149
NEGARA HUKUM, PERADlLAN TATA USAHA NEGARA DAN PERANAN HAKIMNYA Oleh : Satya Arinanto Suatu pengadilan yaug bebas adalah merupakan suatu syarat yang indispensable yang tidak dapat dihindari bagl negara hukum. Kebebasan ini mengandung pengertian, tidak ada campur tangan dari kekuasaan lain, baik oleh kekuasaan eksekntif atau legislatif. Namun dalam praktek kekuasaan hakim sebenarnya belum sesuai dengan kehendak tersebut diatas. Hal ini dapat dilihat dengan adanya "dualisme" pertanggungjawaban hakim • . Dntuk itu dengan dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1986 hakim dituntut untuk dapat memeriksa dan menyelesaikan suatu sengketa meskipun masih ada soja kendala-keudala yang dihadapi. Latar Belakang J>ermasalahan. Bila kita meninjau pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur mengenai kekuasaan kebakiman, akan kita dapati prinsip- prinsip dasar mengenai judicial independence atau kebebasan pengadilan. Pasal 24-nya menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleb sebuab Mahkamah Agung dan lain-lain bad an kehakiman menurut undangundang. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman ini diatur dengan undang-undang. Sedangkan pasal 25-nya menetapkan bahwa untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Kata "undang-undang" yang sederbana tetapi bersejarab ini menahan adanya April 1992
150
Hukum dan Pembangunan
campur tangan, interfence, baik dari pihak eksekutif, maupun dari pihak legislatif terhadap kekuasaan yudikatif. Suatu peradilan yang bebas adalah merupakan suatu syarat yang indispensable, yang tidak dapat dihindari, bagi negara hukum. Kebebasan ini mengandung suatu pengertian, bahwa tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif atau legislatif dalam melaksanakan fungsinya yang yudiciair, tetapi tidak berarti bahwa hakim berhak untuk bertindak sewenang-wenang. Tugasnya yang terutama adalah untuk menafsirkan hukum dan prinsip-prinsip fundamental yang menjadi dasarnya I. Sejauh Undang-undang dapat melindunginya, warga negara akan diberikan jaminan dalam pemeriksaannya oleh badan-badan kehakiman, yang akan dilakukan di depan hakim yang memberikan keadilan yang tidak memihak (impartial justice), tanpa adanya ketakutan akan konsekwensi apapun dari pemerintah. Walaupun doktrin trias politika tidak dianut oleh banyak negara lain, dan tidak pula oleh negara kita, tetapi dalam bidang yudikatif dapat saja dipertahankan prinsip-prinsip kebebasan pengadilan. Jadi, ada atau tidaknya prinsip Tria.s Politika, tidak perlu selalu dihubungkan dengan adanya prinsip kebebasan pengadilan. 2 Berbicara mengenai Impartian justice, tidak bisa kita lepaskan dari pembicaraan mengenai negara hukum. Angan-angan bahwa suatu negara sebaiknya berdasarkan atas hukum dalam segala hal sudah didambakan sejak Plato menu lis "Nomoi". Immanuel Kant memaparkan prinsip-prinsip negara hukum (formil), FJ. Stahl mengetengahkan negara hukum (materiil), Dicey mengajukan :Rule f Law ,, 3 Intinya, merupakan suatu negara yang ideal pada abad ke-20 ini,jika segala kegiatan kenegaraan selalu didasaikan pada hukum. Perkembangan sejarah kenegaraan menunjukkan bahwa pengisian pengertian tersebut selalu berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasan
1)
K..'lta Penganlar dari Prof. Dr. Ismail Suny d..1Iam Satya Arinanto, "Bahan-bah an Pelengkap Perkuliahan Kekuasaan Kebakiman (peninjau.ln dari scgi Hukum Tala Negara Fakuhas Hukum Universitas Indonesia,1991), bal.i .
2) Ib;d 3) Pendapat Prof. Oemar Seno Adji dalaru Seminar Tatanegara di Universitas Indonesia tabun 1966, sebagaimana dikutip oleh Prof. Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdas.ukan Alas Hukum (Jakarta: Gllalia Indonesia, 1982), hal. 7.
151
Negara
suatu bangsa. Oleh karena itu, dalam sejarah ketatanegaraan kitapun, pemah pula dianut adanya konsep negara 'hukum yang lain. Hal ini tercennin dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang- un dang Dasar Semen tara (UUDS)1950 yang mencantumkan pengertian "negara hukum demokratis" (demokratise rechtstaat) di dalam pasal 1 ayat (1)-nya. Perhedaannya hanyalah terletak pada hentuk negaranya. Dalam Konstitusi RIS 1949 negara hukum demokrasinya berbentuk federasi, sedangkan pada UUDS 1950 berbentuk "kesatuan,,4 Inti dari perumusan tersebut adalah, bahwa hukum yang berlaku dalatn suatu negara hukum haruslah yang terumus secara demokratis, yaitu yang memang dikehendaki oleh rakyat. Namun dalam sistem bemegara kita yang menggunakan pula "sistem mandataris", rumusan yang demikian tidak kita anut. 5 Sedangkan apabila kita bandingkan dengan UUD 1945, dapat. kita libat, bahwa tak ada satu pasalpun yang mengatakan secara tegas bahwa negara kita adalah negara hukum. Penegasan yang ada hanyalah di dalam Penjelasan UUD 1945 Bab Sistem Pemerintahan Negara yang menegaskan bahwa "Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka(Machstaat). ,,6 Semen tara itu ada pula sarjana lainnya yang mengaitkan konsep negara hukum kita dengan falsafah bernegara, yaitu Pancasila. sehingga ia herpendapat bahwa konsep "negara hukum" harus dikembalikan kepada Pancasila sebagai landasannya 7 Demikian uraian sing kat mengenai konsep negara hukum yang akan kita pergunakan sebagai pangkal tolak teoritis dalam membahas pennasalahan peranan hakim yang aktif dalam proses perkara di' Peradilan Tata Usaha Negara.
4)
Ghalia Indonesia (peDY.) Tiga Undang-Undang Dasar : UUD 1945 , Konstitusi
rus,
UUD
Sementara Rl (Jakan" 1978). bal31 dan 90. 5)
Prof. Padmo Wabjono. op.Cit., hal. 8.
6) Moh. kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar bukum Tala Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tala Negara Fakultas hukum Universitas Indonesia, 1983), bal. 225. 1) Pbilipius M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi Teolang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya Oleb Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara (Disertasi untuk mencapai gelar doktor i1mu Hukum di Universitas Airlangga) (Surabaya: PT. Bina Ilmu,1987), hal. ix.
April 1992
152
Hllkum dan Pembangunan
Pokok Permasalahan Berdasarkan ura ian sing kat di atas, dapat dirumuskan pokok- pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Apa kaitan antara konsep negara hukum dengan peranan hakim; 2. Bagaimana mewujudkan peranan aktif para hakim; 3. Bagaimana peranan aktif para hakim tersebut dapat diimplementasikan dalam proses perkara di Peradilan Tata Usaha Negara;
PERANAN HAKIM Membicarakan mengenai peranan hakim, tidak dapat kita lepaskan dari pembicaraan mengenai operasionalisasi keadilan. Di dalam operasionalisasi keadilan, kita cukup mengenal aliran-aliran k1asik mengenai pelaksanaan tugas hakim, seperti misalnya : 1. Hakim banyalah terompet undang-undang. 2. Hakim boleh mengadakan penafsiran-penafsiran sesuai teori-teori penafsiran; 3. Hakim harus mendasarkan atau mengembangkan keyakinannya berdasarkan segala faktor kemasyarakatan yang perlu diperhatikannya; 4. Hakim dapat menambahkan atau mengembangkan peraturan dengan keputusan-keputusan dan sebagainya. 8 Dapat ditambahkan adanya suatu kualifikasi yang mungkin dapat dikembangkan dan mungkin juga tidak, yakni adanya suatu makna dari sebutan "hakim sebagai pejuang". Perbincangan mengenai kedudukan (status) dan peranan (role) hakim memang akan selalu muncul sepanjang sejarah keadilan. Dika;'tkan dengan pendidikan hukum , maka amatlah penting untuk mempersiapkan mahasiswa unluk menjad i "the great lawyers". Hal ini pernah dikemukakan oleh Holmes bahwa "The bussines of a law school is nat sufficiently described wen you merely say that it is to teach law or make law4'ers. It is to teach lawyers in the gr~d manner and to m~ke great lawyers". Dengan kata lalli, dengan kata lalli, sebenarnya perblllcangan mengenai seberapa besar peranan (role) dari para hakim akan sangat tergantung dari mutu dari pendidikan hukum yang ditempuh sebelumnya. 8) Prof. Padma Wahjono. "Keadilan", dalam Satya Arinanlo, Loc Cit., hal. 235.
Q)
Kala-kala yang terpampang dj sal;lh satu dinding dari The C.o llege of Law, University of the Philippines, Manila.
Negara
153
HAKIM-HAKIM BESAR
Selama bampir setengah abad usia negara kita, bel urn tampak adanya tradisi untuk melibat dan menghargai hakim-bakim besar dalam dunia pengadilan kita. Memang pernab muncul nama-nama besar seperti Hakim Agung Kusumab Atmadja, Prof. Wirjono Prodjodikoro, Prof. Subekti dan sebagainya, namun tidak banyak yang lainnya lagi. lO Sedangkan di luar negeri kita mengenal adanya nama-nama "standard" seperti Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank, Cardozo, Brandeis, Lord Denning, Sir W. Blackstone dan Wiard a (yang terakhir ini di Belanda).11 Sebagai contob misalnya Brandeis (1856-1941). Ia merupakan ahli bukum kenamaan dan mantan hakim pada supreme Court di Amerika Serikat yang ban yak memperjuangkan kepentingan ekonomi rakyat kecil, terutama para konsumen dan pemilik sabam kecil- kecilan pada perusahaan konglomerat. Dalam istilah bukum pada dekade 199O-an, Ia dapat dikategorikan sebagai welfare lawyer atau public lawyer. 12 Untuk mengenang jasa-jasanya sebagai People's Attorney didirikanlab Brandeis University yang terletak lebih kurang 20 km dari Harvard University, Massacbussetts, Amerika Serikat. Brandeis berjuang gigib . dalam bidang bukum untuk menunjukkan bal-bal yang merugikan rakyat kecil dalam sistem monopoli dan dewan direksi perusabaan-perusahaan yang saling berkaitan (interlocking directorates). Dampak tulisannya nampak pada undang-undang Anti Monopoli Amerika Serikat (The Clayton Anti-Trust Act) 1914. Untuk membalas jasa-jasanya, maka presiden Woodrow Wilson pada tabun 1916 menunjuk Brandeis sebagai Hakim Mahkamab Agung (Supreme Court) Amerika Serikat. l3 Sebagian besar dari nama-nama tersebut tidak banya dikenal di negara masing-masing, tetapi sampai ke selurub dunia, berbagai kebormatan diberikan kepada mereka, seperti untuk nama-nama gedimg/auditorium di fakultas-fakultas bukum. Suatu ucapan panjang Cardozo misalnya,
10) Prof. Satjipta Rabardjo, "Para Hakim", Kompas, 10 Januari 1992, bal.JV. 11) Ibid. 12) Prof. Cb. Himawan. "PeDdekatan Ekonomi Terbadap Hukum Sebagai Saraoa PeogembaJian
Wibawa Huk:um" (pidato Peogukuhan diucapkao pada Upacara Peoerimaan labatan Sebagai Guru Besar Tetap pada Faakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta, 24 ApriL 1991). bal.2S.
13) Ibid
Apri11992
154
Hukum dan Pembangunan
tercantum dengan mencolok pada dinding tinggi di salah satu pintu masuk fakultas hukum Universitas California Barkeley.14 Nama-nama hakim itu menjadi besar dan terkenal mungkin karena pendapat-pendapatnya yang mengena, atau karena mereka aktif menuliskan fikiran-fikirannya. Ucapan Holmes misalnya, mencuatkan suatu konsep secara terang yang menggambarkan watak fikiran hukum Amerika, seperti "the prophecies of what the courts will do in fact and nothing more pretentious, are what I mean by law ... "("hanya apa yang akan diputuskan oleh pengadilan nantinya, itulab yang disebut hukum ... "). Selain itu, para hakim itu juga ban yak meninggalkan pikiran-pikiran yang banyak terbaea di negeri kita, seperti Courts on Trial ~J.Frank), Due Process of Law (Denning), dan The Path of Law (Holmes ).1 Gambaran singkat tentang hakim-hakim besar dalam sub bab ini sebenamya bertujuan untuk menunjukkan betapa belum dihargainya peranan hakim yang merupakan salah satu tiang utama demi tegaknya negara hukum di negara kita. Gambaran yang ditunjukkan oleh negara-negara lain tersebut terlihat sangat ideal, dimana mereka bisa menghargai para hakim besarnya seperti menghargai para pablawan lainnya di bidang politik yang biasanya lebih mendominasi buku-buku pelajaran sejarah anak-anak sekolah dasar dan menengah dari pada sejarah kepahlawanan para hakim. Untuk menegakkan suatu kekuasaan kehakiman yang "bebas" di Indonesia sebagimana diamanatkan UUD 1945, sudah selayaknya diciptakan suatu iklim yang menghargai jasa-jasa para hakim, terutama para hakim yang memiliki kelebihan-kelebihan dalam putusan-putusan atau pemikiran-pemikirannya. PERANAN HAKIM DAN NEGARA HUKUM Dua puluh enam tahun yang silam, di masa-masa awal kehihiran Orde Baru, Fakultas Hukum dan Hmu Pengetahuan Kemasyarakatan- yang disebut terakhir ini sekarang telah berubah menjadi Fakultas Hmu Sosial dan Hmu Politik Universitas Indonesia menyelenggarakan dua simposium
14) Prof. Satjipto Rahardjo, Loc.Cit.
Negara
155
dan seminar yang bersejarah, yakni: (1) Simposium ten tang Negarn Hukum dan (2) Seminar Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua simposium dan seminar tersebut diselenggarakan dalam rangka kebangkitan semangat '66 : "menjelajah tracee baru" .16 Satu seminar dengan semangat yang sarna sebelumnya bahkan telah terselenggarakan di Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia, Pe1tan Ceramah dan Seminar Ekonomi, Keuangan dan Moneter KAMI Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang dihadiri pula oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Mayor lenderal Soeharto, yang kemudian menjAdi Presiden Repuhlik Indonesia. Orang-orang yang berbicara dalam semihar lDlpun, kemudian menduduki berbagai jabata"n penting dallim pemerintahanP Seminar di Fakultas Ekonomi Ini perlu pula disinggdng . karena amat menentukan perjalanan bangsa, khususnya konsep-konsep &n kebijaksanaan ekonomi yang diterapkan, di kelak kemudian hari. Kembali ke seminar dan simposium di Fakultas Hukum dan lImn Kemasyarakatan Universitas Indonesia. Hadir dan berbicara dalam kedua seminar dan simposium tersebut an tara laim Deputy/Menteri PTlP Manshuri,S.H., Prof, Subekti, S.H., Prof. Oemar Seno Adji,"S.H. (Waktu itu sedang menjabat sebagai Dekan " FH-UI), Prof, Soediman Kartobadiprodjo, S.H., Soelaiman Soemardi, S.Hry M.A.; Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., M.C.L. Harun Al Rasjid, S.H., Prof. Soekardono, S.H., Prof. Dr. Deliar Noer, Prof. M.Nasroen, S.H. dan lain-lain. I8 Dalam sidangnya yang ke-2 tanggal 7 Mei 1966, Simposi\lll1 tentang IndOliesia Negara Hukum tersebut antara lain telah meng3Il\bil kesimpulan mengenai ciri-ciri khas suatu negara hUkum, yang meliputi : 1. Pengakuan dan pelindungan bak-hak asasi, yang mengandllng persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, kulturil 4an pendidikan; 2. Peradilan yang behas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleb sU3tu kekuasaanlkekuatan lain apapun;
16) Satya Arinaoto,Loc. Cit.,hal. vii. 17) Untuk mengetahui seleogkapnya mengeoai seminar mi, bacalah The Leader, the Man and the Gull (Jakarta: Usaha Penerbil Nasional PT. Matoa, 1966), yang kemudian diterbitkan kembali deng:m judul lalur Baru Sesudah Runtuhnya Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Sinar Harapan. 1984). 18) Satya Arinanto, Loc. Cit., hal. viii.
April 1992
156
Hukum dan Pembangunan
19 Legalitas, dalam arti hillrum dalam semua bentuknya. Seminar-seminar dan simposium tersebut memang telah menjadi sejarah, namun, gemanya masih terasa hingga kini, khususnya mengenai kesimpulan atas negara hulrum (Indonesia) tersebut. Penegasan mengenai negara bulrum ini kita dapati di dalam Penjelasan UUD 1945, Bab Sistem Pemerintahan Negara, pada angka 1- nya yang menegaskan "Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hulrum (rectstaat)", tidak berdasarkan kelruasaan belaka (Macbtstaat). Penegasan ini jelas berbeda dengan bunyi pasal 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (atau yang lebib sering disebut dengan Konstitusi RIS) 1949 yang menegaskan bahwa :" Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialab suatu negara bulrum yang demokratis yang berbentuk federasi. 20 Sementara itu, Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 dalam pasal I-nya juga menegaskan bahwa "Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara bulrum yang demokratis dan 21 . berbentuk kesatuan. lelaslah bahwa kedua UUD yang penulis sebutkan terakhir tersebut mempergunakan konsep "demokratise rechtstaat", sesuatu yang berbeda dengan yang dianut UUD 1945.22 Tidak adanya penegasan di dalam pasal-pasal UUD 1945 mengenai pengertian negara bulrum itu, mungkin disebabkan karena pembentuk UUD . 1945 beranggapan, bahwa hal itu culrup diatur di dalam Penjelasannya saja, sebab keadaan pada waktu itu ada lab sedang dalam kondisi yang tergesa-gesa, di mana pembentukan UUD 1945 dimaksudkan banya untuk semen tara, dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.23 . 3.
19) Untuk mengetahui deogan seJengkapoya mengenai seminar dan simposium ini ba~aJab basil-hasil yang dikumpulkan oleh Fakullas Hukum dan IImu Pengetabuan kemasyarakatan Universitas Indonesia, SimposiuDl Indonesia Negara Hukum dan Seminar Ketalanegaraan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: PT. Seruling Masa, 1966).
20) Lihat Konstitusi RIS 1949 dalam Ghalia Indonesia, Op.Cit., hal. 31. Hurur miring aleh penulis. 21) Libat UUD Semenlara 1950 dalam Ghalia Indonesia, Op. Cit., bal. 90 Humr miring aleh penulis. 22) Libat uraian dalam 8ab Pendahuluan, hal. 4, alinea pertama, Untuk studi yang lebib ruendalam lillat Prof. Padmo Wabjono. Indonesia Negara Berdasarkan Alas Hukum ( Jakarta: Gbalia Indonesia, 1986), baI.7·32. Buku ini sebenarnya berinlikan Pidalo Pengukuban Prof. Padmo Wahjono (aim.) sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tabun 1979 disamping adanya artikel·artikellainnya. 23) Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. Cit.,hal.226.
Negara
157
Adanya ketentuan bahwa Indonesia adalah suatu negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). menunjukan bahwa setiap tindakan pemerintah dan segenap alat perlengkapan negara terhadap rakyatnya harus berdasarkan hukum yang berlaku, yang ditentukan wakiil-wakil rakyat di Lembaga Perwakilan Rakyat. 24 Jadi bukan berdasarkan kehendak penguasa secara pribadi, atau tindakan sewenang-wenang yang memperkosa hak-hak asasi manusia. Begitu pula di dalam suatu negara hukum, rakyat hendaknya mematuhi hukum-hukum yang telah dibuatnya melalui para wakilnya. Setiap perbuatan yang menyimpang dari hukum-hukum yang berlaku hendaknya dituntut melalui hukum yang berlaku pula.2S Sekarang kita tinjau pengaturan kekuasaan kehakiman di dalam UUD 1945. Ketentuan ini terdapat di dalam Bab IX, pasal 24 dan 25. Pasal 24 tersebut terdiri dari dua ayat, yaitu ; (1) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain barlan-badan kehakimman menurut undang-undang dan (2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Sedangkan pasal 25-nya menegaskan bahwa "Syaratsyarat untuk menjadi dan untk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang" .26 Penjelasan pasal 24 dan 25 UUD 1945 tersebut menegaskan bahwa "kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan (lalam un dang-un dang tentang kedudukan para hakim". Banyak sudah perdebatan teoritis yang mengkaji permasalahan "bebas" atau "tidak bebas"-nya para hakim itu, khususnya kalangankalangan yang hanya melihat segi-segi konstitusionalnya saja. Padahal, ketentuan yang seolah-olah merupakan "harga mati" dalam konstitusi tersebut juga harus ditinjau dari segi lain untuk melengkapi visi kita, khususnya segi sosiologisnya.
24) Satya Arinanto, Loe Cit.. bal. lx. 25) Ibid
26) Libat UUD 1945 daJam Gbalia Indonesia, Op. Cit., ha113.
AprilJ992
Hukum dan Pembangunan
158
Terpesona oleh ueaplln Hakim Agung H. Maarsani Basran yang mengungkapkan bahwa hakim yang baik adalah "seorang yang kesepian", Prof. Satjipto Rahardjo segera tergerak untuk menyatakan bahwa ungkapan itu bagus, euleup indah serta merangsang kita untuk berfikir tentang para hakim tidak hanya semata-mata dari segi yuridis, namun terutama seeara . I
. 27
SOSIO OgIS.
Selanjutnya, Prof. Satjipto menegaskan bahwa melihat hakim secara yuridis menjadikannya sebagai seorang yang steril karena dilepaskan dari sekalian afiliasi atau kaitannya dengan lingleungannya. Ia banya menjadi stereotip undang-undang belaka. Dengan demikian, bakim sudab menjadi tawanan undang-undang dalam sekalian aspeknya. Peninjauan sosiologis akan melepaskan hakim dari tawanan se~erti itu dan melibatnya dalam leualitas kemanuasiaan secara lebib penub. 8 Disadari bahwa hakim. adalah juga manusia biasa, yang pertama tentu saja sebagai mahluk biologis. Sebagai manusia biasa, ia juga memiliki "bak psikologis" untuk taleut, berani, jujur, kbilaf, salab dan lain-lain. Hakim juga mengembangkan afiliasi dengan banyak faktor seperti asal-usul sosialnya, pendidikannya, kepereayaannya, dan yang tidak kalah rnting adalah afiliasi dengan orang-orang terdekatnya, yaitu keluarganya? . Dengan demikian, seeara sosiologis tidak ada hakim yang sarna. Kalau seeara yuridis kita mengatakan bahwa di seluruh Indonesia hanya ada satu model hakim saja, seperti yang dikatakan dan tertera dalam peraturan huleum, maka seeara sosiologis kita akan mengatakan bahwa "ada dua hakim, ada dua maeam hakim"?O Uraian yang cukup bagus ini tidak diakbiri dengan suatu kesimpulan yang memadai oleh Prof. Satjipto Rahardjo, melainkan ia hanya mengusulkan adanya suatu pusat studi tentang hakim dan peradilan, dengan harapan bisa turut memajukan peradilan di negeri kita. Ditinjau dari segi lain, ada kemungkinan I)ahwa tempat pengadilan dalam sistem buleum kit.1 yang cenderung ke model kontinental tidak memberikan · kesempatan pada pengadilan kita untuk menjadi suatu
27) Pror. Satjipto Rahardjo, Loc. Cit. 28) Ibid. 29) Ibid. 30) Ibid.
159
Negara
institusi yang dapat menuntun perkembangan masyarakat. Fungsi dan pekerjaan tersebut lebih dilakukan oleb badan perundang-undangan. Sesudab bampir lima pulub tabun kita merdeka, kita belum bisa mengatakan, babwa Mabkamab Agung telab membentuk masyarakat Indonesia baru, sebagaimana ban yak dielu-elukan terbadap Mabkamab Agung Amerika Serikat. Faktor kondisi sebagai negara berkembang mungkin turut berbicara dalam hal ini, karena secara tipologis dalam negara yang demikian, eksekutif lebih dominan (executive beavy). Selain itu, pengarub dari lingkungan budaya juga turut menentukan besar-kecilnya peranan hakim tersebut. Berdasarkan pengalaman di Korea, kebadiran pengadilan modern di tengab-tengab masyarakatnya merupakan suatu ganjalan, karena kdnsep yang dipakai oleb pengadilan modern itu tidak sesuai dengan kultur Korea. Oleb karen a itu tidak akan muncul bakim-bakim besar di negara tersebut, karena filsafa!, konsep dan ukuran tentang bakim dan pengadilan yang ' dianut bangsa Korea ada lab berbeda dengan yang dikenal dalam sistem modern. Pembahasan
mengenai
"kebebasan
kekuasaan
kehakiman
"di
Indonesia biasanya dikaitkan dengan ada tidakoya "bak uji materiil" yang . dimiliki oleb Mabkamab Agung: Sebagaimana yang ditegaskan oleh pasal 26 Undang-Undang No. 14 tabun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kelruasaan Kebakiman, Mabkamab Agung berwenang untuk menyatakan tidak syab semua peraturan perundangan dad tingkat yang lebih rendab dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan yang lebib tinggi (ayat 1). Putusan tentang pernyataan tidak sabnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil . berbubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang bersangkutan (ayat 2). Kesimpulan dari pasal ini ialab babwa Mahkamab Agung mempunyai wewenang untuk menguji, tetapi wewenang itu terbatas pada peraturan perundang-undangan yang letakoya di bawab undang-undang. Sedangkan terhadap undang-undang Mabkamah Agung tidak mempunyai hak menguji, baik formil maupun materiil.31
31) Moh. Kusnardi dan Hannaily Ibrahim. Op. Cil., hal. 230-231.
April 1992
160
Hukum dan Pembangunan
Untuk jelasnya, penulis kutipkan di sini penjelasan resmi dari pasal 26 Undang-undang No.14 tahun 1970 tersebut: 32 " Dalam Negara Kesatuan Republik lndonesia, hak menguji undang-undang dan peraturan pelaksanaan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagai fungsi pokcik tidak terdapat pada Mahkamah Agung." Oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak menga- turnya, maka tidak dengan sendirinya hak menguji terhadap Undang-undang Dasar 1945 . oleh Mahkamah Agung dapat dile- takkan dalam un dang-un dang ini. Hak menguji tersebut apabila hendak diberikan kepada Mahkamah Agung seharusnya merupakan ketentuan Konstitusional. Demikian pula MPR(S) hingga sekarang tidak menetapkan hak menguji oleh Mahkamah Agung. Tidak disebutkannya hak menguji ini di dalam Undang-undang Dasar 1945 dan dalam Ketetapan MPR(S) yang dapat mengatumya sebagai suatu perwujudan dari hubungan hukum antara alat perlengkapan negara yang ada dalam negara, berarti bahwa undang-undang ini tidak dapat memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan hak menguji, apalagi secara materiil Undang-undang Dasar. 33 Namun, pembahasan mengenai kaitan antara "hak menguji materiil"· dan "kekuasaan kehakiman yang bebas" ini tidak penulis uraikan secara mendalam dalam makalah ini, karena penulis akan memfokuskan mengenai peranan hakim dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang dimintakan sebagai persyaratan oleh penyelenggara Pendidikan Lanjutan Bidang Peradilan Tata Usaha Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
SECI-SECI TEORITIS Dalam pasal 10 Undang-undang No,14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ditentukan adanya empat lingkungan peradilan, yaitu : 34
32) Ibid. 33) Huruf miring oleh penulis.
34-) Satya Arinanto,Hukum dan Demokrasi (Jakarta: Ind-HilIC.o, 1991). bal.44.
Negara
161
Peradilan Umum; Peradilan Agama; Peradilam Militer; Peradilan Tata Usaha Negara. Di dalam penjelasan resmi dari pasal tersebut ditegaskan bahwa ?5 "Undang-undang ini membedakan antara empat pasallingkungan yang masing-masing mempunyai Iingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi badan peradilan tingkat pertarna dan tingkat banding. Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan Peradilan kbusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengadili golongan rakyat tertentu. Sedangkan Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata maupun perkara pidana. Perbedaan dalam empat Iingkungan peradilan tidak menutup kemungkinan adanya pengkbususan (Differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing Iingkungan, misalnya peradilan lalu-lintas. Pengadilan anak-anak, pengadilan ekonomi dan sebagainya diatur dengan undang-undang". Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut telah disahkan pada tanggal 29 Desember 1986, dengan Undang-Undang No.5 tahun 1986. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1986 No. 77 36. Sebagaimana ketiga lingkungan peradilan yang lain. Peradilan Tata Usaha Negara juga merupakan bahagian dari kekuasaan kehakimman yang berpuncak pada pengadilan Negara Tertinggi, y~itu Mahkamah Agung. 37 Dengan tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai Peradilan Tata Usaha Negara ini di dalam UUD 1945, maka menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., pembentuk undang-undang mempunyai keleluasaan dalam hal mengadakan peraturan-peraturan tentang hal ini, yang · .38 me IJpuh:
1. 2. 3. 4.
35) Mob. Kusoardi dan Harmaily Ibrahim, Op. Cit., hal.23S. 36) VOluk memahami sepcouhnya uodang-uodang in~ . 1ibat Indroharto. Usaha Memabami Undang-Undang Tentaoe Peradilan Tata Usaba Negara (Jakarta: Sioar Harapan,l 991). 37) Uoluk memahami perbandingannya dengao sistem yang berlaku di Peraneis, Inggris, Nederland, Jerman Barat, Amerika Serikat, Uoi Soviet, Swedia dan Indonesia sendiri libat Paulus Effendie Lotulung, Beberapa SiSiem tentaog Konlrol Segi Hukum Terbadap Pemerinlab (Jakarta: PT.Bbuana Ilmu Popouler. 1986). Sedangkan kutipao dari pemyalaan ini terdapal padda hal. 82. 38) Wirjono Prodjodikoro, Asas·asas Hukum Tala Negara di Indonesia (Jakarta: Penerbit Dian . Rakya~ 1980), bal. 102.
April 1992
162
Hukum dan Pembangunan
Menentukan bahwa segala perkara tata usaba pemerintahan secara umum diserahkan kepada pengadilan. 2. Menentukan bagi suatu rna cam soal sengketa tertentu, babwa pemutusannya diserahkan kepada pengadilan perdata; 3. Menentukan, bahwa segala perkara tata usaha pemerintahan seeara umum diserahkan kepada suatu badan tersendiri, bukan pengadilan perdata, yang dibentuk seeara istimewa. 4. Menenlukan bagi suatu macam soal sengketa tertentu, bahwa pemulusannya diserahkan kepada badan tersendiri itu. Sebelum disahlmnnya Undang-undang No,S tabun 1986, berbagai tinjauan teoritis pun muneul mengenai bagaimana segi-segi ideal dari kedudukan pengadilan terscbul dan sebagainya. Antara lain dikemukakan pada saat itu bahwa ".... kedudukan daripada pengadilan Tata Usaba Negara itu masib merupakan suatu masalah. Apakah harus merupakan bagian lersendiri ... Untuk itu menurut pandangan kami babwa Pengadilan Tata Usaha Negara adalab peradilan khusus seperti Pengadilan Agama, Militer .... ". Hal ini dilanjutkan dengan pendapat babwa : "Oi sam ping itu pula tidak ada wewenang daripada pengadilan itu untuk mengadakan bak menguji undang-undang" .39 Selain pendapat di atas, ada lagi gamba,ran mengenai pola yang berlaku di Indonesia di dalam hal penyelesaian dan pemutusan sengketa antara rakyat dengan pemerintah dalam menjalankan tugasnya di bidang hukum publik sebelum berlakunya UU No.5 tahun 1986, yaitu : 1. Penyelesaian sengketa melalui jalur intern administratif, yaitu atasan hirarkhi dari pejabal yang bersangkutan. Jalur ini lazim dikenal dengan sebutan "administratief beroep", atau prosedur pengajuan keberatan; 2. Penyelesaian sengkela yang dilakukan oleh badan-badan peradilan semu, yang sebelulnya seeara struktur-organisatoris merupakan bagian dari pemerinlahan/administratif; 3. 'Penyelesaian oleh suatu badan peradilan, yang bisa berupa: a. Peradilan administrasi khusus, yaitu masalah pajak; b. Peradilan umum. 1.
39) Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. Cil" ha1.237.
Negara
163
Oemikian beberapa pendapat yang muncul sebelum disahkannya Undang-undang No, 5 tahun 1986 tersebut. Tentang permasalahan 'kedudukan' dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tala Usaha Negara" .41 Oalam penjelasan resminya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "rakyat pencari keadilan" adalah "Setiap orang warga negara Indonesia atau bukan, dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Peradilan Tala Usaha Negara".
"HAKIM" DAlAM UNDANG·UNDANG NO.5 TAHUN 1986 Oi dalam UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ada beberapa pasal yang mengatur mengenai pengertian, kedudukan (status) dan peranan (role) dari para hakim. Hal ini akan kami uraikan berikut ini. Pengertian mengenai siapa yang merupakan "bakim" ditetapkan secara tegas di dalam pasa112, di mana ditegaskan bahwa "Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman" (ayat 1) dan "syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentiaan sebagai hakim ditetapkan dalam undang-undang ini" (ayat2). Penjelasan dari pasal yang penting ini hanya mengatakan: "cukup jelas". Mengenai status para hakim ditegaskan dalam pasal berikutnya, yakni pasal 14 untuk Pengadilan Tata Usaha Negara dan pasal 15 untuk Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, seoraang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Warga negara Indonesia. b. Bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa. c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Oasar 1945. d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya;
40) Paulus Effcndie lotulung, Op. Cit., hal. 83. 41) Lihallndroharto, Op. Cit., hal. 385.
April 1992
164
Hukum dan Pembangunan
e. f.
Pegawai negeri; Sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian di bidang Tala Usaha Negara; g. Berumur serendah-rendahnya dua puluh lima tabun; h. Berwibawa, jujur, adil daan berkelakuan tidak tercela. Dalam penjelasan terhadap pasal 13 tersebut hanyalah kriteria huruf e dan f yang diberi penjelasan, sedangkan huruf-huruf yang lainnya dianggap "cukup jelas" oleh pembuat undang-undang. Huruf e tersebut dijelaskan bahwa "sebelum seseorang bukan pegawai negeri diangkat oleh presiden sebagai hakim, menurut prosedur yang berlaku ia harus diangkat menjadi calon pegawai dahulu, kemudian setelah ia diangkat menjadi pegawai negeri dan melewati pendidikan, ia diusulkan kepada presiden agar diangkat sebagai hakim". Sedangkan mengenai huruf f-nya ditegaskan bahwa "Sarjana lain tersebut tidak harus memiliki keahlian di suatu bidang administrasi negara, umpamanya bidang kepamongprajaan, bidang sosial, bidang agraria, bidang perpajakan" . Sedangkan syarat-syarat untuk menjadi hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana ditet.1pkan di dalam pasal IS-nya juga meencakup syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam pasal 14 tersebut, dengan tambahan unsur usia (serendah-rendahnya 40 tabun) dan berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai ketua atau wakil ketua hakim pengadilan Tata Usaha Negara, atau sekurang- kurangnya lima belas tahun sebagai hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Mengenai istilah "pengalaman" ini pasal 15 menjelaskan bahwa ia meliputi dua hal: pertama, "pengalaman kerja memutus sejumlah perkara yang masalah hukumnya bervariasi" dan kedua, "kepemimpinan yang diharapkan selalu mencerminkan sikap dan tingkah laku yang arif dan bijaksana karen a sikap setiap hari ia memeriksa perkara yang rawan dan peka".
Sebagaimana "dualisme" yang telah terjadi selama ini, mengenai "pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim sebagai pegawai t1egeri dilakukan oleh Menteri Kehakiman" (ayat 1) dan "pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud ayat (1), tidak boleh 42 mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa
42) Huruf miring o leh pen ulis.
Negara
165
Tata Usaha Negara" (ayat 2). Penjelasan resmi dari pasal ini hanya menjelaskan bahwa "Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku lIndang-undang No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian" . Mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim, pasal 16 menegaskan bahwa "Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung" (ayat 1). Penjelasan dari pasal ini hanya mengatakan "cukup jelas":.
PERANAN AKTIF HAKIM: BEBERAPA KENDALA Dalam menguraikan bagian akhir dari makalah ini, penulis ingin menunjukkan beberapa permasalahan mendasar yang mungkin timbul dengan berlakunya Undang-undang No.5 tahun 1986, khususnya yang berkaitan dengan "aktir' atau "tidak aktifnya" peranan hakim. Dalam pandangan penulis setidak-tidakrnnya ada dua permasalahan yang dapat menjadi hambatan, yakni : 1. Adaoya masalah klasik, yakni mengenai "dualisme" kedudukan hakim di negara kita, yang temyata juga kita dapati ketentuan semacam itu dalam Undang-undang No.5 tabun 1986; 2. Belum jelasnya batasan antara "kepentingan pribadi" (individual interest) dan "kepentingan umum" (public interest). Mengenai masalah pertama, telah ada semenjak negara kita merdeka pada tahun 1945. Walaupun ditegaskan di dalam UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan negara Yl\IIg merdeka, artinya terlepas dari kekuasaan pemerintab" 4]' " namun temyata ketentuan itu hanya terdapat dalam konstitusi. Apabila hal itu dikaitkan dengan teori Prof. Karl Loewenstein tentang Nilai Konstitusi, maka dapat dikatakan bahwa ketentuan pasal-pasal tersebut kemungkinan terletak di antara nilai konstitusi yang nominal dan semantik. 44 "Dualisme" sebagai suatu masalah k1asik yang penulis maksudkan disini adalah ketergantungan hakim kepada dua lembaga di Indonesia,
43) Libat Penjelasan pasal24 dan UUD 1945.
44) Prof. Karl Loewenstein:ReOection on the value of Constructions in Our Revolutionary Age"
. sebagaimana dikutip oleh Mob. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op . cit.,baI74.
April 1992
166
Hukum dan Pembangunan
yakni kepada Departemen Kehakiman untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan administrasi seperti kepangkatan dan sebagainya dan kepada Mahkamah Agung untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan putusan yang telah ditetapkan. Sebagai buleti ialah sebagaimana yang tereantum dalam pasal 13 ayat (1) dan pasal 16 ayat (1) Undang-undang No.5 tahun 1986. Untuk Urusan "pembinaan dan pengawasan umum" dilakukan oleh Menteri Kehakiman, walaupun dalam ayat (2)-nya ada "basa-basi" bahwa pembnaan dan pengawasan tersebut "tidak boleh mengurangi kebebsan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara". Sedangkan dalam pasal 16 ayat (1)-nya ditegaskan bahwa "hakim diangkat oleh Presiden dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung" .45 Sedangkan mengenai masalah tidak tegasnya batas antara "kepentingan pribadi" dan "kepentingan umum" ternyata masih juga ada hingga kini. Pada kesempatan ceramah Prof. Scheltema dari Groningen University, Negeri Belanda beberapa waletu yang lalu, hal ini juga penulis pertanyakan. Namun penulis tidak mendapatkan jawaban yang memadai, . karena permasalahannya terlalu filosofis . Negara hukum yang berdasarkan Pancasi.Ja bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang tenteram, aman, sejahtera dan tertib, dimana kedudukan hukum warga negara dalam masyarakat dijamin, sehingga tereapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat. 46 Perlu diperhatikan, bahwa dalam masyarakat kepentingan individu dan kepentingan masyarakat saling berhadapan dan berdampingan. Kepentingan masyarakat adalah kepentingan bersama mengenai rakyat banyak. Selain itu juga tidak boleh dilupakan bahwa dalam kepentingan masyarakatjuga tereakup kepentingan individu. 47 Sengketa antara individu dan masyarakat menyebabkan keseimbangan dan ketenteraman masyarakat terganggu, karena itu perlu segera diselesaikan 48 Untuk mendukung data mengenai sering timbulnya 45) Lihat pasal13 ayat (I) dan 16 ayat (1) Undang-undang No.5 tahun 1986 temang Peradilan Tala Usaha Negara. 46) Satya Arinanlo. Op. Cit.,hal. 44-45.
47) Ibid. 48) Ibid.
167
Negara
konflik atau pertentangan an tara "kepentingan individu" dan "kepentingan masyarakat", dalam makalah ini penu lis lampirkan contoh kasus nmengenai "guhuk satu milyar" atau "gubuk derita" milik Henri M. Ali yang terkena penggusuran akibat pembangunan jalan akses di Bundaran UI, Kampus Baru, Depok. 49
KESIMPULAN Dari berbagai uraian di muka dapat disimpulkaan bahwa walauppun di dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa "Indonesia ialah negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat)" dan dalam penjelasan pasal 24 dan 25 diinginkan bahwa kekuasaan kehakiman menjadi "kekuasaan negara yang merdeka, dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah", namun dalam prakteknya kita bisa melihat bahwa kekuasaan , hakim kita sebenarnya belum sesuai dengan kehendak UUD 1945 itu. Hal itu antara lain tercermin dalam permasalahan "dualisme" pertanggung jawaban hakim. Dalam kaitannya dengan "peranan alair parll hakim dalam proses perkara di Peradilan Tata Usaha Negara" sebagaimanan yang diminta penyelenggara pendidikan, maka permasalahan yang mengganjal ialah mengenai belum jelasnya batasan an tara "kepentingan individu" dan "kepentingan umum." Untuk meningkatkan peranan alair para hakim, maka perlu adanya "political will" yang jelas dari pemerintah· untuk benar-benar tidak mencampuri kekuasaan kehakiman, dan menjadikannya sebagai "kekuasan negara yang merdeka" sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945. Idealnya, UUD 1945 kita bisa berlaku secara "normatif" berdasarkan nilai konstitusi yang dikemukakan oleh Prof. Karl Loewenstein, dan bukannya justru bernilai "nominal" atau "semantik", dalam arti ada kesenjangan antara hal-hal yang tertulis dalam konstitusi dengan realita atau penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Dr. Moh. Hatta pada upacara penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1975), bahwa "negara hukum masih menjadi
49) Lihat bagian
~Lampiran~
dari Ill'aka lah ini.
Apri/1992
168
Hukum dan Pembangunan
uan". Sekarang leita baru" berada dalam "kekuasaan mil iter yang ingin menegakkan UUD 1945". Maka kita semua harus berusaha segiat-giatnya agar cita-cita adanya negara hukum yang sempuma dapat tercapai.50
••• 50) Satya Arinanto, Op. Cit., bal. 25.
BUIUI PIIBANDUIAN Un
Salah satu bacaan utama "slJjana dan mahasiswa hukum Indonesia.
Karallgan-karangan Hu1cum Yurisprudensi dan Komentar Timbangan Buku Berita Kepustakaan Fait. Hukum Dalam bedta
Wawancara Parlementaria Kronik Peraturan per·undang2-an Komentar & " pendapat.
Judga oughl 10 .."",mbe, Ihot their o/flce Is }ua dicere, and nol Jua dole; ,.;
In"'rprellow, and nollo "make low, or give low. Para hakim haruo Ingat bahwa IUgat menoka adalah }ua dicere, dan bukan }ua dare, yallu : "",,,o/llrkari -hukum, bukan "",mbuat hukum atau "",mberI hukum. {FroncIsBaCDn}