Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN : MANAJEMEN KESEHATAN PADA PENGGEMUKAN SAPI
Tujuan Instruksional Umum :
Untuk mengetahui pengelolaan kesehatan pada penggemukan sapi potong baik cara mencegah maupun pengobatannya.
Tujuan Instruksional Khusus :
Mengetahui karakteristik ternak sapi yang sehat.
Mengetahui penyebab penyakit, diagnosa dan cara mencegah serangan dan penularan penyakit.
Uraian materi : Kesuksesan manajerial dapat dibentuk dan dilakukan melalui suatu program pencegahan penyakit dengan tujuan diperoleh ternak yang sehat dan produktif. Oleh karena itu seorang peternak harus memiliki bekal pengetahuan dasar tentang kesehatan ternaknya.
Karakteristik ternak sehat Untuk mengetahui ternak sapi dalam kondisi sehat, perlu dipahami karakteristik dan tingkah lakunya, antara lain :
Nafsu makan normal
Agresif
Istirahat dengan tenang
Pergerakan tidak kaku
Keadaan mata, selaput lendir dan warna kulit normal 122
Pengeluaran feses dan urin tidak sulit dengan warna dan konsistensinya normal
Tidak terdapat gangguan dalam bernafas, denyut nadi dan suhu tubuh (suhu rektal berkisar antara 38,0 – 39,30C dengan rata-rata 38,60C) Tanda-tanda yang memberikan indikasi bahwa ternak sakit dan ciri-
cirinya dapat diamati, antara lain : Terjadinya pengeluaran lendir atau cairan yang tidak normal dari mulut, hidung dan mata. Menurunnya konsumsi pakan atau air minum, bahkan sama sekali tidak mau makan. Terjadinya kelainan postur tubuh, sulit berdiri, berjalan atau bergerak. Gelisah yang berlebihan, batuk atau bersin, diare, feses atau urin berlendir atau berdarah. Abnormalnya suhu tubuh, denyut nadi atau pernafasan. Pertambahan bobot badan menurun.
Penyebab penyakit Suatu hal yang mungkin agak menyulitkan adalah ternak yang sakit, seringkali baru diketahui hanya beberapa jam saja setelah sebelumnya ternak tersebut tampak sehat. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan ternak menjadi sakit, yaitu mikroorganisme, parasit, kecelakaan, cacat bawaan dan nutrisi. Mikroorganisme terdiri dari bakteri, virus, protozoa dan kapang yang semuanya dapat menimbulkan penyakit infeksi pada sapi. Penggunaan desinfektan, perlakuan pemanasan dan pengeringan cukup efektif untuk membunuh beberapa spesies bakteri. Membersihkan kotoran ternak yang lebih 123
sering serta membersihkan dan mendesinfektan peralatan atau fasilitas dan sanitasi lainnya akan mencegah beberapa penyakit bakteri. Vaksinasi sangat penting dilakukan untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh spora bakteri. Pemberian antibiotik dan obat-obatan lain efektif untuk mengobati ternak yang terkena penyakit akibat bakteri. Virus merupakan mikroorganisme yang paling kecil dan mampu menyebabkan panyakit pada ternak. Virus tidak dapat dilihat dengan mikroskop biasa. Virus dapat menular pada sel hidup yang lain serta tumbuh dan berkembang biak. Penyebaran virus sangat cepat sehingga penyakit yang disebabkan oleh virus mudah menular pada ternak yang lain. Parasit adalah organisme yang hidupnya bergantung pada organisme lain. Parasit adalah penyebab penyakit yang paling luas pada ternak. Sebagian besar ternak pernah terinfeksi oleh satu atau beberapa parasit, misalnya parasit internal (cacing), parasit eksternal (kutu, caplak, tengu/mites) atau keduaduanya selama ternak hidup. Pemeriksaan rutin pada ternak perlu dilakukan dan segera diberi insektisida yang sesuai (untuk parasit eksternal) serta adanya program sanitasi yang baik untuk membantu mencegah masalah parasit ini. Luka, lebam, keseleo, patah tulang dan kecelakaan lain dapat berakibat besar pada keseluruhan kesehatan dan produktivitas ternak. Luka kecil seringkali menjadi masalah serius bila terjadi infeksi penyakit dan keseleo akan menghambat gerakan ternak untuk mendapatkan pakan. Ternak yang tidak cukup mendapat pakan, ADG, efisiensi pakan dan produksinya akan menurun. Masalah kesehatan sapi juga dapat disebabkan oleh tidak cukupnya nutrisi yang masuk ke dalam tubuh ternak. Ternak tidak akan tumbuh maksimal bila pakan kurang baik atau kurang menerima nutrisi seperti protein, KH, LK, vitamin, mineral dan air yang tidak seimbang. Tidak cukupnya nutrisi dapat mengakibatkan penyakit seperti grass tetany, milk fever, ketosis, white muscle 124
dissease. Selain itu pakan yang kurang akan menimbulkan masalah parasit, gangguan pencernaan, kegagalan reproduksi dan penurunan produksi.
Mencegah serangan dan penularan penyakit Walaupun Indonesia sampai saat ini masih dinyatakan terbebas dari berbagai penyakit menular yang bersifat zoonosis (bisa menular pada manusia) seperti
penyakit
PMK,
tetapi
tetap
harus
melakukan
berbagai
upaya
pencegahan, antara lain : Menggunakan kandang karantina Sapi-sapi
yang
baru
didatangkan
dari
luar
sebaiknya
dimasukkan ke dalam kandang karantina sebelum dimasukkan ke kandang pemeliharaan. Di kandang tersebut, sapi-sapi diobservasi untuk mencegah penularan penyakit dari sapi yang baru datang ke sapi yang sudah lama berada di lokasi usaha peternakan. Di kandang karantina, sapi-sapi pendatang baru juga akan menjalani proses adaptasi dengan lingkungan baru, biasanya selama 7 – 10 hari. Selama 7 hari pertama sapi sebaiknya diberi vitamin dan obat cacing. Kandang karantina juga dipakai untuk memisahkan sapisapi yang sakit dari sapi sehat. Tujuannya untuk mencegah penularan penyakit yang bisa berakibat fatal pada sapi sehat. Melarang impor sapi atau daging sapi dari negara yang tidak bebas PMK Salah satu masalah yang saat ini sedang dihadapi Indonesia adalah adanya impor daging ilegal dari India. Seperti diketahui, India adalah negara yang belum bebas dari penyakit mulut dan kuku. Karena itu impor daging ilegal dari India bisa menyebabkan berjangkitnya penyakit tersebut di Indonesia. Untuk itu diharapkan
125
pemerintah dapat bertindak tegas terhadap para penyelundup yang hanya
berorientasi
pada
keuntungan
semata,
tanpa
mempertimbangkan faktor kesehatan msyarakat. Vaksinasi berkala Beberapa penyakit pada sapi potong yang disebabkan oleh virus saat ini sudah bisa dicegah dengan vaksinasi. Misalnya Anthrax, Jembrana dan Septicaemia epizootica. Khusus untuk sapi-sapi induk yang dipelihara untuk menghasilkan bakalan, vaksin biasanya diberikan secara berkala setiap 6 bulan atau satu tahun sekali. Pemberian vaksin dimulai ketika sapi masuk lokasi usaha peternakan. Sementara itu, untuk sapi bakalan yang hanya dipelihara dalam waktu singkat (kurang dari 6 bulan), program vaksinasi cukup diberikan satu kali. Pemberian obat cacing secara berkala Pada saat sapi-sapi mulai dimasukkan ke dalam kandang untuk digemukkan, obat cacing sudah harus diberikan untuk mencegah pemborosan pakan. Untuk sapi bakalan, obat cacing cukup diberikan pada saat pertama kali sapi masuk kandang, sedangkan pada induk penghasil bakalan sebaiknya obat cacing diberikan secara berkala setiap 6 bulan sekali. Menjaga kebersihan lingkungan Setiap
kali
terjadi
pergantian
sapi,
sebaiknya
kandang
dibersihkan dengan desinfektan. Apabila air melimpah, kandang dapat dibersihkan
setiap
hari,
termasuk
juga
memandikan
Pembersihan kotoran dapat dilakukan 2 – 3 kali sehari.
126
sapi.
Tingkat sanitasi lingkungan dan higienis merupakan indikator kebaikan manajemen kesehatan ternak. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
Sanitasi lingkungan yang terbaik adalah terjaganya kebersihan. Penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme dan parasit akan lebih mudah berkembang biak pada lingkungan yang kotor.
Keadaan yang harus suci hama pada peralatan operasional yang digunakan dalam tatalaksana sehingga menjamin kesehatan ternak.
Menggunakan beberapa desinfektan. Desinfektan harus efektif menyerang mikroorganisme secara luas, efektif dalam konsentrasi rendah, ekonomis, tidak menyebabkan iritasi, korosif, tidak menyebabkan noda (meninggalkan warna), tidak inaktif oleh bahan organik atau mineral, stabil dalam penyimpanan dan penggunaan, mudah diaplikasikan dan efektif dalam periode pendek atau pada suhu rendah.
Asidosis pada penggemukan sapi Secara fisik tanda-tanda asidosis : diare, mucus pada feces, dehidrasi, inkoordinasi, akhirnya akan terjadi kematian. Sedangkan secara fisiologis tandatandanya adalah terjadi peningkatan level asam laktat pada rumen, pH rumen dan pH darah menurun, hemo konsentrasi, peningkatan tekanan osmotik dalam rumen, rumen statis, penurunan jumlah protozoa rumen. Asidosis dapat terjadi karena sapi mengkonsumsi pakan yang kaya karbohidrat tersedia secara berlebihan. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh manajemen dan fisiologis.
127
Manajemen Awal pemberian pakan pada sapi Sering sapi-sapi yang masuk ke dalam feedlot tidak pernah diberi konsentrat secara berlebihan. Akan lebih baik menggunakan pakan kasar (roughage) untuk sapi-sapi yang baru datang, kemudian secara bertahap diberi konsentrat sampai akhirnya full feed. Perubahan pakan Bila level konsentrat ditingkatkan, harus diberikan secara bertahap sehingga kalori yang dikonsumsi, peningkatannya juga bertahap. Pakan dengan energi tinggi Sangat sulit dalam pemberian pakan dengan kandungan konsentrat tinggi tanpa mengalami asidosis / kembung. Cuaca dan musim Kejadian asidosis paling tinggi terjadi selama musim panas / pada waktu perubahan cuaca. Hal ini karena pakan yang dikonsumsi berfluktuasi dalam jumlah dan kualitas. Perbedaan bangsa Sapi Brahman yang diberi konsentrat tinggi, level asam laktat dalam darah akan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan sapi Hereford atau Angus.
Fisiologis Motilitas rumen berhenti / statis
128
Bila pH rumen menurun mendekati 5, kontraksi rumen juga akan menurun dan akhirnya akan berhenti sama sekali karena banyak mikrobia rumen yang mati. Diare / dehidrasi Dalam kondisi ini akan terjadi penurunan total air tubuh sampai dengan 8% dari BB (pada domba). Cairan fecal yang hilang melalui diare cukup besar dan terjadi ketika motilitas rumen terdepress. Asidosis sistemik Asidosis akut pada ruminansia disebabkan karena kelebihan konsumsi KH fermentable yang menyebabkan penurunan pH karena produksi VFA dan non VFA yang besar. Selama asidosis, bakteri pencerna selulosa dan protozoa jumlahnya menurun
dengan
cepat.
Dengan
kata
lain
organisme
yang
menstabilkan lingkungan rumen berada di bawah kondisi normal. Pemberian pakan dengan kandungan SK tinggi (roughage) akan membantu
mengurangi
terjadinya
asidosis,
karena
roughage
mempunyai kemampuan buffer yang lebih baik daripada konsentrat. NUTRITIONAL DISORDERS
ACIDOSIS Acidosis is the most common nutritional disorder in the feedlot. A large amount of highly fermentable feeds, such as cereal grains, consumed in a short amount of time can result in the production of more lactic acid than can buffered by the rumen. This results in water from the circulatory system being drawn into the rumen (body becomes dehydrated) and pronounced changes in the blood Ph. Signs will usually be acute or sub-acute. Survivors of acute acidosis
129
may have chronic problems such as fungal rumenitis, liver abscesses, bloat, and founder or laminitis. Acute acidosis Animals that are not adapted to readily fermentable feeds are more susceptible to acidosis (sometimes called grain overload) than animals that have been carefully adjusted. However, even animals conditioned to full feed can be susceptible under some conditions such as temporary
restrictions
in
feed availability.
feed changes and
Acutely affected animals will
usually develop signs within 12-24 hours of overeating. They will be completely off feed, depressed and unwilling to move, weak, and dehydrated.
They may appear blind, grind their teeth, grunt, and
occasionally kick at their belly. Fullness and distension of the abdomen (rumen) may be observed.
A foul smelling diarrhea may be observed unless the
condition is so acute that the animal dies before it can develop. In severe cases animals will lie down, unable to rise. They generally lie quietly with their head tucked to the side.
Body temperature may be
subnormal and the pulse is weak. Death usually occurs within a few hours after the animals go down. Animals that survive may suffer from damaged ruminal lining and destruction of rumen microflora leading to a fungal overgrowth of the rumen and death. Some deaths may occur as long as 3 weeks after a herd episode of overeating and acidosis. Less severe rumen lining damage may lead to liver abscesses and growth impairment.
Laminitis, or founder, may follow acute
acidosis, and evidence of subacute laminitis in the form of overgrown and deformed hooves may be present 30-60 days later. Subacute acidosis
130
Animals with less acute and severe signs may still eat but may not consume as much as normal or be off feed for only a short time. The only overt signs of subacute acidosis may be reduced gains and the presence of diarrhea in the form of flat gray stools. Because rumen lining damage may still occur in the absence of severe signs, these animals may develop chronic rumen damage and liver abscesses. Weather conditions can cause fluctuations of intake of an otherwise acceptable ration. Storm conditions can cause cattle to consume a greater amount of feed before and after the storm. Muddy conditions which can alter feed intake. conditions.
A drop in barometric pressure can indicate oncoming storm Conditions that promote intake of the regular ration in a shorter
amount of time can cause acidosis. Hot, humid weather will cause cattle to eat a greater proportion of their feed at night, rather than during the day. Improper mixing of feed can cause acidosis.
As previously discussed
improper bunk management can be a cause of acidosis.
Only occasional
cleaning of water troughs will also affect intake. Inclusion of an ionophore may help reduce intake fluctuations. Treatment-Acute Acidosis If cattle are noticed soon after consuming large amounts of grain and before they drink water, problems may be avoided by keeping them away from water for up to 24 hours (Baker et al., 1983). Some common treatments are
oral administration of mineral oil and/or sodium bicarbonate along with
activated charcoal, anti- endotoxin therapy, and surgical emptying of the rumen in some cases.
BLOAT Bloat occur when rumen gas production exceeds the rate of gas
131
elimination.
Gas then accumulates causing distention of the rumen.
The
skin on the left side of the animal behind the last rib may appear distended. Although bloat is often classified as being either pasture or feedlot bloat, it is probably more accurate to identify it as being either free-gas bloat or frothy bloat. Frothy bloat is more common in cattle eating legumes or lush grass than in feedlot cattle. Free-gas bloat is more common in feedlot cattle. Frothy Bloat In situations of foamy or frothy bloat, gas production is not greatly increased but the gases are trapped in the foam. Frothy bloat in feedlots usually develops slowly over several weeks and often become chronic. Poloxalene is an effective "deformer" for frothy bloat. Free-Gas Bloat Many of the same factors causing acidosis are associated with free-gas bloat. Therefore proper bunk management and other preventative measures should be practiced for prevention of bloat. Treatment Free-gas bloat can usually be relieved by inserting a 3/4" rubber hose into the rumen via the esophagus. If "hosing" does not give immediate relief, a defoaming agent (poloxalene) should be administered through the hose to break the surface tension of the ingesta. defoamer.
A pint of mineral oil is also a
Drenching should be avoided because of the danger of inhalation
by the bloated animal which can cause immediate death or lead to pneumonia. A trocar should be used as a last resort. Chronic bloaters should be shipped for slaughter.
LIVER ABSCESSES AND FOUNDER
132
Many factors contributing to acidosis and bloat also affect the incidence of liver abscesses and founder. Abscessed Livers Some cattle are genetically more prone to liver abscesses. Irregular feed intake or sickness can also contribute to an increased incidence of abscessed livers. Continuous use of low level antibiotics such as chlortetracycline, oxytetracycline, and tylosin can be very effective in control of liver abscesses with animals on a high grain diet. Approved combinations of ionophores and antibiotics are now available. Founder Founder is usually associated with abrupt changes from high roughage to high grain diets.
Typical signs of founder are lameness and long hooves.
Brahman-type cattle appear to be more susceptible to founder when fed high grain diets.
SUDDEN DEATH SYNDROME The animal that dies later in the feeding period represents greater loss to the feeder. Causes of sudden death include: 1. Bloat 2. Clostridial enterotoxemia 3. Acidosis 4. Ruptured liver abscesses 5. Pneumonia Necropsy of dead animals is crucial to define the cause of death and prevention plan strategies. A recent study has indicated a majority of these
133
deaths are caused by bloat and pneumonia and that more frequent observation may reduce many such deaths.
URINARY CALCULI The term "urinary calculi"
describes mineral deposits in the urinary
tract (Emerick and Wohlgemuth, 1985). These deposits may block the flow of urine in male cattle.
Prolonged blockage generally results in rupture of the
urinary bladder or urethra, releasing urine into the surrounding tissues or abdomen. This produces the condition referred to as "water belly. Two types of urinary calculi predominate in cattle and sheep: (1) the phosphatic type formed principally under feedlot conditions and (2) the siliceous type occurring mainly in range animals. Clinical Signs Animals afflicted with urinary calculi may at first appear restless with frequent straining in an unsuccessful attempt to urinate. They may repeatedly stamp their feed and kick at the abdomen. In some cases when urinary blockage is not complete, urine may dribble slowly from the sheath.
After complete
blockage of urine flow, the bladder or urethra finally ruptures releasing urine into the body cavity and surrounding tissues.
At this stage the animal may
show a complete loss of appetite and stand quietly or lie down. A ruptured urethra results in a large swelling under the skin in front of the scrotum. Phosphatic Urinary Calculi A
high
phosphorus
level
promote this type of urinary calculi.
and
calcium-phosphorus imbalances
Lower water consumption by animals
during the winter is believed to be an important reason for the higher urinary
calculi incidence associated with that season.
134
Hard water is often
blamed for the occurrence of urinary calculi. However, calcium and magnesium that constitute the "hardness" of water have
been
found
to
promote
protection against phosphatic urinary calculi. The best prevention method to maintain a 2:1 to 1.2:1 calcium to phosphorus ratio.
FOOT ROT Foot rot is not a nutritional disorder but preventative measures are available via feeding. Chemotherapeutic agents used in feed include : zinc methionine
(Zinpro
TM ),
oxytetracycline,chlortetracycline.
However,
these
products are not a replacement for keeping lots clean and dry. Latihan soal : 1. Jelaskan arti pentingnya manajemen kesehatan pada penggemukan sapi potong! 2. Jelaskan terjadinya asidosis pada sapi yang digemukkan! 3. Jelaskan bagaimana anda menjaga kesehatan sapi yang digemukkan agar diperoleh pertumbuhan yang maksimal! Rangkuman singkat Kesuksesan manajerial dapat dibentuk dan dilakukan melalui suatu program pencegahan penyakit dengan tujuan diperoleh ternak yang sehat dan produktif. Oleh karena itu seorang peternak harus memiliki bekal pengetahuan dasar tentang kesehatan ternaknya. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan ternak menjadi sakit, yaitu mikroorganisme, parasit, kecelakaan, cacat bawaan dan nutrisi.
135
ACIDOSIS PENDAHULUAN Acidosis sudah dikenal sejak pemakaian pakan bijian menjadi meluas. Acidosis terjadi bila sapi mengkonsumsi carbohydrates yang bisa difermentasi dalam
jumlah
yang
cukup
bayak
sehingga
menyebabkan
akumulasi
nonphysiologic dan berbarengan dengan penurunan pH . Asam organik adalah produk fermentasi dari mikroba. Pada kondisi intake normal, asam organik tidak menumpuk karena penyerapan ruminal sama dengan produksi. Dalam situasi seperti ini, fermentasi rumen dikatakan stabil dan pH berkisar antara 5,6-6,5, dengan rata-rata pH biasanya sekitar 5,8-6,2; pH kadang-kadang drop di bawah 5,6 untuk jangka waktu singkat selama siklus makanan biasa. Fluktuasi terjadi karena pH ruminal dipengaruhi oleh asupan gandum. Dalam sapi pedaging, ternak diberi pakan konsentrat, menyebabkan turunnya aktifitas pengunyahan dan memamah sehingga pengeluaran air liur berkurang. Selain itu, jika kapasitas absorpsi dari dinding rumen lemah maka kemampuan untuk mempertahankan pH terpengaruh. pH rumen merupakan faktor penting dalam menstabilkan fungsi waduk karena berpengaruh pada populasi mikroba dan produk fermentasi, Oleh karena itu, akumulasi nonphysiologic asam organik mengakibatkan penurunan pH di bawah normal (5,6) Acidosis merupakan sebuah akibat dari tingkat keasaman ruminal, dan dikategorikan akut atau subacute berdasarkan pH ruminal. MIKROBA RUMEN DAN ACIDOSIS Mikroba rumen sangat peka terhadap peningkatan ketersediaan bahan terfermentasi, seperti pati dan gula. Situasi ini mengarah ke peningkatan produksi produk fermentasi, khususnya volatile fatty acid (VFAs). Perubahan bakteri
136
Ledakan
pertumbuhan
S
bovis
merupakan
jawaban
terhadap
ketersediaan karbohidrat fermentatif dan hanya bisa diamati dalam situasi di mana binatang tidak beradaptasi. Setelah ternak yang diadaptasikan ke pakan gandum jumlah S bovis menurun; penurunan ini tidak sepenuhnya terkait dengan pH ruminal [8]. Meskipun S bovis dianggap agak toleran dengan asamtetapi tingkat pertumbuhannya berkurang jika pH kurang dari 6,0. Produksi asam laktat oleh bovis adalah penyebab pH rumen menurun. Peran S bovis adalah untuk memulai rantai peristiwa yang pada akhirnya akan menyebabkan ruminal acidosis akut. Oleh karena itu, S bovis dianggap sebagai agen utama etiologic acidosis akut, dan pemberian antibiotik dan vaksin, seringkali bertarget pada pengendalian pertumbuhan S bovis. Ruminal lactobacilli lebih tahan terhadap pH rendah daripada S bovis Dua jenis utama lactobacilli yang telah diidentifikasi dan berkarakteristik baik, terutama yang beradaptasi dengan pakan bijian, termasuk Lactobacillus ruminis dan Lactobacillus vitulinus. Lactate adalah produk antara fermentasi rumen dan selanjutnya dimetabolis menjadi VFA. Jenis bakteri yang memfermentasi susu asam termasuk didalamnya adalah Anaerovibrio lipolytica, Fusobacterium necrophorum, Megasphaera elsdenii, Peptostreptococcus asaccharolyticus, Sruminantium subsp lactily tica, Propionibacterium acnes, dan Veillonella parvula. Dari jumlah tersebut, M elsdenii dan S ruminantium subsp lactilytica adalah organisme utama fermentator laktat dalam pakan bijian. M elsdenii, satu gramnegatif dan coccus besar, mungkin paling penting sebagai ruminal organisme untuk fermentasi susu asam, dan karena ia memiliki peran sentral dalam menjaga asam susu rumen dari akumulasi.
137
Bacteri endotoxins Endotoxin atau lipopolysaccharide adalah dinding sel dari semua komponen-gram negatif bakteri, tanpa memperhatikan apakah mereka patogen atau tidak. Bakteri ruminal sebagian besar adalah bakteri gram negatif dan kematian atau disintegrasi bakteri tertentu dalam populasi adalah proses yang normal. Endotoxin biasanya hadir di cairan ruminal. Konsentrasi endotoxin lebih tinggi pada pakan bijian disbanding hijauan. Ruminal endotoxins telah lama diduga memberi kontribusi kepada pathogenesis dari ruminal acidosis. Endotoxin tidak dapat diserap atau dipindah dari waduk atau tempat lain di dalam usus ke dalam darah. Selain itu, endotoxin yang lolos menuju abomasum atau usus kecil kemungkin di tidak aktivkan oleh asam atau enzymes Perubahan protozoa bersilia Protozoa bersilia diyakini akan jauh lebih sensitif dari bakteri terhadap fluktuasi dan penurunan pH ruminal; oleh karena itu, pH rumen merupakan faktor penting dalam memelihara protozoa bersilia. Genus Entodinium adalah protozoa yang paling tahan terhadap pH rendah, genus ini adalah genus yang paling dominant. Protozoa bersilia memiliki peran penting dalam metabolisme pati dan asam susu. Dalam hal produksi asam susu, holotrichia Protozoa, Isotricha dan Dasytricha, memproduksi isomers baik dari susu asam sebagai produk utama pati atau gula fermentasi. Di sisi lain, asam susu fermentasi hanya terkait dengan entodiniomorphs dan tidak dengan holotrich protozoa. Walaupun kontribusi protozoa bersilia terhadap ukuran dan kebutuhan ruminal lactatebelum diketahui, protozoa bersilia dan konsentrasi asam susu umumnya memiliki hubungan terbalik. Lebih penting lagi, protozoa bersilia kemungkinan memiliki pengaruh langsung pada produksi asam susu atau akumulasinya karena interaksi dengan bakteri. Oleh karena itu, Protozoa bersilia mampu 138
mengurangi tingkat dan cakupan pati yang di fermentasi. Perlambatan fermentasi pati seharus menghasilkan lebih banyak produk VFA dengan pH lebih tinggi. Oleh karena itu, protozoa bersilia memiliki peran sebagai penyangga rumen pada ternak yang makan biji-bijian.. Kesimpulan ini bertentangan dengan anggapan bahwa kontribusi protozoa bersilia terhadap metabolisme ruminal dari ternak dengan pakan bijian tinggi tidak signifikan karena dapat mengurangi populasi protizoa berbasis pati, atau bahkan menghilangkan. PRODUK FERMENTASI RUMEN DAN ACIDOSIS Ruminal acidosis mewakili berbagai tingkat keasaman; Oleh karena itu, total akumulasi asam organik (VFA dan asam susu) terkumpul atau tidak adalah acidotic. Ruminal pH 5,6 atau lebih rendah dari umumnya dianggap sebagai patokan untuk ruminal acidosis; Kisaran pH antara 5,0-5,5 dianggap sebagai subacute atau acidosis kronis, dan di bawah 5.0, mendekati 4,5 atau lebih rendah, dianggap acidosis akut. Total konsentrasi VFA biasanya meningkat pada awal acidosis, namun seiring dengan perkembangan acidosis, konsentrasi VFA menurun drastis karena adanya kerusakan bakteri rumen, sebagai akibat dari arus cairan sebagai kompensasi untuk meningkatkan osmolalisis. Peningkatan produksi pada dasarnya adalah hasil dari pembentukan suatu asam-toleran lactobacilli populasi, dan penurunan fermentasi terjadi karena pH di bawah dari yang diperlukan untuk berbagai atifitas bakteri fermentator laktat. Dalam subakut acidosis, alasan untuk penurunan pH di bawah 5,6 adalah akumulasi dari VFA, yang merupakan kombinasi dari berlebihnya (meningkatnya substrat) dan kemungkinan menurunnya daya serap. Meskipun asam susu dihasilkan selama acidosis subacute, tetapi tidak menumpuk karena bakteri fermentasi laktat tetap aktif dan dengan cepat ia mengubahnya menjadi VFA. pH 5.0 atau di bawahnya,dalam waktu yang lama, menuebabkan pertumbuhan dari bakteri fermentator laktata terhenti, dan dengan itu, mulailah proses akumulasi laktat.
139
Oleh karena itu, acidosis subacute memiliki potensi untuk pindah menjadi lacgerenyet acidosis jika pH 5,0 berlangsung untuk jangka waktu tertentu. Namun, lama waktu yang dibutuhkan untuk proses ini belum bisa ditentukan. Di rumen, lactate dipakai untuk memetabilisir asetat, propionate, dan butyrate, menjadi beberapa taraf, caproate dan valerate. M elsdenii, paling mendominasi ruminal lactate-menggunakan organisme di bawah kondisi acidotic, memproduksi butyrate, caproate, dan valerate di hasilkan dari gula, yg berbarengan dengan pengurangan propionate.
140
Meskipun asam ruminal dianggap sebagai kontributor utama bagi pathophysiology dari acidosis, produk lainnya dari fermentasi Microbial, seperti etanol dan amines, kemungkinan juga berperan. Konsentrasi etanol, terutama merupakan produk heterofermentative lactobacilli, meningkat di bawah kondisi acidotic, Tetapi tidak berpengaruh apapun. Pharmacologically aktif amines, seperti histatambang, tyramine, dan tryptamine, diproduksi di waduk oleh. Histamine mendapat banyak perhatian karena peranannya dalam laminitis. Destruction dari proses normal hemodynamic adalah faktor utama dalam perkembangan dari laminitis. Histamine merupakan vasodilator kuat dan meningkatkan
permeabilitas
kapiler.
Produksi
dan
akumulasi
histamine
umumnya terkait dengan pH rendah. Karena histamine cukup kuat dari hemodynamic effector maupun dari gangguan. Konsentrasi histamine sangat variable. FEED INTAKE DAN ACIDOSIS Faktor pakan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap pola pakan.. Jenis dan jumlah butiran, pengolahan (terutama uap flaking), jenis dan jumlah kasar, dan makanan tambahan (seperti ionophores) mempengaruhi asupan dan pola acidosis subacute. Butir seperti, gandum dan jagung umumnya menyebabkan pencernaan pati bermasalah. Pada penelitian, sapi yang diberi
141
makan konsentrat ditingkatkan dari 35% menjadi 55%, 75%, dan 90% dengan pakan berbasis jagung dan gandum. Pola asupan dalam setiap tingkat jagung rata-rata meningkat lancar setelah 5 hari. Namun, dalam pakan gandum tidak meningkat lebih lanjut. Pengambilan data setiap hari mengungkapkan banyak variasi di setiap tingkat concentrate, dan fluktuasi yang lebih besar terjadi pada gandum dibandingkan jagung . Lemak sapi terpengaruh oleh berbagai faktor yang terkait. Beberapa dari faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah :
Akumulasi lumpur dan salju di kandang
Prevalensi laminitis dalam kawanan
Cuaca sangat dingin yang membuat mereka sering tentatif untuk lari
Sakit atau kepincangan yang tidak berhubungan dengan laminitis
Cuaca yang sangat panas dan lembab yang mempengaruhi nafsu makan
Fluktuasi dalam palatability gandum
TANDA-TANDA KLINIS Tanda Acidosis yang paling nyata terdapat pada acidosis akut. Tandatanda klinis sangat bervariasi, tetapi biasanya menjadi jelas 12-36 jam setelah engorgement gandum. Dalam bentuk akut, acidosis yang cukup parah adalah pelemahan dari fungsi faali. Tanda paling awal adalah kelesuan. Berhentinya gerak ruminal adalah indikasi yang sangat kuat terjadinya acidotic karena hal diakibatkan oleh konsentrasi tinggi dari Asam susu dan VFA, khususnya butyrate. Kotoran awalnya pekat kemudian menjadi berair dan sering berbusa, dengan bau pengap. Dehidrasi akan berkembang dalam waktu 24 hingga 48 jam. Hewan yang sembuh dapat meninggalkan rumenitis, laminitis, atau pembengkakan hati; masalah ini akan tercermin pada penurunan kinerja. Binatang mengalami acidosis subacute jarang menunjukkan tanda-tanda klinis.
142
Masing-masing hewan dalam kandang yang menunjukkan kelesuan, diare, atau menunjukkan peningkatan pernafasan merupakan tanda-tanda yang dapat menunjukkan masalah yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Turunnya asupan pakan mungkin sebagai tanda paling penting pada acidosis subakut. DIAGNOSA ACIDOSIS Diagnosis pada acidosis akut tidak menjadi masalah dalam ternak potong,
namun
yang
membahayakan
adalah
sifat
subacute
acidosis.
Menurunnya asupan makanan mungkin merupakan satu-satunya tanda adanya masalah. Oleh karena itu, pemantauan asupan makanan dan perilaku menjadi sebuah kebutuhan untuk mendeteksi penyimpangan dalam pola asupan. Jumlah sapi per kandang tidak hanya membuat masalah sosial tetapi juga memudahkan untuk ternak dalam menjangkau pakan, sehingga pola makan menjadi konsisten. Beberapa tanda tanda acidosis dalam feedlot termasuk konsistensi feses dengan nilai lebih dari 20% adalah air (pada lantai kandang tampak seperti air seni bercampur dengan gandum). Tanda ini menunjukkan acidosis akut dalam beberapa ternak. Berlepotan (basah) pada lateral anus, yang dikenal sebagai ''butt kipas kaca mobil,'' muncul mungkin karena iritasi dari efek acidotic kotoran. Peningkatan pernafasan dapat terjadi pada beberapa sapi karena terjadinya peningkatan jumlah karbon dioksida sebagai upaya memperlunak metabolic acidosis. pH Ruminal mungkin baik dijadikan sebagai indikator acidosis subacute, namun pH ruminal dalam rentang acidosis subacute (5,0-5,5) kemungkinan tidak mencerminkan sebuah acidotic, kecuali yang berkelanjutan. Oleh karena itu, sampel isi ruminal untuk pengukuran pH, selain sangat tidak praktis karena nilainya terbatas.
143
PENCEGAHAN ACIDOSIS Pengendalian acidosis jelas Sangat tergantung pada manajemen nutrisi. Karena masalah acidosis subacute tidak mudah dikenali. Namun, penting untuk mewaspadai
factor
gizi
dan
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi
penanganan acidosis subacute. Evaluasi gizi adalah langkah pertama dalam mengendalikan acidosis. Namun, acidosis dapat terjadi walaupun ternak secara bertahap disesuaikan dengan pakan gandum.. Jenis dan jumlah butiran, jenis prosesing butiran, jenis dan tingkat kekasaran, dan pakan tambahan adalah faktor penting yang mempengaruhi acidosis subacute. Butir dan prosesnya membedakan
tingkat
fermentasi
dan
yang
lebih
tinggi
mempunyai
kecenderungan yang lebih besar untuk memunculkan acidosis. Salah satu strategi untuk meminimalkan risiko yang berkaitan dengan butiran makanan yang tinggi tingkat fermentasinya (gandum, barley, jagung, dan sebagainya) adalah mencampur butir dengan bahan-bahan yang lebih rendah tingkat fermentasi patinya. Efisiensi pada kombinasi pakan, lebih baik dibandingkan dengan menggunakan satu pakan butiran, sebagaimana dimaksud oleh nutritionists sebagai efek asosiatif. Prosesing juga merupakan faktor yang mempengaruhi prevalensi acidosis. Umumnya, hijauan ditambahkan ke pakan finishing untuk mengendalikan acidosis dan demi kelancaran transisi selama beradaptasi dengan pakan butiran. Dampak nyata dari pemberian bahan kasar adalah dapat menjadi faktor untuk menjaga kesehatan dan integritas ruminal papillae. Ruminal papillae yang normal lebih besar absorpsi permukaan untuk penyerapan gizi, dibandingkan dengan papillae yang abnormal dan cacat. Monensin banyak dipakai sebagai pakan tambahan di feedlot untuk meningkatkan efisiensi.
144
145