Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Hasan Su’aidi)
123
MENGENAL KITAB SUNAN AL-TIRMIDZI (KITAB HADITS H̜ASAN) Hasan Su’aidi1
Abstrak: Sebagai salah satu kitab hadits yang termasuk kedalam kitab pokok yang enam (kutub al-Sittah), sunan al-Tirmidzi mempunyai metodologi penulisan kitab yang berbeda dengan kitab hadits pokok lainnya. Hal ini dapat dilihat dari adanya penilaian kualitas terhadap hadits-hadits yang ditulis di dalam kitabnya, yang jarang dilakukan oleh penulis kitab hadits lainnya. Di samping itu, adanya klasifikasi hadits menjadi 3 klasifikasi, yaitu śah̜Ưh̜, h̜asan dan d̡a`Ưf yang sebelumnya belum dikenal, menjadikan al-Tirmidzi dan kitab haditsnya menarik untuk ditelaah lebih jauh. As one of Hadith books that is included in the six main Hadits books (kutub al-sittah), Sunan Tirmidzi has a different writing methodology from other main Hadith books. It can be seen from the existence of quality valuing of Hadiths written in the book that is rarely done by other writers of Hadith books. Besides, the existence of Hadith classification into three classifications, i.e. shahih, hasan and da’if that has not yet been known, make al-Tirmidzi and his Hadith book interesting to study further. Kata Kunci: Sunan al-Tirmidzi, metode penulisan, klasifikasi hadits
A. Penamaan Kitab Kitab yang ditulis oleh al-Tirmidzi berkaitan dengan pembahasan hadits biasa disebut oleh sebagian ulama hadits dengan nama al-JƗmi' al-Śah̜Ưh̜̜ atau al-Śah̜Ưh̜ seperti yang dikemukakan oleh al-Khatib al-Bagdadi (w. 483 H). Hal yang sama seperti dikemukakan oleh al-Hakim (w 405 H) atau terkadang juga disebut dengan sunan al-Tirmidzi. Untuk penyebutan kitab dengan nama yang ketiga tidak dipermasalahkan oleh para ulama. Sedangkan 1
Jurusan Ushuluddin STAIN Pekalongan Jl. Kusumabangsa No. 9, Pekalongan.
124 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 123-138
penyebutan nama kitab dengan nama yang pertama dan kedua memicu perbedaaan di kalangan ulama hadits. Perbedaan itu muncul karena bagi sebagian ulama penyebutan kitab hadits alTirmidzi dengan al-JƗmi’ al-Śah̜Ưh̜ dirasakan terlalu berlebihan, sebab penyebutan al-JƗmi’ al-Śah̜Ưh̜ biasanya khusus digunakan untuk menyebut kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits śah̜Ưh̜. Sementara kandungan kitab hadits al-Tirmidzi pada kenyataannya juga memuat beberapa hadits yang mauqnjf, maqtnj', d̡a`Ưf, mu’allal bahkan munkar. Pernyataan ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Katsir (w 774 H)2. Adapun penyebutan kitab hadits al-Tirmidzi dengan nama Sunan, menurut para ulama dirasakan lebih cocok, karena istilah tersebut oleh para ulama hadits diartikan dengan kitab hadits yang penulisan hadits-haditsnya diurutkan secara bab demi bab, misalnya bab-bab fiqh (Jumantoro, 1997: 232), sehingga hal itu tidak menjamin bahwa seluruh hadits yang ada di dalam kitab tersebut menduduki peringkat Śah̜Ưh̜. B. Sistematika Penulisan Kitab Secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistematika penulisan kitab ynag digunakan dalam penulisan kitab hadits telah banyak mengalami perubahan. Dimulai pada abad kedua hijriyah, yaitu pada masa sebelum atbƗ' atbƗ’ al-tƗbi’Ưn, sistematika penulisan hadits pada saat itu pada umumnya menggunakan sistem musnad. Dengan kata lain bahwa penulisan hadits didasarkan kepada pengelompokan yang disesuaikan dengan rangkaian nama isnƗd atau rangkaian perawi haditsnya tanpa dibatasi dengan materi hadits yang ada, sehingga yang terjadi adalah hadits tentang shalat berdampingan dengan hadits yang membicarakan tentang zakat. Sistematika penulisan ini seperti yang diterapkan oleh Ahmab ibn Hanbal. Dapat dicontohkan sistem penulisan ini misalnya hadits yang berasal dari Umar ibn Khattab, hadits Aisyah dan sebagainya. Di samping musnad, penulisan hadits adakalanya juga menggunakan sistem mu'jam yaitu mengelompokkan hadits sesuai dengan awalan nama dari perawi hadits tersebut, hal ini seperti
2
Ensiklopedi Islam (2003: 105) lihat juga al-Khatib (1986: 323)
Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Hasan Su’aidi)
125
yang diterangkan oleh Abu Qasim al-Tabrani (w. 260 H) dalam kitab haditsnya al-Mu'jam al-KabƯr.3 Pada generasi atbƗ' atbƗ’ al-tƗbi’Ưn pada abad ketiga hijriyah, sistematika seperti itu telah berubah. Para ahli hadits ternama seperti Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Abu Dawud, al-Nasa`i, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan lainnya, telah berusaha menciptakan metode penulisan kitab hadits yang baru. Metode yang mereka gunakan adalah dengan cara menulis hadits diurutkan dengan bab per bab (‘Uwaidah, 1994: 26-27). Al-Tirmidzi termasuk ke dalam perawi yang mengikuti metode penulisan ini dan lebih mirip dengan metode penulisan yang digunakan oleh Muslim. Persamaan ini dilihat dari segi pengumpulan jalur suatu hadits dengan banyaknya perawi dengan susunan matan yang satu tanpa adanya penjelasan lebih lanjut. Hal ini karena al-Tirmidzi termasuk ke dalam ulama hadits yang mengakui adanya periwayatan hadits bi al-ma'nƗ (yaitu periwayatan hadits yang redaksionalnya berbeda akan tetapi materi haditsnya sama) (CD Mausu’ah al-Hadits al-Syarif). Adapun bab-bab yang ada di dalam kitab Sunan al-Tirmidzi secara keseluruhan terdiri dari 2.376 bab dan 3.956 hadits dengan perincian sebagai berikut: Juz I terdiri dari 2 kitab, yaitu tentang ThahƗrah dan Shalat, yang meliputi 184 bab dan 237 hadits. Juz II terdiri dari kitab Witir, Jumu'ah, ‘Idayn dan Safar, meliputi 260 bab dan 355 hadits. Juz III terdiri dari kitab zakat, ShiyƗm, Haji, JanƗzah, nikah, RadƗ`, Talak dan Li'Ɨn, Buynj' dan al-AhkƗm, yang meliputi 516 bab dan 781 hadits. Juz IV terdiri dari kitab DiyƗt, H̡udnjd, Sa'Ưd, Zabi'ah, Ah̡kƗm dan Wa'id, D̡ahi, Siyar, Fad̡ilah Jihad, Libas, Ath'imah, Asyribah, Birr wa Silah, al-Tibb, Fara`id, Wasaya, Wali dan Hibah, Fitan, alRa`yu, Syahadah, Zuhd, Qiyamah, Raqa`iq dan Wara`, Jannah dan Jahannam, meliputi 734 bab dan 997 hadits. Juz V terdiri dari 10 pembahasan yaitu tentang iman, ilmu, Isti`zan, Adab, al-Nisa`, Fada`il al-Qur`an, Qira`ah, Tafsir al-Qur`an,
3
. Sutarmadi (1988: 159), Abu Syuhbah (1969: 26).
126 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 123-138
Da`awat, Manaqib yang kesemuanya meliputi 474 bab dan 773 hadits, ditambah dengan pembahasan ilal.( Sutarmadi, 1988: 160). Dengan memperhatikan pembagian juz dalam kitab Sunan alTirmidzi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kitab tersebut terlihat sistematis dan mudah, sehingga terjadinya pengulangan hadits menjadi terhindarkan. Oleh karena itu kitab tersebut dungannya lebih dapat mencakup banyak masalah. Pujian terhadap kitab ini tidak hanya berkaitan dengan sistem penulisannya saja, akan tetapi juga penjelasan-penjelasan yang terdapat di dalam kitab tersebut. Oleh karenanya Ajjaj al-Khatib menjadikannya sebagai salah satu kitab hadits yang memenuhi standar penulisan kitab ilmiah. Alasan penilaian tersebut didasarkan kepada adanya pembahasan yang tuntas berkaitan dengan tematema yang termasuk dalam kategori ilmu hadits, misalnya berkaitan dengan istilah h̜asan, d̡a`Ưf serta penjelasan tentang illat (cacat) hadits yang terdapat dalam kitab tersebut. Terkadang juga ditemukan penjelasan istinbath dari hadits-hadits tersebut di atas, yang hal itu jarang ditemukan di dalam kitab-kitab hadits lainnya (al-Khatib, 1986: 323). Oleh karena itu, kitab ini mudah untuk dipelajari jika dibandingkan dengan kitab hadits lainnya. C. Kualitas dan Kuantitas Hadits Sunan al-Tirmidzi Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa jumlah 3.956 hadits yang diriwayatkan al-Tirmidzi tidak semuanya śah̜ƯhҘҘ. Oleh karena itu, di sini perlu dijelaskan kualitas maupun kuantitas hadits yang terdapat di dalam kitab tersebut dengan rincian sebagai berikut: 1. Hadits śah̜Ưh̜ berjumlah 158 buah = 4% 2. Hadits h̜asan gharƯb berjumlah 1.454 buah = 36% 3. Hadits śah̜Ưh̜ gharƯb berjumlah 8 buah = 0,2% 4. Hadits h̜asan śah̜Ưh̜ gharƯb berjumlah 254 buah = 6% 5. Hadits h̜asan berjumlah 705 buah = 18 % 6. Hadits h̜asan gharƯb berjumlah 571 buah = 14 % 7. Hadits gharƯb berjumlah 412 buah = 10 % 8. Hadits d̡a`Ưf berjumlah 73 buah = 2% 9. Hadits tidak dinilai dengan jelas berjumlah 344 buah = 7,8 % (Sudarmadi, 1988: 164).
Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Hasan Su’aidi)
127
Dari keseluruhan hadits yang terdapat di dalam kitab sunan alTirmidzi, yang paling banyak adalah berkualitas h̜asan śah̜Ưh̜, yang mencapai 1.454 buah, kurang lebih 36 %, kemudian jumlah terbanyak kedua adalah hadits h̜asan mencapai 705 buah atau 18 %, sementara hadits śah̜Ưh̜ gharƯb berjumlah 8 buah hadits atau 1/5 %, sedangkan 344 buah atau 7,8 % merupakan hadits yang tidak dinilai secara pasti oleh al-Tirmidzi, tetapi hanya diberi penjelasan tentang tingkatan perawi, isnƗd maupun matannya yang penilaian tersebut berputar pada istilah hadits munkar, mud̡tarib dan lainnya (Sutarmadi, 1988: 165). Dengan sistematika penulisan kitab yang digunakan al-Tirmidzi di atas, paling tidak mempunyai beberapa tujuan di antaranya: a. Mengumpulkan hadits-hadits Nabi secara sistematis. b. Mendiskusikan opini hukum dari beberapa imam mazhab berdasarkan subjek. Oleh sebab itu al-Tirmidzi hanya mencantumkan hadits-hadits yang memang dicantumkan dan dipergunakan oleh para ulama terdahulu sebagai dasar keputusan pemikiran hukum mereka. Meskipun demikian, ada beberapa hadits mungkin tiga atau empat yang dikecualikan dari aturan ini. c. Mendiskusikan tingkat kualitas masing-masing hadits, dan jika pada hadits-hadits tersebut ada beberapa 'illat (cacat), kelemahan atau kekurangan, maka al-Tirmidzi kemudian akan menjelaskan letak 'illat, kelemahan serta kekurangan dari hadits-hadits tersebut (Azami, 1992: 157). Meskipun demikian, kitab Sunan al-Tirmidzi tidak terhindarkan dari beberapa hadits yang marfnj', mauqnjf maupun maqtnj' yang sanad nya mu’allaq. Hadits-hadits tersebut jumlahnya banyak meskipun tidak disebutkan dalam permulaan dari beberapa bab yang ada di dalam kitab sunan al-Tirmidzi, dan hanya terletak setelah penyebutan hadits sebelumnya yang ber-sanad. Pembuangan beberapa perawi pada awal sanad tersebut dilakukan oleh al-Tirmidzi semata-mata untuk mempersingkat penyebutan hadits (CD Mausu’ah al-Hadits).
128 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 123-138
D. Metode Kitab Sunan al-Tirmidzi Dalam menyusun kitab Sunan al-Tirmidzi, metode yang biasanya digunakan oleh al-Tirmidzi adalah dengan mencantumkan judul pada setiap bab, kemudian mencantumkan satu atau dua hadits yang dapat mencerminkan dan mencakup isi judulnya. Setelah itu, al-Tirmidzi mengemukakan opini pribadi tentang kualitas hadits tersebut apakah śah̜Ưh̜, h̜asan atau d̡a`Ưf. Untuk tujuan ini al-Tirmidzi menggunakan istilah yang tidak biasa dipakai oleh para ulama sebelumnya. Al-Tirmidzi juga seringkali mencantumkan opini-opini yurisprudensi para ahli hukum terdahulu, para imam mazhab yang berkaitan dengan berbagai macam masalah hukum Islam (fiqh). Lebih dari pada itu al-Tirmidzi juga menunjukkan -jika masih adabeberapa hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat lainnya yang berkenaan dengan masalah yang sama. Sementara itu dalam meriwayatkan hadits, al-Tirmidzi menggunakan metode yang berbeda dengan para ulama hadits lainnya, metode-metode tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Men-takhrƯj hadits yang menjadi amalan (ma'mnjl) oleh para fuqahƗ`. (al-Tirmidzi, 1936: I/354) 2. Memberikan penjelasan terhadap kualitas dan keadaan hadits yang ditulis. (al-Tirmidzi, 1936: V/394). Dengan melihat metode yang digunakan oleh al-Tirmidzi, maka dapatlah dipahami bahwa usaha menjelaskan keadaan suatu hadits dimaksudkan oleh al-Tirmidzi untuk mengetahui kelemahan hadits yang bersangkutan. Menurut al-Hafiz Abu Fadil ibn Tahir al-Maqdisi (w. 507 H) ada empat syarat yang ditetapkan oleh al-Tirmidzi sebagai standarisasi periwayatan hadits yaitu: 1. Hadits-hadits yang sudah disepakati ke-śah̜Ưh̜-annya oleh Bukhari dan Muslim. 2. Hadits-hadits yang śah̜Ưh̜ menurut standar kesѽahҘƯhҘan Abu Dawud dan al-Nasai, yaitu hadits-hadits yang para ulama tidak sepakat untuk meninggalkannya, dengan ketentuan hadits itu bersambung sanad nya dan tidak mursal. 3. Hadits-hadits yang tidak dipastikan ke-śah̜Ưh̜-annya dengan menjelaskan sebab-sebab kelemahannya.
Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Hasan Su’aidi)
129
4. Hadits-hadits yang dijadikan sebagai hujjah oleh fuqahƗ`, baik hadits tersebut śah̜Ưh̜ atau tidak. Tentu saja ketidak śah̜Ưh̜ annya tidak sampai pada tingkat d̡a`Ưf matrnjk (Suryadi, 2003: 114). E. Penilaian Ulama Terhadap Sunan al-Tirmidzi Untuk mengetahui nilai al-JƗmi’ al-Śah̜Ưh̜ atau sering disebut juga dengan Sunan al-Tirmidzi diperlukan perbandingan syarat antara lima imam atau setidaknya dengan Bukhari dan Muslim. Para ulama hadits telah merumuskan pola pikir masing-masing mengenai hadits yang akan ditulis dalam kitabnya. Pola pikir itu meliputi beberapa hal antara lain menetapkan keadaan perawi dengan syarat-syarat tertentu, seperti harus adil, kuat hafalan (d̡abit), taqwa dan lain-lain. Kemudian diteliti pula gurugurunya juga murid-muridnya. Al-Hazimi membagi tingkatan itu menjadi lima tingkatan dan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Keadaan perawi adil, tsiqah, d̡Ɨbit, selalu bergaul dengan alZuhri baik dalam bepergian maupun di rumah. Ini adalah merupakan syarat yang dikemukakan oleh Bukhari. 2. Keadaan perawi seperti tingkatan yang pertama, tetapi kurang pergaulannya dengan al-Zuhri, itulah syarat yang dikemukakan oleh Muslim. 3. Keadaan perawi seperti pada tingkatan pertama, juga pergaulannya dengan al-Zuhri, tetapi mereka belum jelas mengenai kejujurannya. Keadaan demikian menyebabkan terjadi keraguan apakah riwayatnya ditolak atau diterima. Abu Dawud dan al-Nasai dapat menerima keadaan perawi yang ada pada tingkatan ketiga ini. 4. Keadaan perawi seperti tingkatan ketiga, tetapi diusahakan keterangan lebih lanjut keadaan perawi itu sebenarnya. Apabila yang sudah didapatkan keterangan mengenai seorang perawi yang dimaksudkan, kemudian dijelaskan keadaan itu apakah dapat diterima ataukah ditolak. Di samping itu diusahakan adanya saksi (syƗhid) terhadap perawi itu atau dicarikan hadits yang menyerupai (mutƗbi'). Menurut al-Hazimi syarat al-Tirmidzi ini lebih mendalam dan ilmiah daripada syarat Abu Dawud dan al-Nasai.
130 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 123-138
5. Keadaan perawi lemah hafalan, tidak dikenal. Abu Dawud dan lainnya hanya dapat menerima dengan syarat banyaknya syƗhid dan adanya mutƗbi' yang lain. Sedangkan Bukhari dan Muslim menolak hadits yang diriwayatkan dari tingkatan kelima ini (Sutarmadi, 1988: 82). Al-Tirmidzi menerima riwayat dari tingkatan yang lebih tinggi dan yang lebih rendah yakni tingkatan yang kelima dengan mengupayakan adanya syƗhid dan mutƗbi' (padanan hadits) (Sutarmadi, 1988: 82). Untuk lebih jelasnya dapat diterangkan bahwa para perawi yang haditsnya terhimpun di dalam kitab Sunan al-Tirmidzi mempunyai lima tingkatan (thabaqƗt) yaitu: 1. Para perawi yang mempunyai predikat al-tsiqat al-huffƗz, dalam kitab al-Tirmidzi perawi dengan predikat yang demikian ini jumlahnya sangat banyak, dan kebanyakan perawi-perawi tersebut juga merupakan perawi hadits yang ada di dalam kitab Śah̜Ưh̜ Bukhari dan Muslim. 2. Para perawi yang tingkatannya di bawah tingkatan perawi yang pertama, berkaitan dengan hadits ini al-Tirmidzi kadangkala menganggap hadits yang mereka riwayatkan śah̜Ưh̜ dan terkadang h̜asan. 3. Para perawi yang mastnjr (tidak diketahui tingkat validitasnya) dan jujur, akan tetapi tidak termasuk ke dalam perawi yang mempunyai hafalan yang kuat dan terkenal sangat dapat dipercaya. Terhadap perawi yang demikian ini al-Tirmidzi terlebih dahulu meriwayatkan hadits-hadits yang senada dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi pada tingkatan ini, dan jika hadits-hadits yang senada tersebut dapat memperkuatnya maka hadits yang diriwayatkan perawi pada tingkatan ini kemudian dinilai oleh al-Tirmidzi sebagai hadits h̜asan. 4. Para perawi yang d̡a`Ưf dan meriwayatkan hadits secara tafarrud (menyendiri) meskipun tidak sangat lemah, perawi yang demikian ini di dalam kitab al-Tirmidzi jumlahnya sangat sedikit. 5. Para perawi yang tingkatannya wƗhi (rendah) dan matrnjk (yang ditinggalkan) terhadap perawi yang demikian ini al-
Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Hasan Su’aidi)
131
Tirmidzi dalam kitab 'ilal nya menjelaskan bahwa dia tidak terlalu memperhatikan hadits yang diriwayatkan oleh perawi pada tingkatan ini, kecuali hanya sesekali menyebutkannya dengan disertai tanbƯh (peringatan) (CD Mausu’ah al-Hadits). Dengan melihat pola pikir yang diterapkan oleh al-Tirmidzi tersebut maka tidaklah mengherankan jika pada akhirnya alTirmidzi mempunyai banyak klasifikasi hadits dibandingkan dengan ulama hadits lainnya. Keistimewaan dan keunggulan lain dari kitab Sunan alTirmidzi dibandingkan dengan kitab-kitab hadits lainnya adalah adanya hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi di dalam kitabnya tersebut hanya dengan melalui tiga tingkatan perawi atau yang biasa diistilahkan dengan hadits tsulasi (Sutarmadi, 1988: 124). Salah satu contohnya adalah teks hadits yang diriwayatkan al-Tirmidzi hanya melalui tiga tingkatan thabaqah, yaitu Ismail ibn Musa, Umar ibn Syakir dan Anas ibn Malik. Hal itu oleh ahli hadits dinilai lebih istimewa kedudukannya dibandingkan dengan hadits yang mempunyai perawi yang lebih banyak. Lepas dari pujian yang disampaikan para ulama hadits tentang kitab Sunan al-Tirmidzi, ada juga kritikan yang disampaikan berkaitan kandungan hadits kitab tersebut. Kritikan itu di antaranya disampaikan oleh Abu Rayyah yang mengatakan bahwa kitab Sunan al-Tirmidzi juga mengandung beberapa hadits yang tidak śah̜Ưh̜ (Abu Rayyah, tt: 318). Kritik yang lain dikemukakan oleh Muhammad ibn Sa'ad alMaslahab yang mempertanyakan tentang mengapa al-Tirmidzi menggunakan jalur sanad yang masih diragukan kejujuran perawi-perawinya padahal dia mengetahui jalur sanad yang lebih tinggi (Abu Rayyah, tt: 318). Sementara itu para ulama menyimpulkan bahwa kelemahan Sunan al-Tirmidzi dalam kitabnya terdapat dalam empat hal yaitu: 1. Meriwayatkan beberapa hadits yang d̡a`Ưf dan wƗhi (rendah) 2. Sangat mudah dalam memberikan predikat hadits dengan predikat śah̜Ưh̜ atau h̜asan.
132 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 123-138
3. Sangat mudah dalam memberikan penilaian terhadap perawi-perawi hadits. 4. Menyebutkan hadits yang gharƯb (yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi) dan hadits yang tidak kuat dalam permulaan setiap bab dari kitabnya kemudian mengikutinya dengan hadits yang lebih kuat (CD Mausu’ah al-Hadits). Terhadap empat kelemahan ini, ulama hadits lainnya menjelaskan masing-masing dari kelemahan tersebut, kelemahan pertama dapat dijelaskan bahwa adanya al-Tirmidzi meriwayatkan beberapa hadits yang d̡a`Ưf dan wƗhi dikarenakan al-Tirmidzi tidak mensyaratkan hadits yang ada di dalam kitabnya itu harus menduduki peringkat śah̜Ưh̜, dan hanya mensyaratkan kepada hadits-hadits yang diamalkan serta dijadikan hujjah oleh para fuqahƗ. Meskipun demikian al-Tirmidzi selalu menjelaskan derajat dari setiap hadits yang ada. Terhadap kelemahan kedua dapat dijelaskan bahwa hal yang berkaitan dengan kualitas hadits merupakan masalah ijtihƗdƯ sehingga tidaklah mengherankan jika al-Dzahabi memberikan penilaian bahwa predikat hadits śah̜Ưh̜ dan h̜asan yang diterapkan al-Tirmidzi adalah d̡a`Ưf. Demikian juga dengan kelemahan yang ketiga. Adapun kelemahan yang keempat dapat dijelaskan bahwa penyebutan hadits yang gharƯb atau d̡a`Ưf kemudian diikuti dengan hadits yang śah̜Ưh̜ dalam setiap bab yang ada di dalam kitabnya bukanlah merupakan cacat yang dapat mengurangi derajat kitab tersebut. Hal ini dikarenakan al-Tirmidzi selalu menjelaskan hadits yang śah̜Ưh̜. Bahkan sebaliknya hal inilah yang dapat menjelaskan keistimewaan al-Tirmidzi dan kitabnya (CD Mausu’ah al-Hadits). Seperti yang telah menjadi kesepakatan ulama hadits bahwa kitab Sunan al-Tirmidzi menduduki peringkat keempat dari enam kitab yang dianggap sebagai kitab hadits yang mempunyai tingkat validitas yang tinggi dibawah kitab Sunan Abu Dawud. Adapun faktor yang menyebabkan tingkatan kitab Sunan al-Tirmidzi di bawah Sunan Abi Dawud adalah karena dalam kitab Sunan al-Tirmidzi ditemukan dua periwayat yang diduga melakukan pemalsuan hadits. Dua periwayat tersebut adalah al-Maslub dan al-Kalbi (Abu Syuhbah, 1969: 123). Meskipun demikian, para ulama telah sepakat bahwa kedudukan kitab Sunan al-Tirmidzi lebih utama jika dibandingkan dengan kitabkitab lainnya selain Kutub al-Sittah.
Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Hasan Su’aidi)
133
F. Pemikiran al-Tirmidzi Tentang Klasifikasi Hadits Penilaian terhadap kualitas suatu hadits muncul bersamaan dengan kemunculan ilmu dirƗyah hadits, sebab sebelum itu (masa sahabat), belum dikenal adanya penilaian tentang kualitas sebuah hadits. Baru kemudian setelah terjadi gejolak yang muncul di kalangan ummat Islam yang dilatarbelakangi oleh perbedaan politik, dilanjutkan dengan perpecahan dan munculnya beragam faham dan aliran yang kesemuanya menganggap golongan mereka paling benar. Hal itulah yang pada akhirnya memicu kemunculan fanatisme mazhab (alTa'ashshub Mazhabi) sehingga mereka berusaha mempertahankan mazhab masing-masing dengan segala cara termasuk menggunakan dalil-dalil atau penguat bagi golongan mereka, baik dalil tersebut bersumber dari al-Qur`an maupun hadits. Tidak hanya itu bahkan mereka membuat hadits serta memalsukannya. Atas kejadian ini semua barulah muncul kemudian ilmu dirƗyah hadits dengan segala formulasi yang ada di dalamnya yang dijadikan sebagai barometer dan ukluran terhadap sah dan tidaknya sebuah hadits dijadikan sebagai hujjah ataupun dalil. Pada awal perkembangan ilmu dirƗyah hadits, tepatnya pada masa Ahmad ibn Hanbal dan para ulama sebelum al-Tirmidzi, kualitas hadits hanya terbagi menjadi dua yaitu śah̜Ưh̜ dan d̡a`Ưf. Pembagian tersebut berlangsung secara terus menerus yang kemudian sampai pada masa al-Tirmidzi. Pada masa inilah kualitas hadits mengalami perkembangan sebagaimana yang telah dijelaskan. Pada masa ini pembagian kualitas hadits tidak hanya terbatas kepada dua pembagian di atas, akan tetapi juga berkembang istilah-istilah kualitas hadits lainnya seperti śah̜Ưh̜ li dzƗtihi, śah̜Ưh̜ li ghairihi, h̜asan li dzƗtihi, h̜asan li ghairihi. Istilah-istilah tersebut (khususnya istilah h̜asan) sebenarnya sudah ada sebelum masa al-Tirmidzi. Hanya saja penggunaan istilah itu tidak terbatas kepada pemaknaan hadits h̜asan yang dikenal pada masa alTirmidzi, melainkan mempunyai arti yang luas sesuai dengan makna dilihat dari segi kebahasaannya. Oleh karena itu, penggunaan istilah h̜asan kadangkala digunakan untuk menyebut hadits śah̜Ưh̜ dan terkadang juga digunakan untuk menyebut hadits gharƯb (‘Itr, 1970: 161).
134 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 123-138
Sebagai contoh penggunaan istilah h̜asan untuk menyebut hadits śah̜Ưh̜, adalah komentar yang dikemukakan oleh al-Syafi’i tentang ikhtilƗf hadƯts terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar yaitu:
j°įĀª÷ Ĉįøã úøįËą ĂįČøã 7¥ ĈøįÓ 7¥ õĆįËÅ ®įċÆë ¦įĀ÷ ®įČ© ÆĄß Ĉøã ®Čð¯Å¥ Âð÷) (Ă°·¦{
ÉÂð}¥ ®Č© Ĕªð°Ìû
(CD Mausu’ah al-Hadits)
Terhadap hadits ini al-Syafi’i (150-240 H) mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar dari Nabi adalah musnad dan sanadnya h̜asan (al-Syafi’i, 1974: VIII: 538). Padahal hadits tersebut adalah hadits śah̜Ưh̜ yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya. Adapun contoh istilah hadits h̜asan yang dipakai untuk menyebutkan hadits garib adalah perkataan Ibrahim al-Nakhai (96 H). Ia menyebutkan bahwa para ulama tidak senang ketika mereka berkumpul kemudian ada seseorang yang mentakhrƯj hadits h̜asan yang dipunyainya. Terhadap perkataan al-Nakhai ini, al-Sam'ani mengatakan bahwa yang dimaksud oleh al-Nakhai dengan istilah h̜asan tersebut adalah hadits garƯb (al-Suyuthi, 1974: 93). Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa istilah h̜asan telah dikenal pada masa sebelum al-Tirmidzi, meskipun penggunaannya tidak menunjukkan terhadap kesamaan maksud seperti yang diistilahkan oleh al-Tirmidzi terhadap istilah yang sama. Sebab istilah h̜asan dipakai untuk menunjukkan hadits śah̜Ưh̜ dan pada kesempatan yang lain digunakan untuk hadits d̡a`Ưf. Sementara itu konsepsi al-Tirmidzi tentang istilah hadits h̜asan adalah setiap hadits yang diriwayatkan oleh jalur periwayatan (isnƗd/sanad) yang di dalamnya tidak terdapat perawi yang diduga berbuat bohong, haditsnya tidak SyƗdz, dan hadits tersebut diriwayatkan tidak hanya melalui jalur periwayatan saja (Itr, 1970: 162). Lebih lanjut konsepsi tersebut dapat dijelaskan bahwa arti dari setiap hadits yang diriwayatkan pada awalnya mempunyai arti umum yang dapat mencakup keseluruhan macam hadits, kemudian alTirmidzi memeberikan beberapa batasan, yaitu; 1. Di dalam sanad hadits tersbut tidak terdapat perawi yang diduga berbuat bohong. Dengan batasan ini, maka dapat diartikan bahwa
Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Hasan Su’aidi)
135
hadits h̜asan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah, shadnjq (jujur) meskipun tidak d̡Ɨbith (mempunyai tingkat hafalan yang kuat). Juga para perawi yang d̡a`Ưf sekalipun dengan syarat tidak termasuk perawi yang diduga berbuat bohong. Oleh karena itu perawi yang hafalannya jelek dan pernah salah dalam meriwayatkan hadits atau perawi yang mastnjr atau tidak diketahui tentang jarh̜ dan ta'dƯl-nya atau perawi yang jarh̜ dan ta'dƯl-nya diperdebatkan dan tidak diketahui mana yang lebih kuat dari perbedaan perawi tersebut, juga perawi yang mudallas dengan cara meriwayatkan hadits dengan lafaz tah̜ammul (periwayatan) 'an'anah. Dengan penjelasan tersebut maka perawi yang mempunyai sifat-sifat tersebut tidak menafikan syarat diduga untuk berbuat bohong, akan tetapi dapat berpindah predikatnya dari perawi yang tsiqah menjadi perawi yang tidak diduga berbuat bohong. Dengan demikian maka perawi tersebut kedudukannya berada di bawah para perawi hadits śah̜Ưh̜. 2. Hadits yang diriwayatkan tidak termasuk hadits yang syƗdz atau hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang bertentangan dengan riwƗyat perawi yang lebih kuat. Oleh karena itu maka hadits h̜asan disyaratkan terhindar dari adanya pertentangan antara riwayat orang yang tsiqah dengan orang yang lebih tsiqah. 3. Hadits yang diriwayatkan juga diriwayatkan oleh perawi lain, yang dimaksudkan adalah hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur periwayatan yang lain dengan catatan bahwa periwayatan yang lain tersebut kualitasnya jauh lebih unggul. Hal ini sebagaimana juga dikatakan oleh al-Syakhawi (al-Syakhawi, 1388H: 24). Persyaratan ini diterapkan karena diasumsikan bahwa jika banyak riwayatriwayat lain terhadap suatu hadits, maka sudah barang tentu kedudukan hadits tersebut juga kuat. Periwayatan lain ini bukan berarti harus sesuai lafaz atau matan nya akan tetapi cukup hanya dengan persamaan makna dari kandungan hadits yang dimaksud (Itr, 1970: 161-164). G. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kitab hadits Sunan al-Tirmidzi merupakan kitab hadits pertama yang mengklasifikasikan hadits sesuai dengan bab-bab yang ada di dalam
136 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 123-138
disiplin fiqh (yurisprudensi Islam) dan lebih daripada itu mencakup pendapat para ulama fiqh dari berbagai mazhab, maka tidaklah mengherankan jika kitab tersebut selanjutnya oleh para ulama dianggap sebagai kitab hadits perbandingan mazhab yang pertama. Pada masa al-Tirmidzi, perkembangan hadits (lebih khusus ilmu hadits) mengalami perubahan yang drastis, hal ini ditandai dengan munculnya istilah-istilah hadits yang baru, seperti hadits h̜asan dan variannya yang baru dikenal pada masa al-Tirmidzi, bahkan alTirmidzi dianggap sebagai penggagas istilah hadits h̜asan. Atas dasar itulah, maka tidaklah mengherankan jika kitab al-Tirmidzi dianggap sebagai kitab hadits h̜asan. Di samping itu dengan adanya penambahan kualitas hadits tersebut, maka penggunaan hadits-hadits sebagai dalil hukum menjadi semakin lebar dan longgar. Hal ini tidak lepas dari adanya pengaruh perkembangan mazhab-mazhab (aliran) fiqh yang ada pada masa al-Tirmidzi.
DAFTAR PUSTAKA Abu Rayyah, Mahmud, Adhwa` Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah (Kairo: dar al-Maarif, tt) Abu Syuhbah, Muhammad Muhammad, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihah al-Sittah (Mesir: Majma' al-Buhus al-Islamiyyah, 1969) Ali Abdul Fattah Ali Hasan, al-Tariq Ila al-Sunnah Fi Ulum alHadits (Kairo: Dar al-Taba'ah al-Muhammadiyah, 1975) al-Khatib, Ajjaj, Usul al-Hadits Ulumuhu Wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989) al-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar, Tadrib al-Rawi Fi Syarh Taqrib al-Nawawi (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972) al-Syafii, Muhammad Idris, Al-Umm (Beirut: Dar al-Malayin, 1974) al-Syakhawi, Fathu al-Mugis (Madinah: Matba'ah Madinah, 1388) al-Tazi, Mustafa Amin Ibrahim, Maqasid al-Hadits Fi al-Qadim wa alHadits (Kairo: Matba'ah Dar al-Ta`lif, tt) al-Tirmidzi, Abu Isa, al-JƗmi’ al-Shahih Li al-Tirmidzi (Beirut: Dar al-Fikr, 1963),
Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Hasan Su’aidi)
137
'Azami, Muhammad Mustafa, Metodologi Kritik Hadits (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992) CD Mausu'ah al-Hadits Kitab Siyar al-Musannifin Bab Tabwib alSunan. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Cet: IV; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003) Itr, Nuruddin, al-Imam al-Tirmidzi wa al-Muwazanah Baina alShahihaini (Mesir: Lajnah al-Ta'lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1970) Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadits (Jakarta; Bumi Aksara, 1997) Suryadi, Kitab al-JƗmi’ al-Shahih dalam Studi Kitab Hadits (Yogyakarta: Teras, 2003) Sutarmadi, Ahmad, Al-Imam al-Tirmidzi Peranannya Dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, (Ciputat: 1988) Uwaidah, Kamil Muhammad Muhammad, I'lam al-Fuqaha` Wa alMuhaddisin al-imam al-Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub alilmiyyah, 1994)