POTENSI BAKTERI ASAM LAKTAT INDIGENUS DALAM MENGHASILKAN X-PROLIL DIPEPTIDIL AMINOPEPTIDASE UNTUK HIDROLISIS GLIADIN
HADI YUSUF FATUROCHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Potensi Bakteri Asam Laktat Indigenus dalam Menghasilkan X-Prolil Dipeptidil Aminopeptidase untuk Hidrolisis Gliadin adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Hadi Yusuf Faturochman NIM F251140111
RINGKASAN HADI YUSUF FATUROCHMAN. Potensi Bakteri Asam Laktat Indigenus dalam Menghasilkan X-Prolil Dipeptidil Aminopeptidase untuk Hidrolisis Gliadin. Dibimbing oleh WINIATI P. RAHAYU, SITI NURJANAH, dan TATIK KHUSNIATI. Selama ini penggunaan bakteri asam laktat (BAL) dalam berbagai produk fermentasi dilihat dari kemampuannya dalam menghasilkan asam laktat. Sistem proteolitik BAL selama proses fermentasi produk pangan belum banyak dipelajari. Bakteri asam laktat memiliki sistem proteolitik yang kompleks. Salah satu enzim proteolitik BAL yang penting adalah X-prolil dipeptidil aminopeptidase (PepX), enzim tersebut dapat memecah peptida dengan kandungan asam amino prolin tinggi yang dapat menyebabkan beberapa gangguan pada sistem pencernaan. Tepung terigu merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung peptida dengan asam amino prolin yang cukup tinggi yaitu sebesar 14.2 % yang berasal dari fraksi gliadin pada gluten, dan telah diketahui dapat mempengaruhi kesehatan individu yang rentan secara genetik dan membuat sebagian orang seperti penderita autis dan celiac disease (CD) menderita alergi. Toksisitas gliadin pada tepung terigu dapat dikurangi dengan cara pembuatan roti sourdough, hal tersebut dikarenakan oleh sistem proteolitik BAL selama proses fermentasi adonan sourdough yang mampu menghidrolisis gliadin pada tepung terigu. Penelitian diawali dengan melakukan seleksi pada isolat BAL indigenus yang dapat menghasilkan PepX. Kemudian PepX dari BAL indigenus dimurnikan secara parsial dengan amonium sulfat dan membran filtrasi dialisis. PepX hasil dialisis dikarakterisasi berdasarkan pH, suhu, dan pengukuran bobot molekul. Setelah itu PepX hasil dialisis tersebut digunakan untuk hidrolisis gliadin pada tepung terigu melalui proses pembuatan sourdough. Sourdough hasil fermentasi dibuat menjadi roti untuk mengevaluasi kualitas roti yang dihasilkan. Hasil seleksi BAL indigenus diketahui bahwa isolat L. plantarum TW14 mempunyai aktivitas spesifik PepX yang lebih tinggi (7.59 U/mg protein) dibandingkan dengan isolat lainnya, dan setelah dilakukan purifikasi parsial aktivitas PepX meningkat menjadi 20.66 U/mg protein. PepX dari L. plantarum TW14 memiliki aktivitas optimum pada suhu 40 oC dan pH 7.5. Bobot molekul PepX L. plantarum TW14 diperkirakan sebesar 73 kDa. Penambahan PepX dari L. plantarum TW14 pada adonan sourdough mampu menghidrolisis gliadin pada tepung terigu sebesar 84.07 % selama waktu fermentasi 24 jam. Selain kadar gliadin, hidrolisis pada tepung terigu oleh PepX L. plantarum TW14 juga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar asam amino bebas (4155.39 ppm) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Volume roti sourdough yang diberi perlakuan penambahan PepX L. plantarum TW14 memiliki volume roti yang lebih kecil yaitu sebesar 297 mL dibandingkan dengan roti sourdough kontrol. PepX hasil purifikasi parsial dari L. plantarum TW14 dapat digunakan untuk memproduksi roti dengan kadar gliadin yang rendah. Kata kunci : bakteri asam laktat, celiac disease, hidrolisis gliadin, roti sourdough, X-prolil dipeptidil aminopeptidase.
SUMMARY HADI YUSUF FATUROCHMAN. Potency of indigenus lactic acid bacteria on producing X-prolyl dipeptidyl aminopeptidase, a gliadin-hydrolized enzyme. Supervised by WINIATI P. RAHAYU, SITI NURJANAH, and TATIK KHUSNIATI. Lactic acid bacteria (LAB) are widely used in the fermentation of food products. Beside its ability to produce lactic acid, LAB also has complex proteolytic system which may affect the taste, texture and nutritional properties of several fermented food. One of the important proteolytic enzyme of LAB is X-prolyl dipeptidyl aminopeptidase (PepX), the enzymes can hydrolyze prolinerich peptide are highly resistance to proteolysis digestive enzymes that are active against immunological system and cause some digestive system disorders. Wheat flour contains 14.2 % proline residues derived from the gliadin fraction of gluten. Gliadin can affect the health of individuals who are genetically susceptible and make some people such as people with autism and celiac disease (CD) suffer from allergies. Toxicity of gliadin in wheat flour can be reduced by making sourdough, because the proteolysis system of BAL during sourdough fermentation that was capable to hydrolyzing gliadin in wheat flour. The study begins with the selection of the indigenus LAB to produce PepX. Then PepX of indigenus BAL partially purified by amonium sulfate and filtration membrane dialysis. The dialyzed PepX were characterized by pH and temperature to get PepX optimum conditions, and the measurement of molecular weight of PepX. Then PepX were applied for hydrolysis of gliadin content in wheat flour through the process of making sourdough. Sourdough produced during the fermentation process was made into bread to evaluate the quality of the bread. The results showed that L. plantarum TW14 has the highest specific activity (7.59 U/mg protein) than other bacteria and the specific activity increased to 20.66 U/mg protein after partial purification by amonium salt precipitation and dialysis. The dialyzed PepX crude enzyme showed its optimum activity at pH 7.5 and temperature at 40 °C. Molecular weight of PepX L. plantarum TW14 estimated at 73 kDa. PepX from L. plantarum TW14 can hydrolyze gliadin in wheat flour through the process of making sourdough up to 84.07 % during the 24 hours of fermentation. The PepX produced a greater (4155.31 ppm) free amino acid concentration compared to control dough. Sourdough bread volume treated with the addition of bread PepX have smaller volume is equal to 297 mL compared with controls sourdough bread. The PepX contained in the partially purifed enzyme has a potential used for production of low gliadin bread. Keywords : celiac disease, gliadin hydrolysis, lactic acid bacteria, sourdough, X-prolyl dipeptidyl aminopeptidase.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
POTENSI BAKTERI ASAM LAKTAT INDIGENUS DALAM MENGHASILKAN X-PROLIL DIPEPTIDIL AMINOPEPTIDASE UNTUK HIDROLISIS GLIADIN
HADI YUSUF FATUROCHMAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Prof Dr Ir Betty Sri Laksmi S, MS
PRAKATA Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang diambil dalam penelitian ini adalah teknologi enzimatik, dengan judul Potensi Bakteri Asam Laktat Indigenus dalam Menghasilkan X-Prolil Dipeptidil Aminopeptidase untuk Hidrolisis Gliadin. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Winiati P. Rahayu, Ibu Dr Siti Nurjanah, STP, MSi dan Ibu Prof Dr Ir Tatik Khusniati M.App.Sc selaku pembimbing atas arahan, ilmu dan motivasi yang diberikan dari awal hingga akhir proses penelitian ini. Terimakasih pula kepada kedua orangtua, kakak, dan keluarga atas segala doa dan ridha mereka penulis mampu menyelesaikan studi dan penelitian ini. Kemudian penghargaan penulis sampaikan kepada semua staf Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang telah membantu selama penelitian. Selain itu tak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada staf dan rekan Ilmu Pangan 2014 serta pihak-pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu atas dukungannya selama ini. Akhir kata semoga penelitian ini bermanfaat demi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bogor, Februari 2017
Hadi Yusuf Faturochman
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian
1 1 2 3 4 4
2. METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian Tahap I : Seleksi Isolat BAL Indigenus Penghasil PepX Tahap II : Purifikasi Parsial dan Karakterisasi PepX Purifikasi enzim melalui pengendapan dengan amonium sulfat dan dialisis Penentuan suhu optimum Penentuan pH optimum Penentuan bobot molekul PepX dengan SDS-PAGE Tahap III : Hidrolisis Gliadin pada Adonan Tepung Tahap IV : Evaluasi Kualitas Roti Sourdough Analisis Pengujian aktivitas PepX Pengukuran kadar protein Pengukuran pH adonan Pengukuran kadar gliadin dalam adonan Analisis kadar asam amino bebas Pengujian kualitas roti sourdough Analisis Data
4 4 4 5 7 7 7 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 10 10 10
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Aktivitas PepX dari BAL Indigenus 11 Aktivitas PepX dari L. plantarum TW14 setelah Purifikasi Parsial 11 Pengaruh pH terhadap Aktivitas PepX L. plantarum TW14 14 Pengaruh Suhu terhadap Aktivitas PepX L. plantarum TW14 15 Bobot Molekul PepX L. plantarum TW14 16 Aplikasi PepX L. plantarum TW14 untuk Hidrolisis Gliadin pada Adonan Tepung 17 Kadar Asam Amino Bebas pada Adonan Tepung 20 Kualitas Roti 21
4. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
22 22 23
DAFTAR PUSTAKA
23
LAMPIRAN
28
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Diagram alir metode penelitian secara umum Aktivitas spesifik dan aktivitas unit PepX kasar dari L. plantarum TW14 indigenus Pengaruh pH terhadap aktivitas PepX L. plantarum TW14 Pengaruh suhu terhadap sktivitas PepX L. plantarum TW14 SDS-PAGE pita protein PepX dari L. plantarum TW14 hasil dialisis Kadar gliadin pada adonan sourdough Roti sourdough
6 13 15 15 16 18 21
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Tahapan penelitian Aktivitas PepX dari BAL indigenus Hasil purifikasi parsial PepX dari L. plantarum TW14 Pengaruh lama inkubasi terhadap pH adonan Kadar asam amino bebas pada adonan tepung setelah diinkubasi selama 24 jam
5 11 14 19 20
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Jumlah amonium sulfat (gram) yang ditambahkan dalam 1 liter enzim Perhitungan aktivitas PepX Kurva standar p-NA dalam analisis aktivitas PepX Kurva standar protein dalam analisis protein Perhitungan aktivitas PepX kasar dari BAL indigenus Perhitungan kadar protein PepX kasar dari BAL indigenus Perhitungan hasil pengendapan PepX kasar dengan amonium sulfat Perhitungan kadar protein PepX kasar hasil pengendapan dengan amonium sulfat Rekapitulasi purifikasi parsial PepX dengan cara dialisis Perhitungan kadar protein PepX hasil purifikasi parsial Perhitungan aktivitas PepX hasil dialisis pada berbagai pH Perhitungan aktivitas PepX hasil dialisis pada berbagai suhu Perhitungan nilai pH selama fermentasi pada berbagai jenis sourdough Kurva standar Gliadin ELISA kompetitif Pengukuran kadar gliadin pada adonan sourdough dengan menggunakan ELISA
28 29 30 31 32 33 34 35 36 36 37 39 40 43 44
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bakteri asam laktat (BAL) banyak digunakan dalam fermentasi produk pangan. Disamping kemampuannya untuk menghasilkan asam laktat, sistem proteolitik BAL juga memiliki peran penting untuk mempengaruhi rasa, tekstur dan sifat gizi dari beberapa pangan fermentasi seperti, sourdough, keju, susu fermentasi, dan sosis. Bakteri asam laktat memiliki sistem proteolitik yang kompleks, yang terdiri dari proteinase yang terikat pada dinding sel, sistem transportasi khusus untuk asam amino, di-, tri- dan oligopeptida, serta sejumlah peptidase intraseluler (Gallo et al. 2005). Baru-baru ini, sifat proteolitik BAL telah diteliti lebih mendalam dari sudut pandang gizi dan teknologi. Salah satu enzim proteolitik BAL yang penting adalah X-prolil dipeptidil aminopeptidase (PepX; EC 3.4.15.5), enzim tersebut dapat menghidrolisis peptida yang kaya akan asam amino prolin dengan cara memecah dipeptida (X-prolin) dari N-terminal peptida. Tingginya kandungan asam amino prolin pada peptida, menyebabkan peptida tersebut tahan terhadap proteolisis enzim pencernaan sehingga aktif terhadap sistem imunologis dan menyebabkan beberapa gangguan sistem pencernaan seperti penyakit celiac disease (Rodrigo 2009). Enzim PepX dapat dihasilkan oleh beberapa jenis BAL terutama pada spesies Lactobacillus (L.) seperti Lactobacillus sanfranciscensis, L. brevis, L. alimentarius, dan L. hilgardii yang diisolasi dari sourdough (Di Cagno et al. 2004), Lactobacillus rhamnosus (Varmanen et al. 2000), Lactobacillus helveticus (Khalid dan Marth 2001), Lactobacillus plantarum (Gerez et al. 2012), dan Lactobacillus gasseri (Miyabe et al. 2015). Pemanfaatan PepX dari BAL dalam proses pengolahan pangan dapat memberikan efek yang positif terhadap produk pangan yang dihasilkan, selain itu kelebihan penggunaan PepX dari BAL adalah sifatnya yang aman karena BAL termasuk bakteri yang telah diakui sebagai GRAS (Generally Recognized as Safe), sehingga dapat digunakan dalam industri pangan karena terbebas dari endotoksin apapun. Tepung terigu merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung peptida dengan asam amino prolin yang cukup tinggi yaitu sebesar 14.2 % yang berasal dari fraksi gliadin pada gluten (Gallo et al. 2005). Menurut Belitz dan Grorsch (1999), protein tepung terigu tersusun atas dua jenis protein pembentuk gluten dan protein bukan pembentuk gluten. Protein bukan pembentuk gluten berkisar 15 % (albumin, globulin, peptida, dan enzim) dan protein gluten sebesar 65 % (gliadin dan glutenin). Gliadin dapat mempengaruhi kesehatan individu yang rentan secara genetik dan membuat sebagian orang seperti penderita autis dan celiac disease (CD) menderita alergi. Reaksi terhadap konsumsi gliadin adalah peradangan pada usus kecil yang mengarah kepada malabsorpsi beberapa nutrisi penting, seperti zat besi, asam folat, kalsium dan vitamin yang larut dalam lemak (Sollid 2002). Oleh karena itu penderita CD tidak disarankan untuk mengonsumsi bahan pangan yang mengandung gliadin atau yang disebut dengan produk pangan bebas gluten. Menurut standard Codex (2000) yang dimaksud dengan pangan bebas gluten yaitu (i) yang terdiri dari, atau dibuat hanya dari bahan-bahan yang tidak mengandung prolamin dari gandum (gliadin) atau semua
2
spesies Triticum seperti gandum, rye, barley, atau varietas persilangan dengan tingkat gluten tidak melebihi 20 ppm; (ii) terdiri dari bahan-bahan dari gandum, rye, barley, oat, dan varietas persilangan mereka, yang telah diberi perlakuan bebas gluten, dengan tingkat gluten tidak melebihi 200 ppm; dan (iii) setiap campuran dua bahan seperti pada (i) dan (ii) disebutkan dengan tingkat tidak melebihi 200 ppm. Penggunaan tepung terigu di berbagai jenis produk pangan dinilai sangat ideal, terutama dalam pembuatan roti dikarenakan adanya komponen gluten (gliadin dan glutenin). Dalam pembuatan roti, gluten bermanfaat untuk mengikat dan membuat adonan menjadi elastis sehingga mudah dibentuk, oleh karena itu kualitas adonan untuk pembuatan roti sangat tergantung pada komposisi protein gluten dari gandum (Van Der Bough et al. 2005). Roti bebas gluten adalah tantangan terbesar dari semua produk olahan sereal karena faktanya gluten pada gandum memiliki peranan penting dalam pembuatan roti, sehingga ketika kandungan gluten pada tepung terigu dikurangi maka akan berdampak pada kualitas roti yang dihasilkan (Arendt et al. 2002). Namun terdapat salah satu cara alternatif yang dapat menghasilkan roti bebas gluten dengan kualitas yang baik dan memiliki kadar gliadin yang rendah yaitu melalui proses pembuatan roti sourdough (Clarke et al. 2004). Roti Sourdough merupakan teknik pembuatan roti secara tradisional yang telah lama digunakan sejak jaman Mesir kuno atau sekitar 1.500 tahun SM (Moroni et al. 2009). Secara tradisional sourdough dibuat dengan cara fermentasi spontan dengan hanya mengaktifkan mikroba alami dalam biji-bijian yang telah digiling (Poutane dan Katina 2013). Pada saat ini pembuatan sourdough sudah lebih sistematis, dengan mengontrol proses fermentasi dalam pembuatan sourdough menggunakan BAL. Hasil penelitian Edema et al. (2013) menunjukkan bahwa pembuatan roti dengan menggunakan sourdough dapat meningkatkan kualitas roti yang dihasilkan, serta direkomendasikan sebagai metode yang efisien untuk mengurangi toksisitas dari tepung terigu. Gliadin dalam tepung terigu adalah salah satu protein yang paling terpengaruh oleh fermentasi adonan sourdough, diakibatkan oleh kemampuan BAL dalam menghidrolisis fragmen α-gliadin di tempat yang tepat (De Angelis et al. 2006). Hasil penelitian Gerez et al. (2012) menunjukan bahwa campuran enzim kasar kultur Lactobacillus plantarum CRL 775 dan Pediococcus pentosaceus CRL 792 yang memiliki aktivitas spesifik PepX 16.1 U/mg protein mampu menghidrolisis 70.3 % gliadin pada tepung terigu dengan konsentrasi gliadin awal 79000 ppm. Selain itu hasil penelitian Di Cagno et al. (2002) menunjukkan bahwa enzim proteolitik BAL yang selektif secara efisien dapat menghidrolisis 31 - 43 fragmen peptida gliadin pada sourdough gandum selama waktu fermentasi 12 sampai 24 jam yang merupakan salah satu peptida utama yang terlibat dalam respon inflamasi terhadap gluten pada penderita CD. Perumusan Masalah Penggunaan BAL dalam proses fermentasi pangan telah banyak dilakukan, mengingat banyak efek positif yang diberikan terhadap produk pangan yang dihasilkan terutama dalam hal peningkatan nilai gizi dan kesehatan. Baru-baru ini sistem proteolitik BAL mendapatkan perhatian dikarenakan kemampuannya
3
dalam mengurangi toksisitas dari tepung terigu yang dapat menyebabkan penyakit autoimun atau celiac disease (CD). Penyakit CD dapat memberikan ancaman yang besar terhadap kesehatan, selain dapat menyebabkan kekurangan gizi, jika tidak diobati, maka penyakit CD dapat mengakibatkan peningkatan risiko penyakit autoimun lain dan menimbulkan penyakit yang ganas (Lohi et al. 2007; Rubio - Tapia et al. 2009). Pada tahun 2010 ada sekitar 2.2 juta anak di bawah usia 5 tahun menderita penyakit CD. Di antara anak-anak tersebut terdapat 42000 kematian yang terkait dengan penyakit CD setiap tahunnya. Pada tahun 2008, kematian yang terkait dengan penyakit CD setidaknya menyumbang sekitar 4 % dari semua kematian diare pada anak (Byass et al. 2011). Prevalensi penyakit CD secara global mencapai 1 - 2 %. Di bagian Eropa, India, Australia dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa prevalensi penyakit CD berkisar antara 0.33 - 1.06 % pada anak-anak dan 0.18 – 1.2 % pada orang dewasa. Populasi lain yang mengalami peningkatan risiko penyakit celiac dengan tingkat prevalensi berkisar antara 5 sampai 10 %, yaitu individu dengan down dan turner sindrom, serta penderita autisme. Di Indonesia data tentang prevalensi penyakit CD belum diketahui dengan pasti. Hasil penelitian Byass et al. (2011) menunjukkan bahwa prevalensi CD di negara - negara Asia termasuk Indonesia menunjukkan angka 0.33 %. Pemanfaatan teknologi fermentasi dengan menggunakan BAL dalam pembuatan roti sourdough diketahui mampu mengurangi toksisitas gliadin dan merupakan salah satu cara untuk membuat roti bebas gluten (Rizzello et al. 2007) Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa teknologi pembuatan roti melalui teknik pembuatan roti sourdough mampu menghidrolisis gliadin pada adonan sebagai penyebab penyakit CD. Namun tidak semua BAL dapat meghasilkan spektrum enzim yang spesifik untuk menghidrolisis gliadin, selain itu sistem enzim yang efektif dalam menghidrolisis gliadin pada proses pembuatan sourdough juga belum banyak dipelajari, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap penggunaan PepX yang dihasilkan dari BAL indigenus untuk hidrolisis gliadin pada pembuatan roti sourdough. Tujuan Penelitian 1. 2. 3. 4.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : Menyeleksi isolat BAL indigenus penghasil PepX. Memurnikan secara parsial dan mengkarakterisasi PepX dari BAL indigenus yang terseleksi. Mengukur hidrolisis gliadin oleh PepX selama fermentasi adonan tepung terigu dalam proses pembuatan sourdough. Mengevaluasi kualitas roti yang dihasilkan. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Bakteri asam laktat indigenus mampu menghasilkan PepX. 2. Aktivitas PepX dari BAL indigenus meningkat setelah dilakukan purifikasi secara parsial dan terkarakterisasi berdasarkan pH, suhu, dan bobot molekul PepX.
4
3. PepX dari BAL indigenus mampu menurunkan kadar gliadin pada tepung terigu dan meningkatkan kadar asam amino bebas. 4. Kualitas roti sourdough yang difermentasi oleh PepX BAL indigenus dalam hal volume roti dapat dipertahankan. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu untuk mengurangi kadar gliadin pada tepung terigu sebagai penyebab alergi pada penderita celiac disease, sehingga dapat menghasilkan produk pangan yang lebih sehat.
2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, Cibinong Science Center, Cibinong. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2016. Bahan dan Alat Mikroorganisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat L. plantarum B110 yang diisolasi dari sayuran dan L. fermentum EN17-2 yang diisolasi dari air nira (koleksi Bidang Mikrobiologi, LIPI, Cibinong), serta L. plantarum TW14 dan L. rhamnosus TW02 yang diisolasi dari susu kambing (koleksi Lab. Mikrobiologi ITP, IPB). Bahan - bahan yang digunakan untuk media kultur adalah media MRSB (de Mann Rogosa Sharpe Broth) (Oxoid, UK). Bahan untuk pengujian aktivitas PepX adalah substrat gly-pro p-nitroanilin (Sigma Aldrich, Jerman), buffer fosfat 0.05 M pH 7.5, dan standar 4-nitroanilin (Sigma Aldrich, Jerman). Bahan untuk pengukuran kadar protein metode Bradford diantaranya standar bovin serum albumin (BSA) (Merck, Jerman), dan pereaksi Bradford (Merck, Jerman). Bahan untuk produksi dan karakterisasi enzim diantaranya buffer fosfat 0.05 M pH 7.0, buffer fosfat 0.1 M pH 5.5 – 8.0, buffer asetat 0.1 M pH 4 – 5.5, buffer Tris-Cl 0.1 M pH 8.0 – 8.5 (Merck, Jerman), dan amonium sulfat (Merck, Jerman). Bahan untuk pengujian kadar gliadin yaitu KIT ELISA (Ridascreen ® Gliadin competitive kit, R-Biopharm AG, Jerman). Bahan yang digunakan untuk pembuatan sourdough adalah tepung terigu komersial. Bahan yang digunakan untuk pembuatan roti sourdough adalah 10 g gula, 1.5 g garam, 5 g margarin, 2 g ragi instan, serta 15 mL air. Alat-alat yang digunakan diantaranya: ELISA reader (iMark Microplate Absorbance Reader, USA), spektrofotometer UV-Vis 1700 (Shimadzu, Jepang), HPLC (Agilent Technologies, Amerika Serikat), sonikator (Ultrasonic homogenizer, UH 150 SMT, Jepang), High Speed Refrigrated Centrifuge Type 6500 (Kubota, Japan), freeze dryer, inkubator dengan kontrol suhu tanpa shaker (Isuzu, Japan), mikropipet (Sibata, Jepang), vortex (Sibata, Jepang), membran dialisis terbuat dari selofan D-TubeTM Dialyzer Maxi MWCO dengan ukuran cut
5
off 6 - 8 kDa (Calbiochem Novagen, Israel), elektroforesis, waterbath (Memmert, Jerman dan Eyela, Jepang), pH meter, magnetic stirrer, oven, dan alat-alat gelas lainnya. Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan dalam 4 tahap yaitu: (1) Seleksi isolat BAL indigenus penghasil PepX, (2) Purifikasi parsial dan karakterisasi PepX, (3) Hidrolisis gliadin pada adonan tepung, dan (4) Evaluasi kualitas roti sourdough. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1. Tahapan penelitian Tahap Aktivitas Tujuan Seleksi Seleksi BAL Memilih BAL indigenus isolat BAL penghasil PepX yang memiliki aktivitas indigenus PepX yang tinggi penghasil PepX Purifikasi Memurnikan Mendapatkan PepX parsial dan enzim secara dengan aktivitas yang karaterisasi parsial dan tinggi melalui purifikasi enzim mengkarakterisasi enzim secara parsial dan enzim mengetahui aktivitas berdasarkan pH optimum enzim pada pH dan suhu, serta dan suhu tertentu, dan penentuan bobot mengetahui bobot molekul molekul enzim PepX Hidrolisis Pembuatan Mendapatkan adonan gliadin pada sourdough tepung dengan kandungan adonan dengan inkubasi gliadin yang rendah tepung menggunakan PepX Evaluasi kualitas roti sourdough
Membuat roti dari adonan sourdough yang telah dihidrolisis oleh PepX
Melihat pengaruh hidrolisis gliadin selama fermentasi adonan sourdough terhadap kualitas fisik roti
Analisis Pengujian aktivitas PepX
Purifikasi enzim melalui pengendapan dengan amonium sulfat dan dialisis serta pengujian aktivitas PepX Pengujian kadar gliadin, pengujian pH sourdough, dan pengujian asam amino bebas Pengujian volume roti sourdough
6
Isolat BAL
Produksi PepX
Analisis : Aktivitas enzim (Utsun-Aytekin et al. 2016) Kadar protein (Bradford 1976)
PepX dari Isolat BAL terpilih
Purifikasi parsial dan karakterisasi PepX
PepX hasil dialisis
Hidrolisis gliadin pada tepung terigu melalui pembuatan sourdough
Freeze drying adonan sourdough
Analisis : Aktivitas enzim (Utsun-Aytekin et al. 2016) Kadar protein (Bradford 1976) SDS-PAGE (Laemmli 1970)
Analisis : Pengukuran pH adonan (pH meter) (Manini et al. 2015) Kadar gliadin (ELISA) (Luoto et al. 2012) Asam amino bebas (HPLC)
Tepung rendah gliadin
Pembuatan roti sourdough
Roti rendah gliadin
Analisis : Volume roti (Carlo et al. 2014).
Gambar 1. Diagram alir metode penelitian secara umum
7
Tahap I: Seleksi Isolat BAL Indigenus Penghasil PepX Empat isolat BAL indigenus yaitu L. plantarum B110, L. fermentum EN172, L. plantarum TW14, dan L. rhamnosus TW02 dipilih untuk kemudian dilakukan seleksi terhadap kemampuannya dalam menghasilkan PepX. Persiapan kultur dilakukan dalam erlenmeyer dengan menginokulasikan kultur murni dari masing-masing BAL ke dalam 50 mL media MRSB. Selanjutnya erlenmeyer tersebut diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 oC selama 24 jam. Produksi suspensi sel dari kultur aktif (akhir fase eksponensial melalui pengujian optical density (OD) pada λ 620 nm hingga mencapai nilai OD 0.25) dilakukan dengan cara menginokulasikan kultur bakteri sebanyak 2 % pada 150 mL media MRSB dan diinkubasi selama 18 jam pada suhu 37 oC. Sel dipanen dengan sentrifugasi (10000 rpm selama 15 menit pada 4 oC). Sel bakteri kemudian dicuci dua kali dengan buffer fosfat 0.05 M pH 7.0 dan diresuspensi dengan buffer fosfat 0.05 M pH 7.0 (tiap 1 g sel diresuspensi dengan 5 mL buffer) sehingga didapatkan suspensi sel BAL (Gerez et al. 2012) Produksi PepX intraseluler dilakukan dengan cara sonikasi supensi sel BAL menggunakan homogenizer ultrasonik. Frekuensi sonikasi dilakukan pada 20 kHz, 100 W, dengan cycle duty 50 %, selama 15 menit (interval 3 menit). Suspensi sel ditempatkan dalam tabung sampel dengan probe ditempatkan di tengah sampel, dan sampel disonikasi sesuai dengan jumlah siklus, waktu dan nilai daya. Sampel ditempatkan dalam es selama proses sonikasi untuk mencegah denaturasi protein karena panas yang dihasilkan oleh ujung sonikator. Setelah sonikasi, pelet sel dipisahkan dengan cara sentrifugasi 10000 rpm selama 15 menit pada suhu 4 oC (Degraeve et al. 2003). Supernatan yang dihasilkan kemudian dilakukan pengujian aktivitas PepX dan kadar protein. Bakteri asam laktat yang memiliki aktivitas enzim yang tinggi dipilih untuk tahap selanjutnya. Tahap II. Purifikasi Parsial dan Karakterisasi PepX Purifikasi enzim melalui pengendapan dengan amonium sulfat dan dialisis Proses pengendapan enzim dilakukan berdasarkan prinsip salting out. Pada tahap ini dilakukan terlebih dahulu penentuan fraksi pengendapan yang menghasilkan aktivitas spesifik PepX tertinggi. Ekstrak PepX kasar ditambahkan amonium sulfat sedikit demi sedikit hingga konsentrasi 10 % (0 - 10 %) sambil diaduk sampai larut semua dengan pengaduk bermagnet dengan kecepatan 60 rpm pada suhu 4 C. Setelah semua amonium sulfat larut, pengadukan dilanjutkan selama 20 menit. Campuran kemudian didiamkan selama 1 jam pada suhu 4 C dan disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 menit pada suhu 4 C. Supernatan yang dihasilkan kemudian ditambahkan amonium sulfat kembali seperti prosedur di atas untuk fraksi pengendapan 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan 80 %. Jumlah amonium sulfat (dalam satuan gram) yang digunakan untuk melarutkan 1 liter larutan enzim dapat dilihat pada Lampiran 1. Endapan enzim dipisahkan dan dilarutkan dalam buffer fosfat 0.05 M pH 6.5, lalu disentrifugasi kembali 10000 rpm selama 15 menit dengan suhu 4 C (Mariyani 2013). Supernatan dari masing-masing fraksi pengendapan kemudian diukur aktivitas PepX dan kadar proteinnya. Fraksi pengendapan yang menghasilkan aktivitas spesifik PepX tertinggi kemudian dipilih untuk digunakan dalam purifikasi parsial selanjutnya yaitu dialisis.
8
Larutan enzim hasil pengendapan dengan amonium sulfat kemudian didialisis menggunakan buffer fosfat 0.01 M pH 6.5 sambil diaduk dengan pengaduk bermagnet dengan kecepatan 100 rpm. Dialisis dilakukan pada suhu 4 C selama 24 jam menggunakan membran dialisis selofan 6 - 8 kDa. Buffer fosfat 0.01 M pH 6.5 diganti sebanyak 3 kali selama waktu dialisis (Mariyani 2013). Aktivitas spesifik dan kadar protein PepX hasil dialisis diuji kembali dan kemudian disimpan pada suhu 4 C sebelum digunakan pada tahap hidrolisis gliadin pada adonan tepung. Penentuan suhu optimum Penentuan suhu optimum dilakukan dengan melakukan variasi suhu inkubasi. Sebanyak 100 µL PepX ditambahkan dengan 100 µL substrat gly-pro p-nitroanilin 0.1 mM dan ditambahkan 1 mL buffer fosfat 0.05 M pH 7.0, kemudian diinkubasi selama 5 menit pada suhu 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55, 60, 65, dan 70 oC (Gallo et al. 2005). Aktivitas enzim terhadap suhu diukur pada λ 415 nm (Utsun-Aytekin et al. 2016). Penentuan pH optimum Penentuan pH optimum dilakukan dengan melakukan variasi pH bufer yang digunakan. Sebanyak 100 µL PepX ditambahkan 100 µL substrat gly-pro p-nitroanilin dan ditambahkan 1 mL buffer pada pH yang berbeda dari pH 3.0 – 8.5 (asetat 0.1 M pH 4 – 5.5, fosfat 0.1 M pH 5.5 – 8.0, dan Tris-Cl 0.1 M pH 8.0 – 8.5) pada suhu optimum (Gallo et al. 2005). Aktivitas enzim pada masing-masing pH dikur pada λ 415 nm (Utsun-Aytekin et al. 2016). Penentuan bobot molekul PepX dengan SDS-PAGE Metode SDS-PAGE yang dikerjakan dalam penelitian ini menggunakan 3 % stacking gel dan 12.5 % separating gel. Konsentrasi akrilamid yang digunakan adalah 30 %. Pewarnaan yang dilakukan dalam pewarnaan coomasie brilliant blue. PepX hasil dialisis dicampurkan dengan bufer sampel 1:1 (v/v). Sampel sebanyak 5 µL dimasukkan ke dalam gel poliakrilamid. Elektroforesis dijalankan secara konstan pada arus 15 mA dan voltase 150 volt menggunakan Mini Protein (SCIE PLAST) selam 3 jam. Deteksi SDS-PAGE dilakukan dengan melepaskan gel hasil elektroforesis dari cetakan dan diukur jarak migrasi bromphenol blue. Pewarnaan gel dilakukan menggunakan 0.125 % coomasie brilliant blue. Proses destaining menggunakan 25 % methanol dan 10 % asam asetat. Zona enzim akan membentuk pita berwarna biru (Laemmli 1970). Tahap III : Hidrolisis Gliadin pada Tepung Proses hidrolisis gliadin pada tepung dilakukan melalui pembuatan adonan sourdough tepung terigu. Adonan sourdough dibuat dengan mencampur 100 g tepung terigu komersial ditambah dengan 65 mL air. Adonan ditambah PepX sebanyak 5 U/g tepung terigu (SPepX). Sebagai pembanding dibuat adonan dengan penambahan sel BAL sebanyak 15 mL yang mengandung 109 CFU/mL sel bakteri (SLTW) dan adonan yang diasamkan dengan penambahan asam laktat : asam asetat 4:1 (v/v) hingga mencapai pH 4.0 (Sa). Sebagai kontrol adonan diinkubasi tanpa penambahan enzim, sel BAL, ataupun pengasaman (Sk). Masing - masing adonan diinkubasi pada suhu 40 oC selama 24 jam. Karakteristik adonan asam diamati selama waktu inkubasi 0, 4, 8, dan 24 jam yaitu terdiri dari pengujian kadar
9
gliadin dengan menggunakan ELISA kompetitif, pengukuran pH adonan, serta kandungan asam amino bebas dengan menggunakan HPLC. Tahap IV : Evaluasi Kualitas Roti Sourdough Adonan sourdough yang dihasilkan selama proses inkubasi 24 jam pada masing-masing perlakuan dan kontrol kemudian dibuat menjadi roti sourdough. Produksi roti sourdough dilakukan dengan cara menghilangkan terlebih dahulu air pada adonan sourdough melalui pengeringan beku, setelah itu 100 g adonan dicampur dengan 45 mL air, 10 g gula, 1.5 g garam, 5 g margarin, dan 2 g ragi instan. Bahan - bahan tersebut kemudian dicampurkan, dan diinkubasi pada suhu 30 oC selama 20 menit dan kemudian di panggang pada suhu 200 oC selama 20 menit menggunakan oven (Rizzello et al. 2006). Roti yang dihasilkan kemudian dianalisis kualitas fisiknya melalui pengukuran volume roti. Analisis Pengujian aktivitas PepX (Utsun-Aytekin et al. 2016) Aktivitas enzim diukur dengan menggunakan substrat gly-pro p-nitroanilin 0.1 mM dalam 50 mM bufer fosfat, pH 7.5 dan 0.1 mL larutan enzim. Campuran kemudian diinkubasi selama 5 menit pada suhu 30 oC. Aktivitas enzim diukur berdasarkan tingkat hidrolisis pada substrat gly-pro p-nitroanilin dengan menggunakan spektrofotometer pada λ 415 nm. Satu unit aktivitas PepX didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk membebaskan satu mol glycyl-L-prolin (gly-pro) dari gly-pro p-nitroanilin per menit pada pH 7.5 dan suhu 30 oC. Perhitungan aktivitas enzim dapat dilihat pada Lampiran 2. Pengukuran kadar protein (Bradford 1976) Sebanyak 20 µL PepX ditambahkan dengan 1 mL pereaksi Bradford. Larutan divorteks dan didiamkan selama 5 menit lalu diukur absorbansinya pada λ 595 nm. Pembuatan kurva standar protein yang digunakan adalah bovin serum albumin (BSA), dengan berbagai konsentrasi dari 0.00 - 0.80 mg/mL. Pengukuran pH adonan (Manini et al. 2015) Pengukuran pH adonan diukur secara electrometrical. Sejumlah 15 g adonan serta 100 mL air destilasi ditempatkan pada penampung bersih yang kering, kemudian wadah ditutup dan dilakukan pengadukan sampai adonan terlarut. Kemudian pH diukur menggunakan pH meter. Pengukuran kadar gliadin dalam adonan (Luoto et al. 2012) Kandungan gliadin pada adonan dianalisis dengan menggunakan metode ELISA kompetitif. Sampel adonan sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam 10 mL etanol 60 % (v/v) dan diinkubasi pada suhu ruang (25 oC) selama 30 menit dalam rotary shaker (45 rpm). Setelah itu disentrifugasi (4725 rpm, 10 menit pada 25 oC). Supernatan diencerkan dengan sample diluent, kemudian sebanyak 50 µL sampel dan 50 µL standar gliadin serta 50 µL konjugat yang telah diencerkan ditambahkan ke dalam masing-masing well yang sebelumnya telah dilapisi dengan antibodi gliadin. Campuran tersebut kemudian diinkubasi 30 menit pada suhu kamar (25 oC) dan cairan dibuang serta ditepukkan terbalik pada kertas penyerap. Kemudian plate dicuci tiga kali dengan larutan wash buffer untuk menghilangkan antigen yang tidak terikat. Kedalam masing-masing sumur
10
ditambahkan 100 µL larutan substrat untuk mendeteksi antibodi yang terkonjugasi, kemudian diinkubasi pada suhu kamar (25 oC) selama 10 menit dalam keadaan gelap untuk meningkatkan warna. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 100 µL stop solution pada setiap sumur dan absorbansi diukur dengan ELISA reader pada λ 450 nm. Kadar gliadin dihitung dari kurva standar yang setara dengan mg gliadin/kg sampel. Tingkat hidrolisis gliadin dihitung dengan menggunakan rumus : % Hidrolisis gliadin = (C0 - Ct) x 100/C0 Dimana C0 adalah kadar gliadin adonan sourdough pada waktu inkubasi 0 jam, dan Ct adalah kadar gliadin adonan sourdough selama waktu inkubasi 4, 8 dan 24 jam. Analisis kadar asam amino bebas (Gallo et al. 2005) Persiapan sampel untuk pengujian asam amino dilakukan dengan cara 0.1 g sampel dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL dan ditambahkan HCl 0.1 lalu diultrasonifikasi selama 15 menit. Setelah itu ditambahkan kembali HCl 0.1 N sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen. Selanjutnya larutan disaring dengan filter 0.45 µm. Filtrat hasil penyaringan dipipet sebanyak 500 µL lalu ditambahkan 40 µm AABA dan 460 µL akuabides. Larutan kemudian dipipet sebanyak 10 µL dan ditambahkan 70 µL AccQ-Fluor Borate, 20 µL reagen fluor A lalu divorteks dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 55 oC. Selanjutnya, 1 μL sampel dimasukkan ke dalam injektor HPLC. Sampel dianalisis dengan menggunakan Reserved-phase high-performance liquid chromatograph (HPLC) pada fase diam kolom ACCQ-Tag Ultra C18. Sebagai fase gerak adalah sistem komposisi gradien. Pengujian dilakukan pada suhu 49 oC dengan kecepatan alir 0.7 mL/menit serta dideteksi dengan detektor PDA pada λ 260 nm. Standar asam amino yang digunakan sebagai pembanding adalah histidin, threonin, prolin, tirosin, leusin, asam aspartat, lisin, glisin, arginin, alanin, valin, isoleusin, fenilalanin, asam glutamat, dan serin. Peak dari masingmasing asam amino dalam sampel kemudian diidentifikasi dengan mencocokkan waktu retensi masing-masing standar asam amino dengan waktu retensi peak yang terdapat dalam sampel. Luas area dari peak dari sampel yang waktu retensinya sama dengan standar asam amino kemudian dicatat dan diplotkan ke dalam kurva standar. Kadar asam amino bebas dihitung dalam satuan mg/kg (ppm). Pengujian kualitasi roti (Carlo et al. 2014) Volume roti diuji dengan menggunakan metode replacement test yang dimodifikasi dengan menempatkan roti dalam gelas ukur yang sudah diketahui volumenya dan dicukupkan volumenya dengan menambahkan wijen. Volume roti dihitung sebagai total volume gelas ukur dikurangi dengan banyaknya wijen yang dipindahkan dari gelas kimia. Analisis Data Data penelitian dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap. Data hasil pengujian dari 3 ulangan diolah secara statistik menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan taraf signifikansi 0.05. Jika terdapat pengaruh yang nyata (p<0.05), maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Software yang digunakan adalah IBM SPSS Statistics 22.0.
11
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas PepX dari BAL Indigenus Sebanyak 4 isolat BAL digunakan untuk seleksi BAL penghasil enzim PepX. Pada penelitian ini seleksi isolat BAL dilakukan dengan menggunakan parameter yaitu aktivitas spesifik PepX pada substrat prolin sintetis. Aktivitas spesifik PepX yang tinggi mengindikasikan sebagai kemampuan isolat BAL dalam menghidrolisis substrat yang memiliki kandungan polipeptida yang kaya akan asam amino prolin seperti gliadin (Gallo et al. 2005). Berdasarkan hasil uji aktivitas PepX (Tabel 2). Aktivitas spesifik PepX dari 4 isolat BAL tersebut berada pada kisaran 0.15 – 7.59 U/mg protein. Berdasarkan aktivitas PepX tertinggi maka terpilih isolat L. plantarum TW14 yang memiliki aktivitas spesifik PepX yaitu 7.59 ± 0.25 U/mg protein. Tabel 2. Aktivitas PepX dari BAL indigenus Aktivitas spesifik PepX Jenis BAL (U/mg protein) ± SD Lactobacillus plantarum B110 0.15 ± 0.01c Lactobacillus fermentum EN17-2 0.17 ± 0.02c Lactobacillus plantarum TW14 7.59 ± 0.25a Lactobacillus rhamnosus TW02 3.93 ± 1.19b Keterangan : Huruf yang sama pada kolom menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan taraf nyata 95 %, (α = 5 %), setelah dilakukan uji statistik dengan DUNCAN pada SPSS 22.0 Perbedaan aktivitas PepX yang signifikan (p<0.05) dari masing-masing isolat dikarenakan perbedaan pada sumber bakteri. Bakteri L. plantarum TW14 dan L. rhamnosus TW02 merupakan bakteri yang diisolasi dari susu, sehingga memiliki aktivitas spesifik PepX yang lebih tinggi (7.59 U/mg protein dan 3.93 U/mg protein), karena pada susu mengandung kasein yang juga memiliki kandungan asam amino prolin yang tinggi yaitu sekitar 17 % (Miyabe et al. 2015). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Chaia et al. (1990) yang melaporkan bahwa bakteri Propionibacterium yang diisolasi dari susu memiliki aktivitas spesifik yang tinggi pada substrat p-nitroanilin (Pro-p-NA). Isolat L. plantarum B110 merupakan bakteri yang diisolasi dari sayuran fermentasi, serta L. fermentum EN17-2 diisolasi dari air nira sehingga aktivitas spesifik PepX dari kedua bakteri tersebut relatif rendah yaitu 0.15 U/mg protein dan 0.17 U/mg protein. Aktivitas PepX dari L. plantarum TW14 setelah Purifikasi Parsial Produksi PepX dari L. plantarum TW14 dengan purifikasi parsial dilakukan dengan tahapan (1) ekstraksi enzim untuk menghasilkan enzim kasar, (2) pengendapan dengan amonium sulfat dan (3) dialisis. PepX dari L. plantarum TW14 merupakan enzim intraseluler, sehingga dalam proses produksinya diperlukan tahapan sonikasi untuk memecah dinding selnya. Enzim seringkali berikatan erat dengan molekul lain yakni lipida dan karbohidrat. Penggumpalan protein enzim perlu dilakukan untuk memperoleh
12
enzim yang lebih murni. Penambahan senyawa yang hanya menggumpalkan protein dan tidak menggumpalkan bahan lain dengan sendirinya akan memisahkan dan lebih memurnikan enzim yang dihasilkan. Proses penggumpalan enzim dapat dilakukan dengan menambahkan pelarut organik dan garam. Penggunaan pelarut organik memperbesar kemungkinan terjadinya denaturasi terutama pada suhu yang agak tinggi. Kerugian lain dalam penggunaan pelarut organik adalah sifatnya yang mudah terbakar dan harganya mahal. Penggunaan garam sebagai presipitan telah banyak dilakukan. Penggunaan garam amonium sulfat sebagai presipitan memiliki keunggulan yaitu kelarutannya tinggi, harganya murah dan umumnya tidak mempengaruhi struktur protein. Garam pada suasana ionik tinggi dapat menarik mantel air dari koloid protein. Interaksi hidrofobik diantara sesama molekul protein pada suasana ionik tinggi akan menurunkan kelarutan protein. Peristiwa ini disebut salting out (Suhartono 1989). Pengendapan enzim dengan amonium sulfat dilakukan secara bertahap mengikuti prinsip salting in dan salting out. Pada salting in, penambahan garam secara bertahap dari konsentrasi rendah menyebabkan kelarutan protein pada larutan garam meningkat. Pada salting out, penambahan garam amonium sulfat jenuh akan menyebabkan protein mengendap. Pengendapan terjadi karena persaingan antara garam dan protein untuk mengikat air. Pada konsentrasi tinggi, kekuatan ionik garam semakin kuat sehingga garam lebih dapat mengikat molekul air. Dengan demikian tidak cukup banyak molekul air yang terikat pada protein sehingga gaya tarik menarik antara molekul protein lebih menonjol dibandingkan tarik-menarik antara air dan protein, dalam kondisi ini protein akan mengendap (Fatchyah et al. 2011). Hal ini dimanfaatkan untuk memproduksi PepX. Hasil purifikasi tahap pertama yaitu pengendapan dengan amonium sulfat (presipitasi) menunjukkan aktivitas spesifik tertinggi (14.39 ± 1.35 U/mg protein) dihasilkan pada konsentrasi amonium sulfat 50 % (Gambar 2). Konsentrasi amonium sulfat 50 % merupakan konsentrasi yang tepat sehingga dapat memisahkan protein PepX dari komponen lainnya secara maksimal. Secara statistik, konsentrasi amonium sulfat berpengaruh secara signifikan (p<0.05) terhadap aktivitas unit dan aktivitas spesifik PepX. Hasil tersebut sesuai dengan penelitan Degraeve et al. (2003) yang melaporkan bahwa amonium sulfat yang optimum untuk pengendapan PepX yaitu pada konsentrasi antara 50 - 60 %. Pada tahap selanjutnya dipilih amonium sulfat dengan konsentrasi 50 % untuk pengendapan PepX kasar yang dilanjutkan dengan tahapan pemurnian dengan dialisis. Tingkat kejenuhan amonium sulfat berbeda-beda, hal ini berhubungan dengan jumlah asam amino hidrofilik dan hidrofobik yang terdapat pada permukaan protein enzim. Protein enzim yang memiliki lebih banyak asam amino hidrofilik akan membutuhkan konsentrasi garam yang lebih banyak untuk mengendapkan protein enzim. Hal ini terjadi karena permukaan protein yang hidrofilik akan berinteraksi kuat dengan air, sehingga diperlukan ion-ion dari garam dalam jumlah banyak untuk mengganggu interaksi tersebut. Sebaliknya, jika protein enzim mengandung lebih banyak asam amino hidrofobik, jumlah amonium sulfat yang diperlukan untuk mengendapkan protein enzim pun akan lebih sedikit (Scopes 1987).
16 14 12 10 8 6 4 2 0
16 14 12 10 8 6 4 2 0 10
20 30 40 50 60 70 Tingkat Kejenuhan Amonium Sulfat (%) Aktivitas Aktivitas spesifik
Aktivitas (U/mL)
Aktivitas Spesifik (U/mg protein)
13
80
Gambar 2. Aktivitas spesifik dan aktivitas unit PepX kasar dari L. plantarum TW14 indigenus Tahap dialisis dilakukan untuk memisahkan molekul-molekul yang berukuran besar dari molekul-molekul yang berukuran lebih kecil. Molekul – molekul berukuran kecil akan keluar dari membran semipermiabel ke dalam pelarut atau buffer sampai tercapai kesetimbangan antara cairan di dalam dan di luar kantung. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan dialisis diantaranya membran, pelarut dan sifat-sifat fisik seperti suhu, tekanan, atau perubahan yang terjadi pada membran (Bintang 2010). Membran dialisis selofan yang digunakan memiliki ukuran 6 - 8 kDa MWCO, sehingga molekul lain yang berukuran kurang dari 6 - 8 kDa akan keluar dari membran semipermiabel. Dialisis dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kelebihan garam yang terdapat didalam protein setelah pemekatan menggunakan amonium sulfat. Purifikasi pada tahap dialisis PepX dari L. plantarum TW14 menghasilkan peningkatan aktivitas spesifik dari 7.59 ± 0.25 U/mg protein pada enzim kasar menjadi 14.39 ± 1.35 U/mg protein setelah pengendapan dengan amonium sulfat 50 %, dan meningkat menjadi 20.66 ± 2.11 U/mg protein pada enzim hasil dialisis. PepX hasil pengendapan dengan amonium sulfat 50 % memiliki peningkatan purifikasi 1.9 kali, sedangkan PepX hasil dialisis memiliki peningkatan purifikasi 2.7 kali dibandingkan dengan enzim kasarnya. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa dengan purifikasi parsial aktivitas spesifik PepX dari L. plantarum TW14 mengalami peningkatan (Tabel 3).
14
Tabel 3. Hasil purifikasi parsial PepX dari L. plantarum TW14 Tahapan
Total protein (mg)
Aktivitas unit (U/mL)
Aktivitas spesifik (U/mg)
Tingkat kemurnian (fold) 1
Enzim kasar 119.0±2.98 6.03±0.34 7.59±0.25 Pengendapan dengan 7.48±0.20 10.74±0.79 14.39±0.72 1.9 amonium sulfat 50 % Dialisis 1.58±0.03 13.04±1.24 20.66±2.11 2.7 Nilai dinyatakan sebagai rata-rata ± standar deviasi dari 3 ulangan
Yield (%) 100 12 4
Metode purifikasi yang dilakukan akan sangat mempengaruhi tingkat kemurnian enzim yang dihasilkan. Purifikasi lebih lanjut seperti dengan kromatografi penukar ion akan menghasilkan aktivitas yang lebih tinggi lagi, seperti enzim PepX yang diproduksi dari L. lactis subsp. cremoris menghasilkan aktivitas spesifik enzim PepX sebesar 118.8 U/mg protein dengan tingkat kemurnian enzim mencapai 80 (fold) (Perez-Guzman et al. 2006). Selain itu enzim PepX dari L. gasseri yang dimurnikan dengan menggunakan kromatografi afinitas mengalami peningkatan kemurnian enzim mencapai 265 (fold) (Miyabe et al. 2015). Purifikasi dengan kromatografi masih menjadi metode yang paling spesifik dan efektif untuk purifikasi enzim di mana tingkat kemurnian enzim yang didapat sangat tinggi. Pengaruh pH terhadap Aktivitas PepX L. plantarum TW14 Aktivitas PepX hasil dialisis optimum pada pH 7.5. Setelah pH optimum terlewati, aktivitas kemudian menurun tajam hingga aktivitas PepX hasil dialisis dipertahankan sebesar 21.15 ± 2.66 % pada pH 8.5 (Gambar 3). Secara statistik, nilai pH berpengaruh secara signifikan (p<0.05) terhadap aktivitas PepX. Beberapa penelitian melaporkan bahwa aktivitas PepX dari Lactobacillus memiliki pH optimum mendekati pH netral, seperti L. helveticus ITG LH1 yang optimum pada pH 7.0 (Degraeve dan Gros 2003), PepX dari L. sanfranciscensis CB1 yang memiliki pH optimum pada kisaran 6.5 – 7.5 (Gallo et al. 2005), dan PepX dari L. gasseri yang memiliki pH optimum 7.0 (Miyabe et al. 2015). Meningkatnya aktivitas enzim pada pH optimum dapat dikaitkan dengan perubahan ionisasi pada sisi aktif enzim, sehingga konformasi sisi aktif menjadi lebih efektif dalam mengikat dan mengubah substrat menjadi produk. Setiap enzim memiliki kisaran pH optimum, yaitu kisaran pH pada saat enzim menunjukan aktivitas maksimum dengan stabilitas tinggi (Suhartono 1989). Saat kadar pH terlalu rendah, kelebihan ion H+ akan berikatan dengan sisi aktif enzim atau sisi lain enzim yang bermuatan positif, sehingga akan terjadi tolakan muatan yang mengakibatkan struktur enzim terbuka. Terbukanya struktur enzim mengakibatkan perubahan konformasi pada sisi aktif enzim. Bila sisi aktif enzim tidak sama dengan substrat, maka reaksi tidak akan terjadi. Sama halnya pada saat kadar pH terlalu tinggi, adanya ion OH- akan bereaksi dengan gugus karboksil pada sisi aktif enzim, sehingga mengakibatkan aktivitas enzim menurun (Palmer 1991).
15
Aktivitas relatif (%)
100 80 60 40 20 0 2.5
3.5
4.5
5.5 pH
6.5
7.5
8.5
Gambar 3. Pengaruh pH terhadap Aktivitas PepX L. plantarum TW14 Pengaruh Suhu terhadap Aktivitas PepX L. plantarum TW14 Aktivitas PepX hasil dialisis optimum pada suhu 40 °C. Setelah suhu optimum terlewati, aktivitas PepX hasil dialisis mampu dipertahankan sebesar 68.35 ± 2.04 % pada suhu 45 °C. Aktivitas kemudian menurun pada suhu 70 °C dengan aktivitas PepX dipertahankan sebesar 44.91 ± 2.50 % (Gambar 3). Secara statistik, nilai suhu berpengaruh secara signifikan (p<0.05) terhadap aktivitas PepX. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa PepX dari BAL seperti L. lactis subsp. lactis memiliki aktivitas PepX yang optimum pada suhu 40 - 45 oC (Zevaco et al. 1990), Propionibacterium shermanii memiliki suhu PepX optimum 40 oC (Fernandez dan Fox 1996), dan L. helveticus ITG LH1 memiliki suhu optimum 40 oC (Degraeve dan Gros 2003).
Aktivitas relatif (%)
100 80 60
40 20 0 15
20
25
30
35
40 45 Suhu (oC)
50
55
60
65
70
Gambar 4. Pengaruh suhu terhadap aktivitas PepX L. plantarum TW14 Setiap enzim memiliki kisaran suhu tertentu untuk mencapai aktivitas optimum. Sebelum suhu optimum tercapai, aktivitas PepX akan terus meningkat karena adanya peningkatan energi kinetik yang mempercepat gerak vibrasi, translasi, serta rotasi antara enzim dan substrat, sehingga peluang keduanya untuk
16
saling bertumbukan menjadi lebih besar (Hames dan Hoper 2000). Namun setelah suhu optimum terlewati, aktivitas PepX akan terus menurun. Hal ini disebabkan karena enzim mengalami denaturasi, sehingga konformasi molekul protein menjadi berubah dan enzim kehilangan sifat alamiahnya. Menurut Lehninger (1994), jika suatu protein terdenaturasi, struktur tiga dimensi yang bersifat khusus dari rantai polipeptida juga akan terganggu. Rantai polipeptida yang terganggu inilah yang menyebabkan struktur protein menjadi terbuka dan acak. Terbukanya struktur protein tidak menjadikan struktur kerangka kovalen rusak namun menyebabkan aktivitas biologis enzim menjadi tidak berfungsi. Bobot Molekul PepX L. plantarum TW14 SDS-polyacrylamid gel electrophoresis (SDS-PAGE) merupakan metode kualitatif yang umum digunakan untuk pemisahan protein. Metode ini biasanya digunakan untuk mengestimasi bobot molekul protein disamping untuk memonitor pemurnian protein. Sampel yang dianalisis menggunakan SDS-PAGE didenaturasi terlebih dahulu dalam larutan buffer sampel yang mengandung β-merkaptoetanol dan SDS. Merkaptoetanol berfungsi mereduksi jembatan disulfida yang terdapat pada struktur tersier protein. SDS merupakan deterjen anionik yang berfungsi untuk mendenaturasi dan menegatifkan muatan protein (Wilson dan Walker 2010). Penampakan pita protein hasil SDS-PAGE menunjukkan adanya empat pita protein yang dominan yaitu pita protein A 73 kDa, B 48 kDa, C 36 kDa, dan D 26 kDa (Gambar 5). Bobot molekul PepX berbeda antar spesies. Hasil penelitian Fernandez dan Fox (1996) menunjukkan bahwa PepX dari Propionibacterium shermanii NCDO 853 memiliki bobot molekul 84 kDa, sedangkan beberapa BAL lainnya memiliki bobot molekul yang lebih rendah seperti L. casei dengan bobot molekul 79 kDa (Habibi-Najafi dan Lee 1994), L. helveticus yang memiliki bobot molekul 72 - 87 kDa (Miyakawa et al. 1994), serta L. sanfranciscensis CB1 memiliki bobot molekul antara 49 – 66 kDa (Gallo et al. 2005). Oleh karena itu diperkirakan bobot molekul PepX L. planatrum TW14 hasil dialisis adalah sebesar 73 kDa yang ditunjukkan oleh pita protein A. KDa
A B C
D
250 150 100 75 50 37
25 20 15 10
D D1 M Gambar 5. SDS-PAGE pita protein PepX dari L. plantarum TW14 hasil dialisis, D: fraksi dialisis, D1: fraksi dialisis pengenceran 1 kali, M: marker
17
Hasil pengujian SDS PAGE (Gambar 5) menunjukkan bahwa PepX hasil dialisis masih memiliki banyak pita protein, yang berarti masih terdapat banyak molekul protein yang berasal dari sel maupun protein pengotor lainnya. Pengendapan enzim dengan dialisis tidak dapat menghilangkan protein pengotor. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengendapan, maupun dialisis belum menghasilkan PepX murni. Tingkat kemurnian PepX yang rendah diduga disebabkan oleh banyaknya protein berukuran besar atau lebih besar dari 6-8 kDa sehingga pemisahan protein enzim dan protein pengotor lainnya kurang sempurna. Oleh karena itu untuk menghasilkan PepX yang lebih murni sebaiknya digunakan membran dialisis dengan ukuran cut off yang lebih besar dari 8 kDa. Pemurnian lebih lanjut dapat dilakukan dengan metode ion exchange, size exclusion, affinity chromatography dan elektroforesis untuk menghasilkan kemurnian enzim yang lebih tinggi. Aplikasi PepX L. plantarum TW14 untuk Hidrolisis Gliadin pada Adonan Tepung Tepung terigu memiliki kandungan gluten yang disusun oleh dua fraksi polipeptida, yaitu gliadin dan glutenin yang merupakan protein tidak larut air. Kandungan gliadin dalam gandum yaitu sekitar 30 – 50 % dari total protein, Fraksi gliadin tersebut bersifat larut dalam alkohol dan beberapa penelitian menunjukan bahwa gliadin bertanggung jawab terhadap toksisitas pada beberapa individu (Walter 2013). Gliadin dari gandum diketahui menjadi faktor lingkungan yang menyebabkan reaksi yang merugikan pada orang dengan penderita celiac disease (CD). Celiac disease merupakan suatu penyakit keturunan, dimana terjadi alergi karena intoleransi terhadap peptida yang tidak dapat dicerna berasal dari fraksi gliadin yang terdapat pada endosperm gandum Oleh karena itu gliadin tersebut dikelompokkan bersama dengan beberapa alergen makanan yang berasal dari tanaman (Breiteneder dan Radauer 2004). Ikatan disulfida pada gliadin dapat rusak oleh agen reduktif atau dengan perlakuan asam atau enzim. PepX hasil purifikasi parsial digunakan untuk menghidrolisis gliadin pada tepung terigu melalui proses fermentasi adonan sourdough. Kadar gliadin pada adonan sourdough dianalisis dengan menggunakan metode ELISA kompetitif. Metode tersebut merupakan metode standar untuk pengukuran gliadin yang direkomendasikan oleh Codex Alimentarius serta merupakan metode yang paling akurat untuk mendeteksi immunoactive gliadin pada bahan pangan yang telah mengalami proses hidrolisis (Buddrick et al. 2015). Pengujian berdasarkan immunoassays biasanya memanfaatkan antibodi untuk mendeteksi protein khusus yang berfungsi sebagai penanda untuk makanan penyebab alergi. Hasil pengukuran kadar gliadin pada adonan dapat dilihat pada Gambar 6. Konsentrasi gliadin pada adonan SLTW dan SPepX menunjukkan penurunan yang sangat signifikan (p<0.05) selama waktu inkubasi. Setelah 24 jam inkubasi gliadin yang terhidrolisis mencapai 59.88 % pada adonan SLTW dengan kadar gliadin mencapai 25064 ppm dari kadar gliadin awal 62475 ppm, dan 84.07 % pada adonan SPepX dengan kadar gliadin mencapai 9582 ppm dari kadar gliadin awal 60153 ppm, sementara itu pada adonan Sk hidrolisis hanya mencapai 4.91 % dan 27.72 % pada adonan Sa dengan kadar gliadin awal masing-masing yaitu 63260 ppm dan 63201 ppm. Namun hidrolisis gliadin lebih rendah pada adonan SLTW dibandingkan dengan adonan SPepX, hal tersebut dikarenakan pada adonan
18
SLTW peptida harus diangkut melintasi membran sel ke dalam sitoplasma dan kemudian terjadi proses hidrolisis gliadin oleh peptidase intraseluler. Sebaliknya, hidrolisis gliadin pada adonan SPepX terjadi secara langsung setelah enzim bereaksi dengan gliadin pada adonan tepung. Menurut Li et al. (2016) perlakuan enzimatik pada gliadin memiliki potensi untuk menghancurkan epitop alergi dan mengurangi antigenisitas pada produk makanan dengan cara menghidrolisis protein menjadi peptida kecil. Waktu Inkubasi (jam)
Kadar gliadin (x 10000 ppm)
7000070000 6000060000
0
5000050000
4 8
4000040000
24
3000030000 2000020000 1000010000 00
0 SSk k
Sa
SLTW Adonan
SPepX
A 6. Kadar gliadin pada adonan sourdough. Gambar d Keterangan: Sk (kontrol); Sa (sourdough asam); SLTW (sourdough dengan o penambahan sel L. plantarum TW14); dan SPepX (sourdough dengan penambahan PepX L. plantarum TW14) Selama proses inkubasi terjadi penurunan pH yang sangat signifikan terutama pada adonan yang difermentasi dengan sel L. plantarum TW14 (SLTW), yaitu dari pH 6.20 menjadi 3.59 pada waktu fermentasi 24 jam (Tabel 4). Hal tersebut dikarenakan L. plantarum TW14 merupakan bakteri asam laktat yang dapat menghasilkan asam – asam organik selama proses fermentasi. Seperti yang dijelaskan oleh Gerez et al. (2012) bahwa L. plantarum memiliki metabolisme yang bersifat heterofermentatif dan homofermentatif yang menghasilkan asamasam organik seperti asam laktat dan asam asetat selama proses fermentasi sourdough. Penurunan pH adonan juga ternyata berpengaruh terhadap hidrolisis gliadin pada adonan. Konsentrasi gliadin pada adonan kontrol (Sk) tidak mengalami perubahan yaitu 62058.33 ppm hingga 4 jam inkubasi dibandingkan dengan adonan Sa yang mampu menghidrolisis gliadin sampai 8.66 % atau 57725 ppm pada waktu inkubasi 4 jam. Kondisi tersebut sama seperti yang terjadi pada adonan SLTW setelah inkubasi 8 jam dimana pH adonan berubah menjadi 5.30 mampu menghidrolisis gliadin sebesar 52.69 %. Hal tersebut dikarenakan proteolitik yang terjadi selama proses fermentasi sourdough tidak hanya karena peptidase dari bakteri tetapi juga karena enzim yang terdapat pada gandum, terutama enzim endogen yang aktif dalam keadaan asam, seperti aspartat peptidase dan karboksipeptidase dimana aktivitasnya akan meningkat selama kondisi fermentasi (Ganzle et al. 2008; Wieser et al. 2014). Berbeda dengan
19
hidrolisis pada adonan SPepX tingginya hidrolisis gliadin sekitar 84.07 % hanya berasal dari aktivitas PepX L. plantarum TW14, karena enzim peptidase endogen dari tepung tidak akan aktif pada adonan SPepX karena pH adonan tetap di atas 5.0 selama proses fermentasi. Tabel 4. Pengaruh lama inkubasi terhadap pH adonan Jenis Adonan Waktu Inkubasi (jam) Nilai pH ± SD Sk 0 6.08 ± 0.10 4 5.99 ± 0.02 8 5.73 ± 0.06 24 5.70 ± 0.05 Sa 0 4.17 ± 0.07 4 4.23 ± 0.12 8 4.43 ± 0.33 24 4.09 ± 0.09 SLTW 0 6.20 ± 0.13 4 5.79 ± 0.03 8 5.30 ± 0.04 24 3.59 ± 0.03 SPepX 0 7.14 ± 0.05 4 7.09 ± 0.06 8 6.91 ± 0.01 24 5.60 ± 0.15 Keterangan: Sk (kontrol); Sa (sourdough asam); SLTW (sourdough dengan penambahan sel L. plantarum TW14); dan SPepX (sourdough dengan penambahan PepX L. plantarum TW14) Penggunaan PepX dapat menjadi teknologi alternatif untuk mengurangi kadar gliadin dalam tepung terigu. Namun, kadar gliadin yang tersisa selama proses fermentasi oleh PepX dalam adonan tepung terigu masih tinggi, hal tersebut tidak sesuai dengan batas kadar gliadin yang diizinkan dalam makanan untuk penderita celiac disease yaitu 200 ppm (Codex 2000). Oleh karena itu untuk mencapai produk pangan yang aman untuk penderita celiac desease maka perlu menggabungkan strategi lain, misalnya mencampurkan gandum dengan tepung non alergi seperti beras, atau jagung (Arendt et al. 2005; Di Cagno et al. 2008). Sekitar 80 % dari kandungan protein total pada gandum terdiri dari prolamin. Prolamin gandum dibagi menjadi α-, ß-, ω dan γ-gliadin (Jackson et al. 1983). Sebagian besar sekuen prolamin tersebut berbahaya bagi pasien celiac disease, terutama pada prolamin monomer, dan α-gliadin. Meskipun demikian peptida 33 asam amino α2-gliadin sering digunakan sebagai model peptida imunogenik. Peptida (LQLQPFPQPQLPYPQPQLPYPQPQLPYPQPQPF) yang biasa disingkat 33mer terdiri dari sejumlah besar prolin dan glutamin dengan urutan yang berulang - ulang dan telah diuji berbahaya bagi pasien celiac. Karakter inflamasi dari gluten diakibatkan oleh adanya resistensi peptida gluten terhadap enzim proteolitik pencernaan didalam tubuh (Shan et al 2005).
20
Kadar Asam Amino Bebas pada Adonan Tepung Aktivitas proteolitik selama fermentasi juga mengakibatkan terbentuknya beberapa asam amino bebas (Tabel 5). Kadar asam amino bebas meningkat pada adonan SPepX setelah diinkubasi selama 24 jam. Kadar total asam amino bebas dalam adonan SPepX yaitu sebesar 4155.31 ppm secara signifikan (P<0.05) lebih tinggi dari adonan Sk 2030.38 ppm, Sa 2461.23 ppm, dan SLTW 3749.03 ppm. Hampir semua asam amino bebas meningkat pada adonan SPepX terutama pada asam amino prolin yang menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi. Tingginya asam amino prolin menunnjukkan PepX mampu menghidrolisis gliadin pada tepung sehingga asam amino prolin dapat terlepas dari ikatan peptidanya. Pembentukkan asam amino prolin yang tinggi dapat diakibatkan oleh adanya kombinasi antara PepX dengan enzim intraseluler lainnya seperti prolinase dalam memecah peptida, karena secara umum PepX hanya memecah peptida kaya asam amino prolin menjadi dipeptida X-Pro lalu enzim intraseluler lain akan memecah X-Pro menjadi asam amino prolin bebas. Seperti yang dinyatakan oleh Fernandez dan Fox (1996) yaitu PepX dapat melepaskan N-terminal X-Pro yang kemudian menghasilkan dipeptida X-Pro, adanya enzim prolidase kemudian akan memecah asam dipeptida X-Pro menjadi prolin bebas. Selain itu menurut Miyabe et al. (2015) PepX dapat melepaskan dipeptida pada posisi N-terminal dari oligopeptida yang memiliki asam amino prolin pada posisi kedua dari N-terminal, selanjutnya dipeptida yang dilepaskan akan mudah dicerna menjadi komponen asam amino oleh berbagai enzim peptidase. Tabel 5. Kadar asam amino bebas pada adonan setelah diinkubasi selama 24 jam Kadar Asam Amino Bebas (ppm) Jenis Asam Amino SPepX Sk Sa SLTW L-Histidin ND ND ND ND L-Threonin ND 239.36 239.36 ND L-Prolin ND 336.01 138.73 1243.93 L-Tirosin ND ND ND 222.88 L-Leusin ND 225.81 234.93 295.73 L-Asam Aspartat ND ND ND 399.37 L-Lisin HCl 156.34 156.34 156.34 304.61 Glisin ND ND 402.00 402.00 L-Arginin ND ND 199.86 266.39 L-Alanin 393.57 338.66 338.66 338.66 L-Valin 155.64 155.64 155.64 155.64 L-Isoleusin ND ND 125.94 125.94 L-Fenilalanin ND ND 117.28 177.28 L-Asam Glutamat 1324.83 1009.41 810.12 222.88 L-serin ND ND 830.17 ND 3749.03 4155.31 2030.38 2461.23 Total Keterangan: Sk (kontrol); Sa (sourdough asam); SLTW (sourdough dengan penambahan sel L. plantarum TW14); dan SPepX (sourdough dengan penambahan PepX L. plantarum TW14)
21
Selama proses fermentasi sourdough BAL akan menghasilkan berbagai jenis metabolit seperti asam amino, asam - asam organik, komponen bioaktif, asam lemak, komponen volatil, dan komponen anti bakteri. Hasil aktivitas BAL dalam produksi asam lemak rantai pendek akan menurunkan pH adonan yang pada gilirannya menginduksi aktivasi protease sereal yang terlibat dalam proteolisis gluten. Peptida yang terbentuk kemudian dihidrolisis menjadi asam amino oleh peptidase intraseluler dari BAL, sehingga menghasilkan asam amino, dan menyebabkan terbentuknya senyawa prekursor rasa. Oleh karena itu, fermentasi sourdough akan menyebabkan peningkatan jumlah asam amino (Caballero et al. 2016). Kualitas Roti Penggunaan sourdough dalam pembuatan roti adalah salah satu proses bioteknologi tertua dalam produksi pangan. Adonan difermentasi dengan menggunakan campuran ragi alami dan BAL (Arendt et al. 2007). Fungsi utama penggunaan sourdough adalah sebagai bahan pengembang adonan karena dapat menghasilkan gas yang lebih banyak pada adonan. Terdapat efek positif dari penambahan sourdough dalam produksi roti, termasuk perbaikan dalam volume dan struktur remah roti (Corsetti et al. 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa roti yang telah diberi perlakuan mengalami penurunan volume roti yang dihasilkan (Gambar 7). Volume roti yang diberi penambahan PepX (SPepX) menurun secara signifikan yaitu sebesar 297 mL dibandingkan dengan roti kontrol (Sk) sebesar 513 mL. Namun volume roti (SLTW) mengalami penurunan yang rendah dibanding dengan kontrol yaitu 400 mL dan volume roti terendah terjadi pada roti (Sa) yaitu sebesar 225 mL. (A)(A)
(C)
(B)
(D)
Gambar 7. Roti sourdough Keterangan :(A) roti sourdough kontrol (Sk), (B) roti sourdough asam (Sa), (C) roti sourdough hasil fermentasi sel L. plantarum TW14 (SLTW), dan (D) roti sourdough dengan penambahan PepX L. plantarum TW14 (SPepX)
22
Perubahan volume dan struktur roti sourdough diakibatkan oleh sifat pengasaman adonan selama proses fermentasi. Keasaman sourdough yang telah matang bervariasi tergantung pada lama fermentasi dan kultur bakteri yang digunakan, namun pada umumnya pH sourdough berkisar antara 3.5 – 4.3 (Thiele et al. 2002). Pengasaman pada adonan sourdough akan berdampak pada komponen struktur pembentuk adonan roti seperti gluten, pati dan arabinoxylan. Seperti yang telah dijelaskan oleh Arendt et al. (2007) bahwa akan terjadi pembengkakan (swelling) pada gluten dalam kondisi asam. Selain itu adanya asam lemah dalam sourdough juga akan berdampak pada hidrolisis pati dalam adonan. Pengurangan kadar gliadin secara keseluruhan pada tepung terigu tentunya akan berdampak pada struktur gluten sehingga akan menyebabkan adonan tidak akan mengembang karena tidak mampu memerangkap gas. Oleh karena itu, pengurangan gliadin pada tepung terigu cocok digunakan pada pembuatan produk seperti cookies, kue dan kue kering. Selain itu, aktivitas protease dan peptidase BAL pada polipeptida dan protein dapat menyebabkan peningkatan peptida rantai pendek yang berkontribusi terhadap plastisitas dan elastisitas adonan. (Caballero et al. 2016). Hasil dari pengasaman adonan menyebabkan penurunan sifat elastisitas adonan (Clarke et al. 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Schober et al. (2003) menunjukan adanya pengaruh laktat dan NaCl secara langsung terhadap sifat elastisitas gluten pada kondisi pH yang rendah.
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Isolat L. plantarum TW14 mempunyai aktivitas spesifik PepX yang lebih tinggi (7.59 U/mg protein) dibandingkan dengan ketiga isolat lainnya yaitu L. plantarum B110, L. permentum EN17-2, dan L. rhamnosus TW02. Hasil purifikasi parsial dengan dialisis menghasilkan peningkatan aktivitas spesifik PepX L. plantarum TW14 menjadi 20.66 U/mg protein atau meningkat 2.7 kali dari aktivitas spesifik PepX kasar. PepX L. plantarum TW14 hasil dialisis memiliki aktivitas yang optimum pada suhu 40 oC dan pH 7.5. Bobot molekul PepX L. plantarum TW14 diperkirakan sebesar 73 kDa. Hasil analisis dengan ELISA kompetitif menunjukkan bahwa dengan penambahan PepX dari L. plantarum TW14 hasil dialisis selama 24 jam inkubasi berpotensi menurunkan kadar gliadin pada tepung terigu sebanyak 84.07 % dengan kadar gliadin mencapai 9582 ppm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan PepX pada adonan tepung terigu berpengaruh secara signifikan terhadap kadar gliadin yang terhidrolisis (p<0.05) sehingga mampu mengurangi toksisitas tepung terigu. Selain kadar gliadin, hidrolisis pada tepung terigu oleh PepX L. plantarum TW14 juga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar asam amino bebas yang signifikan yaitu 4155.39 ppm dibandingkan dengan perlakuan lainnya, terutama kadar asam amino prolin yang meningkat menjadi 1243.93 ppm yang menunjukkan adanya aktivitas PepX dalam menghidrolisis gliadin pada tepung terigu. Volume roti sourdough yang diberi perlakuan penambahan PepX
23
L. plantarum TW14 mengalami penurunan yang signifikan (p<0.05) dibandingkan dengan kontrol yaitu sebesar 297 mL yang menunjukkan bahwa hidrolisis gliadin berpengaruh terhadap kemampuan adonan dalam memerangkap gas, sehingga volume roti yang dihasilkan lebih rendah. Saran Saran untuk penelitian selanjutnya, masih perlu dilakukan: (1) Optimasi produksi PepX pada L. plantarum TW14 dengan berbagai teknik pemecahan sel agar enzim yang dihasilkan lebih optimum, (2) Perlu dilakukan optimasi penambahan unit enzim PepX pada adoan tepung terigu untuk hidrolisis gliadin yang lebih optimum, (3) Pemurnian enzim lebih lanjut setelah tahap dialisis perlu dilakukan untuk mendapatkan fraksi enzim yang lebih murni dengan aktivitas spesifik PepX yang lebih tinggi untuk menghidrolisis gliadin dengan lebih optimum serta waktu proses fermentasi dan konsentrasi enzim yang diperlukan dapat dikurangi, (4) Perlu dilakukan kajian tentang perubahan struktur adonan roti yang difermentasi dengan sel BAL dan enzim PepX terhadap kualitas roti yang dihasilkan, (5) Perlu dilakukan pengujian organoleptik pada produk hasil hidrolisis, dan (6) Penelitian lebih lanjut juga dapat dilakukan untuk aplikasi PepX pada produk-produk pangan lainnya seperti susu, keju, dan berbagai jenis tepung lokal.
DAFTAR PUSTAKA Arendt EK, Ryan LA, Dal Bello F. 2007. Impact of sourdough on the texture of bread. Food Microbiology. 24:165 – 174. Belitz HD, W Grosch. 1999. Food Chemistry. 2nd Ed, Springer. Berlin. Bintang M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta (ID): EGC. Breiteneder H, Radauer C. 2004. A classification of plant food allergens. Journal. Allergy Clinical Immunology. 23: 821 – 830. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye biding. Analytical Biochemistry. 72: 248-254. Buddrick O, Cornell HJ, Small DM. 2015. Reduction of toxic gliadin content of wholegrain bread by the enzyme caricain. Food Chemistry. 170: 343-347. Byass P, Kahn K, Ivarsson A. 2011. The Global Burden of Childhood Coeliac Disease: A Neglected Component of Diarrhoeal Mortality?. Plos One. 6(7). Caballero B, Finglas PM, Toldra F. 2016. Encyclopedia of food and healt. Elssevier Ltd, UK. Chaia PA, de Ruiz HP, Oliver G. 1990. Peptide hydrolases of Propionibacteria: Effect of pH and temperature. Journal Food Protection. 3: 227-240.
24
Carlo GR, Calasso M, Campanella D, Angelis MD, Gobbetti M. 2014. Use of sourdough fermentation and mixture of wheat, chickpea, lentil and bean flours for enhancing the nutritional, texture and sensory characteristics of white bread. International Journal Food of Microbiology. 180: 78-87. Clarke C, Schober TJ, Arendt EK. 2004. Effect of single strain and traditional mixed strain starter cultures in rheological properties of wheat dough and bread quality. Cereal Chemistry. 79: 640 – 647. Codex Alimentarius Commission. 2000. Draft revised standard for gluten free foods (CX/NFSDU 98/4). In Codex Committee on Nutrition and Foods for Special Dietary Uses, 22nd session, Berlin, Germany. Corsetti A, Settanni L. 2007. Lactobacilli in sourdough fermentation: a review. Food Research International. 40:539 – 558. De Angelis M, Coda R, Silano M, Minervini F, Rizzello CG, Di Cagno R, et al. 2006. Fermentation by selected sourdough lactic acid bacteria to decrease the intolerance to rye and barley flours. Journal of Cereal Science. 43:301 – 314. Degraeve P, Gros MA. 2003. Purification of X-prolyl dipeptidyl aminopeptidase of Lactobacillus helveticus ITG LH1. International Dairy Journal. 13: 497507. Di Cagno R, De Angelis M, Auricchio S, Greco L, Clarke C, De Vincenzi M, et al. 2004. Sourdough bread made from wheat and nontoxic flours and started with selected lactobacilli is tolerated in celiac sprue patients. Applied and Environmental Microbiology. 70:1088 - 1096. Di Cagno R, De Angelis M, Lavermicocca P, De Vincenzi M, Giovannini C, Faccia M, et al. 2002. Proteolysis by sourdough lactic acid bacteria: effects on wheat flour protein fractions and gliadin peptides involved in human cereal intolerance. Applied and Environmental Microbiology. 68: 623 - 633. Edema MO, Emmambux MN, Taylor JRN. 2013. Improvement of fonio dough properties through starch modification by sourdough fermentation. Starch. 65: 730 – 737. Facthiyah, Arumningtyas EL, Widyarti S, Rahayu S. 2011. Biologi Molekular: Prinsip Dasar Analisis. Jakarta: Penerbit Erlangga. Fernandez MD, Fox PF. 1996. Purification and characterization of X-prolyl dipeptidyl aminopeptidase from Propionibacterium shermanii NCDO 853. International Dairy Journal. 7: 23-29. Gallagher E, Gormley TR, Arendt EK. 2004. Recent advances in the formulation of gluten-free cereal based products. Trends in Food Science and Technology. 15: 143–152. Gallo G, De Angelis M, McSweeney PLH., Corbo MR, Gobetti M. 2005. Partial purification and characterization of an X-prolyl dipeptidyl aminopeptidase from Lactobacillus sanfranciscensis CB1. Food Chemistry. 91: 535-544.
25
Ganzle MG, Loponen J, Gobbetti M. 2008. Proteolysis in sourdough fermentation: mechanism and potential for improved bread quality. Trends in Food Science and Technology.19: 513-521. Gerez CL, Dallagnol A, Rollán G, de Valdez GF. 2012. A combination of two lactic acid bacteria improves the hydrolysis of gliadin during wheat dough fermentation. Food Microbiology. 32: 427 – 430. Gerez CL, Font de Valdez G, Rollán GC. 2008. Functionality of lactic acid bacteria paptidase activities in the hydrolysis of gliadin-like fragments. Letters in Applied Microbiology. 47: 427 - 432. Habibi-Najafi MB, Lee BH. 1994. Purification and characterization of X-prolyl dipeptidyl aminopeptidase from Lactobacillus casei subsp. casei LLG. Applied Microbiology Biotechnology. 42: 280-286. Hames BD, Hoper NM. 2000. Biochemistry: The Instant Notes. Ed ke-2. Hongkong (HK): Springer-Verlag. Jackson EA, Holt LM, Payne PI. 1983. Characterisation of high molecular weight gliadin and low-molecular-weigh glutenin subunits of wheat endosperm by two dimensional electrophoresis and the chromosomal localisation of their controling genes. Theoretical and Applied Genetics. 66: 29 – 37. Khalid NM, Marth EH. 2001. Purifcation and partial characterization of a prolyl-dipeptidyl aminopeptidase from Lactobacillus helveticus CNRZ 32. Applied Environmental Microbiology. 67:1815-1820. Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural protein during the assembly of the heat of bacteriophag T4. Nature. 227(10):680-685. Lehninger AL. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Thenawidjaja M, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. Li Y, Yu J, Goktepe I, Ahmedna M. 2016. The potential of papain and alcase enzymes and process optimizations to reduce allergenic gliadins in wheat flour. Food Chemistry. 196: 1338-1345. Lohi S, Mustalahti K, Kaukinen K, Laurila K, Collin P, Rissanen H, Lohi O, Bravi E, Gasparin M, Reunanen A, Mäki M. 2007. Increasing prevalence of coeliac disease. Alimentary Pharmacology and Therapeucitcs. 26(9):121725. Luoto S, Jiang Z, Brinck O, Sontag-Strohm T, Kanerva, Bruins M, Edens L, Salovaara H, Loponen J. 2012. Malt hydrolysates for gluten-free applications: Autolytic and proline endopeptidase assisted removal of prolamins from wheat, barley and rye. Journal of Cereal Science. 56: 504– 509. Manini F, Casiraghi MC, Poutanen K, Brasca M, Erba D, Plumed-Ferrer C. 2015. Characterization of lactic acid bacteria isolated from wheat bran sourdough. Food Science and Technology. 66: 275-283 Mariyani N. 2013. Potensi enzim β-galaktosidase dari Lactobacillus plantarum strain B123 indigenus untuk hidrolisis laktosa pada susu UHT [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
26
Miyabe R, Takahashi Y, Matsufuji H, Ogihara J, Itou K, Kawail Y, Masuda T, Suzuki K, Oda M. 2015. Purifcation and partial characterization of an Xprolyl dipeptidyl aminopeptidase from Lactobacillus gasseri ME-284. Food Science and Technology Research. 21(3): 445-451. Miyakawa H, Kobayashi S, Shimamura S, Tomita M. 1991. Purification and characterization of an X-prolyl dipeptidyl aminopeptidase from Lactobacillus delbrueckii ssp. bulgaricus LBU-147. Journal Diary Science. 74: 2375 – 2381. Moroni AV, Bello FD, Arendt EK. 2009. Sourdough in gluten-free breadmaking: an ancient technology to solve a novel issue. Food Microbiology. 26: 676 684. Palmer T. 1991. Understanding Enzymes. Inggris (GB): Ellis Horwood. Perez-Guzman AE, Victoria TC, Cruz-Camarillo R, Hernandez-Sanchez H. 2006. Purification and characterization of X-prolyl-dipeptidyl aminopeptidase from Lactococcus lactis subsp. cremoris NRRL 634. World Journal of Microbiology & Biotechnology. 22:953–958. Poutanen K, Katina K. 2014. Preface: Sourdough multifunctional process technology for future food. Challenges Food Microbiology. 37:1. Rizzello CG, De Angelis M, Di Cagno R, Camarca A, Silano M, Losito I, et al. 2007. Highly efficient gluten degradation by Lactobacilli and fungal proteases during food processing: new perspectives for celiac disease. Applied and Environmental Microbiology. 73: 4499 - 4507. Rizzello CG, De Angelis M, Coda R, Gobbetti M. 2006. Use of selected sourdough lactic acid bacteria to hydrolyze wheat and rye proteins responsible for cereal allergy. European Food Research and Technology. 223: 405 - 411. Rodrigo L. 2009. Investigational therapies for celiac disease. Expert Opinion on Investigational Drugs. 18: 1865-1873. Rubio-Tapia A, Murray JA. 2009. Celiac disease. Curr Opin Gastroenterol. 26: 116 – 22. Schober TJ, Dockery P, Arendt EK. 2003. Model studies for wheat sourdough systems using gluten, lactate buffer and sodium chloride. European Food Research and Technology. 217: 235–243. Scopes RK. 1987. Protein Purification: Principles and Practice. Ed ke-2. New York (US): Springger-Verlag. Shan L, Molberg O, Parrot I, Hausch F, Filiz F, Gray GM, Sollid LM, Khosla C. 2002. Structural basis for gluten intolerance in celiac sprue. Science. 297: 2275 – 2279. Sollid LM. 2002. Coeliac disease: dissecting a complex inflammatory disorder. Nature Reviews Immunology. 2: 647 – 55. Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB-Depdikbud
27
Thiele C, Ganzle M, Vogel R. 2002. Contribution of sourdough lactobacilli, yeast and cereal enzymes to the generation of amino acids in dough relevant for bread flavour. Cereal Chemistry. 79:45 - 51. Üstün-Aytekin O, Arısoy S, Aytekin AO, Yıldız E. 2016. Statistical optimization of cell disruption techniques for releasing intracellular X-prolyl dipeptidyl aminopeptidase from Lactococcus lactis spp. lactis. Ultrasonics Sonochemistry 29: 163 – 171. Walter BD. 2013. Gluten: Sources, Composition and Health Effects. Nova Science Publishers, Inc. Wieser H, Vermeulen N, Gaertner F, Vogel RF. 2008. Effects of different lactobacillus and enterococus and chemical acidification regarding degradation of gluten proteins during sourdough fermentation. European Food Research and Technology. 226: 1495–1502. Wilson K, Walker J. 2010. Principles and Techniques of Biochemistry and Molecular Biology. 7th ed. London (UK): Cambridge Univ Pr Zevaco C, Monet V, Gripon JC. 1990. Intracellular X-prolyl dipeptidyl peptidase from Lactococcus lactis subsp. lactis purification and properties. Journal Applied Bacteriology. 68: 357-366. Van Der Bough A, et al. 2005. Fractionation of wheat and wheat flour into starch and gluten: overview of the main processes and the factors involved. J of Cereal Sci. 4: 221 – 237.
28
Lampiran 1. Tabel jumlah amonium sulfat (gram) yang ditambahkan dalam 1 liter enzima
a
Sumber : Scopes (1987)
Keterangan : S1 dan S2 = % kejenuhan amonium sulfat Contoh : bila inin mengendapkan 1000 mL larutan enzim dengan amonium sulfat 20 %, maka ke dalam larutan enzim dimasukkan sedikit demi sedikit 113 g amonium sulfat. Pada tahap penegndapan enzim dengan amonium sulfat 30 %, amonium sulfat yang diperlukan sebanyak 59 g untuk 1000 mL larutan.
29
Lampiran 2. Perhitungan aktivitas PepX Aktivitas (U/mL) = (Absorbansi / µmol p-NA hasil plot dari kurva standar) x FK Waktu inkubasi
Aktivitas total (U) = Aktivitas (U/mL) x volume total larutan enzim (mL) Total protein = Kadar protein (mg/mL) x volume total larutan enzim (mL) Aktivitas spesifik (U/mg) = Aktivitas total (U) / Total protein (mg) Yield (%) = Aktivitas total purifikasi (U) x 100 % Aktivitas total enzim kasar (U) Tingkat kemurnian (fold) = Aktivitas spesifik purifikasi (U/mg) Aktivitas spesifik enzim kasar (U/mg) Aktivitas relatif (%) = Aktivitas pda pH atau suhu tertentu (U/mL) x 100% Aktivitas tertinggi (U/mL)
30
Lampiran 3. Kurva standar p-NA dalam analisis aktivitas PepX [p-NA] (mM) 0.000 0.050 0.100 0.125 0.150 0.175 0.200 0.250 0.300 0.400 0.500
[p-NA] (M) 0.000000 0.000050 0.000100 0.000125 0.000150 0.000175 0.000200 0.000250 0.000300 0.000400 0.000500
[p-NA] (mL) 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
[p-NA] (g) 0.00000000 0.00001381 0.00002762 0.00003453 0.00004144 0.00004834 0.00005525 0.00006906 0.00008287 0.00011050 0.00013812
mol p-NA 0.000000000 0.000000100 0.000000200 0.000000250 0.000000300 0.000000350 0.000000400 0.000000500 0.000000600 0.000000800 0.000001000
µmol p-NA 0.000 0.100 0.200 0.250 0.300 0.350 0.400 0.500 0.600 0.800 1.000
A 0.000 0.076 0.159 0.198 0.296 0.327 0.421 0.503 0.716 0.869 1.051
Konsentrasi p-NA (umol)
0.6 y = 0.442x + 0.0191 R² = 0.9884
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
0.2
0.4 0.6 0.8 Absorbansi (415 nm)
1
Contoh Perhitungan: g p-NA = p-NA (M) x p-NA (mL) x 138,12 g p-NA/mol x 1/1000 mol p-NA = g p-NA / 138,12 g p-NA/mol 1 mol p-NA = 1 x 106 µmol p-NA
1.2
31
Lampiran 4. Kurva standar protein dalam analisis protein
Konsentrasi BSA (mg/mL) 0.00 0.05 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80
0.8
y = 0.9342x + 0.0154 R² = 0.9946
0.7 Absorbansi (595 nm)
Absorbansi (595 nm) 0.00 0.01 0.12 0.27 0.34 0.40 0.48 0.54 0.69 0.76
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
0.2
0.4
0.6
Konsentrasi protein (mg/mL)
0.8
32
32
33
Lampiran 6. Kadar protein PepX kasar dari BAL indigenus Jenis BAL
Ulangan
Aa
FPb
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0.64 0.58 0.56 0.49 0.54 0.58 0.74 0.76 0.78 0.69 0.54 0.53
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
L.plantarum B110
L.fermentum EN 17-2
L. plantarum TW14
L. rhamnosus TW02 a
Volume (mL) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Protein (mg/mL) 0.67 0.61 0.59 0.51 0.56 0.60 0.77 0.79 0.81 0.72 0.56 0.56
Protein (mg) 0.67 0.61 0.59 0.51 0.56 0.60 0.77 0.79 0.81 0.72 0.56 0.56
A = absorbansi (595 nm
33
34 34
Lampiran 7. Hasil pengendapan PepX kasar dengan amonium sulfat Jumlah Aktivitas Volume µmol mg amonium Ulangan A FP unit U (mL) p-NA protein sulfat (%) (U/mL) 1 0.16 1.00 1.00 0.18 0.04 0.04 0.13 10 2 0.17 1.00 1.00 0.19 0.04 0.04 0.14 3 0.16 1.00 1.00 0.18 0.04 0.04 0.15 1 0.70 1.00 1.00 0.67 0.13 0.13 0.39 20 2 0.70 1.00 1.00 0.67 0.13 0.13 0.40 3 0.66 1.00 1.00 0.64 0.13 0.13 0.45 1 0.31 1.00 5.00 1.58 1.58 1.58 0.23 2 0.34 1.00 5.00 1.71 1.71 1.71 0.36 30 3 0.28 1.00 5.00 1.46 1.46 1.46 0.37 1 0.34 1.00 10.00 3.43 6.85 6.85 0.68 40 2 0.50 1.00 10.00 4.89 9.79 9.79 0.67 3 0.36 1.00 10.00 3.62 7.24 7.24 0.60 1 0.57 1.00 10.00 5.56 11.12 11.12 0.76 2 0.58 1.00 10.00 5.64 11.28 11.28 0.72 50 3 0.50 1.00 10.00 4.91 9.83 9.83 0.75 1 0.44 1.00 10.00 4.33 8.66 8.66 2.32 60 2 0.50 1.00 10.00 4.89 9.79 9.79 2.65 3 0.45 1.00 10.00 4.46 8.91 8.91 2.36 1 0.30 1.00 1.00 0.31 0.06 0.06 1.69 2 0.47 1.00 1.00 0.46 0.09 0.09 1.78 70 3 0.34 1.00 1.00 0.34 0.07 0.07 1.84 1 0.20 1.00 1.00 0.22 0.04 0.04 0.44 2 0.16 1.00 1.00 0.18 0.04 0.04 0.42 80 3 0.23 1.00 1.00 0.24 0.05 0.05 0.33
Aktivitas spesifik (U/mg protein) 0.28 0.28 0.24 0.34 0.33 0.28 6.92 4.78 3.92 10.01 14.57 12.00 14.56 15.58 13.02 3.74 3.69 3.78 0.04 0.05 0.04 0.10 0.08 0.14
Rata-rata Aktivitas Spesifik (U/mg protein) ± SD 0.27 ± 0.02
0.32 ± 0.03
5.21 ± 1.54
12.19 ± 2.29
14.39 ± 1.29
3.74 ± 0.04
0.04 ± 0.01
0.11 ± 0.03
35
Lampiran 8. Kadar protein PepX kasar hasil pengendapan dengan amonium sulfat Jumlah Amonium Volume Protein Ulangan A FP Sulfat (%) (mL) (mg/mL) 1 0.14 1.00 1.00 0.13 10 2 0.14 1.00 1.00 0.14 3 0.16 1.00 1.00 0.15 1 0.38 1.00 1.00 0.39 20 2 0.39 1.00 1.00 0.40 3 0.44 1.00 1.00 0.45 1 0.23 1.00 1.00 0.23 30 2 0.35 1.00 1.00 0.36 3 0.36 1.00 1.00 0.37 1 0.66 1.00 1.00 0.68 2 0.64 1.00 1.00 0.67 40 3 0.58 1.00 1.00 0.60 1 2.00 1.00 0.76 0.37 50 2 2.00 1.00 0.72 0.35 3 2.00 1.00 0.75 0.37 1 2.00 1.00 2.32 1.10 60 2 2.00 1.00 2.65 1.25 3 2.00 1.00 2.36 1.12 1 2.00 1.00 1.69 0.81 70 2 2.00 1.00 1.78 0.85 3 2.00 1.00 1.84 0.87 1 0.42 1.00 1.00 0.44 2 1.00 1.00 0.42 80 0.41 3 1.00 1.00 0.33 0.33
Protein (mg) 0.13 0.14 0.15 0.39 0.40 0.45 0.23 0.36 0.37 0.68 0.67 0.60 0.76 0.72 0.75 2.32 2.65 2.36 1.69 1.78 1.84 0.44 0.42 0.33 35
36 36
Lampiran 9. Rekapitulasi hasil purifikasi parsial PepX dengan cara dialisis
Tahapan
Enzim Kasar Pengendapan dengan amonium sulfat 50% Dialisis
Aktivitas Aktivitas rerata (U/mL) (U/mL)
Ulangan
A
Volume
FP
µmol p-NA
1 2 3 1 2
0.27 0.29 0.31 0.57 0.50
150.00 150.00 150.00 10.00 10.00
10.00 10.00 10.00 10.00 10.00
2.84 3.03 3.18 5.56 4.91
5.67 6.05 6.36 11.12 9.83
3
0.58
10.00
10.00
5.64
11.28
1 2 3
0.62 0.66 0.75
2.50 2.50 2.50
10.00 10.00 10.00
6.01 6.35 7.21
12.01 12.70 14.42
Lampiran 10. Kadar protein PepX hasil purifikasi parsial Volume Jenis BAL Ulangan A FP (mL) 1 0.74 1.00 150.00 2 0.76 1.00 150.00 Enzim Kasar 3 0.78 1.00 150.00 1 0.37 2.00 10.00 Pengendapan 2 0.35 2.00 10.00 dengan amonium sulfat 50% 3 2.00 10.00 0.37 1 0.60 1.00 2.50 2 0.62 1.00 2.50 Dialisis 3 0.60 1.00 2.50
Protein (mg/mL) 0.77 0.79 0.81 0.76 0.72 0.75 0.63 0.65 0.62
6.03
10.74
U rerata
U
850.58 907.98 904.34 954.45 111.19 98.25 107.42 112.83
13.04
Protein (mg) 116.18 118.75 122.13 7.63 7.25 7.55 1.56 1.61 1.56
30.03 31.76 36.04
32.61
Protein rerata 119.02
7.48
1.58
Protein rerata (mg)
119.02
7.48
Aktivitas spesifik (U/mg protein) 7.32 7.65 7.82 14.56 13.55
Aktivitas spesifik rerata (U/mg protein) 7.59
14.35
14.95 1.58
19.19 19.69 23.08
20.66
37
Lampiran 11. Aktivitas PepX hasil dialisis pada berbagai pH PepX hasil dialisis dalam buffer pH 3.0
pH 3.5
pH 4.0
pH 4.5
pH 5.0
pH 5.5
pH 6.0
pH 6.5
Ulangan
A
FP
µmol p-NA
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0.23 0.22 0.20 0.26 0.25 0.24 0.58 0.57 0.58 0.39 0.48 0.41 0.28 0.27 0.23 0.41 0.39 0.38 0.50 0.54 0.52 0.60 0.58 0.61
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 2.00 2.00 2.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00
0.25 0.23 0.22 0.27 0.26 0.26 0.56 0.56 0.57 0.78 0.94 0.81 1.43 1.42 1.20 2.05 1.93 1.90 2.47 2.63 2.52 2.89 2.82 2.97
Aktivitas unit (U/mL) 0.05 0.05 0.04 0.05 0.05 0.05 0.11 0.11 0.11 0.31 0.37 0.32 1.43 1.42 1.20 2.05 1.93 1.90 2.47 2.63 2.52 2.89 2.82 2.97
Aktivitas rerata 0.05
0.05
0.11
0.34
1.35
1.96
2.54
2.89
Aktivitas relatif (%) 0.73 0.69 0.64 0.79 0.78 0.76 1.66 1.65 1.68 4.62 5.54 4.80 21.15 21.01 17.84 30.40 28.58 28.17 36.61 38.98 37.36 42.89 41.75 44.04
Aktivitas relatif rerata (%) ± SD 0.69 ± 0.04
0.78 ± 0.02
1.66 ± 0.01
4.99 ± 0.49
20.00 ± 1.87
29.05 ± 1.19
37.65 ± 1.21
42.89 ± 1.15
37
38 38
pH 7.0
pH 7.5
pH 8.0
pH 8.5 a
A = absorbansi (415 nm) FP = faktor pengenceran
b
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0.28 0.24 0.23 0.33 0.31 0.33 0.38 0.47 0.39 0.26 0.24 0.32
10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00
2.89 2.56 2.45 3.37 3.14 3.33 1.91 2.32 1.96 1.37 1.28 1.63
5.78 5.12 4.91 6.75 6.27 6.65 1.91 2.32 1.96 1.37 1.28 1.63
5.27
6.56
2.06
1.43
85.68 75.95 72.71 99.99 92.97 98.64 28.31 34.38 29.05 20.34 18.99 24.12
78.12 ± 6.75
86.40 ± 12.05
30.58 ± 3.32
21.15 ± 2.66
39
Lampiran 12. Aktivitas PepX hasil dialisis pada berbagai suhu PepX hasil µmol Ulangan Aa FPb p-NA dialisis pada suhu (oC) 20
25
30
35
40
45
50
55
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0.20 0.19 0.19 0.21 0.20 0.20 0.22 0.24 0.22 0.30 0.32 0.31 0.34 0.33 0.32 0.23 0.22 0.22 0.21 0.18 0.19 0.19 0.15 0.16
10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00
2.12 2.09 2.11 2.22 2.14 2.12 2.34 2.51 2.35 3.08 3.29 3.15 3.47 3.31 3.28 2.45 2.32 2.35 2.24 1.97 2.06 2.05 1.71 1.84
Aktivitas Aktivitas unit rerata (U/mL) 4.25 4.18 4.21 4.21 4.43 4.29 4.32 4.25 4.69 5.01 4.80 4.70 6.16 6.58 6.35 6.31 6.95 6.62 6.71 6.56 4.91 4.63 4.75 4.70 4.49 3.94 4.18 4.12 4.10 3.43 3.74 3.68
Aktivitas relatif (%) 61.18 60.13 60.65 63.80 61.70 61.18 67.47 72.19 67.73 88.72 94.75 90.82 100.00 95.28 94.49 70.62 66.68 67.73 64.59 56.72 59.34 59.08 49.37 53.04
Aktivitas relatif rerata (%) ± SD 60.65 ± 0.53
62.23 ± 1.39
69.13 ± 2.65
91.43 ± 3.06
96.59 ± 2.98
68.35 ± 2.04
60.21 ± 4.01
53.83 ± 4.90
39
40 40
60
65
70 a
A = absorbansi (415 nm) FP = faktor pengenceran
b
1 2 3 1 2 3 1 2 3
0.16 0.15 0.16 0.14 0.15 0.16 0.12 0.13 0.14
10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00
1.80 1.70 1.78 1.62 1.69 1.76 1.47 1.57 1.64
3.59 3.39 3.56 3.25 3.37 3.52 2.94 3.14 3.28
3.51
3.38
3.12
51.73 48.85 51.21 46.75 48.58 50.68 42.29 45.17 47.27
50.60 ± 1.54
48.67 ± 1.97
44.91 ± 2.50
41
Lampiran 13. Nilai pH selama fermentasi pada berbagai jenis sourdough Jenis Waktu Fermentasi Ulangan Sourdough (jam) I 1 6.17 0 2 5.95 3 5.99 1 5.93 4 2 5.91 a 3 5.88 SK 1 5.42 2 5.59 8 3 5.71 1 4.78 24 2 4.68 3 4.67 1 4.26 0 2 4.00 3 4.17 1 4.43 2 4.09 4 3 4.18 b SA 1 4.23 2 4.00 8 3 4.29 1 4.24 24 2 4.07 3 4.03
Nilai pH II 6.20 6.12 6.19 5.90 5.91 5.85 5.87 5.91 5.88 4.77 4.64 4.67 4.27 4.23 4.07 4.36 4.21 4.12 4.07 5.79 4.18 4.20 3.98 4.00
Rata-rata 6.20 5.95 6.09 5.92 5.91 5.87 5.65 5.75 5.80 4.78 4.66 4.67 4.27 4.12 4.12 4.40 4.15 4.15 4.15 4.90 4.24 4.22 4.03 4.02
Rata-rata Nilai pH ± SD 6.08 ± 0.10
5.90 ± 0.02
5.73 ± 0.06
4.70 ± 0.05
4.17 ± 0.07
4.23 ± 0.12
4.43 ± 0.33
4.09 ± 0.09 41
42 42
0
4 c
SLTW 8
24
0
4 d
SPepX 8
24 a
SK SA c SLTW d SPepX
b
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
6.35 6.15 6.04 5.82 5.88 5.8 5.32 5.33 5.21 3.58 3.63 3.61 7.07 7.17 7.09 7.12 7.16 7.1 6.84 6.9 7.01 5.78 5.96 5.01
= kontrol = Sourdough asam = Sourdough dengan penambahan sel L. plantarum TW14 = Sourdough dengan penambahan PepX L. plantarum
6.41 6.16 6.10 5.79 5.63 5.84 5.33 5.33 5.29 3.51 3.57 3.61 7.31 7.01 7.21 7.00 7.16 6.99 6.97 6.94 6.81 5.75 5.11 5.97
6.38 6.16 6.07 5.81 5.76 5.82 5.33 5.33 5.25 3.55 3.60 3.61 7.19 7.09 7.15 7.06 7.16 7.05 6.91 6.92 6.91 5.77 5.54 5.49
6.20 ± 0.13
5.79 ± 0.03
5.30 ± 0.04
3.59 ± 0.03
7.14 ± 0.05
7.09 ± 0.06
6.91 ± 0.01
5.60 ± 0.15
43
Lampiran 14. Kurva Standar Gliadin ELISA kompetitif dalam analisis kadar gliadin Konsentrasi gliadin (ng/mL) 0 10 30 90 120
Absorbansi (450 nm) 2.31 2.15 1.72 1.26 0.66
Absorbansi (450 nm)
2.5 2 1.5 1
y = -0.0126x + 2.2523 R² = 0.9692
0.5 0 0
20
40
60 80 100 Kadar gliadin (ng/mL)
120
140
Untuk mendapatkan konsentrasi 5 U/mg : 5 U/mL enzim x mg tepung = p (U) Jumlah PepX yang ditambahkan ke dalam adonan tepung (mg) = p (U)/q (U/mL) q adalah hasil uji aktivitas PepX sesaat sebelum digunakan Perhitugan gadar gliadin dalam (ppm) yaitu: Kadar gliadin (ppm) = (Kadar gliadin (ng/mL) x Faktor Pengenceran x 2) 100
44
44
Lampiran 15. Pengukuran kadar gliadin pada adonan sourdough dengan menggunakan ELISA Waktu Adonan Kadar Gliadin Rata-rata Kadar Tingkat Fermentasi Ulangan A Sourdough (ppm) Gliadin (ppm) ± SD Hidrolisis (%) (jam) 1 0.48 63189.29 0 2 63260.71 ± 94.49 0 0.48 63225.00 3 0.48 63367.86 1 0.53 61653.57 4 62058.33 ± 475.59 1.90 2 0.50 62582.14 3 0.52 61939.29 a SK 1 0.61 58689.29 8 2 5.57 0.59 59260.71 59736.91 ± 1350.23 3 0.54 61260.71 1 0.58 59582.14 24 2 0.54 61117.86 60153.57 ± 839.86 4.91 3 0.58 59760.71 1 0.49 62903.57 0 2 63201.19 ± 346.88 0 0.47 63582.14 3 0.49 63117.86 1 0.79 52332.14 4 2 52844.05 ± 446.55 16.38 0.76 53153.57 3 0.77 53046.43 b Sa 1 0.83 50832.14 2 8 0.81 51439.29 51105.95 ± 307.92 19.13 3 0.82 51046.43 1 0.99 44975.00 2 24 0.97 45760.71 45677.38 ± 664.64 27.72 3 0.96 46296.43
45
0
4 c
SLTW 8
24
0
4 d
SPepX 8
24 a
SK SA c SLTW d SPepX
b
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0.51 0.49 0.51 0.63 0.62 0.61 1.36 1.43 1.49 1.57 1.46 1.61 0.64 0.52 0.54 1.24 1.32 1.19 1.55 1.47 1.77 2.10 1.94 1.92
62332.14 62903.57 62189.29 57796.43 58367.86 58689.29 32010.71 29403.57 27260.71 24207.14 28153.57 22832.14 57653.57 61725.00 61082.14 36225.00 33153.57 37939.29 24975.00 27975.00 17403.57 5617.86 11332.14 11796.43
62475.00 ± 377.96
0
58284.52 ± 452.22
6.71
29558.33 ± 2378.78
52.68
25064.29 ± 2762.32
59.88
60153.57 ± 2188.79
0
35772.62 ± 2424.72
40.53
23451.19 ± 5447.96
61.01
9582.14 ± 3441.01
84.07
= kontrol = Sourdough asam = Sourdough dengan penambahan sel L. plantarum TW14 = Sourdough dengan penambahan PepX L. plantarum 45
46
47
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung, Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 18 Juli 1991 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Kusyaman, S.sos, MP dan Ibu Jumati Awaliyah, SP. Penulis memulai pendidikan tingkat dasar di SDN Citrasai pada 1997 2003, kemudian melanjutkan ke jenjang tingkat menengah pertama di SMPN 1 Lembang pada tahun 2003 - 2006 dan jenjang pendidikan menengah atas di SMAN 1 Lembang pada tahun 2006 - 2009. Penulis mengampuh pendidikan sarjana jurusan Teknologi Pangan pada tahun 2009 di Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung. Setelah menyelesaikan studi program sarjana pada tahun 2013, penulis langsung melanjutkan pendidikan magister pada program studi Ilmu Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis tercatat sebagai anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) pada tahun 2016 dan telah menulis sebuah artikel yang berjudul “Aplikasi Teknologi Sourdough untuk Peningkatan Kualitas Roti” yang tertulis dalam buku kumpulan artikel pemikiran anggota PATPI 2016 dengan judul buku “Pangan Indonesia yang Diimpikan”. Artikel lain yang berjudul “Potency of Indigenous Lactic Acid Bacteria on Producing X-prolyl Dipeptidyl Aminopeptidase, a Gliadin-Hydrolized Enzyme” yang sedang menunggu penerbitan di jurnal International Food Research Journal.
1
49