MODUL FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
DISUSUN OLEH : RAHMI RABIATY, S.Sos.I., M.Ag
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, inayah, dan taufik-Nya. Shalawat dan salam tercurahkan untuk junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya menjadi yang beriman, berilmu, beramal, dan berakhlak al-karimah. Penyusunan Modul Filsafat Pendidikan Islam ini akan mengkaji berbagai hal dalam pendidikan Islam seperti tujuan pendidikan, dasar dan asas-asas pendidikan Islam, konsep manusia, guru, anak didik, kurikulum, metode, evaluasi hingga para pemikir tokoh filsafat pendidikan Islam. Harapan penyusun, semoga modul ini memberikan manfaat bagi pembaca, baik kalangan mahasiswa maupun umum. Jika ada kekeliruan dan kurang sempurna, maka ke depannya akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk memperbaiki isi materi dan substansi modul ini. Akhirnya, penyusun berdoa semoga Allah SWT memberikan rahmat dan berkah-Nya kepada kita semua. Amin.
Palangkaraya, September 2014 Penulis,
Rahmi Rabiaty, S.Sos. I, M. Ag
Modul Filsafat Pendidikan Islam
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi Bab I
Pendahuluan
Bab II
Pengertian dan ruang lingkup filsafat pendidikan Islam
Bab III
Aliran-aliran filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam
Bab IV
Konsep alam semesta, manusia, masyarakat, dan ilmu pengetahuan dalm perspektif filsafat pendidikan Islam
Bab V
Hakikat dan tujuan pendidikan Islam
Bab VI
Paradigma pendidik dan peserta didik
Bab VII
Etika keilmuan dalam filsafat pendidikan Islam
Bab VIII
Hakikat kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam
Bab IX
Hakikat metode dalam pendidikan Islam
Bab X
Hakikat evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam
Bab XI
Pendidikan Islam sebagai suatu sistem
Bab XII
Peluang dan tantangan pendidikan Islam
Bab XIII
Pemikiran tokoh pendidikan Islam Al-Ghazali
Bab XIV
Pemikiran tokoh pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al- Attas
Bab XV
Pemikiran tokoh pendidikan Islam Hasan Langgulung
Modul Filsafat Pendidikan Islam
3
BAB I PENDAHULUAN
Ketika terberatnya
Allah adalah
SWT
menciptakan
menjadi
khalifah.
manusia Ketika
pertama,
itu
para
tugas
malaikat
mempertanyakan kinerja dan akhlak manusia yang akan membahayakan kehidupan dunia. Sebab, kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi diakibatkan sepenuhnya oleh manusia. Keraguan para malaikat terhadap Adam merupakan pertanda bahwa manusia akan menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan rintangan yang amat berat dalam menjalankan kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi. Allah
SWT
membekali
Adam
dengan
seperangkat
ilmu
pengetahuan, konsep, dan terminologi duniawi yang para malaikat pun tidak mengetahuinya. Semua pengetahuan bersumber dari Allah, dan Adam memperolehnya untuk memberi keyakinan kepada para malaikat bahwa dirinya mampu menjalankan tugas sebagai khalifah. Ilmu pengetahuan ditananamkan sejak dini oleh Allah kepada manusia. Oleh karena itu, bayi yang baru dilahirkan telah memiliki pengetahuan tentang Tuhan dengan fitrahnya, pengetahuan dengan pendengaran dan perasaannya. Sekalipun demikian, semua potensi akal manusia harus terus dikembangkan melalui pendidikan berkarakter, artinya pendidikan yang mengikuti perkembangan dan kebutuhan manusia sebagai makhluk yang kreatif dan dinamis.1 Filsafat Pendidikan Islam adalah satu mata kuliah yang disajikan guna mengembangkan cara berpikir manusia tentang pendidikan Islam sebagai suatu sistem yang didalamnya mengajarkan sistem pendidikan yang berkaitan dengan akal, hati, dan pendidikan jasmani. Modul ini akan membahas pendidikan Islam secara filosofis. Pembahasannya dibagi menjadi beberapa bab sebagai berikut:
1
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2009) , 1.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
4
Bab I
Pendahuluan
Bab II
Pengertian dan ruang lingkup filsafat pendidikan Islam
Bab III
Aliran-aliran filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam
Bab IV
Konsep alam semesta, manusia, masyarakat, dan ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam
Bab V
Hakikat dan tujuan pendidikan Islam
Bab VI
Paradigma pendidik dan peserta didik
Bab VII
Etika keilmuan dalam filsafat pendidikan Islam
Bab VIII
Hakikat kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam
Bab IX
Hakikat metode dalam pendidikan Islam
Bab X
Hakikat evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam
Bab XI
Pendidikan Islam sebagai suatu sistem
Bab XII
Peluang dan tantangan pendidikan Islam
Bab XIII
Pemikiran tokoh pendidikan Islam Al-Ghazali
Bab XIV
Pemikiran tokoh pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al- Attas
Bab XV
Pemikiran tokoh pendidikan Islam Hasan Langgulung
Berdasarkan pembahasan-pembahasan diatas diharapkan para pembaca dapat memahami dan mempelajari dasar-dasar filsafat pendidikan Islam.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
5
BAB II PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Subjek filsafat lazimnya disebut philosopher, yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.2 Untuk mendapatkan ilmu atau hikmah, media yang efektif adalah pendidikan. Pendidikan Islam merupakan media keilmuan Islam yang didasarkan pada nilai-nilai dasar Islam. Nilai-nilai ini dirasionalisasi lewat filsafat sehingga bisa dikonversi dan diimplementasikan pada tataran praktis. Oleh karena itu, peran filsafat pendidikan Islam sangat urgen untuk pengembangan pendidikan Islam. A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa mampu memahami pengertian filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam 2. Mahasiswa mampu memahami pendekatan dalam filsafat pendidikan Islam 3. Mahasiswa
mampu
memahami
ruang
lingkup
filsafat
pendidikan Islam B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa
mampu
menguraikan
dan
membedakan
pengertian filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam 2. Mahasiswa mampu menjelaskan pendekatan dalam filsafat pendidikan Islam 3. Mahasiswa
mampu
memetakan
ruang
lingkup
filsafat
pendidikan Islam
2
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997), 5
Modul Filsafat Pendidikan Islam
6
C. Uraian Materi 1. Pengertian filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam a. Pengertian filsafat pendidikan Berbagai pengertian filsafat pendidikan telah dikemukakan para ahli. Menurut al-syaibani filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur, yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat
yang
diupayakan
untuk
pengalaman
kemanusiaan merupakan faktor yang integral. Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah filososfis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspekaspek pelaksaan falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari
filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-
persoalan pendidikan secara praktis Menurut Imam bernadib, filsafat pendidikan merupakan ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaanpertanyaan dalam bidang pendidikan. Baginya filsafat pendidikan merupakan aplikasi sesuatu analisis filsofis terhadap pendidikan. Sedangkan menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan
suatu
pembentukkan
kemampuan
dasar
yang
fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaaan (emosional) menuju tabiat manusia. Jadi untuk mendapatkan pengertian filsafat pendidikan yang lebih jelas, ada baiknya kita melihat beberapa konsep mengenai pengertian pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah bimbingan secara sadar dari pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya manusia yang memiliki kepribadian yang utama dan ideal, yaitu kepribadian yang memiliki kesadaran moral dan sikap mental secara teguh dan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
7
sungguh-sungguh memengang dan melaksanakan ajaran atau prinsip-prinsip nilai (filsafat) yang menjadi pandangan hidup secara individu, masyarakat maupun filsafat bangsa dan Negara. b. Pengertian filsafat pendidikan Islam Filsafat
pendidikan
Islam
memiliki
pengertian
yang
mengkhususkan kajian pemikiran-pemikiran yang menyeluruh dan mendasar tentang pendidikan berdasarkan tuntutan ajaran Islam. Sedangkan ajaran Islam sebagai sebuah sistem yang diyakini oleh penganutnya yang memiliki nilai-nilai tentang kebenaran yang hakiki dan mutlak, untuk dijadikan sebagai pedoman dalam berbagai
aspek
kehidupan,
termasuk
didalamnya
apek
pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah pemikiran yang radikal dan mendalam tentang berbagai masalah yang ada hubungannya dengan pendidikan Islam. Sebagai contoh akan dikemukakan beberapa masalah kependidikan yang memerlukan analisis filsafat dalam memahami dan memecahkannya, antara lain: 1) Apakah hakikat pendidikan. Mengapa pendidikan harus ada pada manusia dan merupakan hakikat hidup manusia. apa hakikat manusia dan bagaimana hubungan antara pendidikan dengan hidup dan kehidupan manusia. 2) Apakah tujuan pendidikan yang sebenarnya. 3) Apakah hakikat peribadi manusia. manakah yang utama untuk dididik;akal, perasaan atau kemauannya, pendidikan jasmani atau mentalnya,
pendidikan
skiil
ataukah
intelektualnya,
ataukah kesemuanya dan lain sebagainya. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa
Modul Filsafat Pendidikan Islam
8
batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya. 2. Pendekatan dalam filsafat pendidikan Islam Permasalahan yang perlu dipecahkan dalam masalah pendidikan Islam perlu didekati melalui berbagai pendekatan sesuai dengan permasalahannya. Diantara pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut. a. Pendekatan Wahyu Metode
ini
digunakan
dalam
upaya
menggali,
menafsirkan, dan – mungkin – menta’wilkan argument yang bersumber dari pokok ajaran Islam yang terkandung dalam alquran dan hadis. Dari kajian itu, kemudian disusun suatu konsep dasar pendidikan Islam secara filosofos. Dengan landasan keyakinan bahwa ajaran yang bersifat wahyu, merupakan petunjuk yang harus diikuti dan imani. Dalam konteks ini, metode filsafat pendidikan Islam berangkat dari kepercayaan (keyakinan) untuk memperoleh kebenaran yang lebih tinggi. b. Pendekatan Spekulatif Pendekatan spekulatif merupakan pendekatan yang umum dipakai dalam filsafat, termasuk filsafat pendidikan Islam. Pendekatannya
dilakukan
dengan
cara
memikirkan,
mempertimbangkan dan menggambarkan suatu objek untuk mencari hakikat yang sebenarnya. Dalam pendidikan, banyak sekali objek yang harus diketahui hakikat yang sebenarnya, seperti hakikat manusia, kurikulum, tujuan, proses, materi, pendidik, peserta didik, evalusi, dan sebagainya. c. Pendekatan Ilmiah Pendekatan ilmiah menggunakan merode ilmiah dalam memecahkan
masalah-masalah
yang
berkembang
ditengah-
tengah masyarakat yang ada kaitannya dengan pendidikan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
9
Pendekatan ilmiah berkaitan dengan kehidupan kekinian dengan sasaran adalah problematika pendidikan kontemporer. d. Pendekatan Konsep Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji hasil karya ulama dan ahli pendidikan Islam dimasa-masa silam. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat diketahui bagaimana konsepkonsep pendidikan Islam dari zaman ke zaman, faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahannya,
serta
latar
belakang
yang
mendorong munculnya konsep-konsep tersebut. Dengan mengkaji konsep tersebutkan diperoleh manfaat, anatara lain: pertama, bagaimana perkembangan filsafat pendidikan Islam pada setiap zaman. Kedua, mengetahui hasil karya para pemikir pendidikan Islam. Ketiga, melanjutkan rangkaian pemikiran yang masih relevan sambil melakukan perbaikan-perbaikan apada hal-hal yang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan lingkungan. Keempat, menghindari pola pikirjamping, dengan mengabaikan hasil pemikiran para pakar pendidikan sebelumnya. 3. Ruang lingkup filsafat pendidikan Islam Pembahasan tentang ruang lingkup filsafat pendidikan Islam sebenarnya merupakan pengkajian dari aspek ontologis filsafat pendidikan Islam. Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek tertentu yang akan dijadikan sasaran penyelidikan (objek material) dan yang akan dipandang (objek formal). Perbedaan suatu ilmu pengetahuan dengan ilmu lainnya terletak pada sudut pandang (objek formal) yang digunakannya. Objek material filsafat pendidikan
Islam
sama
dengan
filsafat
pendidikan
pada
umumnya, yaitu segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu yang ada ini mencakup “ada yang tampak” dan “ada yang tidak tampak”. Ada yang tampak adalah dunia empiris, dan ada yang tidak tampak adalah alam metafisis. Adapun objek formal filsafat
Modul Filsafat Pendidikan Islam
10
pendidikan Islam adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang pendidikan Islam untuk dapat diketahui hakikatnya. Secara makro,
yang menjadi
ruang lingkup filsafat
pendidikan Islam adalah yang tercakup dalam objek material filsafat, yaitu mencari keterangan secara radikal mengenai Tuhan, manusia, dan alam yang tidak bisa dijangkau oleh pengetahuan biasa. Sebagaimana filsafat, filsafat pendidikan Islam juga mengkaji ketiga objek ini berdasarkan ketiga cabangnya: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Secara mikro objek kajian filsafat pendidikan Islam adalah hal-hal yang
merupakan
faktor
atau
komponen
dalam
proses
pelaksanaan pendidikan. Faktor atau komponen pendidikan ini ada lima, yaitu tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan (kurikulum, metode, dan evaluasi pendidikan), dan lingkungan pendidikan. Untuk lebih memfokuskan pembahasan filsafat pendidikan Islam yang sesuai dengan fokus penelitian ini, maka cukup disajikan ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan Islam secara makro. a. Ontologi Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu yang ada ini meliputi yang nampak dan yang tidak nampak (metafisis). Filsafat pendidikan Islam bertitik tolak pada konsep the creature of God,yaitu manusia dan alam. Sebagai pencipta, maka Tuhan telah mengatur di alam ciptaan-Nya. Pendidikan telah berpijak dari human sebagai dasar perkembangan dalam
Modul Filsafat Pendidikan Islam
11
pendidikan. Ini berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah transformasi pendidikan. Sehingga yang menjadi dasar kajian atau dalam istilah lain sebagai objek kajian (ontologi) filsafat pendidikan Islam seperti yang termuat di dalam wahyu adalah mengenai pencipta (khalik), ciptaan-Nya (makhluk), hubungan antar ciptaan-Nya, dan utusan yang menyampaikan risalah pencipta (rasul). Dalam hal ini al-Syaibany mengemukakan bahwa prinsipprinsip yang menjadi dasar pandangan tentang alam raya meliputi dasar pemikiran: 1) Pendidikan dan tingkah laku manusia serta akhlaknya selain dipengaruhi oleh lingkungan sosial dipengaruhi pula oleh lingkungan fisik (benda-benda alam); 2) Lingkungan dan yang termasuk dalam alam raya adalah segala yang diciptakan oleh Allah swt baik makhluk hidup maupun benda-benda alam; 3) Setiap wujud (keberadaan) memiliki dua aspek, yaitu materi dan roh. Dasar pemikiran ini mengarahkan falsafah pendidikan Islam menyusun konsep alam nyata dan alam ghaib, alam materi dan alam ruh, alam dunia dan alam akhirat; 4) Alam senantiasa menngalami perubahan menurut ketentuan aturan pencipta; 5) Alam merupakan sarana yang disediakan bagi manusia untuk meningkatkan kemampuan dirinya. b. Epistemologi Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni
cabang
filsafat
Modul Filsafat Pendidikan Islam
yang
membicarakan
tentang
cara
12
memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan. Tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan adalah dengan metode non-ilmiah, metode ilmiah, dan metode problem solving. Pengetahuan yang diperoleh dengan metode non-ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara penemuan secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal sehat (common
sense);
prasangka;
otoritas
(kewibawaan);
dan
pengalaman biasa. Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif dan induktif. Sedangkan metode problem solving adalah memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi
permasalahan,
merumuskan
hipotesis;
mengumpulkan data; mengorganisasikan dan menganalisis data; menyimpulkan; melakukan verifikasi yakni pengujian hipotesis. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-teori, prinsipprinsip, generalisasi dan hukum-hukum. Temuan itu dapat dipakai sebagai
basis,
bingkai
atau
kerangka
pemikiran
untuk
menerangkan, mendeskripsikan, mengontrol, mengantisipasi atau meramalkan sesuatu kejadian secara tepat. c.
Aksiologi Landasan
aksiologi
adalah
berhubungan
dengan
penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia berikut manfaatnya bagi kehidupan manusia. Dengan kata
lain,
apa
yang
dapat
disumbangkan
ilmu
terhadap
pengembangan ilmu itu dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Dalam bahasan lain, tujuan keilmuan dan pendidikan Islam yang berusaha untuk mencapai kesejahteraan manusia di
Modul Filsafat Pendidikan Islam
13
dunia dan akhirat ini sesuai dengan Maqasid al-Syariah yakni tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Sementara menurut Wahbah al-Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai- nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum. Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Kemudian Muzayyin Arifin memberikan definisi aksiologi sebagai suatu pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai agama, dan nilai keindahan (estetika). Jika aksiologi ini dinilai dari sisi ilmuwan, maka aksiologi dapat diartikan sebagai telaah tentang nilai-nilai yang dipegang ilmuwan dalam memilih dan menentukan prioritas bidang penelitian
ilmu
pengetahuan
serta
penerapan
dan
pemanfaatannya. D. Soal 1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam, apa kesamaan dan perbedaannya? 2. Jelaskan beberapa pendekatan dalam filsafat pendidikan Islam? 3. Uraikan ruang lingkup filsafat pendidikan Islam ?
Modul Filsafat Pendidikan Islam
14
DAFTAR PUSTAKA Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1983. Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
15
BAB III ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM Proses pertumbuhan filsafat sebagai hasil pemikiran para filosof dalam rentang waktu yang dilaluinya telah melahirkan berbagai macam pandangan. Pandangan para filosof tersebut adakalanya bersifat saling mendukung, tetapi tak jarang pula yang bertentangan. Hal ini dapat dimaklumi karena hasil pemikiran seorang filosof bukan merupakan komponen yang dapat berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pendekatan yang dipakai serta situasi dan setting sosial pemikiran filosof tersebut muncul. Dalam perjalan sejarahnya, filsafat pendidikan telah melahirkan berbagai pandangan. Tak jarang, masing-masing pandangan berusaha mempertahankan pendapatnya sebagai suatu kebenaran..3 A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa mampu memahami aliran-aliran filsafat pendidikan B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa mampu mendefinisikan dan mengkritisi aliranaliran filsafat pendidikan C. Uraian Materi 1. Aliran-aliran filsafat pendidikan a. Aliran-aliran filsafat pendidikan Filsafat Pendidikan bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, dan filsafat itu sendiri dengan berbagai tokoh dan pendirinya memberikan sesuatu
baik
pandangan Tuhan,
yang berbeda-beda tentang segala
alam
adakalanya bersifat saling
semesta
dan
manusia,
yang
mendukung, tetapi tak jarang pula
3
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), 15.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
16
saling bertentangan, maka perbedaan pandangan tersebut berimbas
pada Filsafat Pendidikan sehingga menimbulkan
berbagai aliran dalam Filsafat Pendidikan yang dilatarbelakangi oleh aliran-aliran filsafat itu sendiri. Berikut adalah aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan: 1). Idealisme Idealisme termasuk dalam kelompok filsafat tertua. Tokoh aliran ini adalah Plato (427-34 SM) yang secara umum dipandang sebagai bapak idealisme di Barat yang hidup kira-kira 2500 tahun yang lalu. Aliran ini menurut Poedjawijatna memandang dan menganggap yang nyata hanya idea. Idea tersebut selalu tetap dan tidak mengalami perubahan atau pergeseran. Aliran filsafat idealisme menekankan moral dan ralitas spiritual sebagai sumbersumber utama di alam ini. Ramayulis dan Samsul Nizar menjelaskan bahwa aliran filsafat ini memandang pendidikan bukan hanya mengembangkan atau menumbuhkan tetapi juga harus digerakkan ke arah tujuan yaitu menjaga keunggulan kultural, sosial dan spiritual, sehingga manusia bisa mencapai kesempurnaan dirinya, yaitu mencapai nilai-nilai dan ide-ide yang diperlukan oleh semua manusia secara bersama-sama.
Oleh
karenanya
kurikulum
pendidikan
seyogyanya bersifat tetap, dan tidak menerima perkembangan. 2). Realisme Realisme berasal dari kata real yang berarti aktual atau yang ada. Realisme adalah aliran yang patuh kepada yang ada (fakta). Realisme termasuk dalam kelompok pemikiran klasik. Aliran ini memandang dunia dari sudut materi. Menurut mereka, realitas dunia ini adalah alam. Segala sesuatu berasal dari alam dan yang menjadi subjek adalah hukum alam (dunia nyata, alam dan benda). Oleh karenanya suatu pengetahuan akan dikatakan benar atau tepat apabila sesuai dengan kenyataan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
17
Dalam bidang pendidikan, perhatian aliran realisme ini tertuju pada pemenuhan akal peserta didik dengan peraturanperaturan dan hakikat-hakikat yang terlihat dalam alam. Oleh karenanya pendidikan realism mengutamakan pendidikan akal (rasio) atas dasar bahwa pendidikan adalah tujuan dan sasaran untuk mendapat segala sesutu yang diperoleh melalui porses berfikir yang didapat melalui metode latihan yang benar. Karena hal itu merupakan perhatian terhadap studi-studi dasar yang punya hubungan dengan segi-segi akhlak, rasio dan logika kemanusiaan maka kewajiban guru adalah berupaya menciptakan model-model
dalam
pengajaran
dengan
pendekatan
pada
kenyataan yang inderawi, kemudia berpindah kepada hal-hal yang abstrak. 3). Pragmatisme Aliran Pragmatisme timbul pada abad 20. Pendiri aliran ini adalah Charks E. Peirce. Pemikiran Peirce mendapat pengaruh dari Kant dan Hegel. Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang memandang
realitas
sebagai
sesuatu
yang
secara
tetap
mengalami perubahan (terus menerus berubah). Untuk itu realitas hanya dapat dikenal melalui pengalaman. Tidak ada pengetahuan yang absolute (permanen). Realitas atau kenyataan hanyala apa yang
dapat
diamati
dan
dirasakan.
Pengetahuan
bersifat
sementara dan demikian juga dengan nilai-nilai. Bagi pragmatism semua yang mengalami perubaan tidak ada yang kekal (tetap). Adapun yang kekal adalah perubahan itu sendiri. Pragmatisme pandangan
mementingkan
anthroposentris
(berpusat
orientasinya kepada
kepada manusia),
kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia ke arah yang bersifat praktis, kemampuan kecerdasan dan individualitas serta perbuatan dalam masyarakat.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
18
Dalam bidang pendidikan, aliran ini tidak memisakan antara materi pengajaran dengan metode pengajaran. Variasi metode pengajaran yang digunakan berpijak atas konsep demokrasi. Guru tidak boleh menghilangkan keaktifan anak didiknya. Seorang guru tidak boleh membatasi kegiatan murid dan hanya menerima pemikiran
guru.
Aliran
ini
menuntut
agar
peserta
didik
diikutsertakan secara demokratis dan dinamis; baik dalam berpikir dan membahas. Dengan demikian, peserta didik akan mampu menemukan hakikat kebenaran dengan sendirinya. Aliran ini mempercayai adanya perbedaan-perbedaan kecerdasan
individual.
dikembangkan
Untuk
seyogyanya
itu,
pendidikan
menekankan
yang
pada
perlu upaya
menanamkan rasa kebebasan individual kepada setiap orang yang bekerja di bidang pendidikan. Aliran ini tidak melihat perlunya menggunakan hukuman fisik terhadap anak didik dengan alas an bahwa ketertiban dan kesadaran bertanggung jawab mesti tumbuh dari murid sendiri dan murid haruslah dilibatkan dalam semua kegiatan. Bila timbul kesulitan, guru harus berusaha memecahkannya bersama murid, tanpa menyerahkannya ke bagian administrasi. 4). Eksistensialisme Kata eksistensi berasal dari kata latin existere, ex yang berarti keluar dan sitere yang berarti membuat berdiri. Jadi eksistensialisme berarti apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang melukiskan dan mendiagnosa kedudukan manusia yang
sulit.
Titik
sentralnya
adalah
manusia.
Menurut
eksistensialisme, hakekat manusia terletak dalam eksistensi dan aktivitasnya. Aktivitas manusia merupakan eksistensi dari dirinya dan hasil aktifitas yang dilakukan merupakan cermin hakekat dirinya.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
19
Aliran ini
memandang bahwa manusia menciptakan
kehidupannya sendiri. Oleh sebab itu, manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihan-pilihan yang dibuat. Baik dan buruknya sesuatu tergantung atas keyakinan pribadinya. Aliran ini memberikan pemahaman kepada individual, kebebasan dan penanggungjawabannya. Dalam bidang pendidikan, aliran eksistensialisme menuntut adanya sistem pendidikan yang beraneka ragam warna dan berbeda-beda, baik metode pengajarannya maupun penyusunan keahlian-keahlian.
Hal
ini
karena
aliran
eksistensialisme
mengutamakan perorangan/individu. Oleh sebab itu, ia tidak membatasi murid dengan buku-buku yang ditetapkan saja. Sebab, hal ini akan membatasi kemampuan murid untuk mengenal pnngan lain yang bermacam-macam dan berbeda-beda. b. Aliran-aliran filsafat pendidikan Islam Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam, yaitu: 1) Aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, 2) Aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan 3) Aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun. 1). Aliran Konservatif (al-Muhafidz) Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin alThusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan alQabisi. Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut alThusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak. Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi: a. Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang: 1) Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas: a. Ilmu ushul (ilmu pokok), b. Ilmu furu’
Modul Filsafat Pendidikan Islam
20
(cabang), c. Ilmu pengantar (mukaddimah), dan d. Ilmu pelengkap (mutammimah). 2) Ilmu ghairu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’ atau intelektual muslim, terdiri atas: a. Ilmu terpuji, b. Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan), c. Ilmu yang tercela (merugikan). b. Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi: 1) Ilmu yang fardlu ‘ain, dan 2) Ilmu yang fardlu kifayah. Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi.Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu. Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain: a. Kegiatan
menuntut
ilmu
tiada
lain
berorientasi
pada
pencapaian ridha Allah. b. Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik. c. Tujuan
agamawi
merupakan
tujuan
puncak
kegiatan
menuntut ilmu. d. Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah. Dari deskripsi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain: 1) Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat, 2) Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia, dan 3) Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
21
2). Aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy) Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih.Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah
Yunani
di
belahan
dunia
Timur,
dikarenakan
pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani. Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa
pelajar
yang
semula
berilmu (mengetahui)
secara
potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi
potensi-potensi
manusia
agar
menjadi
kemampuan “psikomotorik”. Ikhwan
berpendapat
mengemanasikan
bahwa
keutamaan-keutamaan
akal pada
sempurna jiwa
dan
dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan
jiwa.Kesempurnaan
keabadian jiwa
dan
supremasi
akal
menjadi
penyebab
akal
menjadi
penyebab
kesempurnaan jiwa. Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato. Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: 1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; 2) Dengan jalan
burhan
(penalaran-pembuktian
logis),
jiwa
bisa
mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan 3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
22
Ikhwan
tidak
sependapat
dengan
ide
Plato
yang
menganggap bahwa belajar tiada lain hanyalah proses mengingat
ulang.
Ikhwan
menganggap
bahwa
semua
pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah.Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan. Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia.Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan. Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut: 1) Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan), 2) Ilmu-ilmu Filsafat, dan 3) Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik). Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi
pendidikan
seiring
dengan
tahap-tahap
perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia. Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini antara lain: 1) Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar, 2) Modal utama ilmu adalah indera, 3) Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada, 4) Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial, dan 5) Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting. 3). Aliran Pragmatis (al-Dzarai’iy) Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu John Dewey.Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
23
Menurut
Ibnu
Khaldun,
ilmu
pengetahuan
dan
pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya
kesanggupan
berfikir.
Pendidikan
bukan
hanya
bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Ibnu
Khaldun
mengklasifikasikan
ilmu
pengetahuan
berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu: 1) Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi, dan 2) Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy, dan logika bagi ilmu filsafat. Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1) Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik, dan 2) Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain. Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis antara lain: 1) Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses
Modul Filsafat Pendidikan Islam
24
belajar, 2) Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan, dan 3) Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi. D. Soal 1. Sebutkan dan uraikan secara singkat aliran-aliran filsafat pendidikan ? 2. Sebutkan dan uraikan secara singkat aliran-aliran filsafat pendidikan Islam ?
DAFTAR PUSTAKA H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997 Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1983. Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Yogyakarta : LESFI, 2010 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990 H.Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009 Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
25
BAB IV KONSEP ALAM SEMESTA, MANUSIA, MASYARAKAT, DAN ILMU PENGETAHUAN PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM Menurut al-quran manusia adalah khalifah di muka bumi yang memiliki tugas memelihara alam semesta. Sementara alam semesta merupakan materi yang membantu manusia mengembangkan diri dan memenuhi kebutuhan kehidupannya. Meskipun demikian, seorang individu manusia tidak akan sanggup melakukan itu semua tanpa peran serta individu-individu lain. Oleh karena itulah diperlukan peran masyarakat
demi
mengimplementasi semua kebutuhan hidupnya
tersebut. Selanjutnya agar relasi alam semesta, manusia dan masyarakat bisa
berjalan dengan dengan baik,
efektif
dan efesien,
maka
diperlukanlah ilmu pengetahuan. Sebab dengan ilmu pengetahuanlah manusia
bisa
menyadari
kelebihan
dan
kekurangan
dirinya,
masyarakatnya serta alam sekitarnya. Oleh karena itulah dalam Islam relasi antar alam semesta, manusia, masyarakat dan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan. A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa mampu memahami kedudukan alam semesta dalam perspektif filsafat pendidikan Islam 2. Mahasiswa mampu memahami konsep manusia dalam perspektif filsafat pendidikan Islam 3. Mahasiswa mampu memahami konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif pendidikan Islam 4. Mahasiswa mampu memahami konsep masyarakat dalam perspektif filsafat pendidikan Islam B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa dapat menjelaskan kedudukan alam semesta dalam perspektif filsafat pendidikan Islam
Modul Filsafat Pendidikan Islam
26
2. Mahasiswa
dapat
menjelaskan
konsep
manusia
dalam
perspektif filsafat pendidikan Islam 3. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam 4. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep masyarakat dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. C. Uraian Materi 1. Konsep alam semesta dalam perspektif filsafat pendidikan Islam Apabila kita merenungi surat al-fatihah sebagai ummul-kitab, kita akan menemukan review yang luar biasa dari semua ayat Allah yang
tercatat
dalam
Kitab
Suci
Al-quran.
Lafazh
bismillahirrahmanirrahim adalah awal yang menekad bulatkan semua niat manusia yang beriman kepada Allah dalam bertindak, berprilaku, berpikir dan berkarya nyata, sehingga semua aktivitas dan karsa manusia bernilai ibadah kepada Allah dan tidak ada yang sia-sia secara duniawi maupun ukhrawi. Allah sebagai Pencipta atau Al-Khaliq, pemilik kasih dan sayang untuk segenap makhlukNya. Alam ini tercipta sebagai bukti dari kaih sayang Allah untuk manusia. Apabila meresapi ayat yang berbunyi malikiyaumiddin, kita tersadarkan sepenuhnya bahwa semua alam ini adalah hamba-Nya yang secara mutlak harus tunduk pada hukum-hukum Allah. Sekali lagi, alam tunduk mutlak pada hukum-hukum Allah. Semua alam yang berjalan sesuai dengan hukumnya menjadi subjek sekaligus objek pendidikan dan pembelajaran. Bagaimana matahari konsisten utnuk terbit dan terbenam sesuai dengan hukumnya, bagaimana air, api, angina, daratan, lautan, gunung-gunung, hutan dan pepohonan, bumi yang berputar sangat kencang sehingga manusia bagaikan sedang berjalan di atas hamparan tikar, dan demikian selanjutnya.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
27
Alam semesta ini dapat dijadikan guru yang bijaksana, angin dimanfaatkan untuk terjun payung, air deras yang dibendung untuk energi pembangkit listrik, dan banyak manfaat yang dengan mudah semakin meningkatkan taraf hidup manusia. Belajar dari alam semesta adalah tujuan hidup manusia
dan secara filosofis
kedudukan alam semesta bagaikan guru dengan muridnya, pendidik dengan anak didik, bahkan alam semesta bagaikan literatur yang amat luas dan kaya dengan informasi yang aktual. Maka kedudukan alam semesta dalam perspektif filsafat pendidikan Islam adalah sebagai “guru” yang mengajar kepada manusia untuk bertindak sesuai dengan hukum-hukum yang telah digariskan Tuhan. 2. Manusia dalam perspektif filsafat pendidikan Islam a. Gambaran Tentang Manusia Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. Manusia dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran atau
bahan
yang
dibina.
Meskipun
kita
sadarai
bahwa
perkembangan kepribadian adalah self development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri sendiri. Dalam
Al-Qur’an
membicarakan
tentang
banyak manusia
ditemukan dan
gambaran
makna
filosofis
yang dari
penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arbi misalnya menggambarkan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa,”tak ada makhluk Allah yang lebih sempurna kecuali
manusia,
berkehendak,
yang
memiliki
daya
hidup,
berbicara,
melihat,
mendengar,
mengetahui, berfikir,
dan
memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting,
Modul Filsafat Pendidikan Islam
28
karena dilengkapi dengan semua pembawaan atau fitrahnya dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya sebagi makhluk Allah d muka bumi. Al-quran menggunakan empat konsep untuk menunjuk pada makna
manusia,
namun
secara
khusus
memiliki
penekanan
pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada konsep berikut: 1. Konsep al-Basyar Kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi al-Basyar juga diartikan mulamasah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan kata al-Basyar ditunjukan Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan. Berdasarkan konsep al-Basyar, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti
berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan
perkembangan
dalam
mencapai
tingkat
kematangan
serta
kedewasaan. Manusia memerlukan makan, minum dengan kreteria halal serta bergizi (QS. 16: 69) untuk hidup dan ia juga butuh akan pasangan hidup melalui jalur pernikahan (QS. 2: 187) untuk menjaga, melanjutkan proses keturunanya (QS. 17: 23-25). Dan Allah SWT memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk
Modul Filsafat Pendidikan Islam
29
mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi. 2. Konsep al-Insan Kata al-Insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta prilakun negatife dan merugikan. Kata al-Insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjukan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek
tersebut
dengan
berbagai
potensi
yang
di
milikinya
mengantarkan manusia sebagi makhluk Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lainnya,dan sebagai makhluk yang dinami, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi. Perpaduan antara aspek fisik dan fisikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban, dan lain sebagainya. 3. Konsep an-Nas Kata an-Nas dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kosa kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang
Modul Filsafat Pendidikan Islam
30
berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi” (QS. 49 : 13). Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan
bahwa manusia merupakan individu
yang
mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam konteks sosial. 4. Konsep Bani Adam Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an. Bani berarti keturunan dari darah daging yang dilahirkan. Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut Christyono Sunaryo, bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan tahun sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi, 7000 thn yang lalu. Pada waktu itu Allah SWT sudah menciptakan “manusia” (somekind of humanoid) jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan, sebagaimana dalam surat Al-Ankabuut ayat 19 yang artinya:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (Al-Ankabuut:19) Ayat ini memperlihatkan bahwa kita seharusnya dapat memperhatikan adanya pengulangan kerena memang telah terjadi. Bukan pengulangan kebangkitan kembali nanti setelah hari kiamat, karena (pengulangan) kebangkitan setelah kiamat itu belum terjadi, sehingga masih sulit untuk di mengerti oleh yang tidak percaya.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
31
Dan banyak ayat-ayat Al- Qur’an, data dan kejadian yang menunjang konsep pemikiran ini. Seperti misalnya: Pada saat manusia akan diciptakan Allah SWT untuk menjadi kalifah dibumi, bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan diatas bumi. Sedangkan Malaikat hanya mengetahui apa-apa yang diberitahukan Allah SWT kepada mereka. Tentunya karena memang mereka pernah mengetahui adanya “manusia” dibumi sebelum Adam as diciptakan. b. Proses Penciptaannya Manusia Dalam Al-Qur’an Dan dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan peroses penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: pertama, disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Manusia pertama, Adam as, diciptakan dari at-tin (tanah), at-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya kedalam diri (manusia) tersebut (Q.S, Al-Anam/6:2,Alhijr/15:26,28,29, Al-Mu’minun/23:12, Ar-Ruum/30:20, Ar-Rahman/55:4). Penciptaan manusia selanjutnya adalah proses biologi yang dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang disimpan di tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani di jadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumapal daging (mudghah) dan kemudian di balut dengan tulang belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh. (Q.S, Al Mu’minun/23:12-24). Al-Ghazali mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam teori pembentukan (taswiyah) sebagai suatu proses yang timbul di dalam materi yang membuatnya cocok untuk menerima ruh. Materi itu merupakan sari pati tanah liat nabi Adam as yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih (nuthfah) ini yang
Modul Filsafat Pendidikan Islam
32
semula adalah tanah liat setelah melewati berbagai proses akhirnya menjadi bentuk lain (khalq akhar) yaitu manusia dalam bentuk yang sempurna. Tanah liat menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan), makanan menjadi darah, kemudian menjadi sperma jantan dan indung telur. Kedua unsur ini bersatu dalam satu wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang yang akhirnya menjadi tubuh harmonis (jibillah) yang cocok untuk menerima ruh. Sampai disini prosesnya murni bersifat materi sebagai warisan dari leluhurnya. Kemudian setriap manusia menerima ruhnya langsung dari Allah disaat embiro sudah siap dan cocok menerimanya. Maka dari pertemuan ruh dan badan, terbentuklah makhluk baru manusia. c. Kedudukan Manusia Kesatuan wujud manusia antara pisik dan pisikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwin dan merupakan manusia pada posisi yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah (khalifah fi al-ardh). 1. Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah) Esensi hamba adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak di berikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa terlepas dan kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama. Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Dan manusia dulu telah mengakui bahwa diluar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan mengusa seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak
Modul Filsafat Pendidikan Islam
33
mengetahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai bentuk ucapan ritual seperti pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari, dan roh nenek moyang mereka. Kesemuanya dalah bukti bahwa manusia memiliki potensi untuk beragama, Allah berfirman:
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS.Az-Zariyat: 56) Bardasarkan Ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya. 2. Manusia Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh Bila ditinjau, kata khalifah berasal dari fi’il madhi khalafa, yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinyalebih cenderung kepada pengertian mengganti yaitu proses penggantian antara satu individu dengan individu yang lain. Menurut Quraish Shihab, istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) berarti pengusaan politik dan religius. Istilah inji digunakan nabi-nabi dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan manusia bisa digunakan khala’if yang didalamnya mengandung makna yang lebih luas, yaitu bukan hanya sebagai penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dengan kedudukan manusia di alam ini, nampaknya istilah khala cocok digunakan dibanding kata khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagi khalifah di muka bumi. Dan sebagi seorang khalifah manusia berfungsi mengantikan orang lain dan menempati tempat
Modul Filsafat Pendidikan Islam
34
serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan kedudkan orang lain dalam aspek kepemimpinan atau kekuasaan. Dan Quraisy Shihab pun menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian: a. Orang yang di beri kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. b. Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan. d. Manusia dan Proses Pendidikan Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi), tidak jauh berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga, adalah mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan tangan (hand) selanjutnya populer dengan istilah 3 H’s. Berangkat dari arti pentingnya pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara historis dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa. Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah hajat hidup bagi setiap manusia. Karena kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang lahir di dunia ini dalam keadaan pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga tidaklah sekali jadi.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
35
Ada
proses
penciptaan
(khalq),
proses
penyempurnaan
(taswiyyah), dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di berikannya petunjuk (hidayah). Dengan demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan
yang
tearah,
teratur
serta
berkesinambungan
yang
semuanya merupakan proses dalam rangka penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl. e. Manusia Menurut Filsafat Pendidikan Islam Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind). Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berjalan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan Filsafat Pendidkan Islam,
Modul Filsafat Pendidikan Islam
36
manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai). 3. Ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam a. Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Islam Menurut Quraish Shihab, kata ilmu dalam berbagai bentuk terdapat 854 kali dalam al-Qur'an. Kata ini digunakan dalam makna proses pencapaian tujuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan. Jadi ilmu pengetahuan adalah pengetahaun yang jelas tentang sesuatu. Di dalam Islam, ilmu pengetahuan bukan hanya diperoleh dengan perantaraan akal dan indera yang bersifat empiris saja, tetapi juga ada pengetahuan yang bersifat immateri, yaitu ilmu pengetahuan yang berasal dari Allah sebagai khaliq (pencipta) pengetahuan tersebut. Al-Qur'an sangat memerintahkan manusia untuk menuntut ilmu, seperti perintah al-Qur'an menggunakan akalnya untuk berpikir dan merenungkan semua ciptaan Allah dan segala peristiwa sejarah yang telah terjadi di muka bumi. Dengan demikian, ilmu dan iman dalam Islam bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. b. Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Allah berfirman dalam al- Mujadalah ayat
11: “Allah
meninggikan derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dalam hal ini, keimanan dalam Islam akan menjadi pendorong untuk menuntut ilmu, dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan memperkokoh keimanan seseorang. Dengan demikian, Islam untuk tidak pernah berhenti memotivasi umatnya menuntut ilmu. c. Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Modul Filsafat Pendidikan Islam
37
Dalam filsafat ilmu cara mendapatkan ilmu dinamakan epistemologi. Dalam epistemologi Islam, pengetahuan diperoleh melalui tiga cara yaitu bayani, irfani dan burhani.
1) Epistemologi Bayani Bayani
adalah
metode
pemikiran
khas
Arab
yang
menekankan otoritas teks Arab (nass), secara langsung ataupun tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensial (dalil-dalil). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan dan mengaplikasikannya langsung tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan yang mentah, sehingga memerlukan tafsir dan penalaran lebih mendalam. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal dan nalar dapat bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap bersandar pada teks.
Epistemologi bayani menaruh
perhatian besar pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi, sampai kepada wilayah tafsir, fiqh, ushul fiqh, dan lain-lain. 2) Epistemologi ‘Irfani Dalam menerjemahkan kata ‘irfan, ada dua makna kata yang bisa dirujuk. Pertama, kata gnosis yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Kedua, gnostik yakni pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada “gnostisime”. ‘Irfani jika dibandingkan dengan bayani, maka bayani mendasarkan pengetahuannya kepada teks, sedangkan ‘irfani mendasarkan pengetahuannya kepada kasf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia ketuhanan. Oleh karena itu, ‘irfan tidak diperoleh berdasarkan analisis terhadap teks, akan tetapi dari hati nurani yang suci,
sehingga
Tuhan
menyingkapkan
sebuah
pengetahuan
(ladunni).
Modul Filsafat Pendidikan Islam
38
‘Irfani dilakukan dengan menggunakan qiyas ‘irfani, yaitu analogi makna batin yang diungkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks.
3) Epistemologi Burhani Burhani, dalam bahasa Arab, berasal dari kata ‘al-burhan’ yang berarti argumen yang jelas (al-hujjah al-bayyinah). Dalam logika
(mantiq),
burhani
merupakan
aktivitas
berfikir
untuk
menetapkan kebenaran melalui metode penyimpulan, dengan menghubungkan suatu premis terhadap premis lain yang telah terbukti kebenarannya. Secara umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis. Burhani adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiyas al-jami`’ yang tersusun dari beberapa proposisi.
Burhani
menekankan
tiga
syarat,
yaitu:
pertama,
mengetahui terma perantara (ma'rifah al-hadd al-awsat); kedua, keserasian hubungan relasional antara terma perantara dan kesimpulan (tartib al-‘alaqah bayn al-‘illah wa al-ma’lul); ketiga, natijah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain. Kias ketiga ini yang inheren dengan epistemologi burhani. Dalam memandang proses keilmuan, kaum burhani merujuk dari cara pikir filsafat yakni memahami hakikat sebenarnya adalah universal. Hal ini menempatkan “makna” dari realitas pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” bersifat partikular sebagai penegasan atau ekspresi saja. Oleh karena itu, ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhani bermula dari proses abstraksi yang bersifat rasional terhadap realitas sehingga muncul makna, sedangkan makna agar bisa dipahami dan dimengerti, diaktualisasi lewat kata-kata (bahasa).
Modul Filsafat Pendidikan Islam
39
Jadi secara struktural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga hal, pertama, proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap realitas. Kedua, proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas dalam pikiran. Ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata. Berkaitan dengan cara ketiga, pembahasan tentang silogisme demonstratif atau kias burhani menjadi sangat signifikan. Silogisme yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi qiyas jami’ terdiri dari dua proposisi (qadiyah) yang kemudian disebut premis, kemudian dirumuskan hubungannya dengan bantuan term tengah untuk mendapatkan konklusi yang meyakinkan. Metode ini populer di kalangan filsuf peripatetik. Sementara Ibn Rusyd mendefinisikan burhani (demonstrasi) dengan suatu argumen yang konsisten, tidak diragukan lagi kebenarannya, diperoleh dari premis yang pasti sehingga kesimpulan yang akan diperoleh juga pasti, dan argumen ini diliputi oleh fakta rasional. Jadi silogisme demonstratif atau kias burhani yang dimaksud adalah silogisme yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, meyakinkan, sesuai dengan realitas dan diterima oleh akal. Aplikasi dari pembentukan silogisme ini harus melewati tiga tahap, yaitu: tahap pengertian (ma’qulat), tahap pernyataan (‘ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat). Tahapan pengertian (ma’qulat), merupakan proses awal dalam pikiran dan di sinilah terjadi pengabstraksian realitas dari hasil pengalaman, pengindraan, dan penalaran untuk mendapatkan suatu gambaran. Pengertian ini merujuk kepada sepuluh kategori yaitu: substansi, kuantitas, kualitas, aksi, pasivitas, relasi, tempat, waktu, sikap dan keadaan. Tahapan pernyataan (‘ibarat) adalah tahap mengekspresikan pengertian dalam kalimat yang disebut dengan proposisi. Dalam proposisi ini harus memuat unsur subyek (maudu’) dan predikat (muhmal) serta relasi antara keduanya, yang mempunyai pengertian
Modul Filsafat Pendidikan Islam
40
dan mengandung kebenaran yaitu adanya kesesuaian dengan realitas
dan
memperoleh
tiada
keragu-raguan
sebuah
pengertian
dan
persangkaan.
Untuk
yang
meyakinkan
harus
mempertimbangan al-alfaz al-khamsah (lima konsep universal); pertama, jenis (genus) yakni sebuah klasifikasi yang dapat dibagi ke dalam klas-klas lain yang disebut spesies. Kedua, nau’ (spesies) yaitu konsep universal yang mengandung satu pengertian tetapi memiliki hakikat yang berbeda. Ketiga, fasl (differentia) yaitu sifat yang
membedakan
secara
mutlak.
Keempat,
kekhususan
(propirum), pada suatu benda tetapi hilangnya sifat ini tidak akan menghilangkan eksistensinya. Kelima, ‘ard (aksidensi) atau sifat khusus yang tidak bisa diterapkan pada semua benda. Tahapan penalaran (tahlilat), ini dilakukan dengan perangkat silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua proposisi yang kemudian disebut premis mayor (al-hadd al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd al-asghar) untuk premis yang kedua, yang kedua-duanya saling berhubungan dan darinya ditarik kesimpulan logis. Menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri, dalam burhani pasti terdapat silogisme, tetapi belum tentu dalam silogisme itu ada burhani. Silogisme yang burhani (silogisme demonstratif atau kias burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sophis. Silogisme (al-qiyas) dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui sebab yang menjadi alasan dalam penyusunan premis; kedua, adanya hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan yang dihasilkan harus bersifat pasti, sehingga tidak ada kesimpulan lain selain itu. Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait dengan silogisme (alqiyas). Sedangkan syarat ketiga merupakan karakteristik silogisme burhani, karena kesimpulan bersifat pasti dan tidak menimbulkan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
41
kebenaran lain. Hal ini dapat terjadi, jika premis-premis tersebut benar dan kebenarannya telah terbukti lebih dulu sebelum kesimpulannya. Kebenaran yang dihasilkan oleh pola pikir burhani adalah kebenaran koherensi atau konsistensi, sebab burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya. Oleh karena itu, kebenaran burhani ditegakkan atas dasar hubungan antara keputusan baru dengan keputusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya serta kepastiannya sehingga kebenaran identik, konsisten, dan saling berhubungan secara sistematis. 4. Masyarakat dalam perspektif filsafat pendidikan Islam Masyarakat dalam himpunan individu dan kumpulan keluarga yang bertempat tinggal pada suatu wilayah tertentu, hidup bersama dengan landasan peraturan yang berlaku dalam lingkungannya. Masyarakat adalah dinamika dari berbagai cara pandang dan variasi perilaku individu sebagai creator kehidupan social yang potensial dalam melakukan tindakn sesuai dengan hasratnya masingmasing Jika konsep masyarakat dan budaya berlaku, otomatis potensi individual terjebak dalam sistem normatif yang dapat menghentikan proses dinamis dari berbagai potensi individual. Oleh karena itu, masyarakat adalah sebagai institusi social yang mewadahi berbagai tindakkan individu, mempersamakan persepsi tentang tujuan berkelompok dan melakukan tugas serta fungsi social sesuai dengan kesepakatan yang terjadi lingkungan soaialnya masingmasing. Adapun dalam kehidupan masyarakat selalu terdapat proses kebudayaan yang interaktif, yaitu; a. Proses saling belajar dalam berbudaya melalui interaksi dalam masyarakat yang terorganisasi atau masyarakat yang kompleks b. Proses saling berbagi budaya diantara anggota organisasi
Modul Filsafat Pendidikan Islam
42
c. Proses saling mewariskan budaya dari generasi ke genarasi atau lintas generasi d. Proses simbolisasi perilaku yang dipandang representative bagi integrasi kultural organisatoris e. Proses pembentukkan dan pengintegrasian perilaku sosial f. Proses adaptasi dari semua perilaku masyrakat institusional, yang memperkuat heterogenitas perilaku, sebaliknya memperlemah dinamika persepsi dan tindakkan. Dalam persfektif filsafat pendidikan Islam, proses saling belajar yang dapat berlaku di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat merupakan perjalanan kebudayaan manusia dalam mencerdaskan dirinya, meningkatkan kesadarannya sebagai makhluk yang berbudi luhur, makhluk yang belajar memahami keinginan manusia yang beragam. Masyarakat adalah cermin bagi kehidupan manusia, secara filosofis belajar yang paling sempurna adalah belajar dari kehidupan masyarakat, sebagaimana Rasullullah SAW. menyarankan untuk belajar dari kehidupan pasar karena di pasar ada kejujuran, kebohongan,
kegembiraan,
kepedihan,
dsb.
Belajarlah
pada
kejujuran karena dengan itu modal masuk surga. Tujuan utama dalam pendidikan Islam, yang diperoleh anak didik di bangku sekolah adalah agar dapat dimanfaatkan untuk kehidupan
masyarakat.
Belajar
ilmu
pengetahuan
bertujuan
membentuk akhlak yang mulia sehingga dengan akhlak yang mulia akan terbangun masyarakat yang berakhlak mulia karena kemuliaaan masyarakat
berawal
dari
kemuliaan
akhlak
individu
yang
membangunnya. Hal tersebut menggambarkan bahwa konsep masyarakat dalam islam berawal dari 4 kondisi sosial yang menjadi faktor pendukungnya, yaitu: a. Adanya hukum asal bahwa manusia adalah umat yang satu
Modul Filsafat Pendidikan Islam
43
b. Telah terjadi perpecahan karena adanya perbedaan kepentingan individual dan kelempok c. Muncul tokoh manusia atau rosul yang membawa risalah dengan sumber ajaran yang berasal sesuatu yang diyakini (Tuhan) yang bermaksud mendamaikan manusia. d. Kunci dari perdamaian manusia adalah interaksi atau silaturrahim sebagai puncak keasatuan dalam keragaman, karena adanya keragaman maka kehidupan manusia menjadi fungsional. Pola interaksi yang dibentuk secara institusional, pertama kali dipusatkan
pada
suatu
bangunan
yang
menjadi
tempat
berkomunikasinya manusia muslim dengan Allah. Oleh karena itulah, Rasullullah SAW dalam perjuangan dakwahnya pertama-tama membengun mesjid, yakni mesjid nabawi. Mesjid adalah lembaga yang membangun interaksi timbale balik dengan kekuatan social dan kekuatan emisional keberagaman manusia. Bentuk dan lingkungan sosial umat islam ditentukan oleh aktifitas keagamaannya sedangkan aktifitas tersebut bergantung pada dinamika masyarakat dalam memakmurkan mesjid sebagai pusat budaya muslim. Sejak Zaman nabi Muhammad SAW. sampai sekarang, mesjid adalah lembaga yang bukan hanya dijadikan tempat ritual, tetapi sebagai tempat bermusyawarah, menimba ilmu, menyamakan persepsi tentang kehidupan dunia dan akhirat, serta tempat yang sangat tepat untukpusat informasi dan komunikasi bermasyarakat. Dengan pandangan diatas, kedudukan masyarakat dalam filsafat pendidikan Islam dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Masyarakat adalah sebagai guru bagi semua manusia yang memiliki kemauan mengambil pelajaran dari setiap yang terjadi di dalamnya. b. Masyarakat adalah sebagai subjek yang menilai keberhasilan pendidikan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
44
c. Masyarakat adalah tujuan bagi semua anak didik yang telah belajar di berbagai lingkungan. d. Masyarakat adalah ujian paling sulit bagi aplikasi hasil-hasil pendidikan. e. Masyarakat adalah cermin keberhasilan atau kegagalan dunia pendidikan. f. Masyarakat adalah etika dan estetika pendidikan karena normanorma individu berproses menjadi norma sosialdan norma social yang disepakati dalam masyarakat merupakan puncak estetika kehidupan.Tanpa
ada
norma
sosial
yang
disepakati,
sesungguhnya kehidupan tidak indah D. Soal 1. Bagaimana kedudukan alam semesta dalam persepektif filsafat pendidikan Islam ? 2. Bagaimana manusia dalam perspektif filsafat pendidikan Islam? 3. bagaimana
ilmu
pengetahuan
dalam
perspektif
filsafat
pendiidikan Islam? 4. Bagaimana masyarakat dalam filsafat pendidikan Islam ?
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1997. Musa Asy’ari, Filsafat Islam, Yogyakarta : LESFI, 2010. Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1983. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Modul Filsafat Pendidikan Islam
45
H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. A. Tafsir, dkk, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Editor: Tedi Priatna, M. Ag, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004.
BAB V HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.4 Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik untuk perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah yang lebih baik. Sedangkan hakikat tujuan pendidikan islam itu sendiri adalah untuk membentuk insan yang memiliki dimensi religius, berbudaya dan berkemampuan ilmiah, dalam istilah lain disebut “insan kamil”. A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa mampu memahami pengertian pendidikan Islam 2. Mahasiswa mampu memahami tugas dan fungsi pendidikan Islam 3. Mahasiswa mampu memahami dasar dan tujan pendidikan Islam B. Tujuan Pembelajaran Khusus 4
H.Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), 83. Modul Filsafat Pendidikan Islam
46
1. Mahasiswa dapat mendeskripsikan
pengertian pendidikan
Islam 2. Mahasiswa dapat membedakan dan memapaparkan tugas dan fungsi pendidikan Islam 3. Mahasiswa dapat menjelaskan dasar dan tujuan pendidikan Islam C. Uraian Materi 1. Pengertian pendidikan Islam Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang popular digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah al-tarbiyah. Sedangkan al-ta’dib dan alta’lim jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam. Istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Proses
pendidikan
Islam
adalah
bersumber
pada
pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaanNya, termasuk manusia. Pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: a. Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh). b. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. c. Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. d. Melaksanakan pendidikan secara bertahap. Istilah al-ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal di banding dengan al-tarbiyah maupun al-ta’dib.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
47
Misalnya mengartikan al-ta’lim sebagai proses transmisi brbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Istilah al-ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan
akan
berfungsi
sebagai
pembimbing
kearah
pengenalan dan pengakuan kepada Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiaannya. Pada kata al-tarbiyah yang memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kaih saying tidak hanya digunakan untuk manusia,
akan tetapi
juga
digunakan
untuk
melatih
dan
memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah: a. Mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. b. Mendefinisikan
pendidikan
Islam
sebagai
upaya
mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. c. Mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).
Modul Filsafat Pendidikan Islam
48
d. Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
2. Tugas dan fungsi pendidikan Islam a. Tugas Pendidikan Islam Tugas pendidkan islam bersifat continue dan tanpa batas. Pendidikan islam merupakan proses tanpa akhir, sehingga pendidikan islam merupakan pendidikan yang terus menerus yang dikenal dengan istilah “min al-mahdi ila al-lahd” atau dalam istilah lain “life long education” pendidikan sepanjang hayat. Tugas pendidikan Islam pada hakikatnya bertumpu pada dua aspek: 1) Pendidikan tauhid Pendidikan
tauhid
dilakukan
dengan
pemberian
pemahaman terhadap dua kaliamat syahadat; pemahaman terhadap jenis-jenis tauhid (rububiyah, uluhiyah, asma dan sifat); ketundukan, kepatuhan dan keikhlasan menjalankan islam; dan menghindarkan dari segala bentuk kemusyrikan. 2) Pendidikan pengembangan tabiat peserta didik Adalah mengembangkan tabiat peserta didik agar mampu memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu beribadah kepada Allah SWT dan menyediakan bekal untuk beribadah seperti makan dan minum. Manusia yang sempurna adalah mereka yang senantiasa beribadah, baik diniyyah maupun beribadah qauniyah.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
49
Untuk menelaah tugas-tugas pendidikan agama islam, dapat dilihat dari tiga pendekatan. Hal ini dapat dijelaskan dibawah ini. 1. Pendidikan Sebagai Pengembangan Potensi Tugas pendidikan islam ini merupakan realisasi dari pengertain
tarbiyah
“al-insya”
yaitu
menumbuhkan
atau
mengaktualisasikan potensi. Asumi tugas ini adalah bahwa manusia mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan sedangkan
pendidikan
merupakan
proses
untuk
menumbuhkembangkan potensi-potensi itu. Abdul Mujid menyebutkan tujuh macam potensi bawaan manusia, yaitu : a. Al-Fitrah (citra asli) Fitrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk dimana aktualisasinya tergantung pilihannya. Fitrah adalah citra asli yang dinamis, yang terdapat pada sistem-sistem psikopisik manusia, dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Seluruh manusia memiliki fitrah yang sama, meskipun perilakunya berbeda. Fitrah manusia yang paling esensial adalah penerimaan terhadap amanah untuk menjadi khalifah dan Hamba Allah di muka bumi. Jenis fitrah memiliki banyak dimensi, diantaranya: 1) Fitrah agama Sejak di alam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya. Oleh katena itu sejak lahir manusia sudah mempunyai naluri atau insting beragama. 2) Fitrah intelek Dengan
adanya
fitrah
intelek
ini
manusia
dapat
memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Karena fitrah ini lah pembeda jelas antara manusia dengan hewan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
50
3) Fitrah sosial Manusia cenderung hidup berkelompok yang di dalamnya terbentuk suatu ciri-ciri khas yang disebut dengan kebudayaan. Tugas pendidikan disini adalah menjadikan kebudayaan khususnya islam sebagai proses kurikulum pendidikan islam dalam seluruh peringkat dan tahapannya.
4) Fitrah susila Adalah suatu kemampuan manusia mempertahankan diri dari sifat-sifat amoral, sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya. Manusia yang menyalahi fitrah susilanya akan berakibat manusia menjadi hina. 5) Fitrah ekonomi Suatu
kemampuan
mempertahankan
yang
hidupnya
dimiliki
dengan
manusia upaya
untuk
memenuhi
kebutuhan jasmaniahnya, semi kelangsungan hidupnya. Fungsi utama fitrah ini adalah untuk memanfaatkan kekayaan alam untuk merealisasikan tugas-tugas kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. bukan untuk kepentingan pribadi sehingga menjadikan manusia diperbudak materi. 6) Fitrah seni Adalah suatu kemampuan yang dimili oleh manusia yang dapat menimbulkan daya estetika. Dalam proses belajar mengajar semestinya memberikan suasana gembira, karena pendidikan merupakan proses kesenian, oleh karena itu dibutuhkan seni mendidik. 7) Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, kawin, cinta tanah air, dan kebutuhan hidup lainnya.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
51
Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, baik pendidikan formal, informal atau nonformal. b. Struktur manusia Struktur manusia terdiri atas jasmani, rohani dan nafsani. Struktur nafsani terbagi atas tiga macam, yaitu kalbu, akal, dan hawa nafsu.
c. Al-Hayah (vitality) Hayah adalah daya, tenaga, energi atau vitalitas hidup manusia yang karenanya manusia dapat bertahan hidup. Alhayah disebut juga sebagai nyawa manusia. d. Al-Khuluq Akhlak adalah kondisi batiniyah individu yang mencakup althab’u dan al-sajiyah. Khuluq dapat disamakan dengan karakter masing-masing individu memerlukan keunikan tersendiri. Dalam terminologi psikologi, karakter adalah watak atau sifat dasar yang tetap terus-menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri mengidentifikasi kepribadian seseorang. e. Al-Tab’u (tabiat) Tabiat adalah citra batin individu yang menetap. Citra ini terdapat pada konstitusi individu yang diciptakan oleh Allah SWT sejak lahir. Al thab’u sama dengan tempramen yang tidak dapat diubah, namun didalam Al-Qur’an, tabiat manusia mengarah pada perilaku baik atau buruk. f. Al-Sajiyah (Bakat) Sajiyah adalah kebiasaan individu yang berasal dari hasil integrasi antara karakter individu dengan aktivitas-aktivitas yang
diusahakan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
Dalam
terminologi
psikologi,
sajiyah
52
diterjemahkan dengan bakat yaitu kapasitas, kemampuan yang bersifat potensial. g. Al-Sifat (sifat-sifat) Sifat yaitu satu ciri khas individu yang relatif menetap, secara terus menerus dan konsekuen yang diungkapkan dalam satu deretan keadaan. Sifat-sifat totalitas dalam diri individu dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu deferesiansi, regulasi, dan integrasi. Deferensiasi adalah perbedaan mengenai tugastugas dan pekerjaan dari masing-masing bagian tubuh. Misalnya fungsi jasmani dan rohani (kejiwaan) manusia. Regulasi adalah dorongan untuk mengadakan perbaikan sesudah terjadi gangguan didalam organism manusia. Integrasi adalah proses yang membuat keseluruhan jasmani dan rohani manusia yang menjadi satu kesatuan harmonis, karena terjadi satu sistem pengaturan yang rapi. h. Al-‘Amal (perilaku) Amal yaitu tingkah laku individu, yang tergambar dalam bentuk perbuatan nyata. Pada tingkat amal ini kepribadian individu dapat diketahui, sekalipun kepribadian yang dimaksud mencakup lahir dan batin. 2. Pendidikan Sebagai Pewarisan Budaya Tugas pendidikan Islam adalah mewariskan nilai-nilai budaya islami. Kebudayaan islam akan mati bila nilai-nilai dan norma-normanya tidak berfungsi dan belum sempat diwarikan pada generasi berikutnya. Dalam pendidikan islam, sumber nilai kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: a. Nilai Ilahiyah : yaitu nilai imam dan takwa. Nilai ini tidak mengalami perubahan, karena mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat, tidak berubah karena mengikuti hawa nafsu.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
53
Pelaku pendidikan memiliki tugas untuk menginterpretasikan nilai-nilai itu, agar nilai-nilai itu dapat diaplikasikan dalam kehidupan. b. Nilai Insaniyah : nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai ini bersifat dinamis, yang keberlakuannya relatif dibatasi oleh ruang dan waktu. Nilai insani kemudian melembaga menjadi tradisi yang diwariskan secara turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Pelaku pendidikan memiliki tugas tidak saja menginterpretasikan nilainilai itu, tetapi juga bagaimana mengontrol nilai-nilai itu untuk mendekati pada nilai idealnya, sehingga terjadi keselarasan dan keharmonisan batin dalam menjalankan nilai itu. Tugas
pendidik
adalah bagaimana pendidik mampu
melestarikan dan mentranformasikan nilai ilahiyah yang intrinsik (qath’i) harus diterima sebagi suatu kebenaran mutlak, sementara nilai ilahiyah yang instrumental dapat dikembangkan sesuai denga kondisi zaman, tempat dan keadaan. Sedangkan untuk nilai insaniyah, tugas pendidik senantiasa melakukan inovasi dan menumbuhkan kreativitas diri agar nilai itu berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat. 3. Pendidikan sebagai Interaksi Pengembangan Potensi dan Pewarisan Budaya Manusia secara potensial mempunyai dasar yang harus diaktualkan dan dilengkapi dengan peradaban dan kebudayaan islam. Aplikasi peradaban dan kebudayaan harus relevan dengan kebutuhan pengembangan potensi dasar manusia. Interaksi antara potensi dan budaya itu harus mendapatkan tempat dalam proses pendidikan, dan jangan sampai ada salah satunya yang diabaikan. Tanpa interaksi tersebut harmonisasi kehidupan akan terhambat.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
54
Secara garis besar tugas pokok pendidikan islam adalah membantu pembinaan peserta didik pada ketakwaan dan berakhlak
karimah
yang
dijabarkan
dalam
pembinaan
kompetensi enam aspek keimanan, lima aspek keislaman, dan multi aspek keihsanan. Selain itu, tugas pendidikan juga mempertinggi kecerdasan dan kemampuan dalam memajukan ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
beserta
manfaat
dan
aplikasinya dan dapat meningkatkan budaya dan lingkungan, dan pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan sesame manusia serta sesama makhluk lain. Tugas itu dapat menumbuhkan kreatifitas
peserta
didik,
melestarikan
nilai-nilai,
serta
membekali kemampuan produktivitas pada peserta didik. b. Fungsi pendidikan Islam Fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memudahkan tugas-tugas pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional/operasional. Secara structural, pendidikan Islam menuntut adanya struktur organisasi yang mengatur jalannya proses pendidikan, baik pada dimensi vertical maupun horizontal. Sementara secara institusional, ia mengandung implikasi bahwa proses pendidikan
yang
berjalan
hendaknya
dapat
memenuhi
kebutuhan dan mengikuti perkembangan zaman yang terus berkembang. Untuk itu, diperlukan kerjasama berbagai jalur dan jenis pendidikan, mulai dari sistem pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu:
Modul Filsafat Pendidikan Islam
55
1) Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan social, serta ide-ide masyarakat dan nasional. 2) Alat
untuk
mengadakan
perubahan,
inovasi
dan
perkembangan. Upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skiil yang dimiliki, serta melatih tenagatenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan social dan ekonomi yang demikian dinamis.
3. Dasar dan tujuan pendidikan Islam a. Dasar Pendidikkan Islam Yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah pandangan hidup yang mendasari seluruh aktifitas pendidikan. Karena dasar menyangkut masalah ideal dan fundamental, maka diperlukan landasan dan pandangan hidup yang kokoh dan komprehensif, serta tidak berubah. Hal ini karenatelah diyakini kebenarannya yang telah teruji oleh sejarah. Kalau nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang dijadikakn dasar pendidikanitu bersifat relatif da temporal, maka pendidikan akan mudah terombanh ambing oleh kepentingan dan tuntutan sesaat yang bersifat teknis dan pragmatis. Sebagai
aktifitas
yang
bergerak
dalam
proses
pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan daar ini akan memberi arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini,dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hhendaknya meruoakan sumber
nilai
kebenaran
dan
kekuatan
yang
dapat
mengantarkan peserta didik kearah pencapaian pendidikan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
56
Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (hadis). Terdapat dalam Al-Qur’an, surat Asy-Syura ayat 52, yang artinya: “Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan AlQur’an Itu cahaya yang kami beri petunjuk dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang benar.” Hadis nabi Muhammad SAW yang artinya: “Sesungguhny a orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikiranya, serta menasehati pula akan dirinya sendiri, menaruh perhatian serta mengamalkan ajran-Nya selam hayatnya, maka beruntung dan memoleh kemenangan ia.” ( Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin hal 90). Dari ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi diatas dapat diambil titik relevansinya dengan atau sebagai dasar pendidikan agama, mengingat : 1) Bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan kearah jalan yang diridhai Allah SWT. 2) Menuru hadis Nabi bahwa diantara sifat orang mu’min ialah saling menasehati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan islam. 3) Al-Qur’an dan Hadis tersebut menerangkan bahwa Nabi adalah benar-benar memberi petunjuk kejalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memebrikan bimbingan, penyuluhan dan pendidikan islam. Moh. Athiyah al-Abrasyi dalam bukunya “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam” menegaskan bahwa pendidikan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
57
agama
adalah
mendidik
akhlak
dan
jiwa
mereka,
menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur. Menetapkan Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar pendidikan
Islam
bukan
hanya
dipandang
sebagai
kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran terdapat dalam dua dasar tersebut dapat diterima oleh akal manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Sebaga pedoman, al-Qur’an tida ada keraguan padanya (Q.S. AlBaqarah/2:2).
Ia
tetap
terpelihara
kesuciannya
dan
kebenarannya (Q.S.s ArRa’d/15:9), baik dalam pembinaan aspek kehidupan spiritual maupun aspek sosial budaya dan pendidikan. Demikian pula kebenaran hadis ssebaga dasar kedua bagi pendidikan Islam. Kepribadian Rasul (Q.S. AlAhzab/33:21).
Oleh
karena
itu
prilakunya
senantiasa
terpelihara dan terkontrol ole Alllah SWT (Q.S. AnNajm/53:3-4). Dalam pendidikan Islam, Sunnah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu: (1) Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan menjelaskan hal-halyang tidak
terdapat didalamnya, (2)
Menyimpulkan metode
pendidikan dari kehidupan Rasululllah bersama sahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukannya. Secara lebih luas, dasar pendidikan Islam menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana dikutip Langgulung terdiri atas enam macam, yaitu; al-Quran , Sunnah, qaul shahabat, maalih al-mursalah, ‘urf dan pemikiran hasil dari ijtihad
Modul Filsafat Pendidikan Islam
58
intelektual muslim. Seluruh rangkaian dasar tersebut secara secara
hierarki
menjadi
acuan
pelaksanaan
sistem
pendidikan Islam. 2) Tujuan Pendidikan Islam Jika kita berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak islami. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adala tujuan yang merealisasi idealitas islami. Sedang idealitas islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai prilaku manusia yang didasari atau dijiwa oleh iman dan takwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Tujuan dan tugas manusia dimuka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. 2. Sifat-sifat dasar manusia. 3. Tuntutan
masyarakat
dan
dinamika
peradaban
kemanusiaan. 4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini setidaknya ada 3 macam dimensi ideal Islam, yaitu ;(a) mengandung
nilai
kesejahteraan
hidup
yang
berupaya
manusia
meningkatkan
dimuka
bumi.
(b)
mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan yang baik. (c) mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat. Berdasarkan batasan diatas, para ahli pendidikan (muslim) mencoba merumuskan tujuan pendidikan Islam. Diantaranya
al-Syaibany,
Modul Filsafat Pendidikan Islam
mengemukakan
bahwa
tujuan
59
tertinggi pendidikan Islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat. Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan dan akalnya secara dinamis, sehhingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksaan fungsinya sebagai khalifah didunia. Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan sesuai dengan syari’at Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya. Menurut
Muhammad
Fadhil
al-Jamaly,
tujuan
pendidikan Islam menurut al-Quran meliputi; (1) Menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan tanggungjawabnya dalam kehidupan ini. (2) Menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. (3) Menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta. (4) Menjelaskan hubungannya dengan Khaliq sebagai pencipta alam semesta. Tujuan pendidikan (al-Quran) Islam adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya
sebagai hamba dan khalifah-Nya
guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan Allah. Berdasarkan rumusan di atas dapat dipahami, bahwa pendidikan
Islam
merupakan
proses
membimbing
dan
membina fitrah pserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik ssebagai muslim
Modul Filsafat Pendidikan Islam
60
paripurna (insan kamil). Melalui sosok pribadi yang demikian, peserta didik diharapkan akan mampu memadukan fungsi iman, ilmu dan amal (Q.S. Al-Mujaadilah/58:11) secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik dunia maupun akhirat. D. Soal 1. Jelaskan yang dimaksud dengan pendidikan Islam? 2. Uraikan tugas dan fungsi pendidikan Islam? 3. Bagaimana dasar dan tujuan pendidikan Islam? DAFTAR PUSTAKA Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. H.Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009 Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1983. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988. H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
Modul Filsafat Pendidikan Islam
61
BAB VI PARADIGMA PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
Menurut perspektif pendidikan Islam, hakekat tujuan hidup seorang muslim adalah mengabdi kepada Allah. Pengabdian pada Allah sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkan dalam amal, tidak lain untuk mencapai derajat taqwa. Beriman dan beramal saleh merupakan dua aspek kepribadian yang dicita-citakan oleh pendidikan Islam. 5 Oleh karena itu, seorang pendidik harus memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan peserta didik ke arah tujuan tersebut, yaitu dengan menjadikan
sifat-sifat
Allah
sebagai
bagian
dari
karakteristik
kepribadiannya. Untuk itu, keberadaan pendidik dalam dunia pendidikan sangat
penting.
Hal
ini
disebabkan
kewajibannya
tidak
hanya
mentrasformasikan pengetahuan (knowledge), akan tetapi juga dituntut menginternalisasikan nilai-nilai (value) pada peserta didik. Bentuk nilai yang ditransformasikan dan disosialisasikan paling tidak meliputi hal berikut; nilai etis, nilai pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai religius. A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa mampu memahami kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam 5
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), 74. Modul Filsafat Pendidikan Islam
62
2. Mahasiswa mampu memahami hakikat peserta didik dalam pendidikan Islam B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa dapat menjelaskan kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam 2. Mahasiswa dapat menjelaskan hakikat peserta didik dalam pendidikan Islam.
C. Uraian Materi 1. Kedudukan Pendidik dalam pendidikan Islam a. Kedudukan pendidik Salah satu unsur penting dari proses kependidikan adalah pendidik. Di pundak pendidik terletak tanggungjawab yang amat besar dalam upaya mengantar peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang di cita-citakan. Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggungjawab untuk mendidik. Secara khusus, pendidik dalam perspektif
pendidikan
Islam
adalah
orang-orang
yang
bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam pendidikan Islam “pendidik” sering disebut dengan murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid. menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam Islam. Kelima istilah ini mempunyai tempat tersendiri dan mempunyai tugas masing-masing. Murabbi adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
63
memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Mu’allim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya kehidupan,
serta
menjelaskan
menjelaskan
dimensi
fungsinya
teoritis
sekaligus
dan
dalam
praktisnya,
melakukan transfer ilmu
pengetahuan,internalisasi serta implementasi. Mu’addib adalah
orang
yang
mampu
menyiapkan
peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. Mudarris adalah
orang
yang
memiliki
kepekaan
intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat , minat dan kemampuannya. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentrali dentifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya. Oleh karena itu, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam ialah orang yang bertanggungjawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiannya (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun ‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. b. Tugas pendidik menurut filsafat pendidikan Islam Tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Hal tersebut karena tujuan pendidikan islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jika pendidik belum mampu membiasakan diri dalam peribadatan pada peserta
Modul Filsafat Pendidikan Islam
64
didiknya, maka ia mengalami kegagalan, sekalipun peserta didiknya memiliki prestasi akademis yang luar biasa. Hal itu mengandung arti akan keterkaitan antara ilmu dan amal shaleh. Kadang kala seseorang terjebak pendidik,
misalnya
ada
sebagian
orang
dengan sebutan yang
mampu
memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) kepada orang lain sudah dikatakan sebagai pendidik. Sesungguhnya seorang pendidik bukanlah bertugas itu saja, tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas pengelolaan (manager of learning) pengarah (director of learning), fasilitator dan perencana (the planner of future society). Oleh karena itu fungsi dan tugas pendidik dalm pendidikan dapat disimpulkan menjadi 3 bagian, yaitu: 1) Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan. 2) Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakannya. 3) Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin, yang mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan. Dalam tugas itu, seorang pendidik dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan itu dapat berupa: (a) kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti memperhatikan: kesediaan, kemampuan, pertumbuhan, dan perbedaan peserta didik; (b) membangkitkan gairah peserta
Modul Filsafat Pendidikan Islam
65
didik; (c) menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik; (d)
mengatur
proses
memperhatikan
belajar
mengajar
perubahan-perubahan
yang
baik;
kecenderungan
(e) yang
mempengaruhi proses mengajar; dan (f) adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar. Muhaimin secara utuh mengemukakan tugas-tugas pendidik dalam pendidikan islam. Dalam rumusannya, Muhaimin menggunakan
istilah
ustadz,
mu’allim,
murabbi’,
mursyid,
mudarris dan muaddib. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel sebagai berikut: NO.
PENDIDIK
KARAKTERISTIK DAN TUGAS
1
Ustadz
2
Mua’llim
3
Murabbi’
4
Mursyid
5
Mudarris
Orang yang berkomitmen dengan profesionalitas yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja serta sikap continous improvement. Orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan prakteknya sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta implementasi. Orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tdak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya. Orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya. Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih ketrampilan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
66
c. Karakteristik pendidik Dalam
pendidikan
hendaknya
memiliki
Islam,
seorang
karakteristik
pendidik
yang
dapat
membedakannya dari yang lain. Dengan karakteristiknya, menjadi ciri dan sifat yang akan menyatu dalam seluruh totalitas kepribadiannya. Totalitas tersebut kemudian akan teraktualisasi melalui seluruh perkataan dan perbuatannya. Dalam hal ini batasan karakteristik seorang pendidik antara lain: 1) Hendaknya memiliki sifat zuhud, yaitu melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi, akan tetapi lebih dari itu adalah karena mencari keridhaan Allah. 2) Hendaknya bersif fisiknya dari segala macam kotoran dan bersih jiwanya dari segala macam tercela 3) Hendaknya ikhlas dan tidak ria dalam melaksanakan tugasnya 4) Bersikap pemaaf dan memaafkan kesalahan orang lain (terutama
terhadap
peserta
didiknya),
sabar
dan
sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga kehormatannya. 5) Mampu mencintai peserta didiknya sebgaimana Ia mencintai anaknya sendiri, 6) Mengetahui karakter peserta didiknya 7) Menguasai pelajaran yang diajarkannya dengan baik dan professional. 2. Hakikat peserta didik dalam pendidikan Islam a. Makna peserta didik Di antara komponen terpenting dalam pendidikan Islam adalah peserta didik. Dalam perspektif pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya, aktivitas kependidikan tidak terlaksana tanpa keterlibatan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
67
peserta didik didalamnya. Pengertian yang utuh tentang konsep peserta didik merupakan dalah satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh seluruh pihak, terutama pendidik yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Tanpa pemahaman yang utuh dan komprehensif terhadap peserta didik, maka akan sulit bagi pendidik untuk dpat menghantarkan peserta didiknya kea rah tujuan pendidikan yang diinginkan. Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potendi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani
maupun
rohani
yang
belum
mencapai
taraf
kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaninya, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan. Melalui paradigma di atas menjelaskan bahwa peserta didik
merupakan
subjek
dan
objek
pendidikan
yang
memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Potensi suatu kemampuan dasar yang dimilikinya tidk akan tumbuh dan berkembang
secara
optimal
tanpa
bimbingan
pendidik.
Karenanya pemahaman yang lebih konkret tentang peserta didik sangat perlu diketahuai oleh setiap pendidik. Berikut ini beberapa
deskripsi
tentang
hakikat
peserta
didik
dan
implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu: 1) Peserta
didik
deferensiasi
adalah preodesasi
manusia
yang
perkembangan
memiliki dan
pertumbuhan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
68
2) Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi. 3) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (differensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan dimana ia berada. 4) Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sedangkan unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. 5) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. b. Tugas dan kewajiban peserta didik Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkannya, maka setiap peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tugas dan kewajiban. Berikut ini beberapa tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi peserta didik adalah: 1) Peserta didik hendaknya senatiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu 2) Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan. 3) Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu diberbagai tempat. 4) Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya 5) Peserta didik hendaknya belajar secara sungguhsungguh dan tabah dalam belajar.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
69
6) Peserta didik wajib saling mengasihi dan menyanyangi di antara sesamanya, sebagai wujud untuk memperkuat rasa persaudaraan 7) Menghargai ilmu dan bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir hayat. c. Sifat-sifat ideal peserta didik Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri dan kepribadiaannya. Berikut ini beberapa sifat-sifat ideal yang harus dimiliki oleh peserta didik, yaitu: 1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarub ila Allah. 2) Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibandingkan ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (duniaakhirat) sebagai alat integral untuk melaksanakan amanat-Nya baik secara vertical dan horizontal. 3) Bersikap tawadhu, (rendah hati) 4) Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan. 5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun ilmu agama. 6) Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai
pelajaran yang mudah (konkrit) menuju
pelajaran yang sulit (abstrak) 7) Mempelajari ilmu sampai tuntas 8) Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari 9) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi. 10) Mengenal
nilai-nilai
pragmatis
bagi
suatu
ilmu
pengetahuan yaitu ilmu pengetahuan yang dapat
Modul Filsafat Pendidikan Islam
70
bermanfaat, membahagiakan dan mensejahterakan, serta memberi keselamatan diri maupun manusia hidup di dunia dan di akhirat. D. Soal 1. Deskripsikan kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam? 2. Bagaimana hakikat peserta didik dalam pandangan pendidikan Islam?
DAFTAR PUSTAKA Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009 Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1983. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Beni Ahmad Saebani, dan Hedra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung: Pustaka Setia, 2009. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam Bandung : Remaja Rosdakarya, 1992
Modul Filsafat Pendidikan Islam
71
BAB VII ETIKA KEILMUAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Etika dalam kajian filsafat merupakan bagian dari aksiologi karena etika berbicara tentang tujuan yang hendak dicapai dalam segala sesuatu. Jika dalam antologi ditanyakan hakikat sesuatu, dalam epistemologi ditanyakan bagaimana sesuatu itu ada, maka dalam aksiologi ditanyakan mengenai tujuan hakikat sesuatu. Misalnya, pada pendidikan Islam akan muncul pertanyaan, apa itu pendidikan Islam (ontologi)? Bagaimana dan dari mana sumber pendidikan Islam (epistemologi)? Mengapa pendidikan Islam diperlukan (aksiologi)?6 Dengan demikian etika keilmuan berbicara tentang nilai-nilai yang mendasari suatu ilmu atau tindakan. A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa
mampu
memahami
etika
pragmatis
dalam
pendidikan Islam 2. Mahasiswa mampu memahami etika positivisme dalam etika keilmuan
6
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 97
Modul Filsafat Pendidikan Islam
72
3. Mahasiswa mampu memahami etika keilmuan pada zaman renaissance dan humanisme B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa
dapat
menjelaskan
etika
pragmatis
dalam
positivisme
dalam
pendidikan Islam 2. Mahasiswa
dapat
menjelaskan
etika
pendidikan Islam 3. Mahasiswa dapat menjelaskan etika keilmuan pada zaman renaissance dan humanism
C. Uraian Materi 1. Etika pragmatis dalam pendidikan Islam Aliran pragmatis timbul pada abad 20. Pendiri aliran ini adalah Charks E. Peirce. Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang memandang realitas sebagai sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan(terus-menerus berubah). Makna “etika”. Istilah dipakai dalam dua macam arti. Yang satu tampak dalam ungkapan seperti “ saya pernah belajar etika.” Dalam penggunaan seperti ini etika dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatanperbuatan manusia. Makna kedua seperti yang terdapat dalam ungkapan “ia bersifat etis” atau “ia seorang yang jujur” dalam hal-hal tersebut bersifat etik merupakan predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, manusia-manusia yang lain, dalam arti yang demikian ini, “bersifat etik” setara dengan “bersifat susila”. Menurut Ibnu Miskawaih tentang etika dalam karyanya yang berjudul Tahdzib Al-Akhla, dia mencoba menunjukkan bagaimana kita dapat memperoleh watak-watak yang lurus untuk
Modul Filsafat Pendidikan Islam
73
menjalankan
tindakan-tindakan
yang
secara
moral
benar
terorganisasi dan tersistem. Menurut
Aristoteles
tujuan
hidup
manusia
adalah
mendapatkan kebahagian, kebahagiaan manusia akan dapat diwujudkan dengan sendirinya melalui dua jalan, pertama, melalui sifat pertengahan antara mengikuti dorongan sifat kebinatangan dan kemanusiaan, yakni nafsu makan, hasrat, dan nafsu yang berada dibawah bimbingan akal. Kedua, kebahagiaan itu terjadi pada
pengguna
akal
dalam
melakukan
penelitian
ilmu
pengetahuan dan merenungkan tentang kebenaran. Patut pula diangkat bahwa etika sebagai ilmu pengetahuan dapat
berarti
penyelidikan
mengenai
tanggapan-tanggapan
kesusilaan, sedangkan etika sebagai ajaran bersangkutan dengan membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan. Sedangkan menurut Al- Ghazali tujuan pendidikan adalah mengembangkan budi pekerti yang mencangkup penanaman kualitas moral dan etika kepatuhan,kemanusiaan, kesederhanaan dan membenci hal-hal yang buruk seperti melanggar perintah atau kehendak tuhan. Berbicara tentang etika keilmuan, apabila digunakan perspektif pragmatisme, etika keilmuan diatur menurut nilai-nilai dan etika pragmatisme. Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa criteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Pragmatisme berpandangan bahwa subtansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Pendidikan agama Islam adalah bagian dari tugas agama maka mengajarkan pendidikan islam adalah kebenaran.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
74
Pragmatisme menurut para filsuf-filsuf yang terkenal sebagai berikut :
Menurut William James dan John Dewey, filsafatnya
diantaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman yang kita anggab
benar
dalam
perkembangan
pengalaman
itu
senantiasa berubah karena didalam praktik. Menurut Jemes, dunia tidak dapat diterangakan dengan berpangkal pada satu asas saja. Dunia adala dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan tentang kepercayaan agama. Dalam filsafat Islam, pragmatisme tentu ada karena tujuan pendidikan Islam adalah membentuk anak didik yang bertakwa kepada Allah SWT, berkepribadian luhur, berpengetahuan yang luas, terampil, dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Agar anak didik memiliki keahlian duniawi dan ukhrowi, dan keduanya bisa memberikan keuntungan.
Menurut John Dewey, tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nayata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara kritis. Secara umum, pargmatisme berarti hanya ide yang dapat dipraktikkan yang benar dan berguna. Apabila filsafat Islam berkiblat pada pandangan Pragmatime John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang diluar jangkauan panca indra. Etika keilmuan berkaitan pula dengan kode etik bagi para pendidik.
Dalam
perspektif
islam,
pendidikan
etika
juga
membahas pula masalah yang berkaitan dengan substansi etika
Modul Filsafat Pendidikan Islam
75
yang dimiiki oleh dunia pendidikan Islam, terutama brkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: Keilmuan yang bersumber pada Al Qur’an dan As-Sunnah. Keilmuan yang berbasis kepada po;a pendidikan tradisional Islam. Keilmuan sebagai alat yang merumuskan prinsip-prinsip pendidikan Keilmuan yang mengarahkan pendidikan kepada tujuan umum dalam beragama Islam. Keilmuan yang mengacu pada dokrin agama Islam dan kebergantungan kepada tokoh agama.
2. Etika Positivisme dalam pendidikan Islam Paham yang berkaitan dengan etika keilmuan tidak dapat terlepas dari pandangan positivisme, selain pragmatisme di atas. Positisme di perkenalkan oleh Aguste Comte(198-1857) yang bertuang dalam karya utama Aguste Comte adalah Cours de Philosophic Positive, yaitu kursus tentang Filsafat Positif (1801842), selain itu karyanya yang pantas disebutkan di sini adalah Discour L’esprit Positive(1844) yang artinya pembicaraan tentang jiwa positif. Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan factual, yaitu apa yang berdasarkan faktafakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itulah, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Etika
keilmuan
yang
menganut
positivisme
akan
mempertegas tentang kebenaran pengetahuan terletak pada fakta-fakta yang konkret dan indrawi. Hukum itu menyatakan bahwa umat manusia berkembang melalui tiga tahap hidup.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
76
Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, teologis, metafisik, dan positif. Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, karena bentuk pemikiranya yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi bahwa semua benda memiliki kelengkapan hidupnya sendiri. Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan metafisik, tahap ini ditandai dengan hukumhukum alam yang asasi dan dapat ditemukan dengan akal budi. Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu bersifat sementara, dan pengetahuan dapat ditinjau kembali dan di perluas. Dari pandangan Comte tentang tiga tahapan pemikiran manusia, dapat diambil pemahaman bahwa etika keilmuan yang terus
berkembang
tidak
selamanya
hierarkis
sistematis
sebagaimana dikemukakan oleh Comte sebab ajaran Islam tidak dikenal tahapan demikian. Pandangan manusia seharusnya didasarkan pada dua etika yang paling mendasar, yaitu : 1. Pandangan bahwa semua makhluk Allah hanya tunduk mutlak kepada sang pencipta. 2. Semua pengabdian manusia sepenuhnya harus didukung oleh rencana-rencana Allah yang tertuang dalam wahyuNya, yang berupa ( Al-Qur’an dan As-Sunnah). 3. Etika keilmuan pada zaman renaissance dan humanism Istilah renaissance berasal dari bahasa perancis yang berarti kebangkitan kembali. Orang yang pertama menggunakan istilah ini adalah Jules Michelet. Menurutnya, renaissance adalah periode
penemuan
manusia
dan
dunia,
bukan
sekedar
kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan modern.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
77
Awal mula suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar dari
Descartes
(1596-1650).
Sejak
saat permulaan
renaissance, individualisme dan humanism telah dicanangkan. Descartes memperkuat ide-ide ini. Humanisme dan individualisme merupakan ciri renaissance yang sangat penting. Humanisme ialah pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya. Pada abad pertengahan, manusia kurang dihargai sebagai manusia.
Kebenaran
diukur
berdasarkan
ukuran
dari
Gereja(Kristen), bukan menurut ukuran yang dibuat manusia. Humanisme
sesungguhnya
telah
mengambil
moral
kemanusiaan seluruhnya dari agama. Humanisme menyatakan bahwa pendidikan spiritual dan menepati janji, dalam nisbatnya dengan keutamaan-keutamaan moral, dapat dicapai tanpa keyakinan terhadap Tuhan. Manusia adalah makhluk yang selalu mengejar cita-cita dan berusaha mengubah “apa yang ada” menjadi “apa yang semestinya” atau “ apa yang kini ada” menjadi “apa yang seharusnya ada” didalam alam, masyarakat, dan dirinya sendiri pula. Etika keilmuan yang dibangun di atas dasar humanisme adalah etika meterealisme karena sesungguhnya manusia adalah materi, karena manusia akan berakhir sebagaimana benda yang lain, hanya keberakhiran materi yang merupakan perubahan abadi. Oleh sebab itu tidak ada kehancuran yang ada hanyalah perubahan. Humanisme yang dimaksudkan adalah tentang kemuliaan manusia karena Allah memuliakanya, sebagaimana firmanya dalam surat At-Tin ayat 4-5 :
Modul Filsafat Pendidikan Islam
78
Artinya : “ sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).” (Q.S. At-Tin : 4-5) Yang menyebabkan kemuliaan manusia terjaga dan harkat martabatnya
tetap
tingi
adalah
keilmuannya
yang
dapat
membangun keimanan dan ketakwaan, sebagaimana disebutkan dalam surat At-Tin ayat 6:
Artinya : “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka, pahala yang tiada putus-putusnya”. (Q.S. AtTin : 6) Perlu diketahui pula bahwa dalam sejarah filsafat, masa etik diisi oleh tiga macam aliran filsafat, yaitu aliran Epicurus, Stoa, dan Skeptis. Epicurus yang mendirikan sekolah filosofi lahir di samos pada tahun 341 SM dan meninggal di Athena pada tahun 217 SM dalam usia 70 tahun. Menurut pendapat Epicurus, ajaran etiknya adalah mencari kesenangan, tujuanya memperkuat jiwa untuk menghadapi semua keadaan. Yang kedua adalah aliran Stoa didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition (133-266 SM). Ia dilahirkan di Kition pada tahun 340 SM, dan meninggal di Athena pada tahun 264 SM ia mencapai umur 76 tahun. Ajaran etiknya adalah memberikan petunjuk tentang sikap sopan santun dalam kehidupan. Tujuanya menyempurnakan moral manusia.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
79
Yang terakhir adalah aliran Skeptis. Skeptis artinya raguragu. Keragu-raguan terhadap segala sesuatu merupakan fondasi keyakinan. Sekolah yang dijadikan aliran Skeptis adalah sekolah aliran Pyrrhon dari Elis. Pyrrhon sendiri lahir tahun 360 SM dan meninggal dunia pada tahun 270 SM. D. Soal 1. Bagaimana etika pragmatisme dalam pendidikan Islam ? 2. Bagaimana etika Positivisme dalam pendidikan Islam? 3. Bagaimana etika keilmuan pada zaman renaissance dan humanisme?
DAFTAR PUSTAKA H. Mahmu, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997 Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009. Muhaimin, et.a, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002. Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1983. A. Tafsir, dkk, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Editor: Tedi Priatna, M. Ag, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004. H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
Modul Filsafat Pendidikan Islam
80
BAB VIII HAKIKAT KURIKULUM DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukkan al-insan al-kamil melalui penciptaan situasi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam posisinya yang demikian, pendidikan Islam adalah model rekayasa individual dan sosial yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat ideal masa depan. Sejalan dengan konsep rekayasa masa depan umat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasikan kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan idealitas Islam. Untuk itu, perlu dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran Islam. Dalam kaitan inilah diharapkan filsafat pendidikan Islam mampu memberikan arah terhadap pembentukkan kurikulum pendidikan yang Islami.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
81
A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa mampu memahami pengertian kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam 2. Mahasiswa mampu mamahami asas-asas kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam 3. Mahasiswa mampu memahami karakteristik kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam. B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa dapat mendeskripsikan pengertian kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam 2. Mahasiswa dapat menguraikan dan memetakan asas-asas kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam 3. Mahasiswa dapat menguraikan dan mengkritisi karakteristik kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam
C. Uraian Materi 1. Pengertian Kurikulum Dalam Pendidikan Islam Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukan al-insan al-kamil melalui penciptaan situasi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam posisinya yang demikian, pendidikan Islam adalah model rekayasa individual dan sosial yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat ideal ke masa depan. Sejalan dengan konsep perekayasaan masa depan ummat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau kegiatan yang akan ditransformasi kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan idealitas Islam. Untuk itu, perlu dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran Islam. Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia
Modul Filsafat Pendidikan Islam
82
pendidikan, memberinya pengertian sebagai “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat di dalamnya.Istilah kurikulum kemudian digunakan untuk menunjukkan tentang segala mata pelajaran yang dipelajari dan juga semua pengalaman yang harus diperoleh serta semua kegiatan yang harus dilakukan anak. Di dalam buku
Hasan Basri disebutkan bahwa
kurikulum bukan sekadar mata pelajaran atau mata kuliah. Kurikulum adalah semua rencana yang terdapat dalam proses pembelajaran. Kurikulum dapat diartikan pula sebagai semua usaha lembaga pendidikan yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang disepakati. Apabila aktivitas sekolah berkaitan dengan tiga pendekatan sekaligus tiga tujuan yang hendak dicapai dari ranah kognitif, yakni upaya pencerdasan anak didik, ranah afektif sebagai upaya pencerdasan emosional, dan ranah psiko-motorik, sebagai upaya percerdasan perilaku keterampilan, kurikulum yang dimaksudkan adalah semua aspek yang direncanakan dalam pendidikan yang bertujuan mencapai tiga ranah tersebut. Dengan demikian, berbicara tentang kurikulum perspektif pendidikan islam bukan semata-mata berbicara mata pelajaran, tetapi semua aspek yang terdapat dalam lingkungan sekolah, terutama berkaitan dengan mata pelajaran, sistem dan metode pembelajaran, hubungan interaktif antarapendidik dan anak didik, pengawasan perkembangan mental anak didik, sistem evaluasi, dan sebagainya. Secara filosofis, hakikat kurikulum adalah model yang diacu oleh pendidikan dalam upaya membentuk citra sekolah dengan mewujudkan tujuan pendidikan yang disepakati. Kurikulum dengan pengertian di atas memberikan indikasi bahwa pedoman rencana pembelajaran tidak bersifat kaku. Kurikulum yang baik adalah yang dinamis, aktual, teoretis, dan aplikatif. Sebagaimana tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan, misalnya pendidikan bertujuan meningkatkan penguasaan pengetahuan siswa, pengembangan pribadi siswa, kemampuan sosial,
Modul Filsafat Pendidikan Islam
83
dan atau kemampuan keterampilan. Dengan tujuan tersebut, sudah tentu kurikulum harus diarahkan untuk mencapainya. Suatu kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam, hendaknya mengandung beberapa unsur utama seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar dan metode penilaian. Kesemuanya harus tersusun dan mengacu pada asas-asas pembentuk kurikulum pendidikan. Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, mengemukakan bahwa asas-asas umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum dalam pendidikan Islam itu adalah: 1. Asas Agama Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya
harus
meletakkan
dasar
falsafah,
tujuan,
dan
kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi aqidah, ibadah, muamalat dan hubungan-hubungan yang berlaku di dalam masyarakat.
2. Asas Falsafah Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar filosofis, sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung suatu kebenaran, terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. 3. Asas Psikologis Asas ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan mempertimbanglcan tahapan- tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak didik 4. Asas Sosial Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa semua kecenderungan dan perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai makhluk sosial harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini
Modul Filsafat Pendidikan Islam
84
dimaksudkan agar out put yang dihasilkan pendidikan Islam adalah manusia-manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya. Berdasarkan pada asas-asas tersebut di atas, maka kurikulum pendidikan Islam menurut An-Nahlawi harus pula memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Sistem dan perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan serta menyelamatkannya. b. Kurikulum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat dan beribadah kepada Allah, disamping merealisasikan tujuan aspek psikis, fisik, sosial, budaya maupun intelektual. c. Pentahapan
serta
pengkhususan
kurikulum
hendaknya
memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak, dan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). d. Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nash yang ada dalam
kurikulum
harus
memelihara
kebutuhan nyata
kehidupan masyarakat dengan tetap bertopang pada cita ideal Islami, seperti rasa syukur dan harga diri sebagai ummat Islam. e. Secara keseluruhan struktur dan organisasi hendaknya tidak bertentangan dan tidak menimbulkan pertentangan dengan pola hidup Islami. f. Hendaknya kurikulum bersifat realistik atau dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam kehidupan negara tertentu. g. Hendaknya metoda pendidikan/pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan dengan berbagai situasi dan kondisi serta perbedaan individual, mminat serta
Modul Filsafat Pendidikan Islam
85
kemampuan siswa untuk menangkap dan mengolah bahan pelajaran. h. Hendaknya kurikulum itu efektif dalam arti berisikan nilai edukatif yang dapat membentuk afektif (sikap) Islami dalam kepribadian anak. i.
Kurikulum harus memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliah Islami, seperti pendidikan untuk berjihad dan dakwah Islamiyah serta membangun masyarakat muslim di lingkungan sekolah.
2. Karakteristik Kurikulum Pendidikan Islam Secara umum karakteristik kurikulum pendidikan Islam adalah pencerminan nilai-nilai Islami yang dihasilkan dari pemikiran kefilsafatan dan termanifestasi dalam seluruh aktivitas dan kegiatan pendidikan dalam prakteknya. Dalam konteks ini harus difahami bahwa karakteristik kurikulum pendidikan Islam senantiasa memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan prinsip-prinsip yang telah diletakkan Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Konsep inilah yang membedakan kurikulum
pendidikan
Islam
dengan
kurikulum
pendidikan
pada
umumnya. Menurut Al-Syaibany, di antara ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam itu adalah: Mementingkan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai hal seperti tujuan dan kandungan, kaedah, alat dan tekniknya. Meluaskan perhatian dan kandungan hingga mencakup perhatian, pengembangan serta bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologi, sosll dan spiritual. Begitu juga cakupan kandungannya termasuk bidang ilmu, tugas dan kegiatan yang bermacam-macam. Adanya prinsip keseimbangan antara kandungan kurikulum tentang ilmu dan seni, pengalaman dan kegiatan pengajaran yang bermacam-macam.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
86
Menekankan konsep menyeluruh dan keseimbangan pada kandungannya yang tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu teoritis, baik yang bersifat aqli maupun naqli, tetapi juga meliputi seni halus, aktivitas pendidikan jasmani, latihan militer, teknik, pertukangan, bahasa asing dan lain-lain. Keterkaitan antara kurikulum pendidikan Islam dengan minat, kemampuan, keperluan, dan perbedaan individual antara siswa. Di samping itu juga keter-kaitannya dengan alam sekitar budaya dan sosial di mana kurikulum itu dilaksanakan. Karakteristik sebagaimana
kurikulum
dikemukakan
sebagai di
atas
program
pendidikan
selanjutnya
tidak
Islam hanya
menempatkan anak didik sebagai objek didik, melainkan juga sebagai subjek didik yang sedang mengembangkan diri menuju kedewasaan sesuai dengan konsepsi Islam. Karenanya kurikulum tersebut tidak akan bermakna apapun apabila tidak dilaksanakan dalam suatu situasi dan kondisi di mana tercipta interaksi edukatif yang timbal balik antara pendidik di satu sisi dengan peserta didik di sisi lain. Di sini terlihat ciri khas kurikulum pendidikan Islam yang memandang peserta didik sebagai makhluk potensial untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui berbagai aktivitas kependidikan. Pendidik dan seluruh komponen kependidikan lainnya, termasuk kurikulum, hanya merupakan media atau sarana yang harus menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan bagi proses pengembangan. Disamping itu kurikulum pendidikan Islam juga memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya: 1. Dalam kurikulum pendidikan Islam, tujuan utamanya adalah pembinaan anak didik untuk bertauhid. Oleh karena itu, semua sumber yang dirunut berasal dari ajaran Islam. 2. Kurikulum harus disesuaikan dengan fitrah manusia, sebagai makhluk yang memiliki keyakinan kepada Tuhan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
87
3. Kurikulum yang disajikan merupakan hasil pengujian materi dengan landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. 4. Mengarahkan minat dan bakat serta meningkatkan kemampuan akliah anak didik serta keterampilan yang akan diterapkan dalam kehidupan konkret. 5. Pembinaan akhlak anak didik, sehingga pergaulannya tidak keluar dari tuntunan Islam, dan 6. Tidak ada kadaluarsa kurikulum karena ciri khas kurikulum Islam senantiasa
relevan
dengan
perkembangan
zaman
bahkan
menjadi filter kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapannya di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa sebagai inti dari ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum yang dapat memotivasi siswa untuk berakhlak atau berbudi pekerti luhur, baik terhadap Tuhan, terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.
3. Asas-asas Kurikulum Pendidikan Islam Suatu kurikulum tak terkecuali kurikulum pendidikan Islam harus mengandung beberapa unsur utama, seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar dan penilaian.Kesemua unsur tersebut harus tersusun dan mengacu pada sumber kekuatan yang menjadi landasan dalam pembentukannya. Sumber kekuatan tersebut dikatakan sebagai asasasas pembentuk kurikulum pendidikan. Menurut Muh. al-Thaumy al-Syaibany, mengemukakan bahwa asas-asas umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum dalam PAI adalah : a. Asas Agama Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya
harus
meletakkan
dasar
falsafah,
tujuan,
dan
kurikulumnya pada ajaran Islam yamg meliputi Akidah, Ibadah, dan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
88
hubungan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa semua itu pada akhirnya harus mengacu pada dua sumber yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. b. Asas Falsafah Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar filosifis, sehingga susunan kurikulum PAI mengandung suatu kebenaran, terutama dari nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. c. Asas Psikologis Asas ini memberi arti bahwa kurikulum PAI hendaknya disusun dengan
mempertimbangkan
tahapan-tahapan
pertumbuhan
dan
perkembangan yang dilalui anak didik. d. Asas Sosial Pembentukan kurikulum PAI haris mengacu kearah realisasi individu dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar out put yang dihasilkan PAI adalah manusia-manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan zamannya. Di Indonesia, penyusunan, pengembangan, dan pelaksanaan kurikulum harus memperhatikan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai landasan filosofis negara. Menurut Nasution, filsafat besar manfaatnya bagi kurikulum, yakni: 1) Filsafat pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibimbing. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak menjadi manusia dan warga negara yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Jadi, filsafat menentukan tujuan pendidikan. 2) Dengan adanya tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang hasil pendidikan yang harus dicapai, manusia yang bagaimana yang harus dibentuk. 3) Filsafat juga menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan itu.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
89
4) Filsafat memberikan kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-lepas. Dengan demikian terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak. 5) Tujuan pendidikan memberikan petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga mana tujuan itu telah tercapai. 6) Tujuan pendidikan memberi motivasi dalam proses belajar-mengajar, bila jelas diketahui apa yang ingin dicapai. Jadi, berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan para pakar, asas-asas kurikulum PAI dilihat dari berbagai aspek yakni : a) Asas Agama Sesuai dengan acuan dan pegangan pokok seluruh umat Islam bahwa sumber dari segala sumber yang berlaku adalah dari Al-quran dan Sunnah, yang didalamnya sudah terangkum berbagai aspek yang dibutuhkan untuk membuat dasar pendidikan, termasuk kurikulum PAI mengambil acuan dari Al-quran yang menjadi Kalamullah.
b) Asas Filosofis Diatas telah diungkapkan bahwa filsafat banyak memberi pengaruh pada kurikulum, menentukan sejauh mana tujuan kurikulum yang menjadi kerangka acuan akan diraih dengan maksimal. Filsafat merupakan induk dari semua ilmu pengetahuan. c) Asas Psikologis Pendidikan sangat berhubungan dengan kejiwaan manusia, ilmu jiwa manusia berpengaruh juga dalam kegiatan belajar. Karena belajar merupakan aktivitas seseorang untuk mentransformasikan ilmu (apakah ia dewasa atau anak-anak), dan kita ketahui bersama bahwa belajar itu ternyata suatu proses yang pelik dan kompleks, timbullah berbagai teori belajar yang menunjukkan ketidaksesuaian satu sama lain. Pada umumnya tiap teori mengandung kebenaran. Akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang keseluruhan proses belajar. Jadi, yang
Modul Filsafat Pendidikan Islam
90
mencakup segala gejala belajar dari yang sederhana sampai yang paling pelik. Dengan demikian, teori belajar dijadikan dasar pertimbangan dalam pengembangan kurikulum. Pentingnya penguasaan psikologi belajar dalam pengembangan kurikulum antara lain diperlukan dalam hal: 1. Seleksi dan organisasi bahan pelajaran 2. menentukan kegiatan belajar mengajar yang paling serasi 3. merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai. d) Asas Sosial Budaya Dalam lingkungan sosial dapat memberikan hasil yang baik dan dapat menyesuaikan diri pada masyarakat. Keluaran yang didapat bias maksimal dan kurikulum yang tertata rapi dapat memberikan sumbangsih terhadap pendidikan. e) Asas Teknologi Yang dimaksud dengan asas pengembangan ilmu dan teknologi adalah para pengambil kebijakan kurikulum hendaknya memperhatikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan
dalam
kehidupan
masyarakat.
Beberapa
masyarakat
terpencil yang tertutup, dengan adanya transportasi dan komunikasi yang luas berubah menjadi masyarakat yang terbuka dan mau berkomunikasi dengan daerah-daerah lain. Masyarakat yang tadinya hanya konsumtif terhadap hasil-hasil pertanian telah berubah menjadi masyarakat yang lebih konsumtif terhadap produksi industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan kebutuhan baru, aspirasi baru, sikap hidup baru. Hal-hal di atas menuntut perubahan pada sistem dan isi pendidikan. Sehingga, pendidikan bukan hanya mewariskan nilai-nilai dan hasil kebudayaan lama, tetapi juga mempersiapkan generasi muda agar mampu hidup pada masa kini dan masa yang akan datang. Dalam kaitannya dengan pengajaran di Indonesia, maka sudah seyogyanya mulai menyesuaikan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
91
diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang ada sekarang ini. Sehingga problema kegagalan siswa memperoleh kemampuan aktif ekspresif bisa diatasi. Namun demikian, segala kemajuan yang telah mampu diraih oleh umat manusia itu, bukan tanpa masalah. Pada kenyataannya terdapat berbagai efek negatif yang justru sangat mencemaskan manusia itu sendiri. Sehingga permasalahan-permasalahan baru ini menyebabkan komplesitas tugas-tugas pendidikan yang diemban oleh sekolah. Kemajuan dibidang teknologi memiliki andil besar dalam perubahan pola hidup masyarakat. Kenyataan semacam ini memiliki konsekuensi terhadap cara dan strategi yang harus dipersiapkan oleh lembaga pendidikan. Kurikulum harus didesain agar mampu membentuk manusia produktif yang bukan hanya dapat bekerja, akan tetapi lebih jauh dapat mencintai pekerjaan. Manusia yang hanya dapat bekerja berbeda dengan manusia yang mencintai pekerjaan. Manusia yang hanya sekedar dapat bekerja orientasinya biasanya ditunjukkan oleh besar upah yang dapat diterima. manusia semacam ini tidak lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan ototnya. Sedangkan manusia yang mencintai pekerjaan orientasinya adalah produk yang dihasilkannya. Manusia yang demikianlah yang dimaksud dengan manusia produktif, yang bekerja bukan hanya dengan ototnya akan tetapi juga dengan ototnya. D. Soal 1. Apa
yang
dimaksud
dengan
kurikulum
dalam
filsafat
pendidikan Islam ? 2. Sebutkan dan jelaskan asas-asas kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam? 3. Jelaskan karakteristik kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam? DAFTAR PUSTAKA
Modul Filsafat Pendidikan Islam
92
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Munif Chatib, Sekolahnya Manusia : Sekolah berbasis multiple Intelligences di Indonesia, Cet. XI, Bandung: Kaifa, 2011. Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988 Beni Ahmad Saebani, dan Hedra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
BAB IX HAKIKAT METODE DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam dalam pelaksaannya membutuhkan metode yang tepat untuk mengantarkan kegiatan pendidikannya ke arah tujuan yang di cita-citakan. Meskipun suatu kurikulum cukup sempurna, ia tidak akan berarti apa-apa, jika tidak memilki metode yang tepat dalam mentransformasikannya kepada peserta didik. Ketidaktepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajar yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, metode adalah syarat penting dalam aktivitas pendidikan, karena tujuan pendidikan akan tercapai secara tepat guna manakala jalan yang ditempuh menuju citacita tersebut benar-benar tepat. A. Tujuan Pembelajaran Umum
Modul Filsafat Pendidikan Islam
93
1. Mahasiswa dapat memahami pengertian metode dalam filsafat pendidikan Islam 2. Mahasiswa dapat memahami asas-asas umum metode dalam filsafat pendidikan Islam 3. Mahasiswa mampu memahami karakteristik metode dalam filsafat pendidikan Islam B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian metode dalam filsafat pendidikan Islam 2. Mahasiswa dapat menyebutkan dan menjelaskan asas-asas umum metode dalam filsafat pendidikan Islam 3. Mahasiswa dapat menjelaskan dan mengkritisi karakteristik metode dalam filsafat pendidikan Islam C. Uraian Materi Secara literal metode berasal dari bahasa Greek (Yunani) yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu “meta” yang berarti melalui dan “hodos” yang berarti jalan. Sedangkan pengertian menurut istilah metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Dalam Bahasa Arab metode dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.Sedangkan dalam bahasa Inggris metode disebut method yang berarti cara dalam bahasa Indonesia. Mohammad Athiyah al-Abrasy mendefinisikan metode sebagai jalan yang kita ikuti memberi paham kepada murid-murid dalam segala macam pelajaran, dalam segala mata pelajaran.Metode adalah rencana yang kita buat untuk diri kita sebelum kita memasuki kelas, dan kita terapkan dalam kelas selama kita mengajar dalam kelas itu.Kemudian Prof. Abd al-Rahim Ghunaimah menyebut metode sebagai cara-cara yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan sesuatu kepada anak didik. Modul Filsafat Pendidikan Islam
94
Adapun Adgar Bruce Wesley mendefinisikan metode sebagai kegiatan yang terarah bagi guru yang menyebabkan terjadinya proses belajar mengajar, hingga pengajaran menjadi berkesan. Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang
dipergunakan
mempunyai
sifat
untuk
mencapai
ganda,
monopragmatis.Polipragmatis,
yaitu
tujuan
pendidikan.Alat
bersifat
bilamana
polipragmatis
metode
itu
itu dan
mengandung
kegunaan yang serba ganda (multipurpoce).Misalnya, suatu metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk merusak, dan pada situasi dan kondisi yang lain dapat dipergunakan
untuk
memperbaiki
dan
membangun.
Contohnya,
penggunaan video cassete recorder (VRC) untuk merekam semua jenis film, baik fornografis maupun yang moralis, yang hal itu bila dipergunakan sebagai media pembelajaran, maka sasarannya dapat merusak
disamping
dapat
memperbaiki
atau
membangun.
Monopragmatis adalah alat yang hanya dapat dipergunakan untuk mencapai satu macam tujuan. Misalnya, laboratorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak dapat dipergunakan untuk eksperimen bidang ilmu lain. Metode Pendidikan Islam Dari beberapa pengertian yang diformulasikan oleh para pakar diatas tentang pengertian Metode dan Pendidikan Islam. Kita dapat menyimpulkan tentang pengertian Metode Pendidikan yaitu segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam setiap mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan peserta didiknya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Ahmad
Tafsir
secara
umum
membatasi
bahwa
metode
pendidikan adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Kemudian
Abdul
Munir
Modul Filsafat Pendidikan Islam
Mulkan, mengemukakan
bahwa
metode
95
Pendidikan adalah suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik. Selanjutnya
jika
kata
metode tersebut
dikaitkan
dengan
pendidikan Islam, dapat membawa arti sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga dapat terlihat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain itu metode pendidikan Islam dapat diartikan sebagai cara untuk memahami, manggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. 1. Asas-asas Umum Metode Pendidikan Islam Dalam penerapannya, metode pendidikan Islam menyangkut permasalahan individual atau social peserta didik dan pendidik itu sendiri. Untuk itu dalam menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umummetode pendidikan Islam.Sebab metode pendidikan merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan, sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada asas-asas/dasar-dasar metode pendidikan tersebut. Asas metode pendidikan Islam itu diantaranya adalah: a. Asas Agamis, maksudnya bahwa metode yang digunakan dalam pendidikan Islam haruslah berdasarkan pada Agama. Sementara Agama Islam merujuk pada Al Qur’an dan Hadits. Untuk itu, dalam pelaksanannya berbagai metode yang digunakan oleh pendidik hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul secara efektif dan efesien yang dilandasi nilai-nilai Al Qur’an dan Hadits. b. Asas
Biologis,
Perkembangan
biologis
manusia
mempunyai
pengaruh dalam perkembangan intelektualnya. Semakin dinamis perkembangan biologis seseorang, maka dengan sendirinya makin meningkat pula daya intelektualnya. Untuk itu dalam menggunakan metode pendidikan Islam seorang guru harus memperhatikan perkembangan biologis peserta didik.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
96
c. Asas Psikologis. Perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik akan
memberikan
pengaruh
yang
sangat
besar
terhadap
penerimaan nilai pendidikan dan pengetahuan yang dilaksanakan, dalam kondisi yang labil pemberian ilmu pengetahuan dan internalisasi
nilai
akan
berjalan
tidak
sesuai
dengan
yang
diharapkan. Oleh Karenanya Metode pendidikan Islam baru dapat diterapkan secara efektif bila didasarkan pada perkembangan dan kondisi psikologis peserta didiknya. Untuk itu seorang pendidik dituntut untuk mengembangkan potensi psikologis yang tumbuh pada peserta didik. Sebab dalam konsep Islam akal termasuk dalam tataran rohani. d. Asas sosiologis. Saat pembelanjaran berlangsung ada interaksi antara pesrta didik dengan peserta didik dan ada interaksi antara pendidik dengan peserta didik, atas dasar hal ini maka pengguna metode dalam pendidikan Islam harus memperhatikan landasan atau dasar ini. Jangan sampai terjadi ada metode yang digunakan tapi tidak sesuai dengan kondisi sosiologis peserta didik, jika hal ini terjadi bukan mustahil tujuan pendidikan akan sulit untuk dicapai. Keempat asas di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan harus diperhatikan oleh para pengguna metode pendidikan Islam agar dalam mencapai tujuan tidak mengunakan metode yang tidak tepat dan tidak cocok kondisi agamis, kondisi biologis, kondisi psikologis, dan kondisi sosiologis peserta didik. Sementara dari sudut pandang pelaksanaannya, asas-asas pendidikan Islam dapat diformulasikan kepada: a. Asas Motivasi, yaitu usaha pendidik untuk membangkitkan perhatian peserta didik kearah bahan pelajaran yang sedang disajikan. b. Asas Aktivitas, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk ambil bagian secara aktif dan kreatif dalam seluruh kegiatan pendidikan yang dilaksanakan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
97
c. Asas Apersepsi, mengupayakan respon-respon tertentu dari peserta didik sehingga mereka memperoleh perubahan pada tingkah laku, pembendaharaan konsep, dan kekayaan akan informasi. d. Asas Peragaan, yaitu memberikan variasi dalam cara-cara mengajar dengan mewujudkan bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk aslinya maupun tiruan. e. Asas Ulangan, yaitu usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau keberhasilan belajar peserta didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap. f. Asas Korelasi, menghubungkan suatu bahan pelajaran dengan bahan pelajaran lainnya, sehingga membentuk mata rantai yang erat. g. Asas Konsentrasi, yaitu memfokuskan pada suatu pokok masalah tertentu dari keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksankan tujuan pendidikan
serta
memperhatikan
peserta
didik
dalam
segala
aspeknya. h. Asas Individualisasi, yaitu memperhatikan perbedaan-perbedaan individual peserta didik. i. Asas
Sosialisasi,
yaitu
menciptakan
situasi
sosial
yang
membangkitkan semangat kerjasama antara peserta didik dengan pendidik atau sesama peserta didik dan masyarakat, dalam menerima pelajaran agar lebih berdaya guna. j. Asas Evaluasi, yaitu memperhatikan hasil dari penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai umpan balik pendidik dalam memperbaiki cara mengajar. k. Asas Kebebasan, yaitu memberikan keleluasan keinginan dan tindakan bagi peserta didik dengan dibatasi atas kebebasan yang mengacu pada hal-hal yang positif. l. Asas Lingkungan, yaitu menentukan metode dengan berpijak pada pengaruh lingkungan akibat interaksi dengan lingkungan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
98
m. Asas Globalisasi, yaitu memperhatikan reaksi peserta didik terhadap lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, sosial dan sebagainya. n. Asas Pusat-Pusat Minat, yaitu memperhatikan kecenderungan jiwa yang tetap ke jurusan suatu yang berharga bagi seseorang. o. Asas Ketauladanan, yaitu memberikan contoh yang terbaik untuk ditiru dan ditauladani peserta didik. p. Asas Kebiasaan, yaitu mambiasakan hal-hal positif dalam diri peserta didik sebagai upaya praktis dalam pembinaan mereka. Metode pendidikan Islam harus digali, didayagunakan, dan dikembangkan dengan mengacu pada asas-asas sebagaimana yang dikemukakan diatas. Melalui aplikasi nilai-nilai Islam dalam proses penyampaian seluruh materi pendidikan Islam, diharapkan proses itu dapat diterima, difahami, dihayati, dan diyakini sehingga pada gilirannya memotivasi peserta didik untuk mengamalkannya dalam bentuk nyata.
2. Karakteristik Metode Pendidikan Islam Diantara karakteristik metode pendidikan Islam: Keseluruhan proses penerapan metode pendidikan Islam, mulai dari pembentukannya, penggunaannya sampai pada pengembangannya tetap didasarkan pada nilai-nilai asasi Islam sebagai ajaran yang universal. Proses pembentukan, penerapan dan pengembangannya tetap tidak dapat dipisahkan dengan konsep al-akhlak al-karimah sebagai tujuan tertinggi dari pendidikan Islam. a. Metode pendidikan Islam bersifat luwes dan fleksibel dalam artian senantiasa membuka diri dan dapat menerima perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupi proses kependidikan Islam tersebut, baik dari segi peserta didik, pendidik, materi pelajaran dan lain-lain.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
99
b. Metode
pendidikan
Islam
berusaha
sungguh-sungguh
untuk
menyeimbangkan antara teori dan praktik. c. Metode
pendidikan
Islam
dalam
penerapannya
menekankan
kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa dalam batas-batas kesopanan dan akhlak karimah. Dari segi pendidik, metode pendidikan Islam lebih menekankan nilainilai keteladanan dan kebebasan pendidik dalam menggunakan serta mengkombinasikan berbagai metode pendidikan yang ada dalam mencapai tujuan pengajaran. d. Metode pendidikan Islam dalam penerapannya berupaya menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya interaksi edukatif yang kondusif . e. Metode pendidikan Islam merupakan usaha untuk memudahkan proses pengajaran dalam mencapai tujuannya secara efektif dan efisien.
3. Macam-macam Metode dalam Pendidikan Islam Sebagai ummat yang telah dianugerahi Allah Kitab Al-Quran yang lengkap dengan petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal sebaiknya menggunakan metode mengajar dalam pendidikan Islam yang prinsip dasarnya dari Al Qur’an dan Hadits. Diantara metode-metode tersebut adalah: a. Metode Ceramah Metode ceramah adalah cara penyampaian informasi melalui penuturan secara lisan oleh pendidik kepada peserta didik. b. Metode Tanya Jawab Metode Tanya jawab adalah suatu cara mengajar dimana seorang guru mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid tentang bahan pelajaran yang telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
100
Prinsip dasar metode ini terdapat dalam hadits Tanya jawab antara Jibril dan Nabi Muhammad tentang iman, islam, dan ihsan. c. Metode Diskusi Metode diskusi adalah suatu cara penyajian/penyampaian bahan pelajaran dimana pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik/membicarakan mengumpulkan
dan
pendapat,
menganalisis membuat
secara
kesimpulan
ilmiyah atau
guna
menyusun
berbagai alternatif pemecahan atas sesuatu masalah. Abdurrahman Anahlawi menyebut metode ini dengan sebutan hiwar (dialog). d. Metode Pemberian Tugas Metode pemberian tugas adalah suatu cara mengajar dimana seorang guru memberikan tugas-tugas tertentu kepada murid-murid, sedangkan hasil tersebut diperiksa oleh guru dan murid harus mempertanggung jawabkannya.
e. Metode Demonstrasi Metode demontrasi adalah suatu cara mengajar dimana guru mempertunjukan tentang proses sesuatu, atau pelaksanaan sesuatu sedangkan murid memperhatikannya. f. Metode Eksperimen Suatu cara mengajar dengan menyuruh murid melakukan suatu percobaan, dan setiap proses dan hasil percobaan itu diamati oleh setiap murid, sedangkan guru memperhatikan yang dilakukan oleh murid sambil memberikan arahan. g. Metode Amsal/Perumpamaan Yaitu
cara
mengajar
dimana
guru
menyampaikan
materi
pembelajaran melalui contoh atau perumpamaan. Prinsip metode ini terdapat dalam Al Qur’an:
Modul Filsafat Pendidikan Islam
101
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (Q.S. Al-baqarah : 17) Perumpamaan dilakukan oleh Rasul saw. sebagai satu metode pembelajaran untuk memberikan pemahaman kepada sahabat, sehingga materi pelajaran dapat dicerna dengan baik. Matode ini dilakukan dengan cara menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang lebih konkrit. Perumpamaan yang digunakan oleh Rasulullah saw. sebagai satu metode pembelajaran selalu syarat dengan makna, sehinga benar-benar dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada yang konkrit atau menjadikan sesuatu yang masih samar dalam makna menjadi sesuatu yang sangat jelas.
h. Metode Targhib dan Tarhib Yaitu cara mengajar dimana guru memberikan materi pembelajaran dengan menggunakan ganjaran terhadap kebaikan dan hukuman terhadap keburukan agar peserta didik melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Ganjaran atau sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk pelajar kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati. Sanksi tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan dan terakhir dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik.Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari
Modul Filsafat Pendidikan Islam
102
kalau
tidak
memungkinkan,
hindari
memukul
wajah,
memukul
sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, bukan balas dendam. i. Metode pengulangan (tikrar) Yaitu cara mengajar dimana guru memberikan materi ajar dengan cara mengulang-ngulang materi tersebut dengan harapan siswa bisa mengingat lebih lama materi yang disampaikan. Satu
proses
yang
penting
dalam
pembelajaran
adalah
pengulangan/latihan atau praktek yang diulang-ulang. Baik latihan mental dimana seseorang membayangkan dirinya melakukan perbuatan tertentu maupun latihan motorik yaitu melakukan perbuatan secara nyata merupakan alat-alat bantu ingatan yang penting. Latihan mental, mengaktifkan orang yang belajar untuk membayangkan kejadiankejadian yang sudah tidak ada untuk berikutnya bayangan-bayangan ini membimbing latihan motorik. Proses pengulangan juga dipengaruhi oleh taraf perkembangan seseorang. Kemampuan melukiskan tingkah laku dan kecakapan membuat model menjadi kode verbal atau kode visual mempermudah pengulangan. Metode pengulangan dilakukan Rasulullah saw. ketika menjelaskan sesuatu yang penting untuk diingat para sahabat.
D. Soal 1. Apa pengertian metode dalam filsafat pendidikan Islam? 2. Sebutkan dan jelaskan asas-asas umum dalam filsafat pendidikan Islam? 3. Bagaimana karakteristik metode dalam filsafat pendidikan Islam? DAFTARA PUSTAKA Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Modul Filsafat Pendidikan Islam
103
H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Munif Chatib, Sekolahnya Manusia : Sekolah berbasis multiple Intelligences di Indonesia, Cet. XI, Bandung: Kaifa, 2011. Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988 Beni Ahmad Saebani, dan Hedra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung: Pustaka Setia, 2009
BAB X HAKIKAT EVALUASI DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Rangkaian akhir dari suatu proses pendidikan Islam adalah evaluasi atau penilaian. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap out put yang dihasilkannya. Jika hasilnya sesuai dengan tujuan pendidikan Islam, maka pendidikan ini dinilai berhasil, tetapi jika sebaliknya, maka ini dinilai gagal. Dari sisi ini dapat dipahami betapa urgennya evaluasi dalam proses pendidikan Islam.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
104
A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa mampu memahami pengertian evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam 2. Mahasiswa mampu memahami tujuan dan fungsi evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam 3. Mahasiswa mampu memahami sistem evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa dapat mendeskripsikan evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam 2. Mahasiswa dapat mendeskripsikan tujuan dan fungsi evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam 3. Mahasiswa dapat mendeskripsikan dan mengaplikasikan sistem evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam C. Uraian Materi 1. Pengertian Evaluasi Pendidikan adalah upaya sadar dan tanggung jawab untuk memelihara,
membimbing
dan
mengarahkan
pertumbuhan
dan
perkembangan kehidupan manusia agar ia memiliki makna dan tujuan hidup yang hakiki. Shalih Abd Al-Aziz dan Abd Al-Aziz Abd Al-Majid menyatakan :innama alhayat madrasah (bahwasanya hidup adalah salah satu lembaga pendidikan). Sebagai suatu proses pendidikan bertujuan untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan pada setiap si terdidik. Proses pendidikan tidak terlepas dari beberapa komponen yang mendukungnya, dan salah satu komponen yang urgent adalah penilaian atau evaluasi. Evaluasi berasal dari kata to evaluate yang berarti “menilai”.Kata nilai menurut filosof pengertiannya adalah idea of worth. Selanjutnya kata nilai menjadi populer, bahkan menjadi istilah yang ditemukan dalam dunia ekonomi, kata nilai biasa dipautkan dengan harga. Nilai artinya power in exchange. Sedangkan menurut pengertian pengertian istilah
Modul Filsafat Pendidikan Islam
105
evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan. Menurut Edwin Wand dan Gerald W. Brow dalam bukunya Esseential of Educational Evaluation, mengemukakan bahwa: Evaluation refers to the act or process to determining the value of something.”(Penilaian dalam pendidikan berarti seperangkat tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu yang berkaitan dengan dunia pendidikan). Ada beberapa pendapat lain tentang definisi mengenai evaluasi: 1. Blomm Evaluasi adalah pengumpulan kegiatan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kegiatannya terjadi perubahan dalam diri siswa menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam diri pribadi siswa. 2. Stuffle Beam Evaluasi
adalah
proses
menggambarkan,
memperoleh
dan
menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan. 3. Cronbach Di dalam bukunya Designing Evaluator of Education and Social Program, telah memberikan uraian tentang prinsip-prinsip dasar evaluasi antara lain: a. Evaluasi program pendidikan merupakan kegiatan yang dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya. b. Evaluasi seyogyanya tidak memberikan jawaban terhadap suatu pertanyaan
khusus.
Bukanlah
tugas
evaluator
memberikan
rekomendasi tentang kemanfaatan suatu program dan dilanjutkan atau tidak.Evaluator tidak dapat memilihkan karier seorang murid. Tugas evaluator hanya memberikan alternatif. c.
Evaluasi merupakan suatu proses terus-menerus, sehingga di dalam proses memungkinkan untuk merevisi apabila dirasakan ada suatu kesalahan-kesalahan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
106
Term evaluasi dalam wacana keislaman, terdapat term-term tertentu mengarah pada makna evaluasi. Term-term tersebut adalah : 1. Al-Hisab memiliki makna mengira, menafsirkan, menghitung dan menganggap. 2. Al-Bala’ memiliki makna cobaan, ujian. 3. Al-Hukm memiliki makna putusan atau vonis 4. Al-Qadha memiliki arti putusan 5. Al-Nazhar memiliki arti melihat 6. Al-Imtihan memiliki arti ujian Beberapa term tersebut boleh jadi menunjukkan arti evaluasi secara langsung, atau hanya sekedar alat atau proses di dalam evaluasi. Hal ini didasarkan asumsi bahwa Al-Qur’an dan Sunnah merupakan azas-azas
atau
prinsip-prinsip
umum
pendidikan,
sedang
operasionalisasinya diserahkan penuh kepada ijtihad umatnya. Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan keputusan-keputusan
kependidikan,
baik
yang
menyangkut
perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan baik yang menyangkut
perorangan,
kelompok, maupun kelembagaan.
Keputusan apapun ditetapkan maksudnya agar tujuan yang dicanangkan dapat tercapai. Penilaian dalam pendidikan Islam bertujuan agar keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam benarbenar sesuai dengan nilai-nilai yang Islami, sehingga tujuan pendidikan Islam yang dicanangkan dapat tercapai. 2.Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan Islam Secara rasional filosofis, pendidikan Islam bertugas untuk membentuk al-Insan al-Kamil atau manusia paripurna. Oleh karena itu, hendaknya di arahkan pada dua dimensi, yaitu : dimensi dialektikal horitontal, dan dimensi ketundukan vertikal. Tujuan program evaluasi adalah mengetahui kader pemahaman anak didik terhadap materi terhadap materi pelajaran, melatih keberanian
Modul Filsafat Pendidikan Islam
107
dan mengajak anak didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan. Selain itu, program evaluasi bertujuan mengetahui siapa diantara anak didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat, kelas maupun tamat. Tujuan evaluasi bukan anak didik saja, tetapi bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu sejauh mana pendidikan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Dalam pendidikan Islam, tujuan evaluasi lebih ditekankan pada penguasaan sikap (afektif dan psikomotor) ketimbang asfek kogritif. Penekanan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang secara besarnya meliputi empat hal, yaitu : a. Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya. b. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat. c. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya. d. Sikap dan pandangan terhadap diri sendiri selaku hamba Allah, anggota masyarakat, serta khalifah Allah SWT. Dari keempat dasar tersebut di atas, dapat dijabarkan dalam beberapa klasifikasi kemampuan teknis, yaitu : 1. Sejauh mana loyalitas dan pengabdiannya kepada Allah dengan indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. 2. Sejauh
mana
peserta
didik
dapat
menerapkan
nilai-nilai
agamanya da kegiatan hidup bermasyarakt, seperti ahlak yang mulia dan disiplin. 3. Bagaimana peserta didik berusaha mengelola dan memelihara, serta menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, apakah ia merusak ataukah memberi makna bagi kehidupannya dan masyarakat dimana ia berada.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
108
4. Bagaimana dan sejauh mana ia memandang diri sendiri sebagai hamba Allah dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang beraneka ragam budaya, suku dan agama. Sedangkan menurut Muchtar Buchari M. Eb, mengemukakan ada dua tujuan evaluasi : 1. Untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik setelah menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu. 2. Untuk mengetahui tingkah efisien metode pendidikan yang dipergunakan dalam jangka waktu tertentu. Fungsi evaluasi adalah membantu anak didik agar ia dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar, serta memberi bantuan kepadanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya. Di samping itu fungsi evaluasi juga dapat membantu seorang pendidik dalam mempertimbangkan adeqvate (baik tidaknya) metode mengajar, serta membantu mempertimbangkan administrasinya. Menurut A. Tabrani Rusyan dan kawan-kawan, mengatakan bahwa evaluasi mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
Untuk mengetahui tercapainya tidaknya tujuan instruksional secara komprehensif yang meliputi aspek pengetahuan, sikap dan tingkah laku.
Sebagai umpan balik yang berguna bagi tindakan berikutnya dimana segi-segi yang sudah dapat dicapai lebih ditingkatkan lagi dan segi-segi yang dapat merugikan sebanyak mungkin dihindari.
Bagi pendidik, evaluasi berguna untuk mengatur keberhasilan proses belajar mengajar bagi peserta didik berguna untuk mengetahui bahan pelajaran yang diberikan dan di kuasai, dan bagi masyarakat untuk mengetahui berhasil atau tidaknya program-program yang dilaksanakan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
109
Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program remedial bagi murid.
Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar.
Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar mengajar yang tepat.
Untuk mengenal latar belakang murid yang mengalami kesulitankesulitan belajar.
3. Prinsip-prinsip Evaluasi Pendidikan Islam Evaluasi dihubungkan
merupakan dengan
penilaian
situasi
aspek
tentang
suatu
aspek
lainnya,
sehingga
yang
diperoleh
gambaran yang menyeluruh jika ditinjau dari beberapa segi. Oleh karena itu dalam melaksanakan evaluasi harus memperhatikan berbagai prinsip antara lain: a. Prinsip Kesinambungan (kontinuitas) Dalam ajaran Islam, sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena dengan berpegang pada prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil (Q.S. 46 : 13-14). b. Prinsip Menyeluruh (komprehensif) Prinsip
yang
melihat
semua
aspek,
meliputi
kepribadian,
ketajaman hafalan, pemahaman ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggung jawab (Q.S. 99 : 7-8).
c. Prinsip Objektivitas Dalam mengevaluasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh dipengaharui oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional. Allah SWT memerintahkan agar seseorang berlaku adil dalam mengevaluasi. Jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi yang dilakukan (Q.S.: 8), Nabi SAW pernah bersabda : “Andai
Modul Filsafat Pendidikan Islam
110
kata Fatimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya aku tidak segansegan untuk memotong kedua tangannya”. Demikian pula halnya dengan Umar bin Khottob yang mencambuk anaknya karena ia berbuat zina. Prinsip ini dapat ditetapkan bila penyelenggarakan pendidikan mempunyai sifat sidiq, jujur, ikhlas, ta’awun, ramah, dan lainnya. 4. Sistem Evaluasi Dalam Pendidikan Islam Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam mengacu pada sistem evaluasi yang digariskan oleh Allah SWT, dalam al-Qur’an dan di jabarkan dalam as-Sunnah, yang dilakukan Rasulullah dalam proses pembinaan risalah Islamiyah. Secara umum sistem evaluasi pendidikan sebagai berikut:
Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dihadapi (Q.S. AlBaqarah/ 2 : 155).
Untuk mengetahui sejauhmana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang telah diaplikasikan Rasulullah saw kepada umatnya (QS. An Naml/27:40).
Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan seseorang, seperti pengevaluasian Allah terhadap nabi Ibrahim yang menyembelih Ismail putra yang dicintainya (QS. Ash Shaaffat/37:103-107).
Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dan pelajaran yang telah diberikan kepadanya, seperti pengevaluasian terhadap nabi Adam tentang asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya dihadapan para malaikat (QS. Al-Baqarah/2:31).
Memberikan semacam tabsyir (berita gembira) bagi yang beraktifitas baik, dan memberikan semacam ‘iqab (siksa) bagi mereka yang berakltifitas buruk (QS. Az Zalzalah/99:7-8).
Modul Filsafat Pendidikan Islam
111
Allah SWT dalam mengevaluasi hamba-Nya, tanpa memandang formalitas (penampilan), tetapi memandang subtansi dibalik tindakan hamba-hamba tersebut (QS. Al Hajj/22:37).
Allah SWT memerintahkan agar berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu, jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi yang dilakukan (QS. Al Maidah/5:8).
5. Sasaran Evaluasi Langkah
yang
harus
ditempuh
seorang
pendidik
dalam
mengevaluasi adalah menetapkan apa yang menjadi sasaran evaluasi tersebut. Sasaran evaluasi sangat penting untuk diketahui supaya memudahkan pendidik dalam menyusun alat-alat evaluasinya. Pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi, yaitu:
Segi tingkah laku, artinya segi-segi yang menyangkut sikap, minat, perhatian, keterampilan murid sebagai akibat dari proses belajar mengajar.
Segi pendidikan, artinya penguasaan pelajaran yang diberikan oleh guru dalam proses belajar mengajar.
Segi yang menyangkut proses belajar mengajar yaitu bahwa proses belajar mengajar perlu diberi penilaian secara obyektif dari guru. Sebab baik tidaknya proses belajar mengajar akan menentukan baik tidaknya hasil belajar yang dicapai oleh murid. Dengan menetapkan sasaran diatas, maka pendidik lebih mudah
mengetahui alat-alat evaluasi yang dipakai baik dengan tes maupun non tes.
Kedudukan akademis setiap murid, baik dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya, sekolahnya, maupun dengan sekolahsekolah lain.
Kemajuan belajar dalam satu pelajaran tertentu, misalnya tauhid, fiqih, tarikh dan lainnya.
Kelemahan dan kelebihan murid.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
112
Dalam evaluasi pendidikan Islam ada empat sasaran pokok yang menjadi target.
Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadi dengan Tuhannya.
Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungannya dengan masyarakat.
Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dengan kehidupan yang akan datang.
Sikap dan pandangannya terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah Allah di bumi. Dalam melaksanakan evaluasi pendidika Islam ada 2 cara yang
dapat ditempuh diantaranya: a. Kuantitatif Evaluasi kuantitatif adalah cara untuk mengetahui sebuah hasil pendidikan dengen cara memberikan penilaian dalam bentuk angka. (5, 7,90) dan lain-lain. b. Kualitatif Evaluasi kualitatif adalah suatu cara untuk mengetahui hasil pendidikan yang diberikan dengan cara memberikan pernyataan verbal dan sejenisnya (bagus, sangat bagus, cukup, baik, buruk) dan lain-lain. D. Soal 1. Apa yang dimaksud dengan evaluasi pendidikan Islam? 2. Deskripsikan tujuan dan fungsi evaluasi pendidikan Islam? 3. Bagaimana evaluasi dalam pendidikan Islam dan berikan contohnya?
DAFTAR PUSTAKA
Modul Filsafat Pendidikan Islam
113
H. Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Cet.6, Jakarta: Rieneka Cipta, 2010. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009. Beni Ahmad Saebani, dan Hedra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
BAB XI PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SUATU SISTEM
Kata sistem sering diungkapkan berbagai seminar, diskusi, ceramah, dan sebagainya. Sebenarnya, apa arti sebenarnya dari sistem
Modul Filsafat Pendidikan Islam
114
itu? Hal ini penting sebab sistem pendidikan Islam tidak akan dipahami jika arti sistem belum sepenuhnya dipahami. Ada yang mengartikan sistem sebagai himpunan gagasan atau prinsip
yang
saling
bertautan,
yang
tergabung
menjadi
suatu
keseluruhan. Dengan demikian, dalam sistem terdapat tiga hal yang mendasar, yaitu: 1. Adanya berbagai komponen, gagasan, konsep dan prinsip-prinsip. 2. Adanya saling keterpautan antar komponen, gagasan, konsep dan prinsip. 3. Adanya kesatupaduan antar komponen, gagasan serta prinsip yang saling berhubungan sehingga membentuk konsep sistemik yang menjadi terminologi umum dari semua komponen yang ada.7 A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa mampu memahami dasar-dasar sistem pendidikan Islam 2. Mahasiswa mampu memahami pendidikan Islam sebagai suatu sistem kebenaran universal 3. Mahasiswa mampu memahami tujuan sistemik pendidikan Islam B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa
dapat
mendeskripsikan
dasar-dasar
sistem
pendidikan Islam 2. Mahasiswa
dapat
mendeskripsikan
dan
menganalisa
pendidikan Islam sebagai suatu sistem kebenaran universal 3. Mahasiswa dapat menyebutkan dan mengkritisi tujuan sistemik pendidikan Islam C. Uraian Materi 1. Dasar-dasar sistem pendidikan Islam
7
Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan Sisten dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), 19.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
115
Pendidikan Islam sebagai sebuah sistem dapat dipahami bahwa dalam pendidikan Islam terdapat gagasan, prinsip-prinsip, dan subsistem lainnya yang saling berhubungan. Oleh karena itu, yang perlu diketahui lebih dahulu adalah dasar-dasar pendidikan Islam sebagai sistem. Dasar artinya tempat berpijak atau landasan, yang merupakan titik tolak keberangkatan segala sesuatu. Jika pendidikan Islam dikatakan sebagai sistem, pertanyaannya apa hakikat pendidikan Islam, bagaimana sumber dan pijakannya, dan untuk apa pendidikan Islam itu ada? Dasar sistem berpikir filsafat, pendidikan Islam dinyatakan sebagai sistem. Artinya, pendidikan Islam berkaitan dengan tiga unsur fundamental, yaitu: a. Realitas masyarakat yang memandang ajaran-ajaran Islam merupakan ide dasar pendidikan dunia dan akhirat. b. Ilmu pengetahuan tidak sebatas memahami yang lahiriah, tetapi yang bathiniah pun menjai objek kajian, sebagaimana manusia dibimbing bukan hanya aspek jasmaninya, melainkan juga rohaninya. c. Semua yang ada dan tanpa ilmu pengetahuan akan terus berubah. Perubahan merupakan hukum alam, sedangkan ilmu pengetahuan diketahui melalui pendidikan yang sumbernya dapat bervariasi, sebagaimana ilmu yang bersumber dari pengalaman fisikal atau indrawi atau dari pengalaman intuitif. Dalam system filsafat, realitas kehidupan dikembangkan melalui pengetahuan yang tanpa batas dan nilai sebagai tujuan manusia
mengembangkan
pengetahuan.
Dengan
demikian,
pendidikan Islam merupakan system yang dibangun oleh dasar-dasar yang sangat kuat, yaitu sebagai berikut. 1) Al-Quran
Modul Filsafat Pendidikan Islam
116
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Al-quran sebagai dasar pendidikan Islam artinya sebagai titik tolak keberangkatan sistem pendidikan Islam, seperti yang dikutip pada surah Al-‘alaq ayat 1-5 yang berikut:
Artinya: (1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. (2)Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3)Bacalahlah yang maha pemurah. (4)Yang mengajar (manusia) dengan prantara kalam. (5)Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S.Al-Alaq: 1-5) Ayat diatas adalah ayat al-quran yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika beliau sedang berkhalwat di gua Hira. Ayat tersebut bukan hanya perintah untuk Nabi Muhammad SAW. saja untuk membaca tapi juga perintah bagi seluruh umat manusia, agar manusia memahami sedalam-dalamnya maksud Allah menciptkan ala mini dan pandai bersyukur. Al-quran merupakan dasar pendidikan Islam karena Al-quran menyampaikan pesan-pesan pendidikan kepada manusia yang berakal. Bukti bahwa al-quran memberikan dorongan agar segala hal harus menggunakan akal adalah Firman Allah berikut ini: Surah Al-Baqarah ayat 269:
Artinya: Modul Filsafat Pendidikan Islam
117
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-quran dan As-sunah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang disnugerahi Al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” Dari ayat Al-quran diatas, dapat diambil pemahaman bahwa dasar pendidikan Islam adalah Al-quran yang didalamnya terdapat ayat-ayat yang memanggil manusia untuk selalu menggunakan akalnya dalam kehidupan. Bahkan, untuk bersyukur dengan baik dan benar pun, manusia harus mempergunakan akalnya. Akal manusia hanya dapat diberdayakan dipertajam melalui pendidikan. Disamping itu juga selain uraian diatas Al-quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk disampaikan kepada umat manusia, banyak memiliki fungsi baik bai Nabi Muhammad itu sendiri maupun bagi kehidupan manusia secara keseluruhan. Diantara fungsi Al-quran adalah sebagai berikut: a. Bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya. b. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan. c. Petunjuk
mengenai
akhlak
yang
murni
dengan
jalan
menerangkan norma-norma keagamaan dan kesusilaan yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual yang kolektif. d. Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasardasar
hukum
yang
harus
diikuti
oleh
manusia
dalam
hubungannya dengan Tuhan dan sesame manusia. dengan kata lain, al-quran adalah petunjuk bagi umat manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat. Jadi, bahwa Al-quran sebagai sumber ilmu pendidikan Islam, dapat katakan bahwa kajian yang berkaitan dengan ilmu pendidikan Islam bukan berarti ilmu agama Islam sebagai salah satu mata kuliah,
Modul Filsafat Pendidikan Islam
118
melainkan sebagai paradigma ilmu pengetahuan yang berbasis kepada Islam atau sebagai sistem pendidikan Islam. Dalam ilmu pendidikan Islam yang sumbernya wahyu Al-quran, kajiannya tidak sebatas yang berkaitan sains, filsafat dan agama dalam arti sebagai doktrin. Hal ini karena di dalam Al-quran dibicarakan persoalan hukum alam, hukum Allah, hukum kemanusiaan, dan masalah-masalah yang metafisikal maka semua menjadi objek kajian ilmu pendidikan Islam. 2) Sunnah Dasar pendidikan Islam kedua As-Sunnah, yang merupakan barometer keberhasilan Allah menghadirkan manusia teladan yang sempurna. Nabi Muhammad SAW. terkenal sebagai manusia yang paling jujur,
amanah, tablig, dan fathanah.
Pendidikan
yang
mencerminkan teladan Nabi Muhammad SAW. adalah sistem pendidikan yang bertujuan membentuk anak didik yang amanah, tablig, dan fathanah, artinya semua ilmu yang dimiliki wajib diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dimanfaatkan dan didakwahkan kepada semua masyarakat, serta menjaga nama baik Islam sebagai agama yang kebenarannya universal. 3) Atsar dan Ijma Sahabat Atsar dan ijma sahabat menjadi dasar pendidikan Islam. Sebagaimana dalam sejarah digambarkan bahwa para sahabat bergotong
royong membangun mesjid
Nabawi
sebagai
pusat
pendidikan Islam, membangun majelis taklim, membangun madrasah dan menyebarkan ilmu yang diterima dari Rasulullah SAW. 4) Ijtihad ulama Dasar pendidikan Islam berikutnya adalah pendapat atau ijtihad para ulama, yang menurut sejarah tidak sedikit para ulama yang mendirikan
sekolah
dan
membangun
lembaga
pendidikan.
Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh politik dan pendidik yang menyarankan agar umat Islam keluar dari belenggu taklid, fanatisme
Modul Filsafat Pendidikan Islam
119
buta
dan
kebodohan,
dengan
memperbanyak
mencari
ilmu,
mengembangkan dunia pendidikan, dan berijtihad. Secara terminologis, ijtihad adalah: a. Pengerahan akal pikiran manusia yang berilmu b. Menggunakan
akalnya
dengan
sungguh-sungguh
karena
adanya dalil-dalil yang zhanni dari Al-quran dan Al-hadis c. Berkaitan dengan segala hal yang nashnya masih samar dan bersifat amaliah d. Menggali kandungan Al-quran dan As-sunnah dengan berbagai usaha dan pendekatan e. Dalil-dalil yang ada dirinci sedemikian rupa sehingga hilang kezhani-anya f. Hasil ijtihad berbentuk pemahaman para ulama yang mudah diamalkan. Dengan demikian, ijtihad yang akan dijadikan dasar pendidikan Islam adalah ijtihad yang berpijak pada AL-quran dan As-sunnah, bukan ijtihad yang liberal tanpa pertimbangan nilai. Dalam pendidikan Islam tidak dikenal netralitas etika atau bebas nilai. Pendidikan Islam dikembnagkan sebagai sistem karena mengajarkan cara berpikir dengan rasio dan hati, mengajarkan keterampilan jasmani dan memperhalus budi pekerti dengan tuntunan ajaran Islam. 2. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem kebenaran universal Objek ilmu adalah kesatupaduan ontologism alam-manusiaAllah, sedangkan praksis ilmu adalah kesatupaduan praksiologis Assam’a-al-abshara-al-af-iddah. Demikian pula, struktur ilmu merupakan kesatupaduan
epistimologi
al-‘ilmi-al-hikmat-al-kitab.
Akhirnya,
konteks ilmu menurut Al-quran mempunyai kesatupaduan aksiologis al-‘ilm-al-huda-al-kitab. Keempat kesatupaduan kesatupaduan
kesatupaduan ontologism,
kesatupaduan
epistemologis-serta
Modul Filsafat Pendidikan Islam
atau
integralitas
tersebut-
praksiologism
kesatupaduan
dan
aksiologis-
120
merupakan aspek-aspek kesatupaduan atau integralitas ilmu yang berkaitan dengan kategori-kategori integralis yaitu materi, energy, informasi dan nilai-nilai. Keempat keterpaduan itu mempunyai sifatsifat kesatupaduan karena adanya kategori integralis kelima, yaitu sumber. Dalam Islam, sumber utama ilmu adalah satu, yaitu Allah SWT Yang Maha Esa. Dengan demikian, sistem pendidikan Islam dan pendidikan Islam sebagai sistem adalah integralitas antara unsur-unsur dibawah ini: a. Integralitas unsur ilahiah, alamiah, dan insaniah karena tujuan pendidikan Islam terfokus pada pemberdayaan alam dan manusia dengan bertitik tolak dari nilai-nilai ilahiah dan rabbaniah atau kependidikan yang berbasis kepada Al-quran dan As-sunnah. b. Integralitas
antara
hati,
akal
dan
pancaindra. Tiga
alat
pendeteksi kebenaran, yang bersifat intuitif dan metafisikal, kebenaran rasional, dan kebenaran empirik. c. Integralitas antara ilmu pengetahuan, hidayah dan sumber ilmu pengetahuan. Tiga unsur tersebut di atas harus merupakan sistem terpadu dan universal yang akan diterapkan dalam pendidikan Islam. Kebenaran universal artinya tidak mengenal situasi dan kondisi karena memiliki fleksibelitas yang tinggi, tidak mengenal kadaluarsa karena kebenarannya
bukan
semata-mata
materiil,
melainkan
juga
substansial, bukan sebatas tekstual, melainkan juga kontekstual, bukan sebatas fisikal, melainkan juga metafisikal, natural dan supranatural, rasional dan suprarasional. Oleh karena itu sistem pendidikan Islam dapat digunakan kapan pun, di mana pun, dan oleh siapa pun, mengingat sumber ontologisnya bersifat universal. Jadi, pendidikan Islam sebagai suatu sistem dapat diwujudkan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip di dibawah ini:
Modul Filsafat Pendidikan Islam
121
a. Prinsip qur’ani, yakni Al-quran sebagai dasar pendidikan Islam b. Prinsip aqly, yakni akal sebagai alat untuk mendalam ayat-ayat Ilahi c. Prinsip ‘ilmu bi al-‘amali, yakni pengetahuan praktis, semua ilmu untuk diamalkan d. Prinsip ‘ilmu bi al-hidayati, ilmu sebagai hidayah kehidupan, dan e. Prinsip ‘ilmu bi al-taghayur, ilmu yang fleksibel dan multitafsir untuk segala zaman, waktu, situasi dan kondisi. Pada prinsipnya, ilmu pendidikan Islam berfungsi untuk mengembangkan pendidikan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, harus diaplikasikan pada hal-hal sebagai berikut: a. Pendidikan Islam harus diorientasikan pada upaya mewujudkan nilai-nilai Ilahiah dalam pribadi setiap peserta didik. Pendidikan Islam adalah upaya manusia untuk menginternalisasikan sifat-sifat Allah yang ada pada dirinya. b. Pendidikan Islam sesungguhnya diorientasikan umat Islam pada upaya mengenal Allah, mendekati-Nya, dan menyerahkan diri pada-Nya c. Kemutlakan Allah dalam segala dimensi-Nya harus tampak dalam seluruh komponen pendidikan Islam, baik dalam tujuan, materi, dan komponen pendidikan lainnya. d. Dimensi kebenran Allah mengisyaratkan bahwa hanyalah Dia sumber kebenaran, melahirkan cara pandangan epistimologis tentang apa yang disebut dengan pengetahuan; tidak ada pengetahuan yang dianggap benar jika tidak bersumber dan tidak merujuk tanda-tanda Allah, baik Qauniyah maupun Qauliyah; hal itu berlaku juga dalam ilmu pendidikan Islam. 3. Tujuan sistemik pendidikan Islam Islam mengajarkan bahwa seluruh aktivitas manusia bertujuan untuk meraih tercapainya insane yang beriman dan bertaqwa. Apabila anak didik telah beriman dan taqwa, artinya tujuannya telah tercapai.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
122
Keimanan
seseorang
hanya
dapat
dilihat
dari
amal
perbuatannya sebab amal perbuatan menjadi indikatoryang amat penting untuk mengukur keimana seorang muslim. Apabila dikaitakan dengan pendidikan Islam yang bertujuan mencetak anak didik yang beriman, wujud dari tujuan itu adalahakhlak anak didik, sedangkan akhlak anak didik itu mengacu pada kurikulum yang diterapkan dalma pendidikanyang dilaksanakan di berbagai lembaga, baik dilembaga pendidikan formal maupun nonformal. Beberapa indikator dari tercapainya tujuan pendidikan Islam dapat dibagi menjaditiga tujuan mendasar, yaitu: a. Tercapainya anak didik yang cerdas. Ciri-cirinya adalah memiliki tingkat kecerdasan intelektualitas yang tinggi sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh dirinya sendiri maupun membantu
menyelesaikan
masalah
orang
lain
yang
membutuhkannya. b. Tercapainya anak didik yang memiliki kesabaran atau kesalehan emosional, sehingga tercemin dalam kedewasaan menghadapi masalah di kehidupannya. c. Tercapainya anak didik yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu menjalankan Alllah dan Rasulullah SAW. dengan melaksanakan rukun Islam yang lima dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Islam bertujuan membangun karakter anak didik yang kuat menghadapi berbagai cobaan dalam kehidupan da telaten, sabar serta cerdas dalam memecahkan masalah yang dihadapi. H. M. Arifin membedakan tujuan pendidikan Islam secara teoritis dan dalam proses. Tujuan secara teoritis ini terdiri dari berbagai tingkat antara lain: a. Tujuan intermediair, tujuan akhir, tujuan incidental
Modul Filsafat Pendidikan Islam
123
1) Tujuan intermediair, yaitu tujuan yang merupakan batasan kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan tingkat tertentu. 2)
Tujuan
incidental
merupakan
peristiwa
tertentu
yang
direncanakan, tetapi dapat dijadikan sasaran dari pendidikan pada tujuan intermediair. 3) Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allahlahir dan bathin di dunia dan akhirat. b. Dilihat dari segi pendekatan sistem instruksional, tujuan pendidikan dibedakan menjadi: 1) Tujuan instruksional khusus, diarahkan pada setiap bidang studi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik. 2) Tujuan instruksional umum, diarahkan pada penguasaan arti pengamalan suatu bidang studi secara umum atau garis besarnya sebagai suatu kebulatan. 3) Tujuan kurikuler, yaitu ditetapkan untuk dicapai melalui garisgaris besar program pengajaran (GBPP) di tiap institusi (lembaga pendidikan). 4) Tujuan instriksional, yaitu tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di tiap sekolah atau lembaga pendidikan tertentu secara bulat atau terminal seperti tujuan institusional SMPTP/SMTA atau STM/SPG (tujuan terminal). 5) Tujuan umum, atau tujuan nasional, adalah cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui proses kependidikan dengan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal (sekolah). Sistem nonformal (nonklasikal dan nonkurikuler), maupun sistem informal (yang tidak terikat oleh formalitas program ruang dan materi).
Modul Filsafat Pendidikan Islam
124
c. Ditinjau dari segi pembidangan tugas dan fungsi manusia secara filosofis, tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: 1) Tujuan individual Suatu tujuan yang menyangkut individu, melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat. 2) Tujuan sosial Suatu
tujuan
yang
berhubungan
dengan
kehidupan
masyarakat dan dengan tingkah lakunya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya. 3) Tujuan professional Suatu tujuan yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni
dan
profesi
serta
sebagai
suatu
kegiatan
dalam
masyarakat. d. Ditinjau dari segi pelaksanaannya, tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi: 1) Tujuan operasional Tujuan operasional, yaitu tujuan yang dicapai menurut program yang telah ditentukan atau ditetapkan dalam kurikulum. 2) Tujuan fungsional Tujuan fungsional, yaitu tujuan yang telahducapai dalam arti kegunaannya, baik dari aspek teoritis maupun aspek praktis. Adapun tujuan dalam proses mencakup 2 macam yaitu: 1) Tujuan keagamaan, yaitu tujuan yang terisi penuh nilai rohaniah Islam dan beroreintasi padakehidupan diakhirat. Tujuan ini difokuskan pada pembentukkan pribadi muslim yang sanggup melaksanakan syariat Islam melalui proses pendidikan spiritual menuju ma’rifat kepada Allah.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
125
2) Tujuan keduniaan, tujuan ini lebih mengutamakan pada upaya untuk
mewujudkan
kesejahteraan
hidup
di
dunia
dan
kemanfaatannya. Perlu ditegaskan lagi bahwa tujuan pendidikan Islam secara esensial adalah terwujudnya anak didik yang memahami ilmu-ilmu keislaman dan mengamalkannya dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan kata lain, terwujudnya insan kamil, yakni manusia yang kembali kepada fitrahnya dan kepada tujuan kehidupannya sebagaimana ia berikrar sebagai manusia yang datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Dengan pandangan tersebut, secara sistematis, pendidikan Islam menjadi suatu sistem dengan landsan-landasan yang kuat apabila semua ruang lingkup yang terdapat dalam pendidikan tersebut tersedia dengan baik dan benar. Itulah pandangan ajaran Islam tentang pendidikan Islam. Al-quran dan al-hadis mewajibkan umat Islam mencari ilmu dan membangun lembaga pendidikan Islam. Karena dengan ilmu pendidikan Islam, umat Islam akan terhindar dari pendidikan berbasis
kepada
Pendidikan
Islam
nilai-nilai dibangun
sekuleritas bukan
dan faham
hanya
liberalism.
sekedar
penggur
kewajiban, tetapi sebgai cita-cita dn tujuan hidup umat Islam. D. Soal 1. Uraikan dasar-dasar sistem pendidikan Islam? 2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pendidikan Islam sebagai sistem kebenaran universal? 3. Sebutkan dan berikan argument kritis terhadap tujuan sistemik pendidikan Islam?
Modul Filsafat Pendidikan Islam
126
DAFTAR PUSTAKA
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia : Sekolah berbasis multiple Intelligences di Indonesia, Cet. XI, Bandung: Kaifa, 2011. H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. A. Tafsir, dkk, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Editor: Tedi Priatna, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004. H. Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, , Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia 2009 Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan Yogyakarta: Andi Offset, 1992.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
Sisten
dan
Metode,
127
BAB XII PELUANG DAN TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Isu penting dalam pendidikan Islam di era global sekarang adalah munculnya tuntutan masyarakat di era modern ini terhadap penguatan sistem pendidikan. Semua sistem pendidikan dituntut lebih maju dan dapat mengakomadasikan kebutuhan masyarakat modern, tidak saja tuntutan terhadap peningkatan kualitas kurikulum tetapi juga tuntutan dalam
kemajuan
dalam
memfasilitasi
pendidik,
peserta
didik,
manajemen, sarana dan prasarana pendidikan, yang disertai dengan perangkat teknologi canggih agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itulah, relasi antara sistem pendidikan Islam dengan kemajuan teknologi perlu dilihat secara hati-hati agar dapat ditemukan peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan dan tantangan yang perlu diselesaikan demi kemajuan pendidikan Islam di masa saat ini. A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa mampu memahami peluang pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan zaman 2. Mahasiswa mampu memahami tantangan pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan zaman B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa dapat menganalisis peluang pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan zaman. 2. Mahasiswa dapat menganalisis dan mengkritisi tantangan pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan zaman.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
128
C. Uraian Materi 1. Peluang pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan zaman Pendidikan Islam dari perspektif esensi pengajaran mempunyai keunggulan, karena di dalamnya terdapat pengajaran umum plus agama. Pendekatan keagamaan memberikan posisi strategis bagi pendidikan Islam mendidik generasi muda masyarakat Islam dalam menumbuhkembangkan potensi-potensi bawaan, baik bawaan jasmani maupun rohani sejalan dengan norm yang tumbuh, kembang dan dipakai dalam masyarakat dan kebudayaannya. Baik pendidikan Islam itu berakar dari pemaknaan tarbiyah, ta’lim, tahdzib, maupun ta’dib dll., tetap saja mempunyai substansi pemberiaan ilmu pengetahuan dan pengembangan keseluruhan potensi diri manusia, baik potensi bawaan sesuai dengan fitrahnya maupun potensi yang wujud dan berubah karena berbagai faktor pengaruh lingkungan, sekaligus pembentukan kepribadian, prilaku (budaya) dan sikap mental. Pendidikan Islam merupakan proses bimbingan pengembangan jasmani dan rohani manusia dengan ajaran Islam sejalan dengan fitrah manusia itu agar mereka mampu melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan tujuan hidupnya diciptakan khaliq-Nya. Pendapat tadi merupakan penguatan pengakuan terhadap dasar pendidikan Islam itu sendiri yakni al-Qur’an dan Hadis, karena dua sumber dasarnya ini menekankan pendidikan itu sesuai fitrah kearah tujuan tertinggi yakni insan kamil (manusia sempurna). Meskipun pendidikan Islam mengadopsi nilai-nilai sosial kemasyarakatan, syah saja selama tidak bertentangan dengan dasar-dasarnya di al-Qur’an dan Hadis dan bermanfaat atau tidak memberikan kemudharatan bagi manusia. Berkenaan dengan perinsip ini, pendidikan Islam menjadi jelas dapat diletakkan dalam kerangka sosiologis, selain menjadi sarana transmisi pewarisan kekayaan sosial budaya dalam pembentuk prilaku yang positif.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
129
Karena pendidikan Islam itu juga berada dalam kerangka sosiologis, maka lingkungan strategis situasi perkembangan sosial budaya dan teknologi modern baik tingkat internasional (global), maupun regional, nasional dan lokal berpengaruh pada perjalanan dan menjalankan sistem pendidikan itu. Sungguh pun demikian dengan potensi pendidikan Islam yang ada dimanfaatkan akan dapat merebut peluang dan menghadapi tantangan dan atau merubah tantangan menjadi peluang di dalam semua tingkatan lingkungan strategis itu termasuk di era global dalam lingkungan strategis internasional. Pendidikan
Islam
dalam
lingkungan
strategis
nasional
(Indonesia) secara objektif mempunyai potensi besar dimanfaatkan untuk meraih peluang maju. Di antara potensi besar pendidikan Islam itu: 1. Masyarakat pendukung pendidikan Islam, umat Islam dominant dan panatik terhadap pendidik Islam tinggi 2. Pengalaman besar dan sudah lama masanya eksis secara mandiri 3. Lembaga
pendidikan
Islam
beragam
bentuk
dan
banyak
jumlahnya 4. SDM para pakar dan menejer pendidikan Islam banyak 5. Sudah mempunyai sistim yang kuat 6. Ada Departemen khusus memayunginya yakni Depatemen Agama Potensi pendidikan Islam ini sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan, untuk meraih peluang. Peluang-peluang cukup banyak dan besar. Di lingstra nasional Indonesia pendidikan Islam, mempunyai peluang di antaranya: 1. Akreditasi kelembagaan pendidikan 2. Standardisasi kelulusan 3. Sertifikasi guru/ pendidik 4. Anggaran pendidikan besar
Modul Filsafat Pendidikan Islam
130
5. Mendapat kedudukan yang sama dalam kebijakan nasional dalam bidang pendidikan. Peluang pendidikan Islam dalam lingstra Internasional dilihat dari perkembangan triple-t globalisasi (telekomunikasi, transportasi dan tourism) cukup banyak. Diambil contoh t-telekomunikasi dengan perkembangan teknologinya memberikan peluang pengembangan sistim manajemen dan informasi (SIM) pendidikan diperkuat dengan local area network (LAN) berbasis webs yang dapat diakses di mana dan kapan saja. Lembaga-lembaga pendidikan dengan manajemen pendidikan sekolah modern dapat dipersiapkan dengan didukung information, communication and technology (ICT) yang menggunakan teknologi media canggih, mulai dari perangkat keras (computer, tv, radio, telepon seluler) dengan perangkat lunaknya dalam bentuk segala bentuk system dan network system canggih dengan situs-situs yang dapat diakses. Impact-nya dengan dukungan teknologi komunikasi baik perangkat keras dan perangkat lunaknya tadi, kelembagaan pendidikan akan berpeluang melakukan pembaharuan dengan kunci komunikasi dan informasi yang mudah diakses dan mengakses dari sumber mana, dimana dan kapan saja. Pemanfaatan potensi besarnya jumlah umat Islam, pengalaman dalam mengembangkan pendidikan secara mandiri, kekuatan lembagalembaga pendidikan Islam yang sudah maju, pendayagunaan para pakar
dan
menejer
pendidikan
Islam
yang
cukup
banyak,
mengembangkan sistim pendidikan yang sudah mendapat pengakuan, memaksimalkan fungsi Departemen Agama dalam pengembangan pendidikan,
dipastikan
peluang-peluang
peningkatan
kemajuan
pendidikan Islam dapat direbut. Tidak akan sulit mengembangkan kelembagaan
pendidikan
Islam
terakreditasi
menuju
lembaga
pendidikan maju bertaraf internasional, peluang anggaran akan terbuka, apalagi kedudukan pendidikan agama sudah sama dengan pendidikan umum dari perspektif kebijakan pendidikan nasional,
Modul Filsafat Pendidikan Islam
131
standarisasi kelulusan memberikan jaminan kualitas ketenagaan yang siap akses pangsa pasar kerja, karenanya pendidik/ guru terakreditasi dalam upaya mengejar kualitas dan pemenuhan kesejahteraan dan terbuka
pembentukan
prilaku
zuhud
pada
guru.
Optimisme
pemanfaatan potensi merebut peluang globalisasi di awal milenium ketiga ini, akan semakin nyata menjadi kekuatan dalam peningkatan pendidikan Islam itu, apalagi ada momentum dukung dengan situasi umat Islam, sejak awal abad ke-15 hijrah dicanangkan sebagai abad kebangkitan dan dinyatakan sebagai awal survival umat Islam. Kebangkitan Islam itu merupakan proses penuh perubahan yang dilakukan umat Islam untuk mewujudkan kehidupan yang maju dan sejahtera setingkat dengan umat manusia lainnya yang sudah lebih dahulu mencapai kondisi demikian . Dengan perkataan lain, umat Islam kembali membentuk peradaban yang setingkat dengan peradaban lainnya. Peradaban itu secara esensial memperlihatkan kehidupan yang penuh nilai spiritual dan material. Nilai spiritual dan material itu kata Sayidiman (2002) dapat menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya peradaban itu. Sebab itu umat Islam membangun kehidupan spiritual dan moral sesuai dengan ajaran Islam termasuk melalui lembaga pendidikan untuk menjadi pemicu bagi seluruh kehidupan umat Islam yang bermakna. Di pihak lain diwujudkan pula perubahan dalam kondisi material umat Islam untuk menciptakan kesejahteraan. Semakin tinggi hasil pembangunan moral-spiritual dan material itu semakin tercipta peradaban Islam. 2. Tantangan pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan zaman Perjuangan memanfaatkan potensi merebut peluang dan atau menggunakan potensi untuk mengatasi tantangan mendukung gerakan survival
umat
dalam
kebangkitan
Islam
termasuk
memajukan
pendidikan Islam, tak luput dari berbagai tantangan yang kadang tidak
Modul Filsafat Pendidikan Islam
132
saja bias menjadi kendala, hambatan bahkan menjadi bias ancaman yang seringkali amat berbahaya dan merugikan. Tantangan khusus pendidikan Islam dalam lingstra Internasional dilihat dari triple-t globalisasi (telekomunikasi, transportasi dan tourism) tadi, cukup menarik. Dari sisi triple telekomunikasi saja misalnya, terdapat tantangan di antaranya: 1. Informasi terbuka dan bebas masuk melalui teknologi media canggih tanpa hambatan ruang dan waktu. 2. Komunikasi canggih memperkecil dunia, mulai dari lintas kota– desa, daerah–nasional, nasional–internasional dan lintas benua. 3. Tersedia
situs
pencari
inforamsi
dan
media
penghubung
komunikasi dalam bentuk perangkat lunak segala bentuk sistim jaringan (face books, e-mail, blogg, webset dll). 4. Tersedia teknologi informasi dan media elektronik dan cetak canggih perangkat keras seperti personal computer dan jaringan, offset, camera webs, telpon seluler, jaringan televise, DVD dsb. 5. Tumbuh bisnis informasi dan komunikasi dengan teknologi yang siap layan dengan mudah dan murah serta memenuhi kebutuhan konsumen, dll. Tantanan triple telekomunikasi ini saja, sudah sedemikian hebat kalau dapat dirubah menjadi peluang. Kemampuan mendayagunakan potensi besarnya dukungan jumlah umat Islam, pengalaman dalam mengembangkan pendidikan secara mandiri, kekuatan lembagalembaga pendidikan Islam yang sudah maju, pendayagunaan para pakar
dan
menejer
pendidikan
Islam
yang
cukup
banyak,
mengembangkan sistim pendidikan yang sudah mendapat pengakuan, memaksimalkan fungsi Departemen Agama dalam pengembangan pendidikan, dipastikan tantangan triple telekomunikasi eraglobal tadi dapat dirubah menjadi peluang dan kesempatan emas dalam upaya peningkatan kemajuan pendidikan Islam. Dengan pendayagunaan potensi ini dengan mengakomodasikan tantangan (1) informasi global
Modul Filsafat Pendidikan Islam
133
terbuka dan bebas masuk melalui teknologi media canggih tanpa hambatan ruang dan waktu, (2) komunikasi canggih memperkecil dunia, mulai dari lintas kota – desa, daerah – nasional, nasional – internasional dan lintas benua, (3) tersedia situs pencari inforamsi dan media penghubung komunikasi dalam bentuk perangkat lunak segala bentuk sistim jaringan (face books, e-mail, blog, webset dll), (4) tersedia teknologi informasi dan media elektronik dan cetak canggih perangkat keras seperti personal computer dan jaringan, offset, camera webs, telpon seluler, jaringan televise, DVD dsb., (5) tumbuh bisnis informasi dan komunikasi dengan teknologi yang siap layan dengan mudah dan murah serta memenuhi kebutuhan konsumen, dll., optimis tantangan gloal ini dapat dirubah menjadi peluang besar mengatasi kelemahan pendidikan
Islam
dengan
memperkuat
perencanaan
dan
implementasinya didukung. Tantangan global itu berpotensi besar pula menyulap penyelenggaraan pendidikan Islam dengan memperkuat dengan basis informasi dan komunikasi baik dengan perangkat keras teknologinya maupun perangkat lunaknya yang amat canggih, sehingga mengantarkan lembaga-lembaga pendidikan, pendidik dan kualitas peserta didik dan outputnya ke level yang setara dengan pendidikan maju di dunia internasional. Sebagai sebuah analisis perkembangan pendidikan di era global, disadari
tidak
semua
perjuangan
mulus,
dipastikan
tantangan
terkadang menjadi kendala, hambatan bahkan menjadi ancaman. Ketidaksiapan
menyambut
kemajuan
teknologi
informasi
dan
komunikasi era global tadi akan melahirkan dan memunculkan pengaruh negative. Itu terjadi manakala kelemahan tidak dapat diminimalisir maka tantangan akan berubah menjadi ancaman. Kelemahan itu masih ada yang bersumber dari internal umat Islam sendiri plus tantangan yang datang dari luar dengan arus keras. Perjuangan yang harus digerakan menangkap dan atau merubah tantangan menjadi peluang pendidikan Islam di era globalisasi,
Modul Filsafat Pendidikan Islam
134
bagaimana para penyelenggara pendidikan itu mampu di samping mendayagunakan potensi yang ada untuk merebut peluang dan atau mengurangi kelemahan untuk merebut peluang, atau mengolah potensi mengatasi tantangan, dan atau meminimalisir kelemahan untuk menangkal ancaman dari tantangan yang tidak bisa dirubah. Semua umat Islam yang memperjuangkan kebangkitan Islam harus berjuang terus menerus tanpa pamrih. Umat Islam di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 170 juta orang adalah potensi besar sekaligus asset bangsa bagi kebangkitan Islam termasuk kebangkitan lembaga pendidikan Islam sekaligus asset pertumbuhan bangsa Indonesia. Akan tetapi sebalik kalau kelemahan tidak bisa dimanimalisir dan tetap dalam taraf tidak kuat dan berkualitas, meminjam istilah Sayidiman (2002) justru menjadi satu liability atau gangguan yang amat berat. Sebab itu umat Islam
Indonesia
mengembangkan
dan
terutama
komitmen
para
yang
pemimpinnya sekuat-kuatnya
harus untuk
menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Pendidikan mempunyai peran besar sekali untuk menimbulkan perubahan pada diri umat Islam. Melalui pendidikan dapat dibentuk kondisi mental yang lebih kondusif untuk mengembangkan kebangkitan moral-spiritual yang dikehendaki. Tujuan pendidikan Islam tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai penyelenggaraan tugas kenabian yakni mempertinggi akhlak. Aspek transfer dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diusahakan melalui pelaksanaan pendidikan yang tepat. Sungguh pun demikian harus pula disadari bahwa hasil dari proses pendidikan baru terasa secara sungguhsungguh setelah berlalunya satu generasi. Oleh karena Kebangkitan Islam sekarang sudah berjalan maka pendidikan harus dibarengi dengan terbentuknya tradisi leadership yang dapat menjalankan proses perubahan
tersebut
sejak
sekarang.
Bahkan
leadership
(kepemimpinan) itu sangat penting untuk menimbulkan proses sistim pendidikan yang diselenggarakan.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
135
D. Soal 1. Bagaimana peluang pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan zaman? 2. Bagaimana tantangan dan solusi kreatif tantangan pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan zaman?
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009. H. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendiidkan Islam,: Telaah Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009 Hasan Langgulung, Asas-asas Pustaka al-Husna, 1992.
Pendidikan
Islam,
Jakarta:
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002. Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Trigenda Karya, 1993. H. Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011
Modul Filsafat Pendidikan Islam
136
BAB XIII PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI
Berbicara dunia pendidikan Islam dan kemajuan-kemajuannya, tidak akan bisa dilepaskan dari tokoh-tokoh pembaharunya. Dengan hasil pemikiran para tokoh tersebut, sekarang kita bisa menikmati aktualisasi pendidikan Islam dari zaman ke zaman. Oleh karena itu, perlu rasanya untuk mengkaji ulang pemikiran para tokoh tersebut dan mengambil buah pemikiran tersebut untuk direfleksikan serta aplikasikan dalam pendidikan Islam yang akan datang. Al-Ghazali adalah salah satu dari sekian banyak tokoh dunia yang berpartisipasi aktif dalam memajukan pendidikan Islam. Dia telah menghasilkan banyak karya yang menjadi referensi prosesi pendidikan Islam. A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa mampu mengetahui riwayat hidup Al-Ghazali 2. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar pendidikan Islam Al-Ghazali B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan riwayat hidup Al-Ghazali 2. Mahasiswa
mampu
mendeskripsikan
dan
mengkritisi
pemikiran tentang konsep dasar pendidikan Islam Al-Ghazali C. Uraian Materi 1. Riwayat hidup Al-Ghazali Nama
lengkapnya
adalah
Abu
Hamid
Muhammad
bin
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi Al-Naysaburi. Ia dilahirkan di Thus, sebuah Kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H. atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ketika akan meninggal ayahnya berpesan kepada seorang sahabat setia agar kedua putranya diasuh dan
disempurnakan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
pendidikannya.
Sahabat
tersebut
segera
137
melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali dengan mendidik dan menyekolahkan keduanya. Setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, keduanya dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya. Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan pencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak, Imam Al-Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Al-Raziqani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nasr Al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus. Setelah itu Imam Ghazali pindah ke Naysaburi untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini yang bergelar Imam Haramain; darinya Al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu agama lainnya. Keikutsertaan
Al-Ghazali
dalam
suatu
diskusi
bersama
sekelompok ulama dan intelektual di hadapan Nidzam Al-Mulk membawa keuntungan besar baginya. Nidzam Al-Mulk berjanji akan mengangkat Al-Ghazali sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad pada tahun 484 atau 1091 M. Setelah empat tahun di universitas tersebut, ia memutuskan untuk berhenti mengajar dan meninggalkan Baghdad. Setelah itu ia pergi ke Syam dan melakukan kehidupan yang total dipenuhi ibadah. Setelah semua aktivitas khalwatnya selesai, ia kembali ke Baghdad untuk kembali mengajar. Setelah sepuluh tahun di Baghdad, ia pergi ke Naysaburi dan sibuk mengajar di sana. Dalam waktu yang tidak lama setelah itu beliau meninggal di Thus kota kelahirannya pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. atau 1111 M. Diantara karya-karya yang telah ditulis al-Ghazali adalah Maqasid al-Falasifah, Tafahut al-Falasifah, Al-Ma’rif al-‘Aqliyah, Ihya ‘Ulumuddin, Al-Munqidz min al-Dhalal, Minhaj al-Abidin, Mizan al-
Modul Filsafat Pendidikan Islam
138
Amal, Kitab al-Arbain, Mishkat al-Anwar, Al-Adab fi al-Din, ArRisalah al-Laduniyah, dan lain sebagainya. 2. Konsep Pendidikan Islam menurut Al-Ghazali Konsep pendidikan Al-Ghazali dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, etika guru, dan etika murid, metode. a. Tujuan Pendidikan menurut Al-Ghazali Seorang guru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan dengan baik, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT; kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. b. Kurikulum Pendidikan menurut Al-Ghazali Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu seperanngkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik. Pendapat Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan yang dibaginya dalam beberapa sudut pandang. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu: Ilmu tercela yaitu ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain dan akan meragukan keberadaan Allah SWT. Ilmu terpuji misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepada jiwa yang suci bersih dari
Modul Filsafat Pendidikan Islam
139
kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ilmu terpuji pada taraf tertentu dan tidak boleh didalami karena dapat mengakibatkan goncangan iman, seperti ilmu filsafat. Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian yang dilihat dari kepentingannya, yaitu: Ilmu fardhu (wajib) yang harus diketahui oleh semua orang Muslim, yaitu ilmu agama. Ilmu fardhu kifayah yang dipelajari oleh sebagian Muslim untuk memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung, kedokteran, teknik, ilmu pertanian dan industri. c. Pendidik menurut Al-Ghazali Dalam suatu proses pendidikan adanya pendidik merupakan suatu keharusan. Pendidik sangat berjasa dan berperan dalam suatu proses
pendidikan
dan
pembelajaran
sehingga
Al-Ghazali
merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik diantaranya guru harus cerdas, sempurna akal, dan baik akhlaknya; dengan kesempurnaan akal seorang guru dapat memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam dan dengan akhlak yang baik dia dapat memberi contoh dan teladan bagi muridnya. Menurut Al-Ghazali, selain sifat-sifat umum di atas pendidik hendaknya juga memiliki sifat-sifat khusus dan tugas-tugas tertentu diantaranya: sifat kasih sayang, mengajar dengan ikhlas dan tidak mengharapkan upah dari muridnya, menggunakan bahasa yang halus ketika mengajar, mengarahkan murid pada sesuatu yang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan siswa, menghargai pendapat dan kemampuan orang lain, mengetahui dan menghargai perbedaan potensi yang dimiliki murid. d. Peserta Didik Menurut Al-Ghazali Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka merupakan hamba Allah yang telah
Modul Filsafat Pendidikan Islam
140
dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada-Nya. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabiat dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam. Ketika menjelaskan makna pendidikan kepada umat, Al-Ghazali membagi
manusia
menjadi
tiga
golongan
yang
sekaligus
menunjukkan keharusan menggunakan metode dan pendekatan yang berbeda pula, yaitu: Kaum awam, yaitu orang yang cara berfikirnya sederhana sekali.
Dengan
cara
berfikir
tersebut
mereka
tidak
dapat
mengembangkan hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut.Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk. Kaum pilihan, yaitu orang yang akalnya tajam dengan cara berfikir yang mendalam. Kepada kaum pilihan tersebut harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat. Kaum pendebat (ahl al-jidal), harus dihadapi dengan sikap mematahkan argumen-argumen mereka. Menurut Al-Ghazali, ketika menuntut ilmu peserta didik memiliki tugas dan kewajiban, yaitu: 1) Mendahulukan kesucian jiwa. 2) Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan. 3) Jangan menyombongkan ilmunya apalagi menentang guru. 4) Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan. Dengan tugas dan kewajiban tersebut diharapkan seorang peserta didik mampu untuk menyerap ilmu pengetahuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. e. Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali Perhatian Al-Ghazali
terhadap
metode
pengajaran
lebih
dikhususkan bagi pengajaran pendidikan agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan suatu metode keteladanan bagi
Modul Filsafat Pendidikan Islam
141
mental anak-anak, pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifatsifat keutamaan pada diri mereka. Metode pengajaran menurut AlGhazali dapat dibagi menjadi dua bagian antara pendidikan agama dan pendidikan akhlak. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hapalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterengan-keterangan yang menguatkan akidah. Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan agama harus mulai diajarkan kepada anak-anak sedini mungkin sebab dalam tahuntahun tersebut, seorang anak mempunyai persiapan menerima kepercayaan agama semata-mata dengan mengimankan saja dan tidak dituntut untuk mencari dalilnya. Sementara itu berkaitan dengan pendidikan
akhlak,
pengajaran
harus
mengarah
kepada
pembentukan akhlak yang mulia. Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah suatu sikap yang mengakar di dalam jiwa yang akan melahirkan berbagai perbuatan baik dengan mudah tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. D. Soal 1. Deskripsikan secara singkat riwayat hidup al-Ghazali? 2. Uraikan dan berikan tanggapan kritis terhadap konsep dasar pendidikan Islam menurut Al-Ghazali?
Modul Filsafat Pendidikan Islam
142
DAFTAR PUSTAKA
H. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendiidkan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009 Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Terj. Ismail Ya’qub, Semarang: Faizan, 1979. H. Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011. Hussein Bahreisj, Ajaran-ajaran Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.
Akhlak
Imam
Al-ghazali,
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka setia, 2009.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
143
BAB XIV PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM SYED MUHAMMAD ANNAQUIB AL-ATTAS Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan Islam dengan berbagai coraknya berorientasi memberikan bekal kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan Islam selalu diperbaharui dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis, agar peserta didik tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati, tetapi juga kebahagiaan hidup di dunia ini. Dewasa
ini,
pendidikan
Islam
di
seluruh
dunia
sedang
menghadapi tantangan yang sangat berat seiring dengan datangnya era globalisasi dan informasi. Tidak dapat dipungkiri pengaruh Barat pada dunia Islam sangat berperan dalam bidang pendidikan umat Islam. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam yang memiliki ide-ide segar dan kritis terhadap fenomena global tersebut. Al-Attas juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pemikiran al-Attas ini untuk dipahami dan dikritisi untuk memperluas wawasan interaksi pendidikan Islam dan perkembangan dunia global saat ini. A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa
mampu
mengetahui
riwayat
hidup
Syed
Muhammad An-Naquib Al-Attas 2. Mahasiswa mampu memahami pemikiran Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan riwayat hidup Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas
Modul Filsafat Pendidikan Islam
144
2. Mahasiswa mampu menganalisis dan mengkritisi pemikiran Syed Muhammad
An-Naquib Al-Attas tentang pendidikan
Islam C. Uraian Materi 1. Riwayat singkat hidup Syed Muhammad Attas
An-Naquib Al-
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Ketika berusia 5 tahun, Syed Muhammad Naquib Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Disini Syed Muhammad Naquib Al-Attas dimasukkan ke pendidikan dasar Ngge Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan keluarga pindah ke Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-Wusqa, Sukabumi selama lima tahun. Di tempat ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan terekat Naqsabandiyah. Syed Muhammad Naquib Al-Attas sempat masuk Univesitas Malaya selama 2 tahun. Berkat kecedasan dan ketekuananya, dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies Mc. Gill, Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni 1959-1962,
dia
berhasil
menggondol
gelar
master
dengan
th
Centhury
mempertahankan tesis Raniry and the Wujuddiyah of 17
Acheh. Kemudian iamelanjutkan ke School of Oriental and African Studies di Univesitas London. Syed Muhammad Naquib Al-Attas pernah menjabat dijurusan kajian Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan pada tahun 1966-1970. Disini dia menekankan arti pentingnya kajian Melayu sebab mengkaji sejarah Melayu dengan sendirinya juga
Modul Filsafat Pendidikan Islam
145
mendalami proses islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Ia juga mendirikan lembaga pengajaran dan penelitian khusus tentang pemikiran Islam terutama filsafat sebagai jantung proses Islamisasi. Gagasan tersebut disambut positif oleh pemerintah Malaysia, sehingga pada tanggal 22 November 1978 berdirilah secara resmi ISTAC (International Institute Of Islamic Thought and Civilization) dengan Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai ketuanya. 2. Pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas a. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan Islam tergantung pada tingkatannya masingmasing, yaitu pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Jadi setiap tingkatan pendidikan memiliki tujuan yang berbeda-beda disesuaikan dengan taraf penerimaan dari peserta didik dan bersifat berkelanjutan secara dinamis dan saling berkaitan. Al-Attas
berpendapat
terma
tarbiyah
lebih
menonjolkan
perkembangan fisik material dan unsur-unsur kasih sayang serta halhal yang konkret. Oleh karena itu ciri-ciri pendidikan ini sangat cocok diterapkan pada pendidikan tingkat dasar/ kanak-kanak atau lebih konkret sesuai dengan istilah yang dipakai untuk proses pendidikan tingkat taman kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Term ta’lim bermakna lebih universal dari tarbiyah, lebih cocok digunakan untuk pendidikan menengah, atau pada usia remaja dan menjelang dewasa (SLTP dan SLTA). Terma ta’dib diperuntukkan pada proses pematangan /penyempurnaan pendidikan. Term ini sangat cocok pada jenjang pendidikan untuk dewasa (Perguruan Tinggi). Dengan demikian, pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang mengantarkan manusia (peserta didik) pada derajat kesempurnaan (insan kamil). Kesempurnaan yang diinginkan oleh Islam bukan hanya didunia atau hanya diakhirat saja, melainkan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
146
kedua-duanya harus seimbang proporsinya. Singkatnya menjadi khalifah fil ard (memakmurkan dunia). b. Subyek Didik 1) Pendidik Sifat utama yang harus ada pada diri pendidik adalah niat yang lurus dan teladan. Niat yang lurus tugas/amanah
semata-mata
sebagai
adalah menjalankan
ibadah
kepada
Allah.
Sementara sikap teladan akan menghasilkan asumsi positif bagi peserta didik dari pendidik. Pendidikan Islam ditempuh dengan landasan dan sumber yang jelas, yang pemahaman dan penafsiran serta penjelasannya membutuhkan ilmu pengetahuan yang benar-benar otoritatif. AlQur’an sendiri menyerukan manusia untuk menyerahkan amanah kepada yang otoritatif dibidangnya. Oleh karena itu, peran seorang guru dianggap sangat penting dalam membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkannya. Pendidik harus berpegang pada asas utamanya sebagai pengemban amanah yang menuntun arah dan tujuan yang hendak dicapai. Sesuai dengan tujuan pendidikan yang diformulasikan AlAttas, ta’dib ialah pembentukan Akhlak. Maka pendidik harus terlebih dahulu menjadi sosok teladan yang patut, berwibawa, dan taat pada perintah Allah SWT. 2) Peserta Didik Peserta didik hendaklah tidak tergesa-gesa dalam belajar, tetapi perlu menyiapkan waktu untuk mencari guru yang terbaik pada bidang yang digemarinya. Sangat penting juga bagi pencari ilmu untuk mencari guru yang memiliki reputasi yang tinggi untuk memperoleh gelar tertentu. Al-Ghazali mengingatkan agar peserta didik tidak merasa sombong, namun tetap menghargai mereka yang telah membantu
Modul Filsafat Pendidikan Islam
147
dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan dan kebahagiaan dan tidak hanya memandang mereka yang terkenal. Jadi, peserta didik bebas untuk menentukan kepada siapa dan dimana ia ingin menggali ilmu yang diinginkanya, namun dengan memperhatikan
kualitas/mutu
seorang
guru
atau
lembaga
pendidikan yang akan mengantarkannya untuk mencapai tujuan tersebut agar tidak lepas dari hakikat utama pembelajaran, yakni mencapai derajat Insan Kamil. Disini tergambar bahwa seorang pendidik terhadap peserta didik merupakan motivator (pendorong), reinforce (pemberdaya), dan instructor (pelatih) yang mengarahkan peserta didik. 3) Kurikulum Kurikulum merupakan parangkat lunak lembaga pendidikan. Menurut Muhammad Naquib Al-Attas, kurikulum pendidikan Islam adalah upaya peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikannya yakni insan kamil, sementara manusia secara natural memiliki dua sisi yakni fisik dan spiritual. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam harus memenuhi dual hal tersebut yaitu aspek fisikal yang berhubungan dengan pengetahuanya ilmu-ilmu fisikal dan teknikal atau fardu kifayah, sedangkan keadaan spiritualnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardu ‘ain. Naquib al-Attas memetakan dua ilmu tersebut sebagai berikut; a. Fardu ain (ilmu-ilmu Agama) terdiri dari al-Qur’an, sunnah, syariat, teologi, metafisika Islam, dan ilmu bahasa. b. Fardu kifayah terdiri dari ilmu kemanusiaan, ilmu alam, ilmu terapan, ilmu teknologi, perbandingan agama, ilmu linguistik, dan sejarah Islam. 4) Metode Pendidikan Islam Dalam filsafat pendidikan Islam, Al-Attas memiliki metode khusus karena tujuan utama pendidikan Islam al-Attas adalah penanaman ta’dib, bukan tarbiyah dan bukan juga ta’lim. Aspek yang akan menjadi bahasan disini adalah: persiapan spiritual, pendidik
Modul Filsafat Pendidikan Islam
148
dan peserta didik, fungsi bahasa, metode tauhid, fungsi panca indra serta metafora dan cerita. a. Persiapan Spiritual Persiapan spiritual yang dimaksudkan disini adalah setiap tindakan harus didahului oleh niat yang ikhlas. Pencari ilmu hendaknya
memperhatikan
niat
yang
ingin
dicapai
dalam
mempelajari sebuah disiplin ilmu, agar apa yang diharapkan akan tercapai dan proses pencapaiannya pun senantiasa dalam ridha Allah SWT. dan nantinya akan berbuah manfaat. b. Bahasa Al-Attas menyadari pentingnya peranan bahasa sebagai alat dan sarana yang mendasar dalam pendidikan agama, kebudayaan dan
peradaban.
Al-Attas
selalu
menganalisis
bahasa
dan
menjelaskan bahasa secara benar, khususnya dalam bahasa “rumpun Islam” sehingga makna yang benar mengenai istilah dan konsep kunci Islam yang termuat didalamnya tidak berubah atau dikacaukan. Singkatnya peranan bahasa bagi Al-Attas sangat penting sehingga ia mengharapkan kaum terpelajar muslim untuk memusatkan perhatian pada misteri bahasa Arab dan bahasa asing lainnya. Begitu juga dalam proses pencarian ilmu pengetahuan, kedudukan bahasa sebagai alat dan sarana komunikasi tidak dapat dinafikan. c. Metode Tauhid Salah satu karakteristik dan epistimologi Islam yang dijelaskan secara inklusif dan telah dipraktikkan oleh Al-Attas adalah metode tauhid dalam pencapaian ilmu pengetahuan. Metode ini sering dipertanyakan pada cara mengimplikasikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip etika dalam kehidupan profesi pribadi mereka. Dalam hal ini Al-Attas hanya menggaris bawahi bahwa jika seseorang telah benar-benar memahami ini semua, maka hal itu akan bisa diatasi
Modul Filsafat Pendidikan Islam
149
sebab tidak ada dikotomi antara apa yang dianggap teori dengan praktik, kecuali kalau terhalang oleh faktor eksternal. d. Metafora dan Cerita Salah satu ciri khas dalam konsepsi pendidikan Al-Attas pada metode pendidikan Islam yaitu penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan yang disampaikan secara lisan (ceramah) maupun tindakan, sebuah metode yang juga banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Efektivitas penggunaan metode ini sudah tidak diragukan lagi. Al-Attas pada karyanya Rangkaian Ruba’at, menggunakan metafora cermin yang biasa dipakai oleh para sufi pada masa lampau, untuk menyimbolkan dunia yang diciptakan ini sebagai cerminan dari realitas Absolut. e. Media 1) Panca indera Pada diri manusia terdapat lima alat penginderaan eksternal yang diantaranya adalah perasaan untuk meraba, merasa, mencium, melihat serta indera untuk mendengar. Memanfaatkan indera secara maksimal akan menjadi upaya yang efektif untuk menangkap pembelajaran yang ada di sekitar tempat tinggal peserta didik. 2) Ruang belajar Salah satu faktor penunjang yang sangat penting dalam proses pembelajaran adalah ruang belajar yang memenuhi standar kelayakan selama proses pembelajaran berlangsung, keadaan yang nyaman dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar yang dilakukan. Selain itu letak yang strategis dan lingkungan, juga ikut mendukung proses pencapaian hasil dari pembelajaran, dan ide desain semacam ini telah diterapkan Al-Attas pada kampus ISTAC sejak awal berdirinya. 3) Perpustakaan Perpustakaan merupakan unsur atau kebutuhan yang sangat penting dalam pengembangan ilmu. Literatur yang lengkap akan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
150
membantu peserta didik dalam menguasai keilmuan yang luas dan menjawab segala persoalan yang dihadapinya. 4) Labolatorium Labolatorium praktik merupakan sarana yang efektif dalam meningkatkan keterampilan peserta didik dalam merealisasikan setiap bidang keilmuan yang memerlukan praktik untuk menunjang skill-nya. D. Soal 1. Deskripsikan secara singkat riwayat hidup Syed Muhammad Naquib Al-Attas? 2. Bagaimana pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan berikan tanggapan kritis tentang ini?
DAFTAR PUSTAKA H.Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendiidkan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009. Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1988 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, , Bandung: Pustaka setia, 2009 Aminullah Elhady, “Naquib Al-Attas : Islamisasi Ilmu,” dalam A. Khuduri, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003. Syed Muhammah Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam, Terj. Haidar Bagir, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1988.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
151
BAB XV PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM HASAN LANGGULUNG
Indonesia sebagai negara besar yang mayoritas berpenghuni muslim tentu tidak bisa lepas dari pengaruh pendidikan Islam. Dinamika pendidikan Islam di Indonesia ini telah melahirkan beberapa pemikir muslim yang khas nusantara, diantaranya adalah Hasan Langgulung. Hassan Langgung dengan keunikan pemikiran pendidikan Islamnya tentu perlu direfleksikan agar bisa diapresiasi dan dikritisi untuk perkembangan pendidikan Islam Indonesia ke depan. A. Tujuan Pembelajaran Umum 1. Mahasiswa mampu mengetahui riwayat Hasan Langgulung 2. Mahasiswa mampu memahami pendidikan Islam Hasan Langgulung B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Mahasiswa
mampu
menguraikan
riwayat
hidup
Hasan
Langgulung 2. Mahasiswa
mampu
mendeskripsikan
dan
mengkritisi
pemikiran pendidikan Islam Hasan Langgulung C. Uraian Materi 1. Riwayat hidup Hasan Langgulung Nama lengkapnya adalah Hasan Langgulung, lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Oktober 1934. Ayahnya bernama Langgulung dan ibunya bernama Aminah Tanrasuh. Hasan Langgulung memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) di Rappang, Sulawesi Selatan. Kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Islam dan Sekolah Guru Islam di Makasar sejak tahun 1949 sampai tahun 1952 serta menempuh B.I. Inggris di Ujung Pandang, Makasar. Perjalanan pendidikan internasionalnya dimulai ketika ia memutuskan hijrah ke Timur Tengah untuk menempuh pendidikan
Modul Filsafat Pendidikan Islam
152
sarjana muda atau Bachelor of Arts (BA) dengan spesialisasi Islamic and Arabic Studies yang beliau peroleh dari Fakultas Dar al-Ulum, Cairo University, Mesir pada tahun 1962. Setahun kemudian ia sukses mendapat gelar Diploma of Education dari Ein Shams University, Kairo. Di Ein Shams University Kairo pula ia mendapatkan gelar M.A.dalam bidang Psikologi dan Kesehatan Mental (Mental Hygiene) pada tahun 1967. Sebelumnya, ia juga sempat memperoleh Diploma dalam bidang Sastra Arab Modern dari Institute of Higher Arab Studies, Arab League, Kairo, yaitu di tahun 1964. Kecintaan dan kehausan Hasan Langgulung pada ilmu pengetahuan tak membuatnya puas dengan apa yang telah ia peroleh di Timur Tengah. Beliau pun melanjutkan pengembaraan intelektualnya dengan pergi ke Barat. Hasilnya gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dalam bidang Psikologi diperoleh dari University of Georgia, Amerika Serikat di tahun 1971. Semasa kuliah Hasan Langgulung tak hanya mengasah daya intelektualnya, saat itu ia pun sudah menunjukkan talenta sebagai seorang aktivis dan seorang pendidik. Hal ini dapat dibuktikan ketika ia diberi kepercayaan sebagai Ketua Mahasiswa Indonesia di Kairo tahun 1957. Antara tahun 1957 hingga 1967 ia mengemban amanah sebagai Kepala dan Pendidik Sekolah Indonesia di Kairo. Kemampuan organisatorisnya semakin matang ketika ia menjadi Wakil Ketua Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah (1966-1967). Pada tanggal 22 September 1972, Hasan Langgulung menikahi seorang perempuan bernama Nuraimah Mohammad Yunus. Pasangan ini dikaruniai dua orang putera dan seorang puteri, yaitu Ahmad Taufiq, Nurul Huda, dan Siti Zakiah. Keluarga ini tinggal di sebuah rumah di Jalan B 28 Taman Bukit, Kajang, Malaysia.
Modul Filsafat Pendidikan Islam
153
a. Riwayat Pekerjaan Hasan Langgulung Selepas kuliah aktivitas beliau semakin padat. Ia seringkali menghadiri berbagai persidangan dan konferensi baik sebagai pembicara ataupun peserta yang diadakan di dalam maupun di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Jepang, Australia, Fiji, Timur Tengah,
Eropa,
dan
negara-negara
di
wilayah
ASEAN.
Pengalamannya sebagai pengajar dan pendidik dimulai sejak ia masih kuliah di Mesir, yaitu sebagai kepala sekolah Indonesia di Kairo (1957-1968). Saat di Amerika Serikat, ia pernah dipercaya sebagai asisten pengajar dan dosen di University of Georgia (19691970) dan sebagai asisten peneliti di Georgia Studies of Creative Behaviour, University of Georgia, Amerika Serikat (1970-1971). Asisten Profesor di Universitas Malaya, Malaysia (1971-1972). Ia juga pernah diundang sebagai Visiting Professor di University of Riyadh, Saudi Arabia (1977-1978), Visiting Professor di Cambridge University, Inggris, serta sebagai konsultan psikologi di Stanford Research Institute, Menlo Park, California, Amerika Serikat. Selain sebagai pengajar, peneliti dan konsultan, beliau juga menggeluti dunia jurnalistik. Ia tercatat sebagai pimpinan beberapa majalah seperti pemimpin redaksi majalah Jurnal Pendidikan yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Anggota tim redaksi pada majalah Akademika untuk Social Sciences and Humanities, Kuala Lumpur. Anggota redaksi majalah Peidoprise, Journal for Special Education, yang diterbitkan di Illinois, Amerika Serikat. Beliau juga tercatat sebagai anggota American Psychological Association (APA) dan American Educational Research Association Muslim. Beliau pernah mengajar di Universiti Kebangsaan Malaysia sebagai professor senior dalam beberapa tahun dan sekarang beliau mengajar di Universiti Islam AntaraBangsa Kuala Lumpur, Malaysia juga
sebagai
professor
senior
(2002).
Beliau
mendapatkan
penghargaan Profesor Agung (Royal Profesor) pada tahun 2002 di
Modul Filsafat Pendidikan Islam
154
Kuala Lumpur, Malaysia oleh masyarakat akademik dunia. Prof. Dr. Hasan
Langgulung
menerima
berbagai
macam
penghargaan
internasional. Namanya tercatat dalam berbagai buku penghargaan seperti: Directory of American Psychological Association, Who’s Who in Malaysia, International Who’s Who of Intellectuals, Who’s Who in The World, Directory of International Biography, Directory of CrossCultural Research and Researches, Men of Achievement, The International Book of Honor, Directory of American Educational Research Association, The International Register Profiles, Who’s Who in The Commonwealth, Asia Who’s Who of Men and Women of Achievement and Distinction, Community Leaders of The World, Progressive Personalities in Profile dan beberapa penghargaan lainnya. b. Karya-karya Hasan Langgulung Hasan Langgulung telah menghasilkan puluhan karya ilmiah dengan menggunakan bahasa Indonesia (Melayu), bahasa Arab maupun bahasa Inggris berupa karya terjemahan, buku, makalah dan berbagai artikel yang tersebar di berbagai majalah di dalam dan luar negeri. Tulisannya membahas berbagai macam persoalan yang berkisar tentang pendidikan, psikologi, filsafat dan Islam. Di antara karya-karyanya tersebut, yaitu: 1. Thesis M.A. : Al-Murahiq al-Indonesiy; Ittijahatuh wa Darajatu tawafuq
Indahu
(Remaja
Indonesia;
Sikap
dan
Penyesuaiannya) 2. Disertasi Ph.D. : A Cross-Cultural Study of The Child’s Conception of Situational Causality in India, Western Samoa, Mexico, and The United States, kemudian diterbitkan oleh Journal of Social Psychology: USA, 1973 3. The Development of Causal Thinking of Children in Mexico and The United States, USA: The Journal of Cross-Cultural Studies, 1973
Modul Filsafat Pendidikan Islam
155
4. The Curriculum Reform of General Education in Higher Education in Southeast Asia, Bangkok: ASAIHL, 1974 5. The Self; Concept of Indonesian Adolescene, Malaysia: Jurnal Pendidikan,1975 6. Social Aims and Effect of Higher Education, Kuala Lumpur: Economic &Business Student’s Association in Southeast Asia, 1973 7. Beberapa Aspek Pendidikan Ditinjau dari Segi Islam, Kuala Lumpur: MajalahAzzam, 1974 8. Belia,
Pendidikan
dan
Moral,
Kuala
Lumpur:
Dewan
Masyarakat, 1977 9. Al-Ghazali dan Ibnu Thufail Vs Rousseau dan Pioget, Kuala Lumpur: Majalah Jihad, 1976 10. Pendidikan Islam akan Kemana?, Kuala Lumpur: Cahaya Islam, 1977 11. Peranan Ibu-Bapa dalam Pendidikan Keluarga, Kuala Lumpur: Al-Ihsan,1977 12. Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan dari karya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Jakarta: Bulan Bintang, 1979 13. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: AlMa.arif, 1980 14. Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1985, Cet III 2. Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung a. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) menurut Hasan Langgulung adalah kerangka pemikiran yang menangani berbagai masalah-masalah pengajaran dan konsep-konsep pendidikan dalam asas-asas teoritisnya dan media praktisnya seperti yang
Modul Filsafat Pendidikan Islam
156
dinyatakan di dalam al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar pokok, kemudian menerima sumbangan-sumbangan pemikiran (al-Turats al-Fikr) yang telah dibawa pakar-pakar dalam berbagai bidang seperti ulama-ulama fiqih, ulama-ulama hadis, ulama-ulama falsafah dan ahli-ahli fikir Islam sepanjang sejarah. b. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan Islam adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi alardh. c. Kurikulum Pendidikan Islam Hasan
langgulung
menjelaskan
bahwa
kurikulum
pendidikan Islam itu harus didasarkan pada fungsi agama bagi Islam dalam kehidupan masyarakat dan individu pada umumnya yang dapat disimpulkan sebagai berikut : pertama, fungsi spiritual yang berkaitan dengan akidah dan iman; kedua, fungsi psikologis yang berkaitan yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat manusia ke derajat yang lebih sempurna; ketiga, fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lainnya atau masyrakat, karena masing-masing menyadari hakhak dan tanggung jawabnya untuk membentuk masyarakat yang harmonis dan seimbang. Ketiga fungsi agama diatas menurut Hasan Langgulung harus tergambar dalam tujuan pendidikan Islam khususnya disekolah menengah. Lebih lanjut ia berbicara bahwa tujuan pokok pendidikan islam
tersimpul
dalam
kata fadhilah
(sifat yang utama).
Sedangkan jiwa pendidikan Islam adalah pendidikan akhlak,
Modul Filsafat Pendidikan Islam
157
sebab tujuan pertama dan utama pendidikan Islam adalah menghaluskan akhlak dan mendidik jiwa. d. Metode Menurut Hasan Langgulung metode pengajaran adalah jalan untuk mencapai tujuan. Jadi jalan itu bermacam-macam, begitu juga dengan metode. Tidak ada metode yang terbaik untuk segala pelajaran. Mungkin ada yang baik untuk mata pelajaran tertentu oleh guru tertentu tetapi belum tentu untuk metode dan guru yang berbeda. Lebih
jauh,
Hasan
Langgulung
menjelaskan
bahwa
pelajaran agama Islam sendiri terdiri dari beberapa segi. Ada segi kognitif, seperti fakta-fakta sejarah, syarat dan rukun sembahyang dan ibadah lainnya. Ini adalah fakta yang tidak berubah. Metode yang
digunakan tentunya
metode
yang
digunakan dalam
mengajarkan fakta-fakta seperti fakta dalam ilmu lain. Aspek agama yang lebih penting adalah akhlak yang termasuk dalam kawasan afektif atau tingkah laku (behavioral). Metode yang digunakan tidak bisa digunakan seperti metode pengajaran yang berhubungan dengan fakta atau ranah kognitif. Demikian
juga
penggunaan
alat-alat
belajar,
bisa
digunakan peta-peta dan gambar-gambar untuk materi zakat dan haji. Jadi, metode pengajaran bersifat kondisional dan situasional. e. Pendidik Pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia. Menurut Hasan Langgulung, dalam pendidikan Islam pendidik bisa disebut dengan murabbi (pemelihara), mu’allim (pengajar) dan muaddib (pembentuk adab).
Modul Filsafat Pendidikan Islam
158
f. evaluasi Evaluasi adalah tindakan atau proses untuk menentukan nilai seseuatu. Hasan Langgulung menjelaskan bahwa evaluasi berhubungan erat dengan tujuan pendidikan Islam. Penilaian berusaha menentukan apakah tujuan pendidikan itu sudah tercapai. Ia mencontohkan evaluasi pendidikan itu seperti evaluasi menyetir mobil yaitu mulai dari starter, menekan gas, rem, isyarat lampu dan lain-lain. Jadi semua harus diperiksa apakah masih ada membuat kesalahan atau tidak.
D. Soal 1. Uraikan secara singkat riwayat hidup Hasan Langgulung ? 2. Deskripsikan pemikiran pendidikan Islam Hasan Langgulung dan berikan tanggapan kritis terhadapnya! DAFTAR PUSTAKA Hasan Langgulung, Asas-asas Pustaka al-Husna, 1992
Pendidikan
Islam,
Jakarta:
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Al-Husna, 1987. H. Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. H.Ramayulis dan Samsul Nizar,Filsafat Pendiidkan Islam,:Telaah Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009
Modul Filsafat Pendidikan Islam
159