PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN HAMIL DAN AKIBATNYA TERHADAP PERWALIAN (Studi Kasus Di KUA Kecamatan Koja) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SITI RACHMAH NIM: 110044100023
KONSENTRASI PERADILANAGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya, Shalawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkankepada insan pilihan Tuhan Khatamul anbiya’i wal mursalin Muhammad SAW. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dan tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang di temui. Banyak hal yang tidak dapat di hadirkan oleh penulis di dalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Tanpa penulis lupakan banyak yang terlibat dalam menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak, Bapak: 1. Dr. Asep Saepudin jahar MA.Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Kamarusdiana, S.Ag, M.H. dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag. Ketua dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga. 3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Sebagai dosen pembimbing yang begitu perduli dan senantiasa meluangkan waktu serta telah banyak memberikan berbagai saran, nasehat, semangat dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
iv
4. Seluruh staf pengajar bapak dan ibu dosen lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mentransfer sebagian ilmu pengetahuannya kepada penulis sebagai landasan dasar dalam penyusunan skripsi ini. 5. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. KH. Tajudin HM, dan Kepada Penghulu KUA Kecamatan Koja Jakarta Utara bapak H. Halimi,S.Ag dan bapak Acep Budairi, S.Ag sebagai nara sumber yang telah meluangkan waktu dan memberikan informasi kepada penulis seputar permasalahan yang diangkat. 7. Teristimewa ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda H. MA Sufiyan Tsauri dan Ibunda Hj. Rosmiyati yang telah memberikan banyak bantuan terutama dari segi keuangan dan dukungan, terima kasih juga atas do’a dan pengorbanan kalian yang tak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu hngga ananda dapat menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan baik, teritama motivasi untuk meyelesaikan skripsi ini Tiada kata yang pantas selain ucapan do’a, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan. 8. Kakak-kakak dan adik-adikku tercinta yang juga ikut andil memberikan motivasi kepada penulis, terima kasih juga kepada Calon Imamku Hamdan Abdillah Nur
v
yang tidak pernah lelah memberikan semangat dan selalu meluangkan waktunya untuk menemani hingga terselesai nya skripsi ini. 9. Teman-teman seperjuangan ku keluarga besar mahasiswa peradilan agama angkatan 2010 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu khususnya Sahabat baikku Nurkhofifah Syarif dan Siti Nurjannah, terima kasih banyak atas bantuan dan semangat serta inspirasinya, kalian banyak membantu penulis selama penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah 10. Seluruh pihak/instansi terkait yang tidak penulis sebutkan yang ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini Semoga segala kebaikan dan sumbangsih kalian semua di catatoleh Allah SWT sebagai amal untuk bekal di akhirat nanti, Aamiin Ya Rabbal Alamin
Jakarta, Januari 2015
Siti Rachmah
vi
ABSTRAK
Penulis Skripsi Siti Rachmah, NIM 1110044100023, dengan judul PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN HAMIL DAN AKIBATNYA TERHADAP PERWALIAN ( Studi kasus di KUA Kecamatan Koja), Konsentrasi Akhwal Syakhsiyah, Program Studi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana status perkawinan yang di lakukan wanita hamil menurut pandangan hukum Islam dan status anak yang terlahir di luar nikah terkait perwalian dalam perkawinan. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah metode pengumpulan data melalui riset pustaka dan riset lapangan, metode interview, metode observasi dan metode penulisan yang di susun secara sistematis, di kaji, kemudian di tarik sebuah kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang di teliti. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa status hukum perkawinan wanita hamil akibat zina di kalangan ulama terdapat perbedaaan karena ada sebagian ulama yang mengatakan sah dan ada ulama yang mengatakan tidak sah. Menurut Kompilasi Hukum Islam perkawinan wanita hamil karena zina adalah sah apabila yang menikahinya adalah yang menghamilinya. Sedangkan untuk mengetahui anak yang dilahirkan itu adalah anak sah atau bukan tertera dalam UU No.1 Tahun 1974 pasal 42 dan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 huruf a menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Kompilasi Hukum Islam Dalam pasal 100 disebutkan bahwa anak yang lahir di luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Oleh sebab itu mengenai perwalian anak yang terlahir di luar nikah adalah wali hakim bukan ayah/bapak ( genetiknya). pasal 20 ayat (1) “ yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh (2) wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim.
Kata Kunci: kawin hamil, status anak, perwalian Pembimbing: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Daftar Pustaka: Tahun 1986 s.d 2011
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii KATA PENGANTAR .................................................................................... iv ABSTRAK ...................................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN.........................................................................
1
A. Latar belakang ........................................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..............................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
8
D. Review Studi Terdahulu .........................................................
9
E. Metodelogi Penelitian .............................................................
10
F. Sistematika Penulisan .............................................................
14
PERKAWINAN DALAM AJARAN ISLAM...........................
15
A. Pengertian Perkawinan Secara Umum ......................................
15
B. Dasar Hukum Perkawinan .........................................................
19
C. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan ......................................
21
D. Tujuan Perkawinan ....................................................................
23
E. Hikmah Perkawinan ..................................................................
26
vii
BAB III STATUS HUKUM KAWIN HAMIL DAN PERWALIAN....
28
A. Pengertian Kawin Hamil Menurut Fiqh dan KHI ..................
28
B. Pengertian Wali Dalam Perkawinan ......................................
31
C. Status Anak Diluar Nikah ......................................................
32
D. Kedudukan dan Macam-Macam Wali ...................................
34
BAB IV PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT TERHADAP KAWIN HAMIL.........................................................................................
41
A. Kondisi umum KUA Kecamatan Koja Jakarta Utara ..............
41
B. Problematika Seks di Luar Nikah dan Cara Mengatasinya ......
50
C. Faktor-Faktor Kawin Hamil di Luar Nikah .............................
51
D. Pandangan Masyarakat dan Ulama Terhadap Kawin Hamil, Status Perwalian Anak Diluar Nikah ..................................................
52
E. Analisi Penulis..........................................................................
55
BAB V PENUTUP....................................................................................
59
A. Kesimpulan................................................................................
59
B. Saran ..........................................................................................
60
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
61
LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Lampiran Hasil Wawancara..............................................................
64
2. Lampiran Surat Permohonan Pembimbing.......................................
73
3. Lampiran Surat Izin Penelitian..........................................................
74
4. Lampiran Surat Keterangan Penelitian...............................................
75
viii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan sunnatullah yang harus dijalani oleh setiap manusia. Pada prinsipnya manusia di ciptakan berpasang-pasangan dan perkawinan
di
ciptakan oleh Allah bukan tanpa tujuan, tetapi di dalamnya terkandung rahasia yang amat dalam, supaya hidup hamba-hambanya di dunia ini menjadi tentram1. Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat (Mitsaqan ghalizan), ikatan yang suci (transenden), artinya perjanjian yang mengandung makna magis, suatu ikatan bukan saja hubungan atau kontak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan yang menghalalkan terjadinya hubungan badan antara suami istri sebagai penyalur libido seksual manusia yang terhormat, oleh karena itu hubungan tersebut dipandang sebagai ibadah. 2 Di dalam perkawinan ada akad nikah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci. Karena itu, setiap pihak yang terlibat didalamnya di haruskan menjaganya dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Islam sebagai agama telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Karena dengan perkawinan akan lahir sebuah keluarga kehidupan masyarakat yang teratur yang diliputi suasana damai. Karena
1
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta:Siraja,2003),cet. Ke-1,h. 225-226. 2
Yayan Sopyan,Islam-Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional), (Tanggerang selatan:UIN Syarif Hidayatullah,2011),cet-1,h. 127.
1
2
telah diadakannya jalan yang mulia untuk meyalurkan keinginan seksual , maka dilaranglah segala cara yang tidak sah dan dilarang menggerakan nafsu birahi dengan cara apa saja , agar nantinya tidak menyimpang dari jalan yang sah. Oleh sebab itu , dilarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pada ikatan perkawinan. Sehingga dapat dicegah segala faktor yang dapat melemahkan kehidupan keluarga dan merusakkan rumah tangga.3 Islam mengharamkan zina dan menganggapnya sebagai perbuatan keji dan di benci Allah karena dalam zina terkandung maksud mencari kelezatan semata, dan membebaskan diri dari segala resiko yang timbul daripadanya. Ini tentu saja bertentangan dengan rasa cinta dan kewajiban. Selama laki-laki dan wanita membutuhkan cinta dan kewajiban untuk saling menolong dalam kehidupan dan mencerdaskan anak-anak serta meyiapkan mereka untuk mengarungi kehidupan, maka perkawinan merupakan satu-satunya jalan yang bisa mengantar manusia ke tujuan itu. Masyarakat yang masih menyalah gunakan sebuah perkawinan dengan menodai makna dan tujuan dari perkawinan itu sendiri dengan melakukan zina atau berhubungan seks di luar nikah yang berakibat pada rusaknya sebuah perkawinan karena hamilnya seorang wanita sebelum melakukan perkawinan sehingga menimbulkan permasalahan yang mana di sebut dengan perkawinan wanita hamil di luar nikah yang terjadi di KUA Kecamatan Koja dari jumlah 100 perkawinan tersebut 30 % merupakan pernikahan hamil di luar nikah kemudian dapat menimbulkan 3
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah (Yogyakarta:PD Hidayat), jilid 4, h. 9-10.
3
permasalahan baru yaitu dengan status anak mereka yang dapat menimbulkan perselisihan dalam lingkungan masyarakat pada umumnya ataupun para ahli hukum mengenai status anak tersebut sah atau tidak sahnya perkawinan tersebut dilaksanakan. Fenomena sosial mengenai kurangnya kesadaran masyarakat muslim terhadap kaidah-kaidah moral, agama, dan etika sehingga tanpa ketelitian terhadap perkawinan wanita hamil memungkinkan terjadinya seorang pria yang bukan menghamilinya tetapi ia menikahinya. Kompilasi Hukum Islam mengatur perkawinan wanita hamil dalam pasal 53 ayat (1) “Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”. Ayat (2) “Perkawinan dengan wanita hamil yang di sebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya”. Ayat (3) “ Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak di perlukan perkawinan ulang setelah anak yang di kandung lahir”. Selain itu untuk mengetahui status hukum anak yang lahir sebagai akibat perzinaan, yaitu hanya diakui oleh hukum Islam mempunyai kekerabatan dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya, sedangkan ayahnya sebagai biologis (yang menyebabkan perempuan hamil) tidak diakui mempuyai hubungan kekerabatan.4 Perbedaan pendapat ulama mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain yakni, menurut Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan sebab bila dikawinkan perkawinannya itu menurut 4
Imam
Muhammad
bin
al-Hasan
al-Syaibani
batal (fasid),
mengatakan
bahwa
Zainuddin Ali, Hukum Perata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) h., 45
4
perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur selama bayi yang dikandungnya belum lahir, sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah , karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain ( tidak ada masa i‟ddah) wanita itu boleh juga di campuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya, sedangkan bayi tersebut bukan keturuan orang yang mengawini ibunya itu (anak diluar nikah)5 Kebolehan wanita hamil melakukan perkawinan seperti pasal 53 ayat 1,2 dan 3 dalam kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan wanita hamil maka muncul masalah penting yakni pada penentuan nasab anak yang dilahirkan. Istilah Nasab berasal
dari
Bahasa
Arab
yang
berarti
kerabat,
sebagian
ahli
bahasa
mengkhususkannya kepada (kerabat) ayah. 6 Nasab di definisikan pertalian atau hubungan yang ada dalam keluarga. Namun Ibnu abidin menegaskan bahwasannya pangkal atau sumber nasab adalah ayah. 7 Dilarangnya zina untuk memelihara keputusan umat manusia di dunia ini, sebab anak yang dilahirkan di luar nikah perlu di akui oleh ayah dan ibunya supaya ada hubungan hukum, karna kalau tidak ada pengakuan maka tidak dapat hubungan hukum, jadi meskipun seorang anak itu jelas dilakukan oleh seorang ibu ,ibu
5
6
7
Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor; Kencana, 2003), h. 125-127. Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arobi, (Beirut : Dar-Shadir,1994), jilid 1, h., 755
Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar ‘ala Al-Daar Al-Mukhtar ; Hasyiyah Ibn ‘Abidin, (Beirut; Daar Ihya Al-Turats Al_Arabi, 19870, juz II, cet II, h., 623
5
ituharusdengan tegas mengakui anak itu , kalau tidak maka tidak ada hubungan hukum antara ibu dan anak.8 Keturunan merupakan salah satu bagian terpenting dalam sebuah ikatan perkawinan, karena dengan adanya kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangga merupakan puncak kebahagiaan
dan dapat melipur lara dalam
kesunyian. 9 Dalam Islam sendiri nasab menjadi masalah yang sangat penting dan dikaji dalam kaitannya terhadap masalah pernikahan, kewajiban memberi nafkah, kewarisan, perwalian hubungan kemahraman, dan lain-lain. Nasab atau hubungan kekerabatan antara seseorang anak dengan ayahnya hanya terbentuk dengan tiga cara, yakni melalui pernikahan yang fasid, dan melalui hubungan badan secara syubhat. Sedangkan hubungan kekerabatan atau nasab seorang anak dengan ibunya dapat terbentuk melalui proses persalinan atau kelahiran. Baik kelahiran tersebut bersifat syar‟i maupun tidak. Maksudnya sekalipun anak itu lahir akibat zina, tetap dinasabkan kepada ibunya.10 Anak luar nikah menerima warisan yang tidak baik dari perbuatan dua insan yang bersalah itu. Ia menjadi korban karena sesuatu yang ganjil dan tidak biasa, ia terima secara ganjil dan tidak biasa pula dan masyarakat pun menerimanya secara
8.Ali Afandi, Hukum Waris,Hukum Kekeluargaan,Hukum Pembuktian, Jakarta; PT Bina Aksara 1986, cet ke-2. 9
Said Agil Husin Al-munawar, Hukum islam dan Pluralitas Sosial. (Jakarta;PENAMADANI,
2004). 10
h.150.
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam,( Jakarta:Amanah,2012), Ed.1,
6
ganjil dan tidak biasa juga. Masyarakat mempunyai pandangan tersendiri di dalam segala hal, baik yang baik apalagi yang buruk. Anak ini sebenarnya tidak bersalah, tidak berdosa dan tidak bernoda, sebab seluruh kesalahan yang berlaku adalah dari dua insan yang berlainan jenis yang melakukan kesalahan itu. Dua insan inilah yang berdosa, ternoda dan bersalah. Merekalah yang bertanggung jawab dan mereka pulalah yang menerima ganjaran atas perbuatan mereka. Akan tetapi dengan adanya anak yang lahir diluar perkawinan yang sah sering mendapat tempat yang tidak layak dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana anak yang terlahir dari perkawinan yang sah, dimana anak tersebut di anggap sebagai anak yang terbuang sehingga hak –hak yang seharusnya mereka dapatkan jadi terabaikan. Memang status anak ini tidak dapat dikatakan secara hukum Islam mempunyai ibu, bapak, sebab tidak mempunyai dasar yang sah semenjak mulanya bahkan di dasarkan kepada sesuatu yang tidak dapat dibenarkan bahkan melanggar peraturan yang ada sanksi hukumnya. sesuatu yang berdasarkan kepada yang bathil maka bathil pulalah hukumnya. Anak ini ialah manusia biasa dan normal serta ia memiliki hak hidupnya yang sama dengan manusia lainnya, hanya saja ia kehilangan hak lainnya seperti hak perwalian dalam perkawinan , sebab ia tidak mempunyai bapak yang sah.11 Sedangkan dalam hukum Islam sahnya suatu perkawinan adalah dengan terpenuhinya rukun dan syarat-syaratnya. Dalam kaitannya dengan rukun nikah wali termasuk faktor yang menentukan dalam sebuah perkawinan.12 11
Fuad Mohd.Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta pusat; CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991). 12
Hasanudin Af, Perkawinan dalam Perspektif Al-Quran (Jakarta; Nusantara Damai Press, 2011). h.20
7
Apabila dalam satu kasus yang lahir akibat dari perbuatan zina (diluar perkawinan) tersebut adalah wanita dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah, maka ayah/bapak alaminya (genetiknya) tidak berhak atau tidak sah menjadi wali nikahnya. Sebagaimana ketentuan wali nikah dalam pasal 19 Kompilasi Hukum Islam ; „‟ Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” Dan pasal 20 ; “(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni, muslim, aqil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim”. Dengan demikian dari pembahasan di atas penulis merasa termotivasi untuk lebih mengetahui Hukum menikahi wanita hamil dan status anak yang terlahir di luar perkawinan yang sah karna anak yang diluar perkawinan ini sering mendapat tempat yang tidak layak di dalam masyarakat sebagaimana anak sah dan masih banyaknya masyarakat yang beranggapan sebagai anak yang terbuang sehingga hak-hak yang seharusnya mereka
dapatkan
terabaikan. Karena latar belakang diatas penulis
mengambil judul skripsi: ’‘PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN HAMIL DAN AKIBATNYA TERHADAP PERWALIAN (Studi di KUA kecamatan Koja, Jakarta Utara)” B. Batasan Dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah
8
Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis hanya membatasi pada masalah hukum menikahi
wanita hamil dan dampaknya bagi
perwalian anak hasil dari wanita hamil diluar pernikahan yang sah. 2. Perumusan Masalah Menurut Kompilasi Hukum Islam “Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”, namun pada kenyataannya masih ada wanita hamil di luar nikah yang di nikahi oleh seorang laki-laki yang bukan menghamilinya. Dari rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan sering terjadinya wanita hamil diluar nikah di daerah Kecamatan Koja? 2. Bagaimana hukumnya jika yang menikahi wanita itu bukan laki-laki yang menghamilinya di daerah Kecamatan Koja? 3. Bagaimana perwalian anak yang lahir di luar perkawinan yang sah di daerah Kecamatan Koja?
C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah; 1. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya perkawinan hamil diluar nikah di daerah Kecamatan Koja 2. Untuk mengetahui hukumnya apabila terjadi yang menikahi wanita hamil itu bukan laki-laki yang menghamilinya di daerah Kecamatan Koja
9
3. Untuk mengetahui tentang perwalian dan status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan hamil di luar nikah di daerah Kecamatan Koja Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau pedoman
bagi para ahli hukum Islam dan masyarakat luas dalam rangka
penyelesaian dari masalah pernikahan wanita hamil dan status anak yang lahir dari wanita yang hamil di luar perkawinan, yang mana untuk meletakkan status anak ataupun kedudukan anak-anak itu pada tempat yang sebenarnya yang tentunya memerlukan penelitian hukum yang berlaku di Indonesia.
D. Studi Kajian Terdahulu Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul proposal , diantaranya sebagai berikut; Siti Sunnatil mahmudah dengan judul skripsi mengenai Nasab Anak Wanita Hamil Diluar Nikah Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam, yang mana skripsi ini membahas tentang status kedudukan anak di lihat dari Hukum positif dan Hukum
Islam. Sedangkan penulis membahas tentang Pandangan Hukum Islam
terhadap kawin hamil dan akibatnya terhadap perwalian anak yang lahir di luar nikah. Lisa Mariyani dengan judul skrispi mengenai Status Hukum Kawin Hamil Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Serta Pengaruhnya Terhadap Keutuhan Rumah Tangga (Studi Di Kelurahan Kebon Jeruk), skripsi ini membahas mengenai kawin hamil dari perspektif Hukum Islam dan Hukum positif serta pengaruhnya terhadap keutuhan rumah tangga yang mana banyak mengalami
10
perselisihan yang di sebabkan hamil pra nikah. Sedangkan penulis membahas tentang Pandangan Hukum Islam terhaap kawin hamil dan akibatnya terhadap perwalian anak yang lahir di luar nikah.
E. Metodelogi penelitian Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah : A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 1.Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis empiris, Pendekatan empiris adalah suatu pendekatan yang di gunakan apabila ada perbedaan antara hukum positif yang tertulis dengan hukum yang hidup di masyarakat, ini merupakan fakta sosial. 13 Empiris artinya bersifat nyata. Jadi, yang dimaksudkan dengan pendekatan empiris adalah usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Jadi, penelitian dengan pendekatan empiris harus dilakukan di lapangan, dengan menggunakan metode dan teknik penelitian lapangan. Peneliti mengadakan kunjungan kepada masyarakat dan berkomunikasi dengan para anggota masyarakat. 14 2. Jenis Penelitian Pada dasarnya penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian : 13
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010). h. 47-48. 14
Mudjia rahardjo, Penelitian Sosiologis Hukum Islam, artikel ini di akses dari http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/134-penelitian-sosiologis-hukum-islam.html, pada 22 Oktober 2014.
11
a) Kepustakaan
(Library
Research),
yaitu
penelitian
yang
kajiannya
dilaksanakan dengan menelaah dan menusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali terfokus kepada studi pustaka.15 b) Penelitian lapangan (Field Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan mendatangi langsung objek yang akan diteliti guna mendapatkan data-data yang valid. Langkah yang digunakan dalam penelitian lapangan melalui teknik wawancara, observasi, dan alat lainnya.16 Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif bersifat Deskriptif, dan data yang terkumpul berbentuk kata-kata, gambar bukan angka.17 3. Sumber Data Karena penelitian ini merupakan gabungan antara studi pustaka dan lapangan, maka sumber yang diambil oleh penulis meliputi: a) Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari beberapa narasumber yaitu masyarakat di Kecamatan Koja Jakarta Utara yang melakukan kawin hamil, instrumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui wawancara, observasi, dan alat lainnya.
15
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010). h. 17-18. 16
Basrowi dan Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rineka Cipta, 2008). h.
52. 17
Lexy J. Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001). h. 18.
12
b) Data sekunder adalah data yang berasal dari bahan pustaka yang berkaitan dengan pokok bahasan karya tulis ini yaitu mengenai pandangan hukum Islam mengenai kawin hamil dan akibatnya terhadap perwalian. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan maka penulis menggunakan alat pengumpulan data atau instrument penelitian yakni alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data, agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga mudah diolah. Adapun instrument atau alat pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti berupa: a. Penentuan Informan, menentukan informan yang akan diwawancara dan merupakan objek utama dalam penelitian di sekitar wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara.18 b. Observasi, yaitu pengamatan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan, yakni peneliti melakukan penelusuran kelapangan tentang objek penelitian yang diteliti, terutama judul yang akan dibahas oleh penulis mengenai pandangan hukum Islam mengenai kawin hamil dan akibatnya terhadap perwalian di Kecamatan Koja Jakarta Utara.19 18
Basrowi dan Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rineka Cipta, 2008). h.
19
Ibid. h. 94.
86.
13
c. Wawancara (interview), yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan pada informan, yang nantinya akan penulis olah sebagai bahan skripsi.20 5. Teknik Analisis Data 1. Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif, yaitu penelitian yang bersifat untuk menggambarkan kejadian yang berlangsung berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan. Kualitatif, yaitu suatu metode yang berfungsi sebagai prosedur penelusuran masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, dan masyarakat), berdasarkan faktafakta yang tampak atau sebagaimana adanya. 21 Jadi, penggunaan teknik analisis deskriptif kualitatif disini merupakan penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas objek, artinya bahwa objek yang akan menjadi sumber penelitian merupakan tokoh kunci dalam pokok permasalahan penelitian,dan tokoh kunci dalam penelitian ini adalah para pelaku kawin hamil. 6. Tehnik penulisan Adapun penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA. 20
Wachid Setya, Metode wawancara dalam http://wachidsetya.blogspot.com/, pada 22 Oktober 2014. 24
penelitian,artikel
di
akses
dari
Macam-Macam Metode Penelitian, artikel ini di akses dari http://koffieenco.blogspot.com/2013/08/macam-macam-metode-penelitian.html, pada 22 oktober 2014
14
F. Sistematika penulisan Untuk memberikan gambaran yang jelas terperinci tentang isi skripsi ini, maka penulisan ini di susun dengan membagi uraian dalam 5 bab dengan sistematika sebagai berikut; BAB PERTAMA berisi pendahuluan yang meliputi tentang latar belakang masalah, perumusan dan pembatasannya, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metodelogi penelitian, sistematika penulisan BAB KEDUA berisi mengenai perkawinan secara umum meliputi pengertian dan dasar hukum, rukun dan syarat, tujuan dan hikmah perkawinan BAB KETIGA berisi tentang status hukum kawin hamil dan perwalian yang meliputi pengertian kawin hami, pengertian wali dalam perkawinan, status anak di luar nikah , kedudukan dan macam-macam wali. BAB KEEMPAT berisi pemaparan hasil penelitian penulis. Bab ini merupakan bab yang paling utama dalam penulisan skripsi, membahas dan melakukan analisa terhadap objek penelitian. BAB KELIMA berisi penutup, kesimpulan atau ringkasan dari hasil penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan saran-saran yang sesuai dengan tujuan pembahasan skripsi ini, juga di lengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.
15
BAB II PERKAWINAN DALAM AJARAN ISLAM
A. Pengertian Perkawinan Dalam bahasa Indonesia, yang terdapat dari beberapa kamus diantaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan (1) perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri: nikah (2) (sudah) beristri atau berbini (3) dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh. 22 Selain itu dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan “menjalin kehidupan baru dengan bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan seksual, bersetubuh.23 Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wath’i). 24 kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.25 Al-Qur‟an dan Hadits, perkawinan disebut dengan an-nikh dan az-ziwaj atau az-zawj dan az-zijah. Secara harfiyah an-nikh berarti al-wath’u, adh-dhammu, dan aljam’u. Al-wath’u berasal dari kata wathi’a-yatha’u-wath’an artinya berjalan diatas, 22
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1985 (Jakarta;Balai Pustaka),
23
Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (t.t), ( Jakaarta: Citra Media Press), h.
24
Abd.Rahman.Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana,2003), h.7
h.435.
344
25
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid VII (Beirut: Dar al-Fikr 1989), Cet. Ke-3, h.29.
15
16
melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama. 26 Adh-dhammu, yang terambil dari akar kata dhamma-yadhummudhamman, secara harfiyah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,
menggabungkan,
menyandarkan,
merangkul,
memeluk,
dan
menjumlahkan. Juga bersikap lunak dan ramah.27 Sedangkan al-jam‟u yang berasal dari kata jama’a-yajma’u-jam’an, berarti mengumpulkan, menghimpun menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun.
28
itulah sebabnya mengapa
bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqh disebut al-jima’ mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiyah dari kata al-jam’u. Sebutan lain buat perkawinan (pernikahan) ialah az-zawaj atau az-ziwaj dan az-zijah. Terambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan yang secara harfiyah berarti menghasut, menaburkan benih perselisihan dan mengadu domba. 29 Namun yang dimaksud dengan az-zawaj atau az-ziwaj disini ialah at-tazwij yang terambil dari kata zawwaja-yuzawwiju-tazwijan dalam bentuk timbangan fa’ala-yufa’ilu-taf’ilan yang secara harfiyah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.
26
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir,1984), h.1671-1672. 27
Ahmad Warson Munawwir, h.887.
28
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia, h.225
29
Ahmad Warson Al-Munawwir, h. 630.
17
1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1ayat 2 tentang perkawinan, di definisikan sebagai: “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas di nyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.30 2. Pengertian Perkawinan Dalam Hukum Islam Nikah menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri definisi yang hampir sama dengan di atas juga di kemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi‟il madhi) “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga di pergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.31
30
Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:Kencana ,2004) h.42 31
1, h.118
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, ( Bandung; Al-Bayan, 1994), cet. Ke-
18
Adapun menurut syara‟, nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fiqh berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata; inkah atau tazwij. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang ditulis oleh Zakiyah Darajat dan kawan-kawan memberikan definisi perkawinan sebagai berikut: “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya” Menurut hukum Islam perkawinan yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya yang merupakan ibadah. 32 Menurut Subekti, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.33 Akad nikah yang dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua belah pihak (suami istri), dimana status kepemilikan akibat akad tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkaitdengan itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikutioleh lainnya yang dalam fiqh disebut “Milku al-intifa’’, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (istri), yang digunakan untuk dirinya sendiri.34
32
Ibid h.118
33
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Intermasa, 1987), cet.ke-21, h.23
34
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: Pt. Prima heza Lestari, 2005),
Cet-1, h.1
19
Sedangkan Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1947 Pasal 1 tentang perkawinan disebutkan bahwa; “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial sakral. Kompilasi Hukum Islam, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau “mitsaqan ghalidhan” untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.35 B. Dasar Hukum Perkawinan Hukum melakukan perkawinan menurut Ibnu Rusyd, menjelaskan bahwa segolongan fuqaha, yakni jumhur ulama berpendapat nikah itu adalah hukumnya sunnah. Golongan Dzhahariyah berpendapat nikah itu hukumnya wajib. Ulama Malikiyah Mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan makruh untuk segolongan orang yang lain.36 Selain itu menurut al-Jaziry bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara‟ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah (mandub) dan mubah.37Ulama Syafi‟iyyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping ada yang sunnah, wajib, haram dan makruh.38 35
Abdurrahman,Kompilasi Hukum Islam, h. 114
36
Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-fiqr, t.th) jilid
II., h. 2 37
Abdurahman al-jaziry, kitab al-fiqh ‘ala al-madzahib al-arba’ah, (mesir;Dar al-irsyad, t.th) jilid VII, h. 4 38
Abdurahman al-jaziry, kitab al-fiqh ‘ala al-madzahib, h. 6
20
Terlepas dari pendapat Para Imam mazhab, berdasarkan nash-nash baik AlQur‟an maupun Sunnah (Al-Hadits) Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun kalau di lihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya maka melakukan perkawinan itu dapat di kenakan hukum wajib, sunnah, haram, makru ataupun mubah. 1. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana kecuali dengan nikah. 2. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnah Nikah disunahkan bagi orang-orang yang sudah mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik daripada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam. 3. Melakukan perkawinan yang hukumnya haram Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan istrinya. 4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.
21
5. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri.39 C. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan 1. Rukun dari pernikahan Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat. Atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan. Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudu dan takbiratul ihram untuk sholat. Atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.40 Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah: 1) Mempelai laki-laki 2) Mempelai perempuan
39
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2003) h. 16
40
Tihami, Fiqih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h.12
22
3) Wali 4) Dua orang saksi 5) Shigat ijab kabul41 2. Syarat Sah Perkawinan Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.42 a) Syarat calon mempelai laki-laki 1) Bukan mahram dari calon istri 2) Tidak ada paksaan atau kemauan sendiri 3) Orangnya tertentu, jelas orangnya 4) Tidak sedang melaksanakan ihram b) Syarat calon mempelai perempuan 1) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah 2) Merdeka, atas kemauan sendiri 3) Jelas orangnya 4) Tidak sedang berihram43
41
Ibid h.12
42
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Kencana 2003) h.47
43
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Kencana 2003) h..47
23
c) Syarat sah menjadi Wali 1) Laki-laki 2) Baligh 3) Waras akalnya 4) Tidak dipaksa 5) Adil, dan 6) Tidak sedang ihram d) Syarat Sah Saksi 1) Laki-laki 2) Baligh 3) Waras akalnya 4) Adil 5) Dapat mendengar dan melihat 6) Merdeka, tidak dipaksa 7) Tidak sedang mengerjakan ihram 8) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul44 D. Tujuan Dalam Perkawinan Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah Saw, yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi. Dengan pengamatan sepintas lalu pada batang tubuh ajaran fiqh, dapat dilihat dari empat garis 44
Ibid h.47
24
penataan itu yakni ; a) Rub’ al-ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk dan khaliknya, b) Rub’ al-Muamalat, yang menata hubungan manusia dengan lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, c) Rub’ al-Munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dengan lingkungan keluarga dan d) Rub’ al-jinayat, yang menata pengamanannya dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin ketentramannya. Zakiyah dkk mengemukakan lima tujuan dalam perkawinan yaitu45; 1) Mendapatkan dan melangsungkan perkawinan Bahwa naluri manusia mempunyai kecenderungan untuk mempuyai keturunan yang sah, keabsahan anak keturunan yang di akui oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara dan kebenaran keyakinan agama Islam memberikan jalan untuk itu. Anak merupakan buah hati dabn belahan jiwa. Banyak orang yang hidup berumah tangga kandas karena tidak mendapat karunia anak sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Furqan ayat 47 berbunyi: Artinya: Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha. 2) Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya Manusia di ciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah SWT pada surat Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan;
45
Tihami, Fiqih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h.15
25
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. Disamping perkawinan itu untuk pengaturan naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang di kalangan pria dan wanita secara harmonis dan tanggung jawab. Namun, penyaluran cinta dan kasih sayang yang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung awab yang layak, karena di dasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma.46 3) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan, baik kerusakan diri sendiri ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia 46
Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,h. 15
26
mempunyai nafsu sedangkan nafsu itu cenderung untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur‟an surat Yusuf ayat 53; Artinya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. 4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal 5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.perkawinan juga bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalamanajaran agama. 47 E. Hikmah Dalam Perkawinan Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karna akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah pernikahan adalah; a. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks, dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang , mata terpelihara dari yang melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang berharga. 47
Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap,h.15
27
b. Nikah, jalan yang terbaik membuat anak-anak yang mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan sekali. c. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapidalam suasana hidup dengan anak-anak, dan tumbuh pula perasaan-perasaan yang ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat yang baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. d. Menyadari tanggung jawab beristri
dan
menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan vekatan bekerja karna dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari
penghasilan yang dapat memperbesar jumlaj
kekayaan dan memperbanyak produksi, juga dapat mendorong usaha mengeksploitasi kekayaan e. Alam yang dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup manusia. Pembagian tugas, dimana yang satu menurusi rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya f. Perkawinan dapat membuahkan, diantaranya : tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat yang memang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia. 48
48
Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap, h.19-20
28
BAB III STATUS HUKUM KAWIN HAMIL DAN PERWALIAN
A. Pengertian Kawin Hamil Menurut fiqh dan KHI Kawin hamil ialah kawin dengan seseorang wanita yang hamil di luar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya 49 . Oleh karena itu, masalah kawin dengan perempuan yang hamil diperlukan ketelitian dan perhatian yang bijaksana terutama oleh pegawai pencatat nikah. Hal itu, dimaksudkan adanya fenomena sosial mengenai kurangnya kesadaran masyarakat muslim terhadap kaidah-kaidah moral, agama dan etika terjadinya seorang pria yang bukan menghamilinya tetapi ia menikahinya50.pasal 53 Kompilasi Hukum Islam mengatur perkawinan, sebagaimana diungkapkan di bawah ini: (1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Selain itu, hukum kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat sebagai berikut: 49
Abdur Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, ( Bogor; Kencana, 2003) h.124
50
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika,2007), h.45
28
29
1. Ulama Madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali ) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya. 2. Ibnu Hazm (Zahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur dengan ketentuan bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk) karena keduanya telah berzina.51 Terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut disebabkan oleh perbuatan mereka yang memahami “larangan menikahi pezina” yang terdapat dalam surat An-Nur ayat 3 yaitu: Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.
Maksud ayat ini ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya. Persoalan menikahkan wanita hamil apabila di lihat dari KHI, penyelesainnya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan. Asas 51
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet, ke-1, h.96-99
30
pembolehan pernikahan wanita hamil ini di maksud kan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina. Selanjutnya , mengenai pria yang kawin dengan wanita yang di hamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para ulama, yakni : 1. Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid) 2. Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinan itu sah, tetapi haram baginya bercampur selama bayi yang dikandungnya belum lahir. 3. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain ( tidak ada masa i‟ddah). Wanita itu boleh juga di campuri, karena tidak ada nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak diluar nikah).52 Dengan demikian status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun, bila pria yang mengawini ibunya itu pria yang menghamilinya, maka teradi perbedaan pendapat, yakni:
52
Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana,2003), h. 125-127
31
1. Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya di kawini setelah usia kandungannya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang sah 2. Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak diluar nikah, walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan ovum bapak dari ibunya itu.53
B. Pengertian Wali Dalam Pernikahan Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Karena orang lain itu memiliki kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan bertindak sendiri secara hukum. Wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah wali yang bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Namun adakalanya wali tidak bisa hadir atau karena sesuatu sebab ia tidak dapat bertindak sebagai wali, maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain. 54 Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama, seperti Imam Maliki, Imam Syafi‟I, mengatakan bahwa wali itu
53
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amanah, 2012),Ed.1 Cet.1,h.152 54
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT RAJAGRINDO PERSADA, 2009), h.90
32
adalah ahli waris dan di ambil dari garis ayah bukan garis ibu.55 Jumhur ulama fikih sependapat bahwa urutan-urutan wali adalah sebagai berikut: 1. Ayah 2. Ayah dari Ayah Perempuan 3. Saudara laki-laki seayah seibu 4. Saudara laki-laki seayah 5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah 6. Saudara laki-laki dari pihak ayah (paman) 7. Anak laki-laki dari paman pihak ayah 8. Hakim56
C. Status Hukum Anak Diluar Nikah Anak di luar nikah adalah Anak yang lahir dari hasil hubungan tanpa pernikahan, biasa di sebut dengan anak tidak sah karna dilahirkan diluar perkawainan yang sah atau di sebut dengan anak haram, karena perbuatan Zina yang di lakukan oleh orang yang menyebabkan kelahirannya adalah perbuatan keji yang di haramkan oleh syara.57 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan tentang status anak diluar nikah, bahwa anak diluar nikah adalah anak yang dilahirkan dari 55
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat:kajian Fikih Nikah Lengkap, h.90
56
Ibid h.90
57
Humaizah Tahido Yanggo. Masail fiqhiyah kajian Hukum Islam Kontemporer. (Bandung; Angkasa, 2005) h.178
33
perkawinan yang tidak sah dan ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya atau keluarga ibunya. Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan tentang status anak diluar nikah Senada dengan yang tersebut dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditegaskan dalam beberapa pasal tentang kedudukan anak diluar nikah. Dalam pasal 100 disebutkan bahwa anak yang lahir di luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab timbulnya hubungan nasab anak dengan ayah, sehingga anak zina tidak boleh di hubungkan dengan nasab ayahnya, meskipun secara biologis berasal dari benih laki-laki yang menzinai ibunya.58Implikasi dari tidak adanya hubungan nasab antara anak dengan ayah akan sangat kelihatan dalam beberapa aspek yuridis, dimana lelaki yang secara biologis adalah ayah kandungnya itu berkedudukan sebagai orang lain, sehingga tidak wajib menafkahi, tidak ada hubungan waris-mewarisi bahkan seandainya anak zina itu perempuan, “ayah” kandungnya tidak di perbolehkan berduaan dengannya, serta laki-laki pezina itu tidak menjadi wali dalam pernikahan anak perempuan zinanya, sebab antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali dalam syariat Islam.59 Karena ayah biologisnya tidak bisa bertindak sebagai wali yang akan menikahkannya, maka wali dalam akad nikahnya adalah wali hakim. Dalam hal 58
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta; Amanah, 2012), Ed. 1, Cet. 1, h. 114 59
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta; Amanah, 2012), Ed. 1, Cet. 1, h.115
34
waris, Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi‟i, dan Ahmad berpendapat bahwa anak zina itu tidak mewarisi, dan tidak pula mewariskan dari/kepada “ayah” atau kerabat ayahnya itu. Ia hanya mewarisi dan mewariskam diri atau kepada pihak ibu dan kerabat ibunya, hal senada juga di sampaikan oleh Ibnu Al-Qayyim, menurutnya anak zina tidak mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ayahnya, dan tidak bisa menuntut nafkah, namun antara keduanya masih terdapat hubungan keharaman.60 Berkaitan dengan status anak zina sebagaimana uraian di atas Ibnu Hazm berpendapat bahwa anak zina tidak bisa di nasabkan dengan ayahnya melainkan ia mempunyai garis nasab dengan ibuya, alasannya adalah tindakan Rasulullah yang menghubungkan nasab anak dengan ibunya yang telah di li‟an oleh suaminya, bukan kepada ayahnya, sebab kelahiran yang di alami oleh wanita baik halal maupun haram tetap sebagai sebab timbulnya nasab.61
D. Kedudukan dan Macam-Macam Wali Dalam Pernikahan 1. Kedudukan Wali Para ulama fikih berbeda pendapat dalam masalah wali, apakah ia menjadi syarat sahnya pernikahan atau tidak. Menurut Imam Malik bahwa tidak sah pernikahan tanpa wali, pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi‟i. Menurut Imam Abu Hanifah, Zufar, Al-Sya‟bi, dan Al-Zuhri berpendapat bahwa apabila
60
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta; Amanah, 2012), Ed. 1, Cet. 1, h.116 61
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta; Amanah, 2012), h.116
35
seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali , sedang calon suaminya sebanding (kufu’), maka pernikahannya boleh. Abu Dawud memisahkan antara gadis dan janda dengan syarat adanya wali pada gadis dan tidak mensyaratkan kepada janda.62 2. Macam-Macam Wali 1) Wali Nasab Wali Nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan
pernikahan. Tentang
urutan wali nasab terdapat
perbedaan pendapat diantara para ulama fikih. Imam Malik
mengatakan bahwa
perwalian itu didasarkan atas ashabah, kecuali anak laki-laki dan keluarga terdekat lebih berhak untuk menjadi wali.63 Selanjutnya, ia mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih utama, kemudian ayah sampai keatas, kemudian saudara-saudara lakilaki seayah seibu, kemudian saudara laki-laki seayah saja, kemudian anak laki-laki dari saudara- saudara laki-laki seayah saja. Kemudian anak laki-laki dari saudara lakilaki seayah saja lalu kakek dari pihak ayah sampai atas. Dalam Al-mugni terdapat keterangan bahwa kakek lebih utama dari saudara laki-laki dan anaknya saudara laki-laki, karena kakek adalah asal, kemudian pamanpaman dari pihak ayah berdasarkan urutan saudara-saudara laki-laki sampai kebawah, kemudian bekas tuan (Almaula). Imam Syafi‟I berpegangan pada ashabah, yakni
62
63
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Nikah Lengkap, h. 91
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat:kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:PT RAJAGRAFINDO PERSADA.2009), h.95
36
bahwa anak laki-laki termasuk ashabah seorang wanita. Sedangkan Imam Malik tidak menganggap ashabah pada anak.64 Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab‟ad (jauh). Dalam urutan diatas yang termasuk wali aqrab adalah wali nomor urut 1, sedangkan nomor urut 2 menjadi wali ab‟ad. Jika nomor 1 tidak ada, maka nomor 2 menjadi wali aqrab dan nomor 3 menjadi wali ab‟ad, dan seterusnya. Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab‟ad adalah sebagai berikut: a. Apabila wali aqrabnya non muslim b. Apabila wali aqrabnya fasik c. Apabila wali aqrabnya gila d. Apabila wali aqrabnya bisu/tuli65 2) Wali Hakim Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah, pemerintah, khilafah (pemimpin), penguasa , atau qadi nikah yang di beri wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim., maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang, Apabila tidak ada orang-orang diatas yang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang yang alim. Wali hakim di benarkan menjadi wali dari sebuah akad nikah jika dalam kondisi-kondisi berikut:66
64
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat:kajian Fikih Nikah Lengkap, h.95
65
Ibid h.95
66
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih RAJAGRAFINDO PERSADA,2009), h 97
Munakahat:
kajian
fikih
lengkap, (Jakarta:PT
37
a. Tidak ada wali nasab b. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab dan wali ab‟ad c. Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalan sejauh kurang lebih 92,5 km atau dua hari perjalanan d. Wali aqrab dipenjara dan tidak bias ditemui e. Wali aqrabnya adlal f. Wali aqrabnya berbelt-belit (mempersulit) g. Wali aqrabnya sedang ihram h. Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah i. Wanita akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada Wali hakim tidak berhak menikahkan : 1. Wanita yang belum baligh 2. Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekutu 3. Tanpa seizin wanita yang akan menikah 4. Wanita yang berada diluar daerah kekuasaannya67 3) Wali Tahkim Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah : calon suami Mengucapkan tahkim kepada seseorang dengan kalimat “ saya angkat bapak/ saudara untuk menikahkan saya dengan si … (calon istri) dengan mahar… dan putusan bapak/ saudara saya terima dengan senang”. Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama, kemudian calon hakim itu menjawab “saya terima tahkim ini”
67
Ibid h.97
38
Wali tahkim terjadi apabila: a. Wali nasab tidak ada b. Wali nasab gaib, atau bepergian sejauh dua hari dalam perjalanan, serta tidak ada walinya c. Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk (NTR)68 4) Wali Maula Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya , artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Maksud perempuan disini terutama adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya.69 Imam Malik berpendapat, Andaikan seorang janda berkata kepada walinya “nikahkanlah aku dengan lelaki yang engkau sukai, lalu ia nikahkan dengan dirinya, atau lelaki lain di pilih oleh perempuan yang bersangkutan , maka sah lah nikahnya walaupun calon suaminya itu tidak dikenal sebelumnya” pendapat senada juga disebutkan oleh Hanafi, Laits, At-tsauri dan Auza‟i.70 Imam Syafi‟I berpendapat “orang yang menikahkannya haruslah hakim atau walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab , wali termasuk syarat pernikahan. Jadi
pengantin
tidak boleh menikahkan dirinya sendiri
sebagaimana penjual yang tidak boleh membeli barangnya sendiri.71 68
Tihami, Sohari Sahrani, Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 98
69
Ibid h.98
70
Tihami, Sohari Sahrani, Kajian Fikih Lengkap, h .99
71
Ibid h.99
39
Ibnu Hazm tidak sependapat dengan Imam Syafi‟I dan Abu Dawud, ia mengatakan bahwa kalau masalah ini diqiaskan dengan seorang penjual yang tidak boleh membeli barangnya sendiri adalah suatu pendapat yang tidak benar. Sebab, jika seseorang dikuasakan untuk menjual suatu barang lalu membelinya sendiri, asal ia tidak melalaikan, maka hukumnya boleh. Ia berhujjah dengan sebuah hadis yang diriwayatkan dari anas r.a “Sesungguhnya Rasulullah Saw. Telah memerdekakan Sofiyah lalu dijadikan istri dan pembebasannya dari perbudakan menjadi maharnya serta mengadakan walimahnya dengan seekor kambing” (HR Bukhari)72 5) .Wali Mujbir Wali Mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan yang diwalikan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat ridho atau tidaknya pihak yang berada di bawah perwaliannya. Agama mengakui wali mujbir itu karena memerhatikan kepentingan orang yang diwalikan.sebab, orang tersebut kehilangan kemampuan sehingga ia tidak dapat memikirkan
kemaslahatan sekalipun untuk
dirinya sendiri. Di samping itu, ia belum dapat menggunakan akalnya untuk mengetahui kemaslahatan akad yang di hadapinya. 73 Adapun yang dimaksud denhgan Ijbar (mujbir) adalah hak seseorang (Ayah keatas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 72
Tihami,Sohari Sahrani,FIkih Munakahat: kajian fikih lengkap h.99
73
Tihami,Sohari Sahrani,FIkih Munakahat: RAJAGRAFINDO PERSADA,2009), h. 101
kajian
fikih
lengkap
(jakarta
PT
40
1. Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan yang ia sendiri menjadi walinya ( calon pengantin wanita) 2. Calon suaminya sekufu dengan calon istrinya 3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi hak ijbar gugur.sebenarnya, ijbar bukan harus di artikan paksaan, tetapi lebih cocok bila di artikan pengarahan.74 Wali yang tidak mujbir adalah: 1. Wali selain ayah , kakek dan terus ke atas. 2. Perwaliannya terhadap wanita-wanita yang suah baligh dan mendapat persetujuan dari yang bersangkutan. 3. Bila calon pengantin wanitanya janda, izinnya harus jelas baik secara lisan atau tulisan. 4. Bila calon pengantin wanitanya masih gadis cukup dengan diam. Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh yang akan menikah dengan seorang pria yang kufu’, maka dinamakan wali Adlal. Apabila terjadi seperti itu, maka perwaliannya langsung pindah kepada wali hakim.75
74
Tihami, Sohari Sahrani, Kajian Fikih Lengkap,h. 101
75
Tihami, Sohari Sahrani, Kajian Fikih Lengkap, h. 102
41
BAB IV PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT TERHADAP KAWIN HAMIL
A. Tepografi KUA Kecamatan Koja Kantor Urusan Agama Kecamatan Koja berdiri pada tahun 1970 sampai tahun 1978 berlokasi di jalan Anggrek Kelurahan Koja Selatan, kemudian pindah ke jalan Mundu No.1 Kelurahan Lagoa, pertama kali nya menempati gedung permanent yang di sediakan oleh Pemda satu komplek dengan Camat Koja, tahun 1984 direlokasi menempati gedung yang baru pada lingkungan yang sama sampai saat ini, menghadap ke jalan Mangga Kelurahan Lagoa di dalam lingkungan kompleks Kantor Kecamatan Koja.76 Adapun Visi dan Misi Kantor Urusan Agama Kecamatan Koja antara lain, yakni Visi KUA Kecamatan Koja adalah profesional dalam pelaksaan tugas dalam pelayanan prima dan bimbingan masyarakat di bidang Urusan Agama Islam di wilayah Kecamatn Koja. 77 Misi Kantor Urusan Agama Kecamatan Koja adalah Meningkatkan kualitas dan nilai-nilai perkawinan dan pengamalan Agama Islam dalam kehidupan Rumah Tangga, Masyarakat dan Negara serta meningkatkan kualitas Administrasi, Sumber Daya Manusia (SDM) dan pelayanan masyarakat yang berorentasi kepada konsep pelayanan prima, peraturan dan kepuasan masyarakat
76
Data dari KUA Kecamatan Koja
77
Data dari KUA Kecamatan Koja
41
42
Kecamatan Koja di bidang pernikahan, pembinaan, kemasjidan, zakat, wakaf, haji dan keluarga sakinah.78 Luas Wilayah Kecamatan Koja Tabel 4.1 No
Kelurahan
Luas (Ha)
1.
Koja
327.50
2.
Lagoa
157.99
3.
Rawa Badak Utara
133.38
4.
Rawa Badak Selatan
101.10
5.
Tugu Utara
236.65
6.
Tugu Selatan
268.00
Jumlah
1.224.62
Sumber: Arsip dari KUA Kecamatan Koja Dari data di atas luas wilayah Kecamatan Koja 1.313 Ha yang terdiri dari 6 Kelurahan Batas Wilayah Kecamatan Koja Tabel 4.2 No
Sebelah
Nama Batasan
1.
Utara
Laut Jawa/Kecamatan Cilincing dan Kabupaten Administrasi Pulau Seribu
78
Data dari KUA Kecamatan Koja
43
2.
Selatan
Jl. Raya Pegangsaan Dua/Kecamatan Kelapa Gading
3.
Barat
Jl. Sulawesi/Yos Sudarso/Kecamatan Tanjung Priok
4.
Timur
Jl. Kramat Jaya/Kali Cakung Kec.Cilincing
Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja Dari data di atas Wilayah kecamatan koja yang semula merupakan daerah pesisir pantai laut jawa, yang dahulu dikenal dengan pantai sampur, pelabuhan nelayan kali baru sampai dengan pantai rekreasi cilincing dengan sebagian besar daratan berupa rawa-rawa dan empang kini berkembang menjadi pantai pelabuhan container. Melalui penataan wilayah yang telah berjalan cukup lama, maka saat ini situasi tata kota cukup rapih dan teratur sedemikian rupa. Aliran sungai yang melintasi Kecamatan Koja Tabel 4.3 No
Kelurahan
Batas Sungai
1.
Koja
Kali Lagoa Kanal
2.
Lagoa
Kali Pinang
3.
Rawa Badak Utara
Kali Sunter
4.
Rawa Badak Selatan
Kali Bendungan Melayu
5.
Tugu Utara
Kali Cakung Lama
6.
Tugu Selatan
Kali Bendungan Batik
Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja
44
Dari data di atas saluran yang ada di Kecamatan Koja panjangnya lebih dari 2 kali lipat panjang jalan, saluran air di Kecamatan Koja hampir seluruhnya bermuara ke Waduk Rawabadak yang berada di Kelurahan Rawabadak Utara dan Kelurahan Rawabadak Selatan. Waduk ini sekaligus berfungsi sebagai pengendali banjir di wilayah Kecamatan Koja Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Kecamatan Koja No.
Penduduk
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
1.
WNI
162.991
154.378
317.689
2.
WNA
4
4
8
Jumlah
162.995
154.382
317.377
Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja Jumlah Kepala Keluarga, Rt, Rw adalah sebagai berikut KK : 104.315 KK Rt : 905 KK Rw ; 82 KK Mobilitas Penduduk Antara Lain Kelahiran : 447 jiwa Kematian : 167 jiwa Datang : 639 jiwa Pindah : 605 jiwa
45
Dari data diatas Jumlah Penduduk Kecamata Koja Sampai Akhir Desember 2013 adalah 317.377 dengan Kepadatan Penduduk pada tahun 2013 adalah 192.200 jiwa/Km2. Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Menurut agama Kecamatan Koja No
Kelurahan
Jumlah
Islam
Penduduk
Kristen
Kristen
Katolik
Protestan
Hindu
Budha
1.
Koja
32.244
29.192
2193
872
141
98
2.
Lagoa
57.600
56.736
365
365
33
55
3.
Rawa Badak Utara
37.518
32.884
3364
1341
256
162
4.
RawaBadakSelatan
33.469
30005
2.721
1058
196
121
5.
Tugu Utara
45.799
42.789
2294
940
156
102
6.
Tugu Selatan
16.823
14915
1431
580
79
77
Jumlah
223453
206530
12368
5156
861
615
Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja Dari data di atas penduduk Kecamatan Koja sebagian besar ( 91 % )beragama Islam, dan sisanya ( 9% ) terbagi dalam empat agama lainnya. Namun demikian perbedaan agama selama ini tidak menjadi masalah di Kecamatan Koja. Terbukti selama ini tidak ada kasus yang bersifat SARA, khususnya beragama. Hal ini juga tidak terlepas
konflik antar umat
dari adanya Forum Komunikasi Umat
Beragama (FKUB) di Kota Administrasi Jakarta Utara.
46
Tabel 4.6 Sarana Peribadatan di Kecamatan Koja No
Kelurahan
Masjid
Majelis
Mushola
Gereja
Kuil/Vihara
Jumlah
Taklim 1.
Koja
12
45
34
1
1
93
2.
Lagoa
15
110
92
6
1
224
3
RawaBadakUtara
18
29
29
7
1
115
4.
RawaBadakSelatan
11
19
16
1
-
56
5.
Tugu Utara
21
75
18
2
-
84
6.
Tugu Selatan
11
16
19
1
-
47
Jumlah
89
270
241
16
3
619
Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja Seiring dengan heterogeritas/ kemajemukan pemeluk agama di Kecamatan Koja, maka ketersediaan sarana peribadatan pun sesuai dengan kemajemukan itu sarana peribadatan umat Islam tampak lebih dominan jumlahnya di bandingkan dengan srana peribadatan agama lainnya. Demikian pula organisasi keagamaannya pun masih banyak dari umat Islam, sementara yang lainnya belum terdaftar. Tabel 4.7 Sarana pendidikan di Kecamatan Koja No
Kelurahan
TK
SD
SLTP
SMU
PT
Jumlah
1.
Koja
1
3
3
0
0
7
2
Lagoa
18
18
13
17
0
66
3.
RawaBadakUtara
8
30
7
3
0
61
4.
RawaBadakSelatan
3
11
4
0
0
15
47
5.
Tugu Utara
15
29
10
6
1
47
6.
Tugu Selatan
3
5
5
2
0
18
Jumlah
48
96
42
27
1
214
Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja Penduduk Kecamatan Koja yang cukup padat perlu di imbangi oleh ketersediaan sarana pendidikan yang memadai. Hingga akhir tahun 2013 tidak kurang dari 214 sekolah mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi. Tabel 4.8 Nama-Nama Kepala yang pernah menjabat di KUA Kecamatan Koja No
Nama
Tahun
1.
H. Syari‟I Toha
1970 s/d 1973
2.
M. Baharuddin
1973 s/d 1975
3.
A. Rahim Mansyur
1975 s/d 1978
4.
Awab Bajeri
1978 s/d 1981
5.
Ahmad Mubakir. BcHK
1981 s/d 1983
6.
H. Jahdie Ar Rujdie. BA
1983 s/d 1989
7.
Drs.H. Soeyoethi
1989 s/d 1993
8.
Drs.H.M Syafei
1993 s/d 1996
9.
Drs.H.M. Hatta Alimi
1996 s/d 2000
10.
Drs.H.Ahmad Fakaubun
2000 s/d 2004
11.
H. Warisman
2004 s/d 2007
12.
Drs. Busnawi Ahmad
2007 s/d 2009
13.
Drs.H. Abdullah, MM
2009 s/d 2010
14.
Drs. Sahabuddin, S.Ag
2010 s/d 2012
15.
H.Ah Sobari, S.Ag.MH
2012 s/d sekarang
Sumber: Arsip dari KUA Kecamatan Koja
48
Kepala KUA Kecamatan Koja dari tahun 2012 s/d sekarang adalah H.Ah. Sobari, S.Ag,MH, Pangkat/Gol ruang: Penata Tk.I (III/d) Nama-nama karyawan-karyawati KUA Kecamatan Koja Tabel 4.9 No
Nama
NIP
JABATAN
PANGKAT/GOL.RUANG
1.
H.Ah.Sobari,S.Ag.MH
196709182001121002
Kepala KUA
Penata (III/c)
2.
H.AhmadMusholli,S.Ag 195806261982031005
Penghulu
Pembina (IV/a)
3.
Slamet Haryanto,S.Ag
196911182003121001
Penghulu
Penata (III/c)
4.
H. Halimi,S.Ag
197408072009011006
Penghulu
Penata Muda (III/a)
5.
Sahabuddin,S.Ag
197501042009011004
Penghulu
Penata Muda (III/a)
6.
Sukardi, S.PdI
196312311989031043
Tata Usaha
Penata (III/c)
7.
Heru Suryono, S.Pd
197811162002121001
Bendahara
Penata Muda Tk.I (III/b)
8.
Ikah Atikah, SE
198207032009012010
Pengadm NR
Penata Muda (III/a)
9.
Dewi Ulya
197906192007012012
Pengadm NR/
Pengatur Muda (II/b)
Resepsionis 10.
Titik Kartika
198403042009012011
Pengadm
Pengatur Muda Tk.I (II/b)
Umum 11.
Sri Mudalipa
197408262007012017
Pengadm NR
Pengatur Muda (II/a)
12.
Darwanto
198511132009011002
Pengadm
Pengatur Muda (II/a)
Umum 13
Muripah
150431794
Pengadm NR
Sumber: Arsip dari KUA Kecamatan Koja
Juru I/c
49
Tabel 4.10 Data Nikah dan Rujuk Kua Kecamatan Koja Tahun
Nikah
Rujuk
2011
2586
0
2012
2132
0
2013
2025
0
Sumber: Arsip dari KUA Kecamatan Koja Dari data diatas data Nikah di Kecamatan Koja lebih banyak di tahun 2011 dengan jumlah 2586 dan data Rujuk 0
Tabel 4.11 Data Pelaksanaan Pernikahan KUA Kecamatan Koja Tahun
Nikah di dalam
Nikah di luar kantor
kantor 2011
207
2379
2012
274
1858
2013
104
1921
Sumber; Arsip dari KUA Kecamatan Koja Dari data di atas jumlah perkawinan yang di lakukan di dalam kantor KUA Kecamatan Koja lebih sedikit dibanding dengan jumlah perkawinan di luar kantor KUA Kecamatan Koja
50
B. Problematika Seks dan Cara Mengatasinya Kawin hamil merupakan fenomena yang semakin marak di masyarakat akhirakhir ini bahkan seolah-olah kawin hamil telah menjadi bagian dari budaya yang berkembang dalam masyarakat kita. Seandainya pada setiap perkawinan, pegawai pencatat nikah mencatat pasangan yang kawin hamil, pasti akan di peroleh data yang dapat membuat kita tercengang. Prosentase perkawinan yang di catat mungkin di dominasi oleh kawin hamil. Namun yang menjadi persoalan adalah banyak orang di sekitar kita yang belum tahu tentang hukum kawin hamil itu sendiri sehingga hal tersebut dianggap hal yang menurut mereka sah-sah saja di lakukan.79 Kondisi ini merupakan resultan
dari faktor-faktor biologis, psikologi dan
sosial. Upaya pencegahannya perlu di lakukan secara multi dan interdisiplin dengan mempertimbangkan ketiga faktor tersebut. Media masa juga memegang peranan tidak kecil dalam hal khayalan remaja . adanya kecenderungan pada daya tarik fisik dan seksual dalam berbagai media periklanan, membuat remaja makin sulit untuk mengontrol dorongan seksualnya.80 Adanya perhatian dari keluarga untuk meningkatkan
ketahanan fisik
menghadapi arus globalisasi dengan cara memperkuat ajaran agama, nilai dan norma di dalam keluarga merupakan alternatif utama, dalam hal ini target sasaran pertama adalah peran orang tua, dengan di berikannya informasi dan pengertian akan pentingnya dan sekaligus bahaya yang mengancam kehidupan pada pasangan yang 79
Wawancara dengan penghulu KUA Kecamatan Koja
80
Wawancara dengan penghulu KUA Kecamatan Koja
51
belum menikah, sehingga mereka turut berpartisipasi sebagai agen perubahan. Dan target sasaran kedua adalah pasangan muda yang belum menikah dalam peranannya sebagai anggota keluarga. Selain itu, pihak pemerintah diharapkan ikut berpartisipasi untuk mengurangi volume kasus kawin hamil dengan cara mengadakan kegiatan yang berwawasan nasional, misalnya memperketat sensor arus informasi dan budaya asing, menunjang pembentukan sarana bagi pengembangan remaja dan lain-lain.81
C. Faktor-Faktor kawin hamil di luar nikah Dari pengamatan penulis pada masyarakat, khususnya masyarakat kelurahan Lagoa, problematika seks di luar nikah pada kalangan remaja dapat terjadi karena beberapa faktor, yakni:82 1. Gaya pacaran yang tidak terkontrol oleh orang tua : ada semacam budaya di kalangan pemuda dan pemudi yang mengkhususkan malam istimewa seperti malam minggu, mereka jadikan ajang jalan berdua ( apel atau ngelancong) 2. Adanya rasa sayang yang sangat terhadap pacar, sehingga seorang wanita rela memberikan segalanya kepada pacarnya bahkan yang menjadi kehormatannya sebagai wanita ia berikan. 3. Pengaruh teman atau lingkungan yang mana dalam lingkungan pergaulan remaja, adanya istilah yang kesannya lebih mengarah kepada hal negatif atau salah gaul.
81
Wawancara dengan penghulu KUA Kecamatan Koja
82
Wawancara dengan pelaku kawin hamil
52
4. Pergaulan bebas yang terjadi di kalangan remaja saat ini sudah sangat lumrah sehingga mereka menganggap pergaulan tersebut sudah menjadi kebiasaan di lakukan sehingga masalah seks dan hamil di luar nikah bukanlah hal yang tabu lagi di kalangan pemuda dan masyarakat. 5. Kurangnya perhatian khusus dari orang tua untuk dapat memberikan penjelasan tentang akibat pergaulan masa kini sehingga terjadi kegagalan pendidikan di lingkungan keluarga. 6. lemahnya pendidikan keagamaan terhadap anak yang di pupuk sejak dini di lingkungan keluarga. Adapun faktor-faktor yang di jelaskan di atas, dapat di simpulkan bahwa faktor utama ( dominan ) dari penyebab perkawinan wanita hamil di luar nikah adalah bebasnya pergaulan yang di lakukan oleh para pemuda dan pemudi sehingga menimbulkan masalah terjadi nya hamil di luar nikah dan kurang nya pengontrolan serta perhatian khusus orang tua terhadap anak-anak nya dalam memberikan pendidikan keagamaan di lingkungan keluarga.83
D. Pandangan Masyarakat dan Ulama Terhadap Kawin Hamil, Status Perwalian Anak Diluar Nikah 1. Pandangan Masyarakat Dalam penulisan skripsi ini , penulis telah mewawancarai beberapa informan. Adapun informan yang penulis wawancarai , diantaranya adalah: 83
Wawancara dengan Anna (Nama samaran) pelaku kawin hamil di luar nikah pada hari rabu, tanggal 10 desember 2014 di rumahnya kelurahan Lagoa
53
1. Bpk. H. Halimi,S.Ag sebagai penghulu KUA Kecamatan Koja 2. Bpk Acep Budairi,S.Ag sebagai penghulu KUA Kecamatan Koja 3. Bpk KH. Tajudin HM sebagai tokoh masyarakat 4. Dua orang pelaku wanita hamil di luar nikah yang telah di wawancarai Dari data yang penulis dapat bahwa jumlah penduduk laki-laki dan perempuan Kecamatan Koja sebanyak 317.377 jiwa yang terdiri dari 162.995 jiwa penduduk laki-laki dan 154.382 jiwa penduduk perempuan. Selain itu, jumlah perkawinan yang ada di KUA Koja wanita yang mengalami kawin hamil diluar nikah menurut para informan dari sekitar 100 pernikahan bisa 1/3 yang menikah karna hamil di luar nikah.84 Selain itu penulis berkesempatan mewawancarai sejumlah tokoh masyarakat yang terkait dan memiliki pemahaman yang baik tentang kawin hamil yang terjadi di lingkungan masyarakat. Salah satu hasil wawancara penulis dengan Bpk. H. Halimi,S.Ag selaku penghulu KUA Kecamatan Koja dan Bpk KH. Tajudin HM selaku tokoh masyarakat, antara lain mengenai perkawinan wanita hamil di luar nikah pernikahan nya sah akan tetapi yang menjadi permasalahannya dalam perwalian dan pewarisan. Dan didalam kitab Bugiyah halaman 201 bolehnya pernikahan yang hamil di sebabkan zina baik yang di zinahi oleh yang menghamilinya atau bukan yang menghamilinya. Dalam usia kandungan wanita hamil tersebut juga harus di perhatikan apabila usia kandungan wanita tersebut kurang dari 4 bulan maka anak yang di dalam kandungan adalah anak dari ayah yang menikahi ibunya, akan tetapi 84
Data yang di peroleh dari KUA Kecamatan Koja
54
apabila usia kandungannya 4 bulan keatas bukan anak dari ayah yang menikahi ibunya.85 Penerapan hukum yang terjadi mengenai masalah wanita hamil diluar nikah. Maka penerapan hukum tersebut
terhadap masyarakat atau penghulu bervariasi,
yakni adanya masukan untuk melakukan pernikahan ulang yang terjadi pada pernikahan wanita hamil. Dalam hal tersebut di serahkan kepada pihak yang bersangkutan, apakah tetap pada pernikahan awal atau melakukan pernikahan ulang setelah anak yang dikandung lahir.86 2. Pandangan Ulama Mengenai hukum perkawinan wanita hamil ini telah di bicarakan pada bab sebelumnya yang mana hukum dari nikah hamil adalah sah, para ulama telah sepakat tentang kebolehan menikahi wanita hamil di luar nikah bagi orang yang menghamilinya. 87 Seperti menurut madzhab Syafi‟i yang menyebutkan perkawinan wanita hamil itu di anggap sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain, tidak ada kewajiban iddah bagi wanita pezina ( artinya wanita yang telah berzina boleh langsung di nikahi tanpa iddah). Menurut jumhur Ulama perwalian yang di jelaskan dalam al-Qur‟an surat Albaqarah ayat 221 merupakan larangan Allah SWT yang di tujukan kepada para wali, agar mereka tidak mengawinkan wanita-wanita muslimah degan orang-orang 85
Wawancara dengan tokoh masyarakat
86
Wawancara dengan penghulu KUA Kecamatan Koja
87
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Addilatuhu, hal 148, Cet.2, Jilid VII
55
musyrik. Karena itu, bagi jumhur Ulama ayat tersebut juga merupakan salah satu dalil tentang tidak sahnya nikah tanpa wali.88 Di tegaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 19 bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya dan dalam pasal 20 ayat (1) yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni, Muslim, Aqil dan Baligh (2) wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Dari Uraian di atas dapat di simpulkan bahwa perkawinan wanita hamil hukumnya adalah sah, sedangkan mengenai perwalian dalam pernikahan merupakan rukun yang harus di penuhi dalam pernikahan dan perwalian anak di luar nikah hanya dapat dilakukan oleh wali hakim di karenakan anak yang terlahir akibat hamil diluar nikah ia tidak mempunyai hubungan nasab kepada ayahnya.
E. Analisis Penulis Mengenai perkawinan wanita hamil diluar nikah terdapat perbedaan para ulama, ada yang membolehkan dan ada juga yang tidak membolehkan perkawinan itu terjadi oleh laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki yang bukan menghamilinya, yang menjadi masalah dari perkawinan wanita hamil tersebut adalah status anak yang dilahirkan diluar nikah tersebut menurut usia kandungan yang berdampak dalam perwaliannya, Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 pasal 42 mengenai Anak sah adalah Anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat 88
Hasanudin Af,MA, Perkawinan dalam Perspektif Al-Qur’an ( Jakarta: Nusantara Damai Press) cet. 2011 h. 20
56
perkawinan yang sah. Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99 yang menyatakan: “anak sah adalah: (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. (b) Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan di lahirkan oleh istri tersebut. Adapun yang di maksud dengan anak diluar nikah adalah anak yang di buahi dan di lahirkan diluar pernikahan yang sah sebagaimana yang di sebutkan dalam peraturan perundang-undangan nasional antara lain: 1. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya 2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan demikian, maka anak yang lahir diluar pernikahan tidak di nyatakan sebagai anak yang sah menurut hukum, bila di cermati dari peraturan perundangundangan yang berlaku tentang hukum perkawinan, menyatakan bahwa status nasab anak diluar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan dalam hal perwalian anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ayah biologisnya. Oleh sebab itu penulis cenderung mengikuti pendapat Imam Malik dan Syafi‟i yang mana dalam hukum Islam anak diluar nikah tetap tidak di anggap sebagai anak yang sah, dan karena itu berakibat hukum sebagai berikut;
57
1. Tidak adanya hubungan nasab Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa “anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja”. Hal demikian secara hukum anak tersebut sama sekali tidak dapat di nisbahkan kepada ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami ( genetik) tersebut merupakan laki-laki yang menghamili perempuan yang melahirkannya itu. 2. Tidak adanya saling mewarisi. Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang di kemukakan, maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan waris mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, sebagaimana yang di tegaskan pada pasal 186 Kompilasi Hukum Islam; “ anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya‟‟. Dengan demikian, maka anak tersebut secara hukum tidak mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ayah/bapak alami (genetiknya). 3. Ayah tidak dapat menjadi wali. Ketentuan wali nikah dalam pasal 19 Kompilasi Hukum Islam: “ wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya.” Dan pasal 20 ayat (1) “ yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
58
syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh (2) wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Banyaknya kasus perkawinan wanita hamil di Lagoa Kecamatan Koja, jumlahnya sekitar 30% dari perkawinan yang di catat di KUA Perkawinan ini sudah hamil di luar nikah. Dan kasus ini pihak KUA menganjurkan untuk melakukan nikah ulang apabila sudah melahirkan. Data tersebut penulis dapat dari hasil wawancara dengan salah satu penghulu di KUA Kecamatan Koja, Alasan beliau menggunakan Maslahah Mursalah.
59
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis memberikan jawaban yang berhubungan dengan rumusan masalah dan tujuan peneliti skrispi. Adapun jawabannya adalah sebagai berikut: 1. Bahwa terjadinya perkawinan wanita hamil diluar nikah itu di dukung dari beberapa faktor, yakni faktor pendidikan, pergaulan, dan kurangnya perhatian orang tua dapat menunjang terjadinya hal tersebut. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan bahwa faktor dominan penyebab terjadinya hamil di luar nikah di kalangan remaja adalah faktor pergaulan yang kurang terkontrol, yang mana usia wanita hamil diluar nikah itu terjadinya pada masa sekolah Lanjutan Tingkat Atas ( SLTA) atau berkisar antara 16-18 Tahun. 2. Mengenai pernikahan wanita hamil yang dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya, pernah terjadi kasus demikian di daerah Lagoa Kecamatan Koja, Alasannya karena mereka sama-sama suka dan adanya rasa kasihan dengan aib yang ada pada wanita tersebut sehingga lelaki tersebut bersedia menutupi aib wanita tersebut. Hukum dari menikahi wanita hamil tersebut tidak di larang oleh agama asalkan memenuhi syarat dan rukun nikah. 3. kedudukan anak yang lahir diluar perkawinan yang sah yang berkaitan dengan perwalian, apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat dari perbuatan zina ( diluar perkawinan) tersebut ternyata wanita, dan setelah 59
60
dewasa anak tersebut menikah maka ayah/bapak alami ( genetiknya) tidak berhak atau tidak sah menjadi wali nikahnya, melainkan yang berhak menjadi wali adalah wali hakim dan dalam kasus ini belum pernah terjadi pernikahan anak yang lahir diluar nikah yang di nikahkan oleh ayah biologisnya karna proses administrasi di KUA sebelum akad nikah terjadi ada koreksi ulang mengenai asal usul anak tersebut untuk menghindari terjadinya pernikahan yang tidak sah menurut agam dan pemerintah, karna pada dasarnya KUA Kecamatan Koja menggunakan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
B. Saran-Saran Ada beberapa saran yang dapat penulis berikan untuk mengurangi masalah hamil diluar nikah diantaranya: 1. Untuk lembaga-lembaga pemerintah atau aparatur pemerintahan yanag berkaitan dengan masalah ini, diharapkan untuk membincangkan hal ini dengan serius, melalui penyuluhan atatu sosialisasi tentang pernikahan, seks, dan pergaulan bebas 2. Bagi masyarakat, khususnya bagi para tokoh agama hendaknya lebih meningkatkan volume sensitifitas dalam menyikapi kasus kawin hamil di luar nikah, sehingga kasus ini tidak di pandang seolah-olah legal di mata masyarakat awam, baik dengan cara pendekatan sosial, khususnya bagi para kalangan remaja. 3. Untuk para pembaca semampu mungkin hindari dan jauhi kesempatankesempatan yang dapat mendorong terjadinya seks bebas dengan cara mengikuti kegiatan keagamaan
61
DAFTAR PUSTAKA
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, ( Bandung; Al-Bayan, 1994), cet. Ke-1 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Kencana 2003) Abdurahman al-jaziry, kitab al-fiqh ‘ala al-madzahib al-arba’ah, (mesir;Dar alirsyad, t.th) jilid VII Abdurahman al-jaziry, kitab al-fiqh „ala al-madzahib Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Ahmad Warson Al-Munawwir Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia Ali Afandi,hukum waris, hukum kekeluargaan,hukum pembuktian, Jakarta; PT Bina Aksara 1986, cet ke-2 Basrowi dan Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rineka Cipta, 2008). Dedi Supriadi dan mustofa.perbandingan hukum perkawinan islam di dunia Islam. Departemen Agama RI, Alqur‟an dan Terjemahannya Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: Pt. Prima heza Lestari,2005), Cet-1 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010) Fuad Moch Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam ( Jakarta Pusat, CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991) H.M.A Tihami, Fiqih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap Hasanudin Af,MA, Perkawinan dalam Perspektif Al-Quran ( Jakarta: Nusantara Damai Press)cet. 2011.
62
http://jumaidi-eljumeid.blogspot.com/2009/11/perkawinan-wanita-hamil-dan-statusanak.html Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar „ala Al-Daar Al-Mukhtar ; Hasyiyah Ibn „Abidin, (Beirut; Daar Ihya Al-Turats Al_Arabi, 19870, juz II, cet II Ibnu Mandzur, Lisan Al-„Arobi, (Beirut : Dar-Shadir,1994), jilid 1 Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-fiqr, t.th) jilid II., Kamal Muchtar,Asas-Asas hukum Islam tentang perkawinan (Jakarta: PT Bulan Bintang,1987) Lexy J. Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001). M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet, ke-1 M.ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: siraja, 2003) cet ke-1 M.idris Ramulyo. Tinjauan Beberapa pasal undang-undang no 1 tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Ind-Hill-Co;jakarta, 1990 Macam-Macam Metode Penelitian, artikel ini di akses http://koffieenco.blogspot.com/2013/08/macam-macam-metodepenelitian.html, pada 22 oktober 2014.
dari
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, (Yogyakarta: Darussalam,2004) cet ke-1 Mudjia rahardjo, Penelitian Sosiologis Hukum Islam, artikel ini di akses dari http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/134-penelitian-sosiologishukum islam.html, pada 22 Oktober 2014. Nurul
Irfan, Nasab dan Status Islam,(Jakarta:Amanah,2012),Ed.1
Anak
dalam
Hukum
Said Agil Husin Al-munawar, Hukum islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta; PENAMADANI, 2004
63
Sayyid sabiq, Fiqih Assunah (Yogyakarta; Pd Hidayat, 1986) Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Intermasa, 1987), cet.ke-21 Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat:kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:PT RAJAGRAFINDO PERSADA.2009) Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam. Bandung : Nuansa Aulia, 2011. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 1974, Arkola, Surabaya Wahbah al-Zuhaili, al-fiqh al-Islami wa Addilatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr 1989) cet. Ke-3, jilid VII Yayan Sopyan, Islam-Negara ( Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional), ( Tanggerang Selatan; Uin Syarif Hidayatullah,2011) cet ke-1 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika,2007)
64
PEDOMAN WAWANCARA
A. Pedoman wawancara dengan penghulu di KUA Kecamatan Koja 1. Bagaimana menurut bapak tentang perkawinan yang terjadi di KUA Kecamatan Koja. Apakah sesuai dengan hukum Islam atau adat? 2. Dengan beragamnya pendapat ulama fuqaha dan hukum positif (Kompilasi Hukum Islam) tentang perkawinan wanita hamil menurut bapak madzhab mana yang di pergunakan oleh KUA, khususnya KUA Kecamatan Koja? 3. Apakah bapak sebagai penghulu KUA Kecamatan Koja menikahkan wanita yang hamil diluar nikah dalam keadaan hamil atau tidak? 4. Bagaimana pandangan bapak mengenai perkawinan wanita hamil? 5. Apa saja faktor-faktor yang melatar belakangi atau penyebab terjadinya perkawinan wanita hamil? 6. Dilihat dari jumlahnya, berapakah jumlah korban wanita hamil yang bapak ketahui? 7. Sepengetahuan bapak pada usia berapa biasanya kawin hamil itu sering terjadi? 8. Bagaimana bapak menyikapi perkawinan wanita hamil tersebut? 9. Mengenai perwalian anak yang lahir dari pernikahan tersebut, menurut pandangan bapak bagaimana perwaliannya? 10. Bagaimana peranan orang tua atau tokoh masyarakat dalam men gantisipasi terjadinya perkawinan wanita hamil ( Cara-cara mengatasinya)?
65
PEDOMAN WAWANCARA
A. Pedoman wawancara dengan penghulu di KUA Kecamatan Koja 1. Bagaimana menurut bapak tentang perkawinan yang terjadi di KUA Kecamatan Koja. Apakah sesuai dengan hukum Islam atau adat? Jawab: bukan hanya di lihat dari segi hukum Islam tetapi harus memenuhi perundang-undangan karna ada hubungan antara keduanya 2. Dengan beragamnya pendapat ulama fuqaha dan hukum positif (Kompilasi Hukum Islam) tentang perkawinan wanita hamil menurut bapak madzhab mana yang di pergunakan oleh KUA, khususnya KUA Kecamatan Koja? Jawab: KUA melepas atribut madzhab dalam arti tunduk dan patuh dengan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 3. Apakah bapak sebagai penghulu KUA Kecamatan Koja menikahkan wanita yang hamil diluar nikah dalam keadaan hamil atau tidak? Jawab: Penghulu kapasitasnya hanya mencatat perkawinan, Ya menikahkan dan mengacu pada Kompilasi hukum Islam 4. Bagaimana pandangan bapak mengenai perkawinan wanita hamil? Jawab: Pernikahannya sah akan tetapi yang menjadi permasalahannya dalam hal perwalian dan kewarisan 5. Apa saja faktor-faktor yang melatar belakangi atau penyebab terjadinya perkawinan wanita hamil?
66
Jawab: 1. karna faktor lingkungan yang terlalu bebas 2. kurangnya pengawasan orang tua 3. keluarga yang tidak harmonis 4. ketidak perdulian orang tua dalam memberikan pendidikan agama 6. Dilihat dari jumlahnya, berapakah jumlah korban wanita hamil yang bapak ketahui? Jawab: dari sekitar 100 pernikahan bisa 1/3 yang hamil di luar nikah 7. Sepengetahuan bapak pada usia berapa biasanya kawin hamil itu sering terjadi? Jawab: usia antara laki-laki 17-20 tahun dan perempuan 15-19 tahun 8. Bagaimana bapak menyikapi perkawinan wanita hamil tersebut? Jawab: sangat prihatin melihat kondisi seperti ini karna bagaimanapun ini peran orang tua yang sangat mendorong terutama untuk meminimalisir anak yang menikah dalam keadaan hamil dan apabila sudah terjadi pernikahan akibat hamil di luar nikah di beri nasehat untuk bertaubat. 9. Mengenai perwalian anak yang lahir dari pernikahan tersebut, menurut pandangan bapak bagaimana perwaliannya? Jawab: mengenai perwalian anak di luar nikah yaitu wali hakim karna tidak adanya nasab anak tersebut kepada ayah biologisnya. 10. Bagaimana peranan orang tua atau tokoh masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya perkawinan wanita hamil ( Cara-cara mengatasinya)? Jawab: 1. Membekali anak dengan pendidikan agama 2. Mengawasi atau mengontrol anak dari pergaulan yang bebas 3.Orang tua harus mengajarkan hal-hal yang positif kepada anak 4. Memberikan contoh kehidupan yang agamis
67
PEDOMAN WAWANCARA
A. Pedoman wawancara dengan pelaku kawin hamil 1. Bagaimana menurut anda tentang perkawinan yang terjadi di masyarakat Lagoa apakah sesuai dengan hukum Islam atau adat? 2. Apakah tradisi atau adat masyarakat Lagoa lebih dominan daripada hukum Islam, khususnya mengenai hal perdata Islam (nikah,talaq,rujuk)? 3. Dengan beragamnya pendapat Ulama Fuqaha dan hukum positif (Kompilasi Hukum Islam) tentang perkawinan wanita hamil. Bagaimanakah hukumnya menurut anda? 4. Bagaimana penerapan hukum tersebut pada masyarakat Kelurahan Lagoa? 5. Bagaimana pendapat anda terhadap perkawinan wanita hamil? 6. Sepengetahuan anda, pada usia berapa biasanya kawin hamil itu sering terjadi? 7. Maaf, lalu kapan hal itu terjadi terhadap anda? 8. Dengan siapa anda melakukan hal itu? 9. Lalu, setelah tahu bahwa anda hamil, apakah pacar anda segera menikahi anda? 10. Kalau saja pacar anda tidak mau menikahi anda, langkah apa yang anda lakukan? 11. Selanjutnya, bagaimana dengan keluarga anda? 12. Dengan kebebasan anda, apakah anda pernah mengikuti kegiatan keagamaan di lingkungan tempat tinggal? 13. Baik, kalau di lihat dari jumlahnya, berapakah jumlah korban kawin hamil yang anda ketahui?
68
14. Apa saja faktor-faktor yang melatar belakangi atau penyebab terjadinya perkawinan wanita hamil? 15. Bagaimana peranan anda dalam mengantisipasi terjadinya perkawinan wanita hamil (Cara-cara mengatasinya)?
69
PEDOMAN WAWANCARA
A. Pedoman wawancara dengan pelaku kawin hamil 1. Bagaimana menurut anda tentang perkawinan yang terjadi di masyarakat Lagoa apakah sesuai dengan hukum Islam atau adat? Jawab; Sesuai dengan hukum Islam 2. Apakah tradisi atau adat masyarakat Lagoa lebih dominan daripada hukum Islam, khususnya mengenai hal perdata Islam (nikah,talaq,rujuk)? Jawab; Menurut saya lebih dominan hukum Islam 3. Dengan beragamnya pendapat Ulama Fuqaha dan hukum positif (Kompilasi Hukum Islam) tentang perkawinan wanita hamil. Bagaimanakah hukumnya menurut anda? Jawab; Hukumnya dibolehkan dengan alasan adanya pertanggung jawaban pasangan 4. Bagaimana penerapan hukum tersebut pada masyarakat Kelurahan Lagoa? Jawab; harus ada sosialisasi 5. Bagaimana pendapat anda terhadap perkawinan wanita hamil? Jawab; sah saja 6. Sepengetahuan anda, pada usia berapa biasanya kawin hamil itu sering terjadi? Jawab; 18 tahun 7. Maaf, lalu kapan hal itu terjadi terhadap anda? Jawab; Pada usia 18 tahun
70
8. Dengan siapa anda melakukan hal itu? Jawab; Melakukannya dengan pacar 9. Lalu, setelah tahu bahwa anda hamil, apakah pacar anda segera menikahi anda? Jawab; Ya menikahi 10. Kalau saja pacar anda tidak mau menikahi anda, langkah apa yang anda lakukan? Jawab; Lapor kepada pihak berwajib 11. Selanjutnya, bagaimana dengan keluarga anda? Jawab; Pihak keluarga kecewa dan marah 12. Dengan kebebasan anda, apakah anda pernah mengikuti kegiatan keagamaan di lingkungan tempat tinggal? Jawab; Pernah 13. Baik, kalau di lihat dari jumlahnya, berapakah jumlah korban kawin hamil yang anda ketahui? Jawab; Ada 2 orang 14. Apa saja faktor-faktor yang melatar belakangi atau penyebab terjadinya perkawinan wanita hamil? Jawab; Faktor lingkungan dan pergaulan yang bebas 15. Bagaimana peranan anda dalam mengantisipasi terjadinya perkawinan wanita hamil (Cara-cara mengatasinya)? Jawab;
menjaga diri dari pergaulan bebas, membekali anak dengan agama,
mengawasi atau mngontrol pergaulan anak 10 Desember 2014 Nama Anna Umur 25 tahun
71
PEDOMAN WAWANCARA B. Pedoman wawancara dengan pelaku kawin hamil 1. Bagaimana menurut anda tentang perkawinan yang terjadi di masyarakat
Lagoa
apakah sesuai dengan hukum Islam atau adat? Jawab; Ya sesuai dengan hukum Islam 2. Apakah tradisi atau adat masyarakat Lagoa lebih dominan daripada hukum Islam, khususnya mengenai hal perdata Islam (nikah,talaq,rujuk)? Jawab; Tidak dominan 3. Dengan beragamnya pendapat Ulama Fuqaha dan hukum positif (Kompilasi Hukum Islam) tentang perkawinan wanita hamil. Bagaimanakah hukumnya menurut anda? Jawab; kalau menurut pendapat saya hukum tersebut sah-sah saja 4. Bagaimana penerapan hukum tersebut pada masyarakat Kelurahan Lagoa? Jawab; harus lebih seringnya diadakan sosialisasi tentang keagamaan 5. Bagaimana pendapat anda terhadap perkawinan wanita hamil? Jawab; Sah-sah saja 6. Sepengetahuan anda, pada usia berapa biasanya kawin hamil itu sering terjadi? Jawab; Tidak dapat di tentukan (Usia belasan) 7. Maaf, lalu kapan hal itu terjadi terhadap anda? Jawab; kurang lebih 5 tahun yang lalu 8. Dengan siapa anda melakukan hal itu? Jawab; Dengan pacar (Ayah dari anak saya)
72
9. Lalu, setelah tahu bahwa anda hamil, apakah pacar anda segera menikahi anda? Jawab; Ya menikahi 10. Kalau saja pacar anda tidak mau menikahi anda, langkah apa yang anda lakukan? Jawab; Menemui pihak keluarganya 11. Selanjutnya, bagaimana dengan keluarga anda? Jawab; Menerima keadaan walau amat sangat terpaksa 12. Dengan kebebasan anda, apakah anda pernah mengikuti kegiatan keagamaan di lingkungan tempat tinggal? Jawab; Tidak pernah 13. Baik, kalau di lihat dari jumlahnya, berapakah jumlah korban kawin hamil yang anda ketahui? Jawab; Yang saya ketahui hanya 3 orang 14. Apa saja faktor-faktor yang melatar belakangi atau penyebab terjadinya perkawinan wanita hamil? Jawab; Pergaulan yang bebas 15. Bagaimana peranan anda dalam mengantisipasi terjadinya perkawinan wanita hamil (Cara-cara mengatasinya) a. Pengawasan orang tua b. Mengawasi pergaulan anak c. Memberikan penjelasan tentang akibat pergaulan masa kini 14 des 2014 Nama Neneng Umur 28 tahun