PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM (Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid Dalam Konteks Keindonesiaan) Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang Email:
[email protected] Abstrak Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya Nabi ke Madinah dengan tujuan menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam. Di Madinah, Nabi mengeluarkan sebuah Piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin antara muslim dengan non muslim untuk bekerjasama demi keamanan mereka bersama. Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap keras terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan proses pendangkalan agama. Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain merupakan faktor lain yang memperburuk hubungan antarumat beragama di Indonesia. Hal ini dilakukan baik oleh mubalig maupun guru-guru di sekolah. Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi yang memerintahkan kaum Muslim bersikap keras demikian, apalagi terhadap agama-agama samawi. Kata Kunci: Pluralisme, Pendidikan Islam, Abdurrahman Wahid Pendahuluan Menurut
para
ahli,
masyarakat
Indonesia
adalah
masyarakat
majemuk atau plural society,1dari segi etnis, misalnya ada suku melayu dan ada suku Melanesia yang selanjutnya membentuk seratus suku besar dan 1.072 suku-suku derivative besar dan kecil. Dari segi bahasa, terdapat ratusan bahasa yang digunakan di seluruh wilayah Nusantara. 1
Setelah Indonesia merdeka, kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh keadaan intern tanah air dan bangsa Indonesia sendiri. Golongan Eropa yang sebelum itu mempunyai kedudukan sangat penting di dalam masyarakat Indonesia kemudian terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Lihat Dr. Ichtijanto, “Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama”, dalam Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm. 47
51
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Dari
segi
pulau
yang
dihuni,
terdapat
sekitar
13.000
lingkungan
kehidupan kepulauan. Dari segi sejarah politik lokal, terdapat puluhan bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama yang berpengaruh terhadap sistem stratifikasi sosial dan adat istiadat setempat sekarang. Dari segi mata pencaharian, terdapat keragaman antara kehidupan pedesaan dan perkotaan. Dari segi agama, terdapat sejumlah agama besar dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara.2 Sering
kali
sorotan
tajam
historis,
di
perbenturan
adalah
negara
dalam
mengenai ini
pluralisme
pluralisme
agama-agama
yang
agama.
besar
mendapat
Karena
berkembang
secara dengan
suburnya. Dan secara sosiologis, hubungan masing-masing agama erat dengan
berbagai
dinamika,
terkadang
akomodatif
dan
terkadang
konfrontatif. Pola hubungan akomodatif terjadi karena masing-masing umat
dapat
mengaktualisasikan
ajaran
agamanya
dengan
benar
sekaligus para pemeluk agama menaati dan mengakomodir nilai-nilai budaya
lokal.
disebabkan
oleh
Sedangkan sifat
dan
mencuatnya watak
hubungan
umat
konfrontatif
beragama,
termasuk
pemahaman agama yang sempit serta adanya pengaruh provokasi dari luar.
Yang
selanjutnya
menyebabkan
kerusuhan
yang
bernuansa
agama. Menurut Yenni Wahid3, kekerasan berbau SARA terjadi karena ada pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa Indonesia yang majemuk.
Mereka
keinginan
untuk
membenturkan memimpin
hal-hal
ruang-ruang
2
yang
berbeda,
tertentu
juga
namun
ada rela
Atho Mudzhar, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke Depan (Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm. 1-2 3 Yenni Wahid bernama asli Zannuba Arrifah Chafsoh, putri ke-2 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah Direktur The Wahid Institut 2004-sekarang.
52
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
mengacaukan penyebab
lain,
hubungan terutama
yang faktor
telah
harmonis.
ekonomi
yang
Serta bisa
ada
pula
menyebabkan
seseorang menjadi frustasi lalu mudah ditawari untuk menjadi mujahid dengan mengikuti kelompok yang menjanjikan surga dan kemuliaan.4 Agama dewasa ini ditantang dan diuji oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesatnya,5 agama-agama besar dunia, Yahudi, Kristen, dan Islam disadari ataupun tidak telah memasuki periode krisis yang ikut dan berlangsung secara kontinyu. Krisis tersebut karena agama-agama sudah tidak mampu memberikan solusi-solusi alternatif bagi manusia modern dalam ragam masalah kehidupan mereka.
Pendidikan Pluralisme Istilah Konsep dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai ide umum, pengertian, pemikiran, rancangan, serta rencana dasar.6 Pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti terdapat keanekaragaman dalam masyarakat. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Pluralisme diartikan sebagai keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya.7 Pluralisme yang dalam bahasa arabnya diterjemahkan 4
Zannuba Arrifah Chafsoh, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”, Suara Merdeka, (Semarang: 20 Februari 2011), hlm. 2 5 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari munculnya revolusi industri yang berlangsung di beberapa masyarakat Barat terutama pada abad ke- 19 dan awal abad ke- 20. Revolusi industri bukanlah peristiwa tunggal, melainkan terdiri dari beberapa perkembangan yang saling terkait dan berpuncak pada transformasi dunia Barat dari sistem pertanian menuju sistem industri besar-besaran. Dengan munculnya pabrik-pabrik sebagai buah dari kemajuan teknologi. Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2009), cet. II, hlm. 7 6
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,1994), hlm. 362 7 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 13
53
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
alta’addudiyyah8, secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas.9 Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (a) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (b) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun nonkegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspekaspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompokkelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.10 Nurcholis Madjid menyatakan bahwa pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Menurut Alwi Shihab, pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan sebagai berikut: 8
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007), Cet. III, hlm. 11 9 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 11 10 Anis Malik Thoha. hlm. 12
54
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan.
Kedua,
pluralisme
harus
dibedakan
dengan
kosmopolitanisme, kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama tersebut.11 Sementara definisi tentang pendidikan pluralisme menurut Frans Magnez Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.12 Pendidikan Pluralisme sering dikenal orang dengan sebutan “Pendidikan Multikultural”.
Ainurrofiq
Dawam
menjelaskan
definisi
pendidikan
multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).13 Muhammad Ali menyebut pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan “Pendidikan Pluralis Multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan 11
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41-42 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia. hlm. 92 13 Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), hlm. 100 12
55
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.14 Memperhatikan beberapa definisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas, secara sederhana pendidikan pluralisme dapatlah di definisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan di sini, dituntut untuk dapat merespon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan yang berbasis pluralisme akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para peserta didiknya akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama lain.15 Dasar Pendidikan Pluralisme a. Dasar Historis Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad SAW. Sangat proeksistensi terhadap pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk melakukan ritual di masjid milik umat Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam dalam al Sirah al-Nabawiyyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran berjumlah 60 orang. Menurut Muhammad ibnu Ja’far ibnu al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju masjid. Saat itu Nabi sedang melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan para sahabatnya. Ketika waktu Kebaktian tiba, mereka pun tak harus 14
Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, (Semarang: Nedd’s Press, 2008), hlm. 100 15
56
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang di masjid.16 Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen. Ketika umat Islam dikejar-kejar oleh Kafir-Quraisy Mekkah, yang memberikan perlindungan adalah Najasy, raja Abesinia yang Kristen. Ia berpendirian bahwa pengikut Muhammad haruslah dilindungi hak-haknya, termasuk hak memeluk agama. Begitu pula ketika Nabi hijrah ke Madinah, Beliau mengadakan pertemuan secara besar-besaran bersama sahabat Anshar dan beberapa keluarga (Naqib) dari Mekkah. Dalam pertemuan itu, 23 artikel dari Piagam Madinah telah ditetapkan. Juga tercantum dalam piagam itu, untuk membentuk masyarakat dan hubungan-hubungan legal bagi kelompok Muslim yang baru. Selanjutnya Beliau berkonsultasi dengan perwakilan dari non-Muslim. Akhirnya seluruh dari mereka menyepakati dasar-dasar pembentukan sebuah “citystate” yang baru. Inilah yang kemudian diabadikan dengan sebutan “Piagam Madinah”.17 Seperti yang telah dikatakan oleh Muhammad Husain Haekal bahwa: Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat Yahudi, Muhammad membuat perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik. Sehingga setiap warga Madinah tanpa membedakan agama maupun suku, mereka berkewajiban mempertahankan kota itu. Mereka harus bekerja sama antar sesama.18 Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi sosial antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan agama dan budaya, yakni antara kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim. Di sini, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal hal 16
Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah, (Jogjakarta: LSAF, 2008), hlm. 54-55 17 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit., hlm. 67 18 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008), cet. Ke-30, hlm. 202
57
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial di tengah komunitas yang plural antara lain :19 1. Seluruh suku yang ada di Madinah disebut dalam pasal pasal piagam dengan maksud menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan etnik yang ada dalam masyarakat tersebut. 2. Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi hukum dan budayanya secara total. 3. Secara garis besar Piagam Madinah memuat kesepakatan antara Muhammad, kaum Musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang termuat dalam piagam itu meliputi masalah monoteisme, persatuan-kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian dan proteksi. 4. Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas Madinah. 5. Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan modern, ia diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk. 6. Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum Muslimin dengan kelompok beragama lain, sekaligus menunjukkan bahwa Muhammad telah melembagakan asas toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Qur’an (Q.S al-Baqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6). 7. Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui kebebasan hati nurani yang ditemui dalam sejarah umat manusia. b. Dasar Normatif Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnah Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan di hari akhir
19
Mukhsin Abdurrahman, Pendidikan Pluralisme-Multikultural http://mukhsinblog.blogspot.com/ 2015/ 05 pendidikan-pluralisme-multikultural.html
58
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain. Hal tersebut tercantum dalam QS. al-Hujurat: 13.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.20 Asbabun nuzul ayat tersebut menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa, suku atau warna kulit dengan selainnya, tetapi juga antara jenis kelamin mereka. Islam juga memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya. Hal tersebut terdapat pada QS. al-Ankabut: 46
20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani,2005), hlm. 518
59
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri" Menurut Moh. Shofan, setidaknya ada empat tema pokok yang menjadi kategori utama al-Qur’an tentang pluralisme agama:21 a) Tidak ada paksaan dalam beragama, yang terdapat pada QS. al-Baqarah: 256 Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.22 Tidak boleh ada paksaan dan tindakan kekerasan untuk masuk ke dalam agama. Iman itu tunduk dan khudhu’ (patuh). Untuk mencapai hal itu tidak bisa dilakukan dengan paksaan dan tekanan, tetapi harus dengan alasan dan penjelasan yang menguatkan. Iman adalah urusan hati. Tidak seorang pun bisa menguasai hati manusia. Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan musuh-musuh agama Islam yang mengatakan: “agama Islam ditegakkan dengan pedang, dan orang yang tidak mau memeluk agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah telah membuktikan kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang terjadi pada masa Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum Musyrik berhenti mengganggu dan memfitnah para Muslim. Inilah sebabnya, para Muslim tidak lagi memerangi para Musyrik ketika mereka telah memeluk Islam atau tetap
21
Moh. Shofan, hlm. 74-75 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani, 2002), hlm. 43 22
60
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
pada agama semula dengan membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan keamanan.23 Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kekuasaan-Nya, Dia bisa jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan bagi Allah untuk memaksa makhluk mematuhi agama Nya. Namun yang terjadi tidak demikian, yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah, maka
dia
terikat
dengan
tuntunan-tuntunannya,
dia
berkewajiban
melaksanakan perintahperintahnya. Dia terancam sanksi jika melanggar ketetapannya. Di sini Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda miliki. Anda juga tahu bahwa telah jelas yang ini membawa manfaat dan itu mengakibatkan mudharat, jika demikian tidak perlu ada paksaan karena yang dipaksa adalah yang enggan tunduk akibat ketidaktahuan. Di sini telah jelas jalan itu sehingga tidak perlu ada paksaan. Anda memaksa anak untuk minum obat yang pahit, karena Anda tahu bahwa obat itu adalah mutlak untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya.24 b) Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan al-Qur’an terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain tercantum dalam QS. alBaqarah: 62
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451 24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, hlm. 551-552. 23
61
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benarbenar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.25 Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok: alladzina Amanu (menunjuk pada umat Islam), alladzina Hadu (ummat Yahudi), al-Nashara (umat Kristen), dan al-Shabi’in. Al-Thabari berpendapat bahwa jaminan Allah atas keselamatan tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman, percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk beriman kepada Allah dan Muhammad saw. Atau dengan kata lain, yang dimaksud dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam.26 c) Kesatuan Kenabian, yang bertumpu pada QS. Asy Syura: 13
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).27
25
Departemen Agama. hlm. 11 Alwi Shihab, op, hlm. 79 27 Departemen Agama. hlm. 485 26
62
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Penyebutan Nabi-Nabi sebagaimana terbaca di atas, sejalan dengan masa kehadiran mereka di pentas bumi ini terkecuali Nabi Muhammad saw. Itu untuk mengisyaratkan kedudukan terhormat yang diperoleh Nabi Muhammad saw. Di kalangan para Nabi. Ini serupa dengan firman-Nya dalam QS. alAhzab:7 d) Kesatuan Pesan Ketuhanan yang berpijak pada QS. an-Nisa’: 131
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.28 Apa saja yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan dan Dialah yang mengurus. Dalam mengurus makhlukmakhuk-Nya, Allah menciptakan hukum secara mutlak, dan semuanya tunduk di bawah hukum itu. Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum Allah yang berlaku umum terhadap bumi, langit dan semua isinya serta memahami pula hukum yang mengatur kehidupan makhluk-Nya, akan mengetahui betapa besar limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada semua makhluk-Nya. Oleh sebab itulah kepada setiap hamba diperintahkan agar bertakwa kepada-Nya, seperti telah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu, yang telah diberi al-Kitab seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani. Serta kepada orang-orang yang melaksanakan ketakwaan dengan tunduk dan patuh kepada- Nya dan dengan
28
Departemen Agama. hlm. 100
63
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
menegakkan syari’at-Nya. Dengan tunduk dan patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya manusia akan berjiwa bersih dan dapat mewujudkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.29 Pendidikan Islam Dalam proses pendidikan sangatlah perlu komponen-komponen pendidikan. Komponen itu sendiri berarti bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai sebuah tujuan. Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term: tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing memiliki keunikan makna tersendiri, namun memiliki makna yang sama. Akan tetapi term yang populer digunakan dalam praktek Pendidikan Islam adalah term altarbiyah.30 Istilah kunci yang seakar dengan kata tarbiyah adalah al-rabb, rabbayani, nurabbi, yurbi, dan rabbani. Istilah tarbiyah yang diambil dari madhi-nya (rabbayani) memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, dan menjinakkan. Pemahaman tersebut diambil dari tiga ayat dalam al-Qur’an : a. QS. al-Isra’: 24 “kamâ rabbayânî shaghîrâ” (sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil). b. QS. al-Syu’ara: 18 “alâ nurabbika fînâ walîdâ” (bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak). c. QS. al-Baqarah: 276 “yamhu Allah al-riba wa yurbi shadaqah”.(Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah).
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid II, hlm. 29 30 Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy dalam kitabnya Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, seperti dikutip oleh Abdul Mujib, Pendidikan Islam dalam khazanah keislaman populer dengan Istilah Tarbiyah, Lihat. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. I, hlm. 10 29
64
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Secara terminologi Pengertian Pendidikan Islam ini sebetulnya sudah cukup banyak dikemukakan oleh para ahli. Meskipun demikian, perlu dicermati dalam rangka melihat relevansi rumusan baik dalam hubungan makna, tujuan, fungsi, maupun proses kependidikan Islam yang dikembangkan dalam rangka menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat manusia sekarang ini. Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.31 Memang dalam pendidikan Islam terdapat sebuah karakteristik yang khusus, rekomendasi Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Universitas King Abdul Aziz Jeddah tahun 1997 mendefinisikan pendidikan Islam sebagai keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Berdasarkan pemaknaan ini, Abdurrahman al-Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam terdiri dari empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh; kedua, mengembangkan seluruh potensi;
ketiga,
mengarahkan
seluruh
fitrah
dan
potensi
menuju
kesempurnaan; dan keempat, dilaksanakan secara bertahap.32 Dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam akan dipertanyakan dan menjadi sorotan tajam tatkala anak didiknya terbawa arus modernitas; menjadi robot-robot yang tidak mempunyai daya kreativitas kecuali hanya terseret arus. Domain ini yang sejatinya mampu membawa perubahan tak lebih hanya teranggap sebagai sesuatu yang konservatif dan sia-sia. Ini tak lebih karena pengajaran agama selama ini bersifat normatif, dogmatis, dan hanya memikirkan kebenaran yang masih di angan-angan (akhirat). Sedangkan pemahaman tentang Tuhan beserta ritual pengabdiannya (baca: teologi) cenderung eksklusif dan ada klaim-klaim apologis seperti klaim kebenaran
31 32
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 23 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, op. hlm. 31-32
65
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
(truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim). Hal ini menyebabkan fragmentasi dan permusuhan antar agama hingga menyebabkan konflik berkepanjangan dan berdarah-darah. Nilai keagamaan menjadi luntur dan hanya memunculkan simbolsimbol agama saja. Dalam lingkup yang lebih luas, gerakan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap westernisasi. Walaupun dalam bentuk kaku, formalistik, dan ritualistik semacam berjenggot, berpakaian putih dan berjilbab, angkatan muda yang masih tergolong puritan dan steril dari idiologi sekuler meyakini Islam sebagai satu-satunya juru selamat. Karenanya identitas Islam harus dikembalikan dari pengaruh luar (westernisasi). 33 Pendidikan Islam sebagai penyedia segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugasnya tersebut tercapai dan berjalan lancar dengan melihat realitas keanekaragaman ras dan agama di Indonesia, maka pendidikan Islam harus memperhatikan beberapa hal berikut : Pertama, Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan Islam. Artinya, di samping menonjolkan pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan, namun karakter keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus dikuasai serta menjadi bagian dari kehidupan siswa sehari-hari. Kedua; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang diberikan kepada siswa tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal, termasuk di dalamnya juga pemahaman tentang realitas keberagamaan. Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem
33
Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 14 – 15.
66
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
pendidikan yang memberikan keleluasaan pada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya secara bertanggung jawab.34 Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Konsep Pendidikan Pluralisme Mengamati
pemikiran
Gus
Dur
memang
menarik
sekaligus
menyulitkan. Menarik karena ide-idenya sangat sederhana, tetapi mampu memberikan wawasan tersendiri dalam menganalisis persoalan, baik di Indonesia maupun di dunia. Menyulitkan karena pemikirannya terkadang keluar dari kultur yang membesarkannya (NU dan Pesantren).35 1. Dasar Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid Tulisan Gus Dur berjudul ’Pengembangan Fiqih Secara Kontekstual’, dipaparkan bahwa Ideologi pluralisme yang dibawa Beliau dan penghormatannya
terhadap
pluralitas
sepenuhnya
berdasarkan
pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam dan juga tradisi keilmuan NU sendiri. Pertama, prinsip pluralisme secara tegas diakui di dalam kitab suci. AlQur’an secara tegas mendeklarasikan bahwa pluralitas masyarakat dari segi agama, etnis, warna kulit, bangsa, dan sebagainya, merupakan keharusan sejarah yang menjadi kehendak Allah (sunnatullah). Karena itu, upaya penyeragaman dan berbagai bentuk hegemonisasi yang lain, termasuk dalam hal pemahaman dan implementasi ajaran agama, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat dasar al-Qur’an. Pluralitas agama dan masyarakat menjadi alat uji parameter kualitas keberagamaan umat, apakah dengan pluralitas itu setiap kelompok atau umat beragama bisa hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama lain dengan semangat saling belajar dan saling menghormati. Atau
34 35
Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit.,hlm. 120 Munawar Ahmad. hlm. 55
67
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
sebaliknya, pluralitas itu justru menjadi alasan untuk membangun klaimklaim kebenaran yang bersifat sektarian.36 Kedua, nalar keragaman NU sepenuhnya dibangun di atas spirit pluralisme. NU mengikuti tradisi pemikiran madzhab yang menjadi pilar tegaknya peradaban fiqih. Ajaran Islam digali secara langsung dari sumbernya, tetapi melalui pemikiran, NU terhindar dari pendekatan tekstual dan interpretasi tunggal terhadap al-Qur’an dan al-Hadis. Fiqih dirumuskan sebagai hukum atau kumpulan hukum yang ditarik dari dalildalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis (al-ahkam al-mustanbathah min adillatiha al-syar’iyyah). Definisi ini menurut Gus Dur, secara jelas menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang di situ ayat alQur’an dan al-Hadis memperoleh pengolahan untuk disimpulkan berdasarkan kebutuhan manusia. Di sini nyata terlihat bahwa pluralisme yang dikembangkan Gus Dur adalah revitalisasi dari ajaran Islam dan tradisi berpikir pesantren yang telah berkembang selama-berabad-abad. Toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekedar menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama lain, dalam sebuah tulisannya yang berjudul Intelektual di Tengah Eksklusivisme, Gus Dur pernah mengatakan: Saya membaca, menguasai, menerapkan al-Qur’an, al-Hadis, dan kitabkitab Kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memakai yang mana pun asal benar dan cocok dan sesuai hati nurani. Saya tidak mempedulikan apakah kutipan dari Injil, Bhagawad Gita, kalau bernas kita terima. Dalam masalah bangsa, ayat al-Qur’an kita pakai secara fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi adalah soal penafsiran. Berbicara
36
M. Hanif Dhakiri. hlm. 63-64
68
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
masalah penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis, melainkan sudah menjadi masalah pemikiran.37 2. Pandangan Pluralisme Abdurrahman Wahid Dalam QS. Ali Imran: 85 yang artinya: ”Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi”, Gus Dur memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut jelas menunjuk kepada masalah keyakinan Islam yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan tidak menolak kerjasama antara Islam dengan berbagai agama lainnya.38 Dalam pidato perayaan Natal pada tanggal 27 Desember 1999 di Balai Sidang Senayan Jakarta, misalnya, Abdurrahman Wahid menyampaikan : Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat beragama. Sejak kecil itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pasantren, hidup dikalangan keluarga kiai, tak pernah sedikitpun saya merasa berbeda dengan yang lain.39 Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antaragama. Dengan kata lain prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti adagium ushul fiqh/teori legal hukum Islam: ”sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma la yatimmu al wajibu illa bihi
37
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), cet. II, hlm. 204 Menurut Gus Dur, Hal inilah yang membedakan amal sholeh yang merujuk pada amal baik seorang Muslim dengan amal khoir atau amal baik non muslim. Kalau amal saleh itu akan sampai kepada Allah dan akan diterima oleh Nya, sedangkan amal khair tidak demikian, dan hanya akan menjadi fatamorgana. 39 Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada (ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: LAKPESDAM), hlm. 144 38
69
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
fahuwa wajibun)”. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antaragama juga menjadi kewajiban.40 Tentang pluralitas, seperti terdapat dalam QS. al-Hujurat: 13, menurut Gus Dur, ayat tersebut menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan. Tentu saja adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu dipersamakan secara total, karena masing-masing memiliki kepercayaan atau aqidah yang dianggap benar. Demikian pula kedudukan penafsiran-penafsiran aqidah itu. Umat Katholik sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili Vatikan II yang dipimpin Paus Yohannes XXIII dari tahun 1962- 1965, menyebutkan bahwa para Uskup yang menjadi peserta menghormati setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka. jadi keyakinan masingmasing tidak perlu diperbandingkan atau dipertentangkan. Di sinilah nantinya tebentuk persamaan antaragama, bukannya dalam ajaran atau aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi. Karena ukuran capaian materi menggunakan bukti-bukti kuantitatif seperti tingkat penghasilan rata-rata masyarakat. 3. Cara Menyikapi pluralisme Menurut Gus Dur, pluralisme di tanah air disimbolisasi dengan banyak hal, utamanya agama, suku, dan bahasa. Tetapi ada hal yang banyak dilupakan oleh banyak kalangan, yaitu pluralisme makanan. Ekspresi dan manifestasi pluralisme dalam makanan semakin memperkukuh entitas kebhinekaan yang mewujud dalam bangsa ini.
40
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2002), hlm. 133-134
70
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Ketika berkunjung ke tempat manapun, yang paling menarik dan menjadi salah satu kekuatan adalah aneka macam menu makanan dengan variannya. Bahkan, belakangan soal pluralisme makanan tersebut dijadikan sebagai salah satu acara di stasiun televisi, yang dikenal dengan wisata kuliner.41 Gus Dur memandang bahwa siapapun yang memahami realitas keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan semakin kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya merupakan unsur kekuatan, bukan unsur ancaman. Ia semakin menjadikan kita sehat secara jasadi dan sehat secara ruhani. Makanan yang begitu banyak aneka ragamnya telah menjadi fakta bahwa pluralisme atau kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang harus didayagunakan untuk kemajuan bangsa. Belajar dari pluralisme makanan, maka kita sebenarnya dapat merayakan manfaat dari pluralisme. Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita semua mengakui dan menyadari bahwa setiap agama mempunyai ajaran yang berbeda-beda. Tetapi perbedaan tersebut bukanlah alasan untuk menebarkan konflik dan perpecahan. Perbedaan justru dapat dijadikan sebagai katalisator untuk memahami anugerah Tuhan yang begitu nyata untuk senantiasa merajut keharmonisan dan toleransi. Oleh sebab itu, perbedaan dan keragaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Apalagi dalam perbedaan dan keragaman tersebut tersimpan keistimewaan, yang mana antara kelompok yang satu dengan kelompok lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan. Restoran
merupakan
ruang
publik
yang
sebenarnya
dapat
memperkokoh pluralisme, karena di situlah perbedaan dirayakan dalam konteks menentukan eksistensi setiap kelompok dengan basis saling 41
Maman Imanulhaq Faqih, Fatwa dan Canda Gus Dur, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm.148
71
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
menghargai dan menghormati. Sebab itu kebiasaan Gus Dur dalam menyantap aneka ragam menu masakan di negeri ini merupakan salah satu apresiasi terhadap pluralisme dan bagaimana menyikapinya dengan positif dan konstruktif. Menurut Gus Dur, Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa dilakukan sebagai ikhtiar mengurangi berbagai bentuk ancaman terhadap kemajemukan bangsa, Pertama, penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku
tindak
kekerasan
dan
pemaksaan
kehendak
yang
mengatasnamakan agama. Kedua, ormas-ormas keagamaan harus didorong untuk mengedepankan dialog dan kerjasama dalam berbagai bidang sosial dan kebudayaan sehingga toleransi dapat ditumbuhkan secara menyeluruh. Ketiga, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan diajarkan sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.42 4. Pluralisme dalam Konteks Keindonesiaan Wajah budaya Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran yang tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi tersebut harus dapat diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat sehingga terbentuklah suatu masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga kaya akan ide-ide baru.43 Serta hubungan antaragama di Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini telah berkembang dalam berbagai dimensinya, yang secara kualitatif telah merubah, dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran keagamaan di kalangan umat beragama itu sendiri. Hal ini minimal dapat ditelusuri pada pemikiran keagamaan kaum muslimin, dalam sosoknya yang tampak balau pada saat ini. Sebagaimana
42
A. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 2010), hlm. 19-20 43 HAR. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), cet. III hlm. 180
72
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
telah diketahui sejarah bangsa kita, Islam datang di kawasan ini dalam bentuk dan corak yang heterogen. Dalam garis besarnya, Islam datang dalam bentuk utusan-utusan politik, para pedagang dan para sufi.44 Heterogenitas asal usul Islam di Indonesia menunjukkan variasi sangat tinggi dalam pengalaman menjalani hubungan antaragama yang dibawa oleh kaum Muslimin ke negeri ini. Dalam pola sinkretik kehidupan beragama orang Islam di keraton Mataram hingga puritanisme Islam yang kemudian meletus dalam perang Paderi di Sumatera Barat pada paruh pertama abad yang lalu, terbentang spektrum luas dengan manifestasi hubungan antar beragama yang sangat beragam. Muslimin masyarakat Jawa menerima ”kekeramatan” bertemunya hari penting Arab Jum’at dan Hari Jawa Kliwon atau Legi, dengan melakukan ibadah ekstra pada hari tersebut. Begitu juga mereka menyebut hari Ahad dengan hari Minggu,45 serta mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari tutup kantor dan tutup sekolah dengan mengganti kesibukan seperti majlis ta’lim serta pengajian umum. Perubahan ”Hari Kristen” menjadi ”Hari Islam”, tanpa merubah penyebutan nama harinya itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan hidup antara umat beragama yang menyejukkan hati dan menentramkan jiwa. Namun, tantangan modernisasi yang datang dari Barat ternyata menumbuhkan sikap-sikap baru di kalangan kaum muslimin, yang memerlukan pengamatan teliti. Pluralitas masyarakat Indonesia sendiri sekurang-kurangnya bisa dilihat sebagai fakta dalam dua sisi. Sisi pertama: pluralitas suku, agama, dan budaya serta berbagai turunannya. Sisi kedua: pluralitas di internal suku, agama, dan budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, terdapat berbagai 44
Abdurrahman Wahid, “Hubungan antar-Agama, Dimensi Internal dan Eksternalnya di Indonesia” dalam Adurrahman Wahid, dkk., Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hlm. 3 45 Minggu berasal dari kata domingo yang berarti hari Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian diikuti orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja
73
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
aliran yang secara formal sering kali berseberangan. Demikian juga di dalam agama, budaya dan suku yang lain. Toleransi yang diajarkan Gus Dur merupakan ajaran semua agama dan budaya, apalagi dalam masyarakat majemuk dan multikultur seperti Indonesia. Namun, toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur berbeda dari tokoh-tokoh agama lain. Gus Dur mengajarkan toleransi plus, yaitu kalau kebanyakan orang membudayakan toleransi sebatas pada hidup berdampingan secara damai, yaitu hidup bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Tidak demikian dengan Gus Dur. Dalam menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur menegaskan bahwa tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), karena hal demikian masih sangat rentan terhadap munculnya kesalah-pahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan menerima.46 Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa Indonesia. Menurut Gus Dur, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya Bangsa Indonesia. Salah satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, Bangsa Indonesia harus membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap pluralisme tidak akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas Undang-Undang Dasar Negara.47
46
Tulisan ini diambil dari makalah Gus Dur berjudul “Pluralisme Agama dan Masa Depan Indonesia”, disampaikan pada seminar di UKSW, th. 1992. lihat M. Hanif Dhakiri, op.cit.hlm. 120 47 Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur, Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis, http://wahidinstitute.org
74
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Konsep toleransi yang dikembangkan Gus Dur meniscayakan adanya kebenaran yang datang dari agama atau peradaban lain. Namun, jika kerendahan hati seperti itu bisa dikembangkan secara terus menerus, maka toleransi di tengah masyarakat, akan semakin menemukan polanya yang dengan sendirinya kerukunan antaragama akan menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika masyarakat dan suasana saling belajar, melengkapi dan mengisi akan menciptakan kultur keberagamaan yang matang dan dewasa. Jika sudah demikian, maka dengan sendirinya perbedaan agama dan keyakinan akan menjadi sumber kekuatan yang sangat dahsyat bagi perubahan dalam persaudaraan. 5. Aktualisasi Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memimpin upacara pemakaman Gus Dur di lingkungan Ponpes. Tebu Ireng Jombang, 31 Desember 2009, secara terbuka mengakui Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 24 Agustus 2005 sejumlah tokoh Lintas Agama, Jaringan Doa Nasional Tionghoa Indonesia dan warga Ahmadiyah menganugerahi Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Penganugerahan ini disampaikan di gedung PBNU, jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat. Kepedulian Gus Dur terhadap kasus-kasus internasional yang beberapa diantaranya kontroversial termasuk hubungannya dengan Israel, maupun kasus kekerasan etnik dan keagamaan serta kasus yang berkaitan dengan HAM dan demokrasi di Indonesia, misalnya: persoalan Ahmadiyah, kasus Monitor, ICMI, Ulil Abshar Abdalla, Inul, peristiwa Banyuwangi dan pembunuhan di Jawa Timur tahun 1998, Sambas di Kalimantan Barat, peristiwa Ambon di Maluku, GAM di Aceh, masalah Timor Timur, persoaalan Etnis China, tidak hanya dibuktikan pada level pemikiran belaka, namun Gus Dur selalu tampil sebagai pembela pada level praktis. a. Jama’ah Ahmadiyah
75
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Ketika
banyak
kelompok
menghujat
dan
berusaha
menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara kekerasan dan penistaan seperti yang sering dialami jamaah Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil sebagai pembelanya. Bukan berarti Gus Dur setuju dengan keyakinan Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat menghormati keyakinan seseorang. b. Kasus Monitor Kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana tabloid tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara sebuah surveinya yang menyinggung perasaan umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus monitor menunjukkan bahwa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi isu-isu agama untuk mengedepankan kepentingan mereka. Sehingga beliau mendirikan Forum Demokrasi untuk memperjuangkan demokrasi di Indonesia c. Munculnya ICMI Berdirinya ICMI pada Desember 1990. Menurut Gus Dur, ICMI merupkan alat eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di atas kepentingan nasional. ICMI akan mengaliansikan non-Muslim dan memperburuk pembelahan dan salah paham yang sudah kuat dalam masyarakat Indonesia selama ini antara kelompok keagamaan, kesukuan dan budaya yang berbeda. Peristiwa ini pula yang melatarbelakangi Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi. d. Pembelaan terhadap Ulil Abshar Abdalla, Inul Daratista, dan kelompok yang dituduh Komunis. Ia tanpa ragu membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal” yang mengemukakan Liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi yang sangat jauh, misalnya anggapan
76
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
bahwa Ulil akan mempertahankan kemerdekaan berpikir seorang santri demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran Islam. Itulah sebabnya mengapa demikian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini. Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis Islam tertentu menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu Ia layak dihukum mati. Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis Ulama’, dan Seniman karena goyang ngebornya dianggap melanggar batas-batas kesusilaan umum. Mereka menggunakan justifikasi fatwafatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Di tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi wong cilik dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif. Dalam pembelaannya terhadap mereka yang diperlakukan tidak manusiawi karena dituduh sebagai anggota kelompok Komunis. Karena itu, ketika Ia menjadi Presiden, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP No. XXV/MPRS/1966 soal pelarangan penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Namun usul tersebut akhirnya ditolak. Dalam rapat yang berlangsung hari Senin 29 Mei 2000, seluruh fraksi MPR yang ada di panitia Ad Hoc II badan pekerja (PAH II BP) MPR menolak usul Gus Dur tersebut. Para anggota MPR tampaknya masih sulit membedakan antara Komunisme sebagai ideologi (pengetahuan) dan Komunisme sebagai gerakan partai (G 30 S PKI).146 e. Peristiwa Banyuwangi dan Pembunuhan di Jawa Timur Tahun 1998 Pembunuhan yang konon dilakukan oleh para Ninja
77
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
berpakaian serba hitam itu telah memakan korban 200 orang lebih, terbukti bahwa orang yang terlibat dalam pembunuhan ini mempunyai pendidikan militer dan terorganisir dengan baik. serta menginginkan kerusuhan sosial di masyarakat. Perlu dicatat bahwa sebagian korban peristiwa itu adalah anggota NU yang memiliki kedudukan sebagai Ulama’ di daerah mereka. Respon Gus Dur terhadap pembunuhan tersebut adalah dengan mengunjungi Banyuwangi dan mendorong para tokoh agama lokal untuk menahan diri dari godaan untuk merespons kekerasan ini dengan kekerasan. f. Sambas di Kalimantan Barat Daerah ini mempunyai sejarah konflik yang panjang, khususnya antara transmigran Madura dengan penduduk lokal Dayak dan masyarakat Melayu. secara kebetulan penduduk asal Madura mempunyai hubungan dengan NU. mempelajari akar konflik itu, sering dikatakan bahwa elemen-elemen kekerasan etnik dan agama berakar pada kenyataan bahwa dalam konflik itu masyarakat Dayak yang Kristen bekerja sama dengan masyarakat Melayu yang Muslim dan karenanya kerusuhan itu berkaitan dengan faktor sosio-ekonomi. Meski selama hari-hari sibuk pra-kampanye, Gus Dur menyempatkan diri untuk mengunjungi langsung daerah sengketa tersebut untuk bertemu dengan para pemimpin lokal dan meminta respons mereka dengan sabar dan dewasa terhadap persoalan yang sangat kompleks ini. serta kunjungan meredamkan konflik tersebut terus berlanjut pada kesempatan berikutnya. saat itu beliau ditemani oleh Alwi Shihab untuk bertemu dengan kelompok yang terdiri atas ratusan pemimpin lokal, mengadakan makan siang bersama dan membincangkan isu kekerasan dan peranan agama dan etnisitas. Baik Alwi maupun Gus Dur berbicara dengan baik, sabar dan penuh keyakinan serta agaknya punya
78
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
pengaruh besar terhadap para pendengarnya. sulit untuk menentukan sampai mana kunjungan singkat tersebut bersifat instrumental dalam pencapaian perubahan yang cepat, tetapi yang jelas Gus Dur konsisten dengan posisinya, memberikan prioritas untuk mendorong pemimpin agama lokal dan pemimpin masyarakat untuk menghindari kekerasan. g. Peristiwa Ambon di Maluku Di Ambon, tak lama setelah pecah kekerasan dan kondisinya saat itu benar-benar tegang sehingga tidak mungkin mengadakan pertemuan dengan kubu pemimpin Muslim maupun Kristen seperti yang direncanakan. meski demikian, Gus Dur tetap bertemu dengan para pemimpin masyarakat lokal dan membujuk mereka agar bersabar dan toleran dan menahan kekerasan. sulit sekali untuk mengukur arti kunjungan Gus Dur tersebut yang teramat penting, Gus Dur merasa perlu untuk mengunjungi dan mempertaruhkan reputasi persoalannya untuk mencari jalan pemecahan. h. GAM di Aceh Kunjungan Gus Dur ke Aceh pada bulan Mei 1999 adalah atas undangan mahasiswa Aceh untuk berbicara masalah-masalah yang dihadapi Aceh, khususnya berkaitan dengan kekerasan yang sedang dan terus berlangsung di Aceh di tangan militer/TNI dan semakin kuatnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). di sana Ia juga mengunjungi para pemimpin komunitas agama walaupun banyak diantaranya bukan anggota PKB, karna saat itu adalah saat menjelang kampanye. Meski sibuk menyiapkan kampanye, Gus Dur tetap menyempatkan untuk meredamkan konflik Aceh padahal Ia juga tahu bahwa Aceh bukanlah basis PKB. ini menunjukkan kunjungan tersebut memang murni dorongan hati nurani beliau. i.
79
Masalah Timor Timur
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Dalam seluruh aktivitas untuk menyelesaikan kekerasan ini,pelanggaran HAM dan konflik yang sedang berlangsung, satu persoalan penting muncul di hadapan Gus Dur dan dituntut untuk segera disikapi untuk merespons pasukan internasional penjaga perdamaian di Timor Timur. pada bulan September 1999, Gus Dur membuat serangkaian komentar keras, khususnya diarahkan pada pemerintahan Australia dan juga lembaga-lembaga lain yang dianggap mencampuri urusan internal Indonesia. j.
Persoalan Etnis China. Gus Dur sengaja melakukan hubungan dengan Beijing dan orang-orang China, baik di daratan China maupun seluruh Asia Tenggara. di samping untuk membantu orang-orang China di Indonesia sebagai WNI, juga menjadi pemikiran penting sebagai pendewasaan masyarakat Indonesia. karena itu dia nyatakan tujuan akhirnya adalah dihapuskannya diskriminasi atas orang-orang China Indonesia. bahkan dalam situasi yang tidak menguntungkan pun, berkaitan dengan resiko politik, dia telah menunjukkan dukungannya bagi orang-orang China, Kristen, dan masyarakat minoritas lainnya. Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan pecinan di Semarang Jawa Tengah, mentahbiskan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa. Gus Dur bukan hanya banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan yang menghormati masyarakat Tionghoa, tetapi juga mensejajarkan mereka dengan semua kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama, suku dan adat-istiadat yang berbeda. Pada level praktis dan kebijakan, pembelaan Gus Dur terhadap kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas.
80
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika merayakannya. Kebebasan ini tak lepas dari keputusan politik Gus Dur yang pada 17 Januari 2000 mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2000, isinya mencabut Inpres nomor 14/1967 yang dibuat Soeharto tentang agama, kepercayaan, dan adat-istiadat China. Dengan Inpres No 14/1967 rezim Orde Baru yang represif telah membuat Imlek terlarang dirayakan di depan publik; Barongsai, Liang Liong harus sembunyi; huruf-huruf atau lagu Mandarin tidak boleh diputar di radio.48 k. Konflik Filipina Seiring dengan berjalannya waktu, Gus Dur telah tumbuh berkembang reputasinya bukan hanya sebagai pemimpin agama yang memiliki komitmen terhadap nilai toleransi, tetapi juga seorang pemikir yang independen dan bijaksana, pada kunjungan ke Jakarta pada September 1993, Presiden Filipina, Fidel Ramos mencuri kesempatan untuk berkonsultasi dengan Gus Dur berkaitan dengan masalah perselisihan Muslim Moro di bagian selatan Pulau Mindanao agar dapat diselesaikan tanpa konflik senjata, Gus Dur sepakat dengan menambahkan bahwa: “semakin lama masyarakat Islam dibiasakan dengan konflik bersenjata, semakin lama pula mereka diharuskan berjuang mengatasi kemundurannya”, Ramos kemudian mengundang Gus Dur untuk mengunjungi Filipina dan membantu berunding dengan Front Pembebasan Moro. permintaan yang diresponnya pada tahun berikutnya. lebih menarik lagi itu dua pekan sebelum kunjungan Ramos ke Jakarta, Gus Dur dianugerahi salah satu hadiah paling bergengsi di Filipina dan Asia Tenggara, yaitu Magsaysay Award (sebagai keterlibatan Gus Dur yang luas dalam upaya untuk mengembangkan toleransi beragama). 48
Hanif Dhakiri. hlm. 71
81
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
l.
Hubungan Diplomatik dengan Israel Dalam hal ini dukungan Gus Dur untuk membuka hubungan
diplomatik dengan Israel. sangatlah penting untuk menimbang konteks historis
posisi
kebijakan
Gus
Dur,
khususnya
dalam
pertemuanpertemuan sebelumnya dengan Israel. Gus Dur sendiri telah memberikan berbagai macam alasan bahwa hubungan tersebut berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan perwujudan kemauan baik pada Israel itu sendiri. Jika Indonesia dapat membuka hubungan dengan Israel, maka Indonesia akan memiliki posisi yang sangat kuat untuk memperkuat argumentasi bagi perbaikan sosial dan politik di Timur Tengah, khususnya Israel dengan Palestina. dalam konteks ini, Gus Dur mengatakan bahwa sebagai Muslim terbesar di dunia, sangatlah tepat jika Indonesia memainkan peranan penting bagi perdamaian Israel dan Palestina. sudah pasti normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel sangat terikat dengan suksesnya perdamaian itu. Inilah yang mendasari Gus Dur ketika pertama kali mengunjungi Israel pada bulan oktober 1994 untuk menjadi saksi kemajuan proses perdamaian antara Israel dengan negara-negara “Arab”. Gus Dur berempat, ditemani oleh tokoh utama dialog antaragama. Analisis Tentang Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid 1. Terbentuknya Watak Pluralisme Abdurrahman Wahid Dari
lacakan
epitemologis,
Gus
Dur
bukanlah
seorang
yang
eksistensialis, melainkan seorang yang beragama dan percaya pada konsep wahyu, tetapi Ia gabungkan dengan pemikiran modern. Bahwa kalau memang ada Tuhan Allah Sang Pencipta, ada wahyu dan ada kitab suci, tetapi juga ada pengetahuan obyektif. Jadi ada yang mutlak tetapi kemutlakan itu dibatasi oleh yang tidak mutlak. Jadi secara otomatis ada implikasi pluralisme. Ini adalah sumber pluralisme intelektual, tetapi ada 82
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
juga sumber-sumber pluralisme yang lain. Orang bisa pluralis karena punya sikap humanitarian, kecintaan kepada manusia membuat kita saling menghormati. Telah disadari bahwa betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai dengan budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami. Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek perilaku yang humanis, pengaruh para Kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan. Menurut Greg Barton, Sebagai seorang remaja, Gus Dur mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, serta pada saat yang sama ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To be Done karya
83
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Lenin, sehingga Ia tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-Mao. Saat di Mesir, Gus Dur juga dengan penuh minat mengikuti bagaimana Mesir sebagai negara memperlakukan pemikir Islam Sayyid Qutb. Pada saat itu ia telah membaca karya-karya penulis Islam dan akhirnya mendapati bahwa pemikiran Islam bersifat ekstrim dan sangat naif. Misalnya karyakarya Hasan al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin), Ali Syari’ati, Sayyid Qutb, dan penulis-penulis lain. Gus Dur juga belajar kepada salah seorang temannya bernama Ramin ketika ia tinggal di Baghdad, tepatnya karena mereka berdua samasama bekerja di ar-Rahmadani (perusahaan impor tekstil dari Eropa dan Amerika). Ramin berasal dari komunitas kecil Yahudi Irak, juga merupakan pemikir liberal dan terbuka. Mereka bertemu secara rutin untuk membicarakan agama, filsafat, dan politik. Dari Ramin-lah Gus Dur pertama kali mengetahui Yudaisme dan pengalaman orang-orang Yahudi. Ramin berbicara panjang lebar mengenai cobaan berat yang dialami orangorang Yahudi yang tinggal di Rusia. Ia juga bercerita mengenai keluarganya sendiri yang tinggal di Irak. Dari Ramin jugalah Gus Dur mulai belajar menghormati Yudaisme dan memahami pandangan agama Yahudi serta keprihatinan politik dan sosial orang-orang Yahudi yang hidup dalam diaspora sebagai kaum minoritas yang selalu disiksa. Akan tetapi bagi Gus Dur, topik yang sangat menarik perhatiannya bukanlah politik atau filasafat yang dipelajari sebagai sesuatu yang abstrak, namun bagaimana agar mempunyai sifat manusiawi. Pada waktu itu, dan kemudian sepanjang hidupnya, ia sangat suka memahami kepelikan sifat manusia. Sebagaimana yang ia pelajari dalam Wayang Kulit, yang berisi kisah-kisah mengenai bagaimana menghargai ambivalensi, maka dalam sastra-sastra besar Eropa ia juga belajar menghargai kepelikan dan bermacam lapis kelabu yang membentuk sifat manusia. Cintanya akan
84
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
kemanusian ini, yang dibinanya lewat sastra klasik, dilengkapi oleh kegemarannya menonton film. Demikianlah rasa cinta Gus Dur yang besar akan sastra dan ilmu pada umumnya. Pluralisme merupakan salah satu komponen dari liberalisme, di samping komponen yang lain yaitu kebebasan, toleransi, serta persamaan. Terbentuknya liberalisme Gus Dur tidaklah sulit untuk diidentifikasi, dan juga tidak mengejutkan bahwa daya tarik Islamisme radikalnya tidak berumur panjang. Menurut Greg Barton, Pengaruh yang pertama adalah keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan keluarga ini ia dididik untuk bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual. Yang kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam tradisional Indonesia, dan yang ketiga adalah ia dipengaruhi oleh orientasi budaya masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme. Akhirnya ia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajarinya karena keduanya memberikan kesempatan kepada dirinya untuk mencoba mensintesiskan pemikiran Barat modern dengan Islam. Greg Barton juga menyatakan bahwa, terdapat lima elemen kunci yang dapat disimpulkan dari pemikiran Abdurrahman Wahid49: Pertama, pemikirannya progresif dan bervisi jauh ke depan. baginya, dari pada terlena oleh kemenangan masa lalu, Gus Dur melihat masa depan dengan harapan yang pasti, bahwa bagi Islam dan masyarakat Muslim, sesuatu yang terbaik pasti akan datang. Kedua, pemikiran Gus Dur sebagian besar merupakan respons terhadap modernitas; respons dengan penuh percaya diri dan cerdas. Sembari tetap kritis terhadap kegagalan – kegagalan masyarakat Barat modern, Gus Dur secara umum bersikap positif terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca
49
Greg Barton, “Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan” dalam M. Syafi’i Ma’arif, dkk. Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 124-125
85
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
pencerahan, walaupun dia juga berpendapat hal ini perlu diikatkan pada dasar-dasar teistik. Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi sekularisme yang teistik yang ditegaskan dalam Pancasila merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik bagi terbentuknya negara Indonesia modern dengan alasan posisi non-sektarian Pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Gus Dur menegaskan bahwa ruang yang paling cocok untuk Islam adalah ruang sipil (civil sphere), bukan ruang politik praktis, Keempat, Gus Dur mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan terbuka yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Gus Dur mempresentasikan sintesis cerdas pemikiran Islam tradisional, elemen modernisme Islam, dan kesarjanaan Barat modern, yang berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran intelektual yang kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama Islam. Dari kelima kunci pemikiran Gus Dur tersebut, terlihat bahwa fokus utama pemikiran beliau bertumpu pada terciptanya kehidupan yang damai sesuai dengan cita-cita Islam yang memberi rahmat kepada seluruh alam dengan menghormati HAM secara penuh, memberi ruang gerak demokrasi, serta mengembangkan sikap pluralisme, yang kesemuanya itu merupakan ajaran Islam yang terkandung pada prinsip universal Islam pada maqashid al-syari’ah. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid Salah satu aspek yang paling dapat dipahami dari Abdurrahman Wahid adalah bahwa Ia sang penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China Indonesia, juga penganut Kristen dan kelompokkelompok lain yang tidak diuntungkan. Gus Dur dipahami sebagai Muslim non-
86
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Yang secara luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa Gus Dur itu orang yang bangga sebagai seorang Muslim. Dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih dari itu, Gus Dur adalah tokoh spiritual, figur mistik yang dalam pandangannya dunia spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia. Dengan memahami berbagai pemikiran Gus Dur yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka ide-ide mengenai Konsep pendidikan pluralisme menurut beliau yaitu: a. Pendidikan
pluralisme
Abdurrahman
Wahid
didasarkan
pada
penghormatan yang mendalam terhadap tradisi keilmuan NU, yang prinsip pluralismenya terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan mengakui perbedaan sebagai keniscayaan bahwa Allah memang menciptakan perbedaan itu agar saling mengenal dan menghindari perpecahan. Konsep pluralisme yang didasarkan pada QS. al-Hujurat ayat 13, menurut Gus Dur ayat tersebut jelas menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan. Beliau tidak mempersamakan keyakinan secara total, karena masingmasing percaya bahwa akidahnya sendiri adalah benar. Namun hendaknya kita tetap meyakini kebenaran agama kita sendiri. Kendati demikian kita harus tetap menciptakan suasana yang harmonis. Sehingga dipahami bahwa Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita semua mengakui dan menyadari bahwa setiap agama mempunyai ajaran yang berbeda-beda. b. Tugas Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu membentuk masyarakat yang mengakui perbedaan
87
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
sebagai ketentuan dari Tuhan, serta menjalin kerjasama meskipun
berbeda
agama.
Abdurrahman
Wahid
mengembangkan pluralisme dengan bertindak dan berpikir. Dalam bertindak yaitu hendaknya kita bersikap inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan orang lain, meski berbeda keyakinan. Dalam berpikir, bersedia menerima dan mengambil gagasan atau pemikiran dari kalangan lain. Apa yang muncul paling jelas dalam pemikiran Gus Dur adalah keyakinan bahwa pandangan religius yang membentuk dan melahirkan nilai-nilai yang berasal dari Eropa Kristen dan Yahudi sejajar dalam visi pokoknya dengan pesan Islam. Dengan kata lain, Gus Dur seperti intelektual progresif lainnya di Indonesia, tidak mempermasalahkan hubungan antara Islam dan Barat. Walaupun tidak menolak adanya perbedaan penting antara keduanya, Gus Dur berargumentasi dengan efektif bahwa arah dan perhatian utama tradisi Judeo, Kristen dan Islam sangat dekat bila dicari sistem nilainya yang paling utama. c. Fungsi Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu sebagai wadah untuk Mengembangkan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan terhadap umat beragama lain, bukan sekedar saling menghormati serta tenggang rasa, tetapi yang diperlukan adalah rasa saling memiliki . Sebenarnya
istilah
toleransi
jauh
terlalu
lemah
untuk
mendeskripsikan sikap Gus Dur. Gus Dur tanpa sedikitpun memperlemah keyakinan Islaminya, sepenuhnya menerima keberadaan umat beragama lain. toleransi, keterbukaan, ketenangan berhadapan dengan agamaagama lain, itu agak unik pada Gus Dur. seakan-akan Ia begitu mantap dalam keislamannya sehingga dengan gampang dapat berbesar hati pada agama-agama lain. Gus Dur sering dianggap terlalu dekat dengan kaum minoritas dan kritis pada agamanya sendiri. Tetapi argumen itu lebih
88
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
merupakan tanda kekerdilan mereka yang mengajukannya. Dengan demikian, Gus Dur adalah seorang humanis50 yakin dalam arti yang sebenar-benarnya; Ia akan selalu membela yang lemah, tertindas, minoritas, dan Ia tidak akan tunduk terhadap prasangka-prasangka. d. Tujuan Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid berorientasi pada terciptanya kerjasama antar pemeluk agama yang berbeda serta menghindari perpecahan, agar terwujud kehidupan yang harmonis dan sejahtera. e. Mengenai penerapan Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu dengan menanamkan pendidikan nilai-nilai toleransi sejak dini dan berkelanjutan terhadap anak didik dari mulai kecil sampai perguruan tinggi. Upaya ini sangat efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama pada peserta didik yang berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain. Gus Dur sangat yakin bahwa Islam adalah keyakinan yang menebar kasih sayang, yang secara mendasar toleran dan menghargai perbedaan. Bagi Gus Dur, Islam adalah keyakinan yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan ras, suku, kelas, gender, atau pengelompokanpengelompokan lainnya dalam masyarakat. Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara. Bagian dari keyakinan mendasar Gus Dur adalah bahwa nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan liberalisme
50
Seperti ketika menjelang wafatnya, Gus Dur berpesan agar batu nisan di makamnya kelak ditulis “di sini telah dikubur seorang humanis”.
89
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
adalah nilai-nilai universal. Kemudian Ia berargumentasi bahwa prinsipprinsip itu dapat diterapkan di Timur sebagaimana di Barat. Kendati demikian, Ia menolak argumentasi yang terlalu menyederhanakan, yaitu bahwa hal ini karena Islam adalah sumber asli pemikiran, nilai-nilai, dan ideide. Bahkan Gus Dur menganggap pandangan ini apologetik saja. Gus Dur lebih lanjut menegaskan bahwa prinsip-prinsip mendasar yang berasal dari pencerahan duduk setara dengan pesan utama Islam. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Ditinjau dari Pendidikan Islam 1. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Prinsip Pendidikan Pluralisme Menurut Gus Dur, Prinsip pluralisme harus dilihat dalam konteks manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme peradaban Islam, ajaran moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat (maqashid al-syari’ah), meliputi; keselamatan fisik warga masyarakat (hifdzu alnafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing (hifdzu al-din), keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl), keselamatan harta benda dan milik pribadi (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk). Kesemuanya itu merupakan konsep yang dijadikan Gus Dur sebagai prinsip Universal Islam.51 Watak kosmopolitanisme dari peradaban Islam itu sesungguhnya telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan caracara Nabi Muhammad saw. mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya ensiklopedis Muslim awal pada abad ketiga Hijriyah, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Islam pada waktu itu. Yaitu mulai dari sisa-sisa peradaban Yunani Kuno yang berupa hellenisme hingga peradaban Anak Benua India.
51
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 4-5
90
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya, heterogenitas politik, dan bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik52 selama berabadabad. Kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat termasuk mereka
yang
non-Muslim.
Kosmopolitanisme
seperti
itu
adalah
kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mancari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalime ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata. Namun demikian, proses tersebut bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Dalam Persepektif Pendidikan Islam Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.53 Pendidikan Islam juga mempunyai pengertian sebagai suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.54 Dari penjelasan tersebut, diketahui bahwa pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid yang mengupayakan untuk menanamkan nilainilai toleransi pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan
52
Sikap berfilsafat yang bersifat memilih atau seleksi dari berbagai sumber untuk membangun pemikiran filsafat sendiri 53 Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 23 54 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 4
91
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
mengembangkan rasa saling pengertian dan saling memiliki terhadap umat agama lain itu sesuai dengan konsep pendidikan Islam yang selalu berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur. Dasar yang menjadi acuan Pendidikan Islam merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu dasar yang terpenting dari Pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW.55 kedua dasar itulah yang dijadikan Abdurrahman Wahid sebagai landasan pemikiran dan tindakannya. Menurut beliau, dalam mencapai taraf hidup yang sejahtera, Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa bekerjasama dalam hal muamalat tak hanya dengan umat Muslim saja. Seperti yang telah dijelaskan dalam ajaran agama bahwa umat Islam hendaknya saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan taqwa (wa ta’āwanū ’ala al-birri wa al-taqwā, QS.al- Maidah:2), juga anjuran untuk berlomba dalam kebaikan (fastabiqu alkhairāt, QS. alBaqarah: 148). Dalam mengakui perbedaan antara laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa di bumi ini, menurut Gus Dur hal itu sebagai keniscayaan bahwa Allah memang menciptakan perbedaan itu agar saling mengenal dan menghindari perpecahan. Dalam al-Qur’an juga dijelaskan bahwa kita semua diperintahkan untuk berpegang teguh pada tali Allah, dan dilarang untuk bercerai berai (QS. Ali Imran: 103). Pada ayat yang lain misalnya, dalam menjelaskan QS. al-Baqarah: 120 yang artinya: “Dan orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan rela kepadamu, hingga engkau mengikuti kebenaran/aqidah mereka. Gus Dur memandang bahwa selama Nabi Muhammad saw. masih berkeyakinan; Tuhan adalah Allah, dan Beliau sendiri adalah utusan Allah swt. selama itu pula orang-orang Yahudi dan Kristen tidak dapat menerima (berarti tidak rela) kepada keyakinan/aqidah tersebut. Sama halnya dengan sikap kaum Muslimin sendiri. Selama orang
55
Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. V, hlm. 34
92
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka selama itu pula kaum Muslimin tidak akan rela kepada kedua agama tersebut. Dalam arti tidak menerima ajaran mereka. Gus Dur menjelaskan bahwa jika kita bersikap demikian, hal itu sebenarnya wajar-wajar saja, karena menyangkut penerimaan keyakinan. Tetapi hal itu tidak menghalangi para pemeluk ketiga agama itu untuk bekerjasama dalam hal muamalat, yaitu memperbaiki nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Mereka dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi tersebut dengan menggunakan ajaran masing-masing.56 Amal perbuatan kaum Muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki sebuah nilai lebih. hal itu dinyatakan sendiri oleh QS. Ali Imran: 85: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhirat. dan ia adalah orang yang merugi”. dari Kitab suci ini dapat diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan seorang non-Muslim, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapapun. Sebenarnya pengertian kata diterima di akhirat berkaitan dengan keyakinan agama dan dengan keyakinan demikian memiliki kualitas tersendiri. sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan secara teknis membawa manfaat bagi manusia lain. jadi manfaat dari setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun dimensi penerimaan dari sudut keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. pengislaman perbuatan kita justru tidak tergantung dari nilaiperbuatan teknis semata, karena antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi yang berbeda satu dari yang lain.
56
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2002), hlm. 135
93
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Dengan demikian, dasar pendidikan Islam itulah yang juga menjadi dasar pemikiran pendidikan pluralisme Abdurrahman wahid, sehingga sangatlah relevan. Pemikiran mengenai sikap saling memahami dan menghargai memang diajarkan dalam setiap agama. Islam dengan jelas menempatkan toleransi sebagai ajaran penting yang diwakili idiom alirham (QS. An Nisa’: 1) dan al-ta’aruf (QS. Al Hujurat: 13) yang berarti silaturrahmi dan saling mengenal. Demikian pula lafadz amalunā‘amalukum dapat ditafsirkan sebagai asas penghargaan terhadap wilayah keunikan setiap agama. Sejarah berbicara bahwa Rasulullah telah menanamkan sikap tasamuh pada masyarakat Makkah dan Madinah untuk hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani.57 Ditinjau dari segi tugas pendidikan Islam yaitu membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal,58 maka langkah beliau dalam merumuskan pendidikan pluralisme yaitu bahwa untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik harus dilakukan sejak dini dan berkelanjutan mulai dari kecil sampai perguruan tinggi sehingga akan tercapai tugas tersebut yang menjadikan peserta didik mampu membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga akan mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Dari segi fungsi pendidikan Islam yaitu menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan agar berjalan dengan lancar, hendaknya mampu menjadi wahana mempererat persaudaraan di antara masyarakat
57
Hal tersebut sesuai dengan pembahasan dalam Seminar internasional pertama tentang pendidikan antar-agama (interfaith education) yang diselenggarakan UIN Jakarta secara resmi ditutup Presiden RI di Istana Negara tanggal 4 Februari 2005 lalu. Konferensi yang berlangsung tiga hari ini terbilang cukup prestisius. Mayoritas pembicara kunci (keynote speakers) datang dari sejumlah negara dengan beragam latar belakang keyakinan agama seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu, serta Taoisme. dan Gus Dur merupakan salah satu pembicara yang mewakili Indonesia. Lihat: http://rohmatmulyana.blogspot.com/2015/05/issue-pendidikan-antar-agama.html 58 Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, loc. cit.
94
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
beragama, mengantarkan peserta didik memiliki cara pandang inklusif, peduli terhadap sesama manusia yang sama-sama ciptaan Tuhan. Sementara itu, pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid jika ditinjau dari segi Tujuan Pendidikan Islam,59 memiliki tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang bertakwa, mengantarkannya
menjadi
khalifatullah
fi
al-ardl
yang
mampu
memakmurkannya, dan memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat. Hal tersebut akan tercapai jika ada upaya untuk menjalankan amanat sebagai khalifatullah fi al-ardl dengan cara senantiasa menciptakan kedamaian bagi sesama makhluk Tuhan, mengembangkan rasa saling pengertian yang tulus terhadap umat beragama lain, bukan sekedar saling menghormati serta tenggang rasa, tetapi yang diperlukan adalah rasa saling memiliki. Dalam pembahasan mengenai kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum yang sesuai bagi masyarakat Indonesia yang majemuk yaitu kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi muda yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.60 Selain itu, perlu kiranya memperhatikan kurikulum sebagai proses. Ada empat hal yang perlu diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai proses ini, yaitu; (a) posisi siswa sebagai subjek dalam belajar, (b) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya, (c) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behaviour kultur 59
Menurut Prof. Achmadi, tujuan tertinggi/terakhir Pendidikan Islam, yaitu menjadi hamba Allah yang bertakwa, mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fi al-ardl yang mampu memakmurkannya, dan memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat. Lihat, Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 95 60 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 99
95
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
siswa, (d) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan seharusnya mencakup subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan. Salah satu cara paling efektif menerapkan kurikulum yang dapat menunjang proses belajar siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis artinya peserta didik dapat menerima dan mampu mengembangkan pluralisme dengan kesadaran diri, menurut Abdurrahman Wahid, hendaknya peserta didik mampu belajar dari penerimaan secara terbuka terhadap pluralisme makanan. Siapapun yang memahami realitas keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan semakin kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya merupakan unsur kekuatan, bukan unsur ancaman. Makanan yang begitu banyak aneka ragamnya telah menjadi fakta bahwa pluralisme atau kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang harus didayagunakan untuk kemajuan bangsa A. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid Dalam Konteks Keindonesiaan 1. Indonesia Adalah Negara Pancasila, Bukan Negara Islam Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari bermacammacam etnis, bahasa, suku, ras, agama, dan kepercayaan yang saling berinteraksi secara harmonis. Semuanya memiliki kesadaran berbangsa dan cinta tanah air dengan ditunjukkannya semangat membela Negara dan mempertahankan Kesatuan Negara Republik Indonesia dari pihak-pihak penjajah sampai titik darah penghabisan. Tak hanya suku Jawa yang berjuang dan tak hanya umat Muslim yang mempertahankannya, namun semua komponen bangsa, bukan segelintir pihak. Sehingga upaya untuk menerapkan formalisasi, syari’atisasi maupun ideologisasi Islam pada Negara merupakan hal yang mustahil.
96
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Gus Dur dengan tegas menolak pembentukan Negara Islam bagi Indonesia, sikap tersebut didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup tidak memiliki konsep yang jelas tentang Negara. Dasar yang dipakai beliau adalah: Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. Itu terbukti ketika wafatnya Nabi Muhammad saw., dan digantikan Abu Bakar melalui bai’at oleh kepala suku dan wakil-wakil kelompok umat pada waktu itu. Sedangkan Abu Bakar sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat menggantikan posisinya. Berarti sistem yang dipakai adalah penunjukan. Sementara Umar menjelang wafat meminta agar penggantinya ditunjuk melalui dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu terpilihlah Usman bin Affan. Selanjutnya Usman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu Abu Sufyan juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali. Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau sistem marga yang menurunkan calon-calon raja dan sultan dalam sejarah Islam. Kedua, besarnya Negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad saw. meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya Negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks Negarabangsa ataukah hanya Negara kota. Acuan inilah yang dipegang Gus Dur sebagai prinsip untuk menolak dijadikannya Indonesia sebagai Negara Islam. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak zaman Kerajaan Majapahit telah membuktikan adanya pluralisme. Para pendiri Indonesia juga telah mewariskan nilai-nilai utama dalam membangun kehidupan bangsa yang majemuk. Mereka mampu menempatkan antara agama dan nasionalisme secara seimbang. Sikap dan perjuangan Gus Dur membela pluralisme tidak datang seketika. Ia memahami sejarah kebangsaan dan ke-NU-an dengan cermat, sebelum akhirnya memilih jalan itu. Tokohtokoh NU sejak sebelum
97
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
kemerdekaan, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah, telah memikirkan bagaimana menempatkan Islam agar dapat berfungsi dalam Indonesia yang majemuk serta menjadikan Islam hidup berdampingan dengan agama lain. Pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU telah memutuskan bahwa Hindia Belanda (nama Indonesia waktu itu) tidak memerlukan Islam sebagai ideologi negara. Namun, umat Islam tetap wajib membela negaranya meskipun negaranya tidak berbentuk negara Islam. Keputusan ini pulalah yang membuat NU mengakui Pancasila dan UUD 1945 saat ormas-ormas Islam lain masih memperdebatkannya. UUD 1945 dan Pancasila yang memberikan jaminan atas pluralisme juga banyak mengandung nilai Islam, seperti mewujudkan kesejahteraan bersama serta menciptakan masyarakat adil dan makmur. Sering kali Gus Dur mengutip atau bahkan mendasarkan tindakannya sesuai dengan kaidah ushul fiqih, menanggapi keadaan atau situasi bangsa. Dalam soal kepemimpinan, misalnya, Gus Dur sering mengutip kaidah ushul, tasharrafu al imām ’alā al-ra’iyyah, manūthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya, bergantung pada kemaslahatan atau kesejahteraan). Dalam soal pembaruan, Gus Dur juga memakai kaidah ushul almuhāfadzatu ’ala al-qadim al-shālih, wa alakhdu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi terdahulu yang baik, dan menerima sesuatu yang baru, yang lebih baik). Artinya, sikap pluralisme Gus Dur sudah terbangun sejak kecil dan menerapkannya pada era modern. Apa yang selama ini dipahami sebagai tradisi, Gus Dur mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Sebelum dipimpin Gus Dur, citra NU yang menonjol adalah sebagai organisasi Islam yang eksklusif dari pengaruh pemikiran kontemporer yang berkembang, konservatif dalam pemahaman keagamaan, dan fundamentalis dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. hanya dalam tiga periode kepemimpinannya, dia berhasil mengubah citra NU menjadi inklusif, modern, dan moderat.
98
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Semangat itu pula yang menginspirasinya untuk menjadikan Indonesia yang sejahtera dengan kemajemukan warganya. UUD 1945 telah menjamin hak hidup dan kemerdekaan untuk menganut keyakinan dan mengungkapkan pendapat. Ini harus dipertahankan mati-matian apa pun resikonya, Dalam hidup berbangsa, umat Islam perlu saling mengembangkan dialog dan kerja sama dengan umat agama lain. Hanya dengan dialog dan kerja sama inilah yang akan membuat umat Islam terus belajar dan mampu hidup berdampingan dengan umat lain. Kondisi ini menempatkan Islam bukan sebagai alternatif, tetapi sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa. 2. Memperjuangkan Penegakan Demokrasi, HAM, dan Pluralisme di Indonesia Bagi kalangan minoritas, Gus Dur dianggap sebagai pembela utama eksistensi mereka. Masyarakat Papua, etnis Tionghoa, atau umat Nasrani menganggap Gus Dur sebagai pembela di tengah tantangan dan ancaman politis masyarakat atau negara. Ia mengatakan bahwa pembelaan terhadap kelompok minoritas bukan perjuangan mudah. Oleh karena itu, nasib kelompok minoritas yang selama ini tersisih harus terus diperjuangkan sesuai dengan amanat UUD 1945. Menurut Gus Dur, pemerintah tidak perlu melihat segala tuntutan kelompok minoritas hanya dari kacamata politis. Jika segala tindakan kelompok minoritas dipandang sebagai gerakan politis, berarti negara telah kehilangan penghargaan atas keragaman yang dibangunnya sendiri. Pluralisme Indonesia merupakan yang paling kuat dibandingkan negara lain. Karena itu, perbedaan itu tidak perlu dipolitisasi. Kegigihannya membela pluralisme inilah yang membuat Gus Dur pada dianugerahi Medals of Valor dari The Simon Wiesenthal Center di Amerika Serikat. Ia dinilai gigih memperjuangkan moderasi dalam Islam dan membangun dialog dengan agama-agama lain dan turut menciptakan perdamaian dunia.
99
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Gus Dur adalah orang yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya. dan prinsip-prinsip ini berakar pada pemahamannya terhadap Islam yang liberal, yaitu pemahamannya yang menekankan pada rahmat, pengampunan, kasih sayang Tuhan dan keharusan kita untuk mengikuti sifat-sifat ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan beragama. Gus Dur sudah lama dikenal sebagai pembela kaum yang lemah, dan selama berpuluh-puluh tahun Ia adalah orang yang terus terang, sering mempertaruhkan reputasi personal yang cukup besar, dalam membela kelompok yang orang lain enggan membelanya. Dan komitmennya pada toleransi, keterbukaan, kasih sayang dan pembebasan dalam hubungan antar-komunal maupun antar-iman ini merupakan salah satu identitas Gus Dur dalam memandang kehidupan publik baik politik maupun religius. Gus Dur adalah sosok pemimpin sejati yang selalu memayungi dan mengayomi semua golongan tanpa melihat perbedaan ras, agama, kepercayaan dan profesi. Gus Dur selalu melindungi dan mengayomi hakhak minoritas dari kesewenang-wenangan mayoritas di Indonesia. Perjuangan beliau Tak hanya pada konsep pemikiran belaka, namun langkah konkret beliau lakukan dalam mewujudkan masyarakat berbangsa yang adil dan harmonis. Sehingga beliau layak disebut sebagai Bapak Pluralisme, Bapak Demokrasi, serta Pejuang HAM. Perjuangan konkrit Gus Dur misalnya, Ketika banyak kelompok menghujat dan berusaha menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara kekerasan dan penistaan seperti yang sering dialami jamaah Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil sebagai pembelanya. Bukan berarti Gus Dur setuju dengan keyakinan Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat menghormati keyakinan seseorang. Ia juga ingin menunjukkan cara memahami dan menghayati agama secara dewasa, penuh kearifan dan kebijaksanaan. Tidak semata-mata pemahaman agama yang berdasarkan pengetahuan dan sisi normatifnya saja. Ia berpegang pada ajaran sang Kiai bahwa boleh saja kita
100
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
memandang keyakinan orang lain atau agama orang itu dianggap sesat, tetapi hal itu tidak dengan sendirinya menjadi boleh bagi kita untuk melarangnya atau melenyapkannya. Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas. Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyisembunyi jika merayakannya. Karena sebelumnya para warga keturunan Tionghoa harus mengganti namanya menjadi nama pribumi, tidak boleh mendirikan sekolah, dilarang mendirikan surat kabar atau majalah yang berbahasa Mandarin, dan yang lebih parah lagi bahwa mereka dilarang beragama Konghucu. Beliau berpandangan bahwa Indonesia dari latar belakang sejarahnya terbentuk oleh orang yang mempunyai asal-usul berbedabeda secara bersama-sama mendirikan Negara ini, termasuk warga keturunan Tionghoa. Sehingga segala bentuk diskriminasi kepada masyarakat Tionghoa sangat bertentangan dengan nilai perjuangan pembentukan bangsa ini. Gus Dur juga dikenal sebagai pejuang demokrasi yang sangat gigih. Karena itu, pada Maret 1991 Gus Dur bersama para koleganya mendirikan Forum Demokrasi. Tujuan utamanya adalah untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi di Indonesia baik pada level kelembagaan maupun kesadaran masyarakat.
Namun
secara
khusus
berdirinya
forum
demokrasi
dilatarbelakangi oleh dua peristiwa penting di Republik ini. Pertama, kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana tabloid tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara sebuah surveinya yang menyinggung perasaan umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus monitor menunjukkan bahwa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi isu-isu agama untuk mengedepankan kepentingan mereka. Kedua, berdirinya ICMI pada Desember 1990. Menurut Gus Dur, ICMI merupkan alat eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di atas
101
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
kepentingan
nasional.
ICMI
akan
mengaliansikan
non-Muslim
dan
memperburuk pembelahan dan salah paham yang sudah kuat dalam masyarakat Indonesia selama ini antara kelompok keagamaan, kesukuan dan budaya yang berbeda. Apresiasi Gus Dur terhadap HAM bukan hanya dalam konsep saja, Gus Dur menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang menyangkut hak-hak kaum minoritas, penghormatan terhadap non-Muslim. Ia tanpa ragu membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal” yang mengemukakan Liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi yang sangat jauh, misalnya anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan kemerdekaan
berpikir
seorang
santri
demikian
bebasnya,
sehingga
meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran Islam. Itulah sebabnya mengapa demikian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini. Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis Islam tertentu menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu Ia layak dihukum mati Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja Ia percaya akan batas batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama Ia percaya ayat 88 QS. al-Qashas yang berbunyi: “Segala sesuatu akan musnah kecuali Dzat Allah”. Serta yakin akan kebenaran kalimat tauhid, maka Ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti Muslim, akan terkena sabda Nabi Muhammad saw. ”Barang siapa yang mengkafirkan saudaranya yang beragama Islam, justeru ialah yang kafir”. Disadari atau tidak, bahwa hanya dengan cara menemukan pemikiran seperti itu, barulah islam dapat berhadapan dengan tantangan sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para
102
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
ulama’ di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan perbedaanperbedaan pemikiran seperti itu? Berpijak pada adagium seperti “Perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat.” Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis Ulama’, dan Seniman karena goyang ngebornya dianggap melanggar batas-batas kesusilaan umum. Mereka menggunakan justifikasi fatwafatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Di tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi wong cilik dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif. Dari pandangan dan impressinya terhadap HAM itu, jelas bahwa Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai HAM. Gus Dur menginginkan agar Islam memberikan kesempatan lebih luas kepada semua orang untuk berkarya tanpa dibatasi oleh apapun, seperti identitas politik dan etnik. Islam bagi Gus Dur, mencapai titik kemajuan tertinggi justru ketika seluruh ekspresi dan karya cipta orang perorang dan kelompok diberi hak hidup yang sama betapapun menyimpangnya atau dianggap bid’ah. Islam juga memberikan kesempatan kepada siapapun untuk terlibat langsung dalam pemajuan islam itu sendiri. Merespon balik dengan cara menulis atau menciptakan karya sebanding adalah satusatunya cara yang diperbolehkan jika seseorang atau kelompok tidak menyetujuinya. Situasi seperti itulah ketika Islam mencapai titik tertinggi. Dan itulah cita-cita kebangkitan Islam.61 3. Solusi Bagi Permasalahan Kemajemukan di Indonesia Pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang mendalam antara 61
Abdurrahman Wahid, hlm. 145
103
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu, dan kebudayaannya. kalaupun tidak terjadi salah pengertian mendasar antara unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka. Telah
menjadi nyata bagi kita bahwa masalah pokok dalam hal
hubungan antarumat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita akan menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki, bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.62 Memang mayoritas bangsa kita yang Notabene beragama Islam, masih dicekam oleh kemiskinan dan kebodohan sehingga mudah dirayu untuk berpindah agama secara murahan. kondisi logis dari kenyataan itu sebenarnya adalah keharusan bagi gerakan Islam untuk memajukan umat mereka. ini berarti para pemimpin Islam di segenap tingkatan harus menutup mata terhadap semua ekses yang terjadi dalam kehidupan beragama di negeri ini. harus ada langkah-langkah untuk menangani dan mencegah terulangnya ekses-ekses itu, termasuk cara penyebaran agama terlalu agresif, yang dilakukan oleh sementara kelompok penganut agama dari golongan minoritas. Namun cara penanganan dan penangkalan haruslah dilakukan dengan bijaksana, tanpa harus melakukan generalisasi terhadap semua warga umat dari agama tersebut. Kesimpulan Pluralisme menurut Abdurrahaman merupakan hak kebebasan dalam semua aspek baik kebebasan beragama, budaya, ras, politik dan sebagainya. Pluralisme sangatlah penting bagi bangsa indonesia yang notabennya merupakan negara yang beraneka/beragam agama, suku, budaya, ras dan sebagainya.Wajah budaya Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran 62
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran
104
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
yang tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi tersebut harus dapat diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat sehingga terbentuklah suatu masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga kaya akan ide-ide baru. Pluralitas masyarakat Indonesia sendiri sekurang-kurangnya bisa dilihat sebagai fakta dalam dua sisi. Sisi pertama: pluralitas suku, agama, dan budaya serta berbagai turunannya. Sisi kedua: pluralitas di internal suku, agama, dan budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, terdapat berbagai aliran yang secara formal sering kali berseberangan. Demikian juga di dalam agama, budaya dan suku yang lain. Toleransi yang diajarkan Gus Dur merupakan ajaran semua agama dan budaya, apalagi dalam masyarakat majemuk dan multikultur seperti Indonesia. Namun, toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur berbeda dari tokoh-tokoh agama lain. Gus Dur mengajarkan toleransi plus, yaitu kalau kebanyakan
orang
membudayakan
toleransi
sebatas
pada
hidup
berdampingan secara damai, yaitu hidup bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Tidak demikian dengan Gus Dur. Dalam menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur menegaskan bahwa tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), karena hal demikian masih sangat rentan terhadap munculnya kesalah-pahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan menerima. Referensi Achmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
105
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Munawar, Ahmad. 2010. Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta: LKiS Rasyidin dan Syamsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, Al Ash Shieddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra. Jilid II. Hadi, Syamsul. 2010.Gusdur Guru Bangsa, Bapak Pluralisme. Jombang: Zahra Book. Umiarso dan Makmur, Haris Fhatoni. 2010. Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern. Jogjakarta : IRCiSoD. Arifin M. 1994. Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner.Jakarta: Bumi Aksara. Aziz, Ahmad, Amir. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Rineka Cipta Bakhtiar, A. Nur Alam. 2008. 99 Keistimewaan Gus Dur. Jakarta: Kultural Barton, Greg. 2000. Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan. Chafsoh, Zannuba Arrifah. 2011. Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah., Semarang: Suara Merdeka Dawam, Ainurrofiq. 2003. Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press. Departemen Agama RI. 2002. Mushaf Al-Qur’an Terjemah. Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani. Kementerian Agama RI. 2005. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani. Dhakiri, M. Hanif. 2010.41 Warisan Kebesaran Gus Dur.Yogyakarta: LkiS. 124 Dj, Fauzan. 2011. Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama. Suara Merdeka. Semarang : Litera Antar Nusa Faqih, Maman Imanulhaq. 2010. Fatwa dan Canda Gus Dur. Jakarta: Kompas. Hadjar, Ibnu. 1996. Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Haikal, Muhammad Husain. 2008. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah Jakarta: Litera Antar Nusa. Hanafi, Hassan. 2001. Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela,.
106
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pluralisme Perspektif Pendidikan
Hakim, Abdul Dubbun. 2006. Islam, Inklusivisme, Dan Kosmopolitanisme. dalam Abdul Dubbun Hakim, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid Jakarta: Kompas Media Nusantara. Ichtijanto. 2005. Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama. dalam Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama. Iskandar, A. Muhaimin. 2010. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. Yogyakarta, LkiS. Kementerian Agama RI. 2010. al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi. Jilid II Komaruddin. 1984. Kamus Research. Bandung: Angkasa. Marimba, Ahmad D. 1989. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al Ma’arif. Ma’arif, Syamsul. 2008. The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme. Semarang: Nedd’s Press. Mudzhar, Atho, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke Depan (Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho 125 Mudzhar. 2005. Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama. Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Humanisasi Pendidikan Islam. dalam Hamami Zada, et. Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11. Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2010. Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. Qomar, Mujamil. 2004. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga. Rachman, Budhi Munawwar. 2004. Islam Pluralis, Wacana Kesetaran Kaum Beriman, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos. Rahman, Fazlur. 2000. Islam. Bandung: Pustaka. Ramage, Douglas E. 2010. Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKiS.
107
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2009. Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana. Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada (ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan Jakarta: LAKPESDAM Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif. Bandung: Mizan. Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Jakarta: Lentera Hati. Vol. 1 Shofan, Moh. 2008. Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah. Jogjakarta: LSAF. Wahid, Abdurrahman. 1998. Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama. dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Paramadina. Wahid, Abdurrahman. 1999. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI. Jakarta: Kompas. Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute Wahid, Abdurrahman. 2002. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute. Wahid, Abdurrahman. 2010. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS. Wahid, Abdurrahman. 1999. Tuhan Tidak Perlu di Bela. Yogyakarta: LKiS Isre, M. Saleh. 1998. Tabayun Gusdur Pribumisasi Islam, Hak Minoritas. Yogyakarta: LKiS
108
Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015