Prosiding Psikologi
ISSN: 2460-6448
Hubungan antara Kualitas Attachment dengan Delinquency pada Siswa Korban Divorce di SMA M Bandung The Relationship between Quality of Attachment and Juvenile Delinquency in Students of Victims of Divorce in SMA M Bandung ¹Karina Kurnia Salman, ²Yunita Sari 1,2Prodi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116 Email : ¹
[email protected], ²
[email protected]
Abstract. SMA M is a private public school with Islamic values, but M students are famous for their delinquency behavior and most of the students who do delinquency come from divorced Parents. Based on information from BK teachers in SMA M, 40% of students in SMA M are students who are victims of divorce. In addition, according to teachers in SMA M the behavior of delinquency into hereditary traditions and make the school feel quite difficult in dealing with student behaviors, because every time the students are called need several times the call so that students want to face the teacher. Based on the results of the interviews it was found that the students performed delinquency behavior because there was no attention from within the house and the effect of the condition of divorced Parents, the students stated that the divorce conditions changed the behavior of the Parents from before the divorce. The purpose of this study obtained empirical data about the relationship of attachment quality with delinquency in SMA M Bandung. This research is correlational. In this study using the entire subject of the study of students who behave delinkuensi from divorced families, as many as 20 students. The measuring instrument used was Inventory of Parent and Peer Attachment Revisited (IPPA-R) from Armsden and Greenberg (2009). The delinquency measurements use a questionnaire based on Santrock theory. The result of the research shows that the negative correlation (mother) of -0.691 is included in the high category. This means that there is a high correlation between attachment with delinquency. Keywords: quality of attachment, delinquency, divorced family
Abstrak. SMA M merupakan sekolah umum swasta bermuatan nilai-nilai islam, akan tetapi siswa M terkenal dengan perilaku delinkuensinya dan sebagian besar siswa yang melakukan delinkuensi berasal dari Orang Tua yang bercerai. Berdasarkan informasi dari guru BK di SMA M, 40% siswa di SMA M adalah siswa korban perceraian. Selain itu, menurut guru di SMA M perilaku delinkuensi menjadi tradisi turun temurun dan membuat pihak sekolah merasa cukup kesulitan dalam menghadapi perilaku-perilaku siswa, karena setiap kali siswa dipanggil perlu beberapa kali panggilan agar siswa mau menghadap guru. Berdasarkan hasil dari wawancara didapatkan bahwa siswa melakukan perilaku delinkuensi karena tidak ada perhatian dari dalam rumah dan efek dari kondisi Orang Tua yang bercerai, siswa menyatakan bahwa kondisi perceraian mengubah perilaku Orang Tua dari sebelum bercerai. Tujuan penelitian ini memperoleh data empiris mengenai hubungan kualitas attachment dengan delinquency di SMA M Bandung. Penelitian ini bersifat korelasional. Dalam penelitian ini menggunakan seluruh subjek penelitian yaitu siswa yang berperilaku delinkuensi dari keluarga bercerai, sebanyak 20 siswa. Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner Inventory of Parent and Peer Attachment Revisited (IPPA-R) dari Armsden dan Greenberg (2009). Alat ukur delinquency menggunakan kuesioner berdasarkan teori Santrock. Hasil penelitian didapatkan nilai korelasi negatif (ibu) sebesar -0,691 termasuk kedalam kategori tinggi. Artinya terdapat hubungan yang tinggi antara attachment dengan delinquency. Kata kunci : kualitas attachment, delinquency, keluarga bercerai
A.
Pendahuluan
Masa remaja adalah masa dimana seseorang sedang mengalami saat krisis, sebab ia mau menginjak ke masa dewasa. Dalam masa tersebut, remaja dalam keadaan labil dan emosional (Gunarsa & Gunarsa, 2000). Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa yang membingungkan dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengan dirinya terutama orangtua atau keluarganya (Gunarsa, 1993). Masa krisis pada remaja diwarnai oleh konflik-konflik internal, pemikiran kritis, perasaan yang mudah tersinggung, cita-cita 976
Hubungan antara Kualitas Attachment ...| 977
dan kemauan yang tinggi tetapi sukar untuk diraih sehingga ia merasa frustrasi. Dengan perasaan tersebut remaja akan lebih mudah marah dan berperilaku agresif. Beberapa kasus kenakalan remaja yang terjadi dapat mencerminkan bahwa saat ini kondisi remaja berada pada tahap yang harus lebih diperhatikan mengenai tahap perkembangannya. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mencatat, kasus tawuran yang terjadi diatara pelajar yang masih menggunakan atribut sekolahnya tercatat sudah ada 139 kasus dengan menewaskan 12 pelajar pada enam bulan pertama tahun 2012 (detiknews.com). Siswi SMA di Bandung merokok di dalam kelas pada saat jam pengajaran (news.detik.com). Menurut Amato dan Keith (1991), beberapa anak dari keluarga yang bercerai mengalami lebih banyak kesulitan daripada anak-anak dari keluarga utuh. Mereka menemukan bahwa anak anak dari keluarga dengan tingkat konflik tinggi menunjukkan lebih banyak masalah perilaku seperti kenakalan. Grych dkk. (1992) menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami permusuhan dengan orang tua yang intens memiliki tingkat masalah eksternal yang lebih tinggi. SMA M memiliki visi dan misi membentuk siswa-siswa beserta lulusannya menjadi pribadi yang islami dan berakhlaqul karimah sekalipun status SMA M bukan sekolah islam terpadu namun sama seperti sekolah umum lainnya hanya saja memiliki nilai agama yang lebih kuat melalui pelajaran-pelajaran sekolah. Berdasarkan data yang diperoleh dari pihak sekolah, hampir 40% siswa di SMA M adalah siswa korban dari perceraian Orang Tua. Kenakalan remaja yang terjadi di SMA M adalah banyaknya siswa yang melanggar aturan sekolah seperti terlambat masuk sekolah, seringkali tidak masuk sekolah tanpa ada keterangan yang jelas atau alpa, membuat keributan di dalam kelas, dan ada nya siswa yang membuat genk di dalam sekolah dan membuat simbol dengan memakai jaket genk di dalam lingkungan sekolah. Berdasarkan hasil wawancara kepada siswa SMA M yang korban perceraian, mereka melakukan kenakalan awalnya dikarenakan adanya ajakan dari teman-teman yang memiliki kondisi yang sama yaitu sama-sama memiliki latar belakang keluarga bercerai, mereka melanggar aturan di sekolah karena merasa tidak adanya perhatian di dalam rumah, selain itu tiga subjek mengatakan mereka berperilaku nakal karena memiliki perasaan kesal dan dendam pada Orang Tua. Menurut Hirschi (1969) hubungan Orang tua dan anak memiliki peran yang sangat penting. Orang tua yang menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak mereka, membangun komunikasi yang baik dengan mereka, dan memberi kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam keluarga, menciptakan hubungan orang tua dan anak yang positif dan kuat. Remaja yang kuat akan kedekatannya dengan Orang tua menampilkan perilaku positif dan menahan diri dari kenakalan karena mereka tidak ingin kehilangan pengakuan dan kasih sayang orang tua. Kualitas hubungan orangtua-anak yang baik juga mendorong perkembangan remaja yang baik. Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat “Hubungan antara kualitas attachment dengan Delinquency pada siswa korban perceraian di SMA M Bandung” B.
Landasan Teori
Berdasarkan konsep original dari Bowlby, Armsden dan Greenberg (1987) mengungkapkan bahwa attachment adalah persepsi remaja terhadap ikatan afeksi antara dua individu yang terbentuk sejak kecil dengan memiliki intensitas yang kuat digambarkan sebagai sebuah kecenderungan individu yang khususnya sedang mengalami tekanan untuk mencari dan menjaga kedekatan dengan seseorang (figur Psikologi, Gelombang 2, Tahun Akademik 2016-2017
978 |
Karina Kurnia Salman, et al.
attachment) yang dianggap lebih kuat dan bijaksana daripada dirinya. Tiga aspek menurut Armsden dan Greenberg (1987) yang membentuk model tiga dimensi dari IPPA, yaitu communication, trust, dan alienation. 1. Komunikasi (communication) Aspek komunikasi ditunjukkan dengan adanya ungkapan perasaan, menanyakan permasalahan yang dihadapi individu, meminta pendapat dan membantu individu untuk memahami dirinya sendiri. 2. Kepercayaan (trust) Kepercayaan pada figur attachment merupakan proses pembelajaran dimana ini akan muncul setelah adanya pembentukan rasa aman melalui pengalamanpengalaman secara konsisten kepada individu. 3. Keterasingan (alienation) Keterasingan ditandai dengan adanya pengalaman dari orangtua berupa luasnya kemarahan dan penolakan secara emosional. Sehingga remaja mempersepsikan orangtua cenderung tidak empatik dan tidak peduli sehingga muncul rasa marah, kecewa dan terisolasi. John W. Santrock (2003) mengartikan Juvenile Delinquency suatu merupakan perilaku yang mengacu pada rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan di sekolah, yakni melanggar tata tertib, berkelahi), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah) hingga tindakantindakan kriminal (seperti mencuri), yang dilakukan oleh anak dan remaja. John W. Santrock, (2003). mengkategorikan bentuk-bentuk perilaku delinkuensi yang termasuk dalam status offenses meliputi running away, truancy, ungovernable behaviour dan liquor law violations, sedangkan yang termasuk dalam kategori index offenses, menggunakan narkoba, melakukan hubungan seksual, pembunuhan, pemerkosaan, perampokkan, penyerangan. Dalam penelitian ini hanya membahas mengenai perilaku delinkuensi status offenses. - Status offenses dalam empat kategori utama, yaitu : 1. Lari dari rumah (runaway), termasuk pergi keluar rumah tanpa pamit. 2. Membolos (truancy) dari sekolah tanpa alasan jelas, dan berkeliaran di tempattempat umum atau tempat bermain. 3. Melanggar aturan atau tata tertib sekolah dan aturan orang tua (ungovernability). 4. Mengkonsumsi alkohol (underage liquor violations) Pelanggaran lainnya (miscellaneous category), meliputi pelanggaran jam malam, merokok, berkelahi dan lain-lain. C.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Hubungan antara Kualitas Attachment dan Delinquency
Berikut adalah penelitian mengenai hubungan antara kualitas attachment dengan perilaku delinkuensi, yang diuji menggunakan teknik analisis korelasi Rank Spearman. Hasil pengujian dijelaskan pada tabel berikut .
Volume 3, No.2, Tahun 2017
Hubungan antara Kualitas Attachment ...| 979
Tabel 1. Hubungan Antara Kualitas Attachment (X) dengan Perilaku Delinkuensi (Y) Variabel
Rs
Kualitas Attachment dan Perilaku Delinkuensi
-0,691
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2017.
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa perhitungan diperoleh angka korelasi sebesar -0.691 dan korelasi bertanda negatif (-). Angka tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan yang kuat antara pemaknaan terhadap kualitas attachment dengan perilaku delinkuensi. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa Ho ditolak dan H1 diterima, artinya terdapat hubungan negatif antara kualitas attachment dengan perilaku delinkuensi, artinya semakin rendah kualitas attachment, maka semakin tinggi perilaku delinkuensi siswa SMA M Bandung. Masa remaja merupakan suatu periode perkembangan dari transisi antara masa anak- anak dan dewasa, yang diikuti oleh perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Siswa korban perceraian di SMA M Bandung adalah siswa yang sedang berada dalam fase remaja madya. Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecendrungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya (Monks, 1999). Attachment pada masa remaja merupakan kesinambungan (continuity) dari attachment yang dikembangkan oleh anak dengan pengasuh selama masa awal kehidupan dan akan terus berlanjut sepanjang rentang kehidupan. Pada masa remaja, figur attachment banyak memainkan peran penting adalah teman sebaya (peer) dan orangtua (Santrock, 2003). Dengan bertambahnya usia, tingkahlaku manusia untuk meningkatkan kedekatan dengan orangtua sebagai figur attachment menjadi berkurang secara intensitas dan frekuensi. Meskipun demikian, ekspektasi remaja terhadap figur attachment berdasarkan pengalaman saat anak-anak lebih persisten dalam mempengaruhi hubungan individu dengan orang lain (Armsden & Greenberg, 1987). Masalah yang dimunculkan siswa akibat dari kurangnya perhatian dan pengawasan Orang Tua adalah siswa di lingkungan sekolah melakukan kenakalan atau yang disebut delinquency. Salah satu faktor penyebab remaja melakukan delinkuensi adalah Pengaruh orang tua dan keluarga. Seseorang berperilaku nakal seringkali berasal dari keluarga, di mana orang tua menerapkan pola disiplin secara tidak efektif, memberikan mereka sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-anaknya sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga, antara lain hubungan dengan saudara kandung dan sanak saudara. Hubungan yang buruk dengan saudara kandung di rumah akan cenderung menjadi pola dasar dalam menjalin hubungan sosial ketika berada di luar rumah (John W. Santrock, 2003). Seperti yang terjadi disekolah ini dengan hasil wawancara yang menyatakan bahwa beberapa siswa memang melakukan perilaku delinkuensi yang berada dalam kategori status offense (runaway, truancy, ungovernability, underage liquor violations, miscellaneous category). Dari hasil perhitungan, kualitas attachment aspek keterasingan (allienation) Psikologi, Gelombang 2, Tahun Akademik 2016-2017
980 |
Karina Kurnia Salman, et al.
memiliki korelasi paling tinggi dengan perilaku delinkuensi dibandingkan dengan aspek lainnya dengan korelasi sebesar rs = 0,822 yang berarti semakin negatif kualitas attachment aspek keterasingan (allienation), maka semakin tinggi perilaku delinkuensi yang ditunjukkan oleh siswa. . Artinya siswa yang mendapatkan pengasingan dari sang ibu akan membuat siswa menjadi mencari perhatian diluar rumah dengan melakukan delinkuensi terutama di lingkungan sekolah. Perilaku delinkuensi yang ditunjukkan siswa membuat siswa menjadi perhatian dari sekolah terutama guru BK untuk memanggil ibu atau Orang Tua agar anak mendapat perhatian ibu. Hubungan orang tua dan remaja yang negatif adalah terkait dengan tingginya tingkat kenakalan remaja (Dekovic, 1999). Kualitas attachment aspek komunikasi (communication) memiliki korelasi dengan perilaku delinkuensi sebesar rs = -0.795 yang berarti semakin negatif kualitas attachment aspek komunikasi (communication), maka semakin tinggi perilaku delinkuensi yang ditunjukkan oleh siswa. Sikap ibu yang kurang memiliki kualitas dalam berkomunikasi dengan anak mengakibatkan siswa melakukan perilaku delinkuensi diluar rumah. Siswa seringkali keluar rumah tanpa izin karena merasa ibu tidak akan menghubungi siswa apabila pergi dari rumah, siswa juga mengatakan bahwa setiap kali siswa dipanggil oleh BK dan berkaitan dengan urusan Orang Tua siswa menjadi enggan untuk mendatangi ruang BK. Selain itu, siswa menjadi mengalihkan masalah dengan merokok bersama teman-teman atau terkadang minum dari pada harus menceritakan permasalahannya. Selain itu berdasarkan hasil tabulasi silang, didapat 12 orang siswa (48%) dari seluruh responden melakukan delinquency yang rendah. 1 siswa diantaranya memiliki kualitas attachment yang negatif dan 11 siswa memiliki kualitas attachment yang positif. Sedangkan, 13 orang siswa (52%) melakukan delinquency yang tinggi, yakni 10 siswa memiliki kualitas attachment yang negatif dan 3 siswa lainnya memiliki kualitas attachment yang positif. Dari hasil tabulasi silang diatas menunjukkan bahwa lebih banyak siswa korban perceraian di SMA M Bandung yang memiliki kualitas attachment yang rendah sehingga memperkuat siswa melakukan delinquency. D.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan yang dilakukan dengan metode statistik berdsarkan teori yang relevan, maka dari penelitian ini dapat disimpulkan: 1. Terdapat hubungan yang negatif antara kualitas attachment dengan perilaku delinquency pada siswa di SMA M Bandung yang memiliki nilai korelasi sebesar rs = -0.691 yang menurut tabel Guilford termasuk ke dalam kriteria derajat korelasi yang tinggi. Artinya, semakin negatif kualitas attachment dari Orang Tua, maka semakin tinggi perilaku delinquency yang ditunjukkan oleh siswa di SMA M Bandung. 2. Diantara aspek-aspek kualitas attachment, aspek alienation memiliki korelasi yang paling tinggi yaitu sebesar rs = 0.822, yang artinya kualitas attachment pada aspek alienation berkaitan erat dengan perilaku delinquency. E.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, peneliti merumuskan beberapa saran sebagai berikut: 1. Aspek alienation merupakan aspek tertinggi yang berhubungan dengan delinquency, rendahnya kualitas attachment pada aspek alienation memperkuat perilaku delinkuensi siswa di SMA M Bandung. Maka dari itu, disarankan Volume 3, No.2, Tahun 2017
Hubungan antara Kualitas Attachment ...| 981
untuk pihak sekolah memperkuat komunikasi pada siswa yang menjadi pelaku delinkuensi agar terjadi keterbukaan antara siswa dengan guru dan juga melakukan komunikasi dengan Ibu dari siswa pelaku delinkuensi 2. Menindaklanjuti agar berkurangnya perilaku delinkuensi, pihak sekolah dan guru dapat melakukan penyuluhan kepada Orang Tua murid untuk semua Orang Tua siswa agar mencegah perilaku delinkuensi. Selain itu, memberikan pelatihan parenting kepada Orang Tua siswa agar memperkuat attachment Orang Tua dan anak 3. Bagi peneliti selanjutnya, dapat melihat variabel lainnya yang mempengaruhi perilaku delinkuensi sehingga dapat terlihat faktor lainnya yang menjadi penyebab perilaku delinkuensi agar tetap dapat mengurangi maraknya perilaku delinkuensi pada remaja.
Daftar Pustaka Ainsworth, M. D. (1982). Attachment: Retrospect and prospect. New York: Basic Books. Inc. Ainsworth, M. (1989). Attachments beyond infancy. American Psychological Association, Inc., 44 (4), 709-716. doi: 0003-066X/89/$00.75 Arikunto, S. (2010) Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta : Rineka Cipta. Armsden, G., & Greenberg, M. (1987). The inventory of parent and peer attachment: Individual differences and their relationship to psychological well-being in adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 16 (5j, 427 454. doi: 0047-2891/87/1000-0427505.00/0 BPS. (2017). Nikah, Talak dan Cerai, serta Rujuk, 2012–2015. Diakses tanggal 29 Mei 2017, dari https://www.bps.go.id/ Bowlby J (1982). Attachment. Attachment and Loss. Vol. I. (2nd Ed.). New York: Basic Books, Inc Bowlby, J. (1988). A secure base: Parent–child attachment and healthy human development. New York: Basic Books, Inc. Chui, Hong Wing., Ran, Sheng-Mao.,& Weng, Xue. (2016) Juvenile delinquency in Chinese adolescents: An ecological review of the literature. Aggression and Violent Behavior 31 (2016) 26–36 Diakses tanggal 29 Mei 2017, dari http://www.merdeka.com/peristiwa/anak-anak-dikota-kembang-kini-doyan-tenggak-miras.html Esmaili, Sabour Nooshin., Yaacob, Noor Siti., & Juhari, Rumaya. (2013). Predictors of Delinquency among Adolescents of Divorced Families. Asian Social Science; Vol. 9, No. 11; 2013 ISSN 1911-2017 E-ISSN 1911-2025, Published by Canadian Center of Science and Education Esmaili, Sabour Nooshin., & Yaacob, Noor Siti. (2013). Post-Divorce Parental Conflict and Adolescents’ Delinquency in Divorced Families. Faculty of Human Ecology, University Putra Malaysia 43400 UPM Serdang, Selangor, Malaysia Farliani, B.A. (2012). Hubungan antara Parental Attachment, Peer Attachment, dan Psychological Well Being Pada Mahasiswa Tahun Pertama di Universitas Indonesia. Skripsi. Universitas Indonesia. Depok Greenberg Ph.D, Mark. T. (2009). Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA). Psikologi, Gelombang 2, Tahun Akademik 2016-2017
982 |
Karina Kurnia Salman, et al.
College of Health and Human Development Hurlock, E. B. (1992). Developmental psychology: a lifespan approach. Boston: McGraw-Hill. Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan : Suatu Perkembangan Rentang Kehidupan. Alih Bahasa : Isti Widaryanti; Soedjarwo dan Sijabat, M.R. Jakarta : Erlanggan (edisi keenam) Kim, Uichol.,Moordiningsih.,Yuniarti, K.W., & Hamka, A.S. (2015). Who Makes Adolescents Happy ?An Explorative Study using The Indigenous Psychology Approach. Jurnal Indigenous Vol. 13, No. 2, November 2015: 19-32 Lestari, W.D. (2014). Penerimaan diri dan strategi coping pada remaja korban perceraian Orang Tua. eJournal.psikologi.fisip-unmul.org Listiani, Z.F. (2016). Hubungan antara attachment dengan keterampilan sosial pada siswa siswi dari keluarga bercerai di smp vijaya kusuma bandung. Skripsi. Universitas Islam Bandung Nisfiannoor. M & Yulianti, Eka. (2005). Perbandingan perilaku agresif antara remaja yang berasal dari keluarga bercerai dengan keluarga utuh. Jurnal Psikologi Vol. 3 No 1 Noor, Hasanuddin. (2009). Psikometri Aplikasi Dalam Penyusunan Instrumen Pengukuran Perilaku. Bandung: Fakultas Psikologi UNISBA. Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill Prihatinningsih, Sutji. (2014). Jurnal Juvenile Delinquency (Kenakalan Remaja) Pada Remaja Putra Korban Perceraian Orang Tua. Universitas Gunadarma Rema, N.M.R. (2014). Studi Deskriptif mengenai Juvenile Delinquency pada Siswa kelas XI di SMAN Z Bandung. Skripsi. Universitas Islam Bandung. Bandung Sintiany, Ihti. (2016). Hubungan antara Peran Teman Sebaya dengan Perilaku Delinkuensi di SMK Z Bandung. Skripsi. Universitas Islam Bandung. Bandung Santrock, John w. 2012. Life-Span Development. Jakarta: Erlangga. Santrock, John W, (1998). Adolescence (7nd ed). Washington, DC:Mc Graw-Hill. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Alfabeta. Robertina, Nidia. (2014). Hubungan kualitas attachment ayah-anak dan ibu-anak dengan kualitas persahabatan pada remaja madya. Skripsi. Universitas Indonesia Telzer, H. Eva., Galvan, Adriana., Fuligni, J. Andrew.,& Qu, Yang. (2015) Buffering effect of positive parent–child relationships on adolescentrisk taking: A longitudinal neuroimaging investigation. Developmental Cognitive Neuroscience 15 26–34 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Volume 3, No.2, Tahun 2017