PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK USIA DINI MELALUI BERMAIN GUSTIANA Abstrak Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, tetapi juga harus mempunyai budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya. Keluarga merupakan tempat strategis dalam membangun karakter yang kuat bagi anak, begitu pula guru. Karena guru merupakan ujung tombak dalam menyelenggara-kan pendidikan karakter di sekolah. Melalui menyampaikan materi pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sejak dini akan membentuk fondasi kuat, diharapkan anak akan mengimplemtasikan secara aplikatif dalam kehidupannya.Perlu ada kerjasama secara sinergis antara pendidikan informal, pendidikan non formal dan formal dalam rangka menyamakan langkah untuk membangun karakter, sehingga anak jika dewasa memiliki keyakinan yang kuat dari kata hatinya apa yang benar itulah yang dilaksanakan tanpa terpengaruh oleh pihak lain. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan melalui materi dalam pembelajaran pada setiap pengembangan di PAUD. Berkaitan dengan norma atau nilai perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajar-an nilainilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan sehari-hari diharapkan nanti menjadi budaya sekolah. Kata Kunci: Pembentukan Karakter, Bermain A.
PENDAHULUAN Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan
karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan norma-norma di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, tetapi juga harus mempunyai budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya. Betapa tidak, dewasa ini kita sedang dihadapkan pada persoalan dekadensi moral yang sangat serius. Pergeseran orientasi kepribadian yang mengarah pada berbagai perilaku amoral sudah demikian jelas dan nampak terjadi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Rasa malu, berdosa dan bersalah dari perbuatan buruk serta pelanggaran terhadap norma-norma, baik norma agama,
1
norma hukum, norma susila, tidak lagi menjadi tuntunan dalam menciptakan kehidupan yang bertanggung jawab dalam memelihara nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Montessori otak anak seperti “the absorbent mind”. Bahkan bayi yang berusia 23 minggu sudah mampu meniru mimik muka orang tua di sekitarnya. Masa-masa dimana anak cepat sekali meniru, maka memberikan pendidikan karakter sedini mungkin penting dilakukan. Ibaratnya, otak anak adalah seperti sponge. Sponge yang kering kalau dimasukkan ke dalam air akan cepat sekali menyerap air. Seandainya sponge itu diletakkan di air jernih, yang diserap juga air jernih. Jika diletakkan di air selokan, yang diserap juga air selokan. Inilah sebabnya, begitu efektifnya kita mengajar anak-anak usia dini tentang hal-hal yang baik. Pada masa-masa emas ini kita mencoba memberikan sebanyak mungkin kebaikan kepada anak agar dampaknya di dalam otak anak adalah yang baik-baik saja. Dalam pedoman Pendidikan Karakter bagi Anak Usia Dini yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (PAUDNI), Direktorat PAUD, (2011 : 8), menjelaskan, pada pendidikan anak usia dini nilai-nilai karakter yang dipandang sangat penting dikenalkan dan diinternalisasikan ke dalam perilaku mereka mencakup:kecintaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.Kejujuran, disiplin, toleransi dan cinta damai, percaya diri mandiri, tolong menolong, kerjasama, dan gotong-royong, hormat dan sopansantun, tanggung jawab, kerja keras, kepemimpinan dan keadilan, kreatif, rendah hati, peduli lingkunga , cinta bangsa dan Tanah Air. Menurut Kurniawaty (2011 : 7) pendidikan karakter adalah upaya penanaman nilai-nilai karakter kepada anak didik yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan, kepada Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun kebangsaan agar menjadi manusia yang berakhlak. Bicara pendidikan karakter erat pula kaitannya dengan perkembanga moral anak. Suyanto (2005:67), menyebutkan, perkembangan moral anak ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku. Perkembangan moral mempunyai aspek kecerdasan dan aspek implusif, anak harus belajar apa saja yang benar dan salah, selanjutnya segera setelah mereka cukup besar mereka harus diberi penjelasan mengapa itu benar dan mengapa itu salah. Perkembangan moral anak dapat dipengaruhi oleh perkembangan intelektual dan penalaran, oleh karena itu diperlukan latihan bagi mereka tentang bagaimana berprilaku 2
moral dan konteks tertentu. Kematangan sosial emosi anak usia dini adalah penentu keberhasilan anak di sekolah lanjutannya”, dan juga memberikan rekomendasi tentang kompetensi yang harus dicapai oleh anak-anak usia PAUD yang mencakup:
percaya diri (confidence)
rasa ingin tahu (curiosity)
Motivasi
kemampuan kontrol diri (self-control)
kemampuan bekerja sama (cooperation)
mudah bergaul dengan sesamanya
mampu berkonsentrasi
rasa empati,
kemampuan berkomunikasi. Usia 4-8 tahun (disebut masa kritis) dalam membentuk semua aspek pada seorang anak.
Menurut Campbell pada usia ini anak sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Artinya anak lebih mudah memperoleh pengetahuan. Anak dengan cepat melalui melihat, mendengar yang ada di sekitarnya. Untuk itu dosen/guru saat pembelajaran berlangsung terbiasa menyelipkan pendidikan karakter dengan baik. Hal ini perlu dijaga dan dilestarikan sampai kapan pun. Salah satu sebab pendidikan karakter anak tidak terpelihara dengan baik karena pengaruh lingkungan dimana anak berada. Guru berperan penting dalam pendidikan karakter, guru dalam merancang, melaksanakan pembelajaran tidak menyelipkan pendidikan bermuatan karakter pada saat pembelajaran berlangsung. Tak kalah pentingnya orang tua atau keluarga sebagai panutan dalam rangka membangun karakter anak bangsa. Selama ini, pendidikan dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter anak. Kesibukan orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pengetahuan orang tua dalam mendidik anak, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan media elektronik dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui bermain. Menurut Froberg dalam Dockett & Fleer bermain 3
bagi anak merupakan kegiatan simbolik bermakna, aktif, menyenangkan, suka rela dibatasi aturan, episodik (sepotong-sepotong). Jadi melalui bermain dapat membangun pendidikan karakter secara terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, intensitas keluarga, belajar di sekolah perlu dioptimalkan agar mutu hasil belajar dapat tercapai yakni sumber daya manusia yang bermartabat. Hal ini sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3 UU menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap pengembangan di PAUD melalui bermain . Bermain dapat dikembangkan berbagai karakter pada anak. Melalui bermain guru harus menciptakan lingkungan kondusif saat pembelajaran berlangsung berpusat pada anak, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga pembelajaran akan bermakna diharapkan dapat membangun karakter anak bangsa terutama di PAUD (TK, RA, Kelompok Bermain) seperti yang tercantum dalam tujuan Pendidikan nasional menuju kesuksesan seseorang. Senada dengan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Berdasarkan pendapat tersebut bahwa kesuksesan seseorang didukung dengan soft skill, bagaimana seseorang dapat mengelola diri dan kemampuan mengelola orang lain namun kemampuan teknis (hard skill) juga diperlukan. Untuk mengetahui lebih lanjut hal tersebut apa, mengapa, kapan dan bagaimana pendidikan karakter dibangun melalui bermain . Tujuan bermain dapat meningkatkan rasa kebersamaan, kesadaran akan nilai-nilai relegius sesuai dengan tema yang dipelajari.
4
BERMAIN BAGI ANAK USIA DINI 1.
FUNGSI BERMAIN Bermain merupakan dunia anak. Menurut Roger, Cosby S dan Janet K. Sawyers (1995)
setiap anak ingin selalu bermain, karena dengan bermain anak merasa rileks dan senang. Charlotte Buhler mengatakan bahwa bermain adalah pemicu kreatifitas dan anak akan meningkat kreatifitasnya melaui bermain. Selanjutnya Jean Piaget (Betty L. Broman, 1982) mengemukakan, bagi anak bermain adalah sarana mengubah kekuatan potensial dalam diri menjadi pelbagai kemampuan dan kecakapan. Bermain adalah sarana untuk belajar hukum alam, hubungan antar orang dan objek. Deborah Burnett Strother (George W. Maxim, 1992) berpendapat bahwa sebagai alat transformasi, sebagai pemandu pengalaman dan pemahaman. Bermain merupakan kebutuhan essensial bagi anak, sebuah aktivitas bawaan yang krusial untuk pertumbuhan dan perkembangan. Maxim (Maxim, 1992) menjelaskan bahwa bermain adalah sesuatu yang besar karena bermain adlah bagian integral bagi kehidupan anak. Bermain adalah alami, menyenangkan, sukarela, spontanitas, dan tidak mengharapkan hasil. Berdasarkan definisi tersebut diatas, Maxim mengidentifikasi lima (5) karakteristik bermain bagi anak yaitu; (1) merupakan motivasi instrinsik bukan dorongan dari orang lain, (2) mementingkan proses daripada hasil, (3) merupakan perilaku nyata, (4) bebas memilih, dan (5) kesenangan yang intensif. Bermain, menurut Ericson dalam O’Connor bermain itu sendiri merupakan hal yang menyenangkan. Jadi dari pendapat di atas bahwa anak bermain tanpa menimbulkan beban sedikitpun yang ada dalam benaknya rasa gembira, tertawa bersama sehingga bermain bagi anak merupakan hal yang menyenangkan ada juga berpendapat bermain karena energi yang berlebih. Senada yang dikemukakan oleh Spencer dalam Tejasaputra (2001) bermain terjadi akibat energi yang berlebih. Artinya anak terlihat berlari-lari tidak mau diam karena energi yang berlebih harus disalurkan melalui bermain. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan sarana anak untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman tentang dunia yang diperlukan untuk kehidupan di masa dewasa, bermain juga merupakan sarana untuk mengembangkan kemampuan fisik, 5
bahasa, kognitif, sosial dan emosi anak. Oleh karena itu kegiatan bermain memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak dan
suatu aktivitas yang dilakukan anak dengan
menyenangkan, energi yang berlebihan akan dapat disalurkan dengan melibatkan seluruh indera sehingga anak dapat bereksplorasi dan eksperimen serta dapat membantu semua aspek perkembangan. Dari paparan tersebut anak-anak menyatakan dan igin selalu bermain hal ini telah diakui sepanjang sejarah. Melalui aktivitas bermain tidak hanya bereksplorasi dan bereksperimen membayangkan bermain dengan simbol, memanipulasi lingkungan sosial dan fisiknya. Berdasarkan hal tersebut anak-anak sangat membutuhkan porsi bermain lebih banyak, sebagian besar waktunya dengan bermain. Issac (1990) mengklasifikasikan fungsi bermain menjadi tiga (3) fungsi besar, yaitu; (1) bermain sebagai petunjuk untuk menemukan, memikirkan, dan gagasan, (2) bermain sebagai jembatan hubungan sosial, dan (3) bermain sebagai petunjuk keseimbangan emosi. Selanjutnya Hartley, Frank dan Goldenson membagi fungsi bermain menjadi 8 fungsi, yaitu; (1) imitasi orang dewasa, (2) bermain bukanlah kehidupan nyata, (3) menggambarkan hubungan dan pengalaman, (4) mengungkapkan penekanan akan kebutuhan, (5) mengungkapkan perasaan hati yang tidak diterima, (6) mengambil kebalikan dari peraturan yang biasa, (7) cermin dari pertumbuhan, dan (8) suatu kegiatan yang berfungsi untuk keluar dari masalah dan mencari solusinya. Maxim menekankan fungsi bermain sebagai fungsi pengembangan kemampuan anak yang meliputi: Pengembangan fisik Pengambangan motorik kasar seperti mengangkat, menumpuk, mendorong, menarik, dan mendaki. Semua itu memberi kontribusi terhadap pertumbuhan dan koordinasi motorik kasar serta pengembangan motorik halus seperti menggunting, mengikuti gambar, memainkan boneka kartu, memasang balok-balok pada tumpukan, membantu perkembangan koordinasi antara tangan dan mata. Pengembangan intelektual
6
Memperhatikan hubungan antara ukuran dan berat, menghitung, memasangkan, memilah, berhubungan dengan teman, dan memahami simbol merupakan bukti nyata yang penting dari pengalaman belajar melalui bermain balok. Pengembangan sosial Saling berbagi tanggung jawab, berkoordinasi dengan kelompok, kerjasama, menjalin persahabatan adalah usaha untuk membangun kepercayaan diri dan tanggung jawab individu. Pengembangan emosi Aktivitas yang menyenangkan, mendorong minat, mengatasi frustrasi dan mengekspresikan perasaan secara terbuka (frustrasi dan kegembiraan) menyertai penggunaan dan penguasaan bermain balok. Selanjutnya Warner melihat fungsi bermain secara lebih luas bagi pertumbuhan anak, yaitu; (1) pertumbuhan fisik, yaitu keterampilan motorik kasar dan motorik halus. Melalui bermain tubuh anak akan menjadi lebih fleksibel. Lengan dan kakinya akan semakin panjang, sehingga anak dapat melakukan lebih banyak kegiatan motorik kasar seperti berlari, melompat, memanjat, berguling, berputar, dan sebagainya. Keterampilan motorik halusnya meningkat, jemari anak akan menjadi semakin ramping dan panjang, ia akan lebih leluasa dengan kegiatan yang membutuhkan dekteritas manual seperti menggambar, mewarnai, menyuap makanan sendiri, memakai baju sendiri, mengikat tali sepatu dan menyikat gigi. Bertambahnya koordinasi dan keseimbangan gerakan tubuh dan kemampuan untuk menjaga keseimbangan akan memberikan kesempatan-kesempatan baru bagi anak di berbagai bidang olah raga dan kegiatan sederhana, serta permainan yang lebih rumit; (2) perkembangan kognitif yaitu keterampilan berpikir. Ketika ukuran, kapasitas dan fungsi khusus otak anak tumbuh, kemampuan untuk berpikir dan menyelesaikan masalah juga meningkat pesat. Ia akan mampu untuk berpikir lebih logis, mencari cara menjelaskan tugas-tugasnya dan mengingat banyak hal dengan lebih detail untuk waktu yang lebih lama; (3) keterampilan berbahasa, yaitu berpikir simbolis. Keterampilan bahasa anak tengan berkembang pesat pada periode ini. Ketika kemampuan kognitifnya tumbuh, ia mulai berfikir secara simbolis melalui penggunaan bahasa. Ia akan menggunakan kata-kata untuk mengganti gambar dan gerakan tubuh, dan mulai mengerti makna dari berbagai konsep. Ia menggunakan kata-kata untuk menyampaikan keinginannya, membagi rasa, dan berinteraksi sosial. Kosa kata; di umur 6 tahun anak telah memiliki 7
perbendaharaan kata kurang lebih 10.000 kata, memahami aturan dasar tatabahasa, dan mulai mengalami penambahan kosa kata sebanyak 6 sampai 1o kata baru setiap harinya; (4) Pertumbuhan psikologis yaitu pemahaman diri; ketika anak tumbuh secara fisik dan kognitif, ia juga akan mulai menyadari keberadaan dirinya. Ia akan mengenali bagian-bagian tubuhnya, memamerkan mainannya, menggambar gambar dirinya, keluarganya dengan sederhana, dan menikmati menyebut nama dan umurnya. Kepercayaan diri dan kebanggaan diri juga muncul seiring dengan munculnya pemahaman diri, juga muncul percaya diri, yang akan membentuk kebanggaan dirinya. Ketika anak mulai mengenal dirinya sendiri lebih dalam, ia akan menemukan kepercayaan diri pada kemampuannya akan mencoba hal-hal baru, menghadapi tantangan, dan menyelesaikan tugas-tugas. Setiap keberhasilan akan menambah kepercayaan dirinya, yang kemudian akan membantunya menghadapi tantangan dan keberhasilan lebih lanjut; (5) Ekspresi emosional, yaitu kemampuan berbagai rasa, secara psikologis, anak telah melewati masa “bereaksi dengan menangis” dan dapat menyampaukan perasaan, keinginan, dan kemauannya dengan lebih tepat. Ketika emosinya melai terlatih dan terkontrol, ia akan lebih mampu menguasai perasaannya lewat kemampuan verbal, ekspresi seni dan sandiwara dramatis; (6) Keterampilan sosial yaitu kemampuan interaksi sosial. Keterampilan interaksi sosial anak akan bertambah ketika mulai berhubungan dengan lebih banyak orang di rumah dan di lingkungan sekitarnya. Kemampuan berinteraksi dengan orang lain sngatlah penting bagi keberhasilan diberbagai bidang kehidupan. Karena itu anak harus banyak meluangkan waktu dengan teman sebayanya. Kapan Waktu yang Tepat Memulai Penerapan Pendidikan Karakter ? Seperti kita ketahui waktu yang tepat dasar pendidikan karakter sebaiknya pada anak usia dini (TK atau kelompok bermain). Pada usia ini anak sangar mudah dalam menerima stimulus, seperti yang dikemukakan Bredekamp (1987) usia dini dikategorikan priode lahir sampai delapan tahun. Usia ini yang disebut dengan masa keemasan (golden age) dalam kehidupan manusia, karena pada masa ini anak memiliki banyak kemudahan dalam menerima berbagai stimulus yang akan berpengaruh terhadap fungsi otaknya. karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan semua potensinya. Menurut Beck (2006) pada umur 4 tahun anak telah mencapai 50% dari kemampuan kecerdasannya, umur 8 tahun telah mencapai 80%, tanpa melihat bentuk dan pendidikan yang 8
diperoleh. Kemampuan kecerdasannya hanya diubah 20%. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, senada dengan pendapat Woolfolk keluarga merupakan tempat yang lebih baik untuk mendorong anak berprestasi tinbggi. Jika keberhasilan inisiatif dan persaingan itu dibina dan diberi penguatan di rumah, membiarkan anak untuk memecahkan masalahnya sendiri, maka anak akan lebih mampu mengembangkan kebutuhannya. Selain itu Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya. Entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Apabila seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Berdasarkan hal tersebut terbukti bahwa pentingnya pendidikan karakter, baik di rumah ataupun di pendidikan formal. Di sinilah keluarga berperan dalam menanamkan pendidikan karakter anak, karena di dalam keluarga anak diajarkan hal-hal yang baik sehingga pada waktu dewasa anak tersebut telah terpatrei sampai dia dewasa. Namun bagi sebagian keluarga, proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang padat rutinitas. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Senada yang diungkapkan oleh Read dan Patterson, (1980). Guru akan menjadi dambaan anak apabila sayang, perhatian, sabar, dan membantu anak dalam belajar. Jadi guru hendaknya dapat memimpin kelas dengan baik tidak menimbulkan stres senada yang diungkapkan oleh Moon dan Mayes (1994) sebuah kelas akan dipimpin guru yang baik seharusnya menjadi kelas yang penuh semangat, perhatian, positif akan mencapai standar nilai yang tinggi. Dalam kelas tersebut hanya sedikit stes atau ketegangan, akan banyak kerjasama dan toleransi di kelas. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Guru juga dianggap idola bagi anak, apa pun yang dikatakan guru anak selalu mengikutinya dengan baik. Hasil penelitian dalam sepuluh tahun terakhir ini untuk mendukung NAEYC Bredekamp & juga beberapa pendidik aliran konstruktivisme Caine & Caine Jansen 9
bahwa sebuah lingkungan belajar yang tidak menakutkan sangat penting, anak seharusnya merasa nyaman menerima, mengeksplorasi, menstimulasi ide-ide baru. Ada waktu belajar anak dalam kondisi nyaman dan menyenangkan sebagai aktivitas yang tinggi rendah tekanan, lingkungan belajar yang sesuai. Pembelajaran menyenangkan Menurut hasil penelitian Indrawati dan Setiawan (2009). konsentrasi yang tinggi terbukti meningkatkan hasil belajar. Dalam penelitian mengenai otak dan pembelajaran mengungkapkan fakta yang mengejutkan, yaitu apabila sesuatu dipelajari secara sungguh-sungguh (dimana perhatian yang tinggi dari seorang tercurah) maka struktur internal sistem syaraf kimiawi seseorang berubah. Di dalam diri seseorang tercipta hal-hal baru seperti jaringan syaraf baru. Jalur elektris baru, asosiasi baru, dan koneksi baru. Untuk itu dalam pembelajaran yang akan dilakukan melalui bermain akan menimbulkan kesenangan, kenyamanan tersendiri bagi anak dalam hal ini peran guru sangat penting. Senada yang dikatakan Hidayatullah, ada tiga indikator suasana yang nyaman untuk belajar yakni;1) menyenangkan dan membahagiakan, 2) lingkungan kondusif baik fisik maupun non fisik, 3) layanan dan penampilan prima. Dari indikator di atas bahwa guru harus dapat menciptakan suasana nyaman sehingga anak dapat menerima pelajaran yang akan diberikan. Pemikiran guru sangat berpengaruh besar bagi pendidikan karakter anak. Untuk itu orang tua dan guru di sekolah sangat baik menyamakan langkah bagaimana cara menanamkan pendidikan karakter anak sehjak dini melalui beberapa kegiatan yang diadakan di sekolah. Misalnya; program kegiatan sekolah, memperingati hari-hari besar agam, kunjungan ke panti asuhan dan yang lainnya. Karakter ini akan melekat hingga anak dewasa. Adapun ciri-ciri anak berkarkter dapat dilihat berikut ini, Menurut Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Sebaliknya, orang yang perilaku sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, 10
menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Dari pendapat di atas anak memiliki ciri-ciri karakter mulia yang telah terbentuk dalam keluarga sejak dini yang nanti akan melekat dalam dirinya serta dimplemtasikan dalam kehidupan sebagai anak bangsa yang patut dibanggakan. B. MEMBANGUN KARAKTER ANAK MELALUI BERMAIN 1. Tahapan dalam Penerapan Pendidikan Karakter melalui bermain Berikut ini beberapa karakter positif yang akan menjadi target dalam program pembelajaran, disesuaikan dengan tahap perkembangan anak dan PAKEM (Pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan) . Menurut Thomas Lickano mengungkapkan kararter terdiri atas tiga bagian yang saling terkait yaitu: 1. Pengetahuan tentang moral 2. Perasaan tentang moral 3. Prilaku bermoral Artinya manusia yang berkarakter adalah induvidu yang mengetahui tentang kebaikan menginginkan dan mencintai kebaikan dan melakukan kebaikan. Nilai – nilai pendidikan karakter anak usia dini (0- 6 tahun) tertuang dalam empat aspek nilai-nilai karakter yang terdiri dari aspek spiritual, aspek personal/kepribadian, aspek sosial dan aspek lingkungan. Melalui empat aspek tersebut nilai nilai pendidikan
karakter yang penting dikenalkan dan
diinternalisasikan ke dalam perilaku anak usia diniyang mencakup :
Kecintaan terhadap Tuhan YME Kejujuran Disiplin Toleransi dan Cinta Damai Percaya Diri Mandiri Tolong menolong, kerja sama dan gotong royong Hormat dan Sopan Santun Tanggung jawab Kerja keras Kepemimpinan dan Keadilan 11
Kreatif Rendah Hati Peduli lingkungan Cinta bangsa dan Tanah air Adapun Tujuh Prinsip Pendidikan Karakter yang harus dilaksanakan oleh Pendidik dan
Lembaga PAUD yaitu : 1. Melalui contoh dan Keteladan 2. Dilakukan secara berkelanjutan 3. Menyeluruh, terintegrasi dalam seluruh aspek perkembangan 4. Menciptakan suasana kasih sayang 5. Aktif memotivasi anak 6. Melibatkan pendidik dan tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat 7. Adanya penilaian Selanjutnya penanaman nilai nilai karakter melalui keteladanan, pembiasaan, pengulangan dalam kehidupan sehari-hari dengan tahapan sebagai berikut : 1. Perencanaan Hal - hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan: mengenal dan memahami seutuhnya sesuai dengan tahapan perkembangan dan karakteristik anak, seperti : anak sebagai peneliti ulung, aktif gerak pantang menyerah, maju tak pernah putus asa. Nilai – nilai pendidik belajar mengajar karakter diterapkan menyatu dengan kegiatan inti proses belajar mengajar yang dilakukan dengan cara memilih nilai-nilai karakter yang sesuai dengantema dalam kegiatan pembelajaran, menentukan indikator perkembangan nilai-nilai karakter sesuai denga tahap perkembangan anak , menentukan jenis dan tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan. 2. Pelaksanaan Pelaksanaan nilai-nilai karakter bagi anak usia dini dilakukan melalui kegiatan yang terprogram dan pembiasaan. A. Kegiatan terprogram antara lain : a. Manggali pemahaman anak untuk tiap-tiap nilai karakter. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui kegiatan main, contohnya malalui bercerita dan tanya jawabyang dipandu dengan guru, misalnya untuk tema tanaman, guru dapan mengajukan pertanyaan terbuka tentang karakter yang bertanggung jawab dalam memelihara tanaman. Contoh pertanyaan guru. “ 12
mengapa kita harus bertanggung jawab memelihara tanaman ?”atau “bagaimana cara kita bertanggung jawab terhadap tanaman? b. Membangun penghayatan anak dengan melibatkan emosinya untuk menyadari pentingnya menerapkan nilai karakter (bertanggung Jawab) c. Mengajak anak-anak bersama-sama melakukan nilai-nilai karakter yang diceritakan . Misalnya setelah anak bereksplorasi dan terdorong melakukan krakter tanggung jawab terhadap tanaman, maka guru memberi kesempatan kepada anak untuk melaksanakan karakter tanggung jawab terhadap tanaman sesuai keinginan dan kemampuannya. d. Ketercapaian terhadap perkembangan Anak didik dalam hal ini dimintan untuk menceritakan kegiatan dan perasaannya setelah melakukan kegiatan guru dapat memberikan penguatan dan sentuhan kasih sayangnya terhadap apa yang direfleksikan anak, misalnya dengan mengatakan ,”terima kasih, sudah bertanggung jawab untuk menyiram tanaman. B. Kegiatan Pembiasaan Kegiatan Pembiasaan dilakukan melalui : a. Kegiatan rutin di lembaga Paud b. Kegiatan spontan c. Keteladanan d. Pengkondisian e. Budaya lembaga Paud
C. Kegiatan yang melibatkan orang tua Kegiatannya adalah menyampaikan kepada orang tua tentang nilai-nilai yang di tanamkan dilembaga PAUD kepada peserta didik, agar nilai-nilai tersebut juga dapat diterapkan dan dibiasakan dilingkungan keluarga. D. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dalam membangun karakter anak melalui bermain di PAUD dapat disimpulkan sebagai berikut;
13
1. Keluarga merupakan tempat strategis dalam membangun karakter yang kuat bagi anak, begitu pula guru. Karena guru merupakan ujung tombak dalam menyelenggara-kan pendidikan karakter di sekolah. Melalui menyampaikan materi pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sejak dini akan membentuk fondasi kuat, diharapkan anak akan mengimplemtasikan secara aplikatif dalam kehidupannya. 2. Perlu ada kerjasama secara sinergis antara pendidikan informal, pendidikan non formal dan formal dalam rangka menyamakan langkah untuk membangun karakter, sehingga anak jika dewasa memiliki keyakinan yang kuat dari kata hatinya apa yang benar itulah yang dilaksanakan tanpa terpengaruh oleh pihak lain. 3. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan melalui materi dalam pembelajaran pada setiap pengembangan di PAUD. Berkaitan dengan norma atau nilai perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajar-an nilainilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan sehari-hari diharapkan nanti menjadi budaya sekolah. DAFTAR PUSTAKA Bredekamp, Sue. 1987.Developmentally Appropriate Practice in Erarly Chilhood Program Serving Children From Birth Through Age 8 . Washington: NAYC. Padmonodewo, Soemiarti, Pendidikan Anak Prasekolah, Rineka Cipta, Jakarta (2000) Sudono, Anggani, Sumber Belajar dan Alat Permainan untuk Pendidikan Usia Dini, Grasindo, Jakarta (2000) Tedjasaputra, Mayke S, Bermain, Mainan, dan Permainan untuk Pendidikan Grasindo, Jakarta (2001)
Usia Dini,
Indrawati dan Wanwan Setiawan. 2009. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan untuk Guru. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pem-berdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan IPA. Hidayatullah, Furqon M. 2010. Guru Sejati Memebangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuna Pustaka.
14