PENDAHULUAN Di berbagai daerah di Indonesia, banyak digunakan obat tradisional untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Obat tradisional ini digunakan secara turun temurun dan khasiatnya sudah terbukti secara empirik. Bawang putih (Allium sativum L.) dan kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan contoh obat tradisional yang banyak digunakan masyarakat Indonesia karena memiliki berbagai macam khasiat. Bawang putih memiliki khasiat sebagai antibakteri, antifungi, antelmintik, antihipertensi, antiagregasi platelet, antioksidan, dan memiliki efek hipoglikemik. (WHO, 1999; Ebadi, 2006). Kunyit berkhasiat sebagai antiinflamasi, obat radang dinding lambung dan gangguan pencernaan, antioksidan, antiaterosklerosis, antiagregasi platelet, antidiabetes, dan menurunkan kadar kolesterol serum (WHO, 1999; Packer, 2004). Dari hasil penelitian, kombinasi ekstrak umbi lapis bawang putih dan rimpang kunyit dapat menurunkan kadar glukosa darah mencit dan mampu menurunkan resiko ateroskleroris serta memiliki aktivitas antiagregasi dan antiperoksidasi kolesterol secara in vitro pada tikus. Dengan demikian, ekstrak ini dapat digunakan pada pengobatan kelainan pembuluh jantung (aterosklerosis) dan diabetes melitus (Subiakto, 2005). Hasil penelitian lainnya menunjukkan aktivitas kombinasi ekstrak umbi lapis bawang putih dan rimpang kunyit sebagai antihiperkolesterolemia pada tikus (Saputri, 2004). Penelitian pada tahap uji klinik menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak bawang putih dan kunyit dapat memperbaiki profil lipoprotein penderita dislipidemia dan menurunkan kadar glukosa darah pada penderita diabetes (Patonah, 2007; Mardiyah, 2007). Karena penggunaan tanaman / kombinasi tanaman tersebut sangat luas, tidak tertutup kemungkinan penggunaan oleh ibu hamil. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji teratogenik untuk melihat efek samping penggunaan tanaman tersebut. Teratologi adalah ilmu yang berhubungan dengan penyebab, mekanisme, dan gejala penyimpangan perkembangan struktural atau fungsional selama perkembangan janin (Wilson, 1973). Uji teratogenik adalah uji yang dirancang untuk mengevaluasi efek khusus suatu zat pada janin yang meliputi perkembangan janin, mulai dari kelainan bentuk
1
(malformasi) yang terutama terjadi pada masa organogenesis, cacat mental, sampai kematian pada janin. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh kombinasi ekstrak air umbi lapis bawang putih dan ekstrak etanol rimpang kunyit yang diberikan pada periode kritis kehamilan mencit dengan mengamati jumlah janin, jumlah aborsi dan adanya cacat fisik pada janin mencit.
2
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas cara pemaparan teratogen terhadap janin, mekanisme teratogenik, manifestasi teratogenik, siklus reproduksi pada manusia dan mencit, serta tinjauan botani, kandungan kimia, dan khasiat bawang putih (Allium sativum L.) dan kunyit (Curcuma domestica Val.).
1.1 Teratologi Secara sederhana, teratologi merupakan ilmu yang mempelajari efek samping lingkungan terhadap sistem perkembangan yaitu pada sel-sel benih, embrio, janin, dan bayi yang baru dilahirkan. Pada pengertian yang lebih luas, teratologi adalah ilmu yang berhubungan dengan penyebab, mekanisme, dan gejala penyimpangan perkembangan struktural atau fungsional selama perkembangan janin (O’Rahilly, 1992). Teratogen merupakan bahan-bahan yang memiliki efek merugikan pada embrio atau janin antara tahap fertilisasi dan kelahiran. Walaupun gen dan kromosom yang abnormal dapat menyebabkan kecacatan, istilah teratogen biasanya dibatasi pada zat-zat dari lingkungan seperti obat-obatan dan virus. Teratogen dapat beraksi pada induk, pada plasenta, atau pada embrio / janin (Wilson, 1977). Bahan-bahan yang termasuk teratogen antara lain antibakteri, seperti trimetoprim dan sulfonamida, inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzyme), golongan NSAIDs (Nonsteroidal Antiinflamatory Drug), talidomid, dan antikonvulsan (Tierney, 2005). Empat manifestasi / wujud akhir dari perkembangan yang menyimpang adalah kematian, kecacatan, hambatan pertumbuhan, dan kelainan fungsional. Walaupun induksi embriotoksik dapat terjadi pada waktu dengan sensitivitas tinggi, misalnya saat organogenesis, beberapa manifestasi sering terjadi pada tahap khusus. Peningkatan sensitivitas kebanyakan jaringan saat organogenesis membuat embrio lebih mudah mengalami kematian dan kecacatan (Wilson, 1977).
3
4 1.2 Teratogen & Pemaparannya Pemaparan janin terhadap teratogen terjadi karena bahan-bahan tersebut dapat melewati plasenta. Pemindahan suatu zat dari induk ke janin dapat terjadi melalui beberapa cara (Wilson, 1973): i)
Difusi sederhana Pada difusi sederhana, terjadi pemindahan zat berdasar perbedaan konsentrasi yaitu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah tanpa melibatkan energi.
ii) Difusi terfasilitasi Difusi terfasilitasi melibatkan reseptor kimia (carrier) yang terdapat pada membran sel. Carrier mengubah zat yang akan dipindahkan menjadi lebih larut dalam komponen lipid membran. iii) Transport aktif Beberapa zat, seperti beberapa asam amino dan kation divalent, melewati plasenta dengan melawan gradien konsentrasi. Cara pemindahan dengan transport aktif memerlukan energi sehingga cara ini disebut transport aktif. iv) Pinositosis Mekanisme ini memungkinkan beberapa koloidal dan zat / bahan tertentu dengan ukuran lebih kecil dari sel, mungkin juga termasuk virus, melewati plasenta.
1.3 Prinsip Umum Teratologi a ) Kerentanan pada teratogenesis bergantung pada genotip janin dan caranya berinteraksi dengan faktor lingkungan Setiap spesies, galur (strain), bahkan setiap individu dapat memiliki respon yang berbeda terhadap teratogen yang sama misalnya pada pemberian kortison (glukokortikoid) dan talidomid. Kortison (glukokortikoid) dapat menginduksi cleft palate pada mencit sedangkan talidomid mengakibatkan jenis kecacatan yang berbeda pada manusia, kelinci, dan mencit namun tidak mengakibatkan kecacatan pada tikus (Wilson, 1973; Wilson, 1977). b ) Kerentanan pada teratogenesis bervariasi, tergantung pada tahap perkembangan saat terpapar oleh teratogen Periode dari fertilisasi melalui pembelahan sel dan pembentukan blastosit sedikit rentan terhadap teratogenesis namun, kematian dapat terjadi. Periode tersebut diikuti oleh diferensiasi dan organogenesis awal yang memiliki kerentanan maksimum
5 terhadap teratogenesis. Selama organogenesis, gangguan pada perkembangan dapat menyebabkan
kecacatan
struktur
yang
disebut
juga
malformasi.
Sebelum
organogenesis selesai, histogenesis dimulai dan terjadi spesialisasi sel dan jaringan. Saat histogenesis terjadi, pematangan fungsi juga dimulai dan keduanya berlanjut sepanjang periode fetal. Periode fetal ditandai oleh pertumbuhan ukuran bayi. Gangguan selama periode fetal dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan dan gangguan fungsional (Wilson, 1973). c ) Teratogen berkerja dengan cara spesifik pada sel dan jaringan yang sedang berkembang untuk mengawali perkembangan abnormal. Kumpulan literatur percobaan embriologi dan teratologi menunjukkan bahwa minimal ada delapan mekanisme teratogenesis (Wilson, 1973; Wilson, 1977). i.
Mutasi Mutasi merupakan mekanisme dasar cacat perkembangan janin yang merupakan perubahan urutan nukleotida pada molekul DNA. Jika efeknya pada sel benih, mutasi akan diturunkan tetapi jika mutasi terjadi pada sel somatik, akan disebarkan / ditransmisikan ke semua turunan sel, tetapi tidak bersifat turunan. Mutasi somatik pada awal embrionik akan berpengaruh terhadap kerusakan struktural maupun fungsional.
ii.
Kelainan kromosom Kelainan kromosom dapat menyebabkan peningkatan penampakan mikroskopik, penurunan, atau pengaturan kembali kromosom, kromatid, atau bagiannya. Pada manusia, penurunan / kerusakan kromosom dapat menyebabkan kematian kecuali pada kelebihan atau kekurangan kromosom sex. Penyebab kelainan kromosom adalah infeksi virus, radiasi, dan zat-zat kimia.
iii. Gangguan mitosis Senyawa sitotoksik yang dapat menghambat sintesis DNA, seperti hidroksiureat, dapat memperlambat bahkan menghentikan mitosis. Zat kimia seperti kolkisin dan vinkristin dapat menghambat pembentukan benang mitosis akibatnya kromosom tidak dapat memisah pada tahap anfase. Kondisi ini juga dapat terjadi karena pengaruh radiasi dosisi tinggi. iv. Gangguan integritas fungsi asam nukleat Umumnya obat antibiotik dan neoplastik bersifat teratogenik bila mengganggu replikasi asam nukleat, transkripsi, dan translasi RNA. Unsur yang menghambat
6 sintesis protein umumnya bersifat embrioletal (mematikan embrio). Pada dosis rendah, mengakibatkan mundurnya perkembangan mental dan pada dosis tinggi, mengakibatkan kematian embrio. v.
Kekurangan prekursor, substrat, atau koenzim untuk biosintesis Kekurangan prekursor, substrat, atau koenzim untuk biosintesis dapat terjadi karena kekurangan asupan makanan, adanya analog spesifik atau antagonis, kegagalan absorpsi di saluran cerna induk, atau kegagalan pengangkutan melalui plasenta.
vi. Perubahan sumber energi Jalur penyedia energi yang dapat diganggu oleh teratogen antara lain proses glikolisis, siklus asam sitrat, sistem transpor elektron, dan sumber glukosa. vii. Penghambatan enzim Fungsi enzim diperlukan pada semua aspek dalam diferensiasi dan pertumbuhan sehingga gangguan pada kerja enzim dapat mengakibatkan gangguan pada perkembangan janin / janin. viii. Ketidakseimbangan osmolaritas Ketidakseimbangan osmolaritas dapat berperan sebagai mekanisme teratogenesis dengan mengubah tekanan dan viskositas cairan pada kompartemen yang berbeda pada embrio misalnya, antara plasma darah dan ruang ekstrakapiler atau cairan intraembrionik dengan cairan ekstraembronik. ix. Perubahan karakter membran sel Permeabilitas membran yang abnormal dapat menyebabkan ketidakseimbangan osmolar. Pelarut, seperti DMSO, dapat mengembang dan mengakibatkan pergantian ion antara kompartemen pada embrio ayam dan diduga bahwa pelarut tersebut mengubah permeabilitas membran sel dan membran lainnya. d ) Masuknya pengaruh buruk pada jaringan yang sedang berkembang bergantung pada sifat alami teratogen. Pada dasarnya, terdapat dua rute yang dapat diakses oleh teratogen untuk mencapai janin : langsung dan tidak langsung. Contoh zat yang melewati jaringan induk secara langsung, tanpa modifikasi, adalah radiasi ion, beberapa gelombang mikro (microwaves), dan ultrasonik. Panas dan dingin yang ekstrim diteruskan secara tidak langsung pada janin karena proses homeostatis induk mampu menetralkan efek tersebut. Bahan kimia atau hasil urainya mencapai embrio / janin dengan konsentrasi
7 yang lebih kecil dari konsentrasi dalam darah induk. Ketercapaian konsentrasi efektif dalam janin bergantung pada beberapa variabel di antaranya dosis yang diberikan pada induk dan laju absorpsi yang dipengaruhi oleh bentuk sediaan, rute pemberian, dan lain-lain (Wilson, 1977). e ) Empat manifestasi / wujud akhir dari perkembangan yang menyimpang adalah kematian, kecacatan, hambatan pertumbuhan, dan kelainan fungsional. Walaupun induksi embriotoksik dapat terjadi pada tahap yang memiliki sensitivitas tinggi, misalnya saat organogenesis, beberapa manifestasi sering terjadi pada tahap khusus. Peningkatan sensitivitas kebanyakan jaringan saat organogenesis membuat embrio lebih mudah mengalami kematian dan kecacatan. Hambatan pertumbuhan dapat terjadi karena kerusakan pada periode fetal. Keempat manifestasi tersebut dapat terjadi akibat penyimpangan perkembangan (Wilson, 1977). f ) Peningkatan frekuensi dan tingkat manifestasi dari perkembangan yang menyimpang sebanding dengan peningkatan dosis, dari dosis tidak efektif sampai dosis letal. Zat yang menimbulkan efek samping pada tubuh dapat menunjukkan sifat embriotoksik jika diberikan pada dosis yang menyebabkan teratogenesis, tahap perkembangan yang sensitif, dan spesies yang rentan. Kurva dosis-efek untuk efek embrionik memiliki kemiringan yang curam, kadang-kadang, dosis maksimal sama dengan dua kali dosis minimal (Wilson, 1977).
1.4 Siklus Reproduksi 1.4.1
Siklus Reproduksi pada Manusia
Sistem reproduksi wanita menunjukkan perubahan siklus secara reguler sebagai persiapan periodik untuk fertilisasi dan kehamilan. Pada primata, siklus reproduksi adalah siklus menstruasi yang merupakan pendarahan periodik pada vagina. Lamanya siklus rata-rata adalah 28 hari dari permulaan masa menstruasi ke permulaan menstruasi berikutnya. Siklus ovarium Siklus ovarium terbagi menjadi fase folikular dan fase luteal. Siklus ovarium dimulai saat folikel primordial berkembang menjadi folikel primer. Dalam folikel primer, sel-sel folikular membesar dan mengalami pembelahan sel menghasilkan lapisan sel-sel folikular di sekitar oosit. Sel folikel ini kemudian disebut sel granulosa. Sel granulosa menghasilkan
8 hormon estrogen. Folikel primer berkembang menjadi folikel sekunder kemudian menjadi folikel tersier. Saat pembentukan folikel tersier berakhir, oosit primer menyelesaikan meiosis I membentuk oosit sekunder. Saat ovulasi, folikel tersier melepaskan oosit sekunder. Saat ini, kadar estrogen mencapai puncaknya. Folikel tersier yang telah kosong mengalami pendarahan akibat luruhnya pembuluh darah. Sel granulosa yang tersisa berproliferasi membentuk badan kuning (corpus luteum). Pada saat ini, kadar progesteron mulai meningkat. Bila tidak terjadi fertilisasi, corpus luteum akan terdegenerasi membentuk corpus albicans. Pembentukan estrogen dan progesteron mulai berkurang kemudian diikuti dengan menstruasi (Martini, 2001). Siklus menstruasi Siklus menstruasi pada wanita biasanya sekitar 28 hari. Siklus ini dimulai dengan terjadinya menstruasi akibat degenerasi daerah fungsional endometrium. Hal ini disebabkan oleh konstriksi arteri-arteri spiral yang mengurangi aliran darah ke daerah endometrium. Dinding arterial yang lemah meluruh dan darah mengalir ke jaringan penghubung di daerah fungsional. Sel darah dan jaringan yang terdegenerasi hancur lalu masuk ke rongga uterus lalu ke luar melalui vagina. Tahap selanjutnya adalah tahap perbaikan endometrium (fase proliperatif). Fase ini terjadi bersamaan dengan perkembangan folikel primer dan sekunder di ovarium. Fase ini distimulasi dan dipertahankan oleh estrogen yang disekresikan folikel yang sedang berkembang. Tahap selanjutnya adalah fase sekretori. Fase ini dimulai saat ovulasi dan terjadi selama corpus luteum bertahan. Aktivitas sekresi memuncak sekitar dua belas hari setelah ovulasi dan menurun satu atau dua hari kemudian (Martini, 2001).
1.4.2
Siklus Reproduksi pada Mencit
Mamalia yang bukan primata tidak mengalami siklus menstruasi tapi mengalami siklus estrus. Panjang siklus estrus tergantung dari spesies hewan. Pada mencit, lama siklus estrus terjadi selama 4-5 hari. Dalam satu siklus, terjadi empat fase yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. i)
Fase proestrus Fase ini menandakan datangnya birahi, ditandai dengan tumbuhnya folikel ovari dengan cepat dan pembengkakan pra ovulasi folikel. Cairan terkumpul dalam uterus dan uterus menebal serta menjadi sangat kontraktil. Preparat apusan vagina
9 didominasi oleh sel-sel epitel berinti, yang muncul secara tunggal atau berbentuk lapisan (Turnel, 1988). ii) Fase estrus Fase ini merupakan periode birahi dan kopulasi dimungkinkan terjadi pada saat ini. Kondisi ini berakhir 9-15 jam dan ditandai dengan aktivitas berlari-lari yang sangat tinggi. Di bawah pengaruh FSH, selusin atau lebih folikel ovari tumbuh dengan cepat. Dengan demikian, estrus merupakan periode sekresi estrogen yang meninggi. Ovulasi terjadi selama estrus dan didahului oleh perubahan histologik di dalam folikel yang menunjukkan adanya luteinisasi awal. Banyak cairan lumen di dalam uterus hilang sebelum ovulasi. Pada fase ini, terjadi perubahan-perubahan tingkah laku termasuk bergerak-geraknya telinga, lordosis (melengkungnya punggung dalam menanggapi perlakuan manusia), atau mendekatnya hewan jantan. Uterus mengalami perbesaran progresif dan menjadi kembung karena akumulasi cairan lumen. Banyak mitosis terjadi di dalam mukosa vagina dan karena sel-sel baru tertimbun, lapisan permukaan menjadi skuamosa dan menanduk. Sel-sel menanduk ini dikelupas ke dalam sel vagina dan terdapatnya sel-sel ini di dalam preparat apusan vagina dipakai sebagai penunjuk estrus. Selama estrus, leukosit ditemukan sedikit saja atau tidak ada sama sekali. Menjelang estrus berakhir, di dalam lumen vagina terdapat masa seperti keju yang terdiri atas sel-sel menanduk dengan inti berdegenerasi (Turnel, 1988). iii) Fase metestrus Fase ini terjadi segera setelah ovulasi terjadi dan merupakan saat antara estrus dan diestrus. Periode ini berakhir 10-14 jam dan perkawinan biasanya tidak bisa dilakukan karena terbentuknya corpus luteum dan folikel-folikel kecil; uterus vaskularisasi dan kontraktilitasnya berkurang. Banyak leukosit muncul di dalam lumen vagina bersama dengan sedikit sel-sel menanduk (Turnel, 1988). iv) Fase diestrus Fase ini berakhir 60-70 jam, pada masa tersebut, terjadi regresi fungsional corpus luteum. Uterus mengecil dan agak kontraktil. Mukosa vagina tipis dan leukosit bermigrasi melintasinya, memberikan apusan vagina yang hampir hanya terdiri dari sel-sel ini (Turnel, 1988).
10 1.5 Tumbuhan Uji 1.5.1
Bawang Putih
Klasifikasi botani bawang putih adalah divisi : Spermatophyta, anak divisi : Angiospermae, kelas : Monocotyledonae, Bangsa : Liliales, Suku : Liliaceae, Marga : Allium, Jenis : Allium sativum L. (Hutapea, 2000). Bawang putih merupakan herba semusim dengan tinggi sekitar 50-60 cm. Daun bawang putih merupakan daun tunggal, berbentuk lanset, tepi rata, ujung runcing, beralur, panjang ± 60 cm, lebar ± 1½ cm, berwarna hijau, menebal dan berdaging, serta mengandung persediaan makanan yang terdiri dari subang yang dilapisi daun sehingga menjadi umbi lapis (Hutapea, 2000). Umbi lapis bawang putih mengandung saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri (Hutapea, 2000) juga mengandung tanin, minyak atsiri, dialil sulfida, aliin, alisin, enzim allinase, vitamin A, B, dan C (Ditjen POM, 1995). Bawang putih memiliki khasiat sebagai antibakteri, antifungi, antelmintik, antihipertensi, antiagregasi platelet, antioksidan, dan memiliki efek hipoglikemik. (WHO, 1999; Ebadi, 2006).
1.5.2
Kunyit
Klasifikasi botani kunyit adalah divisi : Spermatophyta, anak divisi : Angiospermae, kelas : Monocotyledonae, Bangsa : Zingiberales, Suku : Zingiberaceae, Marga : Curcuma, Jenis : Curcuma domestica Val. (Hutapea, 2000). Kunyit tumbuh dan ditanam di Asia Selatan, Cina Selatan, Taiwan, Indonesia, dan Filipina. Untuk menghasilkan rimpang yang baik, kunyit menghendaki tempat terbuka atau tanah lempung / berpasir (Ditjen POM, 1977). Kunyit merupakan habitus semak dengan tinggi ± 70 cm. Daun kunyit merupakan daun tunggal berbentuk lanset, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, panjang 20-40 cm, lebar 8-12½ cm, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau pucat. Kunyit memiliki batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang, dan berwarna hijau kekuningan (Hutapea, 2000). Rimpang kunyit mengandung saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri (Hutapea, 2000). Minyak atsiri terdiri dari turmeron 58 %, zingiberen 20 %, dan sejumlah terpenoid seperti α-pinen dan β-pinen, kamfer, limonen, terpinen, karyofilen, linalool, borneol, isoborneol, kamfor, eugenol, sineol, kurdion, kurzerenon, dan kurkumen (Saputri, 2004).
11 Selain itu, terdapat pula kurkumin, turmerol, phellandrene, carvone, dan lemak (Perry, 1980). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ekstrak etanol kunyit dan minyak atsiri dari kunyit bersifat bakterisida, ekstrak air kunyit dapat digunakan sebagai antiinflamasi, ekstrak etanol atau eter dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan β-lipoprotein pada tikus (Rustyawati, 1991). Kunyit berkhasiat sebagai antiinflamasi, mengobati radang dinding lambung, dan gangguan pencernaan (WHO, 1999).
1.6 Teratogen Pembanding Trimetoprim merupakan antagonis asam folat sintetik yang memiliki rumus molekul C14H18N4O3 dan bobot molekul 290,32. Trimetoprim berbentuk hablur, berwarna putih sampai krem, dan tidak berbau. Trimetoprim sangat sukar larut dalam air dan sukar larut dalam etanol.
Gambar 1.1 Struktur trimetoprim Trimetoprim bekerja pada jalur asam folat dengan menghambat pengubahan asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat yang selanjutnya menghambat sintesis timidin. Bila diberikan secara oral, trimetropim dengan cepat diabsorpsi dari saluran pencernaan dan mencapai konsentrasi plasma puncak sebesar 1 µg / mL dalam 1-4 jam setelah pemberian 100 mg. Trimetoprim dapat melewati plasenta dan menghasilkan konsentrasi dalam cairan amniotik sebesar 80 % konsentrasi serum ibu. Trimetropim juga didistribusikan dalam air susu dengan konsentrasi mencapai 125 % konsentrasi serum ibu. Ikatan trimetoprim dengan protein plasma sebesar 42-46 %. Waktu paruh eliminasi trimetoprim adalah 8-11 jam pada kondisi ginjal normal (Mc Evoy, 2005).