Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Manajemen Pengelolaan Sumberdaya Manusia Partai Politik (Studi Tentang Konflik Internal DPD PAN Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumsel) Oleh: Marratu Fahri Abstract To get good resource started from the system of recruitment. By the system, it will be able select between the characteristics of the candidates through value system and ideology of political parties. Surely, the people who have the potential and the same ideology will be recruited. Competition with other political parties is also going to fight the best people who will be able to strengthen and develop its political party organization. Keywords: Political party, recruitment, political ideology, value system
Pendahuluan Dalam banyak kasus, faktor sumberdaya manusia (tentu saja dalam pengertian yang luas) sebagai pelaku utama dalam memajukan dan mengembangkan sebuah organisasi, seringkali menjadi persoalan utama yang tak dapat pandang sebelah mata. Demikian halnya dengan organisasi yang memiliki peran penting serta fungsi vital seperti partai politik (parpol). Oleh karena itu, dalam pandangan Cornelis Lay dkk., sistem pengelolaan sumberdaya manusia dalam partai politik terangkai dalam tiga tema utama, yakni: a) sistem penyeleksian atau rekrutmen; b) sistem peningkatan kapasitas atau kaderisasi, dan; c) sistem penataan peran atau sistem karir (2006:1). Sementara itu, Firmanzah (2008:70), dari sudut pandang yang hampir sama dengan Lay, menyebutkan bahwa partai politik sebagai suatu organisasi sangat berperan dalam mencetak pemimpin yang berkualitas dan berwawasan nasional. Pemimpin yang berkualitas ini tidak hanya berorientasi pada kepentingan partai politik yang diwakilinya. Ketika menjadi pemimpin nasional, ia otomatis menjadi pemimpin semua orang. Pemimpin ini tidak lahir dengan sendirinya. Perlu suatu proses pendidikan – baik formal maupun nonformal – yang mampu membentuk jiwa dan karakter pemimpin. Dalam struktur dan sistem politik, organisasi partai politiklah yang paling bertanggungjawab untuk melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas. Untuk dapat melakukan tugas ini, dalam tubuh organisasi partai politik perlu dikembangkan sistem rekrutmen, seleksi, dan kaderisasi politik. Selain melakukan proses rekrutmen, di dalam tubuh parpol perlu dikembangkan sistem pendidikan dan kaderisasi kader-kader politiknya. Sistem kaderisasi ini sangat penting mengingat perlu adanya transfer pengetahuan (knowledge) politik, tidak hanya yang terkait dengan sejarah, misi, visi, dan strategi partai politik, tetapi juga hal-hal yang terkait dengan permasalahan bangsa dan negara. Dalam sistem kaderisasi juga dapat dilakukan transfer keterampilan dan keahlian berpolitik. Tugas utama yang diemban parpol dalam hal ini adalah menghasilkan calon-calon pemimpin berkualitas yang nantinya akan “diadu” dengan parpol lain melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu). Calon pemimpin yang mampu menarik simpati dan perhatian
Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA, Sedang Studi di MIP FISIP UNILA
58
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
masyarakat luaslah yang merupakan asset berharga partai politik. Orang-orang yang memiliki potensi dan kemampuan perlu diberdayakan. Lebih lanjut dikatakan Firmanzah, bahwa sistem kaderisasi perlu disertai dengan sistem transparansi yang memberikan jaminan akses kepada semua kader yang memiliki potensi. Perlu juga dimunculkan sistem persaingan yang sehat dan transparan dalam tubuh organisasi partai politik. Kader dan calon pemimpin harus dibiasakan dengan sistem persaingan yang sehat dan transparan itu. Karena, dengan sistem persaingan yang terbebas dari kolusi dan nepotisme inilah kaderisasi akan dapat melahirkan calon-calon pemimpin yang berkualitas tinggi (2008:71). Selain rekrutmen, dan kaderisasi ada pula sistem atau jenjang karir pada partai politik yang sejatinya mendapat perhatian serius dari para pengelola partai politik. Sistem karir dalam partai politik adalah suatu sistem penataan masa depan para aktivis partai menyangkut peran dan posisi mereka dari waktu ke waktu dalam berbagai posisi yang ada atau bisa dilalui lewat keterlibatan atau jasanya dalam partai politik. Posisi ini seperti pengurus partai di berbagai tingkatan atau jabatan publik. Sistem karir adalah jembatan menuju pelembagaan proseduralisme demokrasi yang secara praktis dibutuhkan bagi tercapainya integrasi internal dalam partai politik. Melalui sistem karir berbagai penataan relasi antar individu partai bisa dikelola. Sistem karir dapat didesain guna mengelola potensi konflik karena harapan-harapan masa depan yang diandaikan oleh setiap individu partai. (Lay dkk., 2006:27-29). Akan tetapi, sistem rekrutmen, kaderisasi, dan sistem karir tersebut seringkali diabaikan begitu saja oleh hampir seluruh partai politik. Kepentingan jangka pendek atau pertimbangan pragmatisme politik seringkali menganulir sistem dimaksud, yang kemudian dapat berakibat munculnya konflik internal partai. Hal inilah yang kemudian disinyalir oleh beberapa pihak sebagai penyebab terjadinya konflik internal pada saat Musyawarah Daerah III Dewan Pimpinan Daerah Partai Amanat Nasional (DPD-PAN) Kabupaten kabupaten OKU, yang diselenggarakan pada 29 Oktober 2010 di Aula Gedung Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Baturaja. Konflik yang terjadi di tubuh DPD PAN OKU ini sangat menarik untuk dikaji. Sebagai partai yang mengklaim diri sebagai “partai kaum reformis”, tidak seharusnya konflik seperti itu terjadi. Terlebih jika kita melihat visi PAN, yakni: “Terwujudnya Partai Amanat Nasional sebagai partai politik terdepan dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil dan makmur, pemerintahan yang baik dan bersih di dalam negara Indonesia yang demokratis dan berdaulat, serta diridhoi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.” (Lihat Ketetapan Rakernas PAN No.17 Tahun 2006 Tentang Tafsir Asas dan Platform Partai Amanat Nasional, terutama pada Bab II Kedudukan Asas dan Platform huruf C. Visi dan Misi). Mencermati fenomena politik terkait dengan manajemen pengelolaan sumberdaya manusia partai politik, dalam hal ini konflik internal DPD PAN OKU tersebut, ada beberapa indikator yang digunakan, yakni: 1) Sistem rekrutmen, adalah bagaimana PAN melakukan penjaringan atau eksplorasi calon kader, baik secara institusional maupun personal. 2) Sistem kaderisasi, adalah bagaimana PAN melaksanakan jenjang perkaderan secara berkala, terjaga, dan terkelola melalui jenjang-jenjang perkaderan internal di setiap jenjang kepengurusan, seperti Latihan Kader Amanat Dasar (LKAD), Latihan Kader Amanat Madya (LKAM), dan Latihan Kader Amanat Utama (LKAU). 3) Sistem Karir, adalah bagaimana PAN menempatkan jenjang karir bagi kader-kadernya untuk ditempatkan pada pos-pos yang ada berdasarkan hasil perkaderan formal, dan jasa atau pengalamannya di struktur kepengurusan.
59
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Pengertian Manajemen SDM Partai Politik Menurut George R. Terry (seperti dikutip Soekarno.K, 1986:20), manajemen adalah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya melalui usaha orang-orang lain. Sedangkan menurut Ensiklopedi Administrasi, manajemen adalah segenap perbuatan menggerakkan sekelompok orang dan menggerakkan fasilitas dalam suatu usaha kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Manajemen adalah inti dari administrasi. Artinya, administrasi adalah penyelenggaraannya, dan manajemen adalah orang-orangnya yang menyelenggarakan kerja. Wadah atau tempat di mana kerja itu berlangsung menuju sasaran atau mencapai tujuan disebut organisasi. Tujuan utama mempelajari manajemen adalah guna memperoleh suatu cara, teknik, metode yang sebaik-baiknya dilakukan agar dengan sumber-sumber yang terbatas (seperti uang, tenaga kerja, sarana prasarana, waktu,dan sebagainya) dapat diperoleh hasil yang sebesar-besarnya. Artinya, untuk efisiensi atau daya guna adalah dengan jalan menggunakan dana yang minimal untuk mendapatkan hasil guna yang maksimal (Soekarno.K, 1986:2). Dari pengertian di atas, manajemen dalam suatu organisasi memiliki makna yang sangat luas dan sangat penting artinya dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam kaitannya dengan partai politik, manajemen dimaksud misalnya menyangkut kepemimpinan atau organisasi partai, manajemen sumber daya manusia (SDM) partai, manajemen keuangan partai dan sebagainya. Tulisan ini hanya melihat aspek manajemen pengelolaan sumberdaya manusia (SDM) DPD PAN OKU. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa manajemen pengelolaan sumberdaya manusia partai politik terangkai dalam tiga tema, yakni, sistem rekrutmen, kaderisasi dan sistem karir. Ketiganya ini dirangkai dalam satu proses pencarian dan seleksi input (rekrutmen), peningkatan kapasitas (kaderisasi), dan penjaluran input dalam berbagai peran dan posisi (jabatan) dalam partai atau yang bias diraih melalui partai (Lay dkk., 2006:1). Tiga tema ini sekilas tak ada beda laiknya sebuah kebutuhan dalam setiap organisasi. Dalam konteks ini, bab ini akan membacanya sebagai kebutuhan dalam setiap parpol untuk mentradisikan munculnya pelembagaan proseduralisme dalam mengelola sumberdaya manusia dalam menterjemahkan ketiga tema tersebut. Namun, di sisi lain, ada dua kekhasan utama pada tema-tema ini ketika dikenakan terhadap partai politik. Pertama, parpol tidak bisa disamakan dengan beragam organisasi sosial lainnya, baik organisasi bisnis, pemerintahan, dan lainnya. Ada perbedaan fundamental yang mendasarinya, yang pada intinya ditunjukkan melalui eksisnya variabel politik sebagai faktor determinan paling menonjol dalam pengelolaan manajemen SDM dalam diri parpol. Kedua, aksentuasi parpol terhadap ketiga tema tersebut sangat terbuka muncul dalam beragam variasi respon. Sebuah partai yang kental dengan karakter berorientasi massa akan melahirkan respon berbeda dengan partai yang berorientasi pemenangan kompetisi dalam kekuasaan ketika mendesain ketiga sistem tersebut bagi para anggotanya. Pengertian Partai Politik Partai politik pada hakekatnya merupakan sekelompok warga negara yang sedikit banyak telah terorganisir, di mana anggota-anggotanya memiliki cita-cita, tujuan-tujuan dan orientasi yang sama. Kelompok ini berusaha untuk merebut dukungan rakyat, sedangkan yang menjadi tujuannya adalah memperoleh dan mengendalikan kekuasaan politik atau pemerintahan, dan kemudian berusaha untuk melaksanakan kebijakan-
60
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
kebijakannya dengan jalan menempatkan anggota-anggotanya di dalam jabatan-jabatan politik ataupun pemerintahan (Haryanto,1986:88). Sementara menurut Roger F. Soltau (seperti dikutip Miriam Budiarjo, 1991:161), partai politik merupakan sekelompok warga negara yang terorganisir yang bertindak sebagai satu kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melakukan kebijakan mereka sendiri. Sigmund Neumann menyebutkan bahwa partai politik adalah dari aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan-golongan atau golongan-golongan lain yang memiliki pandangan yang berbeda (dalam Budiardjo,1991:162). Batasan lain mengenai partai politik juga dikemukankan juga oleh Carl Friedrich dalam Budiardjo (1991:162), bahwa partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasar kekuasan itu akan memberikan kegunaan materiil dan idiil kepada anggotanya. Partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka tentunya memiliki ideologi tersendiri terkait dengan tujuantujuan yang ingin dicapai. Regulasi dan Pola Rekrutmen Anggota Partai Politik Rekrutmen adalah proses kegiatan yang dilakukan oleh partai politik untuk mencari sumberdaya manusia (human resources) guna dilibatkan dalam aktivitas partai politik, baik sebagai anggota, pengurus partai maupun untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Dari dua pengertian tersebut, ada dua dimensi dari rekrutmen. Pertama, dimensi internal, yakni bahwa rekrutmen menyangkut soal bagaimana partai mencukupi ketersediaan SDM guna keberlanjutan eksistensinya. Kedua, pada hakekatnya, parpol lahir dan dan dikonstruksikan sebagai milik publik. Konsekuensinya, partai bertanggungjawab menyediakan ruang bagi publik luas untuk terlibat dalam aktivitas parpol (Budiardjo,1991:162). Eksistensi anggota dapat diibaratkan sebagai urat nadi kehidupan parpol. Keberhasilan atau kegagalan parpol dalam menjalankan fungsinya sangat tergantung pada seberapa mampu parpol menyediakan ruang bagi eksistensi anggotanya. Secara umum, rekrutmen yang dilakukan parpol, dapat dipilah dalam tiga jenis, yakni rekrutmen anggota baru, rekrutmen anggota pengurus partai, dan rekrutmen jabatan-jabatan politis atau publik. Dalam hal ini, proses rekrutmen membutuhkan eksisnya berbagai persyaratan formal tertentu yang harus dipenuhi oleh calon anggota dan calon pejabat publik atau politik tertentu. Prasyarat formal ini dibentuk dan diakui bersama oleh setiap komponen dalam partai. Di sisi lain, rekrutmen sebenarnya juga berdimensi politik, yakni berkaitan dengan bagaimana antar kelompok, komponen atau faksi dalam partai tengah berkontestasi dalam sebuah arena kekuasaan partai, baik dalam jangka pendek (pengisian jabatan) ataupun jangka panjang (ketersediaan sumberdaya, masa depan kelompok atau faksi-faksi internal). Sehubungan itu, rekrutmen pengelola partai kerap muncul sebagai area sensitif dan rawan konflik. Pengelola partai umumnya hanya semata dibatasi pengertiannya sebagai pemimpin umum partai. Ini terjadi karena tradisi kepartaian yang berkembang masih menempatkan posisi ketua umum parpol sebagai jembatan untuk meraih posisi jabatanjabatan publik lain yang lebih tinggi. Akibatnya, perilaku para politisi cenderung lebih menempatkan parpol sebagai tempat kekuasaan.
61
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Kesadaran yang menempatkan posisi ketua umum seperti ini justru sering memicu berbagai persoalan dalam pengelolaan partai. Ini karena personifikasi organisasi akan tereduksi semata sebagai individu pemimpin partai, terutama partai-partai yang sangat kental basis massa tradisionalnya. Bertahannya kecenderungan seperti inilah yang memungkinkan munculnya kultus individu. Refleksi terbaik dari kondisi ini adalah munculnya beragam konflik dalam internal parpol pada saat momen-momen permusyawaratan partai (konferensi, kongres, dsb.), baik di tingkat lokal maupun nasional. Konflik dalam momen-momen seperti ini seringkali berujung pada perpecahan internal partai politik. Alih-alih konflik muncul sebagai energi bagi pengembangan partai, yang terjadi justru apa yang disebut oleh Erawan (2006), sebagai kecenderungan partai politik kita untuk memilih melakukan amputasi politik dalam mengelola konflik internalnya. Faksionalisme dalam internal partai belum dikelola secara produktif. Ini bisa berakibat pada matinya suara-suara kritis dalam internal partai. Ironis, namun demikianlah partai-partai politik pasca Orde Baru yang tanpa harus dipecahbelah dari luar, konflik internal telah merebak dengan sendirinya. Berbagai konflik perpecahan ini kiranya akan terus berlanjut tanpa muara jika partai politik tidak menciptakan sistem dan mekanisme rekrutmen yang tepat untuk dirinya masing-masing. Dalam konteks ini, menjadi penting mempertimbangkan adanya satu sistem dan kultur rekrutmen yang sesuai dengan kecenderungan tipe partai dan karakter basis massa dari setiap partai. Tipe partai berguna untuk menjelaskan bagaimana pola relasi yang hendak dibangun antara pengurus atau elit partai dengan basis massa pendukungnya. Sedangkan pengenalan terhadap karakter basis massa akan menuntun partai untuk mampu menempatkan dirinya sesuai kondisi obyektif massa pendukungnya dan bukan semata karakter dari pengurusnya. Ini dibutuhkan agar partai tetap mendapatkan simpati (dukungan) dan merupakan representasi dari basis massanya (Lay dkk, 2006:5). Selanjutnya, Cornelis Lay dkk. (2006), mengemukakan bahwa sistem dan mekanisme rekrutmen butuh diterjemahkan dalam seperangkat aturan main yang jelas dan tidak memancing interpretasi yang saling berlawanan. Perhatian terhadap hal ini penting dilakukan karena seringkali perpecahan yang terjadi dalam momen-momen permusyawaratan dipicu oleh mekanisme rekrutmen yang tidak jelas dan sering berubahubah dalam setiap momen. Mekanisme rekrutmen di setiap hajat permusyawaratan partai menjadi sangat sarat, jika tidak dikatakan sepenuhnya, bermakna politis dan menjadi ruang pertarungan pragmatisme setiap faksi untuk berebut kontrol aturan main mekanisme rekrutmen guna melapangkan jalan pemenangan calon tertentu. Ketidakjelasan penyusunan aturan main ini sebenarnya bisa dilacak melalui AD/ART setiap partai. Dalam UU No.2 Tahun 2011 Pasal 15 ayat (1) tentang Partai Politik menyatakan bahwa kedaulatan partai politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD/ART. Sayangnya, ini banyak tidak diterjemahkan secara jelas dalam AD/ART partai, sehingga muncul kelonggaran aturan main yang sangat terbuka untuk dipelintir atau memicu berbagai interpretasi yang saling bertentangan. Di sisi lain, AD/ART juga tidak cukup menciptakan instrumen yang jelas, detail, dan lebih terbuka bagi keterlibatan yang signifikan dari para anggota partai. Anggota partai terbatas dimengertikan sebagai pengurus dan aktivis partai saja, akibatnya seringkali anggota pada tingkat akar rumput cenderung hanya dilibatkan sebagai massa penggembira dan pendukung fanatik. Akhirnya pengambilan keputusan cenderung dibuat secara elitis. Dengan kata lain, seringkali perpecahan yang terjadi setelah momenmomen permusyawaratan partai didorong oleh perdebatan tingkat kualitas demokrasi yang ingin dihasilkan, baik dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis partai, dan yang paling sering, adalah soal pemilihan ketua umum.
62
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Ini terjadi karena tidak ada standar yang jelas dalam aturan-aturan internal partai dalam mengelola momen-momen ini. Artinya, perseteruan seringkali muncul karena perbedaan dalam memahami dan menginterpretasikan AD dan ART partai. Tabel 1. Sumber Ketidakpuasan yang Sering Muncul dalam Momen Permusyawaratan Partai Politik Jenis Masalah
Kualifikasi Peserta
Kualifikasi Calon
Masalah Tata Tertib Persidangan
Tata Tertib Pemilihan
Suap
Money Politics
Sub Masalah Syarat-syarat peserta Syarat-syarat pemilik hak bicara Syarat-syarat pemilik hak suara Syarat2 Calon Syarat2 pemilik hak suara. Cara pemungutan suara Pemberian uang atau barang kepada pemilik suara. Janji pemeberian jabatan dan imingiming lainnya kepada pemilik suara
Simpul Masalah Ketidakjelasan interpretasi atau tidak memadainya AD/ART Partai
Ketidakjelasan interpretasi konvensi yang biasa berlaku.
Sumber: Cornelis Lay, dkk. (2006:6)
Kebutuhan rekrutmen dapat dipahami sebagai area pengakuan eksistensi masyarakat oleh partai politik sebagai milik publik. Selain itu, kedaulatan partai politik berada di tangan para anggotanya yang karenanya berhak menentukan kebijakan partai serta hak memilih dan dipilih dalam berbagai jabatan partai atau jabatan publik, yang semuanya diatur dalam AD/ART partai. Oleh karena itu, AD/ART partai menjadi pilar penting bagi bekerjanya demokratisasi dalam rekrutmen. Persoalannya, selama ini ketentuan-ketentuan rekrutmen yang diatur dalam AD/ART partai sifatnya terlalu umum. Ketidakjelasan berbagai aturan mengenai rekrutmen dalam AD/ART sering memicu berbagai persoalan dalam tubuh internal partai, seperti: a) ukuran pengangkatan anggota (misalnya yang sebelumnya dari partai lain); b) ukuran keabsahan bagi mereka yang layak menjadi pengurus partai, khususnya ketua umum; c) ukuran keabsahan bagi mereka yang layak dicalonkan sebagai pejabat publik atau politik, dan; d) Ukuran mengeluarkan atau memberhentikan seseorang sebagai anggota partai (Lay dkk., 2006:9). AD/ART perlu disusun untuk memberikan panduan batasan yang lebih jelas dalam menunjukkan kualifikasi yang jelas bagi anggota baru, pengurus, dan calon yang akan dipromosikan dalam jabatan publik atau politik oleh partai. Ini penting untuk menghindari berbagai penafsiran yang beragam terhadap konstitusi partai, yang ujung-ujungnya kerapkali menjadi milik pengurus atau faksi-faksi terkuat dalam partai. Dengan kata lain, diperlukan AD/ART yang lebih mampu menjawab problem sistemik bagi agenda demokratisasi internal partai. Pengaturan lain yang juga butuh dipastikan dalam regulasi adalah memastikan kontinuitas rekrutmen anggota baru dan pergantian kepengurusan partai. Rekrutmen
63
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
anggota baru tidak bisa dilakukan secara sporadis apalagi semata untuk menghadapi momen pemilu. Secara umum, ada 4 (empat) pola dasar yang menjadi kecenderungan partai politik dalam melakukan rekrutmen anggota, pengurus, maupun pejabat politik. Pola dimaksud adalah partisanship, survival, meritokratis dan kompartementalisme. Keempat pola tersebut tergambar dalam tabel berikut: Tabel 2. Pola Rekrutmen Partai Politik
Partisanship
Survival
Meritokratik
Kompartementalisme
Rekrutmen didasarkan dan diarahkan untuk mencari orang yang memiliki loyalitas kepada partai. Oleh karena itu, pembedaan identitas (program maupun kebijakan) dari partai ini terhadap partai lainnya menjadi sangat penting bagi para pendukungnya. Rekrutmen didasarkan dan diarahkan pada orang yang memiliki sumber finansial dan massa. Ini biasanya dilakukan oleh partai-partai pada saat menghadapi momen pemilu. Rekrutmen didasarkan dan diarahkan pada orang yang memiliki keahlian dan kapasitas tertentu. Di sini kompetensi akan menjadi ukuran penting. Rekrutmen didasarkan kebutuhan penguatan departemen-departemen yang dianggap strategis dalam organisasi. Sisi-sisi kompetensi juga mendapat perhatian penting dalam seleksi
Sumber :Diadaptasi dari Geddes oleh Cornelis Lay,dkk, 2006:18
Secara umum, pola rekrutmen partai politik di Indonesia cenderung bergerak ke arah pola survival, yang mengandalkan uang dan massa sebagai sumberdaya utama. Akibatnya, dalam beberapa hal, partai politik di Indonesia kerap mengalami kesulitan, misalnya soal ketiadaan atau kekurangan persediaan kader-kader partai yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Sistem Karir Partai Politik Sistem karir dalam partai politik adalah suatu sistem penataan masa depan para aktivis partai menyangkut peran dan posisi mereka dari waktu ke waktu dalam berbagai posisi yang ada atau bisa dilalui lewat keterlibatan atau jasanya dalam partai politik. Posisi ini seperti pengurus partai diberbagai tingkatan atau pejabat publik. Mobilitas karir setiap individu partai selama ini biasanya berjalan hanya sporadis, tanpa panduan formal yang jelas. Ini bisa dipahami karena wacana sistem karir dalam organisasi partai selama ini bisa dikatakan tidak terlalu lazim, atau karena ada beberapa kesulitan mendasar menempatkan logika karir dalam pengelolaan organisasi (Lay dkk.,2006:27). Kesulitan ini diawali wacana sistem karir (biasanya disebut jenjang karir) yang lazim dipakai organisasi bisnis atau publik (pemerintahan-birokrasi). Oleh karena itu, batas paling awal dalam merumuskan sistem karir adalah membuat ukuran-ukuran 4pembedaan dengan partai politik. Dari sinilah wacana profesionalisme karir dalam parpol bisa ditempatkan, yakni profesionalisme berdasarkan karakteristik khas yang membedakan parpol dengan organisasi lain. Berbagai kasus konflik internal partai sering berawal karena ada persepsi ketidakadilan dalam diri para anggota terhadap berbagai posisi yang diandaikan terbuka atau bias diraih sebagai bagian dari mobilitas vertikal karir. Realitasnya, setiap posisi memberikan persepsi atau imajinasi pada diri setiap anggota
64
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
tentang “puncak-puncak karir”. Artinya, penataan sistem karir hakekatnya juga adalah penataan persepsi mobilitas vertikal para individu partai. Konflik yang muncul karena persepsi ketidakadilan sistem reward ini misalnya sering tampak dalam momen-momen penting partai, seperti saat pemilu, dan forum-forum permusyawaratan partai. Hal itu disebabkan ada kesenjangan atau ketidaksepakatan terhadap ukuran-ukuran yang diberikan untuk mengisi jabatan/posisi yang dipersepsikan menjadi bagian mobilitas vertikal. Dengan kata lain, yang dibutuhkan adalah adanya ukuran-ukuran yang jelas dan formal dalam proses seleksi. Dalam hal penentuan ukuran ini, sangat mungkin setiap partai akan bervariasi. Dalam partai bertipe partai massa, ukuran waktu pengabdian sebagai aktivis partai akan menjadi ukuran sangat penting. Partai bertipe catch all, bisa jadi lebih mementingkan pada seberapa sumbangan finansial atau jaringan kekuasaan yang bisa diberikan seseorang agar partai memenangkan pemilu (Lay dkk., 2006:27). Ketidakjelasan ukuran-ukuran formal kompetisi inilah yang selama ini memicu munculnya klaim ketidakpuasan, seperti jalur karir yang hanya ditentukan oleh segelintir elit partai, sehingga rekrutmen posisi tertentu lebih didasarkan pada soal suka-tidak suka ataupun apakan akan mendukung dominasi elit atau faksi tertentu dalam partai terhadap yang lain. Akibatnya muncul klaim bahwa sistem karir dalam partai tidak dikelola dengan cara-cara yang demokratis. Sistem Rekrutmen PAN Sistem rekrutmen adalah upaya untuk menarik simpati seseorang untuk bergabung menjadi anggota suatu organisasi, dalam hal ini Partai Amanat Nasional. Artinya, sebelum seseorang secara resmi mendaftar sebagai anggota, dia terlebih dahulu harus diperkenalkan atau dipengaruhi agar mau menjadi anggota atau sekurang-kurangnya menjadi simpatisan partai. Secara substantif ada perbedaan antara anggota dan simpatisan. Menurut AD/ART PAN Bab V Keanggotaan, Kader, dan Simpatisan Pasal 8 ayat 1 (huruf a dan b), yang dimaksud anggota PAN adalah “warga negara Indonesia yang memenuhi syarat menurut Undang-Undang; dan yang memiliki kartu anggota PAN.” Sedangkan simpatisan, menurut pasal 8 ayat 3, adalah “mereka yang mendukung tujuan dan perjuangan partai, tetapi belum terdaftar sebagai anggota partai.” Lembaga yang membidangi rekrutmen dalam organisasi PAN adalah Departemen Rekrutmen Anggota, yang berada di bawah Badan Perkaderan yang memiliki tugas pokok: “melakukan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan kegiatan dalam hal penambahan jumlah anggota baru melalui berbagai model dan strategi rekrutmen yang efektif dan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat dimana PAN berada.” Lihat Ketetapan Rakernas PAN No.1 Tahun 2007 Tentang Tugas Pokok dan Fungsi Pengurus Partai Amanat Nasional. Terutama pasal 49( ayat 5) Tugas Pokok Departemen Rekrutmen Anggota. Sistem Kaderisasi PAN Secara teoritik kaderisasi dipahami sebagai proses “intervensi” dari partai politik untuk meningkatkan kapasitas individual para anggotanya agar mampu menjalankan berbagai fungsi partai. Badan Perkaderan adalah badan internal PAN yang membidangi masalah perkaderan. Pasal 34 (ayat 6) Ketetapan Rakernas PAN No.1 Tahun 2007, menyebutkan tugas pokok Badan Perkaderan adalah bersama dengan Departemen Rekrutmen, Pendataan dan
65
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Pembinaan Kader melakukan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan rekrutmen kader secara berkala, mempersiapkan calon peserta pelatihan serta menyusun data-data tentang informasi kader partai yang akurat, dan mendetail dan sekaligus menyiapkan model-model pembinaannya melalui penentuan target jumlah dan kualitas kader pada semua jenjang, menyiapkan dan menetapkan syarat-syarat calon kader, melakukan rekrutmen kader secara nasional, menginventarisir kader nasional, melakukan pengawasan dan pembinaan kader-kader yang telah mengikuti pelatihan untuk penjenjangan berikutnya, memberikan data-data dan informasi untuk mengisi posisi-posisi yang diperlukan oleh partai. Selanjutnya pada ayat 7, menyebutkan bahwa Badan Perkaderan bersama dengan Departemen Pelatihan Reguler melakukan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan pelatihan regular seperti LKAU, LKAD dan lain-lain secara rutin dan berjenjang, baik secara lokal, regional maupun nasional. Merujuk AD/ART PAN jenjang perkaderan PAN adalah sebagai berikut: a) Mabita (masa bimbingan anggota). Pada tahap dasar ini anggota akan dikenalkan tentang sejarah berdirinya PAN dan masalah-masalah mendasar dalam kepartaian. Mabita dilaksanakan oleh DPC PAN; b) Latihan Kader Amanat Dasar (LKAD) yang dilaksanakan oleh DPD PAN, minimal 2 (dua) kali dalam satu periode kepengurusan; c) Latihan Kader Amanat Madya (LKAM) yang dilaksanakan oleh DPW PAN, dan; d) Latihan Kader Amanat Utama (LKAU) yang dilkasanakan oleh DPP PAN. Sistem Karir Partai Amanat Nasional Kabupaten OKU Mekanisme karir PAN telah diatur dalam AD/ART Partai Amanat Nasional. Permusyawaratan di tingkatan kepengurusan partai, seperti Musyawarah Cabang (Muscab), maupun Musyawarah Daerah (Musda) menjadi ajang yang dirancang demokratis dan konstitusional untuk menentukan kader-kader partai yang handal yang nantinya akan menjadi pengurus partai. Melalui momen permusyawaratan partai itulah kader-kader potensial dipilih atau disaring untuk kemudian dijadikan pengurus inti partai. Oleh karena itu, menjadi pengurus partai tidaklah serta merta, harus ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pada setiap moment permusyawaratan, seperti musda. Beberapa persyaratan dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) WNI yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; 2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3) Sehat jasmani dan rohani; dengan melampirkan surat keterangan dokter; 4) Cakap berbicara, membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia; 5) Dapat dipercaya (amanah); 6) Memiliki integritas dan dedikasi tinggi terhadap partai; 7) Taat pada peraturan dan keputusan partai, tidak pernah melanggar dan menentang AD/ART dan Peraturan Organisasi (PO) yang dibuktikan dengan surat peringatan tertulis; 8) Minimal pernah menjadi pengurus harian Dewan Pimpinan Partai satu tingkat di bawahnya; 9) Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota dan cabang; 10) Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 11) Sehat jasmani dan rohani, dan;
66
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
12) Berdomisili di propinsi yang sama bagi pengurus DPW. Berdomisili di kabupaten yang sama bagi pengurus DPD, berdomisili di kecamatan yang sama bagi pengurus DPC, berdomisili di kelurahan yang sama bagi pengurus DPRt, yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (asli) dan Kartu Keluarga (asli). (Lihat Juklak Penyelenggaraan Muswil, Musda, Musran Partai Amanat Nasional Periode 2010-2015 terutama Bab VIII Kriteria Pimpinan Partai. Pasal 16. Kriteria dan Masa Jabatan Pengurus.) Sedangkan kriteria dan masa jabatan Ketua PAN di setiap tingkatan kepengurusan haruslah memenuhi beberapa persyaratan berikut ini: 1) WNI telah berumur 21 (dua piluh satu) tahun atau lebih; 2) Bertaqwa pada Tuhan YME; 3) Sehat jasmani dan rohani; dengan melampirkan surat keterangan dokter; 4) Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; 5) Dapat dipercaya (amanah); 6) Memiliki integritas dan dedikasi tinggi terhadap partai; 7) Taat pada peraturan dan keputusan partai, tidak pernah melanggar dan menentang AD/ART dan Peraturan Organisasi (PO) yang dibuktikan dengan surat peringatan tertulis; 8) Pernah menjadi pengurus harian PAN di tingkat yang sama atau Ketua Dewan Pimpinan partai satu tingkat di bawahnya; 9) Pernah mengikuti jenjang perkaderan regular formal PAN (untuk DPW lulus LKAU, DPD lulus LKAM, dan DPC lulus LKAD); 10) Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliayh (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; 11) Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 12) Sehat Jasman dan rohani; 13) Berdomisili di propinsi yang sama bagi pengurus DPW. Berdomisili di kabupaten yang sama bagi pengurus DPD, berdomisili di kecamatan yang sama bagi pengurus DPC, berdomisili di kelurahan yang sama bagi pengurus DPRt, yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (asli) dan Kartu Keluarga (asli), dan; 14) Memenuhi persyaratan yang telah diverifikasi Dewan Pimpinan Partai dua tingkat di atasnya. Musda; Estafet Kepemimpinan Berbingkai Pragmatisme Politik? “Musyawarah Daerah (Musda) adalah Permusyawaratan di tingkat daearh dalam partai yang diadakan atas undangan Dewan Pimpinan Daerah, dilaksanakan sekali dalam lima tahun yang dihadiri oleh peserta musyawarah daerah, peninjau musyawarah daerah dan undangan musyawarah daerah” (Lihat AD/ART PAN pasal 14 (ayat 1) tentang Musyawarah Daerah). Musyawarah daerah adalah institusi pengambilan keputusan tertinggi di tingkat kabupaten/kota yang bertugas untuk: a) menjabarkan keputusan partai pada tingkat yang ada di atasnya; b) menyusun dan menetapkan program partai untuk tingkat kabupaten/kota; c) membahas dan menilai laporan pertanggungjawaban Dewan Pimpinan Daerah; d) memilih dan menetapkan ketua dan anggota formatur Dewan Pimpinan Daerah, dan; e) memilih dan menetapkan ketua Majelis Penasehat Partai Daerah (Lihat Juklak Penyelenggaraan Muswil Pasal 4 Struktur Kekuasaan Musyawarah Daerah).
67
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Sejatinya, melalui musyawarah daerah inilah estafet kepemimpinan partai dilaksanakan dalam rangka menjaring kader-kader terbaik PAN OKU yang selama ini telah membaktikan diri demi kebesaran dan kejayaan partai, yang nantinya akan diproyeksikan dan dipilih menjadi pengurus partai untuk masa jabatan 5 (lima) tahun mendatang oleh para peserta musyawarah secara elegan, transparan, dan akuntabel. Namun, perhelatan musyawarah III DPD PAN OKU justru tidaklah menggambarkan suasana yang ideal sebagai ajang sirkulasi kepengurusan. Hal ini disebabkan adanya “indikasi” campur tangan DPW PAN Sumsel dalam menentukan – jika tidak mau dikatakan memaksakan – tampuk kepemimpinan partai. Akibatnya, musyawarah pun mengalami deadlock dan berakhir rusuh, walaupun tidak sampai terjadi pengrusakan terhadap fasilitas gedung (Harian OKU Ekspres, Sabtu,30/10/2010). Kerusuhan ini dipicu ketidakpuasan peserta terhadap rekomendasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN. Musda akhirnya deadlock, pesertanya bubar. Ini karena aksi protes mereka dilanjutkan dengan cara meninggalkan gedung (walkout), dan memilih meninggalkan lokasi Musda. Klimaks kerusuhan terjadi saat akan memasuki pleno IV dengan pembahasan tata tertib (tatib) pemilihan. Sebelum pleno ini dibahas, diawali pembacaan keputusan rekomendasi DPP oleh pemegang mandat Bapilu DPW PAN Sumsel, Heriandi Sulton. DPP PAN merekomendasikan tiga nama, yakni Yudi Permana, Reza Andrian, dan Parwanto. Setelah membacakan keputusan DPP PAN itu, Heriandi Sulton juga membacakan surat pengunduran diri Yudi Permana dan Reza Andrian, yang keduanya tidak hadir di sana. Dengan pengunduran diri Yudi dan Reza tersebut, praktis tinggal hanya satu calon yang mau tidak mau harus dipilih secara aklamasi oleh peserta musda, yakni Parwanto, seorang pengusaha keturunan Tionghoa, yang juga mantan anggota DPRD OKU dari Partai Demokrat. Di sinilah masalahnya, Parwanto yang non muslim dan baru bergabung dengan PAN saat Musda akan di gelar, oleh para peserta dianggap merupakan pelanggaran terhadap AD/ART PAN, sarat KKN, dan penuh dengan rekayasa elit partai di tingkat DPW dan DPP terkait pencalonannya. Berdasarkan penelusuran penulis, kericuhan saat musda berawal dari adanya keharusan dari setiap bakal calon Ketua DPD dan anggota formatur mendapat rekomendasi dari DPP PAN. Masalahnya, hingga acara pembukaan Musda yang dihadiri Wakil Bupati OKU, Drs. H. Kuryana Aziz itu, nama-nama bakal calon yang akan mendapat rekomendasi tersebut belum disampaikan oleh DPW PAN Sumsel. Seharusnya, minimal dua atau tiga hari bahkan seminggu sebelum musda nama-nama itu sudah diketahui oleh para peserta musda. Nama-nama bakal calon dari kader internal partai yang usulkan adalah: 1) Ardi Marzuki, SE; 2) Muslim Tazai, SH, MH, dan; 3) Naksabandhi HR. Uniknya, nama-nama yang mendapat rekomendasi DPP PAN baru diumumkan oleh Ketua Bapilu DPW PAN Sumsel, Heriandi Sulton saat pleno IV akan dimulai. Para peserta baru mengetahui bahwa nama-nama calon sebagaimana disampaikan di atas tidak satu pun yang diakomodir. Padahal mereka adalah kader-kader internal partai yang telah lama berjuang demi kebesaran partai. Terlepas dari berbagai pernyataan di atas, ada beberapa persoalan mendasar terkait dengan sistem rekrutmen, kaderisasi, dan jenjang karir pada DPD PAN OKU. Sesungguhnya PAN, tidaklah melarang adanya kader eksternal untuk didudukkan sebagai ketua ataupun pengurus. Akan tetapi, hal itu tidaklah mudah, diperlukan beberapa syarat di antaranya faktor ketokohan sang calon. Parwanto, SH, MH yang disetujui dan mendapat rekomendasi DPP PAN belumlah memenuhi standar itu. Terlebih masih banyak kaderkader internal yang potensial untuk memimpin PAN. Justru yang terjadi, kehadiran Parwanto menimbulkan berbagai spekulasi dan asumsi yang tidak sehat bagi
68
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
perkembangan DPD PAN OKU. Dalam konteks ini, isu sentimen primordial akan mudah disulut. Sekalipun musda tidak memenuhi quorum karena lebih dari 50% plus 1 yang walkout atau meninggalkan arena musda, yakni dari 131 peserta musda, hanya 14 peserta saja yang masih tinggal di arena musda. Namun, ternyata hal itu tidaklah menghalangi DPW PAN Sumsel untuk “memaksakan” kehendak dengan tetap mengeluarkan surat keputusan bagi kepengurusan yang notabene dipilih oleh peserta musda yang sangat tidak qourum itu. Hal itu terbukti dengan diterbitkannya SK DPW PAN Sumsel Nomor: PAN/06/A/KPTS/K-S/001/I/2011. Tanggal 4 Januari 2011, yang menetapkan Parwanto, SH, MH sebagai Ketua DPD PAN OKU periode 2010-2015. SK tersebut diterbitkan setelah dua bulan dari waktu pelaksanaan musda. Jika kita melihat dinamika konflik internal PAN OKU tersebut, maka sesungguhnya mekanisme rekrutmen, kaderisasi serta jenjang karir tidak berjalan dengan baik. Hal ini terbukti dari adanya kericuhan saat musda III DPD PAN OKU dilaksanakan, yang mana kader internal tidak diakomodir dengan alasan yang tidak dapat dibuktikan secara hukum, misalnya menyangkut tuduhan yang dikemukakan Heriandi Sulton. Secara akal sehat, seharusnya jika pengurus lama atau kader-kader yang diindikasikan terlibat penggelapan dana partai laporkan saja ke pihak berwajib. Bukankah tindakan penggelapan dana adalah merugikan partai dan termasuk tindak pidana. Nyatanya, DPW PAN Sumsel tidak melakukan hal itu. Alasan yang tidak masuk akal dan hanya mengandalkan asumsi yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas tentulah tidak dapat dijadikan landasan yang kuat untuk kemudian menganulir aturan main tertinggi partai, yakni AD/ART. Sehubungan hal tersebut, ada nilai dan prinsip musyawarah yang diingkari. Pada Juklak Penyelenggaraan Muswil, Musda, Muscab, Musran PAN Periode 2010-2015 Bab II Nilai dan Prinsip Musyawarah Pasal 2 Landasan Musyawarah, menyebutkan bahwa; “Pelaksanaan Muswil, Musda, Muscab, dan Musran harus dilandasi oleh nilai-nilai dan prinsip: 1) etika politik dan moralitas agama; 2) jujur dan adil; 3) demokratis; 4) transparan; 5) bertanggungjawab; 6) tertib dan lancar, dan; 7) konstitusional.” Pertanyaannya, apakah dalam pelaksanaan Musda III PAN OKU, prinsip-prinsip dan nilai-nilai musyawarah tersebut secara konsekuen dilaksanakan? Jika mengamati dinamika yang berkembang saat musda dilaksanakan, agaknya sulit untuk mengatakan bahwa prinsip dan nilai itu ditaati atau diimplementasikan. Pemaksaan kehendak oleh para elit partai apapun dan bagaimanapun dalihnya tentu tidak dapat dibenarkan pada moment permusyawaratan partai, karena memang hal itu bertentangan dengan prinsip dan nilai musyawarah. Oleh karena itu, wajar jika tudingan miring pun dialamatkan kepada segelintir elit DPW dan DPP PAN yang dianggap mengeruk keuntungan secara pribadi dari proses pemilihan ketua dan anggota formatur saat musda dilaksanakan. Konon, beberapa gelintir elit tersebut menerima puluhan hingga ratusan juta rupiah dari calon yang mereka usung dan kemudian mereka paksakan untuk dipilih menjadi ketua. Singkat kata, musda DPD PAN OKU ditenggarai telah menjadi ajang estafet kepemimpinan partai berbingkai pragmatisme politik, bukan menjadi ajang rekrutmen rasional dan proses kaderisasi dalam rangka membesarkan partai untuk kepentingan yang lebih besar bagi kemaslahatan kader, simpatisan dan konstituen partai. Dalam konteks inilah konflik menjadi suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihakpihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun negatif. Atau dengan kata lain konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan. Padahal, sejatinya segala keputusan permusyawaratan pada setiap organisasi haruslah diambil dengan mengedepankan faktor musyawarah dan mufakat. Jika tidak, maka dilakukan
69
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
dengan jalan voting. Namun, semuanya itu harus tetap mempertimbangkan jumlah peserta musyawarah, quorum dan tidaknya, agar keputusan tersebut legitimate. Sehubungan hal ini, ART PAN pasal 23 Pengambilan Keputusan (ayat 2) menyebutkan: “Pelaksanaan keputusan Pimpinan partai yang tidak berdasarkan putusan rapat dinyatakan tidak sah.” Dalam konteks institusionalisasi partai dan pendalaman demokrasi, PAN sebagai partai yang lahir saat reformasi digulirkan seharusnya memberikan pembelajaran politik secara cerdas dan elegan. Musda III DPD PAN OKU sesungguhnya telah menggoreskan noktah hitam di wajah partai berlambang matahari bersinar terang ini. Institusionalisasi partai merupakan salah satu agenda utama dalam reformasi kepartaian. Institusionalisasi partai politik secara sederhana dapat dimaknai sebagai upaya pelembagaan aturan main yang disepakati bersama sehingga dapat menjamin kesinambungan arah gerak dan perkembangan partai politik. Upaya ini tentunya harus dilakukan oleh partai politik di semua arena, baik partai politik pada level akar rumput, internal organisasi maupun partai politik di pemerintahan (Erawan,2006:27) Penutup Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen pengelolaan sumberdaya manusia partai politik studi tentang konflik internal DPD PAN Kabupaten OKU ini dilihat dari beberapa indikator, yakni: 1) sistem rekrutmen; 2) sistem kaderisasi, dan; 3) sistem atau jenjang karir. Berdasarkan pengamatan penulis, terjadinya konflik internal partai pada saat Musyawarah Daerah III DPD PAN OKU yang diselenggarakan pada 29 Oktober 2010 di Aula SKB Baturaja sesungguhnya disebabkan adanya inkonsistensi terhadap pola atau sistem rekrutmen, sistem kaderisasi dan sistem karir, notabene mengabaikan AD/ART Partai, Juklak Penyelenggaraan Muswil, Musda, Muscab, Musran PAN periode 2010-2015. Akibatnya, kader-kader internal tidak diakomodir atau tidak mendapat rekomendasi DPP PAN. Padahal untuk menduduki jabatan ketua DPD PAN, seorang calon harus sudah pernah mengikuti dan dinyatakan lulus pengkaderan formal, seperti LKAM atau sekurangkurangnya telah pernah mengikuti dan lulus LKAD, serta pernah memimpin dan atau menjadi pengurus partai satu tingkat di bawahnya atau tingkatan yang setara. Namun justru mekanisme ini dilanggar begitu saja oleh para segelintir elit DPW PAN Sumsel yang kemudian menyebabkan ketidakpuasan peserta musda yang berujung konflik. Atas dasar catatan kesimpulan tersebut, dengan mencermati hasil analisis data temuan, maka penulis menyampaikan rekomendasi sebagai berikut; pertama, Partai Amanat Nasional harus membangun sistem rekrutmen, kaderisasi dan sistem (jenjang/penataan) karir secara berkala, terkelola dan terjaga demi meningkatkan dan menjaga komitmen, dedikasi serta loyalitas kader-kadernya. Dalam konteks ini, menempatkan orang-orang di luar kader untuk menjadi pimpinan partai yang didasarkan pada pertimbangan pragmatisme politis, dan bersifat jangka pendek haruslah dihindari. Kedua, Partai Amanat Nasional sebagai partai reformis, harus senantiasa meningkatkan kualitas dan pembelajaran berdemokrasi secara demokratis, elegan dan akuntabel demi peningkatan citra partai untuk meraih simpati publik, dan ketiga, dalam rangka institusionalisasi atau pelembagaan partai politik maka perlu adanya pelembagaan aturan main yang disepakati bersama sehingga dapat menjamin kesinambungan arah gerak dan perkembangan partai politik.
70
Marratu Fahri; 58 – 71
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam.1991. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Erawan, I Ketut Putra. 2006. Parpol, Pemilu, dan Parlemen: Agenda-Agenda Penguatan. Yogyakarta: PLOD dan JIP Universitas Gajah Mada. Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik; Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Haryanto. 1982. Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Juanita, T.T. Mengelola Konflik Dalam Suatu Organisasi. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Kebijakan Kesehatan Universitas Sumatera Utara Lay, Cornelis dkk. 2006. Organisasi dan Manajemen Kepartaian. Yogyakarta: Program Magister Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM. Soekarno K. 1986. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: Miswar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik AD/ART Partai Amanat Nasional Ketetapan Rapat Kerja Nasional Partai Amanat Nasional No.17 Tahun 2006 Tentang Tafsir Asas dan Platform Partai Amanat Nasional Ketetapan Rapat Kerja Nasional Partai Amanat Nasional Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Tugas Pokok dan Fungsi Pengurus Partai Amanat Nasionl Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Musyawarah Wilayah, Musyawarah Daerah, Musyawarah Cabang, Musyawarah Ranting Partai Amanat Nasional Periode 20102015 Harian Umum OKU EKSPRES.Baturaja. Tanggal 30 Oktober 2010
71
Marratu Fahri; 58 – 71