PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta meningkatkan nilai tambah produk-produk pertanian guna meningkatkan kesejahteraan penduduk terutama petani dan nelayan. Keberhasilan pembangunan pertanian saat ini selalu dilihat dari kemampuannya dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok di dalam negeri. Kondisi ini menjadikan ketangguhan sektor pertanian merupakan tumpuan dalam mewujudkan ketahanan pangan suatu wilayah. Komitmen Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan tertuang pada Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) No. 68 tentang Ketahanan Pangan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi sekitar 1,49% per tahun serta semakin maraknya konversi lahan pertanian merupakan permasalahan yang harus dihadapi dalam pembangunan pangan. Kondisi ini menurut Suryana (2002) akan mengakibatkan terjadinya kompetisi dalam pemanfaatan lahan untuk usaha, permukiman, penyediaan sarana dan prasarana publik. Kompetisi yang tidak terkendali akan mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan terutama penurunan kualitas lahan pertanian. Menurut data BPS selama kurun waktu 1983 1993 total konversi lahan pertanian di Indonesia mencapai 1,28 juta hektar. Kondisi ini mengisyaratkan pentingnya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi manusia dalam mewujudkan ketahanan pangan yang mantap. Permasalahan ketahanan pangan lain yang dihadapi adalah masih tingginya konsumsi pangan penduduk Indonesia yang dominasi oleh sumber karbohidrat kelompok pangan padi-padian. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2005 bahwa konsumsi aktual penduduk Indonesia pada kelompok pangan padi-padian mencapai 1241 kkal/kapita/hari dengan anjuran hanya 1000 kkal/kapita/hari atau 124%, sementara konsumsi kelompok pangan umbi-umbian 60,83%, pangan hewani 57,92%, dan kacang-kacangan 67% dari kecukupan idealnya (Martianto et al., 2007). Menurut Sinulingga (2002) diacu dalam Syafruddin (2006) adalah
2 adanya konsumsi pangan masyarakat yang masih didominasi oleh sumber karbohidrat beras serta sumber protein nabati. Kebijakan pengembangan pangan yang selama ini terfokus pada beras, telah mengurangi penggalian dan pemanfaatan potensi sumber pangan karbohidrat lain berasal dari umbi-umbian serta menghambat pengembangan usaha penyediaan bahan pangan sumber protein, sumber zat gizi mikro serta potensi lokal. Hal ini sejalan dengan kajian sebelumnya (Martianto & Ariani, 2004; Manoewoto & Martianto, 2002 diacu dalam Martianto et al. 2007) yang menyatakan bahwa: a) ketergantungan konsumsi pangan masyarakat terhadap sumber karbohidrat, khususnya beras masih sangat tinggi (lebih dari 60%), dan peran pangan hewani, sayuran dan buah serta kacang-kacangan masih sangat rendah; b) skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang mencerminkan keanekaragaman pangan masih rendah dan cenderung fluktuatif seiring perkembangan keadaan ekonomi nasional; c) terjadinya peningkatan kontribusi pangan berbasis impor seperti terigu dan produk olahannya; d) adanya peningkatan konsumsi makanan siap saji/makan di luar rumah, khususnya fast food yang dikelola perusahaan multi nasional; e) upaya peningkatan nilai organoleptik pangan lokal (umbi-umbian, kacang-kacangan, dll) yang didukung pengembangan teknologi sederhana untuk usaha kecil dan menengah terbukti mampu meningkatkan preferensi konsumen pangan lokal; dan f) alokasi dana penelitian di bidang pertanian dan pangan masih sangat bias pada padi, dan kurang diarahkan pada pangan lokal lainnya. Menurut Karsin (2004) upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi penduduk dapat dicapai melalui peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, kebijakan harga dan cadangan pangan, industri pangan, pengawasan industri pangan, serta partisipasi masyarakat. Selain itu menurut Ariani (2003) peningkatan produksi dan ketersediaan pangan dipengaruhi oleh luas lahan yang tersedia, produktivitas lahan, intensitas pertanaman, harga pangan, dan harga sarana produksi. Penggolongan makanan di Indonesia sesuai dengan pola makan masyarakat yang mencerminkan perilaku rumah tangga dalam menyusun hidangan sehari-hari menurut Baliwati & Roosita (2004) dikelompokkan menjadi pangan pokok (beras, jagung, ubi, terigu dan singkong), lauk-pauk (daging, ikan, telur tahu dan tempe),
3 sayuran, buah dan susu. Penggolongan ini sering dikenal dengan empat sehat lima sempurna dan merupakan salah satu jabaran dari pedoman gizi seimbang. Penggolongan makanan tersebut apabila dilihat dalam sembilan kelompok pangan yang digunakan FAO dalam Pola Pangan Harapan, maka kelompok pangan pokok terdiri dari kelompok pangan padi-padian dan umbi-umbian. Kelompok pangan yang lainnya adalah pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah serta lain-lain (minuman dan bumbu) (Karsin, 2004). Adanya kebutuhan pangan pokok penduduk dalam pencapaian ketahanan pangan
juga
berimplikasi
terhadap
infrastruktur
pertanian
untuk
dapat
memproduksi pangan yang dibutuhkan. Beberapa sarana pertanian menurut Baliwati (2008) diantaranya adalah lahan pertanian, saluran irigasi, bibit, pupuk, tenaga kerja, serta berbagai sarana prasarana penunjang lainnya termasuk modal. Ketersediaan lahan merupakan faktor penting dalam produksi pangan guna mewujudkan ketahanan pangan sebagai akibat pertumbuhan permintaan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan (Suryana, 2002). Oleh karena itu, salah satu Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006 -2009 adalah meningkatkan land-manratio melalui penyediaan lahan abadi untuk produksi pangan. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional juga menyebutkan perlunya ketersediaan lahan abadi untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Kabupaten Lampung Barat dengan jumlah penduduk tahun 2007 sebesar 410.723 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk tahun 2002 - 2007 sebesar 1,683% (BPS, 2008). Tingginya laju pertumbuhan penduduk tersebut di atas pertumbuhan nasional (1,49%) menyebabkan tekanan terhadap kemampuan memproduksi sendiri penyediaan kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat. Luas wilayah Kabupaten Lampung Barat 495.040 ha yang meliputi 76,78% atau 380.092,37 ha merupakan taman nasional, suaka alam, hutan produksi terbatas dan hutan lindung dan 23,22% (114.947,63 ha) merupakan lahan budidaya pertanian termasuk pemukiman dan infrastruktur (BPS, 2008). Luas lahan yang sangat terbatas ini merupakan faktor penting yang mempengaruhi kemampuan
4 Kabupaten Lampung Barat dalam meningkatkan ketersediaan pangan melalui produksi dalam daerah sebagai upaya terwujudnya ketahanan pangan yang mandiri. Untuk mengetahui seberapa besar kemampuan produksi pangan pokok Kabupaten Lampung Barat dan luasan lahan yang dibutuhkan agar mampu memproduksi pangan dan gizi sesuai kebutuhan pangan dan gizi penduduknya, maka perlu dilakukan analisis terhadap kebutuhan luas lahan pertanian pangan Kabupaten Lampung Barat dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi terutama pangan pokok penduduknya. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal di atas, maka ada beberapa permasalahan yang ingin diketahui melalui penelitian ini yaitu: 1.
Bagaimana kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 - 2012?
2.
Bagaimana kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2007 - 2008?
3.
Apakah kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi penduduk dapat dipenuhi dari potensi lahan pertanian yang ada di Kabupaten Lampung Barat? Tujuan
Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat. Tujuan Khusus 1. Menganalisis kebutuhan produksi pangan pokok penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012. 2. Menganalisis kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam pemenuhan pangan dan gizi penduduk Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 – 2012. 3. Menganalisis pemenuhan kebutuhan luas lahan pertanian pangan dari potensi lahan pertanian yang ada.
5 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Barat maupun pihak terkait lainnya dalam membuat kebijakan dan perencanaan program kegiatan pembangunan daerah yang berkelanjutan agar berlandaskan pada terwujudnya ketahanan pangan wilayah yang mandiri dengan terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi penduduk. Selain itu, juga sebagai masukan bagi pembuat kebijakan distribusi pangan di daerah maupun kebijakan pembangunan lainnya yang berdampak pada kebijakan anggaran pembangunan daerah dalam mencapai tujuan pembangunan serta sebagai pertimbangan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lampung Barat tahun 2009.