PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas laut mencapai 5,8 juta km2 dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km, serta jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (KKP 2009). Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar, terutama sumberdaya perikanan laut baik dari segi kuantitas maupun diversitas dengan sejumlah keunggulan komparatif sekaligus kompetitif yang sangat tinggi (Dahuri
2003).
Sebagai
negara
kepulauan,
Indonesia
diharapkan
mampu
memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya hayati laut sebaik-baiknya, termasuk diantaranya adalah pengembangan komoditas rumput laut (seaweed). Rumput laut merupakan salah satu komoditas strategis dalam bidang kelautan disamping udang dan tuna. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut mencapai 1.110.900 ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha atau 20% dari luas areal potensial. Hal ini menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk mengembangkan usaha budidaya rumput laut di Indonesia. Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut tersebar di seluruh wilayah Indonesia dimana sebagian besar potensi berada di daerah Papua, Maluku, Sulawesi Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Bali (DKP 2005). Indonesia
antara
lain
adalah
Jenis rumput laut yang dikembangkan di
Kappaphycus
alvarezii
(cottonii),
Eucheuma
denticulatum (spinosum) dan Gracilaria sp. Volume produksi rumput laut Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang berarti, khususnya pada volume produksi budidaya. Menurut data KKP (2009), volume produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2005 mencapai 910.636 ton (basah). Pada tahun 2009, jumlah tersebut meningkat menjadi sebesar 2.574.000 ton (basah). mencapai 30,2%.
Rata-rata peningkatan produksi rumput laut per tahun
Produksi rumput laut Indonesia sebagian besar diekspor ke
beberapa negara, seperti China, Hongkong, Filipina, Spanyol, Denmark, USA, Korea, dan Prancis. 1
2
Indonesia diyakini merupakan negara penghasil rumput laut terbesar di dunia, khususnya untuk rumput laut penghasil karaginan, yaitu jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Saat ini diperkirakan produksi rumput laut Indonesia untuk jenis tersebut sudah melampaui produksi rumput laut Filipina yang merupakan negara produsen rumput laut terbesar di dunia. Menurut Dakay (2008), rata-rata produksi rumput laut Filipina pada tahun 2002-2007 cenderung menurun dengan rata-rata penurunan hingga mencapai 0,61%. Sementara, produksi rumput laut Indonesia pada periode yang sama mengalami peningkatan sebesar 257,98% dengan rata-rata kenaikan per tahun mencapai 29,72%. Tahun 2007 jumlah produksi rumput laut penghasil karaginan di Indonesia mencapai 92.000 ton (kering). Meskipun saat ini Indonesia merupakan negara produsen rumput laut penghasil karaginan terbesar di dunia, namun peran dan kontribusi Indonesia dalam industri pengolahan rumput laut masih perlu ditingkatkan mengingat peluangnya masih cukup besar.
Dengan dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan
Indonesia dimana rumput laut menjadi salah satu komoditas utama yang direvitalisasi, industri pengolahan rumput laut berkembang cukup pesat. Orientasi pemanfaatan rumput laut sebagai komoditas ekspor dalam bentuk raw material saat ini sudah mulai bergeser menjadi produk yang memiliki nilai tambah tinggi, khususnya dalam bentuk ATC (alkali treated cottonii). ATC merupakan suatu produk karaginan semi jadi yang berasal dari proses pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii yang pada umumnya digunakan sebagai pengatur keseimbangan, pengental, pembentuk gel, dan pengemulsi dalam industri pangan dan non pangan. Potensi pasar produk ATC cukup besar. McHugh (2003) menyebutkan bahwa produk ATC sangat diminati oleh industri-industri pengolah di Eropa dan Amerika. DKP (2007) merinci potensi pasar dunia untuk karaginan, dimana untuk pangsa pasar Eropa sebesar 35%, Amerika Utara sebesar 25%, sementara untuk Amerika Selatan mencapai 15%. Dengan berkembangnya industri ATC ini tentunya diharapkan dapat meningkatkan nilai ekspor produk kelautan Indonesia ke luar negeri. Hal ini akan membawa dampak positif bagi seluruh pihak yang terlibat dalam mata rantai penciptaan nilai tambah rumput laut (value adding chain).
3
Dalam rangka meningkatkan daya saing industri rumput laut di Indonesia, maka penguatan struktur industri rumput laut nasional perlu segera dilakukan. Hal ini disebabkan meskipun Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia, namun harga bahan baku masih dikendalikan oleh pembeli dari luar negeri (buyer market). Strategi pengembangan industri rumput laut masih kurang terencana dengan baik.
Strategi belum dirancang menjadi suatu struktur usaha yang dikelola dan
berorientasi pada pengembangan industri dari hulu sampai hilir dan turunannya, sehingga sangat rentan terhadap perubahan (BPPT 2010). Pada sisi yang lain, secara internal industri rumput laut didalam negeri masih menghadapi berbagai kendala pada hampir semua segmen, khususnya di tingkat pembudidaya dan industri pengolahan.
Beberapa permasalahan yang menonjol
diantaranya terkait dengan: (i) kualitas rumput laut yang dihasilkan pembudidaya umumnya masih rendah karena teknik budidaya dan penanganan pascapanen belum dilakukan secara benar, yang mengakibatkan industri pengolahan kesulitan dalam memproduksi produk akhir yang sesuai dengan standar mutu internasional; (ii) industri pengolahan tidak mendapatkan jaminan pasokan bahan baku yang tepat jumlah, mutu, waktu dan harga, karena rumput laut menjadi komoditas dagang dan lebih banyak dijual dalam bentuk rumput laut kering; (iii) harga rumput laut sering tidak rasional sebagai bahan baku industri karena tidak ada tata niaga yang terkoordinir dengan mengacu kepada norma industri dengan banyaknya spekulan bahan baku (DKP 2005; Ma’ruf 2007; Sulaeman 2006; BI 2008); serta (iv) industri pengolahan menghasilkan limbah yang sangat besar yang berpotensi mencemari lingkungan sekitar (Sedayu et al. 2007). Berdasarkan pada kondisi-kondisi tersebut, maka langkah yang perlu segera dilakukan adalah memprogramkan penguatan struktur industri rumput laut nasional dari hulu ke hilir.
Terkait dengan hal tersebut, salah satu strategi yang dapat
dilakukan adalah melalui pendekatan klaster industri.
Pendekatan ini akan
mendorong penguatan hubungan antar industri rumput laut yang saling terkait dalam rantai proses peningkatan nilai tambah. Merujuk pada pendapat Taufik (2005a), dalam klaster industri rumput laut, industri terdiri dari himpunan para pelaku dalam konteks tertentu baik yang berperan sebagai industri inti, pemasok kepada pelaku
4
industri inti, industri pendukung bagi industri inti, serta pihak atau lembaga yang memberikan jasa layanan kepada pelaku industri inti. Pengembangan klaster telah dilakukan di berbagai negara industri, seperti Amerika, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Portugal, Selandia Baru, dan Jepang, serta telah diaplikasikan pula pada beberapa negara berkembang (Doeringer dan Terkla 1996; Schmitz dan Nadvi 1999). Menurut Bulu et al. (2004), pendekatan klaster saat ini telah menjadi prioritas kebijakan pemerintah di berbagai negara untuk meningkatkan daya saing daerahnya. Di Indonesia, pendekatan klaster industri mulai diperkenalkan sebagai salah satu agenda prioritas kebijakan pembangunan nasional melalui UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi lebih pada kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan horisontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan daya saing industri nasional. Penerapan pendekatan klaster industri dilakukan untuk lebih mendayagunakan dan mengembangkan industri rumput laut Indonesia sehingga menjadi usaha yang terintegrasi dan handal mulai dari hulu hingga hilir serta berdaya saing tinggi. Program penguatan struktur industri rumput laut berbasis klaster dilakukan melalui sinergi dan koordinasi dari berbagai pihak, baik antar kementerian terkait dari pihak pemerintah, maupun para pelaku usaha di pihak lain seperti pembudidaya, pedagang, eksportir, dan industri pengolah, termasuk di dalamnya lembaga keuangan bank dan non bank.
Keterlibatan para pemangku kepentingan ini akan menjadi kunci
keberhasilan pencapaian dalam pengembangan industri rumput laut nasional secara berkelanjutan. Pengembangan klaster industri rumput laut diharapkan mampu menciptakan manfaat ekonomi dan daya saing. Namun demikian, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan klaster industri rumput laut saat ini sangat kompleks untuk mewujudkan klaster industri rumput laut secara berkelanjutan. Argumentasi yang melandasinya adalah bahwa praktek-praktek pembangunan ekonomi berbasis klaster
5
yang selama ini dilakukan telah mengabaikan faktor-faktor keberlanjutan yang cenderung hanya bertujuan untuk merealisasikan potensi pengembangan ekonomi semata. Tantangan yang dihadapi bagi pengembang klaster saat ini tidak hanya terfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga terkait dengan aspek lingkungan dan sosial (Martin dan Mayer 2008; Allen dan Potiowski 2008). Penelitian ini bermaksud merancang suatu model pengembangan klaster industri rumput laut menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Pengembangan klaster industri rumput laut yang
berkelanjutan merupakan salah satu upaya dalam rangka meningkatkan daya saing industri rumput laut secara berkelanjutan sekaligus sebagai upaya dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi industri rumput laut di Indonesia selama ini. Dalam konteks ini, tidak hanya manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dalam pengembangan klaster industri rumput laut, melainkan juga manfaat lingkungan dan sosial yang perlu diperhatikan secara seimbang. Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk menghasilkan model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan yang dirancang dalam bentuk sistem penunjang keputusan (SPK). Ruang Lingkup 1 Model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan dirancang berdasarkan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan yang difokuskan pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. 2 Model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan mencakup beberapa aspek kajian, meliputi: (i) diagnosis kelayakan pengembangan klaster; (ii) operasi pengembangan klaster; dan (iii) prediksi kinerja pengembangan klaster. 3 Model pengembangan klaster industri rumput laut secara spesifik difokuskan pada klaster yang menghasilkan produk akhir berupa karaginan semi murni (ATC) yang diproduksi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii.
6
Manfaat 1 Bagi masyarakat ilmiah, penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran dan bahan rujukan dalam bidang manajemen industri pertanian, khususnya untuk mengkaji pengembangan klaster industri rumput laut. 2 Bagi pemerintah pusat, dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut yang akan dikembangkan di daerah-daerah. 3 Bagi pemerintah daerah, merupakan bahan dalam pengambilan keputusan untuk penyusunan program dan pembinaan pengembangan klaster industri rumput laut dalam rangka mengarahkan sumberdaya secara efektif dan efisien dalam upaya pembangunan ekonomi wilayahnya yang berkelanjutan. 4 Bagi
pelaku
klaster,
dapat
membantu
pengambilan
keputusan
dalam
pengembangan usahanya sehingga keputusan yang diambil mempunyai landasan yang jelas.