PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCABULAN SESAMA JENIS KELAMIN TERHADAP ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms)
SKRIPSI
Oleh: Purwika Meyta Anistyarini E1A010040
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCABULAN SESAMA JENIS KELAMIN TERHADAP ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh: Purwika Meyta Anistyarini E1A010040
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
i
ii
iii
ABSTRAK Skripsi ini membahas mengenai pembuktian dalam perkara pencabulan sesama jenis kelamin yang dilakukan terhadap anak dari Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms, yakni antara perempuan dengan perempuan yang dilakukan oleh terdakwa LRL terhadap anak perempuan yang berusia 17 tahun. Penulis merumuskan permasalahan bagaimanakah pembuktian tindak pidana pencabulan sesama jenis kelamin terhadap anak dan bagaimanakah akibat hukum bagi terdakwa. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pembuktiannya telah memenuhi Pasal 183 KUHAP, yaitu minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Alat bukti pada Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms adalah keterangan saksi AYM, ELP, AS, dan SBB serta keterangan terdakwa yang mengakui telah melakukan pencabulan sesama jenis kelamin terhadap saksi korban AYM. Atas dasar tersebut, hakim berkeyakinan bahwa terdakwa LRL bersalah melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang belum dewasa” sesuai dengan dakwaan Kesatu Pasal 292 KUHP. Akibat hukum bagi terdakwa, yakni menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan membebankan biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). Kata Kunci: Pembuktian, Pencabulan, Sesama Jenis Kelamin
iv
ABSTRACT This mini-thesis through the argumentation around criminal case of samesex abuse against the children case study of decision district court Ciamis number 367/Pid.B/2012/Pn.Cms, between two female who has done by LRL as the defendant against 17 years old female. The main problem which writer concerned is how to do argumentation around criminal case of same-sex abuse against the children and the legal consequences for the defendant. According to the research and the analysis, it has a conclusion the argumentation has fulfilled article 183 KUHAP, which is for minimum two evidence and judges conviction. The evidence in decision district court Ciamis number 367/Pid.B/2012/PN.Cms is witness‟s evidence AYM, ELP, AS, and SBB also defendant acknowledgement toward AYM. Based on those thing, judges believe the defendant LRL is guilty and did a criminal case “committed to samesex abuse against the children” according to first indictment which is article 292 KUHP. Legal consequences for the defendant is, punishment which is imprisonment for 4 (four) month and punish to pay for court fees Rp. 2.000,- (two thousand rupiah)
Keywords : Argumentation, Sexual abuse, same-sex abuse
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCABULAN SESAMA JENIS KELAMIN TERHADAP ANAK (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms). Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada: 1.
Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
2.
Ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H. dan Bapak Pranoto S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis, atas segala bimbingan, bantuan, arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbinganya semoga suatu saat nanti penulis dapat membalas jasa yang telah Bapak dan Ibu berikan. Walaupun penulis tahu, Bapak dan Ibu tidak mengharapkan imbalan apapun dari penulis.
3.
Bapak Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H selaku Dosen Penguji skripsi penulis yang telah bersedia untuk menjadi penguji penulis.
4.
Bapak Dr. H. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis. Terima kasih atas kebaikan serta kesediannya setiap kali penulis berkonsultasi Kartu Rencana Studi (KRS).
5.
Segenap dosen, karyawan, dan karyawati serta keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, yang telah berjasa kepada Penulis selama menempuh kuliah.
vi
6.
Orangtua penulis Purwati Puji Rahayu, S.H., M.Kn. dan Dwika Rasmanto, S.E. yang telah mendidik, menyayangi, mendoakan dan selalu memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
7.
Adik-adik penulis Muhammad Afrizal, Muhammad Ammar Syamsuddin, dan Chaerunisya Febriana yang telah mendoakan penulis.
8.
Hafizh Faikar Agung Ramadan partner segalanya yang telah memberikan semangat, dukungan, and everything in my life.
9.
Sahabat penulis Hani dan Anggih atas segala doa dan dukungannya.
10. Teman bermain dan belajar “Sahabat Bobo” Beti, Tantri, Haya, Pika, Syarah, Arif, Hilman, Ein, Kiki, Anti, Amah, Dini, Budi serta Andra, Surya, Topik atas kebersamaannya selama ini yang telah memberikan warna-warni selama kuliah dari sedih, senang, banyak cerita indah yang tak pernah penulis lupakan. 11. Teman-teman “PLKH” Ica, Rizka, Usi, Oki, Ai terimakasih atas kerjasamanya. 12. JEC One Big Family, UKM tempat penulis menimba ilmu, berproses terutama CC Fajar, Ana, Bondan, dan keluarga besar JEC yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 13. Penghuni Kostan 39, Ratu, Suswati, Devi, Putri, dan Gordon atas kesediannya menerima penulis sebagai layaknya penghuni kostan. 14. Kawan-kawan seperjuangan skripsi acara pidana Pika dan Deta atas segala bantuan dan kerjasamanya selama ini.
vii
15. Keluarga Besar FH UNSOED angkatan 2010 serta semua pihak yang turut membantu dan tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan yang mereka berikan kepada penulis, mendapatkan balasan sebesar-besarnya dari ALLAH SWT. Penulis juga memohon maaf kepada semua pihak apabila terdapat kesalahan dalam ucapan maupun tindakan selama berproses di FH UNSOED. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan tentang Hukum Acara Pidana.
Purwokerto,
Agustus 2014
Purwika Meyta Anistyarini E1A010040
viii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL............................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................. ii SURAT PERNYATAAN..................................................................................... iii ABSTRAK............................................................................................................ iv ABSTRACT............................................................................................................ v KATA PENGANTAR........................................................................................... vi DAFTAR ISI........................................................................................................ ix BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang........................................................................ 1 B. Perumusan Masalah................................................................ 4 C. Tujuan Penelitian.................................................................... 5 D. Kegunaan Penelitian............................................................... 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Acara Pidana............................................ 7 B. Tujuan Hukum Acara Pidana................................................. 9 C. Asas Hukum Acara Pidana.................................................... 10 D. Pembuktian............................................................................ 25 1. Pengertian Pembuktian.................................................... 25 2. Sistem Pembuktian.......................................................... 27 3. Bentuk-Bentuk Alat Bukti............................................... 34 E. Putusan Pengadilan................................................................ 42 1. Pengertian Putusan........................................................... 42 2. Bentuk-Bentuk Putusan.................................................... 43 F. Tindak Pidana Pencabulan Sesama Jenis Kelamin Terhadap Anak....................................................................................... 49 1. Pengertian Anak............................................................... 49 2. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Sesama Jenis Kelamin Terhadap Anak.................................................. 51
ix
BAB III
METODE PENDEKATAN A. Metode Pendekatan........................................................... 57 B. Spesifikasi Penelitian........................................................ 57 C. Sumber Data...................................................................... 58 D. Metode Pengumpulan Data............................................... 58 E. Metode Pengolahan Data.................................................. 58 F. Metode Analisis Data........................................................ 59
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian................................................................. 60 B. Pembahasan...................................................................... 88
BAB V
PENUTUP A. Simpulan......................................................................... 104 B. Saran............................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak-anak merupakan generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari orang yang lebih dewasa. Namun, keadaan yang banyak terjadi di masyarakat kini, anak-anak justru menjadi korban tindak pidana kesusilaan oleh orang dewasa. Perbuatan kesusilaan yang dilakukan terhadap anak-anak tersebut dapat merusak masa depan anak dan berdampak buruk terhadap perkembangan anak, baik dari segi fisik maupun mental. Menurut Hentig:1 “Anak-anak mempunyai resiko menjadi korban berbagai macam tindak pidana disebabkan karena lemah secara fisik dan mental kepribadiannya belum matang, serta belum mempunyai ketahanan yang cukup apabila harus menghadapi serangan trauma dari orang dewasa”. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan peraturan perundang-undangan yang jelas dan bermanfaat untuk melindungi segenap warga masyarakat khususnya anak sebagai generasi penerus bangsa agar terlindungi dari segala macam bentuk tindak pidana, serta memberikan hukuman yang berat untuk memberi efek yang jera bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana tersebut. Menurut pedoman KUHAP seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah, bahwa:2 “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan 1
Iswanto dan Angkasa, 2011, Viktimologi, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, hlm. 30. 2 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, 2008, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 7-8.
1
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”. Usaha hakim dalam menemukan kebenaran materiil itu telah dibatasi oleh surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa. Hakim tidak dapat menuntut supaya jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau menambah perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, untuk memperkuat keyakinannya, hakim dapat meminta buktibukti dari kedua pihak, yaitu terdakwa dan penuntut umum, begitu pula saksisaksi yang diajukan kedua belah pihak sesuai yang diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, hakim di dalam memutus suatu perkara harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah beserta keyakinan hakim. Apabila hanya satu alat bukti, maka hakim tidak bisa menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Hakim bisa menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila telah menggunakan minimal dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, tetapi hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yakni: Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli;
2
c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Pembuktian merupakan tahapan proses yang rumit dan sangat menentukan dalam pemeriksaan persidangan, terkait dengan pembuktian penulis tertarik untuk membahas mengenai proses pembuktian persidangan dalam perkara pencabulan sesama jenis kelamin yang dilakukan terhadap anak dari Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms. yakni antara perempuan dengan perempuan (lesbian) yang dilakukan oleh Terdakwa LRL terhadap anak perempuan yang masih berusia 17 tahun. Unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa dalam putusan tersebut adalah dengan dakwaan alternatif, yaitu Kesatu melanggar Pasal 292 KUHP mengenai “melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga belum dewasa” atau Kedua melanggar Pasal 332 ayat (1) KUHP mengenai “membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan”. Dakwaan Penuntut Umum tersebut disusun secara Alternatif, sehingga Majelis Hakim dalam membuktikan dakwaan tersebut langsung menunjuk pada dakwaan yang paling sesuai dikenakan terhadap Terdakwa sebagaimana dalam fakta hukum yakni dakwaan Alternatif Kesatu. Kemudian berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta berdasarkan pertimbangan hukum hakim, terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) bulan karena secara sah dan menyakinkan
3
bersalah telah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya dalam Dakwaan Alternatif Kesatu dari penuntut umum, yakni “melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang diketahuinya belum dewasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 292 KUHP yaitu: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan penjara paling lama limat tahun”
Berdasarkan uraian masalah tersebut maka penulis tertarik melakukan suatu
penelitian
terhadap
Putusan
Pengadilan
Ciamis
Nomor
367/Pid.B/2012/PN.Cms mengenai pembuktian di persidangan dalam tindak pidana “melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang diketahuinya belum dewasa” dengan judul “PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCABULAN
SESAMA
JENIS
KELAMIN
TERHADAP
ANAK
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pembuktian tindak pidana pencabulan sesama jenis kelamin terhadap anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms? 2. Bagaimanakah akibat hukum bagi terdakwa terhadap Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms?
4
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pembuktian dalam tindak pidana pencabulan sesama jenis kelamin terhadap anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms. 2. Mengetahui akibat hukum bagi terdakwa terhadap Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms. D. Kegunaan Penelitian Adapun yang menjadi kegunaan penelitian dalam penulisan karya tulisan ini, yaitu: 1. Kegunaan Teoritis a. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memperluas wawasan peneliti dan pembaca pada umumnya. b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya terutama ilmu hukum acara pidana, terkait pokok bahasan yang dibahas. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai
upaya
pembuktian
dalam
persidangan
yang
dapat
mempengaruhi keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana pada terdakwa dan bermanfaat sebagai bahan informasi serta untuk menambah pembendaharaan literatur atau bahan informasi ilmiah.
5
BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana merupakan aturan mengenai cara bagaimana hukum pidana dilaksanakan. Tidak ada pengertian secara resmi, akan tetapi banyak ahli yang memberikan penjelasan mengenai hukum acara pidana, diantaranya: Menurut Simon3 dalam bukunya Mohammad Taufik Makaro dan Suharsil, mengartikan bahwa: “Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana material. Hukum pidana material atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan: mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formula mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana”. Van Bemmelen4 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, mengatakan: “Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undangundang pidana, yaitu sebagai berikut: 1) Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. 2) Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. 3) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya. 4) Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. 5) Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. 3
Mohammad Taufik Makaro dan Suharsil, 2010, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Ghalia Indonesia, hlm. 1. 4 Andi Hamzah, op.cit., hlm. 6.
6
6) Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. 7) Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.” Menurut Wirjono Prodjodikoro5, mantan Ketua Mahkamah Agung menyatakan hukum acara pidana sebagai berikut: “Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana” Menurut R. Soesilo6 dalam bukunya memberikan definisi bahwa: “Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi putusan itu harus dilakukan”. Menurut Bambang Poernomo7 sebagaimana dikutip dalam bukunya Waluyadi, mengkalsifikasikan hukum acara pidana menjadi tiga arti: 1) Dalam arti sempit, yang meliputi peraturan hukum tentang penyelidikan, peyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai dengan putusan pengadilan, dan peraturan tentang susunan pengadilan; 2) Dalam arti luas, yaitu selain mencakup dalam pengertian sempit, juga meliputi peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar peraturan itu ada urusannya dengan perkara pidana; 3) Pengertian sangat luas, yaitu apabila materi peraturan sudah sampai pada tahap eksekusi putusan hakim (pidana) kemudian dikembangkan meliputi peraturan hukuman (pidana) yang mengatur tentang alternatif jenis pidana, dan cara menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani pidana sebagai pedoman pelaksanaa pemberian pidana.
5
Wirjono Prodjodikoro, 1980, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung:Sumur Bandung, hlm. 15. 6 R. Soesilo, 1980, Teknik dan Penyidikan Perkara Kriminil, Bogor:Politeia, hlm. 3. 7 Waluyadi, 1999, Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatn Khusus), Bandung:Mandar Maju, hlm. 11.
7
KUHAP tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain diberi definisi dalam Pasal 1 KUHAP.8 B. Tujuan Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana atau hukum pidana formal mempunyai fungsi yang penting guna mendasari setiap proses dalam mencari kebenaran materiil. Setiap fungsi harus diperhatikan dan dilaksanakan secara utuh agar berjalan sesuai tujuan yang hendak dicapai. Tujuan hukum acara pidana antara lain dirumuskan oleh pendapat beberapa ahli serta terdapat pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”. Ven Bemmelen9 dalam bukunya Andi Hamzah mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana, yaitu sebagai berikut: a. Mencari dan menemukan kebenaran. b. Pemberian keputusan oleh hakim. c. Pelaksanaan keputusan. Dari ketiga fungsi di atas, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan
8 9
Ibid, hlm. 4. Andi Hamzah, op. cit., hlm. 8.
8
kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Pada dasarnya setiap proses yang dilaksanakan, yaitu untuk mencari kebenaran karena para pihak menginginkan kebenaran itu terungkap. Terungkapnya kebenaran menjadikan suatu peristiwa yang telah terjadi menjadi terang dan dapat diselesaikan. Andi Hamzah10 memberikan pendapatnya, yakni: “Tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat”. Bambang Poernomo11 menyatakan: “Tujuan ilmu hukum acara pidana mempunyai kesamaan dengan tujuan ilmu hukum dengan sifat kekhususan, yaitu mempelajari hukum mengenai hukum mengenai tatanan penyelenggaraan proses perkara pidana dengan memperhatikan perlindungan masyarakat serta menjamin hak azasi manusia dan mengatur susunan serta wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum untuk mencapai kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sarana peraturan hukum acara pidana itu susunan dan wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum dalam proses perkara pidana mempunyai tugas mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran, mengadakan tindakan penuntutan secara tepat dan memberikan putusan dan pelaksanannya secara adil”. Kebenaran materiil penting sebagai dasar dijalankannya hukum acara pidana. Tujuan ini tidak lepas dari kehati-hatian agar tidak ada kesewenangwenangan dari aparat dan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia. Apabila tujuan tersebut tercapai, maka akan menciptakan keadilan dalam masyarakat.
10
Ibid, hlm. 9. Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, 1993, Yogyakarta, Liberty, hlm. 28-29. 11
9
C. Asas Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana mempunyai asas-asas yang terkandung di dalamnya sebagai dasar dibuatnya hukum acara pidana. Asas tersebut sebagai dasar dalam setiap pelaksanaan peraturan hukum acara pidana, di dalamnya harus tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia karena Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin semua warga negara bersama kedudukannya di depan hukum. Asas tersebut tercermin dalam Pasal 1 ayat (1) KUHAP, yaitu: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuanketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”. Asas yang menjelaskan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kecuali telah diatur sebelumnya dalam perundangundangan disebut juga asas legalitas. Menurut Andi Hamzah12 dalam bukunya menerangkan: “Yang pertama-tama dikemukakan disini adalah legalitas dalam hukum acara pidana sebagai padanan asas legalitas dalam hukum pidana materiil. Jadi, bukan asas legalitas sebagai lawan asas oportunitas yang akan diuraikan tersendiri dibelakang”. Asas-asas penting yang tercantum dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut: 1. Asas Praduga Tak Bersalah (Persuption of Innocence) Asas ini terdapat dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP, sebagai berikut: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak 12
Andi Hamzah, op. cit., hlm 10.
10
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempunyai kekuatan hukum tetap”. Asas ini juga telah dirumuskan dalam Pasal 8 ayat (1) UndangUndang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, yakni: “Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Menurut M. Yahya Harahap13 menyatakan bahwa: “Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur”. Prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek, bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan atau diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindak pidana), yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Karena itulah pemeriksaan ditujukan”. Berdasarkan asas yang dimiliki KUHAP, dengan sendirinya memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan. Aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inkusitoir, yang menempatkan tersangka atau terdakwa dalam setiap pemeriksan sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang.14 2. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung kepada terdakwa atau saksi. Lisan dalam artian tidak tertulis 13
M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta:Sinar Grafika, hlm 38. 14 Mohammad Taufik Makaro, op. cit, hlm 4.
11
antara hakim dan terdakwa atau saksi. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHAP. Pasal 154 KUHAP merumuskan sebagai berikut: 1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. 2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. 3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya. 4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. 5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. 6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. 7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang. Pasal 155 KUHAP merumuskan sebagai berikut: 1) Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang. 2) a. Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan; b. Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.
12
3. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Pasal 153 ayat (4) KUHAP merumuskan: “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”. Pengecualian terhadap kesusilaan dan anak-anak alasannya karena kesusilaan dianggap masalah sangat pribadi sekali, sehingga tidak patut untuk mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka dimuka umum. Begitu juga dengan anak-anak, melakukan kejahatan karena kenakalan. Sifat terbuka di sidang pengadilan dimaksudkan agar khalayak umum dapat mengikuti dan mengawasi jalannya pemeriksaan pengadilan, bukan dalam arti masuknya orang-orang dalam ruang pengadilan. Bisa saja terjadi, seseorang yang ingin mendengarkan pemeriksaan ditolak untuk masuk ruang sidang yang luasnya terbatas, akan tetapi dapat dipersilahkan mengikuti melalui alat pengeras suara yang dipasang di halaman gedung. Kejadian demikian tidak bertentangan dengan Asas Terbuka Untuk Umum walaupun sidang tertutup untuk umum, seperti halnya dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak, sebagaimana yang diatur dalam
13
Pasal 153 ayat (3) KUHAP, namun keputusan hakim tetap dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.15 Selain itu, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 18 dan Pasal 195 KUHAP dengan tegas menyatakan: “Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Berkaitan dengan peradilan terbuka untuk umum, maka tentunya bagi yang mengikuti persidangan selayaknya memperhatikan tata tertib persidangan yang antara lain dalam Pasal 217 sampai dengan Pasal 219 KUHAP merumuskan: Pasal 217 KUHAP 1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib persidangan. 2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihata tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat. Pasal 218 KUHAP 1) Dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan. 2) Siapapun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak mentaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang. 3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat sutau tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.
15
Bambang Poernomo, op. cit., hlm 71.
14
Pasal 218 KUHAP menjelaskan: “Tugas pengadilan luhur sifatnya, oleh karena tidak hanya bertanggungjawab kepada hukum, sesama manusia dan dirinya tetapi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya, setiap orang wajib menghormati martabat lembaga ini, khususnya bagi mereka yang berada di ruang sidang sewaktu persidangan sedang berlangsung bersikap hormat secara wajar dan sopan, serta tingkah laku yang tidak menyebabkan kegaduhan atau terhalangya persidangan”. Pasal 219 KUHAP juga mengatur: 1) Siapapun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu. 2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas dan jabatannya dapat mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seorang di ruang sidang tidak membawa senjata, bahan atau alat maupun benda sebagaimana dalam ayat (1), dan apabila terdapat, maka petugas mempersilahkan yang bersangkutan untuk menitipkannya. 3) Apabila yang bersangkutan bermaksud meninggalkan ruang sidang, maka petugas wajib menyerahkan kembali benda titipannya. 4) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan untuk dilakukan penuntutan bila ternyata bahwa penguasaan atas benda tersebut bersifat suatu tindak pidana. Pasal lain yang mengatur tentang tata tertib persidangan adalah Pasal 232 KUHAP yang merumuskan: 1) Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum, pengunjung yang sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing dalam ruang sidang. 2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri untuk menghormat. 3) Selama sidang berlangsung setiap orang yang keluar masuk ruang sudang diwajibkan memberi hormat.
15
4. Asas Oportunitas Dalam hukum acara pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa (Pasal 1 angka 6 butir a dan b serta Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP). Pasal 1 angka 6 butir a dan b KUHAP merumuskan: a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP merumuskan: Pasal 137 KUHAP Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapu yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Pasal 138 KUHAP 1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. 2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Pasal 139 KUHAP Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan
16
apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Pasal 140 KUHAP 1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. 2) a.Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan pada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan. c.Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Pasal 141 KUHAP Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Pasal 142 KUHAP Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masingmasing terdakwa secara terpisah. Pasal 143 KUHAP 1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
17
2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. 3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. 4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikam kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. Pasal 144 KUHAP 1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. 2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. 3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut “dominus litis” ditangan penuntut umum atau jaksa. Dominus dari bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum. Asas Oportunitas adalah hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk tidak menuntut ke pengadilan atas seseorang. Pengertian oportunitas menurut beberapa pendapat ahli, yakni sebagai berikut:
18
Menurut Ramelan16 dalam bukunya menyatakan bahwa: “Asas oportunitas adalah penuntut umum tidak wajib menuntut sesorang yang melakukan perbuatan pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum”. Menurut A.Z. Abidin Farid17 dalam bukunya menyatakan: “Asas oportunitas adalah asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”. Pasal 32 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 jo UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Rumusan Pasal 32 huruf c tersebut adalah sebagai berikut: “Jaksa Agung dapat mengesampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”. 5. Semua Orang Diperlakukan Sama (Equality Before The Law) Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat (1) yang merumuskan: “Pengadilan mengadili menurut membeda-bedakan orang”.
hukum
dengan
tidak
Terdapat pula dalam penjelasan umum butir 3 huruf a KUHAP dimana perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Asas ini dimaksudkan untuk memberi jaminan keadilan bagi setiap orang dan untuk memperoleh 16
Ramelan, 2006, Hukum Acara Teori dan Implementasi, Jakarta: Sumber Ilmu Jaya,
hlm. 10. 17
A.Z. Abidin Farid, 1981, Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia, Ujung Pandang:UNHAS, hlm 12.
19
kepastian hukum dengan tidak melihat latar belakang orang tersebut. Pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum dengan tidak melihat latar belakang orang tersebut karena hak asasi manusia harus dijunjung tinggi dan dilindungi. Persamaan dihadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan di depan hukum bagi semua orang harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang.18 6. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Dasar hukum asas ini terdapat pada Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”. Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP mengatur tentang bantuan hukum tersebut dimana tersangka atau terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut:19 1) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan; 2) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan 3) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu
18 19
Andi Hamzah, op. cit., hlm 22 Ibid, hlm. 23.
20
4) Pembicaraan antar penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara; 5) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan; 6) Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa. Tersangka atau terdakwa diberi kebebasan dalam hal bantuan hukum, sebagai dasar perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa sebagai manusia. Asas ini bersifat universal telah diakui semua negara yang mengklaim dirinya sebagai negara yang demokratis dan beradab, sebagaimana diatur dalam The International Convention Civil and Political Rights article 14 sub 3d telah memberikan jaminan kepada tersangka atau terdakwa. 7. Asas Akusator dan Inkusitor Asas Akusator, yakni kedudukan tersangka sebagai subjek dan menitikberatkan pada pembuktian. Asas ini menempatkan kedudukan terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, sehingga terdakwa atau yang diperiksa mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil. Asas Inkusitor adalah
menempatkan
kedudukan
tersangka
sebagai
objek
dan
menitikberatkan pada pengakuan. Asas ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting, sehingga dalam pemeriksaan selalu pemeriksa berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Terkadang untuk mencapai maksud tersebut pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan.
21
Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah mencapai ketentuan universal, maka asas inkusitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem pembuktian yang alat-alat buktinya berupa pengakuan digantikan dengan “keterangan terdakwa”, begitu pula penambahan alat bukti berupa keterangan ahli.20 8. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Asas ini bukan merupakan hal baru dengan lahirnya KUHAP, karena dalam HIR asas ini sudah tersirat dengan kata-kata yang lebih konkrit daripada dipakai di dalam KUHAP. Setiap orang menginginkan peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan tanpa adanya proses yang terlalu berbelit-belit. Asas ini mempunyai tujuan menghindari penahanan yang lama sebelum ada putusan hakim dan merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar. Berdasarkan KUHAP, dalam penjelasan butir 3 huruf e dirumuskan: “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan”. Proses perkara yang dilaksanakan dengan cepat, diartikan mempercepat tahap-tahap yang bersifat prosedural, agar tercapai efisiensi kerja dengan waktu yang singkat. Peradilan cepat bertujuan untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan pengadilan. Proses perkara pidana yang sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif serta
20
Ibid, hlm 25
22
peneyelenggaraan administrasi peradilan dilakukan secara terpadu dan dapat dimengerti oleh pihak-pihakyang berperkara. Proses perkara pidana dengan biaya ringan dalam artian biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Hal ini untuk menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya yang berkepentingan atau masyarakat yang tidak sebanding karena biaya yang dikeluarkan lebih besar tetapi hasil yang diharapkan lebih kecil.21 Penjelasan tersebut dijabarkan dalam pasal-pasal yang ada dalam KUHAP, seperti mengenai masa tahanan, misalnya Pasal 24 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (4), dan Pasal 102 ayat (4) KUHAP. Pada umumnya pasal-pasal tersebut memuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti yang tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum, dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini memberi rambu-rambu terhadap penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk mempercepat penyelesaian perkara tersebut. Pada Pasal 50 KUHAP yang mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa juga terdapat kata “segera” sebagai tanda untuk mempercepat proses penyidikan. Kata tersebut terdapat dalam ayat (1), (2), dan (3) yaitu: 1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. 2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. 3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan. 21
Bambang Poernomo, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Ghalia Indonesia, hlm
65-66.
23
Pada Pasal 102 ayat (1) KUHAP merumuskan: “Penyelidik yang mengetahui, menerima laopran atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”. Pasal tersebut juga terdapat kata “segera” yang merupakan perintah untuk segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Pasal 140 ayat (1) yang merumuskan: “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan”. Pasal tersebut nemerintahkan kepada penuntut umum untuk secepatnya membuat syarat dakwaan apabila hasil penyidikannya telah lengkap. Pada pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa dalam KUHAP terdapat asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang menghendaki adanya suatu perdailan yang efisien dan efektif untuk mempermudah masyarakat mendapatkan kepastian hukum. D. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian
merupakan
proses
yang
harus
dilalui
guna
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, melalui alatalat bukti setiap peristiwa pidana yang telah terjadi dapat diungkap. Pembuktian memegang peran yang sangat penting dalam pemeriksaan pengadilan. Berikut adalah pengertian pembuktian menurut beberapa ahli.
24
Menurut M. Yahya Harahap22, memberikan penjelasan mengenai pembuktian sebagai berikut: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.” Menurut Bambang Poernomo23 dalam bukunya menjelaskan tentang pengertian hukum pembuktian sebagai berikut: “Hukum Pembuktian adalah keseluruhan aturan atau hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku, untuk kepentingan peradilan dalam hukum yang berlaku, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Kegiatan pembuktian diharapkan memperoleh kebenaran secara hukum, karena kebenaran mutlak sukar ditemukan. Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun dan didapatkan dari jejakan, kesan, dan refleksi dari keadaan dan/atau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan, berkaitan dengan masa lalu yang diduga menjadi tindak pidana”. Alfitra24 menjelaskan tentang hukum pembuktian, yaitu sebagai berikut: “Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat-bukti yang sah, dan dilakukan tindakantindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis dipersidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian”. 22
M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 273. Bambang Poernomo, op. cit., hlm. 52. 24 Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia, Jakarta:Raih Asa Sukses, hlm. 21. 23
25
Eddy O. S. Hiariej25 mendefinisikan hukum pembuktian pidana sebagai berikut: “Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian dalam perkara pidana”. Pembuktian sebagai proses yang harus dilalui guna menjadikan terang suatu perkara dan menemukan fakta-fakta yang sebenarnya agar dapat diperoleh kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum. Pembuktian memegang peran yang sangat penting dalam proses persidangan. Pada pembuktian tersebut juga diatur mengenai syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian. 2. Sistem Pembuktian Sistem pembuktian menurut Alfitra26 adalah: “Pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya di depan sidang pengadilan”. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Hal ini yang akan menentukan apakah terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan hakim bersalah atau tidak.
25 26
Eddy O. S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta:Erlangga, hlm. 5. Alfitra, op. cit., hlm. 28.
26
Sistem Pembuktian di dalam KUHAP terdapat empat macam, yaitu: a.
Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction in Time) Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Selain itu, dapat pula hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Kelemahan dari sistem ini, yakni hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim dapat leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Menurut sistem pembuktian ini, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun keyakinan kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim.
27
Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. b.
Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan Logis (La Conviction Raisonnee/Convictim Raisonee) Sistem pembuktian ini muncul sebagai jalan tengah, yakni sistem
pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (la conviction raisonne). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktan disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan pada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).27 Sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas, maka pada sistem conviction
27
Andi Hamzah, op. cit., hlm. 253.
28
raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem convinction raisonee harus dilandasi reasonning atau alasan-alasan, dan harus reasonable, yakni berdasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Bukan semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.28 c.
Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Positif (Positive Wettelijk) Pembuktian sistem ini bertolak belakang dengan pembuktian
berdasar keyakinan hakim melulu, dimana keyakinan hakim tidak punya andil untul membuktikan kesalahan terdakwa tetapi hanya menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem ini menganut pembuktian menurut undang-undang secara positif, menggunakan alat-alat bukti yang dianut oleh undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positive wettelijk bewijstheori). Dikatakan secara positif karena didasarkan kepada undangundang melulu. Artinya, jika terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alatalat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formale bewijstheori).29
28 29
M. Yahya Harahap, op. cit., hlm 277-278. Andi Hamzah, op. cit., hlm. 251.
29
Menurut Simmons30 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, menjelaskan bahwa “Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positive wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.” Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Asal sudah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Hakim seolah-olah “robot pelaksana” undang-undang yang tak memiliki hati nurani.31 Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinan sejak semula pemeriksaan perkara. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. 32
30
Ibid. M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 278. 32 Ibid. 31
30
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”. Hal ini dimaksudkan bahwa penjatuhan hukuman terhadap seseorang, sematamata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang. Hal ini berlandaskan asas “seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”.33 d.
Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Negatif (Negative Wettelijk) Sistem ini merupakan perpaduan antara sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau convinction-in time.34 Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Pasal 183 KUHAP tersebut secara nyata menunjukkan bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Hal tersebut
33 34
Ibid. Ibid.
31
dapat dikatakan sama saja dengan ketentuan yang tersebut pada Pasal 294 ayat (1) HIR yang merumuskan sebagai berikut: “Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu”. Sebenarnya sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan sebagai berikut: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undangundang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Menurut pendapat D. Simmons35 mengenai sistem ini, sebagai berikut: “Pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada undang-undang.” Pasal 185 ayat (2) KUHAP merumuskan: “Keterangan saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya. Asas ini dikenal dengan istilah satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)”. Asas Negative Wetelijk tercermin pula secara nyata pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP, bahwa berdasarkan “pengakuan salah yang diucapkan terdakwa”, hakim tidak boleh menghukum terdakwa. “Pengakuan salah yang diucapkan terdakwa” tanpa alat bukti lain, merupakan alat 35
Andi Hamzah, op .cit., hlm 256.
32
pembuktian yang tidak mengkap. Untuk lebih jelasnya terdapat pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”. 3. Bentuk-Bentuk Alat Bukti Menurut Pasal 183 KUHAP bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Ketentuan pasal ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Kebenaran tersebut harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah beserta keyakinan hakim, karena apabila tidak cukup bukti maka tidak dapat dipidana. Bentuk-bentuk alat bukti yang sah terdapat dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: a. b. c. d. e.
Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa.
1) Keterangan Saksi Keterangan
saksi
adalah
alat
bukti
yang
pertama
disebutkan, mengingat sangat dibutuhkannya keterangan saksi untuk mengungkap setiap perkara yang terjadi. Pentingnya saksi
33
untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam KUHAP Pasal 1 angka 26 bahwa: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 butir 27 KUHAP, yaitu: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.36 Berikut adalah beberapa syarat agar keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, yaitu sebagai berikut: a)
Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Sesuai dengan rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP berikut: “Sebelum memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut cara agamanya masing-masing, lafal
36
M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 286.
34
sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya”. Sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan dan dilakukan menurut cara agamanya masing-masing. Menurut Pasal 171 KUHAP terdapat pengecualian siapa saja yang dapat memberikan keterangan tanpa disumpah, yaitu: Yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah ialah: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadangkadang ingatannya kembali. Ketentuan dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP mengharuskan saksi disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan, akan tetapi terdapat pengecualian yaitu sesuai dengan Pasal 171 KUHAP bahwa anak yang umurnya belum cukup limabelas tahun dan belum pernah kawin dapat memberi keterangan tanpa sumpah. b)
Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat
bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, yaitu: “Apa yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri, dan saksi alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
35
c)
Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan Keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti,
apabila dinyatakan di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang merumuskan: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Apabila keterangan saksi tersebut dinyatakan di luar persidangan, maka bukan merupakan suatu alat bukti. Keterangan tersebut sesuai dengan Pasal 1 butir 26 KUHAP sebagai berikut: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterngan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tetang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Keterangan saksi harus “dinyatakan” di sidang pengadilan agar mempunyai nilai sebagai alat bukti, sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang merumuskan: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. d)
Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup Agar keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan
kesalahan terdakwa haru dipenuhi paling sedikit atau sekurangkurangnya dengan dua alat bukti. Oleh karena itu, keterangan seorang saksi saja barulah bernilai sebagai satu alat bukti saja dan harus dicukupi dengan alat bukti yang lainnya. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi
36
saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau unus testis nullus testis. 2) Keterangan Ahli Sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang pengertian ahli dijelaskan dalam KUHAP. Pasal 1 angka (28) KUHAP merumuskan: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Pasal 186 KUHAP merumuskan: “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di depan sidang pengadilan”. Menurut M. Yahya Harahap37, apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah: a) Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai “keahlian khusus” tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa; b) Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan, yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang. Patut diperhatikan bahwa KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli”
37
Ibid, hlm. 288.
37
(Pasal 186 KUHAP) dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c KUHAP).38 3) Alat Bukti Surat Pasal 187 KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dilakukan dengan sumpah terdiri dari empat ayat sebagai berikut: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembutian yang lain. Surat resmi yang dimaksud oleh Pasal 187 huruf c KUHAP adalah sama dengan yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP. Jika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, alat bukti surat dapat berupa keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan tersebut mencakup
38
Ibid, hlm. 274.
38
didalamnya visum et repertum, yang sebenarnya telah ditentukan sebagai alat bukti yang sah dalam Staatblat 1937-350.39 4) Petunjuk Penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim dalam praktik hendaknya digunakan dengan hati-hati karena sangat dekat dengan sifat kewenangan yang dominan dalam penilaian yang bersifat subjektif sekali. Oleh karena itu, hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk harus penuh kearifan dan bijaksana dan berdasarkan hati nurani.40 Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut: “Petunjuk adalah perbuatan kejadian dan keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. M. Yahya Harahap41 memberikan pengertian dengan menambah beberapa kata mengenai petunjuk, yaitu: “Petunjuk ialah suatu „isyarat‟ yang dapat „ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan‟ dimana isyarat tadi mempunyai „persesuaian‟ antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuain tersebut „melahirkan‟ atau „mewujudkan‟ suatu petunjuk yang „membentuk kenyataan‟ terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya”.
39
Alfitra, op. cit., hlm. 89. Ibid, hlm. 102. 41 M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 313. 40
39
Pasal 188 ayat (2) KUHAP memberi batasan bahwa alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Pasal 188 ayat (3) KUHAP merumuskan: “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”. Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sama dengan alat bukti yang
lain.
KUHAP
tidak
diatur
tentang
nilai
kekuatan
pembuktiannya, maka dengan demikian nilai kekuatan pembuktian petunjuk adalah bebas. Hakim tidak terikat kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Alat bukti petunjuk tidak berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, namun tetap terikat pada prinsip minimum pembuktian.42 5) Keterangan Terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi. Hal ini dimaksudkan bahwa keterangan terdakwa merupakan keterangan
42
Muhammad Taufik Makarao dan Suharsil,op. cit., hlm. 130.
40
“pamungkas” untuk disesuaikan dengan alat-alat bukti lain yang sudah diperiksa sebelumnya43 Metode pemeriksaan terdakwa yang dianut KUHAP adalah secara akusator. Hal ini sejalan dengan pengakuan KUHAP terhadap hak asasi terdakwa sebagai seorang yang harus bersikap dan menempatkan terdakwa dalam kedudukan praduga tak bersalah dalam setiap pemeriksaan.44 Keterangan terdakwa dirumuskan dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yaitu: “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau yang terdakwa ketahui sendiri atau alami sendiri”. Keterangan terdakwa harus dinyatakan di persidangan agar dapat dinyatakan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa berisi pernyataan terdakwa tentang apa yang ia perbuat, apa yang ia lakukan, dan apa yang ia alami. Keterangan tersebut dalam suasana yang lebih bebas dari tekanan.45
E. Putusan Pengadilan 1. Pengertian Putusan Putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu
43
M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 318. Ibid, hlm. 319. 45 Alfitra, op. cit., hlm. 119. 44
41
yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengertian putusan terdapat dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP, yakni: “Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. 2. Bentuk-Bentuk Putusan Dari pengertian putusan di atas tersebut setiap putusan merupakan salah satu dari tiga kemungkinan, yakni sebagai berikut: a.
Putusan Bebas Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau
dinyatakan bebas dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Putusan pembebasan hanya didasarkan pada penilaian hakim bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah meyakinkan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak memenuhi asas pembuktian menurut undangundang secara negatif, atau kesalahan terdakwa yang didakwakan kepadanya tidak memenuhi ketentuan asas minimum pembuktian. Ketentuan Pasal 183 KUHAP, terkandung dua asas, yakni: 1) Asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yang mengajarkan prinsip hukum pembuktian, disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus pula dibarengi dengan keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa;
42
2) Asas batas minimum pembuktian, yang dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah. Bertitik tolak dari kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tersebut di atas, dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim sebagai berikut:46 1) Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk maupun keterangan terdakwa tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Oleh karena itu, perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, atau 2) Secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian, misalnya alat bukti yang diajukan di persidangan hanya tediri dari seorang saksi saja. Dalam hal seperti ini, disamping tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang mengatakan, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya atau dikenal dengan istilah unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi), atau 3) Putusan bebas tersbut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Penilaian yang demikian sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP yang menganut pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah, harus sekaligus didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun secara formil kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila nilai pembuktian yang cukup tersebut tidak didukung oleh keyakinan hakim, maka dalam penilaian yang seperti ini, putusan yang dijatuhkan pengadilan ialah membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum.
46
M. Yahya Harahap, op. cit., hlm 348.
43
Akan tetapi, sebenarnya apa yang diatur dalam Pasal 191 KUHAP dapat lagi diperluas dengan syarat-syarat putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum yang diatur dalam KUHP. KUHP Buku Kesatu, Bab III terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang halhal yang menghapuskan pemidanaan terhadap seorang terdakwa. Jika pada diri seorang terdakwa terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dalam pasal-pasal KUHP yang bersangkutan, maka hal-hal atau keadaan ini merupakan alasan yang membebaskan terdakwa dari pemidanaan, antara lain sebagai berikut: 1) Pasal 44 KUHP; apabila perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa “tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya” karena: a) Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gebrekkige ontwikkeling) atau mental disorder, sehingga akalnya tetap sebagai anak-anak, atau b) Jiwanya terganggu karena penyakit (ziekelyk storing), seperti sakit gila, histeria, epilepsi, melankolik, dan sebagainya. 2) Pasal 45 KUHP; perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang belum berumur 16 tahun. Terhadap pelaku tindak pidana yang belum cukup umurnya tersebut, hakim dapat menentukan: a) Memerintahkan supaya anak yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya “tanpa hukuman pidana”, atau
44
b) Memerintahkan supaya anak yang bersalah tersebut diserahkan kepada Pemerintah “tanpa pidana apapun”, jika perbuatan yang dilakukannya merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diatur dalam Pasal 489, 490, 492, 496,497, 503, dan seterusnya, sebagaimana yang dirinci pada pasal 45 KUHP. 3) Pasal 48 KUHP; orang yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan dalam keadaan “pengaruh daya paksa” (overmacht), baik bersifat daya paksa batin atau fisik. Orang yang melakukan perbuatan dalam keadaan pengaruh daya paksa, secara nyata dan objektif hal ini terbukti, maka menurut ketentuan Pasal 48 orang yang melakukan perbuatan tersebut “tidak” dijatuhi hukuman pidana. Hanya saja dalam keadaan yang seperti ini penilaian terhadap overmacht, harus sedemikian rupa keadaannya bahwa orang tersebut benar-benar berada dalam keadaan “impossibiltas”. Artinya, orang tersebut secara mutlak (absolut) dan objektif tidak mempunyai pilihan lain lagi selain daripada harus melakukan perbuatan tersebut. Ketidakmungkinan melakukan pilihan selain daripada perbuatan tersebut, bukan sematamata
ditinjau
dari
sudut
subjektif
pelaku.
Kelogisan
ketidakmungkinan itu harus dilihat dari kacamata objektif, sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan dalam kehidupan masyarakat. 4) Pasal 49 KUHP; orang yang terpaksa melakukan perbuatan pembelaan karena ada serangan atau ancaman seketika itu juga yang melawan hukum, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain,
45
terhadap kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain. Orang yang melakukan perbuatan pembelaan diri atau self defence maupun “pembelaan darurat” yang demikian “tidak dipidana”. Terdakwa harus “diputus bebas” asal sifat pembelaan itu sepadan dan benar-benar dalam keadaan impossibilitas. Artinya, pembelaan itu merupakan spontanitas karena tak mungkin lagi ada pilihan lain. 5) Pasal
50
KUHP;
orang
yang
melakukan
perbuatan
untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dapat dipidana, terdakwa harus diputus dengan putusan bebas. b.
Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasarkan pada
Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yakni sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Pada masa yang lalu, putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag va recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yakni putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasar kriteria:47 1) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan; 2) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.
47
Ibid, hlm. 352.
46
Pada bentuk putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah, baik dinilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi, perbuatan yang terbukti itu bukan merupakan tindak pidana. Perbuatan yang didakwakan dan telah terbukti itu, tidak diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana, tetapi mungkin termasuk ruang lingkup hukum perdata, hukum asuransi, atau hukum dagang. c.
Putusan Pemidanaan Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP.
Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Berdasarkan Pasal 193 ayat (1) yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa merupakan putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan. Oleh karena itu, apabila menurut pendapat dan penilaian hakim bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah
47
pelaku tindak pidananya. Hal ini sesuai dengan sistem pembuktian dan asas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP. Terdapat dua kemungkinan status penahanan terdakwa:48 1) Jika terdakwa tidak ditahan, berubah status “ditahan”. Pasal 193 ayat (2) a menerangkan bahwa pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan yang cukup untuk itu; 2) Jika terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan atau membebaskannya berdasarkan alasan yang cukup. Diterangkan dalam Pasal 193 ayat (2) b, yakni dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan yang cukup untuk itu. F. Tindak Pidana Pencabulan Sesama Jenis Kelamin Terhadap Anak 1. Pengertian Anak Pengertian anak menurut hukum positif Indonesia diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjarigheid atau inferioty) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige atau ondervoordij).49 Hukum positif Indonesia tidak mengatur secara baku mengenai pengertian anak karena tidfak ada unifikasi hukum dan yang berlaku universal. Pengertian anak tersebut terdapat dalam beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu:
48
Mohammad Taufik Makaro dan Suharsil, op. cit., hlm. 176. Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak di Indonesia; Teori, Praktek, dan Permasalahannya, Bandung:Mandar Maju, hlm 4. 49
48
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 47 ayat (1) merumuskan: “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga merumuskan: “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”. Menurut konsiderans Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, merumuskan sebagai berikut: “Anak adalah bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Dalam kedudukan demikian, anak memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang”. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 butir 1 merumuskan: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Anak merupakan generasi penerus berlangsungnya kehidupan manusia. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menerangkan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat martabat sebagai manusia seutuhnya. Berdasarkan undang-undang tersebut, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
49
yang masih dalam kandungan. Anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu menurut undang-undang telah mendapatkan suatu perlindungan hukum. 2. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Sesama Jenis Kelamin Terhadap Anak Istilah tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan Strafbaar Feit, tidak ada pengetian secara baku oleh undang-undang mengenai istilah tindak pidana tersebut. Pengertian istilah tindak pidana dapat diambil dari pendapat atau doktrin para ahli. Istilah lain dari tindak pidana adalah perbuatan pidana, peristiwa pidana, dan delik. Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “Strafbaar Feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai “tindak pidana” di dalam KUHP tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “Strafbaar Feit” tersebut.50 Menurut Pompe51 dalam bukunya Lamintang, yaitu: “Perkataan strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja yang telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Menurut Simmons52 merumuskan: “Perkataan strafbaar feit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja 50
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, hlm. 181. 51 Ibid, hlm. 182. 52 Ibid, hlm. 185.
50
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”. Menurut Moeljatno53 tentang perbuatan pidana adalah: “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut”. Unsur atau elemen perbuatan pidana menurut Moeljatno54 adalah: a. b. c. d. e.
Kelakuan dan akibat (perbuatan); Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; Unsur melawan hukum yang objektif; Unsur melawan hukum yang subjektif.
Berdasarkan pengertian di atas, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan pidana harus berdasarkan asas legalitas. Asas tersebut merupakan asas yang menjunjung tinggi hak asasi manusia bahwa setiap peraturan yang menganjurkan atau melarang kepada warga negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Asas legalitas terkandung dalam hukum pidana dan hukum acara pidana. Asas legalitas menurut hukum pidana menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada. Biasa dikenal dengan Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Legi Peonali. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP.55 Asas legalitas dalam hukum acara pidana menyatakan bahwa setiap perkara pidana harus diajukan ke depan hakim (persidangan di pengadilan). Ketentuan tersebut untuk mencegah tindakan-tindakan 53
Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Rineka Cipta, hlm. 59. Ibid, hlm 69. 55 Mohammad Taufik Makaro dan Suharsil, op. cit., hlm. 2 54
51
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, dan untuk melindungi setiap warga negara dari perbuatan sewenang-wenang. KUHAP konsideran huruf a merumuskan: “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusi serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjunga tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Tindak pidana pencabulan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Bab XIV Buku ke II, yakni dimulai dari Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP, yang selanjutnya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Sementara tindak pidana pencabulan terhadap anak yang diatur dalam KUHP diatur pada Pasal 290 KUHP, Pasal 292 KUHP, Pasal 293 KUHP, Pasal 294 KUHP, Pasal 295 KUHP serta pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 82. KUHP tidak memberikan definisi secara konkrit mengenai pengertian tindak pidana pencabulan sesama jenis kelamin terhadap anak. Tindak pidana tersebut diatur dalam Pasal 292 KUHP, yaitu: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan penjara paling lama limat tahun”. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab XII mengenai ketentuan pidana, dalam Pasal 82 Undang-
52
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut merumuskan bahwa perbuatan cabul adalah: “Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasa, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 dan paling sedikit Rp. 60.000.000”. Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:56 “Pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor atau keji sifatnya, tidak sesuai dengan adab sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzina, melakukan tindak pidana susila, mencabuli: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno, keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan, kesopanan)”. Perbuatan cabul selalu terkait dengan perbuatan tubuh atau bagian tubuh terutama pada bagian-bagian yang dapat merangsang nafsu seksual, misalnya alat kelamin, buah dada, mulut, dan sebagainya yang dipandang melanggar kesusilaan umum.57 Tindak pidana pencabulan termasuk kejahatan yang melanggar kesusilaan. Perbuatan cabul merupakan segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.58 Perbuatan cabul dan pelecehan seksual termasuk pelanggaran terhadap kesusilaan. Pelecehan seksual anak adalah suatu bentuk
56
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, hlm. 142. 57 Adami Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, hlm. 82. 58 Leden Marpaung, 2004, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Preverensinya, Jakarta:Sinar Grafika, hlm. 64.
53
penyiksaan anak di manaa orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kotak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak. Unsur objek kejahatan yang menurut Pasal 292 KUHP dapat ditujukan pada seorang laki-laki atau seorang perempuan. Kejahatan dalam Pasal 292 KUHP, mempunyai unsur-unsur:59 a.
b.
Unsur-unsur subyektif : Yang ia ketahui atau sepantasnya harus dapat ia duga (pro parte dolus proparte culpa). Unsur-unsur obyektif : 1. Seorang dewasa; 2. Melakukan tindakan melanggar kesusilaan; 3. Seorang anak belum dewasa dari jenis kelamin yang sama; 4. Kebelum-dewasaan. Dari kenyataan bahwa di dalam rumusan ketentuan pidana yang
diatur dalam Pasal 292 KUHP itu, undang-undang telah mensyaratkan dua macam unsur subjektif secara bersama-sama, masing-masing yakni unsur „yang ia ketahui‟ yang menunjukkan bahwa undang-undang mensyaratkan kaherusan adanya unsur „dolus‟ atau unsur „opzet‟ pada diri pelaku, dan unsur yang sepantasnya harus dapat ia duga yang menunjukkan bahwa 59
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Jakarta:Sinar Grafika, hlm. 153.
54
pada saat yang sama, undang-undang juga mensyaratkan keharusan unsur culpa atau unsur schuld pada diri pelaku, maka di dalam doktrin biasanya orang menyebut ketentuan pidana seperti yang diatur dalam Pasal 292 KUHP sebagai ketentuan pidana yang mempunyai unsur-unsur subjektif pro parte dolus dan pro parte culpa. Perbuatan cabul menurut Pasal 292 KUHP ini terjadi antara dua orang sesama kelamin, lelaki dengan lelaki atau perempuan dengan perempuan (sering disebut dengan lesbian). Walaupun terjadi antara dua orang sesama jenis kelamin, tetapi yang menjadi subjek hukum kejahatan (si pembuatnya) dan dibebani tanggungjawab pidana adalah siapa yang di antara dua orang itu yang telah dewasa, sedangkan yang lain haruslah belum dewasa. Oleh karena itu, tidak mungkin terjadi kejahatan menurut Pasal 292 KUHP ini bila dilakukan sesama jenis kelamin antara dua orang yang keduanya sudah dewasa, atau keduanya sama-sama belum dewasa. Pembebanan tanggungjawab pada pihak orang yang telah dewasa adalah wajar karena rasio dibentuknya kejahatan ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan umum.60
60
Adami Chazawi, op. cit., hlm. 89.
55
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Pendekatan perundang-undangan (Stetute Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah aturan hukum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pendekatan kasus (Case Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah kasus yang telah diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Ciamis. Menurut Johny Ibrahim61, dalam bukunya mengatakan bahwa: “Metode pendekatan yuridis normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dan sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri”. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian preskriptif. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.
61
Joni Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, 2010, Malang:Bayu Media Publishing, hlm. 295.
56
Menurut Peter Mahmud Marzuki62, bahwa: “Ilmu hukum mempunyai kerakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum”. C. Sumber Data Penelitian ini berguna untuk mendapatkan hasil yang objektif, yaitu dengan menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut berupa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), buku-buku literatur dan data-data lain yang relevan dengan objek penelitian serta Putusan Pengadilan Negeri Ciamis No. 367/Pid.B/2012/PN.Cms. D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kepustakaan, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, karya ilmiah sarjana dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti. E. Metode Pengolahan Data Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode reduksi, yaitu dengan cara memilih, merangkum, memfokuskan hal-hal yang pokok dan penting
62
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 2007, Surabaya:Kencana Perdana Media Group, hlm. 22.
57
dari sekumpulan bahan hukum, dengan disusun secara sistematis agar mudah dipahami. F. Metode Penyajian Data Metode penyajian data yang digunakan adalah dengan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dhubungkan satu dengan yang lainnya, disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. G. Metode Analisis Data Analisis terhadap bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat secara umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.63 Bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui pembuktian dalam tindak pidana pencabulan sesama jenis kelamin terhadap anak dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa pada Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms sesuai aturan hukum yang berlaku.
63
Ibid, hlm.393.
58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Dari hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut: 1. Duduk Perkara Awalnya pada hari Sabtu tanggal 24 Juni 2012 melalui jejaring sosial facebook terdakwa LRL lahir di Tangerang tanggal 7 September 1994 (umur 18 tahun), jenis kelamin perempuan, kewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal di Dsn. Cigadog RT. 01 / 02 Desa Padamikti Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, beragama Islam, bekerja sebagai pedagang, pendidikan SMP (Kelas III/Tidak Lulus) pertama kali kenal dengan saksi AYM dan posisi terdakwa pada saat itu berada di Jakarta dan saksi AYM berada di Banjar dengan cara mengirim pesan inbox ke facebook saksi AYM dan menanyakan apakah dirinya “belok” dan dijawab oleh saksi AYM “ya” (belok adalah istilah untuk lesbian dan yang tahu istilah tersebut adalah para kaum lesbian) Terdakwa kemudian meminta nomor handphone saksi AYM, sehingga sering menghubungi melalui handphone lewat SMS atau telepon langsung ke saksi AYM serta yang
dibicarakan
terdakwa
adalah
saling
curhat
dan
pedekate
(pendekatan), setelah merasa dekat kemudian jadian (pacaran) dengan saksi AYM dan kemudian sering melakukan phonesex.
59
Pada hari Kamis tanggal 28 Juni 2012 terdakwa resmi jadian (pacaran) dengan saksi AYM selanjutnya terdakwa datang ke Banjar dari Jakarta pada hari Senin tanggal 2 Juli 2012 dengan naik bus dan turun di terminal Tasikmalaya kemudian terdakwa naik bus lagi jurusan Pangandaran dan turun di terminal Banjar, sesampainya di terminal Banjar terdakwa dijemput oleh saksi AYM yang sebelumnya sudah janjian terdakwa bertemu dengan saksi AYM di terminal Banjar, selanjutnya sekitar pukul 15.30 WIB, terdakwa dan saksi AYM makan dan mencari rumah kost di dekat rumah saksi AYM karena terdakwa rencana akan tinggal di Banjar selama sekitar 1 (satu) minggu. Pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2012 sekitar pukul 15.30 WIB, terdakwa bersama saksi AYM berangkat dari Banjar menuju Jakarta dengan naik bus dan terdakwa tidak meminta izin kepada orang tua saksi AYM selama kurang lebih 3 (tiga) bulan atau sampai terdakwa ditangkap oleh Petugas Kepolisian dan selama 3 (tiga) bulan tersebut terdakwa bersama saksi AYM telah mengunjungi beberapa tempat, yaitu daerah Jakarta kemudian ke Cikarang (Bekasi), Cikalong (Purwakarta), Garut, dan terakhir ke Bandung. Pada saat terdakwa bersama saksi AYM berada di Bandung, terdakwa berjualan sandal di alun-alun Kota Bandung dan saksi AYM bekerja sebagai PL (Pemandu Lagu) di tempat karaoke dan terdakwa tinggal di rumah kost di daerah Cihampelas Kota Bandung bersama saksi
60
AYM sejak tanggal 17 September 2012 sampai dengan tanggal 4 Oktober 2012. Pada hari Selasa tanggal 2 Oktober 2012 dan hari Rabu 3 Oktober 2012 malam hari terdakwa melakukan hubungan seksual dengan saksi AYM dengan diawali saling berciuman kemudian saling meraba ke daerah payudara juga ke bagian alat kelamin (vagina). Kemudian terdakwa dan saksi AYM saling memasukkan jari tengah ke vagina, yaitu terdakwa memasukkan jari tengahnya ke dalam vagina saksi AYM dan jari tengah saksi AYM dimasukkan ke vagina terdakwa, selanjutnya jari terdakwa digetarkan sampai saksi AYM merasa puas juga sebaliknya jari tangan saksi AYM digetarkan di dalam vagina terdakwa sampai merasa puas dan orgasme. Terdakwa dan saksi AYM dalam melakukan hubungan seksual terkadang membuka pakaian sampai telanjang bulat tetapi terkadang juga hanya buka celana dalam sedangkan baju tetap dipakai. 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan Jaksa Penuntut Umum disusun secara Alternatif, yaitu KESATU melanggar Pasal 292 KUHP atau KEDUA melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP yang secara rinci sebagai berikut: KESATU : Bahwa ia terdakwa LRL pada hari Selasa tanggal 2 dan hari Rabu tanggal 3 Oktober 2012 pada malam hari, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Oktober 2012, bertempat di rumah kost di daerah Cihampelas Kota Bandung, atau setidak-tidaknya di tempat lain yang
61
masih termasuk dalam kewenangan mengadili Pengadilan Negeri Bandung yang berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP : Pengadilan Negeri Ciamis yang berwenang mengadili yang di dalam daerah hukumnya terdakwa ditahan, tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat pengadilan negeri di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan, yang melakukan perbuatan
cabul
dengan
orang
lain
sesama
kelamin,
yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa yaitu saksi AYM, lahir di Ciamis tanggal 16 Agustus 1995 (umur 17 tahun), jenis kelamin Perempuan. Perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara-cara, sebagai berikut: a.
Awalnya pada hari Sabtu tanggal 24 Juni 2012 melalui jejaring sosial facebook terdakwa pertama kali kenal dengan saksi AYM dan posisi terdakwa pada saat itu berada di Jakarta dan saksi AYM berada di Banjar dengan cara mengirim pesan inbox ke facebook saksi AYM dan menanyakan apakah dirinya “belok” dan dijawab oleh saksi AYM “ya” (belok adalah istilah untuk lesbian dan yang tahu istilah tersebut adalah para kaum lesbian) Terdakwa kemudian meminta nomor handphone saksi AYM, sehingga sering menghubungi melalui handphone lewat SMS atau telepon langsung ke saksi AYM serta yang dibicarakan terdakwa adalah saling curhat dan pedekate (pendekatan), setelah merasa dekat kemudian jadian (pacaran) dengan saksi AYM dan kemudian sering melakukan phonesex;
62
b.
Pada hari Kamis tanggal 28 Juni 2012 terdakwa resmi jadian (pacaran) dengan saksi AYM selanjutnya tedakwa datang ke Banjar dari Jakarta pada hari Senin tanggal 2 Juli 2012 dengan naik bus dan turun di terminal Tasikmalaya kemudian terdakwa naik bus lagi jurusan Pangandaran dan turun di terminal Banjar, sesampainya di terminal Banjar terdakwa dijemput oleh saksi AYM yang sebelumnya sudah janjian terdakwa bertemu dengan saksi AYM di terminal Banjar, selanjutnya sekitar pukul 15.30 WIB, terdakwa dan saksi AYM makan dan mencari rumah kost di dekat rumah saksi AYM karena terdakwa rencana akan tinggal di Banjar selama sekitar 1 (satu) minggu;
c.
Pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2012 sekitar pukul 15.30 WIB, terdakwa bersama saksi AYM berangkat dari Banjar menuju Jakarta dengan naik bus dan terdakwa tidak meminta izin kepada orang tua saksi AYM selama kurang lebih 3 (tiga) bulan atau sampai terdakwa ditangkap oleh Petugas Kepolisian dan selama 3 (tiga) bulan tersebut terdakwa bersama saksi AYM telah mengunjungi beberapa tempat, yaitu daerah Jakarta kemudian ke Cikarang (Bekasi), Cikalong (Purwakarta), Garut, dan terakhir ke Bandung;
d.
Pada saat terdakwa bersama saksi AYM berada di Bandung, terdakwa berjualan sandal di alun-alun Kota Bandung dan saksi AYM bekerja sebagai PL (Pemandu Lagu) di tempat karaoke dan terdakwa tinggal di rumah kost di daerah Cihampelas Kota Bandung bersama saksi
63
AYM sejak tanggal 17 September 2012 sampai dengan tanggal 4 Oktober 2012; e.
Pada hari Selasa tanggal 2 Oktober 2012 dan hari Rabu 3 Oktober 2012 malam hari terdakwa melakukan hubungan seksual dengan saksi AYM dengan diawali saling berciuman kemudian saling meraba ke daerah payudara juga ke bagian alat kelamin (vagina). Kemudian terdakwa dan saksi AYM saling memasukkan jari tengah ke vagina, yaitu terdakwa memasukkan jari tengahnya ke dalam vagina saksi AYM dan jari tengah saksi AYM dimasukkan ke vagina terdakwa, selanjutnya jari terdakwa digetarkan sampai saksi AYM merasa puas juga sebaliknya jari tangan saksi AYM digetarkan di dalam vagina terdakwa sampai merasa puas dan orgasme. Terdakwa dan saksi AYM dalam melakukan hubungan seksual terkadang membuka pakaian sampai telanjang bulat tetapi terkadang juga hanya buka celana dalam sedangkan baju tetap dipakai. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pada
Pasal 292 KUHPidana. ATAU KEDUA : Bahwa ia terdakwa LRL pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2012 sekitar pukul 15.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu pada bulan Juli 2012, bertempat di terminal Kota Banjar atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih termasuk dalam kewenangan mengadili
64
Pengadilan Negeri Ciamis, membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan yaitu saksi AYM, lahir di Ciamis pada tanggal 16 Agustus 1995 (umur 17 tahun) anak kandung dari saksi ELP dan saksi AS. Perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: a.
Awalnya pada hari Sabtu tanggal 24 Juni 2012 melalui jejaring sosial facebook terdakwa pertama kali kenal dengan saksi AYM dan posisi terdakwa pada saat itu berada di Jakarta dan saksi AYM berada di Banjar dengan cara mengirim pesan inbox ke facebook saksi AYM dan menanyakan apakah dirinya “belok” dan dijawab oleh saksi AYM “ya” (belok adalah istilah untuk lesbian dan yang tahu istilah tersebut adalah para kaum lesbian) Terdakwa kemudian meminta nomor handphone saksi AYM, sehingga sering menghubungi melalui handphone lewat SMS atau telepon langsung ke saksi AYM serta yang dibicarakan terdakwa adalah saling curhat dan pedekate (pendekatan), setelah merasa dekat kemudian jadian (pacaran) dengan saksi AYM dan kemudian sering melakukan phonesex;
b.
Pada hari Kamis tanggal 28 Juni 2012 terdakwa resmi jadian (pacaran) dengan saksi AYM selanjutnya tedakwa datang ke Banjar dari Jakarta pada hari Senin tanggal 2 Juli 2012 dengan naik bus dan turun di terminal Tasikmalaya kemudian terdakwa naik bus lagi jurusan
65
Pangandaran dan turun di terminal Banjar, sesampainya di terminal Banjar terdakwa dijemput oleh saksi AYM yang sebelumnya sudah janjian terdakwa bertemu dengan saksi AYM di terminal Banjar, selanjutnya sekitar pukul 15.30 WIB, terdakwa dan saksi AYM makan dan mencari rumah kost di dekat rumah saksi AYM karena terdakwa rencana akan tinggal di Banjar selama sekitar 1 (satu) minggu; c.
Pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2012 sekitar pukul 15.30 WIB, terdakwa bersama saksi AYM berangkat dari Banjar menuju Jakarta dengan naik bus dan terdakwa tidak meminta izin kepada orang tua saksi AYM selama kurang lebih 3 (tiga) bulan atau sampai terdakwa ditangkap oleh Petugas Kepolisian dan selama 3 (tiga) bulan tersebut terdakwa bersama saksi AYM telah mengunjungi beberapa tempat, yaitu daerah Jakarta kemudian ke Cikarang (Bekasi), Cikalong (Purwakarta), Garut, dan terakhir ke Bandung;
d.
Pada saat terdakwa bersama saksi AYM berada di Bandung, terdakwa berjualan sandal di alun-alun Kota Bandung dan saksi AYM bekerja sebagai PL (Pemandu Lagu) di tempat karaoke dan terdakwa tinggal di rumah kost di daerah Cihampelas Kota Bandung bersama saksi AYM sejak tanggal 17 September 2012 sampai dengan tanggal 4 Oktober 2012;. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pada
Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
66
3. Pembuktian Alat bukti yang digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu: a.
Keterangan Saksi-Saksi Penuntut Umum dalam membuktikan dakwaannya mengajukan
saksi-saksi yang kesemuanya telah memberikan keterangan di bawah sumpah menurut Agama Islam, pada pokoknya sebagai berikut : 1) Saksi AYM Pada akhir bulan Juni 2012, saksi berkenalan dengan terdakwa melalui facebook. Awalnya terdakwa mengirim pesan dengan cara menyapa “hai” dan dijawab oleh saksi “hai juga”, sampai akhirnya terdakwa bertanya apakah saksi “belok” dan dijawab oleh saksi “ya”, yang dimaksud belok adalah istilah bagi wanita yang lesbian. Saksi tahu terdakwa juga lesbi karena dalam facebooknya ada tanda “Inez”nya. Saksi lesbi sejak SMP, namun orang tua saksi tidak mengetahuinya, yang mengetahui saksi belok (lesbi) hanyalah kakak saksi dan tante yang juga sama-sama belok (lesbi) seperti saksi. Saksi belum pernah berpacaran dengan laki-laki, tetapi dengan sesama jenis telah 10 kali berpacaran, sehingga terdakwa bukanlah pacar pertama saksi. Selanjutnya saksi dan terdakwa melanjutkan perkenalan dengan bertukar nomor handphone. Setelah mempunyai nomor
67
handphone masing-masing, saksi dan terdakwa saling menghubungi melalui SMS atau telepon langsung. Mulanya saksi tidak suka pada terdakwa karena saksi sudah memiliki pacar, namun setelah putus, saksi akhirnya berpacaran dengan terdakwa karena terdakwa terlihat menarik dan kuat tapi lembut. Pada hari Senin, tanggal 2 Juli 2012, yakni setelah 2 minggu berkenalan, sebagai orang yang sedang berpacaran, terdakwa datang ke Banjar agar lebih dekat dengan saksi. Sesampainya di Banjar, saksi menjemput terdakwa di terminal. Setelah bertemu dengan saksi, terdakwa mencari rumah kost yang dekat dengan rumah saksi karena awalnya terdakwa berencana tinggal di Banjar untuk 1 (satu) minggu. Selanjutnya saksi datang ke tempat kost terdakwa, izinnya kepada orang tua saksi ingin ke rumah teman. Namun saksi melakukan hubungan seks dengan terdakwa. Mula-mula saksi dan terdakwa saling berciuman lalu saling meraba buah dada, lalu meraba kemaluan dan akhirnya memasukkan jari tengah ke dalam vagina masingmasing lalu digetarkan sehingga terdakwa dan saksi masing-masing orgasme dan mengeluarkan cairan dari kemaluan masing-masing. Saat terdakwa dan saksi sedang jalan-jalan, saksi dan terdakwa kebetulan bertemu dengan mantan pacar saksi. Terdakwa tidak enak karena ia meludah di depan terdakwa, sehingga terdakwa memutuskan untuk pulang ke Jakarta esok harinya. Ketika Terdakwa mengatakan ingin pulang, maka saksi bilang ingin ikut, awalnya terdakwa menolak
68
tetapi akhirnya membawa saksi. Saksi ikut tanpa meminta izin dahulu kepada orang tua. Terdakwa juga tidak meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua saksi karena sudah tahu tidak akan diizinkan. Usia saksi pada saat pergi dengan terdakwa adalah 16 tahun lebih 11 bulan.. Sesuai rencana, saksi dan terdakwa ke Jakarta, namun segera pergi karena teman terdakwa tidak ada di rumah. Selanjutnya ke Cikarang Bekasi, namun juga tidak bertemu dengan teman terdakwa. Saksi dan terdakwa melanjutkan perjalanan ke Cikalong Purwakarta dan menetap selama 1 (satu) minggu di sana. Akhirnya saksi dan terdakwa ke Bandung lalu ke Garut, dan akhirnya kembali ke Bandung lalu tinggal di Cihampelas Bandung. Saksi ikut pergi bersama terdakwa selama 3 (tiga) bulan. Selama saksi besama dengan terdakwa, saksi sering melakukan hubungan seksual sesama jenis atas dasar suka sama suka. Saksi berhubungan seks dengan terdakwa terakhir kali pada tanggal 3 Oktober 2012 di tempat kost di Cihampelas Bandung. Selama di Bandung, saksi bekerja sebagai pemandu lagu di tempat karaoke sedangkan terdakwa ikut berjualan sandal di alun-alun Bandung untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada bulan Oktober 2012, saksi ditemukan orang tua saksi di daerah Cihampelas Bandung dan dibawa ke rumah, sedangkan terdakwa diamankan oleh petugas lalu dibawa ke Polresta Banjar untuk diperiksa lebih lanjut.
69
2) Saksi ELP Pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2012, sekitar pukul 16.00 WIB, ketika pulang dari Tasikmalaya saksi tidak melihat anaknya (saksi AYM) di rumahnya. Saksi bertanya kepada anak-anak yang lain, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Kemudian bersama suami (saksi AS), ia mencari saksi AYM ke teman-temannya hingga diketahui dari keterangan temannya melihat saksi AYM di Toko Batik Banjar berjalan bersama terdakwa. Namun, setelah ditunggu ternyata ia tidak kembali. Atas kejadian tersebut pada tanggal 5 Juli 2012, saksi melaporkan saksi AYM kepada yang berwajib karena pergi tanpa seizin saksi selaku orang tuanya. Sementara itu, pencarian terus dilakukan
baik
melalui
teman-temannya
maupun
melalui
facebook.. Pada tanggal 4 Oktober 2012, teman saksi AYM memberitahukan bahwa saksi AYM ada bersama terdakwa di daerah Bandung. Mendengar berita tersebut, saksi AS bersama saksi SB pergi ke Bandung. Kemudian pada tanggal 5 Oktober 2012, sekitar pukul 22.00 WIB, saksi AS datang bersama saksi AYM, sementara terdakwa diamankan ke Polres Banjar untuk diperiksa lebih lanjut. Setelah kembali ke Banjar, saksi mengetahui bahwa saksi AYM berteman dengan terdakwa karena mereka berteman di
70
facebook. Selain itu, saksi AYM juga menyatakan bahwa saksi AYM pergi bersama terdakwa tidak dipaksa tetapi atas keinginan sendiri. Saksi AYM sendiri tidak meminta izin kepada saksi karena takut tidak diizinkan dan memang tidak akan saksi izinkan untuk pergi karena saksi AYM masih bersekolah. Selama saksi AYM pergi dengan terdakwa, ia tidak pernah menghubungi saksi. Saksi tidak mengetahui bahwa saksi AYM adalah lesbi karena sepengetahuannya saksi AYM normal. Sekarang, untuk mengobati saksi AYM, saksi dan keluarga telah meminta bantuan Psikiater dari Bandung. Saksi juga tidak mengetahui bahwa sebelum berhubungan dengan terdakwa, saksi AYM pernah mempunyai kekasih sesama jenis. Atas kejadian tersebut, sekarang saksi AYM berhenti sekolah di SMA, tetapi kini mengikuti sekolah persamaan paket C. 3) Saksi AS Pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2012, sekitar pukul 16.00 WIB, ketika pulang dari Lapangan Bakti, saksi telah diberitahu oleh isterinya (saksi ELP) bahwa anak saksi (saksi AYM) tidak pulang ke rumah. Kemudian bersama saksi ELP, saksi mencari saksi AYM ke teman-temannya, hingga diketahui dari keterangan temannya bahwa ia melihat saksi AYM di Toko Batik Banjar berjalan bersama terdakwa. Namun, setelah ditunggu ternyata ia tidak kembali.
71
Atas kejadian tersebut pada tanggal 5 Juli 2012, saksi melaporkan saksi AYM kepada yang berwajib karena pergi dengan tanpa izin saksi selaku orang tuanya. Sementara itu pencarian terus dilakukan baik melalui teman-temannya maupun melalui facebook. Kemudian pada tanggal 4 Oktober 2012, teman saksi AYM memberitahukan bahwa saksi AYM ada bersama terdakwa di daerah Bandung. Mendengar berita tersebut, saksi bersama adik iparnya yang bernama SB pergi ke kost terdakwa di Bandung sesuai dengan yang ditunjukan, tetapi yang ditemukan hanya terdakwa saja. Setelah ditanya oleh saksi, terdakwa mengatakan bahwa saksi AYM sedang bekerja di sekitar daerah Cihampelas di tempat karaoke sebagai pemandu lagu dan sekitar pukul 16.00 WIB saksi AYM datang. Selanjutnya saksi langsung mengamankan terdakwa dan memberitahukan anggota Polres Banjar. Pada tanggal 5 Oktober 2012, sekitar pukul 22.00 WIB, saksi kembali pulang bersama saksi AYM, selanjutnya terdakwa diamankan ke Polres Banjar untuk diperiksa lebih lanjut. Ketika pergi bersama terdakwa saksi AYM baru berumur 17 tahun kelahiran 16 Agustus 1995. Saksi AYM tidak meminta izin kepada saksi ataupun saksi ELP dan berdasarkan keterangan saksi AYM, ia pergi atas keinginan sendiri tanpa paksaan dari terdakwa. Saat itu saksi AYM masih bersekolah tetapi ketika itu
72
sedang libur semester selama 2 (dua) minggu. Saksi AYM sekarang sudah dikeluarkan dari sekolahnya tetapi mengikuti sekolah terbuka, yaitu sekolah persamaan paket C. Atas kejadian tersebut, saksi memeriksakan saksi AYM ke Psikiater walaupun kadang-kadang saksi AYM tidak mau diperiksa. Saksi tidak mengetahui bahwa saksi AYM suka sesama perempuan karena selama ini saksi jarang di rumah dan saksi menganggap ia normal. Sementara itu, dalam lingkungan keluarga saksi, ada yang mengidap seperti anak saksi (lesbi), yaitu tantenya sehingga sekarangpun saksi melarang saksi AYM main dengannya. 4) Saksi SB Pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2012, sekitar pukul 22.00 WIB, saksi telah diberitahu oleh kakaknya (saksi AS) bahwa anaknya (saksi AYM) tidak pulang ke rumah. Kemudian saksi AS mencarinya tetapi tidak ditemukan lalu saksi ikut mencari dengan cara bertanya kepada teman-teman saksi AYM dan hasilnya nihil. Pada tanggal 4 Oktober 2012, saksi diberitahu oleh saksi AS, ia telah diberitahu teman saksi AYM bahwa ia ada di daerah Cihampelas Bandung bersama Terdakwa. Atas berita tersebut, saksi bersama saksi AS pergi ke Bandung, menuju tempat kost saksi AYM. Sesampainya di sana, saksi dan saksi AS hanya bertemu dengan terdakwa. Terdakwa menyatakan bahwa saksi AYM sedang bekerja, maka saksi dan
73
saksi AS menunggu di kost terdakwa. Ketika saksi AYM pulang kerja, saksi AYM saat itu juga langsung dibawa pulang ke Banjar. Selanjutnya terdakwa diamankan di Kantor Polisi Cihampelas. Setelah memberitahukan anggota Polres Banjar, maka Terdakwa dibawa ke Polres Banjar untuk diperiksa lebih lanjut. Berdasarkan keterangan saksi AS, ketika saksi AYM pergi bersama terdakwa tidak meminta izin kepada orang tuanya. Menurut keterangan saksi AYM yang saat itu baru berumur 17 tahun kelahiran 16 Agustus 1995, ia pergi atas keinginan sendiri tidak dipaksa oleh Terdakwa. Saksi juga tidak mengetahui keponakan saksi tersebut suka sesama perempuan karena tempat tinggal saksi jauh dengan tempat tinggal tinggal kakak saksi dan saksi menganggap ia normal. b. Keterangan Terdakwa Dipersidangan telah didengar pula keterangan terdakwa yang menerangkan sebagai berikut: Pada hari Sabtu tanggal 24 Juni 2012, terdakwa berkenalan dengan saksi AYM melalui facebook. Terdakwa mengirim pesan pertama melalui facebook dengan cara menyapa “Hai” dan dijawab oleh saksi AYM “Hai juga”, sampai akhirnya terdakwa bertanya apakah saksi AYM “belok” dan dijawab oleh saksi AYM “Ya”, yang dimaksud belok adalah istilah bagi wanita lesbian. Terdakwa mengetahui kode-kode tertentu dalam facebook karena diberitahu
74
sesama teman lesbi, misalnya kode untuk anggota lesbi adalah pakai “Inez”. Kemudian terdakwa dengan saksi AYM saling bertukar nomor handphone. Selanjutnya terdakwa sering menghubungi saksi AYM melalui SMS atau telepon langsung. Terdakwa dan saksi AYM sering berhubungan telepon dan melakukan phonesex. Setelah dekat, terdakwa dan saksi AYM kemudian jadian (pacaran). Pada saat awal terdakwa berhubungan dengan saksi AYM, terdakwa berada di Jakarta Barat sedangkan saksi AYM berada di Banjar. Pada hari Senin, tanggal 2 Juli 2012, terdakwa datang ke Banjar dengan maksud menemui saksi AYM sehingga saksi AYM menjemputnya di terminal Banjar. Setelah bertemu, saksi AYM dan terdakwa mencari rumah kost yang dekat dengan rumah saksi AYM karena ada rencana tinggal di Banjar selama 1 (satu) minggu. Keesokan harinya, terdakwa tidak kerasan tinggal di Banjar sebab ketika sedang berjalan-jalan dengan saksi AYM, ia bertemu dengan bekas (mantan) pacar saksi AYM dan mantannya itu meludah di depan terdakwa. Terdakwa mengetahui bahwa saksi AYM telah putus dengan pacarnya ketika terdakwa meminta dicarikan pacar, saksi AYM sendiri yang mengatakan kepada terdakwa melalui telepon bahwa dia telah putus dengan pacarnya, sehingga akhirnya terdakwa jadian (pacaran) dengan saksi AYM.
75
Sepengetahuan terdakwa, pacar saksi AYM tersebut adalah perempuan. Oleh sebab itu, terdakwa bermaksud pulang ke Jakarta. Saat itu saksi AYM juga ingin main, maka saksi AYM ikut dengan terdakwa tanpa izin dari kedua orang tuanya. Awalnya terdakwa ingin ke rumah saksi AYM untuk meminta izin tetapi oleh saksi AYM dilarang karena takut tidak diizinkan oleh orang tuanya. Setelah di terminal Banjar, Terdakwa menyuruh pulang saksi AYM tetapi saksi AYM tidak mau dan ingin ikut bersama terdakwa walau sebenarnya dalam hati terdakwa juga ada keinginan agar saksi AYM ikut dengan terdakwa. Ongkos bus dari Banjar ke Jakarta yang membayarnya adalah terdakwa dari uang hasil menjual handphone dan sisa kost. Sesampainya di Jakarta, terdakwa dan saksi AYM pergi ke rumah teman terdakwa tetapi tidak ada, lalu ke Cikarang Bekasi juga ke rumah teman terdakwa tetapi juga tidak ada, kemudian ke Cikalong Purwakarta. Di Cikalong, terdakwa dan saksi AYM sempat tinggal seminggu kemudian ke Bandung lalu ke Garut dan akhirnya ke Bandung lagi. Selama terdakwa berpindah-pindah tempat bersama saksi AYM, terdakwa pernah menyuruh saksi AYM untuk pulang tetapi saksi AYM tetap tidak ingin pulang. Lama terdakwa bersama saksi AYM sampai dengan diamankan oleh yang berwajib adalah selama 3 bulan dan 6 hari.
76
Selama itu pula, terdakwa tidak pernah menghubungi keluarga saksi AYM ataupun menyuruh saksi AYM untuk menghubungi keluarga dan saksi AYM sendiri tidak ada inisiatif untuk menghubungi keluarga. Selama berada di Bandung, terdakwa kost di daerah Sasak Gantung Cihampelas Bandung dan yang dilakukan terdakwa selama berada di Bandung bersama saksi AYM adalah main bersama teman-teman dan kerja berjualan sandal di alun-alun Bandung, sedangkan saksi AYM kerja sebagai pemandu lagu di Karaoke Tropicana atas keinginan sendiri. Selama bersama saksi AYM, yang terdakwa kerjakan layaknya suami istri dimana terdakwa berkedudukan sebagai suami sedangkan saksi AYM sebagai istrinya. Kebutuhan sehari-haripun ditanggung oleh terdakwa karena walaupun saksi AYM bekerja tetapi waktu itu belum digaji. Selain itu, dalam melakukan hubungan seks terdakwa sebagai laki-laki dan saksi AYM sebagai istri dan panggilan sehari-hari untuk terdakwa dipanggil “pipi” sedangkan untuk saksi AYM dipanggil “mimi”. Baik terdakwa atau saksi AYM dalam melakukan hubungan seks kadang-kadang sampai telanjang, kadang-kadang hanya dibuka sebagian saja atau yang tersisa baju saja sedangkan celana dibuka. Terdakwa dan saksi AYM dalam melakukan hubungan seks biasanya saling bercumbu dulu, lalu saling pegang buah dada dan akhirnya memasukkan jari tengah ke dalam vagina masing-
77
masing lalu digetarkan sampai akhirnya orgasme. Terdakwa melakukan hubungan seks dengan saksi AYM dalam satu malam tidak tentu, kadang-kadang satu kali atau dua kali tetapi ada juga yang dilakukan sebanyak tiga kali. Terakhir kali, terdakwa dengan saksi AYM melakukan hubungan seks pada tanggal 3 Oktober 2012, sehari sebelum diamankan oleh petugas. Sebelum terdakwa berhubungan dengan saksi AYM, saksi AYM pernah berhubungan sesama jenis dengan wanita yang lainnya dan terdakwa berhubungan dengan sesama jenis sejak terdakwa di SMP. Sepengetahuan terdakwa, ketika saksi AYM ikut, saksi AYM menyatakan bahwa dia sudah duduk di kelas III SMA dan berumur 17 tahun. Pada bulan Oktober 2012, saksi AYM ditemukan orang tuanya di daerah Cihampelas Bandung. Saksi AYM lalu dibawa ke Banjar, sedangkan terdakwa diamankan oleh petugas kemudian dibawa ke Polresta Banjar untuk diperiksa lebih lanjut. Atas kejadian ini terdakwa merasa menyesal dan bersalah. 4. Barang Bukti Barang bukti yang diajukan oleh Penuntut umum guna menguatkan dakwaannya berupa: a. 1 (satu) potong kaos tangan panjang warna abu-abu dengan motif kupu-kupu motif kupu-kupu pink, merk De‟Mode; b. 1 (satu) potong kerudung warna hijau muda dengan motif bunga;
78
c. 1 (satu) buah HP Sony Ericson K70i warna silver. 5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan: a. Menyatakan terdakwa LRL bersalah melakukan tindak pidana melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Surat Dakwaan Alternatif Kesatu Pasal 292 KUHPidana oleh Jaksa Penuntut Umum; b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa LRL berupa pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan; c. Menyatakan barang bukti berupa: a) 1 (satu) potong kaos tangan panjang warna abu-abu dengan motif kupu-kupu pink, merk De‟Mode; b) 1 (satu) potong kerudung warna hijau muda dengan motif bunga. Dikembalikan kepada yang berhak yaitu saksi AYM. c) 1 (satu) buah HP Sony Ericson K70i warna silver. Dikembalikan kepada yang berhak, yaitu terdakwa LRL. d. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
79
6. Putusan Pengadilan a.
Dasar Petimbangan Hakim Berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun secara
alternatif, maka Majelis Hakim langsung menunjuk pada dakwaan yang paling sesuai dikenakan terhadap terdakwa sebagaimana dalam fakta hukum di persidangan, yaitu dakwaan alternatif kesatu yang terdakwa didakwa melanggar Pasal 292 KUHPidana dengan unsur-unsur sebagai berikut: 1) Unsur “orang dewasa”; 2) Unsur “yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin”; 3) Unsur “yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa”. Berdasarkan
unsur-unsur
tersebut,
Majelis
Hakim
mempertimbangkan sebagai berikut: Ad.1. Unsur “orang dewasa” Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “orang dewasa“ adalah semua
orang
yang
sudah
dewasa
yang
tunduk
dan
dapat
dipertanggungjawabkan sebagai subyek hukum pidana serta mampu bertanggungjawab, artinya dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum dan salah satu subyek yang dianggap sebagai subyek hukum menurut peraturan hukum yang berlaku adalah manusia. Oleh karena setiap peraturan perundang-undangan dibuat oleh dan untuk mengatur
80
hidup dan kehidupan manusia serta pada dasarnya ditujukan pada manusia yang dianggap sebagai subyek hukum pelaku tindak pidananya; Menimbang, bahwa di dalam KUHPidana tidak ada satu pasalpun yang mengatur dan menunjukkan batas dewasa, akan tetapi di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak mengatur anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin juga di dalam ketentuan Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pada intinya mengatur anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang
tuanya,sehingga
berdasarkan
penafsiran
secara
Argumentum A Contrario batas dewasa adalah telah berusia 18 tahun atau sudah pernah kawin; Menimbang, bahwa sesuai dengan kutipan akta kelahiran atas nama Lusi Rizki Lestari dengan Nomor 10832/2001, dimana terdakwa lahir pada tanggal 7 September 1994, sehingga pada saat ini terdakwa telah genap berusia 18 tahun yang berarti telah dewasa; Menimbang, bahwa yang dianggap sebagai subyek hukum pelaku tindak pidana dalam kasus perkara ini lengkap dengan segala identitasnya,
81
menurut Surat Dakwaan Penuntut Umum adalah terdakwa LRL, dan berdasarkan hasil pemeriksaan di depan persidangan ternyata identitas terdakwa cocok dan sesuai dengan identitasnya sebagaimana tercantum dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut; Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa telah menyatakan mengerti akan isi Surat Dakwaan tersebut dan identitas terdakwa cocok dengan Surat Dakwaan serta pada saat terdakwa melakukan perbuatannya itu ada dalam keadaan sehat jasmani maupun rohani sehngga dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu, maka teranglah yang dimaksud dengan unsur “orang dewasa” telah terpenuhi; Ad. 2. Unsur “yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin” Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, yang termasuk dalam lingkup nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya; Menimbang, bahwa sesuai dengan fakta hukum tersebut di atas pada hari Selasa tanggal 2 Oktober 2012 dan hari Rabu 3 Oktober 2012 malam hari terdakwa melakukan hubungan seksual dengan saksi AYM dengan diawali saling berciuman kemudian saling meraba ke daerah payudara juga ke bagian alat kelamin (vagina). Kemudian terdakwa dan saksi AYM saling memasukkan jari tengah ke vagina, yaitu terdakwa
82
memasukkan jari tengahnya ke dalam vagina saksi AYM dan jari tengah saksi AYM dimasukkan ke vagina terdakwa, selanjutnya jari terdakwa digetarkan sampai saksi AYM merasa puas juga sebaliknya jari tangan saksi AYM digetarkan di dalam vagina terdakwa sampai merasa puas dan orgasme. Terdakwa dan saksi AYM dalam melakukan hubungan seksual terkadang membuka pakaian sampai telanjang bulat tetapi terkadang juga hanya buka celana dalam sedangkan baju tetap dipakai; Menimbang, bahwa terdakwa adalah seorang perempuan dan saksi AYM juga adalah seorang perempuan sehingga unsur “yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin” telah terpenuhi; Ad. 3. Unsur “yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa” Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan terdakwa LRL melakukan perbuatan tidak senonoh (ontuching/cabul) pada hari Selasa tanggal 2 Oktober 2012 dan hari Rabu tanggal 3 Oktober 2012 di rumah kost di daerah Cihampelas Kota Bandung dengan saksi AYM dimana sesuai dengan kutipan akta kelahiran atas nama Agistha Yolanda Mayasari dengan Nomor 2617/1995, dimana saksi AYM lahir di Ciamis pada tanggal 16 Agustus 1995, sehingga pada saat ini saksi korban genap berusia 17 tahun dan oleh karenanya masih tergolong anak-anak atau belum dewasa dan oleh karenanya unsur inipun telah terpenuhi; Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur Pasal 292 KUHPidana sebagaimana dalam
83
dakwaan alternatif kesatu dari Penuntut Umum, hal ini didasarkan pada adanya alat-alat bukti yang sah, serta pada saat terdakwa melakukan perbuatan tersebut ia ada dalam keadaan sadar sehat jasmani maupun rohaninya, sehingga tidak terdapat alasan-alasan yang dapat menyebabkan terdakwa dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban atas perbuatannya itu, maka timbul keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa, terdakwalah pelaku tindak pidananya, maka haruslah dinyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya dalam dakwaan alternatif kesatu dari Penuntut Umum, yaitu melanggar Pasal 292 KUHP; Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dijatuhi pidana penjara sedangkan
selama
proses persidangan terdakwa telah dikenakan
penahanan, maka masa penahanan yang telah dijalaninya akan ditetapkan untuk dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan; Menimbang bahwa oleh karena terdakwa terbukti bersalah dan harus dijatuhi pidana, sedangkan selama ini terdakwa telah ditahan, maka berdasarkan Pasal 193 ayat (2) b KUHAP Majelis Hakim beralasan untuk menetapkan terdakwa tetap ditahan; Menimbang, bahwa mengenai barang bukti berupa: 1 (satu) potong kaos tangan panjang warna abu-abu dengan motif kupu-kupu pink merk De‟Mode, 1 (satu) potong kerudung warna hijau muda dengan motif
84
bunga, dan 1 (satu) buah HP Sony Ericson K70i warna silver akan ditentukan dalam amar putusan; Menimbang, bahwa dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, Majelis Hakim disamping tetap memperhatikan tinggi rendahnya ancaman pidana penjara dalam pasal yang bersangkutan dan lamanya pidana penjara yang dituntut oleh Penuntut Umum dalam surat tuntutan pidananya, juga mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan pemidanaan bagi terdakwa, sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan
terdakwa
bertentangan
dengan
norma
Agama,
kesusilaan, dan kepatutan masyarakat Indonesia yang religius. Hal-hal yang meringankan: a. Terdakwa belum pernah dihukum; b. Terdakwa bersikap sopan di persidangan; c. Terdakwa
mengakui
terus
terang
perbuatannya,
sehingga
memperlancar jalannya persidangan; d. Terdakwa masih muda, sehingga masa depannya masih panjang dan masih bisa diharapkan untuk memperbaiki perilakunya; e. Perbuatan tersebut bukan semata-mata atas insiatif sendiri dari terdakwa akan tetapi juga ada inisitif dari saksi korban, sehingga secara suka sama suka dan saling menyadari akibat perbuatannya.
85
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas khususnya terhadap hal-hal yang meringankan, maka oleh karena pemidanaan tidak melulu bertujuan sebagai upaya balas dendam, akan tetapi juga lebih dimaksdukan agar terdakwa dapat menyadari akan kesalahannya dan tidak akan mengulanginya kelak di kemudian hari lagi, maka adalah adil dan patut bila atas terdakwa diberlakukan ketentuan pidana yang lebih ringan dari tuntutan Penuntut Umum; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan keadaan-keadaan tersebut di atas, maka hukuman yang akan dijatuhi terhadap menurut hemat Majelis Hakim dipandang telah tepat dan memenuhi rasa keadilan, oleh karena itu pula bagi terdakwa kiranya dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran untuk tidak mengulangi tindak pidana lagi di kemudian hari serta dapat memperbaiki sikap dan perilakunya; b. Amar Putusan Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
hakim
tersebut
sebagaimana yang di atas dalam perkara nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms, maka hakim memutuskan: MENGADILI 1) Menyatakan terdakwa LRL terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang belum dewasa”; 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa LRL berupa pidana penjara selama 4 (empat) bulan;
86
3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang dijatuhkan; 4) Menetapkan terdakwa untuk tetap berada dalam tahanan; 5) Menyatakan barang bukti berupa: a) 1 (satu) potong kaos tangan panjang warna abu-abu dengan motif kupu-kupu pink, merk De‟Mode; b) 1 (satu) potong kerudung warna hijau muda dengan motif bunga. Dikembalikan kepada yang berhak yaitu saksi AYM. c) 1 (satu) buah HP Sony Ericson K70i warna silver. Dikembalikan kepada yang berhak, yaitu terdakwa LRL. 6) Membebankan kepada terdakwa agar membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
B. Pembahasan 1. Tentang Pembuktian Tindak Pidana Pencabulan Sesama Jenis Kelamin Terhadap Anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms. Pembuktian
merupakan
proses
yang
harus
dilalui
guna
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, melalui alatalat bukti setiap peristiwa pidana yang telah terjadi dapat diungkapkan. Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam pemeriksaan pengadilan.
87
Menurut M. Yahya Harahap64, memberikan penjelasan mengenai pembuktian sebagai berikut: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.” Eddy O. S. Hiariej65 mendefinisikan hukum pembuktian pidana sebagai berikut: “Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian dalam perkara pidana”. Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yakni keyakinan hakim yang didasarkan pada alat-alat bukti yang menurut undang-undang. Riduan Syahrani66 berpendapat bahwa: “Sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian negatif (negative wettelijk stelsel) yang merupakan gabungan dari sistem bebas dengan sistem positif (Pasal 183 KUHAP). Berdasarkan sistem negatif ini, hakim hanyalah boleh menghukum terdakwa, kalau berdasarkan bukti-bukti yang sah menurut hukum ia mempunyai keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana”.
64
M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 273. Eddy O. S. Hiariej, op. cit., hlm. 5. 66 Riduan Syahrani, 1983, Beberapa Hal Penting tentang Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni, hlm. 129. 65
88
Dasar pembuktiannya tersebut mengacu pada Pasal 183 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Atas dasar dalam rumusan Pasal 183 KUHAP tersebut, Hakim dalam menentukan sah atau tidaknya dan untuk dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus memiliki dua syarat, yaitu: 1. Kesalahannya dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”, 2. Atas terbuktinya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.67 Pembuktian dalam tindak pidana “melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang belum dewasa” pada putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms menganut pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negative wettelijk stelsel). Berdasarkan sistem ini, undang-undang menetapkan alatalat bukti yang dapat dipakai oleh hakim, cara bagaimana hakim dapat mempergunakannya dan kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut. Alat bukti yang terdapat dalam putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms adalah keterangan saksi dan keterangan terdakwa yang menyatakan bahwa terdakwa LRL telah “melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang belum dewasa”.
67
Andi Hamzah, op. cit., hlm. 259.
89
Alat-alat bukti ini sangat diperlukan, sehingga hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya terdapat dua alat bukti yang sah sehingga memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana. Guna memenuhi pembuktian yang dipandang cukup untuk kepentingan penuntutan dan persidangan perkaranya baik penyidik dan penuntut umum berusaha memenuhi alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang seperti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yakni sebagai berikut: Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Berdasarkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor
367/Pid.B/2012/PN.Cms alat bukti yang digunakan antara lain: 1) Alat Bukti Keterangan Saksi Saksi yang memberikan keterangan di persidangan adalah AYM, ELP, AS, SB. Keterangan saksi-saksi tersebut dalam persidangan telah disumpah terlebih dahulu sesuai dengan agama dan kepercayaan masingmasing. 2) Alat Bukti Keterangan Terdakwa Terdakwa LRL dalam persidangan pada intinya mengakui telah melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang belum dewasa.
90
Barang bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum guna menguatkan dakwaannya berupa: a.
1 (satu) potong kaos tangan panjang warna abu-abu dengan motif kupu-kupu motif kupu-kupu pink, merk De‟Mode;
b.
1 (satu) potong kerudung warna hijau muda dengan motif bunga; Dikembalikan kepada saksi AYM.
c.
1 (satu) buah HP Sony Ericson K70i warna silver. Dikembalikan kepada terdakwa LRL. Setelah ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP dan 184 KUHAP telah
terpenuhi, maka untuk dapat melihat apakah tindak pidana melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang belum dewasa tersebut benar-benar terjadi harus melihat unsur-unsur dalam tindak pidana tersebut. Oleh karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara Alternatif, maka hakim akan mempertimbangkan dakwaan yang paling relevan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu dakwaan Kesatu yang melanggar Pasal 292 KUHP dengan unsurunsur sebagai berikut: 1.
Unsur “orang dewasa”;
2.
Unsur “yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin”;
3.
Unsur “yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa”.
91
Berdasarkan
unsur-unsur
tersebut,
Majelis
Hakim
mempertimbangkan sebagai berikut: Ad.1. Unsur “orang dewasa” Orang dewasa adalah semua orang yang sudah dewasa yang tunduk dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai subyek hukum pidana serta mampu
bertanggungjawab,
artinya
dapat
dipertanggungjawabkan
perbuatannya secara hukum dan salah satu subyek yang dianggap sebagai subyek hukum menurut peraturan hukum yang berlaku adalah manusia. Oleh karena setiap peraturan perundang-undangan dibuat oleh dan untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia serta pada dasarnya ditujukan pada manusia yang dianggap sebagai subyek hukum pelaku tindak pidananya. Ketentuan dalam KUHPidana tidak terdapat pasal yang mengatur dan menunjukkan batas dewasa, akan tetapi di dalam ketentuan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak mengatur anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Ketentuan Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pada intinya mengatur anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
92
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, sehingga berdasarkan penafsiran secara Argumentum A Contrario batas dewasa adalah telah berusia 18 tahun atau sudah pernah kawin. Pada Putusan Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms, sesuai dengan kutipan akta kelahiran atas nama LRL dengan Nomor 10832/2001, dimana terdakwa lahir pada tanggal 7 September 1994, sehingga pada saat ini terdakwa telah genap berusia 18 tahun yang berarti telah dewasa. Subyek hukum pelaku tindak pidana dalam kasus perkara ini lengkap dengan segala identitasnya, menurut Surat Dakwaan Penuntut Umum adalah terdakwa LRL. Berdasarkan hasil pemeriksaan di depan persidangan ternyata identitas terdakwa cocok dan sesuai dengan identitasnya sebagaimana tercantum dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut. Terdakwa telah menyatakan mengerti akan isi Surat Dakwaan tersebut dan identitas terdakwa cocok dengan Surat Dakwaan, maka teranglah yang dimaksud dengan unsur “orang dewasa” telah terpenuhi. Ad. 2. Unsur “yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin” Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, yang termasuk dalam lingkup nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Tindak pidana pencabulan termasuk kejahatan yang melanggar kesusilaan. Perbuatan cabul merupakan segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan atau
93
perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.68 Sesuai dengan fakta hukum yang terdapat dalam Putusan Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms tersebut, pada hari Selasa tanggal 2 Oktober 2012 dan hari Rabu 3 Oktober 2012 malam hari terdakwa melakukan hubungan seksual dengan saksi AYM dengan diawali saling berciuman kemudian saling meraba ke daerah payudara juga ke bagian alat kelamin (vagina). Kemudian terdakwa dan saksi AYM saling memasukkan jari tengah ke vagina, yaitu terdakwa memasukkan jari tengahnya ke dalam vagina saksi AYM dan jari tengah saksi AYM dimasukkan ke vagina terdakwa, selanjutnya jari terdakwa digetarkan sampai saksi AYM merasa puas juga sebaliknya jari tangan saksi AYM digetarkan di dalam vagina terdakwa sampai merasa puas dan orgasme. Terdakwa dan saksi AYM dalam melakukan hubungan seksual terkadang membuka pakaian sampai telanjang bulat tetapi terkadang juga hanya buka celana dalam sedangkan baju tetap dipakai. Selain itu, terdakwa adalah seorang perempuan dan saksi AYM juga adalah seorang perempuan sehingga unsur “yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin” telah terpenuhi.
68
Leden Marpaung, op. cit., hlm. 64.
94
Ad. 3. Unsur “yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa” Perbuatan cabul menurut Pasal 292 KUHP ini terjadi antara dua orang sesama kelamin, lelaki dengan lelaki atau perempuan dengan perempuan (sering disebut dengan lesbian). Walaupun terjadi antara dua orang sesama jenis kelamin, tetapi yang menjadi subjek hukum kejahatan (si pembuatnya) dan dibebani tanggungjawab pidana adalah siapa yang di antara dua orang itu yang telah dewasa, sedangkan yang lain haruslah belum dewasa. Oleh karena itu, tidak mungkin terjadi kejahatan menurut Pasal 292 KUHP ini bila dilakukan sesama jenis kelamin antara dua orang yang keduanya sudah dewasa, atau keduanya sama-sama belum dewasa. Pembebanan tanggungjawab pada pihak orang yang telah dewasa adalah wajar karena rasio dibentuknya kejahatan ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan umum.69 Berdasarkan Putusan Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms bahwa fakta-fakta yang terungkap di persidangan, terdakwa LRL melakukan perbuatan tidak senonoh (ontuching/cabul) pada hari Selasa tanggal 2 Oktober 2012 dan hari Rabu tanggal 3 Oktober 2012 di rumah kost di daerah Cihampelas Kota Bandung dengan saksi AYM sesuai dengan kutipan akta kelahiran atas nama AYM dengan Nomor 2617/1995, saksi AYM lahir di Ciamis pada tanggal 16 Agustus 1995, sehingga pada saat
69
Adami Chazawi, op. cit., hlm. 89.
95
ini saksi korban genap berusia 17 tahun dan oleh karenanya masih tergolong anak-anak atau belum dewasa dan oleh karenanya unsur inipun telah terpenuhi. Berdasarkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor
367/Pid.B/2012/PN.Cms dengan melihat keterangan saksi-saksi yang saling bersesuaian dengan keterangan terdakwa dan dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan, maka syarat pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu minimum dua alat bukti yang sah dan adanya keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang belum dewasa, dimana unsur-unsur dalam Pasal 292 KUHP terpenuhi, sehingga hasil putusan menyatakan bahwa terdakwa LRL terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana telah didakwakan oleh Penuntut Umum. 2. Tentang
Akibat
Hukum
Bagi
Terdakwa
Terhadap
Putusan
Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B /2012/PN.Cms. Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir (vonnis). Hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah dipertimbangkan dan putusannya dalam putusan pengadilan tersebut. Pengertian putusan pengadilan terdapat dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP, yakni: “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalan sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.
96
Putusan
yang
menjatuhkan
hukuman
pemidanaan
kepada
seseorang terdakwa tidak lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan. Oleh karena itu, apabila menurut pendapat dan penilaian hakim bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP serta dapat memberikan keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya. Suatu putusan pemidanaan dijatuhkan berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, yaitu sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Menurut rumusan Van Bemmelen70 dalam bukunya Andi Hamzah sebagai berikut: “Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana”. Mengenai proses pengambilan putusan, hakim yang bersangkutan mengemukakan pendapat dan uraiannya yang dimulai dari pengamatan 70
Andi hamzah, op.cit, hlm. 286.
97
dan penelitiannya tentang hal formil lalu hal materil yang ditentukan berdasarkan atas surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum. Setelah itu, hakim harus membacakan putusannya setelah mempertimbangkan secara keseluruhan baik keterangan yang diberikan oleh para saksi maupun terdakwa serta mengenai alat-alat bukti yang diajukan. Oleh karena itu, hakim akan memberikan keputusannya terlebih dahulu memperhatikan fakta-fakta atau perbuatan yang dilakukan terdakwa lalu ditetapkan hukumnya yang sesuai dengan fakta-fakta tersebut, sehingga dengan jalan penafsiran dapat ditetapkan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 23 ayat (1) merumuskan: “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan juga harus memuat pada pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Berdasarkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor
367/Pid.B/2012/PN.Cms dalam berkas perkara terdakwa didakwa dengan dakwaan Alternatif yang mana dakwaan yang terbukti adalah dakwaan Kesatu, yaitu Pasal 292 KUHP diancam dengan hukuman penjara selamalamanya lima tahun. Hakim memutus bahwa terdakwa LRL terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencabulan sesama jenis kelamin terhadap anak dan dijatuhi pidana. Oleh karena terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dan dalam pemeriksaan perkara Majelis Hakim tidak menemukan adanya alasan pembenar yang menghapus sifat melawan hukum perbuatan yang
98
dilakukan oleh terdakwa ataupun alasan pemaaf yang menghapuskan kesalahan
terdakwa,
maka
terhadap
terdakwa
harus
dipertanggungjawabkan aats perbuatannya dengan dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya sesuai rasa keadilan. Majelis Hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, disamping tetap memperhatikan tinggi rendahnya ancaman pidana penjara dalam pasal yang bersangkutan dan lamanya pidana penjara yang dituntut oleh Penuntut Umum dalam surat tuntutan pidananya, juga mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan pemidanaan bagi terdakwa, sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan
terdakwa
bertentangan
dengan
norma
Agama,
kesusilaan, dan kepatutan masyarakat Indonesia yang religius. Hal-hal yang meringankan: a. Terdakwa belum pernah dihukum; b. Terdakwa bersikap sopan di persidangan; c. Terdakwa
mengakui
terus
terang
perbuatannya,
sehingga
memperlancar jalannya persidangan; d. Terdakwa masih muda, sehingga masa depannya masih panjang dan masih bisa diharapkan untuk memperbaiki perilakunya;
99
e. Perbuatan tersebut bukan semata-mata atas insiatif sendiri dari terdakwa akan tetapi juga ada inisitif dari saksi korban, sehingga secara suka sama suka dan saling menyadari akibat perbuatannya. Mendasarkan pada hal-hal yang memberatkan dan meringankan di atas, khususnya terhadap hal-hal yang meringankan, maka oleh karena pemidanaan tidak selalu bertujuan sebagai upaya balas dendam, akan tetapi juga lebih dimaksudkan agar terdakwa dapat menyadari aka kesalahannya dan tidak akan mengulanginya kelak di kemudian hari lagi, maka adalah adil dan patut bila atas terdakwa diberlakukan ketentuan pidana yang lebih ringan dari Penuntut Umum. Berdasarkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor
367/Pid.B/2012/PN.Cms, Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dalam perkara tindak pidana pencabulan sesama jenis kelamin terhadap anak yang diputus dalam rapat musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ciamis. Oleh karena terdakwa dijatuhi pidana penjara, sedangkan selama proses persidangan terdakwa telah dikenakan penahanan, maka masa penahanan yang telah dijalaninya akan ditetapkan untuk dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan. Pasal 193 ayat (2) huruf b KUHAP merumuskan: “Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu”.
100
Berdasarkan Pasal 193 ayat (2) huruf b KUHAP tersebut, Majelis Hakim
pada
Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor
367/Pid.B/2012/PN.Cms beralasan untuk menetapkan terdakwa tetap ditahan. Pasal 194 ayat (1) KUHAP merumuskan: “Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi”. Berdasarkan Pasal 194 ayat (1) KUHAP tersebut, mengenai barang bukti
dalam
putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor
367/Pid.B/2012/PN.Cms. menetapkan dalam amar putusan poin 5, yakni: a) 1 (satu) potong kaos tangan panjang warna abu-abu dengan motif kupu-kupu motif kupu-kupu pink, merk De‟Mode; b) 1 (satu) potong kerudung warna hijau muda dengan motif bunga; Dikembalikan kepada saksi AYM. c) 1 (satu) buah HP Sony Ericson K70i warna silver. Dikembalikan kepada terdakwa LRL. Pasal 222 ayat (1) KUHAP merumuskan: “Siapapun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada negara”.
101
Oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka berdasarkan Pasal 222 ayat (1) KUHAP tersebut terdakwa dibebankan untuk membayar biaya perkara yang besarnya Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). Pasal 195 KUHAP merumuskan: “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor
367/Pid.B/2012/PN.Cms juga telah memenuhi rumusan Pasal 195 KUHAP yang mana diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum oleh Majelis Hakim. Oleh karena itu Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms sah dan mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan Pasal 270 KUHAP yang merumuskan: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor
367/Pid.B/2012/PN.Cms telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga putusan pengadilan tersebut dapat dilaksanakan terhadap terdakwa LRL.
102
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 367/Pid.B/2012/PN.Cms, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pembuktian
pada
putusan
Pengadilan
Negeri
Ciamis
Nomor
367/Pid.B/2012/PN.Cms, yakni keterangan saksi yang saling bersesuaian dengan keterangan terdakwa serta keyakinan hakim telah memenuhi asas minimum pembuktian, sehingga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis yang belum dewasa”. 2. Akibat hukum terhadap terdakwa adalah dengan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan membebankan biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). B. Saran Hakim dalam memberikan sanksi terhadap pelaku tindak pidana kejahatan kesusilaan dimana korbannya adalah anak-anak seharusnya juga mempertimbangkan efek yang diderita oleh korban karena perbuatan tersebut dapat merusak masa depan anak dan mempunyai dampak yang buruk untuk perkembangan seorang anak, baik dari segi fisik maupun mental.
103
DAFTAR PUSTAKA
Alfitra. 2011 Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia. Jakarta:Raih Asa Sukses. Chazawi, Adami. 2005. Tindak Pidana mengenai Kesopanan. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. Farid, A. Z. Abidin. 1981. Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia. Ujung Pandang:UNHAS. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta:Sinar Grafika. . 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta:Sinar Grafika. Hiariej, Eddy O. S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta:Erlangga. Ibrahim, Joni. 2010. Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:Bayu Media Publishing. Iswanto dan Angkasa. 2011. Viktimologi. Penerbit Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung:Citra Aditya Bakti. Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang. 2009. Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan. Jakarta:Sinar Grafika. Makarao, Mohammad Taufik dan Suharsil. 2010. Hukum Acara Pidana dalam teori dan Praktek. Jakarta:Ghalia Indonesia. Marpaung, Leden. 2004. Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Preverensinya. Jakarta:Sinar Grafika. Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Hukum. Surabaya:Kencana Perdana Media Group.
104
Mulyadi, Lilik. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia; Teori, Praktek, dan Permasalahannya. Bandung:Mandar Maju. Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:Rineka Cipta. Poernomo, Bambang. 1993. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta:Liberty. Prinst, Darwan. 1998. Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Jakarta:Djambatan. Prodjodikoro, Wirjono. 1980. Bandung:Sumur Bandung.
Hukum
Acara
Pidana
di
Indonesia.
Ramelan. 2006. Hukum Acara Teori dan Implementasi. Jakarta:Sumber Ilmu Jaya. Soesilo, R. 1980. Teknik Penyidikan Perkara Kriminil. Bogor:Politea. Syahrani, Riduan. 1983. Beberapa Hal Penting tentang Hukum Acara Pidana. Bandung: Alumni. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. . Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. . Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. . Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. . Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kamus: Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). 2005. Jakarta: Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional Balai Pustaka.
105