Peran Ombudsman sebagai Moderator Kelembagaan Pemberdaya Modal Sosial Masyarakat
Peran Ombudsman sebagai Moderator Kelembagaan Pemberdaya Modal Sosial Masyarakat JAM 13, 1 Diterima, Oktober 2014 Direvisi, Desember 2014 Februari 2015 Disetujui, Maret 2015
Suhartono Magister Manajemen Universitas Gajah Mada Musa Hubeis Asep Saefuddin Joko Affandi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Abstract: Ombudsman surveillance with additional unique role as of dispute handler, when it proceeds with isomorphism process within the school institutionalism, they will potentially raise positive relationships between schools and parents, and also the community at large. Based on new institutionalism literatures and organizational and sociological theorie,s this study argues that several behavioral phenomenon imperically exist at every isomorphism process, i.e: initiation for diffusion, adoption of diffusion, partnership for adaptive governance, legitimacy endorsement, and being sustainability committed. This study aims to assess changes of those schools behavioral phenomenon, following the standardized socializations held by the Ombudsman of the Republik Indonesia (ORI). A survey was administrated to teachers and parents at 13 public elementary schools in five districs within Jakarta Metropolitan Area. Factor analysis, t-tests, ANOVAs and MRA were used. It revealed that ORI initiatives can somewhat subdue school bureaucracies, unfortunately it was also limitedly able to empower schools behavioral adoption and commitments. These findings imply that ORI initiatives can limitedly empowering schools in sustaining social capital, with specific handicaps hampering at every phase of isomorphism. What makes ORI initiatives less effective are being dicussed by exploring qualitative information emanated from in-depth interviews. Keywords: isomorphism, ombudsman, school bureaucracies, social capital, sustainability
Jurnal Aplikasi Manajemen (JAM) Vol 13 No 1, 2015 Terindeks dalam Google Scholar
Alamat Korespondensi: Suhartono, Magister Manajemen Universitas Gajah Mada
Abstrak: Pengawasan Ombudsman dengan peran tambahan unik sebagai pengendali perselisihan, ketika hasil proses isomorfisme dalam institusi sekolah, mereka akan berpotensial menungkatkan hubungan positif antara sekolah dan orang tua, dan juga komunitas luas. Berdasarkan pada catatan institusi baru dan organisasi, serta teori sosiologi, penelitian ini berpendapat bahwa beberapa fenomena behavioral secara imperis ada pada setiap proses isomorfisme contohnya peniruan difusi, adopsi difusi, dan kerjasama pemerintahan adaptif, pembentukan kebijakan, dan komitmen pemertahanan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai perubahan fenomena sikap sekolah, meliputi standarisasi sosialisasi yang diadakan oleh Ombudsman of the Republik Indonesia (ORI). Survey dilakukan pada guru dan orang tua pada 13 sekolah dasar negeri pada 5 kabupaten di area metropolitan Jakarta. Analisis data yang digunakan analisis faktor, t-tests, ANOVAs dan MRA. Dapat diketahui bahwa inisiatif ORI dapat mengatasi masalah birokrasi sekolah, sayangnya hal ini membatasi kekuatan adaptasi sikap sekolah dan komitmen. Penemuan ini menunjukkan bahwa inisiatif ORI dapat membatasi kekuatan sekolah dalam mempertahankan kapital sekolah, dengan rintangan serta hambatan dalam setiap fase isomorfisme. Yang membuat inisiatif ORI berkurang efektifitasnya telah didikusikan dengan mengeksplor informasi kualitatif yang didapatkan dan wawancara secara mendalam. Kata Kunci: isomorfism, ombudsman, birokrasi sekolah, sosial kapital, dan pemertahanan
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011 117
ISSN: 1693-5241
117
Suhartono, Musa Hubeis, Asep Saefuddin dan Joko Affandi
Inisiatif Ombudsman Republik Indonesia (ORI) untuk mengawasi manajemen layanan pendidikan di tingkat sekolah dasar negeri (SDN) merupakan langkah krusial karena bisa ikut menentukan terjadinya peningkatan kepastian kelestarian modal sosial bangsa Indonesia atau justru bisa sebaliknya. Fungsi unik pengawasan Ombudsman yang juga memiliki peran tambahan sebagai dispute handler atau Alternatif Penyelesai Perselisihan Roosbroek, et al., 2008, Harrison, et al., 2006, saat berproses secara isomorfis (DiMaggio, et al., 1983, Hennings, et al., 2008) atau beraliansi secara strategik (Zaheer, et al., 1995, Bachmann, et al., 2006) dengan organisasi sekolah, akan berpotensi meningkatkan mutu hubungan sekolah dengan orangtua siswa dan komunitas sekitarnya, yang keduanya dianggap sebagai ’konsumen’ dari layanan sekolah (Schneider, et al., 1997). Hal ini sejalan dengan harapan konsep school-based management (manajemen berbasis sekolah) atau MBS (Caldwell, 2005) atau Kemitraan Sekolah (Dodd, et al., 2002, Eipstein, et al., 2006) yang saat ini sudah pada tahapan implementasi di sekolah-sekolah publik oleh Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia (Kemendiknas, 2007). Dari perspektif ilmu sosialpolitik peleburan kelembagaan seperti itu akan bisa menggeralisasikan interelasi kepercayaan antar individu menjadi interelasi kepercayaan antar kelompok masyarakat (Fukuyama, 1995, Putnam, 1993) bahkan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (van de Walle, et al., 2008, Christensen, et al., 2003). Berdasarkan teori Social Movement (Gerakan Sosial), inisiatif seperti itu akan membentuk civil engagement atau keterikatan-sosial di masyarakat (Brehm, et al., 1997) dan terjadi Value Amplification (Snow, et al., 1986) atau penguatan nilai-nilai tertentu, semisal nilai-nilai balas-budi (reciprocity). Berdasarkan teori DiMaggio dan Powel (1983) yang menyatakan bahwa proses isomorfis untuk ekualisasi struktur dalam aliansi strategis dari dua lembaga selalu diawali dengan adanya inisiatif dan adanya Adopsi; di mana Tolber, et al. (1983) dan Sillince, et al. (2012) menyatakan bahwa sebuah keberhasilan inisiatif pihak tertentu sangat dipengaruhi oleh kesiapan adopsi dari pihak lain. Selanjutnya menurut beberapa hasil penelitian lain, proses isomorfis juga memunculkan beberapa fenomena perilaku keorganisasian yang secara konsisten ada dari waktu 118
ke waktu, yaitu berturut-turut terjadi pembentukan tatakelola yang lebih adaptif melalui kemitraan pada tahap habituasi (Folke, et al., 2005, Hatfield-Dodd, et al., 2007), adanya peningkatan sokongan legitimasi atas kemitraan pada tahap obyektifikasi (Collyvas, et al., 2006, Suddaby, et al., 2005, Suchman, 1995), dan lahirnya komitmen untuk melestarikan kelembagaan kemitraan pada tahap sedimentasi (Oorschot, et al., 2006, Bridger, et al., 2001), karena menguat tertanamnya nilai-nilai balas-budi (Folke, et al., 2005, Walker, et al., 2004). Penelitian ini berpendapat bahwa proses isomorfis SDN dengan ORI bisa disebut sebagai gerakan sosial, yang dilakukan secara sukarela atau pull isomorphism (DiMaggio, et al., 1983) karena adanya kebutuhan yang sama (mimesis isomorphism) maupun karena panggilan jiwa (normatives isomorphism) dari sekolah, guru, orangtua dan ombudsman untuk penguatan nilai-nilai balas-budi, walaupun kadang keberhasilannya perlu dimulai dengan pemberlakuan peraturan (push isomorphism). Untuk lembaga SD yang bertugas membangun karakter-dasar insani (basic human values), menurut Lickona, et al. (2003), Berkowitz, et al. (2005), keberhasilannya dipengaruhi oleh iklim hubungan sosial lingkungan kelembagaan sekolah itu sendiri. Oleh karenanya ORI harus ikut mewarnai (memoderasi) iklim hubungan sosial kelembagaan yang terkait dengan SDN untuk tugas pemberdayaan karakter untuk nilai-nilai balasbudi ini. Proses isomorfis yang terjadi tidak lepas dari teori Bandura, (1971) tentang pembelajaran sosial terkait proses triadic reciprocal, atau hubungan yang saling menyebabkan antara faktor perilaku (behavior), faktor kognitif dan personal (personal) dan lingkungannya (environment). Faktor personal yang dimaksud adalah faktor kemampuan genetik, kompetensi yang dipelajari, pikiran reflektif dan inisiatifnya. Hasil pembelajaran guru dan orangtua (behavior) atas stimuli sosialisasi ORI (environment) akan berproses berdasarkan persepsi awal (pikiran reflektif) guru dan orangtua terhadap sekolah, kemudian terjadi perubahan-perubahan komitmen (inisiatif) untuk berkemitraan dalam tatakelola adaptif, untuk sokongan legitimitas kemitraan, dan untuk komitmen peningkatan kelestarian kemitraan itu sendiri. Khusus untuk komitmen yang terakhir, penelitian ini menggunakan teori Fukuyama (1995) dan Putnam (1993),
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 13 | NOMOR 1 | MARET 2015
Peran Ombudsman sebagai Moderator Kelembagaan Pemberdaya Modal Sosial Masyarakat
maupun Walle, et al. (2008) dan Christensen, et al. (2003), yaitu adanya komitmen meng-generalisasi-kan relasi kepercayaan ke tingkat yang lebih makro. Hasil pemantauan dari penelitian aplikasi MBS di Indonesia oleh Pradhan, et al. (2013), Vernez, et al. (2012), dan Heyward, et al. (2011) secara implisit bisa diinterpretasikan bahwa pelaksanaan prinsipprinsip MBS di Indonesia masih belum menunjukkan adanya indikasi-indikasi tatakelola MBS yang adaptif, komitmen melegitimitaskan MBS, maupun komitmen untuk melestarikan MBS. Indikasi ini tercermin juga dari data perkembangan statistik kinerja SDN di Wilayah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008–2012 yang menunjukkan penurunan kualitas hasil pembelajaran siswa, walaupun ada peningkatan dari jenjang pendidikan guru. Legitimasi orangtua siswa terhadap lembaga pendidikan sekolah dasar dari tahun 2008– 2012 ada kecenderungan menurun, seperti terpapar dalam perkembangan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk Wilayah DKI Jakarta dari Badan Pusat Statisitik (BPS) pada tahun 2012 yang telah menurun dengan 3,75% dari rerata lima tahun sebelumnya. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Kemenndiknas menunjukan bahwa secara statistik pada tahun 2012 kelemahan sistem pengendalian internal di Kemendiknas telah meningkat 337% dari rerata lima tahun sebelumnya (BPK 2012).
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui model moderasi inisiatif ORI yang mampu memengaruhi respon komitmen guru dan orangtua, yang mewakili respon komitmen sekolah, dalam upaya meningkatkan Kelestarian Kelembagaan Pemberdayaan Modal Sosial (KPMS). Penelitian ini juga akan mengidentifikasikan kelemahan dan kendala-kendala dari model moderasi inisiatif tersebut. Tujuan ini dapat dirinci untuk: 1) mengetahui model moderasi inisiatif ORI pada tahapan habituasi; 2) mengetahui model moderasi inisiatif ORI pada saat tahapan obyektifikasi; 3) mengetahui model moderasi inisiatif ORI pada saat tahapan sedimentasi. Berdasarkan rincian ini akan sekaligus diidentifikasi kelemahan dan kendala yang dihadapi oleh masing-masing model moderasi inisiatif ORI.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui perubahan komitmen guru dan orangtua setelah adanya inisiatif sosialisasi ORI. Pencatatan dilakukan terhadap pikiran reflektif guru dan orangtua atas keadaan sekolah sebelum diadakan sosialisasi baku ORI, pembelajaran guru dan orangtua dari sosialisasi, serta komitmen ke depan dari guru dan orangtua setelah adanya sosialisasi. Pengumpulan data dan informasi dilaksanakan terhadap SDN di Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta pada bulan April sampai Juli 2014.
Pengumpulan Data Obyek penelitian ini adalah Guru dan Orangtua Siswa dari SDN terpilih di Wilayah DKI Jakarta yang menurut data Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-SM) memiliki Nilai Akreditasi A dengan nilai minimal 95 (sembilan puluh lima). Contoh sekolah diambil berdasarkan ranking nilai akreditasi, dimulai dari sekolah yang bernilai tertinggi 98, kemudian menurun hingga nilai minimal 95 untuk masingmasing daerah di wilayah DKI Jakarta. SDN ini bisa dianggap sebagai lembaga dengan guru dan orangtua yang cukup berpendidikan yang berpotensi ikut menggerakkan kemitraan ORI (Roosbroek, et al., 2008) bersama sekolah. Berdasarkan pendapat tersebut, maka pengambilan contoh responden guru dan orangtua siswa untuk setiap SDN ditetapkan pada tingkatan pendidikan minimal Strata Diploma (D3) dengan pengalaman mendidik (siswa/anak di tingkat SD) minimal 3 tahun. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok data. Pertama adalah data persepsi guru dan orangtua atas keadaan sekolah selama ini, yang terkait dengan data mengenai Kesiapan Adopsi Sekolah. Kedua adalah data mengenai pengalaman dan komitmen guru dan orangtua atas adanya sosialisasi ORI, yaitu data mengenai hasil pembelajaran pribadi dari sosialisasi, komitmen pribadi untuk kemitraan sekolah, komitmen pribadi untuk menyokong legitimitas kemitraan, dan komitmen pribadi untuk meningkatkan kelestarian KPMS. Data kuantitatif dikumpulkan melalui kuisioner sebagai
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
119
Suhartono, Musa Hubeis, Asep Saefuddin dan Joko Affandi
instrumen penelitian, sedangkan data kualitatif dikumpulkan melalui pertanyaan semi-terstruktur dalam wawancara-mendalam terhadap Kepala Sekolah dan Ketua Komite Sekolah. Kuesioner mengenai Kesiapan Adopsi Sekolah diisi sebelum sosialisasi, sisanya diisi setelahnya bersamaan dengan sesi tanya-jawab selama satu jam. Wawancara mendalam dilakukan tersendiri dan terpisah dengan waktu yang fleksibel kepada Kepala Sekolah dan Ketua Komite Sekolah, setelah program sosialisasi.
Analisis Data Penelitian ini menggunakan enam (6) faktor yang memengaruhi faktor Komitmen Meningkatkan Kelestarian Kelembagaan Pemberdayaan Modal Sosial (KPMS) sebagai peubah dependen (Y3). Analisis hubungan-hubungan tersebut akan dilakukan dengan Analisis Jalur. Gambar 1 adalah skema Model Jalur Lintas Faktor-Faktor yang memengaruhi Komitmen Meningkatkan Kelestarian KPMS.
Investigasi dan Klarifikasi, Faktor X4 adalah Peningkatan Pembelajaran tentang Mediasi dan Konsiliasi. Semua faktor moderasi berasal dari penilaian pribadi (self assessment) Guru dan Orangtua atas adanya pembelajaran dari program sosialisasi ORI. Analisis Jalur (Path Analysis) yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari tiga model statistika Moderated Regression Analysis (MRA): Y3.1 = a 1 + 11 X1 + 21 X2+ 31 X3+ 41 X 4 + 51 X1.X 2 + 61X1 .X3+71X1.X4 (1) Y3.2 = a 2 + 12 X 1 + 22 X 2+ 32 X 3+ 42 X 4 + 52 Y 1 + 62 Y1 X2 + 72 Y1 X3 + 82 Y1 X4 + 92 X1 X2 + 102 X1 X 3 + 112X1X4 . (2) Y3.3= a 3 + 13 X1+ 23 X2+ 33 X3+ 43 X4+ 53 Y1 + 63 Y2 + 7 3Y2X2 +83 Y2X3+ 93Y2X4 + 103Y1X2+ 113Y1X3 +123Y1X4+ 133X1X2+143X1X3+153X1X4 (3) Persamaan Y3.1 sebagai persamaan proses isomorfis tahap habituasi, Y3.2 persamaan proses isomorfis tahap obyektifikasi, dan Y3.3 persamaan proses isomorfis tahap sedimentasi. Uji Asumsi lineritas
Gambar 1. Model Jalur Lintas Faktor-Faktor yang memengaruhi Komitmen Meningkatkan Kelestarian KPMS
Gambar 1 menjelaskan bahwa dalam Model Jalur Lintas utama faktor-faktor X1 menuju Y3, yang secara langsung maupun tidak langsung bisa melalui faktor Y1 dan Y2 dapat dipengaruhi tiga faktor Moderasi X2, X3, dan X4 di setiap lintasannya. Faktor X1 adalah persepsi guru dan orangtua atas faktor Kesiapan Adopsi Sekolah, Faktor X2 adalah Peningkatan Pembelajaran tentang Penerimaan Laporan dan Verifikasi, Faktor X3 adalah Peningkatan Pembelajaran tentang 120
menunjukkan bahwa memang terjadi multikolinearitas dengan nilai VIF (variance influence factor) > 10, atau nilai tolerance > 0,1. Untuk menetralkan multikolinearitas ini, perhitungan signifikansi pengaruh faktor moderasi diukur dari perbandingan nilai absolut (Z Score) dari perbedaan koefisien regresi peubah prediktor dan koefisien peubah moderasinya (Sharma, et al., 1981). Uji Validitas data dengan uji signifikansi dilakukan dengan membandingkan nilai Correlated
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 13 | NOMOR 1 | MARET 2015
Peran Ombudsman sebagai Moderator Kelembagaan Pemberdaya Modal Sosial Masyarakat
Item-Total Correlation dengan r-tabel. Keseluruhan butir pertanyaan telah dinyatakan valid bila bernilai di atas 0,126. Uji Reliabilitas dengan menggunakan koefisien Cronbach’s Alpha minimal 0,60 (Nunnaly. 1967, Hinkel. 2004) telah terbukti bahwa seluruh peubah bernilai di atas angka tersebut. Uji heteroskedastisitas dalam Grafik Plot menunjukkan bahwa semua data menyebar dan tidak membentuk pola tertentu. Pengujian hipotesis dilakukan melalui nilai Adjusted R2 dan ANOVA untuk mengetahui goodness of fit (GOF) dari setiap MRA, dan Uji-t untuk mengetahui pengaruh parsial setiap peubah bebas terhadap peubah dependen. Sharma, et al. (1981) menyatakan bahwa pengaruh moderator yang asli (Pure Moderator) terjadi saat pengaruh peubah bebas terhadap peubah dependen tidak nyata, tapi pengaruh peubah interaksinya justru nyata. Keadaan yang lain bisa dikategorikan sebagai Moderator Semu, atau Moderator Homologizer, atau Moderator Prediktor. Uji-uji hipotesis yang akan dilakukan dapat dirinci dalam Tabel 1 berikut:
siswa adalah 37,3 tahun, 72% berpendidikan Diploma dan 28% berpendidikan Sarjana (Strata 1), dengan rata-rata pengalaman mendidik anak ditingkat sekolah dasar selama 14,7 tahun. Dari jumlah itu 94% adalah pengurus atau anggota komite sekolah, dan sisanya (6%) bukan pengurus dan bukan anggota komite sekolah. Sebanyak 56% orangtua siswa sebelumnya telah mengenal nama ORI, sisanya (44%) tidak mengenal sama-sekali. Jumlah responden guru adalah 158 orang, di mana 81% adalah perempuan dengan rataan umur 45,8 tahun, serta pengalaman mengajar 22,4 tahun. Tingkat pendidikan guru 28,6 % adalah Diploma dan 71,4% adalah Strata Satu. Jumlah kepangkatan guru yang terbanyak adalah Guru Pratama sejumlah 33,5%, kemudian Guru Muda 28,5%, Guru Madya 24,7%. Jenjang kepangkatan tertinggi Guru Utama dimiliki oleh 4,4% guru; jumlah Guru Honorer 8,9% dengan kisaran pengalaman mengajar 3–8 tahun. Sebanyak 61% guru sebelumnya sudah mengenal nama ORI, sisanya (39%) tidak mengenal sama sekali.
Tabel 1. Jenis Uji Hipotesis Proses Isomorfis ¦ X2-X 2Yn¦ Habituasi (Y3 .1 ) Langsung ¦ β21sig - β5 1sig¦ Obyektifikasi (Y 3.2) Langsung Tidak Langsung Total Sedimentasi(Y3 .3 ) Langsung Tidak langsung I Tidak Langsung II Total
¦ X3-X 3Yn ¦ ¦ X4-X 4Yn¦ Uji Hipotesis 2 Uji-t Z Score, Nilai Adjusted R dan ANOVA ¦ β32 sig - β 72sig¦ Uji-t Z Score ¦ β52 sig - β 102sig¦ Uji-t Z Score Nilai Adjusted R2 dan ANOVA Uji-t Z Score ¦ β43 sig - β93sig¦ ¦ β53sig - β123sig¦ Uji-t Z Score ¦ β6 3sig - β15 3 sig¦ Uji-t Z Score Nilai Adjusted R2 dan ANOVA
Sumber: Sharma, et al. (1981) yang telah diolah
HASIL DAN PEMBAHASAN Sosialisasi Ombudsman telah diajukan terhadap 30 SDN melalui Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta untuk sekolah yang mempunyai Nilai Akreditasi 95–98 dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-SM). Untuk periode bulan Mei–Juli 2014 telah disanggupi oleh 18 sekolah, 5 sekolah kemudian meminta penjadualan ulang karena kesibukannya. Responden guru dan orangtua berasal dari 13 sekolah, yaitu: 3 SDN di Jakarta Pusat, 3 SDN di Jakarta Selatan, 2 SDN di Jakarta Timur, 3 SDN di Jakarta Barat, 2 SDN di Jakarta Utara. Jumlah responden orangtua adalah 148 orang, di mana 94% adalah perempuan. Umur rata-rata orangtua
Pengaruh-pengaruh langsung dan tak langsung antar peubah, yang ditabulasi dari koefisien regresi yang terstandarsasi () dari hasil keluaran aplikasi SPSS versi 22 adalah seperti tersaji dalam Tabel 2. Terlihat dari Tabel 2 semua persamaan MRA memiliki GOF yang tinggi (GOF> 0,60). Melalui tabel tersebut dapat diketahui hasil-hasil analisis signifikansi dan kategori moderasi di setiap fase isomorfis atau di setiap persamaan MRA, seperti tersaji di Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 bisa diuraikan beberapa hal. Pertama, pada fase habituasi, saat memperkenalkan fungsi Penerimaan Laporan dan Verifikasi ORI, inisiatif ORI (X2) ini secara statistik terbukti mempunyai peran sebagai Moderator Kuasi dengan pengaruh
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
121
Suhartono, Musa Hubeis, Asep Saefuddin dan Joko Affandi
Tabel 2. Koefisien Regresi Peubah Bebas, Peubah Interaksi, nilai Adjusted R2 dan ANOVA Y3 .1 Y3 .2 Y3 .3 Y3 .1 Y3 .2 Y3 .3
X1 0,003 -0,656 -0,605
X2 -1,772 0,370 0,928
X3 0,591 -2,006 -0,588
Y 2X2
Y2X 3
Y2X 4
1,445
6,178
-4,707
X4 0,870 0,415 -2,611
X1 X2 3,035 -3,846 4,743
X1 X3 -1,663 4,408 -4,448
X1 X4 -0,453 1,318 1,404
Y1 X2 3,002 -5,067
Y1 X3 0,338 16,92
Y 1X4 -2,797 7,299
2
Nilai Adjusted R dan ANOVA 0,841; Sig 0,682; Sig 0,865; Sig
Sumber: Keluaran SPSS yang telah diolah
Tabel 3. Rincian Hasil Analisis Jalur Proses Isomorfis Hasil Analisis Jalur Kategori Moderasi ¦ X2 -X2Y n¦ Habituasi (Y3. 1) ¦ (-1,77 Sig) – (3,04 Sig)¦ Y1 X2 Kuasi-sig(nifikan) ¦ X3 -X3Y n¦ Obyektifikasi (Y3. 2) Langsung ¦ (-2,01 non sig) – (0,34 non sig)¦ Y2X3 Ho mologiser- non sig Tid ak Langsung ¦ (-2,01 non sig) – (4,41 non sig)¦ X 1X3 Homolo giser-sig ¦ X4 -4Yn ¦ Sedimentasi (Y3 .3) Langsung Tid ak langsung Y1-Y2 Tidak ¦ (-2,61 sig) – (-4,71 sig)¦ Y2 X4 Kuasi-sig Langsung X4-Y1 ¦ (-2,61 sig) – (7,30 sig)¦ Y1 X4 Kuasi-sig ¦ (-2,61 sig) - (1,40 non sig)¦ X1 X4 Predikto r non sig Sumber: Tabel 2 yang telah diolah
langsung nyata dan negatif terhadap komitmen sekolah untuk bermitra dengan ORI (Y1 ). Artinya bahwa keberadaan inisiatif ORI ini bisa diibaratkan sebagai berperan ’makruh’ (MUI, 2012), yang bermakna bahwa kehadiran inisiatif ini tidak menyalahi ketentuan, tetapi ketidak-hadirannya sangat diharapkan karena memiliki pengaruh yang negatif terhadap hasil. Pada fase perkenalan inisiatif ini, dengan memberitahukan pemberlakuan UU Ombudsman dan pasalpasalnya (push isomorphism approach), sekolah menganggap hal ini relevan dan logis, walaupun merasakan timbulnya kewajiban baru dan beban tambahan untuk melaksanakan komitmen bermitra (dengan ORI) untuk tatakelola yang adaptif (Y 1 ). Dari wawancara-mendalam dengan orangtua tercatat informasi bahwa: ”Pengaduan kepada ORI sulit, masih harus didahului dengan bukti otentik pernah mengajukan keberatan (keluhan) langsung kepada pihak terlapor.” Ada informasi lain yang tercatat terkait hal ini, yaitu adanya kalimat-kalimat: ”Mumpung ada A Hok (Wakil Gubernur DKI Jakarta) makanya kita langsung saja ke sana.” (maksudnya tidak perlu mengajukan keberatan ke sekolah lebih dulu). Hambatan ini secara lebih spesifik terungkap bahwa: ’sungkan (segan) dengan Kepala Sekolah.’ Fenomena ini, jika merujuk pada ketentuan Reformasi 122
Birokrasi dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomer 81 (Perpres 2010), yang juga selaras dengan indikator-indikator faktor Komitmen Bermitra untuk Tatakelola yang Adaptif (Y1), mempertegas adanya indikasi dilema antara ketetapan prosedural penerimaan pelaporan dan verifikasi ORI (X2) dengan misi Reformasi Birokrasi Pemerintah yang sedang dijalankan. Dilengkapi data demografis orangtua dan guru, misalnya: rata-rata umur orangtua yang lebih muda dari pada guru, dan rata-rata pendidikan orangtua yang lebih rendah dari guru, potensi kendala prosedural ORI ini cenderung semakin nyata adanya. Temuan ini sesuai dengan temuan Eipstein, et al. (2006) dan Reynold, et al. (2005) yang menyatakan bahwa keterlibatan orangtua dalam sekolah masih terhambat birokrasi sekolah. Kedua, pada fase obyektifikasi, terutama saat fungsi Investigasi dan Klarifikasi (X 3 ) berperan bersama fungsi Penerimaan Laporan dan Verifikasi (X2), secara statistik inisiatif ORI ini terbukti berperan nyata secara langsung maupun tidak langsung sebagai moderator homologiser. Artinya bahwa inisiatif ORI ini secara bersama bisa diibaratkan sebagai berperan ’mubah’ (MUI 2012), yang keberadaannya dianggap tidak nyata mempengaruhi komitmen meningkatkan kelestarian KPMS (Y3), tetapi ketidak-hadirannya
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 13 | NOMOR 1 | MARET 2015
Peran Ombudsman sebagai Moderator Kelembagaan Pemberdaya Modal Sosial Masyarakat
tidak diinginkan. Secara lebih spesifik terbukti dalam angka statistik bahwa keberadaan kedua inisiatif ini secara tidak langsung bersama dengan faktor komitmen berkemitraan untuk tatakelola adaptif (Y1) mempengaruhi dengan nyata komitmen menyokong legitimitas kemitraan (Y2), tetapi sesungguhnya kedua inisiatif ORI ini tidak punya pengaruh nyata terhadap faktor komitmen berkemitraan untuk tatakelola adaptif (Y1) itu sendiri. Dari wawancara-mendalam tercatat bahwa ada keinginan sekolah agar ORI ’lebih’ fokus menjalankan fungsi khusus Investigasi Prakarsa Sendiri (Own Motion Investigation/OMI) sehingga berhasil menemukan dugaan penyimpangan alokasi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) pada tingkat lokal sekolah, maupun ditingkat kelembagaan pendidikan daerah tingkat II maupun tingkat I. Sosialisasi ORI pada tahap ini dengan pendekatan tarikmimesis (pull-mimesis), yang menimbulkan kesadaran atas perlunya OMI dan Klarifikasi ORI untuk kepentingan sekolah. Terkait hal ini tercatat pernyataan dari orangtua maupun guru, seperti: ’(K)alau diselidiki diam-diam seperti itu, pasti bisa tertangkap basah penyalah-guna BOS,’ (sehingga proses pendidikan lancar, dan secara tidak langsung juga sekolah bisa lebih berkomitmen melestarikan KPMS). Harapanharapan ini selaras dengan rekomendasi BPK atas hasil temuan tahun 2008-2012 tentang meningkatnya ketidakpatuhan di Disdik DKI Jakarta. Ketiga, pada tahapan sedimentasi ini, fungsi Mediasi dan Konsiliasi ORI (X4 ) yang berperan bersama fungsi-fungsi sebelumnya X2 dan X3, secara statistik terbukti berperan nyata secara langsung maupun tidak langsung sebagai Moderator Kuasi. Artinya keberadaan inisiatif X4 bersama X2 dan X3 bisa diibaratkan sebagai berfungi Makruh (MUI 2012), yang bermakna bahwa keseluruhan inisiatif ORI ini berpengaruh nyata terhadap Komitmen Meningkatkan Kelestarian KPMS (Y3), dan kehadirannya pun tidak melanggar ketentuan, tetapi keberadaannya ’belum’ nyata dibutuhkan. Secara statistik dan lebih spesifik keseluruhan insiatif ORI ini juga terbukti mempunyai potensi sebagai Moderator Prediktor yang berpengaruh terhadap Komitmen Berkemitraan untuk Tatakelola yang Adaptif (Y1), walaupun belum nyata. Hal ini bermakna bahwa potensi pengaruh seluruh inisiatif ORI ini lebih sebagai peran peubah intervening antara X1 dengan Y1 (fase habituasi), walaupun untuk
itu dibutuhkan pembuktian-pembuktian lebih lanjut. Pernyataan yang mendukung hal ini dinyatakan Orangtua: ’(D)engan adanya ORI kita berharap perbedaan-perbedaan pandangan yang masih ada lebih terbuka dibicarakan dengan semangat musyawarah.’ Temuan ini didukung teori Ridley-Duff dan Bennett (2010) tentang Mediasi Transformatif (MT) yang menyatakan bahwa lewat musyawarah (deliberation) akan terbentuk sikap saling menghormati (respects) dan saling mempercayai (trusts).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pada tahapan habituasi, proses inisiatif awal sosialisasi ORI ini berpengaruh secara negatif dan nyata terhadap komitmen sekolah untuk bermitra dengan ORI, karena sekolah menganggap hal ini sebagai beban tambahan untuk proses reformasi birokrasi sekolah dan pendekatan yang dilakukan adalah dengan cara push isomorphism. Hal ini membuktikan bahwa inisiatif difusi dengan pendekatan push isomorphism pada fase habituasi justru tidak produktif, terutama jika tujuan jangka panjang dan kemanfaatan kemitraan yang sedang dibentuk belum benar-benar dipahami pihak lain, sedangkan birokrasi organisasi yang ada masih kuat dipengaruhi oleh keadaan strata sosial masyarakat. Pada tahapan obyektifikasi, sosialisasi ORI ini belum dianggap mempunyai kemanfaatan jangka panjang untuk meningkatkan kelestarian KPMS, walaupun diakui dibutuhkan untuk kepentingan operasional sekolah dalam menyelesaikan kemelut alokasi dana BOS. Pendekatan yang digunakan di sini adalah pull mimetics isomorphism. Hal ini membuktikan bahwa pada fase obyektifikasi inisiatif difusi harus lebih mengedepankan kepentingan bersama yang praktis dan logis (pragmatis), melalui pendekatan win-win solution, untuk keberlanjutan kemitraan. Pada tahapan sedimentasi, sekolah masih menganggap bahwa kemanfaatan inisiatif ORI ini belum sesuai dengan kebutuhan jangka panjang sekolah, tetapi sudah mulai terpikirkan bahwa keseluruhan inisiatif ORI sebagai faktor penggerak pergeseran birokrasi sekolah, meski masih ada kegamangan di sana. Hal ini membuktikan bahwa inisiatif difusi pada fase sedimentasi ini tidak efektif jika masih dengan
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
123
Suhartono, Musa Hubeis, Asep Saefuddin dan Joko Affandi
pendekatan pull mimetics isomorphism yang menggunakan alasan pragmatis. Hal ini juga membuktikan bahwa pada fase ini dibutuhkan pendekatan normatif tarik (pull normatives isomorphism) yang menekankan kembali kemanfaatan jangka panjang kemitraan. Inisiatif difusi harus diawali dengan mengedepankan kemanfaatan dari kemitraan, dan diakhiri dengan mengingatkan kembali kemanfaatan tersebut sehinga terjadi keterikatan emosional (emotional bonding) yang lebih kuat, terutama jika diinginkan kelestarian jangka panjang sebuah kelembagaan kemitraan, seperti halnya kelembagaan kemitraan untuk pemberdayaan modal sosial bangsa ini.
Saran Peran Ombudsman harus diawali dengan mengedepankan kemanfaatan dari kemitraan, dan diakhiri dengan mengingatkan kembali kemanfaatan tersebut sehinga terjadi keterikatan emosional (emotional bonding) yang lebih kuat, terutama jika diinginkan kelestarian jangka panjang sebuah kelembagaan kemitraan, seperti halnya kelembagaan kemitraan untuk pemberdayaan modal sosial bangsa ini.
DAFTAR RUJUKAN Bachmann, R., and Van, W.A. 2006. Analysing Inter-Organizational Relationships in the Context of Their Business System. A Conceptual Framework for Comparative Research. Sociological Series Institute For Advance Studies Vienna, June 2006: hal 1–19. Bandura, A. 1971. Social Learning Theory. (US) NewYork: General Learning Press. Berkowitz, M.W., Bier, M.C. 2005. What Works in Character Education: A Research-Driven Guide for Educators. (US) Washington DC. Character Education Partnership. [BPK] Badan Pengawas Keuangan Republik Indonesia. (2012). Ikhtisar Laporan Semester I BPK tahun 2012. Buku 1-5. (ID) Jakarta, BPK-RI. Brehm, J., and Rahn, W. 1997. Individiual Level Evidence for the Cause and Consequences of Social Capital. American Journal of Political Science Vol 41 no 3. Hal 999–1023. Bridger, J.C., and Luloff, A.E. 2001. Buliding The Sustainable Community: Is Social Capital the Answer. Sociological Inquiry vol 71 no 4. Hal 458–472. Caldwell, B.J. 2005. School-Based Management. International Academy of Education dan International Institute for Educational Planning. (FR) Paris: Unesco. 124
Christensen, T., and Laegreid, P. 2003. Trust in Government - the Significance of attitude toward Democracy, Public Sector and Public Sector Reforms. Warking Paper 3 – 2003. Stein Rokkan Center for Social Studies. (NO) Bergen University. Collyvas, J.A., and Powell, W.W. 2006. Roads to Institutionalization: The Remaking of Boundaries Between Public and Private Science. Research in Organizational Behavior 27:315–63. DiMaggio, P.J., dan Powel, W.W. 1983.The Iron Cage Revisited: Institutional Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Field. American Sociology Review 48:147–160. Dodd, A.W., and Konzal, J.L. 2002. How Communities Build Stronger Schools, Stories, Strategies and Promising Practices for Education Every Child. (US) NewYork: Palgrave Macmillan. Eipstein, J.L., and Sanders, M.G. 2006. Prospect for Change: Preparing Educator for School, Family, and Community Partnership. Peabody Journal of Education 81(2). hal 81–120. Folke, C., Hahn, T., Olson, P., Norberg, J. 2005. Adaptive Governace of Social Ecological Environment. Annual Reviews of Environmetal Resouces 2005.30:441–471. Fukuyama, F. 1996. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. NY: Free Press. Harrison, T.R., and Doerfel, M.L. 2006. Competitive and Cooperative Conflict Communication Climate, The Influence of Ombuds Processes on Trust and Commitment to the Organization. International Journal of Conflict Management vol 17 No. 2: hal.129–153. Hatfield-Dodds, S., Nelson, R., Cook, D. 2007. Adaptive Governance: An Introduction, and implication for Public Policy. Paper presented at the 51th Conference of the Australian Agricultural of Resources Economics Society, (NZ) Queenstown. 13–16 February 2007. Hennings, C.R., and Tolbert, P.S. 2008. Organizational Institutionalism and Sociology: A Reflection. Didalam Gunz and Peiperl M (editor) Handbook of Orgfanizational Institutionalism. (GB) London. Sage: hal.473–490. Heyward, M., Cannon, A.R., Sarjono. 2011. Implementing School-Based Management in Indonesia. (ID) RTI Press Publication OP-0006-1109. Research Report Occasional Paper. [Kemendiknas] Kementerian Pendidikan Nasional RI. (2007). Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. (ID) Jakarta. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Lickona, T., Schaps, E., and Lewis, C. 2003. CEP’s Eleven Principles of Effective Character Education. Washington, DC: Character Education Partnership.
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 13 | NOMOR 1 | MARET 2015
Peran Ombudsman sebagai Moderator Kelembagaan Pemberdaya Modal Sosial Masyarakat
[MUI] Majelis Ulama Indonesia. (2012). Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomer 24 tahun 2012, tentang Pemanfaatan Bekicot untuk Kepentingan NonPangan. (ID) Jakarta MUI. [Perpres] Presiden Republik Indonesia. (2010). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025. (ID) Sekab. Pradhan, M., Suryadharma, Beatty, A., Wong, M., Alisjahbana, A., Gaduh, A., Artha, R.P. 2013. Improving Educational Quality through Enhancing Community Participation: Result From Randomized Field Experiment In Indonesia. (ID) IBR World Bank. Putnam, R. 1993. The Prosperous Community: Social Capital and Public Life, The American Prospect Spring: 27–40. Ridley-Duff, R.J., and Bennett, A.J. 2010. Mediation: Developing a Theoretical Framework for Understanding Alternative Dispute Resolution. British Academy of Management, Sept 2010. Reynolds, A., and Clements, M. 2005. Parental Involvement and Children’s School Success. In School-Family Partnerships:Promoting the Social, Emotional, and Academic Growth of Children, edited by E. Patrikakou et al. (US) NewYork: Teachers College Press. Schneider, M., Teske, P., Marschall, M. 1997. Institution Arragements and the Creation of Social Capital: The Effect of Public Choice. American Political Science Review v 91(1):82–93. Sharma, S., Durand, R.M., and Gur-Arie, O. 1981. Identification and analysis of moderator variables. Journal of Marketing Research, 18:hal 291–300. Sillince, J.A.A., and Barker, J.R. 2012. A Tropology theory of institutionalization. Organization Studies 33(1):7– 38.
Snow, D.A., Rockford, J.E.B., Worden, S.K. 1986. Frame Aligment process, Micromobilzation, and Movement Participation. Americal Sociological Review vol 51, No 4:464–481. Suchman, M.C. 1995. Managing Legitimacy: Strategic and Institutional Approaches. Academic Management Review. 20:571–610. Suddaby, R., and Greenwood, R. 2005. Rhetorical strategies of legitimacy. Adminitrative Science Quarterly. 50:35–67. Tolber, P.S., and Zucker, L.G. 1983. Institutional Change Formal Structure of Organizations: The diffuison of civil service reform, 1880-1935. Administrative Science Quarterly 28:22–39. Van de Walle, S., Bouckaert, G. 2008. Trust in the Public Sector: is There Any Evidence for a Long-term Decline? International Review of Administrative Sciences, 74 (1):45–62. Van Oorschot, W., Arts, W., Gelissen, J. 2006. Social Capital in Europe Measurement, Social and Regional Distribution of Multifaceted Phenomenon. Acta Sociologica vol 49(2):149–167. Van Roosbroek, S., dan Van de Walle S. 2008. The relationship between Ombudsma, Government and Citizen: A Survey Analysis. Negotiation Journal July: 287–302. Vernez, G., Karam, R., Marshall, J.H. 2012 Implementing School-Based Management in Indonesia. (US) the RAND Corporation. Walker, B.H., Holling, C.S., Carpenter, S.R., Kinzig, A. 2004. Resilience, Adaptability and Transformability Ini Socio Ecological System. Ecology and Society 9(2): 5–7. Zaheer, A., and Venkatraman, N. 1995. Relational Governace as an Interorganizational Strategy: An Emperical Test of the role of Trust in Economic Exchange. Startegic Management Journal vol 16: hal 373–392.
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
125