PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG SLOGAN SOLO THE SPIRIT OF JAVA (Studi Deskriptif Kualitatif Persepsi Masyarakat Kota Surakarta Tentang Slogan Solo The Spirit of Java)
Imelda Kemara Indah Sutopo JK
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract The enactment of Law No. 32 of 2004 about Local Autonomy provides each local area the opportunity of showing off their self-potency in managing any local asset and potency they have. One way of it is through City Branding issue. City branding manifested in Slogan Solo The Spirit of Java emerged as the marketing tools for Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Kartasura, Wonogiri, Sragen, and Klaten) area. This study aimed to find out what media used to promote the Slogan Solo The Spirit of Java are and how the Surakarta people’s perception on Slogan Solo The Spirit of Java is. This study was a descriptive qualitative research. The informants were selected using purposive sampling technique for key informant and accidental sampling for ordinary informant. Techniques of collecting data used in this study were interview, observation, and library study. From the research conducted, it could be found that the media used in the promotion of Slogan Solo The Spirit of Java were above the line and below the line media. The use of media stimulated the Surakarta people to perceive Slogan Solo The Spirit of Java. The Surakarta people’s perception on the City branding of Solo The Spirit of Java was affected by both internal and external factors. This perception tended to be positive. The tourism actors’ perception on City branding of Solo the Spirit of Java as the area’s marketing tool had been captured well by the tourism actor and event it had generated the participation in supporting this City branding realization. The people’s perception aware of this slogan’s willingness in offering the area peculiarity constituted the spirit based on Javanese culture and people’s friendliness and warmth made the branding of Solo The Spirit of Java increasingly reflected on Solo as the Spirit or Soul of Javanese Culture. The cultural observers and intellectuals still perceived the branding of slogan Solo The Spirit of Java as merely words that still required manifestation through real actions. Keywords: Communication, Perception, City Branding 1
Pendahuluan Dengan ditetapkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Otonomi Daerah, membuka kesempatan bagi masing-masing daerah untuk menunjukan potensi diri dalam melakukan pengelolaan segala aset yang dimiliki. Terobosan baru sangat dibutuhkan dalam menghadapi dinamika persaingan global saat ini. Dalam rangka peningkatan pembangunan wilayah, pemerintah Kota Surakarta bekerjasama dengan pemerintah wilayah Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten membentuk Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) Subosukawonosraten. Konsep pengembangan identitas wilayah Solo The Spirit of Java menjadi salah satu cara yang ditempuh oleh Pemerintah Wilayah Subosukawonosraten dalam menghadapi era otonomi dan globalisasi. Konsep pengembangan city branding ini berawal dari adanya kerjasama antara Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) Subosukawonosraten dengan Deutsche Gesselschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) dengan program Regional Economic Development (RED). Sinergi yang tercipta dari adanya city branding dengan program pemerintah di Kota Surakarta menjadi perbedaan yang mendasar pada penerapan city
branding
di
Kota
Surakarta.
Pemerintah
Kota
Surakarta
secara
berkesinambungan melakukan revitalisasi dan secara rutin mengadakan cultural event untuk menunjang pariwisata di Kota Surakarta. Saat ini pariwisata menjadi komunitas unggulan di wilayah Solo Raya (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten). Menurut Salah Wahab yang dikutip oleh Pendit mengatakan bahwa pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya.1 Berbagai macam kegiatan pemasaran budaya untuk menunjang identitas wilayah Solo The Spirit of Java telah dilakukan diantaranya adalah 1
Nyoman S. Pendit, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, hlm. 32.
2
penyelenggaraan event Solo Batik Carnival (SBC), Solo International Etnic Music (SIEM), dan digelarnya World Heritage Cities and Exhibition pada tanggal 23-30 Oktober 2008 lalu yang menjadi langkah awal kota menjadi kota MICE (Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition). Berbagai event kebudayaaan rutin diadakan di Surakarta untuk menarik wisatawan dan mempromosikan Solo The Spirit of Java. Dengan dibuatnya identitas wilayah Solo The Spirit of Java oleh Pemerintah Subosukawonosraten diharapkan mampu menjadi pembeda dan mampu menarik faktor-faktor mobile seperti modal, tenaga kerja dan investasi bagi wilayah Solo Raya. Arah dari pengembangan identitas wilayah Solo The Spirit of Java adalah sebagai alat pemasaran baik internal maupun eksternal. Secara internal, dibuatnya slogan Solo The Spirit of Java bertujuan sebagai alat pemersatu guna meningkatkan kebanggaan dengan etos bersama untuk memajukan perekonomian wilayah. Secara eksternal, slogan ini dibuat untuk membangun citra kawasan yang menarik, mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengenalkan Solo sebagai wilayah yang potensial bagi kegiatan investasi, perdagangan dan pariwisata.2 Demi mencapai tujuan tersebut masyarakat perlu berperan aktif dalam mewujudkan Slogan Solo, The Spirit of Java. Persepsi masyarakat terhadap city branding Solo The Spirit of Java menjadi hal penting untuk mengevaluasi apakah persepi masyarakat sudah sesuai dengan tujuan dan cita-cita dari dibentuknya branding ini. Dari pemaparan di atas, peneliti sangat tertarik untuk mengetahui media apa saja yang digunakan sebagai wadah informasi dan promosi slogan Solo The Spirit of Java dan bagaimana persepsi masyarakat Kota Surakarta terhadap slogan Solo The Spirit of Java. Penelitian ini juga menjadi evaluasi apakah maksud dan tujuan dibuatnya city branding Solo The Spirit of Java sudah sampai kepada sasaran dan target yang diinginkan.
2
Paduan Aplikasi Identitas Wilayah Subosukawonosraten
3
Rumusan Masalah Rumusan permasalahan pada penelitian ini yaitu, a. Media apa saja yang digunakan sebagai wadah informasi dan promosi slogan Solo The Spirit of Java? b. Bagaimana persepsi masyarakat di Kota Surakarta tentang slogan Solo The Spirit of Java?
Telaah Pustaka 1.
Komunikasi Komunikasi merupakan kegiatan pokok dalam kehidupan. Harold Laswell
mengatakan bahwa ”untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertantyaan Who Says What In What Channel To Whom With What Effect? Atau Siapa Mengatakan Apa dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?”
3
Onong Uchyana seperti yang dikutip Bungin
mengatakan ”komunikasi sebagai proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran, atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan)”.4 Dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian sebuah ide atau pesan dari komunikator kepada komunikan melalui saluran komunikasi tertentu yang pada akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku. Dalam prosesnya seringkali terjadi hambatan dalam melakukan komunikasi. Berdasarkan definisi komunikasi menurut Harold Laswell terdapat lima unsur dalam komunikasi yakni (1) komunikator (source) merupakan sumber pesan, (2) pesan (message) merupakan seperangkat simbol verbal dan nonverbal, (3) media (channel) merupakan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan, (4) komunikan (receiver) adalah penerima pesan, dan (5) efek (effect) merupakan akibat yang terjadi setelah penerima menerima pesan dari sumber pesan.5
3
Ibid. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana,2008), h.31 5 Deddy Mulyana, Op.Cit. , h.69-71 4
4
Menurut Shirley Taylor kesuksesan komunikasi bukan berdasar pada seberapa hebat seorang komunikator menyampaikan pesan. Namun seberapa baik pesan tersebut mampu diterima oleh komunikan. Kemampuan komunikan dalam memahai pesan menjadi hal yang penting. Oleh karena itu, sehebat apapun strategi penyampaian pesan sesuai dengan maksud dan tujuan komunikator, proses komuniasi tersebut belumlah berhasil dan efektif.6
2.
Persepsi Bimo Walgito menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses
pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu.7 Jalaludin Rakhmat menyatakan persepsi adalah pengamatan tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.8 Sedangkan menurut Devito persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita.9 Dalam perspektif ilmu komunikasi persepsi dikatakan sebagai inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi. Sedangkan Suharman menyatakan : “persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia”.10 Menurutnya ada tiga aspek di dalam persepsi yang dianggap relevan dengan kognisi manusia, yaitu pencatatan indera, pengenalan pola, dan perhatian. Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik suatu kesamaan
bahwa
persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. 6
Shirley Taylor, Communication for Business Third Edition, (Singapore: Pearson Education Asia Pte. Ltd, 1999), h.8 7 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Andy,2004), h. 70 8 Jalaludin Rakhmat, Psikologi komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2007), h.51 9 Joseph Devito, Komunikasi Antar Manusia (Jakarta: Professional Book, 1997), h. 75 10 Suharman, Psikologi Kognitif (Surabaya: Srikandi, 2005), h.23
5
Jika dikaitkan antara persepsi dan masyarakat, maka persepsi masyarakat dapat diartikan sebagai rangkaian proses kognisi atau pengenalan dan afeksi atau aktifitas evaluasi emosional (ketertarikan) masyarakat terhadap suatu objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan cara menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan tersebut dengan menggunakan media
pendengaran, penglihatan, peraba dan sebagainya. Jalaludin Rahmat mengungkapkan ada dua faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu Faktor Fungsional dan Faktor Struktural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang disebut sebagai faktor personal yang menentukan persepsi bukan bentuk atau stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan pada stimuli itu. Sedangkan faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu.11 Proses persepsi menurut Bimo Walgito terjadi melalui empat tahapan12 diantaranya. Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indra manusia. Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat indra) melalui saraf-saraf sensoris. Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima reseptor. Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku. Persepsi merupakan proses aktif, dimana masing-masing individu menganggap, mengorganisasi, dan juga berupaya untuk mengintepretasikan yang diamatinya secara selektif. Oleh karena itu, persepsi merupakan dinamika yang terjadi dalam diri seseorang pada saat ia menerima stimulus dari lingkungan dengan melibatkan indra, emosional, serta aspek kepribadian lainnya. Setiap individu akan mengartikan atau menggambarkan suatu objek dengan cara yang berbeda. Persepsi mempunyai sifat yang subyektif karena bergantung dari 11 12
Jalaludin Rakhmat, Op. Cit., h.51 Bimo Walgito, Op.Cit., h.104
6
kemampuan dan keadaan dari masing-masing individu sehingga sangat dimungkinkan suatu objek atau peristiwa yang sama akan ditafsirkan berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain.
3.
City Branding American Marketing Association (AMA), mendefinisikan brand sebagai
“a name, term, sign, symbol or design, or a combination of them intended to identify the goods and services of one seller or group of sellers and to differentiate them from those of competition”.13 Menurut definisi AMA tersebut, Brand merupakan nama, istilah, tanda, simbol atau desain, atau kombinasi dari mereka yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari satu penjual atau kelompok penjual dan untuk membedakan mereka dari para pesaing. Apabila pengelola daerah membuat nama, logo atau kombinasi dari hal-hal terebut untuk mengidentifikasi potensi daerahnya berarti pengelola daerah telah menciptakan sebuah merk atau melakukan branding terhadap daerahnya yang kemudian diebut sebagai City Branding.14 City branding dapat diterpakan melalui tiga langkah utama yaitu (i) manajemen produk, (ii) manajemen brand, (iii) manajemen pelanggan. Langkah pertama yaitu manajemen produk dapat dilakukan dengan cara menentukan desain pembangunan dan promosi kota yang kemudian dijabarakan menjadi langkah-langkah strategis pengelolaan dan pembangunan asset daerah. Untuk memenangkan kompetisi baik dalam ekonomi maupun politik global, maka penting diciptakannya sebuah city branding seperti yang dikutip dari artikel The Boston Globe berikut ini, “The last few years have seen an explosion of “nation branding” shorthand for coordinated government efforts to manage a country’s image, wheather to improve tourism, investment, or even foreign relations. Firms specializing in nation branding have sprouted up around the world (Risen,2005)”15 13
Kevin Lane Keller, Strategic Brand Managemenet: Building, Measuring, and Managing Brand Equity (New Jersey: Prentice Hall, 1998), h. 3 14 Riyadi (2009). Fenomena City Branding pada Otonomi Daerah. Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, vo.5, no.1 Maret 2009,hlm.2 15 Zala Volcic & Mark Andrejevic, Nation Branding in Comercial Nationalism ,International Journal of Communication 5 (2011), hlm. 1
7
Dikutip dari Riyadi, Proses merumuskan city brand meliputi identifikasi citra melalui riset, interview, konsultasi, fokus grup dan workshop yang melibatkan seluruh stakeholders seperti kalangan Perguruan Tinggi, budayawan, seniman, kelompok media, organisasi masyarakat, organisasi profesi, birokrat, pengusaha dan lain-lain.16
Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Pawito, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berfokus pada gambaran dan atau pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas sosial terjadi.17 Bogdan dan Taylor seperti yang dikutip oleh Moleong mendefiniskan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang yang dan perilaku yang dapat diamati.18 Dalam penelitian ini nantinya akan menghasilkan gambaran sebuah fenomena secara mendalam melalui metode penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif hanya memaparkan situasi suatu peristiwa, penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat suatu prediksi.19 Peneliti bertindak sebagai pengamat, ia hanya membuat kategori pelaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasi. Obyek dari penelitian ini adalah persepsi masyarakat di Kota Surakarta tentang city branding Solo The Spirit of Java. Penelitian ini dilakukan di Kota Surakarta, dimana penelitian berawal di Sekretariat Badan Kerjasama Antar Daerah Subosukawonosraten dengan alasan Badan Kerjasama Antar Daerah merupakaan lokus yang menjadi inovator kemunculan regional branding Solo The Spirit of Java. Selain itu penelitian ini juga mengambil lokasi di seluruh Kota Surakarta untuk mengetahui bagimana persepsi masyarakat dari berbagai 16
Riyadi, Loc.Cit, h.3 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: Lkis, 2007), h.35 18 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2001), h.3 19 Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1999), h. 24 17
8
kalangan baik dari masyarakat Umum, birokrasi pemerintah, pelaku bisnis, tokoh masyarakat & agama, seniman & budayawan, intelektual dan mahasiswa. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari keterangan narasumber melalui wawancara dan observasi. Sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka. Dalam menentukan informan penelitian ini, peneliti menggunakan dua teknik yaitu dengan menggunakan teknik purposive sampling dan accidental sampling. Menurut Sugiyono menjelaskan yang dimaksud dengan Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, sedangkan accidental sampling adalah teknik pengambilan sampel secara tidak sengaja atau secara acak.20 Dalam menentukan informan kunci, peneliti menggunakan teknik purposive sampling, sedangkan menentukan informan biasa dengan teknik accidental sampling. Miles dan Huberman dalam Sutopo menyatakan bahwa ada dua model pokok dalam melaksanakan analisis di dalam penelitian kualitatif, yaitu Model analisis Jalinan atau Mengalir (flow model of analysis) dan Model Analisis Interaktif.21 Penelitian ini menggunakan Model analisis Interaktif, yaitu setelah proses pengumpulan data dilakukan, selanjutnya dilakukan reduksi data, sajian data serta penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Sajian dan Analisis Data Penyebaran pesan melalui media massa berlangsung begitu cepat, serempak dan luas serta mampu mengatasi jarak dan waktu.22 Oleh sebab itu, penggunaan media massa dalam memperkenalkan city branding Solo The Spirit of Java sangat tepat dilakukan. Komunikasi yang dilakukan melalui periklanan merupakan komunikasi massa karena menggunakan media massa sebagai alat penyampai pesan dari komunikator. Iklan memiliki banyak fungsi seperti
20
Ibid, h.53 Ibid, h.94 22 Ibid, h.37 21
9
pembentuk kesadaran, pembentuk pengertian, pengingat yang efisien, penghasil petunjuk, legitimasi, dan meyakinkan kembali.23 Promosi yang dilakukan oleh BKAD Subosukawonosraten untuk menyebarkan city branding Solo The Spirit of Java dilakukan melalui dua aktivitas promosi yaitu melalui media lini atas atau above the line (ATL) dan media lini bawah atau below the line (BTL). Media lini atas atau above the line yang digunakan diantaranya adalah surat kabar, radio, televisi, media luar ruang dan internet. Sedangkan media lini bawah atau below the line yang digunakan leaflet, booklet, mobil atau alat peraga bergerak, stiker, souvenir dan penyelenggaraan event-event budaya. Publikasi branding
Solo The Spirit of Java yang dilakukan melalui
media lini atas dan media lini bawah dapat membentuk sebuah persepsi di masyarakat. Dalam perspektif ilmu komunikasi persepsi dikatakan sebagai inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi. Sedangkan Suharman menyatakan : “persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia”.24 Media promosi baik media lini atas maupun lini bawah menjadi stimulus bagi masyarakat dalam mempersepsikan city branding Solo The Spirit of Java.
A. Persepsi Kalangan Birokrasi Pemerintah Dari wawancara yang telah dilakukan kepada Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta terlihat adanya kebutuhan Kota Surakarta akan merek dalam rangka menjual Kota Solo sebagai sebuah produk atau destinasi wisata. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan pariwisata di Kota Surakarta menganggap pentingnya kehadiran merek dalam pemasaran wilayah. Kemunculan identitas wilayah Solo The Spirit of Java ini direspon oleh masing-masing birokrasi pemerintah secara berbeda. Menurut Sri Wahyuni, Kepala Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
23 24
Philip Kotler, Op. Cit. hal. 802. Suharman, Op.Cit. h.23
10
Surakarta kehadiran Solo The Spirit of Java menjadi semangat munculnya industri-industri kreatif. Faktor yang mempengaruhi persepsi birokrasi pemerintah terhadap munculnya branding Solo The Spirit of Java banyak dipengaruhi oleh faktor fungsional. Dalam hal ini adalah adanya kebutuhan akan merek dalam menjual Kota Solo sebagai sebuah produk.
B. Persepsi Masyarakat dari Kalangan Wiraswasta Dari wawancara yang dilakukan kepada masyarakat dari kalangan swasta dapat diketahui bahwa masyarakat sadar adanya kehadiran branding Solo The Spirit of Java melalui baliho-baliho, spanduk, event-event kebudayaan, surat kabar dan sebagainya. Media tersebut menjadi stimulus atau rangsangan bagi masyarakat dalam mempersepsikan branding Solo The Spirit of Java. Stimulus merupakan tahapan awal yang dialami seseorang dalam mencapai sebuah persepsi terhadap objek. Masyarakat dari kalangan wiraswasta sudah mampu menangkap maksud dan tujuan dari hadirnya slogan Solo The Spirit of Java. Persepsi masyarakat sangat positif terlihat dari tanggapan bahwa Solo merupakan pusat kebudayan Jawa yang menujunjung tinggi adat istiadat.
C. Persepsi Masyarakat dari Kalangan Pelaku Pariwisata Beberapa
pertimbangan
mendasari
persepsi
kalangan
pelaku
pariwisata diantaranya adalah kebutuhan akan sebuah merk untuk menjual Kota Solo sebagai sebuah „produk‟ ke khalayak luas. Perubahan perilaku dalam penerimaan slogan Solo The Spirit of Java berbeda-beda untuk setiap khlayak. Beberapa kalangan pebisnis terlihat lebih nyata dalam perubahan perilaku dimana slogan ini dijadikan sebuah visi yang diimplementasikan melalui program-program maupun produk yang mereka buat. Kehadiran branding Solo The Spirit of Java cukup dirasakan positif oleh para pelaku pariwisata khususnya terkait dengan bisnis yang mereka jalani. Salah satu keuntungan yang dirasakan adalah kemudahan dalam memperkenalkan Solo sebagai destinasi wisata melalui Solo The Spirit of Java. 11
D. Persepsi Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama Harapan yang ada dalam diri seseorang menjadi faktor internal yang berpengaruh dalam mempersepsikan sebuah objek. Hal tersebut juga tampak dari harapan atau keinginan Sumartono Hadinoto selaku tokoh masyarakat Solo terhadap kemunculan branding Solo The Spirit of Java. Sumartono berharap dengan adanya slogan tersebut dapat masyarakat bisa sadar akan spirit yang luar biasa dimiliki Kota Solo. Sebagai tokoh agama di Surakarta, Secha Walafiah menerima dengan positif kehadiran slogan Solo The Spirit of Java. Menurutnya dengan adanya slogan ini menggambarkan spirit kedamaian beragama yang ada di Solo. Persepsi tokoh masyarakat dan tokoh agama terhadap branding Solo The Spirit of Java sangat positif. Mereka beranggapan bahwa slogan tersebut dapat menyadarkan masyarakat Kota Surakarta akan semangat Jawa yang dimana bisa disinkronkan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan beragama.
E. Persepsi Budayawan dan Seniman Dalam hal ini Budayawan dan Seniman yang memang memiliki latar belakang dimana sering bersentuhan langsung dengan budaya dan seni yang ada di Kota Surakarta memiliki persepsi masing-masing terhadap branding ini. Hanindiawan memaknai Solo The Spirit of Java sebagai suatu kekuatan di Jawa ini. Jawa menjadi pusat budaya, menjadi suatu kekuatan budaya yang ada di Jawa. Hanindiawan beranggapan bahwa slogan tersebut masih hanya sekedar slogan saja yang perwujudannya belum tampak nyata. Menurutnya karakter masyarakat Solo yang plural dan terbuka menjadikan slogan ini mudah diterima oleh masyarakat di Kota Surakarta. Atik Sulistyaning salah seorang seniman Kota Solo lebih memaknai hadirnya slogan ini menjadi sebuah peringatan terhadap generasi muda untuk lebih mencintai, menjaga dan melestarikan kebudayaan Jawa. Pengaruh kebudayaan asing yang datang ke dalam negeri mau tidak mau memberikan efek terhadap generasi muda saat ini. Kebudayaan tradisional mulai banyak ditinggalkan oleh generasi muda. Dengan adanya branding Solo The Spirit of Java, Atik berharap
12
generasi
muda
bisa
lebih
mencintai
kebudayaan
Jawa
dan
ikut
melestarikannya.
F. Persepsi Intelektual dan Mahasiswa Persepsi mahasiswa terhadap Solo The Spirit of Java masih terkait dengan kebudayaan Jawa yang ada di Solo. Dhyanayu memaknai slogan ini sebagai bentuk semangat Kota Solo sebagai kota budaya yang mampu memberikan kontribusi dalam hal seni dan budaya. Senada dengan hal tersebut Annisa memaknai Solo The Spirit of Java mencerminkan kebudayaan Solo sebagai kebudayaan Jawa yang terkenal dengan kehalusan tuturnya, sopan santun, tata karma, dan ritual-ritual yang beragam dalam setiap aspek kehidupan masyarakatnya. Masih sejalan dengan pendapat diatas, Stevie Putra memaknai Solo The Spirit of Java sebagai semangat bagi masyarakat untuk melestarikan kebudayaan Jawa. Hal tersebut diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Ulasan lebih dalam mengenai city branding dilakukan oleh salah seorang tokoh intelektual dari kalangan akademisi yaitu Dra. Rara Sugiarti, M.Tourism. menurutnya citra atau branding sebuah produk wisata bergantung pada kualitas produk yang ditawarkan. Rara beranggapan kualitas yang diberikan menjadi kunci utama suksesnya branding yang dibuat. Dalam hal ini pemilik produk, pemerintah Solo mengangkat Solo sebagai rohnya Jawa. Proses pembuatan slogan Solo The Spirit of Java yang merupakan hasil dari sayembara yang diadakan oleh pemerinta Subosukawonosraten juga dianggap menjadikan slogan ini hanya terkesan sebagai kata-kata terbaik hasil lomba bukan dari pemikiran yang matang para pelaku pariwisata, budayawan dan berbagai pihak yang terkait langsung.
Kesimpulan Dibuatnya slogan atau branding Solo The Spirit of Java adalah sebagai alat pemasaran (marketing tools) yang digunakan dalam segala upaya pemasaran wilayah kepada masyarakat luas dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi
13
dan mengenalkan Solo sebagai wilayah yang potensial bagi kegiatan investasi, perdagangan, dan pariwisata. BKAD Subosukawonosretn dan GTZ-Red selaku pemrakarsa kemunculan branding Solo The Spirit of Java melakukan kegiatan promosi city branding Solo The Spirit of Java melalui berbagai media, baik media above the line (ATL) dan media below the line (BTL). Penggunaan media menjadi stimulus bagi masyarakat Surakarta dalam mempersepsikan maksud dari hadirnya slogan Solo The Spirit of Java. Persepsi masyarakat Kota Surakarta tentang slogan Solo The Spirit of Java dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor internal maupun eksternal. Persepsi para pelaku pariwisata terhadap city branding Solo The Spirit of Java sebagai marketing tools dalam pemasaran wilayah telah mampu ditangkap dengan baik oleh para kalangan pelaku pariwisata bahkan telah menimbulkan partisipasi yang dapat mendukung terwujudnya Solo menjadi The Spirit of Java. Persepsi masyarakat yang sadar akan keinginan slogan ini dalam menawarkan keunikan wilayah berupa semangat berlandaskan kebudayaan Jawa serta keramah tamahan dan kehangatan para masyarakat menjadikan branding Solo The Spirit of Java semakin dapat mencerminkan Solo sebagai Jiwa dan Ruh dari Kebudayaan Jawa. Persepsi terhadap branding Solo The Spirit of Java dikalangan Budayawan dan Intelektual masih ada sedikit kesangsian terhadap terwujudnya slogan ini kedepannya. Mereka beranggapan bahwa branding ini masih hanya sekedar slogan berupa kata-kata yang masih perlu diwujudkan melalui langkah-langkah nyata.
Saran Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan saran yaitu perlu ditingkatkannya promosi dan pemberian informasi terkait city branding Solo The Spirit of Java agar dapat menjangkau sasaran sehingga persepsi masyarakat sesuai dengan apa yang diharapkan. Perlu ditingkatkannya kualitas produk dan pelayanan di bidang pariwisata. Branding Solo The Spirit of Java tidak akan ada artinya tanpa diikuti dengan peningkatan kualitas produk pariwisata. Penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas branding Solo The Spirit of Java terhadap pariwisata Kota Surakarta.
14
Daftar Pustaka Bungin, Burhan. (2008). Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana. Devito, Joseph. (1997). Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Book. Keller, Kevin Lane. (1998). Strategic Brand Management : Building, Measuring, and Managing Brand Equity. New Jersey: Prentice Hall. Moleong, Lexy J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Paduan Aplikasi Identitas Wilayah Subosukawonosraten Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogayakarta: Lkis. s Pendit, Nyoman S. (2002). Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Rakhmat, Jalaluddin. (1999). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Riyadi. (2009). Fenomena City Branding pada Otonomi Daerah. Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, Vol.5, no.1 Maret 2009. Suharman. (2005). Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi. Taylor, Shirley. (1999). Communication for Business Third Edition. Singapore: Pearson Education Asia Pte. Ltd. Walgito, Bimo. (2004). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andy. Zala Volcic & Mark Andrejevic, Nation Branding in Comercial Nationalism ,International Journal of Communication 5, 2011.
15