Proceeding MALAYSIA CONFERENCE ON ARABIC STUDIES AND ISLAMIC CIVILIZATION (MACASIC) 2009
Medan Makna Kepala Negara dalam Alquran dan Hadis Moch. Syarif Hidayatullah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Indonesia Abstract This article discusses the semantic field and lexeme meaning in sentences of head of state in Arabic, especially, which is found in Alquran and Hadith. The lexemes which examined were ūlī al-amr, amīr al-Mu’minīn, khalīfah, imām, sulthan, and malik. Those data were excluding the inflection of plural form, except ūlī al-amr. On semantic field, there is congruence in the form of inclusion, overlap, and disjunction. The analysis of each lexeme in the sentence construction shows the meaning of each lexeme has synonymous meaning with other at one time and has different meaning in other time. Each lexeme could has negative and positive connotation. The connotations are depending on its context and collocation. On the analysis of sentence construction, there are polysemy and homonymy tendency of those lexemes.
1. Pendahuluan Kata atau leksem bisa dilihat dari tiga sudut pandang yang berbeda: sinkronik, diakronik, dan pankronik. Sudut pandang sinkronik diperlukan untuk melihat kata baik pada saat ini maupun pada satu kurun masa tertentu (Matthews 1997:367), sedangkan sudut pandang diakronik diperlukan untuk melihat perjalanan sejarah suatu kata dari waktu ke waktu (over time) (Matthews 1997:96). Di pihak lain, sudut pandang pankronik tidak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan waktu tertentu. Sudut pandang ini diperlukan untuk melihat ciri khas universal suatu bahasa, pola perubahan lintas bahasa, dan fitur-fitur bahasa tertentu yang konstan melalui periode waktu yang panjang (Matthews 1997:263). Khusus untuk sudut pandang diakronik, Wray dll. (1998:127) menyebutkan bahwa sejarah suatu kata biasanya dipengaruhi oleh sejarah politik dan sejarah ekonomi yang melingkupi kata itu. Makna kata pada suatu bahasa perlu diketahui untuk memahami bahasa tersebut. Begitu juga tidak kalah pentingnya memahami makna kata itu pada saat dikombinasikan menjadi sebuah makna frasa dan makna kalimat. Fromkin dan Rodman (1998:155-156) menyebut kajian makna kata dan hubungan makna antarkata sebagai semantik leksikal (lexical semantics), sedangkan kajian makna unit sintaktis yang lebih besar daripada kata disebut semantik frasal (phrasal semantics) dan semantik kalimat (sentential semantics). Oleh Cruse (2000:267), dua jenis semantik yang terakhir disebut semantik gramatikal (grammatical semantics). Namun demikian, untuk mengetahui makna kata perlu diselidiki ranah (domain) pemakaiannya. Matthews (1997:103) mendefinisikan ranah sebagai cakupan bentuk yang menerapkan beberapa aturan yang sama. Sebagai contoh, nama warna membentuk ranah tertentu. Begitu juga dengan istilah kekerabatan dan jenis
57
Proceeding MALAYSIA CONFERENCE ON ARABIC STUDIES AND ISLAMIC CIVILIZATION (MACASIC) 2009
profesi. Terkait dengan ranah itu, objek yang akan dikaji pada penelitian ini adalah medan makna kepala negara dalam bahasa Arab, terutama dalam Alquran dan Hadis. Kepala negara (dengan berbagai istilahnya) yang terdapat dalam bahasa Arab, menurut Raziq (1925:106-107), berarti ‘seseorang yang mengatur rakyat dalam satu kesatuan politik, yakni dalam suatu pemerintahan’. Definisi yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Marbun (2002:269). Ia menyatakan bahwa kepala negara adalah seorang yang mengepalai suatu negara baik raja, ratu, kaisar, sultan, maupun presiden. 2. Medan Makna Lehrer (1974:17) berpendapat bahwa analisis medan makna memasukkan hubungan leksem yang secara paradigmatis berlawanan, namun berhubungan secara morfologis dan semantis, seperti leksem fly dan leksem wing. Pemaparan Lehrer itu mempertegas konsep tentang medan makna yang tidak hanya memasukkan hubungan leksem yang secara paradigmatik sama, namun juga hubungan leksem yang justru secara paradigmatik berlawanan. Lehrer (1974:15) juga menegaskan bahwa kosakata suatu bahasa itu terstruktur. Kosakata suatu bahasa dapat diklasifikasikan menjadi beberapa butir leksikal yang berhubungan dengan medan konseptual dan dibagi menjadi ruang makna (semantic space) atau ranah makna (semantic domain). Mengutip pendapat Trier (1931, 1934), Lehrer (1974:17) percaya bahwa medan bahasa itu tidak terisolasi. Menurutnya, medan bahasa akan bergabung bersama membentuk bagian yang lebih besar lagi sampai pada akhirnya keseluruhan kosakata dapat masuk ke dalamnya. Cruse (1986:1) berpendapat bahwa ciri khas makna pada butir leksikal sepenuhnya merefleksikan aspek hubungan yang sesuai dalam kontraknya baik dengan aktual konteks maupun potensial konteks. Konteks yang relevan akan memasukkan konteks situasi luar bahasa. Namun, harus ada pembatasan yang prinsipial pada konteks kebahasaan. Oleh karena itu, menurut Cruse (1986:15), yang harus dicari adalah informasi mengenai makna leksem dalam hubungannya dengan konteks aktual bahasa dan konteks potensial bahasa. Karakteristik kombinasi leksem dalam kalimat ditunjukkan tidak hanya oleh maknanya saja, tapi juga oleh ciri khas gramatikalnya. Bahkan sudah dianggap sesuatu yang aksiomatik bahwa setiap aspek makna leksem direfleksikan dalam suatu pola karakteristik makna normal (dan tidak normal) dalam konteks gramatikal yang sesuai. Apa yang dikemukakan oleh Cruse semakin memperjelas cara mencari medan makna pada beberapa leksem yang secara paradigmatik berhubungan. 2.1 Medan Makna Kepala Negara dalam Bahasa Arab Para ahli yang melakukan penelitian tentang konsep kepala negara yang terdapat dalam Alquran dan Hadis menghasilkan simpulan yang beragam. Raziq (1925) menyamakan keenam leksem itu. Menurut tokoh kontroversial asal Mesir itu, leksem malik sama saja dengan leksem khalīfah, imām, sulthan, dan bahkan dengan amīr. Pada bagian yang lain, ia juga menyinggung pula leksem ūlī al-amr. Berbeda dengan Raziq, Abu Faris (1986) hanya mengakui tiga leksem saja yang menjadi gelar kepala negara dalam Islam, yaitu leksem khalīfah, imām, dan amīr
58
Proceeding MALAYSIA CONFERENCE ON ARABIC STUDIES AND ISLAMIC CIVILIZATION (MACASIC) 2009
al-Mu’minīn. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Khan (1971). Pada penelitian berikutnya, Khan (1973) menyinggung leksem mulk ‘kerajaan’ yang merupakan bentuk derivasi dari malik ‘raja’. Hanya saja leksem amīr yang oleh Raziq digolongkan sebagai kepala negara, oleh Khan diartikan sebagai ‘panglima perang’. Hasil lainnya dikemukakan oleh Lewis (1988). Orientalis terkemuka itu menyebut amīr al-Mu’minīn, khalīfah, imām, sulthan, dan malik sebagai gelar yang dipergunakan untuk seorang kepala negara dalam Islam. Berbeda dengan Lewis, Al-Maududi (1978), menyebut semua kepala negara yang menjalankan syariat Islam dan dipilih adalah khalīfah, sementara yang tidak menjalankan keduanya disebut malik. Pembahasan mengenai konsep kepala negara tidak hanya dilakukan oleh peneliti abad ke-20 saja. Para peneliti klasik juga sudah membahasnya. Ibn Khaldun (1986), peneliti abad ke-14, mengkaji tiga leksem: khalīfah, imām, dan malik. Khalīfah dan imām merepresentasikan kepala negara Islam, sementara leksem malik sebaliknya. Namun, dia tidak secara tegas membedakan antara leksem khalīfah dan imām. Menurutnya, keduanya merupakan pilihan masyarakat yang bersangkutan. Sebelum Ibn Khaldun, Al-Mawardi (1960), teoretikus politik Islam abad ke-11, hanya menyebut leksem khalīfah dan imām saja. Ia bahkan lebih banyak menyebut leksem imām daripada leksem khalīfah. Namun dari penjelasannya, yang dimaksudkan dengan leksem khalīfah dan imām oleh Al-Mawardi adalah semua kepala negara, baik itu khalīfah, imām sulthan, malik, dan kepala negara yang lain. Ia memasukkan semua leksem itu sebagai ūlī al-amr. Dari penelitian di atas, setidaknya diketahui ada enam leksem dalam bahasa Arab, terutama yang terdapat dalam Alquran dan Hadis, yang terkait dengan medan makna kepala negara: ūlī al-amr, amīr al-Mu’minīn, khalīfah, imām, sulthan, dan malik. Keenam leksem itu berhubungan secara paradigmatis, karena merefleksikan pilihan semantis yang sesuai pada struktur tertentu di dalam sebuah kalimat (Cruse 2000:148). Dari keenam leksem itu hanya leksem ūlī alamr yang belum masuk sebagai entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga (2001). Hanya saja dalam kamus induk itu tidak terlihat jelas perbedaan dan persamaan antara satu leksem dengan leksem yang lain. Untuk diketahui, keenam leksem itu menjadi leksem pokok dalam pembicaraan masalah kepemimpinan negara dalam Islam. Bila konsep utama dalam Islam, seperti pada keenam leksem itu, berbahasa Arab, tentu bukanlah hal kebetulan. Islam yang diwahyukan dalam bahasa Arab menjadi faktor yang membuat semua itu mungkin. Menurut Azra (dalam Lewis 1994:xx), Alquran dan Hadis sebagai sumber pokok Islam yang menggunakan bahasa Arab telah menjadi asal dari hampir seluruh idiom, istilah, dan bahkan jargon politik, yang di antaranya berupa gelar yang dipergunakan untuk menyebut seorang kepala negara. Adopsi idiom, istilah, dan jargon politik Islam yang berbahasa Arab pun tidak bisa terhindarkan lagi dilakukan oleh masyarakat Islam di luar kawasan Arab, seperti di Nusantara. Padahal, idiom, istilah, dan jargon itu sebenarnya berkaitan dengan pengalaman Muslim di semenanjung Arabia yang tidak harus selaras dengan konsep dasar yang digariskan oleh Alquran dan Hadis. Tidak jarang juga
59
Proceeding MALAYSIA CONFERENCE ON ARABIC STUDIES AND ISLAMIC CIVILIZATION (MACASIC) 2009
maknanya sudah bergeser dari makna awal pada saat idiom, istilah, dan jargon itu diperkenalkan. Dari beberapa penelitian terdahulu, masih sedikit penelitian yang mengkaji makna leksem medan makna kepala negara itu secara linguistis. Atribut semantis yang melekat pada masing-masing leksem itu juga belum dikaji secara komprehensif. Oleh karena itu, tulisan ini mengkaji makna leksem medan makna kepala negara yang terdapat dalam bahasa Arab, terutama dalam Alquran dan Hadis, yang memanfaatkan teori analisis komponen makna dan makna kata dalam konstruksi kalimat. 3. Analisis Komponen Makna Nida (1975) membagi komponen makna menjadi dua jenis: komponen diagnostik dan komponen suplemen. Dalam menganalisis komponen makna, Nida mengajukan empat prosedur. Pertama, penamaan. Proses itu berhubungan dengan rujukannya. Rujukan bisa berupa benda, peristiwa, gejala, proses, sistem, dan sebagainya. Penamaan itu bersifat konvensional. Sebagai contoh, leksem kursi merujuk pada kursi, sementara kursi mobil merujuk pada bentuk kursi yang lain. Kedua, parafrasa. Parafrasa bertitik-tolak dari deskripsi secara pendek tentang sesuatu. Dalam hal memparafrasa, perlu dibedakan unit inti dan ujaran yang dihubungkan dengan unit inti. Contoh leksem paman dapat dijelaskan komponen maknanya [+SAUDARA LAKI-LAKI AYAH] [SAUDARA LAKI-LAKI IBU]. Ketiga, pendefinisian. Pendefinisan merupakan usaha untuk menjelaskan sesuatu. Usaha itu berpangkal dari analisis makna dan parafrasa. Pada saat mendefiniskan leksem kursi, komponen makna yang kita masukkan adalah [+BERKAKI EMPAT] [+TEMPAT DUDUK] [+MEMPUNYAI SANDARAN] [+TERBUAT DARI KAYU DAN BESI]. Keempat, klasifikasi. Proses klasifikasi adalah proses menghubungkan sebuah leksem dengan genusnya, lalu dilanjutkan dengan membedakan leksem yang diklasifikasi dari anggota lain di dalam kelas tertentu dengan membedakan ciri-cirinya. Mengenai klasifikasi itu, Nida (1975:66) menyebut tiga prosedur untuk mengklasifikasi leksem: (i) menyatakan ciri bersama; (ii) memisahkan makna yang berbeda dari yang lain; (iii) menentukan dasar untuk kelompoknya. Mengklasifikasi tidak pernah hanya merupakan suatu proses meletakkan rujukan pada konsep, tetapi hubungan antarmakna harus ditentukan. 3.1 Analisis Komponen Makna Leksem Ūlī Al-Amr Leksem ūlī al-amr berbentuk frasa nominal yang merupakan gabungan dari dua kata ūlī ‘pemilik’ dan al-amr ‘perintah’. Kata ūlī merupakan bentuk plural dari kata ذو/dhū/’pemilik’, yang merupakan anomali bentuk plural dalam bahasa Arab.1 Pada saat ūlī dan al-amr bergabung menjadi frasa, gabungan dua kata itu bermakna idiomatis sebagai ‘orang yang memegang otoritas dan kekuasaan’. 1
Kasus kata ūlī ditemukan juga pada bentuk plural ﻧﺴﺎء/nisā’/‘para wanita’, إﺑﻞ/ibil/‘beberapa unta’, yang tidak memiliki bentuk singular yang sesuai dengan kaidah morfologi bahasa Arab. Bentuk singular dari ﻧﺴﺎء/nisā’/‘para wanita’ adalah اﻣﺮأة/imra’ah/’wanita’, sementara إﺑﻞ/ibil/‘beberapa unta’ merupakan zero alomorf. 60
Proceeding MALAYSIA CONFERENCE ON ARABIC STUDIES AND ISLAMIC CIVILIZATION (MACASIC) 2009
Leksem ūlī al-amr memiliki komponen makna [+MANUSIA], [+PRIA], [+DEWASA], [+SEHAT FISIK DAN MENTAL], [+MERDEKA], [+ISLAM], [+BERMORAL], [+KOMPETEN], [+TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [KETURUNAN QURAISY], [-AHLI BAIT], [-DIPILIH], [-DIBAIAT], [+WAJIB DIPATUHI], [-PENGUASA UNIVERSAL], [+PEMIMPIN AGAMA], [+PEMIMPIN NEGARA], dan [+MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. 3.2 Analisis Komponen Makna Leksem Amīr al-Mu’minīn Leksem amīr al-Mu’minīn merupakan frasa nominal dari dua kata amīr ‘pemimpin’ dan al-Mu’minīn ‘orang-orang yang beriman’. Kata amīr berbentuk fa‘īl yang bermakna mubālaghah ‘superlatif’. Ia berasal dari akar kata a-m-r ‘perintah’, yang juga menjadi akar kata al-amr pada leksem ūlī al-amr. Kata alMu’minīn merupakan jama‘ mudhakkar sālim ‘plural maskulin’ dari bentuk mufrad ‘singular’ al-mu’min. Leksem amīr al-mu?minīn memiliki komponen makna [+MANUSIA], [+PRIA], [+DEWASA], [+SEHAT FISIK DAN MENTAL], [+MERDEKA], [+ISLAM], [+BERMORAL], [+KOMPETEN], [+TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [-KETURUNAN QURAISY], [-AHLI BAIT], [-DIPILIH], [+DIBAIAT], [+WAJIB DIPATUHI], [+PENGUASA UNIVERSAL], [+PEMIMPIN AGAMA],[+PEMIMPIN NEGARA], dan [+MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. 3.3 Analisis Komponen Makna Leksem Khalīfah Leksem khalīfah berasal dari akar kata kh-l-f. Menurut Al-Fayyumi (t.th.:178), bentuk asal khalīfah adalah khalīf (tanpa -h). Menurut Ibn Manzhur (1990i:89) dan Al-Ashfahani (1961:157), leksem khalīfah bermakna ‘orang yang menggantikan posisi yang lain’. Huruf -h (tā’ marbūthah) pada kata itu bermakna mubālaghah ‘superlatif’, seperti -h yang terdapat pada kata ‘allāmah ‘orang yang sangat pandai’. Makna leksem itu bisa mengikuti bentuk fa‘īl ‘yang melakukan’ dan bisa juga mengikuti bentuk maf‘ūl ‘yang dilakukan’. Jika mengikuti bentuk fa‘īl, maka makna leksem itu seperti yang dikemukakan Ibn Manzhur dan Al-Ashfahani. Namun jika mengikuti bentuk maf‘ūl, maka maknanya ‘orang yang dijadikan Allah sebagai pengganti yang lain’. Leksem khalīfah memiliki komponen makna [+MANUSIA], [+PRIA], [+DEWASA], [+SEHAT FISIK DAN MENTAL], [+MERDEKA], [+ISLAM], [+BERMORAL], [+KOMPETEN], [+TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [+KETURUNAN QURAISY], [-AHLI BAIT], [+DIPILIH], [+DIBAIAT], [+WAJIB DIPATUHI], [+PENGUASA UNIVERSAL], [+PEMIMPIN AGAMA], [+PEMIMPIN NEGARA], dan [+MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. 3.4 Analisis Komponen Makna Leksem Imām Leksem imām berasal dari akar kata a-m-m, yang juga memunculkan kata amām ‘di depan’. Dalam bahasa Arab, leksem imām bermakna ‘seorang yang dijadikan pemimpin oleh orang lain baik sebagai kepala negara maupun yang lain’ (Anis, dll. 1972:27).
61
Proceeding MALAYSIA CONFERENCE ON ARABIC STUDIES AND ISLAMIC CIVILIZATION (MACASIC) 2009
Leksem imām memiliki komponen makna [+MANUSIA], [+PRIA], [+DEWASA], [+SEHAT FISIK DAN MENTAL], [+MERDEKA], [+ISLAM], [+BERMORAL], [+KOMPETEN], [+TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [+KETURUNAN QURAISY], [+AHLI BAIT], [-DIPILIH], [+DIBAIAT], [+WAJIB DIPATUHI], [+PENGUASA UNIVERSAL], [+PEMIMPIN AGAMA], [+PEMIMPIN NEGARA], dan [+MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. 3.5 Analisis Komponen Makna Leksem Sulthān) Leksem sulthān berasal dari akar kata s-l-th. Menurut Lewis (1988:72), pada mulanya leksem sulthān digunakan hanya sebagai suatu abstraksi dan tidak pernah digunakan untuk menyatakan orang. Saya kurang sependapat dengan pendapat Lewis itu. Al-Fayyumi (t.th:285), ahli leksikografi Arab abad ke-8, telah menyatakan bahwa kata sulthān juga dipergunakan untuk mengacu orang, selain dipergunakan sebagai abstract noun yang berarti ‘kekuasaan’ atau ‘pemerintahan’. Pendapat yang sama disampaikan juga oleh Ibn Manzhur (1990g:321). Leksem sulthān memiliki komponen makna [+MANUSIA], [+PRIA], [+DEWASA], [+SEHAT FISIK DAN MENTAL], [+MERDEKA], [+ISLAM], [+BERMORAL], [+KOMPETEN], [+TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [KETURUNAN QURAISY], [-AHLI BAIT], [-DIPILIH], [+DIBAIAT], [+WAJIB DIPATUHI], [-PENGUASA UNIVERSAL], [+PEMIMPIN AGAMA], [+PEMIMPIN NEGARA], dan [+MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. 3.6 Analisis Komponen Makna Leksem Malik Leksem berasal dari akar kata m-l-k, yang menurut Ibn Zakariya (1994:996) menunjukkan kekuatan dan vitalitas dalam satu hal. Bentuk ma¡dar-nya mulk ‘kerajaaan’. Disebut demikian, karena orang yang memegang mulk adalah orang yang mempunyai kendali yang kuat. Seseorang disebut malik bila dia bisa mengendalikan kuasa dan pengaruhnya pada orang banyak (Al-Fayyumi t.th.:579). Menurut Al-Ashfahani (1961:472), leksem malik bermakna ‘orang yang memegang otoritas memerintah dan melarang orang banyak’. Leksem ini hanya berlaku untuk mengacu kepemimpinan pada manusia. Dalam bahasa Arab hanya ada frasa malik al-nās ‘raja manusia’ dan tidak ada frasa malik al-ashyā ‘raja sesuatu’. Leksem malik memiliki komponen makna [+MANUSIA], [+PRIA], [+DEWASA], [+SEHAT FISIK DAN MENTAL], [+MERDEKA], [-ISLAM], [BERMORAL], [+KOMPETEN], [-TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [KETURUNAN QURAISY], [-AHLI BAIT], [-DIPILIH], [-DIBAIAT], [-WAJIB DIPATUHI], [-PENGUASA UNIVERSAL], [-PEMIMPIN AGAMA], [+PEMIMPIN NEGARA], dan [-MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. 3.7 Ciri Pembeda Pada bagian ini akan dideretkan seluruh komponen makna pada masing-masing leksem untuk mengetahui perbedaan masing-masing leksem yang berada pada medan makna kepala negara dalam tabel di bawah ini: Tabel 1. Ciri pembeda medan makna kepala negara dalam bahasa Arab
62
Proceeding MALAYSIA CONFERENCE ON ARABIC STUDIES AND ISLAMIC CIVILIZATION (MACASIC) 2009
Ciri a. manusia b. pria c. dewasa d. sehat fisik dan mental e. merdeka f. Islam g. bermoral h. kompeten i. tinggal di negara Islam j. keturunan Quraisy k. Ahli Bait l. dipilih m. dibaiat n. wajib dipatuhi o. penguasa universal p. pemimpin agama q. pemimpin negara r. menerapkan syariat Islam
Ūlī Al-Amr
Amīr AlMu’minīn
Khalīfah
Imām
Sulthan
Malik
+ + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + -
Komponen makna yang terlihat pada tabel menunjukkan bahwa leksem ūlī al-amr berbeda dengan leksem yang lain selain leksem malik pada komponen makna pada komponen [-DIBAIAT]. Pada komponen [-PENGUASA UNIVERSAL] membedakan leksem ūlī al-amr dengan leksem amīr al-Mu’minīn, khalīfah, dan imām. Komponen makna [-KETURUNAN QURAISY] membedakan leksem ūlī al-amr dengan leksem khalīfah dan leksem imām. Komponen makna [-AHLI BAIT] hanya membedakan leksem ūlī al-amr dengan leksem imām. Komponen makna [-DIPILIH] satu-satunya yang membedakan leksem ūlī al-amr dengan leksem khalīfah. Leksem ūlī al-amr dapat diperbedakan dari leksem malik berdasarkan komponen makna [+ISLAM], [+BERMORAL], [+TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [+WAJIB DIPATUHI], [+PEMIMPIN AGAMA], dan [+MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. Komponen makna [+DIBAIAT] yang membedakan leksem amīr alMu’minīn dengan leksem ūlī al-amr dan leksem malik. Pada komponen [+PENGUASA UNIVERSAL] membedakan leksem amīr al-Mu’minīn dengan leksem ūlī al-amr, sulthan, dan malik. Komponen makna [-KETURUNAN QURAISY] membedakan leksem amīr al-Mu’minīn dengan leksem khalīfah dan leksem imām. Komponen makna [-AHLI BAIT] yang membedakan leksem amīr al-Mu’minīn dengan leksem imām. Komponen makna [-DIPILIH] yang membedakan leksem amīr al-Mu’minīn dengan leksem khalīfah. Leksem amīr alMu’minīn dapat diperbedakan dari leksem malik berdasarkan komponen makna [+ISLAM], [+BERMORAL], [+TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [+WAJIB
63
Proceeding MALAYSIA CONFERENCE ON ARABIC STUDIES AND ISLAMIC CIVILIZATION (MACASIC) 2009
DIPATUHI], [+PEMIMPIN AGAMA], dan [+MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. Komponen makna [+DIBAIAT] yang membedakan leksem khalīfah dengan leksem ūlī al-amr dan leksem malik. Pada komponen [+PENGUASA UNIVERSAL] membedakan leksem khalīfah dengan leksem ūlī al-amr, sulthan, dan malik. Komponen makna [+KETURUNAN QURAISY] yang membedakan leksem khalīfah dengan leksem yang lain selain leksem imām. Komponen makna [-AHLI BAIT] yang membedakan leksem khalīfah dengan leksem imām. Komponen makna [+DIPILIH] yang membedakan leksem khalīfah dengan leksem yang lain. Leksem khalīfah dapat diperbedakan dari leksem malik berdasarkan komponen makna [+ISLAM], [+BERMORAL], [+TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [+WAJIB DIPATUHI], [+PEMIMPIN AGAMA], dan [+MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. Komponen makna [+DIBAIAT] yang membedakan leksem imām dengan leksem ūlī al-amr dan leksem malik. Pada komponen [+PENGUASA UNIVERSAL] membedakan leksem imām dengan leksem ūlī al-amr, sulthan, dan malik. Komponen makna [+KETURUNAN QURAISY] membedakan leksem imām dengan leksem yang lain selain leksem khalīfah. Komponen makna [+AHLI BAIT] yang membedakan leksem imām dengan leksem yang lain. Komponen makna [-DIPILIH] yang membedakan leksem imām dengan leksem khalīfah. Leksem imām dapat diperbedakan dari leksem malik berdasarkan komponen makna [+ISLAM], [+BERMORAL], [+TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [+WAJIB DIPATUHI], [+PEMIMPIN AGAMA], dan [+MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. Komponen makna [+DIBAIAT] yang membedakan leksem sulthan dengan leksem ūlī al-amr dan leksem malik. Pada komponen [-PENGUASA UNIVERSAL] membedakan leksem sulthan dengan leksem yang lain selain leksem ūlī al-amr dan leksem malik. Komponen makna [-KETURUNAN QURAISY] membedakan leksem sulthan dengan leksem khalīfah dan leksem imām. Komponen makna [-AHLI BAIT] yang membedakan leksem sulthan dengan leksem imām. Komponen makna [-DIPILIH] yang membedakan leksem sulthan dengan leksem khalīfah. Leksem sulthan dapat diperbedakan dari leksem malik berdasarkan komponen makna [+ISLAM], [+BERMORAL], [+TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [+WAJIB DIPATUHI], [+PEMIMPIN AGAMA], dan [+MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. Komponen makna [-DIBAIAT] yang membedakan leksem malik dengan leksem yang lain selain leksem ūlī al-amr. Pada komponen [-PENGUASA UNIVERSAL] membedakan leksem malik dengan leksem yang lain selain leksem ūlī al-amr dan leksem sulthan. Komponen makna [-KETURUNAN QURAISY] membedakan leksem malik dengan leksem khalīfah dan leksem imām. Komponen makna [-AHLI BAIT] yang membedakan leksem malik dengan leksem imām. Komponen makna [-DIPILIH] satu-satunya yang membedakan leksem malik dengan leksem khalīfah. Leksem malik dapat diperbedakan dari leksem yang lain berdasarkan komponen makna [-ISLAM], [-BERMORAL], [-TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [-WAJIB DIPATUHI], [-PEMIMPIN AGAMA], dan [MENERAPKAN SYARIAT ISLAM].
64
Proceeding MALAYSIA CONFERENCE ON ARABIC STUDIES AND ISLAMIC CIVILIZATION (MACASIC) 2009
3.8 Kongruensi Hubungan paradigmatik antarleksem pada medan makna kepala negara dalam bahasa Arab dilihat dalam hubungan kongruensi yang meliputi identitas, inklusi, tumpang-tindih, dan disjungsi. Bertalian dengan medan makna kepala negara dalam bahasa Arab, leksem ūlī al-amr sebagai superordinat dari leksem yang lain, hubungan kongruensi leksem itu dengan leksem yang lain dapat digambarkan seperti pada gambar 1. A pada gambar 1. adalah leksem ūlī al-amr, sementara B adalah leksem yang lain. Leksem yang lain secara keseluruhan masuk dalam kelas ūlī al-amr.
B
A
Gambar 1. Inklusi pada medan makna kepala negara dalam bahasa Arab
Gambar berikut menjelaskan hubungan kongruensi antara leksem amīr almuminīn dan leksem khalīfah, hubungan antara leksem khalīfah dan leksem imām, hubungan antara leksem amīr al-mu’minīn dan leksem imām, juga hubungan antara leksem amīr al-muminīn dan leksem sulthan. A B Gambar 2. Tumpang-tindih pada medan makna kepala negara dalam bahasa Arab
Masing-masing leksem berhubungan tumpang tindih dengan leksem pasangannya. Gambar berikut menunjukkan hubungan kongruensi antara leksem malik dengan leksem yang lain selain leksem ūlī al-amr. Meskipun leksem malik termasuk dalam kelompok ūlī al-amr, namun leksem itu dianggap berbeda dengan leksem yang lain, karena leksem malik tidak memiliki komponen makna [+ISLAM], [+BERMORAL], [+TINGGAL DI NEGARA ISLAM], [+WAJIB DIPATUHI], [+PEMIMPIN AGAMA], dan [+MENERAPKAN SYARIAT ISLAM]. A
B
Gambar 3. Disjungsi pada medan makna kepala negara dalam bahasa Arab
A pada gambar di atas adalah leksem malik dan B adalah empat leksem yang lain selain leksem ūlī al-amr.
65
Proceeding MALAYSIA CONFERENCE ON ARABIC STUDIES AND ISLAMIC CIVILIZATION (MACASIC) 2009
4. Kesimpulan Analisis komponen makna menunjukkan antara leksem ūlī al-amr dan amīr almu’minīn yang diteliti di samping memiliki ciri bersama, juga memiliki ciri pembeda. Analisis masing-masing leksem ketika berada pada konstruksi kalimat menunjukkan makna masing-masing leksem bersinonim dengan yang lain pada satu waktu dan di waktu yang lain tidak bersinonim. Hal itu memang tidak bisa dihindari dalam leksem medan makna yang berhubungan secara paradigmatik. Pada saat berada dalam konstruksi kalimat, masing-masing leksem dapat berkonotasi negatif dan berkonotasi positif tergantung konteks dan kolokasinya. Analisis pada konstruksi kalimat—seperti yang dipahami para penafsir, penerjemah Alquran, dan pengomentar Hadis—juga menunjukkan terjadinya kepoliseman dan kehomoniman pada keenam leksem itu. Leksem ūlī al-amr merupakan kasus polisemi karena mempunyai makna (1a) ‘para penguasa’, (1b) ‘para panglima perang’, dan (1c) ‘para pemimpin kaum muslimin’. Leksem amīr al-mu’minīn merupakan kasus polisemi karena mempunyai makna (2a) ‘kepala negara’ dan (2b) ‘seseorang yang telah mengetahui secara mendalam hampir seluruh periwayatan Hadis dan hanya sedikit yang tidak diketahuinya’, yang masing-masing berhububungan secara etimologis meskipun tidak berada pada satu medan makna. Daftar Pustaka Abu Faris, Muhammad Abdul Qadir. 1986. Al-Nizhām Al-Siyāsī fī Al-Islām.. Amman: Darul Furqan. Azra, Azyumardi. 1994. Bahasa Politik, Politik Bahasa, dan Agama: Kritik Terhadap Lewis. Kata Pengantar dalam Lewis. 1994. Bahasa Politik Islam. Terjemahan The Political Language of Islam oleh Ihsan Ali Fauzi. Jakarta: Gramedia. Al-Ahdal, Hasan Muhammad Maqbuli. 1993. Musthalah Al-Hadīth wa Rijāluhu. Shan‘a: Maktabah Al-Jil Al-Jadid. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad bin Ali Al-Muqri. t.th. Al-Misbāh Al-Munīr. Jakarta: Dinamika Berkah Utama. Al-Akk, Khalid Abdurrahman. 1994. Shafwat Al-Bayān lī Ma‘ānī Al-Qurān AlKarīm. Damaskus: Dar Al-Basyair. Al-Mawardi, Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad. 1960. Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah. Beirut: Darul Fikr. Al-Maududi, Abul A‘la. 1978. Al-Khilafah wa Al-Mulk. Kuwait City: Darul Qalam. Al-Ra’is, Dhiauddin. 1972. Al-Islām wa Al-Khilāfah fī Al-‘Ashr Al-Hadīth. Kairo: Maktabah Darut Turats. Al-Suyuthi, Jalaluddin. t.thn. Tārīkh Al-Khulafa. Beirut: Darul Kutub AlIslamiyyah. ----------. 1900. Al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān. Kairo: Matba‘ah Hijazi. Al-Zabidi, Muhammad Murtadha Al-Husain. 1406 H. Taj Al-‘Arus min Jauhar AlQamus. Beirut: Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi. Bik, Muhammad Al-Khudhari. t.thn. Itmām Al-Wafa fī Sīrat Al-Khulafā. Jeddah: Al-Haramain.
66
Proceeding MALAYSIA CONFERENCE ON ARABIC STUDIES AND ISLAMIC CIVILIZATION (MACASIC) 2009
Cruse, D. Alan. 1986. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. ----------. 2000. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics. Oxford: Oxford University Press. Departemen Pendidikan Nasional RI. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka. Esposito, John L. 1984. Islam and Politics. Syracuse: Syracuse University Press. Goddard, Cliff. 1998. Semantic Analysis: A Practical Introduction. Oxford: Ibn Khaldun, Abdurrahman. 1900. Al-Muqaddimah. Beirut: Darul Fikr. Ibn Manzhur, Jamaluddin Muhammad bin Bakr. 1990. Lisān Al-‘Arab. Beirut: Darul Fikr. Ibn Zakariya, Abul Husain Ahmad bin Faris. 1994. Mu‘jam Al-Maqāyīs fī AlLughagh. Beirut: Darul Fikr. Jackson, Howard dan Etienne Ze Amvela. 2000. Words, Meaning, and Vocabulary: An Introduction to Modern English Lexicology. London: Cassel. Khan, Qomaruddin. 1971. The Political Thought of Ibn Taymiyyah. Islamabad: Islamic Research Institute. ----------. 1973. The Political Concepts in the Qur’an. Karachi: Institute of Islamic Studies. Lehrer, Adriene. 1974. Semantic Fields and Lexical Structure. Amsterdam: North Holland. Lewis, Bernard. 1988. The Political Language of Islam. Chicago: Chicago University Press. Lyons, John. 1977. Semantics (volume 1). Cambridge: Cambridge University Press. ----------. 1981. Language, Meaning, and Context. London: Fontana. Matthews, P.H. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford University Press. Nida, Eugene A. 1975. Compenential Analysis of Meaning. The Hague: Mouton. Rahardjo, M. Dawam. 1996. Ensiklopedi Alquran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina. Raziq, Ali ‘Abdul. 1925. Al-Islam wa Ushul Al-Hukm. Kairo: Mathba‘ah Mishr. Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (edisi ke-5). Jakarta: UI Press. Ullmann, Stephen. 1977. Semantics: An Introduction to The Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell. Wehr, Hans. 1960. A Dictionary of Modern Written Arabic. Beirut: Maktabah Lebanon. Sumber CD-ROM Islamic Dictionary Versi 1.0 (CD-ROM). Kairo: HIT. 2000. Mawsū‘ah Al-Hadīth Al-Sharīf, Versi 2.0 (CD-ROM), Heliopolis Barat: Sakhr, 2000. Holy Qur’an Versi 6.50 (CD-ROM), Heliopolis Barat: Sakhr, 1997. Maktabah Al-Tafsīr wa ‘Ulūm Al-Qurān. Versi 1.5 (CD-ROM). Amman: AlKhatib. 1999.
67