PENDAHULUAN
Latar Belakang Kemitraan merupakan kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan usaha dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan (UU No. 5 tahun 1995, PP RI No. 44 tahun 1997). Pola kemitraan agribisnis sayuran adalah suatu pola kerjasama antara petani dengan pedagang pengumpul, koperasi maupun perusahaan agribisnis dalam rangka menghasilkan mutu sayuran yang baik dan jumlah yang cukup, sesuai kebutuhan konsumen. Penelitian tentang adopsi inovasi pola kemitraan agribisnis sayuran penting dilakukan karena dua alasan utama. Pertama, secara empiris berkaitan dengan potensi dan tantangan
yang dihadapi dalam berbagai program
kemitraan baik yang berkaitan dengan kepentingan praktis di lapangan maupun kebijakan. Pola kemitraan agribisnis sebagai suatu inovasi berpotensi untuk menjadi suatu strategi peningkatan pendapatan petani, melalui penggunaan teknologi, peningkatan mutu produk, pengaturan jumlah produk dan jadwal tanam. Petugas pendamping dalam pola kemitraan agribisnis juga berpotensi sebagai mitra pemerintah dalam kegiatan penyuluhan pertanian , sehingga kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh petugas tersebut sejalan dengan kebija kan dan program pemerintah.
Namun demikian, sampai saat ini pola
kemitraan masih menghadapi banyak tantangan dalam rangka mencapai kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak-pihak yang bermitra, baik dalam aspek kemitraan, aspek produktivitas, aspek pemasaran, dan aspek kelembagaan. Banyak kasus penerapan pola kemitraan tidak bisa berlanjut karena berbagai alasan, baik alasan yang bersumber dari petani maupun perusahan, koperasi atau pedagang pengumpul. Kedua, secara konseptual berkaitan dengan perkembangan kajian dan teori tentang adopsi inovasi pertanian. Menguji secara empiris teori adopsi, menganalisis fase-fase yang paling menentukan dalam keputusan adopsi pola kemitraan.
2 Pola kemitraan merupakan strategi dalam meningkatkan kinerja pelaku agribisnis khususnya petani/pengusaha kecil. perusahaan
Dalam pola kemitraan pihak
memfasilitasi pengusaha kecil dengan modal usaha, teknologi,
manajemen modern dan kepastian pemasaran hasil, sedangkan pengusaha kecil melakukan proses produksi sesuai dengan petunjuk teknis dari pihak pengusaha besar.
Dengan memaksimalkan kekuatan-kekuatan dan meminimalkan
kelemahan-kelemahan dari kedua belah pihak yang bermitra maka dalam hal ini pihak perusahaan maupun pengusaha kecil akan
memperoleh keuntungan.
Pihak perusahaan dapat memperoleh produk sesuai dengan kualitas yang dinginkan, mendapat jaminan pasokan bahan baku, dengan meminimal resiko kegagalan panen, tanpa biaya sewa lahan dan biaya tenaga kerja. Pengusaha kecil dapat belajar teknologi baru, mana jemen modern, budaya industri, dan adanya kepastian dalam memasarkan hasil panennya (PT. Cakrawa la Pengembangan Agro Sejahtera, 2003) Dalam sejarahnya, pola kemitraan diawali dengan didirikannya lembaga terpadu
yang
disebut
sebagai
UPP
(Unit
Pelaksana
Proyek)
untuk
mengembangkan kebun-kebun rakyat di Sumatera Utara, Cengkeh di Lampung, dan teh rakyat swasta nasional di Jawa Barat pada tahun 1973. Pada tahun 1977 berubah nama dan bentuk menjadi Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau Nucleas Estate Small-holder (NES), di mana kebun-kebun baru dibuka dan keluarga-keluarga baru dalam suatu pemukiman baru, di sana ada perusahaan negara sebagai inti dan kebun -kebun rakyat sebagi plasma.
PIR mula-mula
dikembangkan di Sumatera selatan, kemudian Aceh dan Riau. Kemudian muncul PIR-Trasmigrasi yang dinilai lebih berhasil dibandingkan dengan PIR lain karena dalam Pola PIR-Transmigrasi ada dua areal yang dikelola oleh rakyat yaitu kebun milik perusahaan dan kebun milik rakyat yang diperoleh dari program transmigrasi. Peru sahaan inti memperoleh tambahan areal dan suplai bahan baku dan rakyat juga lebih diuntungkan karena lebih jelas dalam berproduksi dan memasarkan hasil (Yayasan Agrimedia, 1994). Pada tahun 2000, muncul pola kemitraan dalam agribisnis,
dengan
sistem bag i hasil. Sistem ini merupakan cara menghimpun dana dari masyarakat untuk mengatasi masalah kekurangan modal usaha agribisnis - sebagai akibat terganggunya fungsi penyaluran kredit dari perbankan karena dampak krisis ekonomi sejak krisis ekonomi di pertengahan 1997. Pertumbuhan perusahaan agribisnis sistem “profit sharing” sangat pesat dari 11 perusahaan di tahun 2000”
3 menjadi 44 perusahaan pada bulan Maret 2002. Bidang usaha yang di tawarkan sangat beragam, dari yang bersifat musiman seperti budidaya sa yuran, ikan hias, ikan konsumsi (mujair/mas), hingga yang berumur tahunan seperti ternak sapi potong, kambing/domba, budidaya jati, dll. (Warsidi dalam Agrimedia, 2003) Mengingat usaha agribisnis beresiko tinggi, pada kenyataannya pelaksanaan pola kemitraan tidak sebaik yang diharapkan seperti dalam konsep. Pola kemitraan menghadapi banyak masalah baik bersumber petani mitra maupun dari pihak perusahaan, yang menyebabkan pola kemitraan tidak berkelanjutan. Masalah-masalah yang dihadapi dalam pola kemitraan sepanjang sejarah mulai dari Pelita I seperti dilaporkan oleh Direktorat Jendral Perkebunan (Yayasan Agrimedia, 1994) antara lain: (1) tidak mudah mengajak atau menggugah minat petani pemilik kebun untuk ikut dalam program tersebut, (2) Masalah internal keluarga petani pemilik kebun untuk menetapkan siapa yang berhak memutuskan segala sesuatu atas kebunnya, (3) Lokasi kebun yang terpencar-pencar, (4) Aparat atau pejabat yang berurusan dengan Unit Pelaksana Proyek (UPP) perkebunan rakyat tidak semuanya berpengalaman mengelola
kebun
berdasarkan
kaidah-kaidah
bisnis
yang
sehat
dan
menguntungkan. Beberapa masalah yang dihadapi dalam pola kemitraan di era “agribisnis bagi hasil” berdasarkan penelusuran media massa, antara lain:
(1)
keberpihakan perusahaan mitra bukan pada petani kecil, (2) tidak semua petani punya akses, hanya yang memenuhi syarat tertentu saja, (3) informasi kerjasama tidak tersebar luas, hanya golongan tertentu saja, (4) pengetahuan petani tentang perbankan terbatas, keengganan untuk terlibat dengan kredit perbankan, memilih pedagang pengumpul sebagai sumber dana pada keadaan mendesak, dan (5) upah atau harga ditentukan oleh pihak perusahaan mitra Penelitian–penelitian sebelumnya tentang pola kemitraan dan atau kewirausahaan petani-peternak menyimpulkan bahwa perilaku kewirausahaan peternak mitra lebih baik dibandingkan peternak yang tidak bermitra, karena peternak yang bermitra memperoleh pembinaan yang intensif dari penyuluh (Suparta, 2001). Kegiatan berternak ayam buras maupun broiler bertujuan untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Perilaku wirausaha peternak dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan ketrampilan berwirausahanya. Perilaku usaha peternak dipengaruhi oleh fungsi sistem agribisnis baik sistem input produksi, prose s produksi, maupun pemasarannya (Pambudy, 1999).
4 Perolehan keuntungan yang diterima oleh peternak dirasakan tidak adil yang mendorong peternak melakukan tindakan yang meyalahi kontrak terjanjian. Hal itu akan merugikan peternak sendiri, karena perusahaan tidak akan mentolerir tindakan tersebut dan akan mencari peternak baru yang lebih disiplin. Peranan penyuluh sangat penting dalam memotivasi petani untuk bertindak disiplin dan mempengaruhi 2001).
persepsi petani tentang asas keadilan. (Suparta,
Bila penyebab ketidakadilan dalam pembagian keuntungan tersebut
berasal dari perusahaan, maka perlu perbaikan aturan-aturan dan manajemen dalam pola kemitraan sebab
kalau tidak pola kemitraan tidak akan
berkelanjutan. Penelitian Hamidi (1997) tentang kemitraan petani, KUD, dan lembaga perbankan untuk usaha pembelian dan penggemukan sapi potong menemukan bahwa, kredit sangat berguna dalam meningkatkan pendapatan petani, namun petani harus dipersiapkan, dilatih, dan didampingi oleh penyuluh. Bila tidak, pemberian kredit usaha menjadi tidak efektif.
Dari sisi lain petani menilai
prosedur pemberian kredit terlalu panjang, mulai dari pembentukan kelompok, pelatihan, dan penyaluran kredit. Penelitian Alamsyah (1997) tentang pola kemitraan karet rakyat mene mukan bahwa kewenangan penuh petani atas lahan usahataninya akan memotivasi
petani
produkstivitasnya.
untuk
meningkatkan
pengelolaan
kebun
dan
Keharusan memproduksi dengan tingkat mutu yang
disepakati bukan berarti keterpaksaan, karena mutu yang baik akan dihargai dengan harga yang baik pula.
Pengambilan keputusan didasarkan atas
kepentingan dan penanggungan resiko di antara pelaku.
Dari analisis
kelembagaan disimpulkan bahwa pola kerja sama dalam kemitraan adalah mitra sejajar bukan “patron -klien ”, buka n “principle-agent”.
Masing-masing pelaku
menjaga keharmonisan, karena pola kemitraan akan dipertahankan selama saling menguntungkan, jika tidak maka ditinggalkan. Penelitian ini secara khusus me mfokuskan pada petani di mana kegiatan mereka pada subsistem produksi, sedangkan sub -sub sistem selain produksi dilakukan bersama-sama stakeholder lainnya yaitu perusahaan mitra, koperasi, dan pedagang pengumpul. Konsep kemitraan mengacu pada konsep meminimalkan resiko dan memaksimalkan kekuatan -kekuatan melalui upayaupaya kerjasama antar stakeholder. Dalam mencapai tujuan penelitian, yaitu menganalisis proses keputusan
5 bermitra dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra, serta menganalisis manfaat pola kemitraan, maka penelitian ini mengambil kasus penerapan pola kemitraan antara pedagang pengumpul, koperasi dan beberapa perusahaan dengan para petani di empat kabupaten penghasil sayuran di Jawa Barat. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa terdapat faktor-faktor yang saling terkait yang mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra.
Karakteristik
individu petani, dan kondisi lingkungan dalam hal ini lingkungan sosial ekonomi secara umum termasuk budaya diduga mempengaruhi keragaman keputusan petani untuk bermitra. Faktor budaya petani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi petani tentang ciri inovasi yang diterapkan pada pola kemitraan dan pada akhirnya akan mempengaruhi juga pada keputusan petani dalam bermitra.
Masalah Penelitian Dalam penerapan pola kemitraan sebagai strategi peningkatan kinerja petani kecil, telah banyak pihak yang melakukan intervensi pada komunitas petani baik pedagang pengumpul, koperasi atau perusahaan, maka masalah penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana proses petani
bermitra dengan
pedagang pengumpul, koperasi atau dengan perusahaan tersebut dan faktorfaktor apakah yang mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra atau tidak bermitra? Kedua, apakah manfaat pola kemitraan bagi petani dan mitranya ? Manfaat bagi petani diidentifikasi dari: (1) apakah kerjasama dalam pola kemitraan dapat membantu petani dalam meningkatkan mutu produk, dalam penguasaan teknologi, serta dalam mengatasi masalah modal dan pemasaran. (2) Adakah petugas perusahaan, koperasi atau pedagang pengumpul yang mendampingi petani dalam
mencapai mutu produk yang diharapkan ? (3)
Apakah kerjasama petani dalam pola kemitraan dapat membantu petani memperoleh pendapatan yang kontinyu, serta meningkatkan kesejahteraan petani ? Manfaat bagi pihak perusahaan, koperasi atau pedagang pengumpul, dapat diidentifikasi dari: (1) apakah kerjasama dalam pola kemitraan dapat memenuhi kebutuhan produk secara kontinyu dalam jumlah yang cukup dan bermutu baik ? Apakah kerjasama dalam pola kemitraan dapat mengurangi resiko dan biaya produksi ? Ketiga, bagaimana strategi kemitraan yang berkelanjutan ? Dengan mempelajari beberapa kasus penerapan pola kemitraan di lokasi penelitian
6 dengan segala potensi dan masalahnya, kemudian disusun bagaimana strategi kemitraan yang dapat memberikan ma nfaat bagi petani dan juga perusahaan, koperasi dan pedagang pengumpul, sehingga dapat berkelanjutan.
Tujuan Penelitian Secara spesifik penelitian ini berupaya: (1)
Menganalisis pihak yang berperan dalam proses keputusan adopsi inovasi pola kemitraan oleh petani.
(2)
Mengeksplorasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani untuk bermitra, khususnya faktor individu, kondisi lingkungan dan persepsi petani terhadap inovasi pola kemitraan agribisnis.
(3)
Menganalisis manfaat pola kemitraan bagi petani dan mitranya, dan
(4)
Merancang strategi kemitraan agribisnis yang berkelanjutan
Kegunaan Hasil Penelitian Hasil Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk: (1)
Para petugas yang melakukan kegiatan pendampingan pada para petani, dalam mengembangkan pola ke mitraan dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani kecil.
(2)
Para praktisi budidaya dan pemasaran sayuran, untuk memahami budaya petani kecil yang mempengaruhi perilaku kerjanya.
(3)
Kalangan akademisi, kajian ini merupakan bahan pembanding tentang keberlakuan konsep atau teori-teori adosi inovasi yang ada sebelumnya atau untuk memodifikasi teori sebelumnya.
Definisi Istilah (1)
Keputusan adopsi adalah tahap di mana petani
memutuskan untuk
menerima atau menolak suatu inovasi. Keputusan ini didasarkan atas persepsinya tentang ciri-ciri inovasi tersebut. (2)
Profil petani adalah gambaran tentang karakteristik individu petani dan karakteristik lingkungan petani.
(3)
Persepsi tentang ciri inovasi adalah penilaian petani tentang ciri inovasi pola kemitraan meliputi keuntungan relatif, kerumitan, kesesuaian, kemungkinan dicoba, dan kemungkinan dilihat hasilnya.
(4)
Kinerja petani adalah kemampuan kerja petani dalam menghasilkan produk
7 sayuran dengan mutu baik, jumlah yang cukup dan terus menerus (“quality, quantity, continuity” ) yang diidentifikasi dari penggunaan teknologi produksi dan pasca panen, serta penggunaan pestisida tepat guna. (5)
Agribisnis
adalah suatu konsep yang utuh, yang mengintegrasikan
beberapa subsistem dalam satu kesatuan, yaitu : (1) Subsistem agribisnis hulu (u p-stream agribusiness), yang meliputi kegiatan di luar pertanian (off-farm), seperti bioteknologi; industri agrokimia (pupuk, pestisida); alatalat pertanian; dan pakan ternak. (2) Subsistem usaha tani (on-farm agribusiness), seperti
pembibitan pembenihan, budidaya perikanan;
peternakan; perkebunan; pertanian. (3) Subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness), yang meliputi kegiatan pengolahan hasil produksi sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan industri bukan makanan. (4) Subsistem jasa -jasa penunjang, yang meliputi kegiatankegiatan yang menunjang kegiatan sektor agribisnis, seperti agrowisata, perdagangan/jasa, transportasi, dan jasa pembiayaan/keuangan. (6)
Pola Kemitraan Agribisnis adalah pola kerjasama antara petani kecil dengan perusahaan agribisinis, koperasi atau pelaku agribisnis lain dalam kurun waktu tertentu.
(7)
Organisasi
Profit
adalah
organisasi
yang
bertujuan
memperoleh
keuntungan dari kegiatan usaha yang dilakukan. (8)
Profit Sharing adalah suatu pola kerjasama/ kemitraan untuk melakukan suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan diantara pelakunya sesuai aturan atau kesepakatan sebelumnya.
(9)
Patron klien suatu bentuk kerjasama untuk melakukan kegiatan usaha tertentu di mana satu pihak sebagai patron dan pihak lain sebagai klien. Dalam pola kerjasama ini, patron biasanya mempunyai kekuasaan yang lebih beasr dibandingkan kliennya, dengan pola kerjasama subordinat.
(10) Principle-agent adalah pola kerjasama keagenan, di mana satu perusahaan besar bekerjasama dengan beberapa agen, baik dalam distribusi input produksi maupun dalam pemasaran hasil produksi. (11) Stakeholder
adalah
pihak-pihak
terkait
dalam
suatu
pola
kerjasama/kemitraan usaha. (12) Komunitas petani adalah sekumpulan petani yang hidup menetap dalam sutu wilayah terten tu, berinteraksi secara intentif satu sama lain karena secara psikologis terikat oleh nilai-nilai, dan kebutuhan tertentu.