PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA KAMPUNG BATIK LAWEYAN, SURAKARTA
YUNI PRIHAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta
adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
Yuni Prihayati NRP A451080081
ABSTRACT YUNI PRIHAYATI. Landscape Planning for Cultural Tourism Region of Laweyan Batik Kampong, Surakarta. Under supervision of SITI NURISJAH, ARIS MUNANDAR, and NURHAYATI, H.S.ARIFIN Indonesia is a country with high diversity of cultures. They reflect the history, development, and civilization of Indonesia as a great nation. One of the cultural heritage which has been officially recognized by UNESCO is Batik. Laweyan Batik Kampong is a historical area and has been a centre of batik industry since eighteenth century and it has formed an unique cultural landscape. Developing this area into a cultural tourism landscape with appropriate landscape planning, will encourage the sustainability of culture-socio life in local batik community, the preservation of physical and cultural landscape, and the security of local economy. This study aims to develop Laweyan Batik Kampong into a cultural tourism landscape by analyzing physical and community aspects. Descriptive quantitative method was used to analyze the data both statistically and spatially. Physical aspect was analyzed to obtain the cultural tourism development potential which has three assessment aspects namely cultural quality of region ( the criteria for assessment was adopted from ICOMOS 1999, The Burra Charter) , suitability of region ( the criteria for assessment was adopted from director general for tourism product development, 2000), and quality of visual-aesthetic of environment (the criteria was adopted from Nasar (1998), Burra Charter (1999), and Carmona (2006)). Local community aspect was analyzed to recognize the community acceptability (criteria for assessment was adopted from Koentjaraningrat in Yusiana, 2007). Study result shows that Laweyan Batik Kampong has opportunity to be developed into a cultural tourism landscape. This potential could be developed based on potential development zone generated from the analysis. There are two development zones namely tourism centre zone and tourism supporting zone. The centre zone will accommodate all facilities which will be used to cater cultural tourism activity, such as edu-tourism (batik tourism), and culture tourism (cultural, architectural, and historical tourism). The tourism supporting zone will accommodate the facility which supports cultural tourism such as entrance, visitor centre, and other supporting facilities. Landscape plan is derived from developing the two zones by accommodating the cultural interpretative tourism concept, tourism activity and facility development. Local government must support the development of Laweyan Batik Kampong by establishing the legal aspect to protect the heritage and socializing it to the people. I strongly recommend local government to apply the landscape planning I have created in Laweyan Batik Kampong to create a sustainable cultural tourism that consider local community, local economy, socioculture, and environment. Keywords: cultural tourism landscape planning, cultural significance, cultural tourism.
terhadap zona kelayakan kawasan, dilakukan dengan kriteria dari Dirjen Pengembangan Produk Pariwisata (2000), dan penilaian kualitas estetika-visual lingkungan, dilakukan dengan kriteria dari Nasar (1999) dan ICOMOS, The Burra Charter (1999). Ketiga analisis di atas dioverlay untuk mendapatkan zona potensi pengembangan wisata budaya. Sedangkan pendekatan untuk mengetahui potensi masyarakat lokal dilakukan dengan menganalisis tingkat akseptibilitas masyarakat. Kriteria untuk analisis menggunakan kriteria dari Yusiana (2007). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kampung Batik Laweyan memiliki potensi fisik untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya dilihat dari aspek kualitas budaya kawasan, kelayakan kawasan dan kualitas estetika-visual lingkungan. Berdasarkan penilaian terhadap potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, diperoleh hasil bahwa 16% dari obyek dan atraksi berkategori sangat baik untuk dikembangkan, dan 50% berkategori baik untuk dikembangkan. Sedangkan penilaian kualitas budaya kawasan berdasarkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, diperoleh hasil bahwa kawasan yang tergolong sangat potensial sekitar 13%, dan yang tergolong potensial sekitar 25%. Untuk kelayakan kawasan, terdiri dari 25% kawasan sangat potensial dan 50% potensial, dan kualitas estetika-visual lingkungan menunjukkan hasil bahwa 50% kawasan tergolong sangat potensial dan 38% potensial. Dari ketiga aspek tersebut setelah dioverlay maka diperoleh zona potensi wisata budaya dimana 38% kawasan tergolong sangat potensial, 38% potensial, dan 24% tidak potensial. Pengembangan Kampung Batik Laweyan sebagai kawasan wisata budaya didukung oleh masyarakatnya dimana 87.5% masyarakat di seluruh kawasan setuju dengan adanya pengembangan kawasan sebagai tujuan wisata dan bersedia menerima kehadiran wisatawan. Mengingat kawasan ini padat penduduk, masalah kepemilikan lahan bisa menjadi kendala. Hal ini dapat diatasi dengan kebijakan pemerintah dalam pemberian kompensasi yang senilai dengan pengorbanan yang diberikan masyarakat setempat. Zona integratif antara potensi wisata dan akseptibilitas menghasilkan 38% sangat potensial (SP), 38 % potensial (P), 24% tidak potensial (TP). Zona pengembangan dibagi menjadi zona inti (zona SP dan P) dan zona pendukung wisata (zona TP). Pada perencanaan, zona inti dikembangkan untuk menampung aktivitas wisata budaya dan aktivitas masyarakat yang terkait langsung dengan wisata budaya. Zona pendukung menampung aktivitas selain wisata utama. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta dalam merencanakan secara fisik kawasan wisata budaya yang berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian warisan budaya dan kehidupan sosial masyarakatnya. Kata kunci: perencanaan lanskap wisata budaya, signifikansi budaya, wisata budaya
RINGKASAN
YUNI PRIHAYATI. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta. Dibimbing oleh SITI NURISJAH, ARIS MUNANDAR, dan NURHAYATI H.S.ARIFIN. Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan keragaman seni budaya tradisional. Salah satu warisan seni budaya yang terkenal dan bahkan telah diakui dunia dengan ditetapkannya sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh UNESCO, adalah batik. Pengakuan ini tentu saja menuntut tanggung jawab yang besar untuk terus menjaga dan melestarikannya sepanjang masa, dari generasi ke generasi. Batik merupakan salah satu bentuk warisan budaya tradisional yang sudah ditekuni masyarakat di Pulau Jawa sejak dulu. Salah satu tempat yang terkenal sebagai produsen batik di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, adalah Kampung Laweyan. Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan di jaman Kerajaan Pajang pada 1500-an dengan sandang sebagai komoditas utamanya. Upaya pelestarian budaya di Kampung Laweyan yang sangat identik dengan batik ini, ternyata telah menjadi perhatian pemerintah setempat. Hal ini terbukti dengan dicanangkannya Kampung Laweyan sebagai kampung batik dan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata Kota Solo. Namun sangat disayangkan bahwa upaya pencanangan Kampung Laweyan sebagai kampung batik dan daerah tujuan wisata ini tidak diiringi dengan perencanaan kawasan yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk membuat perencanaan lanskap kawasan Kampung Batik Laweyan ini menjadi kawasan wisata budaya. Tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi dan menganalisis potensi fisik kawasan; 2) menganalisis potensi masyarakat lokal; 3) menentukan zona integratif kawasan untuk dikembangkan dalam perencanaan lanskap kawasan wisata budaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan melakukan teknik penskalaan melalui metode peringkat, dan teknik pembobotan dengan metode pembobotan (penentuan bobot) secara langsung melalui expert judgement. Teknik penzonasian dilakukan dengan analisis spasial yang dimodifikasi dengan metode deskriptif kuantitatif di atas. Pendekatan ini dilakukan dengan memperhatikan aspek fisik kawasan, dan aspek masyarakat, Pendekatan untuk mengetahui potensi fisik tapak dilakukan dengan menilai kualitas budaya kawasan , potensi kelayakan kawasan serta kualitas estetikavisual lingkungan. Kualitas budaya kawasan diperoleh dengan menganalisis potensi obyek dan atraksi wisata budaya eksisting. Pendekatan akseptibilitas masyarakat dilakukan untuk mengetahui potensi masyarakat. Analisis terhadap potensi obyek dan atraksi wisata budaya dilakukan dengan menilai signifikansi budaya (cultural significance) dari obyek dan atraksi wisata eksisting yang menggunakan kriteria dari ICOMOS, The Burra Charter (1999), dan menilai potensi fisik obyek dan atraksi sesuai kriteria dari Avenzora (2008). Cultural significance merupakan konsep untuk mengestimasi nilai kawasan yang memiliki signifikansi untuk dapat memahami masa lampau untuk kepentingan masa kini dan masa yang akan datang. Penilaian ini berguna untuk menentukan tingkat potensi obyek dan atraksi wisata sebagai tujuan wisata yang layak dikunjungi. Lalu dilakukan penilaian terhadap kualitas budaya dari kawasan yang memiliki obyek dan atraksi wisata budaya eksisting. Di samping itu dilakukan penilaian
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA KAMPUNG BATIK LAWEYAN, SURAKARTA
YUNI PRIHAYATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Alinda Fitriyani, M. Zain, MSi.
Judul Tesis Nama NRP
: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta : Yuni Prihayati : A 451080081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Ketua
Dr. Ir. Aris Munandar, MS Anggota
Dr. Ir. Nurhayati, H.S. Arifin, M.Sc Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian : 10 Agustus 2011
Tanggal lulus :
Karya kecil ini khusus kupersembahkan untuk suamiku tercinta, Ir. Noor Arifin Muhammad, MIE dan kedua buah hatiku tercinta, Khansa Fatihah Muhammad dan Abu Bakar Aakif Muhammad
Yang telah merelakan waktu dan perhatian selama penulis menyelesaikan studi. Kekuatan cinta dan dukungan semangat dari kalian lah yang membuat penulis mampu menjalani kesulitan dan rintangan selama ini. Semoga kecintaan kita akan ilmu pengetahuan, menghantarkan kita menjadi golongan hambaNya yang senantiasa berfikir.
PRAKATA Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Judul Tesis dalam penelitian ini adalah “Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta”. Tesis ini merupakan syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari program Studi Arsitektur Lanskap, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih disertai penghargaan kepada : 1.
Komisi Pembimbing Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA , Dr. Ir. Aris Munandar, MS dan Dr. Ir. Nurhayati, H.S. Arifin, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan, dan saran dalam menyelesaikan penelitian ini.
2.
Dr. Ir. Alinda Fitriyani, M. Zain, M.Si, selaku dosen penguji atas saran dan masukannya.
3.
Pimpinan dan staff dari instansi di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Surakarta : Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang.
4.
Ir. Alpha Febela Priyatmono, MT, selaku ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan Surakarta, dan para tokoh masyarakat Kampung Batik Laweyan atas segala bantuan selama penulis turun lapang.
5.
Teman-temanku Surya Dewantara, Yuli Istanto, Moh. Zamroni, Bagoes, yang telah banyak membantu selama penulis melakukan turun lapang. Mbak Euis Puspita, Isrok, Prima, Titi, Eka, Aan atas persahabatan yang tak ternilai harganya.
6.
Kakak-kakakku tercinta yang telah banyak membantu : Surya Purwati, Dr. Bambang DH, Tri Maulidi N, Dr. Agustina (kandidat), Joko Santoso, Dr. Meni. H (kandidat). Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, September 2011
Yuni Prihayati
RIWAYAT HIDUP
Yuni Prihayati. Putri bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak H. Rasimun Purwoatmodjo dan Ibu Hj.Sukarti. Dilahirkan di Kota Mentok, Bangka pada tanggal 28 Juni 1973. Pada kurun waktu 1979 – 1985 penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD St. Maria, Mentok-Bangka. Pendidikan menengah pertama ditempuh di tempat yang sama dan lulus tahun 1988, lalu melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas di SMAN 2 Surakarta dan lulus tahun 1991. Di tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana pada Program Studi Arsitektur Pertamanan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan berhasil menamatkan studi S-1 pada tahun 1996 dengan Skripsi yang berjudul Perancangan Agrowisata Sektor II CilantungParung, Bogor. Pada tahun 2008, penulis meneruskan studi Pascasarjana pada Mayor Arsitektur Lanskap , Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah bekerja sebagai dosen Arsitektur Lanskap di Universitas Mercu Buana untuk periode tahun 1997 – 2002. Saat ini penulis aktif menulis buku-buku bertema pendidikan dan telah menerbitkan beberapa buah buku bertema umum dan CD interaktif bertema pendidikan. Karya ilmiah berjudul Ecological Legal Aspects for Sustainable Riparian Landscape Management in Sempur Area, Bogor City, Indonesia
telah disajikan pada Simposium
Internasional Green City di Bogor pada bulan Juli 2010. Penulis telah berkeluarga dengan Ir. Noor Arifin Muhammad, MIE dan dikaruniai 1 orang putri yaitu Khansa Fatihah Muhammad dan 1 orang putra yaitu Abu Bakar Aakif Muhammad.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. ix
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2
Perumusan Masalah................................................................... 2
1.3
Tujuan Penelitian ....................................................................... 3
1.4
Manfaat Penelitian ..................................................................... 3
1.5
Kerangka Pikir Penelitian .......................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Batik dan Sejarahnya ................................................................ 5 2.1.1. Batik di Jaman Penyebaran Islam .................................... 9 2.1.2. Batik Solo dan Yogyakarta ............................................... 10 2.1.3. Perkembangan Batik di Kota-kota lain ............................. 12
2.2
Pengertian Wisata ...................................................................... 13
2.3
Perencanaan lanskap Kawasan Wisata ..................................... 15 2.3.1. Sumberdaya Wisata . ...................................................... 16 2.3.2. Aspek Sosial Budaya dalam Wisata ................................ 17 2.3.3. Aspek Masyarakat dalam Wisata ..................................... 19 2.3.4. Aspek Estetika-Visual Lingkungan dalam Wisata ............ 20
2.4
Perencanaan Lanskap Wisata Budaya ...................................... 21 2.4.1. Lanskap Budaya .............................................................. 21 2.4.2. Warisan Budaya (Cultural Heritage) dan Warisan Budaya Tak Benda ........................................................................ 22 2.4.3. Wisata Budaya dan Interpretasi ........................................ 25 2.4.4. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya Berkelanjutan ...... 26
III. GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA 3.1
Kondisi Fisik Kota Surakarta ...................................................... 28 3.1.1. Kondisi Geografi dan Administrasi ................................... 28
3.1.1.1. Kotamadya ......................................................... 28 3.1.1.2. Kampung Batik Laweyan .................................... 28 3.1.2. Iklim ................................................................................. 33 3.1.3. Topografi Lahan .............................................................. 35 3.1.4. Tata Guna Lahan ............................................................. 36 3.2. Kondisi Sosial Budaya ................................................................. 37 3.2.1. Penduduk ........................................................................ 37 3.2.2. Kepegawaian ................................................................... 38 3.2.3. Ketenagakerjaan ............................................................. 39 3.2.4. Organisasi Seni dan Budaya ........................................... 39 3.3. Hotel dan Pariwisata ................................................................... 40 3.3.1. Pariwisata ........................................................................ 40 3.3.2. Hotel ................................................................................ 41 3.4. Transportasi ................................................................................ 42 IV. METODOLOGI 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 45
4.2
Alat dan Data Penelitian ............................................................ 45 4.2.1. Alat Penelitian ................................................................. 45 4.2.2. Data Penelitian ................................................................ 47
4.3
Metode Penelitian ...................................................................... 48 4.3.1. Pendekatan yang Digunakan ............................................ 48 4.3.2. Tahapan Penelitian........................................................... 49 Tahap 1. Pengumpulan dan Klasifikasi Data……………… 51 Tahap 2. Analisis dan Sintesis ……………………………….51 Tahap 3. Konsep dan Perencanaan …………………………62
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Identifikasi dan Analisis Potensi Fisik Kawasan .......................... 65 5.1.1. Analisis Kualitas Budaya Kawasan .................................. 65 5.1.1.1. Analisis Potensi Obyek dan Atraksi Wisata Eksisting .............................................................. 65 5.1.1.2. Kualitas Budaya Kawasan berdasarkan Obyek dan Atraksi Wisata Budaya Eksisting ....... 81
5.1.2. Analisis Kelayakan Kawasan Wisata .............................. 83 5.1.3. Analisis Kualitas Estetika-Visual Lingkungan ................... 85 5.1.4. Zona Wisata Budaya Potensial ........................................ 91 5.2
Analisis Tingkat Akseptibilitas Masyarakat Lokal ....................... 92
5.3. Zona Integratif Kawasan Wisata Budaya di Kampung Batik Laweyan ..................................................................................... 94 5.4. Rencana Pengembangan Kawasan Wisata Budaya di Kampung Batik Laweyan ............................................................ 100 5.4.1. Konsep Perencanaan Wisata .......................................... 100 5.4.2. Konsep Ruang Kawasan Wisata Budaya ........................ 101 5.4.3. Konsep Sirkulasi Kawasan Wisata Budaya ...................... 103 5.4.4. Pengembangan Aktifitas dan Fasilitas di Kawasan Wisata Budaya ................................................................ 105 5.4.5. Program Pengembangan Perencanaan Wisata ............... 108 5.5. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya ........................................ 109 VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan .................................................................................... 112 6.2. Saran ......................................................................................... 113 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 114 LAMPIRAN .............................................................................................. 118
DAFTAR TABEL Halaman 1. Rata-rata suhu udara, kelembaban, tekanan udara, arah angin dan kecepatan angin pada tahun 2008 .................................. 34 2. Topografi lahan di beberapa kecamatan di Kota Surakarta ............. 35 3. Luas penggunaan tanah tiap kecamatan di kota Surakarta ............. 36 4. Pertumbuhan penduduk Kota Surakarta Tahun 1995-2008 ............. 37 5. Banyaknya penduduk menurut jenis kelamin dan sex ratio di tiap kelurahan di Kecamatan Laweyan tahun 2008 ..................... 37 6. Banyaknya penduduk 5 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan di Kota Surakarta 2008 ................................................................... 38 7. Banyaknya kelurahan, RT, RW dan kepala keluarga di Surakarta tahun 2008 ...................................................................................... 38 8. Banyaknya penduduk menurut mata pencaharian di Kota Surakarta tahun 2008 ...................................................................................... 39 9. Banyaknya organisasi kesenian dan seniman menurut jenis di Kota Surakarta tahun 2008 ...................................................................... 40 10. Banyaknya pengunjung objek wisata di kota Surakarta tahun 2008 ...................................................................................... 40 11. Banyaknya hotel dan jumlah kamar menurut klasifikasi di kota Surakarta tahun 2008 ...................................................................... 41 12 Tingkat penghuni kamar (TPK) hotel menurut kelas hotel di kota Surakarta tahun 2008 ...................................................................... 42 13. Rata-rata lamanya tamu hotel menginap berdasarkan kelas hotel di Kota Surakarta tahun 2008 (hari) ................................................ 42 14. Panjang jalan menurut status jalan dan keadaan di Kota Surakarta tahun 2008 ...................................................................... 43 15. Banyaknya kendaraan angkutan umum yang berdomisili di Kota Surakarta tahun 2004-2008 ................................................. 43 16. Banyaknya perusahaan oto Bus (PO) yang berdomisili di Kota Surakarta tahun 2008 .......................................................... 44 17. Banyaknya pesawat dan penumpang yang datang dan berangkat dari Bandara Adi Sumarmo dengan tujuan Internasional tahun 2008 ................................................................. 44
18. Luasan kampung di lokasi penelitian,Kelurahan Laweyan ............... 45 19. Alat penelitian ................................................................................. 47 20. Data Penelitian ................................................................................ 47 21. Peubah, indikator, dan kategori untuk penilaian potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ................................................... 53 22 Skala penilaian potensi obyek dan atraksi wisata eksisting .............. 55 23. Penilaian kelayakan kawasan wisata ............................................... 57 24 Skala penilaian kelayakan kawasan ................................................ 57 25. Skala penilaian kualitas estetika-visual lingkungan .......................... 58 26. Penilaian kualitas estetika-visual lingkungan.................................... 59 27. Penilaian Akseptibilitas Masyarakat ................................................. 60 28. Potensi obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan ................................................................................. 65 29. Obyek dan atraksi wisata di awasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi sangat baik (S1).................................. 69 30. Obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi baik (S2) ........................................... 71 31. Obyek dan atraksi wisata di Kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi cukup (S3) ........................................ 75 32. Obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi buruk (S4) .......................................... 76 33. Jenis aktivitas wisata dan kualitas ODAW eksisting ........................ 77 34. Jenis aktivitas wisata ODAW eksisting ............................................ 79 35. Kualitas budaya masing-masing kawasan berdasarkan obyek dan Atraksi wisata (ODAW) eksisting yang dimiliki.................................. 81 36. Tingkat kelayakan kawasan wisata .................................................. 83 37. Kualitas estetika-visual lingkungan masing-masing kawasan .......... 88 38. Zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan ............. 91 39. Tingkat akseptibilitas masyarakat terhadap rencana pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ........................................................................................ 93 40. Luasan kawasan di Kampung Batik laweyan berdasarkan tingkat akseptibilitas masyarakat terhadap pengembangan kawasan wisata ............................................................................... 93
41. Zona integratif kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan ......................................................................................... 95 42. Zona pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ........................................................................ 97 43. Rencana aktifitas dan fasilitas untuk zona inti di kawasan wisata budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta ................................... 106 44. Rencana aktifitas dan fasilitas untuk zona pendukung di kawasan wisata budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta ......................... 108
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka dan alur pikir penelitian ................................................. 4
2.
Berbagai motif batik dengan sejarah dan filsafah tersendiri ........... 6
3.
Proses pembuatan batik ................................................................ 8
4.
Alur proses pembuatan batik ......................................................... 9
5.
Komponen fungsi dari suplai ......................................................... 17
6.
Peta perletakan kawasan Laweyan terhadap Kota Surakarta ........ 29
7.
Pembagian kampung di kawasan Kelurahan Laweyan, Surakarta 30
8.
Pola permukiman Kampung Batik Laweyan ................................. 31
9.
Jalan di kawasan Kampung Batik Laweyan ................................. 32
10. Sungai Kabanaran ........................................................................ 32 11. Rumah tinggal Indiesch di Laweyan ............................................. 33 12. Grafik curah hujan di Kota Surakarta selama tahun 2008 per bulan ...................................................................................... 35 13. Grafik persentase luas penggunaan tanah di Kota Surakarta berdasar penggunaannya tahun 2008 .......................................... 36 14. Lokasi studi .................................................................................. 46 15. Tahapan penelitian ....................................................................... 50 16. Peta potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ........................... 69 17. Peta deliniasi kawasan berdasarkan keberadaan obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan, Surakarta .... .78 18. Peta deliniasi kawasan berdasarkan jenis aktivitas wisata dari obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ...................................................................................... .81 19. Peta tematik kualitas budaya masing-masing kawasan berdasarkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ................................... .82 20. Peta kelayakan kawasan wisata budaya ...................................... .84 21. Peta kondisi kualitas estetika-visual lingkungan ........................... .89 22. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan rendah .............. .89 23. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan tinggi ................. .90 24. Peta zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan ... .92 25. Peta zona tingkat akseptibilitas masyarakat di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ............................................................. .94
26. Peta zona integratif kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ............................................................. .95 27. Peta zona pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ............................................................. .97 28. Konsep ruang kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ...................................................................... .101 29. Konsep ruang dan sirkulasi kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ............................................................. .102 30. Rencana tata ruang kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ............................................................. .110 31. Gambar site plan kawasan wisata budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta ...................................................................... .111
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Program pengembangan ruang wisata budaya (culture tourism) ... 118
2.
Program pengembangan ruang wisata edukasi (edu-tourism) ....... 132
3.
Gambar detil area wisata dan sejarah .......................................... 134
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia terkenal sebagai
negara yang kaya akan keragaman seni
budaya tradisional. Keragaman ini merupakan anugerah yang diwariskan nenek moyang secara turun temurun yang membuat bangsa kita tetap memiliki ciri khas kebudayaan sendiri, yang membedakan budaya bangsa kita dengan bangsa lain. Salah satu warisan seni budaya yang terkenal dan bahkan telah diakui dunia dengan ditetapkannya sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh UNESCO, tepat pada tanggal 2 Oktober 2008 yang lalu, adalah batik. Pengakuan ini tentu saja menuntut tanggung jawab yang besar untuk terus menjaga dan melestarikannya sepanjang masa, dari generasi ke generasi. Batik merupakan salah satu bentuk warisan budaya tradisional yang sudah ditekuni masyarakat di Pulau Jawa sejak dulu. Salah satu tempat yang terkenal sebagai produsen batik di pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, adalah Kampung Laweyan. Produksi batik yang sudah dilakukan sejak abad-19 ini ternyata meninggalkan jejak sejarah yang sangat kuat dan telah berperan besar dalam membentuk lanskap budaya di kawasan tersebut. Dinamika perkembangan batik juga turut menciptakan wajah lanskap budaya, berikut sistem sosial budaya tradisional yang unik dan menarik. Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan di jaman Kerajaan Pajang pada 1500-an dengan sandang sebagai komoditas utamanya. Sebutan Laweyan berasal dari kata "lawe" yang artinya benang dari pilinan kapas. Asal-usul kata lawe ini ternyata terus membawa nama Laweyan tetap terkenal sebagai daerah perdagangan dan produsen sandang hingga saat ini, yaitu sandang batik. Upaya pelestarian budaya di Kampung Laweyan yang sangat identik dengan batik ini, ternyata telah menjadi perhatian pemerintah setempat. Dengan melihat pasang surutnya perkembangan produksi batik, dan terdorong keinginan untuk melestarikan budaya di kawasan Kampung Laweyan ini, maka tanggal 25 September 2004 Pemerintah Daerah Surakarta mencanangkan Kampung Laweyan sebagai Kampung Batik dan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata Kota Solo.
2
Namun sangat disayangkan bahwa upaya pencanangan Kampung Laweyan sebagai Kampung Batik dan daerah tujuan wisata ini tidak diiringi dengan perencanaan kawasan yang optimal. Menurut ICOMOS, The Burra Charter (1999), dijelaskan bahwa nilai budaya yang dilindungi, sebagaimana budaya batik yang ada di kampung Laweyan ini, dapat dimanfaatkan, sepanjang tidak mengancam keberadaannya dan kualitas nilai budaya itu sendiri. Salah satu cara pemanfaatannya adalah dengan menjadikannya sebagai daerah tujuan wisata. Belakangan ini, kunjungan ke tempat-tempat warisan bersejarah, dan tempat situs budaya lainnya meningkat dengan tajam (Pearce, 1996; Uzzell, 1998). Di sisi lain, warisan budaya merupakan peninggalan leluhur yang mudah terancam punah bila tidak dilestarikan dengan sungguh-sungguh. Perencanaan lanskap yang mampu memanfaatkan warisan budaya sebagai daya tarik wisata sekaligus melakukan perlindungan terhadap warisan budaya tersebut , beserta masyarakat lokal yang hidup bersamanya, sangat dibutuhkan.
Pemanfaatan
sumberdaya wisata dengan sekaligus melakukan upaya pelestarian dan perhatian terhadap keberlangsungan hidup kawasan hingga generasi-generasi mendatang, merupakan kunci keberhasilan perencanaan lanskap sebuah kawasan wisata. Perencanaan lanskap budaya yang tepat tidak hanya akan menjadi daya tarik wisata, tapi sekaligus dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal dan kualitas budaya di kawasan tersebut. Berangkat dari fenomena ini, penting untuk merencanakan kawasan Kampung Batik Laweyan ini sebagai kawasan wisata budaya yang berkelanjutan yang memperhatikan unsur-unsur pelestarian warisan budaya batik, kehidupan sosial budaya dan perekonomian masyarakat lokal, dan lingkungan. 1.2.
Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Kampung Laweyan merupakan daerah yang menyimpan warisan budaya tak benda yaitu batik. Budaya batik , berikut kehidupan sosial budaya yang menyertainya, merupakan budaya yang harus tetap dipertahankan secara turun temurun. Upaya pelestarian ini belum diwujudkan dalam perencanaan kawasan yang terarah dan terintegrasi di Kampung Laweyan ini. Perencanaan kawasan seperti apa yang paling tepat?
3
2.
Perlu diteliti lebih lanjut mengenai potensi dan sumberdaya apa saja yang dimiliki kawasan agar layak dijadikan tempat tujuan wisata, sekaligus sebagai upaya pelestarian sumberdaya yang dimiliki. Sumberdaya apa saja yang dimiliki di kampung Batik Laweyan ini dan bagaimana potensi yang dimiliki?
3.
Masyarakat merupakan faktor penting dalam pengembangan kawasan wisata. Bagaimana tingkat penerimaan masyarakat terhadap pengembangan kawasan menjadi kawasan wisata?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat perencanaan kawasan
Kampung batik Laweyan ini menjadi kawasan wisata budaya. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1)
Menganalisis aspek fisik kawasan : a.
Menganalisis kualitas budaya kawasan berdasarkan obyek dan atraksi wisata budaya eksisting
b.
Menganalisis kelayakan kawasan wisata
c.
Menganalisis kualitas estetika-visual lingkungan
2)
Menganalisis potensi masyarakat lokal
3)
Menentukan
zona
integratif
kawasan
untuk
dikembangkan
dalam
perencanaan lanskap kawasan wisata budaya.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1.
Mendukung upaya pelestarian sejarah dan budaya, khususnya di kawasan Kampung Batik Laweyan, terutama setelah ditetapkannya Kampung Laweyan sebagai kawasan cagar budaya.
2.
Menjadi masukan bagi Forum Kampung Laweyan dalam mengembangkan dan melestarikan Kampung Laweyan agar tetap berkelanjutan baik dari segi ekonomi maupun kehidupan sosial budayanya.
3.
Meningkatkan pemahaman dan pengertian pengunjung terhadap sejarah dan budaya Kampung Batik Laweyan.
4.
Menjadi masukan bagi pengembangan pariwisata yang dapat meningkatkan PAD kota dan kesejahteraan masyarakat serta pelestarian budaya batik Kota Solo.
4
1.5.
Kerangka Pikir Penelitian Sebelum memulai penelitian, perlu adanya kerangka berpikir untuk
membantu kelancaran pelaksanaan baik selama di lapang maupun pada saat proses pengolahan data dan pengembangan kawasan. Aspek masyarakat dan aspek fisik kawasan diteliti dan dianalisis sesuai prinsip-prinsip perencanaan wisata. (Gambar 1).
Kampung Laweyan Peruntukan sebagai kawasan wisata budaya
Aspek Fisik Kawasan
Aspek Masyarakat
Potensi Pengembangan Wisata Budaya
Kualitas Budaya Kawasan berdasarkan Obyek & Atraksi Wisata Eksisting
Potensi Obyek dan Atraksi Wisata Budaya Eksisting
Zona Kualitas Budaya Kawasan
Kelayakan Kawasan Wisata
Zona Kelayakan Kawasan Wisata
Zona Wisata Budaya Potensial
Potensi Masyarakat
Kualitas Estetika-Visual Lingkungan
Zona Potensi Estetika-Visual Lingkungan
Zona Akseptibilitas Masyarakat
Zona Pengembangan Kawasan Wisata Budaya
Perencanaan Kawasan Wisata Budaya
Gambar 1. Kerangka dan alur pikir penelitian
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Batik dan Sejarahnya Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya, batik mengalami banyak perkembangan. Selanjutnya dengan penggabungan berbagai corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik lukis seperti sekarang ini (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, 1987). Sejarah perbatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta. Jenis dan corak batik tradisional amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri. Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Pada awalnya batik dikerjakan terbatas hanya dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari para pengikut raja yang tinggal di luar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan di tempatnya masingmasing. Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, pria dan wanita, hingga kini. Sebelum tahun 1900 penggunaan batik hanya untuk jarik (tapih),dodot, kemben,selendang dan ikat kepala. Sedangkan motif-motif yang digunakan mempunyai arti filosofis, sebagai contoh: a. Batik dengan motif sidomukti biasa digunakan oleh mempelai pada upacara akad nikah maupun upacara “panggih” (Jawa) dengan maksud supaya si mempelai setelah melangsungkan pernikahan dikaruniai Tuhan
6
kebahagiaan, terpenuhi segala kebutuhan hidupnya dan mendapatkan kedudukan yang tinggi. b. Pada tahun 1769, 1784, 1790, di kasunanan Surakarta diterbitkan surat keputusan Sri Sunan yang berisi larangan menggunakan batik khusus dengan motif yang mengandung sawat (sayap burung garuda), motif Parang Rusak, motif Udan Liris, Motif Cemukan , bagi masyarakat umum (bukan anggota keluarga kerajaan). Berbagai motif batik yang disebutkan di atas dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini
Motif Parang Rusak
Motif sawat (sayap burung garuda)
Motif Sidomukti
Motif Udan Liris
Sumber: Departemen Perindustrian-Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (1987).
Gambar 2. Berbagai motif batik dengan sejarah dan filsafah tersendiri Dalam perkembangan selanjutnya, setelah tahun 1900 (terutama setelah dihapuskannya larangan penggunaan motif batik tertentu dan munculnya desain batik modern) maka penggunaan batik tidak terbatas untuk busana tradisional saja, tetapi berkembang lebih luas lagi antara lain dipakai sebagai alat
7
perlengkapan rumah tangga (seperti tirai, taplak meja, sprei, hiasan dinding, tas, kursi, gaun, kemeja pria, dsb). Jadi, kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia khususnya suku Jawa, yaitu setelah akhir abad ke XVIII atau awal abad ke XIX. Semua batik yang dihasilkan adalah berupa batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi pakaian tradisional Indonesia, dan bahkan sudah menjadi salah satu fashion yang sedang trend dan digandrungi tidak hanya oleh penduduk Pulau Jawa. Bahkan mereka yang tinggal di luar Jawa dan luar negeri sekalipun sudah mulai mengenal batik dan mengenakannya dengan bangga. Namun, popularitas batik sekarang ini lebih banyak karena didukung oleh kecenderungan trend dan mode pakaian yang dicetuskan pertama kali oleh para perancang pakaian. Orang banyak mengenakan batik lebih karena “sedang trend”, dan bukan karena terdorong rasa cinta dan pengetahuan yang mendalam terhadap karya seni batik itu sendiri. Kebanggaan yang dimiliki bangsa Indonesia berkenaan dengan batik adalah dengan diakuinya kerajinan tradisional batik sebagai warisan budaya takbenda secara internasional. Kerajinan batik yang dimiliki bangsa Indonesia memang unik, dimana ini terletak pada seni proses pembuatan batik itu sendiri. Proses pembuatan batik yang mengikuti alur kerja tertentu dimulai dari menggambar motif menggunakan canting sampai proses pewarnaan dan penjemuran, merupakan kemahiran kerajinan tradisional yang tidak dimiliki bangsa lain. Hal ini merupakan tradisi budaya yang harus tetap dijaga dari generasi ke generasi. Pada kenyataannya, pengetahuan akan seni batik dirasa kurang bagi generasi masa kini. Berbagai bentuk dan corak batik yang ada, jarang dapat dipahami dengan benar, terutama bagi mereka yang tinggal di luar kota-kota penghasil batik seperti Bandung, Jakarta, atau luar jawa.
Sebagian besar
mereka hanya tahu bahwa kain tersebut adalah kain batik, tetapi tidak tahu corak apa saja yang tergolong batik dan bagaimana membedakannya , bagaimana proses
pembuatannya,
bagaimana
merawat
batik
dengan
benar,
dll.
Pengetahuan akan seluk beluk batik termasuk pengenalan sejarah batik, corak, proses pembuatan dan perawatan dirasa perlu sebagai upaya untuk menjaga
8
dan melestarikan kesenian batik, yang telah menjadi tradisi dan ciri khas bangsa Indonesia sejak jaman dulu. Proses pembuatan batik merupakan pengetahuan yang sangat menarik untuk digali. Proses membatik secara tradisonal ini dari masa kemasa tidak mengalami banyak perubahan sampai sekarang. Melihat dari bentuk dan fungsinya, peralatan batik ini cukup tradisional dan unik, sesuai dengan cara membatik yang juga masih tradisional. Peralatan batik tradisional ini merupakan bagian dari batik tradisional itu sendiri karena bila dilakukan perubahan dengan menggunakan alat/mesin yang lebih modern maka akan merubah nama batik tradisonal menjadi kain motif batik. Hal ini menunjukkan bahwa cara membatik ini memiliki sifat yang khusus dan menghasilkan seni batik tradisional. Membatik dengan cara tradisional ini (menggunakan canting) memang tidak dapat menghasilkan kain batik dalam jumlah banyak dengan waktu singkat. Tidak mengherankan bila hasil karya membatik tradisional ini dihargai dengan harga yang cukup tinggi. Gambar alur pembuatan batik dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4 di bawah ini.
Sumber : Widayati, 2002
Gambar 3. Proses pembuatan batik
9
Sumber : Widayati, 2002
Gambar 4. Alur proses pembuatan batik 2.1.1. Batik di Jaman Penyebaran Islam Riwayat perbatikan di daerah Jawa Timur adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan
Wetan
(Departemen
Perindustrian
-Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Industri, 1987). Perkembangan selanjutnya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari, ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan
10
sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo. Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar di pesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama. Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayukayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kain putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import baru dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19. Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia. 2.1.2. Batik Solo dan Yogyakarta Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian.
Namun
perkembangan
selanjutnya,
oleh
masyarakat
batik
11
dikembangkan menjadi komoditi perdagangan (Departemen Perindustrian Badan Penelitian dan Pengembangan Industri -Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan batik, 1987). Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya baik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan "Sidomukti" dan "Sidoluruh". Sedangkan asal-usul pembatikan di daerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-1 dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah di Desa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada tingkatan pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombinasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton. Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga rajaraja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah Timur Ponorogo, Tulung Agung dan sebagainya. Meluasnya daerah pembatikan ini sampai ke daerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu. Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut Pangeran Diponegoro mengembangkan batik. Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik,
12
Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
2.1.3. Perkembangan Batik di Kota-kota Lain Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesainya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menetap di daerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan
kuning.
(Departemen
Perindustrian
-Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Industri -Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan batik, 1987). Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad XIX berhubungan langsung dengan pembatik di daerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina, disamping mereka juga berdagang bahan batik. Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitar daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerahdaerah lainnya yaitu sekitar abad XIX. Perkembangan pembatikan didaerahdaerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo. Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya ke daerah baru itu dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk mata pencaharian. Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya, dilihat dari proses dan desainnya banyak
13
dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya merupakan buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembuatan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris. Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekalongan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen sehingga para buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto pun banyak yang lebih tertarik ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula. Sedang pembatikan dikenal di Tegal pada akhir abad XIX dan bahan yang dipakai pada waktu itu merupakan bahan buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan seperti pace atau mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya adalah bahan tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu. Setelah dikenal nila pabrik, kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah mencapai kawasan luar daerah antara lain Jawa Barat , dimana batik tersebut dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha dengan berjalan kaki dan menurut sejarah merekalah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatangpendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah. 2.2. Pengertian Wisata Wisata adalah kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang untuk sementara dalam jangka waktu tertentu ke tujuan-tujuan di luar tempat tinggal dan tempat rutinitas bekerja, untuk tujuan rekreatif dan non rekreatif dengan aktivitas selama mereka tinggal di tempat tujuan tersebut dan fasilitas yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan mereka (Gunn, 1994). Sementara itu Soemarwoto (1996) menyatakan bahwa wisata atau pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan, dimana tujuan pariwisatanya adalah untuk mendapatkan rekreasi. Wisata juga dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang dapat membuat suatu area terhubung dengan destinasi dengan rute perjalanan antara dua lokasi tersebut ( Boniface dan Cooper dalam Gunn, 1994).
14
Tujuan travelling dalam pariwisata memang bervariasi. Menurut WTO ( World Tourism Organization (1991), yang diperkuat oleh UN Statistical Commission dalam Holden (2000) dikatakan bahwa pariwisata terdiri dari aktivitas orang yang melakukan travelling dan menetap di suatu tempat di luar lingkungan yang biasa mereka diami untuk jangka waktu tidak lebih dari satu tahun untuk kepentingan bersenang-senang, bisnis atau tujuan lainnya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan oleh Davidson dalam Holden (2000) bahwa rekreasi atau kesenangan merupakan tipe utama dari wisata, termasuk perjalanan untuk mengisi hari libur, olahraga, acara budaya, dan mengunjungi teman dan saudara, atau bahkan untuk kepentingan
bisnis, studi atau
pendidikan , agama dan tujuan kesehatan. Alasan utama mengapa orang mengunjungi suatu tempat adalah adanya daya tarik atau magnet tertentu dari tempat tersebut. Gunn (1994) menyatakan bahwa alasan tersebut terletak pada sumberdaya yang ada di tempat tujuan/destinasi, baik itu sumberdaya alam dan budaya, dan juga atraksi yang berkaitan dengan sumberdaya-sumberdaya tersebut. Pada umumnya istilah “sumberdaya alam” mengacu pada lima fitur alam mendasar seperti air, perubahan topografi, vegetasi, kehidupan alam liar, dan iklim. Sumberdaya budaya termasuk semua sumberdaya kecuali yang kita sebut alami. Diantaranya adalah situs bersejarah, situs prasejarah, tempat keetnikan, legenda dan pendidikan; industri, pusat perdagangan, dan galeri-galeri; dan tempat – tempat penting untuk hiburan, kesehatan, olah raga dan agama. Kedua kategori sumberdaya ini dapat digunakan untuk mengklasifikasi atraksi yang terdapat di tempat tujuan wisata. Smith (1989) mengkategorikan faktor-faktor atraksi dalam area wisata dalam lima kategori utama yaitu faktor alami, faktor sosial dan budaya, faktor sejarah, faktor rekreasional dan faktor infrastruktur wisata. Atraksi yang terdapat di tempat tujuan wisata merupakan komponen suplai yang sangat berperan penting dalam pariwisata. Atraksi merupakan segala hal yang dikembangkan di lokasi, yang direncanakan dan dikelola untuk kepentingan pengunjung, untuk aktivitas dan untuk dinikmati (Gunn, 1994). Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam wisata tidak dapat terlepas dari hukum penawaran dan permintaan. Semakin menarik penawaran yang diberikan, maka akan semakin banyak pula permintaan yang datang. Perencanaan dan pengelolaan yang tepat di sisi penawaran (dalam hal ini adalah tempat tujuan wisata) tidak hanya akan menambah daya tarik wisatawan atau
15
menambah sisi permintaan, tetapi juga akan meningkatkan kualitas lingkungan kawasan tujuan wisata. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa yang dapat ditawarkan adalah di tempat tujuan wisata adalah sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang mampu mempertahankan keberlangsungan kawasan dan lingkungan adalah tujuan utama dari seorang perencana kawasan wisata. 2.3. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Menurut Inskeep (1991) secara umum yang dimaksud dengan perencanaan adalah mengorganisasikan masa depan untuk mencapai tujuan tertentu. Berkaitan dengan perencanaan wisata, Inskeep (1991) mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan perencanaan yang dapat dilakukan sehubungan dengan pengembangan kawasan wisata. Pendekatan perencanaan dengan mempertimbangkan keberlanjutan kawasan dan lingkungan adalah salah satunya. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya kualitas kehidupan yang lebih baik karena kondisi fundamental yang terdiri dari lingkungan manusia, kehidupan budaya, dan kehidupan alam yang senantiasa terjaga, selalu menjadi pertimbangan utama selama perkembangan terjadi. Lebih merupakan
lanjut
suatu
Nurisjah
bentuk
alat
(2000) yang
menyatakan sistematis
bahwa
yang
perencanaan
diarahkan
untuk
mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan. Menurut Gunn (1994), perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk mengembangkan kawasan wisata untuk mengakomodasi keinginan pengunjung, pemerintah daerah, penduduk atau masyarakat sekitar. Dikatakan pula bahwa perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan sensitif terhadap lingkungan, dan dapat diintegrasikan dengan masyarakat dengan dampak negatif yang minimal. Pengertian-pengertian sebagaimana dikemukakan di atas memberi arahan bagi seorang perencana kawasan khususnya dalam hal ini adalah perencana kawasan wisata untuk mempertimbangkan banyak faktor yang berpengaruh dalam wisata. Pertimbangan yang dilakukan tidak hanya untuk kepentingan keuntungan secara materi bagi industri wisata sendiri, tetapi mempertimbangkan
kepentingan
lain
yang
menyertai
keberlangsungan
16
kehidupan industri wisata itu sendiri seperti masyarakat lokal, lingkungan, kehidupan ekonomi dan budaya, serta alam. Pemilihan pendekatan perencanaan yang tepat merupakan kunci sukses dalam keberhasilan sebuah perencanaan. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan kawasan wisata adalah sebagai berikut. 2.3.1. Sumberdaya Wisata Untuk
merencanakan
suatu
kawasan
wisata
perlu
diperhatikan
sumberdaya dan permintaan wisata. Sumberdaya wisata merupakan gambaran tentang ruang, fasilitas dan pelayanan. Sumber daya wisata adalah potensi wisata yang dapat berupa objek-objek wisata baik alami maupun objek-objek buatan manusia. Objek-objek alami meliputi iklim, pemandangan alam, wisata rimba, flora dan fauna, sumber air, kesehatan, dan lainnya. Sedangkan objekobjek buatan manusia antara lain yang bercirikan sejarah, budaya dan agama, sarana dan prasarana wisata dan pola hidup masyarakat (Hardjowigeno,2001). Menurut Darsoprajitno (2002), sumber daya wisata adalah ketersediaan objek dan daya tarik wisata baik wisata binaan, lingkungan alam yang masih murni alami, maupun yang sudah terpengaruh oleh budidaya manusia yang bersifat tetap atau temporal di suatu kawasan tertentu. Selanjutnya Avenzora (2008), menyatakan sumber daya wisata (recreation resources) adalah suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen-elemen ruang tertentu yang dapat : (1) menarik minat orang untuk berekreasi, (2) menampung kegiatan rekreasi, dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi. Supply atau penawaran adalah daftar yang menunjukkan jumlah dari suatu produk yang akan membuat ketersediaan untuk pembelian bermacam level harga. Sedangkan tourism supply adalah fungsi dari suatu kawasan alami dan karakteristik sosial ekonomi yang dengan sebaik mungkin dapat mendukung atraksi dan objek yang ada dari suatu kawasan budaya dan atau sumberdaya alam dimana bentuk atraksi yang ditampilkan cocok dengan komponen wisata (Jafari, 2000). Dalam tourism supply, perlu dipahami pengertian tentang : (1) apa dan berapa yang dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan,dan (3) kepada siapa dapat diberikan (Avenzora, 2008). Selain sumberdaya fisik dan alami maka sumberdaya lain seperti aspek budaya maupun sejarah, menjadi salah satu atraksi yang dapat mendukung pengembangan kawasan wisata. Hal ini didukung oleh keterkaitan etnik yang
17
tinggi yang dimiliki oleh suatu kawasan. Namun demikian walaupun mempunyai potensi untuk dikembangkan tapi bila
tanpa dukungan sarana prasarana
tranportasi, atraksi yang menarik, maupun pelayanan yang baik serta informasi dan promosi, maka akan kurang dikenal. Oleh karena itu sumber daya wisata dapat dikembangkan menjadi suatu pariwisata yang marketable jika memenuhi persyaratan sebagaimana gambar di bawah ini.
Atraksi
Transportasi
Servis
Informasi
Promosi
Sumber : Gunn, 1994 Gambar 5.. Komponen fungsi dari suplai Perencanaan dan pengembangan suatu kawasan wisata harus memperhatikan semua sumberdaya alam dan budaya, serta lingkungan agar tidak terjadi degradasi. Pengembangan kawasan wisata harus selalu melindungi sumber daya yang ada karena penting sekali bagi keberhasilan wisata, selain itu juga harus menonjolkan kualitas asli atau lokal dari suatu tempat (Gunn, 1994). Salah satu sumber daya wisata adalah budaya kehidupan masyarakat. Pemahaman terhadap budaya suatu masyarakat tidak hanya dapat membantu melestarikan kelestarian budaya itu sendiri, namun juga dapat menjadi salah satu atraksi menarik bagi wisatawan yang menginginkan pengalaman untuk merasakan budaya yang berbeda dengan budaya daerah asal mereka. 2.3.2. Aspek Sosial Budaya dalam Wisata Aspek sosial budaya adalah suatu kondisi sosial budaya masyarakat yang
ada
dan
berpengaruh
dalam
lingkungan
hidupnya.
Menurut
Koentjaraningrat (1986), budaya sebagai bagian kompleks yang menyangkut pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral. hukum, adat istiadat dan
18
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan dari manusia sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya Koentjaraningrat (1986), menyatakan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai budaya fisik dan tidak memerlukan banyak penjelasan, maka sifatnya paling konkret. Sementara itu Koentjaraningrat (1986), menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan bersifat universal (cultural universal) yang terdiri dari tujuh unsur yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial. Sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian. Dalam aspek sosial budaya berhubungan erat dengan
lanskap
budayanya (cultural landscape) yaitu suatu model atau bentuk lanskap binaan yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dan ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan, adat istiadat, kesenian dan struktur lainnya (Nurisjah, 2001). Pola-pola budaya yang perlu diketahui termasuk struktur masyarakat, sistem nilai, kebiasaan, gaya hidup dan perilaku yang akan disesuaikan dengan pengembangan wisata dan pemakaian tenaga kerja setempat ( Inskeep ,1991). Menurut Inskeep (1991), sosial budaya dalam wisata adalah: 1. Pengembangan wisata yang dapat memikat tanpa menimbulkan kerusakan pada kehidupan sosial budaya dan aktifitas masyarakat, 2. Tingkatan wisata yang dapat membantu memelihara monumen budaya, seni, sistem kepercayaan, pakaian dan tradisi tanpa efek merusak.
19
Perlu diketahui bahwa mau tidak mau pasti akan terjadi dampak akibat adanya wisata. Dampak sosial budaya yang ditimbulkan dengan adanya wisata adalah terjadinya interaksi antara wisatawan yang memiliki kebudayaan yang berbeda
dengan
kebudayaan
penduduk
lokal
sehingga
terjadi
saling
mempengaruhi antara penduduk lokal dengan wisatawan. Dampak ini dapat memberi pengaruh positif seperti semakin meluasnya cakrawala pandangan penduduk lokal, saling pengertian dan saling menghargai antara wisatawan dan penduduk lokal. Di lain pihak juga memberi dampak negatif seperti adanya komersialisasi yang berlebihan yang dapat menyebabkan merosotnya mutu kesenian, meningkatnya prostitusi dan kriminalitas (Soemarwoto, 1996). Pertimbangan perencanaan yang dapat meminimalisir dampak negatif dan memperkuat dampak positif, sangat perlu dilakukan. 2.3.3. Aspek Masyarakat dalam Wisata Menurut Suwantoro (2004), dikatakan bahwa pembangunan dan pengembangan
pariwisata
harus
melibatkan
masyarakat
setempat
dan
sekitarnya secara langsung. Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata ke arah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat tersebut dapat berupa keikutsertaaan sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya. Keikutsertaan ekonomi adalah keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian baik terkait langsung dalam wisata maupun yang tidak terkait secara langsung dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian kawasan wisata, sedangkan perekonomian non wisata merupakan kegiatan pendukung perekonomian di kawasan wisata. Dalam suatu kawasan budaya yang dilindungi, perlu adanya kerjasama antara 3 mitra yang saling menguntungkan untuk bersama-sama melindungi dan menjaga agar lingkungannya tetap terus berkelanjutan, yaitu komunitas, pengunjung, dan situs itu sendiri. Komunitas ini terdiri dari masyarakat lokal, pemerintah daerah, LSM, forum perwakilan masyarakat, maupun pengusaha sebagai investor. Komunitas yang saling berkoordinasi menyamakan misi dan visi dalam membangun dan melindungi kawasannya akan mendororng keberlanjutan
lingkungannya
melalui
apresiasi
dan
kebanggaan
atas
20
keistimewaan
budaya
yang
mereka
miliki.
Ketika
sebuah
komunitas
menunjukkan rasa bangga dan wibawanya atas kawasan budaya yang dilindungi dan dijaga dengan hati-hati ini, maka hal ini akan menarik para tamu atau pengunjung yang juga menunjukkan rasa penghargaan atas kekagumannya. Jika lingkaran ini sudah terbentuk, maka akan lebih mudah memelihara kawasan budaya yang dilindungi tersebut dan menjaganya agar tetap langgeng hingga generasi berikutnya. Memahami preferensi dan persepsi komunitas dan pengunjung merupakan hal yang sangat penting dalam merencanakan suatu kawasan wisata budaya. 2.3.4. Apresiasi Estetika-Visual Lingkungan dalam Wisata Apresiasi terhadap estetika lingkungan perkotaan dapat berupa apresiasi visual dan kinestetik. Apresiasi visual terhadap lingkungan perkotaan merupakan hasil dari persepsi dan kognisi. Sedangkan pengalaman kinestetik merupakan apresiasi terhadap lingkungan yang mengikursertakan kepekaan gerakan seluruh anggota tubuh (Carmona et al. 2003). Nasar (1998), mengatakan ada lima atribut untuk mengatakan bahwa suatu lingkungan itu disukai. Kelima atribut tersebut adalah: 1) naturalness (lingkungan yang natural atau unsur alamiahnya lebih dominan dibanding elemen terbangun); 2) upkeep/civilities (lingkungan yang terlihat terawat dan dipelihara) ; 3) openness and defined space (perpaduan antara ruang terbuka dengan panorama
dan
vista
significance/content
dari
(lingkungan
elemen2 yang
yang
menarik);
membentuk
4)
historical
ingatan/memori
yang
dharapkan); dan 5) order (dalam arti keteraturan, koheren (tepat ), kongruen (sesuai), legible (mudah dipahami), dan ada kejelasan (clarity)). Untuk ruang terbuka yang berupa jalan atau street, Carmona et al. (2003), mengatakan bahwa terdapat pertimbangan untuk menilai kualitas visual salah satunya adalah architectural rhythm. Dimensi visual lainnya adalah pengalaman kinestetik (kinaesthetic experience). Cullen (1961) dalam Carmona et al. (2003) mengatakan tentang ‘serial vision” dimana pengalaman merupakan serangkaian penyingkapan banyak hal disertai dengan adanya daya tarik karena unsur kontras seperti misalnya juxtaposition dalam bidang arsitektur.
Bosselmann (1998) dalam
Carmona et al. (2003) mengatakan bahwa seseorang mengukur langkahnya dengan “jarak ritmik” yang berkaitan dengan pengalaman visual dan spasial.
21
Lebih lanjut Bosselmann mengatakan bahwa seseorang yang mengambil jarak tempuh yang sama di lingkungan yang berbeda, akan memberikan persepsi terhadap waktu dan pengalaman yang berbeda-beda. Perjalanan di lingkungan yang tidak menarik akan memberi persepsi terhadap waktu yang terasa lebih lama dari kenyataan waktu yang sebenarnya. 2.4.
Perencanaan Lanskap Wisata Budaya
2.4.1. Lanskap Budaya Kebesaran suatu bangsa tidak hanya cukup diukur oleh tingkat kesejahteraan dan kemantapan perekonomian saja, tetapi juga oleh apresiasi dan sikap bangsa dalam melestarikan nilai dan warisan budaya lama serta keanekaragaman biologis dan ekosistemnya. Warisan alam dan budaya, merupakan sumber yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan mahluk hidup di muka bumi ini. Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakter tertentu, yang beberapa unsurnya dapat digolongkan menjadi unsur utama atau unsur mayor dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur utama atau unsur mayor adalah unsur yang relatif sulit diubah, sedangkan unsur penunjang atau minor adalah unsur yang relatif kecil dan mudah untuk diubah (Simonds, 1983). Lanskap budaya (cultural landscape) adalah segala sesuatu yang berada di ruang luar yang dekat dan dapat dilihat. Menurut definisi ini, lingkungan lanskap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia (Lewis (1979) diacu dalam Meinig (1979)). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lanskap budaya adalah segala bagian dari muka bumi yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia. Lanskap budaya menurut Sauers (1978) diacu dalam Tishler (1982), adalah suatu kawasan geografis dimana ditampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu kebudayaan tertentu, dimana budaya adalah agennya, kawasan alami sebagai medium dan lanskap budaya sebagai hasilnya. Jika kita kehilangan lanskap yang menggambarkan tentang budaya dan tradisi kita, maka kita akan kehilangan bagian penting dari diri kita sendiri dan akar masa lalu. Sebagai arsitek lanskap merupakan tanggung jawab professional untuk menentukan lingkungan khusus ini, setelah diidentifikasi, apakah akan dilindungi atau dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan unsur keberlangsungan sebagai langkah perlindungan warisan bersejarah.
22
2.4.2. Warisan Budaya (Cultural Heritage) dan Warisan Budaya Tak Benda Menurut UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation) yang dimaksud dengan cultural heritage adalah yang tergolong dalam monumen, kelompok bangunan, dan situs. Yang dimaksud dengan monumen antara lain hasil karya arsitektural, hasil karya patung dan lukisan yang monumental. Elemen atau struktur alam yang arkeologis, naskah, gua dan kombinasi fiturnya, dimana nilainya bersifat universal, baik dari sudut pandang sejarah, seni sekelompok bangunan yang saling berhubungan maupun yang terpisah, baik karena bentuk arsitekturnya, keseragamannya dalam suatu lanskap, atau nilainya yang secara universal sangat hebat, baik dari segi sejarah, seni maupun ilmu pengetahuan. Untuk situs, yang tergolong di dalamnya adalah hasil karya manusia atau kombinasi antara alam maupun karya manusia, dan area-area seperti situs bersejarah yang nilainya secara universal tergolong hebat, baik dari segi sejarah, estetika, etnologis maupun antropologis. Masih menurut UNESCO, bahwa cultural heritage terdiri dari tangible cultural heritage (materiil cultural heritage) dan Intangible cultural heritage (Immateriil cultural heritage). Tangible cultural heritage dapat terdiri dari: 1) warisan budaya yang dapat dipindahkan (lukisan, patung, koin, naskah kuno); 2) warisan budaya yang tidak dapat dipindahkan (monumen, situs arkeologis); 3) warisan budaya di bawah air (kapal karam, situs dan reruntuhan di bawah air). Sedangkan Intangible cultural heritage terdiri atas tradisi lisan, seni pertunjukan, ritual. Menurut Konvensi UNESCO 2003 mengenai Warisan Budaya Takbenda menyebutkan bahwa warisan budaya takbenda mengandung arti berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu sebagai bagian warisan budaya mereka. Warisan Budaya Takbenda (WBTB) ini bagi masyarakat, kelompok dan perorangan memberikan rasa identitas dan keberlanjutan, dan cara mereka hidup bermasyarakat. Sumber dari keragaman budaya dan bukti nyata dari potensi kreatif manusia, warisan takbenda secara terus-menerus diciptakan oleh para penerusnya, karena warisan ini dipraktikkan dan disampaikan dari individu ke individu lain dan dari generasi ke generasi. Warisan budaya takbenda sebagaimana didefinisikan di atas diwujudkan antara lain di bidang :1) tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai
23
wahana warisan budaya takbenda; 2) seni pertunjukan ; 3) adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan-perayaan; 4) pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; 5) kemahiran kerajinan tradisional. Budaya takbenda juga dikenal dengan istilah “budaya hidup”. Melihat dari definisi dan perwujudan bidang dari warisan budaya takbenda, maka kerajinan tradisional batik tergolong
sebagai Warisan Budaya Takbenda
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh UNESCO di tahun 2004 yang lalu. Menurut ICOMOS-International Cultural Tourism Charter (2002) yang dimaksud dengan cultural heritage adalah ekspresi tentang cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah komunitas dan diteruskan dari generasi ke generasi termasuk adat istiadat, praktek, tempat-tempat, obyek-obyek, ekspresi dan nilai artistik. Cultural heritage ini seringkali diungkapkan dalam bentuk Intangible atau Tangible Cultural Heritage. Berkaitan dengan cultural heritage, terdapat istilah cultural heritage significance yang berarti estetika, sejarah, sosial , spiritual atau karakteristik khusus lainnya dan nilai sebuah tempat, sebuah objek atau adat istiadat yang mungkin dimiliki untuk generasi kini maupun generasi yang akan datang. Wisata hendaknya dapat membawa manfaat bagi masyarakat lokal dan menjadi alat dalam memotivasi mereka untuk menjaga budaya dan warisan budayanya. Wisata yang berhasil adalah yang mampu menyampaikan signifikansi suatu tempat bersejarah atau signifikansi warisan budaya, sehingga mampu dipahami oleh pengunjung maupun masyarakat lokal. Menurut Burra Charter Australia (1999), cultural significance adalah sebuah konsep untuk membantu dalam mengestimasi nilai suatu tempat atau ruang yang memiliki signifikansi untuk dapat memahami masa lampau untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang. Terdapat banyak penilaian yang digunakan dalam cultural significance Burra Charter Australia, seperti aesthetic (estetika), historic (kesejarahan), scientific (keilmuan) dan social (sosial) serta penilaian lain dapat digunakan sesuai dengan konteks permasalahan pada ruang tersebut. Penjelasan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut: a. Historic value, sebagai nilai yang berasal dari kerangka, kejadian dan aktivitas sejarah yang mempengaruhi sebuah ruang b. Aesthetic value, sebagai nilai yang berasal dari persepsi yang diterima dengan kriteria-kriteria tertentu, kriteria tersebut dapat berupa bentuk, skala, dan proporsi, warna tekstur dan sebagainya
24
c. Scientific value, nilai yang berasal dari ketersediaan dan tingkat representasi serta kontribusi informasi d. Social value mencakup kualitas suatu tempat terhadap lingkungan sekitar. Pengaruh tersebut dapat berupa spiritual, politik dan budaya. e. Pendekatan lain sebagai tambahan dapat digunakan untuk memahami cultural significance dari suatu kawasan Menurut Kerr (1985), Sidharta dan Budihardjo (1989), kriteria dalam aesthetic value dalam cultural significance adalah estetika dari bangunan atau bagian dari kota yang dipreservasi karena merepresentasikan pencapaian tertentu dalam era bersejarah tertentu. Konstruksi bangunan juga bisa termasuk, jika punya kekhususan seperti bangunan terpanjang, tertua, terbesar, atau bangunan pertama, dll. Pengukuran estetika berkaitan dengan nilai-nilai arsitektural dan seperti bentuk, skala, struktur, tekstur, material, bau, suara yang berkaitan dengan sebuah tempat dan ornamennya Sedangkan nilai historis (historic value) suatu tempat, Menurut Kerr (1985) memberi pengaruh atau dipengaruhi oleh figure bersejarah, events ataupun fase terjadinya suatu hal yang bersejarah termasuk lokasi tempat suatu peristiwa bersejarah berlangsung. Cultural significance menjadi lebih besar nilainya jika tempat tersebut mengandung event yang masih berkaitan erat atau bahkan settingnya masih tetap lengkap. Masih menurut Kerr (1985) bahwa cultural significance melibatkan kualitas tempat yang menjadi tempat pusat spiritual, politik, nasional dan komitmen budaya lainnya untuk perorangan maupun kelompok, baik yang mayor maupun minor. Dalam lanskap sejarah dan budaya juga tidak terlepas dari kehadiran arsitektur yang merupakan bukti sejarah perkembangan budaya manusia selama periode tertentu di kawasan tertentu. Penilaian terhadap arsitektur juga penting karena arsitektur merupakan bagian dari kehidupan sosial budaya dan sangat merepresentasikan ciri sebuah kawasan atau kota. Menurut ICOMOS, The Burra Charter (Australia) (1999), yang dimaksud dengan fabric adalah materi fisik dari suatu tempat termasuk komponen, fitur, konten dan objek. Fabric juga dapat berupa interior bangunan, dan sisa-sisa yang masih tertinggal di permukaan, maupun material yang sudah diangkat dari permukaan.
25
2.4.3. Wisata Budaya dan Interpretasi Soekadijo (1996) menyatakan objek dapat menjadi tujuan wisata budaya karena memiliki atraksi wisata, yang terdiri dari sumber daya kepariwisataan dalam bentuk budaya, yang dapat berupa peninggalan-peninggalan atau tempattempat bersejarah (artifact) maupun perikehidupan, adat-istiadat , yang berlaku di tengah-tengah masyarakat (kebudayaan hidup). Menurut Gunn (1994) wisata budaya adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumberdaya budaya. Kategori sumberdaya budaya meliputi tapak pra-sejarah, tapak bersejarah, tempat berbagai etnik dan tempat suatu pengetahuan dan pendidikan, lokasi industri, pusat perbelanjaan, dan pusat bisnis, tempat pementasan kesenian, museum dan galeri, tempat hiburan, kesehatan, olah raga dan keagamaan.Wisata budaya akan berhasil bila dibantu dengan perencanaan jalur interpretasi yang dapat menghubungkan cerita antara satu objek budaya dengan objek lainnya sehingga membentuk suatu jalinan cerita yang utuh dan menyeluruh dan membentuk satu pengertian yang baru bagi pengunjung. Interpretasi merupakan program yang termasuk dalam perencanaan, dalam hal ini adalah perencanaan kawasan wisata budaya. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa perencanaan kawasan wisata budaya hendaklah mempertimbangkan pelestarian kehidupan budaya itu sendiri, maka dengan demikikan upaya interpretasi merupakan upaya yang dirasa perlu untuk mencapai tujuan perencanaan. Interpretasi akan memberikan pemahaman baru tentang suatu kawasan, baik tentang budaya maupun sejarah kawasan tersebut, bagi para pengunjung. Pemahaman ini diharapkan akan melahirkan keinginan dan semangat bagi pengunjung yang datang untuk turut melestarikannya, baik di dalam kawasan itu sendiri maupun ketika mereka sudah kembali ke tempat asal masing-masing. Seorang pakar arkeologi , Hodder (1991), menyatakan bahwa warisan budaya tidak hanya memiliki publik yang tunggal tetapi jamak. Masing-masing pihak merasa punya kepentingan dan ingin mengambil manfaat dari warisan budaya. Berbagai kepentingan ini hendaknya disatukan dalam suatu program sehingga memudahkan masyarakat dan berbagai pihak untuk ikut menyelami, memahami dan meresapi apa yang terkandung dalam warisan budaya tersebut. Wisata interpretatif merupakan salah satu solusi dalam menjembatani informasi antara masyarakat yang ingin tahu tentang budaya, maupun yang tidak
26
ingin tahu sama sekali tentang budaya, sehingga upaya pelestarian budaya dan pemasyarakatan informasi tentang budaya dapat tercapai dengan baik. Dari sini kita dapat melihat bahwa warisan budaya dapat menjadi asset penting dalam pengembangan industri pariwisata dalam konteks upaya pelestarian dengan sistem yang tepat. Sistem yang tepat inilah yang terus diupayakan , agar tujuan pelestarian budaya dan pariwisata dapat berjalan seiring dengan harmoni dan sustainable. Salah satunya adalah dengan mengembangkan kawasan wisata budaya tersebut sebagai kawasan wisata budaya interpretatif. 2.4.4. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya Berkelanjutan Menurut
Inskeep
(1991),
sustainable
tourism
atau
wisata
yang
berkelanjutan adalah suatu industri wisata yang mempertimbangkan aspekaspek penting dalam pengelolaan seluruh sumberdaya yang ada guna mendukung wisata tersebut baik secara ekonomi, sosial dan estetika yang dibutuhkan dalam memelihara keutuhan budaya, proses penting ekologis, keragaman biologi dan dukungan dalam sistem kehidupan. Adapun tujuan sustainable tourism menurut Inskeep (1991) adalah 1) Untuk
pengembangan
yang
lebih
besar
dari
pengetahuan
dan
pemahaman tentang kontribusi yang signifikan dari wisata yang dapat mengubah lingkungan dan ekonomi. 2) Untuk kemajuan sewajarnya dalam pengembangan suatu industri wisata. 3) Untuk memperbaiki kualitas kehidupan dari komunitas kawasan. 4) Untuk
memberikan
suatu
kualitas
yang
tinggi dari pengalaman
pengunjung. 5) Untuk memelihara kualitas lingkungan sebagai obyek yang dapat diandalkan. Menurut Moscardo dan Kim (1990) dalam Yudasmara (2004), pariwisata yang berkelanjutan harus memperhatikan 1) Peningkatan Kesejahteraan masyarakat 2) Mempertahankan keadilan antara generasi dan intragenerasi 3) Melindungi keanekaragaman biologi dan mempertahankan sistem ekologi 4) Menjamin integritas budaya.
27
Menurut EAHTR (European Association Heritage Towns and Regions) (2006), pendekatan sustainable cultural tourism dapat dilakukan dengan mempertimbangkan : 1. Pengunjung (kebutuhan, kepuasan dan kenyamanannya) 2. Industry (kebutuhan pariwisata untuk memperoleh keuntungan) 3. Komunitas (menghormati nilai-nilai dan kualitas hidup masyarakat lokal) 4. Lingkungan (melindungi lingkungan fisik dan budaya) Dalam peningkatan/pengembangan wisata yang harus diperhatikan adalah bagaimana menarik turis sekaligus dapat mempertahankan lingkungan. Oleh karena itu baik pengunjung dan asset wisata, keduanya harus diperhatikan dan dilindungi, begitu juga komunitas yang ada di sekitarnya (Gunn, 1994). Perencanaan multidimensional bertujuan untuk mengintegrasikan semua aspek pendukung, meliputi aspek sosial, ekonomi, antropologi serta fisik yang terpusat pada masa lalu, sejarah dan yang akan datang (Gunn, 1994). Untuk dapat merencanakan lanskap wisata budaya yang baik, perlu memahami secara mendalam tentang faktor-faktor yang berpengaruh dan berpotensi dalam lanskap budaya tersebut, termasuk kualitas dan signifikansi dalam lanskap budaya.
28
III. GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA 3.1. Kondisi Fisik Kota Surakarta 3.1.1. Kondisi Geografis dan Administrasi 3.1.1.1. Kotamadya Kota Surakarta terletak antara 110° 45’ 15”dan 110°45’ 35” Bujur Timur dan antara 7°36’ dan 7°56’ Lintang Selatan. Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang maupun Yogyakarta. Wilayah Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan “Kota Solo” merupakan dataran rendah dengan ketinggian ± 92 m dari permukaan laut, Solo berbatasan di sebelah utara dengan Kabupaten Boyolali, sebelah timur dengan Kabupaten Karangnyar, sebelah selatan dengan Kabupaten Sukoharjo dan di sebelah Barat dengan Kabupaten Sukoharjo. Luas wilayah Kota Surakarta mencapai 44,06 km² yang terbagi dalam 5 kecamatan, yaitu : Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar kliwon, Jebres dan Banjarsari.
Dari beberapa kecamatan ini terbagi lagi menjadi 51 kelurahan.
Jumlah RW tercatat sebanyak 595 dan jumlah RT sebanyak 2.669. Dengan jumlah KK sebesar 130.440 KK, maka rata-rata jumlah KK setiap RT berkisar sebesar 49 KK setiap RT. Sebagian besar lahan dipakai sebagai tempat pemukiman sebesar 61,68%. Sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar juga yaitu berkisar antara 20% dari luas lahan yang ada. 3.1.1.2. Kampung Batik Laweyan Batas wilayah penelitian yaitu Kampung Batik Laweyan,
berada di
Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan kota Surakarta. Batas bagian utara Kelurahan Laweyan adalah Jl. Dr. Rajiman yang dulu bernama Jl. Laweyan merupakan jalan poros kedua setelah Jl. Slamet Riyadi yang membujur ke arah barat dari alun-alun utara sampai Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.
Batas
bagian timur, adalah Jl. Jagalan yang termasuk dalam Kelurahan Bumi. Batas barat adalah kelurahan pajang. Batas bagian selatan merupakan batas alam, yaitu Sungai Kabanaran (Gambar 6).
29
Sumber : Widayati, 2000
Gambar 6. Peta perletakan kawasan Laweyan terhadap Kota Surakarta
Kampung Laweyan mempunyai luas wilayah 24,83 Ha. Terdiri dari 20,56 Ha tanah pekarangan dan bangunan, sedang yang berupa sungai, jalan, tanah terbuka, kuburan seluas 4,27 Ha. Di Kecamatan Laweyan terdiri dari 11 kelurahan dengan 105 RW dan 454 RT dan 24.611 KK (BPS. Surakarta dalam Angka Tahun 2008). Kelurahan Laweyan terbagi menjadi 8 wilayah kampung, yaitu Kwanggan, Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, Setono, Lor pasar, Kidul Pasar, dan Klaseman (Gambar 7). Kawasan Laweyan terletak pada pinggiran kota Surakarta, yang apabila ditinjau dari struktur kotanya merupakan suatu kantong (enclave), yang secara administratif tidak mungkin akan berkembang. Kawasan tersebut secara administrarif termasuk dalam Kelurahan Laweyan dan Kecamatan Laweyan Kawasan kampung Laweyan pada bagian selatannya dibatasi oleh Sungai Kabanaran yang dahulunya merupakan lalu lintas utama dari Sungai Bengawan Solo menuju ke Kerajaan Pajang. Bagian sebelah barat dibatasi oleh Kelurahan Pajang (disini terdapat situs Kerajaan Pajang, tetapi sekarang sisa peninggalan tersebut tinggal dermaga sungai), sedang di sebelah utara berupa jalan besar yang menghubungkan Kerajaan Pajang dengan Keraton Kasunanan, sedang di sebelah Timur, berbatasan dengan Kelurahan Bumi. Kelurahan Laweyan ini mempunyai 8 dukuh, 3 RW, 10 RT yang terdiri dari 412 rumah tinggal.
30
Sumber :Monografi Laweyan, 1993.
Gambar 7 . Pembagian kampung di kawasan Kelurahan Laweyan, Surakarta
Kampung Laweyan merupakan kawasan yang homogen dan terdiri dari blok massa serta pola jalan dengan sistem grid. Permukiman di Laweyan terbagi atas tiga grid yaitu saudagar besar mempunyai besaran persil kurang lebih 2400 m2, untuk saudagar sedang besaran persil antara 800-1000 m2, sedang untuk buruh antara 200-400 m2. Besaran persil tersebut luas karena rumah tinggal selalu menyatu dengan usaha batiknya. Batasan persil tersebut selalu dikelilingi tembok tinggi kurang lebih 6 meter.
31
Sumber: Priyatmono, 2004
Gambar 8. Pola permukiman Kampung Batik Laweyan
Ditinjau dari sisi tata ruang kawasan, pola penataan ruang dipengaruhi oleh keterikatan hubungan antara pekerja dan pemilik batik. Sisi jalan utama merupakan perumahan para saudagar batik, sedangkan kawasan belakang merupakan kawasan perumahan pekerja batik. Tatanan ini memberikan kemudahan bagi pebatik untuk bekerja sambil menangani tugas rumah tangga. Pola tatanan ruang kawasan juga dipengaruhi oleh pola ikatan kekeluargaan, mengingat industri batik merupakan industry rumahan yang erat kaitannya dengan kekerabatan, sebagai hasil dari ikatan perkawinan antar keluarga. Pola tata ruang tersebut juga merupakan akibat dari peran pembatik yang mayoritas adalah wanita, dimana membutuhkan akses yang dekat dan mudah antara rumah dengan tempat kerja. Ditinjau dari persaingan dagang, keamanan terhadap kekayaan maupun rahasia perusahaan, secara fisik melahirkan bentuk bangunan yang tertutup. Kelas jalan di Laweyan dibagi menjadi 3 kelas yaitu: Jalan Utama (menghubungkan antar kelurahan), jalan lingkungan (menghubungkan antar blok), dan jalan kampung (yang menghubungkan antar kavling bangunan) (Gambar 9).
Kondisi jalan tersebut cukup tersebut cukup bagus tetapi ada
beberapa bagian yang di kanan kirinya diberi saluran air hujan. Kondisi pencahayaan lampu jalan di malam hari belum memenuhi standar penerangan jalan.
32
Sumber: Priyatmono, 2004
Gambar 9. Jalan di kawasan Kampung Batik Laweyan
Kondisi tepian sungai cukup memprihatinkan karena masih dipenuhi dengan sampah buangan rumah tangga, turap sebagai penahan tepian sungai juga sudah tidak memenuhi persyaratan, sehingga sering terjadi longsor (Gambar 10).
Gambar 10. Sungai Kabanaran Keadaan bangunan di Kelurahan Laweyan cukup bagus tetapi banyak yang tidak terawat. Hal ini disebabkan karena banyak keturunan orang Laweyan yang sudah tidak bertempat tinggal di sana. Rumah saudagar mempunyai dinding dari tembok setebal 2 batu (sebagai penyangga atap) sedang rumah
33
buruh biasanya merupakan kombinasi
batu bata dan papan (kotangan).
Bangunan rumah saudagar mempunyai tata ruang Jawa tetapi tidak sepenuhnya diikuti. Sedangkan bentuk bangunannya sudah banyak dimodifkasi dengan bangunan dari luar negeri, baik yang bergaya Belanda maupun dengan gaya Spanyol. Arsitektur rumah tinggal di kawasan kampung Laweyan banyak dipengaruhi oleh corak permukiman bangsawan Jawa yang dipadu dengan pengaruh arsitektur kolonial (Eropa) yang dikenal dengan istilah Arsitektur Indiesch (Gambar 11)
Rumah Indische
Rumah Indische
Rumah Indische
Rumah Indische
Sumber: Priyatmono, 2004
Gambar 11. Rumah tinggal Indiesch di Laweyan
Dilihat dari segi arkeologi, Laweyan cukup kaya dengan peninggalan masa lalu, yaitu dengan adanya masjid Laweyan berikut makam kuno yang berada di belakangnya, Langgar Merdeka, perumahan penduduk serta perkampungan yang masih belum berubah. 3.1.2. Iklim Kota Surakarta yang beriklim
tropis dengan suhu rata-rata berkisar
26.50 C, kelembaban udara rata-rata 75.6%, tekanan udara berkisar antara 1007
34
– 1011 QFF, dan kecepatan angin rata-rata berkisar 5 Knot. Curah hujan ratarata perbulan adalah berkisar 14.88 mm/bulan atau sekitar 178.5 mm/tahun. Berdasarkan data iklim pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Kota Surakarta termasuk kota yang memiliki suhu dan kelembaban yang sedang. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Februari sampai Agustus, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Januari. Kota Surakarta tergolong kota yang sedikit mengalami hujan. Namun pada bulanbulan tertentu, curah hujan tergolong tinggi seperti pada Oktober, Desember atau Februari. Ancaman banjir tergolong sering untuk wilayah yang dekat dengan Sungai besar seperti Sungai Bengawan Solo. Curah hujan di kota Surakarta per bulan selama tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 12. Tabel 1. Rata-rata suhu udara, kelembaban, tekanan udara, arah angin dan kecepatan angin pada tahun 2008 Bulan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember RATA2
Suhu udara (0C)
Kelembaban (%)
26.2 25,5 25,9 26,8 26,7 24,7 25,9 26,8 27,9 27,5 26,6 25,4 26,3
Sumber: BMG Lanud Adi Sumarmo
82 85 84 79 73 70 67 65 64 75 81 80 75
Tekanan udara (Mbs) (QFF)
(Qfe)
1009,0 1007,2 1008,3 1008,5 1010,0 1010,6 1011,1 1010,0 1011,0 1010,4 1008,7 1008,4 1009,4
996,5 994,7 995,8 996,0 997,5 998,1 998,6 997,5 998,5 997,9 996,2 995,9 995,9
Angin
Arah (0) 102 75 124 175 155 162 185 173 235 162 142 180 180
Kecepatan (Knot) 03 02 04 05 05 05 05 05 07 05 04 05 05
35
Curah Hujan
700 600 500 400 300 200
Curah Hujan
Desember Curah Hujan
Nopember
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Pebruari
0
Januari
100
Sumber: Bappeda. Surakarta Dalam Angka Tahun 2008
Gambar 12. Grafik curah hujan di Kota Surakarta selama tahun 2008 per bulan 3.1.3. Topografi Lahan Kota Surakarta tergolong wilayah yang memiliki topografi yang relatif datar. Hal ini terlihat dari Tabel 2 yang menunjukkan kemiringan lahan tiap-tiap kecamatan yang terdapat di Kota Surakarta. Topografi lahan kampung Laweyan diwakili oleh topografi kecamatan Laweyan karena Kampung Laweyan berada dalam kawasan kecamatan laweyan.
Tabel 2. Topografi lahan di beberapa kecamatan di Kota Surakarta Kecamatan (1) Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari KOTA
Tinggi Tempat (meter) Di atas permukaan laut (2) 80-110 80-110 80-110 80-130 80-120 80-130
Kemiringan Tanah (%) (3) 0-2 0-2 0-2 0-15 0-5 0-15
Sumber : Badan Pertanahan Kota Surakarta
3.1.4. Tata Guna Lahan Kota Surakarta berdasarkan atas penggunaan lahannya, terdiri dari perumahan, jasa, perusahaan, industri, tanah kosong dan tegalan, sawah, kuburan, lapangan olah raga, taman kota, dan lain-lain dengan total luas wilayah
36
adalah sebesar
Tabel 3 menunjukkan luas
penggunaan lahan untuk tiap
kecamatan di Kota Surakarta untuk tahun 2008. Gambar 13 menunjukkan persentase luas penggunaan tanah di Kota Surakarta berdasar penggunaannya.
Tabel 3. Luas penggunaan tanah tiap kecamatan di Kota Surakarta tahun 2008 (Ha) Penggunaan
Laweyan
Serengan
Pasar Kliwon
Jebres
Banjarsari
Perumahan 563.83 210.43 Jasa 88.61 17.17 Perusahaan 42.20 30.16 Industri 39.40 6.11 Tanah kosong 7.28 2.52 Tegalan 0.00 0.00 Sawah 40.90 0.00 Kuburan 6.05 1.38 Lap OR 12.24 2.61 Taman Kota 0.15 0.00 Lain-lain 63.20 49.02 Total Luas 863.86 319.40 Wilayah Sumber : Badan Pertanahan Kota Surakarta
308.94 37.69 39.73 9.77 16.38 0.00 3.36 1.67 9.55 0.00 54.43 481.52
673.37 176.75 87.00 25.38 16.19 81.46 21.33 38.98 10.51 22.60 104.61 1,258.18
980.91 106.91 88.39 20.76 11.01 0.50 80.58 24.78 30.23 8.85 128.18 1,481.10
Tanah
9% 1% 1% 2%
Perumahan/
3%
Jasa
2% 1% 2%
Perusahaan Industri Tanah
7%
Tegalan Sawah 62%
10%
Kuburan Lap. OR Taman Lain-Lain
Sumber: Badan Pertanahan Kota Surakarta Gambar 13. Grafik persentase luas penggunaan tanah di Kota Surakarta berdasar penggunaannya tahun 2008
37
3.2. Kondisi Sosial Budaya 3.2.1. Penduduk Tabel 4 menunjukkan pertumbuhan penduduk Kota Surakarta tahun 1995-2008. Menurut
hasil Estimasi Survei Penduduk Antar Sensus (2005)
Tahun 2008 penduduk Kota Surakarta mencapai 522.935 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 89.68. Artinya setiap 100 penduduk perempuan terdapat sebanyak 89 peduduk laki-laki.
Tingkat kepadatan penduduk kota Surakarta
pada tahun 2008 mencapai 12.849 jiwa/km2. Tabel 5 menunjukkan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan dan sex ratio di tiap kelurahan di kecamatan Laweyan.
Tabel 6
menunjukkan banyaknya penduduk menurut
tingkat
pendidikan, dan Tabel 7 menunjukkan banyaknya kelurahan, RT, RW, dan kepala keluarga di Surakarta. Tabel 4 . Pertumbuhan penduduk Kota Surakarta tahun 1995 – 2008 Tahun
Jumlah Penduduk
Pertambahan Jiwa dari kurun waktu sebelumnya
Pertumbuhan Penduduk
1995
516.594
12.767
0,51
2000
490.214
-26.380
-1,02
2003
497.234
7.020
0,48
2004
510.711
13.477
2,71
2006
512.898
-21.642
-4,05
2007
515.372
2.474
0,48
2008
522.935
7.563
1,47
Sumber: BPS Kota Surakarta (diolah dari hasil Susenas 2007) Tabel 5 . Banyaknya penduduk menurut jenis kelamin dan sex ratio di tiap kelurahan di Kecamatan Laweyan tahun 2008 Kelurahan Pajang Laweyan Bumi Panularan Sriwedari Penumping Purwosari Sondakan Kerten Karangasem Jumlah 2007
Jumlah Penduduk laki Perempuan 12098 12109 1204 1430 3506 3545 4781 4912 2281 2507 2655 2917 6376 6186 5772 6186 5902 5913 4716 5282 54164 55766 53908 55539
Sumber: monografi kelurahan di Kota Surakarta
Sex Ratio 99,91 84,20 98,90 97,33 90,99 91,02 103,07 93,31 99,81 89,28 97,13 0,97
38
Tabel 6. Banyaknya penduduk 5 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan di Kota Surakarta 2008 Tingkat Laweyan Serengan Pendidikan Tamat 9.311 3.113 Akademi /PT Tamat SMA 23.280 10.205 Tamat 20.772 11.493 SLTP Tamat SD 19.316 12.886 Tidak tamat 7.663 2.813 SD Belum 10.481 4.297 tamat SD Tidak 4.135 1.278 sekolah Jumlah 91.849 46.085 total Sumber: Monografi Kelurahan Surakarta
Pasar Kliwon 6.970
Jebres
Banjarsari
5.756
10.489
19.199 18.565
18.455 23.095
4 27.426
15.695 6.354
22.199 16.182
28.022 11.039
11.174
16.810
24.037
1.084
18.858
6.837
79.041
121.451
138.064
Tabel 7. Banyaknya kelurahan, RT, RW dan kepala keluarga di Surakarta tahun 2008 Kecamatan Kelurahan RW Rt Laweyan 11 105 Serengan 7 72 Pasar Kliwon 9 100 Jebres 11 149 Banjarsari 13 169 Kota 51 595 Sumber: Bagian Pemerintahan Umum Kota Surakarta
KK 454 309 424 631 850 2.668
25.019 13.679 20.709 32.208 43.196 134.811
3.2.2. Kepegawaian Jumlah PNS di lingkungan Pemerintah Kota Surakarta pada tahun 2008 tercatat sebanyak 8.571 orang. Dengan jumlah ini berarti terjadi penurunan sebesar 0.03 % dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 8.749 orang. Rasio pegawai laki-laki dibanding pegawai perempuan sebesar 103, menurun dibanding tahun sebelumnya sebesar 110. Ini berarti secara gender peranan perempuan di kepegawaian Kota Surakarta pada tahun 2008 terjadi kenaikan. Dilihat dari tingkat pendidikan, PNS Kota Surakarta yang berpendidikan di atas SLTA mencapai 72,89%. Dengan angka ini menunjukkan bahwa SDM di Kota Surakarta sudah berkualitas cukup baik. Hal ini berkaitan dengan rekruitmen pegawai yang mensyaratkan pendidikan tinggi dan tuntutan pada
39
pegawai untuk meningkatkan kualitas pendidikan terutama bagi mereka yang akan menduduki jabatan-jabatan tertentu.
3.2.3. Ketenagakerjaan Jumlah penduduk bekerja di kota Surakarta pada tahun 2008 mencapai 251.101, atau sebesar 48,01% dari seluruh penduduk kota Surakarta. Penduduk wanita yang bekerja mencapai angka sebesar 43,99% dari penduduk yang bekerja. Ini menunjukkan bahwa peran perempuan di kota Surakarta cukup tinggi dalam peningkatan kesejahteraan keluarga.
Tabel 8 menunjukkana banyaknya
penduduk menurut mata pencaharian di Kota Surakarta. Tabel 8. Banyaknya penduduk menurut mata pencaharian di Kota Surakarta 2008 Mata Laweyan Serengan Pasar Pencaharian Kliwon Petani 38 Buruh Tani 32 Pengusaha 964 1.124 2.237 Buruh Industri 16.421 5.264 8.894 Buruh 12.648 4.372 7.589 Bangunan Pedagang 5.387 3.713 7.751 Angkutan 2.154 1.726 4.051 PNS TNI POLRI 5.027 1.307 3.333 Pensiunan 3.711 647 1.826 Lain-lain 37.644 17.166 16.611 Jumlah 83.726 35.319 52.292 KOTA 32.374 15.776 26.424 Sumber: monografi kelurahan di Kota Surakarta
Jebres
Banjarsari
81 1.119 17.653 16.534
337 397 2.810 21.616 21.616
4.478 1.627 7.167 8.637 49.155 106.451 22.683
11.045 6.218 9.590 7.862 41.714 123.391 401.179
3.2.4. Organisasi Seni dan Budaya Kota Surakarta terkenal dengan kekayaan kehidupan seni dan budaya tradisionalnya. Baik berupa tari, musik, teater, seni rupa, dan lain-lain. Kekayaan seni budaya ini menjadi aset yang sangat berharga yang menjadi daya tarik Kota Surakarta untuk mengundang wisatawan lokal dan mancanegara untuk mengunjungi kota Surakarta dan memperdalam pengalaman di bidang seni dan budaya lokal. Tabel 9 menunjukkan banyaknya organisasi kesenian dan seniman menurut jenis di Kota Surakarta.
40
Tabel 9. Banyaknya organisasi kesenian dan seniman menurut jenis di Kota Surakarta tahun 2008 Macam kesenian kelompok Jenis Tari
Organisasi
Jumlah Anggota
Daerah 35 3.324 Pergaulan 3 120 Lain-lain Musik Karawitan 67 1.940 Orkes 97 2.375 keroncong Orkes melayu 21 712 Band 21 173 Angklung Vokal Santi SWR 23 624 Koor Lain-lain 2 55 Teater Wayang orang 3 90 Ketoprak 32 1.016 Drama Pedalangan 5 100 Ludruk Lain-lain 25 680 Seni rupa Lukis 6 93 Patung Tatah sungging Ukir kayu Lain-lain Jumlah 341 11.320 Sumber: Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Surakarta
Seniman 6 5 93 12 3 2 10 131
3.3. Hotel dan Pariwisata 3.3.1. Pariwisata Jumlah total wisatawan yang berkunjung di tempat-tempat objek wisata di kota Surakarta tidak begitu mengalami banyak perubahan. Hal ini dapat dilihat di Tabel 10. Tabel 10. Banyaknya pengunjung objek wisata di Kota Surakarta tahun 2008 2006 2007 2008 Objek Wisata Wisman Wisnus Wisman Wisnus Wisman Wisnus (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Kraton 2.727 37.654 1.433 45.410 4.617 84.850 Surakarta Mangkunegaran 7.365 9.063 7.795 9.916 5.142 16.385 Radya Pustaka 804 7.948 602 8.583 785 9.295 Taman 260 71.280 202 61.405 336 79.196 Sriwedari W.O. Sriwedari 210 8.252 414 15.927 448 10.654
41
Lanjutan Tabel 10. Banyaknya pengunjung objek wisata di Kota Surakarta tahun 2008 (1) (2) (3) (4) (5) THR Sriwedari 92 309.052 108 479.499 Monumen pers 19 7.764 0 0 Taman - 427.420 0 375.939 Satwataru Taman 25.700 0 10.310 Balekambang Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta
(6) 153 2.332
(7) 372.682 14.011
-
-
3.3.2. Hotel Perkembangan tingkat hunian kamar selama tahun 2008 disajikan pada Tabel 11. Tingkat penghuni kamar (TPK) Hotel menurut Kelas Hotel di Kota Surakarta dapat dilihat di Tabel 12. Rata-rata lama menginap tamu di hotel pada tahun 2008 tercatat sebesar 1,36 hari yang berarti sedikit menurun dibanding dengan tahun 2007 yang tercatat sebesar 1,28 hari (Tabel 13). Tabel 11. Banyaknya hotel dan jumlah kamar menurut klasifikasi di Kota Surakarta tahun 2008 Klasifikasi 1.
Hotel Bintang Lima 2. Hotel Bintang Empat Botel Bintang Tiga 4. Hotel Bintang Dua 5. Hotel Bintang Satu 6. Hotel Melati Tiga 7. Hotel Melati Dua 8. Hotel Melati Satu 9. Blm terklasifikasi 0. Pondok wisata Jumlah
2006 2007 Hotel Kamar Hotel Kamar -
2008 Hotel Kamar
4
478
4
478
4
478
5
188
6
188
6
188
2
70
2
71
2
71
5
152
5
165
5
165
24
619
23
656
23
657
45
964
47
914
47
916
58
505
42
559
42
562
8
67
8
71
8
70
-
-
-
-
128
3.254
137
3100
137
3105
42
Tabel 12. Tingkat penghuni kamar (TPK) hotel menurut kelas hotel di Kota Surakarta tahun 2008 (%) Bulan
Bintang Bintang Bintang Bintang Melati Satu Dua Tiga Empat Satu
Melati Dua
Melati Tiga
RataRata
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Sept Oktober Nov Des
28.85 28.82 30.47 32.98 32.01 30.34 40.37 33.51 23.45 35.63 31.65 37.78
33.00 33.47 33.96 33.86 32.72 34.20 36.11 34.83 31.06 35.10 33.52 34.07
33.58 34.00 31.56 41.39 41.20 39.46 46.76 36.10 26.49 45.40 37.03 37.99
40.20 40.10 42.52 44.57 42.92 43.41 46.18 44.68 32.75 43.61 43.14 46.25
22.66 26.35 27.35 28.27 25.23 31.62 37.12 37.16 24.22 38.06 39.33 38.30
52.15 45.11 47.64 49.66 51.70 41.07 40.05 45.07 38.94 48.06 47.28 52.83
52.99 54.27 60.58 63.47 58.96 62.77 63.50 63.00 37.52 52.74 56.87 61.94
46.20 43.18 45.46 42.36 43.70 46.26 45.66 43.37 35.85 43.28 40.15 40.94
Tabel 13. Rata-rata lamanya tamu hotel menginap berdasarkan kelas hotel di Kota Surakarta tahun 2008 (hari) Bulan
Bintang Bintang Bintang Bintang Melati Satu Dua Tiga Empat Satu
Melati Dua
Melati Tiga
RataRata
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Sept Oktober Nov Des
1,54 1,50 1,37 1,41 1,46 1,33 1,47 1,42 1,66 1,47 1,52 1,40
1,01 1,01 1,01 1,02 1,01 1,02 1,03 1,03 1,01 1,02 1,01 1,01
1,31 1,11 1,17 1,18 1,14 1,20 1,20 1,29 1,24 1,21 1,49 1,47
1,38 1,26 1,27 1,32 1,32 1,29 1,32 1,35 1,30 1,36 1,44 1,36
1,11 1,41 1,41 1,35 1,17 1,15 1,37 1,49 1,37 1,45 1,47 1,32
1,95 1,43 1,53 1,38 1,94 1,82 1,51 1,57 1,49 1,44 1,81 1,49
1,62 1,42 1,37 1,59 1,45 1,47 1,52 1,51 1,45 1,67 1,64 1,62
1,00 0,95 1,00 0,95 1,07 1,00 1,05 1,00 1,00 1,04 1,00 1,00
3.4. Transportasi Peningkatan berbagai aspek ekonomi menuntut peningkatan di bidang transportasi, khususnya peningkatan jalan. Panjang jalan di wilayah Kota Surakarta pada tahun 2008 mencapai 675,86 kilometer. Perkembangan jalan menurut jenis dan kondisinya dapat dilhat pada Tabel 14. Banyaknya kendaraan angkutan umum di Kota Surakarta dapat dilihat pada Tabel 15. Sedangkan banyaknya perusahaan oto bus yang ada di Kota Surakarta dapat dilihat di Tabel
43
16.
Perkembangan di bidang transportasi darat dan udara di Kota Surakarta
dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 14. Panjang jalan menurut status jalan dan keadaan di Kota Surakarta tahun 2008. Keadaan Jalan A.JENIS PERMUKAAN 1. Aspal 2. Kerikil 3. Tanah 4. Tidak diperinci Jumlah
Jalan Negara 2007 2008
13,15
13,15
13,15
Status Jalan (Km) Jalan Propinsi 2007 2008
16,33
16,33
16,33
B.KONDISI JALAN 1. Baik 2,65 2,65 2. Sedang 6,05 6,05 3,75 3. Rusak 4,45 4,45 12,58 4. Rusak berat Jumlah 13,15 16,33 Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kota Surakarta
Jalan Kab/Kota 2007 2008
468,73 97,55 0,57 109,01
468,73 97,55 0,57 109,01
675,86
3,75 12,58
447,78 206,92 18,29 2,87
447,78 206,92 18,29 2,87
675,86
675,86
Tabel 15. Banyaknya kendaraan angkutan umum yang berdomisili di Kota Surakarta tahun 2004-2008 Jenis Kendaraan
2004
2005
2006
2007
2008
1. Taksi 347 387 389 2. Angkutan 411 443 443 3. Bus 277 279 281 Perkotaan Sumber: Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Kota Surakarta
423 443 281
430 423 281
44
Tabel 16. Banyaknya perusahaan oto bus (PO) yang berdomisili di Kota Surakarta tahun 2008 Jenis Perjalanan
Jumlah PO Jumlah (Pemilik) Armada 1. Bus AKAP Lintas 7 318 2. Bus AKAP O/D 8 150 3. Bus AKDP O/D 13 143 4. Angkutan kota 411 423 5. Bus Perkotaan 16 281 6. Taksi 6 430 Sumber: Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Kota Surakarta
Jumlah Rit/Hari 159 75 572 1.732 1.116
Rata-rata Tempat 30 30 50 12 25 5
Tabel 17. Banyaknya pesawat dan penumpang yang datang dan berangkat dari Bandara Adi Sumarmo dengan tujuan internasional tahun 2008 Bulan
Pesawat Datang Berangkat
Penumpang Datang Berangkat
Januari 158 158 33.821 Februari 71 71 6.128 Maret 77 77 7.269 April 64 64 5.905 Mei 64 64 6.613 Juni 53 53 5.689 Juli 46 46 6.317 Agustus 45 45 6.483 September 46 46 6.757 Oktober 45 45 5.114 November 123 124 5.203 Desember 105 105 26.216 Jumlah 897 898 121.515 Sumber: Cabang PT.Angkasa Pura Bandara Adi Sumarmo
6.330 5.564 6.524 5.038 5.677 5.309 5.206 4.387 3.141 5.511 37.282 6.697 96.666
45
IV. METODOLOGI 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Kawasan yang diteliti adalah Kampung Batik Laweyan dengan luas wilayah 24.83 Ha, yang terdiri dari delapan kampung (Tabel 18). Kawasan Laweyan terletak di tepi Kota Surakarta. Secara administratif kawasan tersebut termasuk dalam Kelurahan Laweyan dan Kecamatan Laweyan. Bagian selatan kawasan dibatasi dengan sungai Kabanaran. Sebelah utara berupa jalan besar yaitu jalan Dr. Rajiman dan berbatasan dengan Kelurahan Sondakan, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Bumi, dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pajang (Gambar 14). Waktu penelitian dilakukan 5 bulan sejak bulan Juni 2010 hingga November
2010 meliputi tahap studi pustaka, pengamatan lapangan,
pengolahan data dan penyusunan laporan. Tabel 18. Luasan kampung di lokasi penelitian, Kelurahan Laweyan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kelurahan Laweyan
Kampung Kwanggan Sayangan Kulon Sayangan Wetan Lor Pasar Kramat Setono Kidul Pasar Klaseman Total
Luasan Ha 1.88 3.00 3.43 4.11 2.01 5.05 2.32 3.00 24.83
% 8 12 14 17 8 20 9 12 100
Sumber : Data Desa (2010)
4.2. Alat dan Data penelitian 4.2.1. Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 19.
yang digunakan
dalam
46
Gambar 14. Lokasi Studi
47
Tabel 19. Alat penelitian Alat
Kegunaan
Hardware Kamera SLR Nikon D200 Notebook Software Microsoft office (Word, Excel, Powerpoint) AutoCad 2008 Adobe Photoshop CS3
Survei Pengolahan data Analisis data tabular, pelaporan, presentasi Pengolahan peta tematik Pengolahan peta tematik
4.2.2. Data Penelitian Data penelitian yang digunakan pada studi ini terdiri atas jenis data, sumber data, dan cara pemngumpulan data. Tabel data penelitian dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Data penelitian No
1.
Jenis Data
Sumber Data
Peta : a. Peta Administrasi b. Peta RTRW
Bappeda Bappeda
c. Peta Tata Guna Lahan d. Peta Sarana dan Kota e. Peta Google Earth 2.
3.
4.
Prasarana
Sejarah dan Latar belakang sosial masyarakat Laweyan - Sejarah Kawasan Laweyan
-
Cara Pengumpulan Data
Dinas Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum Google Earth
Ahli sejarah dan tokoh masyarakat
Latar belakang sosial Ahli sejarah dan budaya masyarakat tokoh masyarakat Kondisi masyarakat kampung Laweyan - Akseptibilitas masyarakat Survei lapangan dan pengamatan - Jumlah Penduduk, mata BPS pencaharian Wisata : a. Obyek sejarah Survei lapangan b. Obyek arsitektur dan pengamatan c. Obyek budaya batik
Studi pustaka
- Wawancara - Studi pustaka Wawancara dan studi pustaka
- Wawancara dan kuisioner Studi Pustaka Pengamatan langsung
48
Lanjutan Tabel 20. No
5
6
Jenis Data
d. Aksesibilitas e. Infrastruktur f. Fasilitas wisata Kualitas estetika-visual lingkungan - Estetika-visual Lingkungan Kebijakan a. UU Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya b. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 063/U/1995 Tentang Perlindungan dan Pemeliharaan benda Cagar Budaya c. Peraturan Pemerintah RI No 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 Tentang benda Cagar budaya Surat Keputusan Walikota Kepala Daerah Tingkat II Surakarta No:646/116/1/1997 Tentang Penetapan bangunanbangunan dan kawasan kuno bersejarah di Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta yang dilindungi Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
Sumber Data
Cara Pengumpulan Data
Survei lapangan dan pengamatan
Pengamatan langsung
Survei lapangan dan pengamatan
Pengamatan langsung
Bappeda
Studi Pustaka
Bappeda
Studi Pustaka
Bappeda
Studi Pustaka
Bappeda
Studi Pustaka
4.3. Metode Penelitian 4.3.1. Pendekatan yang Digunakan Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan maksud untuk memberikan gambaran yang detil tentang aspek fisik dan masyarakat di Kampung Batik Laweyan dengan melakukan pengukuran berdasarkan kriteria tertentu dengan melakukan teknik penskalaan melalui metode peringkat, dan teknik pembobotan dengan metode
pembobotan (penentuan bobot) secara
langsung melalui expert judgement. Teknik penzonasian dilakukan dengan analisis spasial yang dimodifikasi dengan metode deskriptif kuantitatif di atas. Pendekatan untuk mengetahui potensi fisik tapak dilakukan dengan menilai
49
kualitas budaya kawasan , potensi kelayakan kawasan serta kualitas estetikavisual lingkungan. Pendekatan akseptibilitas masyarakat dilakukan untuk mengetahui potensi masyarakat. Kualitas budaya kawasan diperoleh dengan menganalisis potensi obyek dan atraksi wisata budaya eksisting dengan menilai signifikansi budaya (cultural significance) dari obyek dan atraksi wisata eksisting yang menggunakan kriteria dari Burra Charter (1999), dan menilai potensi fisik obyek dan atraksi sesuai kriteria dari Avenzora (2008). Cultural significance merupakan konsep untuk mengestimasi nilai kawasan yang memiliki signifikansi untuk dapat memahami masa lampau untuk kepentingan masa kini dan masa yang akan datang. Penilaian ini berguna untuk menentukan tingkat potensi obyek dan atraksi wisata sebagai tujuan wisata yang layak dikunjungi. Kualitas budaya obyek dan atraksi wisata ini akan menentukan kualitas budaya kawasan. Di samping itu dilakukan penilaian terhadap zona kelayakan kawasan, dilakukan dengan kriteria dari
Dirjen Pengembangan Produk Pariwisata (2000), dan
penilaian kualitas estetika-visual lingkungan, dilakukan dengan kriteria dari Nasar (1999) dan Burra Charter (1981). Ketiga analisis di atas dioverlay untuk mendapatkan
zona
potensi
pengembangan
wisata
budaya.
Sedangkan
pendekatan untuk mengetahui potensi masyarakat lokal dilakukan dengan menganalisis tingkat akseptibilitas masyarakat. Kriteria untuk analisis yang digunakan menggunakan Koentjaraningrat dalam Yusiana (2007). Kawasan wisata budaya berkelanjutan (sustainable cultural tourism )
di
Kampung Batik Laweyan akan dapat terwujud apabila pengembangan yang dilakukan sebagai kawasan wisata budaya sangat memperhatikan unsur-unsur sosial budaya yang pada akhirnya akan berujung pada upaya pelestarian sosial budaya masyarakat di kawasan. 4.3.2. Tahapan penelitian Tahap penelitian terbagi atas tiga tahap yang terdiri dari tahap I yaitu pengumpulan data dan identifikasi data, tahap II yaitu analisis dan sintesis, tahap III yaitu konsep dan perencanaan lanskap. Tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 15.
50
Kampung Batik Laweyan
Tahap I Pengumpulan data
Peta Digital Tahap II Analisis dan Sintesis
Identifikasi dan Analisis
Aspek Masyarakat Lokal
Aspek Fisik Kawasan
Dukungan Masyarakat Lokal
Potensi Pengembangan Wisata Budaya
Kualitas Budaya Kawasan
Analisis potensi obyek & atraksi wisata (ODAW) budaya (Burra Charter (1999), Avenzora (2008)
Potensi Obyek & Atraksi Wisata Budaya
Studi Pustaka
Survey Lapangan
Zona Kualitas Budaya Kawasan
Kelayakan Kawasan
Kualitas estetikavisual lingkungan
Analisis kelayakan kawasan sbg tujuan wisata (Dirjen Pengembangan Produk Pariwisata (2002)
Analisis estetikavisual lingkungan (Nasar, 1999, Burra Charter 1999, Carmona, 2003)
Zona Potensi Kelayakan Kawasan Wisata
Zona Potensi Estetika-Visual Lingkungan
Zona Wisata Budaya Potensial
Analisis Akseptibilitas masyarakat (Koentjaraningrat dalam Yusiana (2007)
Zona Akseptibilitas Masyarakat
Zona Dukungan Masyarakat Potensial
Zona integratif untuk pengembangan kawasan wisata budaya Pengembangan Aktivitas Wisata Budaya
Fasilitas Wisata Budaya
Tahap III Konsep dan Perencanaan Lanskap
Ruang Wisata Budaya
Perencanaan Kawasan Wisata Budaya
Lanskap Kawasan Wisata Budaya
Gambar 15. Tahapan Penelitian
51
Tahap 1. Pengumpulan dan Klasifikasi Data Tahap
pengumpulan
dan
klasifikasi
data
dilakukan
dengan
mengumpulkan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian, dan dengan melakukan survei ke lapangan. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer terbagi dalam dua cara yaitu dengan wawancara dan pengamatan di lokasi penelitian. Teknik pengambilan contoh dilakukan dengan contoh acak atau random sampling dimana teknik ini akan memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Teknik ini dilakukan untuk penilaian akseptibilitas masyarakat, dimana ditentukan n=12 (besaran sampel = 12 orang untuk tiap kampung). Sedangkan untuk penilaian potensi obyek dan atraksi, kelayakan kawasan, dan kualitas estetika-visual,
teknik
pengambilan
contoh
dilakukan
dengan
teknik
nonprobability/nonrandom sampling atau sampel tidak acak yaitu purposive sampling, dimana sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa sampel adalah pihak yang memiliki information rich tentang keadaan di lapang (judgement sampling). Terpilih tiga orang sebagai sampel yang terdiri dari 1) ahli sejarah dan budaya Laweyan; 2) ahli di bidang arsitektur; 3) tokoh masyarakat dan praktisi perbatikan di Laweyan. Tahap 2. Analisis dan Sintesis Secara umum teknik analisis dilakukan dengan metode deskriptif kuantitatif. Penilaian dilakukan terhadap aspek fisik kawasan dan aspek masyarakat. Untuk masing-masing aspek, dibuat kriteria untuk masing-masing faktor, dan dinilai berdasarkan
skala dengan sistim peringkat (Smith, 1989).
Metode pembobotan dilakukan dengan expert judgment dan modifikasi. Setelah itu dilakukan sintesis dengan teknik overlay. A. Identifikasi dan analisis aspek fisik kawasan Identifikasi dan analisis aspek fisik kawasan dilakukan untuk mengetahui potensi pengembangan wisata budaya. Penilaian dilakukan terhadap tiga aspek kualitas budaya kawasan, kelayakan kawasan wisata serta kualitas estetikavisual lingkungan. A.1. Analisis Kualitas Budaya Kawasan Tahapan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kualitas budaya kawasan berdasarkan obyek dan atraksi wisata eksisting dengan menilai faktor fisik dan
52
signifikansi budaya dari masing-masing
obyek dan atraksi wisata eksisting.
Analisis yang dilakukan terhadap obyek dan atraksi wisata eksisting ini akan menentukan kualitas budaya kawasan yang mengandung titik-titik obyek dan atraksi wisata di dalamnya. A.1. 1. Data Data yang diperlukan untuk menganalisis kualitas budaya kawasan adalah keadaan fisik dan cultural significance ( signifikansi budaya) dari obyek dan atraksi wisata. Obyek dan atraksi yang dimaksud adalah obyek dan atraksi budaya, yang dapat digolongkan dalam material dan immaterial culture terbagi dalam: a. Material culture, terdiri dari: - Seni budaya yaitu kerajinan tangan, kegiatan perekonomian, pesta rakyat dan produk-produk lokal, seperti batik dan proses membatik. - Seni bangunan yaitu arsitektur rumah, arsitektur tempat peribadatan, arsitektur makam, arsitektur panggung, monument, dan sebagainya. - Festival, yaitu berbagai festival budaya yang ada seperti festival batik, fashion show, dll. - Pentas dan pagelaran yaitu seni tari, seni musik, dan sebagainya. b.
Immaterial culture, terdiri dari:
- Nilai perilaku dan kebiasaan masyarakat di kawasan studi - Nilai kepercayaan yaitu kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap pencipta dan alam semesta - Nilai adat istiadat yaitu nilai adat dan keyakinan masyarakat dahulu yang masih diyakini. A.1. 2. Metode Analisis Penilaian terhadap objek dan atraksi wisata budaya eksisting dilakukan untuk mengidentifikasi potensi obyek dan atraksi wisata eksisting dengan membuat 6 kriteria sebagai parameter penilaian, yang diambil dari Burra Charter (1999) dari faktor historical value dan sosial value untuk melihat cultural significance dari obyek dan atraksi, dan kriteria dari Avenzora (2008), dari faktor harmoni, keunikan, daya tarik dan kelangkaan, untuk melihat potensi fisik obyek dan atraksi (Tabel 21). kuantitatif
Metode yang dilakukan adalah metode deskriptif
dengan melakukan teknik penskalaan melalui metode peringkat
53
(ranking) , dan teknik pembobotan dengan metode
pembobotan (penentuan
bobot) secara langsung melalui expert judgement. Perhitungan nilai obyek dan atraksi = ……(1)
Keterangan: Fhv
= faktor historical value
Fsv
= faktor social value
Fhr
= faktor harmoni
Fkn
= faktor keunikan
Fdt
= faktor daya tarik
= titik pengamatan ke-1 hingga ke-8 Fkl = faktor kelangkaan
Tabel 21. Peubah , indikator, dan kategori untuk penilaian potensi obyek atraksi wisata eksisting Peubah I. Kesejarahan (historical value)
Indikator Chronogical value/age, historical events, substantially complete and intact (keaslian dan keutuhan) (Burra Charter,1999)
•
•
•
•
II. Fungsi sosial (sovial value)
Seberapa besar pengaruh objek wisata tersebut sebagai fokus politik atau budaya (Burra Charter,1999)
Kategori Sangat signifikan (usia lebih dari 100 th, even sejarah berskala internasional, tingkat keutuhan dan keaslian 80100%) Cukup signifikan (usia 50-100 th, even sejarah berskala nasional, tingkat keutuhan dan keaslian 50-79%) Kurang signifikan (usia < 50 th, even sejarah berskala lokal, tingkat keutuhan dan keaslian 10-49%) Tidak signifikan (usia < 50 th, even sejarah berskala lola, tingkat keutuhan dan keaslian < 10%)
• Sangat signifikan (sangat berarti secara internasional) • Cukup signifikan (berarti secara nasional) • Kurang signifikan (berarti secara lokal • Tidak signifikan (hanya dimanfaatkan oleh satu kelompok atau keluarga dan kadang tidak dimanfaatkan sama sekali)
Nilai 4
3
2
1
4 3 2 1
54
Lanjutan Tabel 21. Peubah III. Harmoni
IV. Keunikan
V. Daya tarik
Indikator Hubungan dengan lingkungan sekitarnya (Avenzora, 2008)
kelebihan dari unsur-unsur dari material culture/immaterial culture dibandingkan di tempat lain (Avenzora, 2008) akses yang mudah, arsitektur yang menarik, tata kehidupan masyarakat, dan keramahan lingkungan (Avenzora, 2008)
Kategori • Sangat harmoni dengan lingkungan • Cukup harmoni dengan lingkungan • Kurang harmoni dengan lingkungan • Tidak harmoni dengan lingkungan
jumlah objek yang sama di tempat tertentu dan tingkat pemeliharaan (Avenzora, 2008)
3 2 1
• Ada kekhususan, istimewa, menjadi ciri khas lokasi tersebut
4
• Bersifat khusus, cukup istimewa, tidak menjadi ciri khas kawasan
3
• Kurang bersifat khusus dan kurang istimewa
2
• Tidak khusus dan tidak istimewa
1
• • • •
4 3 2 1
sangat menarik untuk dinikmati cukup menarik untuk dinikmati Kurang menarik untuk dinikmati Tidak menarik untuk dinikmati
• hanya ada di lokasi tersebut dan sangat terawat • hanya ada di lokasi tersebut dan cukup terawat • ada 2-5 di lokasi tersebut dan cukup terawat • ada 5-10 di lokasi tersebut dan kurang terawat Sumber: ICOMOS (The Burra Charter (1999)) dan Avenzora (2008) VI.Kelangkaan
Nilai 4
4 3 2 1
Dari perhitungan skor masing-masing parameter, maka dilakukan pembobotan (Tabel 22) dan dikategorikan dalam klasifikasi potensi yaitu sangat baik, baik, cukup, dan buruk. Penentuan klasifikasi tingkat potensi objek dan atraksi wisata sebagai berikut:
Klasifikasi tingkat potensi =
…….( 2)
55
Tabel 22. Skala penilaian potensi obyek dan atraksi wisata eksisting Faktor
Bobot (%)
Historical value Social value Keunikan Harmoni Daya tarik Kelangkaan
4 12-15 8-10 12-15 8-10 20-25 20-25
Skala nilai 3 2 8-11 4-7 5-7 2-4 8-11 4-7 5-7 2-4 13-19 6-12 13-19 6-12
15 10 15 10 25 25 100 Sumber: Burra Charter (1999) , Avenzora (2008), modifikasi
1 0-3 0-1 0-3 0-1 0-5 0-5
Setelah diketahui potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, lalu dibuat zonasi kualitas budaya kawasan berdasarkan tingkat potensi obyek dan atraksi wisata yang dimiliki kawasan tersebut. Kawasan yang rata-rata potensi obyek wisata yang dimiliki tinggi, maka memiliki kualitas budaya yang tinggi. A.1.3. Produk yang dihasilkan Analisis untuk mengidentifikasi potensi objek dan atraksi wisata eksisting akan menghasilkan 4 klasifikasi potensi yaitu : Sangat baik. Artinya , sangat sesuai untuk dijadikan obyek dan atraksi wisata. Perlakuan yang dilakukan hanya untuk menjaga kualitas obyek dan atraksi wisata tersebut. Baik. Artinya, sesuai untuk dijadikan obyek dan atraksi wisata, Perlu perlakukan untuk meningkatkan kualitas menjadi sangat sesuai. Cukup. Artinya, dapat dijadikan obyek dan atraksi wisata , namun perlu perlakuan lebih banyak untuk meningkatkan kualitas menjadi sesuai atau sangat sesuai. Buruk. Artinya, bahwa tidak sesuai untuk dijadikan obyek dan atraksi wisata. Perlu perlakuan yang khusus dan mahal untuk meningkatkan kualitasnya menjadi sesuai atau sangat sesuai. Di samping itu akan dihasilkan peta tematik yang menggambarkan tentang letak obyek dan atraksi wisata eksisting beserta tingkat potensi budayanya, beserta zonasi kualitas budaya kawasan berdasarkan
rata-rata
tingkat potensi obyek dan atraksi wisata yang dimiliki masing-masing kawasan.
56
A.2 Analisis kelayakan kawasan wisata Analisis ini untuk mengetahui kelayakan kawasan wisata berdasarkan kriteria-kriteria dari Dirjen Pengembangan Produk Pariwisata (2000).
A.2.1. Data Data yang diperlukan untuk analisis ini adalah obyek dan atraksi wisata yang terdapat di kawasan, fasilitas wisata yang ada di kawasan, serta sarana dan prasarana yang terdapat di kawasan. A.2.2. Metode Analisis Penilaian kelayakan kawasan dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan kawasan dengan membuat 4 kriteria sebagai parameter penilaian, yang diambil dari Dirjen Pengembangan Produk Pariwisata (2000) (Tabel 23). Metode yang dilakukan adalah metode deskriptif kuantitatif dengan melakukan teknik penskalaan melalui metode peringkat (ranking) , dan teknik pembobotan dengan metode pembobotan (penentuan bobot) secara langsung melalui expert judgement.
Perhitungan
nilai
kelayakan
kawasan
diperoleh
dari:
……(4) Keterangan: Foda = faktor obyek & atraksi Faks
= faktor aksesibilitas
Flju
= faktor letak dari jalan utama
Ffw = faktor fasilitas wisata yang tersedia = titik pengamatan ke-1 hingga ke-8
Penentuan klasifikasi tingkat kelayakan kawasan untuk wisata adalah sebagai berikut: Klasifikasi Tingkat Potensi = N Skor maksimal – N Skor minimal …………. ( 5) N Tingkat Klasifikasi Dari perhitungan skor masing-masing parameter, maka dilakukan pembobotan (Tabel 24) dan dikategorikan dalam kategori kelayakan Sangat Potensial (SP), Potensial (P), dan tidak Potensial (TP).
57
Tabel 23. Penilaian kelayakan kawasan wisata Peubah Objek wisata
dan
Kategori atraksi
Aksesibilitas
Letak dari jalan utama
Fasilitas wisata yang tersedia
Nilai
• Semua atraksi bernilai tinggi (T) • Atraksi yang ada bernilai sedang (S) sampai Tinggi (T) • Atraksi yang ada bernilai rendah (R) sampai sedang (S) • Tidak terdapat objek dan atraksi
4 3
• Jalan primer dekat, mudah dicapai, kondisi jalan baik, • Jalan gang besar, kondisi sedang, mudah dicapai • Jalan gang kecil, kondisi sedang, agak mudah dicapai • Tidak ada akses, kondisi sangat buruk
4
• • • • • • • •
Dekat (<500 meter) Sedang (500 m – 1 km) Cukup jauh (1-2 km) Jauh (> 2 km) Tersedia, lengkap, kualitas baik & terawat Ada beberapa, cukup terawat Ada beberapa, kurang terawat Tidak tersedia
2 1
3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1
Sumber: Direktorat Jenderal Pengembangan Produk Pariwisata (2000)
Tabel 24. Skala penilaian kelayakan kawasan Bobot Skala nilai (B) 4 3 2 (%) Obyek dan atraksi wisata (Foda) 30 23-30 15-22 7-14 Aksesibilitas(Faks) 30 23-30 15-22 7-14 Letak dari jalan utama (Flju) 20 15-20 10-14 5-9 Fasilitas wisata yang tersedia (Ffw) 20 15-20 10-14 5-9 100 Sumber: Dirjen Pengembangan Produk Pariwisata (2002), modifikasi. Faktor
1 0-6 0-6 0-4 0-4
A.2.3. Produk yang dihasilkan Hasil akhir analisis kelayakan kawasan ini adalah sebuah peta tematik tentang tingkat potensi kelayakan kawasan di Kampung Laweyan. A.3. Analisis Kualitas Estetika-Visual Lingkungan Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kualitas estetika-visual lingkungan
berdasarkan kriteria-kriteria yang diambil Nasar (1998), Burra
Charter (1999), dan Carmona (2006).
58
A.3.1. Data Data yang diperlukan untuk analisis ini adalah seluruh lingkungan yang ada di tapak, terutama jalur sirkulasi.
A3.2. Metode Analisis Analisis estetika-visual terhadap kawasan yang dimaksud adalah analisis terhadap nilai estetika-visual terhadap lingkungan di kawasan. Analisis kualitas estetika-visual didasarkan pada penilaian berdasarkan 5 kriteria yang diambil dari Nasar (1998), Burra Charter (1999), dan Carmona (2006) yaitu 1) Architectural rhytm, 2) Upkeep/civilities/Perawatan, 3) Openness/ Keterbukaan ,4) Historical significance, 5) Order/ Keteraturan (Tabel 26). Perhitungan nilai kualitas estetika-visual lingkungan adalah sebagai berikut: ……(6) Keterangan: Far
= faktor Architectural rhytm
Fci
= faktor upkeep/civilities
Fop
= faktor openness
Fhs
= faktor historical significance
For
= faktor order
= titik pengamatan ke-1 hingga ke-8 Dari perhitungan skor masing-masing parameter, maka dilakukan pembobotan (Tabel 25) dan dikategorikan dalam kategori tingkat potensi estetika-visual lingkungan
Sangat Potensial (SP), Potensial (P), dan tidak
Potensial (TP) berdasarkan perhitungan Rumus (3). Tabel 25. Skala penilaian kualitas estetika-visual lingkungan Bobot (B) (%) 4 Architectural rhytm (Far) 20 15-20 Upkeep/civilities/perawatan (Fci) 20 15-20 Openness/keterbukaan (Fop) 15 12-15 Historical significance (Fhs) 25 20-25 Order/keteraturan (For) 20 20-25 100 Sumber: Nasar (1999), Burra Charter (1981), modifikasi. Faktor
Skala nilai 3 2 10-14 5-9 10-14 5-9 8-11 4-7 13-19 6-12 13-19 6-12
1 0-4 0-4 0-3 0-5 0-5
59
Tabel 26. Penilaian kualitas etetika-visual lingkungan Peubah Architectural rhytm
Perawatan
Keterbukaan
Historical significance/ content
Keteraturan
Indikator Continuity of architectural atau street wall Penjagaan lingkungan agar tampak terpelihara Gabungan ruang terbuka dengan vista
Tingkat representatif terhadap citra kawasan (sosial, budaya, dan sejarah) Koheren, kongruen, legibilitas, dan kejelasan
Kategori • • • • •
Kontinyu Ada sedikit yang terputus Terputus-putus Sama sekali terputus Lingkungan terpelihara dengan sangat baik • Lingkungan terpelihara cukup baik • Lingkungan kurang terpelihara • Lingkungan tidak terpelihara • Ruang terbuka menciptakan vista yang sempurna • Ruang terbuka menciptakan vista cukup bagus • Ruang terbuka menciptakan vista yang kurang bagus • Ruang terbuka tidak menciptakan vista yang bagus • Lingkungan sangat mencerminkan keadaan sosial budaya dan kawasan • Lingkungan cukup mencerminkan keadaan sosial budaya kawasan • Lingkungan kurang mencerminkan keadaan sosial budaya kawasan • Lingkungan tidak mencerminkan sama sekali • Lingkungan terlihat koheren (pas), kongruen (sesuai), legible (terbaca) dan jelas • Lingkungan koheren, tapi kurang legible • Lingkungan tidak koheren, kurang legible • Lingkungan tidak teratur dan tidak jelas
Nilai 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1
Sumber: Nasar (1998), Burra Charter (1981), dan Carmona ( 2006)
A.3.3. Produk yang dihasilkan Hasil akhir analisis kualitas estetika-visual lingkungan ini adalah sebuah peta tematik tentang tingkat potensi kualitas estetika-visual lingkungan di Kampung Batik Laweyan.
A.4. Penentuan zona wisata budaya potensial Zona wisata budaya potensial ditentukan dengan teknik overlay yang mengintegrasikan kualitas budaya kawasan (Kbk) , nilai kelayakan kawasan (Kkws) dan kualitas estetika-visual lingkungan (Pevl). Bobot (B) untuk kualitas budaya kawasan (Kbk) 40%, kelayakan kawasan 35%, sedangkan estetika lingkungan 25% (Gunn, 1972 dalam Smith 1989, modifikasi). Setelah itu zona
60
wisata budaya potensial diklasifikasi menjadi sangat potensial, potensial, tidak potensial, melalui perhitungan Rumus (3). Nilai potensi wisata budaya = ……(7) Dimana, B= bobot
Kkw= nilai kelayakan kawasan
Kbk= nilai kualitas budaya kawasan
Kevl= kualitas estetika-visual lingkungan
B. Identifikasi dan Analisis Tingkat Akseptibilitas Masyarakat Lokal B.1
Data Data yang digunakan dalam analisis masyarakat lokal ini
adalah data
kesediaan masyarakat lokal tentang pengembangan wisata interpretasi budaya melalui
penyebaran
kuisioner
dengan
metode
pengambilan
contohnya
menggunakan metode random sampling. B.2
Metode Analisis Tahap penentuan zona akseptibilitas masyarakat lokal ditunjukkan dengan
dengan melakukan analisis terhadap tingkat kesediaan masyarakat dalam menerima pengembangan kawasan wisata (Tabel 27) dengan menggunakan metode Koentjaraningrat dalam Yusiana (2007). Penilaian dilakukan oleh responden, masing-masing kampung diambil n=12, sehingga jumlah dari responden seluruh kampung yang diteliti adalah 90 responden.
Tabel 27. Penilaian Akseptibilitas Masyarakat
No
Faktor
1.
4.
Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat Peran aktif masyarakat dalam pariwisata Keuntungan kegiatan wisata
5.
Keberadaan wisatawan
2. 3.
4 (Bersedia) setuju
Setuju
Peringkat 3 2 (Kurang (Tidak Bersedia) Bersedia) Kurang Tidak Setuju setuju Tidak Setuju
Ya
Kurang setuju Kurang
Ya
Kurang
Tidak
Bersedia
Kurang Bersedia
Tidak Bersedia
Sumber : Koentjaraningrat dalam Yusiana (2007)
Tidak
1 (Tidak tahu) Tidak Tahu Tidak Tahu Tidak Tahu Tidak Tahu Tidak Tahu
61
Penilaian akseptibilitas masyarakat untuk faktor tertentu di tiap kampung didasarkan pada penghitungan : Fx kampung ke-p = (4 x n)+(3 x n)+(2 x n)+(1 x n) ……….…………….... (8 ) Dimana, Fx
= total nilai faktor tertentu
p
= kampung tertentu
n
= jumlah orang yang memilih Akseptibilitas Masyarakat = ……..(9)
Keterangan : Pdtw = Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata Ppkw = Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat Ppmp = Peran aktif masyarakat dalam pariwisata Pkkw = Keuntungan kegiatan wisata Pkw = Keberadaan wisatawan Setelah
dihitung
skor
masing-masing
parameter,
maka
dilakukan
pengkategorian ke dalam kategori Tinggi (T), Sedang (S), dan Rendah (R). B.3
Produk yang dihasilkan Hasil akhir analisis akseptibilitas masyarakat ini adalah sebuah peta tematik
tentang tingkat akseptibilitas masyarakat di kawasan Kampung Laweyan. C. Penentuan zona integratif untuk pengembangan kawasan wisata budaya Zona integratif diperoleh pada tahap sintesis dengan tehnik overlay yang mengintegrasikan zona wisata budaya potensial (Pwb) dan potensi masyarakat lokal (Pml). Setelah peta-peta tematik tersebut dioverlay, diperoleh
zona
potensial kawasan untuk pengembangan wisata budaya dengan Rumus (10). Setelah itu dibuat klasifikasi potensi sesuai Rumus (11) yaitu kawasan sangat potensial, potensial dan tidak potensial. Bobot untuk aspek potensi wisata budaya (67%) dan aspek masyarakat (33%) ditentukan melalui proses pengambilan keputusan dari beberapa ahli dengan expert judgement.
62
+
Zona Potensial Wisata Budaya =
…………………....(10)
Keterangan : Pwb
= Potensi wisata budaya
Pml
= Potensi masyarakat Lokal
B
= Bobot Klasifikasi potensi zona diperoleh dengan perhitungan rumus : Zona Integratif = Skor total tertinggi – Skor total terendah …….............. (11) Kriteria Proses tumpang susun (overlay) peta komposit dari peta potensiwisata
dan peta akseptibilitas masyarakat menghasilkan tiga zona potensial kawasan untuk pengembangan wisata budaya , yaitu: SP
: Zona sangat potensial, sangat sesuai untuk pengembangan wisata budaya.
P
: Zona potensial, cukup sesuai untuk pengembangan wisata budaya
TP
: Zona tidak potensial, tidak sesuai untuk pengembangan wisata Budaya
Tahap 3. Konsep dan Perencanaan Tahap konsep dan perencanaan ini merupakan pengembangan dari zona kawasan wisata yang dikembangkan melalui aktivitas, fasilitas, dan sirkulasi wisata yang disesuaikan dengan hasil analisis dan sentetis aspek fisik dan masyarakat. Landasan konsep dan perencanaannya adalah pelestarian budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (sustainable cultural tourism) melalui wisata budaya yang interpretatif. Dari hasil perencanaan wisata, diperoleh rencana lanskap kawasan wisata budaya. Rencana ini didasarkan pada metode Simonds (1983) yaitu tapak, ruang, aspek visual, sirkulasi, dan struktur dalam lanskap. Rencana lanskap kawasan wisata budaya berdasarkan zona kesesuaian wisata yang merupakan hasil analisis di kawasan Kampung Laweyan, yaitu dalam bentuk: a. Konsep pengembangan dan penataan yang akan dibangun adalah kawasan wisata budaya yang interpretatif yang mendukung keberlanjutan
63
kehidupan
sosial budaya dan
ekonomi masyarakat.
Konsep
ini
diilustrasikan dalam bentuk model pengembangan dan penataan ruang wisata yang mempertimbangkan karakter lanskap budaya kawasan dan potensi obyek dan atraksi wisata yang ada dan penataannya sehingga representatif terhadap karakter dan ciri khas budaya kawasan. b. Program pengembangan dan penataan kawasan sesuai dengan konsep pengembangan
kawasan.
Perencanaan
program
ini
dilakukan
berdasarkan nilai-nilai potensi wisata kawasan. Hasilnya berupa arahan pengembangan kawasan yang diilustrasikan secara grafis berupa panduan penataan kawasan wisata budaya berkelanjutan di Kampung Laweyan. c. Perencanaan dan penataan infrastruktur pendukung wisata. a.
Definisi Operasional
Wisata adalah Perpindahan orang untuk sementara waktu dalam jangka waktu tertentu ke tujuan di luar tempat tinggal/kerjanya (Nurisjah, 2000) Wisata Budaya (cultural tourism) adalah wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata utama dengan penekanan pada aspek pendidikan dan pengetahuan. Nurisjah et al. 2000) Atraksi wisata adalah semua semua perwujudan dan sajian alam serta kebudayaan yang secara nyata dapat dikunjungi, disaksikan dan dinikmati wisatawan di suatu kawasan wisata atau daerah tujuan wisata melalui suatu bentuk pertunjukan yang khusus diselenggarakan untuk para wisatawan yang mengunjungi kawasan tersebut (Yoeti, 2008) Pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) adalah suatu industri wisata yang mempertimbangkan aspek-aspek penting dalam pengelolaan seluruh sumber daya yang ada guna mendukung wisata tersebut baik secara ekonomi, sosial dan estetika yang dibutuhkan dalam memelihara keutuhan budaya, proses penting ekologis, keragaman biologi dan dukungan dalam sistem kehidupan (Inskeep, 1991). Pariwisata budaya berkelanjutan (sustainable cultural tourism) adalah pariwisata yang dilakukan dengan mempertimbangkan pengunjung (kebutuhan, kepuasan, dan kenyamanan), industry (kebutuhan untuk memperoleh keuntungan), komunitas (menghormati nilai-nilai dan kualitas hidup
64
masyarakat lokal), dan lingkungan (melindungi lingkungan fisik dan budaya) (EAHTR, 2006). Lanskap budaya adalah adalah suatu kawasan geografis dimana ditampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu kebudayaan tertentu, dimana budaya adalah agennya, kawasan alami sebagai medium dan lanskap budaya sebagai hasilnya (Sauers, 1978 diacu dalam Tishler, 1982) Cultural
significance
adalah
sebuah
konsep
untuk
membantu
dalam
mengestimasi nilai suatu tempat atau ruang yang memiliki signifikansi untuk dapat memahami masa lampau untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang (Burra Charter, 1981) Interpretasi adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk menghadirkan cultural significance dari suatu tempat (place) (Burra Charter, 1999) Interpretasi lingkungan adalah suatu aktivitas pendidikan untuk mengungkapkan arti dan hubungan antara obyek alami dengan kelompok sasaran, dengan pengalaman langsung dan dengan penggambaran media (ilustrasi) secara sederhana.( Tilden ,1957) Cultural heritage adalah ekspresi tentang cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah komunitas dan diteruskan dari generasi ke generasi termasuk adat istiadat, praktek, tempat-tempat, obyek-obyek, ekspresi dan nilai artistic (ICOMOS-International Cultural Tourism Charter ,2002) Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) mengandung arti berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu sebagai bagian warisan budaya mereka (konvensi UNESCO, 2003).
65
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Identifikasi dan Analisis Potensi Fisik Kawasan Dilakukan analisis terhadap aspek fisik kawasan untuk mengetahui potensi pengembangan wisata budaya melalui tiga aspek yaitu kualitas budaya kawasan, kelayakan kawasan wisata, dan kualitas estetika-visual lingkungan. 5.1. 1. Analisis Kualitas Budaya Kawasan Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan menilai potensi obyek dan atraksi wisata budaya, baik dari segi cultural significance maupun kualitas fisik
obyek dan atraksi wisata budaya eksisting. Kualitas budaya kawasan
ditentukan dari potensi obyek dan atraksi wisata eksisting yang dimiliki oleh masing-masing kawasan. Semakin tinggi rata-rata potensi obyek dan atraksi yang dimiliki oleh kawasan, semakin tinggi kualitas budaya kawasan. 5.1.1.1. Analisis Potensi Obyek dan Atraksi Wisata Eksisting Penilaian
objek
dan
atraksi
wisata
eksisting
dilakukan
dengan
menggunakan 6 kriteria penilaian (kesejarahan /historival value, fungsi sosial/social value, harmoni, keunikan, daya tarik dan kelangkaan). Hasil penilaian dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Potensi obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan Lokasi pengamatan 1 Kwanggan
Parameter Obyek
Kulon
S
29
R
S4
3
19
R
S4
10
7
48
S
S2
9
12
12
63
T
S1
10
12
11
58
T
S2
I
II
III
IV V
VI
melihat situs bersejarah
8
3
8
3
4
3
2 Galeri batik
Melihat pameran karya seni
3
5
4
3
4
3 Rumah tua dan unik
Bentuk arsitektur bangunan
9
9
10
3
a. Proses
6
12
12
6
8
11
1 Bekas gudang senjata masa keraton Pajang
2 Sayangan
P
Atraksi
4 Pabrik batik abstrak
5 Galeri batik
N
pembuatan batik b. Ikut pelatihan membatik pola abstrak Wisata belanja
66
Lanjutan Tabel 28. Lokasi pengamatan
Parameter Obyek 6 Showroom dan museum batik milik keluarga
7 Langgar Merdeka
3 Kramat
8 Museum Samanhudi 9 Galeri batik
4 Sayangan Wetan
10 Tugu Laweyan (bekas Pasar Laweyan Kuno) 11 Pabrik Batik dan galeri 12 showroom dan galeri 1 13 showroom dan galeri 2 14 showroom dan galeri 3 15 batik furniture
5 Setono
16 Bangunan kuno dan unik Setono 17 Pabrik batik 18 Showroom dan galeri batik 1 19 Showroom dan galeri batik 2 20 Showroom dan galeri batik 3 21 Langgar Ma’moer
22 para batik
Rumah pekerja
23 Makam Kyai Ageng henis
P
S
62
T
S1
12
66
T
S1
9
10
57
T
S2
3
4
3
22
R
S4
7
6
8
8
46
S
S2
9
8
7
10
7
48
S
S2
4
7
10
10
11
9
51
S
S2
Wisata belanja
4
7
10
10
11
9
51
S
S2
Wisata belanja
4
7
10
10
11
9
51
S
S2
wisata belanja dan melihat proses pembuatan Bentuk arsitektur bangunan
3
5
8
3
8
6
33
R
S3
6
9
10
9
11
9
54
S
S2
Melihat proses pembuatan batik Wisata belanja
6
10
9
9
10
7
51
S
S2
6
10
10
10
11
9
56
T
S2
Wisata belanja
6
10
10
10
11
9
56
T
S2
Wisata belanja
6
10
10
10
11
9
56
T
S2
Bentuk arsitektur bangunan dan sejarahnya Mengenal sejarah dan budaya masyarakat pembatik Melihat makam kuno
9
12
11
12
8
12
64
T
S1
6
6
9
4
6
5
36
R
S3
9
11
12
7
10
9
58
T
S1
Atraksi
I
II
III
IV
V
VI
menyaksikan koleksi yang berkaitan dengan pembatikan warisan para leluhur Bnetuk arsitektur bangunan dan sejarahnya Melihat koleksi peninggalam KH.Samanhudi Berbelanja batik
6
11
12
10
12
11
12
12
12
9
9
8
8
11
11
3
6
3
Menyaksikan situs tempat pasar laweyan kuno
8
9
Melihat proses pembuatan batik dan wisata belanja Wisata belanja
7
N
67
Lanjutan Tabel 28. Lokasi pengamata n
Parameter Obyek 24 Mesjid laweyan
25 Bunker bawah tanah 26 Rumah pemberian Soekarno untuk Samanhudi 27 Art galery 28 Batik Furniture
29 IPAL
6 Lor Pasar
7 Kidul Pasar
8 Klaseman
30 Pabrik batik dan galeri 31 showroom batik 2 32 showroom batik 3 33 Situs Kabanaran 34 pabrik batik 35 Bangunan kuno 36 Laweyan batik Centre 37 Pabrik batik
38 Showroom batik
Atraksi
P
S
72
T
S1
7
43
S
S3
11
10
62
T
S1
3
4
3
19
R
S4
8
3
8
6
33
R
S3
3
5
5
4
9
29
R
S4
6
9
10
9
9
8
51
S
S2
Wisata belanja
5
6
10
10
11
9
51
S
S2
Wisata belanja
4
4
9
8
10
8
43
S
S3
Melihat situs bersejarah Melihat proses pembuatan batik Bentuk arsitektur bangunan
11
8
12
3
8
9
51
S
S2
6
5
4
6
8
5
34
S
S3
6
7
8
3
7
5
36
R
S3
Pelatihan batik, pertemuan. a. Melihat proses pembuatan batik b. Ikut pelatihan membatik Wisata belanja
4
6
3
7
4
3
27
R
S4
8
9
8
8
11
9
53
S
S2
8
9
8
10
10
9
54
S
S2
I
II
III
IV
V
VI
Melihat tempat bersejarah dan cerita tentang masa lalu Melihat tempat bersejarah dan legenda Melihat sejarah jaman pergerakan Samanhudi
12
12
12
12
12
12
7
6
12
3
8
11
10
12
8
melihat karya seni wisata belanja dan melihat proses pembuatan
3
5
4
3
5
Melihat teknik pengolahan limbah batik Belajar batik, wisata belanja
3
N
Sumber: Hasil Olahan Data Lapang 2010 Keterangan: Parameter (I=kesejarahan/historical value), II= harmoni, III=keunikan, IV= fungsi sosial/social value, V= daya tarik, VI= kelangkaan). N= Nilai (maks = 72, min= 18, belum termasuk perhitungan bobot ) P= potensi (T=tinggi, S=sedang, R=rendah) S= skor (S1=sangat baik, S2=baik, S3 = cukup, S4 = buruk) n=3 (tim ahli)
Tabel 28 menunjukkan 6 obyek (16%) dikembangkan, 19 obyek (50%) berkategori
sangat baik (S1) untuk
baik (S2) untuk dikembangkan, 7
obyek (18 %) bernilai cukup, dan 6 obyek (16%) bernilai buruk dan tidak sesuai untuk dikembangkan. Klasifikasi sangat baik (S1) untuk 6 obyek dan atraksi
68
wisata menunjukkan bahwa keenam obyek tersebut memiliki nilai budaya dan dan daya tarik sangat tinggi untuk dijadikan obyek tujuan wisata, Diperlukan penjagaan dan pemeliharaan serta dan hanya sedikit perbaikan saja agar obyek ini tetap lestari. Obyek dan atraksi tersebut antara lain pabrik batik abstrak, showroom dan museum batik milik keluarga, Langgar merdeka, langgar Ma’moer, mesjid Laweyan, makam Kiai Ageng Henis, rumah pemberian Soekarno untuk Samanhudi. Peneliti menilai bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan nilai potensi untuk keenam obyek ini sangat tinggi , disamping karena unsur nilai budaya dan daya tarik yang tinggi, pengaruh yang lain salah satunya adalah karena pemeliharaan yang rutin dikarenakan unsur kepemilikan yang jelas. Pabrik batik abstrak dan museum keluarga serta showroom dimiliki secara perorangan dan berorientasi bisnis, sehingga wajar jika dipelihara dan selalu ditingkatkan kondisinya agar selalu menarik terjaga. Sedangkan Langgar merdeka,
Langgar
Ma’moer,
dan
mesjid
Laweyan
merupakan
milik
umum/masyarakat, bahkan sudah menjadi salah satu daftar benda cagar budaya yang telah disyahkan oleh pemkot Surakarta. Hal ini menyebabkan obyek-obyek ini mendapat perhatian yang cukup untuk mempertahankan eksistensinya. Untuk kriteria yang sangat buruk (6 obyek), menunjukkan bahwa obyek tersebut
tidak
layak
dikunjungi.
Perlu
perlakuan
yang
mahal
untuk
menjadikannya sebayai obyek tujuan wisata. Keenam obyek tersebut tidak memiliki nilai budaya yang signifikan, karena sebagian besar berupa galeri batik yang dimiliki perorangan dan kurang berkembang baik. Satu-satunya obyek yang bernilai sejarah tapi bernilai buruk adalah bekas gudang senjata. Obyek ini bernilai rendah karena keberadaannya secara fisik (artefak) tidak dapat ditemukan lagi dan hanya menjadi cerita sejarah bahwa di daerah itu pernah terdapat gudang senjata jaman kerajaan Pajang. Namun juga terdapat Laweyan Batik centre yang seharusnya kepemilikannya adalah milik pemerintah daerah, namun jarang terlihat aktivitas yang menarik di dalamnya. Obyek ini dapat ditingkatkan menjadi sangat baik dengan campur tangan pemerintah dan masyarakat lokal untuk mengisi atraksi yang menarik di dalamnya. Gambar 16 menunjukkan letak obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan, beserta tingkat potensi masing-masing obyek. Tabel 29, 30, 31, dan 32 menunjukkan jenis obyek dan atraksi wisata beserta jenis atraksi yang dapat ditawarkan.
69
Sumber: Hasil olahan data 2010 Gambar 16. Peta potensi obyek dan atraksi wisata eksisting Tabel 29. Obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifkasi sangat baik (S1) No 1.
2
Lokasi
Nama Obyek
Atraksi
Sayangan Kulon
Pabrik batik abstrak (no.4 di peta gb. 16)
c. Proses
Sayangan Kulon
Showroom dan museum batik milik keluarga (no. 6)
Melihat-lihat koleksi yang berkaitan dengan pembatikan yang sudah dilakukan oleh para leluhur
pembuatan batik d. Ikut pelatihan membatik pola abstrak
Foto
70
Lanjutan Tabel 29. No
Lokasi
Nama Obyek
Atraksi
3
Sayangan Kulon
Langgar merdeka (no 7)
Bentuk arsitektur bangunan dan mendengar sejarahnya
4
Setono
Mesjid Laweyan (no. 24 di peta gb.16)
Melihat tempat bersejarah dan mendengar kisah asal-usul Laweyan
5
Setono
Langgar Ma’moer (no.21 di peta gb.16)
Bentuk arsitektur bangunan dan sejarahnya
6
Setono
Rumah pemberian Soekarno untuk Samanhudi (no 18 di peta gb.16)
Mendengar dan menyaksikan bukti sejarah peninggalan Samanhudi
Foto
71
Tabel 30. Obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifkasi baik (S2) No
Lokasi
Nama Obyek
Atraksi
1
Sayang an Kulon
Rumah kuno dan unik (no. 3 pada peta dig b.16)
Melihat model arsitektur bangunan rumah tua
2
Sayang an Kulon
Galeri Batik mahkota (no 5 di peta gambar 16)
Wisata belanja
3
Kramat
Museum Samanhudi (no. 8)
Melihat koleksi peninggalan KH. Samanhudi
4
Sayang an Wetan
Tugu Laweyan (no. 10) Klasifikasi: Sesuai, potensi Sedang
Melihat situs tempat berdirinya pasar Laweyan kuno yang berkaitan dengan Sungai kabanaran
5
Setono
Makam Ki Ageng Henis (no.23 di peta gb.16)
Berziarah, melihat dan mengetahui sejarah makam kuno
Foto
Pintu gerbang makam Ki Ageng Henis
72
Lanjutan Tabel 30. No
Lokasi
Nama Obyek
Atraksi
Foto
Makam Ki Ageng Henis. Dengan pohon Nagasari berusia 500 tahun
6
Sayangan Wetan
Pabrik Batik & galeri Sayangan Wetan (no.11 di peta gambar no.16)
Melihat proses pembuatan batik
7
Sayangan Wetan
Galeri batik 1 (no. 12). Klasifikasi: Sesuai, potensi Sedang
Belanja batik dan melihat keunikkan interior galeri
8
Setono
Bangunan kuno dan unik (no. 16) .
Mengamati bentuk arsitektur bangunan dan tata ruang serta furniture yang mewakili gaya tertentu di jaman penjajahan Belanda (dikenal dengan gaya Indiesch)
73
Lanjutan Tabel 30. No
Lokasi
Nama Obyek
Atraksi
9
Setono
10
Setono
Galeri batik 1 (no. 18 )
Wisata belanja
11
Setono
Galeri Batik kencana (no.19)
Wisata belanja
12
Lor Pasar
Pabrik batik (no. 17).
Pabrik batik dan galeri (no. 30)
Melihat proses pembuatan batik
Melihat proses pembuatan batik dan galeri
Foto
74
Lanjutan Tabel 30. No
Lokasi
Nama Obyek
Atraksi
13
Lor Pasar
Pabrik batik dan galeri (no. 31)
Galeri batik
14
Kidul Pasar
Situs Kabanaran (no.33) klasifikasi ; sesuai, potensi Sedang
Melihat situs bersejarah, bekas Bandar besar di jaman kerajaan Pajang
15
Klaseman
Pabrik batik Klaseman (no 37)
a. Melihat proses pembuatan batik b. Ikut pelatihan membatik
16
Klaseman
Showroom batik (no.38)
Wisata belanja
Foto
75
Tabel 31. Obyek dan Atraksi Wisata di Kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan Klasifkasi Cukup (S3) No
Lokasi
Nama Obyek
Atraksi
1
Sayangan Wetan
Batik furniture (no.15)
Melihat cara membuat furniture batik
2
Setono
Rumah pekerja batik ( no. 22)
3
Setono
Bunker bawah tanah (no. 25)
Melihat rumah kuno yang secara turun temurun merupakan pekerja batik sejak batik mencapai jaman keemasan di jaman dulu Melihat bunker peninggalan jaman dulu
4
Kidul Pasar
Pabrik batik (no.34)
Melihat proses pembuatan batik
Foto
76
Tabel 32. Obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifkasi buruk (S4) No 1
Lokasi Kwanggan
Nama Obyek Bekas gudang senjata (no. 2)
Atraksi Melihat sisa peninggalan jaman kerajaan pajang
2
Kidul Pasar
IPAL (no. 29).
Melihat proses pengolahan limbah batik
3
Klaseman
Laweyan batik Centre (no. 36)
Tempat pelatihan yang berkaitan dengan aktivitas membatik
Foto
Letak obyek dan atraksi wisata eksisting menyebar di seluruh kawasan Kampung
Batik
Laweyan.
Obyek
dan
atraksi
wisata
eksisting
dapat
dikelompokkan berdasarkan kualitas masing-masing obyek dan atraksi wisata. (Tabel 33 dan Gambar 17). Demikian juga untuk jenis wisata eksisting yaitu wisata
eksisting
batik,
dan
wisata
eksisting
budaya
dan
sejarah.
Pengelompokkan jenis wisata ini dapat dilihat di Tabel 34 dan gambar 19.
77
Tabel 33. Jenis aktivitas wisata dan kualitas ODAW eksisting No
Lokasi
Obyek dan Atraksi (ODAW) 1. Pabrik batik abstrak
Jenis wisata
Kualitas
1
Sayangan Kulon
Wisata batik
Sangat baik
2. Showroom dan museum batik keluarga 3. Langgar Merdeka
Wisata batik
Sangat baik
Wisata sejarah
Sangat baik
4. Langgar ma’moer
Wisata budaya dan sejarah Wisata budaya dan sejarah Wisata sejarah
Sangat baik
Wisata budaya
Baik
8. Galeri batik
Wisata batik
Baik
Kramat
9. Museum Samanhudi
Wisata sejarah
Baik
Sayangan wetan
10. Tugu laweyan
Wisata sejarah
Baik
11. Pabrik batik dan galeri
Wisata batik
Baik
12. Showroom batik 1
Wisata batik
Baik
13. Showroom batik 2
Wisata batik
Baik
14. Showroom batik 3
Wisata batik
Baik
15. Bangunan kuno dan unik 16. Pabrik batik
Wisata budaya
Baik
Wisata batik
Baik
17. Showroom dan galeri batik 1 18. Showroom dan galeri batik 2 19. Showroom dan galeri batik 3 20. Makam Kyai Ageng Henis 21. Pabrik batik dan galeri
Wisata batik
Baik
Wisata batik
Baik
Wisata batik
Baik
Wisata sejarah
Baik
Wisata batik
Baik
22. Showroom batik 2
Wisata batik
Baik
Kidul Pasar
23. Situs kabanaran
Wisata sejarah
Baik
Klaseman
24. Pabrik batik
Wisata batik
Baik
25. Showroom batik
Wisata batik
Baik
26. Batik furniture
Wisata batik
Cukup
27. Rumah para pekerja batik 28. Bunker bawah tanah
Wisata batik
Cukup
Wisata sejarah
Cukup
29. Batik furniture
Wisata batik
Cukup
Setono
5. Mesjid Laweyan
2
Sayangan Kulon
Setono
Lor Pasar
3
Sayangan wetan Setono
6. Rumah pemberian Soekarno untuk Samanhudi 7. Rumah tuan dan unik
Sangat baik Sangat baik
78
Lanjutan Tabel 33. No
4
Lokasi
Jenis wisata
Kualitas
Lor Pasar
Obyek dan Atraksi (ODAW) 30. Showroom batik 3
Wisata batik
Cukup
Kidul Pasar
31. Pabrik batik
Wisata sejarah
Cukup
Klaseman
32. Bangunan kuno
Cukup
Kwanggan Kramat
33. Bekas gudang senjata 34. Galeri batik 35. Galeri batik
Wisata budaya dan sejarah Wisata sejarah Wisata batik Wisata batik
Setono
36. Art galery
Wisata batik
Buruk
37. IPAL
Wisata batik
Buruk
38. Laweyan batik centre
Wisata batik
Buruk
Klaseman
Buruk Buruk Buruk
Tabel 33 di atas menunjukkan obyek dan atraksi wisata (ODAW) eksisting beserta jenis aktivitas wisatanya. Masing-masing ODAW tersebut telah dinilai kualitasnya dari analisis potensi ODAW. Gambar 17 di bawah ini menunjukkan pengelompokkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting.. Sedangkan Gambar 18 menunjukkan peta deliniasi kawasan berdasarkan jenis aktivitas wisata dari obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan Surakarta.
Gambar 17. Peta deliniasi kawasan berdasarkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan Surakarta
79
Tabel 34. Jenis aktivitas wisata ODAW eksisting No
Lokasi
Obyek (ODAW)
dan
Atraksi
Jenis wisata
Kualitas
Wisata batik Kwanggan
Galeri batik
Wisata batik
Buruk
Sayangan Kulon
Pabrik batik abstrak
Wisata batik
Sangat baik
Galeri batik
Wisata batik
Baik
Showroom dan museum batik keluarga Galeri batik
Wisata batik
Sangat baik
Wisata batik
Buruk
Pabrik batik dan galeri
Wisata batik
Baik
Showroom batik 1
Wisata batik
Baik
Showroom batik 2
Wisata batik
Baik
Showroom batik 3
Wisata batik
Baik
Batik furniture
Wisata batik
Cukup
Pabrik batik
Wisata batik
Baik
Showroom dan galeri batik 1 Showroom dan galeri batik 2 Showroom dan galeri batik 3 Rumah para pekerja batik
Wisata batik
Baik
Wisata batik
Baik
Wisata batik
Baik
Wisata batik
Cukup
Art galery
Wisata batik
Buruk
Batik furniture
Wisata batik
Cukup
IPAL
Wisata batik
Buruk
Pabrik batik dan galeri
Wisata batik
Baik
Showroom batik 2
Wisata batik
Baik
Showroom batik 3
Wisata batik
Cukup
Laweyan batik centre
Wisata batik
Buruk
Pabrik batik
Wisata batik
Baik
Showroom batik
Wisata batik
Baik
Kramat Sayangan wetan
Setono
Lor Pasar
Klaseman
Wisata budaya Sayangan Kulon Setono
Klaseman
Rumah tuan dan unik
Wisata budaya
Baik
Bangunan kuno dan unik
Wisata budaya
Baik
Langgar ma’moer
Wisata budaya
Sangat baik
Bangunan kuno
Wisata budaya
Cukup
80
Lanjutan Tabel 34. No
Lokasi
Obyek (ODAW)
dan
Atraksi
Jenis wisata
Kualitas
Wisata sejarah 1
7
Kwanggan
Bekas gudang senjata
Wisata sejarah
Buruk
Sayangan Kulon Kramat
Langgar Merdeka
Wisata sejarah
Sangat baik
Museum Samanhudi
Wisata sejarah
Baik
Sayangan wetan Setono
Tugu laweyan
Wisata sejarah
Baik
Makam Kyai Ageng henis
Wisata sejarah
Baik
Mesjid Laweyan
Wisata sejarah
Sangat baik
Bunker bawah tanah
Wisata sejarah
Cukup
Rumah pemberian Soekarno untuk Samanhudi Situs kabanaran
Wisata sejarah
Sangat baik
Wisata sejarah
Baik
Pabrik batik
Wisata sejarah
Cukup
Kidul Pasar
Gambar 18 menunjukkan pengelompokkan kawasan dengan jenis atraksi wisata yang berbeda-beda. Jenis aktivitas batik banyak terdapat di kawasan Setono, Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, Lor Pasar dan Klaseman. Namun letaknya lebih banyak berada di sepanjang jalan Sidoluhur. Hanya obyek yang berada di Sayangan Kulon yang terletak agak jauh di dalam. Untuk jenis aktivitas sejarah, banyak terdapat di kawasan Kramat, Setono bagian selatan, dan hanya sedikit di kawasan Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, Klaseman dan Kidul Pasar. Jenis aktivitas wisata yang menawarkan budaya arsitektural banyak terdapat di kawasan Sayangan kulon, Setono, dan Klaseman.
81
Gambar 18. Peta deliniasi kawasan berdasarkan jenis aktivitas wisata dari obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan Surakarta 5.1.1.2. Kualitas Budaya di Kampung Batik Laweyan berdasarkan Obyek dan Atraksi Wisata Eksisting yang Dimiliki Berdasarkan tingkat potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, maka dapat diketahui kualitas kawasan yang mengandung obyek dan atraksi wisata di dalamnya. Kawasan yang memiliki banyak obyek dan atraksi wisata yang sangat potensial maka tergolong kawasan dengan kualitas budaya tinggi.
Tabel 35. Kualitas budaya masing-masing kawasan berdasarkan obyek dan atraksi wisata (ODAW) eksisting yang dimiliki Tingkat Potensi ODAW Lokasi pengamatan 1 Kwanggan 2 Sayangan Kulon 3 Kramat 4 Sayangan Wetan 5 Setono 6. Lor Pasar 7. Kidul Pasar 8. Klaseman
Sangat Baik (4) 3 4 -
Sumber: Hasil olahan data 2010
Baik
Cukup
(3) 2 1 5 5 2 1 2
(2) 1 3 1 1 1
Nilai
Rata2
Kualitas
2 18 5 17 39 8 5 9
0.5 4.5 1.25 4.25 9.75 2 1.25 2.25
R S R S T R R R
Buruk (1) 2 1 2 1
82
Gambar 19. Peta tematik kualitas budaya masing-masing kawasan berdasarkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting Gambar 19 menunjukkan tingkat kualitas budaya masing-masing kawasan. Kawasan dengan kualitas budaya tinggi hanya ada di satu kawasan yaitu kawasan Setono (13%). Kawasan ini memiliki nilai tinggi karena memiliki banyak obyek dan atraksi wisata dengan nilai sangat baik ( Tabel 35). Beberapa obyek yang sangat baik kualitasnya yang terdapat di kawasan setono antara lain Langgar ma’moer, rumah pemberian Soekarno untuk Samanhudi, dan mesjid Laweyan. Sedangkan obyek dan atraksi yang bernilai baik antara lain bangunan kuno dan unik, pabrik batik, showroom dan galeri batik, dan makam Kyai Ageng Henis. Kawasan sayangan Kulon dan Sayangan wetan tergolong berkualitas sedang ( sekitar 25%) . Sayangan Kulon sebenarnya memiliki 3 obyek dan atraksi wisata yang bernilai sangat baik, namun secara total jumlah rata-rata nilai obyek dan atraksi wisatanya lebih kecil dibandingkan yang dimiliki oleh kawasan setono. Demikian juga untuk kawasan Sayangan wetan. Sedangkan kawasan yang memiliki kualitas budaya rendah terdiri dari 5 kawasan (sekitar 63%) yaitu kawasan Kranggan, Kramat, Kidul Pasar, lor Pasar, dan Klaseman. Hal ini disebabkan karena masing-masing kawasan ini hanya memiliki sedikit obyek dan atraksi wisata. Sebenarnya, kawasan Lor Pasar dan Klaseman masing-masing memiliki 2 obyek wisata yang berkualitas baik. Untuk Kidul pasar dan Kramat
83
masing-masing hanya 1 obyek yang berkualitas baik. Sedangkan kawasan kranggan tidak memiliki satupun obyek yang bernilai cukup hingga sangat baik. Di kawasan kranggan hanya terdapat 2 obyek, yang keduanya bernilai buruk. Kawasan Lor Pasar dan Klaseman dapat dipertimbangkan sebagai tujuan wisata meskipun secara keseluruhan kawasan memiliki kualitas budaya rendah, dengan alasan kawasan ini masih memiliki beberapa obyek wisata yang bernilai baik. 5.1. 2. Analisis Kelayakan Kawasan Wisata Penilaian dilakukan dengan menggunakan parameter dari Direkorat Jenderal Pengembangan Produk Pariwisata (2002). Hasil penilaian ditunjukkan pada Tabel 36 yang memperlihatkan tingkat kelayakan kawasan. Kawasan yang kelayakannya sangat potensial sebesar 25% adalah Sayangan kulon dan Sayangan wetan. Kawasan yang potensial sekitar 50% adalah Kramat, Setono, Lor Pasar dan Klaseman. Sedangkan kawasan yang tidak potensial sebesar 25% adalah kawasan Kwanggan dan Kidul pasar. Tabel 36. Tingkat kelayakan kawasan wisata Lokasi pengamatan 1 Kwanggan 2 Sayangan Kulon 3 Kramat 4 Sayangan Wetan 5 Setono 6. Lor Pasar 7. Kidul Pasar 8. Klaseman
Parameter Kelayakan
N
I
II
III
IV
10 83 21 84 88 31 20 56
78 78 83 78 51 73 21 52
60 60 54 60 28 50 66 48
3 38 4 18 41 12 3 40
151 259 162 240 208 166 110 196
K TP SP P SP P P TP P
Sumber : Olahan Data Lapang, 2010 Keterangan : Parameter kelayakan (I= potensi objek dan atraksi wisata, II=aksesibilitas, III= letak dari jalan raya, IV= fasilitas wisata yang tersedia). N= nilai (maks = 300 ; min = 12 , telah disesuaikan dengan skala pembobotan ) K= klasifikasi (SP= sangat potensial, P= potensial, TP= tidak potensial) n = 3 (n= nara sumber atau pakar)
Kawasan yang dinilai sangat potensial, yaitu kawasan Sayangan Kulon dan Sayangan Wetan merupakan kawasan yang memiliki aksesibilitas sangat tinggi, letaknya sangat dekat dengan jalan raya, memiliki obyek-obyek dan atraksi wisata dengan kategori S2 (baik) maupun S1(sangat baik), dan memiliki fasilitas wisata yang cukup memadai. Namun, fasilitas wisata merupakan masalah yang cukup serius dan harus segera ditangani karena hampir di seluruh kawasan tidak memiliki fasilitas wisata yang memadai. Aspek fasilitas wisata
84
memiliki nilai rendah hampir di semua kawasan. Hal ini hendaknya menjadi perhatian penting bagi pemerintah daerah maupun penggerak masyarakat ,yang harus dipertimbangkan untuk dilengkapi dan ditingkatkan
demi memenuhi
kepuasan pengunjung yang ingin datang menikmati objek dan atraksi yang ada di kampung Batik Laweyan ini. Gambar 20 di bawah ini merupakan peta kelayakan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan.
Gambar 20. Peta kelayakan kawasan wisata budaya Kawasan Kwanggan dan kawasan Kidul Pasar merupakan kawasan yang dinilai tidak potensial untuk dikembangkan. Secara fakta, kawasan Kwanggan memiliki objek yang paling minim dan miskin atraksi. Namun, kawasan ini memiliki kelebihan karena letak dan aksesnya yang sangat dekat dengan jalan utama.
Dengan potensi yang dimiliki, kawasan ini dapat dirancang menjadi
kawasan penerima (welcome area) dan menjadi pintu masuk atau entrance kawasan wisata. Sedangkan kawasan Kidul pasar , juga memiliki nilai rendah, karena selain memiliki obyek wisata yang tidak potensial, letak, fasilitas dan aksesibilitasnya pun tergolong rendah. Hal ini menyebabkan kawasan ini tergolong tidak potensial. Namun, kawasan ini memiliki situs bersejarah yaitu Situs Kabanaran yang telah ditetapkan pemerintah sebagai situs bersejarah. Namun karena lingkungan sekitar sungai tidak dipelihara dan tidak didisain
85
secara menarik, maka nilai kelayakannya menjadi sangat rendah. Perlu adanya usaha dari pemerintah dan stakeholder untuk mengangkat citra sungai Kabanaran ini agar dapat lebih banyak memberi informasi sejarah dan budaya kawasan yang sangat berguna bagi para pengunjung dan masyarakat. Hal ini dapat diatasi dengan merencana ulang kawasan Situs Kabanaran agar lebih menarik dan layak untuk dijadikan obyek wisata sejarah di kawasan Kampung Laweyan ini. Kawasan yang tergolong berpotensi sedang adalah Kampung Setono, Kramat, Lor Pasar, dan Klaseman. Kampung Setono sebenarnya justru memiliki beberapa obyek dan atraksi wisata yang sangat potensial seperti makam kuno dan Mesjid Laweyan. Hanya saja, karena letak obyek wisata ini jauh dari jalan raya dan jalan besar, serta memiliki fasilitas wisata yang minim, maka penilaian terhadap kawasan ini menjadi lebih rendah. Sebenarnya akses menuju Mesjid Laweyan, yang merupakan obyek wisata bersejarah yang sangat potensial, sangatlah mudah karena dapat dicapai dengan kendaraan roda empat. Hanya saja, lahan parkir yang sangat terbataslah yang menjadi salah satu kendala. Tata letak fasilitas yang tepat dan mendukung akan sangat membantu meningkatkan potensi kawasan ini. Sedangkan Kampung Klaseman, walaupun memiliki obyek wisata yang sedikit, namun akses menuju obyek ini tergolong mudah karena letaknya dekat dengan jalan raya. Untuk kawasan Lor Pasar dan Kramat, diuntungkan oleh letak yang dekat dengan jalan raya, dan obyek wisata yang memiliki potensi sedang. Keempat kawasan ini dapat ditingkatkan potensinya menjadi sangat potensial dengan menambah fasilitas wisata yang memuaskan pengunjung, dan pembenahan jalan atau gang agar lebih nyaman dilalui. 5.1. 3. Analisis Kualitas Estetika-Visual Lingkungan Apresiasi terhadap estetika lingkungan perkotaan dapat berupa apresiasi visual dan kinestetik. Apresiasi visual terhadap lingkungan perkotaan merupakan hasil dari persepsi dan kognisi. Sedangkan pengalaman kinestetik merupakan apresiasi terhadap lingkungan yang mengikursertakan kepekaan gerakan seluruh anggota tubuh (Carmona, et al 2003). Nasar (1998) mengatakan ada beberapa atribut untuk mengatakan bahwa suatu lingkungan itu disukai antara lain 1) upkeep/civilities (lingkungan yang terlihat terawat dan dipelihara) ; 2) openness and defined space (perpaduan antara ruang terbuka dengan panorama dan vista dari elemen2 yang menarik); 3)
86
historical significance/content (lingkungan yang membentuk ingatan/memori yang dharapkan); dan 4) order (keteraturan, koheren (tepat ), kongruen (sesuai), legible (mudah dipahami), dan ada kejelasan (clarity)). Smith (1980) mengatakan bahwa kapasitas intuisi kita terhadap apresiasi estetika memiliki beberapa komponen , salah satunya adalah apresiasi ritme. Keindahan visual bisa diperoleh dari elemen-elemen yang memiliki ritme yang bervariasi mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks (Smith, 1980). Ritme diperoleh dari pengelompokkan elemen-elemen untuk menciptakan adanya penekanan, interval, akses, atau pengarahan. Untuk menghindari adanya kesan monoton, perlu adanya kekontrasan dan variasi dalam membentuk ritme yang menarik. Ritme arsitektural merupakan salah satu pertimbangan dalam menyumbang keragaman bagi kualitas estetika-visual (Carmona, et al. 2006). Penilaian kualitas estetika-visual dilakukan dengan melakukan penilaian berdasarkan 5 parameter sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasar (1998) dan Carmona, et.al (2006) sebagaimana yang telah dijabarkan di Tabel 26. Berdasarkan hasil penilaian yang ditunjukkan Tabel 37 memperlihatkan kondisi kawasan wisata budaya berdasarkan kualitas estetika-visual lingkungan. Ditunjukkan bahwa kawasan yang memiliki potensi Tinggi ada 4 kawasan (sekitar 50%) yaitu Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, Setono, dan Lor Pasar (Gambar 21). Kawasan ini memiliki nilai tinggi karena lingkungannya masih terpelihara dengan baik, memiliki ruang terbuka yang menciptakan vista yang cukup mengesankan dan lingkungannya sangat representatif terhadap kehidupan sosial budaya kampung batik. Di daerah Setono, kawasannya memiliki keteraturan yang sangat baik. Lingkungannya mencerminkan ciri khas kehidupan sosial budaya kampung batik. Berada di daerah Setono membuat kita benar-benar merasa berada di kawasan kampung batik. Ritme arsitektural di kawasan ini sangat menarik. Banyaknya rumah-rumah kuno dengan ciri khas arsitektur indische, tembok-tembok tinggi yang menjadi ciri khas Laweyan, banyaknya pabrik-pabrik batik, keadaan rumah batik maupun rumah penduduk yang masih terawat dengan baik, menyebabkan penilaian kualitas visual untuk kawasan ini tinggi. Hal ini juga terjadi di kawasan Sayangan kulon, sayangan wetan. Kehadiran Tugu Laweyan di kawasan Sayangan Wetan cukup menjadikannya sebagai
landmark yang memudahkan pengunjung untuk mengetahui arah
perjalanan yang mereka tuju. Hanya saja disain tugu laweyan ini dirasa kurang menarik dan kurang interpretatif. Disain ulang tugu ini sangat diperlukan untuk
87
meningkatkan dan membantu interpretasi kawasan. Deretan showroom batik beserta pabriknya, deretan tembok tinggi yang dengan jalan sempit yang menjadi cirri khas laweyan di Kawasan Setono dan sayangan wetan ini turut menyumbangkan nilai tinggi untuk kualitas visual kawasan ini. Terdapat 3 kawasan (38%) dengan potensi sedang, yaitu Klaseman, Kidul Pasar, dan Kramat. Dari segi keteraturan, keterbukaan dan perawatan, keduanya memiliki nilai rendah karena didominasi ruang terbuka berupa kuburan maupun lahan kosong yang kurang terawat. Kedua kawasan ini berbatasan langsung dengan sungai Kabanaran sehingga memiliki potensi keterbukaan yang tinggi , namun membutuhkan perencanaan ulang yang matang karena keadaan sungai kabanaran yang tidak terawat dengan baik. Namun kelebihan lain dari kedua kawasan ini dari segi visual adalah adanya museum Samanhudi dan Situs Kabanaran. Kedua obyek ini memberi nilai tinggi untuk visual kawasan karena sangat mencerminkan keadaan sosial budaya kawasan. Situs Kabanaran merupakan situs bersejarah yang mengandung sejarah asal usul laweyan. Sedangkan museum Samanhudi menyimpan banyak peninggalan dan cerita tentang tokoh terkenal nasional, KH Samanhudi. Perlu penataan dan perencanaan ulang kedua obyek wisata ini agar dapat meningkatkan daya tariknya. Sedangkan
kawasan yang berpotensi rendah hanya ada 1 kawasan
(13%) yaitu Kwanggan. Pemandangan di kawasan Kwanggan ini didominasi rumah-rumah penduduk sederhana, bengkel, atau fungsi lainnya yang kurang representatif terhadap citra kawasan kampung batik. Kawasan Kwanggan tidak memiliki rumah usaha yang ada kaitannya dengan batik. Lingkungannya juga kurang terawat dan pemandangan yang diberikan juga tidak menarik. Namun secara garis besar hasil penilaian kualitas visual kawasan ini menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan memang potensial secara visual untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya. Kawasan kampung Batik Laweyan ini memang didominasi oleh bangunan yang sudah padat dan sangat mendominasi kawasan. Namun, karena sebagian besar bangunan ini adalah bangunan kuno yang memiliki arsitektur yang menarik, dan dilapisi temboktembok tinggi,
maka secara visual memberi nilai tinggi dan mencerminkan
keadaan sosial budaya kawasan. Hanya saja, arsitektur kuno dan antik ini seringkali banyak yang tidak dibuka untuk umum, dan sangat tertutup oleh tembok tinggi, padahal detil tata ruang di dalamnya sangatlah menarik. Perlu ada
88
campur tangan pemerintah dan stakeholder yang dapat mengangkat obyekobyek ini agar lebih dapat dinikmati dari luar dan menyumbangkan pemandangan visual yang lebih menarik bagi kawasan. Hal ini sesuai dengan prinsip dimensi visual
yaitu pengalaman kinestetik (kinaesthetic experience) sebagaimana
dikemukakan oleh Cullen (1961) dalam Carmona (2003). Ia mengatakan tentang ‘serial vision” dimana pengalaman merupakan serangkaian penyingkapan banyak hal disertai dengan adanya daya tarik karena unsur kontras seperti halnya juxtaposition dalam bidang arsitektur. Cullen mengatakan bahwa dalam lingkungan perkotaan seharusnya didisain dari sudut pandang orang yang bergerak, dimana mereka banyak menemukan pengalaman menarik dari pergerakan atau perjalanan mereka.
Prinsip ini dapat diterapkan dalam
perencanaan obyek wisata di Kampung batik Laweyan ini, dengan membuka rumah-rumah kuno yang tersembunyi di balik tembok tinggi. Pengunjung dapat berjalan menikmati obyek-obyek wisata dengan melakukan rute perjalanan dengan tema tertentu (jalur interpretatif) dan berhenti di obyek-obyek wisata tertentu seperti rumah-rumah kuno yang tersembunyi di balik tembok yang tinggi. Unsur kontras ini dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Bosselmann
(1998) dalam Carmona
(2003),
mengatakan bahwa
seseorang mengukur langkahnya dengan “jarak ritmik” yang berkaitan dengan pengalaman visual dan spasial. Bila seseorang yang mengambil jarak tempuh yang sama di lingkungan yang berbeda, akan memberikan persepsi terhadap waktu dan pengalaman yang berbeda-beda. Perjalanan di lingkungan yang tidak menarik akan memberi persepsi terhadap waktu yang terasa lebih lama dari kenyataan waktu yang sebenarnya. Prinsip Bosselmann ini dapat memberi inspirasi dalam meningkatkan daya tarik obyek wisata di kampung Laweyan lewat kualitas estetika-visual sehingga menimbulkan rasa betah bagi para pengunjung untuk mengeksplor seluruh kawasan di Kampung Batik Laweyan ini. Tabel 37. Kualitas estetika-visual lingkungan masing-masing kawasan NO
Lokasi pengamatan
Parameter Visual I II III
1 Kwanggan 3 2 Sayangan Kulon 20 3 Kramat 4 4 Sayangan Wetan 31 5 Setono 34 6 Lor Pasar 10 7 Kidul Pasar 5 8 Klaseman 22 Sumber: Olahan Data Lapang 2010
3 51 24 50 39 39 15 36
3 30 16 27 21 18 22 23
IV
V
3 66 29 72 67 57 33 43
3 72 21 65 64 44 20 41
N
K
15 239 94 245 225 166 95 165
R T S T T T S S
89
Keterangan : I = Architectural rhythm, V = order/keteraturan I I = Perawatan lingkungan, IV = Historical significance/content III = openness/keterbukaan, K = klasifikasi (T= Tinggi, S= Sedang, R= Rendah), N = nilai; nilai maksimal = 315; nilai minimal = 15 (telah disesuaikan dengan skala pembobotan)
Gambar 21. Peta kondisi kualitas estetika-visual lingkungan
Gambar 22 di bawah ini menunjukkan kawasan yang memiliki kualitas estetika-visual yang rendah di Kwanggan, sebagian Kramat , dan Kidul pasar.
Gambar 22. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan rendah
90
Gambar 23 di bawah ini menunjukkan kawasan yang memiliki kualitas estetika-visual yang tinggi. Kawasan yang dimaksud adalah Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, Setono, dan Lor Pasar.
Gambar 23. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan tinggi
91
5.1.4. Zona Wisata Budaya Potensial Setelah melakukan analisis kualitas budaya kawasan berdasarkan obyek dan atraksi wisata eksisting, kelayakan kawasan wisata dan analisis kualitas estetika-visual lingkungan, maka diperoleh peta kualitas budaya kawasan, peta kelayakan kawasan dan peta potensi kualitas estetika-visual lingkungan. Lalu dilakukan overlay terhadap ketiga peta potensi tersebut untuk memperoleh zona wisata budaya potensial. Overlay dilakukan dengan pembobotan masing-masing 40% untuk faktor kualitas budaya kawasan, 35% untuk faktor kelayakan kawasan, dan 25% untuk faktor kualitas estetika-visual lingkungan. Tabel 38 menunjukkan luasan dan prosentase wilayah yang memiliki potensi wisata budaya sebagai hasil overlay potensi kualitas budaya kawasan, kelayakan kawasan dan kualitas estetika-visual lingkungan. Tabel 38. Zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan No
1 2 3 4 5 6 7 8
Lokasi Pengamatan
Kualitas budaya kawasan
Kelayakan kawasan wisata
Kualitas estetikavisual lingkungan
(Bobot 45%)
(Bobot 35%)
(Bobot 25%)
1
1
1
2
3
2 1 1 3 1 1
3 2 2 2 1 2
Kwanggan Sayangan Kulon Sayangan Wetan Lor Pasar Kramat Setono Kidul Pasar Klaseman Total
Potensi wisata budaya
Luasan
Ha
%
R
1.88
7.6
3
T
3.00
12.1
3 3 2 3 2 2
T S S T R S
3.43 4.11 2.01 5.05 2.32 3.00 24.83
13.8 16.7 8.1 20.3 9.3 12.1 100
Sumber: Hasil olahan data 2010
Gambar 24 menunjukkan potensi wisata masing-masing kawasan. Terdapat 3 kawasan (sekitar 38%) yang memiliki potensi wisata budaya sangat potensial yaitu Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, dan Setono. Ketiga kawasan ini memiliki persyaratan potensi wisata tertinggi. Terdapat tiga kawasan dengan potensi sedang (sekitar 38%) yaitu Kramat, Lor Pasar,
dan Klaseman.
Sedangkan kawasan dengan potensi rendah hanya 24% (2 kawasan)
yaitu
Kawasan Kwanggan dan Kidul Pasar. Kedua kawasan ini memiki potensi wisata terendah karena kualitas estetika-visual lingkungan yang rendah dan kelayakan kawasan yang tidak potensial.
92
Gambar 24. Peta zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan 5.2. Analisis Tingkat Akseptibilitas Masyarakat Lokal Tahap penentuan zona akseptibilitas masyarakat lokal ditunjukkan dengan tingkat kesediaan masyarakat dalam menerima pengembangan lokasi penelitian menjadi kawasan wisata. Penilaian dilakukan oleh responden, dimana dari masing-masing kampung diambil 12 orang, sehingga jumlah dari responden seluruh kampung yang diteliti adalah 96 responden. Tabel 39 menunjukkan tingkat akseptibilitas masyarakat terhadap rencana pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta. Dari hasil survey lapang baik menggunakan kuisioner maupun wawancara langsung kepada masyarakat, sebagian besar masyarakat bersedia dan menerima jika tempat tinggal atau lingkungan disekitarnya dijadikan sebagai tempat wisata. Dari Tabel 40 menunjukkan bahwa sebanyak 3 kawasan (46.2%) dengan luas sekitar 11.48 Ha memiliki tingkat akseptibilitas tinggi (Sayangan Kulon, Sayangan Wetan dan Setono). Ketiga kawasan ini sebagian besar masyarakatnya memiliki usaha batik, baik pabrik, galeri, maupun toko batik. Sebenarnya hal ini juga dimiliki oleh kawasan Lor Pasar, Kidul Pasar, Kramat, dan Klaseman. Namun tidak semua masyarakat ini sepenuhnya menerima
93
pengembangan kawasan dengan beberapa alasan yang sifatnya pribadi. Hal ini sedikit menurunkan nilai penilaian sehingga tingkat akseptibilitas yang diperoleh termasuk dalam potensi sedang (sebanyak 46.1% ) dan menempati kawasan seluas 11.44 Ha. Sedangkan
7.7% dari kawasan yang menampati 1.88 Ha
(hanya 1 kawasan) memiliki tingkat akseptibilitas masyarakat yang rendah yaitu Kwanggan (Gambar 25). Tabel 39. Tingkat akseptibilitas masyarakat terhadap rencana pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta NO
Lokasi pengamatan
1
Kwanggan
2
Sayangan Kulon
3
Kramat
4
Sayangan Wetan
5
Setono
6
Lor Pasar
7
Kidul Pasar
8
Klaseman
Parameter I
II
III
IV
N
K
V
20.00
15.00
15.00
15.00
20.00
85.00
R
20.00
19.00
20.00
19.00
20.00
98.00
T
19.00
19.00
18.00
18.00
20.00
94.00
S
20.00
20.00
20.00
20.00
20.00
100.00
T
20.00
20.00
19.00
20.00
20.00
99.00
T
18.00
19.00
18.00
20.00
20.00
95.00
S
20.00
18.00
17.00
18.00
20.00
93.00
S
20.00
19.00
17.00
19.00
20.00
95.00
S
Sumber: Data Olahan 2010 Keterangan: I = Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata II = Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat III = Peran aktif masyarakat dalam pariwisata IV = Keuntungan kegiatan wisata V = Keberadaan wisatawan N = Nilai Total (maksimal 100.00, minimal 25, setelah disesuaikan dengan skala pembobotan) K = Klasifikasi (T= Tinggi, S= Sedang, R= Rendah)
Tabel 40. Luasan kawasan di Kampung Batik Laweyan berdasarkan tingkat akseptibilitas masyarakat terhadap pengembangan kawasan wisata Potensi Kawasan No
Lokasi Pengamatan
Total (Ha) Sangat Potensial
1 2 3 4 5 6 7 8
Kwanggan Sayangan Kulon Sayangan Wetan Lor Pasar Kramat Setono Kidul Pasar Klaseman Total Persentase (%)
Sumber: Olahan data 2010
Potensial
Tidak Potensial 1.88 Ha
3.00 Ha 3.43 Ha 4.11 Ha 2.01 Ha 5.05 Ha 11.48 Ha 46.2%
2.32 Ha 3.00 Ha 11.44 Ha 46.1%
1.88 Ha 7.7%
1.88 3.00 3.43 4.11 2.01 5.05 2.32 3.00 24.83 100%
94
Ketujuh kawasan (kawasan yang sangat potensial dan potensial ) ini boleh dikatakan memiliki kepentingan langsung terhadap pengembangan wisata budaya sehingga mereka sangat menerima. Kwanggan sebagai satu-satunya kawasan dengan potensi rendah, karena hanya sedikit sekali dari masyarakat di kawasan ini yang memiliki usaha batik sehingga mereka merasa tidak terlalu memiliki keuntungan dengan adanya
kegiatan
wisata.
Sebagian besar
masyarakat di kampung Kwanggan tidak memiliki usaha, dan sebagian kecil membuka usaha bengkel, toko, salon, dan kegiatan perekonomian yang tidak berkaitan dengan perbatikkan. Beberapa rumah tua di kawasan Kwanggan tidak berpenghuni.
Gambar 25. Peta zona tingkat akseptibilitas masyarakat di Kampung Batik Laweyan, Surakarta
5.3.
Zona Integratif Kawasan Wisata Budaya di Kampung Batik Laweyan Zona integratif diperoleh pada tahap sintesis dengan tehnik overlay yang
mengintegrasikan zona wisata budaya potensial (Pwb) dan potensi masyarakat lokal (Pml) (Tabel 41). Setelah peta-peta tematik tersebut dioverlay, diperoleh zona integratif kawasan wisata budaya yang nantinya akan digunakan sebagai zoba untuk pengembangan wisata budaya. Setelah itu dibuat klasifikasi potensi
95
yaitu kawasan sangat potensial (SP), potensial (P), dan tidak potensial (TP) (Gambar 26).
Bobot untuk aspek wisata budaya (67%) dan aspek masyarakat
(33%) ditentukan melalui proses pengambilan keputusan dari beberapa ahli dengan expert judgement. Dari hasil penilaian diperoleh bahwa zona integratif yang tergolong sangat potensial ada 38% (3 kawasan), yaitu kawasan Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, dan Setono. Kawasan yang potensial sekitar 38% ( 3 kawasan) yaitu Lor Pasar, Kramat dan Klaseman. Sedangkan kawasan tidak potensial sekitar 25% (2 kawasan ) yaitu Kwanggan dan Kidul Pasar. Tabel 41. Zona integratif kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan NO
Lokasi pengamatan
Potensi Wisata Budaya (Bobot 67%) Z S 67%
Potensi Masyarakat (Bobot 33%) Z S 33%
Zona Integratif N
1 Kwanggan TP 1 0.67 TP 1 0.33 1 2 Sayangan Kulon SP 3 2.01 SP 3 0.99 3 3 Kramat P 2 1.34 P 2 0.66 2 4 Sayangan Wetan SP 3 2.01 SP 3 0.99 3 5 Setono SP 3 2.01 SP 3 0.99 3 6 Lor Pasar P 2 1.34 P 2 0.66 2 7 Kidul Pasar TP 1 0.67 P 2 0.66 1.3 8 Klaseman P 2 1.34 P 2 0.66 2 Sumber : Data Olahan 2010 S = Skor K = Klasifikasi potensi (SP = Sangat Potensial, P = Potensial, TP = Tidak Potensial) Z = Zona (SP = Sangat Potensial, P = Potensial, TP = Tidak Potensial) N = nilai total setelah dilakukan pembobotan (Nilai maksimal 3, nilai minimal 1)
Gambar 26. Peta zona integratif kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta
K TP SP P SP SP P TP P
96
Setelah diperoleh zona integratif kawasan wisata budaya, lalu dilakukan klasifikasi untuk menentukan zona pengembangan kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wisata budaya batik di Kampung Batik Laweyan. Zona pengembangan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan (Gambar 27) dibagi dalam: 1)
Zona pengembangan wisata potensial (zona inti). Yang termasuk dalam zona ini adalah zona integratif hasil overlay yang menunjukkan kawasan yang memiliki potensi tinggi (T) untuk aspek wisata budaya dan masyarakat yaitu kawasan Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, dan Setono. Kawasan lain yang termasuk dalam zona pengembangan wisata potensial yaitu kawasan dengan klasifikasi potensi sedang (S) yaitu kawasan Lor Pasar, Kramat dan Klaseman. Ketiga kawasan ini, memiliki persyaratan sebagai kawasan zona pengembangan wisata potensial karena memiliki kualitas budaya sedang, memiliki beberapa obyek dan atraksi wisata yang berkualitas baik, dan dukungan masyarakat yang cukup potensial. Zona ini dimanfaatkan sebagai zona inti untuk pengembangan wisata interpretasi budaya batik Laweyan, karena memiliki hampir semua persyaratan untuk interpretasi budaya batik Laweyan. Pada zona ini memiliki obyek dan atraksi wisata, kualitas budaya, kelayakan kawasan potensial, dan kualitas estetikavisual potensial dan mendapatkan penerimaan yang tinggi dari masyarakat terhadap pengembangan kawasan untuk menjadi kawasan wisata budaya. Di dalam zona ini juga akan ditempatkan semua fasilitas untuk wisata budaya, baik interpretasi tentang budaya batik, maupun sejarah dan budaya kampung Laweyan. Keenam kawasan yang tergolong zona inti ini jaraknya berdekatan
dan
mengumpul
sehingga
akan
memudahkan
dalam
perencanaan tata letak fasilitas dan sirkulasi wisata. 2)
Zona pengembangan wisata tidak potensial (zona pendukung). Yang tergolong dalam zona ini adalah zona integratif hasil overlay yang memiliki potensi rendah (TP). Zona ini tidak digunakan sebagai inti wisata budaya karena tidak memiliki obyek dan atraksi wisata yang interpretatif terhadap budaya batik Laweyan. Zona ini digunakan sebagai zona pendukung wisata yang berfungsi sebagai area penerimaan (welcome area), area transisi, dan area untuk menempatkan fasilitas penunjang wisata seperti lahan parkir, fasilitas pelayanan dan kenyamanan lainnya seperti toilet, kafe dan restoran, dan pusat informasi pengunjung (VIC). Zona pendukung yang terdiri dari dua
97
kawasan yaitu kawasan Kwanggan dan Kidul Pasar memang letaknya berjauhan. Namun hal ini tidak akan menjadi kendala dalam perencanaan nanti karena masing-masing akan menjadi pendukung zona inti yang terletak di dekatnya. Tabel 42 menunjukkan luasan kawasan untuk pengembangan kawasan wisata budaya. Peta yang menunjukkan pembagian zona pengembangan kawasan wisata potensial dapat dilihat di Gambar 27. Tabel 42. Zona pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan No
Lokasi Pengamatan
Potensi Kawasan Sangat Potensial Potensial Tidak Potensial Zona Wisata potensial (zona inti)
1 2 3 4 5 6 7 8
Kwanggan Sayangan Kulon Sayangan Wetan Lor Pasar Kramat Setono Kidul Pasar Klaseman Total Persentase (%)
Zona Wisata tidak potensial (zona pendukung) 1.88 Ha
3.00 Ha 3.43 Ha 4.11 Ha 2.01 Ha 5.05 Ha 2.32 Ha 15.59 Ha 62.8%
3.00 Ha 5.01 Ha 20.2%
Total (Ha)
4.20 Ha 16.0%
1.88 3.00 3.43 4.11 2.01 5.05 2.32 3.00 24.83 100%
Sumber : Data Olahan 2010
Gambar 27. Peta zona pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta
98
Kawasan yang termasuk zona pengembangan wisata budaya tinggi (SP) meliputi kawasan Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, dan Setono yang selanjutnya ditetapkan menjadi zona inti kawasan wisata budaya Kampung Batik Laweyan. Salah satu faktor yang membuat kawasan ini memiliki nilai potensi tinggi adalah keberadaan obyek dan atraksi wisata potensial yang dimiliki keempat kawasan ini. Obyek dan atraksi yang dimiliki di kawasan potensi Tinggi (SP) ini adalah : a. Kampung Sayang Kulon :pabrik batik abstrak , galeri batik dan museum batik milik keluarga, rumah tua dan unik, langgar merdeka b. Sayangan Wetan : showroom dan galeri batik, pabrik batik, tugu laweyan c. Kampung setono : mesjid Laweyan, makam Kyai Ageng Henis, Langgar Ma’moer, showroom dan galer batik, rumah tua dan kuno di Sentono, pabrik batik, rumah pemberian soekarno untuk Samanhudi, bunker bawah tanah, batik furniture. Beberapa obyek yang seharusnya menarik dari segi sejarah seperti tugu Laweyan, dan bunker bawah tanah memang harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah kota maupun masyarakat laweyan. Untuk Tugu Laweyan, dibutuhkan perbaikan berupa perubahan disain yang lebih menarik dan representatif dan dapat memberi banyak informasi tentang sejarah kawasan tugu laweyan yang dulu merupakan pasar kuno Laweyan. Obyek ini mendapat penilaian rendah karena bentuk disain tugu yang tidak menarik dan tidak representatif terhadap citra kawasan. Sedankan bunker bawah tanah mendapat penilaian rendah karena letaknya yang berada di dalam rumah warga, sehingga ketersediaan obyek ini tidak selalu ada sepanjang waktu dan sangat tergantung pada kesediaan warga yang rumahnya ditempati bunker bersejarah ini. Kawasan yang juga termasuk zona inti adalah kawasan yang termasuk zona pengembangan wisata budaya sedang (S) yang meliputi kawasan Lor Pasar, Kramat, dan Klaseman. Kawasan Lor Pasar, yang berada tepat di tepi jalan raya atau jalan utama, memiliki jalur sirkulasi yang dapat digunakan sebagai jalur distribusi barang produksi di kawasan Kampung batik yang akan dikirim ke luar wilayah, atau sebagai jalur distribusi bahan baku yang akan digunakan pabrik-pabrik yang ada di dalam Kampung Laweyan ini. Di dalam kawasan ini dapat dibangun satu tempat khusus untuk menurunkan atau memuat barang-barang produksi batik laweyan. Di samping itu, jalur sirkulasi ini dapat
99
digunakan oleh masyarakat lokal sebagai jalur sirkulasi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan wisata. Untuk kawasan Kramat dan Klaseman digolongkan ke dalam zona inti karena
memiliki beberapa beberapa aspek yang tergolong potensial yaitu
kualitas budaya kawasan, kualitas estetika-visual lingkungan, kelayakan kawasan, dan akseptibilitas masyarakat . Kriteria potensial ini akan sangat baik dan memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai zona inti kawasan wisata. Untuk obyek dan atraksi wisata eksisting yang dimiliki kedua kawasan ini, tergolong obyek yang memiliki kualitas baik. Obyek dan atraksi wisata yang dimiliki kawasan ini meliputi: a. Kramat : Museum Samanhudi b. Klaseman : pabrik batik dan showroom batik, Laweyan Batik Centre c. Lor Pasar : Pabrik batik dan galeri batik Museum
Samanhudi
merupakan
obyek
potensial,
namun
tetap
memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah dan masyarakat setempat mengingat kondisinya saat ini yang sangat tidak layak dan tidak mencerminkan sebuah museum yang menarik untuk didatangi. Sedangkan Laweyan batik centre memiliki potensi yang rendah karena miskin atraksi dan tidak dimanfaatkan secara serius dan regular oleh Kampung batik Laweyan. Pembuatan program acara yang menarik di Laweyan batik center ini akan membantu meningkatkan daya tarik obyek ini dan akan meningkatkan kualitas wisata. Pabrik batik dan galeri yang ada di Lor Pasar memiliki kualitas baik sehingga dapat dipertahankan sebagai obyek wisata. Kawasan yang termasuk zona pengembangan wisata budaya dengan potensi rendah (TP) adalah daerah Kwanggan dan Kidul Pasar, yang selanjutnya ditetapkan menjadi kawasan pendukung wisata. Di dalam kawasan ini ditempatkan fasilitas pendukung wisata dan dijadikan kawasan penerimaan (welcome area) dan kawasan penempatan fasilitas pendukung wisata. Kawasan Kwanggan ini memiliki kelebihan dari segi aksesibilitas yang tinggi karena terletak tepat di tepi jalan utama dan tepat di pintu gerbang utama menuju kampung Batik Laweyan. Kawasan ini sangat sesuai untuk dijadikan kawasan penerima (welcome area). Di samping itu, kawasan ini akan ditempatkan fasilitas pendukung wisata yang berkaitan dengan pelayanan dan kenyamanan seperti pusat informasi pengunjung (VIC), toilet, café dan restoran, musholla, tempat parkir, dll. Kawasan ini sekaligus berguna sebagai zona transisi menuju ke zona
100
inti kawasan wisata budaya. Sedangkan kawasan kidul pasar terletak agak jauh dari jalan raya. Di kawasan ini tidak terdapat obyek wisata menarik kecuali situs kabanaran yang sebenarnya letaknya secara geografis berada di luar kawasan ini namun secara administratif berada di kawasan ini. Nilai cultural significance untuk situs kabanaran ini tergolong tinggi, namun secara visual tergolong rendah karena tidak terawat dengan baik. Kendala ini dapat diatasi dengan melakukan perbaikan pada situs ini agar menjadi kawasan yang menarik, dan kawasan kidul pasar dapat menjadi tempat peletakan fasilitas yang mendukung obyek wisata bersejarah ini. 5.4.
Rencana Pengembangan Kawasan Wisata Budaya di Kampung Batik Laweyan
5.4.1. Konsep Perencanaan Wisata Perencanaan
Lanskap
wisata
budaya
Kampung
Batik
Laweyan
didasarkan pada konsep pelestarian dan apresiasi kehidupan membatik di Kampung Batik Laweyan yang memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri, dalam rangka
mempertahankan
warisan
budaya
tak
memperhatikan unsur ekonomi masyarakat lokal.
benda,
dengan
tetap
Program pemerintah yang
telah menetapkan kawasan Kampung Batik Laweyan sebagai kawasan Cagar budaya sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya telah menjadi dasar yang kuat dalam mengupayakan tindakan pelestarian terhadap kehidupan sosial budaya beserta peninggalan sejarah yang terkandung di dalamnya.
Dengan adanya tujuan pelestarian dan pemanfaatan kawasan
yang mendukung pelestarian, maka konsep perencanaan yang paling tepat diterapkan di kawasan ini adalah ‘Laweyan sebagai kampung wisata pusaka yang interpretatif’. Menurut badan organisasi wisata dunia (WTO), wisata pusaka adalah kegiatan untuk menikmati sejarah, alam, peninggalan budaya manusia, kesenian, filosofi dan pranata dari wilayah lain. Sedangkan interpretatif artinya mampu memberi interpretasi atau informasi tentang sesuatu, dalam hal ini yaitu batik. Dengan konsep ini, diharapkan perencanaan seluruh kawasan dilakukan dengan pertimbangan untuk dapat memberi banyak informasi dan interpretasi tentang batik berikut kehidupan sosial budaya yang menyertai. Seluruh fasilitas wisata, jalur sirkulasi, obyek dan atraksi wisata, dirancang agar memenuhi tuntutan interpretasi yang berkaitan dengan budaya batik dan kehidupan masyarakatnya.
101
Pendekatan yang digunakan dalam perencanaan kawasan wisata budaya kampung Batik Laweyan adalah dengan pendekatan dua aspek yaitu aspek wisata, yang mengungkap potensi obyek dan atraksi wisatanya, dan potensi estetika-visual lingkungan fisik, serta aspek masyarakat lokal. Pendekatan ini diharapkan mampu menggali potensi kawasan dan memanfaatkan potensi tersebut dengan tepat sesuai dengan karakter kawasan sehingga pada akhirnya dapat tercipta kawasan yang sangat interpretatif terhadap kehidupan sosial budaya di dalamnya. Ciri khas yang paling menonjol dari kehidupan sosial budaya di kampung Laweyan ini adalah kehidupan membatik. Semua aspek yang diidentifikasi dan dianalisis, menunjukkan adanya kehidupan membatik yang sangat dominan. Latar belakang sejarah yang dimiliki kawasan juga erat kaitannya dengan kehidupan membatik tempo dulu hingga kini. 5.4.2. Konsep Ruang Kawasan Wisata Budaya Konsep ruang wisata budaya yang dikembangkan didasarkan pada kebutuhan ruang wisata budaya untuk menyampaikan informasi tentang budaya masyarakat lokal, yang dihubungkan oleh jalur sirkulasi yang membantu upaya interpretasi terhadap kawasan tersebut. Pada zona inti yang merupakan pusat aktivitas wisata utama untuk wisata budaya, dibagi menjadi dua ruang yaitu ruang transisi, dan ruang wisata utama, Pada tiap ruang wisata terdapat aktifitas dan fasilitas yang mendukung tema dan tujuan dari ruang wisata tersebut (Gambar 28). Ruang-ruang tersebut adalah : Kedua ruangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Ruang Transisi Merupakan ruang penghubung yang menghantarkan pengunjung dari welcome area menuju ruang wisata utama. Ruang ini juga berfungsi sebagai ruang informasi yang mengarahkan pengunjung untuk memilih wisata mana yang diinginkan setelah memasuki ruang wisata utama. Di dalam ruang ini terdapat fasilitas pameran batik, museum pusaka batik, fasilitas interpretasi batik, dan ruang interpretasi budaya dan sejarah kawasan Laweyan. 2) Ruang wisata utama: a) Edutourism Merupakan ruang wisata utama yang mengakomodasikan aktifitas dan fasilitas wisata untuk wisata edukasi tentang perbatikan. Wisata
102
edukasi di sini adalah mengajak wisatawan untuk mengenal lebih jauh tentang perbatikan mulai dari sejarahnya, filosofinya, motif dan disain, proses pembuatan batik, hingga produk batik. Wisatawan juga dapat ikut berpartisipasi dalam pembuatan batik ini dengan belajar langsung dari para pembatik yang ada di kampung Laweyan. Ruang ini merupakan ruang wisata yang memiliki obyek dan atraksi wisata yang berkaitan dengan perbatikan seperti pabrik batik dan showroom batik. Di dalam ruang ini juga terdapat ruang pelatihan bagi pengunjung yang ingin serius menekuni keahlian membatik dalam kurun waktu tertentu dan juga terdapat ruang interpretasi batik. b) Culture tourism Merupakan ruang
yang mengakomodasikan obyek dan atraksi
budaya dan sejarah. Aktivitas wisata budaya yaitu melakukan kampoeng tour untuk melihat lebih dekat kehidupan sosial budaya di kampung Laweyan yang sangat unik dan asli, baik dari bentuk arsitektural rumah, maupun sejarah yang terkandung di Kampung Laweyan. Wisatawan diharapkan dapat mengeksploitasi kampung Laweyan
mulai
dari
sejarah
terbentuknya
Laweyan
hingga
terciptanya image kampung ini sebagai kampung batik beserta filosofi dan kearifan lokal yang dimiliki oleh kampung ini yang masih tercermin hingga kini melalui arsitektur bangunan dan morfologi kampung dan kehidupan sosial yang masih dijalani hingga kini. c) Welcome area (ruang penerimaan) Ruang ini merupakan area penerimaan yang berfungsi sebagai pintu masuk ke objek dan atraksi wisata. Area ini berisi fasilitas pelayanan seperti ruang duduk, ruang interpretasi wisata (sesuai dengan tema masing-masing wisata), dan fasilitas lain yang dibutuhkan wisatawan untuk melakukan touring mengikuti jalur interpretasi. Pada zona pendukung terbagi atas entrance (pintu masuk utama) , visitor centre, dan ruang fasilitas pelayanan sebagai pendukung wisata. Ruang-ruang tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Entrance (pintu masuk utama) Merupakan pintu masuk ke kampung Batik Laweyan. Pintu masuk ini langsung berhadapan dengan jalur primer yaitu Jl. Dr. Radjiman yang
103
merupakan jalan utama di wilayah kelurahan Laweyan yang juga menghubungkan kota Solo dan Jogjakarta. 2) Ruang visitor centre (VIC) Merupakan area penerimaan menuju wisata budaya. Area ini berisi pusat informasi bagi pengunjung (VIC) yang masuk ke Kampung Batik Laweyan. Area ini bertujuan untuk memberikan pelayanan dan informasi bagi pengunjung yang akan berwisata budaya. 3) Ruang fasilitas pendukung wisata Merupakan
ruang
yang
berisi
fasilitas-fasilitas
pendukung
yang
dibutuhkan dalam aktivitas wisata. Fasilitas-fasilitas tersebut dapat berupa fasilitas pelayanan dan fasilitas kenyamanan. Fasilitas pelayanan seperti toilet, mushola, instalasi listrik dan air, tempat parkir, penyediaan sarana
transportasi,
ruang
pelatihan,
dll.
Sedangkan
fasilitas
kenyamanan seperti café dan restoran, ruang istirahat, dll. Ruang pelayanan wisata ini terdapat di kedua zona, baik zona inti wisata maupun zona pendukung wisata
ENTRANCE
AREA TRANSISI
RUANG WISATA UTAMA
Gambar 28. Konsep ruang kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta
5.4.3. Konsep Sirkulasi Kawasan Wisata Budaya Konsep dasar sirkulasi untuk pengembangan wisata ini memakai sistem Kampong tour dengan konsep learn by experiencing and exploring. Jadi konsep ini semacam upaya mengenal kampung Laweyan dengan tidak hanya sekedar melihat-lihat, tetapi juga ikut terlibat dalam beberapa aktivitas tertentu yang dapat memberi pengalaman langsung bagi pengunjung sehingga diharapkan nantinya dapat memberikan pemahaman yang mendalam bagi para pengunjung tentang
104
kampung batik Laweyan beserta kehidupan sosial budaya di dalamnya (Gambar 29). Aktivitas menelusuri kampung ini difasilitasi dengan jalur sirkulasi. Di samping itu sistem jalur wisata di kawasan wisata budaya kampung Batik Laweyan juga menekankan pada visualisasi untuk mengamati dan menikmati atraksi dalam kesatuan yang utuh, terstruktur, berurutan dan ada keterkaitan satu sama lain dalam satuan ruang dan waktu. Menurut Simonds (1983) , dalam touring system perlu mempertimbangkan tentang: 1. Jarak atau waktu tempuh yang merupakan fungsi dari area, sedangkan area merupakan fungsi dari ruang, sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh 2. Keutuhan, yang menggambarkan keharmonisan dan unity dari elemenelemen, sehingga elemen-elemen tersebut tidak terpencar-pencar 3. Sekuen, yang menggambarkan urutan terhadap obyek yang mempunyai persepsi kontinuitas sehingga merupakan penorganisasian dari elemenelemem pada ruang.
:
Jalur sirkulasi primer
:
Welcome area
:
Jalur sirkulasi sekunder
:
Ruang transisi
:
Jalur sirkulasi tertier
:
Ruang wisata utama
:
Entrance
:
Kawasan wisata
Gambar 29. Konsep ruang dan sirkulasi kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta
105
Pada dasarnya jalur sirkulasi kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan terbagi menjadi tiga yaitu jalur sirkulasi primer, sekunder, dan tertier. Jalur sirkulasi primer di kawasan wisata budaya ini adalah jalan utama DR. Rajiman. Jalan ini berfungsi sebagai akses utama untuk menuju kawasan. Baik dari terminal, bandara, luar kota, dll. Akses menuju kawasan wisata ini sangat tinggi. Pengunjung dapat mendatangi kawasan dari kedua arah, baik dari arah Yogyakarta atau Semarang, maupun dari arah Sukoharjo ataupun Surabaya. Selanjutnya, jalur sirkulasi sekunder berfungsi menghubungkan antar kawasan. Jalur ini dapat menggunakan kendaraan becak dalam jumlah yang sangat terbatas dan tidak diperkenankan untuk menjadi tempat parkir. Kendaraan roda 4 tidak diperkenankan masuk ke dalam kawasan wisata. Sedangkan jalur tertier adalah jalur pejalan kaki yang berupa gang-gang yang menghubungkan satu obyek wisata dengan obyek lainnya, baik di dalam masing-masing kawasan, ataupun antar kawasan. Jalur sekunder dan tertier di zona inti tidak memperkenankan kendaraan roda empat untuk melintas. Namun, terdapat satu jalur sekunder di kawasan Lor Pasar yang dapat dilintasi kendaraan roda empat karena merupakan jalur penurunan dan penaikkan muatan hasil produksi batik bagi penduduk setempat dan menjadi pintu masuk dan keluar bagi aktivitas produksi agar tidak saling mengganggu dengan aktivitas wisata. 5.4.4. Pengembangan Aktifitas dan Fasilitas di Kawasan Wisata Budaya Tabel 42 di bawah ini menunjukkan hubungan antara ruang dan aktivitas beserta fasilitas yang dibutuhkan. Aktivitas di kawasan wisata budaya ini dibagi berdasarkan aktivitas/kegiatan ekonomi masyarakat lokal dan aktivitas wisata pengunjung. Aktivitas
ekonomi
yang
dilakukan
masyarakat
lokal,
terbagi-bagi
berdasarkan ruang yang dibutuhkan. Ruang atau zona yang menampung aktivitas ini terbagi atas zona inti dan zona pendukung. Pada zona inti, maka aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat lokal adalah aktivitas yang terkait langsung dengan wisata budaya seperti menjual batik, membuat batik, memamerkan batik, maupun kegiatan yang berhubungan dengan budaya dan sejarah kawasan.
106
Tabel 43. Rencana aktivitas dan fasilitas untuk zona inti di kawasan wisata budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta Ruang Wisata Zona Wisata
Transisi Aktifitas
Fasilitas
Penerimaan Pusat informasi wisatawan wisata budaya Pusat Interpretasi Ruang galeri budaya laweyan Ruang galeri batik
Wisata Utama Aktifitas EduTourism (wisata batik) -pengunjung Wisata pasif: Melihat proses pembuatan batik Melihat galeri batik Melihat pameran seni batik Melihat festival berkaitan dengan batik Melihat museum batik Wisata aktif: Ikut pelatihan membatik Berbelanja produk batik
Zona Inti
-masyarakat lokal Membuat furniture batik Membuat dan memproduksi batik Menjadi pemandu di gedung interpretasi batik Menjadi karyawan di toko atau pabrik batik Membuat art gallery Menjual dan memamerkan hasil produksi batik
Fasilitas
Showroom batik Pabrik batik Ruang interpretasi batik Ruang pelatihan membatik Ruang pameran dan panggung festival batik
Ruang pelatihan (Laweyan Batik Centre) Galeri batik dan ruang pameran batik Pabrik furniture Pabrik batik VIC, welcome area, obyek wisata Galeri dan toko batik, pabrik batik Galeri galeri
107
Lanjutan Tabel 43. Ruang Wisata Zona Wisata
Transisi Aktifitas
Fasilitas
Wisata Utama Aktifitas Culture Tourism (Wisata budaya dan sejarah) -Pengunjung: Wisata pasif: Melihat peninggalan sejarah Mendengar sejarah dan menyaksikan festival Menikmati pemandangan situs bersejarah Melihat gedung-gedung bersejarah Melihat arsitektur bangunan ciri khas Kampung Laweyan
Zona Inti
Wisata aktif: Kampong tour dengan berjalan kaki di kawasan Berperahu dari titik mesjid Laweyan sampai pelabuhan Kabanaran (riverwalk boat tour) Berziarah di makam Kyai Ageng Henis
-Masyarakat lokal: Menjadi pemandu wisata budaya Menampilkan pertunjukkan seni budaya Membuat kerajinan/ handycarft Melakukan ritual adat
Zona Inti
Welcome area • penerimaan wisatawan di ruang wisata utama
Fasilitas
• Ruang interpretasi • Museum • Plaza dan monument sejarah • Pelabuhan kabanaran (recreate) • Riverfront theatre • Jalur sirkulasi yang nyaman • Sungai Kabanaran yang bersih dan terawat • Perahu • Historical Riverfront and sidewalks , educational components di tepi S. Kabanaran • Sculpture
Welcome area dan VIC Riverfront theatre Pabrik atau ruang galeri
• Pusat informasi wisata/ VIC
108
Tabel 44. Rencana aktivitas dan fasilitas untuk zona pendukung wisata budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta Ruang Wisata Zona Wisata
Entrance Aktifitas Menerima wisatawan
Fasili tas Tempat Parkir Taman Shelter
Visitor Centre Aktifitas Menerima wisatawan
Fasilitas Gedung pusat informasi wisata
Zona Pendukung
Ruang Fasilitas Pendukung Aktifitas
Fasilitas
-Makan -Istirahat -Sholat -Berbelanja souvenir -Pelatihan batik massal -Menginap
-Restoran dan café -Mushola -Toko souvenir -Tempat parkir -Ruang pelatihan -Sarana untuk kegiatan riverwalk boat tour di sungai Kabanaran -Taman -Gazebo -Tempat penginapan
Sedangkan aktivitas wisata yang dilakukan oleh pengunjung terbagi-bagi berdasarkan zona inti dan zona pendukung sebagaimana aktivitas ekonomi. Pengunjung yang hendak melakukan aktivitas wisata yang berkaitan dengan wisata budaya maupun sejarah, dapat dilakukan di zona inti. Sedangkan aktivitas yang dilakukan pengunjung yang tidak terkait langsung seperti beristirahat, atau parkir, dll dapat dilakukan di zona pendukung. 5.4.5. Program Pengembangan Perencanaan Wisata Tujuan dari program pengembangan dan penataan kawasan wisata adalah untuk mendukung kelestarian budaya batik yang telah menjadi warisan budaya yang telah diakui dunia dan menjaga kelestarian kawasan dan keberlanjutan kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal, serta menjadi wadah edukasi warisan budaya batik.
Kehadiran obyek dan atraksi
wisata yang terdapat di kawasan ini merupakan sumber daya wisata yang sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam
rangka mencapai tujuan perencanaan.
Program ini diarahkan pada setiap obyek dan atraksi wisata potensial yang
109
berada di kawasan ini dengan melalui upaya rekonstruksi, revitalisasi dan preservasi, dan jalur-jalur sirkulasi yang digunakan untuk mencapai obyek dan atraksi wisata yang ada (Lampiran 1 dan 2).
5.5.
Perencanaan Lanskap Wisata Budaya Perencanaan lanskap wisata budaya batik didasarkan pada hasil analisis
sebelumnya dan konsep yang dikembangkan. Rencana tata ruang yang tersaji dalam Gambar 30 tersebut diperoleh berdasarkan hasil analisis
terhadap
kualitas budaya yang didasarkan pada potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, kelayakan kawasan, kualitas estetika-visual, dan akseptibilitas masyarakat. Potensi obyek dan atraksi wisata eksisting beserta jenis aktivitas wisata
yang telah
dianalisis
sebelumnya menjadi pertimbangan
dalam
pembuatan block plan atau tata ruang (Gambar 30). Selain itu, pertimbangan kualitas budaya kawasan, kelayakan kawasan, dan kualitas estetika-visual, juga turut menentukan pembagian ruang wisata di dalam kawasan. Dari konsep rencana tata ruang tersebut, diturunkan berbagai fasilitas untuk menampung aktivitas wisata yang dibutuhkan, dan dituangkan dalam gambar site plan (Gambar 31). Pada gambar tersebut memperlihatkan letak-letak fasilitas perencanaan pada tapak, zonasi ruang wisata, dan ruang-ruang untuk penghijauan dan jalur sirkulasi. Perencanaan pengembangan lanskap wisata budaya di Kampung Batik Laweyan terdiri atas: 1. Penerapan
konsep
pelestarian
budaya
dengan
membuat
wisata
interpretasi. Diharapkan dengan perencanaan yang berlandaskan pada konsep pelestarian pusaka dan sejarah batik, dapat turut menjaga kelestarian budaya lokal kampung Laweyan 2. Pengembangan
perencanaan
benar-benar
didasarkan
pada
nilai
signifikansi budaya dan sejarah obyek wisata yang dimiliki. 3. Mempertahankan budaya asli Laweyan
dengan memperhatikan SK
walikota tentang penetapan kampung Laweyan sebagai cagar budaya, dengan membangun dan mengembangkan kawasan lewat upaya rekonstruksi, revitalisasi dan preservasi bagi obyek-obyek bersejarah. 4. Wisata budaya ini berkaitan dengan upaya edukasi. Fasilitas interpretasi yang dibangun harus sesuai dengan tujuan interpretasi itu sendiri. 5. Melestarikan budaya lokal seperti menyelenggarakan pagelaran seni dan budaya,
dan
mengembangkan
usaha
lokal
seperti
penginapan
110
(homestay), mengembangkan usaha pembuatan dan penjualan souvenir, pengembangan obyek dan atraksi
wisata yang dapat meningkatkan
ekonomi masyarakat lokal. 6. Meningkatkan aktifitas budaya dengan menghidupkan tradisi lama melalui program pagelaran seni tari, wayang, seni musik, dll. 7. Membuat program museum proaktif dengan mengadakan demonstrasi maupun
workshop
berkaitan
dengan
upaya
konservasi
maupun
preservasi obyek-obyek bersejarah di laweyan 8. Mengadakan festival tahunan yang berkaitan dengan budaya batik termasuk karnaval batik maupun pagelaran busana batik di kampung batik Laweyan 9. Mengadakan pelatihan batik yang membutuhkan kurun waktu tertentu sehingga mendorong pengunjung untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan menginap di homestay di kawasan Kampung Laweyan.
Gambar 30. Rencana tata ruang kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta
111
Gambar 31. Gambar site plan kawasan wisata budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta
112
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan 1.
Kampung Batik Laweyan memiliki potensi fisik untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya dilihat dari aspek kualitas budaya kawasan, kelayakan kawasan dan kualitas estetika-visual lingkungan. Berdasarkan penilaian terhadap potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, diperoleh hasil bahwa 16% dari obyek dan atraksi berkategori sangat baik untuk dikembangkan, dan dikembangkan.
Sedangkan
50% berkategori baik untuk
penilaian
kualitas
budaya
kawasan
berdasarkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, diperoleh hasil bahwa kawasan dengan
kategori sangat potensial sebesar 13% dan
yang tergolong potensial sekitar 25%.
Kelayakan kawasan terdiri dari
25% kawasan sangat potensial dan 50% tergolong potensial, dan dari segi kualitas estetika-visual lingkungan menunjukkan hasil bahwa 50% kawasan tergolong sangat potensial dan 38% kawasan tergolong potensial. 2.
Pengembangan Kampung Batik Laweyan sebagai kawasan wisata budaya didukung oleh masyarakatnya dimana 87.5% masyarakat di seluruh kawasan setuju dengan adanya pengembangan kawasan sebagai tujuan wisata dan bersedia menerima kehadiran wisatawan. Mengingat kawasan ini padat penduduk, masalah kepemilikan lahan bisa menjadi kendala. Hal ini dapat diatasi dengan kebijakan pemerintah dalam pemberian kompensasi yang senilai dengan pengorbanan yang diberikan masyarakat setempat.
3.
Zona integratif antara potensi wisata dan akseptibilitas menghasilkan 38 % sangat potensial (SP), 38 % potensial (P), 24% tidak potensial (TP). Zona pengembangan dibagi menjadi zona inti (zona SP dan P) dan zona pendukung wisata (zona TP). Dari hasil analisis ini dapat dilakukan pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata budaya dengan memanfaatkan potensi fisik dan potensi masyarakat yang dimiliki. Pada perencanan, zona inti dikembangkan untuk menampung aktivitas wisata budaya dan aktivitas masyarakat yang terkait langsung dengan wisata budaya. Zona pendukung menampung aktivitas selain wisata.
113
6.2. Saran
1. Potensi wisata budaya di kampung Batik Laweyan harus dikembangkan dengan perencanaan yang integratif, di tingkat pemerintahan lokal, daerah, maupun pusat. 2. Kebijakan yang mendukung pengembangan wisata di Kampung Batik Laweyan hendaknya disertai dengan langkah implementasi yang konkrit dan pengawasan yang berkesinambungan. 3. Hasil perencanaan seperti yang tertera pada gambar site plan (Gambar
31) dapat diterapkan di Kampung Batik Laweyan. 4. Pemerintah daerah juga harus memfasilitasi sarana dan prasarana seperti jalan, transportasi, tempat sampah, sarana interpretasi, dll. Di samping itu pemerintah juga hendaknya membantu sarana promosi wisata. 5. Masyarakat lokal hendaknya menginventarisasi ritual adat dan festivalfestival budaya yang biasa dilakukan sejak nenek moyang, untuk meningkatkan diversifikasi atraksi wisata yang menjadi daya tarik pengunjung dan upaya pelestarian budaya.
114
DAFTAR PUSTAKA
Avenzora R. 2008. Penilaian Potensi Obyek dan Atraksi Wisata. Aspek dan Indikator penilaian. Di dalam: Avenzora, R, Editor. Ekoturisme Teori dan Praktek. BRR NAD – NIAS. Carmona M, Heath T, Oc T, Tiesdell S. 2003. Public Places Urban Spaces. London: Architectural Press. Catanese AJ, Snyder JC. 1988. Urban Planning. Secong Edition. New York: McGraw-Hill Book Company. [BPS]
Badan Pusat Statistik, Kotamadya Surakarta. Surakarta Dalam Angka 2009
2009. Kotamadya
Daryanto. 1989. Teknik Pembuatan Batik dan Sablon. Semarang: CV. Aneka Ilmu. Darsoprajitno S. 2002. Ekologi Pariwisata: Tata Laksana Pengelolaan Obyek dan Daya Tarik Wisata. Penerbit: Angkasa. Departemen Perindustrian -Badan Penelitian dan Pengembangan Industri. 1987. Sejarah Industri Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Dewi EP. 2009. Analisis Ruang Terbuka public Bersejarah dalam Rangka Revitalisasi Kota Tua Jakarta [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Pengembangan Produk Pariwisata. 2001. Pedoman Obyek dan Daya Tarik Wisata Andalan. Jakarta. Droste, BV, Plachter H, Rossler M, editor. Cultural landscapes of Universal Value. Components of Global Strategy. Stutgart: Gustav Fischer Verlag Jena in cooperation with UNESCO. European Association Historic Towns and Regions (EAHTR). 2006. Sustainable Cultural Tourism in Historic Towns and Cities. The Dubrovnik Declaration, Council of Europe ,Guidelines. Gunn CA. 1994. Tourism Planning : Basis, concept, case. Third Edition. Taylor and Francis. Washington DC. Hamzuri. 1985. Batik Klasik . Jakarta: Penerbit Djambatan Hardjowigeno, S dan Widiatmaka AS. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Bogor : Fakultas Pertanian IPB.
115
Helly LP, Budiarti R. 2005. Cultural Significance Valuation Case Study: Corridor of Cut Mutia Street-Suropati Park menteng Jakarta. Di dalam : Saladin, A and Widiarso, T, editor. International Seminar on Modern Urban and Architectural Heritage in Jakarta.; Jakarta, 5 Des 2005. Jakarta: Architecture Department Faculty of Civil Engineering and Planning Trisakti university Jakarta-Indonesia. 2005. Hlm 51- 65. Hodder I. 1991. Interpretative Archaeology and Its Role. USA: American Antiquity . Holden A. 2000. Environment and Tourism. London: Routledge. Inskeep E. 1991. Tourism Planning : An Integrated and Sustainable Development Approach. New York.USA: Van Nostrand Reinhold. [ICOMOS] International Council on Monuments and Sites.1999. The Burra Charter. Australia: Australia ICOMOS.
[ICOMOS] International Council on Monuments and Sites. 1999. International Cultural Tourism Charter. Managing Tourism at Places of Heritage Significance.
[ICOMOS] International Council on Monuments and Sites. 2002. ICOMOS international cultural tourism charter. Principles and guidelines for managing tourism at places of cultural and heritage significance. International council on monuments and sites. ICOMOS International Cultural Tourism Committee. Jafari J. 2000. Encyclopedia of Tourism. London : Routledge. Kerr JS. 1985. The Conservation Plan. The National Trust of Australia. Knudson DM. 1980. Outdoor Recreation. London: Mac Millan Publishing Co.,Inc. Knudson DM. 1995. Interpretation of Cultural and Natural Resoures. Pensylvania: Venture Publishing, Inc. Koentjaraningrat. 1982. Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara baru. Mason P. 2003. Tourism Ompacts, Planning and Management. Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann. Meinig DW. 1979. The Interpretation of Ordinary Landscapes. New York: Oxford University Press. Nasar JL. 1998. The Evaluative Image of The City. London: Sage Publications. Nurisjah S. 2000. Rencana Pengembangan Fisik Kawasan Wisata Bahari di Wilayah Pesisir Indonesia. Buletin Taman dan Lanskap Indonesia 2000.
116
Nurisjah S dan Q. Pramukanto. 2001. Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian Lanskap dan Taman Sejarah: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Arsitektur Lanskap. Orbasli A. 2000. Tourists in Historic Towns. Urban Conservation and Heritage Management. London: E & FN Spon. Pearce
PL, Fagence M. 1996. The Legacy of Kevin Lynch: Research Implication. Annals of Tourism Research 23;3: 576-598
Priyatmono AF. 2004. Studi kecenderungan perubahan morfologi kawasan di Kampung Laweyan Surakarta. Tesis Tidak diterbitkan, Program Studi Teknik Arsitektur Konsentrasi Desain Kawasan Binaan Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Sauer CO. 1925. The Morphology of Landscape. In Land and Life: A Selection from the Writings of CO Sauer. Leighley J (editor). Cetak ulang 1963. Berkeley : University of California press. Setiawaty M. 2006. Developing Touring Plan Using Geographic Information System Based on Visual, Natural, and Cultural Qualities in Parangtritis Coastal Area, Yogyakarta, Indonesia [Tesis]. Graduate School Bogor Agricultural University. Sidharta, Budihardjo E. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Simonds JO. 1983. Landscape Architecture. New York: McGraw-Hill Book Co
Smith SLJ. 1989. Tourism Analysis. A Handbook. England: Longman Scientific & Technical. Soekadijo. 1996. Anatomi Pariwisata. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama. Soemarwoto O. 1996. Ekologi Lingkungan Hidup Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan Suwantoro, G. 2004. Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta: Andi Publisher. Tilden F. 1967. Interpreting Our Heritage. Third Edition. USA: The University of North Caroline Press. Tishler
WH. 1982. Historical Landscapes : An International Preservation Perspective. Landscape Planning. Page : 91-103
Uzzell DL. 1998. Planning for Interpretive Experiences in Contemporary Issues in Heritage and Environmental Interpretation. London: The Stationary Office.
117
Widayati N. 2000. Penyertaan Peran Serta Masyarakat dalam Program Revitalisasi kawasan Laweyan Surakarta. Dimensi Teknik Arsitektur. Vol. 28, No. 2, Desember. Hlm 88 – 97. Widayati N. 2002. Permukiman Pengusaha Batik di Laweyan Surakarta.Tesis tidak dipulikasikan. Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Widayati N. 2003. The Indonesian Experience: Revitalization The Batik Kampong in Laweyan Indonesia. Di dalam : Syed Zainol Abidin IDID, editor. 2nd IFSAH 2003 & International Symposium on Asian Heritage. Proceedings of the Symposium at the 2nd Meeting on asian Heritage; Malaysia, 22 August – 10 Sept 2003. Malaysia: Urban Design and Conservation Research Unit (UDCRU) : Faculty of Built Environment : Universiti Teknology Malaysia. Paper No.14. Yoeti, OA. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Cetakan kedua. Jakarta: Pradnya Paramita Yudasmara GA. 2004. Analisis Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Secara Berkelanjutan (Studi kasus Pulau Menjangan Kabupaten Buleleng – Bali ). [Tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, InstituPertanian Bogor. Yusiana, L.S. 2007. Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan di Teluk Konga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Tesis Program Studi Arsitektur Lanskap. Sekolah Pascasarjana IPB .Bogor.
115
LAMPIRAN
116
Lampiran 1. Program pengembangan ruang wisata budaya (culture tourism) Obyek 1. Mesjid Laweyan
Absolut value • Cikal bakal budaya dan sejarah laweyan dan Surakarta • Sejarah Kerajaan Pajang yang penting bagi Masyarakat laweyan, Surakarta maupun Jawa pada umumnya • Sejarah peralihan Hindu ke Islam • Cikal bakal usaha perbatikan di Laweyan • Preservasi bangunan bersejarah yg berumur ratusan tahun
Program Contoh Arah Pengembangan - Menjadikan kawasan Mesjid Laweyan ini sebagai cikal bakal budaya perbatikan di Surakarta pada umumnya, dan Kampung laweyan pada khususnya Penataan bangunan sekitarnya agar tidak menutupi keunikan bangunan mesjid laweyan dan agar sinergi dengan ciri khas arsitektur dan riwayat bangunan ini Pencahayaan yang cukup di malam hari dan pelebaran jembatan agar Kondisi eksisting lebih nyaman dan memberi pemandangan luas mengarah ke mesjid Pembersihan air sungai dari berbagai sampah dan polusi yangmengganggu Penyediaan fasilitas pendukung wisata seperti pusat informasi, dan papan informasi, buklet ttg sejarah singkat kawasan dan bangunan Mesjid Laweyan Menjaga upaya preservasi untuk Kondisi yang diharapkan mesjid ini sesuai SK walikota Menjadi start tour untuk riverwalk boat tour di sepanjang S. Kabanaran
119
117 120
Lanjutan Tabel Lampiran 1. Obyek 2. Makam kuno dan Pohon tua
Absolut value • Makam yang bernilai sacral dan unik • Diyakini sebagai tempat keramat dan suci • Makam Kyai Ageng henis, pendahulu Laweyan • Makam pejabat kerajaan di tahun 1700an • Tempat tumbuhnya pohon Nagasari yang berusia ratusan tahun
Program - Menjadikan kawasan ini sebagai kawasan ziarah - Penataan kawasan dengan elemenelemen pendukung yang dapat menguatkan unsur kesakralan dan keunikan yang ada sebagai tempat keramat dan suci - Renovasi dan revitalisasi struktur yang masih asli dan bernilai tinggi - Memberi akses yang mudah menuju makam ini - Peletakan papan interpretasi yang sesuai dengan kehadiran mesjid laweyan yang ada di kompleks ini juga
Contoh Arah Pengembangan
Kondisi eksisting
118
Lanjutan Tabel Lampiran 1. Obyek 3. Sungai Kabanara n
Absolut value • Situs tempat Bandar besar pada jaman Kerajaan Pajang
Program - Keadaan sungai tidak terpelihara dengan baik. Perlu adanya penanaman vegetasi tepi sungai sebagai buffer hijau utk melindungi dari erosi, longsor dan banjir
Contoh Arah Pengembangan
- Perlu pembuatan retaining wall yang sesuai dengan kondisi sungai
- Perlu pemantauan pembuangan limbah industry, baik batik maupun industry lainnya
Kondisi eksisting
Rencana pengembangan
121
119 122
Lanjutan Tabel Lampiran 1. Obyek
Absolut value Situs kabanaran
Program
Contoh Arah Pengembangan
- Dibuat riverwalk yang menarik
Kabanaran Riverwalk (perkiraan gambaran kondisi yang diharapkan) - Perlu ditambahkan signage atau elemen2 di tepian sungai, yang bisa merepresentasikan sejarah Bandar kabanaran ini di tempo dulu
Sculpture yang menggambarkan kondisi bandar kabanaran tempo dulu sebagai darana interpretasi kawasan
120
Lanjutan Tabel Lampiran 1. Absolut value Obyek
Program - Dibuat teater di tepi sungai untuk menampilkan acara-acara tradisional kampung Laweyan ataupun festivalfestival budaya
Contoh Arah Pengembangan
Kabanaran Riverside Theatre (perkiraan gambaran yang diharapkan) - Membuat riverwalk boat tour
Kabanaran riverwalk boat tour dengan café dan resto di tepi sungai (kondisi yang diinginkan
123
121 124
Lanjutan Tabel Lampiran 1. Absolut value Obyek 4. Langgar • Bangunan Merdeka bersejarah sebagai saksi perjuangan rakyat meraih kemerdekaan
Program - Dilakukan renovasi dengan yang sangat memperhatikan nilai-nilai kesejarahan bangunan.
Contoh Arah Pengembangan
Kondisi eksisting
122
Lanjutan Tabel Lampiran 1 Obyek 5. Museum Samanhu di
Absolut value • Menyimpan berbagai peninggalan KH Samanhudi, penggerak Syarikat Dagang islam.
Program - Perlu penataan ulang koleksi-koleksi yang dimiliki, pembangunan museum dengan bentuk arsitektur yang lebih mendukung dan lebih sesuai dengan sosok dan sepak terjang KH Samanhudi - Penataan kawasan sekitar bangunan ini , agar memperkuat karakter bangunan dan nilai sejarah yang dimiliki - Perlu peletakan papan interpretasi dan pusat informasi yang member banyak informasi tentang bangunan ini
Contoh Arah Pengembangan
Kondisi eksisting
Rencana pengembangan
125
123 126
Lanjutan Tabel Lampiran 1. Absolut value Obyek 6. Rumah • Saksi sejarah pemberia pergerakan n Syarikat dagang Soekarno Islam yang untuk dipelopori oleh Samanhu KH Samanhudi, di saudagar batik laweyan.
Program - Perlu perawatan bangunan beserta peninggalan2 penting yang banyak menyimpan informasi tentang KH Samanhudi - Perlu peletakan papan interpretasi dan pusat informasi yang member banyak informasi tentang bangunan ini
Contoh Arah Pengembangan
Kondisi eksisting 7. Museum batik keluarga
• Sejarah sebuah keluarga yang telah menjalankan bisnis batik secara turun temurun selama berpuluh-puluh tahun.
- Perlu penataan display yang lebih menarik minat pengunjung - Perlu pembukaan akses yang lebih mudah menuju tempat ini - Perlu peletakan papan interpretasi dan pusat informasi yang memberi banyak informasi tentang kawasan ini
Kondisi eksisting
124
Lanjutan Tabel Lampiran 1. Absolut value Obyek 8. Tugu • Situs tempat Laweyan pasar kuno yang berkaitan erat dengan Bandar kabanaran dan berkaitan dengan perkembangan bisnis tekstil dai daerah laweyan dan sekitarnya
Program - Perlu disain ulang bentuk tugu yang lebih representative, unik, menjadi landmark kampung laweyan. - Perlu tambahan papan informasi dan sculpture yang dapat bercerita tentang sejarah kawasan di tugu laweyan in
Contoh Arah Pengembangan
Kondisi eksisting
Perkiraan gambaran yang diharapkan
127
125 128
Lanjutan Tabel Lampiran 1. Absolut value Obyek 9.Galeri dan - Display dari toko batik hasil kreatifitas budaya membatik yang unik di kampung batik Laweyan
Program - Perlu adanya peraturan pemerintah tentang bentuk bangunan dari galeri ini agar sinergis dengan latar belakang sosial budaya kampung laweyan yang memiliki sejarah yang kuno dan berpengaruh besar terhadap sejarah nasional bangsa. Misalnya, bentuk minimalis modern tidak diperkenankan karena tidak sinergis dengan bentuk arsitektur ciri khas Laweyan
Contoh Arah Pengembangan
Kondisi eksisting (bentuk arsitektur yang tidak sesuai dengan ciri khas laweyan)
Bentuk arsitektur untuk galeri batik yang masih menggunakan rumah asli ciri khas laweyan
126
Lanjutan Tabel Lampiran 1. Absolut value Obyek 10.Café dan - Alternatif restoran jajanan ciri khas jawa (Surakarta) - Bentuk bangunan yang merepresentas ikan ciri khas budaya laweyan
Program - Menata kawasan ini tanpa meninggalkan ciri khas budaya Laweyan. Kawasan ini ditata di sepanjang jalur Old market, dan di kabanaran riverside
Contoh Arah Pengembangan
Café dan resto di Kabanaran riverside (kondisi yang diharapkan)
Café dan resto di Old Market pedestrian (kondisi yang diharapkan)
129
127 130
Lanjutan Tabel Lampiran 1. Absolut value Obyek 11.Toko Pelengkap souvenir display hasil kreatifitas masyarakat laweyan dengan tetap menonjolkan budaya kampung Laweyan
Program Menata kawasan dengan toko souvenir yang mengelompok di satu tempat agar memudahkan pengunjung untuk memilih dan mencari sesuai pilihan, tanpa menimbulkan kemacetan pada jalur wisata yang ada. Kawasan ini ditempatkan di sepanjang jalur Old market
Contoh Arah Pengembangan
Old market pedestrian (kondisi yang diinginkan) 12. jalur sirkulasi
Menjadi jalur penghubung antar obyek dan atraksi
-
-
-
Menata jalan-jalan yang dilewati agar menjadi lebih bersih, dan menarik Memanfaatkan gang-gang ini untuk merepresentsikan budaya kawasan Dibuat street furniture yang tepat dan papan interpretasi
Kondisi saat ini
128
Lanjutan Tabel Lampiran 1. Absolut value Obyek 12. jalur Menjadi jalur sirkulasi penghubung antar obyek dan atraksi
Program Contoh Arah Pengembangan - Menata jalan-jalan yang dilewati agar menjadi lebih bersih, dan menarik - Memanfaatkan gang-gang ini untuk merepresentsikan budaya kawasan - Dibuat street furniture yang tepat dan papan interpretasi
Kondisi yang diharapkan
131
129 132
Lampiran 2. Program pengembangan ruang wisata edukasi (edu-tourism) No 1
Obyek Pabrik batik Mahkota
Cultural significance - Tempat pembuatan batik abstrak yang unik dan satu-satunya di kampung Laweyan
2
Pabrik batik Setono
-
Tempat pembuatan batik motif tradisional
3
Rumah pekerja batik
-
Menunjukkan pola perkampungan kawasan industry batik seperti Laweyan, dimana rumah pekerja berada di bagian belakang rumah majikan (bagian selatan Laweyan)
Program - Menjadikan pabrik batik sebagai obyek dan atraksi menarik untuk memberi pelajaran dan informasi lengkap tentang cara pembuatan batik - Perlu penataan kawasan agar nyaman bagi pengunjung untuk mempelajari seluk beluk batik - Penambahan fasilitas wisata yang meningkatkan kenyamanan pengunjung untuk belajar lebih dalam ttg batik - Menjadikan pabrik batik sebagai obyek dan atraksi menarik untuk memberi pelajaran dan informasi lengkap tentang cara pembuatan batik - Perlu penataan kawasan agar nyaman bagi pengunjung untuk mempelajari seluk beluk batik - Penambahan fasilitas wisata yang meningkatkan kenyamanan pengunjung untuk belajar lebih dalam ttg batik - Perlu peningkatan kualitas jalan di lingkungan kawasan pekerja batik - Revitalisasi rumah2 kuno milik pekerja batik yang masih menyimpan sejarah dan cirri khas kampung Laweyan -
130
Lanjutan Tabel lampiran 2. No 4
Obyek IPAL (instalasi pengelolaan Air Limbah)
Cultural significance - Instalasi pengolahan air limbah yang menjadi bahan pelajaran tentang peduli lingkungan dan mengatasi polusi limbah cair bagi masyarakat umum
Program - Perlu perawatan IPAL yang sudah tersedia, agar layak dijadikan tempat belajar bagi pengunjung dan masyarakAt umum tentang teknik pengolahan limbah dari industry batik - Perlu penambahan beberapa IPAL dan perlokasian yang tepat , agar tidak menimbulkan polusi udara (bau) bagi masyarakat dan pengunjung) - Papan informasi yang ada sudah cukup baik dan informatif
5
Rumah juragan batik
-
- Perlu upaya kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal, terutama pemilik rumah-rumah kuno, untuk melakukan pemilihan dan penetapan rumah mana yang diperbolehkan untuk ditelusuri gaya arsitektur dan perlengkapan rumah tangganya, hingga detil, sebagai ajang pembelajaran perkembangan disain interior dan eksterior jaman dulu hingga sekarang
Bentuk arsitektur iindische yang mencerminkan kuatnya pengaruh luar terhadap gaya hidup dan pilihan style arsitektur masyarakat kampung laweyan (terutama pihak juragan batik)
133
46
Gambar 14. Lokasi Studi
131