halaman | 173
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
PERSAMAAN “GENDER” DALAM PENGEMBANGAN DIRI Oleh Marmawi1 Abstrak: Persoalan ”gender” akhir-akhir ini sedang menjadi wacana publik yang aktual dibicarakan oleh banyak kalangan. Isu ini bergulir tidak hanya terbatas pada masalah kesetaraan kaum perempuan semata, tetapi juga menyangkut upaya perubahan-perubahan sosial politik dan budaya masyarakat Indonesia secara umum. Pada bidang politik yang menyangkut ketatanegaraan, perhatian terhadap kaum pe-rempuan sudah sangat jelas dengan memberikan kesempatan (kuota) sebesar 30% untuk wakil rakyat di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, bahkan susunan kabinet pemerintahan mendekati jumlah yang ditetapkan. Kata-kata Kunci: Gender, Pengembangan Diri, Diskriminasi A. Pendahuluan Kehidupan sosial dan masyarakat terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mengharuskan individu lebih kompetitif dalam mencapai tujuan. Keberha-silan dalam mencapai tujuan sangat bergantung pada kesungguhan dan peran yang dimainkan oleh setiap orang tidak terbatas pada jenis kelamin, status sosial, ataupun suku bangsa tertentu. Dalam kenyataan, tidak semua orang dapat meraih cita-cita yang diinginkan sehingga menimbulkan kecemburuan sosial karena merasa tidak mendapat peluang yang sama atau terdapat rekayasa untuk membatasi ruang gerak kelompok masyarakat tertentu dan hal ini diperparah lagi dengan mengangkat isu “gender” sebagai pembelaan terhadap kaum perempuan yang selama ini termarjinalkan dan kurang diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara Persoalan ”gender” akhir-akhir ini sedang menjadi wacana publik yang aktual dibicarakan oleh banyak kalangan. Isu ini bergulir tidak hanya terbatas pada masalah kesetaraan kaum perempuan semata, tetapi juga menyangkut upaya perubahan-perubahan sosial politik dan budaya masyarakat Indonesia secara umum (Jamhari & Ropi, 2003: 8). Pada 1
Marmawi adalah dosen Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP-UNTAN Pontianak
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 174
bidang politik yang menyangkut ketatanegaraan, perhatian terhadap kaum pe-rempuan sudah sangat jelas dengan memberikan kesempatan (kuota) sebesar 30% untuk wakil rakyat di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, bahkan susunan kabinet pemerintahan mendekati jumlah yang ditetapkan. Tholchah Hasan (2003: 9) dalam pengantar sebuah buku mengatakan bahwa, persoalan gender menyangkut tentang kemitraan dan keadilan peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang telah dikonstruksi oleh adat dan budaya. Persepsi masyarakat bahwa perempuan lebih rendah statusnya dibandingkan laki-laki dapat memicu munculnya diskriminasi jenis kelamin yang berakibat perempuan termajinalkan dan sering menjadi obyek kekerasan (KDRT). Karena masyarakat menempatkan wanita secara hierarkis dan dalam komunitas tertentu mendapat beban dalam kehidupan jauh lebih berat dibanding laki-laki, misalnya mengurus dan mnyelesaikan peker-jaan rumah tangga dan tugas reproduksi. Diskriminasi yang diterima perempuan hampir di semua kehidupan dan di sebagian besar negara di dunia, berakar pada budaya patriarkhi yang dominan dan disosialisasikan secara turun temurun, kemudian men-jadi landasan praktek kehidupan. Nilai-nilai budaya yang menyangkut hak-hak perempuan dalam praktek kehidupan mengalami fluktuasi bahkan distorsi. Pada millenium ketiga yang disebut sebagai era global sekarang ini merupakan era perempuan. Tuntutan jaman yang menyertai perubahan kaum perempuan sudah saatnya diikuti pula oleh perubahan paradigma yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada status yang setara, me-miliki hak dan kewajiban yang seimbang, dan mendapat perlakuan yang adil. Dari landasan inilah pemberdayaan perempuan dibangun dan diper-juangkan. B. Pengertian ”Gender” Masyarakat awam sering menyebut kata ”gender” dengan maksud dan arti yang berbeda-beda. Ada yang bermaksud untuk membedakan kaum laki-laki dengan perempuan, dan ada yang mengartikan peran masingmasing yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Istilah ”gender” (dibaca jender) berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Gender da-pat diartikan perbedaan yang nampak pada laki-laki dan perempuan apa-bila dilihat dari nilai dan tingkah laku (Mufidah, 2004: 4). Nilai berkaitan dengan peran yang diaktualisasikan dalam masyarakat dan kehidupan rumah tangga maupun dalam menjalankan tugas sebagai
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 175
pencari nafkah keluarga, sedangkan tingkah laku sebagai ekspresi aktivitas yang dijalan-kan sesuai dengan kodratnya sebagai laki-laki mapun perempuan. Dari beberapa literautur, dapat dikemukakan definisi ”gender” sebagai berikut: 1. Suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. 2. Sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempu-an (misal wanita itu cantik, lembut, emosional, keibuan, sedangkan lakilaki itu kuat, perkasa, rasional). 3. Suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lakilaki dan perempuan dilihat dari segi sosial budayanya. (pan-dangan dari aspek non biologis). Peran laki-laki dan perempuan berbeda berdasarkan nilai budaya maupun agama. Dari segi budaya, laki-laki dianggap mempunyai nilai lebih dari perempuan karena sebagai pewaris gen (keturunan), sebagai pelindung keluarga, sebagai simbul kepahlawanan, sebagai pencari nafkah utama. Kajian agama, laki-laki sebagai pemimpin keluarga, sebagai pencari nafkah utama, dan bertanggung jawab atas kelangsungan pendidikan dan kehidupan anak-anak dan istrinya. . C. Pandangan Tentang Gender Seringkali orang berpandangan bahwa perbedaan gender disamakan dengan perbedaan seks semata. Dalam realitas sosial, gender dapat dipandang sebagai fenomena sosial budaya, kesadaran sosial, persoalan sosial budaya dan sebagai suatu kenyataan. 1. Gender sebagai fenomena sosial budaya Perbedaan seks adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri fisik yang jelas, tidak dapat dipertukarkan. Penghapusan diskriminasi gender tanpa mengindahkan perbedaan seks yang ada, sama halnya dengan menging-kari suatu kenyataan yang jelas. Bahkan kehidupan dimuka bumi tidak akan dapat bertahan karena tidak ada lagi fungi reproduksi perempuan, jika ada itupun melalui rekayasa. Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan kontektual. Gender yang di kenal orang Bali berbeda dengan yang dikenal di daerah minang, berbeda pula di
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 176
masyarakat Jawa. Hal ini diakibatkan konstruksi sosial-budaya yang membedakan peranb atas dasar jenis kelaminnya. Fenomena perbedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan menjadi masalah bagi sebagian besar orang. Perbedaan tersebut menjadi masalah ketika menghasilkan ketidakadilan, dimana jenis kelamin tertentu memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dari jenis kelamin lainnya. Yang jelas ketidakadilan gender menimbulkan ketidakharmonisan dalam kehidupan, maka perlu dilakukan perubahan mendasar dan berkelanjutan. 2. Gender sebuah perspektif untuk memandang suatu kenyataan Dalam pandangan ini, gender menjadi sebuah paradigma atau kerangka teori. Para peneliti tentang gender menggunakan ideologi gender untuk mengungkap pembagian peran atas dasar jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial budayanya, termasuk ketidakadilan yang ditimbulkan-nya. Kata ”gender” banyak dipergunakan bersama dengan kata lain, se-perti; ketidakadilan-gender, kesetaraan-gender, diskriminasigender. Perbedaan ”gender” antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses panjang. Pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan di-bentuk melaluisosial dan budaya seolah-olah telah menjadi keyakinan. Proses selanjutnya perbedaan gender dianggap satu ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah sehingga perbedaan tersebut dianggap kodrati. D. Pengembangan Diri Dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat, setiap orang ingin mengembangkan dirinya agar tetap bermakna bagi lingkungannya. Pengembangan diri adalah suatu proses meningkatkan kemampuan/potensi, dan kepribadian, serta sosial-emosional seseorang agar terus bertumbuh serta berkembang (Vallet, R.E. 2001: 15). Dalam realitas kehidup-an, hanya sedikit orang yang benar-benar mengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Memang, besarnya potensi seseorang merupakan misteri. Namun demikian, sebetulnya kita mampu berkembang menjadi lebih baik daripada yang kita capai sekarang ini. Orang yang berusaha mengembangkan dirinya sendiri, dan
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 177
menentukan hidupnya sendiri, biasanya lebih bahagia daripada orang yang hidupnya ditentukan dan di atur oleh orang lain. Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan diri, yaitu; (1) belajar dari pengalaman orang yang sukses, (2) mempelajari kelemahan diri (tidak disiplin, kurang menghargai waktu, malas) dan bertindak lebih disiplin, kerja keras, dan memanfaatkan waktu secara maksimal, (3) mencari informasi baru dari berbagai sumber belajar untuk menambah pengetahuan yang berguna bagi kelangsungan hidup. Pada dasarnya, pengembangan diri menjadi hak setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan agar hidupnya seimbang dan serasi. Namun seringkali kesempatan bagi laki-laki lebih terbuka dibanding-kan kaum perempuan. Perbedaan gender dan ketidakadilan terhadap pe-rempuan dapat menimbulkan ketimpangan sosial. Karena itu kita perlu mengantisipasi dan mengkaji faktor-faktor penyebabnya. E. Bentuk Ketidakadilan terhadap Perempuan Di masyarakat sering terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) khususnya terhadap perempuan. Mulai pelanggaran yang ringan berupa kata-kata yang tidak menyenangkan sampai pada bentuk kekerasan yang mengancam jiwa perempuan. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdarakan mekanisme hukum yang berlaku. (UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Meskipun Undang-Undang tersebut di atas melindungi semua warga negara baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang dewasa, namun yang sering menjadi sasaran pelanggaran HAM adalah kaum perempuan, karena itu penyelesaian secara hukum setiap pelanggaran HAM hendaknya dilaksanakan secara konsekuen. Untuk mengetahui ketidakadilan terhadap perempuan kita simak pendapat Mufidah (2004: 90) yang menyatakan bahwa, ketidakadilan gender meliputi; (1) marginalisasi perempuan, (2) penempatan perempuan pada sub-ordinasi, (3) stereotype perempuan, (4) kekerasan, dan (5) beban kerja tidak proporsional. Selain kelima penyebab ketidakadilan gender, faktor sosial budaya, sikap dan perilaku perempuan sendiri yang juga ikut memperburuk citranya di masyarakat.
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 178
Marginalisasi perempuan, marjinalisasi terhadap perempuan dapat terjadi sebagai akibat peraturan ketenagakerjaan/kepegawaian yang mem-batasi peran wanita pada jenis-jenis pekerjaan tertentu tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan misalnya kuota 30% di lembaga legislatif maupun eksekutif tingkat daerah dan pusat, demikian juga peraturan di berbagai instansi pemerintah yang secara langsung maupun tidak lang-sung membatasi peran perempuan. Sosial budaya, faktor sosial budaya yang menganggap bahwa perempuan berperan menjaga anak di rumah dan mengurus pekerjaan rumah, sementara kaum laki-laki memperoleh fasilitas, kesempatan dan hak-hak yang lebih daripada kaum perempuan. Penempatan perempuan pada sub-ordinasi, Adanya anggapan dasar bahwa perempuan itu irrasional, emosional, atau lemah menyebabkan penempatan perempuan dalam peran-peran yang dianggap kurang pen-ting. Potensi perempuan sering dinilai tidak objektif oleh sebagian masya-rakat sehingga sulit menembus posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan masyarakat. Stereotype perempuan, adalah pelabelan terhadap perempuan yang selalu berkonotasi negatif misalnya perempuan itu suka tampil menggoda, meterialis-pragmatis, cengeng, suka mengeluh. Konotasi negatif tersebut dapat menimbulkan kesan negatif terhadap perempuan dan berujung pa-da perlakuan yang tidak adil. Kekerasan (violence), salah satu bentuk ketiakadilan gender adalah tindak kekerasan terhadap perempuan baik yang berbentuk kekerasan fisik maupun psikis. Kekerasan itu timbul akibat adanya anggapan bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi terhadap berbagai sektor kehidupan. Kekerasan terhadap perempuan mempunyai tingkatan yang ringan sampai yang berat dan dapat mengancam jiwa kaum perempuan. Beban kerja tidak proporsional. Budaya patriarki beranggapan bahwa perempuan tidak punya hak untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Sebaliknya hanya berhak diatur. Pembagian kerja secara dikotomi publik-domestik, dimana pekerjaan di sektor publik mendapat imbalan secara ekonomi, sedangkan di sektor domestik tidak mendapat imbalan. Hal ini menyebabkan hasil kerja perempuan yang terlalu berat dianggap peker-jaan rendah. Untuk mengikis konstruksi sosial-budaya yang tidak berkea-dilan gender, tetntu saja kita pahami dulu konsep kesetaraan. Kesetaraan bukan dalam arti sama rata dan tidak ada perbedaan. Dalam konteks ter-sebut kesetaraan lebih tepat dimaknai dengan berkeadilan dan berkese-imbangan (proporsional).
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan
halaman | 179
F. Penutup Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan diri, yaitu; (1) belajar dari pengalaman orang yang sukses, (2) mempelajari kelemahan diri (tidak disiplin, kurang menghargai waktu, malas) dan bertindak lebih disiplin, kerja keras, dan memanfaatkan waktu secara maksimal, (3) mencari informasi baru dari berbagai sumber belajar untuk menambah pengetahuan yang berguna bagi kelangsungan hidup. Pada dasarnya, pengembangan diri menjadi hak setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan agar hidupnya seimbang dan serasi. Namun seringkali kesempatan bagi laki-laki lebih terbuka dibandingkan kaum perempuan. Perbedaan gender dan ketidakadilan terhadap perempuan dapat menimbulkan ketimpangan sosial. Karena itu kita perlu mengantisipasi dan mengkaji faktor-faktor penyebabnya. DAFTAR RUJUKAN Jamhari & Ropi, I. (2003). Citra Perempuan dalam Islam; Pandangan Or-mas Keagamaan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Mufidah. (2004). Paradigma Gender. Edisi Revisi. Malang: Bayumedia Publishing. Qaradhawi, Y. (2003). Kedudukan Wanita Dalam Islam (The Status of Women in Islam). Jakarta: PT. Globalmedia. Vallet R.E. (2001). Aku mengembangkan diriku; Pedoman untuk mencapai kebahagiaan dan membangun rasa tanggungjawab terhadap diri sendiri. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Wenzler, H. , Fischer, C.M., & Siregar. 1993. Proses Pengembangan Diri; Permainan dan Latihan Dinamika Kelompok. Jakarta: Grasindo