran Perang kelas 1,2,3 sampai 4 serta pemegang kartu pegawai BMTA. BMTA merupakan badan usaha milik pemerintah dibawah kendali Kementerian Transport dan Komunikasi yang sampai saat ini masih mendapat subsidi dari Pemerintah Thailand. Pada tahun 2012 BMTA mendapat subsidi dari pemerintah sebesar 652,72 juta baht5.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
91
Komisi Transit, Dewan Kota dan OC Transpo di O awa Canada OC (O awa Canada) Transpo merupakan perusahaan milik pemerintah yang dijalankan oleh Kota O awa dengan mandat untuk memberikan pelayanan angkutan umum baik dengan bus maupun kereta api yang lebih menjamin keselamatan, keamanan, dan keramahan dengan harga yang layak. OC Transpo menawarkan pelayanan transit ga route bus utama yang beroperasi 22 jam se ap hari. Ragam pelayanan OC Transpo adalah pelayanan “regular”, “express” pada jam jam sibuk dan “rural” untuk pelayanan ke luar kota. Informasi di masing masing tempat pemberhen an juga cukup lengkap tentang fasilitas apa yang tersedia dan lanjutan atau transfer ke mana saja yang tersedia. Soal kebijakan tarif atau per ketan untuk naik bus yang dioperasikan oleh OC Transpo ada ga cara atau fasilitas memakai kartu pass “Presto”, Coupon, dan Uang Tunai. Sedangkan pengguna dibedakan antara yang dewasa, anak anak dan orang orang usia lanjut yakni orang berusia di atas 65 tahun. Menggunakan kartu pass “Presto”, lebih murah dari pembayaran dengan coupon apalagi dengan uang tunai. Anak anak, pelajar dan lanjut usia juga mendapat potongan tarif discount. Selain itu juga dikenalkan DayPass baik untuk regular maupun express dalam satu hari bebas kemana saja dan kapan saja senilai Canada $ 7.95. OC Transpo juga memberikan fasilitas bulanan yang dibedakan untuk orang dewasa, pelajar dan orang lanjut usia dengan dua model ket reguler dan ket reguler + express. Di samping itu OC Transpo juga mengelola the O-Train yakni suatu pilot proyek kategori a light rail di O awa yang melayani sepanjang 8km dari Greenboro Sta on (selatan) ke Bayview Sta on (utara). The O-Train dak menambah ongkos jika penumpang merupakan pindahan dari bus atau jika menggunakan DayPass. Untuk memberikan pelayanan seper tersebut di atas OC Transpo pada tahun 2012 mendapat subsidi dari pemerintah kota O awa sebesar Canada $ 200 juta3.
BSRCC dan MTA di Seoul Korea Selatan Pada tahun 2003 Pemerintah Kota Seoul membentuk A Bus System Reform Ci zen Commi ee (BSRCC) yang anggotanya terdiri dari Seoul Department of Transporta on, Municipal Council, and Associa on of Bus Company, Ahli ahli Transport dan juga Pengacara.
90
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Pembentukan BSRCC ini merupakan ndakan Pemerintah Kota Seoul yang menghadapi kesulitan mengatur rute bus yang selama ini dak efisien dan kurang dikoordinasikan. Oleh karena itu pemerintah kota Seoul menetapkan untuk mendapatkan kembali kekuasaan dalam menentukan rute bus, jadwal angkutan umum, dan penentuan tarif serta sistem operasinya dengan melibatkan semua pemangku kepen ngan. Pada tahun 2004 dibentuklah Metropolitan Transporta on Authority (MTA) untuk mengkoordinasikan pembicaraan tentang rencana pembangunan angkutan dalam kota di Seoul Metropolitan Area. Salah satu hasilnya adalah Pemerintah memprioritaskan “Transit Oriented Development” atau TOD untuk merancang tata ruang kota dan pada tahun itu juga mulai dilakukan reformasi angkutan umum “bus” perkotaan di kota Seoul. Reformasi angkutan umum bus ini bertujuan untuk merevitalisasi sistem angkutan bus melalui perbaikan regulasi, menyediakan Bus Rapid Transit (BRT), dan memperkuat operasi pelayanan angkutan bus umum. Angkutan Bus di Seoul dibagi 5 type yakni Blue, Green,Yellow, Red, dan Maeul Bus. Waktu operasi mulai jam 4.30 am sampai jam 01.00 am hari berikutnya atau 20 jam. Blue Bus adalah bus yang melayani jalur pinggiran ke pusat kota Seoul dan dibedakan tiga jenis yakni bus berbahan bakar gas (CNG) dengan lantai rendah, dan regular, serta “bus bendable”. Blue bus dikendalikan sebagian oleh Pemerintah Kota Seoul dan berjalan dengan kecepatan tinggi dan jarak perjalanan lebih jauh dibanding bus lainnya. Green Bus adalah bus yang dioperasikan oleh perusahaan swasta yang menghubungkan stasiun subway dan atau terminal bus di pusat kota Seoul. Sedangkan Yellow Bus berputar melayani pusat kota Seoul dan berhenti pada terminal Blue bus dan stasiun utama/besar subway termasuk juga tempat tempat wisata, belanja, dan bisnis (perkantoran). Red bus adalah pelayanan ekpress (cepat) dan merupakan bus yang paling cepat karena berhenti lebih sedikit dibanding bus tipe yang lain dan dirancang setiap penumpang dapat tempat duduk. Terakhir Maeul Bus adalah pelayanan ke komunitas/tempat pemukiman, dengan rute lebih pendek dan ukurannya juga lebih kecil dibanding tipe yang lain. Hal inilah yang sering disebut perubahan sistem dari “private bus system to a quasi-public bus system”. Konsekuensinya
residu terkait pertanian hasil ke daksengajaan dari proses pertanian sehingga terbuang secara alamiah (seper : daun rontok, dahan/ ran ng patah karena pelapukan, dan sekam sebagai residual penggilingan padi). Bagaimanapun juga limbah pertanian pen ng untuk dikendalikan. Pengendalian disini dimaksudkan untuk mengurangi atau memusnahkan limbah/ residu pertanian tersebut tanpa memberikan dampak buruk pada lingkungan dan kehidupan manusia. Bagaimanapun juga dak dapat dilakukan pembiaran terhadap limbah/ residu pertanian, sekalipun sebagian besar limbah/ residu pertanian memang terbuang percuma atau dibakar untuk menguranginya. Ternyata, dak hanya unsur ancaman yang patut diper mbangkan dalam penangangan limbah/ residu pertanian ini, tetapi juga aspek pemanfaatannya ternyata sudah banyak diatur, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang (Yevich et al., 2003; Al-Ansary, Marwa S., et al., 200x). Terkait pemanfaatan sampah, di perkotaan, menurut Jusri Jusuf (www.energi.lipi.go.id, edisi 6 Desember 2004) bahwa apabila sampah rumah tangga di Jakarta yang diproduksi rata-rata 20.000 ton per hari dapat memproduksi energi listrik berdaya 100 megawa , maka limbah/ residu pertanian yang mencapai >100 juta ton pertahun1 berpotensi menghasilkan energi listrik minimal 1300 megawa . Bila 100 megawa dapat memberikan pendapatan rata-rata Rp 320 miliar per tahun, maka penggunaan sampah pertanian untuk energi berpotensi menghasilkan Rp.4,160 triliun, dan lebih besar lagi bila dihitung berdasarkan data Kementerian ESDM. Suatu potensi yang patut diper mbangkan secara ekonomi untuk pengembangan ekonomi nasional dan lokal.2
pemanfaatannya secara terkelola sangat diperlukan, se daknya dibakar sebagai energi. Di banyak negara, termasuk Indonesia, limbah/ residu pertanian umumnya telah dimanfaatkan untuk berbagai kepen ngan usaha, seper energi dan kompos, namun penyelenggaraannya masih sangat parsial dan belum terlembaga (Yevich et al., 2003).3 Di sini diperlukan pemangku kepen ngan yang paham terhadap pemanfaatan limbah/ residu pertanian dan kapabel dalam mengelolanya secara terintegrasi dan berkesinambungan. Persoalannya, kegiatan usaha yang bergerak di pemanfaatan limbah/ residu pertanian di Indonesia umumnya masih di tahap uji coba. Mereka bergerak di “niche market” dalam upaya untuk menutup biaya riset dari pengembangan prototype yang dak kecil. Sifat produk hasil pengolahan limbah/ residu pertanian yang sangat spesifik kegunaannya (khas, kecil/ bukan produksi masal, dan tersebar)4 mendorong terbentuknya niche market. Tidak (belum) adanya peraturan pendukung yang dapat menjamin secara teknis tata cara/ tata kelola pemanfaatan limbah/ residu pertanian yang baik, benar, serta dapat dipertanggungjawabkan, melemahkan intensi masyarakat (petani) untuk bergerak di bidang usaha ini. Penyediaan bahan baku olahan limbah/ residu pertanian untuk energi secara berkesinambungan untuk jangka panjang tampaknya akan terkendala oleh semakin pesatnya alih fungsi lahan pertanian. Pertumbuhan penduduk, diantaranya, telah menyebabkan semakin intensifnya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian.5 Hal ini memperkecil lahan pertanian per penduduk, dan karenanya pula kepemilikan lahan pertanian rata-rata per kapita juga mengalami penyusutan. Tanpa didukung penyediaan lahan yang memadai dalam 3
Bisa dilihat juga telaahan pengelolaan sampah dari sumber h p :// www.slideshare.net/risaastrianigin ng/pengelolaan-sampah-27806911 yang menjelaskan pengaruh geografis terhadap kondisi sampah yang dihasilkan, dan pemanfaatannya yang cukup rinci.
4
Untuk skala usaha kecil lihat di “Potensi Biomassa Hasilkan Listrik, Bahan Bakar Kompor, dan Pupuk Organik.” 2013. Naskah asli di h p ://www.pikiran-rakyat.com/node/217221, atau lihat catatan Anggit Dwipramana, (2012) di h p ://anggitpramana.com/2012/08/26/ wow-pembangkit-listrik-tenaga-biomassa-pltb-mulai-tumbuh-diindonesia, untuk skala usaha menengah
5
Telaahan Lilis Nur Faizah, 2007, sebagai tugas Mata Kuliah Vak Khusus Hukum Perbandingan Agraria pada FH UGM, mengu p dari Bomer Pasaribu bahwa se ap tahun (pada periode 1992 – 2002) diperkirakan terjadi alih fungsi lahan pertanian seluas 165 ribu hektar untukpemukiman, industri maupun pembangunan infrastruktur lainnya.
Tantangan dan Permasalahan Yang Dihadapi Agar kalori yang dihasilkan dari pembakaran limbah/ residu pertanian dak terbuang percuma, maka 1
Data lihat tabel 1 Potensi limbah/ residu pertanian di Indonesia
2
Sampah perkotaan umumnya bersifat padat, dan begitu pula halnya dengan sampah pertanian. Konversi sampah ke energi dapat dilakukan dengan berbagai metode, sementara itu limbah/ residu pertanian bisa diolah menjadi biomassa yang diketahui ada yang berbentuk padat, bentuk cair, dan gas; kesemuanya berpotensi menghasilkan energi listrik. Kementerian ESDM menghitung potensi listrik dari konversi seluruh potensi biomassa yang ada diperkirakan dapat menghasilkan daya listrik hingga 50 Giga Wa s.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
11
Tabel 1 Potensi Limbah/ Residu Pertanian di Indonesia Komoditi Paddy Corn Peanuts Soybean Cassava Food crop agriculture Kakao Karet Kelapa Kelapa Sawit Kopi Te b u Estate Agriculture
1989 Poten al Waste Areal (Ha) Waste (ton) 21,062,414.0 15,534,000.0 2,944,199.0 3,344,000.0 620,817.0 371,000.0 1,198,096.0 2,127,000.0 1,407,870.0 6,714,000.0 27,233,396.0 28,090,000.0 317,705.0 3,055,960.0 3,283,589.0 973,528.0 1,036,550.0 357,752.0 9,025,084.0
240,000.0 59,045,000.0 5,373,000.0 6,214,000.0 3,475,000.0 8,561,606.0 82,908,606.0
ton/ Ha 0.74 1.14 0.60 1.78 4.77 1.03 0.76 19.32 1.64 6.38 3.35 23.93 9.19
Areal 2007 (Ha) 24,295,274.0 3,630,324.0 660,480.0 459,116.0 1,201,481.0 30,246,675.0 2011 (Ha) 1.732.641,0 3.456.127,0 3.767.704,0 8.992.824,0 1.233.698,0 451.788,0 19.634.782,0
pelayanan angkutan umum saya pilih ga negara dengan berbagai ngkat pendapatan per kapita yakni Canada, Korea Selatan (Korsel), dan Thailand yang pendapatan per kapitanya tahun 2012 masing masing adalah US $ 51,570.00; US $22,670.00; US $ 5,210.00. No
Perihal
Dalam mewujudkan potensi limbah/ residu pertanian menjadi kekuatan ekonomi lokal, diperlukan suatu proses yang dapat mengintegrasikan pengolahan limbah/ residu tersebut menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi, termasuk menjadikannya sebagai produk/ komoditas energi yang dapat diperdagangkan secara menguntungkan. Tantangan besarnya disini adalah bagaimana menyiapkan atau membangun komunitas yang mandiri dalam penyediaan pangan (hasil pertanian dan perkebunan) dan energi dalam satu rantai nilai. Dalam rantai nilai tersebut limbah/ residu pertanian dimanfaatkan menjadi energi, dan energi dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk kepen ngan domes k/ rumah tangga ataupun untuk industri. Upaya yang berbasis komunitas atau kelompok sangat diperlukan khususnya untuk menjaga kesinambungan pasokan bahan baku yang diperlukan untuk menghasilkan energi. Skenarionya adalah membangun ketahanan energi dari, oleh dan untuk masyarakat.
12
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Lebih dari seratus juta ton limbah/ residu pertanian pertahun (lihat tabel 1, belum termasuk perikanan dan peternakan) yang dak/ belum dikelola secara memadai untuk kepen ngan yang lebih bermanfaat. Upaya pembakaran untuk menghilangkan/ mengurangi sampah atau limbah yang dihasilkan pertanian dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, kebakaran yang meluas, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan yang dapat diancam sebagai ndakan pidana. Demikian pula halnya dengan pembiaran (pembusukan alamiah), sampah pertanian bisa menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan sistem tata air lingkungan. Pengelolaan limbah/ residu pertanian di daerah tampaknya dak cukup terintegrasi untuk membangun ketersediaan energi non-fosil secara efisien dan efek f dalam skala komunitas, bahkan pengelolaan di sisi usaha pertaniannya itu sendiri.6 Pengintegrasian usaha pertanian yang beragam 6
Dari h p ://www.paskomnas.com/id/berita/Kondisi-PertanianIndonesia-saat-ini-Berdasarkan-Pandangan-Mahasiswa-PertanianIndonesia.php (2009) : “Pembangunan pertanian pada masa lalu mempunyai beberapa kelemahan, yakni hanya terfokus pada usaha tani, lemahnya dukungan kebijakan makro, serta pendekatannya yang sentralis k. Akibatnya usaha pertanian di Indonesia sampai saat ini masih banyak didominasi oleh usaha dengan : (a) skala kecil, (b) modal yang terbatas, (c) penggunaan teknologi yang masih sederhana, (d) sangat dipengaruhi oleh musim, (e) wilayah pasarnya lokal, (f) umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), (g) akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, (h) pasar komodi pertanian yang sifatnya mono/oligopsoni yang dikuasai oleh pedagang-pedagang besar sehingga terjadi eksploitasi harga yang merugikan petani.”
Keterangan
Langkah-langkah untuk menunjang dan mengendalikan pelayanan
1
Keandalan (Reliability)
Ketepatan waktu pelayanan (punctuality)
Semakin kecil penyimpangannya (deviasinya) semakin baik
Jadwal (Time Table) Pelayanan
2
Kemudahan (Accesibility)
Rata rata waktu perjalanan untuk komuter **) Ketersediaan fasilitas untuk orang berkebutuhan khusus (orang buta, berkursi roda, orang tua).
Semakin pendek semakin baik Jumlah kendaraan umum yang dilengkapi fasilitas untuk orang berkebutuhan khusus (orang buta, berkursi roda, orang tua).
Jadwal (Time Table) Pelayanan Standard fasilitas yang harus ada di terminal, stasiun, halte dan di kendaraannya
3
Keselamatan (Safety)
Jumlah korban meninggal dan atau cacat seumur hidup per kejadian kecelakaan yang melibatkan angkutan umum **)
Semakin kecil semakin baik
Persyaratan baik Pengemudi maupun Kendaraan Angkutan Umum dan Pela han serta Pengecekan Kelayakan Kendaraan dan Kesehatan pengemudi atau awak angkutan umum secara reguler
4
Keamanan (Security ) ***)
Jumlah kejadian ndak kriminal di kendaraan angkutan umum, halte, terminal, stasiun. ***)
Semakin kecil semakin baik
Persyaratan fasilitas baik yang ada pada Kendaraan Angkutan Umum maupun pada fasilitas penunjang yang dicek secara reguler untuk mencegah adanya ndak kriminalitas misalnya CCTV, komunikasi.
5
Informasi (Informa on)
Ketersediaan informasi yang memadai untuk pelayanan angkutan umum seper jadwal kedatangan, keberangkatan, perpindahan (transfer).
Semakin lengkap semakin baik
Standar penyediaan informasi secara jelas baik di kendaraan angkutan umum maupun fasilitas penunjang serta website pada otoritas transportasi
6
Konek vitas (Connec vity)
waktu dan jarak yang dibutuhkan untuk perpindahan baik pada jalur maupun moda transportasi.
Semakin cepat semakin baik
Standar waktu dan jarak perjalanan untuk melakukan perpindahan jalur dan moda transportasi
7
Keterjangkauan (Affordability) ***)
Bagian pengeluaran rumah tangga (household) untuk transport pada 20% rumah tangga berpendapatan terendah. **)
Semakin kecil semakin baik
Standar operasi angkutan umum dan biaya operasi serta umur ekonomis kendaraan umum
8
Ramah Lingkungan (friendly to environment)
Jumlah kendaraan umum yang menggunakan mesin dan bahan bakar yang dikategorikan sebagai mesin dan bahan bakar yang ramah lingkungan.
Semakin banyak kendaraan angkutan umum standar euro II atau III dan bahan bakar bukan minyak seper CNG atau LPG)
Standar Kendaraan angkutan umum terkait fasilitas untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca dan penyediaan fasilitas untuk alat transport non motorist,
Sumber : Departemen Pertanian RI
luasan yang menguntungkan untuk dikelola secara korporasi, maka hal ini mempengaruhi minat/ pilihan pengembangan usaha pertanian secara perorangan dengan skala korporasi. Pilihan lainnya adalah : para pemangku kepen ngan pertanian (setempat) dan para pemilik lahan sempit pertanian bekerja bersama (coopera ve) dalam mengembangkan sumber daya ekonomi setempat (pertanian). Maukah mereka bekerja sama?
Indikator
Sumber : *) Nolberto Munier, Handbook on Urban Sustainability, Springer 2007 **) Todd Alexander Litman; Urban Transporta on Management, dalam Nolberto Munier, 2007 ***) usulan - olahan
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
89
umum bersifat individual atau per unit kendaraan dan bukan pengoperasian armada secara keseluruhan dalam satu koridor/trayek pelayanan berdasarkan permohonan ijin trayek yang disetujui oleh pemerintah. Oleh karena itu perlu suatu ndakan yang dapat mendorong pengoperasian angkutan umum itu dak lagi berdasarkan individual kendaraan tetapi pelayanan suatu armada dalam satu koridor pelayanan bahkan seharusnya pelayanan ke seluruh pelosok kota. “Kontrak Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan” merupakan salah satu ndakan yang dapat menghindari pengoperasian angkutan umum perkotaan secara individual untuk meningkatkan kualitas pelayanan. “Kontrak Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan” merupakan satu kesepakatan antara pemerintah dan penyedia angkutan umum perkotaan tentang pelayanan angkutan umum seper apa dan dengan biaya seberapa besar yang bisa dibebankan kepada masyarakat baik secara langsung kepada penumpang maupun kepada masyarakat lainnya yang nggal di kota yang bersangkutan.
PERMASALAHAN Awak angkutan umum merupakan orang paling depan (front-liner) untuk dapat mewujudkan pelayanan angkutan umum perkotaan yang baik dalam ar menjamin keselamatan, keamanan, dan keteraturan. Namun pada kenyataannya para awak angkutan umum perkotaan sering melakukan ndakan ngetem (berhen dengan waktu yang cukup lama untuk menunggu penumpang), kejar kejaran, menjejali bis dengan penumpang berlebihan, menaikkan dan menurunkan penumpang sembarangan dan bukan di tempat yang seharusnya yakni halte dan terminal. Tingkah laku awak angkutan umum seper ini yang membuat pelayanan angkutan umum perkotaan dak bisa diandalkan. Persoalannya awak angkutan umum dihadapkan pada sistem “setoran” yang diterapkan oleh pengusaha angkutan umum pemegang ijin trayek. Sistem setoran adalah pengelolaan angkutan umum dengan menetapkan berapa jumlah uang yang harus diserahkan oleh awak angkutan kendaraan umum yang mengoperasikan satu kendaraan dalam satu hari kerja. Jadi kalau awak angkutan umum mau bertahan hidup, mereka harus dapat mengoperasikan sarana angkutan umum seefisien mungkin sehingga mereka mendapat
88
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
uang yang melebihi dari setoran yang ditargetkan oleh pemilik kendaraan angkutan umum tersebut. Dengan demikian pusat perha an para awak angkutan umum bukan pada bagaimana memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat tetapi pada bagaimana mereka bisa memperoleh pendapatan melebihi jumlah setoran yang harus mereka berikan kepada pemilik kendaraan. Mereka kurang peduli terhadap kepen ngan penumpang sehingga tak k yang diterapkan seper “ngetem”, menjalankan kendaraan dengan kecepatan nggi dan berhen mendadak demi mencapai target setoran dan kelebihan yang mereka inginkan. Mereka tak peduli “ngetem” lama akan merugikan penumpang, bahkan dak segan mereka menye r sembarangan yang membuat penumpang khawa r akan keamanan dan keselamatannya.
Standar PelayananAngkutan Umum Perkotaan di Kota Kota Besar di Dunia Menurut Nolberto Munier dalam bukunya Handbook on Urban Sustainability (2007, hal. 49)2 pelayanan transportasi sebagai subsistem dari keberlangsungan suatu kota (urban sustainability), harus sejalan atau memenuhi kondisi keandalan (reliability), kemudahan pelayanan (accesibility), keselamatan (safety), pelayanan cepat (fast service), frekuensi (frequency), biaya (cost effec ve), konek vitas (connec vity), informasi jelas dan terbuka (informa on), ramah lingkungan (sound environment). Dari sembilan kondisi yang dikemukakan Munier tersebut menurut saya perlu ditambahkan keamanan (security) mengingat di Indonesia keamanan dibedakan dengan keselamatan. Sedangkan cost effec ve lebih tepat digan kan dengan keterjangkauan atau affordability untuk mengukur besaran tarif dengan kemampuan masyarakat maupun pemerintah untuk menanggungnya. Sementara pelayanan cepat dan frekuensi pelayanan sudah diwakili oleh keandalan. Oleh karena itu beberapa karakteris k kualitas pelayanan angkutan umum perkotaan dengan beberapa indikatornya disampaikan pada Tabel Karakteris k Kualitas Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan. Pada Tabel tersebut disampaikan parameter dan indikator berikut pengukurannya dengan langkah langkah yang diperlukan untuk mengendalikan kualitas pelayanan. Pelayanan angkutan umum perkotaan di luar negeri yang bisa mendeka pandangan Munier cukup banyak dan sebagai bahan acuan untuk perbandingan dengan
di daerah, sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat, akan memerlukan kerja sama antar para pemangku kepen ngan termasuk para pelaku usaha. Sayangnya, sebagaimana diindikasikan oleh Wakil Presiden RI (Boediono, 2012), semangat kebersamaan atau “gotong royong” (yang memudahkan upaya pengintegrasian) tampaknya mulai luntur dari konteks sosial budaya masyarakat Indonesia.7 Seberapa besar perubahan struktural yang diakibatkan oleh lunturnya semangat kebersamaan tersebut dapat diperbaiki, akan sangat tergantung pada seberapa besar manfaat yang bisa diterima masyarakat dari kultur/ budaya kebersamaan tersebut. Wiroutomo (2012) mensyaratkan bahwa perubahan kultural hanya dimungkinkan melalui perubahan struktural, dan tentunya rentang waktu untuk memrosesnya. Sistem nilai yang seharusnya menguatkan sisi kultural bangsa sepatutnya dijaga dan dipertahankan, sehingga dak perlu upaya strukturisasi/ restrukturisasi. Permasalahannya; memelihara semangat gotong royong sebagai sistem nilai budaya Indonesia terkendala oleh perubahan kons tusi yang dak lagi mengedepankan semangat kolek f (UUD 1945), namun cenderung menguatkan semangat individualis dengan alasan hak asasi manusia (UUD NRI 1945). Bagaimanapun juga, secara struktural pemerintahan RI berkepen ngan terhadap pemeliharaan semangat kebersamaan dalam menjaga NKRI secara demokra s. Pemerintah berupaya memelihara semangat kolek f dan memprosesnya dalam struktur yang dijalankan secara melembaga, diantaranya melalui Koperasi yang kelembagaannya diatur melalui UU No. 17/ 2012 tentang Perkoperasian. UU tersebut baru-baru ini dibatalkan oleh Mahkamah Kons tusi, sehingga pengaturan koperasi kembali kepada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Nilai-nilai kebersamaan yang dimiliki (dibangun) koperasi kiranya bisa dimanfaatkan untuk mengintegrasikan rantai nilai usaha pertanian, terutama pengelolaan limbah/ sampah pertanian hingga menjadi energi listrik untuk kepen ngan masyarakat luas. Dengan semangat kebersamaan, unsur yang harus ditonjolkan dalam proses pengintegrasian tersebut adalah bagaimana membangun 7
WAPRES RI : GELORAKAN GOTONG ROYONG. 2012. h p ://ja m. bkkbn.go.id/berita.php?p=berita_de l
karakteris k usaha pertanian dalam format perkoperasian sebagai penguatan terhadap kapasitas perekonomian masyarakat.
Lingkup Analisa Kebijakan Dalam rangka pemanfaatan sampah pertanian untuk energi, Koperasi tampaknya dapat memberikan k- k temu dalam proses pengintegrasian usaha pengelolaan/ pengolahan sampah untuk energi; karena dapat dikatakan bahwa masyarakat petani (termasuk perkebunan dan peternakan) dipengaruhi oleh perubahan struktural yang terjadi di masing-masing bidang kegiatan/ usaha pertaniannya. Mereka harus lebih terintegrasi dalam rantai nilai usaha mereka secara horizontal dan ver kal berdasarkan kedekatan usaha mereka dengan produksi dan/ atau dengan pemasarannya. Koperasi dapat menjadi instrumen yang efek f untuk komunitas dalam menjalin rantai nilai tersebut, dan mengelolanya secara terintegrasi bidang-bidang kegiatan di rantai nilai pertanian, ex-ante, on going, dan pasca produksi, sekaligus memenuhi aspirasi usaha individu dan kebutuhan usaha bersama masyarakat. Mengubah sampah menjadi energi (energi biomassa) yang terjaga penyediaan bahan bakunya, dapat dilakukan secara individual (berbasis korporasi) ataupun komunitas (berbasis koperasi). Penyediaan energi dalam skala komunitas, dalam hal ini, menjadi kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi secara inklusif. Tidak harus sama rata dan sama rasa, namun se daknya apa yang menjadi hakhak dasar masyarakat terhadap energi dapat dipenuhi. Pangan dan energi merupakan hak yang paling dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah.8 Pengintegrasian usaha pertanian dalam rangka penyediaan energi (dan pangan) untuk masyarakat akan memerlukan usaha bersama secara lintas sektor dan lintas lembaga.
8
Untuk pangan dapat dipas kan sebagai hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi, cek di h p ://bkp.pertanian.go.id/downlot. php%3Ffile%3DBuku_Dasawarsa_BKP.pdf, sedangkan energi sebagai hak dasar masih wacana, dimana dukungan poli k dibutuhkan dan dukungan poli k hanya mengiku kemauan poli k, cek situs h p ://power-to-the-people.net/2013/01/renewable-energy-ourfundamental-choice-today/. Sementara itu, Ketua Umum PBNU Said Aqil Sirajd (2008) mengemukakan bahwa “Se ap kebijakan di sektor energi harus diarahkan pada pemenuhan kepen ngan masyarakat, bukan untuk kepen ngan segelin r kelompok atau kepen ngan tertentu.” Cek situs h p ://migasreview.com/kebijakan-sektor-energi-harus-diarahkanpemenuhan-kepen ngan-masyarakat.html#sthash.jWcVodxM.dpuf.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
13
Dalam rangka pencapaian tujuan di atas, dengan metode agenda se ng diharapkan dapat dikenali halhal yang menjadi permasalahan yang bisa memengaruhi keputusan publik, terkait kepen ngan pengiden fikasian pokok-pokok permasalahan agar dapat dilakukan pendalaman dalam mencari solusi secara sistemik yang kemudian dapat dikuatkan dalam suatu agenda kebijakan pemerintah (skenario) yang patut disikapi bersama. Berdasarkan agenda kebijakan yang bersifat sistemik tersebut, kemudian disusun agenda kelembagaan yang disesuaikan dengan peran masing-masing pemangku kepen ngan yang harus dijalankan berdasarkan skenario besarnya (agenda sistemik).
Dalam kerangka pengembangan kebijakan pemerintah di bidang perkoperasian, analisis diarahkan untuk menelaah isu atau permasalahan pokok, yang dihadapi individu ataupun publik, dalam pengelolaan sampah pertanian menjadi energi dalam sistem dan tata kelola perkoperasian. Komunitas pertanian dapat memanfaatkan koperasi sebagai instrumen usaha bersama yang saling menguntungkan; namun, perlu disiapkan skenario pengembangannya dalam satu rantai nilai usaha berdasarkan penawaran dan permintaan, khususnya dalam rangka memaksimalkan nilai keekonomian komoditas limbah/ residu pertanian. Melalui pemahaman terhadap isu pengembangan koperasi yang bersumber dari hal-hal yang bersifat privat dan publik di bidang pertanian dan energi, kemudian ditelaah hal-hal (kebijakan) yang bisa digunakan sebagai solusi menuju “zero waste” dari usaha pertanian dalam bentuk agenda pemanfaatannya untuk energi melalui koperasi. Tulisan ini se daknya memberikan pelajaran terkait perkoperasian di pertanian dan perkoperasian di energi, sebelum akhirnya bisa disiapkan agenda sistemik yang menjelaskan skenario kebijakan yang perlu disikapi oleh lembaga terkait khususnya di pemerintahan.
Gambar 2. Kerangka Umum Agenda Se ng
Foto : www.tempo.com
Untuk itu, penulisan makalah ini ditujukan untuk dapat menyiapkan alterna f-alterna f kebijakan yang bermanfaat dalam rangka memperkuat perkoperasian sebagai basis usaha masyarakat yang dapat mengintegrasikan rantai usaha (pengolahan limbah/ residu) pertanian hingga menjadi energi yang bermanfaat bagi masyarakat. Melalui tulisan ini diharapkan dapat diketahui bagaimana strategi dan kebijakan pemanfaatan limbah/ residu pertanian yang sebaiknya diambil dengan hadirnya koperasi. Harapannya adalah koperasi dapat menjadi instrumen kelembagaan yang dapat mengubah pandangan buruk masyarakat terhadap koperasi. Bila usaha individu anggota koperasi ada dalam rantai usaha bersama yang dikelola koperasi, maka anggota dapat memiliki “posisi tawar” (bargaining posi on) yang lebih kuat dalam menghadapi pasar bebas.
“Kontrak Pelayanan Angkutan Umum Perkotaan” Sebuah Kebijakan Publik untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Petrus Sumarsono, JFP Madya Abstrak
P
elayanan angkutan umum perkotaaan di Jakarta khususnya dan Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) belum dapat diandalkan dalam ar tepat waktu, selamat, aman, teratur dan adil serta terjangkau bagi masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku awak angkutan umum sebagai garda terdepan (front liner) pelayanan angkutan umum perkotaan yang sering melakukan ndakan ‘ngetem’ (berhen menunggu penumpang), kejar kejaran, menyimpang dari ijin trayek yang dimiliki, menurunkan dan menaikkan penumpang sembarangan. Pemerintah hendaknya melibatkan banyak pemangku kepen ngan (stake holder) seper Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) termasuk awak angkutan umum perkotaan sebagai penyedia jasa angkutan umum, Anggota DPR dan atau DPRD sebagai pembuat undang undang dan peraturan, industri otomo f, para pakar transportasi perkotaan serta tentunya masyarakat sehingga rumusan tentang sistem operasi pelayanan angkutan umum perkotaan, kebijakan tarif dan penetapan trayek atau jaringan pelayanan angkutan perkotaan sudah memper mbangkan keuntungan op mal bagi masyarakat secara keseluruhan.
PENDAHULUAN
K
ualitas pelayanan angkutan umum perkotaan di Indonesia saat ini kurang bisa diandalkan. Ar nya, calon penumpang kurang percaya diri untuk menggunakan angkutan umum dalam rangka mencapai tujuan secara aman dan selamat dengan biaya dan waktu yang dapat diperhitungkan secara rasional. Kekurang percayaan calon penumpang angkutan umum ini karena mereka melihat kenyataan bahwa kebanyakan angkutan umum perkotaan di Indonesia dak memiliki jadwal ( me table), belum diselaraskan baik dengan moda angkutan yang lain maupun dengan lokasi yang memiliki daya tarik untuk dikunjungi, masih ada kecelakaan lalu lintas dan ndak
14
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
kriminal yang melibatkan atau terjadi pada kendaraan angkutan umum maupun di fasilitas pelayanan angkutan umum. Buk itu bisa digambarkan oleh hasil survey yang dilakukan oleh Kementerian Perekonomian bersama Japan Interna onal Coopera on Agency (JICA) mengenai Moda untuk Perjalanan ke Tempat Kerja menyatakan terjadinya penurunan penggunaan bus dari 38,3 % pada tahun 2002 menjadi hanya 12,9% pada tahun 2010 dan peningkatan penggunaan kendaraan bermotor roda dua dari 21,2 % pada tahun 2002 menjadi 48,7% pada tahun 2010.1 Hal ini bisa terjadi karena penyedia atau operator angkutan umum perkotaan masih menjalankan operasi kendaraan angkutan
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
87
Yildirim, A. K, 2009. Microfinance For The Poor : Burden or Blessing?. Retrieved from h p ://www. fountainmagazine.com/Issue/detail/ Microfinance-for-the-Poor-Burden-or-Blessing. USA.
POTENSI KOPERASI DALAM PENGELOLAAN LIMBAH/ RESIDU PERTANIAN UNTUK ENERGI Peneli an yang dilakukan oleh El-Haggar Salah M., et.al. (the American University Cairo, Egypt), Wa Hermawa (PAPPIPTEK-LIPI), dan Saleh Siswanto (FT-Universitas Indonesia) mengindikasikan bahwa pemanfaatan limbah/ residu pertanian sudah dilakukan di berbagai tempat, menggunakan bermacam bentuk teknologi dengan skala pengelolaan yang bervariasi. Terindikasi bahwa pengelolaannya umumnya dilakukan secara parsial dan dak/ belum cukup efek f untuk dikembangkan dalam skala usaha yang besar dan berkelanjutan. Kesinambungan pasokan bahan baku energi dari olahan limbah/ residu pertanian ke pusat-pusat pembangkit listrik, merupakan salah satu penyebabnya.
Beberapa negara maju seper Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat secara spesifik menegaskan tata cara pengelolaan limbah pertanian dalam bentuk peraturan dan perundangan.9 Inggris telah merivisi “Agricultural Act 1947” dan membuat sampah atau limbah pertanian sebagai limbah yang harus dikendalikan [melalui “The Waste Management (England and Wales) Regula on 2006 (Statutory Instrument 2006 No.937)].” Kanada mengatur pengelolaan limbah dalam Environmental Management Act (sebelumnya diatur melalui The Waste Management Act); dan yang mengatur secara khusus penanganan limbah pertanian adalah The Agricultural Waste Control Regula on (diper mbangkan juga dalam The Public Health Act). Dalam regulasi tersebut dikemukakan hal-hal terkait praktek memanfaatkan, menyimpan, dan mengelola limbah pertanian yang ramah lingkungan. Sedikit berbeda dengan Kanada, Amerika Serikat (AS) yang cenderung memilah peraturan berdasarkan sumber dan jenis limbah yang harus dikendalikan, mengingat faktor ancamannya yang berbeda.
9
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Pengelolaan limbah.
Environmental Protec on Agency (EPA). Selain itu, masingmasing negara bagian di AS juga mengatur sendiri tata cara mengelola limbah, termasuk limbah/ residu pertanian.
Pengalaman Manca Negara
Di Amerika Serikat, tanggung jawab pengelolaan limbah (sampah) diberikan kepada lembaga The
86
Foto: www.sakter-mccbappenas.blogspot.com
Kusumo, R. A. B., Sunar , E., & Pranadji, D. K, 2008. Analysis on the role of gender in correla on with family welfare of paddy and hor culture farmers in sub urban area. Media Gizi & Keluarga [The Family Nutri on Media], Desember 2008, 32 (2), 52 – 64. Indonesia. Mahjabeen, R, 2008. Microfinancing in Bangladesh : Impact on households, consump on and welfare. Journal of Policy Modelling, 30, 1083 - 1092. Bangladesh. Microfinance Industry Report Indonesia, 2009. Published by the Banking with the poor network, in collabora on with the Small Enterprise Educa on and Promo on Network (SEEP) network, funding by the Ci Founda on, as part of the ac vi es of the Ci network strengthening program. Indonesia. Morton, L. W., Bi o, E. A., Oakland, M. J., & Sand, M, 2007. Accessing food resources : Rural and urban pa erns of giving and ge ng food. Agriculture and Human Values 25 : 107 – 119. USA. Parianom, R, n.d. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Untuk Pembangunan Ekonomi Pedesaan [The Empowerment of Micro Finance Ins tu on for Rural Economic Development]. STIAMI Jakarta. Indonesia. Rahman, S., Rafiq, R.B., & Momen, M.A, 2009. Impact of Microcredit Programs on Higher Income Borrowers : Evidence From Bangladesh. Interna onal Business & Economics Research Journal Vol. 8, No.2. Bangladesh. Rochaeni, S., & Lokollo, E. M, 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Ekonomi Rumah Tangga Petani di Kelurahan Setugede Kota Bogor [Factors affec ng economic decision of farmers household in Setugede Village, Bogor City]. Journal of Agro Economy, Vol. 23, No. 2 : 133 – 158. Indonesia. Segal, L. M., & Sullivan, D. G, 1998. Trends in homeownership : Race, demographics, and income. Economic Perspec ves, Federal Reserve Bank of Chicago. USA. Sekhampu, T. J, 2012. Socio-Economic Determinants of Household Food Expenditure in a Low Income Township in South Africa. Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 3 (3). South Africa. Setyari, N. P. W, 2012. The Evalua on of Micro-Credit Impact Toward Household Prosperity in Indonesia : Panel data analysis. Jurnal ekonomi kuan ta f terapan [Quan ta ve applied economics journal] Vol. 5 No. 2, 141 – 150. Indonesia. Shalla, V., & Schellenberg, G, 1998. The Value of Words : Literacy and Economic Security in Canada. Retrieved from h p ://en.copian.ca/library/research /nls/ials/words/words.pdf. Canada. Teng, S., Prien, S., Mao, N., & Leng, B, 2011. Impacts of Micro-Credit on Household Economics. IJERD – Interna onal Journal of Environmental and Rural Development, 2–1. Cambodia. The Interna onal Energy Agency, 2010. Energy poverty : How to make modern energy access universal?. Retrieved from h p ://www.se4all.org/wp-content/uploads/2013/09/Special_Excerpt_of_WEO_2010.pdf. France. The Popula on Census, Central Bureau Sta s cs of Indonesia, 2010. h p ://www.jpnn.com/read/2011/06/01/93796/ BPS%3A-13-Juta-Keluarga-Tak-Punya-Rumah. Indonesia. The Monthly Report of Socio-economic Data, 2013. Central Bureau Sta s cs of Indonesia Catalogue : 91990017, 40th edi on. Indonesia. Quach, M.H., Mullineux, A.W., & Murinde, V, 2005. Access to credit and household poverty reduc on in rural Vietnam : A Cross-sec onal study. The Birmingham Business School, The University of Birmingham, United Kingdom. West, D. A., & Price, D. W, 1976. The Effects of Income, Assets, Food Programs, and Household Size on Food Consump on. American Journal of Agricultural Economics, Vol. 58, No. 4, Part 1, pp.725-730. USA.
Untuk Inggris dapat dilihat di : h p ://www.northumberland.gov.uk/ default.aspx?page=1362, untuk Kanada h p ://www.cer fiedorganic. bc.ca/rcbtoa/services/regula ons.html, dan untuk Amerika diatur diantaranya melalui The United States Environmental Protec on Agency dan peraturan di masing-masing negara bagian (h p :// www2.epa.gov/regulatory-informa on-topic/waste).
Di AS dak ada pendekatan/ pengelolaan sampah tunggal yang cocok untuk digunakan di seluruh negara bagian. Dalam mengelola semua aliran sampah/ limbah di segala situasi, EPA telah mengem-bangkan strategi pemeringkatan (hierarki) yang ramah lingkungan, khususnya untuk limbah padat. Strategi Hirarki ini lebih menekankan pada upaya untuk mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sebagian besar limbah sebagai komponen kunci dari Program Sustainable Materials Management (SMM) EPA. Di dalamnya terdapat kepen ngan pembangkitan energi dalam peringkat di
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
15
bawah upaya daur ulang/ compos ng. Di negara ini tampaknya pengurangan volume sampah/ penggunaan kembali sampah sangat dimina .10 Limbah ataupun residu pertanian yang umumnya berbentuk padat (sebelum terurai secara alamiah) telah dimanfaatkan untuk berbagai kepen ngan di banyak negara (termasuk Indonesia). Secara prinsip kepen ngan utamanya adalah mengurangi volume sampah secara bertanggung jawab, baik untuk kesehatan manusia maupun untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Peneli an Yevich dan Logan (2003)11 mengindikasikan masih kuatnya perilaku pembakaran limbah/ residu pertanian di negaranegara berkembang, khususnya di Asia dan Afrika. Rasio residu pertanian yang dibakar dan yang digunakan sebagai bahan bakar di Asia adalah 37 :63, sedangkan di Afrika rasionya adalah 50 :50. Tampak bahwa masyarakat Asia lebih memilih untuk memanfaatkan limbah/ residu pertanian untuk bahan bakar (energi) dari pada masyarakat di Afrika pada umumnya. Indonesia, dalam telaahan Yevich (et al., 2003) termasuk negara yang memberikan kontribusi residu pertanian terbesar di Asia Tenggara, dan memanfaatkan 14% diantaranya untuk biofuel. Selebihnya, 73% dibakar di ladang-ladang pertanian dan sisanya digunakan sebagai kompos. Data Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM,12 potensi biomassa untuk pembangkitan listrik diperhitungkan dapat mencapai 50 Giga Wa s (GW), namun baru sekitar 4% saja yang telah dikonversikan menjadi listrik. Potensi ini sudah dikenali sejak lama, tetapi pengembangannya terkendala oleh sulitnya mengumpulkan bahan baku biomassa dalam jumlah besar dari berbagai lokasi yang terpencar dan membawa produk biomassa ke pusat-pusat pembangkit listrik.
10
11
12
16
Penggunaan kembali dak sama dengan daur ulang. Daur ulang dipahami sebagai penghancuran material sampah untuk penggunaan selanjutnya, sedangkan penggunaan kembali biasanya sampah dipulung/ direkonstruksi untuk bisa dimanfaatkan lagi sesuai fungsi semula. Rosemarie Yevich andJennifer A. Logan. 2003. “An assessment of biofuel use and burning of agricultural waste in the developing world.” Ar cle first published online : 10 OCT 2003. h p ://onlinelibrary. wiley.com/ h p ://thepresiduntpos ndonesia.com/2013/01/28/listrikbiomassa-diperlukan-penyempurnaan-feed-in-tarrif/
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Koperasi di Bidang Pertanian Badan Pusat Sta s k (BPS) Indonesia mencatat pertanian sebagai sektor yang terdiri dari pertanian (pangan), perkebunan, peternakan, perikanan, hor kultura, dan kehutanan. Produk vitas usaha pertanian dalam ar luas tersebut, bagaimanapun juga, terikat pada faktor produksi yang terdiri dari ruang/ lahan (media tempat tumbuh tanaman), tenaga kerja (petani/ buruh tani), dan benih/ bibit. Pertanian sendiri memang erat dengan suasana perdesaan dan produksi (terutama) pangan. Saat ini pertanian mendapatkan tekanan dan resiko baru berkenaan dengan semakin terintegrasinya sistem pangan global.13 Fulton dan Gibbings (2000, dalam Novkovic et al., 200x) mengindikasikan adanya perubahan yang menantang bagi produsen makanan terkait hadirnya berbagai peraturan baru tentang kesehatan dan keselamatan, pengurangan bantuan harga dan subsidi dari pemerintah, serta peningkatan persaingan sekaligus juga saling ketergantungan internasional. Pada saat yang sama, inovasi teknologi, khususnya di bidang bioteknologi menciptakan integrasi yang lebih besar secara ver kal dan heterogenitas usaha di kalangan petani. An sipasi terhadap perubahan yang menantang tersebut dapat menjadi beban bagi individu pelaku usaha pertanian khususnya mereka yang bermodal lemah.14 Kelompok ini membutuhkan lembaga/ bentuk organisasi yang dapat membantu mereka dalam melakukan transaksi secara interorganisasional. Sebagaimana dikemukakan Bijman15 (et. al., 20xx, mengu p dari Thompson 1967; Galbraith 1977) koperasi adalah organisasi yang berorientasi transaksi; dimana anggotanya (petani) dapat melakukan transaksi penawaran atau transaksi permintaan secara lebih efisien dalam bentuk organisasi daripada secara individual yang lebih sering disibukkan oleh masalah koordinasi intra-organisasi. UU No.25/1992 tentang Perkoperasian sendiri, secara jelas mengemukakan bahwa koperasi dibentuk berdasarkan keanggotaan untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan 13
Sonja Novkovic and Natasha Power. (200x). “Agricultural and Rural Coopera ve Viability : A Management Strategy Based on Coopera ve Principles and Values,” Saint Mary’s University Halifax, Canada.
14
Modal dalam ar finansial dan manusia (human capital). Koperasi sendiri dapat dikatakan merupakan salah satu wujud modal sosial.
15
Jos Bijman, Roldan Muradian and Andrei Cechin. (20xx). “Agricultural coopera ves and value chain coordina on.”
REFERENCES Aikaeli, J, 2010. Determinants of Rural Income in Tanzania : An Empirical Approach. Research Report 10/4, Dar es Salaam, REPOA. Tanzania. Antoni, M., & Heineck, G, 2012. Do Literacy and Numeracy Pay Off? On the Rela onship between Basic Skills and Earnings. IZA Discussion Paper No. 6882. Germany. Arief, B., & Rosmia , M, nd. Dampak akses kredit terhadap kesejahteraan rumah tangga petani padi [Impact of access to credit on the rice farmer’s household welfare]. 30 tahun Ins tut Koperasi Indonesia [30 years Indonesian Coopera ves Ins tute]. Indonesia. Astu , A. W. W, 2013. Peran Ibu Rumah Tangga dalam Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga [The Role of Housewife in Improve Family Welfare]. (Unpublished Undergraduate’s Thesis). Universitas Negeri Semarang. Indonesia. Bertrand, M., Kamenica, E., & Pan, J, 2013. Gender iden ty and rela ve income within households. NBER Working Paper, No. 19023. USA. Bridge, B., Adhikari, D., & Fontenla, M, 2013. Household-level Effects of Electricity on Income. The Himalayan Research Papers Archive is hosted by the UNM University Libraries, Nepal Study Center, University of New Mexico, SouthSouth Coopera on and Development. Nepal. Cahyaningqyas, N. W, 2013. Pengaruh Pemberian Pinjaman Modal Kerja Bergulir Dari Proyek Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan (P2KP) Terhadap Pengembangan Usaha Masyarakat [The Influence of Revolving Working Capital Lending From The Urban Poverty Reduc on Project (P2KP) Toward Business Development Community]. h p ://e-journal.upstegal.ac.id/index.php/Sosekhum/ar cle/download/230/233. Indonesia. Diagne, A., & Zeller, M, 2001. Access to credit and its impact on welfare in Malawi. Research Report 116, Interna onal Food Policy Research Ins tute. Washington, D.C. USA. Dose, H, 2007. Securing household income among small-scale farmers in Kakamega district : possibili es and limita ons of diversifica on. GIGA Research Programme : Transforma on in the process of globalisa on. Retrieved from h p ://www.giga-hamburg.de/de/system/files/publica ons/wp41_dose.pdf. Germany. Fadjar, 2013. Jumlah lembaga keuangan mikro Indonesia diperkirakan 567.000-600.000 unit [The number of Indonesian micro finance ins tu on es mated 567.000-600.000 units]. Warta Ekonomi. Retrieved from h p ://wartaekonomi.co.id/berita14501/jumlah-lembaga-keuangan-mikro-indonesia-diperkirakan-567000600000unit.html. Indonesia. Gentry, W. M., & Hubbard, R. G, 2004. Entrepreneurship and household saving. Advances in Economic Analysis & Policy(4)1. USA. Hadinoto, S., & Retnadi, D, 2007. Micro credit challenge : Cara efek f mengatasi kemiskinan dan pengangguran di Indonesia [Effec ve ways of allevia ng poverty and unemployment in Indonesia]. Publisher : PT. Elex Media Kompu ndo. Indonesia. Imai, K. S., & Azam, M. D. S, 2012. Does microfinance reduce poverty in Bangladesh? New evidence from household panel data. The Journal Development Studies, 48 :5, 633-653, DOI : 10.1080/00220388.2012. 661853. United Kingdom. Iqbal, 2013. UU Lembaga keuangan mikro berjalan 2015 [The act of micro finance ins tu on which is applied in 2015]. Retrieved from h p ://www.neraca.co.id/ar cle/32088/UU-Lembaga-Keuangan-Mikro-Berjalan-2015. Indonesia. Iskandar, H., Sumarwan, U., & Khomsan, A, 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga [Factors affec ng family welfare]. Universitas Sumatera Utara [University of North Sumatra], Indonesia (133 – 141). Indonesia. Ismawan, B, 2006. LKM baru layani 12 persen penduduk miskin [The micro finance ins tu on had just serve poor people about 12%]. Retrieved from h p ://www.antaranews.com/berita/45471/lkm-baru-layani-12-persen-pendudukmiskin. Indonesia. Kemeny, Jim, 2004. Home ownership against the welfare state : the thesis and the evidence. ENHR Conference, Cambridge University. USA. Kimhi, Ayal, 2009. Entrepreneurship and Income Inequality in Southern Ethiopia. Research Paper No. 2009/05. The World Ins tute for Development Economics Research (WIDER). Finland.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
85
Summary
Limita ons and Future Research
This study examines the effect of access to business credit and household characteris cs on household welfare in Indonesia by using survey panel data from year 2009 and 2010 and the fixed effect method. Based on the result, the access to business credit increases household income by 6.15% and also increases both household food expenditure by 45.19% and household non-food expenditures by 49.03%.
This study has several limita ons that can be improved in further study. Firstly, this study only uses two year panel survey data SUSENAS from 2009 and 2010. SUSENAS panel core data is available per year while SUSENAS panel module data is done every three years on a rota ng basis. However, it would be be er if the study also includes data in 2008 that has the same database with the years 2009 and 2010. Secondly, this study only includes household’s access to business credit but did not include informa on about the amount of business credit that the household gets from a financial ins tu on including a microfinance ins tu on. The data about amount of business credit is not available in SUSENAS. Thus, it is important in future studies to collect such data. Lastly, this study did not include interest rate data that influence the household’s decision whether to choose to access business credit or not and also to decide to access business credit from government program or not. However, there is no individual level informa on in SUSENAS, thus this study used category household level data such as Sub-district Development Program/ Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Urban Poverty Allevia on/ProgramProgram Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), other government program, bank, coopera ves, and others.
In terms of the effects of access to business credit on household welfare, this has a posi ve and significant impact on household welfare that are represented by variables such as household income, household food expenditure and household non-food expenditure. The finding shows that when the household get business credit or have access to business credit, they will have higher household income and help them to fulfill their food and non-food expenditure rather than household who does not have access to business credit. It is also in line with Teng et al (2001), Quach et al. (2005), Mahjabeen (2008), and Imai & Azam (2012) who find that access to credit provides a posi ve effect and benefit in improving household well-being. However, the effect of household’s access to business credit from government program is posi ve but insignificant on household income, household food expenditure and household non-food expenditure. It might be because the program has not yet right on target for economically ac ve households. In addi on, these households also need con nuous mentoring as also stated in Cahyaningqyas (2013). Other significant result of this study related to household characteris cs is the posi ve and significant impact of spouse-entrepreneurship on household income. The spouse-entrepreneurship (spouse who has their own job) has 6.38% higher income rather than spouse who worked on other people or not working. Since the spouse female sample in this study is about 99.99%, thus wife or spouse-woman entrepreneurship significantly increases household income. By combining the informa on obtained from the significant impact of business credit and spousewoman entrepreneurship on household income, the access to business credit to wife or spouse-woman is important in order to help them start or expand their business so that they can improve their household welfare.
84
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
Policy Implica ons This study provides cri cal informa on to decision makers in Indonesia so that they will target woman in business credit programs for a be er improvement in household welfare. Furthermore, this study suggests that the government sustains and designs a program to empower spouse-woman or wife to improve their household welfare through providing loan or business credit, mentoring, and fund knowledge management to them. Moreover, it is also important for the government and each financial ins tu on including microfinance ins tu on to target economically ac ve spouse-women.
bersama anggotanya di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. Sebagai wadah usaha bersama (berbadan hukum), koperasi dibentuk juga untuk memberdayakan anggotanya sehingga dapat tumbuh menjadi kuat, sehat, mandiri dan tangguh. Dalam hal ini, koperasi dapat dikatakan merupakan wujud dari lembaga swadaya yang dibentuk secara demokra s dan memiliki otonomi dalam kebijakan-kebijakan organisasi dan usahanya.16 Koperasi pertanian dan pedesaan harus menjalankan pengaturan yang bersifat koordina f melalui “musyawarah,” atau trade off, sebagai pilihan untuk dapat melayani lebih dari satu tujuan usaha anggotanya. Pengaturan koordinasi antar kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berbeda, sebagaimana dikemukakan Bijman (et.al., 20xx), akan dihadapkan pada pilihan dan batas kemampuan dari koperasi tersebut untuk bergerak dengan caranya sendiri. Seper yang dikemukakan Novkovic (et al., 200x), koperasi akan mendapat manfaat dari strategi inova f yang menggabungkan iden tas koperasi (mul -tujuan, demokrasi, kolaborasi, dan musyawarah) dan kepen ngan anggota dalam keputusan bisnisnya. Dalam konteks ini, sesuai dengan ngkat kepen ngan dan kekuatan hubungan sosial-ekonomi yang ada didalamnya, koperasi dapat menjadi sarana untuk membangun kultur organisasi yang mengutamakan kebersamaan dan semangat “gotong royong.” Kebersamaan dan semangat gotong royong ini merupakan faktor pen ng bagi keberhasilan aksi kolek f (Wirutomo, 2012; Ostrom 1994, 1999, dalam Bijman et.al., 20xx). Data perkoperasian yang dirilis baik oleh Kementerian Koperasi dan UKM ataupun oleh BPS dak menguraikan koperasi per sektor usahanya, namun dikemukakan dalam bentuk jumlah koperasi, jumlah anggota dan karyawan, jumlah koperasi ak f-non ak f, struktur permodalan dan volume usahanya. Pada tahun 2010,17 secara nasional terdapat 177.482 koperasi dengan anggota sejumlah 30,46 juta orang. Koperasi-koperasi 16
17
Data jumlah koperasi tersedia di website Kementerian KUKM (secara nasional di 2013 terdapat 143.117 koperasi ak f) namun dak dirinci berdasarkan sektor.BPS juga dak menyediakan data tersebut. Data jumlah koperasi berdasarkan sektor usahanya tersedia parsial di berbagai Website yang disiapkan daerah. Sumber : “Rekapitulasi Data Koperasi Berdasarkan Provinsi,” 30 Desember 2010. Kementerian Koperasi dan UKM.
tersebut mempekerjakan 32.050 orang manajer koperasi dan 326.718 karyawan, dengan volume usaha mencapai Rp.76,8 triliun. Dari jumlah koperasi tersebut, 124.855 (70,35%) diantaranya merupakan koperasi ak f. Pada tahun 2013 (dari sumber yang sama), secara nasional terdapat 203.701 koperasi dengan anggota sejumlah 35,26 juta orang yang mempekerjakan 35.063 orang manajer dan 438.541 orang karyawan; serta volume usaha mencapai Rp.125,6 triliun. Dari jumlah koperasi pada tahun 2013 tersebut, 143.117 (70,26%) diantaranya merupakan koperasi ak f. Perkembangan koperasi dalam ga tahun terakhir tersebut (2010-2013), menunjukkan adanya peningkatan secara nominal di jumlah koperasi, jumlah anggota, jumlah manager dan karyawan, hingga ke volume usahanya. Walaupun secara proporsi jumlah koperasi ak f sedikit menurun, namun volume usaha per unit koperasi mengalami peningkatan dari kisaran Rp.432,7 juta pada tahun 2010 menjadi Rp.616,6 juta pada tahun 2013. Secara parsial dapat dijumpai data jumlah koperasi pertanian/ pedesaan dalam bentuk koperasi unit desa (KUD) 18 di berbagai situs Website daerah. Contohnya di NTT19 dapat ditunjukkan bahwa 29,35% dari total jumlah koperasi di NTT adalah KUD. Hasil monitoring lapangan Kementerian Koperasi dan UKM (2012) mencatat terdapat 10.677 unit KUD di seluruh Indonesia, dimana 7.088 KUD diantaranya termasuk kategori koperasi ak f. Akhir-akhir ini, Kementerian Koperasi dan UKM mendukung revitalisasi KUD. Koperasi pertanian/ pedesaan ini tampaknya harus dapat menjembatani kepen ngan masyarakat dan anggotanya berkenaan dengan efisiensi dan efek vitas usaha, pengelolaan lingkungan, dan fasilitasi anggota (keterjangkauan, kemudahan, ketersediaan faktor produksi, informasi, promosi dan pemasaran). Penguatannya dapat dilakukan melalui kolaborasi berbagai koperasi pertanian sesuai kepen ngan usaha anggota, ataupun antarKUD dengan format kemitraan.
18
KUD menurut Inpres No.4 tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan KUD adalah koperasi serba usaha yang beranggotakan penduduk desa dan berlokasi di pedesaan dengan wilayah kerja yang bisa mencangkup satu wilayah kecamatan. KUD dapat merupakan penggabungan dari beberapa koperasi pertanian kecil yangcukup banyak jumlahnya di pedesaan.
19
h p ://n .bps.go.id/index.php/ekonomi-dan-perdagangan/ keuangan-dan-harga/48-data/keuangan-dan-harga/236-banyaknyaanggota-koperasi-unit-desa-kud-dan-koperasi-lainnya-menurutkabupaten-kota-dan-statusnya-2011
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
17
Sehubungan dengan pengelolaan limbah/ residu pertanian, koperasi diharapkan menyiapkan agenda kerja yang bersifat strategik (berdasarkan skenario/ Business Plan) terkait pemanfaatan limbah/ residu pertanian untuk kepen ngan masyarakat pada umumnya, dan khususnya untuk melayani kepen ngan usaha para anggota koperasi. Dalam kerangka revitalisasi, KUD dapat menjalankan pengelolaan limbah/ residu pertanian untuk energi (biomassa) yang pasokan bahan bakunya mudah diperoleh dan selalu tersedia. Kolaborasi ataupun kemitraan dapat dijalankan untuk kepen ngan diseminasi informasi, peneli an, pengembangan, pendidikan dan pela han usaha terkait pemanfaatan limbah/ residu pertanian. Urusan penanganan limbah/ residu pertanian tampaknya lebih ditekankan kepada pemerintah daerah untuk mengaturnya bersama masyarakat. Sesuai UU No. 18/ 2008, pengelolaan sampah harus dilakukan secara sistema s, menyeluruh, dan berkesinambungan sehingga ada pengurangan volume sampah dalam pengolahannya. Untuk itu, pengumpulan limbah/ residu pertanian bisa dikelola melalui satu unit KUD, sehingga pengelolaannya bisa sistema s dan terintegra f. Keterlibatan pemerintah dan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam penyediaan data dan informasi serta pengenalan berbagai instrumen pengubah limbah/ residu pertanian menjadi energi biomassa, termasuk teknologi pembangkitan energi berbahan baku hasil olahan limbah/ residu pertanian, yang berdaya guna dan berhasil guna. Di Indonesia sendiri cukup banyak koperasi yang menggarap limbah/ residu/ sampah untuk keperluan usaha, baik dalam konteks daur ulang maupun untuk keperluan lainnya. Di Kabupaten Solok, contohnya, dilakukan kegiatan praktek pengolahan limbah menjadi sumber nutrisi untuk peningkatan produksi padi dengan pendampingan dari Pemerintah Daerah.20 Di Kabupaten Karanganyar siap dioperasikan instalasi pengolahan limbah rumah tangga berbahan organik untuk menjadi pupuk kompos; dan yang non-organik untuk kerajinan tangan. Pupuk tersebut bisa digunakan untuk bertani warga setempat, dan telah ada beberapa koperasi pertanian yang siap menampung pupuk kompos tersebut. Perdagangan antarkoperasi ini
20
18
h p ://epetani.deptan.go.id/berita/praktek-pengolahan-limbahmenjadi-sumber-nutrisi-8092
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
diperlukan untuk menutup biaya operasional.21 Selain itu, pengelola program pengolahan limbah di Karanganyar tersebut membuka bank sampah, dimana se ap penduduk diwajibkan memisahkan sampah organik dan non-organik untuk diserahkan kepada pengelola tesebut (Badan Keswadayaan Masyarakat). Pihak Pengelola mengatakan warga menerima bayaran untuk sampah yang disetorkan. Berbagai peneli an yang dimotori pemerintah telah menggarap limbah/ residu pertanian untuk berbagai kegunaan lain, seper : air kelapa sebagai pelarut vaksin penyakit tetelo (ayam buras), amonisasi jerami padi untuk pakan, ampas sagu untuk pakan unggas, asap cair dari cangkang sawit, tembakau rendah tar dan niko n, budi daya jamur merang pada limbah pulp dan kertas, campuran daun mimba dan umbi gadung sebagai pes sida naba , cookies ampas tahu, cuka kulit pisang, daun pare untuk obat cacing lambung pada domba, dendeng jantung pisang, dan fermentasi ampas tebu untuk pakan ternak.22 Tindak lanjut hasil peneli an tersebut dak diketahui, namun se daknya pemerintah juga melihat adanya nilai guna dari limbah/ residu pertanian. Disini tampaknya diperlukan mekanisme yang dapat mengatur hasil peneli an pemerintah dan pemanfaatannya bagi pengembangan dunia usaha. Usaha pertanian yang umumnya bersifat lokal, dak jarang digarap secara korpora f dan padat investasi, terutama pada usaha-usaha pertanian yang menghasilkan komoditas yang laku di pasar “global,” seper sawit, kakao, dan kopi. Limbah/ residu pertanian ini bisa diperoleh secara gra s ataupun dengan penggan an finansial melalui kolaborasi antarusaha (korporasi dengan koperasi). Bagaimanapun juga pemanfaatan limbah/ residu pertanian untuk energi biomassa, hasilnya akan dapat dinikma oleh masyarakat dan anggota koperasi. Cerita gagal dan sukses koperasi di Indonesia cukup banyak dan bisa digali dari bertambahnya koperasi-koperasi yang dak ak f (ma suri) hingga ke koperasi-koperasi yang bisa mengekspor komoditas-komoditas unggulan daerah. Kolaborasi dalam bentuk kemitraan dengan dorongan pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM, telah diupayakan diantaranya melalui sinergitas usaha dengan 21
h p ://www.karanganyarkab.go.id/20130607/desa-buran-bersiapoperasikan-instalasi-pengolahan-limbah/.
22
h p ://www.iptek.net.id/ind/pd_limbah/?mnu=2
Table-3. Coefficient es mates (dependent variables : log household food expenditure) Independent Variables
OLS
S.E.
FE
S.E
0.2404431***
0.0114127
0.4519531***
0.0217443
-0.0295663
0.0209295
0.0912186
0.0383885
0.0463349***
0.0015218
-0.0094701
0.0050846
Head’s literacy level
0.1274514***
0.0087891
-0.2409978***
0.0202594
Spouse’s literacy level
0.0795199***
0.007359
-0.0658909***
0.0195353 0.0199547
Access to business credit Access to business credit from government program Household’s size
Child’s literacy level
0.0575744***
0.0073619
0.1733075***
Head’s agricultural job
-0.1164333***
0.0064025
-0.0600663***
0.016279
Spouse’s agricultural job
-0.1085771***
0.006718
-0.0676342***
0.0159633
-0.0337996
0.0139648
-0.0022763
0.0320213
Child’s agricultural job Head’s own job
0.0055511
0.0053087
0.0143534
0.0128622
Spouse’s own job
-0.0146374
0.0070616
0.0248514
0.0159318 0.0376712
Child’s own job Male Head Male Spouse Male Child
0.0123335
0.0180042
0.0423375
0.1079666***
0.0092373
0.0501477
0.0330518
0.1114726
0.0499652
0.0993909
0.1033562
0.0103402
0.0081049
-0.0780856***
0.0236809
Home-ownership
-0.0537953***
0.0066785
0.2224767***
0.0196104
Have electricity
0.0988459***
0.0094401
0.2135163***
0.0287833
_cons
12.60096***
0.0147711
12.79348***
0.0472073
Note : *** Significant at 1%, ** Significant at 5%, * Significant at 10%. Fixed effect es ma on shows that rural omi ed because of collinearity
Table-4. Coefficient es mates (dependent variables : log household non-food expenditure) Independent Variables
OLS
S.E.
FE
S.E
Access to business credit
0.3827402***
0.0137046
0.4903495***
0.0225625
Access to business credit from government program
-0.1877603***
0.0251327
0.0573178
0.0398329
Household’s size
0.0162311***
0.0018274
-0.0426994***
0.0052759
Head’s literacy level
0.2716366***
0.0105542
-0.2264823***
0.0210217
Spouse’s literacy level
0.1444152***
0.0088369
-0.0562671***
0.0202704
Child’s literacy level
0.1543163***
0.0088403
0.1903881***
0.0207056
Head’s agricultural job
-0.2759343***
0.0076883
-0.0775492***
0.0168915
Spouse’s agricultural job
-0.2166201***
0.0080669
-0.0890844***
0.0168915
Child’s agricultural job
-0.128477***
0.0167693
-0.0308527
0.332262
0.0137361
0.0064613
0.0380207***
0.0133462
Head’s own job Spouse’s own job
-0.0152485
0.0084798
0.0519618***
0.0165312
Child’s own job
-0.0136331
0.0216199
0.055176
0.0390886
0.0719893***
0.0110924
-0.0462553
0.0342955
0.0893734
0.0599995
-0.058232
0.1072451
-0.036727***
0.0097326
-0.1236399***
0.0245719 0.0203483
Male Head Male Spouse Male Child Home-ownership
0.073064
0.0080198
0.2904343***
Have electricity
0.4361962***
0.0113359
0.3121869***
0.0298664
_cons
12.03358***
0.0177375
12.44953***
0.0489835
Note : *** Significant at 1%, ** Significant at 5%, * Significant at 10%. Fixed effect es ma on shows that rural omi ed because of collinearity
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
83
TABLES
Na onal Coopera ve Business Associa on (NCBA) dari Amerika Serikat untuk memasarkan berbagai komoditas rempah-rempah Indonesia agar bisa memasuki pasar ekspor secara khusus.
Table-1. Summary Sta s cs Variables
Mean
Log household income Log household foodexpenditure Log household non-foodexpenditure Access to business credit Access to business credit from government program Household’s member Head’s literacy level Spouse’s literacy level Child’s literacy level Head’s agricultural job Spouse’sagricultural job Child’s agricultural job Head’s own job Spouse’s own job Child’s own job Male Head Male Spouse Male Child Home-ownership Have electricity Household’s living in rural area
Std. Dev. 13.84233 12.94319 12.55329 0.066018 0.0183682 3.970088 0.9001737 0.707046 0.2162148 0.4178963 0.2410849 0.0386117 0.5304036 0.1435411 0.0206277 0.8533001 0.0024132 0.1543085 0.8237649 0.9228304 0.6009253
0.9197259 0.8966978 1.14355 0.2483145 0.1342795 1.715995 0.2997694 0.4551193 0.411664 0.4932148 0.4277433 0.1926684 0.4990767 0.3506252 0.1421351 0.3538078 0.0490655 0.3612456 0.3810215 0.2668614 0.48971
N (total observa ons) = 133,690 household sample
Table-2. Coefficient es mates (dependent variables : log household income) Independent Variables Access to business credit Access to business credit from government program
OLS
S.E.
FE
S.E
0.112289***
0.0137397
0.061562 ***
0.015205
-0.1703352***
0.0247836
0.0205485
0.0272733
Household’s size
0.0608782***
0.001971
0.0186379***
0.0039956
Head’s literacy level
0.3084481***
0.0122046
0.0298302
0.0183563
Spouse’s literacy level
0.3899089***
0.0095541
0.1282021***
0.016151
Child’s literacy level
0.0698228***
0.0086047
0.1071986***
0.0144744
Head’s agricultural job
-0.3012146***
0.0072183
-0.1283361***
0.0121667
Spouse’s agricultural job
-0.2430731***
0.009082
-0.0068835
0.0137239
Child’s agricultural job
-0.0589618***
0.0199841
0.0102978
0.0313058
Head’s own job
-0.1664147***
0.0061516
-0.0643234***
0.0092977
Spouse’s own job
-0.0359719***
0.0076062
0.0638737***
0.0109894
-0.0056536
0.0206745
0.1089285***
0.0306985
0.2959145***
0.0124163
0.3022636***
0.0271887
Child’s own job Male Head Male Spouse
0.3490518***
0.0549325
0.3412449***
0.0716366
Male Child
0.0620504***
0.0092176
0.071886***
0.0165733
-0.0913177***
0.0072859
0.0570274***
0.0127061
0.1427325***
0.0143385
0.112583***
0.0254379
12.9835***
0.0206858
13.22685***
0.0400823
Home-ownership Have electricity _cons
Note : *** Significant at 1%, ** Significant at 5%, * Significant at 10% Fixed effect es ma on shows that rural omi ed because of collinearity
82
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
PT. Coopera ve Business Interna onal (CBI) Indonesia, bekerja sama dengan NCBA, melakukan kerja sama kemitraan dengan koperasi-koperasi di beberapa provinsi dalam membangun jaringan koperasi untuk pemasaran komoditas tertentu yang diminta pasar global. Komoditas vanili, contohnya, diusahakan oleh koperasi di Klaten, Jawa Tengah, sementara komoditasnya berasal dari Timor Leste dan Papua Nugini. Komoditas lainnya yang masuk dalam jaringan usaha ini adalah kayu manis dari Sumatera Barat dan Jambi, yang diusahakan oleh sedikitnya oleh 12 koperasi unit desa (KUD) di kedua provinsi tersebut. Untuk komoditas lada hitam dan kopi arabica diusahakan melalui jaringan koperasi di provinsi Lampung, Sumatera Selatan, dan Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh).23 Cerita buruk tampaknya lebih banyak menimpa koperasi (KUD) penggarap produksi beras yang sulit berkembang. Koperasi susu (di Pujon-Malang dan PrigenPasuruan) juga sulit meningkatkan skala dan rantai usahanya, agar dak hanya berperan selaku pemasok tetapi juga sebagai industri (fabrikasi) yang mengolah susu. Ada persoalan regenerasi di koperasi pertanian, yang mana para pengelolanya semakin berusia lanjut, sementara itu dak tersedia insen f yang cukup menarik bagi generasi muda untuk ikut terlibat dalam koperasi di pertanian ini. Kaderkader penggerak yang berjiwa “coop-entrepreneurship” masih sangat kurang, dan hal ini perlu digarap terutama dalam rangka menjemput bonus demografi.24 Pemerintah dan pemerintah daerah ditugaskan oleh UU untuk memberikan kemudahan dan/ atau insen f 23
Uraian lengkap dapat dilihat dih p ://industri.bisnis.com/ read/20131124/12/188468/kemenkop-ajak-ncba-pasarkan-rempahindonesia-Editor : Mar n Sihombing
24
Hasil dialog dan pengamatan penulis selaku Direktur Pemberdayaan Koperasi dan UKM, Bappenas periode 2008-2011, saat dilakukan pemantauan kegiatan KUD di berbagai provinsi, seper di Gorontalo, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Is mewa Yogyakarta dimana KUD umumnya mengelola kegiatan yang dak lagi di usaha in nya (lebih ke simpan pinjam/ jasa pelayanan), ataupun masih di usaha in nya dengan memanfaatkan aset yang ada (mesin-mesin tua penggiling padi berteknologi 1970an), dan para pengurusnya yang sudah berumur (generasi pertama) serta banyak yang masih mengharapkan bantuan dari pemerintah.
yang sesuai dengan kewenangannya dalam mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) secara terintegrasi hingga tercapai nilai keekonomiannya yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Namun, dak tersedianya cukup data dan informasi terkait kegiatan usaha koperasi pertanian/ pedesaan secara nasional merupakan kendala dalam mengurai peran dan kapasitas perkoperasian dalam mengelola kekuatan dan kekhasan pertanian lokal. Penyediaan bahan baku dari sumber limbah pertanian dan pemanfaatannya untuk energi biomassa akan bersandar pada jenis usaha pertanian dan limbah/ residu pertanian yang dihasilkan. Koperasi pertanian dan pedesaan (KUD) dapat menjadi sarana bagi pengembangan “usaha” EBT yang mengolah energi biomassa dari sampah pertanian secara berkolaborasi (bermitra) dengan koperasi energi. Karakter pengelolaan KUD yang khas, bisa melayani usaha individu (anggota koperasi) atau kelompok yang menggarap EBT dalam struktur usaha yang aturan mainnya ditetapkan bersama (sepanjang masih dalam kisi-kisi peraturan dan perundangan yang berlaku).
Koperasi di Bidang Energi Sebagaimana dicerma oleh Fitria,25 limbah hewani, residu pertanian, residu kehutanan dan limbah kayu, limbah industri, dan limbah rumah tangga lainnya dapat dimanfaatkan/ diubah menjadi energi bersih dan efisien dengan berbagai ngkatan teknologi, mulai dari yang sederhana (konvensional) hingga ke teknologi gasifikasi plasma (sophis cated). Pemulihan energi yang diberikan cukup besar, dan menurunkan secara substansial jumlah sampah di pembuangan akhir, sehingga sisanya akan dapat dikelola dengan lebih baik untuk pembuangan yang aman terkendali dan memenuhi standar kontrol polusi. Fitria mengama sisa tanaman yang melipu semua limbah pertanian, seper ampas tebu, jerami, batang, tangkai daun, kulit, kerang, kupas, pulp, dan jerami, tersedia dalam jumlah besar se ap tahunnya di seluruh wilayah di Indonesia, dan masih sangat kurang dimanfaatkan. Beberapa diantaranya, seper jerami, sekam padi, tempurung dan serat kelapa, serta ampas tebu berserat, dapat dengan mudah dikonversi menjadi energi. Kegiatan pengolahan limbah untuk energi memberikan peluang 25
Fitria.Oktober, 2012. “Energi Terbarukan dari Limbah.” Dari situs h p ://lingkungan.net/2012/10/energi-terbarukan-dari-limbah/
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
19
kepada bisnis, kepada lingkungan, dan bagi pembangunan pedesaan. Limbah/ residu pertanian tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan baku/ sumber energi biomassa.26 Residu Pertanian dapat diolah menjadi bahan bakar cair atau termokimia untuk menghasilkan listrik dan panas.
Ketersediaan limbah atau residu pertanian dak jarang dihadapkan pada faktor musim, dan se ap musim dapat memberikan kuan tas dan kualitas bahan baku yang berbeda untuk dapat digunakan sebagai sumber energi biomassa (Fitria, 2012; Yevich, 2003). Rakhman27 mengemukakan bahwa biomassa merupakan sumber energi yang dapat didaur ulang (renewable) dan biomassa perlu dikonversi (melalui suatu proses) hingga menjadi bahan bakar yang mudah dan aman digunakan. Beberapa bahan limbah seper kotoran hewan ternak (sapi) dan limbah buah-buahan telah diolah menjadi biogas yang dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga seper memasak, menghasilkan listrik, ataupun sebagai subs tusi
26
27
20
Biomassa atau energi matahari yang tersimpan pada material biologis (seluruh tumbuhan dan hewan pemakan tumbuhan) merupakan sumber energi terbarukan yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia. h p ://www.pikiran-rakyat.com/node/217221 (2013). Diku p dari Maman Rakhman. “Penger an Konversi Energi.” h p :// file.upi.edu/Direktori/FPTK/ JUR_PEND._TEKNIK_MESIN
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
bahan bakar minyak (fosil), di berbagai lokasi di Indonesia.28 Limbah pertanian berbentuk padat juga mudah dikonversi menjadi bahan bakar dan bisa dilakukan di lahan-lahan perkebunan atau kehutanan yang menghasilkan residu dan limbah kayu. Teknik konversi yang digunakan diantaranya digester anaerobik untuk menghasilkan biogas, atau fermentasi untuk menghasilkan etanol (Fitria, 2012), atau pembakaran langsung.
also have lesser household non-food expenditure about 7.75% and 8.9% rather than those who work in the non-agriculture, while the effect of child who work in agricultural job become insignificant (Table 4). The finding is coherent with study done by Dose (2007) who studies that small scale economy farmers household that live in rural area are difficult to meet the life needs (food and nonfood) because they have an unstable income.
earning (Bertrand, Kamenica& Pan, 2013). This is also supported by the common think of people that the male is the backbone of his family. However, the effect of male head and spouse has a posi ve and insignificant impact on household food, while the effect becomes nega ve and insignificant on non-food expenditure. In addi on, the effect of male child is lower household food and non-food expenditure about 7.8% (Table 3) and 12.36% (Table 4).
Walaupun penggarapan sumber energi biomassa di Indonesia tampaknya sudah menjadi pilihan usaha masyarakat, namun pengelolaannya melalui koperasi masih harus didorong oleh pemerintah. Beberapa individu/ kelompok individu telah mengelola pembangkitan energi listrik dalam skala mikro dengan pendistribusian secara terbatas, memanfaatkan potensi mikrohidro, energi surya, energi panas bumi, ataupun biomassa. Biomassa di Indonesia (2012) juga digarap dunia usaha (bukan koperasi), diantaranya dikembangkan swasta di 33 lokasi kabupaten/ kota, seper di Bandung, Tanggerang, Bekasi, Malang, Padang Panjang, Kutai Kartanegara, Banjar, Sigi Palu, Mempawah, Bontang, dan Tenggarong, dengan ngkat perolehan manfaat rata-rata perhari adalah 224 m3 biomethan yang setara dengan 224 kwh atau 107,52 kg LPG, dan sekitar 7200 liter pupuk organik cair.29
The effect of household who working in their own business has lowering household income about 6.43% and increasing household non-food expenditure about 3.80% rather than those who work not in their own business, while its impact become insignificant on household food expenditure (Table 2). In addi on, the spouse who has their own job have posi ve and significant impact on household income and non-food expenditure about 6.38% and 5.19% respec vely, while its impact on household food expenditure become insignificant (Table 3). On the other the effect of child who has their own job is insignificant on household food and non-food expenditure while the effect on household income is posi ve and significant about 10.89% (Table 4). Thus, the contribu on of the wife or woman in family welfare improvement is very important. This finding is coherent with the study done by Astu , A. W. W (2013) that found the presence of women (as a mother or a wife) in a family has a posi ve impact on the fulfillment of the needs of the family in the form of clothing, food, health, and educa on.
Home-ownership implies posi ve and significant impact on household income, food and non-food expenditure. Thus, household who has their own house have higher household income, household food and nonfood expenditure about 5.7% (Table 2), 22.25% (Table 3), and 29.04% (Table 4) rather than those who does not have their own house. Household who owns their own house usually have a be er economy level. There is posi ve rela onship between home-ownership and household welfare (Iskandar & Ujang, 2006). In addi on, household who owns a house tends to have higher non-food expenditure related to the house’s repair and maintenance.
Meskipun “pemulihan” energi dak menjadi strategi yang paling dipilih di Amerika Serikat, namun di Ohio Amerika Serikat terdapat koperasi energi yang didirikan oleh sekelompok petani pada tahun 1936 (di Licking dan Knox, Ohio). Kelompok petani tersebut memutuskan untuk mengambil keuntungan dari program federal yang ditawarkan oleh Rural Electrifica on Administra on (REA, Administrasi Elektrifikasi Pedesaan) dengan membentuk Koperasi listrik yang disebut Licking Rural Electrifica on (LRE). Pada awalnya hanya 5 orang yang dipekerjakan untuk melayani 410 anggota dan 143 kilometer jaringan listrik. Saat ini, koperasi listrik Ohio (LRE) tersebut melayani hampir 340.000 rumah dan bisnis di Ohio dan berkolaborasi dengan hampir 1.000 koperasi listrik pedesaan di seluruh
28
Di Yogyakarta,misalnya ada koperasi pasar yang mengolah sampah pasar sisa dari buah dan sayuran yang dak terjual untuk diolah hingga menjadi biogas yang digunakan untuk menghidupkan generator listrik.
29
h p ://www.pikiran-rakyat.com/node/217211 (2013).
The male gender for the head, spouse and child shows posi ve and significant impact on household income about 30.23%, 34.12%, and 7.19% respec vely (Table 2). A er marriage, wife usually tends to not work, raise child, or find informal job that pay earning much lower than the husband
Electricity is a source of energy and facili es which are essen al for every household, especially in improving the produc vity of household’s economy and household’s quality of life. The finding shows that household who have access to electricity have higher household income, food and non-food expenditure about 11.26% (Table 2), 21.35% (Table 3), and 31.22% (Table 4), when compared to household who do not have access to electricity. This is in line with the study conducted by Bridge, Adhikari & Fontenla (2013) that found household’s access to electricity increase their income and welfare significantly. In addi on, the effect of a household’s access to electricity also results in higher consump on per capita.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
81
of a male head has a posi ve and significant impact on food expenditure about 10.79% while the effect of male spouse and male child are insignificant (Table 3). However, the effect of the male head has posi ve and significant impact on household non-food expenditure about 7.19%, but the effect of male child has nega ve and significant impact on household non-food expenditure about 3.67% (Table 4). In addi on, the male spouse has an insignificant impact on household non-food expenditure. Bertrand, Kamenica & Pan (2013) study that husband in general has a bigger earning rather than wife. On the other hand, this finding is also not coherent with Sekhampu, T. J (2012) that have found gender of head has insignificant impact on household’s food consump on expenditure. The effect of owning a house has a nega ve and significant impact on household’s income of about 9.13%(Table 2). In addi on, household who have their own house has a lower effect on food expenditure of about 5.37% (Table 3), while the effect of home-ownership has an insignificant impact on household non-food expenditure (table 4). This finding is in line with Kemeny Jim (2004) who states that home-ownership have a nega ve and significant rela onship with household’s welfare. The access of electricity in a house has a posi ve effect and significant to improve and raise household income about 14.27% (Table 2). In addi on, the effect of access to electricity also has a posi ve and significant impact on household’s food expenditure of about 9.88% (Table 3). The household that have access to electricity also have a higher effect on non-food expenditure of about 43.62% (Table 4). Bridge, A., & Fontenla (2013) also found the access to electricity have posi ve and significant impact on household’s income and consump on per capita.
Fixed Effect Es ma on The obtaining of business credit gives a posi ve coefficient and significant impact on household income about 6.15% (Table 2). In addi on, the effect of obtaining business credit also increases household food expenditure about 45.19% significantly (Table 3). Moreover, the access to business credit also has posi ve and significant impact on household non-food expenditure about 49.03% (Table 4).Teng et al (2001), Quach et al. (2005), Mahjabeen (2008), and Imai & Azam (2012) find that access to credit providing
80
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
a posi ve effect and benefit in improving household wellbeing. On the other hand, the effect of household access to business credit from a government program has a posi ve but insignificant impact on household income, food and non-food expenditure. It means that access to business credit from government program may have played an important role to increase household income, food and non-food expenditure. Number of household members has different effects on the household income, food and non-food expenditure. The effect of number of household members increases household income about 1.86% (Table 2), while the effect can also lower household non-food expenditure about 4.26% (Table 3). However, the effect becomes insignificant on household food expenditure (Table 4). According to West & Price (1976), the household size has a nega ve and significant on household food consump on by the existence of household economies of scale and technology such as refrigerator to store and preserve food. Literacy level of spouse and child shows posi ve and significant impact on household income about 12.82% and 10.72%, respec vely, rather than those who does illiterate, but the effect of the literacy level for head is insignificant (Table 2). The head’s and spouse’s literacy level significantly decrease household food expenditure about 24.09% and 6.58%, respec vely (Table 3) compared to those who does not have literacy. However, the effect of child’s literacy level becomes insignificant on household food expenditure. The head household’s and spouse’s literacy level have a nega ve and significant impact (about 22.64% and 5.63%) while the child’s literacy level has a posi ve and significant impact about 19.04% on household non-food expenditure (Table 4) when compared to those who are illiterate. Head of household who works in agricultural job has lower household income about 12.83% rather than those who work in the non-agricultural. On the other hand, the effect of spouse and child who have agricultural job is insignificant on household income (Table 2). Besides that, the effect of the head and spouse who work in agricultural job also have nega ve and significant impact about 6% and 6.76%, while the effect of child who work in agricultural job become insignificant on household food expenditure (Table 3). The head and spouse who work in agriculture
Amerika Serikat melayani 25 juta konsumen-anggotanya.30 Sistem keanggotaan yang dijalankan LRE berorientasi pada pelayanan prima mengiku nilai dan prinsip perkoperasian, seper harga jual listrik yang pantas (modest), keuntungan dikembalikan kepada anggota, dan dijalankan sesuai dengan “keinginan” anggota. Dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik untuk komunitas, koperasi melayani penuh calon anggota yang mengalihkan pelayanan energi listriknya ke koperasi dari perusahaan penyedia listrik nonkoperasi (terima beres). LRE juga membuat komitmen yang tegas untuk menjalankan energi hijau. Selain itu, terdapat Koperasi Energi Touchstone (KET) yang berusaha untuk menyediakan listrik yang dapat diandalkan dengan biaya yang kompe f untuk se ap anggota. KET memberikan kekuatan kepada anggota untuk bersuara tentang bagaimana koperasi sebaiknya dijalankan. Koperasi tersebut siap memberikan energi yang dapat diandalkan dan terjangkau untuk meningkatkan kualitas kehidupan anggotanya. Anggota dituntun agar dapat menghemat uang melalui penggunaan energi yang bertanggung jawab secara bersama dalam satu komunitas koperasi yang terkoneksi.31 Di Inggris, terdapat koperasi energi Bristol (BEC, Bristol Energy Coopera ve) yang dimiliki oleh masyarakat setempat (Bristol), bertujuan menumbuhkan pasokan energi hijau dan mendorong pemanfaatan energi secara terbuka untuk semua. BEC adalah anggota dari Bristol Energy Network, sebuah organisasi payung yang melayani semua inisia f akar rumput secara luas di bidang energi dan yang terlibat dalam isu-isu energi keberlanjutan di Bristol. BEC didirikan sehubungan dengan diterapkannya kebijakan Feed-In-Tarif (FIT) di Inggris pada bulan April 2010, sebagai bentuk subsidi pemerintah untuk penggunaan energi terbarukan, termasuk skim energi surya yang menggunakan Photovoltaic (PV) hingga 5MW. FIT ini dibayar oleh perusahaan-perusahaan energi, yang kemudian harus menaikkan harga energi untuk menutup pembayaran (biaya) tersebut. FIT mudah tersedia bagi mereka yang memiliki proper dan modal, namun dak untuk kebanyakan orang yang dak memiliki proper ; dan 30
h p ://www.theenergycoop.com/mainNav/aboutUs/weAre.aspx
31
h p ://www.togetherwesave.com/
mereka harus membayar tagihan energi yang lebih nggi. Kepemilikan ruang hunian dan luasnya menjadi dasar perhitungan subsidi FIT. Beberapa perusahaan besar listrik menawarkan listrik gra s untuk mengkompensasi FIT yang harus dibayarkan melalui sistem sewa berdasarkan luas ruang yang dihuni individu dan organisasi masyarakat yang disubsidi. Perusahaan akan mengambil keuntungan dari FIT yakni dari margin subsidi yang diberikan pemerintah kepada individu/ organisasi masyarakat yang telah di ”sewa” tersebut sebagai imbalannya. Hal ini berar juga menjauhkan keuntungan FIT dari daerah dan masyarakat setempat. BEC bertujuan untuk menjaga keuntungan FIT dan infrastruktur energi dalam kepemilikan masyarakat lokal. Adapun energi listrik yang digunakan BEC bersumber pada energi alam yaitu energi surya dan energi angin, diperoleh dengan cara berkolaborasi dengan berbagai pihak, seper dengan para pemodal, perusahaan penghasil instrumen pembangkitan energi (panel surya), dan komunitas.32 Sementara ini di Indonesia, aspirasi dan keterlibatan daerah dalam desain program ketahanan pangan dan energi masih kurang terakomodasi, khususnya dalam pengembangan perkoperasian energi di daerah. Fasilitasi peraturan untuk membangun pola-pola kolaborasi berbasis kemitraan publik-publik, publik-privat, privatprivat yang dibutuhkan dalam pengembangan koperasi energi belum dimaksimalkan. Pembangunan energi secara swadaya di masyarakat lebih banyak ditopang secara korporasi dari pada koperasi.33 Tampaknya kolaborasi korporasi-koperasi, khususnya antara koperasi pertanian yang akan menyediakan bahan baku (untuk energi) secara berkesinambungan, dan perusahaan pembangkit energi yang lingkup kegiatannya menghasilkan dan mendistribusikan energi (listrik), perlu dibangun dalam perspek f baru yang lebih memberi ar bagi koperasi (new brand). Seluruh unsur masyarakat terlibat, mau berbagi dalam semangat gotong royong dalam bentuk koperasi sebagai kekuatan pendorong sekaligus pengendali ketahanan energi di daerah. 32
h p ://www.bristolenergy.coop/
33
Hasil telaahan melalui situs-situs di Internet dijumpai ruang gerak usaha EBT lebih banyak dimotori oleh unit-unit kerja berstatus perusahaan daripada oleh koperasi. Koperasi lebih banyak digerakkan sebagai koperasi pegawai dari suatu lembaga (pemerintah ataupun perusahaan yang berkecimpung di bidang energi), sehingga secara “genre” jenisnya lebih ke koperasi jasa/ perdagangan dari pada koperasi produksi.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
21
Pen ngnya Strategi Kolaborasi UU No. 25/ 1992 tentang Perkoperasian mendefinisikan koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orangseorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Prinsip koperasi di Indonesia kurang lebih sama dengan prinsip yang diakui koperasi dunia internasional. Sedikit perbedaan, terletak pada adanya SHU (Sisa Hasil Usaha) dan penjelasan mengenai pemanfaatannya. Pada Pasal 4 dari UU No. 25/ 1999 dijelaskan bahwa koperasi memiliki fungsi dan peranan antara lain : (1) mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota dan masyarakat, (2) berupaya memper nggi kualitas kehidupan manusia, dengan memperkokoh perekonomian rakyat dan sekaligus ikut mengembangkan perekonomian nasional, serta (3) mengembangkan krea vitas dan jiwa berorganisasi bagi bangsa pembelajar. Mengama perkoperasian di bidang pertanian dan energi di atas kiranya dapat dijumpai beberapa hal mendasar yang patut diper mbangkan sebagai asumsi pokok dalam pengelolaan limbah/ residu pertanian untuk energi, yakni : a. Tidak terpeliharanya semangat “gotong royong” yang dapat digunakan untuk memperkuat usaha (bersama) dalam skala komunitas b. “Liberalisme” koperasi masih bisa diselaraskan dengan ekonomi kerakyatan yang menjadi konsep dasar koperasi di Indonesia (mendalami kasus Amerika Serikat dan Inggris) c. Kolaborasi koperasi pertanian dan korporasi/ koperasi energi dapat dibangun dalam kerangka penawaran dan permintaan yang saling menguntungkan (winwin situa on) d. Dengan strategi kolaborasi tersebut diharapkan pasokan bahan baku energi dan keandalan penyediaan energi (listrik) pada masyarakat dan kegiatan usahanya menjadi lebih terjamin dan terjangkau e. Lebih terstrukturnya pengelolaan limbah/ residu pertanian dalam skala usaha yang berar bagi penyediaan EBT untuk masyarakat luas. Perkoperasian nasional tampaknya memerlukan perbaikan dalam sistem dan tata kelola koperasi mengacu pada hal-hal mendasar di atas. Purifikasi diperlukan untuk dapat mempertahankan semangat gotong royong,
22
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
dan restrukturisasi juga diperlukan dalam menghadapi tekanan/ pengaruh global beserta bawaan liberalismenya. Purifikasi maksudnya adalah mengembalikan ja diri koperasi dengan menerapkan secara seksama nilai dan prinsip koperasi gotong royong sebagai katalisator kolaborasi internal. Kebersamaan dibangun tetapi tetap sesuai dengan “keinginan” anggota dan berorientasi pada pelayanan yang terbaik untuk komunitas. Sedangkan yang dimaksud dengan restrukturisasi adalah langkah-langkah yang patut disikapi pemerintah yang mencakup : (1) pembubaran koperasi yang “ma suri” dengan mencabut statusnya sebagai badan usaha/ hukum, (2) revitalisasi koperasi yang “koma” dalam ar masih ada anggota tetapi dak ak f atau dak punya kegiatan sosial ekonomi dan dak menjalankan RAT, dan (3) pemberian insen f/ fasilitasi untuk upaya konglomerasi/ kolaborasi kemitraan (amalgamasi) melalui penggabungan/ peleburan beberapa koperasi, baik sejenis ataupun dak,dengan melihat rantai produksi dan rantai nilainya. Peningkatan skala usahadan jumlah koperasi harus menjadi per mbangan utama karena masih banyaknya koperasi beraset mikro. Sesuai dengan pengamatan Brazda (2004),34 di Austria telah terjadi perubahan struktur pertanian, dan koperasi pertanian dalam ar tradisional mungkin akan dak ada lagi dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini akan mempengaruhi struktur usaha/ kegiatan koperasi, dimana koperasi harus menjadi lebih terintegrasi dalam rantai nilai horizontal dan ver kal berdasarkan kedekatannya dengan perubahan produksi dan pemasaran. Apabila koperasi ingin terus memainkan peran utama dalam bidang ak vitas yang menjadi ciri usahanya, maka reposisi dan reorientasi usaha harus dilakukan. Sifatnya akan sangat situasional, karena mengubah lingkungan usaha akan mempengaruhi peluang dan risiko usaha, termasuk pengembangan koperasi. Kebutuhan baru anggota yang mbul dan pada saat yang sama menantang koperasi untuk beradaptasi dengan perubahan struktural dalam koperasi itu sendiri, terutama perubahan bentuk organisasi koperasi, ukuran, orientasi dan pola investasi. Pada saat ini, peran pemerintah masih cukup kuat dalam pengaturan dan penggerakan perkoperasian 34
Brazda, Johann. 2004.“Perspec ves of Agricultural Co-opera ves in Austria,” dalam Agricultural Co-Opera ves Are Facing A Challenge,Eigenverlag des FOG, Wien 2004.
welfare. This finding is similar to Quach et.al. (2005) which finds that credit for household has a posi ve and significant impact on household welfare in terms of per capita food and non-food expenditure. However, different results are obtained regarding the effect of obtaining business credit from a government program on a household’s income, food and non-food expenditure when using OLS methods. The effect of obtaining business credit from a government program variable on household income and non-food expenditure have a nega ve coefficient significantly by about 17.03% (Table 2) and 18.77% (Table 4) than those who do not have access from a government program, ceteris paribus. On the other hand, the effect of obtaining business credit from a government program variable on household food expenditure has a nega ve coefficient but insignificant impact about 2.95% (Table 3). The goverment program stated in SUSENAS panel core ques onnaire consist of : District/Sub-district Development Program, Urban Poverty Allevia on Program, and other government programs, while non-government programs are banks, coopera ves, individuals, and others. This finding is also coherent with Diagne, A. and Zeller, M (2001) which is found a nega ve and insignificant rela onship between access to microcredit and crop income and income per capita. The design and services of microcredit ins tu on or microcredit program not accommodate borrower’s constraint and demand. The number of household members has quite large magnitude in increasing household income, food and nonfood expenditure about 6.09%, 4.63%, 1.62% respec vely, ceteris paribus (Table 2, 3 and 4). The household size significantly increases the rural household income (Aikaeli, J, 2010). In addi on, Sekhampu, T. J (2012), studies that household size also has posi ve and significant impact on food expenditure. Literacy level of each head, spouse, and child has a posi ve effect and significant impact in increasing household income about 30.84%, 38.99%, and 6.98% (Table 2) than those who do not have literacy. In addi on, the literacy level of each head, spouse, and child also have a posi ve effect and significant impact in increasing household food expenditure about 12.74%, 7.95%, and 5.76% (Table 3) compare to those who illiterate.
Furthermore, the literacy level of each head, spouse and child also have a posi ve effect and significant impact in increasing household non-food expenditure about 27.16%, 14.44%, and 15.43% (Table 4) than those who do not have literacy. This finding is in line with Antoni, M., & Heineck, Guido (2012) who states that literacy and numeracy skills have posi ve and significant impact on income. The effect of the head, spouse and child who have job in the agricultural sector have decrease household income significantly by about 30.12%, 24.31%, 5.89%,respec vely (Table 2) than those who work in the non-agricultural sector. The effect of the head and spouse who work in the agricultural sector become nega ve and significant on household food expenditure about 11.64% and 10.85% respec vely (Table 3) compare to those who work in the non-agricultural sector. However, child that have agricultural job play an insignificant role on food expenditure. In addi on, the effect of the head, spouse, and child who are employed in the agricultural sector are nega ve and significant on non-food expenditure about 27.59%, 21.66%, and 12.84% respec vely (Table 4) than those who work in the non-agricultural sector. The study conducted by Rochaeni, S., &Lokollo, E. M (2005) find that household who work in non-agricultural sector receive higher income rather than agricultural sector especially for rice’s farm. The self-employment (working in their own business) for the head and spouse have nega ve and significant impact on household income about 16.64% and 3.59% respec vely, but the effect for child have nega ve and insignificant impact about 0.56% (Table 2) than those who do not work by their own business. However, the effect of the head, spouse and child being self-employed are insignificant on household food and non-food expenditure (Table 3 and 4). This result is in contrast with other studies conducted by Kimhi, A (2009) who found that entrepreneurship increase the growth of household income especially in rural area. Household asset is important for entrepreneur’s household and this is o en a barrier to start a business. Male head, spouse, and child are increase household income significantly by about 29.59%, 34.90%, and 6.20%, respec vely (table 2). OLS results also shows that the effect
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
79
The loca on of a household can also affect household income, food and non-food expenditure. From the SUSENAS data, there is informa on whether a household is in a rural or urban area. Thus, this study uses a dummy variable that consists of two values :1 for a household in a rural area and 0 for a household in an urban area. The other important variable that also affects household income, food and non-food expenditure, is whether the household owns their home. Besides affec ng household spending, these variables certainly affect household income. Households who own their own house have no need to spend their income on rent. Thus, they can use their income for other income-genera ng ac vi es. This variable is a dummy variable that is constructed from categorical informa on that is taken from panel SUSENAS data at the household level. This variable also have two values : 1 for a household who owns their own house, and 0 for a household who does not own their own house, and therefore rents their dwelling). The last variable that affect household income, food and non-food expenditure, is a household’s access to electricity. A household which has access to electricity usually has a higher economic capability and produc vity than a householdwhich does not have access to electricity. This variable is also a dummy variable that also consists of two values : 1 for a household’s access to electricity and 0 for no access to electricity. The data used in this study comes from The Indonesian Na onal Socio Economic Survey (SUSENAS) that conducts surveys and is collected by The Central Bureau Sta s cs of Indonesia. The informa on about the data can be seen in ques onnaires to capture household welfare characteris cs such as literacy level, housing status, job, income, and consump on or expenditure. SUSENAS panel data consists of two parts : core and module. SUSENAS core and module data contains general ques ons that are asked every year, but the module data contain expenditure informa on, more specific ques ons, and addi onal data based on specific topics. The study uses household sample data from 2009 and 2010 from Indonesia SUSENAS panel core and module data. In addi on, this study linked household informa on and individual informa on to examine the effect of business credit and household characteris cs
78
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
on household income, food and non-food expenditure. The study uses data from 2009 and 2010 because the Indonesian economy was in a cri cal condi on due to the global economic slowdown (Coordina ng Minister for the Economy, 2008). Thus, it would be of great interest to analyze linkages between access to business credit and the characteris cs of households on household welfare such as income, food and non-food expenditure. Table 1 shows the sta s cs concerning variables for household samples use in the study. Households who obtain business credit amount to around 6.6%, while households who obtain business credit from a government program is about 1.83% from totalhousehold observa ons. The average number of household members is about 3.97% for all household observa ons. The amount of head, spouse and childthat are literate are 90.01%, 70.7%, and 21.62% from all observa ons, respec vely. In addi on, headthat have agricultural jobs is about 41.7%, spouse about 24.1%, and childabout 3.86% from all observa ons. From Table 1, it can also be seen that the head, spouse, and child who have their own job or work as an entrepreuner stand at around 53.04%, 14.35%, and 2.06% respec vely, from all observa ons. However, in the sample, 85.33%of headare mas le; 2.4%of spouses are male; and 15.43%of child. In addi on, in the sample, 82.37%of households own their house, 92.28% of households have access to electricity in their house, and 60.09% of households live in rural areas.
OLS Es ma on The obtaining business credit variable is a main control variable used in this study. The OLS result in Table 2 shows that when a household has an access to business credit, it significantly raises household income by 11.23%, ceteris paribus. Study conducted by Rahman, S., Rafiq, R.B., & Momen, M.A. (2009) states that access to microcredit programs help borrower to raise their income. The result also shows that obtaining business credit also significantly raises food expenditure. Households that obtain business credit have larger food expenditure of about 24.04% (Table 3). Moreover, the obtaining of business credit has a posi ve effect and significant on household non-food expenditure. Households who obtain business credit raise their nonfood expenditure by about 38.27% (Table 4). These results suggest that obtaining business credit improve household
di Indonesia, namun pada saatnya Koperasi harus menjadi lembaga publik non-pemerintah yang mampu menyejahterakan masyarakat (anggota) secara mandiri dan berkesinambungan. Pemerintah perlu memiliki kemauan poli k yang kuat, tegas, jelas, dan pas dalam memberdayakan masyarakat agar mandiri dalam semangat koperasi (gotong royong), sebagai wujud pelaksanaan kons tusi (mencerdaskan, menyejahterakan sekaligus melindungi kehidupan bangsa). Pandangan Brazda di atas dapat menjadi alasan untuk menyatukan kekuatan poli k bahwa koperasi merupakan en tas ekonomi yang dinamis dan patut diperhitungkan perannya sebagai penyangga perekonomian nasional. Baga (2013)35 menduga ada “monopoli” dari Kementerian Koperasi dan UKM dalam pembinaan perkoperasian nasional, walaupun cukup banyak kementerian/ lembaga yang juga ikut mengembangkan dan melakukan pembinaan berciri koperasi di bidang kerjanya masing-masing. Misalnya, Kementerian Pertanian melakukan pembinaan terhadap kelompok tani/ gabungan kelompok tani (Gapoktan), Kementerian Sosial membina kelompok usaha bersama (KUBE), Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan kelompok nelayannya, dan banyak lagi lainnya yang menjalankan pembinaan nilai dan prinsip koperasi untuk masyarakat. Kebanyakan mereka tidak mencantumkan kata “koperasi,” karena pengembangan/ pembinaan koperasi bukan merupakan tugas dan fungsi dari kementerian/ lembaga yang bersangkutan. Kekakuan semacam ini mempengaruhi upaya nasional dalam membangun perkoperasian sebagai penggerak ekonomi kerakyatan yang menjadi dasar perekonomian nasional.36 Sementara itu, menurut Baga sudah saatnya pembinaan perkoperasian dilakukan secara bersama secara lintas satuan kerja dan lintas sektor, melalui kolaborasi antar kementerian/ lembaga, dan menggantikan peraturanperaturan yang tidak kondusif dengan upaya ini.
35
Baga, Lukman M. Dr., Ir., MA.Ec. 2013. “Rancangan Pengembangan Produksi, dan Pemasaran serta Kelembagaan Usaha.” Staf pengajar Departemen Agribisnis, Ins tut Pertanian Bogor, kertas kerja masukan dalam penyusunan background Study PRJMN 2015-2019, Bidang Pemberdayaan Koperasi dan UKM, Nopember 2013.
36
Keberpihakan poli k masih ada pada ekonomi kerakyatan meskipun roda ekonomi cenderung menjalankan prinsip-prinsip kapitalisme liberal.
POTENSI KOPERASI Terdapat kecenderungan pengaturan yang ingin mengklasifikasikan jenis usaha koperasi berdasarkan pada kesamaan kegiatan usaha dan/ atau kepen ngan ekonomi anggota. UU No. 17/ 2012 tentang Perkoperasian yang dibatalkan MK ingin membangun perijinan usaha koperasi berdasarkan klasifikasi koperasi tersebut, yang mencakup : a. Koperasi konsumen : kegiatan usaha pelayanan di bidang penyediaan barang kebutuhan anggota dan non anggota b. Koperasi produsen : kegiatan usaha pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan pemasaran produksi yang dihasilkan anggota kepada anggota dan non-anggota c. Koperasi jasa : kegiatan usaha pelayanan jasa nonsimpan pinjam yang diperlukan oleh anggota dan non-anggota d. Koperasi Simpan Pinjam : menjalankan usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha yang melayani anggota Merujuk pada UU tersebut tampaknya pengelolaan koperasi secara terintegrasi, yang memerlukan penggabungan dua atau lebih jenis koperasi (berkolaborasi) yang menjadi bidang usaha masyarakat, akan menjadi sedikit pelik. Sementara itu, UU No. 25/ 1992 tentang Perkoperasian telah menugaskan pemerintah untuk menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan koperasi. Tugas pemerintah tersebut diantaranya, memberikan bimbingan, kemudahan dan perlindungan kepada koperasi, dimana diharapkan masyarakat dapat termo vasi dan bisa memilih untuk menjadi anggota dari salah satu atau lebih jenis koperasi, yang sesuai dengan bidang kerja/ usahanya. Dalam kaitannya dengan UU No. 25/ 1992, pembinaan yang dilakukan pemerintah adalah dalam rangka menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi, Utomo37 mengemukakan bahwa hal tersebut bisa dilakukan dalam bentuk kegiatan : a. Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada koperasi 37
Utomo, Tri Widodo W. 199x(?). “Analisis Masalah dan Implementasi Kebijakan Perkoperasian dan Usaha Kecil Menurut Pendekatan Ins tu onal Arrangements.”
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
23
b.
Meningkatkan dan memantapkan kemampuan koperasi agar menjadi koperasi yang sehat, tangguh dan mandiri Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara koperasi dengan badan usaha lainnya Membudayakan Koperasi dalam masyarakat
c.
d.
Selanjutnya dikemukakan, bahwa dalam rangka bimbingan dan memberikan kemudahan kepada koperasi, pemerintah memiliki peran dalam melakukan bimbingan usaha koperasi yang sesuai dengan kepen ngan ekonomi anggota koperasinya, terutama untuk : a. Mendorong, mengembangkan dan membantu pelaksanaan pendidikan, pela han, penyuluhan dan peneli an perkoperasian b. Memberikan kemudahan untuk memperkokoh permodalan koperasi dan mengembangkan lembaga keuangan koperasi c. Membantu pengembangan jaringan usaha koperasi dan kerjasama yang saling menguntungkan antar koperasi d. Memberikan bantuan konsultasi guna memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh koperasi dengan tetap memperha kan anggaran dasar dan prinsip koperasi Ruang gerak pemerintah tampaknya cukup luas, dan ada kepen ngan untuk membangun kolaborasi (jaringan usaha koperasi) yang dimandatkan UU sebagai kebijakan yang patut ditempuh. Selain itu, dalam rangka perlindungan kepada koperasi, pemerintah dapat menempuh kebijakan seper penetapan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan oleh koperasi, dan memberikan hak usaha yang telah berhasil digarap oleh suatu koperasi untuk dak diusahakan oleh badan usaha lainnya tanpa ijin koperasi yang bersangkutan. Beberapa per mbangan Utomo yang mengacu pada UU No. 25/1992 tersebut memberikan gambaran adanya peluang bagi upaya pemaduserasian jenis-jenis koperasi yang akan menjalankan pengelolaan dan pengolahan limbah/ residu pertanian, dan koperasi-koperasi yang memanfaatkannya untuk usaha di luar sektor pertanian, seper untuk energi. UU No.17/2012 yang dibatalkan dak memudahkan terjadinya kolaborasi tersebut. Dibekali
24
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
UU No.25/1992 Pemerintah (nasional) dan pemerintah daerah sangat diharapkan dapat mengintegrasikan usaha perkoperasian untuk pengelolaan limbah/ residu pertanian dan energi dalam proses masukan dan keluaran secara terpadu, atau dalam proses penawaran dan permintaan, baik dalam kerangka kolaborasi internal antaranggota koperasi ataupun antarkoperasi. Bersama koperasi, pemerintah dapat mengop malkan kerjasama antarlembaga antardaerah, serta meningkatkan kapasitas SDM dalam sistem pengembangan dan pemberdayaan koperasi-koperasi pengelolaan limbah/ residu pertanian dan pengolahannya untuk energi. Dukungan dan fasilitasi keberpihakan secara poli k tampaknya dibutuhkan. Ada nilai-nilai sosial yang kurang diperhitungkan oleh dunia usaha, dan tampaknya dapat didorong koperasi sebagai media yang dapat memfasilitasi dan sekaligus sebagai wadah sosial bagi (khususnya) usaha mikro, kecil dan menengah.38 Seper diindikasikan oleh Hanley (et al., 2014)39 dalam perusahaan, aspek sosial merupakan benteng harapan untuk produk vitas dan kolaborasi, dimana struktur dan kultur berproses menciptakan kesempatan untuk menuntun secara efek f : siapa tau siapa, siapa tau apa, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan bagaimana keputusan bisa dibuat. Bisnis bernilai sosial (seper yang dijalankan koperasi) idealnya menjalankan bisnis berdasarkan permasalahan yang terdefinisi dengan baik, didukung oleh anggota yang 38
39
Seper halnya di India, produsen komoditas pertanian umumnya petani kecil dan menengah yang dak memiliki banyak kekuatan untuk negosiasi, karena : 1) kuantum dan nilai aset yang mereka miliki terbatas, 2) daya dukung-baik keuangan maupun infrastruktur yang buruk, 3) volume operasi/ produk vitas yang rendah; 4) kurangnya informasi pasar dan 5) kurangnya akses ke mekanisme pembiayaan formal dalam ke adaan agunan. Tidak tersedianya mekanisme pasar alterna f bagi petani kecil dan menengah, berar mendorong mereka menggadaikan produk ke pasar perantara yang akan membuat keuntungan sepihak yang besar dari perbedaan harga di ngkat petani dan harga penjualan di pasar.Mencegah hal tesebut, koperasi memungkinkan petani sebagai anggota untuk menyatukan sumber daya mereka dan mengambil keuntungan dari skala ekonomi yang ada pada semua ngkatan rantai pasokan, sejak pengadaan bahan baku atau input pertanian, hinggake fasilitasi pembiayaanusaha ataupun untuk pembiayaan sosial lainnya, yang pada akhirnya bisa menghilangkan penjualan di pasar perantara. (Ref. : WP/SYS/R002. Date : 10th Sept. 2005. “The Co-opera ve Model : Success engine for agricultural commodi es.”Website : www.nimble.in) Dave Hanley dan Alicia Hatch. 2014. “Social Ac va on : From passive to ac ve tense.” Copyright ©2014 Deloi e Development LLC. 36 USC 220506. Member of Deloi te Touche Tohmatsu Limited.usdbriefs@ deloi e.com
ameni es, a variety of goods and services, clothing, footwear and headgear, durable goods, taxes, charges, and insurance, as well as expenditures for the purposes of par es and ceremonies (Central Bureau Sta s cs of Indonesia). The income data is available in SUSENAS panel data at the individual level, while food and non-food expenditure data is already available in household level SUSENAS panel data. There are a number of controls or independent variables that are used in the study. The access to business credit and the access to business credit from a government programare variables of interest in the study. The access to business credi s a dummy variable that representstheaccess status to obtain business credit for each household. This dummy variable uses two values : 1 for household get business credit while 0 for not. In addi on, the access to business credit from a government program is also a dummy variable that representsthe access status for each household to obtain business credit from government programs such as : Sub-district Development Program/ Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Urban Poverty Allevia on/ProgramProgram Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) and other government program. This dummy variable also uses two values : 1 for householdswhich can obtain business credit from a government program, and 0 for those households which cannot. The other variables used in the study represent household characteris cs such as household member, literacy, job, gender, housing status, electricity access status, and loca on (rural or urban). First, the number of household members can be used as a control variable in this study because it can determine the amount of income or earning and expenditure of a household. This variable can be associated with household size. Literacy level is also an important variable that could affect the amount of revenue and expenditure of a household. This variable measures each household member such as the head, spouse, andchild. The data informa on obtained from SUSENAS ques onnairesis categorical data. Thus, this study uses this data and creates dummy variables to explain household literacy level. This dummy variable, such as the head’s literacy level, spouse’s literacy level, and child’s literacy level also usestwo values : 1 for literacy :
the individual can read and write; and 0 for illiteracy (they cannot read and write at all). The agricultural sector is the largest sector in providing jobs in Indonesia rather more than any other sector. Based on Popula on Census data from Central Bureau Sta s cs of Indonesia (2010), about 40.5%of the whole working popula onworks in the agricultural sector or farming businesses. Generally, income generated by each household employed in the agricultural sector is lower than income derived from another sector. Thus, this study includes the employment field variable because it could affect a household’s income and expenditure. The data informa on about working place or working field for each household used in this study is also taken from SUSENAS, and is in the form of data category. This study uses categorical data that consisted of 18 job fields and classified those working fields or job fields into twocategories : agricultural jobs and non-agricultural jobs. Because the informa on of the working field is at the individual level, then this study employs a dummy variable for each head, spouse, and childwhich also use two values : 1 when they work on a farm or in the agricultural sectors, and 0 when they work in a non-agricultural employment field. It is also important to determine the effect of employment or job status for the head, spouse, and childin a household on household income, food and non-food expenditure. Because of that, this study also uses a dummy variable concerned with job status from categorical informa on in panel data SUSENAS at the individual level. The dummy variable consists of two values : 1 for selfemployment, and 0 for a worker who works for others. By differen a ng between these two categories, we know the difference of work status on household income, food and non-food expenditure. The gender variable is another control variable that is used in this study. This variable is obtained from panel data SUSENAS at the individual level, which is set up with a dummy variable that have two values : 1 for male, and 0 for female. This variable is also very important to see the effect of the gender of the head, the spouse, and the child on household income, food and non-food expenditure.
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
77
it uses a different panel data set that is The Na onal SocioEconomic Survey (SUSENAS) in Indonesia from 2009 and 2010. Moreover, there have been very few studies that examine the impact of business credit and household characteris cs on household income and expenditure in Indonesia. By inves ga ng that topic, this study a empts to make a contribu on to the improvement of households’ welfare policies, par cularly in credit-gran ng programs and welfare programs to households. In order to measure such impact, this study employs the fixed effect model. The introduc on presents background introduc on about credit and financial ins tu ons in terms of historical background, regula ons, and their benefits. The body describes the data and the methodology used in the study and discusses the model and underlying assump ons, the results and discusses the interpreta on of main findings. The conclusion presents conclusions and policy recommenda ons
BODY This study es mates the effects of obtaining business credits and household characteris cs on a household’s welfare by using an ordinary least square (OLS) and fixed effects (FE) method. I studied a two-year period (year 2009 and 2010) in which households and their members were the objects of research. For this study, I analyzed household i at me t. In general, the household’s welfare can be divided into two indicators which are income and expenditures (World Bank, 2011). The welfare of a household can be connected with a household’s characteris cs such as the members’ level of literacy, their job field, their housing status, the gender of each household member, the number of household members. In addi on, this study applies a household fixed effects model to solve the endogeneity problem that arises from unobserved variables such as race, entrepreneurial ability and work ethos of each household member. The general structural form used in this study includes the characteris cs of households and also unobservable indicators as men oned above. The household’s welfare func on can be expressed as : Yit = β0 + β1.Cit + β2.Xit + ai + εit
76
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
where X is characteris cs of household; Y represents household income, household food expenditure, and household non-food expenditure; C represents the access to business credit and the access to business credit from a government program; i represents each household; t represents year 2009 and 2010;airepresents unobservable characteris cs of household i; and εit represents error term. The parameter of interest in this form is β1 which captures the effect of access to business credit on household welfare. Another important part of this study concerns the household sample. The household sample that is used in this study was obtained from The Indonesian Na onal Socio-Economic Survey (SUSENAS). From this survey data, it can be determined that there are households that obtain business credit and other households that do not obtain credit. By using all informa on on households that do and do not obtain credit, this study examines the impact of business credits. Other variables beside household income, household food expenditure, household non-food expenditure and the number of household member are dummy variables. The dummy variables are variables that have 0 or 1 value to show the presence or absence of an effect of categorical variables that can affect the result or outcome. The dummy variables used in this study include obtaining business credit for a household; the level of literacy of the head, the spouse, and the child; the job status and job field of the head, spouse, and child; the gender of the head, spouse, and child; the status of their housing, the type of electricity accessed by each household, and the status of the ability to obtain credit by each household. The logarithm of household income, household food expenditure, household non-food expenditure is the dependent variable used in this study. The purpose of using a logarithm form for household income is to determine the effect of controlling variables in a percentage change. Household income is obtained from a sum of income of all household members such as the head, spouse, and child. Besides that, the household food expenditure is the value of consump on of food, beverage, and tobacco as well purchase either from own produc on or provision of (Central Bureau Sta s cs of Indonesia). The non-food expenditure is expenditures on housing and household
berkomitmen,dan dengan insen f yang terdefinisi baik (jelas, tegas) untuk mereka yang berpar sipasi. Hierarki, pemikiran/ pandangan yang bias, prosedur operasi standar, dan deskripsi pekerjaan yang kaku merupakan wujud dari inersia kelembagaan yang dapat menghambat kemajuan, ungkap Hanley. Pola pikir ini patut dimasukkan sebagai paradigma perkoperasian dalam kerangka pengembangan wajah baru koperasi, dimana untuk memelihara semangat berkoperasi dituntut berbagi “rasa, upaya, dan hasil” sesuai porsi kapasitas usaha dari se ap anggotanya. Dalam pengelolaan sampah dan energi sebagai usaha bersama, akan terlibat didalamnya unsur-unsur pertanian, unsur usaha, unsur pemerintahan, unsur teknologi, unsur sumber daya manusia dan sosial, unsur geografis, dan unsur cuaca/ iklim. Masyarakat selaku anggota koperasi bisa menggunakan bersama atau sendiri-sendiri seluruh atau sebagian barang dan jasa (termasuk energi) yang tersedia/ disediakan oleh berbagai unsur di atas melalui koperasi, dak secara cuma-cuma tetapi disediakan dalam harga yang terjangkau (disepaka ). Produsen dan konsumen anggota koperasi adalah yang berhak mendapat fasilitas pelayanan prioritas. Pembentukan Koperasi simpan pinjam (KSP) dapat dimanfaatkan untuk membiayai usaha pengadaan bahan baku di sektor pertanian dan sektor energi,sebagai unit usaha yang mengakomodasi kepen ngan financial inclusion. Pen ng bagi KSP untuk mengaplikasikan nilai dan prinsip pelayanan prima dan berstandar internasional. Penerapan konsep “Ser fikasi Modal Koperasi” (SMK)40 dapat digunakan untuk memperkuat struktur modal koperasi.41 Jual beli SMK hanya mungkin dilakukan antar anggota, namun tetap menganut prinsip “one man one vote” dak dari besarnya SMK yang dimiliki. KSP dapat berkolaborasi dengan koperasi jasa untuk kepen ngan promosi dan pemasaran produk yang dihasilkan oleh 40
41
Konsep SMK dak sama dengan saham, meskipun menjadi kontroversi karena dak pro ekonomi kerakyatan dan dianggap kapitalis, SMK dapat membantu memperkuat permodalan KSP. Pemilikan SMK dak mempengaruhi kebijakan serta keputusan koperasi yang tetap berada pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) anggota koperasi (Anif Hidayatullah, 2014. “Perbedaan Ser fikat Modal Koperasi dengan Saham.” Dinas Koperasi dan UKM, Kabupaten Kulon Progo). Ada Peraturan Pemerintah (PP) No.33/1998 tentang Modal Penyertaan pada Koperasi yang memungkinkan disisipkannya konsep SMK yang lebih “merakyat,” dan PP tersebut dapat diperbaiki bila diperlukan.
anggota ataupun oleh koperasi produsen (energi/ listrik) dalam jaringannya. Koperasi Unit Desa (KUD) tampaknya menjadi cri cal point dalam revitalisasi koperasi, khususnya di jenis koperasi produksi. Penyertaan KUD dalam kemitraan usaha belum dapat mengangkat peran koperasi secara utuh dikarenakan oleh sulitnya untuk memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan mitra koperasi (seper yang ditunjuk/ disarankan pemerintah). Banyak KUD merasa sulit menyediakan modal awal Rp.200 juta yang diminta BUMN Pupuk untuk menjadi distributor pupuk. Menggarap bersama lahan pertanian juga terkendala oleh kepas an pemilikan lahan dan ego anggota. Basis komunitas belum mendapat porsi yang memadai bagi tegak dan berperannya koperasi di masyarakat. Koperasi Anisa di Subang, contohnya, yang menggarap konsep resi gudang juga terkendala oleh modal yang harus disertakan ke PT. Pertani (yang ditunjuk Kementerian Perdagangan sebagai pengendali kualitas) untuk bisa menampung produk pertanian.42 Dalam menjalankan usahanya, Koperasi sebenarnya memiliki peluang untuk dapat bermitra dengan pelaku usaha lainnya, dan juga untuk menjalankan usahanya dengan prinsip ekonomi syariah. Koperasi syariah adalah badan usaha koperasi yang menjalankan usahanya dengan prinsip-prinsip syariah. Apabila koperasi memiliki unit usaha produk f simpan pinjam, maka seluruh produk dan operasionalnya harus dilaksanakan dengan mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia, dan karenanya koperasi syariah dak diperkenankan berusaha dalam bidang-bidang yang didalamnya terdapat unsur-unsur membungakan uang (riba), memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja (maysir), dan semua jual beli/ transaksi yang mengandung ke dakjelasan; pertaruhan, atau perjudian (gharar). Disamping itu, koperasi syariah juga dak diperkenankan melakukan transaksi-transaksi deriva f sebagaimana lembaga keuangan syariah lainnya juga.43 42
Hasil wawancara dengan salah seorang Kepala Sub Direktorat dari Direktorat Pemberdayaan Koperasi dan UKM, Bappenas.
43
http://just-for-duty.blogspot.com/2012/01/koperasi-syariahpenger an-prinsip.html, untuk definisi riba, masyir dan gharar dari h p://kangmasgalihpermadi.blogspot.com/2011/10/normal-0-falsefalse-false-en-us-x-none.html
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
25
Sesuai dengan kebijakan energi nasional, UU No.30/2007 tentang Energi yang mengatur bahwa se ap orang berhak memperoleh energi, dan penyediaan serta pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan (EBT) wajib di ngkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Apa yang dihasilkan dari limbah/ residu pertanian, adalah pemrosesannya lebih lanjut untuk menghasilkan energi biomassa. Bahan bakunya sebagian besar bisa berasal dari tanaman seper ran ng pohon, kayu, dedaunan, dan limbah produk pertanian atau sampingannya (yaitu serbuk gergaji), dedaunan serta sisa vegetasi yang melakukan penangkapan energi melalui fotosinte s lainnya. Biomassa juga dapat diproduksi dalam bentuk gas dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah (kasus di Malang), ataupun dari fermentasi sampah naba / kotoran hewan (tersebar). Di sisi limbah/ residu pertanian ini ada ruang usaha yang bisa ditawarkan kepada komunitas petani yaitu untuk mendaur ulang limbah/ residu tersebut secara teratur dan terkendali dalam suatu kegiatan/ usaha bersama. Kebersamaan diperlukan agar pengumpulan limbah/ redisu pertanian, untuk keperluan apapun –termasuk energi, dapat terhimpun dalam skala ekonomi (volume) yang menguntungkan dan berkesinambungan, baik bagi anggota maupun bagi koperasinya. Limbah/ residu yang diproses menjadi energi (apakah untuk keperluan rumah tangga/ domes k ataupun untuk menghasilkan listrik) sebaiknya dilakukan oleh anggota dan hasilnya didistribusikan kembali kepada anggota, di atas harga dasarnya. Bila ditetapkan pada harga dasar produksi energi dikhawa rkan dak tersedia cukup pendapatan usaha untuk menjalankan koperasi dan pengembangannya. Kalaupun ada, kelebihan energi dapat dijual kepada nonanggota sepanjang peraturan memungkinkan, melalui koperasi jasa dan/ atau koperasi konsumen. Pembiayaan untuk kegiatan usaha di atas dapat didukung melalui KSP.
AGENDA SETTING Sehubungan dengan hal di atas, kiranya dapat disiapkan sistem agenda untuk dapat memfasilitasi pengembangan jaringan/ kolaborasi koperasi yang bergerak di pengelolaan limbah/ residu pertanian dan pengelolaan energi biomassa yang mengolah limbah/ residu pertanian tersebut. Sistem agenda lebih diarahkan kepada penanganannya di sektor
26
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
publik, khususnya kementerian/ lembaga yang menangani pertanian, energi, dan koperasi. Kepen ngannya adalah bagaimana penyiapan dan penindakan disusun sehingga langkah dan kebijakan pengembangan koperasi secara berkolaborasi bisa terimplementasikan. Agenda berikut kiranya dapat menjadi upaya/ langkah dan kebijakan awal untuk mendukung kepen ngan ketahanan energi (dan pangan) : a. Membentuk Kelompok kerja (POKJA) “Pengembangan EBT dari limbah/ residu pertanian untuk koperasi dan Usaha Mikro-Kecil-Menengah” secara lintas K/L terkait b. Melakukan sosialisasi peraturan-perundangan terkait EBT, pertanian, dan koperasi kepada masyarakat dan lembaga-lembaga terkait c. Menyiapkan modul-modul pela han dan pengembangan koperasi dengan kegiatan usaha utama EBT dengan konsentrasi pada biomassa d. Melakukan dialog pengembangan EBT dan KUMKM melalui penguatan komunitas dalam pemanfaatan limbah/ residu pertanian secara berkoperasi e. Membangun jaringan koperasi yang mengintegrasikan koperasi di bidang pertanian dan di bidang energi dalam suatu kolaborasi untuk memenuhi kebutuhan dasar energi khususnya di daerah perdesaan f. Menggerakkan semua jenis koperasi (produsen, konsumen, jasa, dan simpan pinjam) agar fokus pada kerja sama mendorong “zero waste” limbah/ residu pertanian dan memanfaatkannya untuk kegiatan usaha yang memiliki nilai ekonomi nggi secara berkesinambungan g. Mencadangkan ruang usaha di bidang pembangkitan tenaga listrik s/d 10 MW (atau yang disepaka dan diatur kemudian) sebagai bentuk usaha skala kecil dan menengah h. Menyediakan tenaga pendampingan yang terla h dalam teknis pengelolaan limbah pertanian untuk EBT, dan teknis pengelolaan kelistrikan serta pendistribusiannya. Ke delapan agenda tersebut kiranya dapat mengurangi konsumsi pembangkitan listrik yang menggunakan BBM di daerah secara bertahap. Koperasi dapat diberikan peran atau lebih berperan dalam memenuhi kebutuhan listrik di perdesaan di samping Perusahaan Listrik Negara (PLN). PLN sendiri dapat ikut berpar sipasi dak hanya untuk membina koperasi dari sisi jasa kolek f dari para
Besides examining the effect of household characteris cs, this study also analyzes the impact of the business credit program on household welfare. The business credit program is chosen because it is one of the programs that have poten al in improving a household’s economic prosperity. The business credit provision is served by financial ins tu ons including microfinance ins tu ons. Business credit (which can be called loan, credit, or micro-credit) is a small loan offered by financial ins tu ons to people or households in order to improve their lives. There are many types of financial ins tu ons in Indonesia that provide business credit, but they are basically divided into two categories : bank and non-bank ins tu ons. Bank ins tu ons in Indonesia consist of commercial banks, rural banks and sharia banks. These ins tu ons have always been avoided by people and households with low incomes. The procedure to obtain business credit in bank ins tu ons is very difficult, especially when bank ins tu ons insist on collateral as a guarantee in order to provide business credit. The collateral requested by the bank is usually in the form of a le er ownership of assets like a house and a land. In other words, it is almost impossible for low income people and households to access business credit from the banking sector because such individuals do not have assets to offer the banks as collateral. Another type is non-bank ins tu ons or microfinance ins tu ons. Non-bank ins tu ons or microfinance ins tu ons are the financial service providers that aim to provide credit and other financial services to low-income households or communi es (The Consulta ve Group to Assist the Poor, 2009). The concept of microfinance known in the world was first introduced by Mohammad Yunus in the last 1970s through The Grameen Bank (Yildirim, 2009). However, Indonesia has actually applied this concept since 1898 with the establishment of public credit ins tu ons in villages called Lumbung-Lumbung Desa and 1905 by the establishment of people’s credit associa ons (Hadinoto & Retnadi, 2007). Furthermore, in Indonesia, non-bank ins tu ons or microfinance ins tu ons can be categorized into two types : formal and non-formal. These ins tu ons help low income households and people to have access to business credit without asking them for collateral. The formal non-bank ins tu ons consist of coopera ves, rural credit financing
ins tu ons, rural credit associa ons and pawnshops. There are non-formal non-bank ins tu ons that are usually helped by NGOs and are also controlled by community. For instance, the Japan Interna onal Coopera on Agency (JICA) provides expert technical assistance to analyze the determinants of interest rates for people’s business credit (Kredit Usaha Rakyat/KUR). Besides that, the US Agency for Interna onal Development (USAID) has cooperated with the commercial sharia bank ‘Bank Muamalat’ through the establishment of financial ins tu on PT. Mitra Bisnis Keluarga to provide micro-credit for female entrepreneurs in order to reduce poverty and increase people’s welfare. A er seeing the importance of the role of non-bank ins tu ons or microfinance ins tu ons in improving the welfare of low income households, the Indonesian government legalized its existence by establishing Law No. 1, 2013 to regulate Microfinance Ins tu ons (MFIs). MFIs are specialized financial ins tu ons which provide business development services and empowerment through credits, savings, or financing micro-business for its members and the popula on. Although established in 2013, this law will be effec vely applied in 2015. Therefore, with the existence of this law, there is a legal certainty that could be held by microfinance ins tu ons as well as a legal protec on for borrowers. In 2013, The Chief Execu ve Supervisory NonBank Financial Industry – Financial Services Authority of Indonesia, Firdaus Djaelani said that there are about 567,000 to 600,000 microfinance insitu ons throughout Indonesia (Warta ekonomi, 2013). In addi on, the Central Bureau of Sta s cs of Indonesia noted that the number of financial ins tu ons in Indonesia was about 54,765 that consist of11,343 banks, 39,279 non-banks, and 4,143nonformal financial ins tu ons. Thus, microfinance ins tu ons in Indonesia have been recently able to serve about 12% of the poor in Indonesia (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia [The Indonesian Movement for Microfinance Development], 2006). The objec ve of this study is to es mate the rela onship between businesscredit and household characteris cs onhousehold welfare and examine whether they can increase income and smooth expenditure in Indonesia. This study contributes to the literature because
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
75
THE EFFECT OF BUSINESS CREDIT AND HOUSEHOLD CHARACTERISTICS ON HOUSEHOLD WELFARE IN INDONESIA Citra Sawita Murni Sugiarto 1, Yusuke Jinnai 2
Abstrak
T
hesis ini disusun untuk melihat pengaruh kausal dari kredit usaha dan karakteris k rumah tangga terhadap kesejahteraan rumah tangga, yang direpresentasikan oleh pendapatan rumah tangga, pengeluaran makanan rumah tangga dan pengeluaran bukan-makanan rumah tangga. Metode yang digunakan dalam thesis ini adalah metode Fixed Effect dengan menggunakan data panel survey dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Indonesia tahun 2009 dan 2010. Hasil studi dari thesis ini menyatakan bahwa akses terhadap kredit usaha secara signifikan memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Namun, akses terhadap kredit usaha yang diperoleh dari program pemerintah memiliki nilai yang posi f namun berdampak insignifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga. Thesis ini juga menunjukkan bahwa pasangan dari kepala rumah tangga atau istri yang memiliki usaha sendiri atau menjadi wirausaha secara signifikan mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga, yang berar bahwa akses terhadap kredit usaha dan kewirausahaan dalam rumah tangga perlu di ngkatkan untuk memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan di Indonesia. Dengan melihat dari hasil thesis ini dan menggabungkan informasi yang diperoleh mengenai pengaruh yang signifikan dari kredit usaha dan kewirausahaan dari istri (spouse-woman) terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga maka akses kredit usaha untuk istri (spouse-woman) pen ng untuk membantu mereka dalam memulai atau memperluas usaha mereka sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangganya. Kata Kunci : Kredit usaha, Berusaha sendiri/Wirausaha, Pendapatan rumah tangga, Pengeluaran makanan rumah tangga, Pengeluaran bukan-makanan rumah tangga.
INTRODUCTION
I
mproving the welfare of people is s ll the main agenda of development in developing countries, including Indonesia. Many programs have been implemented by governments and non-government organiza ons to raise people’s welfare. The main focus of those programs is to increase income and help people in order to meet the necessi es of life. In Indonesia, there are 61.16 million households live in Indonesia. However, 13 million of households are poor (Popula on Census, Central Bureau Sta s cs of Indonesia, 2010).
1
2
74
Household well-being can be one benchmark of the success of a welfare program. When designing a welfare program, it is essen al to take into considera on the characteris cs of the households, which includes level of literacy, job status, and gender of each household member. In addi on, it is also important to examine whether ownership of a house and whether the home has access to electricity also affects household welfare. These considera ons must be made so that the program can be designed and implemented effec vely.
Perencana Pertama di Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, Bappenas, Jalan Taman Suropa 2, Jakarta 10310. Tel. (21) 3905643, Email : citra.
[email protected]. Dosen pengajar jurusan Graduate School of Interna onal Rela ons, Interna onal Development Program, Interna onal University of Japan, Niigata, 949-7277. Tel. (81) 25-779-1401, Email :
[email protected].
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
pelanggannya saja, tetapi bisa melangkah lebih jauh secara terintegrasi menggerakkan koperasi pembangkitan energi yang mengandalkan EBT biomassa bersumber dari limbah/ residu pertanian. PLN perlu lebih melibatkan koperasi, atau dilibatkan sebagai mitra kerja Koperasi. Melalui koperasi, PLN dapat mengop malkan pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat dengan memberikan insen f tertentu yang dapat memo vasi koperasi untuk bergerak dalam kegiatan usaha pembangkitan tenaga listrik dengan energi primer biomassa.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah memang dak mengatur pengelolaan sampah pertanian, namun ada prinsip-prinsip pengelolaan sampah yang patut diselenggarakan oleh masyarakat sehubungan dengan penanganan sampah pertanian. Sampah memiliki konotasi nega f sebagai segala bentuk material yang sengaja dibuang masyarakat, yang mana is lah tersebut mungkin kurang pas untuk buangan pertanian/ hasil pertanian. Untuk itu, is lah yang tepat mungkin adalah limbah/ residu pertanian karena sebagian besar material buangan pertanian (dalam ar luas) dapat dikatakan terbuang secara alamiah, namun tetap pen ng untuk dikendalikan dan bisa dimanfaatkan. Limbah/residu pertanian dapat dikategorikan sebagai sampah spefisik, yakni sampah yang mbul secara dak periodik dan yang secara teknologi belum diolah. Pengendalian diperlukan untuk mengurangi atau memusnahkan menuju “zero waste” dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Hal tersebut pen ng dilakukan karena adanya unsur ancaman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidupnya, yakni bila pengelolaan limbah/ residu pertanian dak dilakukan dengan baik dan benar atau bila dibiarkan begitu saja. Pengurangan bahkan pemusnahan limbah/ residu pertanian untuk kepen ngan yang lebih bermanfaat sudah dilakukan masyarakat, baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya. Pemanfaatan yang menjadi katalisator pengurangan limbah/ residu pertanian adalah mengubahnya menjadi energi biomassa dan kompos. Fokus pemanfaatannya menjadi energi biomassa akan memerlukan pengaturan publik sehingga bisa dibangun nilai ekonomi yang dari proses transformasi limbah (residu) menjadi energi secara op mal. Terbuk 63% limbah/ residu pertanian di Asia telah
diolah dan digunakan sebagai bahan bakar. Pemanfaatannya untuk biofuel di Indonesia masih terbilang rendah (14%), meskipun Kementerian ESDM mencatat biomassa berpotensi menghasilkan daya listrik sebesar 50 GW. Pola penanganan yang parsial dan rendahnya perha an masyarakat terhadap nilai ekonomi yang bisa dikembangkan dari pengelolaan limbah/ residu pertanian merupakan kendala dalam pemanfaatannya menjadi energi biomassa. Saat energi fosil dak lagi menjadi andalan, maka energi biomassa atau energi baru dan terbarukan lainnya akan menjadi penggan . Pembangkitan energi biomassa memerlukan kesinambungan pasokan bahan baku yang pemenuhannya dimungkinkan melalui tata kelola yang terorganisir dalam jaringan kerja sama antara pemasok dan pengguna. Dalam tata kelola yang tepat, Koperasi dapat dikatakan merupakan instrumen yang tepat untuk dapat membantu menjamin kesinambungan pasokan tersebut. Koperasi sangat bermanfaat untuk menciptakan integrasi (ver kal/ horisontal) usaha pemanfaatan limbah/ residu pertanian menjadi energi (biomassa dan listrik). Penyediaan bahan baku, pemasokannya ke unit-unit pembangkitan, proses konversi, pelayanan distribusi, hingga ke advokasi efisiensi dan efek vitas penggunaan energi biomassa bisa dijembatani koperasi. Koperasi memiliki potensi untuk membangun kultur sosial yang mengedepankan kebersamaan dan kegotongroyongan dalam menjalankan aksi kolek f berbasis keanggotaan. Yang diperlukan adalah terbangunnya sistem (kolaborasi) berbasis kemitraan intrakoperasi dan interkoperasi, atau antar koperasi dan korporasi (usaha anggota koperasi). Minimnya informasi dan data koperasi pertanian dan koperasi energi secara nasional menjadi kendala tersendiri dalam menilai kiprah perkoperasian di kedua sektor ini sehingga bisa digunakan untuk menyusun kebijakan seper apa yang bisa dibangun untuk meningkatkan hubungan keduanya. Mengu p catatan Garniwa (201x)44 kiranya dapat direkomendasikan hal mendasar dari upaya pemanfaatan limbah/ residu pertanian untuk energi, yakni pen ngnya 44
Garniwa, Iwa, Prof. Dr. Ir. 201x. “Tantangan dan Strategi Pengembangan Tata kelola Energi Gas Untuk Ketahanan Energi Nasional.” Selaku Ketua Pengkajian Energi Universitas Indonesia (PEUI)
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
27
hanyalah mengubah paradigma pengelolaan sumber daya energi dari cara pandang energi sebagai komoditas menjadi energi sebagai modal pembangunan. Sejauh mungkin pemanfaatan sumber daya energi diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri. Bahan baku energi biomassa bisa menjadi sumber devisa atau ekspor, tetapi hal itu hanya dilakukan jika kebutuhan energi di dalam negeri sudah dapat dipenuhi. Energi biomassa dapat menjadi tumpuan energi nasional bila dikembangkan secara terfokus dan terus di ngkatkan cadangannya, dan secara bertahap dapat mengurangi pangsa energi fosil dalam bauran energi nasional. Peran Koperasi sebenar cukup pen ng dalam menjaga kesinambungan bahan baku energi biomassa, dengan memperha kan potensi tata kelola dan pelayanan koperasi yang lebih sesuai untuk komunitas dan masyarakat pada umumnya. Peningkatan cadangan energi biomassa dapat dilakukan dengan memanfaatkan jaringan koperasi yang dijalankan dengan pola kolaborasi. Dukungan
dan komitmen pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan ketahanan energi (biomassa) yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat (melalui koperasi).
Delivered by a Doctor and MMR, Year 2007 Delivered by a Doctor and MMR, Year 2012
Pemanfaatan energi biomassa hasil limbah/ residu pertanian dapat dilakukan dengan memperha kan keseimbangan antara ketersediaan bahan baku, harga produksi di sisi input dan di sisi output, laju produksi maksimum, dan laju penambahan cadangan. Dukungan aturan/ regulasi dibutuhkan terutama terkait kepemilikan usaha dan hak konsesi pembangkitan serta pendistribusian dari limbah/ residu pertanian hingga ke energi (output) yang dihasilkan dengan lebih memperha kan bentuk usaha perkoperasian, tanpa menutup kemitraan dari bentuk-bentuk usaha korporasi (anggota) yang menjadi mitra koperasi. Koperasi patut dipahami sebagai ins tusi yang patut ditangani secara lintas sektor, meskipun pembinaannya dimandatkan ke Kementerian Koperasi dan UKM.
Delivered by a Skilled Provider and MMR, Year 2007 Delivered by a Skilled Provider and MMR, Year 2012
Foto: www.dedykoe.blogspot.com
TFR and Percentage Current Use of Contracep on, 2007 and 2012
Pengelolaan limbah pohon jagung untuk pakan ternak.
28
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
73
Current use female contracep on and MMR, 2007 Current use female contracep on and MMR, 2012
Antenatal care and MMR, Year 2007 Antenatal Care and MMR, Year 2012
Delivered at a Health Facility and MMR, Year 2007 Delivered at a Health Facility and MMR, Year 2012
72
|
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
DAFTAR PUSTAKA Anonymous, h p ://bkp.pertanian.go.id/downlot.php%3Ffile%3DBuku_Dasawarsa_ BKP.pd Anonymous, h p ://power-to-the-people.net/2013/01/renewable-energy-our-fundamental-choice-today/ Anonymous,h p ://migasreview.com/kebijakan-sektor-energi-harus-diarahkan-pemenuhan-kepen ngan-masyarakat. html#sthash.jWcVodxM.dpuf. Anonymous, h p ://www.northumberland.gov.uk/default.aspx?page=1362, Anonymous, h p ://www.cer fiedorganic.bc.ca/rcbtoa/services/regula ons.html, Anonymous, h p ://www2.epa.gov/regulatory-informa on-topic/waste). Anonymous,(2009).h p ://www.paskomnas.com/id/berita/Kondisi-Pertanian-Indonesia-saat-ini-BerdasarkanPandangan-Mahasiswa-Pertanian-Indonesia.php Anonymous, h p ://thepresiduntpos ndonesia.com/2013/01/28/listrik-biomassa-diperlukan-penyempurnaan-feed-in-tarrif/ Anonymous, h p ://epetani.deptan.go.id/berita/praktek-pengolahan-limbah-menjadi-sumber-nutrisi-8092 Anonymous, h p ://www.karanganyarkab.go.id/20130607/desa-buran-bersiap-operasikan-instalasi-pengolahan-limbah/. Anonymous, h p ://www.iptek.net.id/ind/pd_limbah/?mnu=2 Anonymous, h p ://www.bristolenergy.coop/ Anonymous, 2013, h p ://www.pikiran-rakyat.com/node/217221 Anonymous, h p ://just-for-duty.blogspot.com/2012/01/koperasi-syariah-penger an-prinsip.html, Anonymous, h p ://kangmasgalihpermadi.blogspot.com/2011/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html Anif Hidayatullah, 2014. “Perbedaan Ser fikat Modal Koperasi dengan Saham.” Dinas Koperasi dan UKM, Kabupaten Kulon Progo Anggit Dwipramana, (2012),h p ://anggitpramana.com/2012/08/26/wow-pembangkit-listrik-tenaga-biomassa-pltbmulai-tumbuh-di-indonesia Astriani Gin ng, h p ://www.slideshare.net/risaastrianigin ng/pengelolaan-sampah-27806911 Bijman, Jos; Roldan Muradian, and Andrei Cechin. (20xx). “Agricultural coopera ves and value chain coordina on.” Baga, Lukman M. Dr., Ir., MA.Ec. 2013. “Rancangan Pengembangan Produksi, dan Pemasaran serta Kelembagaan Usaha.” Staf pengajar Departemen Agribisnis, Ins tut Pertanian Bogor, kertas kerja masukan dalam penyusunan background Study PRJMN 2015-2019, Bidang Pemberdayaan Koperasi dan UKM, Nopember 2013. Brazda, Johann. 2004.“Perspec ves of Agricultural Co-opera ves in Austria,” dalam Agricultural Co-Opera ves Are Facing A Challenge, Eigenverlag des FOG, Wien 2004. Marwa S. Al-Ansary, Salah M El-Hagar, and Mahmoud A.Taha et al. (200x).“Sustainable Guidelines for Managing Demoli on Waste in Egypt,” paper presented by Marwa S. Al-Ansary h p ://congress.cimne.upc.es/rilem04/admin/ Files/FilePaper/ p221.pdf Fitria.Oktober, 2012. “Energi Terbarukan dari Limbah.” h p ://lingkungan.net/2012/10/ energi-terbarukan-dari-limbah/ Hanley,Dave dan Alicia Hatch. 2014. “Social Ac va on : From passive to ac ve tense.” Copyright ©2014 Deloi e Development LLC. 36 USC 220506. Member of Deloi te Touche Tohmatsu Limited.usdbriefs@deloi e.com Garniwa, Iwa, Prof. Dr. Ir. 201x. “Tantangan dan Strategi Pengembangan Tata kelola Energi Gas Untuk Ketahanan Energi Nasional.” Selaku Ketua Pengkajian Energi Universitas Indonesia (PEUI) “GELORAKAN GOTONG ROYONG.” 2012. h p ://ja m.bkkbn.go.id/berita.php?p=beritade l Lilis Nur Faizah, 2007. Tugas Mata Kuliah “Vak Khusus Hukum Perbandingan Agraria” pada Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada Novkovic, Sonja and Natasha Power. 2005. “Agricultural and Rural Coopera ve Viability : A Management Strategy Based on Coopera ve Principles and Values,” Saint Mary’s University Halifax, Canada.Journal of Rural Coopera on, 33(1) 2005 :67-78. Yevich, Rosemarie andJennifer A. Logan. 2003. “An assessment of biofuel use and burning of agricultural waste in the developing world.” Ar cle first published online : 10 OCT 2003. h p ://onlinelibrary.wiley.com/ Rakhman, Maman. “Penger an Konversi Energi.” h p ://file.upi.edu/Direktori/FPTK/ JUR_PEND._TEKNIK_MESIN Sihombing, Mar n (ed.), h p ://industri.bisnis.com/read/20131124/12/188468/kemenkop-ajak-ncba-pasarkan-rempah-indonesiaUtomo, Tri Widodo W. 199x(?). “Analisis Masalah dan Implementasi Kebijakan Perkoperasian dan Usaha Kecil Menurut Pendekatan Ins tu onal Arrangements.” WP/SYS/R002. 10th Sept. 2005. “The Co-opera ve Model : Success engine for agricultural commodi es.” Website : www.nimble.in
EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014
|
29