PRESENTASI MICHAEL SPENCE DI BAPPENAS Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkelanjutan, Tinggi dan Inklusif
(Sustained High Inclusive Growth) A. Michael Spence Sebagai Ketua Komisi Pertumbuhan dan Pembangunan Pada tanggal 27 Maret, 2008, Bappenas telah mendapat kehormatan untuk mendengar pandangan Dr. Michael Spence tentang pertumbuhan ekonomi (growth) dan pembangunan (development). Michael Spence adalah seorang peraih Nobel Memorial Prize pada tahun 2001, untuk karyanya tentang kajian pasar dan informasi yang asimetris. Spence juga pernah menjadi Dekan Stanford Graduate School of Business dan antara tahun 1975 dan 1990 menjadi professor di bidang ekonomi dan business administration di Universitas Harvard. Ketika menyampaikan paparannya di Bappenas, Spence berbicara dalam kapasitasnya sebagai Ketua Commission on Growth and Development. Komisi ini didirikan pada tahun 2006 dengan tugas menghasilkan pemahaman yang mendalam tentang kebijakan dan strategi yang mendasari pertumbuhan ekonomi dan upaya menurunkan kemiskinan. Komisi ini disponsori oleh World Bank, pemerintah Belanda, Swedia dan Inggris. Titik tolak dari pelaksanaan tugas Komisi ini adalah publikasi World Bank tahun 2001 tentang “Lessons of the 1990s”, yang merupakan tinjauan tentang dampak reformasi kelembagaan dan kebijakan selama dasawarsa 90an untuk selanjutnya melihat kedepan untuk dasawarsa berikutnya dan periode jauh setelah masa kini. Dasawarsa 90an diistilahkan sebagai “initial conditions” sedangkan periode berikutnya merupakan tantangan yang dihadapi kedepan untuk mana hasil penelitian Komisi ini akan memberi arahan-arahan agar dapat menghadapinya dan untuk mencapai “sustained high inclusive growth”. Hasil rumusan untuk arahan-arahan ini akan untuk pertama kali diedarkan pada tanggal 21 Mei tahun 2008. Secara keseluruhan, paparan Prof. Spence mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dan tidak mempunyai suatu kerangka pemikiran (model/teori) yang utuh. Hal ini kelihatan juga dari tanggapan yang diberikannya atas beberapa pertanyaan yang diajukan peserta paparan, yaitu bahwa ia tidak atau belum tahu jawabannya. Jawaban Prof Spence ini mungkin terkait dengan sifat pekerjaan Komisi yang dipimpinnya, yaitu untuk menghasilkan rumusan rekomendasi kebijakan berdasar studi kasus dari beberapa negara hasilnya baru disampaikan pada bulan Mei 2008. Dalam paparannya ini Prof Spence selalu mengatakan bahwa rekomendasi yang akan dirumuskan Komisinya akan tergantung dari keadaan spesifik dari masing-masing negara yang menghadapi tantangan untuk tumbuh dan membangun. Mengingat sifat paparan Prof. Spence yang belum konklusif ini, maka tanggapan yang akan disampaikan pada ulasan ini hanya akan menyentuh beberapa aspek sebagai berikut (tanggapan atasnya akan diberikan pada Bagian B di bawah ini) : a.1. Suatu landasan kerja Komisi ini adalah suatu kutipan dari Robert Solow (salah seorang anggota Komisi dan juga ekonom dan peraih Hadiah Nobel atas Teori Neo-Klasik Solow tentang pertumbuhan ekonomi) yang pada intinya mengatakan bahwa berbeda dengan anggapan banyak kalangan bahwa upaya pertumbuhan ekonomi jangka panjang merupakan upaya yang sangat mudah untuk dicapai, maka dalam realita upaya ini sangat sulit dan andaikata dapat tercapai akan sangat sulit untuk dapat memahaminya; a.2. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akan difasilitasi oleh pemanfaatan dari kaitan (link) dengan ekonomi global, yang dapat dijelaskan oleh
kajian Kurva/Frontir Kemungkinan Produksi (Kajian PPC); a.3. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dapat dipengaruhi oleh perkembangan demografi, yang menyangkut antara lain aspek strukur umur penduduk; a.4. Pertumbuhan ekonomi selain harus “sustained” dan ‘high” juga harus “inclusive”. Untuk ini Prof. Spence memberi contoh China yang mempunyai pertumbuhan tinggi tetapi mempunyai Gini Coefficient Ratio sebesar 0,45; a.5. Prof. Spence mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan memerlukan waktu beberapa dasawarsa (“sustained means over several decades”), dan bahwa pertumbuhan ekonomi bukan merupakan tujuan akhir tetapi hanya merupakan suatu sarana untuk mencapai berbagai sasaran lain seperti penciptaan kesempatan untuk dapat bekerja dan agar masyarakatnya menjadi kreatif . B. Tanggapan Atas Beberapa Butir Paparan Prof Spence Karena paparan Prof. Spence tidak mempunyai kerangka pikiran yang utuh maka tanggapan berikut atas paparan ini dilakukan melalui pendekatan bahasan beberapa butir argumennya, sesuai dengan yang disebut pada butir a.1 sampai dengan butir a.5 di bagian A di atas. Pertama, Prof. Spence mengatakan bahwa Robert Solow merupakan salah satu anggota Komisinya yang berasal dari kalangan akademisi. Spence juga secara khusus mengutip pernyataan Robert Solow yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan sangat sulit dicapai. Ringkasnya teori Solow dapat dijelaskan dari rumus sebagai berikut : ΔY/Y = (α. ΔK/K) + (β. ΔL/L) + SR di mana : Y = PDB ΔY/Y = pertumbuhan ekonomi, yaitu ((PDBt - PDBt-1)/PDBt-1) K = modal L = tenaga kerja α = timbangan pertambahan modal pada ΔY/Y β = timbangan pertambahan tenaga kerya pada ΔY/Y SR = Solow Residual Rumus ini mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi berasal dari alokasi sumber daya ekonomi (K dan L)menurut mekanisme pasar sesuai dengan MPP (Marginal Physical Productivity) dari masing-masing sumber daya ekonomi tersebut. Dalam hal ada sumbangan pertumbuhan dari sumber lain maka sumbangan ini dianggap ditentukan secara eksogenous, sehingga disebut Solow Residual. Dalam teorinya Solow sebenarnya tidak mengakui SR ini (sehingga disebut sebagai suatu “residual” saja) karena sumbangan pertumbuhan jenis ini berasal dari adanya “external economies” yang dalam model teori klasik yang bersandar pada bekerjanya mekanisme pasar secara sempurna tidak dapat terjadi. Solow dalam teorinya mengatakan bahwa asal saja tidak ada intervensi pemerintah dalam perekonomian masing-masing negara (yang masing-masing mempunyai rasio k/l, yaitu perbandingan antara modal dan tenaga kerja, yang berbeda) di dunia maka suatu waktu akan terjadi konvergensi tingkat kemakmuran (PDB per kapita) dari semua negara, misalnya pendapatan per kapita Indonesia akan menjadi sama dengan pendapatan per kapita Jepang, Inggris dan AS. Teori Robert Solow yang demikian terkait dengan pandangan
Solow sebagai seorang ekonom dari mashab neo-klasik yang, berbeda dengan para ekonom dari mashab Keynesian, tidak setuju dengan adanya intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi dunia usaha swasta. Dalam kaitan dengan teori Solow ini, maka yang hendak ditanyakan apakah pandangan Solow sebagai anggota Commission on Growth and Development ini tetap akan dipertahankannya ? Hal ini akan terasa ganjil karena suatu landasan kerja Komisi ini adalah bahwa peranan pemerintah dalam upaya pertumbuhan dan pembangunan suatu negara penting. Prof. Spence bahkan mengatakan bahwa Komisinya tidak setuju dengan Washington Consensus yang ingin menghilangkan semua intervensi pemerintah yang akan menghambat kegiatan dunia usaha swasta. Kedua, suatu peralatan kajian (analytical instrument) yang menarik pada paparan Prof. Spence adalah konsep production possibility curve (ppc). Spence menggunakan ppc ini untuk memudahkan pemahaman tentang manfaat yang akan diperoleh bagi pertumbuhan dan pembangunan suatu negara apabila membuka diri pada perekonomian global. (Lihat Diagram A) Diagram A Kurva/Frontir Kemungkinan Produksi sepeda ppc2 ppc1 y * x2 *
z *
x1 * beras Keterangan : - Diasumsikan suatu perekonomian hanya memprokusi sepeda dan beras. - Pada suatu saat negara ini dapat menentukan tingkat produksi dengan memilih kombinasi tertentu antara sepeda dan beras - Hanya pada titik-titik suatu ppc (misalnya ppc1) dapat dicapai kombinasi antara sepeda dan beras yang optimal, misalnya pada titik y dan z. - Sedangkan titik x1 dan titik x2 tingkat produksi (kombinasi antara sepeda dan beras) merupakan tingkat yang tidak optimal dan tidak efisien - Dalam dinamika perkembangannya suatu ppc dapat bergeser ke ppc yang lebih tinggi (ppc1 ke ppc 2) misalnya karena ada teknologi baru atau ditemukannya sumber daya alam baru, sehingga kemungkinan peningkatan pertumbuhan tidak lagi dibatasi oleh misalnya titik y dan z pada ppc1 tetapi dapat lebih tinggi lagi, yaitu pada setiap titik di ppc2.
Pada paparannya di Bappenas, Prof. Spence mengatakan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat dicapai antara lain dengan memperbesar akses ke perekonomian global. Menurutnya, akses ke ekonomi dunia akan memperbesar jangkauan pasar melebihi batasan pasar domestik. Selain itu, Spence mengatakan bahwa mengadakan kaitan dengan ekonomi global juga akan memperbesar kemungkinan pengusaha dalam negeri untuk mamanfaatkan alih teknologi dari berbagai perusahaan negara-negara yang telah lebih maju (yang akan mengakibatkan perseseran ppc1 ke ppc2) . Selanjutnya, paparan Spence mengimplikasikan bahwa pertumbuhan di bawah titik-titik optimal, dalam Diagram A adalah pada titik x1 dan x2 yang berada titik-titik yang berada pada ppc1, disebabkan oleh inefisiensi dalam mengalokasi sumber daya ekonomi. Inefisiensi ini karena harga dari sumber daya ekonomi yang bersangkutan tidak mencerminkan nilai kelangkaannya. Dalam hal ini, jika harga BBM (misalnya Premium) sebesar Rp 4,800 per liter, sedangkan nilai kelangkaannya adalah Rp 9,000 per liter, maka akan terjadi berbagai masalah disalokasi seperti pengoplosan dan penyelundupan BBM. Akibat dari masalah disalokasi ini adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi yang di bawah potensinya (di bawah kurva ppc). Mengatasi masalah disalokasi ini adalah dengan meningkatkan harga BBM sampai menyamai nilai kelangkaannya. Dilain pihak, Prof Spence tidak ataupun belum sempat menjelaskan bagaimana jika peningkatan harga BBM ini akan menganggu stabilitas ekonomi (kenaikan inflasi) dan bahkan menganggu stabilitas politik (kerusuhan sosial-politik) paling tidak dalam jangka pendek. Walaupun dalam misi Komisi Spence ini hendak mencapai pertumbuhan jangka panjang (sustained high inclusive growth), dalam realita tidak dapat diabaikan gejolak jangka pendek. Seperti yang pernah dikatakan oleh ahli ekonomi seniornya Spence, yaitu John Maynard Keynes (pengarang buku terkenal “General Theory of Empoyment, Interest and Money” dan penasehat Presiden Franklin Delano Roosevelt dalam perumusan kebijakan “New Deal” untuk mengatasi masalah pengangguran berat setelah masa depresi yang melanda ekonomi AS bahkan ekonomi dunia yang pecah pada tahun 1929): “…in the long-run we are all dead…”. Prof. Spence juga tidak menyentuh masalah konsistensi kebijakan ekonomi pasar dengan landasan konstitusi suatu negara, dalam hal Indonesia dengan Pasal 33 UUD45. Ketiga, Prof. Spence mengatakan bahwa masalah struktur umur yang terutama dihadapi negara-negara yang sedang membangun dapat diatasi dengan mempermudah mobilitas penduduk. Seperti diketahui, struktur umur suatu negara umumnya dibagi menurut kohort lima tahunan (0-4, 5-9, 10-14, dst). Pada struktur demikian, negaranegara yang sedang membangun umumnya mempunyai digram yang lebih berbentuk piramida (sangat gemuk di bawah dan semakin ramping ke atas) sedang pada negaranegara yang sudah maju lebih berbentuk tugu (yang relatif ramping dari bawah sampai atas). Walaupun negara-negara maju menghadapi strukur umur yang menua (semakin banyak yang masuk kohort di atas 65 tahun), negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia menghadapi masalah struktur umur yang muda (jauh lebih banyak kohort antara 0 sampai 15 tahun). Struktur yang demikian mengakibatkan dua permasalahan yang kurang menguntungakan bagi pertumbuhan dan pembangunan. Masalah pertama, adalah bahwa struktur ini akan menyebabkan pertumbuhan penduduk terus tinggi walaupun diberlakukan program KB karena terus mengalirnya kohort 10-14 ke kohort 15-19 untuk menjadi “pengantin baru”. Masalah kedua dari struktur umur yang muda adalah relatif tingginya “dependency ratio” di negara-negara berkembang daripada di negara-negara maju. Dependency ratio
merupakan angka persentase dari kelompok umur 0 sampai 15 tahun (di tambah kelompok umur di atas 65 tahun) terhadap kelompok umur 15 sampai dengan 64 tahun). Jadi rasio ini mengambarkan berapa besar kelompok umur yang “tidak produktif” terhadap kelompok umur yang “produktif”, ataupun dari sisi yang lain, berapa besar tanggungan kelompok produktif untuk memberi nafkah pada kelompok yang tidak produktif. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil proporsi penduduk yang dapat aktif bekerja sehingga tidak ikut menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Walaupun Indonesia masih termasuk negara yang sedang membangun, suatu survey yang diadakan bersama antara Bappenas, BPS dan UNFPA menunjukknan bahwa dependency ratio Indonesia dalam proyeksi sampai dengan tahun 2025 cenderung menurun yaitu membaik.(Lihat Tabel A di bawah), dari 54,7 persen dalam tahun 2000 menjadi 45,3 persen pada tahun 2024. TABEL A STRUKTUR UMUR PENDUDUK INDONESIA (dalam persen) 2000-2024
TAHUN Kelompok Umur 0 - 14 15 - 64 65 + Dependency Ratio
2000
30,7 64,6 4,7 54,7
2005
2009
2014
2019
2024
28,3 66,7 5,0 49,9
26,5 68,3 5,3 46,4
25,2 69,0 5,8 44,8
24,1 69,2 6,7 44,5
23,0 68,8 8,1 45,3
Sumber : Proyeksi Penduduk Indonesia, 2000-2025, Bappenas,BPS,UNFPA. Walaupun dependency ratio diperoyeksikan membaik, hal ini tidak boleh membuat kita terlena sebab penurunan ini, yang juga dikenal dengan istilah “dividen demografi”, hanya menunjukkan semakin besarnya proporsi kelompok umur yang potensial produktif, tetapi belum tentu langsung dapat menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini masih tergantung pada jawaban atas pertanyaan berapakah dari kelompok “usia kerja” ini termasuk kelompok “angkatan kerja”, selanjutnya berapa proporsi dari “angkatan kerja” ini “berkerja” yaitu tidak menganggur, yang selanjutnya tergantung pada seberapa besar tersedianya kesempatan kerja. Untuk mengatasi masalah struktur umur ini, Spence dalam paparannya di Bappenas menyarankan agar mobilitas penduduk ditingkatkan, yaitu dikurangi hambatan dalam bentuk regulasi dan melalui pembangunan infrastruktur transportasi antar daerah, sehingga setiap tenaga kerja sesuai dengan kemampuannya dapat mencari pekerjaan di tempat yang paling membutuhkannya diseluruh Indonesia. Keempat, mandat Komisi yang diketuai Prof Spence adalah untuk merumuskan rekomendasi kebijakan untuk petumbuhan dan pembangunan, dalam mana pertumbuhan tidak hanya tinggi dan berlanjutan (sustained) tetapi juga merata (inclusive).
Dalam paparannya, Prof. Spence menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “inclusive” adalah pemerataan/pemberdayaan sacara luas, termasuk dalam arti sosial, budaya dan politik. Prof Spence mencontohkan bahwa suatu kebijakan yang akan counter-produktif (toxic policy towards disaster) adalah kebijakan pemberdayaan dan pemerataan berdasar kelompok etnis ataupun agama, yang walaupun tidak dikatakannya, suatu contoh adalah kebijakan “bumi-putera” di Malaysia yang telah menyebabkan kelompok keturunan etnis India merasa disisihkan. Meskipun demikian, dalam rangka pertumbuhan ekonomi, aspek inklusif yang dimaksud Prof Spence tentunya menyangkut pembagian/distribusi kue pendapatan nasional di antara seluruh penduduk suatu negara. Untuk ini, suatu patokan untuk mengukurnya secara kuantitatif adalah “Gini Ratio”. Secara grafis, Gini Ratio adalah suatu perbandingan antara daerah D dengan daerah ABC.(lihat Diagram B). DIAGRAM B Gini Ratio C
D
A
B
Keterangan : - Sumbu horizontal bagian bawah menggambarkan persentase penerima pendapatan secara kumulatif (dari persentase yang ke-10, ke-20, ke-30 dst sampai yang ke-100). - Sumbu vertikal bagian kiri menggambarkan persentase pendapatan yang diterima secara kumulatif (dari yang ke-10 persen pertama sampai dengan ke 100 persen terakhir). - Garis lurus A-C menggambarkan pemerataan yang paling sempurna. - Garis A-B menggambarkan pemertaan paling tidak sempurna - Gini ratio menggambarkan daerah antara garis A-C dan A-B (=D) dengan total daerah segitiga ABC, yaitu D/ABC. - Dengan demikian Gini Ratio mempunyai nilai antara 0 (ketika garis lengkung AC berimpitan dengan garis lurus AC) dan nilai 1 (ketika garis lengkung menjadi garis datar AB). - Semakin gemuk daerah D, semakin besar nilai Gini ratio dan semakin buruk pemerataan pendapatan.
-
Semakin kurus daerah D, semakin kecil nilai Gini Ratio dan semakin baik permerataan pendapatan atau dengan istilah Prof Spence, semakin “inclusive” pertumbuhan dan pembangunan.
Prof Spence mengatakan bahwa di China Gini Rationya adalah 0,45 yang sebenarnya relatif tidak merata (pemerataan adalah relatif baik kalau berada antara 0,20 dan 0,35 dan relatif kurang merata kalau bernilai antara 0.50 dan 0.70). Gini Ratio dari Indonesia dan dari beberapa daerah tertentu di Indonesia antara tahun 1999 dan tahun 2005 diberikan pada Tabel B di bawah ini. TABEL B Gini Ratio di Indonesia dan Beberapa Daerah 1999 dan 2005 Indonesia/Daerah 1999 NAD 0,24 Sumatera Utara 0,25 Riau 0,24 DKI Jakarta 0,31 DI Yogyakarta 0,33 Sulawesi Utara 0,27 Maluku 0,24 INDONESIA 0,30 Sumber : Badan Pusat Statistik
2005 0,29 0,32 0,28 0,26 0,41 0,32 0,25 0,38
Walaupun data Gini Ratio secara rata-rata dari semua daerah di atas dan untuk Indonesia termasuk relatif baik (kecuali DI Yogyakarta tahun 2005) data ini harus dilihat secara lebih kritis agar tidak menjadi informasi yang kurang tepat. Misalnya, DI Yogyakarta dikenal sebagai daerah turis yang cukup ramai sehingga terdapat banyak usaha kerajinan yang relatif ramai dikalangan usaha rumah-tangga dan kecil. Namun pada tahun 2005 Gini rationya memburuk menjadi 0,41 dari 0,33 pada tahun 1999. Kalau alasannya adalah gempa yang terjadi maka NAD tertimpa bencana tsunami namun Gini rationya relatif baik di bawah 0,30. Suatu kemungkinan sebab dari beberapa kejanggalan data ini adalah datanya yang merupakan hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dikumpulkan BPS berdasarkan pengeluaran dan bukan pendapatan rumah tangga. Bagaimanapun untuk dapat memperoleh gambaran yang akurat tentang sifat “inclusive” dari pertumbuhan dan pembangunan ini, maka data tersebut perlu ditinjau lebih lanjut secara lebih teliti. Kelima, dalam paparannya Prof. Spence mengatakan bahwa pencapaian sustained high economic growth memerlukan waktu beberapa dasawarsa. Pernyatan ini dapat dimengerti dalam konteks kaitan antara pertumbuhan ekonomi (disini diberi anotasi G) dan pembangunan (disini diberi anotasi D). Kalau G semata-mata merupakan fenomena ekonomi maka D merupakan gabungan fenomena ekonomi dan non-ekonomi, seperti politik, sosial budaya, dan hukum, termasuk apa yang oleh Prof. Spence dan Komisinya disebut sebagai “what makes people become creative”. Seperti diketahui perubahan dari fenomena ekonomi, seperti inflasi, ekspor, import termasuk pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dan diukur dalam waktu yang relatif singkat, misalnya dalam waktu, bulanan, triwulanan, dan tahunan. Dilain pihak, fenomena non-ekonomi, seperti di bidang politik dan hukum, menyangkut perubahan-
perubahan yang memerlukan waktu yang sangat panjang dan tidak mustahil beberapa dasawarsa. Hal ini karena setiap bidang non-ekonomi ini menyangkut perubahan institisional yang mengatur norma-norma perilaku para anggota masyarakat. Sementara itu, juga diketahui bahwa G dapat berjalan secara berkelanjutan (secara “sustained”) hanya kalau berlangsung secara serasi dengan dilaksanakannya pembangunan (D). Dengan lain perkataan, G yang berkelanjutan hanya dapat dicapai dalam kerangka D prosesnya memerlukan jangka waktu yang relatif sangat lama (beberapa dasawarsa). Karena inilah maka kiranya Spence dan Komisinya mengatakan bahwa “sustained high inclusive growth requires several decades to accomplish”. Sebagai tambahan tanggapan atas paparan Prof. Spence tentang pertumbuhan (G) dan pembangunan (D) dapat disimpulkan bahwa sehubungan dengan adanya dikotomi negara-negara “maju” (developed) dan negara-negara “belum maju” (underdeveloped), dapat diidentifikasi tiga tahap perkembangan. Tahap pertama, ketika D tidak dapat berlangsung tanpa adanya G, karena pembangunan terlebih dahulu mensyratkan adanya sumber pembiayaan yang berasal dari pertumbuhan ekonomi. Tahap kedua, ketika G tidak dapat berlangsung secara berkelanjutan tanpa adanya D, dan tahap ketiga, ketika proses D telah relatif selesai sehingga yang perlu dikelola hanyalah G. Tahap pertama dan kedua merupakan tahapan yang masih dilalui oleh negara-negara yang sekarang dikategorikan sebagai “belum maju” (underdeveloped) dan tahap ketiga merupakan tahapan yang telah dicapai negara-negara yang sekarang dikelompokkan ke dalam negara-negara “maju” (developed). C. Beberapa Masukkan Bagi Pertumbuhan dan Pembangunan Indonesia Dalam paparannya, Prof Mchael Spence mengatakan bahwa “..at this stage of our understanding of economic development, no one knows with a sufficient degree of conviction, the necessary and sufficient conditions for growth”. Dengan demikian diakui oleh Prof. Spence bahwa sampai saat inipun hasil pemikirannya maupun hasil kerja Komisi yang ia pimpin belum menemukan resep-resep yang mujarab bagi penyelesaian masalah-masalah pencapaian “sustained high inclusive growth”. Mesipun demikian, dari apa yang telah dipaparkan Prof. Spence di Bappenas, beberapa hal yang mungkin dapat dipakai sebagai bahan untuk pemikiran atas pertumbuhan dan pembangunan di Indonesia adalah sebagai berikut: - Dalam konsep “sustained high inclusive growth”, pengertian “high” sesuai dengan kondisi spesifik di Indonesia perlu diteliti lebih lanjut. Potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang telah terealisasi dalam periode setelah krisis berada pada kisaran 4-6 persen dibandingkan dengan kisaran 6-8 persen sebelum krisis. Perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor ekonomi dan faktorfaktor non-ekonomi apa saja yang menentukan kisaran tersebut. Dalam penelitian faktor-faktor ini, paparan Prof. Spence dapat digunakan sebagai titik tolak; - Dalam konsep “sustained high inclusive growth”, pengertian “inclusive” sesuai dengan kondisi spesifik di Indonesia perlu ditinjau lebih lanjut. Indikator Gini Coefficient dan data yang yang dihasilkan BPS belum memadai, apalagi kalau pengertian “inclusive” tidak hanya meliputi pemerataan pendapatan tetapi juga tak adanya diskriminasi dalam penyediaan kesempatan di antara semua individu dan kelompok anak negeri ini; - Dalam proses perencanaan pembangunan perlu diperhatikan keserasian tahaptahap pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
-
Dalam RPJPN 2005-2025 jangka panjang diartikan sebagai periode 20 tahun. Dilain pihak, pengertian “sustained” dalam paparan Prof. Spence, memerlukan waktu beberapa dasawarsa, yang dapat mencapai 30 sampai 50 tahun atau bahkan lebih, mengingat pembangunan memerlukan upaya “institution building” (umumnya non-ekonomi) yang memerlukan waktu relatif sangat lama. Walaupun prioritas pembangunan saat ini (jangka pendek dan jangka menengah) masih lebih banyak tertumpu di bidang ekonomi, upaya pembangunan institusi ini tetap perlu direncanakan secara cermat agar dalam jangka panjang perekonomian Indonesia tidak lagi mudah terguncang oleh “menjalarnya virus ekonomi global” sebagaimana yang terjadi pada akhir tahun 1997, dan pertumbuhan ekonomi dapat benar-benar menjadi “sustained”. Data proyeksi penduduk Indonesia sampai dengan tahun 2025 hendaknya jangan membuat kita terlena bahwa perbaikan struktur umur penduduk akan memberi “dividen demografi” bagi upaya pertumbuhan dan pembangunan di Indonesia. Biro Humas dan TU Pimpinan