1
Policy Evaluation Of Space Management Organization for The Buffer Zone Management in District Bogor in West Java SUCAHYANTO Dosen Tetap Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial UNJ
[email protected] ABSTRACT This study aims to determine how the formulation to policy implementation Bogor Regency Regulation No. 19 Year 2008 on Spatial Planning in 2005-2025, in order to manage the quality of rebuttal area in Bogor Regency, West Java. The method used is content analysis, which is sort of articles or passages in the legislation relating to the disclaimer at the Bogor Regency area. Data have been collected by indepth interview, observation, and document. While the technique of analysis date the used descriptive comparative. The research is indicated that there would not spatial detail (RDTR) the set for in the use of space, the meaning was still a macro/domination not to the setting at a detailed level, so that land used individual (micro), still would not be controlled properly. Recommendations for Local Government in the implementation of the Bogor Regency regional regulation is, the need for spatial coordination with the administration area on the outside, so it needs to be coordination between the regions. There needs to be a shared commitment between the Central Government, Local Government around Bogor Regency, in dealing with Peak Region as a 'buffer zone' area below it (in the watershed management system). Keywords: policy evaluation, spatial planning, buffer zone.
Pendahuluan Ruang merupakan wadah atau tempat manusia dalam melakukan berbagai macam aktivitasnya. kebutuhan manusia memerlukan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara. UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah mengamanatkan bahwa setiap RTRW Provinsi/Kabupaten/ Kota wajib memiliki RTH seluas 30% dari luas wilayah dengan tujuan menjaga keberlangsungan kehidupan yang berkelanjutan. Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan
2
ibukota di Cibinong. Kabupaten Bogor secara geografis terletak antara 6o18‟10” - 6o47‟10” Lintang Selatan dan 106o23‟45” - 107o13‟30” Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Bogor di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Tangerang
(Banten), Kota
Depok,
Kota
Bekasi,
dan
Kabupaten Bekasi, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Banten) dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi. Luas wilayah Kabupaten Bogor 2.371,21 Km2 yang terbagi menjadi 40 (empat puluh) Kecamatan dan 17 (tujuh belas) Desa/kelurahan (Pemda Kabupaten Bogor, 2012). Kabupaten Bogor sejak tahun 2008 telah memiliki Perda RTRW No.19 Tahun 2008 yang merupakan panduan dalam pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor yang berlaku hingga tahun 2025. Kabupaten ini merupakan bagian dari Kawasan Strategis Nasional (KSN) Perkotaan Jabodetabekpunjur yang telah ditetapkan menjadi Perpres No. 54 Tahun 2008. Muatan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten ini telah sesuai dengan muatan yang tercantum dalam UU Penataan Ruang, di antaranya adalah telah ditetapkan struktur dan pola ruang yang terdiri atas kawasan budi daya dan kawasan lindung dan pusat-pusat pertumbuhan lainnya. Selain itu tujuan Penataan Ruang Kabupaten Bogor adalah menjadikan
pembangunan
yang
berkelanjutan
dan
berwawasan
lingkungan sebagai tujuan pertama dan utama di dalam pembangunan Kabupaten Bogor.
3
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2025 terdiri atas dua belas (XII) bab seratus tiga belas (113) pasal. Peraturan daerah ini, dibuat untuk mengarahkan penataan ruang di Kabupaten Bogor dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, sesuai yang diatur pada Rencana Tata Ruang Wilayah berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 17 Tahun 2000. Selain itu, Perda ini dibuat dalam rangka mewujudkan dinamisasi dan keterpaduan pembangunan
antarsektor,
daerah,
dan
masyarakat,
serta
untuk
menyesuaikan sistem penataan ruang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tetang Penataan Ruang. Dalam penelitian ini, tidak semua pasal dalam Perda Kabupaten Bogor nomor 19
tahun 2008 digunakan. Dari 113 pasal, dipilih yang
berhubungan dengan pengelolaan daerah penyangga, yaitu Daerah Puncak. Thomas Dye dalam Wayne Parsons (2001:2) mengatakan bahwa kebijakan publik merupakan studi tentang „apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan (aktif dan pasif tersebut). Sedangakan William N. Dunn (1994) menyebutkan tahap-tahap dalam Proses Pembuatan Kebijakan, yakni: 1) Penyusunan agenda, 2)
4
Formulasi kebijakan, 3) Adopsi kebijakan, 4) Implementasi kebijakan, dan 5) Penilaian kebijakan. Salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan publik adalah implementasi kebijakan. Implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan secara maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri. Selanjutnya implentasi kebijakan dapat di ketahui apakah efektif dan efisien, maka dilakukan evaluasi implementasi kebijakan. Dimana menurut Menurut William N. Dunn (1994), ada 4 (empat) sifat evaluasi, sebagai berikut: Pertama, Fokus nilai. Kedua, Interdependensi Fakta-Nilai. Ketiga, Orientasi masa kini dan masa lampau. Dan keempat, Dualitas nilai. Berdasarkan
penjabaran
di
atas,
maka
dapat
dirumuskan
masalahnya sebagai berikut: “Bagaimanakah implementasi kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang dalam rangka konservasi sumberdaya alam daerah sanggahan di Kabupaten Bogor Jawa Barat?” Tujuan
Penelitian
adalah
melakukan
evaluasi
terhadap
implementasi kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang dalam rangka pengelolaan kualitas daerah sanggahan di Kabupaten Bogor Jawa Barat.
5
Metodologi Penelitian Tahapan
penelitian
evaluasi
kebijakan
Peraturan
Daerah
Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 yang berhubungan dengan daerah sanggahan di Kabupaten Bogor sebagai berikut: (1) Diskripsi kebijakan pengelolaan daerah penyangga melalui studi literatur; (2) diskripsi implementasi kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 di Daerah Puncak sebagai daerah penyangga; (3) Diskripsi Daerah Puncak sebagai objek implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008; (4) Diskripsi kesenjangan yang terjadi antara amanat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 dengan kondisi di lapangan; (5) Analisis data untuk menghasilkan rekomendasi untuk pelaksanaan implementasi tahap berikutnya. Metode yang digunakan adalah penelitian kebijakan dengan teknik content analysis. Memilah pasal-pasal atau ayat-ayat pada Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025
yang
berhubungan dengan daerah sanggahan di Kabupaten Bogor. Mencari data implementasi dari pasal/ayat yang sudah dipilih sesuai dengan tujuan penelitian. Menganalisa data yang diperoleh dari lapangan. Rambu-rambu instrument diambil dari Pasal-pasal Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
6
Bogor Tahun 2005 – 2025 yang berhubungan dengan Pengelolaan Kualitas Daerah Sanggahan di Bogor. Tahapan penelitian kebijakan ini mengikuti Peter J. Haas dan J. Fred Springer (2009), yaitu identifikasi masalah yang disusun dalam pernyataan masalah, rencana penelitian, pengumpulan dan analisis data, pembuatan laporan dan rekomendasi. Penelitian evaluasi kebijakan implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 dalam rangka pengelolaan kualitas daerah sanggahan di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Teknik pengambilan data didasarkan pada prinsip dari Lexy J. Moleong (2005), meliputi; (1) memahami latar penelitian, dan persiapan diri, (2)
memasuki lapangan, dan (3) pengumpulan data. Data primer
diperoleh dari wawancara langsung dan observasi, data sekunder diperoleh
melalui
instansi-instansi
terkait
di
Pemerintah
Daerah
Kabupaten Bogor. Teknik analisis data menggunakan diskriptif komparatif, yaitu membandingkan kondisi di lapangan pemanfaatan lahan, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008, dan teori-teori tentang pengelolaan daerah sanggahan. Hasilnya digunakan untuk mengevaluasi implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 dalam rangka penataan ruang untuk pengelolaan kualitas daerah sanggahan. Hasil Penelitian dan Pembahasan
7
Kabupaten Bogor sejak tahun 2008 telah memiliki Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nomor19 Tahun 2008, merupakan panduan dalam pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor yang berlaku hingga tahun 2025. Kabupaten ini merupakan bagian dari Kawasan Strategis Nasional (KSN) Perkotaan Jabodetabekpunjur yang telah ditetapkan menjadi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008. Berdasarkan
keterangan
dari
Pemerintah
Daerah,
RTRW
Kabupaten ini telah sesuai dengan muatan yang tercantum dalam Undang-Undang Penataan Ruang, di antaranya adalah telah ditetapkan struktur dan pola ruang yang terdiri atas kawasan budidaya dan kawasan lindung dan pusat-pusat pertumbuhan lainnya. Selain itu tujuan Penataan Ruang Kabupaten Bogor adalah menjadikan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sebagai tujuan pertama dan utama di dalam pembangunan Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor memiliki potensi wisata yang sangat besar. Ada sembilan lokasi unggulan yang menjadi andalan pemerintah daerah kabupaten, yaitu Telaga Warna (Kecamatan Megamendung), Prasati Ciaruteun (Kecamatan Cibungbalang), Goa Gudawang (Kecamatan Cigudeg),
Perkemahan
di
kawasan
Gunung
Salak
(Kecamatan
Cibungbalang), Taman Safari Indonesia (Kecamatan Cisarua), PT Perkebunan Nusantara XII Gunung Mas (Kecamatan Cisarua), rumah makan di sepanjang jalan raya Puncak (Kecamatan Cisarua), air panas Ciseeng (Kecamatan Parung), dan Taman Rekreasi Lido (Kecamatan
8
Cijeruk). Kondisi inilah yang menyebabkan aktivitas pariwisata sangat meningkat pesat di wilayah tersebut, terutama di kawasan Puncak Cisarua dan sekitarnya. Kawasan pariwisata ini berkembang karena pesona alam, yaitu persawahan yang dikelilingi pegunungan dan aliran sungai yang jernih, merupakan potensi wisata yang memiliki nilai yang tinggi. Ditambah lagi dengan ketersediaan infrastruktur yang dinilai cukup memadai untuk memfasilitasi
pertumbuhan
kawasan
pariwisata.
Untuk
mengatur
penggunaan lahan di daerah tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor
telah
mengambil
langkah
pengendalian
dan
penertiban
pembangunan khususnya di daerah kritis dengan lebih selektif di dalam memberikan izin untuk membangun. Alih fungsi lahan yang terjadi di kawasan tersebut sering menjadi masalah dalam penyelenggaraan penataan ruang. Beberapa isu strategis yang tidak dapat ditangani pemerintah daerah diangkat menjadi masalah nasional. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) atau Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) mempunyai peran penting dalam penanganan permasalahan ini. Melalui Kelompok Kerja (Pokja) 4 (empat) Bidang Koordinasi Penyelesaian Sengketa dan Konflik Penataan Ruang yang diketuai oleh Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kemenko Perekonomian, semua usulan perubahan atau alih fungsi lahan dari daerah akan dibahas melalui pertemuan Tim Teknis yang melibatkan seluruh anggota BKPRN.
9
Melewati Pokja 4 (empat) ini penanganan dan penyelesaian masalah, diselesaikan
dengan
mengeluarkan
rekomendasi
berupa
arahan
pengendalian pemanfaatan ruang kepada pemerintah daerah atau pihak terkait yang mengajukan permohonan perubahan fungsi lahan. RTRW Kabupaten Bogor dilengkapi dengan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) dan PZ (Peraturan Zonasi), terutama di kawasan-kawasan strategis dan prioritas. RDTR sebagai rencana yang terperinci tentang tata ruang Kabupaten/Kota yang dilengkapi dengan Peraturan Zonasi, sangat dibutuhkan ketika RTRW tidak/atau belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dan belum terdapatnya informasi terkait pemberian ijin dengan skala 1:5000. Saat ini telah disusun Konsep RDTR yang meliputi 15 Kecamatan yaitu Kecamatan Cibinong, Kecamatan Citeureup, Kecamatan Cileungsi, Kecamatan Gunung Putri, Kecamatan Ciawi, Kecamatan Mega Mendung, Kecamatan Cisarua,Kecamatan Jonggol, Kecamatan Cariu, Kecamatan Sukamakmur,
Kecamatan
Rumpin,
Kecamatan
Tenjo,
Kecamatan
Jasinga, Kecamatan Cigudek dan Kecamatan Dramaga. Diharapkan dengan tersusunnya RDTR dan PZ yang berkualitas dan operasional, pemanfaatan serta pengendaliaan pemanfaatan ruang dapat terlaksana secara lebih efektif dan efisien. Dalam penelitian ini, tidak semua pasal-pasal dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tersebut dievaluasi.
10
Demikian juga dengan wilayahnya, tidak semua Wilayah Kabupaten Bogor diteliti. Dasar penentuan instrumen adalah pasal-pasal yang berhubungan dengan pengelolaan kualitas daerah sanggahan di Bogor. Wilayah penelitian di Daerah Puncak sebagai daerah sanggahan di Bogor,
yaitu
Kecamatan
Cisarua,
Megamendung
dan
Ciawi.
Ditentukannya tiga daerah tersebut, karena merupakan daerah hulu (sanggahan/ penyangga) Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang hilirnya melewati DKI Jakarta. Berdasarkan kriteria tersebut, maka dari 113 Pasal Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008, dipilih 84 Pasal. Dari 84 pasal yang berhubungan dengan masalah penelitian, dikelompokkan menjadi limabelas bagian utama yaitu: (1) Kebijakan penataan ruang wilayah; (2) Strategi pengembangan pola ruang wilayah; (3) Rencana pola ruang wilayah; (4) Pola ruang kawasan lindung; (5) Pola ruang kawasan budidaya; (6) Kawasan strategis; (7) Rencana pengelolaan kawasan lindung; (8) Rencana pengelolaan kawasan budidaya; (9) Rencana pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumberdaya
alam
lainnya;
(10)
Rencana
pengembangan
sistem
prasarana air; (11) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang; (12) Arahan perizinan; (13) Arahan pemanfaatan jasa lingkungan; (14) Arahan sanksi; dan (15) Hak, kewajiban, dan peran serta maysarakat dan kelembagaan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam pengelolaan Kawasan Puncak sebagai Kawasan Strategis Nasional, karena sebagai
11
penyangga ekologis bagi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, terutama sebagai kawasan konservasi air dan tanah, telah memiliki perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu. Kawasan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Nasional; Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak Cianjur (Jabodetabekpuncur); serta Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang.
Sedangkan
Pemerintah
Daerah
Bogor
telah
mengeluarkan „Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2025‟. Peraturan Daerah tersebut sudah mengatur pelaksanaan tata ruang Daerah Puncak sebagai daerah sanggahan di Kabupaten Bogor. Pengaturan pemanfaatan ruang yang selektif, efektif dan efesien telah diatur dengan Peraturan Bupati Nomor 83 Tahun 2009 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang. Pengaturan sesuai Peraturan Bupati relatif tidak mengikat karena kegiatan masyarakat yang juga berubah, selain itu karena belum ada tata ruang detail (RDTR)
yang
mengatur untuk pemanfaatan ruang (masih bersifat makro/dominasi). Sanksi Pelanggaran yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang telah diatur jelas, tetapi data acuan (RDTR) penertiban belum ada.
Dengan demikian, kebijakan ini masih
12
bersifat makro, belum sampai pengaturan pada tingkat rinci, sehingga alih fungsi lahan perseorangan (mikro) sulit untuk dikendalikan. Kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2025 sudah mengatur pelaksanaan tata ruang Daerah Puncak sebagai daerah sanggahan. Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat pemerintah daerah, Peraturan Daerah nomor 19 tahun 2008 mengatur tata ruang Kabupaten Bogor, tidak mengatur wilayah di luarnya. Peraturan daerah ini, untuk Kabupaten Bogor sudah sesuai, perkiraan perhitungan dengan Zero Delta Q Policy, sudah tercukupi. Lain lagi masalahnya, apabila Daerah Puncak sebagai hulu daerah aliran sungai Ciliwung dan Cisadane, maka akan berhubungan dengan wilayah administrasi lain. Hal ini perlu kesepakatan bersama antarwilayah dan perlu adanya aturan yang lebih tinggi. Pelaksanaan tata ruang Daerah Puncak Kabupaten Bogor sebagai daerah sanggahan sudah menerapkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2025. Sampai di tingkat kecamatan, dimana Camat sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau unit terkecil dari pemerintah daerah, sebagai pelaksana peraturan daerah. Unit yang lebih kecil adalah Kepala Desa, tugasnya langsung berhubungan dengan masyarakat. Wewenang Camat tidak mengatur Kepala Desa,
13
hanya koordinasi kerja. Selama kegiatan di desa tidak menyimpang dari aturan-aturan yang ada, Camat tidak boleh campurtangan. Dampak
secara
fisik
dan
sosial
di
Daerah
Puncak
dari
implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2025 sebagai daerah sanggahan. Perijinan IMB yang baru harus sesuai dengan aturan. Pembangunan sarana dan prasarana ditingkatkan untuk kesejahtaraan masyarakat, supaya tidak merusak lingkungan alam. Jual-beli tanah milik penduduk, yang berurusan langsung adalah Kepala Desa. Alih kepemilikan tanah tidak menyalahi aturan, karena hak pribadi seseorang. Termasuk apabila pembelinya dari luar daerah tersebut. Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) mewakili Badan Pertanahan Nasional Pemerintah Daerah (BPN Pemda). Camat tidak memiliki kewenangan untuk melarang warganya melakukan jual-beli tanah. Pemilik baru (bukan penduduk asli), pada umumnya membangun (renovasi) rumah lama menjadi bangunan yang lebih baik. Dalam kasus seperti ini, apabila peruntukkannya tidak menyimpang, maka tidak dipermasalahkan. Apabila dihitung dari penggunaan fasilitas lingkungan (misalnya air tanah, sanitasi, tutupan lahan dan sebagainya), bangunanbangunan baru tersebut akan lebih banyak memerlukan sumberdaya alam di lingkungan tersebut. Kenyataannya banyak sekali alih kepemilikan
14
lahan di Daerah Puncak yang mengakibatkan sumberdaya alamnya berkurang. Masalah
lain yang dihadapi dalam Pelaksanaan menerapkan
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 adalah, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, tetapi keberadaannya jauh sebelum Peraturan Daerah ini dibuat. Kepemilikan dan peruntukan bangunan-bangunan yang tidak sesuai tersebut „secara hukum sah‟. Meskipun apabila ditinjau dari segi lingkungan, tidak semestinya lahan-lahan tersebut untuk bangunan. Informasi tambahan dari penduduk setempat, bahwa sebagian besar
vila
yang
berada
di
darah
penelitian
(Kecamatan
Ciawi,
Megamendung, dan Cisarua) bukan milik warga setempat. Penduduk setempat hanya sebagai “penjual jasa” apabila ada penyewa vila, seperti ojek, tukang pijat, tukang masak dan sebagainya yang bersifat membantu kebutuhan sehari-hari. Ada beberapa rumah penduduk yang disewakan, tetapi hanya kamar-kamar kosong saja. Kondisi sosial-ekonomi penduduk setempat seperti di atas, secara tidak langsung mendukung keberadaan vila-vila yang ada di Daerah Puncak. Dengan adanya vila-vila tersebut, mereka memperoleh tambahan pendapatan. Hal inilah yang semakin mempersulit penertiban keberadaan dan penataan pertumbuhan bangunan baru, dalam lingkup Daerah Puncak sebagai Hulu daerah alirah sungai Ciliwung dan Cisadane.
15
Penelitian Markus Ratriyono, Koordinator Program Forest Watch Indonesia (2012) menemukan sejumlah penyimpangan hukum dan fungsi hutan di kawasan Puncak. Dalam 10 tahun (2000 – 2009), sekitar 5.000 hektar (seluas Kota Sukabumi) kawasan penyokong tata air hilang. Keadaan ini menyebabkan, tangkapan air di DAS Ciliwung tinggal 12 persen dibandingkan luas total kawasan DAS yang mencapai 29 ribu hektare. Banjir mengancam daerah-daerah yang berada di sekitar Puncak. Pemerintah tanggungjawab
atas
melakukan
pembiaran
penghancuran
daerah
dan
mengabaikan
tangkapan
air
yang
menyokong kehidupan Ibukota Negara tersebut. Dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat tentang Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat Nomor 22 tahun 2010 yang mengizinkan perubahan peruntukan kawasan di Puncak menjadi kawasan produksi. Selain menghitung kehilangan kawasan berhutan, FWI juga melakukan pengecekan lapangan pada dua kecamatan di wilayah Puncak, yakni Kecamatan Megamendung dan Cisarua. Ternyata, secara umum kawasan lindung di kedua kecamatan tersebut kini berwujud areal kebun dan rumah-rumah peristirahatan. Bahkan, pemerintah seperti mendukung perubahan tersebut dengan membangun fasilitas pendukung berupa akses jalan dan jembatan yang dibangun ke vila-vila tersebut.
16
Keterbatasan penelitian ini adalah tidak mengukur daya serap tanah terhadap air pada lahan di Kawasan Puncak. Sehingga tidak diketahui, berapa luasan lahan efektif yang diperlukan di Kawasan Puncak sebagai daerah sanggahan Daerah Aliran Sungai Ciliwung dalam batas aman bencana (banjir dan/atau longsor). Kesimpulan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2025 sudah mengatur pelaksanaan konservasi sumberdaya alam Daerah Puncak sebagai daerah sanggahan di Kabupaten Bogor. Semakin baik implementasi kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 dalam rangka mengatur konservasi sumberdaya alam daerah sanggahan di Kabupaten Bogor, tata air di daerah bawahnya (hilir) akan semakin baik juga. Implementasi kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 dalam rangka mengatur konservasi sumberdaya alam daerah sanggahan di Kabupaten Bogor yang baik, harus didukung oleh Pemerintah Daerah di sekitarnya. Tidak mungkin dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor sendiri, karena melewati Daerah Administrasi lain.
17
Referensi Dunn, William N, 1994 Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice-Hall, International, Englewood Cliffs. Haas, Peter J. dan J. Fred Springer, 1998 Applied Policy Research (Concepts and Cases), New York & Londond: Garland Publishing, Inc. Lester, James P, 1997, Environmental Politics & Policy (Theorities and Evidance), USA: Duke University Press. Markus Ratriono, 2012, Kerusakan Kawasan Puncak, Forest Watch Indonesia. Newson, Malcolm, 1997, Land, Water and Development (Sustainable Management of River Basin Systems), London: Routledge. Parsons, Wayne, 2010, Edisi Bahasa Indonesia: Public Policy (Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan), Jakarta: Kencana. Patton, Carl V. dan David S. Sawicki, 1993 Basic Methods of Policy Analysis and Planning, New Jersey: Prentice Hall. Pemda Kab. Bogor, 2010, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025, Bogor: Pemda Kab. Bogor. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Stewart, Joseph, David M. Hedge dan James P. Lester, 2011 Public Policy an Evolutionary Approach. USA: Thomson Corporation. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Vig, Norman J. dan Michael E. Kraft, 2010 Environmental Policy (New Direction for the Twenty-First Century), Washington, DC: CQ Press. Weimer, David L. dan Aidan R. Vining, 2010 Policy Analysis (Conceps and Practice), New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
18