Paper ke-VI
CULTURE AND HUMAN RIGHT (BUDAYA DAN HAM)
Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk: Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia
Dosen: Dr. EPI SUPIADI, M.Si Dra. SUSILADIHARTI, M.SW
Oleh: HERU SUNOTO NRP: 13.01.03
PROGRAM PASCASARJANA SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL BANDUNG 2013 i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil „alamiin. Segala puji bagi Allah SWT sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ke-VI, paper tentang Culture and Human Right (Budaya dan HAM) dengan referensi utama buku Jim Ife, “Human Right and Social Work” Bab IV untuk mata kuliah Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan HAM bisa selesai, pertemuan ke-VI.
Terakhir, kami berharap ada masukan dan penyempurnaan dari sesama teman-teman Sp-1, dan lebih khusus lagi dosen kami.
Bandung, 23 September 2013 Heru Sunoto
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
ii
BAB I. PENDAHULUAN
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2
Dominasi Barat dalam Wacana HAM Individualisme Patriarkhi Kolonialisme, Rasisme, dan Kemajuan Rasionalitas Kulturisme, Keberagaman, dan Perubahan Universalisme dan Relativisme Warga Negara Dunia Praktik Global BAB III. PEMBAHASAN
16
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN
19
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I PENDAHULUAN
Budaya dan Hak Asasi Manusia (HAM). Manusia dalah makhluk yang berbudaya. Budaya artinya adalah hasil olah fikir, rasa, jiwa, manusia dalam bentuk sesuatu yang dianggap baik untuk kehidupan. Kata kultur/budaya dalam kaitannya dengan perilaku manusia, pertama kali dikemukakan oleh Edward Burnett Taylor (1832-1917). Ia mengatakan: Culture or civilization, taken in its wide ethnographic sense, is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.”1 “Budaya atau peradaban, diambil dalam arti luas etnografi, adalah bahwa keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang ada oleh manusia sebagai anggota masyarakat.” Kaitannya dengan tema kita kali ini adalah budaya Barat seolah menjadi begitu dominan dalam mendefinisikan HAM. Istilah budaya Barat telah datang untuk mendefinisikan budaya negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang telah sangat dipengaruhi oleh imigrasi Eropa. Budaya Barat berakar pada Periode Klasik era Yunani-Romawi dan kebangkitan agama Kristen di abad ke-14.2 Dikorelasikan dengan HAM, sejatinya setiap budaya bangsa manapun sudah mengandung penghargaan terhadap HAM. Akan tetapi, terjadi penyempitan arah, ketika HAM dimaknai sebagai wujud pencapaian Barat dalam menghargai martabat manusia. Ini adalah kekeliruan pandangan dari mayoritas orang Barat, bahkan. Bagaimana sebenarnya kita mendudukkan posisi HAM dalam konstelasi antar budaya dunia? Inilah kira-kira urgensi pembahasan Culture and Human Right: gerakan apa saja yang dominan di Barat, efeknya terhadap HAM, dan bagaimana peran pekerja social terkait dengan poin-poin di atas. ***
1
th
Edward Burnett Taylor (1832-1917), “Primitive Culture”, 4 Ed., London, John Murray Albemarle Street, 1903, hal. 1. 2 Sumber: http://www.livescience.com/21478-what-is-culture-definition-of-culture.html.; downloaded at September 22th 2013.
1
BAB II BUDAYA DAN HAM
Masalah relativisme budaya telah menjadi satu hal yang utama bagi teori HAM, argumen tentang perbedaan budaya mungkin merupakan kritik terkuat dari gagasan HAM. Bagi banyak pihak, ini adalah hal yang paling sulit untuk dicapai.(Brown 1998, 1999). Hal ini terutama berlaku untuk pekerja sosial dari tradisi Barat, yang umumnya menyadari peran Barat yang menjajah “pandangan dunia lain” dan ingin menghargai nilai keragaman budaya. Hal ini menyebabkan pekerja sosial Barat (di antara banyak yang lainnya) merasa agak bersalah mendukung sesuatu yang disebut “HAM” dan menjadi sangat rentan terhadap kritik HAM sebagai “sebuah konsep Barat” dan susah bisa dipercaya. Tujuan dari bab ini adalah untuk menggali daerah yang sulit ini, dengan maksud untuk mengembangkan pendekatan HAM untuk mengatasi dilema tersebut. Di sinilah letak kunci dalam menghadapi perbedaan budaya: (i) Kemampuan untuk melihat secara kritis semua tradisi budaya; (ii) Untuk melihat HAM penting dalam semua kebudayaan, (iii) Untuk melihat bagaimana HAM dikontekstualisasikan secara berbeda dalam budaya yang berbeda, dan (iv) Melihat bahwa pelanggaran HAM dan perjuangannya terjadi pada semua konteks budaya. Tantangan bagi pekerja sosial Barat adalah untuk bergerak di luar dua sifat ekstrem: western triumphalism3 and western self-flagellation4 untuk kemudian lebih sensitif dan realistis menghadapi perbedaan budaya. Budaya adalah benar-benar aspek penting yang merupakan pusat eksistensi manusia; kita tidak berarti apapun tanpa konteks budaya. Budaya-lah yang memberikan kepada kita arti kehidupan; ia memberi kita pengaruh dalam menentukan perilaku yang baik bagi manusia. (Jenk, 1993). Pemahaman tentang isu-isu budaya adalah sangat esensial bagi seorang peksos, dan ini bisa diaplikasikan dalam banyak isu-isu lintas budaya atau isu keberagaman 3
4
Merasa dirinya adalah yang paling hebat. Dalam konteks Barat, maka Barat merasa sebagai bangsa yang superior daripada bangsa lain. (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Triumphalism; downloaded at September 23th 2013; 03.41 AM) Self-Flagellation tindakan mencambuk diri sendiri sebagai bukti menyalahkan diri. Flagellation atau mencambuk adalah tindakan mencambuk tubuh manusia dengan menggunakan instrumen lentur, seperti cambuk. Dera dapat ditemukan dalam konteks hukum, agama, obat-obatan, atau eksitasi seksual. (Sumber: Peter J. Bräunlein, "Flagellation." Religions of the World, Second Edition: A Comprehensive Encyclopedia of Beliefs and Practices. Ed. Martin Baumann, J. Gordon Melton. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO, 2010, 11201122.
2
budaya; dalam memahami banyak individu, keluarga atau komunitas, budaya tempat individu dan kelompok berada adalah punya pengaruh signifikan.
Dominasi Barat dalam Wacana HAM Tidak ada keraguan bahwa tradisi intelektual Barat telah mendominasi mainstream wacana HAM sejak abad 18. Tapi, ini tidak berarti bahwa HAM adalah murni penemuan Barat. Meskipun istilah “HAM” tidak boleh digunakan seperti itu, namun gagasan HAM dapat ditemukan di banyak tradisi filosofis dan agama, termasuk Yahudi, Islam, Budha, Hindu dan Kristen, serta dalam bahasa Yunani, filsafat Arab dan India (Von Senger 1993; Ishay 1997; Hayden 2001). Semua tradisi ini mengandung beberapa pengertian tentang orang-orang yang berhak untuk diperlakukan dengan cara tertentu, dan menilai dari pengalaman kemanusiaan. Klaim bahwa HAM adalah murni sebuah konstruksi Barat, ini tidak hanya menyesatkan tetapi mengurangi nilai tradisi agama dan filsafat lainnya, dan ironisnya mencerminkan asumsi yang cukup rasis yang menyatakan bahwa hanya pemikir Barat-lah yang datang dengan gagasan itu. Namun, dominasi Barat pada wacana HAM memang perlu diakui kenyataanya. Dominasi Barat dalam ranah HAM, bukanlah satu alasan untuk menolak semua gagasan dari seluruh dunia tentang HAM. Dan adalah menjadi tugas kita semua untuk melakukan konstruksi secara baik tentang HAM sehingga tidak ada dominasi Barat terhadap pandangan dunia. Apa maksud dari ungkapan “Tradisi Barat telah mendominasi wacana tentang HAM?” Ada beberapa karakteristik Barat dalam melihat dunia yang telah berpengaruh kepada pemahaman tentang HAM, dan ini penting untuk diindentifikasi dan didiskusikan.
Individualisme Pertama, karakteristik individualisme berasal dari pemikiran liberal Barat. Liberalisme, merupakan ideologi yang prinsipil dari tradisi intelektual Barat yang telah menjadi ideologi individu (Machan 1989). Pengalaman pribadi adalah penting, dan prestasi individu harus dirayakan. Frase 'kodrat manusia' dan 'roh manusia' menekankan individualisme ini (terlepas dari implikasi gender, yang akan dipertimbangkan pada waktunya). Kita seringkali berbicara tentang sejarah sebagai sebuah “prestasi individual”, padahal sejatinya itu merupakan keberhasilan kolektif. Misalnya:
Columbus “penemu” benua Amerika (apakah tidak ada orang lain yang bersamanya di atas kapal, kala itu?), 3
Wellington mengalahkan Napoleon di Waterloo (tanpa menyebutkan tentara yang juga benar-benar melakukan pertempuran)?
Christopher Wren yang membangun Gereja St. Paulus Katedral (sendirian?),
Herbert von Karajan membuat musik yang indah (tanpa bantuan para pemain dari Berlin Philharmonic)?
Dan sebagainya.
Pencapaian manusia secara kolektif sebagian besar selalu disimbolkan dengan individu, dan
sebaliknya,
ketika
ada
kejahatan,
kita
spontan
mencari
seseorang
untuk
dikambinghitamkan. Misalnya: Hitler secara individual disalahkan atas tragedi PD-II dan Holocaust, seolah tidak mengakui kontribusi orang lain, atau pentingnya faktor-faktor politik, ekonomi dan sejarah lainnya. Dan pada tingkat yang lebih lokal, setiap kali ada semacam kecelakaan atau bencana kita tampaknya berniat mencari tahu “siapa yang bertanggung jawab” sehingga kesalahan dapat menjadi label ke individu daripada dipahami secara sistemik (fenomena dimana pekerja sosial sangat familiar dengan perlindungan anak). Individualisme begitu melekat dalam pemikiran Barat; sering kali bagi orang yang hidup dalam budaya Barat sulit untuk mengenali dominasinya. Maka pandangan alternatif, seperti posisi Konfusianisme menekankan harmoni dan nilai keseluruhan. Hal ini hampir tidak bisa dimengerti oleh mayoritas orang Barat. Di universitas-universitas Australia misalnya, banyak “arus utama” akademisi merasa sulit untuk memahami keengganan akademisi Aborigin untuk mengambil kredit kuliah tema “individualism” dengan cara akademis tradisional Barat, karena Aborigin mengakui kebersamaan, kolektivitas, semangat berbagi, kebijaksanaan dan kesefahaman, dan keengganan untuk mempromosikan kepentingan individu di atas urusan kolektif. Namun contoh seperti ini mengingatkan kita bahwa individualisme Barat bukanlah hal lumrah, bahwa hanya satu tradisi terhadap sesama. Dominasi individualisme dalam pemahaman tradisional HAM telah disebutkan, dan ini telah menjadi penyebab banyak ketidakpercayaan terhadap gerakan HAM oleh individu dan pemerintah dari non-Barat. Ini adalah argumen yang kuat untuk validasi pemahaman kolektif tentang HAM , yang berpotensi melihat hak-hak kolektif sebagai lebih dari sekedar jumlah total dari hak-hak individu. Dengan demikian, sebuah eksplorasi lebih lanjut tentang hak-hak kolektif adalah penting dalam rekonstruksi pemahaman kita mengenai HAM universal. Ini tidak berarti bahwa hak-hak individu harus ditinggalkan, melainkan bahwa konstruksi, baik individual maupun kolektif hak, harus diakui dan divalidasi, dan dibahas dan diperdebatkan. Bagi pekerja sosial, dominannya individualisme pada tradisi Barat telah menyebabkan dominasi di Barat tentang pemahaman individu terhadap masalah sosial, dan bentuk praktek yang juga individualis. Meskipun retorika sejumlah penulis pekerjaan sosial, di sebagian 4
besar analisis kolektif Negara-negara Barat dan praktek kolektif (seperti pengembangan masyarakat) telah mengambil tempat kedua setelah praktik individu, dalam urutan 'terapi' untuk “casework” kepada public welfare (kesejahteraan masyarakat). Jika pekerja sosial ingin melihat diri mereka sebagai profesi HAM, dan jika mereka serius menerima kritik HAM karena HAM selama ini telah dibingkai dalam perspektif Barat, maka mereka perlu mempertanyakan lebih kuat bias individualis dalam teori dan praktek --tidak menolak perspektif pribadi yang sama sekali-- melainkan untuk memvalidasi kebersamaan dan menyertakan keduanya, pada istilah yang sama. Ini telah menjadi argumen lama dari para penulis peksos yang peduli dengan analisis struktural dan praktek community development (Fisher & Karger 1997; Mullaly 1997; Gil 1998; Pease & Fook 1999; Healy 2000), sehingga hal ini merupakan argumen baru untuk pekerja sosial, tetapi itu adalah perspektif HAM yang inklusif, tuntutan yang akan diambil lebih serius dalam pekerjaan sosial Barat daripada yang dalam beberapa dekade terakhir. Bagi pekerja sosial, ini berarti penegasan kembali hubungan antara individu dan kolektif, atau pribadi dan politik, di semua pekerjaan sosial, dan integrasi dari pendekatan 'makro' dan 'mikro' untuk praktek peksos.
Patriarkhi “Pandangan dunia” dari Barat karakteristiknya adalah bersifat patriarkal, dan ini telah mempengaruhi pembangunan HAM dalam cara-cara yang telah ditunjukkan. Frase seperti 'roh manusia' dan 'sifat manusia', yang disebutkan di atas dalam kaitannya dengan individualisme, mencerminkan asumsi patriarkal dalam pandangan tradisional Barat akan jiwa manusia. Sejarah perempuan sebagian besar telah dikeluarkan dari catatan sejarah, namun sekarang sedang direhabilitasi melalui upaya sejarawan feminis (Du Bois, 1998). Tentu saja, budaya barat bukan satu-satunya budaya yang dipengaruhi oleh struktur patriarkal dan cara berpikir. Patriarki yang dialami di banyak tradisi budaya, dan kelompokkelompok seperti Taliban di Afghanistan, misalnya, berusaha untuk bereaksi melawan dominasi Barat. Partiarkhal di Afghanistan memaksakan secara lebih terang-terangan menindas perempuan dari apa yang saat ini dipraktekkan di Barat karena lebih halus dan lebih mudah disembunyikan. Perjuangan untuk pembebasan perempuan, dan kebutuhan untuk membongkar struktur dominasi patriarki, melampaui batas-batas budaya, dan ini sebenarnya contoh yang baik tentang perlunya kerangka HAM. Untuk frase 'penindasan perempuan' atau 'pembebasan perempuan' memiliki makna yang dapat digunakan untuk mengkritik praktik Taliban (sebagai contoh ekstrim), adalah mencakup beberapa gagasan tentang hak-hak perempuan, dan cara dimana perempuan ditolak HAM-nya, yang
5
melampaui landasan dalam suatu budaya tertentu dan yang dijelaskan dengan mengacu pada semacam kerangka HAM universal. Meskipun tidak sempurna, banyak catatan tentang negara non-Barat dalam kaitannya dengan hak-hak perempuan. Titik pentingnya adalah bahwa pandangan Barat tentang dunia, sebagian besar telah didefinisikan oleh laki-laki, untuk kepentingan laki-laki, mengenali prestasi pria dan menghargai pencapaian laki-laki. Hal ini telah menyebabkan penerimaan dipertanyakan struktur dominasi dan kekerasan, dan marjinalisasi perempuan, laki-laki diistimewakan. Jika kita ingin terlibat dalam rekonstruksi HAM dan visi dari jiwa manusia yang bergerak di luar keterbatasan tradisional barat-dalam memandang dunia, maka penting hal ini ditangani. Dan karenanya analisis feminis adalah komponen penting dari seperti sebuah upaya membentuk ulang tenang definisi HAM. Oleh karena itu, tidak bisa membuat gambaran holistic tentang HAM secara universal tanpa memasukkan unsur feminism di dalamnya. Bagi pekerja sosial, ini berarti bahwa praktek peksos yang progresif harus diinformasikan oleh feminisme. Tentu saja tidak ada feminisme tunggal, dan ada cukup ruang untuk mengeksplorasi beragam pemikiran yang telah memberikan kontribusi terhadap berbagai untaian pemikiran feminis. Hal ini penting untuk disampaikan kembali, bagaimanapun, bahwa feminisme liberal sederhana (membantu perempuan untuk bersaing dengan laki-laki dan sama dengan laki-laki) tidak lagi cukup. Beberapa bentuk radikal, struktural atau pascastruktural feminisme diperlukan jika struktur dan wacana patriarki harus diatasi dan pandangan yang lebih inklusif HAM dikembangkan. Misalnya, perspektif feminis dapat menginformasikan pekerjaan sosial di semua tingkatan. Hal ini tidak hanya tentang bekerja dengan perempuan sebagai klien atau korban pelanggaran HAM. Juga, analisis feminis bisa menginformasikan praktek pekerjaan sosial dengan laki-laki, anak-anak, keluarga, atau kelompok penduduk, karena kita semua dipengaruhi oleh struktur patriarkal dan penindasan terus perempuan. Sebuah wilayah penting lainnya adalah konteks organisasi pekerjaan sosial. Hal ini dalam struktur dan proses organisasi di mana pekerjaan pekerja sosial, dan yang menimpa pada klien mereka, patriarki dipraktekkan dan direproduksi. Suatu bagian penting dari praktek pekerjaan sosial progresif untuk mengatasi masalah organisasi dan menemukan cara untuk bekerja secara transformative dalam organisasi untuk membantu mengatur lebih inklusif, menerima, struktur berbasis organik dan konsensus beserta prosesprosesnya.
6
Kolonialisme: Rasisme, dan Kemajuan Pandangan Barat tentang dunia berasal dari kuatnya tradisi kolonialisme dan ini terkait dengan rasisme. Pentingnya Pencerahan dalam proses ini perlu ditekankan. Periode yang dikenal sebagai Pencerahan menjelang akhir abad 18, terkait dengan pemikir seperti Voltaire, Locke, Adam Smith dan lain-lain, memberikan alasan intelektual bagi Barat modern dalam “memandang dunia” berhubungan dengan kebebasan individu, alasan, kemajuan, ilmu pengetahuan, dan kebebasan dari peran takhayul dan agama. Salah satu aspek penting Pencerahan adalah keyakinan akan kemajuan: bahwa kita terlibat dalam sebuah petualangan untuk penemuan dan pengembangan manusia, di mana manusia terus: (i) Meningkatkan pada apa yang telah terjadi sebelumnya, (ii) Saat ini adalah perbaikan masa lalu dan masa depan akan menjadi perbaikan pada saat ini. Ide kemajuan ini begitu mendarah daging dalam pemikiran Barat modern bahwa sangat sulit untuk melangkah keluar dan menyadari bahwa hal ini tidak selalu menjadi dominasi terhadap pandangan dunia atau konstruksi aktivitas manusia. Dalam budaya lain (seperti traditional Hindu atau budaya Budha: Hershock 2000) dan pada waktu lain (seperti periode abad pertengahan di Eropa: Cook & Herzman 1983), gagasan yang diperlukan untuk kemajuan belum terlalu kuat dihayati. Rasisme merupakan konsekuensi alamiah dari suatu pandangan dunia. Jika orang benarbenar percaya bahwa mereka telah mencapai tingkat pencerahan, sementara bangsa lain tidak, maka mereka bisa mendefinisikan diri mereka sebagai “superior” dan bangsa lain tidak terlalu “manusia”. Kemudian mereka sepenuhnya dianggap benar mengeksploitasi bangsa tersebut (misalnya, dengan mengekstraksi sumber daya yang didirikan kapitalisme industri modern) atau “menyelamatkan” mereka (seperti dalam banyak pekerjaan misionaris Kristen). Masih ada sampai hari ini sebuah rasisme tak terucap pada sebagian orang Barat, pandangan yang entah bagaimana mereka telah mencapai kualitas hidup yang unggul dan bahwa seluruh dunia harus banyak belajar dari kebijaksanaan mereka. Ini adalah keahlian Barat karena menyediakan solusi bagi banyak masalah dunia, meskipun faktanya ketika solusi itu diterapkan di Barat, justeru, juga menyebabkan banyak masalah di tempat mereka. Dalam sebuah pandangan dunia, tidak mengherankan bahwa perumusan HAM telah dikritik sebagai kolonialis oleh negara non-Barat (Davis 1995; Pereira 1997; De Bary & Weiming 1998; Bauer & Bell 1999). Tantangannya adalah, untuk mengatasi hal ini dengan melakukan validasi secara serius dan memasukkan gagasan “tradisi budaya lainnya” dalam perdebatan tentang HAM dan artikulasi tentang apa artinya menjadi manusia. 7
Bagi pekerja social, sama seperti menghargai feminism, juga memasukkan “anti-rasis” dan “anti-kolonialisme” dalam teori dan praktik peksos. Diantara praktik kolonialisme adalah:
Hanya membaca teks pekerjaan sosial dan jurnal dari negara-negara “maju”
Mengorganisir program pelatihan bagi para pekerja sosial dari “dunia bagian selatan” sehingga mereka dapat belajar dari utara, sebagai satu cara berkomunikasi
Memaksakan satu pandangan dunia pada orang lain
Memainkan peran “mengunjungi yang ahli”, atau memvalidasi pihak lain dalam memainkan peran tersebut.
Menentukan tujuan dan hasil praktek sebelum terlibat dalam dialog dengan orang-orang yang seharusnya membantu
Mengistimewakan kebijaksanaan sendiri atas yang lain.
Rasionalitas Barat dalam memandang dunia, begitu kuat didasarkan pada Pencerahan, menekankan rasionalitas dan logika berpikir rasional, atau secara lebih spesifik, menekankan jenis rasionalitas tertentu. Ia didasarkan pada logika positivisme. Ini sangat mempengaruhi apa yang dianggap sebagai pengetahuan “nyata” sebagai legitimasi kebenaran penelitian, teori, dan praktek. Sekali lagi, sejalan asumsi kemajuan, penerimaan suatu bentuk logika rasional begitu mendarah daging dalam kesadaran Barat. Ini sangat sulit bagi mereka untuk nilai cara lain dalam mengetahui atau tiba di sesuatu yang mungkin dilihat sebagai 'kebenaran'. Meskipun mungkin diterima penerimaan bahwa ada cara lain untuk mengetahui, tetap kasus yang, dalam banyak cendekiawan Barat, dianggap rasional, ilmiah, logis (dan, banyak yang akan berpendapat, patriarkal) sebagai bentuk pemikiran yang lebih istimewa daripada yang lain (Touraine 1995 ). Tradisi Barat menilai pengetahuan positif, yaitu pengetahuan yang dipahami sebagai 'faktual', dalam arti obyektif, dapat diperoleh melalui obyektif, penyelidikan ilmiah yang bebas nilai, dan dapat didefinisikan secara tepat, jelas dan terukur. (Fay 1975 ; Lloyd & Thacker 1997). Rasionalitas juga berarti menghargai pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil dari hati-hati dan argumen 'logis' yang ketat, dan didasarkan pada pengamatan empiris. Adapun perasaan, emosi, subjektivitas atau sesuatu yang tidak terukur tidak punya tempat dalam rasionalitas, ia harus dibuang kalau perlu. Rasionalitas ini mendapat tempat di cara kerja intelektual 'nyata'. Hal ini, bagaimanapun juga, hanya satu jenis pengetahuan dan hanya salah satu cara untuk 'mengetahui' dunia. Ada serangkaian tantangan yang signifikan terhadap rasionalitas yang demikian. Masyarakat Adat telah menekankan pentingnya sihir, agama, spiritualitas, mimpi, 8
dan sebagainya –sebuah pemahaman yang sangat berbeda dan sebuah dimensi pengetahuan yang berbeda yang tidak bisa diredam oleh ajaran formal logika Barat (Knudtson & Suzuki 1992). Kaum feminis juga mempertanyakan asumsi patriarkal terhadap banyak penalaran Barat Tradisional (Plumwood 1993) dan berpendapat bahwa ada cara lain untuk mengetahui dunia dan satu sama lain yang timbul dari tradisi perempuan yang telah tidak dihargai dalam wacana dominan laki-laki. Aspek lain dari rasionalitas Barat ialah ketergantungan pada biner, pemikiran dualistik. Pemikiran semacam itu terus-menerus membuat dua hal secara dikotomis dan menentang kategori: pikiran-tubuh, pria-wanita, benar-salah, radikal-konservatif, pemenang-pecundang, lulus-gagal, bersalah-tidak bersalah, memadai-tidak memadai, individu-kolektif, swastapublik, baik-jahat, sehat-tidak sehat. Ini adalah cara orang Barat untuk memahami dunia, cara mereka mengatur dan menemukan tempat untuk segala sesuatu dan semua orang. Tapi berpikir dualistik memiliki keterbatasan: ia selalu membagi bukan menyatukan, dan eksklud tidak inklud. Memandang dunia berdasarkan “baik X atau Y” bukan 'baik X dan Y', dunia hitam dan putih yang kadangkadang dapat, dengan susah payah, mentolerir nuansa abu-abu, tetapi tidak memiliki konsep kekayaan beberapa warna. Dalam modernitas, penciptaan setiap biner tersebut mengarah pada asumsi bahwa salah satu 'sisi' adalah, atau seharusnya, entah baik daripada yang lain. Biner A menjadi dasar untuk perbandingan, untuk penghakiman superioritas, dan gagasan tentang 'berbeda namun sama' sulit untuk diterima. Sebuah contoh yang baik adalah feminisme liberal, dualisme pria-wanita berarti bahwa seseorang harus dilihat sebagai superior, dan dalam masyarakat patriarkal disebut laki-laki, sehingga respon dari feminis liberal, menerima pemikiran biner tersebut, adalah untuk berusaha untuk menunjukkan bagaimana perempuan hanya “menjadi baik seperti laki-laki”, di tempat kerja, prestasi olahraga, dan sebagainya, daripada menerima dan menghargai perbedaan dalam cara yang non-hirarkis. Beberapa ide yang bernuansa feminis, seperti pemikir Plumwood (1993), telah mengidentifikasi pentingnya dan keterbatasan pemikiran dualistik dan telah berusaha untuk bergerak ke arah bentuk-bentuk logika dan rasionalitas yang melampaui dualisme tersebut. Feminisme ini tentu saja bukan satu-satunya sumber kritik terhadap dualisme, sebagai kritik tersebut telah tersebar luas di banyak tradisi filosofis dan religius non-dualistik (misalnya Hindu dan, baru-baru ini, postmodernisme). Aspek lain dari rasionalitas Barat adalah kecenderungan untuk berpikir linier. Penalaran hasil sepanjang garis-tunggal, dengan “awal dan akhir”, satu langkah pada satu waktu, dengan “tidak kembali ke belakang” atau “melompat ke depan”, dan tidak ke 'lapangan kiri'. Bentuk lain yang lebih holistik atau berpikir sistemik kurang dihargai, dan mereka yang 9
mencoba untuk mengikuti hal ini mengalami kesulitan untuk menjadi 'standar yang dapat diterima'. Keterbatasan berpikir linier telah diidentifikasi oleh sejumlah kritikus, dan sementara ada minat yang signifikan dalam pendekatan yang lebih holistik, masih ada kendala serius yang dihadapi oleh para pemikir holistik, yang disebabkan oleh struktur dan praktek pola komunikasi Barat. Semua ini memiliki implikasi yang jelas bagi peksos. Pekerjaan sosial Barat telah mendasarkan dirinya dalam bentuk-bentuk rasionalitas Barat. Ilmiah, tradisi positivis dalam peksos telah dihargai, penelitian empiris yang ketat dengan tujuan membentuk 'tubuh pengetahuan' yang bebas konteks. Dualisme, pemikiran linear, dan mengistimewakan pengetahuan positif telah menjadi tradisi yang kuat dalam Peksos. (Ife 1997b). Di era komputer, bentuk seperti pengetahuan bahkan lebih sangat dihargai: 'pengetahuan' dipandang sebagai sesuatu yang dapat disimpan dan ditransmisikan secara digital dan tersedia melalui internet. Dan ini berarti lebih menghargai pengetahuan positif dan proses linear dan meminggirkan bentuk pengetahuan lainnya yang tidak dapat begitu mudah dikomunikasikan melalui impuls digital. Pengalaman pekerja sosial, bagaimanapun, sering bertentangan dengan rasionalitas Barat yang sempit. Misalnya: intuisi, sihir, cinta, tawa, permainan, drama, musik, dan sebagainya adalah cara-cara penting dimana kita bisa 'tahu' diri kita sendiri dan orang lain, dan mereka selalu menjadi bagian dari praktek pekerjaan sosial, meskipun ditolak oleh tradisi ilmiah pekerjaan sosial akademis. Memang, peksos terkadang dikenal sebagai peksos yang sukses bukan pada perencanaan dan evaluasi ilmiah terhadap proses membantu klien, melainkan pada bagaimana ia berbagi tentang pengalaman kemanusiaanya (Ragg 1977; Wilkes 1981), dan sesuatu yang tidak pernah bisa diukur secara empiris, dimasukkan dalam data base, atau bisa di-upload ke internet. Dan pekerja sosial telah sangat peduli dengan pemahaman sistemik-holistik, yang menyangkal pemikiran linear sederhana, dan mencari cara pemahaman yang sangat berbeda, berkomunikasi, dan berbagi. Pengaruh tradisi teoritis lainnya, seperti kritik positivisme, ilmu sosial interpretif, narasi, metodologi feminis, postmodernisme, teori kritis dan sebagainya, juga membantu pekerja sosial untuk bergerak melampaui “sucinya” positivisme dan tradisi Barat.
Kulturalisme, Keberagaman dan Perubahan Satu kesalahan terbesar dalam berfikir tentang budaya adalah godaan 'kulturalisme' (Booth 1999). Asumsi bahwa jika sesuatu yang disebut “tradisi budaya” maka tidak bisa dikritik dan suci. Kulturalisme terkait kultur/budaya, dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan mayoritas praktik pelanggaran dan penindasan, semua itu demi nama integritas budaya. Ini 10
adalah godaan yang sangat rentan bagi banyak pekerja sosial, dalam keinginan mereka untuk mengerti nilai dan mengakomodir keragaman dan untuk terlibat dalam praktek yang bersinggungan dengan budaya. Tapi menghargai keragaman dan keinginan untuk praktek yang bersinggungan dengan budaya tidak berarti menerima kulturalisme yang bermakna “jika itu adalah bagian dari budaya, maka itu adalah baik”. Sikap budayawan membuat dua asumsi yang salah tentang budaya. Pandangan pertama mengatakan bahwa budaya adalah statis, padahal kenyataannya, mereka selalu berubah dan berkembang. Tidak ada budaya yang keadaan hari ini sama dengan keadaan 10 tahun lalu. Norma, nilai dan praktik selalu berubah, dan pernyataan pengkategorian tentang karakteristik budaya tertentu mungkin kala itu mungkin saat ini sudah tidak selaras lagi. Pandangan kedua adalah bahwa budaya adalah monolitik5. Padahal, faktanya tradisi budaya itu cenderung pluralistik, Ada beberapa nilai dan praktik budaya dari bagian kelompok atau masyarakat itu tidak universal, maka ia selalu bisa diuji dan diperdebatkan. HAM mungkin universal, tetapi dapat didefinisikan secara berbeda, menyadari berbeda, dijamin berbeda, dan dilindungi secara berbeda, dalam konteks yang berbeda. Hak mungkin sama, tetapi dapat dipenuhi dengan cara yang berbeda. Kita bisa mengatakan, misalnya, bahwa ada hak universal untuk diperlakukan dengan hormat dan bermartabat, tapi apa 'menghormati' dan 'martabat' berarti akan bervariasi secara signifikan dengan konteks budaya, dan hak universal ini tidak berarti bahwa orang di mana pun harus diperlakukan dengan cara yang persis sama. Misalnya, perilaku yang mungkin sangat hormat dalam satu konteks budaya mungkin sangat menghina di negara lain. Tantangan bagi pekerja HAM adalah mempertahankan perspektif HAM yang kuat yang mengatakan bahwa HAM universal adalah penting, tetapi juga untuk bekerja menuju cara yang selaras dengan budaya di mana mereka berada. HAM dapat diwujudkan dalam konteks budaya yang berbeda, mengingat bahwa konteks budaya itu sendiri dapat berubah dan nilai budaya cenderung pluralistik, tidak monolitik. Hal ini menjadi focus peksos. Peksos biasanya diposisikan “membantu perjuangan HAM dan hak-hak yang kontekstual dengan tradisi budaya yang berbeda. Untuk itu, titik penting adalah ada cara untuk menemukan cara bergerak melampaui batasan melumpuhkan kulturalisme dan mencari bentuk budaya sensitif dan menghormati kerja HAM, melintasi batas-batas budaya, memang jika HAM yang benar-benar universal dan melibatkan perjuangan seperti seperti yang untuk pembebasan perempuan dibahas dalam bagian ini, praktek seperti menjadi penting. Dan tentu saja apa yang berlaku bagi perjuangan feminis, juga berlaku bagi perjuangan HAM lainnya, termasuk dalam masalah anak-anak, 5
Monolitic adalah kesatuan tunggal dari beragam sesuatu, menjadi satu dan berpengaruh kepada yang lain. (Sumber: http://glosarium.org/arti/?k=monolitik;downloaded at September 23th 2013; 01.57AM).
11
penyandang cacat, ras, kecenderungan seks, kemiskinan, atau lain-lain. Dengan membingkai hal ini sebagai perjuangan HAM, berarti membingkai dalam “perjuangan HAM universal”. Ia menjadi perhatian semua orang dan yang mesti berlangsung dalam lintas batas nasional dan budaya.
Universalisme dan Relativisme: Diluar Koridor sederhana Masalah universalisme dan relativisme biasanya dinyatakan sebagai biner: seseorang harus memiliki satu hal atau yang lain, keduanya dipertentangkan, dan itu adalah masalah perdebatan; mana yang harus mendominasi. Namun ini adalah pandangan yang sangat sederhana tentang universalisme dan relativisme. Jelas, memang, bahwa keduanya; universalisme naif dan relativisme naif adalah posisi yang tidak bisa dipertahankan untuk pekerja HAM. Sebuah universalisme naif, bersikeras bahwa semua HAM berlaku di manamana, untuk semua orang, dengan cara yang sama, tidak memperhitungkan perbedaan budaya. Padahal faktanya, pemahaman setiap orang tentang HAM dibentuk oleh budaya mereka dan konteks yang ada. Pada saat yang sama, relativisme naif, sering ditandai dengan kulturalisme, yaitu tidak ada posisi moral yang menentang pelanggaran HAM di luar budaya sendiri, namun pelanggaran berat mungkin akan tampak. Oleh karena itu, perlu mencoba bergerak melampaui biner sederhana universal/ relatif dan untuk mencapai posisi yang lebih bernuansa yang “bukan universalisme atau relativisme” yang akan diterima tanpa kritik, melainkan di mana keduanya digabungkan. Salah satu cara di mana hal ini dapat dicapai adalah dengan membuat perbedaan antara kebutuhan dan hak-hak; memahami hak sebagai pernyataan umum dan universal, dan kebutuhan sebagai cara hak-hak tersebut dikontekstualisasikan. Ini mensyaratkan bahwa hak dinyatakan dalam istilah yang sangat umum, misalnya 'hak untuk perawatan kesehatan, bukan' hak untuk obat farmasi terjangkau 'atau' hak untuk tempat tidur rumah sakit. Dalam contoh ini, yang terakhir menjadi kebutuhan 'yang bervariasi dari satu konteks ke konteks lainnya. Cara kedua adalah dengan memahami pernyataan universal hak sebagai aspirasi normatif universal, bukan sebagai pernyataan universal yang empiris. Jadi untuk berbicara tentang hak universal untuk pendidikan, misalnya, berarti orang membuat pernyataan tentang keinginan bahwa pendidikan harus diwujudkan bagi seluruh umat manusia. Pendekatan ini menunjukkan bahwa setiap orang secara sah dapat menentukan hak atas dasar harapan orang itu atas dasar kemanusiaan; orang lain mungkin akan menentukan hak berbeda, atas dasar nilai-nilai dan aspirasi yang berbeda, dan karenanya universalisme berada dalam aspirasi pendefinisi yang tepat, bukan dari yang dibuat seolah-olah hak-hak universal entah 12
bagaimana 'ada' di mana-mana. Seperti pendekatan untuk universalisme membuka ruang dialog antara berbagai pakar yang mendefinisikan hak secara berbeda. Yang lebih penting adalah untuk bergerak di luar pendekatan universalisme dan relativisme yang menganggap mereka saling eksklusif. Sebaliknya, dapat kita katakan bahwa keduanya saling bergantung, dan masing-masing diperlukan untuk yang lain. Setiap kali kita membuat pernyataan universal, hanya memiliki makna dalam konteks di mana kita membuatnya. Sehingga setiap penegasan hak universal untuk, katakanlah, pendidikan membuat asumsi tentang apa pendidikan, dan mengapa penting, yang terbuat dari dalam konteks. Pernyataan seperti itu tidak bisa bebas konteks, dan dari konteksnya bahwa hal itu dapat diberi makna. Jadi, segala yang universal paasti didasarkan pada kontekstual, namun banyak bahasa yang digunakan dapat mengaburkan itu. Demikian pula, setiap pernyataan tentang konteks yang lebih luas memerlukan beberapa keterangan yang lebih luas, kerangka kuasi-universal. Jadi untuk mengklaim bahwa budaya sangat materialistik, atau patriarki, atau kooperatif, atau militeristik adalah membandingkannya dengan norma yang lebih luas, yang berjalan pada klasifikasi yang lebih tinggi dari konteks budaya. Dengan cara ini, kontekstual tergantung pada universal, dan universal tergantung pada kontekstual, masing-masing saling membutuhkan untuk memberikan makna. Jadi, pernyataan bahwa hak akan selalu bersifat universal dan kontekstual, tidak bisa diakui hanya satu atau yang lain, tapi akan selalu bergandengan. Ini mungkin cara yang paling ampuh untuk bergerak melampaui universalisme/relativisme dualisme, dengan memahami bahwa HAM tidak hanya bisa, tetapi harus, menggabungkan keduanya, dan bahwa setiap pernyataan atau klaim hak melibatkan interaksi elemen universal dan kontekstual.
Warga Negara Dunia Konsep tentang HAM, yang dipahami sebagai yang universal, sangat terkait dengan pemahaman tentang kewarganegaraan, kewargaan kita adalah hak kita untuk hak-hak tertentu yang harus dipenuhi oleh negara dimana kita adalah warga negara, dan ini telah menjadi dasar bagi perumusan kebijakan sosial. Dalam era globalisasi, meski kita belum melihat globalisasi kewarganegaraan yang sesuai dengan globalisasi ekonomi. Sebagai negara yang 'cekung' (Jessop 1994), hal ini membuktikan bahwa negara kurang mampu memenuhi semua hak-hak kewarganegaraan dari orang yang mengklaimnya. Lebih khusus lagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tergantung pada tingkatan mendasar pada belanja publik, yang mana pemerintah tidak mungkin mempertahankan kekuatan ekonomi global dan ideologi pasar bebas. Oleh karena itu, diperlukan dalam dunia yang mengglobal, untuk
13
menguji gagasan kewarganegaraan global, meskipun hal ini sampai saat ini sudah saatnya untuk didefinisikan atau direalisasikan. Kelemahan dalam merealisasikan ide “warga dunia” dapat diilustrasikan dengan kasus mobilitas individu. Untuk orang kaya, dalam dunia global, bergerak di seluruh dunia dengan mudah dan disambut di manapun mereka pergi. Mereka sangat dicari, dan dalam beberapa kasus mudah mengubah kewarganegaraan demi kenyamanan, keuntungan finansial, dan untuk menghindari penahanan jika terkait dengan kriminalitas mereka. Bagi mereka, identitas nasional dan kewarganegaraan memiliki arti yang kecil, karena mereka lebih bangga menyebut diri mereka sebagai “warga dunia”. Namun sebaliknya, para pengungsi, pencari suaka, dan pekerja migran, yang melarikan diri dari penganiayaan atau hanya mencari kehidupan yang lebih baik bagi mereka dan keluarganya, didiskriminasi, dipaksa, pindah, ditolak hak-hak dasar manusia, dihukum dan dipenjara (Loescher 1999). Gagasan tentang “warga dunia” merupakan muatan dari HAM universal. Hal itu sebagai kelanjutan proses globalisasi, dan dengannya terhubung pencarian tentang konsepsi warga dunia, gagasan tentang HAM pasti mencapai makna yang signifikansinya lebih besar. Kita tidak perlu heran, karena itu, bahwa pada waktu tertentu dalam sejarah tampaknya ada minat baru dalam gagasan tentang HAM, dan istilah ini sering digunakan oleh lawan dari bentuk arus globalisasi.
Praktik Global Implikasi bagi pekerjaan sosial terkait gagasan kewarganegaraan global mulai diakui dalam literatur pekerjaan sosial. Ini adalah daerah utama pembangunan untuk pekerjaan sosial masa depan, jika pekerjaan sosial ingin tetap relevan di era globalisasi dan jika praktek kerja sosial yang didasarkan pada HAM hendak direalisasikan. Salah satu cara untuk memahami praktek peksos adalah dengan melihatnya sebagai proses membantu orang untuk mengartikulasikan hak-hak mereka dan agar hak mereka terpenuhi dan terlindungi. Ini berarti bahwa pekerjaan sosial harus memiliki perspektif internasional, dan bahwa hal itu tidak cukup untuk hanya peduli dengan lokasi dan konteks langsung di mana pekerjaan sosial berada. Di sisi lain, adalah penting bahwa pekerjaan sosial tidak mengabaikan lokal, karena hal ini tetap menjadi lokasi penting bagi kegiatan manusia, dan jika sesuatu menjadi bermakna jika dikaitkan dengan konteksnya. Praktik peksos bisa dalam dua segmen: global dan local. Jadi lokasi untuk aksi sosial dan advokasi kebijakan perlu bergeser dari nasional ke lokal maupun global, dan itu adalah kemampuan
untuk
menghubungkan kedua hal
14
tersebut
yang
akan menentukan
keberhasilan masa depan pekerjaan sosial. Kekuatan yang mempengaruhi klien pekerja sosial 'sekarang sangat global, sedangkan pengalaman masalah pribadi, dan memang pengalaman besar kehidupan bagi sebagian besar penduduk bumi, tetap pada lokal. Jika pekerjaan sosial ingin menjadi efektif, maka harus mampu beroperasi pada kedua tingkatan, dan untuk menghubungkan dua hal tersebut dalam bingkai acuan “lokal-global” yang kadang-kadang disebut 'glocal'. (Lawson 2000).
***
15
BAB III PEMBAHASAN BUDAYA DAN HAM
Budaya adalah hasil cipta karya manusia, baik fisik maupun non fisik dalam menghadapi kehidupan. Cipta karya fisik seperti bangunan, jalan, jembatan, pengelolaan alam, dan seterusnya. Cipta karya non-fisik, seperti pranata social, tata-krama, system keyakinan, dan lain-lain. Kata kultur/budaya dalam kaitannya dengan perilaku manusia, pertama kali dikemukakan oleh Edward Burnett Taylor (1832-1917). Ia mengatakan: Culture or civilization, taken in its wide ethnographic sense, is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.”6 “Budaya atau peradaban, diambil dalam arti luas etnografi, adalah bahwa keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang ada oleh manusia sebagai anggota masyarakat.” Dari definisi budaya di atas, terdapat garis merah antara budaya dengan HAM. Karena budaya merupakan kompleksitas produk manusia, fisik maupun non-fisik. Dan HAM adalah salah satu dari bentuk budaya manusia. Secara singkat, HAM dan budaya bagai dua sisi mata uang logam.
Universalitas dan Spesialitas HAM secara umum adalah sama dalam definisi universal antar beragam budaya dunia, wujud pernghargaan atas martabat manusia. Akan tetapi dalam implementasinya, terkadang satu budaya tidak sama dengan budaya bangsa lain. Contoh: Setiap bangsa memerintahkan untuk menghormati kedua orang tua. Penghormatan terhadap orang tua, disikapi berbeda dalam bentuk pelaksanaanya. Suku Jawa memahaminya dengan seorang anak mencium tangan ibu-bapaknya ketika bertemu atau akan berpamitan; sementara orang Timur-Tengah menyatakannya dengan mencium kening kedua orang tuanya. Contoh kedua: Setiap bangsa menghargai dan memberikan kebebasan kepada warganya untuk menyampaikan pendapat. Dalam pelaksanaanya, orang Indonesia, penyampaian 6
th
Edward Burnett Taylor (1832-1917), “Primitive Culture”, 4 Ed., London, John Murray Albemarle Street, 1903, hal. 1.
16
pendapat akan dianggap kurang baik jika disampaikan dalam orasi di muka umum tanpa langsung kepada yang bersangkutan. Namun, di Barat barangkali menjadi hal yang biasa menyampaikan hal yang demikian dengan cara yang demikian pula.
Rambu-rambu Pelaksanaan HAM Ada sejumlah rambu-rambu dalam pelaksanaan HAM agar bisa berjalan dengan baik. Hal ini penting agar niat mulia untuk memuliakan manusia tidak berujung para perang kepentingan antar klaim hak. Rambu-rambu tersebut adalah: 1. Pelaksanaan HAM tidak bisa secara mutlak. Hal ini maksudnya adalah apa yang menjadi hak kita apabila dijalankan maka akan bergesekan dengan hak orang lain. Maka, ketidakmutlakannya dibatasi oleh hak orang lain yang juga mengklaim HAM. Maka, dari hasil gesekan itu, muncul tata-krama, saling menghargai, tidak saling mengganggu, dan lain-lain; 2. Pelaksaan hak harus diimbangi dengan pelaksanaan kewajiban. Hal ini adalah karena dalam hidup bermasyarakat, setiap anggotanya memiliki hak dan kewajiban. Apa yang menjadi hak kita, artinya itu adalah kewajiban pihak lain untuk memenuhinya. Demikian juga, hak orang lain, ada yang menjadi kewajiban kita untuk memberikannya. 3. Pelaksanaan HAM tersebut harus dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan. Hal ini untuk menghindari bentrok horizontal antar sesame masyarakat dan vertical: masyarakat dengan Negara. Apabila sudah bisa dibuat dalam peraturan tertulis yang disepakati bersama, maka keserasian pelaksaan HAM bisa dicapai secara lebih konkret. Berikutnya, segala macam pelanggaran HAM bisa dihindari, diminimalisir, dan sanksi pun jelas dan akuntabel bagi pelanggar HAM, termasuk bagaimana proses perjuangan mendapatkan HAM yang terlanggar tersebut.
Peran Pekerja Sosial Pekerja Sosial hendaknya memahami beragam budaya dunia. Hal ini karena setiap perilaku manusia, demikian juga klien, dipengaruhi oleh budaya dimana ia tinggal. Ketidaktahuan pekerja social akan budaya klien, akan berakibat fatal terhadap engagement dan solusi yang ditawarkan. Ibarat seorang yang melihat ikan diakuarium, lalu ia merasa iba karena ikan tenggelam, lalu diangkatnya ikan tersebut, dan akhirnya mati. Jangan sampai seorang pekerja social “merasa telah berbuat yang terbaik” untuk klien, ternyata adalah sebaliknya. Hal ini karena ketidaktahuan akan budaya setempat.
17
Pekerja social yang ingin berkiprah dalam ranah HAM, hendaknya juga mengetahui berbagai prinsip HAM, mensosialisasikannya kepada masyarakat --khususnya klien, apa yang menjadi hak-haknya, dan bagaimana ia membantu klien untuk mendapatkan haknya tersebut. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh seorang Peksos dalam fungsinya pada ranah HAM: 1. Sosialisasi tentang HAM, baik kepada klien individu, keluarga, kelompok, komunitas, masyarakat, bangsa, maupun kepada institusi pemerintah; 2. Pendidikan HAM 3. Advokasi HAM 4. Penguatan lembaga pelindung HAM 5. Pelestarian budaya 6. Pemberdayaan hokum 7. Mendorong munculnya berbagai kebijakan yang mendukung HAM.
***
18
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN Berdasarkan apa yang sudah kami kemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: Topik kajian tentang Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan wacana semua orang, semua disiplin ilmu, karena pada hakikatnya semua cabang ilmu didedikasikan untuk kemajuan peradaban manusia. Budaya adalah hasil cipta karya manusia, baik fisik maupun non fisik dalam menghadapi kehidupan. Cipta karya fisik seperti bangunan, jalan, jembatan, pengelolaan alam, dan seterusnya. Cipta karya non-fisik, seperti pranata social, tata-krama, system keyakinan, dan lain-lain. Terdapat garis merah antara budaya dengan HAM. Karena budaya merupakan kompleksitas produk manusia, fisik maupun non-fisik. Dan HAM adalah salah satu dari bentuk budaya manusia. Secara singkat, HAM dan budaya bagai dua sisi mata uang logam.
SARAN 1. Pekerja Sosial harus memahami seluk-beluk ragam budaya dunia, khususnya budaya tempat ia berlokasi, berkiprah, dan bekerja. 2. Meski
secara
universalitasnya,
HAM
adalah
sama,namun
karena
dalam
implementasinya masing-masing berbeda sesuai konteksnya, maka sangat mungkin terjadi kekeliruan, baik sengaja ataupun tidak. Kekeliruan ini disebut pelanggaran HAM. Oleh karena itu, peksos harus bisa melakukan korelasi mutualistic antara agenda HAM yang universal dengan budaya daerah yang sangat spesifik. 3. Para stakeholder di Indonesia, termasuk di dalamnya IPSPI, perlu untuk secara regular duduk bersama, melakukan kristalisasi budaya universal Indonesia dalam bentuk “budaya tertulis” sehinga beragam pelanggaran bisa diminimalisir. ***
19
DAFTAR PUSTAKA
Jim Ife, Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge Univercity Press, 2008; Edward Burnett Taylor, “Primitive Culture”, 4th Ed., London, John Murray Albemarle Street, 1903 Peter J. Bräunlein, "Flagellation." Religions of the World, Second Edition: A Comprehensive Encyclopedia of Beliefs and Practices”. Ed. Martin Baumann, J. Gordon Melton. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO, 2010, 1120-1122 Susan C. Mapp, “Human Right and Social Justice in a Global Perpective: an Introduction to Int’l. Social Work”, Oxford Univercity Press, 2008. http://en.wikipedia.org/wiki/ Confucianism. Downloaded at September 15th 2013; 2.16PM. http://www.livescience.com/21478-what-is-culture-definition-of-culture.html; downloaded at September 22th 2013. http://en.wikipedia.org/wiki/Triumphalism; downloaded at September 23th 2013; 03.41 AM) http://glosarium.org/arti/?k=monolitik;downloaded at September 23th 2013; 01.57AM
20