NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PERSELINGKUHAN
Oleh: ERIKA KANYA MIRANTI RA. RETNO KUMOLOHADI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006
NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PERSELINGKUHAN
Telah Disetujui pada Tanggal
...............................................
Dosen Pembimbing
RA. Retno Kumolohadi,S.Psi, M.Si
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PERSELINGKUHAN
Erika Kanya Miranti RA. Retno Kumolohadi
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada atau tidaknya hubungan negatif antara religiusitas dengan perselingkuhan. Hipotesis awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara religiusitas dengan perselingkuhan. Semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perselingkuhan. Sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi perselingkuhan. Subyek dalam penelitian ini adalah pria dan wanita Muslim yang sudah menikah dan masih terikat dalam hubungan pernikahan dimana baik suami atau istri sering ditugaskan ke luar kota dalam jangka waktu dua sampai tiga bulan di kota Balikpapan Kalimantan Timur. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 87 orang. Alat ukur yang digunakan adalah skala religiusitas yang mengacu pada konsep Glock dan Stark (1966) untuk mengukur sikap dan perilaku religiusitas, dan skala perselingkuhan berdasarkan aspek-aspek perselingkuhan yang diajukan oleh Jackson (2000) untuk mengukur perilaku perselingkuhan. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 12,0 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara religiusitas dengan perselingkuhan. Hipotesis pertama menunjukkan korelasi dari Pearson’s rho sebesar r = ? 0,740; p = 0,000 (p < 0,01) yang artinya ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan perselingkuhan dalam rumah tangga. Semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perselingkuhan. Sebaliknya,semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi perselingkuhan. Jadi hipotesis penelitian ini terbukti.
Kata kunci : Religiusitas, Perselingkuhan.
Pengantar Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu ikatan sakral yang menyatukan dua individu dengan pribadi yang berbeda. Hal ini menyebabkan suami dan istri memiliki tujuan yang berbeda dalam kehidupan pernikahannya. Namun ada hal-hal yang merupakan tujuan umum dari sebuah pernikahan yang meliputi tujuan fisik, psikologis, spiritual, serta tujuan untuk bersosialisasi baik itu dengan pasangan, keluarga maupun lingkungannya. Sebuah pernikahan dikatakan memuaskan jika tujuan-tujuan dari pernikahan tersebut sudah tercapai (Santrock, 2002). Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya (Basyir, 1977). Sedangkan tujuan fisik dari sebuah pernikahan adalah pemuasan kebutuhan biologis (seksual) dan fungsi reproduksi (Shihab, 2004). Dengan menikah, pemuasan kebutuhan seksual yang semula dilarang akan menjadi legal (secara agama dan sosial), begitu pula akan dihasilkan keturunan yang sah (Hizbut-Tahrir Indonesia.or.id). Pernikahan yang baik juga merupakan suatu hal yang dapat mempengaruhi kesehatan fisik seseorang. Pernikahan yang tidak bahagia dapat meningkatkan resiko seseorang untuk menderita sakit bahkan menurunkan usianya hingga empat tahun. Sebaliknya, pernikahan yang bahagia dapat meningkatkan kualitas kesehatan seseorang (Santrock, 2002). Di dalam kehidupan pernikahan, suami istri melakukan perbandingan untung rugi yang ditambah oleh adanya relasi pernikahan mereka. Apabila dari hasil perbandingan itu, baik suami maupun istri menemukan bahwa pernikahan
mereka membawa dampak yang menguntungkan atau bahkan lebih baik dari yang diharapkan, maka relasi pernikahan tersebut dapat dipertahankan. Namun apabila dalam interaksinya dengan lingkungan, baik suami maupun istri menemukan relasi yang lebih menarik dari relasi sebelumnya maka akan muncul suatu usaha untuk mempertahankan relasi yang baru sehingga terjadilah suatu bentuk penyelewengan atas ikatan pernikahan mereka yang lebih akrab dikenal sebagai perselingkuhan. Sejumlah orang mengatakan tidak pernah menduga sama sekali bahwa pasangannya melakukan perselingkuhan (Satiadarma, 2001). Namun pada kenyataannya sejumlah orang merasa kecewa karena mereka baru mengetahui bahwa pasangannya telah berulang kali melakukan perselingkuhan tanpa sepengetahuannya. Seorang istri, misalnya, tadinya menganggap suaminya demikian lugu dan setia namun harus menghadapi kenyataan bahwa sang suami telah berselingkuh. Seorang suami menganggap bahwa istrinya adalah wanita baik-baik, taat pada nilai budaya, tetapi ternyata ia telah berselingkuh dengan orang lain. Sebuah survey yang dilakukan oleh majalah pria FHM pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 50,7% pria Indonesia pernah selingkuh, dan 50,8% perempuan Indonesia pernah selingkuh. Nugraha (2004) menyatakan bahwa beberapa tahun yang lalu, dua dari tiga pria di Jakarta melakukan perselingkuhan. Lebih lanjut, Nugraha (2004) menyatakan bahwa empat dari lima pria di Jakarta melakukan selingkuh. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Klinik Pasutri, ditemukan bahwa 42% suami melakukan selingkuh ketika istri mereka berusia di
atas 40 tahun. Lebih lanjut, ditemukan pula bahwa dua di antara lima wanita pekerja di Bandung melakukan selingkuh (Kompas.co.id, 2004). Berdasarkan data tersebut, terungkap bahwa dari waktu ke waktu, jumlah individu yang melakukan perselingkuhan di Jakarta
senantiasa mengalami peningkatan.
Meskipun sampel dari data tersebut hanya terbatas di Jakarta saja, bukan tidak mungkin kecenderungan tersebut juga terjadi di berbagai kota di Indonesia. Hawari (1991) menyebutkan perselingkuhan sebagai penyebab terbesar konflik suami istri saat ini. Pada era globalisasi sekarang ini, kesempatan untuk berinteraksi dengan pihak manapun yang disukai menjadi bertambah besar. Bagi hubungan suami istri, keadaan ini dapat menjadi saingan bagi kelangsungan pernikahan mereka. Dalam sebuah pernikahan, pasangan suami istri memerlukan hubungan interpersonal yang harmonis. Hubungan interpersonal adalah hubungan yang mendatangkan kehangatan, keterbukaan, dan dukungan. Hubungan ini dilakukan karena pada dasarnya tiap individu berbeda dan memiliki kekurangan. Selain itu, menurut Halloran (Liliweri, 1991), manusia membutuhkan pengakuan akan dirinya oleh orang lain. Dan sejalan dengan hal tersebut, Bringham (1991) menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia seperti bercinta, berteman, mendapatkan penghargaan dan lainnya hanya dapat terpenuhi melalui hubungan interpersonal. Tanpa adanya hubungan interpersonal tersebut, mustahil kebutuhankebutuhan di atas akan terpenuhi. Kebutuhan dasar tersebut agak terhambat pemenuhannya manakala suami atau istri jauh dari rumah atau tinggal menetap di daerah atau di kota lain.
Menurut Wills (Cohen, 1985), dalam teori pertukaran sosial (social exchange theory) menekankan pada hubungan timbal balik perilaku sosial yang menjelaskan bahwa hubungan interpersonal merupakan sistem pertukaran reward antara individu. Keseimbangan dalam pertukaran sosial akan menghasilkan hubungan interpersonal yang memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara timbal balik ini membuat individu percaya bahwa orang lain akan memberikan dukungan, baik dukungan fisik maupun dukungan emosional. Di dalam hubungan interpersonal juga diperlukan adanya dukungan dimana individu melibatkan penilaian kognitif untuk memperoleh suatu pengalaman. Penilaian kognitif adalah suatu penilaian yang muncul saat seseorang membutuhkan dukungan, informasi, dan umpan balik dari lingkungannya. Misalnya, apabila individu mengalami suatu masalah yang sulit dipecahkan, ia akan mencari orang lain yang dapat membantunya memecahkan masalah tersebut dan tentu saja orang tersebut adalah orang yang dipercaya dapat memberikan bantuan dan dukungan secara langsung. Begitu halnya dengan kehidupan pernikahan. Orang yang paling dekat dalam suatu rumah tangga adalah suami atau istri. Jadi jika suami atau istri menghadapi suatu masalah, maka orang pertama yang dimintai bantuannya adalah pasangannya karena mereka adalah orang yang paling dipercaya untuk dapat memahami, menghargai, dan memberikan dukungan baik dukungan moral maupun spiritual, serta jalan keluar untuk masalah yang dihadapinya (Lawson, 1998). Namun, ketika suami atau istri menghadapi suatu situasi yang tidak mampu diatasinya sendiri dan pasangannya tidak memberikan dukungan seperti
yang diharapkannya, muncullah perasaan tidak diperdulikan dan tidak diperhatikan (Masika, 2002). Ketika individu tidak mendapat apa yang diinginkan dari pasangannya, maka individu tersebut akan mencarinya pada orang lain. Jika kondisi ini terus berlangsung dan relasi tersebut dianggap lebih menguntungkan, lebih menarik, memberikan rasa nyaman, dan mampu memberikan apa yang tidak dapat diberikan oleh pasangannya, maka kecenderungan untuk mempertahankan relasi baru ini akan lebih besar (Satiadarma, 2001). Sesuatu yang bermula dari rasa aman, nyaman, dan percaya bahwa ada seseorang yang bersedia memberikan dukungan akan berkembang menjadi perasaan yang lebih mendalam dari sekedar teman berbagi yang menyebabkan munculnya ketertarikan baik fisik maupun psikologis. Perselingkuhan kemudian dijadikan sebagai alternatif untuk tetap mempertahankan kondisi ini, karena ada alasan-alasan tertentu yang membuat pernikahan mereka harus tetap dipertahankan (Satiadarma, 2001). Di dalam kasus perselingkuhan, komunikasi acap kali menjadi salah satu sentral permasalahan (Satiadarma, 2001). Jika seseorang membutuhkan sahabat untuk berkomunikasi, demikian pula dengan pasangan suami istri. Karena itu, komunikasi antara pasangan suami istri sangatlah penting. Komunikasi antar individu yang berlangsung (bertatap muka) adalah yang paling lengkap mengandung berbagai faktor psikologis dan karena itu patut mendapat perhatian yang pertama. Zajonc (1968) mengatakan bahwa faktor yang memudahkan komunikasi dan hubungan adalah pertemuan yang berulang-ulang. Ia mengatakan bahwa dengan pertemuan yang berulang-ulang itu terjadi reaksi psikologis
sehingga dapat saling berhubungan dengan lebih baik. Oleh karena itu faktor kedekatan fisik (sehingga lebih sering bertemu) antara individu merupakan salah satu faktor yang penting untuk peningkatan hubungan. Ketika suami atau istri jauh dari rumah atau tinggal menetap di kota lain karena pekerjaan, maka tidak menutup kemungkinan pasangan suami atau istri tersebut melakukan perselingkuhan. Pada kasus perselingkuhan, ada berbagai kondisi yang menggambarkan bahwa kebutuhan biologis atau kebutuhan seksual pasangan suami istri pada suatu saat tertentu mengalami hambatan. Salah satunya karena salah satu pasangan tinggal menetap di kota lain untuk waktu yang lama karena pekerjaannya. Akibat dari hal tersebut, maka salah satu pasangan berusaha untuk memenuhi dorongan tersebut dengan menjalin hubungan di luar hubungan suami istri (Satiadarma, 2001). Sisi lain dari hubungan antar pribadi adalah kesepian. Kesepian adalah perasaan yang timbul jika harapan untuk terlibat dalam hubungan yang akrab dengan seseorang atau orang terdekatnya tidak tercapai (Peplau dan Perlman, 1981). Perasaan ini biasa timbul pada orang yang harus pergi untuk sementara waktu karena pendidikan atau pekerjaan ke kota lain dan meninggalkan keluarga, pasangannya, atau sahabat-sahabatnya di kota tempat keluarganya berdomisili. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri dalam waktu sekian lama. Untuk mengusir rasa sepi yang mengganggu, orang berusaha mencari teman yang terkadang tanpa disadari justru menggiringnya kepada perselingkuhan (Daniel, 2003).
Memang tidak semua orang yang tinggal berjauhan kemudian terjadi perselingkuhan. Daniel (2003) menyatakan bahwa penyebab berikutnya terjadinya perselingkuhan adalah lemahnya penghayatan agama seseorang. Orang-orang semacam ini lebih banyak melihat hal-hal yang bersifat keduniawian daripada akhirat. Nugraha (2004) menguatkan bahwa salah satu penyebab terjadinya perselingkuhan adalah rendahnya keimanan pada diri individu. Penjelasanpenjelasan di atas menunjukan bahwa religiusitas seseorang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan perselingkuhan. Manusia merupakan makhluk homo religiosus, yaitu makhluk yang kesadarannya terfokus pada kehadiran Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat sentral (Faruqi, 1988). Ungkapan diatas menegaskan bahwa bagi manusia posisi Tuhan adalah pusat dalam kehidupannya. Tentang posisi Tuhan sebagai pusat ini, Tuhan menegaskan bahwa Dia adalah tempat bergantung segala sesuatu (QS. Al Ikhlas, 112:2), termasuk manusia. Bahkan manusia (dan jin) sesungguhnya diciptakan semata-mata untuk menyembah Tuhan (QS. Al Dzariyat, 51:56). Menurut Daradjat (1978), keyakinan beragama menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang. Keyakinan itu akan mengawasi segala tindakan, perkataan, bahkan perasaannya. Pada saat seseorang tertarik pada sesuatu hal yang tampaknya menyenangkan, maka keimanannya akan cepat bertindak menimbang dan meneliti apakah hal tersebut boleh atau tidak oleh agamanya. Agama mempunyai peranan penting dalam pembinaan moral karena nilainilai moral yang datang dari agama tetap dan bersifat universal. Apabila dihadapkan pada suatu dilema, seseorang akan menggunakan pertimbangan-
pertimbangan berdasarkan nilai-nilai moral yang berasal dari agama. Dimana pun orang itu berada dan pada posisi apapun, dia akan tetap memegang prinsip moral yang telah tertanam dalam hati nuraninya (Daradjat, 1991). Oleh karena itu nilainilai agama yang telah diinternalisasi oleh seseorang, diharapkan mampu menuntun semua perilakunya. Berdasarkan uraian di atas, jelas terlihat bahwa dalam sebuah pernikahan yang sangat dibutuhkan antara lain keimanan yang kuat atau religiusitas yang tinggi dari pasangan suami istri dan kesetiaan akan sumpah pernikahan yang telah diikrarkan serta pengertian dan dukungan dari pasangan suami atau istri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila tidak ada dukungan dari pasangan akan membuat suami atau istri merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut dan mencari rasa nyaman di luar pernikahan, maka kemungkinan mempertahankan relasi baru akan terus berlanjut. Penelitian ini mengangkat judul “Hubungan Antara Religiusitas dengan Perselingkuhan”.
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empirik ada tidaknya hubungan antara religiusitas dengan perselingkuhan pada subyek yang suami atau istrinya sering ke luar kota untuk bekerja.
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Secara teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah psikologi khususnya psikologi sosial, psikologi islami, dan psikologi keluarga. 2. Secara praktis. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi suami dan istri dalam membina kehidupan pernikahan, khususnya yang berkaitan dengan religiusitas pasangan yang dapat membantu mempertahankan keutuhan dan kebahagiaan kehidupan pernikahan. Bagi psikolog, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pertimbangan dalam proses konseling keluarga dan pernikahan.
D. Keaslian Penelitian Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan penelitian bertema perselingkuhan sebagai topik utamanya. Berkaitan dengan variabel perselingkuhan, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan variabel-variabel tersebut. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2000) tentang “Perselingkuhan: Dapatkah Ditiadakan?”, Zakiah (1999) tentang “Hubungan Antara Religiusitas dengan Intensi Perselingkuhan”, dan Nusya tentang “Hubungan Antara Kepuasan Perkawinan dengan Intensi Melakukan Selingkuh pada Suami”. Penelitian Zakiah bertujuan untuk menguji hubungan negatif antara religiusitas dengan intensi perselingkuhan dengan subyek penelitian suami istri yang beragama Islam. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu angket yang mengukur skala religiusitas yang mengacu pada teori Glock dan Stark, dan
angket yang mengukur skala intensi perselingkuhan yang menggunakan teori perselingkuhan dari Jackson. Penelitian Nusya bertujuan untuk menguji hubungan negatif antara kepuasan perkawinan dengan intensi melakukan selingkuh pada suami dengan subyek penelitian pada laki-laki yang sudah menikah dengan usia pernikahan diatas lima tahun, bekerja dengan gaji diatas upah minimum masyarakat dan memiliki anak. Alat ukur yang digunakan yaitu angket yang mengukur skala intensi melakukan selingkuh menggunakan teori aspek perilaku selingkuh dari Jackson dan skala religiusitas dari teori Glock dan Stark. Hasil kedua penelitian adalah ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kedua variabel. Penelitian yang akan diteliti oleh penulis meneliti tentang hubungan antara religiusitas dengan perselingkuhan dengan subyek pria dan wanita Muslim yang sudah menikah dan masih terikat dalam hubungan pernikahan dimana baik suami atau istri sering ditugaskan ke luar kota dalam jangka waktu dua sampai tiga bulan di kota Balikpapan Kalimantan Timur. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara religiusitas dengan perselingkuhan. Alat ukur yang digunakan berupa angket yang mengukur skala religiusitas yang menggunakan teori religiusitas dari Glock dan Stark, yaitu dimensi ideologis (the ideological dimension), dimensi ritual (the ritualistic dimension), dimensi eksperiensial (the experiential
dimension),
dan
dimensi
konsekuensial
(the
consequential
dimension), dan angket yang mengukur skala perselingkuhan yang menggunakan teori perselingkuhan dari Jackson, yaitu perselingkuhan fisik (physical affairs) dan perselingkuhan emosional (emotional affairs).
Tinjauan Pustaka Perselingkuhan Selingkuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai perbuatan yang tidak berterus terang; tidak jujur; menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; curang; serong. Lawson (1988) menyatakan bahwa perbuatan selingkuh dapat dimulai dari pergi bersama seseorang yang bukan suami atau istrinya, kedekatan yang kuat dengan orang lain baik secara fisik maupun emosional, sexual intercourse secara sukarela antar seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Menurut Jackson (2000), perselingkuhan dapat diidentifikasi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) Perselingkuhan fisik (physical affairs). Perselingkuhan ini dalam bentuk kontak seksual terbuka (overt sexual contact), yaitu hubungan fisik yang intim untuk merangsang dan menikmati rangsangan seksual dengan seseorang selain pasangannya meskipun tidak terjadi hubungan seksual, dan kontak seksual tertutup (covert sexual contact), yaitu dapat terjadi dalam bentuk pelukan erat, ciuman pipi, berpegangan tangan, serta pandangan mata yang mengisyaratkan perasaan lebih dari sekedar teman; dan (2) Perselingkuhan emosional (emotional affairs), misalnya memberikan waktu, materi, dan energi emosional (perhatian, pengertian, dukungan, penghargaan, penghormatan) kepada seseorang yang bukan pasangannya merupakan pengingkaran atas janji pernikahan. Menurut Daniel (2003), faktor-faktor penyebab selingkuh adalah karena kemampuan finansial, maraknya fasilitas hiburan, faktor masa kecil dan remaja,
lemahnya penghayatan agama, dorongan seksual, bisnis dan pelesiran, pergaulan, dan kontrol masyarakat lemah. Religiusitas Seorang ahli ilmu jiwa agama, Clark (Daradjat, 1993) masih dengan tegas mengakui bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama karena pengalaman agama adalah subyektif, intern, dan individuil dan setiap orang berbeda dari orang lain. Poerwadarminta (1984) memberikan rumusan agama sebagai berikut: “Agama ialah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dan lain sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu” Menurut Glock dan Stark (1966) ada lima dimensi religiusitas, yaitu (1) Religious Belief (The Ideological Dimension) yakni tingkat keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap kebenaran agamanya terutama terhadap ajaranajaran agama yang fundamental atau dogmatis, misalnya kepercayaan adanya Allah, Malaikat, surga, neraka, dan sebagainya; (2) Religious Practice (The Ritualistic Dimension) yakni tingkat kepatuhan seseorang melakukan kewajibankewajiban ritual dalam agamanya, misalnya sholat, puasa, zakat, dan sebagainya; (3) Religious Feeling (The Experiential Dimension) yakni perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami atau dirasakan; (4) Religious Knowledge (The Intelectual Dimension) yakni seberapa jauh seseorang memahami dan mengetahui ajaran agamanya terutama yang ada dalam kitab suci; (5) Religious Effect (The Consequential Dimension) yakni dimensi yang
mengukur seberapa jauh perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agama di dalam kehidupan sosial, seperti etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian kepada penderitaan orang lain, dan sebagainya. Hipotesis Berdasarkan uraian teoritik diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini
yaitu
ada
hubungan
negatif
antara
religiusitas
dengan
perselingkuhan. Semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perselingkuhan. Sebaliknya, semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi perselingkuhan.
Metode Penelitian Identifikasi Variabel-variabel Penelitian 1. Variabel bebas
: Religiusitas
2. Variabel tergantung
: Perselingkuhan Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Perselingkuhan Perselingkuhan merupakan hubungan antara pria dan wanita di luar pernikahan dengan melibatkan hubungan fisik maupun hubungan emosional antara keduanya. Pengukuran perilaku perselingkuhan ini menggunakan skala perselingkuhan yang menggunakan aspek-aspek perselingkuhan dari Jackson (2000) yaitu perselingkuhan fisik (physical affairs) dan perselingkuhan emosional (emotional affairs) untuk mengetahui seberapa besar perilaku perselingkuhan yang dilakukan subyek. Semakin tinggi skor perselingkuhan maka semakin tinggi perselingkuhan yang dilakukan subyek. Sebaliknya, semakin rendah skor
perselingkuhan maka semakin rendah pula perselingkuhan yang dilakukan subyek. 2. Religiusitas Religiusitas adalah tingkat keberagamaan atau kesadaran keagamaan yang dimiliki seseorang. Pengukuran religiusitas ini menggunakan skala religiusitas yang menggunakan empat dimensi religiusitas dari Glock dan Stark (1966) yaitu dimensi ideologis (the ideological dimension), dimensi ritual (the ritualistic dimension), dimensi eksperiensial (the experiential dimension), dan dimensi konsekuensial (the consequential dimension) yang digunakan untuk mengukur sikap dan perilaku religiusitas subyek. Semakin tinggi skor religiusitas maka semakin tinggi religiusitas yang dimiliki subyek. Sebaliknya, semakin rendah skor religiusitas maka semakin rendah pula religiusitas yang dilmiliki subyek. Subyek Penelitian Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pria dan wanita Muslim yang sudah menikah dan masih terikat dalam hubungan pernikahan dimana baik suami atau istri sering ditugaskan ke luar kota dalam jangka waktu dua sampai tiga bulan di kota Balikpapan Kalimantan Timur. Metode Pengumpulan Data Data penelitian diperoleh dari dua skala yang masing-masing mengukur variabel religiusitas dan variabel perselingkuhan. Kedua alat ukur tersebut adalah Skala Religiusitas dan Skala Perselingkuhan yang disusun dan telah dimodifikasi oleh peneliti.
Skala Religiusitas Skala yang diuji cobakan adalah skala religiusitas yang disusun untuk mengukur religiusitas seseorang dengan mengacu pada konsep Glock dan Stark (1966) yang mengukur religiusitas dari dimensi ideologis (the ideological dimension), dimensi ritual (the ritualistic dimension), dimensi eksperiensial (the experiential
dimension),
dan
dimensi
konsekuensial
(the
consequential
dimension). Skala ini terdiri dari 65 butir soal. Responden diminta memilih salah satu alternatif jawaban yang paling sesuai dengan keadaan yang dimiliki. Alternatif jawaban tersebut adalah Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala Religiusitas disajikan dalam butir pernyataan yang bersifat favourable dan unfavourable. Butir pernyataan disebut favourable jika isi pernyataan bersifat mendukung, memihak, atau menunjukkan ciri dari atribut yang diukur. Sebaliknya butir pernyataan yang isinya tidak mendukung atau tidak memihak atribut yang diukur disebut butir pernyataan yang unfavourable (Azwar, 1997). Setiap respon positif pada butir pernyataan yang unfavourable akan diberi skor yang lebih rendah daripada respon negatif. Skor jawaban untuk butir pernyataan unfavourable bergerak dari 1 sampai 4 dengan ketentuan: skor 1 untuk jawaban SS, skor 2 untuk jawaban S, skor 3 untuk jawaban TS, dan skor 4 untuk jawaban STS.
Semakin tinggi skor total yang diperoleh dari Skala Religiusitas maka semakin tinggi religiusitas individu. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah religiusitasnya. Skala Perselingkuhan Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek perselingkuhan yang diajukan oleh Jackson (2000), yaitu: a. Perselingkuhan Fisik (Physical Affairs) 1. Kontak seksual terbuka (overt sexual contact) meliputi hubungan seksual (sexual intercourse) yang berlanjut pada hubungan yang melibatkan emosional dalam waktu lama, hubungan fisik yang intim untuk merangsang dan menikmati rangsangan seksual dengan seseorang selain pasangannya seperti bercumbu, necking, masturbasi atau onani yang dilakukan oleh pasangan, dan petting. 2. Kontak seksual tertutup (covert sexual contact) meliputi pelukan erat, ciuman pipi, berpegangan tangan, pandangan mata yang mengisyaratkan perasaan lebih dari sekedar teman, atau menyentuh dengan melibatkan perasaan. b. Perselingkuhan Emosional (Emotional Affairs) Perselingkuhan ini tidak melibatkan hubungan seksual. Memberikan waktu, materi, dan energi emosional (perhatian, pengertian, dukungan, penghargaan, penghormatan) kepada seseorang yang bukan pasangannya. Skala ini merupakan skala yang disusun oleh peneliti, sehingga harus diuji cobakan terlebih dahulu. Skala Perselingkuhan ini terdiri dari 50 butir pernyataan dan memiliki empat pilihan jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak
Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Butir pernyataan dalam skala ini bersifat favourable dan unfavourable. Rentang skor setiap butir pernyataan dari 1 sampai 4. Jika butir pernyataan bersifat favourable, maka jawaban SS diberi skor 4, jawaban S diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1. Jika butir pernyataan bersifat unfavourable, maka jawaban SS diberi skor 1, S diberi skor 2, TS diberi skor 3, dan STS diberi skor 4. Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan tingginya perselingkuhan. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh menunjukkan rendahnya perselingkuhan. Hasil Penelitian Tabel 1 Deskripsi Data Penelitian Variabel Religiusitas Perselingkuhan
Min 53 48
Hipotetik Max µ 212 132,5 192 120
s 26,5 24
Min 140 47
Empirik Max µ 211 173,55 107 73,59
s 18,877 18,402
Catatan : µ = rerata ; s = setiap satuan standar deviasi Tabel 2
Kategori Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
Kategorisasi Variabel Religiusitas Nilai Jumlah X > 180,2 29 148,4 < X = 180,2 50 116,6 < X = 148,4 8 84,8 < X = 116,6 0 X < 84,8 0 Tabel 3
% 33,33 57,48 9,19 0 0
Kategorisasi Variabel Perselingkuhan Kategori Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
Nilai X > 163,2 134,4 < X = 163,2 105,6 < X = 134,4 76,8 < X = 105,6 X < 76,8
Jumlah 0 0 2 32 53
% 0 0 2,30 36,78 60,92
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini
yaitu
ada
hubungan
negatif
antara
religiusitas
dengan
perselingkuhan, diterima. Semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perselingkuhan. Sebaliknya, semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi perselingkuhan. Menurut Daradjat (1978), keyakinan beragama menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang. Keyakinan itu akan mengawasi segala tindakan, perkataan, bahkan perasaannya. Pada saat seseorang tertarik pada sesuatu hal yang tampaknya menyenangkan, maka keimanannya akan cepat bertindak menimbang dan meneliti apakah hal tersebut baik atau tidak menurut agamanya. Agama mempunyai peranan penting dalam pembinaan moral karena nilainilai moral yang datang dari agama tetap dan bersifat universal. Apabila dihadapkan pada suatu dilema, seseorang akan menggunakan pertimbanganpertimbangan berdasarkan nilai-nilai moral yang datang dari agama. Dimana pun orang itu berada dan pada posisi apapun, dia akan tetap memegang prinsip moral yang telah tertanam dalam hati nuraninya (Daradjat, 1991). Oleh karena itu nilainilai agama yang telah diinternalisasi oleh seseorang, diharapkan mampu menuntun semua perilakunya. Menurut Glock dan Stark (1966), nilai-nilai agama itu dapat berupa keyakinan atau kepercayaan terhadap kebenaran agamanya, misalnya kepercayaan adanya Allah, Malaikat, surga, neraka, dan sebagainya. Kemudian nilai agama yang berupa kepatuhan untuk melakukan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya, misalnya sholat, puasa, zakat, dan sebagainya. Ada juga yang berupa
perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami atau dirasakan. Nilai agama lainnya adalah seberapa jauh seseorang memahami dan mengetahui ajaran agamanya terutama yang ada dalam kitab suci. Dan yang terakhir agama dapat mengukur seberapa jauh perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agama di dalam kehidupan sosial, seperti etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian kepada penderitaan orang lain, dan sebagainya. Hasil penelitian ini melihat persentase religiusitas subyek sebanyak 33,33% (29 orang) memperoleh skor sangat tinggi, 57,48% (50 orang) memperoleh skor tinggi, dan 9,19% (8 orang) memperoleh skor sedang. Hasil penelitian selanjutnya melihat persentase perselingkuhan subyek sebanyak 2,30% (2 orang) memperoleh skor sedang, 36,78% (32 orang) memperoleh skor rendah, dan 60,92% (53 orang) memperoleh skor sangat rendah. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar subyek memiliki religiusitas dalam kategori tinggi dengan perselingkuhan dalam kategori sangat rendah. Utamanya, di dalam sebuah hubungan pernikahan yang dibutuhkan untuk mempertahankan keharmonisan rumah tangga diantaranya adalah keimanan yang kuat atau religiusitas yang tinggi dari pasangan suami istri serta kesetiaan akan sumpah pernikahan yang telah diikrarkan. Selain itu
pengertian dan
dukungan dari pasangan, baik secara langsung maupun tidak langsung juga dibutuhkan. Bila tidak ada dukungan dari pasangan, akan membuat suami atau istri merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut dan mencari rasa nyaman di luar pernikahan sehingga kemungkinan mempertahankan relasi baru akan terus berlanjut.
Ketika suami atau istri jauh dari rumah atau tinggal menetap di kota lain karena pekerjaan, maka tidak menutup kemungkinan pasangan suami atau istri tersebut melakukan perselingkuhan. Menurut Satiadarma (2001) pada kasus perselingkuhan, ada berbagai kondisi yang menggambarkan bahwa kebutuhan biologis atau kebutuhan seksual, perhatian, komunikasi pasangan suami istri, dan lain sebagainya pada suatu saat tertentu mengalami hambatan. Salah satunya karena salah satu pasangan tinggal menetap di kota lain untuk waktu yang lama karena pekerjaannya. Akibat dari hal tersebut, maka salah satu pasangan bisa saja berusaha untuk memenuhi dorongan tersebut dengan menjalin hubungan di luar hubungan suami istri atau berselingkuh. Berdasarkan hasil analisis tambahan dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antar aspek dalam variabel religiusitas yaitu dimensi eksperiensial (the experiential dimension) dan dimensi konsekuensial (the consequential dimension) dengan variabel perselingkuhan. Hal tersebut membuktikan bahwa religiusitas sangat penting dalam hubungan suami istri untuk menghindari adanya perselingkuhan. Hasil penelitian ini dapat melihat kontribusi variabel religiusitas terhadap variabel perselingkuhan sebesar 54,7%. Sisanya sebesar 45,3% adalah faktorfaktor
lain.
Faktor-faktor
lain
yang
dapat
mempengaruhi
terjadinya
perselingkuhan antara lain kepuasan seksual, kebutuhan akan variasi seksual, kebosanan dalam kehidupan perkawinan, gaya hidup, dan lain sebagainya. Kelemahan dalam penelitian ini yaitu proses pemberian angket pada beberapa subyek penelitian yang pengisiannya ditunda dilakukan di rumah saja
atau ketika waktu luang dalam bekerja. Hal ini menyebabkan peneliti tidak dapat melakukan observasi langsung pada saat subyek mengisi angket. Peneliti juga tidak menggunakan metode penunjang lain selain metode skala, yaitu dengan menggunakan metode observasi dan wawancara sehingga tidak diperoleh data yang lebih mendalam. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan perselingkuhan. Semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perselingkuhan. Sebaliknya, semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi terjadinya perselingkuhan. Saran Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa saran yang dikemukakan oleh peneliti. Beberapa saran tersebut antara lain : 1. Bagi subyek penelitian Religiusitas yang dimiliki subyek penelitian dapat dipertahankan atau ditingkatkan lagi agar perselingkuhan menjadi lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol dirinya sendiri sehingga subyek dapat berpikir lebih positif dan terhindar dari pikiran negatif yang dapat menjadikan individu terdorong untuk melakukan perselingkuhan. 2. Bagi Konselor Pernikahan atau Lembaga-lembaga Perkawinan Diharapkan
lebih
memperhatikan
faktor-faktor
apa
saja
yang
mempengaruhi terjadinya perselingkuhan. Selain itu dalam memberikan
penyuluhan maupun memberikan nasehat profesionalnya perlu juga disertakan pengertian tentang pentingnya keharmonisan dalam keluarga, dan mengajarkan berbagai usaha untuk mengatasi masalah dalam kehidupan perkawinan. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk dapat melakukan penelitian yang lebih teliti dan mendetail serta memperhatikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya perselingkuhan dalam rumah tangga. Faktor-faktor yang belum atau tidak terungkap dalam penelitian ini yang sekiranya dapat mempengaruhi terjadinya perselingkuhan adalah kepuasan seksual, kebutuhan akan variasi seksual, kebosanan dalam kehidupan perkawinan, gaya hidup, dan lain sebagainya. Selain itu peneliti disarankan untuk dapat menggunakan metode penunjang lain selain metode skala, yaitu dengan menggunakan metode observasi dan wawancara untuk memperoleh data yang lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Jakarta : Pustaka Pelajar. Bringham, J. C. 1991. Social Psychology. New York : Harper Collins Publisher, Inc. Brown, E. 2000. Types of Affairs. http://www.affairs_help.com/lfivetypes.html/. Cohen, S. dan S. L. 1985. Social Support and Health. London : Academic Press, Inc. Daniel, R. 2003. Selingkuh, “Budaya” Eksekutif Muda? Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Daradjat, Z. 1978. Peran Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta : Gunung Agung Daradjat, Z. 1991. Ilmu Jiwa Agama. Cetakan ke-14. Jakarta : Bulan Bintang. Dister, N.S. 1982. Pengalaman dan Motivasi Beragama : Pengantar Psikologi Agama. Leppenas. Faruqi, I. R. 1988. Tauhid. Jakarta : Pustaka Pelajar. Fromm, E. 1950. The Sane Society. Rinehart and Company, Inc. Glock, Y., dan Stark, R. 1966. Religion and Society in Tension. Chicago : Rand McNelly and Company. Hawari, D. 1991. Mengelola Konflik Suami Istri. Majalah Sarinah. No : 223. Hemas, GKR. 2001. Memahami masalah perselingkuhan. Disampaikan pada Seminar Perselingkuhan dalam Rumah Tangga, Lembaga Advokasi Hak Asasi Manusia dan Bantuan Hukum. 23 Mei Yogyakarta. Jackson, Tim. 2000. When A Spouse is Unfaithful. USA : RBC Ministries-Grand Rapids. http://www.gospelcom.net/rbc/ds/cb001html#intro. Jawas, Y.A. 1995. Konsep Perkawinan dalam Islam. Surakarta : Pustaka Istiqamah. Lawson, A. 1998. Adultery: An Analysis of Love and Betrayal. New York : Basic Book.
Layton-Tholl, D. 2000. Extramarital Affairs: What is the Allure? Article : Posted in the America Online Extramarital Affairs Forum. http://members.aol.com/affairlady/affair.html/. Liliweri, A. 1991. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung : Citra Aditya Bakti. Masika, H. 2002. Perselingkuhan Ditinjau Dari Dukungan Sosial Pasangan. Skripsi. (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Nawawi, H. 1993. Hakekat Manusia Menurut Islam. Jakarta : Al Ikhlas. Razak, N. 1993. Dienul Islam. Bandung : PT. Al Ma’arif. Republika. 30 April. Santrock, J. W. 2002. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta : Erlangga. Satiadarma, M. P. 2001. Menyikapi Perselingkuhan. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Shihab, M. Q. 2004. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati. Siddik, A. 1983. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Tintamas Indonesia. Strean, H. S. 1994. Profesi-profesi Rawan Affair. Majalah Tiara. 5-18 Juni, 106. Sukamto, M.E., Prihanto, S., Fauziah,S.F.X. 1999. Hubungan Antara Kemampuan Manajemen Waktu Dan Dukungan Sosial Suami Dengan Tingkat Stress Pada Ibu Berperan Ganda. Indonesian Psychological Journal. Vol 15 No 1, 33-51. Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Surabaya Tim Tiara (Dr. Naek L. Tobing). 1991. Affair di Kantor. Majalah Tiara. 9-22 Juni, 28. Turmudhi, A. M. 1991. Hubungan Antara Religiusitas dengan Instansi Prososial pada Mahasiswa Beragama Islam di Fakultas Ekonomi Upn “Veteran” Yogyakarta. Skripsi. (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Westheimer, R. 1994. Seks dalam Perkawinan, Suatu Penuntun. Diterjemahkan oleh Fransisca Lestari. Jakarta : Erlangga.