MANFAAT PENELITIAN Dari hasil penelitian ini diharapkan ditemukan agen pengendali hayati kapang entomopatogen L. giganteum yang nantinya mampu diproduksi secara besar-besaran sebagai alternatif pilihan pengendalian vektor penyakit DBD .
TINJAUAN PUSTAKA 1. Penyakit DBD DBD merupakan masalah kesehatan yang sangat penting di Indonesia sejak ditemukan kasus di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968 dengan 58 kasus penderita yang dirawat dan 24 orang meninggal. Menurut Pusdatin tahun 2004, terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue di Indonesia antara Januari-Februari 2004 dengan penderita 17.707 dan menewaskan 322 orang (Anonim 2004). Pada tahun 1987 merupakan catatan kasus tertinggi yaitu dilaporkan 22.765 penderita dengan angka kematian 4,6% yaitu 1039 meninggal (Sutaryo dkk, 1996). DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk salah satu dari 66 anggota arthropode-borne virus dari familia Flaviviridae. Familia ini mempunyai 29 anggota yang menyebabkan penyakit pada manusia dan 2 virus penyebab terpenting adalah virus Dengue , dan Yellow Fever yang ditemukan pada tahun 1927. Baru kemudian virus penyebab lain pada dekade berikut yaitu Japanese encephalitis, St Louis encephalitis, tick borne encephalitis dan pada hewan ditemukan louping i11 khususnya pada domba (Rice 1990; Westaway dan Blok 1997). Menurut klasifikasi serologi dengan menggunakan pola reaksi silang dan hospes alaminya maka virus Dengue diketahui mempunyai 4 tipe yakni tipe 1, 2, 3, dan 4 termasuk sub grup ke 6 dan
6
di Indonesia ke empat tipe tersebut muncul sebagai penyebab DBD dan khusus tipe 3 menyebabkan penderita mengalami shock berat (Sutaryo dkk, 1996). Virus Dengue mampu berkembang biak dalam tubuh manusia, monyet, simpanse, kelinci, mencit, marmot, tikus dan juga hamster serta serangga khususnya nyamuk. Primata merupakan hospes alami virus, viremia yang timbul biasanya lebih rendah dan lebih pendek masanya. Pada manusia viremia berkisar 2-12 hari, sementara pada primata 1-2 hari dan titer virus dala m darah manusia dapat mencapai lebih dari seratus kali dibandingkan pada darah binatang primata. Manifestasi infeksi virus Dengue sangat beragam mulai dari tanpa gejala, demam ringan, demam Dengue dan DBD. Dalam kenyataan manifestasi ringan dalam bentuk tanpa gejala dan demam ringan merupakan mayoritas (Sjahrurachman 1993). Gejala klinis DBD berupa demam tinggi, fenomena perdarahan dan hepatomegali, pada anak-anak sering terjadi kelemahan, lesu secara tiba - tiba, dan rasa nyeri pada perut. Kadang diikuti kegagalan sirkulasi, tachycardia, diaphoresis seluruh alat gerak, dingin dan diikuti muka yang pucat. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya
gejala yang khas yaitu
trombositopenia dan hemokonsentrasi. Kegagalan sirkulasi terjadi pada saat suhu tubuh mulai mengalami penurunan, demam berlangsung selama 2-7 hari dan kemudian
menjadi normal.
Menurut WHO diagnosa DBD ditegakkan jika
ditemukan 2 kriteria klinik dan adanya trombositopenia (kurang dari 100.000 per ml) dan hemokonsentrasi atau peningkatan nilai hematokrit minimal 20%. Kriteria kliniknya meliputi : demam mendadak tinggi dan terjadi 2-7 hari, fenomena
7
perdarahan, hepatomegali dan adanya renjatan (Sjahrurachman 1993 ; Halstead 1997).
2. Vektor Penyebab Penyakit Vektor penyakit dengue perta ma kali dilaporkan di Beirut oleh Graham tahun 1903 pada seekor nyamuk dari genus Aedes. Di Australia oleh Bancroft pada tahun 1906 vektor tersebut diidentifikasi sebagai nyamuk Ae. aegypti. Nyamuk Ae. aegypti merupakan salah satu nyamuk dari genus Aedes yang ada di seluruh dunia yang berjumlah 600 spesies dan merupakan s pesies yang dianggap paling berbahaya .
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1916 di Filipina
ditemukan oleh tim tentara Amerika, vektor lain untuk virus Dengue yaitu nyamuk Ae. albopictu s. Selain kedua spesies nyamuk tersebut virus Dengue juga ditularkan oleh Ae. polynesiensis dan Ae. scutellaris. Dalam siklus transmisinya Ae. aegypti disebut sebagai
urban dengue sedangkan Ae. albopictus dan Ae.
niveus merupakan jungle Dengue/forest Dengue (Rodhain dan Rosen 1997). Dalam
perkembangan hidupnya
nyamuk Ae. aegypti
merupakan
arthropoda yang mengalami metamorfosis sempurna (holometabola ). Siklus hidup dimulai dari telur yang menetas menjadi jentik atau larva, kepompong (pupa), pupa kemudian akan mengalami eklosi dan menjadi nyamuk dewasa. Telur dari nyamuk betina pada umumnya diletakkan secara individual pada dinding yang basah atau di permukaan air jernih yang tidak mengalir seperti kaleng, drum bekas, batok kelapa, ban bekas, vas bunga dan sebagainya. Telur ini mampu bertahan berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan (Rhodain dan Rosen 1997). Untuk menetaskan telurnya nyamuk Aedes rata-rata memerlukan waktu satu sampai tiga hari pada suhu kamar (Cheng 1974). Apabila kelembaban terlalu
8
rendah maka telur akan menetas dalam waktu empat hari. Penetasan membutuhkan waktu 7 hari dalam suhu 160C dan pada suhu -20C sampai 42 0C telur Ae. aegypti dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Larva nyamuk aegypti mempunyai empat
Ae.
instar yaitu instar 1, 2, 3 dan instar ke-4 yang
berlangsung 9-12 hari. Larva memperoleh makanan dengan cara menyapu makanan menggunakan sikat mulut dan makanan larva berupa mikroorganisme dan bahan-bahan organik (Borror et al. 1992). Larva menggantung pada permukaan air dan membentuk sudut lebih dari 450 dan sensitif terhadap pergerakan air (Kettle 1984) . Larva mempunyai sifon yang tidak langsing dan hanya memiliki satu pasang rambut (hairtuft) serta pekten yang tumbuh tidak sempurna (Soedarto 1989). Larva terdiri dari kepala, toraks dan abdomen yang bersegmen, serta tidak mempunyai rambut palmate. Waktu yang dibutuhkan larva untuk menjadi pupa adalah 9 sampai 12 hari (Levine 1990). Dalam stadium ini pupa tidak makan dan pupa akan berkembang menjadi nyamuk dewasa ya ng mempunyai masa hidup dua minggu sampai satu bulan. Stadium dewasa mempunyai ciri khas yaitu belang putih hitam keperakan terutama didaerah toraks, kaki dan warna keperakan pada sisi skutelum (Yap dan Chong 1995). Nyamuk dewasa baru menghisap darah setelah satu kali kawin dan biasanya nyamuk Ae. aegypti menggigit mangsanya pada siang dan sore hari khususnya di tempat yang agak gelap . Delapan sampai sebelas hari setelah menghisap darah penderita DBD, virus akan masuk
di dalam lambung vektor. Di dalam tubuh vektor, virus
berkembang biak dan setelah periode tertentu virus akan ditemukan di dalam kelenjar ludah dan siap untuk disebarkan. Nyamuk menjadi infektif selama
9
hidupnya dan secara eksperimental telah dibuktikan bahwa nyamuk Ae. albopictus dapat menularkan secara transovarial pada nyamuk keturunannya (Manson-Bahr dan Bell (1987) dalam Sutaryo dkk, 1996). Menurut Umiyati dkk (1994) dalam Sutaryo tahun 1996 bahwa Ae. aegypti mendominasi pada daerah suburban, sedangkan untuk daerah pedesaan didominasi ole h nyamuk Ae. albopictus baik di dalam maupun di luar rumah. Selama musim kemarau maupun selama musim hujan. Ae. albopictus hidup dan berkembang biak didaerah semak-semak, di kebun dan di hutan. Telur nyamuk ini sangat tahan terhadap kekeringan selama beberapa bulan. Lubang pohon, semak tanaman, potongan bambu serta tempurung kelapa merupakan habitatnya. Pada musim hujan telur akan cepat menetas dan berkembang biak (Rodhain dan Rosen 1997).
3. Pengendalian Vektor Sampai sekarang ini belum ditemukan adanya obat atau vaksin untuk menanggulangi demam dengue ataupun DBD. Para ahli berlomba untuk mengembangkan vaksin atau mengembangkan anti virus melalui penemuanpenemuan
yang bisa digunakan sebagai bahan penanggulangan. Strategi
penanggulangan penyakit dilakukan dengan cara pemutusan rantai penularan penyakit
baik
dengan
cara
menekan
jumlah
penderita
dan
menekan
perkembangbiakan vektor. Penyebaran virus Dengue dipengaruhi oleh keberadaan nyamuk vektor, maka salah satu pencegahannya adalah dengan melakukan pengontrolan terhadap ve ktor. Menurut Utama dalam Kompas 2004, pengontr olan vektor dapat dilakukan dengan pembunuhan nyamuk menggunakan insektisida, membuat suatu perangkap telur/ ovitrap, penggunaan nyamuk transgenik dan pemberantasan sarang nyamuk. Depkes telah sejak lama menganjurkan sistem
10
pemberantasan vektor dengan menggunakan cara 3 M yaitu menguras atau menabur larvasida , menutup penampungan air dan mengubur barang – barang bekas. Cara-cara pengendalian di atas hanya akan berpengaruh pada kebanyakan nyamuk dewasa dan banyak mengandung kelemahan serta resiko yang menyangkut implementasi dan aplikasinya, sedangkan larva nyamuk sebagai calon nyamuk dewasa tidak terbasmi. Mengingat besarnya bahaya yang dapat ditimbulkan oleh insektisida kimia, maka para ahli melakukan berbagai penelitian untuk mencari bahan insektisida yang ramah lingkungan dan aman bagi manusia. Sebagai salah satu alternatif insektisida yang dapat digunakan adalah menggunakan agen biologis dengan memanfaatkan mikroba sebagai biokontrol. Insektisida mikrobial digunakan karena toksisitasnya rendah terhadap manusia dan hewan yang bukan merupakan target dan agen mikrobial yang digunakan sekarang ini antara lain berasal dari organisme hidup berupa bakteri, virus, kapang, nematoda dan protozoa. Selain mikroorganismenya sendiri juga toksin yang dihasilkan (Wienzierl et al. 2000). Di Eropa dan Inggris untuk membasmi keberadaan Musca domestica yang merupakan suatu hama yang menyerang ternak telah dikembangkan adanya metode alternatif dalam pence gahannya yaitu dengan menggunakan kapang entomopatogenik sebagai agen kontrol biologis. Kapang yang digunakan sebagai kontrol biologis terhadap hama serangga tersebut adalah
Beuveria bassiana,
Metarhizium anisopliae dan vertillicium lecanii. Ketiga jenis kapang ini mampu menginfeksi populasi serangga (Barson et al. 1994). Menurut Munif (1990) telah ditemukan di daerah persawahan di Indonesia kapang Beauveria, Lagenidium,
11
Entomophthora dan Coelomomyces yang berasal dari larva nyamuk Anopheles yang dikenal sebagai agen pengendali hayati.
4. Kapang Entomopatogen Kapang entomopatogen adalah kapang yang hidup pada serangga dan dapat hidup pada organisme yang sudah mati. Kapang ini menurut Alexopoulus dan Mims (1996) sering disebut sebagai kapang patogen serangga yang bersifat saprofit obligat. Sekarang ini telah banyak dikembangkan kapang sebagai agen pengendali hayati baik yang digunakan untuk pengendalian hama penyakit tanaman ataupun untuk pengendalian vektor penyakit diantaranya Gliocladium, Trichoderma, Beauveria, Metarhizium dll (Butt et al.
2001). Kapang
L.
giganteum mulai dikembangkan sebagai kandidat agen pengendali hayati pada tahun delapanpuluhan. Kapang L. giganteum
merupakan kapang yang habitatnya di air
(watermold ) dan bersifat saprofit dalam keadaan perkembangan vegetatif pada tanaman busuk maupun serangga yang sudah mati, serta bersifat parasit pada larva nyamuk (Lord dan Robert 1986). Termasuk klas Oomycetes dan Kingdom Chromista yang termasuk didalamnya Diatom dan Alga coklat (Sleigh 1989 dalam Schotle 2004). L. giganteum pertama kali ditemukan oleh Couch pada tahun 1935 dari sampel asal Copepoda dan larva nyamuk Culex dan Anopheles di North Carolina, USA dan penyebarannya secara geografi sangat luas meliputi Amerika Utara, Eropa, Afrika, Asia dan Antartika (Federici 1981). Kapang ini menyebabkan terjadinya angka kematian yang tinggi pada populasi larva nyamuk khususnya jenis Culex di California dan Carolina Utara (Merriem dan Axtell 1982; Jaronski dan Axtell 1983), Mansonia di Florida (Cuda et al. 1997) dan
12
spesies Anopheles (Kerwin dan Washino 1987). Mempunyai miselium coenocitic, septa membagi hifa menjadi beberapa segmen yang kadang menyempit pada bagian septanya. Segmen kadang terpisah antara satu dengan lainnya dan disebut sub thalus (Dwidjoseputro 1978; Willoughby (1969) dalam Misman 1990). Hifa utamanya bersegmen, menyempit pada septanya, kadang segmen yang satu terpisah dari yang lain dan bercabang. Pada larva nyamuk, Copepoda atau Daphnia, hifa bersegmen terdapat pada tubuh inang dan hifa halus akan muncul dipermukaan sehingga tampak seperti serabut-serabut pendek, tebal hifa 6-40µ dengan panjang segmen 50-300µ.
Dinding hifa mengandung selulosa yang
memberikan reaksi ungu klorida dari zeng. Protoplasma berwarna putih pucat dan mengkilat dan sub thalus berbentuk persegi panjang atau silindris (Willoughby (1969) dalam Misman 1990). Klasifikasi kapang L. giganteum menurut Alexopoulus dan Mims (1996) adalah sebagai berikut Kingdom : Chromista Phylum
: Oomycota
Klas
: Oomycetes
Ordo
: Lagenidiales
Familia
: Lagenidiaceae
Genus
: Lagenidium
Spesies
: L. giganteum
Tahap infektif dari kapang ini adalah tahap spora. Spora L. giganteum bersifat motil dan memiliki kemampuan untuk secara sekaligus merusak inangnya. Spora dapat ditemukan menempel pada batang padi, kumbang air atau
13
larva capung. Apabila spora belum menemukan inang yang cocok, spora akan berenang kembali dan mencari inang yang baru (Kerwin et al. 1994). L. giganteum tersebar di daerah tropis dan subtropis. Kapang ini tidak menimbulkan iritasi atau gangguan pada manusia, hewan, ikan dan organisme yang bukan sasaran (Kerwin et al. 1988 ; Lor d dan Anderson 1994). Meskipun L. giganteum bukan parasit obligat dan dapat tumbuh secara vegetatif di luar tubuh inang (seperti tumbuhan yang membusuk atau bangkai serangga), di tempat yang bukan merupakan habitatnya kapang ini dapat tumbuh dengan cepat dan mudah di isolasi dari larva nyamuk. Isolasi kapang ini pernah dilakukan di Amerika Serikat bagian selatan. Umumnya kapang ini ditemukan di air, atau tempat-tempat yang mendukung perkembangan populasi nyamuk. Kapang ini akan menjadi dorman pada suhu dibawah 160C atau pada suhu diatas 320C. Tingkat salinitas akan berpengaruh pada sporulasi. Perkembangan L. giganteum dapat berlangsung secara seksual dan aseksual. Perkembangan secara seksual dimulai dengan berubahnya thalus lengkap menjadi organ seksual tunggal atau thalus tersebut menjadi beberapa sel, setiap sel dapat menjadi organ reproduktif. Sebuah sel berkembang menjadi oogonium yang membulat dan sel yang lain berkembang menjadi antheridia dan bentuk selnya sama dengan oogonia. Antheridium ini menghasilkan sebuah tabung fertilisasi yang dapat masuk kedalam dinding oogonia, kemudian protoplasma antheridium berpindah kedalam oogonia melalui tabung fertilisasi dan bergabung membentuk zigot. Zigot yang terbentuk dilapisi dinding yang tampak jelas dan zigot ini disebut oospora yang tahan terhadap kekeringan, cuaca dingin. Oospora akan berkumpul didasar substrat dan mampu bertahan hidup lama
14
(Couch dan Rommey 1973) . Pada kondisi yang menguntungkan oospora akan mengalami germinasi dan tumbuh menjadi kapang saprofit atau memproduksi spora infektif (zoospora) (McCoy et al. 1988). Perkembangbiakan secara aseksual menggunakan zoospora yang akan menghasilkan sporangia. Infeksi terhadap larva nyamuk dimulai dari zoospora biflagela yang bersifat motil. Zoospora akan mengenali larva nyamuk dan akan masuk kedalam tubuh dan menyebar ke seluruh tubuh inang dan mati dalam waktu satu sampai empat hari tergantung dari suhu dan jumlah zoospora. L. giganteum dalam proses kehidupannya membutuhkan unsur trehalosa dalam komponen nutrisinya. Trehalosa merupakan salah satu sumber karbon yang terbaik selain glu kosa, manosa, fruktosa, maltosa dan gliserol. Sebaga i sumber nitrogen L.giganteum membutuhkan unsur aspartat, glutamat dan glutamin serta thiamin juga dapat meningkatkan pertumbuhan walaupun kapang ini mampu mensintesa vitamin sendiri (WHO 1985). Trehalosa dapat mengkatalisa reaksi hidrolisa alfa-disakarida , alfa trehalosa menjadi glukosa dalam tubuh serangga. Gula alfa dan alfa trehalosa merupakan unsur utama karbohidrat pada serangga. Dengan enzim yang dimiliki oleh L. giganteum yaitu enzim trehalase yang berfungsi dalam pemecahan cadangan trehalosa pada miselium dan zoospora serta pencernaan trehalosa dalam hemolimph pada waktu kapang masuk kedalam larva nyamuk. Proses gangguan L .giganteum pada inang secara umum adala h pengurangan makanan inang secara fisiologis. Trehalosa digunakan oleh kapang sehingga jumlahnya berkurang pada larva. Taurín dan cadangan energi berkurang berakibat terjadinya kekurangan nutrisi dan menimbulkan kematian (Giebel dan Domnas 1976; WHO 1985).
15
Menurut Dean dan Domnas (1983) , L. giganteum menghasilkan enzim ekstrasellular protease pada saat ditumbuhkan dalam media yang mengandung pepton, yeast exstrak dan glukosa. Selain itu kapang ini juga menghasilkan enzim lipase yang aktivitas dari kedua enzim tersebut berkaitan erat dalam penembusan kutikula larva disamping faktor tekanan secara mekanik. Selain itu kapang ini juga menghasilkan enzim kolagenolitik yang berfungsi juga pada penembusan ataupun perkembangannya. Selain faktor fisiologi dan biokimia, dalam perkembangannya, kapang L. giganteum dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan yang meliputi faktor nutrisi, derajat keasaman (pH), suhu, cahaya, salinitas, polusi organik dan mikroba lain (Domnas et al. 1982; Jaronski dan Axtell 1982; Merriem dan Axtell 1982; Lord dan Robert 1985). Cara kapang L. giganteum menginfeksi
larva nyamuk melalui fase
infektif dari kapang yaitu zoospora yang berflagela dan motil masuk melalui mulut atau integumen (McCray et al. 1973: Lord dan Robert 1987). Zoospora akan membentuk kista dan membentuk germ tube yang akan digunakan untuk menembus kutikula larva dengan bantuan aktivitas enzim proteolitik dan lipolitik. Dengan adanya proses enzimatis dan dibantu
tekanan mekanik akan
melemahkan kutikula dan timbul proses melanisasi pada daerah yang terinfeksi. Dalam homocoel hifa akan tumbuh bercabang dan ber kembang menjadi miselium yang tidak bersepta yang akan memasuki daerah kepala dan memenuhi rongga badan. Dalam kondisi ini larva ma sih hidup tetapi kondisinya sangat lemah dan tidak bereaksi terhadap rangsangan mekanik. Larva akan segera mati apabila segmen-segmen kepala, toraks dan bagian abdominal sudah dipenuhi oleh
16
pertumbuhan miselium kapang. Pertumbuhan miselium vegetatif terhenti dan dilanjutkan proses reproduksi (Domnas et al. 1974). Efektivitas dari kapang L. giganteum pada mula pertama diketahui sangat lemah, tetapi penemuan-penemuan selanjutnya yang diisolasi di Amerika Serikat menunjukan bahwa patogenesitas utama efektif terjadi pada larva nyamuk. Setiap strain nyamuk mempunyai kekhususan inang tersendiri. Satu strain dapat kurang efe ktif terhadap larva Anopheles tetapi efektif terhadap larva Culicidae. Menurut WHO (1985) bahwa L. giganteum dapat menginfeksi larva nyamuk dari genus Culex, Aedes. dan Psorophora, sedangkan menurut Cuda et al. (1997) kapang ini juga menginfeksi Mansonia. Pada pengujian skala laboratorium, pada umumnya laju infeksi sangat tinggi dan mampu mematikan semua larva yang diujikan. Pada larva yang sudah berumur tua, pupa maupun nyamuk dewasa, zoospora akan mengalami kesulitan didalam menginfeksi. Zoospora akan ditemukan dalam jumlah 178.640-250.000 pada seekor larva nyamuk yang terinfeksi. Tingkat kematian larva 100% diperoleh dengan pemberian antara 715.000 zoospora tiap 100 ml air dan 1.600.000 per satu liter (Misman 1990). Kapang L. giganteum akan kehilangan ke mampuan untuk bereproduksi apabila sudah terlalu sering dibiakkan dalam media kultur (Lord dan Robert 1986).
17