KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK ANAK TERHADAP ORANG TUA DALAM AL-QUR’AN SURAT AL ISRA 23-25
SKRIPSI Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Disusun Oleh : FATKHUL MANAN JAZULI 111 10 130
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
i
ii
iii
iv
MOTTO
Dan orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya (Hr.Ahmad)
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk : 1. Kedua orang tuaku tercinta, yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, mendidik dari kecil sampai sekarang, dan doa restunya yang tak pernah putus serta nasihat-nasihatnya.
2. Adikku tercinta Istighfaroh Tsaniah, terimakasih atas dukungan dan selalu mendo‟akan. 3. Kepada Bapak Muh.Hafidz, selaku pembimbing skripsi. 4. Sahabat-sahabatku tercinta, Fadholi, Suryo, Ina, Anad, Ahkam, Cahyo, Aan, Ismi terimakasih atas motivasi dan kebersamaan kita selama ini karena kalian telah mengajarkan makna indahnya sebuah persahabatan. 5. Teman-teman seperjuangan PAI D, PPL dan KKN angkatan 2010, terimakasih atas kebersamaan kita selama ini.
vi
KATA PENGANTAR Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Dzat yang mengatur segala apa yanga ada di dunia dengan kekuasaan-Nya, Dzat yang telah menetapkan antara yang hak dan bathil, Dzat yang telah menganugerahkan kepada manusia akal berfikir dan memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dialah Allah yang tak pernah lepas pengawasannya terhadap apa yang dilakukan manusia dan kepada-Nya lah kita mempertanggungjawabkan tiap apa yang kita kerjakan. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, untuk keluarga serta para sahabat beliau yang senantiasa istiqamah dalam perjuangan Islam. Semoga kita menjadi hamba-hamba pilihan laksana mereka. Alhamdulillah proses perjuangan dalam penyusunan skripsi ini dengan segala pengorbanan dan rintangan lahir batin telah dapat penulis lalui. Tak ada penggambaran lain yang dapat penulis utarakan selain ucapan syukur yang tiada tara pada Allah SWT karena hanya atas ridha dan pertolongan-Nya penulis dapat melalui semua ini.Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dandukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada : 1.
Bapak Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.
2.
Kepala Jurusan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam Ibu Siti Ruhayati
3.
Dosen pembimbing Bapak Muh.Hafidz, M.Ag. atas bimbingan, arahan dan motivasi yang diberikan.
vii
4.
Kedua orang tuaku tercinta yang telah mencurahkan pengorbanan dan do‟a restu yang tiada henti bagi keberhasilan studi penulis.
5.
Adikku tercinta Istghfaroh Tsaniah yang telah mencurahkan do‟a dan motivasi dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
6.
Sahabat-sahabat tercinta,Fadholi, Suryo, Ina, Anad, Ahkam, Cahyo, Aan, Ismi terimakasih atas indahnya kebersamaan kita selama ini, kalian telah mengajarkan arti sebuah persahabatan yang tidak akan pernah berakhir, Amiin.
7.
Teman-teman seperjuangan PAI D, PPL dan KKN angkatan 2010, terimakasih atas kebersamaan kita selama ini.
8.
Semua pihak yang ikut serta memberikan bantuan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini. Akhirnya penulis hanya bisa berdo‟a, semoga amal dan kebaikan semua
pihak dapat diterima dan dicatat oleh Alloh sebagai amal sholeh dan mendapatkan balasan sebaik-baiknya. Tidak ada sesuatu yang sempurna didunia ini melainkan Ia yang Maha Sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini. Dan penulis berharap semoga tulisa ini mempunyai nilai guna dan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umunya. Salatiga, April 2015
Penulis
viii
ABSTRAK Jazuli, Fatkhul Manan. 2015. Konsep Pendidikan Akhlak Anak Terhadap Orang Tua Dalam Al-Qur‟an Surat Al Isra 23-25. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program studi pendidikan agama islam. Institut agama islam negeri salatiga. Pembimbing: Muh Khafid, M. Ag. Kata Kunci : Pendidikan Akhlaq, Pendidikan Islam. Skripsi ini membahas nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S Al-Isra‟ Ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern. Kajiannya dilatarbelakangi oleh minimnya pendidikan aqidah (Mengesakan Allah) dan berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidaini). Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan:(1) Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S. Al-Isra‟ ayat 2325? (2) Bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai pendidikan agama berdasarkan Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dalam dunia modern? Permasalahan tersebut dibahas melalui kitab suci Al-Quran yang menjadi pedoman hidup orang Islam. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi dua kelompok, yang pertama adalah sumber primer yang berasal dari Al-Quran dan yang kedua adalah sumber sekunder yang berasal dari data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian seperti: Tafsir klasik dan tafsir kontemporer. Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 yaitu pertama, pendidikan akidah yakni Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakanNya dalam ibadah dan dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan Allah dengan apa pun atau siapa pun. Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan alam dan semua isinya yaitu Allah SWT.kedua, Pendidikan birrul walidainiyakni sesudah Allah memerintahkan supaya jangan menyembah selain Dia lalu Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka benar-benar memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan tidak menganggapnya sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergetar dalam hati mereka. (2) aktualisasinilai-nilai pendidikan berdasarkan Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dalam dunia modern yaitu pertama, pendidikan akidah di sekolahan hendaknya mengajarkan kepada peserta didik bertauhid meng-Esakan Allah bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah Tuhan Yang Maha Esa.
ix
DAFTAR ISI JUDUL......................................................................................................................i PERTANYAAN KEASLIAN SKRIPSI.................................................................ii PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................................iii PENGESAHAN KELULUSAN.............................................................................iv MOTTO....................................................................................................................v PERSEMBAHAN..................................................................................................vi KATA PENGANTAR...........................................................................................vii ABSTRAK..............................................................................................................ix DAFTAR ISI...........................................................................................................x BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................1 B. Fokus Penelitian....................................................................................3 C. Tujuan Penelitian...................................................................................3 D. Manfaat Penelitian.................................................................................3 E. Kajian Pustaka.......................................................................................4 F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.....................................................5 2. Metode Analisis Data.....................................................................7 G. Sistematika Pembahasan.....................................................................7
x
BAB II DESKRIPSI SURAT AL ISRA 23-25 A. Surat Al Isra dan Terjemahan................................................................9 1. Redaksi Ayat dan Terjemahan..........................................................9 2. Munasabah......................................................................................10 3. Asbabun Nuzul...............................................................................12 B.
Pendapat Mufassir Klasik Tentang Penafsiran Surat Al Isra 23-25....15
C.
Pendapat Mufassir Kontemporer Tentang Penafsiran Surat Al Isra 2325.........................................................................................................21
BAB III NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SURAT AL ISRA 23-25 A. Pendidikan Tauhid...............................................................................27 1. KeEsaan Zat....................................................................................30 2. KeEsaan Sifat..................................................................................30 3. KeEsaan Perbuatan.........................................................................31 4. KeEsaan dalam Beribadah KepadaNya..........................................31 B.
Pendidikan Birrul Walidaini................................................................34
BAB IV INTEGRASI AKHLAK DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM A. Penguatan Akidah Peserta Didik.........................................................46 B. Penanaman Nilai Birrul Walidaini......................................................60 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan..........................................................................................67 B. Saran....................................................................................................69 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP PENULIS
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Al-Quran merupakan kalam Allah yang mu‟jiz, yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir (Muhammad SAW) melalui perantara malaikat Jibril ditulis dalam lembaran-lembaran (mashahif) sampai kepada umat manusia secara mutawatir dan membacanya termasuk ibadah, diawali dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas(As Shabuny,1985 : 8). Al-Quran juga sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Di dalamnya mencakup ajaran tentang I‟tiqad (keyakinan), akhlak (etika), sejarah, serta amaliyah (tindakan praktis) (Naim, 2009 : 56). Al-Qur‟an merupakan lukisan atau gambaran fitrah manusia, dan Rasulullah merupakan idealisasi dari fitrah manusia seperti yang tertulis dalam hadits yang menyatakan : Kaana khuluquhu Al-Quran (Hadits shahih) “Akhlak Muhammad adalah Al-Quran itu sendiri. Juga ditulis dalam ayat Al Qur‟an : Wa innaka la‟alaa khuluqin „azhiim. “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”(Q.S Al-Qalam, 68 ayat 4) (Sangkan, 2006 : 13). Al-Quran merupakan peraturan bagi umat sekaligus sebagai way of lifenya yang kekal hingga akhir masa. Oleh karena itu, kewajiban umat Islam adalah memberikan perhatian yang besar terhadap Al-Quran baik dengan cara membacanya,menghafalkan atau mempelajarinya. Dalam Al-Quran tidak terdapat sedikitpun kebatilan dan kebenarannya terpelihara serta dijamin
1
keasliannya oleh Allah SWT sampai hari kiamat (As Siraji, 2010 : 16). Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hijr ayat 9 berikut:
٩ ُن َ إِوَّب وَذْ ه وَ َّص ْىىَب اى ِّر ْم َس ََإِوَّب ىًَ ىَ َذبفِظ Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Departemen Agama RI, 2008 : 515). Al-Quran diturunkan kepada umat manusia sebagai petunjuk (hudan) dan pedoman bagi manusia dalam menata perjalanan hidupnya di dunia sampai akhirat. Al-Quran sebagai petunjuk tidak akan bermanfaat sebagaimana mestinya, jika tidak dibaca, dipahami maknanya (kognitif), dihayati kandungannya (afektif), dan kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (psikomotor) (Al-Qattan, Terj. Mudzakir, 2007 : 19). Al Quran bukanlah merupakan kitab undang-undang dan lebih lagi bukan buku sains dan teknologi. Menurut Fazlur Rahman bahwa tujuan pokok Al-Quran adalah ajaran moral. Jika melihat kebelakang, keadaan dimana pertama kali Al-Quran diturunkan, maka akan ditemui keadaan masyarakat Makkah yang penuh dengan berbagai problem sosial. Dari yang paling kronis berupa praktekpraktek polyteisme penyembahankepada berhala-berhala, eksploitasi terhadap orang miskin-miskin, penyalahgunaandalam perdagangan, sampai pada tidak adanya tanggung jawab umum terhadap masyarakat. Merespon situasi masayarakat seperti itu, Al-Quran meletakkan ajarantauhid atau ketuhanan Yang Maha Esa, dimana setiap manusia harusbertanggungjawab kepadanya, dan pemberantasan kejahatan sosial dan ekonomi daritingkat yang paling bawah sampai ke tingkat yang paling atas (Azizy, 2007 : 45). 2
Selain pelajaran mengenai aqidah, dapat juga diidentifikasi masalah lain yang menjadi pokok kandungannya, yaitu aspek akhlak yang menjelaskan tentang birrul walidain (berbuat baik pada kedua orang tua). Dimana akhlak seorang anak terhadap kedua orangtua saat-saat merekasangat membutuhkan yakni disaat kedua orang tua dalam usia lanjut. Bagaimana seorang anak berbuat baik kepeda kedua orang tua karena pada saat lanjut usiaperilaku mereka berubah seperti anak-anak dan banyak lupa. Ini termasuk bagiandari perilaku birrul walidain seorang anak terhadap kedua orang tua (Shihab, 2007 : 45). B. Fokus Penelitian 1.
Bagaimana pendidikan akhlak kepada anak untuk berbakti terhadap orang tua, seperti yang tergambarkan dalam Q.S al-Isra‟: 23-25?
2.
Bagaimanakah aktualisasi pendidikan akhlak terhadap orang tua berdasarkan surat Al-Isra‟ 23-25 dalam dunia penidikan?
C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui pendidikan akhlak kepada anak untuk berbakti terhadap orang tua, seperti yang tergambarkan dalam Q.S al-Isra‟: 23-25.
2.
Untuk mengetahui aktualisasi berakhlak terhadap orang tua berdasarkan surat Al-Isra‟ 23-25 dalam dunia pendidikan.
D. Manfaat Penelitian Adapun beberapa manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
3
1. Bagi STAIN Salatiga, untuk memperkaya referensi kajian keislaman dan khazanah keilmuan bagi mahasiswa. 2. Untuk khalayak umum, manfaat dari penelitian yang dibuat ini, bisa mempermudah untuk memahami pendidikan Islam dalam berakhlak terhadap orang tua sebagaimana tertera dalam surat Al-Isra‟ 23-25. 3. Buah kinerja bagi peneliti sendiri, selain memberikan secarik wawasan baru dalam dunia pendidikan, peneliti juga akan lebih memahami sejauh mana interpretasi dan ekspektasi dari ayat-ayat tentang akhlak yang telah diteliti tersebut. E. Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan unsur yang penting dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan. Kajian pustaka disebut juga kajian literal. Kajian pustaka merupakan sebuah uraian tentang literatur yang relevan dengan bidang atau topik tertentu (Setyosari, 2010 : 72) Penelitian pustaka ini pada dasarnya bukan penelitian yang benarbenar baru. Sebelum ini banyak yang sudah mengkaji objek penelitian tentang nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu, tema karya ilmiah ini harus berbeda dengan kajian ilmiah lain yang telah dibuat sebelumnya. Adapun telaah yang digunakan pada penulisan skripsi ini ialah menggunakan prior research (penelitian terdahulu). Prior research yaitu penelitian terdahulu yang telah membahas nilai-nilai pendidikan. Namun prior research yang digunakan penulis dalam pembuatan skripsi ini,adalah nilai-nilai pendidikan yang telah dikhususkan objek kajiannya, seperti nilai-nilai pendidikan akidah dan akhlak, dan lain
4
sebagainya. Di antara prior research yang dimaksudkan di antaranya adalah sebagai berikut : 1.
Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah al-A‟raf ayat 199. Dalam kajian ilmiah dinyatakan bahwa pola pendidikan Islami adalah pola pendidikan Qurani yang diaplikasikan oleh Rasulullah Saw. dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya melalui metode-metode pendidikan yang dicontohkan oleh beliau. Metode pendidikan Qurani adalah suatu cara atau tindakan-tindakan dalam lingkup peristiwa pendidikan yang terkandung dalam Al-Quran dan Assunnah. Jadi metode dalam pendidikan akhlak seharusnya menganut kepada pendidkan yang diajarkan oelh Rasulullah yang terkandung dalam Al-Quran dan Assunnah (Muchtar, 2005 : 216)
2.
Nilai-nilai pendidikan keimanan anak dalam al-Quran surat al Jin ayat 20. Di sini dinyatakan bahwa dengan bertambahnya ilmu, iman, sesorang akan lebih mantap, lebih kokoh, dan tindak tanduknya selalu mengingat keagungan dan kebesaran Illahi. Ilmu yang dimaksud tersebut adalah ilmu tentang alam (sunatullah) serta ilmu tentang agama Allah SWT (dinullah), sebab keduanya merupakan kebenaran yang datangnya dari Allah (Sueb, 1996 : 63) Dari beberapa kajian pustaka di atas, maka jelaslah bahwa tulisan skripsi yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 belumlah ada yang membahasnya. Dari hal inilah, penulis akan mencoba memaparkan dan menganalisis tentang
5
nilai-nilai pendidikan yang ada pada Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dan Aktualisasinya dalam dunia modern. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu library research, penelitian tersebut dengan mungumpulkan data-data yang berhubungan dengan objek penelitian, bahwa Jenis penelitian yang dilakukan menggunakan metode library research. Dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan, baik yang primer maupun yang skunder, dicari dari sumber-sumber kepustakaan (seperti buku, majalah, artikel dan jurnal) )kuswaya, 2009: 11). 2. Pendekatan Untuk melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan metode tematik, tafsir tematik yaitu sebuah penelitian paada tema tertentu untuk dikaji. Langkah-langkah atau cara kerja metode tafsir mawdhu‟iy ini dapat dirinci sebagai berikut: a. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara mawdhu‟iy (tematik). b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah telah ditetapkan, ayat Makiyyah dan Madaniyyah. c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan menegenai latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul
6
d. Memahami korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masingmasing suratnya. e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (out line). f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas. g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian „am da khash, antara muthlaq dan yang muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat (Al-Farmawi, 1996: 4546). 3. Teknik Pengumpulan Data Dikarenakan metode ini menggunakan penelitian yang bersifat library research dalam pengumpulan data yang akan digunakan penelitian, maka penulis membagi sumber data menjadi dua bagian: a.
Sumber data primer, yaitu al-Qur‟an dan hadits Nabi Saw yang berkaitan dengan berbakti kepada orang tua.
b.
Sumber data skunder, yaitu tafsir-tafsir al-Qur‟an yang berkaitan dengan berbakti kepada orang tua dan karya-karya para ahli yang
7
membahas tentang segala hal yang berkaitan dengan pembahasan pokok. 4. Metode Analisis Data Analisis non-statistik sesuai untuk data deskriptif atau data textular. Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan karena itu analisis macam ini juga disebut analisis isi (content analysis)(Suryabrata, 1995:85).Disini peneliti menggunakan metode content analysis dalam menguraikan makna yang terkandung dalam redaksi al-Qur‟an, setelah itu dari hasil interpretasi tersebut dilakukan analisa secara mendalam dan seksama guna menjawab dari rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis. G. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah dalam pembahasan penelitian, maka penelitian ini disusun dalam lima bab, yang terdiri dari beberapa subsub bab yang masih bersifat saling keterkaitan antara satu bab dengan
yang lainnya,
sistematikanya disusun sebagai berikut: Bab pertama, dalam bab ini merupakan pendahuluan studi, memaparkan tentang latar belakang penelitian, rumusan dan tujuan penelitian. Selain itu juga membahas tentang manfaat penelitian yang diangkat dalam topik pembahasan, dan diteruskan dengan sistematika pembahasan yang digunakan dalam membuat penelitian ini agar lebih terstruktur dan sistematis. Bab kedua, merupakan kelanjutan dari bab awal yang lebih spesifik dalam sistematika penulisan, bab kedua ini mendeskripsikan tentang Q.S Al-
8
Isra ayat 23-25 menurut para mufassir yakni menurut mufassir klasik dan mufassir kontemporer. Bab ketiga tentang Pendidikan Islam sebagaimana tertera dalam Q.S Al-Isra ayat 23-25. Terkait pula akan di uraikan hadits-hadits yang berkatan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ayat tersebut. Bab keempat, bab ini peneliti lebih memfokuskan dalam inti pembahasan tentang Integrasi Pendidikan Akhlak dalam Pendidikan Islam (Analisis Qur‟an Surat AL-Isra‟ Ayat 23-25). Bab kelima, merupakan bab yang terakhir ini memaparkan tentang kesimpulan atas pembahasan yang telah diuraikan dalam penelitian, diteruskan dengan penutup.
BAB II DESKRIPSI SURAT AL-ISRA 23-25
A.
Surat Al-Isra dan Terjemahan 1.
Redaksi Ayat dan Terjemahan
ٓ َّ ِل أَ ََّّل حَ ۡعبد َٓ ْا إ ك َ َّل إٌَِّبي ََبِ ۡٲى ٰ َُىِ َد ٌۡ ِه إِ ۡد ٰ َعىً ۚب إِ َّمب ٌَ ۡبي َغ َّه ِعى َد َ ُّض ٰى َزب َ َََق ّ ۡٱى ِنبَ َس أَ َددٌ َمبٓ أَ َۡ ِم ََلٌ َمب فَ ََل حَقو ىٍَّ َمبٓ أ ف ََ ََّل حَ ۡىٍَ ۡسٌ َمب ََقو ىٍَّ َمب 9
ۡ ََ ٣٢ قَ َُّۡل َم ِسٌمب ُّ بح ۡ ٱخ ِف ِّٱىر ِّه ِم َه ٱىس َّۡد َم ِت ََقو زَّة َ َض ىٍَ َمب َجى ُظنمۡۚ إِن َ ًِۡٱز َدمۡ ٍ َمب َم َمب َزبٍََّبو ِ َّزبُّنمۡ أَ ۡعيَم بِ َمب فًِ وف٣٢ ص ِغٍسا ْ حَنُو ٰث َذا ۡٱىق ۡسبَى َ ِبن ىِ ۡۡلَ ٰ ََّب َ ٍه فَئِوًَّۥ َم َ صيِ ِذ َ ٰ ُا ِ ََ َءا٣٢ ٍه َغفُزا ٌه َ إِ َّن ۡٱىمبَ ِّر ِز٣٢ ٍو ََ ََّل حبَ ِّر ۡز حَ ۡب ِرٌسًا َ َدقًَّۥ ََ ۡٱى ِم ۡع ِن ِ ٍِه ََ ۡٱب َه ٱى َّعب َ ٰ ٍۡ بن ٱى َّش ََإِ َّمب٣٢ طه ىِ َسبِّ ًِۦ َمفُزا َ ٍه ََ َم ِ ِۖ َمبو ُٓ ْا إِ ۡخ ٰ َُ َن ٱى َّش ٍَٰ ِط ض َّه َع ۡىٍم ۡٱبخِ َغبٓ َء َز ۡد َمت ِّمه َّزب َِّل حَ ۡسجٌَُب فَقو ىٍَّمۡ قَ َُّۡل َ ح ۡع ِس ٣٢ َّم ٍۡعُزا Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia 24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil" 25. Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat 26. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros 27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya 28. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas (Somad, Dkk,1993 : 550-551.). 2.
Munasabah 10
Munasabah secara etimologi berarti kedekatan (al-muqarabah) dan kemiripan atau keserupaan (al-musyakalah). Ia juga bisa berarti hubungan atau persesuaian. Secara terminologi munasabah adalah ilmu Al-Quran yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar ayat atau surat dalam Al-Quran secara keseluruhan dan latar belakang penempatan tertib ayat dan suratnya. Menurut Shihab sebagaimana dikutip Baidan bahwa munasabahadalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayatayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya(Baidan, 2010
:
184-185).
Pendapat
lain
mengatakan
bahwa
munasabahmerupakan sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui alasan-alasan
penertiban
bagian-bagian
dari
Al-Quran.
Bahkan
pendapat lain mengatakan munasabah merupakan usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian, ilmu ini menjelaskan aspek-aspek hubungan antara beberapa ayat atau surat Al-Quran baik sebelum maupun sesudahnya. Hubungan tersebut bisa berupa hubungan am (umum) dan khas (khusus), antara yang abstrak dan yang kongkrit, antara sebab dan akibat, antara yang rasional dan yang irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiktif. Adapun yang menjadi ukuran (kriteria) dalam menerangkan macam-macam munasabahini dikembalikan kepada derajat kesesuaian (tamatsul atautasyabuh) antara aspek-aspek yang dibandingkannya. Jika munasabahitu terjadi pada masalah-masalah yang satu sebabnya
11
dan ada kaitan antara awal dan akhirnya, maka munasabahini dapat dipahami dan diterima akal. Sebaliknya, jika munasabahitu terjadi pada ayat-ayat yang berbeda sebabnya dan masalahnya tidak ada keserasian antara satu dengan lainnya, maka hal itu tidak dikatakan berhubungan (tanasub), karena sebagian ulama mengatakan:Munasabahadalah suatu urusan (masalah) yang dapat dipahami, jika ia dikemukakan terhadap akal, niscaya akal menerimanya” (Usman, 2009 : 161). Jadi dapat disimpulkan bahwa munasabahtermasuk hasil ijtihad mufasir, bukan tawqifi (petunjuk Nabi), buah penghayatannya terhadap kemukjizatan (i‟jaz) Al-Quran dan rahasia retorika (makna) yang dikandungnya(Supiana dan M. Karman, 2002 : 161-162.).
Adapun
letak persesuaian antara surat ini dengan surat an-Nahl dan sebabnya surat ini diletakkan sesudahnya adalah sebagai berikut : 1. Bahwa Allah SWT. pada surat An-Nahl menceritakan tentang perselisihan umat Yahudi mengenai hari Sabtu, sedang pada surat ini Allah menunjukkan Syari‟at Ahlus-Sabti (Syariat Yahudi) yang telah allah syari‟atkan dalam Taurat. Menurut riwayat yang dikeluarkan dari Ibni Jarir dan Ibnu Abbas, bahwa dia pernah mengatakan: Sesungguhnya isi Taurat seluruhnya terdapat pada lima belas ayat dari surat Bani Israil. 2. Bahwa setelah Allah SWT. memerintahkan Nabi SAW. supaya bersabar dan menahan agar jangan bersedih dan jangan bersempit dada terhadap tipu daya orang-orang Yahudi pada surat yang lalu,
12
maka pada surat ini Allah menyebutkan tentang kemuliaan Nabi-Nya dan keluhuran di sisi Tuhannya. 3. Pada surat yang lalu, Allah menyebutkan beberapa nikmat yang banyak, sehingga karenanya surat itu disebut surat An-Ni‟am. Maka, di sini pun Allah menyebut beberapa nikmat khusus maupun umum.
4. Pada surat yang lalu, Allah menyebutkan bahwa lebah mengeluarkan dari dalam perutnya suatu minuman yang bermacam-macam dan mengandung obat bagi manusia. Maka Allah berfirman dalam surat Al-Isra‟ ayat 82 yaitu:
ٍه ََ ََّل ٌَ ِصٌد َ ِان َمب ٌ َُ ِشفَبٓء ََ َز ۡد َمت ىِّ ۡيم ۡؤ ِمى ِ ََوىَ ِّصه ِم َه ۡٱىق ۡس َء ٰ ٢٣ ٍه إِ ََّّل َخ َعبزا َ ٱىظَّيِ ِم 82. Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. 5. Pada surat yang lalu, Allah SWT menyuruh supaya menyantuni kepada kerabat. Hal yang sama juga diperintahkan oleh Allah di samping diperintahkan pula agar memberi sesuatu kepada orang miskin dan ibnu sabil( Al-Maragi,1993 : 1-2.).
3.
Asbabun Nuzul Menurut bahasa “Asbabun Nuzul” berarti sebab-sebab turunnya ayatayat Al-Quran. Al-Quran di turunkan Allah SWT. kepada Muhammad SAW secara berangsur-angsur dalam masa kurang lebih 23
13
tahun. Al-Quran diturunkan untuk memperbaiki akidah, akhlak, ibadah dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Sebab turunnya ayat atau asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat) di sini dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan turunnya ayat-ayat tertentu. Berdasarkan rumusan di atas bahwa sebab turun suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu (Syadali dan Rofi‟i, 2000: 89-90). Surat ini mempunyai beberapa nama, antara lain yang paling populer adalah surat Al-Isra‟ dan surat Bani Isra‟il. Surat ini dinamakan al-Isra‟ karena awal ayat ini berbicara tentang Al-Isra‟ yang merupakan uraian yang tidak ditemukan secara tersurat selain pada surat ini. Demikian juga dengan nama Bani Isra‟il, karena hanya di sini diuraikan tentang pembinaan dan penghancuran Bani Isra‟il. Surat juga dinamakan dengan surat subhana karena awal ayatnya dimulai dengan kata tersebut. Nama yang populer bagi kumpulan ayat ini pada masa Nabi SAW. adalah surat Bani Isra‟il. Pakar hadits at-Tirmidzi meriwayatkan melalui Aisyah ra., istri Nabi bahwa Nabi SAW tidak akan tidur sebelum membaca surat Az-Zumar dan Bani Isra‟il. Surat ini menurut mayoritas ulama turun sebelum Nabi SAW berhijrah ke Madinah, dengan demikian ia merupakan salah satu surat makiyyah(Shihab, 2002: 401).
14
Surat Al-Isra‟ di turunkan di kota
Makkah, setelah turunnya surat Al-Qashas. Dalam urutan yang ada di dalam Al-Quran, surat Al-Isra‟ berada setelah surat Al-Nahl dan memiliki 111 ayat (Khalid, 2009: 339). Ada yang mengecualikan dua ayat, yaitu ayat 73 dan 74, dan ada yang menambahkan juga ayat 60 dan ayat 80. Masih ada pendapat lain menyangkut pengecualianpengecualian beberapa ayat Makiyyah. Pengecualian itu disebabkan karena ayat-ayat yang dimaksud dipahami sebagai ayat yang membicarakan tentang keadaan yang diduga terjadi pada periode Madinah, namun pemahaman tersebut tidak harus demikian. Karena itu penulis cenderung mendukung pendapat ulama yang menjadikan seluruh ayat surat ini Makiyyah. Memang peristiwa hijrah terjadi tidak lama setelah peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj Nabi SAW, yakni sekitar setahun lima bulan dan ini berarti turunnya surat ini pada tahun XII kenabian, di mana jumlah kaum muslimin ketika saat itu relatif banyak, walau harus diakui bahwa dibukanya surat ini dengan uraian tentang peristiwa Isra‟, belum tentu ia langsung turun sesudah peristiwa itu. Bisa saja ada ayat-ayat yang turun sebelumnya dan ada juga yang turun sesudahnya (Shihab,: 401402). Imam Al-Biqa‟i berpendapat bahwa tema utama surat ini adalah ajakan menuju ke hadirat Allah SWT., dan meninggalkan selain-Nya, karena hanya Allah pemilik rincian segala sesuatudan Dia juga yang mengutamakan sesuatu atas lainnya. Itulah yang dinamakan taqwa yang batas minimalnya adalah pengakuan Tauhid/Keesaan Allah SWT. Yang
15
juga menjadi pembuka surat yang lalu (An-Nahl) dan puncaknya adalah ihsan yang merupakan penutup uraian surat An-Nahl. Ihsan mengandung makna fana‟, yakni peleburan diri kepada Allah SWT. Semua nama-nama surat ini mengacu pada tema itu. Namun subhana yang mengandung makna penyucian Allah SWT. Merupakan nama yang paling jelas untuk tema itu, karena siapa yang Maha Suci dari segala kekurangan, maka dia sangat wajar untuk diarahkan kepadaNya semata-mata hanya untuk pengabdian dan berpaling dari selainNya. Demikian juga nama Bani Israil. Siapa yang mengetahui rincian keadaan mereka dan perjalanan mereka menuju negeri suci yaitu Bait Al-Maqdis yang mengandung makna isra‟, yaitu perjalanan malam, akan menyadari bahwa hanya Allah yang harus dituju. Dengan demikian, semua nama surat ini mengarah kepada tema utama yang disebut dengan aqidah. Thabathaba‟i sebagaimana dikutip Shihab berpendapat bahwa surat ini memaparkan tentang Keesaan Allah SWT dari segala macam persekutuan. Surat ini lebih menekankan sisi pensucian Allah dan sisi pujian kepada-Nya, karena itu berulang-ulang disebut di sini kata subhana (Maha Suci). Ini terlihat pada ayat 1, 43, 93, 108, bahkan penutup surat ini memuji-Nya dalam konteks bahwa Dia tidak memiliki anak, tidak juga sekutu dengan kerajaan-Nya dan Dia tidak membutuhkan penolong(Shihab, 402-403). B.
Pendapat Mufassir Klasik Tentang Penafsiran Surat Al-Isra 23-25
16
Menurut bahasa kata “tafsir” diambil dari kata “fassarayufassirutafsiran” yang artinya adalah keterangan, penjelasan atau menerangkan dan mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Tafsir Al-Quran adalah penjelasan atau keterangan-keterangan tentang firman Allah SWT. yang berhubungan dengan makna dan tujuan kandungan atau keterangan dan penjelasan tentang sesuatu kata atau kalimat yang digunakan di dalamnya (Yusuf, 2003: 79). Adapun pengertian tafsir secara istilah seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Al-Jazairi adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh para pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekati dengan jalan mengemukakan salah satu petunjuknya (dilalahnya). Imam Al-Kilabi mengartikan tafsir adalah menjelaskan ayatayat Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan tujuan yang dikehendaki oleh nash atau teks Al-Quran tersebut. Dari pengertian tafsir di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, atau pemahaman manusia dalam menyikapi nilai-nilai samawi atau nilai-nilai Ilahiyyah yang terdapat di dalam Al-Quran. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan dalam penafsiran Al-Quran sangat mungkin terjadi karena dipengaruhi oleh latar belakang, disiplin ilmu, metode dan corak yang digunakan oleh para penafsirnya sendiri (Yusuf, 2003.: 79-80).
ٓ َّ ِض ٰى َزب َُّل أَ ََّّل حَ ۡعبد َٓ ْا إ َّل إٌَِّبي َ َََق
17
Maksud dari potongan ayat di atas adalah Tuhanmu memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia, karena ibadah adalah puncak pengagungan yang tidak patut dilakukan kecuali terhadap Tuhan yang dari padanyalah keluar kenikmatan dan anugerah atas hamba-hamba-Nya, dan tidak ada yang dapat memberi nikmat kecuali Dia(Al-Maraghiy,: 58.). Dalam tafsir Imam Qurthubi dinyatakan bahwa kata Qodhoo itu artinya memerintahkan (amara), mengharuskan (alzama), dan mewajibkan (awjaba). Ibnu Abbas, Hasan, dan Qatadah berkata: “Qodhoo di sini bukanlah qodhoo yang berarti memutuskan suatu perkara (qodho‟uhukmin), melainkan qodhoo yang berarti memerintahkan suatu perkara (qodho amri)”(Al-Fahham, 2006: 133). Kata ”qodhoo” Maksudnya memerintahkan, semua perintah mengandung konsekuensi hukum wajib (Ya‟kubi dan Shadik,; 18). Menurut Imam Nawawi dalam kitab Murohu Lubaid tafsir anNawawi perintah di sini adalah perintah yang mewajibkan(An-Nawawi, 2009: 476.). Menurut Ibn Abbas, Hasan dan Qatadah, Allah telah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya dan mentauhidkan (mengesakan) Dzatnya. Selanjutnya Allah telah menjadikan perbuatan berbakti kepada kedua orangtua sebagai kewajiban yang berkaitan dengan hal itu, sebagaimana Dia juga mengaitkan antara syukur (berterima kasih) kepada orang tua dengan syukur kepada-Nya(Al-Fahham,: 133-134).
ََبِ ۡٲى ٰ َُىِ َد ٌۡ ِه إِ ۡد ٰ َعىً ۚب Maksud dari potongan ayat di atas adalah agar kamu berbuat baik dan kebajikan terhadap orang tua, supaya Allah telah menyertai kamu(Al-
18
Maraghiy,:58). Yang dimaksud dengan kata “ihsan” atau berbuat baik dalam ayat tersebut adalah berbakti kepada keduanya yang bertujuan untuk mengingat kebaikan orang tua karena sesungguhnya dengan adanya orang tua seorang anak itu ada dan Allah menguatkan hak-hak orang tua dengan memposisikan di bawah kedudukan setelah beribadah kepada Allah yakni mengtauhidkan Allah(Al-Ansari, 375.). Allah mengurutkan kedua amal tersebut dengan menggunakan lafazh tsumma yang memberikan pengertian “tertib” atau “teratur”. Dalam tafsir Al-Munir karya Wahban Az-Zuhaili dijelaskan bahwa Allah sering mengaitkan antara perintah untuk beribadah kepadanya dengan perintah untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua dengan cara memperlakukan mereka berdua dengan perlakuan yang baik dan sempurna. Hal itu disebabkan karena kedudukan mereka berdua di bawah kedudukan Allah. Yang merupakan sebab hakiki (yang sesungguhnya) dari keberadaan manusia (di muka bumi). Adapun mereka berdua (keduanya) hanyalah merupakan sebab zhahiri (yang nampak) dari keberadaan anak-anak, di mana mereka berdua akan mendidik mereka dalam suasana yang penuh dengan cinta, kelembutan, kasih sayang, dan sikap mengutamakan anak dari pada diri mereka berdua. Oleh karena itu, di antara sikap yang menunjukkan kesetiaan dan muru‟ah seorang anak adalah membalas kebaikan mereka berdua itu, baik dengan cara memperlihatkan perilaku yang baik dan akhlak yang disenangi maupun dengan memberikan bantuan berupa materi jika mereka berdua memang membutuhkannya dan jika sang anak memang mampu melakukan hal tersebut (Al-Fahham,: 135).
19
ك ۡٱى ِنبَ َس أَ َددٌ َمبٓ أَ َۡ ِم ََلٌ َمب فَ ََل حَقو ىٍَّ َمبٓ أف ََ ََّل َ إِ َّمب ٌَ ۡبي َغ َّه ِعى َد حَ ۡىٍَ ۡسٌ َمب Maksud dari potongan ayat di atas adalah apabila kedua orang tua atau salah seorang di antaranya berada di sisimu hingga mencapai keadaan lemah, tidak berdaya dan tetap berada di sisi mereka berdua pada awal umurmu, maka kamu wajib belas kasih dan sayang terhadap keduanya. Kamu harus memperlakukan kepada keduanya sebagaimana orang yang bersyukur terhadap orang yang telah memberi karunia kepadanya. Ibnu Jarir dan Ibnu Munzir telah mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu AI-Haddaj yang katanya: Pernah saya berkata kepada Sa‟id bin Al-Musayyab, segala apa yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Quran mengenai birru i-walidain, saya telah tahu, kecuali firman-Nya:
ََقو ىٍَّ َمب قَ َُّۡل َم ِس ٌْ ًمب Apa yang dimaksud perkataan yang mulia di sini? Maka, berkatalah Ibnu AI-Musayyab: yaitu seperti perkataan seorang budak yang berdosa di hadapan tuannya yang galak (Al-Maraghiy, : 61-62.) Menurut imam Jalalain dalam kitabnya tafsir jalalain yang dimaksud dengan perkataan yang mulia adalah perkataan yang yang baik dan sopan (jamilan layyinan), (Jalalain: 230.) begitu juga menurut imam Nawawi perkataan yang mulia yakni perkataan yang lembut dan baik yang bertujuan untuk
menghormati
(An-Nawawi:
476).
Setelah
Allah
melarang
melontarkan ucapan buruk dan perbuatan tercela, maka Allah SWT.
20
menyuruh berkata-kata baik dan berbuat baik kepada keduanya (Ishaq Alu Syaikh,1994: 238).
ۡ ََ ُّ ض ىٍَ َمب َجىَب َح ۡ ِٱخف ٱىر ِّه ِم َه ٱىس َّۡد َم ِت Maksud potongan ayat di atas adalah rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan adalah hendaknya seorang anak selalu menyenangkan hati kedua orang tuanya berapapun besarnya, baik itu dengan perkataan, dengan sikap dan perangai yang baik, dan jangan sekalikali menyebabkan mereka itu murka atau benci atas putra-putrinya (Hasan, 2000: 86-87.). Dalam Kitab Tafsir Imam Qurthubi menjelaskan Allah SWT telah menyebutkan aspek pendidikan (yang dilakukan oleh kedua orang tua) itu secara khusus dengan maksud agar seorang hamba mau mengingat akan kasih sayang kedua orang tua kepada anaknya serta rasa letih yang telah dirasakan oleh mereka berdua dalam mendidik anaknya. Hal ini dapat menambah rasa sayang dan cinta dalam hati seorang hamba kepada orang tuanya(Al-Fahham,: 135-136).
٣٢ ص ِغٍسا َ ًِزَّةِّ ۡٱز َدمۡ ٍ َمب َم َمب َزبٍََّبو Maksud dari potongan ayat di atas adalah ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” adalah janganlah kamu merasa cukup dengan kasih sayangmu yang telah kamu berikan kepada mereka berdua, karena
21
kasih sayangmu itu tidaklah kekal. Akan tetapi, hendaklah kamu berdoa kepada Allah agar dia mengasihi keduanya dengan kasihnya yang kekal, dan jadikanlah do‟a itu sebagai balasan atas kasih sayang dan pendidikan yang telah mereka berikan kepadamu saat kamu masih kecil.
ْ ُظنمۡۚ إِن حَنُو ٍه َ ِبن ىِ ۡۡلَ ٰ ََّب َ ٍه فَئِوًَّۥ َم َ صيِ ِذ َ ٰ ُا ِ َّزبُّنمۡ أَ ۡعيَم بِ َمب فًِ وف ٣٢ َغفُزا Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, baik berupa perasaan berbakti dan menyakiti jika kamu orangorang yang baik yakni orang-orang yang taat kepada Allah, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang orang yang bertaubat yakni orang-orang yang kembali kepada Allah dengan berbuat taat kepadaNya (Abu Bakar, 1990: 1137). Jadi
dapat
disimpulkan
bahwa
nilai-nilai
pendidikan
yang
terkandung dalam Q.S. Al-Isra‟ ayat 23-25 menurut mufasir klasik yaitu berisi tentang pendidikan tauhid (mengesakan Allah) dan pendidikan akhlak birrul walidaini yang mana keduanya saling keterkaitan. Di sini Allah menempatkan posisi berbuat baik kepada orang tua langsung di bawah posisi pengesaan Allah dan penghambaan kepada-Nya tanpa disela dengan apapun. Menurut Imam An Naisaburi dalam tafsirnya bahwa Allah sengaja menempatkan berbuat baik kepada orang tua langsung setelah ibadah kepada Allah karena keeratan korelasinya dengan ibadah, diantaranya :
22
1. Keduanya adalah fasilitator kelahiran mereka di muka bumi sekaligus fasilitator pendidikan mereka. Tidak ada persembahan yang lebih agung setelah persembahan Allah daripada persembahan orang tua. 2. Pemberian mereka mirip seperti pemberian Allah karena keduanya tidak meminta pujian maupun pahala dibalik pemberiannya. 3. Allah SWT tidak pernah jemu memberi kenikmatan pada hamba, mesti hamba-Nya melakukan dosa besar sekalipun. Begitu juga orang tua, mereka tidak akan memutuskan aliran kemurahan mereka pada anaknya meskipun ia tidak berbakti kepadanya. 4. Sama seperti Allah yang hanya menginginkan kebaikan bagi hambaNya, orang tua pun hanya menginginkan kesempurnaan bagi anaknya. Seorang anak tidak akan bisa sempurna kecuali berkat peran dan obsesi ayahnya. Buktinya, orangtua tidak pernah iri pada anaknya meskipun ia diungguli dan anak lebih baik dari pada diri mereka, bahkan justru mereka senang dan mendambakannya. Sebaliknya seorang anak tidak menginginkan jika ada orang lain yang lebih baik dari pada dirinya.
C.
Pendapat Mufassir Kontemporer Tentang Penafsiran Surat Al-Isra 2325 Menyikapi tentang perkembangan zaman yang semakin maju dan semakin beraneka ragamnya problematika sosial yang terjadi, para mufassir memberikan sedikitnya sentuhan inovasi dalam menginterpretasikan
23
pemahaman wahyu, melihat dari semua apa yang terjadi di dunia ini pasti akan selalu berhubungan dengan sebab dan akibat, seperti kata berikut:
ْاىذ ْنم ٌَد َْز َم َع ْاى ِعيِّ ِت َج ُْ ًدا ََ َع َد ًمب Artinya: Hukum selalu berhubungan dengan ada dan tidaknya sebab. Melihat dari keberadaan kaidah tersebut maka inovasi dalam penafsiran ayat wajib hukumnya. Seperti yang dituturkan para ulama berikut:
ٓ َّ ِض ٰى َزب َُّل أَ ََّّل حَ ۡعبد َٓ ْا إ َّل إٌَِّبي َ َََق Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu telah menetapkan sesuatuketetapan
yang
harus
dilaksanakan
yaitu
jangan
engkau
menyembah selain Dia (Ash-Shiddieqy,: 812). Agar tidak menyembah tuhan-tuhan yang lain selain Dia. Termasuk pada pengertian menyembah tuhan selain Allah yakni mempercayai adanya kekuatan lain yang dapat mempengaruhi jiwa dan raga, selain kekuatan yang datang dari Allah. Semua benda yang ada yang kelihatan ataupun yang tidak adalah makhluk Allah(Menteri Agama Republik Indonesia: 343).
Thahir Ibn Asyur
menilai ayat ini dan ayat-ayat berikutnya merupakan perincian tentang syari‟at Islam yang ketika turunnya merupakan perincian pertama yang disampaikan kepada kaum muslimin agar di Mekkah. Menurut Sayyid Quthb sebagaimana dikutip Shihab, ayat ini berkaitan dengan tauhid (mengesakan Allah), bahkan dengan tauhid itu dikaitkan dengan segala ikatan dan hubungan, seperti ikatan keluarga, kelompok, bahkan ikatan hidup (Shihab: 62). Menurut Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh dalam Tafsir Ibn Katsiir Allah berfirman seraya
24
memerintahkan agar hamba-Nya hanya beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya (Ishaq Alu Syaikh, 1990: 238). Begitu juga menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam bukunya Tafsir Al-Azhar pada ayat 22 di atas tujuan hidup dalam dunia ini telah dijelaskan yaitu mengakui hanya satu Tuhan itu yakni Allah SWT. barangsiapa mempersekutukan-Nya dengan yang lain maka akan tercela dan terhina. Pengakuan bahwa hanya satu Tuhan tiada bersyarikat dan bersekutu dengan yang lain. Bahwasanya Tuhan Allah itu sendiri yang menentukan, yang memerintah dan memutuskan bahwa Dialah yang mesti disembah, dipuji dan dipuja. Dan tidak boleh dan dilarang keras menyembah selain Dia. Oleh sebab itu, maka cara beribadah kepada Allah, Allah sendirilah yang menentukan. Maka tidak pulalah sah ibadah kepada Allah yang hanya dikarang-karangkan sendiri. Untuk menunjukkan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia mengutus Rasul-rasul-Nya. ( Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), 1999 : 4030).
ََبِ ۡٲى ٰ َُىِ َد ٌۡ ِه إِ ۡد ٰ َعىً ۚب Maksud dari ayat di atas adalah supaya berbuat ihsan kepada ibu bapak (Hasbi Ash-Shiddieqy, tt : 812) yakni berbuat baik kepada keduanya dengan sikap sebaik-baiknya. Allah memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada ibu bapak sesudah memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya. Dengan maksud agar manusia memahami betapa pentingnya berbuat baik terhadap ibu bapak dan mensyukuri kebaikan mereka seperti
25
betapa besarnya penderitaan yang telah mereka rasakan pada saat melahirkan, betapa pula banyaknya kesulitan dalam mencari nafkah dan dalam mengasuh serta mendidik putra-putra mereka dengan penuh kasih sayang. Maka pantaslah apabila berbuat baik kepada kedua ibu bapak, dijadikan sebagai kewajiban yang paling penting diantara kewajibankewajiban yang lain dan diletakkan Allah dalam urutan kedua sesudah kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa. Menurut Ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Bayaan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan tugas yang pertama sesudah beriman (Ash-Shiddieqy, tt : 817) Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam lanjutan ayat ini terang sekali bahwasanya berkhidmat kepada ibu bapak, menghormati kedua orang tua yang telah menjadikan sebab bagi manusia dapat hidup di dunia ini ialah kewajiban yang kedua sesudah beribadah kepada Allah.( Haji Abdul Malik Karim Amrullah,: 4031.) Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil-Quran bahwa sebuah ikatan yang pertama sesudah ikatan akidah adalah ikatan keluarga. Atas dasar inilah susunan ayat mengaitkan berbakti kepada kedua orang tua dengan pengabdian kepada Allah, sebagai deklarasi akan tingginya nilai berbakti kepada keduanya di sisi Allah( Quthb, 2003: 248).
ّ ك ۡٱى ِنبَ َس أَ َددٌ َمبٓ أَ َۡ ِم ََلٌ َمب فَ ََل حَقــــــــــــو ىٍَّ َمبٓ أ ف َ إِ َّمب ٌَ ۡبي َغ َّه ِعى َد ََ ََّل حَ ۡىٍَ ۡسٌ َمب
26
Maksud dari ayat di atas adalah jika usia keduanya atau salah seorang di antara keduanya, ibu dan bapak itu sampai meninggal tua sehingga tak kuasa lagi hidup sendiri sudah sangat bergantung kepada belas kasih puteranya hendaknya sabar dan berlapang hati memelihara orang tua. Bertambah tua terkadang bertambah dia seperti kanak-kanak seperti dia minta dibujuk, mintabelas kasihan anak. Terkadang ada juga bawaan orang tua membosankan anak, maka janganlah keluar dari mulut seorang anak walaupun itu satu kalimat yang mengandung rasa bosan atau jengkel disaat memelihara orang tua (Amrullah,: 4031).
ََقو ىٍَّ َمب قَ َُّۡل َم ِسٌمب Maksud dari ayat di atas adalah hendaklah katakan kepada kedua orangtua dengan perkataan yang mulia, yang pantas, kata-kata yang keluar dari mulut orang yang beradab, sopan dan santun (Amrullah,: 4033).
ۡ ََ ُّ ض ىٍَ َمب َجىَب َح ۡ ِٱخف ٱىر ِّه ِم َه ٱىس َّۡد َمت Maksud dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan agar merendahkan diri kepada kedua orang tua dengan penuh kasih sayang. Yang dimaksud dengan merendahkan diri dalam ayat ini adalah mentaati apa yang mereka perintah selama perintah itu tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan syara‟. Taat anak kepada kedua orang tuanya merupakan tanda kasih sayang kepada kedua orang tuanya yang sangat diharapkan
terutama
pada
saat
keduanya
sangat
memerlukan
pertolongannya. Menurut Shihab dalam Tafsir AL-Misbah Pada ayat ini
27
tidak membedakan antara ibu dan bapak. Memang pada dasarnya ibu hendaknya didahulukan atas ayah, tetapi ini tidak selalu demikian. Thahir Ibn Asyur sebagaimana dikutip Shihab menulis bahwa Imam Syafi‟i pada dasarnya mempersamakan keduanya sehingga bila ada salah satu yang hendak didahulukan, sang anak hendaknya mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah satunya. Karena itu pula, walaupun ada hadits yang mengisyaratkan perbandingan hak ibu dengan bapak sebagai tiga dibanding satu, penerapannya pun harus setelah memperhatikan faktorfaktor yang dimaksud (Shihab, : 67).
ص ِغٍسا َ ًِزَّةِّ ۡٱز َدمۡ ٍ َمب َم َمب َزبٍََّبو Maksud dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan untuk mendoakan kedua orang tua mereka, agar diberi limpahan kasih sayang Allah sebagai imbalan dari kasih sayang kedua orang tua itu dengan mendidik mereka ketika masih kanak-kanak (Menteri Agama Republik Indonesia: 556-557). Hanya saja ulama menegaskan bahwa doa kepada orang tua yang dianjurkan di sini adalah bagi yang muslim, baik masih hidup maupun telah meninggal. Sedangkan bila ayah atau ibu yang tidak beragama Islam telah meninggal terlarang bagi anak untuk mendoakannya. Al-Quran mengingatkan bahwa ada suri tauladan yang baik bagi kaum muslimin dari seluruh kehidupan Nabi Ibrahim As (Shihab, 68).
ْ َّزبُّنمۡ أَ ۡعيَم بِ َمب فًِ وفُ ِظنمۡۚ إِن حَنُو صيِ ِذٍهَ فَئِوًَّۥ َمبنَ ىِ ۡۡلَ ٰ ََّ ِبٍهَ َغفُزا َ ٰ ُا
28
Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, mengenai seseorang yang terburu nafsu mengucapkan kata-kata yang tidak sopan terhadap ayah ibunya, padahal bukan bermaksud menyakiti hati mereka, atau melakukan sesuatu perbuatan yang keliru, padahal dalam hatinya bermaksud baik dengan perbuatan itu, maka allah berfirman: “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu”(Salim dan Said Bahreisy, 1990: 34). Syu‟bah menceritakan dari Yahya bin Sa‟id dari Said bin alMusayyab, ia mengatakan: “awwaabiin ialah orang-orang yang berbuat dosa lalu bertaubat, berbuat dosa lalu bertaubat.” Demikian juga yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ma‟mar, Atha‟ bin Yasar, Said bin Jubair dan Mujahid mengatakan: “awwaabiin ialah orang-orang yang kembali kepada kebaikan”. Ibnu Jarir berkata: “di antara pendapat-pendapat tersebut yang paling tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa awwaabiin ialah orang yang bertaubat dari dosa dan meninggalkan maksiat menuju kepada ketaatan, bertolak dari apa yang dibenci Allah menuju kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya.” Apa yang dikatakan Ibnu Jarir inilah yang benar karena kata awwaabiin (orang-orang yang kembali) diambil dari kata al-aub yang berarti kembali (Ishaq Ahlu Syaikh,: 241). Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S. Al-Isra‟ ayat 23-25 menurut mufasir kontemporer 29
yaitu berisi tentang pendidikan tauhid (mengesakan Allah) dan pendidikan birrul walidaini yang mana keduanya saling keterkaitan. Keyakinan akan keesaan Allah serta kewajiban mengikhlaskan diri kepada-Nya adalah dasar yang padanya bertitik tolak segala kegiatan. Setelah itu kewajiban pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan Allah dan beribadah kepada-Nya
adalah
berbakti
kepada
kedua
orang
tua.
Allah
memerintahkan berbuat baik terhadap kedua orang tua dikarenakan sebabsebab sebagai berikut : 1. Wajib berbakti kepada kedua orang tua karena kedua orang tua itulah yang memberi belas kasih kepada anaknya, telah bersusah payah dalam memberikan kebaikan kepadanya dan menghindarkan dari bahaya. 2. Wajib bersyukur kepada kedua orang tua karena merekalah yang telah memberikan kenikmatan kepada anak, yang dalam keadaan lemah dan tidak berdaya sedikitpun. Oleh karena itu, wajib hal itu di balas dengan rasa syukur ketika kedua orang tua itu telah lanjut usia.
30
BAB III Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Surat Al-Isra’ 23-25
A.
Pendidikan Tauhid Secara bahasa tauhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidutauhiidan, yang berarti menjadikan sesuatu satu(Ristianto, 2010 : 1). Secara syara‟ tauhid berarti mengesakan Allah dalam penciptaan dan pengaturan, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya dan meninggalkan ibadah kepada yang lain, menetapkan Asmaul Husna dan Sifat yang Mulia bagi-Nya, dan membersihkan-Nya dari sifat kurang dan tercela (Ristianto, 2010 : 1). jadi pengertian tauhid adalah meng-Esakan Allah dengan beribadah kepada-Nya, yakni agama yang disampaikan oleh para rasul Allah yang berisi tentang tauhid untuk hamba-Nya. Allah SWT dalam ayat-ayat-Nya memerintahkan untuk menyembah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan selalu mengabdi kepada-Nya. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra‟ ayat 23 yaitu:
ٓ َّ ِض ٰى َزب َُّل أَ ََّّل حَ ۡعبد َٓ ْا إ َّل إٌَِّبي َ َََق Maksud dari potongan ayat di atas adalah dan Tuhanmu memerintahkan agar kamu (manusia) jangan menyembah selain Dia, karena ibadah adalah puncak pengagungan yang tidak patut dilakukan kecuali terhadap Tuhan (Allah). Dari pada-Nyalah keluar kenikmatan dan anugerah atas hamba-hambanya dan tidak ada yang dapat memberi kenikmatan kecuali Dia (Allah) (al-Maraghi, 1993 : 59). Allah SWT melarang manusia mengada-adakan tuhan yang lain selain Allah, seperti menyembah patung 31
dan arwah nenek moyang dengan maksud supaya dapat mendekatkan diri kepadanya. Termasuk yang dilarang itu ialah meyakini adanya tuhan selain Allah mengakui adanya kekuasaan yang lain selain Allah yang dapat mempengaruhi dirinya, ataupun kekuatan ghaib yang lain. Larangan ini ditujukan kepada seluruh manusia, agar mereka tidak tersesat dan tidak menyesal karena melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan terhadap penciptanya. Padahal mereka seharusnya mensyukuri nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka, tidak mengada-adakan Tuhan yang lain, yang lain sebenarnya tidak berkuasa sedikitpun untuk memberikan pertolongan kepada mereka, dan tidak berdaya pula untuk memberi mudarat (Departemen Agama, 1993 : 553). Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan-Nya dalam ibadah dan dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan Allah dengan apa pun atau siapa pun (al-Qarni, 2007 : 488). Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan alam dan semua isinya. Dialah yang memberikan kehidupan dan kenikmatan pada seluruh makhluk-Nya. Maka apabila ada manusia yang memuja-muja benda-benda alam ataupun kekuatan ghaib yang lain, berarti ia telah sesat, karena kesemua benda-benda itu adalah makhluk Allah yang tak berkuasa memberi manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan serta tak berhak disembah (Departemen Agama, 1993 : 545). Ini
merupakan
perintah
untuk
mengesakan
Allah
dalam
penyembahan sesudah larangan berlaku syirik. Perintah yang diungkapkan dengan gaya keputusan, perintah yang bersifat niscaya seperti keniscayaan 32
sebuah keputusan pengabdian. Dalam ayat ini memberi frame pada perintah yang ada berupa penekanan, disamping menekan khusus atas masalah ini, yang dapat dilihat peniadaan, pengecualian dan penekanan masalah tauhid dalam kehidupan(Quthb, 2003 : 248). Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu sesuai dengan keyakinan tadi. Oleh karena itu, iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam perbuatan (Taufiq dan Rohmadi, 2010 : 12). Pengakuan atas keesaan Allah mengandung kesempurnaan dan kepercayaan kepadanya dari dua segi, yakni segi rububiyyah dan segi uluhiyyah. Rububiyyah ialah pengakuan terhadap keesaan Allah sebagai Dzat Yang Maha Pencipta, Pemelihara dan memiliki semua sifat kesempurnaan. Sedangkan uluhiyyah ialah komitmen manusia kepada Allah sebagai satu-satunya Dzat yang dipuji dan disembah. Komitmen kepada Allah itu terwujud dalam sikap pasrah, tunduk dan patuh sepenuh hati sehingga seluruh amal perbuatan bahkan hidup dan mati seseorang sematamata hanya untuk Allah Swt (Achmadi, 2010 : 87). Manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Allah Swt. dalam konteks ini menyadari sepenuhnya bahwa dibalik kekuasaan yang ada pada manusia ini, ada kekuasaan lain Yang Maha Besar yang menciptakan dan menguasai segala segi dari hidup dan kehidupan manusia di dunia ini. Ia akan selalu berbuat kebajikan dalam kehidupan ini, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap masyarakat dan terhadap alam di sekitarnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Swt (Al-Munawar, 2002 : 351-352).
33
Zat Allah jelas tidak dapat kita tangkap dengan indera, akan tetapi Al-Quran memberikan informasi tentang adanya Tuhan dengan sifat-Nya yang sempurna. Dari ayat-ayat yang bertebaran di dalam Al-Quran disimpulkan bahwa ada 99 nama Tuhan yang mulia (asma‟ al-husna) yang menggambarkan sifat-Nya Yang Sempurna. Memperhatikan sifat-sifat Tuhan itu semua dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Tuhan memiliki berbagai sifat yang tidak ada bandingannya. Sebagai Tuhan, Dia tidak bekerja sama dengan makhluk-Nya. Dia menciptakan karena itu semua makhluk hanya tunduk dan patuh kepada-Nya. Orang atau makhluk tidak berhak untuk dengan Dia, Yang Maha Pencipta. Dia berkuasa, berilmu dan dapat bertindak apa saja jika Dia menghendaki. Menyembah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah ajaran inti agama (Islam). Sikap tauhid adalah meyakini dan mempercayai bahwa Allah Esa Zat-Nya, Sifat-Nya, Perbuatan-Nya, Wujud-Nya. Dia juga Esa Memberi Hukum, Esa Menerima Ibadah, Esa dalam Memberi Perlindungan kepada makhluk-Nya. Kepercayaan dan amal-amal ibadah akan menjadi rusak bila sikap tauhid (akidah) labil dan lemah. Menurut Shihab dan ulama tafsir bahwa Keesaan Allah itu mencakup : 1.
KeEsaan Zat Keesaan Zat-Nya mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah tidak terdiri dari unsur atau bagian-bagian, karena jika zat yang mana kuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih, maka itu berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Sedangkan
34
semua unsur yang ada, Dia tidak membutuhkannya. Ini yang dimaksudkan. Allah berfirman dalam surat Faatthir ayat 15 yaitu:
َّ ََ ِٱّلل ِۖ َّ ٌَٰٓأٌٍََُّب ٱىىَّبض أَوخم ۡٱىفقَ َس ٓاء إِىَى ٱّلل ٌ َُ ۡٱى َغىِ ًُّ ۡٱى َذ ِمٍد Artinya: “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” 2.
Keesaan Sifat Adapun Keesaan sifat-Nya antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi (isi) dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan untuk menunjukkan sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata rahim merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjukkan rahmat atas kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya. Allah berfirman dalam surat Al-A‟raaf ayat 180 yaitu:
ْ ََ ِ َّّللِ ۡٱۡلَ ۡظ َمبٓء ۡٱىذ ۡعىَ ٰى فَ ۡٲدعُي بٍَِ ِۖب ََ َذز ٌه َ َا ٱىَّ ِر ْ َن فِ ًٓ أَ ۡظ ٰ َٓمئِ ِۚۦً َظٍ ۡج َص َۡ َن َمب َمبو ُن َ ُا ٌَ ۡع َمي َ ٌ ۡي ِذد 180. “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orangorang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) namanama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” 3.
Keesaan Perbuatan
35
Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam raya ini baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujudnya semuanya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang dikehendakiNya terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya (untuk memperoleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk menolak moderat) kecuali bersumber dari Allah SWT. Allah berfirman dalam surat Yaasiin ayat 83 yaitu:
ُن َ فَع ۡب ٰ َذ َه ٱىَّ ِري بٍَِ ِدِۦي َميَنُث موِّ َش ًۡ ٖء ََإِىَ ٍۡ ًِ ح ۡس َجع 83. “Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” 4.
Keesaan dalam Beribadah Kepada-Nya Kalau ketiga Keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus
diketahui dan diyakini, maka Keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna Keesaan terdahulu. Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat, salah satu ragamnya yang makin jelas adalah amalan yang ditetapkan cara atau kadarnya langsung oleh Allah atau melalui Rasul-Nya, dikenal dengan istilah ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan karena Allah. Allah berfirman dalam surat Al-An‟aam ayat 162 yaitu:
ٍه َ بي ََ َم َمبحًِ ِ َّّللِ َزةِّ ۡٱى ٰ َعيَ ِم َ ٍَص ََلحًِ ََوع ِنً ََ َم ۡذ َ ق ۡو إِ َّن
36
Artinya:
“Katakanlah:
sesungguhnya
sembahyangku,
ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.( Mumi Jamal, Dkk, 2005 : 754-758). Adapun cara-cara untuk memelihara ketauhidan adalah pertama, Dengan selalu menambah ilmu pengetahuan (terutama ilmu-ilmu agama). Kunci dari semua kehidupan dan iptek tentu ada di dalam kandungan AlQuran. Oleh karena itu, hendaklah kita dapat menyimak dan mengkaji apa yang ada dalam kandungannya, agar kita tidak menjadi manusia yang lemah imannya dan sombong. Firman Allah dalam Q.S Al-Mujadalah ayat 11:
ْ ٌه أَح ْ ٌه َءا َمى َّ ََ ج َّ ٌَ ۡسفَ ِع ٱّلل بِ َمب َ ُا ِمىنمۡ ََٱىَّ ِر َ ٱّلل ٱىَّ ِر ٖ ۚ ُا ۡٱى ِع ۡي َم َد َز ٰ َج ُن َخبٍِس َ حَ ۡع َمي “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” Banyak
gambaran
dari
Al-Quran
dan
As-Sunnah
yang
mengungkapkan tentang keagungan Allah. Jika seseorang Muslim mau memperhatikan ayat-ayat Allah, tentu hatinya akan bergetar dan jiwanya akan tunduk dan patuh kepada Dzat Yang Maha Agung, anggota-anggota jasmaniahnya akan tunduk dan patuh kepada Dzat Yang Maha Tinggi dan Maha Berkuasa, serta kekhusu‟annya akan semakin bertambah kepada Allah SWT. Jelaslah bahwa dengan bertambahnya ilmu, iman seseorang akan lebih mantap, lebih kokoh, dan tindak tanduknya selalu mengingat
37
keagungan dan kebesaran Ilahi. Ilmu yang dimaksud tersebut adalah ilmu tentang alam (sunatullah) serta ilmu tentang agama Allah SWT(dinnullah), sebab keduanya merupakan kebenaran yang datangnya dari Allah. Kedua, Memperbanyak amal shaleh (terutama shalat). Dalam tarikh, para sahabat Nabi SAW akan mempergunakan dengan sebaik-baiknya pada setiap kesempatan yang ada untuk selalu beramal shaleh. Seperti apa yang dituturkan Abu Bakar As-Shiddiq, “tatkala ditanya oleh Rasulullah SAW “Siapakah diantara kamu sekalian yang berpuasa pada hari ini?” Abu Bakar menjawab, “saya”. Beliau bertanya lagi, “lalu siapakah di antara kamu yang menjenguk orang sakit pada hari ini?” Abu Bakar menjawab lagi, “Saya.” Lalu Rasulullah SAW berkata, “Tidaklah amal-amal ini menyatu dalam diri seseorang melainkan dia akan masuk Surga(Sueb, 1996 : 60-66). Dalam tarikh di atas menunjukkan kepada kita bahwa Abu Bakar As-Siddiq ra, sangat antusias dalam mempergunakan setiap kesempatan untuk memperbanyak ibadah. Jadi, bukan hanya dari amalan-amalan shalatnya, meskipun shalat adalah perkara fardhu. Dalam Al-Quran Surat Thaha ayat 14, Allah berfirman:
َّ ََأَقِ ِم ٱى ي ٓ صيَ ُٰةَ ىِ ِر ۡم ِس Artinya: “dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” Nabi muhammad Saw telah mengatakan dengan tegas, bahwa shalat itu baru akan membawa hasil jika apa yang dibaca di dalam shalat dimengertinya. “tidaklah dari seseorang muslim yang berwudhu maka dimengerti yang diucapkan, melainkan setelah shalat selesai shalat itu
38
adalah seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya (tidak berdosa). Allah SWT tidak melarang kita dalam meraih kesenangan duniawi. Dan dalam pengejaran tersebut kita harus menyesuaikan dengan tuntunan norma ajaran agama yang telah ditetapkan nya serta didasari karena ketaatan kita kepada Allah SWT. Jadi, kita dalam mencari rizqi di dunia ini bukan semata-mata rakus duniawi dalam segi harta benda dan yang sejenisnya, yang memabukkan. Ketiga, Menjauhi Segala yang dilarang Allah dan Rasulnya. Allah SWT menyerukan kepada manusia agar menjauhi apa-apa yang dilarang oleh Allah karena dikhawatirkan manusia akan berjalan di luar garis yang telah
ditentukannya.
Jangankan
menyimpang,
mendekati
laranganlarangannya pun maka dikhawatirkan manusia akan terperosok di dalamnya. Terperosoknya manusia kepada hal-hal yang ingkar, tentu saja akan banyak membawa kepada kehidupan kelak di akhiratnya (Sueb, 6066.). Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan tauhid pada ayat ini adalah Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan dan menyembah kepada-Nya, serta melarang menyekutukan Allah dengan apapun oleh sebab itu yang berhak disembah hanyalah Allah yang telah menciptakan alam dan semua isinya. Maka apabila ada manusia yang memuja benda-benda alam ataupun kekuatan ghaib berarti ia telah sesat, karena kesemua benda-benda itu adalah makhluk Allah yang tak berkuasa memberi manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan serta tak berhak disembah.
39
B.
Pendidikan Birul Walidaini Menurut keluasan pengertiannya, istilah Al-Birr meliputi aspek kemanusiaan dan pertanggungjawaban ibadah kepada Allah SWT. dalam jalur hubungan kemanusiaan dalam atau hubungan hidup keluarga dan masyarakat wajib dipahami bahwa kedua orang tua yaitu ayah dan ibu menduduki posisi yang paling utama. Walaupun demikian, kewajiban beribadah kepada Allah dan taat kepada Rasul tetap berada di atas hubungan horisontal kemanusiaan. Berarti bahwa, dalam tertib kewajiban berbakti, mengabdi dan menghormati kedua orang tua (ayah dan ibu) menjadi giliran berikutnya setelah beribadah kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Motivasi atau dorongan dan kehendak berbuat baik kepada orang tua (birrul walidaini) telah menjadi salah satu akhlak yang mulia (mahmudah). Dorongan dan kehendak tersebut harus tertanam sedemikian rupa, sebab pada hakikatnya hanya bapak dan ibulah yang paling besar dan banyak berjasa kepada setiap anak-anaknya. Ayah adalah penanggung jawab dan pelindung anak dalam segala hal, baik segi ekonomi, keamanan, kesehatan, dan juga pendidikannya. Pada prinsipnya ayah menjadi sumber kehidupan dan yang telah menghidupkan masa depan anak. Sedangkan ibu tidak kalah besar pengorbanannya dari pada ayah. Ibulah yang hamil dengan susah payah, kemudian melahirkannya dengan penderitaan yang tiada tara. Lalu membesarkannya dengan penuh rasa kasih sayang. Dalam kedudukan sebagai anggota keluarga, ibu adalah kawan setia ayah yang berfungsi sebagai
pendidik
anak/anak-anaknya.
40
Pemelihara
keluarga
dengan
menciptakan ketentraman, ,keamanan dan kedamaian rumah tangga (Munir dan Sudarsono, 2001 : 392). Sesudah
Allah
memerintahkan
supaya
menyembah
jangan
menyembah selain Dia lalu Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka benarbenar memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan tidak menganggapnya sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergetar dalam hati mereka, apakah mereka benar-benar mendambakan kebaktiannya kepada kedua ibu bapak dengan rasa kasih sayang dan penuh kesadaran, ataukah kebaktian mereka hanyalah pernyataan lahiriyah saja, sedang di dalam hati mereka sebenarnya durhaka dan membangkang. Itulah sebabnya Allah menjanjikan bahwa apabila mereka benar-benar orang orang yang berbuat baik, yaitu benar-benar mentaati tuntunan Allah, berbakti kepada kedua ibu bapak dalam arti yang sebenar-benarnya, maka Allah akan memberikan ampunan kepada mereka atas perbuatannya.(Departemen Agama, 1990 : 561). Allah SWT. dalam ayat-Nya memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik dan berterima kasih kepada mereka dengan perbuatan dan ucapan. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra‟ ayat 23-25 yaitu:
ٓ َّ ِض ٰى َزب َُّل أَ ََّّل حَ ۡعبد َٓ ْا إ ك َ َّل إٌَِّبي ََبِ ۡٲى ٰ َُىِ َد ٌۡ ِه إِ ۡد ٰ َعىً ۚب إِ َّمب ٌَ ۡبي َغ َّه ِعى َد َ َََق ّ ۡٱى ِنبَ َس أَ َددٌ َمبٓ أَ َۡ ِم ََلٌ َمب فَ ََل حَقو ىٍَّ َمبٓ أ ف ََ ََّل حَ ۡىٍَ ۡسٌ َمب ََقو ىٍَّ َمب ۡ ََ ٣٢ قَ َُّۡل َم ِسٌمب ۡ ِٱخف ِّض ىٍَ َمب َجىَب َح ٱى ُّرهِّ ِم َه ٱىس َّۡد َم ِت ََقو زَّة
41
ُظنمۡۚ إِن َ ًِۡٱز َدمۡ ٍ َمب َم َمب َزبٍََّبو ِ َّزبُّنمۡ أَ ۡعيَم بِ َمب فًِ وف٣٢ ص ِغٍسا ْ حَنُو ٣٢ ٍه َغفُزا َ ِبن ىِ ۡۡلَ ٰ ََّب َ ٍه فَئِوًَّۥ َم َ صيِ ِذ َ ٰ ُا 23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia 24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil" 25. Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat Kata “ihsan” dalam ayat ini disebut tanpa alif lam ta‟rif, sehinggamengandung makna umum. Ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkanberbuat baik kepada orang tua dengan kebaikan berupa apa saja baik secaraperbuatan, perkataan, perlakuan baik, dengan badan ataupun dengan harta benda.Kemudian Allah menegaskan pentingnya hal tersebut saat mereka berdua telahberusia lanjut. Karena pada saat itu mereka berdua sangat membutuhkan untukdiperlakukan dengan baik, lemah lembut, kasih sayang, hormat dan dimuliakan.
42
Allah melarang untuk berbuat buruk kepada mereka. Membangkang, mengucapkan “Ah” kepada mereka, mengangkat suara dimuka mereka, menghardik dan memaki, menjelek-jelekan dan merendahkan mereka. Allah SWT. Berfirman, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya dengan perkataan “Ah”atau, jangan menyakiti mereka walaupun dengan cara yang paling ringan”. Janganlah engkau menampakkan rasa bosanmu atau rasa terbebani dalam dirimu di depan mereka. Tetap bersabar dalam menghadapi kemungkinan mereka berbuat salah atau lupa di hadapanmu. Kemudian Allah berfirman, “janganlah engkau membentak mereka. Yakni jangan mengangkat suara di muka mereka atau berbicara dengan menunjukkan wajah kesal. Jangan pula menatap mereka dengan tatapan ketidaksenangan atau mengibaskan tanganmu dan meninggalkan mereka berdua. Setelah melarang mengucapkan kata-kata jelek dan berbuat buruk, Allah memerintahkan untuk mempergauli mereka dengan ucapan dan perbuatan baik. Dia berfirman, “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. Atau ucapan yang lemah lembut dan baik dengan hormat dan etika. Hal ini disesuaikan dengan kondisi, kesempatan, waktu dan tempat. Di dalam ayat ini nampak adanya beberapa ketentuan dan sopan santun yang harus diperhatikan sang anak terhadap kedua ibu bapaknya antara lain: 1.
Anak tidak boleh mengucapkan kata “Ah” kepada kedua orang tua ibu bapaknya hanya karena sesuatu sikap atau perbuatan mereka yang kurang disenangi akan tetapi dalam keadaan serupa itu hendaklah anak-anaknya berlaku sabar, sebagaimana perlakuan kedua orang tua
43
ketika mereka merawat dan mendidiknya di waktu anak itu masih kecil. Inilah awal tingkatan dalam memelihara kedua orang tua dengan penuh tata krama (Quthb, 2003 : 249). 2.
Anak tidak boleh menghardik atau membentak kedua orang tua sebab dengan bentakan itu kedua orang tua akan terlukai perasaannya. Menghardik kedua orang tua adalah mengeluarkan kata-kata kasar pada saat anak menolak pendapat kedua orang tua atau menyalahkan pendapat mereka sebab pendapat mereka tidak sesuai dengan pendapat anaknya. Larangan menghardik dalam ayat ini adalah sebagai penguat dari larangan mengatakan “Ah” yang biasanya diucapkan oleh seorang anak terhadap kedua orang tua pada saat ia tidak menyetujui pendapat kedua orang tuanya.(Departemen Agama Republik Indonesia,556).
3.
Hendaklah anak mengucapkan kepada kedua orang tua dengan katakata yang mulia. Kata-kata yang mulia ialah kata-kata yang diucapkan dengan penuh khidmat dan hormat, yang menggambarkan tata adab yang sopan santun dan penghargaan yang penuh terhadap orang lain.(Departemen Agama Republik Indonesia,556). Ini merupakan sikap positif yang sangat tinggi tingkatannya, yakni hendaknya ucapan sang anak kepada kedua orang tuanya menunjukkan sikap hormat dan cinta.(Sayyid Quthb,249). Kemudian Allah berfirman, “dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua”. Merendahkan diri di depan mereka berdua dengan perbuatanmu sebagai wujud kasih sayangmu dan penghormatan atas jasajasa mereka. Layanilah mereka seperti layaknya pembantu melayani
44
majikannya. Taati mereka dalam kebaikan, penuhi panggilannya, tunaikan kebutuhannya,
tutupi
kesalahannya,
lakukan
hal-hal
yang
bisa
membahagiakan mereka dan jauhi hal-hal yang menyakiti dan dibenci mereka (Al-Fauzan, 2007 : 244-245). Al-Faqih Abu Laits Samarqandy menegaskan: “sekalipun (umpamanya) perintah berbakti kepada kedua orang tua itu tidak dimuat dalam Al-Quran dan umpamanya tidak tekanannya, pasti akal sehat akan mewajibkannya, oleh itulah bagi yang berakal sehat harus mengerti kewajibannya terhadap kedua orang tua. Apalagi hal itu telah ditekankan oleh Allah dalam semua kitabnya (yakni) Taurat, Injil, Zabur dan Al-Quran juga telah disampaikan kepada Nabi bahwa: “Ridha Allah tergantung ridha kedua orang tua”(Samarqandy, 2000 : 119). Allah memerintahkan agar merendahkan diri kepada kedua orang tua dengan penuh kasih saying. Yang dimaksud merendahkan diri dalam ayat ini ialah mentaati apa yang mereka perintahkan selama perintah itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara‟. Taat anak kepada kedua orang tuanya merupakan tanda kasih sayangnya kepada kedua orang tuanya yang sangat diharapkan terutama pada saat kedua ibu bapak itu sangat memerlukan pertolongannya. Ditegaskan bahwa sikap rendah diri itu haruslah dilakukan dengan penuh kasih sayang agar tidak sampai terjadi sikap rendah diri yang dibuat-buat hanya sekedar untuk menutupi celaan orang lain atau untuk menghindari rasa malu pada orang lain, akan tetapi agar sikap merendahkan diri itu betul-betul dilakukan karena kesadaran yang timbul dari hati nurani(Departemen Agama, 556-557).
45
Dalam hal ini Allah tidak membedakan antara ibu dengan bapak. Memang pada dasarnya ibu hendaknya didahulukan atas ayah tetapi ini tidak selalu demikian. Thahir Ibnu Asyur menulis bahwa Imam Syafi‟i pada dasarnya mempersamakan keduanya, sehingga bila ada salah satu yang hendak didahulukan maka seorang anak hendaknya mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah satunya. Karena itu pula walaupun ada hadits yang mengisyaratkan perbandingan hak ibu dengan bapak sebagai tiga dibanding satu, namun penerapannya pun harus setelah memperhatikan faktor-faktor yang dimaksud. Doa kepada kedua orang tua yang diperintahkan di sini menggunakan
alasan
kamaa
rabbayaanii
shagiiraadipahami
oleh
sementara ulama dalam arti disebabkan karena mereka telah mendidikku di waktu kecil. Jika berkata sebagaimana, maka rahmat yang dimintakan itu adalah yang kualitas dan kuantitasnya sama dengan apa yang seorang anak peroleh dari keduanya. Adapun bila disebabkan karena, maka limpahan rahmat yang dimohonkan anak kepada keduanya itu diserahkan kepada kemurahan Allah SWT. dan ini dapat melimpah jauh lebih banyak dan besar daripada apa yang mereka limpahkan kepada seorang anak. Sangat wajar dan terpuji jika seorang anak memohonkan agar kedua orang tua memperoleh lebih banyak dari yang kita peroleh, serta membalas budi melebihi budi mereka. Ayat ini juga menuntun agar seorang anak mendoakan kedua orang tuanya. Hanya saja ulama menegaskan bahwa doa kepada kedua orang tua yang dianjurkan di sini adalah bagi yang muslim, baik masih hidup maupun telah meninggal. Sedangkan bila kedua orang
46
tua tidak beragama Islam telah meninggal, maka terlarang bagi anak untuk mendoakannya, Al-Quran mengingatkan bahwa ada suri tauladan yang baik bagi kaum muslimin dari seluruh kehidupan Nabi Ibrahim. Allah berfirman dalam surat Al-Mumtahannah ayat 4 yaitu :
َّ ل ِم َه ٱّللِ ِمه َش ًۡء َ َل ََ َمبٓ أَمۡ يِل ى َ َإِ ََّّل قَ ُۡ َه إِ ۡب ٰ َس ٌٍِ َم ِۡلَبٍِ ًِ َۡلَ ۡظخَ ۡغفِ َس َّن ى “Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah” Kemudian dilanjutkan dengan firman Allah, “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, jika kamu orang-orang yang baik, Maka Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat”. Allah lebih tau apa yang ada di dalam hati manusia dari pada manusia itu sendiri, baik berupa penghormatan kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada mereka atau meremehkan hak dan durhaka kepada mereka. Allah akan memberi balasan kepada seseorang atas kebaikan atau keburukan yang mereka perbuat. Maka jika seseorang telah memperbaiki niatnya terhadap kedua orang tua dan taat kepada Allah mengenai berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang telah Allah perintahkan serta menunaikan suatu kewajiban yang wajib seseorang tunaikan terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni seseorang atas kekurangan yang dia lakukan. Karena Dialah Yang Maha Pengampun terhadap orang yang mau bertaubat dari dosanya dan berhenti dari maksiat kepada Allah, lalu
47
kembali taat kepada-Nya serta melakukan hal-hal yang dicintai dan disukai Allah(Al-Maraghi, 67). Ayat tersebut juga merupakan janji bagi orang yang berniat hendak berbuat baik kepada orang tua dan juga ancaman terhadap orang yang meremehkan hak-hak orang tua serta berusaha untuk durhaka terhadap mereka berdua. (Ahmad Musthafa Al-Maraghi, 67). Allah
memperingatkan
agar
seorang
anak
benar-benar
memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua orang tua dan tidak menganggap sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergerak dalam hati seorang anak, apakah mereka benar-benar mendambakan kebaktiannya kepada kedua orang tua dengan rasa kasih sayang dan penuh kesadaran, ataukah kebaktian mereka hanyalah pernyataan lahiriyah saja, sedangkan di dalam hati mereka sebenarnya
durhaka
dan
membangkang.
Itulah
sebabnya
Allah
menjanjikan bahwa apabila mereka benar-benar orang yang berbuat baik yaitu benar-benar mentaati tuntutan Allah, berbakti kepada kedua orang tua dalam arti yang sebenar-benarnya, maka Allah akan memberi ampunan kepada mereka atas perbuatannya(Departemen Agama, 561). Penegasan ini dihadirkan di sini sebelum pembicaraan lebih lanjut tentang tugas kewajiban dan prinsip-prinsip moral yang lain, agar dijadikan barometer dalam setiap ucapan dan perbuatan. Juga untuk membuka pintu tobat dan rahmat bagi yang bersalah atau kurang dalam melaksanakan tugas kewajibannya. Karena selagi hati seseorang masih baik (saleh) maka pintu ampunan tetap terbuka. Dan orang-orang yang pandai bertobat adalah
48
mereka yang setiap kali berbuat salah mereka segera kembali kepada Tuhan dengan memohon ampunan-Nya (Quthb,249). Jadi pada hakikatnya syukur kepada orang tua merupakan bagian dari perilaku baik seorang hamba kepada Allah, pelaksanaan terhadap perintahnya dan pemenuhan terhadap seruannya. Syukur kepada orang tua merupakan upaya untuk menghadapkan diri kepada Allah melalui sebuah ibadah agung yang bernama “berbakti kepada orang tua”. Hal itu bertujuan agar orang berbakti kepada kedua orang tuanya dapat memperoleh keberuntungan di sisi Tuhannya, Sang Dzat yang telah menciptakannya, yaitu keberuntungan berupa tempat kembali yang diharapkan, akhir yang diharapkan.27 Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tua mereka dengan alasan sebagai berikut: 1.
Kasih sayang kedua ibu bapak yang telah dicurahkan kepada anakanaknya dan segala macam usaha yang telah diberikan agar anakanaknya menjadi anakanak yang saleh, jauh dari jalan sesat. Maka pantaslah apabila kasih sayang yang tiada taranya itu dan usahanya tak mengenal payah itu mendapatkan balasan dari anak-anaknya dengan berbuat baik kepada mereka dan mensyukuri jasa baik mereka itu.
2.
Anak-anak adalah bagian tulang dari kedua ibu bapak.
3.
Anak-anak sejak masih bayi hingga dewasa, baik makanan ataupun pakaian menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, maka sepantaslah apabila tanggung jawab itu mendapat imbalan budi dari anak-anaknya.
49
Kedua orang tua biasanya terdorong secara fitrah untuk mengasuh dan memperhatikan anaknya. Mereka berkorban apa saja, bahkan mengorbankan dirinya demi sang anak. Ibarat sebatang pohon ia menjadi rimbun dan menghijau sesudah menyedot semua makanan yang ada pada asal bibitnya sehingga biji itu menjadi terkoyak. Juga laksana anak ayam yang menetas sesudah ia menghisap habis isi telur sehingga tinggal kulitnya saja. Begitulah sang anak manusia. Ia menguras kebugaran, kekuatan, dan perhatian kedua orang tuanya sehingga mereka berdua menjadi tua renta, jika memang takdir menunda ajal keduanya. Meski demikian, kedua orang tua tetap merasakan bahagia atas segala pengorbanannya. Sedangkan, sang anak biasanya cepat sekali ia melupakan itu semua, dan ia pun segera melihat kedepan kepada istri dan anak cucunya. Dan begitulah kehidupan ini terus melaju(Quthb,248). Pada prinsipnya kehidupan keluarga menurut Islam ialah keluarga menjadi ajang utama untuk menerapkan perintah-perintah Al-Quran dan Al-Hadist. Keharmonisan hidup berkeluarga, hubungan orang tua dengan anak menyangkut kewajiban, serta hak dan kewajiban anak untuk berbakti atau berbuat baik kepada kedua orang tua yang telah diatur secara mutlak di dalamnya. Sikap anak kepada kedua orang tua yang selaras dengan tuntutan Al-Quran dan Al-Hadist(Munir dan Sudarsono, 395). Berbakti kepada kedua orang tua sebagai perbuatan yang paling baik, pengorbanan yang paling mulia dan paling dicintai Allah. Perilaku ini merupakan faktor terbesar didapatkannya pahala, kebaikan dan dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga merupakan jalan terdekat untuk mencapai keridhaan Allah dan surga-
50
Nya. Bahkan Allah telah menjadikan keridhaan-Nya terletak pada keridhaan orang tua, kebencian-Nya terletak pada kebencian orang tua, dan menjadikan kedua orang tua sebagai pintu tengah surga, bahkan menjadikan surga berada di bawah telapak kaki keduanya(Al-Fauzan,239). Allah menyandarkan perintah menyembah kepada-Nya dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua mengisyaratkan bahwa berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan setelah memenuhi hak Allah. Allah memerintahkan kepada manusia agar memberi perhatian khusus kepada kedua orang tua khususnya orang tua yang telah lanjut usia. Sebab di usia yang telah lanjut, orang tua lebih membutuhkan pertolongan dan perhatian dari anakanaknya. Merawat orang tua yang lanjut usia tidaklah mudah. Sebab sifat mereka menyerupai anak kecil, butuh disuapi, dimandikan, dibaringkan dan sebagainya. Oleh karenanya, dibutuhkan kesabaran dan perhatian yang ekstra dalam melayaninya(Arifin, 2008 : 62). Secara singkat dapat dikatakan bahwa nikmat yang paling banyak diterima oleh manusia ialah nikmat Allah, sesudah itu nikmat yang diterima dari kedua ibu bapak. Itulah sebabnya maka Allah SWT meletakkan kewajiban berbuat baik kepada ibu bapak pada urutan kedua sesudah kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah.(Departemen Agama Republik Indonesia, 555-556). Dengan gaya penuturan yang sejuk dan lembut serta gambaran masalah yang inspiratif ini, Al-Quran menyingkap rasa kesadaran manusia untuk berbakti dan rasa kasih sayang yang ada dalam nurani seorang anak terhadap orang tuanya. Dikatakan
51
demikian karena suatu kehidupan yang berjalan seiring dengan eksistensi makhluk hidup senantiasa mengarahkan paradigma mereka ke depan, ke arah anak cucu, kepada generasi baru, generasi masa depan. Jarang sekali hidup ini membalikkan pandangan manusia ke arah belakang, kepada nenek moyang, ke arah kehidupan masa silam, ke generasi yang sudah berlalu. Oleh karena itu, diperlukan dorongan kuat untuk menyingkap tabir hati nurani seorang anak agar ia mau menoleh ke belakang serta melihat para bapak dan para ibu. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak Birrul walidaini pada ayat ini adalah perintah Allah untuk berbuat baik kepada orang tua yaitu, pertama untuk menjaga keridhaan dan kenyamanan hati orang tua. Menjaga keridhaan tidak mudah karena persoalan ridha menyangkut urusan hati. Untuk dapat menjaga keridhaan orang tua seorang anak harus betul-betul peka dan empati atas keadaan orang tua sebab tidak jarang sesuatu yang seseorang anggap baik, justru orang tua menganggap sebaliknya dan ini perlu disadari karena pikiran anak berbeda dengan pikiran orang tua. Dan yang kedua yaitu memelihara pergaulan dengan orang tua, misalnya merendahkan diri dihadapan mereka, berkata lembut, bersikap sopan, dan sebagainya. Hal ini sangat penting dan harus ada perhatian khusus karena setiap hari seorang anak berinteraksi dengan kedua orang tua. Terlebih disaat orang tua telah memasuki usia lanjut tentunya mereka sangat memerlukan perhatian lebih dari seorang anak.
52
BAB IV INTEGRASI AKHLAKDALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (ANALISIS SURAT AL ISRA 23-25)
A.
Penguatan Aqidah Peserta Didik Modernisasi merupakan suatu proses dalam pembangunan, yang bermakna suatu usaha untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam lingkunganmasyarakat berbeda. Hasan Basri mendefinisikan modernisasi sebagai perubahan yang bersifat progresif bukan sebaliknya, perubahan yang menyeluruh dalam berbagai segi kehidupan manusia. Pergeseran kehidupan yang bukan hanya dari segi material (duniawi) namun juga mencakup juga segi spritualnya (ukhrawi) yang lebih baik. Jadi modernisasi adalah upaya manusia dalam mengusahakan segala sesuatu dalam kehidupan agar menjadi baru dan selaras dengan kemajuan Iptek yang kesinambungan tanpa harus mengesampingkan kehidupan ukhrawi (Sueb,1996 : 46-47). Pendidikan agama di sekolah umum, terlebih lagi di madrasah, bukan sekedar mengajar anak untuk hafal bacaan shalat atau semacamnya. Propenas (UU No. 25 tahun 2000) menyebutkan bahwa “pendidikan agama di sekolah umum (TK, SD, SLTP, dan SMU) bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan dan ketaqwaan serta pembinaan akhlak mulia dan budi pekerti luhur”. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu ada penambahan jam pelajaran untuk setiap minggunya. Oleh karena itu, di dalam propenas juga disebutkan (di dalam matriks) agar terjadi “bertambahnya jumlah jam pelajaran agama, minimal 3 jam pelajaran perminggunya”. Hal ini harus dipahami bahwa
53
pelajaran agama di sekolah umumpun tidak sekedar bertujuan untuk mampu menghafal
bacaan
shalat,
namun
lebih
dari
itu,
peningkatan
keimanan,ketaqwaan dan pembinaan akhlak. Pendidikan bukan hanya pada pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill), akan tetapi juga pada keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Jadi di dalam pendidikan akhlak dan Pendidikan Agama Islam mengandung nilai-nilai karakter baik yang berhubungan dengan Tuhan (hablum minallah), diri sendiri (hablum minannafsi), sesama manusia (hablum minan-nas), lingkungan (hablum minal „alam) dan kebangsaan. Integrasi pendidikan akhlak dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dalam substansi materi, pendekatan, metode, dan model evaluasi yang dikembangkan. Tidak semua substansi materi pelajaran cocok untuk semua akhlak yang akan dikembangkan, perlu dilakukan seleksi materi dan sinkronisasi dengan akhlak yang akan dikembangkan. Pada prinsipnya semua mata pelajaran dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan semua akhlak peserta didik, namun agar tidak terjadi tumpang-tindih dan terabaikannya salah satu akhlak yang akan dikembangkan, perlu dilakukan pemetaan berdasarkan kedekatan materi dengan akhlak
yang akan
dikembangkan. Pendidikan akhlak kini memang menjadi isu utama dalam pendidikan. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan karakter anak bangsa, pendidikan akhlak diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam meningkatkan derajat dan martabat bangsa Indonesia. Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional sendiri, pendidikan akhlak menjadi fokus
54
pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya. Pendidikan akhlak dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah/madrasah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitik beratkan kepada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skill atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan moral belum diperhatikan. Padahal, pencapaian hasil belajar siswa tidak dapat hanya dilihat dari ranah kognitif dan psikomotorik, sebagaimana selama ini terjadi dalam praktik pendidikan kita, tetapi harus juga dilihat dari hasil afektif. Berdasarkan kenyataan sebagaimana diuraikan, maka sudah saatnya pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill, harus mulai dibenahi. Dengan kata lain, selain berbasis hard skill, pembelajaran juga harus dibarengi dengan basis pengembangan soft skill. Hal ini menjadi penting kaitannya dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mereka selain mampu bersaing, juga beretika, bermoral, sopan santun, dan berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan akhlak dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran, antara lain melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai
55
pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pembelajaran akhlak tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memfasilitasi dipraktik-kannya nilai-nilai dalam setiap aktivitas pembelajaran di dalam dan di luar kelas. Pendidikan akhlak ini sangat penting diterapkan di sekolah maupun lembaga sosial lainnya agar terbentuk tatanan nilai dan norma-norma sosial keagamaan yang baik sekaligus merupakan jawaban dari aksi-aksi kekerasan dalam dunia pendidikan, dan ini memfilter siswa dari perilaku-perilaku negatif. Pendidikan akhlak akan memperluas wawasan para pelajar tentang nilai-nilai moral dan etis yang membuat mereka semakin mampu mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan Pendidikan akhlak di sekolah adalah upaya yang terencana untuk memfasilitasi peserta didik mengenali, peduli, dan menginternalisasi nilai nilai karakter secara terintegrasi dalam proses pembelajaran semua mata pelajaran, kegiatan pembinaan kesiswaan, dan pengelolaan sekolah pada semua bidang urusan. Dalam pendidikan akhlak di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
56
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Semua komponen di sekolah harus saling mendukung dan bahu membahu secara kesadaran penuh untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak dimulai dari diri sendiri maupun lingkungan sekolah bahkan masyarakat secara luas. Melalui pendidikan akhlak diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok agama Islam. Sebagai mata pelajaran PAI memiliki peranan dalam penyadaran nilai-nilai agama Islam kepada peserta didik. Muatan mata pelajaran yang mengandung nilai- nilai luhur yang mutlak kebaikan dan kebenarannya menempatkan PAI pada posisi terdepan dalam pengembangan moral beragama peserta didik. Hal itu berimplikasi pada tugas-tugas guru PAI yang kemudian dituntut lebih banyak perannya dalam penyadaran nilai-nilai keagamaan. Implementasi dari karakteristik pendidikan Islam ini sangat diperlukan dalam membentuk akhlak dan karakter pribadi muslim yang sempurna. Agar guru mampu menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran yang memungkinkan menanamkan karakter pada peserta didiknya, maka diperlukan sosok guru yang berakhlak dan berkarakter. Guru akhlak dan berkarakter bukan hanya mampu mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai yang diperlukan
57
untuk mengarungi hidupnya. Ia bukan hanya memiliki kemampuan secara emosi dan spiritual sehingga guru mampu membuka mata peserta didik untuk belajar, yang selanjutnya ia mampu hidup dengan baik ditengah masyarakat. Sasaran pendidikan agama di sekolah umum minimal mencakup dua sasaran utama (Azizi, 2003 : 73). Dua sasaran tersebut sekaligus merupakan arah pendidikan agama yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, pendidikan agama di sekolah umum hendaknya mampu mengajarkan aqidah peserta didik sebagai landasan keberagamaan. Dengan kata lain, agama diajarkan di sekolah untuk menjaga aqidah peserta didik atau menjaga keimanan dan ketaqwaannya. Oleh karena itu, pendidik yang mengajar agama harus beragama yang sama dengan agama peserta didik. Pendekatan yang diberikan juga tidak banyak menekankan pada kajian kritis yang kritis. Kalau menggunakan argumentasi rasional (dalil aqli) sasarannya adalah untuk memperkuat aqidah tadi. Dalam waktu bersamaan, pengertian menjaga aqidah juga hendaknya meliputi menjaga pemahaman aqidah yang diikuti oleh peserta didik. Dengan kata lain, jika peserta didik mengikuti aliran sunni (ahlusunnah wal jama‟ah), tidak pada tempatnya untuk mengangkat guru agama yang mengikuti aliran syi‟ah untuk mengajar mereka, kecuali ada kesepakatan dari pihak orang tua. Demikian pula sebaliknya. Seandainya melakukan kajian kritis, maka tetap dalam koridor aqidah yang diikuti. Jadi, bukan hanya seagama, namun juga sepaham dalam aliran aqidah, sehingga tidak akan timbul masalah yang tidak diinginkan. Sudah barang tentu, jika sudah semakin dewasa, perbedaan aliran dalam paham aqidah tidak menjadi masalah jika masih dalam satu agama.
58
Bahkan di tingkat pendidikan tinggi akan diberikan kajian kritis yang mencakup kajian yang mengkritisi paham-paham dalam aqidah Islam. Kedua, pendidikan agama mengajarkan kepada peserta didik pengetahuan tentang ajaran agama Islam. Untuk sasaran ini, dalam beberapa hal memang diperlukan kognitif atau hafalan. Namun, dalam praktik dan evaluasinya harus melibatkan praktik sehari-hari. Pelajaran bacaan shalat, doa-doa, bahkan juga bacaan ayat-ayat Al-Quran memerlukan hafalan. Dari hafalan itupun seharusnya dibarengi dengan praktik secara rutin dan serius. Ambil contoh tentang shalat. Disamping peserta didik diberi pelajaran hafalan untuk menjalankan shalat, dalam kenyataanya praktik mendirikan shalat juga harus menjadi perhatian serius. Artinya, peserta didik tidak sekedar diberi pelajaran pengetahuan tentang shalat dengan segala bacaan yang harus dihafalkan, namun juga sekaligus hendaknya dipraktekkan untuk melakukan shalat, terlebih lagi untuk menjalankan shalat jama‟ah. Sekolah/madrasah hendaknya berusaha menyediakan tempat untuk shalat atau mendirikan bangunan musholla atau masjid permanen. Akan lebih baik lagi jika bukan hanya menggalakkan shalat wajib di musholla atau di masjid saja, namun juga peserta didik dianjurkan menjalankan ibadah sunnah, seperti shalat dhuha, tadarrus Al-Quran dan lainnya. Demikian untuk pelajaran yang lainnya, seperti zakat, puasa, yang lainnya, termasuk selain pelajaran ibadah. Sesuai dengan tingkat berpikir peserta didik, ajaran Islam juga agar dimaknai secara kontekstual. Sebagai contoh ajaran zakat. Ajaran Islam tentang zakat disampaikan kepada peserta didik tidak dengan cara pemberian beban, oleh karena zakat adalah
59
kewajiban. Namun, agar mampu memberi penjelasan bahwa zakat justru memberi inspirasi dan sekaligus landasan untuk etos kerja dari belajar yang rajin untuk sukses, sampai dengan kerja keras untuk menjadi orang yang mampu mengeluarkan zakat. Jadi, ketika peserta didik mendengar katakata zakat , yang terlintas di dalam pikirannya bukan beban kewajiban, namun jutru semangat etos kerja untuk menjadi orang yang mampu membayar zakat (kaya) dan kebanggaan untuk mampu melaksanakan kewajiban berupa membayar zakat. Kemudian dapat disaksikan bahwa pelajaran agama Islam tentang zakat mempunyai keterkaitan dengan keberhasilan belajar peserta didik dalam materi pelajaran secara keseluruhan (Azizi, 2003: 73-75). Jumlah jam pelajaran yang terbatas dengan materi yang diserat menyebabkan guru agama mengambil jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan agama lebih sebagai pelajaran daripada sebagai pendidikan. Sehingga pendekatan yang dipakainya adalah pendekatan ilmu yang lebih menyentuh ranah kognitif. Akibat yang mudah diharapkan dari pendekatan semacam itu adalah bahwa peserta didik hanya akan menumpuk bahan agama sebagai pengetahuan secara kuantitatif, dan tidak atau kurang kualitatif dalam pembentukan pribadi. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif yang menyentuh seluruh aspek pribadi, yang sering disebut sebagai pendekatan holistik atau integralistik. Dalam hal ini menurut nilsen bahwa ada 3 faktor yang ikut membentuk kualitas keberagamaan peserta didik, yaitu 1) Kualitas pemahaman tentang Tuhan sebagai nilai tertinggi dalam sistem agama. 2) Kadar keagamaan sehari-hari terutama bagaimana menghayati hubungan antara nilai-nilai ideal agama
60
dengan kenyataan kehidupan yang melibatkannya. 3) Pandangan tentang dirinya, siapa hakikat dirinya, evaluasi tentang diri dan kemampuannya. Menurut Ahmad Marimba, Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam (Ahmad D Marimba, 1986 : 23). Sedangkan menurut Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaranajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak (Zakiah Daradjat, 1992 : 86) Manusia adalah makhluk Allah Swt yang cenderung kepada kebaikan. Kecenderungan manusia kepada kebaikan tersebut terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan jika terjadi terletak pada bentuk, penerapan atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral yang disebut ma‟ruf dalam bahasa Al-Qur‟an. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan dan keangkuhan. Begitu juga tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada orang tua adalah buruk. Hanya boleh jadi bentuk penghormatan itu berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia tetap dinilai baik atau ma‟ruf .
61
Agama Islam adalah agama yang mengajarkan kepada peserta didik bertauhid meng-Esakan Allah bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa bertauhid kepada Allah semata, ini ditegaskan Luqman dengan suatu larangan berbuat syirik (menyekutukan Allah) kepada anaknya, sebagaimana firman Allah:
ِۖ َّ ًِ ََّل ح ۡش ِس ۡك ب ك ىَظ ۡي ٌم َع ِظٍم َ ٲّللِ إِ َّن ٱى ِّش ۡس َّ َََإِ ۡذ قَب َه ى ۡق ٰ َمه ِل ِۡبىِِۦً ٌََ َُ ٌَ ِعظًۥ ٌَٰبى Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi
pelajaran
kepadanya:
"Hai
anakku,
janganlah
kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"
Demikianlah Luqman telah menanamkan jiwa tauhid sebagai dasar agama ke dalam diri anaknya sebelum ia mengajar dan mengisi fikiran anaknya dengan ilmu. Dipenuhinya jiwa anaknya dengan semangat keTuhanan Yang Maha Esa supaya di dalam jiwa anaknya terbit nur Ilahi, cahaya hidayah Allah yang akan membimbing serta memimpin hidupnya ke jalan yang lurus dan benar, jalan keselamatan dan kesejahtraan hidup di dunia dan akhirat. Juga agar jiwa anaknya penuh dengan akhlak dan moral keTuhanan. Supaya semangat kesucian Allah mengalir dalam hati nurani dan pribadinya, ibarat sungai yang dapat memuaskan dahaga dan menyuburkan tanah. Demikian pula ilmu pengetahuan itu untuk berbakti kepada Allah dan menurut
sepanjang
keridhaan-Nya
62
tidak
disalah
gunakan
untuk
menghancurkan
peradaban
dan
kebudayaan,
untuk
merusak
dan
membinasakan dunia seisinya. Dengan dasar tauhid ini diharapkan jiwa anak mendapat kekuatan untuk menundukkan hawa nafsu yang menjadi biang keladi segala bentuk kejahatan dan kehancuran, mendapatkan kebebasan dan terlepas dari cengkraman syirik, khurafat dan takhayul, terhindar dari poengaruh kekuatan alam dan benda serta kekuasaan yang banyak dianggap orang mempunyai kesucian dan kesaktian, yang ke semua itu untuk memelihara nilai-nilai hidupnya sebagai makhluk yang termulia (Hamid, 2005 : 43-44). keimanan adalah sesuatu yang teraplikasikan dalam niat, ucapan, dan perbuatan. Ia dapat menambah ketaatan seseorang kepada tuhan dan mengurangi kadar kemaksiatan terhadap-Nya (Azhim, 2005 : 163), bukan hanya terletak pada hubungan antara manusia dengan Tuhannya saja (berupa penegasan simbol dan praktik ritual), tetapi juga meliputi masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kemanusiaan, yaitu mendidik peserta didik untuk menjadi insan yang baik, sehingga secara otomatis menjadi warga negara yang bermanfaat. Kalau dibahas lebih detail, “bermanfaat” artinya bahwa seseorang yang selesai dididik dalam proses pendidikan seharusnya tidak membawa mudarat (madharat) bagi orang lain. Lebih jauh, seseorang (peserta didik) bukan hanya tidak mendatangkan mudarat terhadap orang lain, tetapi lebih dari itu dapat membawa manfaat (Azizi, 2003: 137-138). Pemahaman atau pemaknaan dan komitmen yang rendah terhadap ketaqwaan itulah yang menjadi penyebab utama jarang menyentuh makna yang sebenarnya dan praktik tentang taqwa dalam realitas pendidikan. Faktor
63
lain adalah kebanyakan ahli kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan agama, dan para pembuat kebijakan pendidikan belum berfikir ke arah sana. Mestinya dengan adanya perubahan UUD 1945, terutama sekali yang berkaitan dengan pendidikan, maka perhatian itu harus serius. Penjabaran taqwa ke dalam proses pembelajaran telah tercabut dari akar maknanya. Kondisi ini diperkuat dengan model pendidikan yang lebih mengutamakan dimensi intelektual (kognitif) ketimbang pengembangan karakter dan kepribadian manusia. Maka seringkali dalam proses pembelajaran, terutama dalam sistem persekolahan, terlalu menekankan pada hafalan dan apa yang harus masuk keotak, serta jarang memberikan ruang kepada penanaman nilai ketaqwaan sebagai tuntutan tujuan pendidikan. Makna essensi taqwa itu sendiri kurang mendapatkan penjelasan dan uraian sampai pada perwujudan nilai dalam sikap dan perilaku peserta didik. Penulis tidak yakin bahwa di tingkat madrasah pun terdapat penjabaran yang lebih detail, lebih kongkrit dan lebih realistis tentang makna taqwa yang sebenarnya. Padahal Al-Quran banyak sekali menyebut kata taqwa, dan hampir selalu ungkapan takwa dibarengi dengan penyebutan amal shalih. Ini berarti bahwa praktik ketaqwaan harus mencakup perilaku kesalehan individual dan sosial dalam bentuk amal tadi. Ketika ketaqwaan diwujudkan dalam kehidupan sosial yang baik (shalih), barulah ajaran Islam itu dapat disebut membumi atau dipraktekkan dalam kehidupan keseharian (Azizi, 2003: 135-136). Tujuan pendidikan mengacu pada makna taqwa seperti ini maka penjabarannya ke dalam rumusan operasional merupakan keharusan. Tujuan pendidikan seperti didefinisikan oleh para ahli pendidikan
64
memang bermacammacam, namun yang terpenting dapat penulis sebutkan sederhana, misalnya, mendidik peserta didik untuk menjadi insan yang baik, sehingga secara otomatis menjadi warga negara yang bermanfaat. Jika ciriciri di dalam Al-Quran itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik, maka ia akan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, serta bagi bangsa dan negara ( Azizi, 2003 : 138). Faktor-faktor yang memperkuat nilai-nilai ketauhidan terhadap peserta didik diantaranya sebagai berikut : 1) Sikap selalu memperbaharui syahadat sehingga orang yang bersangkutan terjaga dari perbuatan-perbuatan yang mengarah pada kesyirikan. 2) Sikap tidak mudah terpengaruh oleh situasi yang berubah dan menjanjikan hasil secara cepat (budaya instan). Sesuatu yang cepat berubah akan pula menjadi usang. 3) Sikap asyik dalam beribadah sehingga membentuk pribadi yang kokoh dan tidak mudah tergoda oleh pesona kehidupan duniawi. 4) Sikap berhati-hati dalam ibadah dan ada rasa kekhawatiran bahwa nilai ibadah masih jauh dari sempurna. 5) Sikap tawakkal yang tidak menenggelamkan pertimbangan akal sehingga tidak terpuruk ke dalam sikap fatalitas. Contoh, sikap Umar Ibn Khattab ketika menghindar untuk berkunjung ke sebuah daerah yang terserang penyakit menular. 6) Sikap menyadari kelemahan dirinya sebagai manusia, terutama godaan hawa nafsu, sehingga senantiasa memohon perlindungan Allah (Latif, dkk, 2001 : 33-34). Maksud dari keterangan di atas adalah membentuk kepribadian peserta didik dan peran penting untuk menciptakan generasi yang lebih baik itulah tujuan pendidikan, yang jelas akan mengarahkan guru untuk mendidik
65
peserta didik agar menjadi insan yang baik yang berarti menjadi warga negara yang baik pula. Ketika seorang muslim, sebagai wujud pendidikan yang berhasil, menjadi warga negara yang baik, ia tidak akan merugikan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat dan negara. Sebaliknya ia memberi manfaat kepada orang lain, masyarakat, negara dan agamanya. Keberhasilan pendidikan menciptakan kepribadian yang baik bagi peserta didik mempunyai implikasi bahwa individu-individu peserta didik atau mantan peserta didik setelah dewasa tidak akan merugikan orang/warga negara lain, masyarakat atau negara. Agar dapat bermanfaat terhadap warga negara yang lain atau negara secara keseluruhan diperlukan kemampuan pengetahuan, ilmu, skill bagi tiaptiap peserta didik. Kemampuan memberi bekal kepada peserta didik untuk memiliki kemampuan pengetahuan/ilmu atau skill ini juga tergantung kepada keberhasilan pendidikan. Inilah manfaat dari pendidikan aqidah (Azizi, 2003 : 138-139). Modernisasi sebagai proses usaha pembaharuan dalam masyarakat dengan menggunakan hasil-hasil modernisasi ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia tidaklah berlawanan dengan ajaran Islam, sebaliknya malah justru diharapkan relisasinya. Agama Islam tidak melarang umatnya menggunakan hasil-hasil iptek, selagi modernisasi tersebut membawa manfaat serta memberi kemaslahatan bagi perkembangan perekonomian umat, sehingga dapat meningkatkan drajat hidup umat manusia. Juga, dalam menggunakan segala sesuatunya tidak menyimpang dari ajaran-ajaran-Nya dan tidak melampaui batas. Selain itu serta dalam era globalisasi dengan pencarian kebutuhan hidup jasmaniah, tentu saja juga harus berupaya
66
menyeimbangkan dengan ruhaniah. Usaha untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan dunia ini merupakan realisasi agar pemikiran peserta didik tenang dan jernih, jasmani sehat dan bergairah untuk beribadah kepada Allah SWT, serta dapat membantu atau berbuat baik terhadap semua manusia (Sueb, 1997: 58). Ketidakpahaman akan modernisasi merupakan penyalahtafsiran tentang kemajuan, agar umat manusia dapat hidup lebih baik kepada hanya diperuntukkan keduniaan. Hal ini merupakan lebih berbahaya dari pada kebodohan. Terlenanya manusia dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan dalam modernisasi merupakan penyebab manusia terkena ujub dunia. Sudah tentu dekade keimanan akan semakin tajam menggerogoti sanubari umat manusia (Sueb, 1997: 59). Agar peserta didik bisa berprestasi, maka ia haruslah kedudukan yang sama, mempunyai kesempatan yang sama, dan yang lebih penting lagi mempunyai kemerdekaan untuk berprestasi itu sendiri. Agar itu semua terpelihara, maka haruslah tidak terjadi kezaliman atau perampasan hak sebagian manusia untuk kepentingan manusia yang lain, yang selalu mengandung nilai-nilai yang berimplikasi pada kehidupan sosial. Dan hampir semua ajaran Islam mempunyai makna untuk kehidupan dunia yang baik, jika dipraktekkan (Azizy, 2003: 141). Dengan dasar tauhid tidak bisa terlepas dengan bagaimana pelaksanaan sebagai konsekwensi dari pengakuan tersebut terhadap diri peserta didik. Peserta didik bisa saja menyebut dirinya bahwa ia adalah seorang Muslim, seorang Mu‟min yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun apakah pengakuan tersebut benar-benar telah sesuai antara lidah
67
dan hatinya, antara ucapan dan amal perbuatan sebagai seorang Muslim dan Mu‟min yang sesungguhnya sebagaimana dikehendaki oleh ajaran Islam itu sendiri. Yang jelas bagi peserta didik yang mempercayai dengan sepenuh hati bahwa tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya tentu ia akan membuktikan keyakinan itu dengan perbuatan nyata berupa amal ibadah sebagaimana diperintahkan oleh Allah
dan
Rasul-Nya,
serta
senantiasa
menjaga
serta
memelihara
hubungannya dengan Allah dengan sebaik-baiknya. Firman Allah:
وط إِ ََّّل ىٍَِ ۡعبدَ ِن َ ٱۡل ِ ۡ ََ ََ َمب َخيَ ۡقج ۡٱى ِج َّه Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku Ayat Al-Quran ini sudah jelas bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah agar mereka menyembah Allah semata. Hanya Allahlah yang patut disembah, hanya Dia yang patut diabdi, keridhaanya menjadi tujuan dari semua tindakan. Inilah esensi dari risalah seluruh Nabi Muhammad yang hampir-hampir tidak dapat terungkapkan oleh Nabi sendiri kecuali dalam Firman Allah yang berarti “Marilah kubacakan apa yang diharamkan bagimu oleh Tuhanmu yaitu janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia”. Bahwa tauhid adalah perintah Tuhan yang tertinggi dan terpenting dibuktikan oleh kenyataan adanya janji Tuhan untuk mengampuni semua dosa kecuali pelanggaran terhadap tauhid. Allah tidak akan mengampuni dosa syirik terhadap-Nya tetapi Dia mengampuni dosa-dosa selain dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan sesuatau dengan Allah maka sungguh dia sudah berbuat dosa yang besar. Jelas sekali tidak ada 68
satupun perintah dalam Islam yang bisa dilepaskan dari tauhid. Seluruh agama itu sendiri kewajiban untuk menyembah Tuhan, untuk mematuhi perintah-perintah-Nya dan akan hancur begitu tauhid dilanggar. Memang melanggar tauhid berarti meragukan bahwa Allah adalah Satu-satunya Tuhan. Dan ini berarti meyakini adanya wujud-wujud lain selain Allah sebagai Tuhan sebuah keyakinan yang hanya mungkin muncul dari mereka yang meragukan keterikatan manusia dengan firman Tuhan (Isma‟il Raji AlFaruqi, 1988 : 17). Jadi dapat disimpulkan dari keterangan di atas bahwa aktualisasi nilainilai pendidikan aqidah dalam dunia modern memiliki tujuan agar umat manusia dapat hidup lebih baik dan lebih sejahtera, baik dari segi lahiriyyah maupun segi batiniyyahnya dalam menggeluti tatanan kehidupan di dunia ini dengan tanpa mengesampingkan kehidupan ukhrawinya. Agar tujuan modernisasi yang Islami itu tercapai dan dapat mensejahterakan kehidupan umat manusia dari dunia sampai akhirat, maka seseorang harus selalu membina dan memupuk secara kontinyu keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt (Sueb, 59-66). B.
Penanaman Nilai Birul Walidaini Tidak diragukan lagi bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab yang sangat berat dan pekerjaan yang sangat melelahkan. Tanggung jawab ini dimulai dari masa kehamilan, melewati masa menyusui, dan diakhiri dengan masa pembentukan kepribadian dan pemberian perhatian kepada anak. Itu semua merupakan sebuah tugas yang bersifat moril dan materiil. Berapa banyak ibu yang merasakan tubuhnya lemah, uratnya letih,
69
dan bebannya terasa semakin berat akibat beratnya proses kehamilan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ahqaaf Ayat 15:
ِۖ ض َع ۡخً م ۡس ٌب َ ََ ََ ٱۡلو ٰ َع َه بِ ٰ َُىِ َد ٌۡ ًِ إِ ۡد ٰ َعىً ِۖب َد َميَ ۡخً أ ُّمًۥ م ۡسٌب ِ ۡ ََ ََص ٍَّۡىَب ٍه َظىَت قَب َه َ ُن َش ٍۡس ًۚا َدخَّ ٰ ٓى إِ َذا بَيَ َغ أَش َّديۥ ََبَيَ َغ أَ ۡزبَ ِع َ صي ۥً ثَ ٰيَث َ ٰ ََِ َدمۡ ي ۥً ََف َ ۡل ٱىَّخِ ًٓ أَ ۡو َعم َّ ً ََ َعيَىٰ ٰ ََىِ َد ي ََأَ ۡن َ ََزةِّ أَ َۡ ِش ۡعىِ ًٓ أَ ۡن أَ ۡشن َس وِ ۡع َمخ َّ َج َعي ۡ َض ٰىً ََأ ل ََإِوًِّ ِم َه َ ٍۡ َصيِ ۡخ ىًِ فًِ ذزِّ ٌَّخِ ِۖ ًٓ إِوًِّ ح ۡبج إِى َ صيِذب حَ ۡس َ ٰ أَ ۡع َم َو ٍه َ ۡٱىم ۡعيِ ِم Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" . Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Allah SWT menjadikan syukur kepada orang tua dengan cara yang telah disebutkan dalam Al-Quran sebagai salah satu perwujudan rasa syukur kepada Allah (Ibn Rusn, 2009 : 132). Barang siapa yang bersyukur kepada kedua orang tua, maka sesungguhnya dia telah bersyukur kepada Allah SWT. Allah berfirman dalam Surat Luqman ayat 14:
70
ۡ أَ ِن صٍس َ ٌۡ ٱشن ۡس ىًِ ََىِ ٰ َُىِ َد ِ ً ۡٱى َم َّ َل إِى Artinya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. Ditegaskan bahwa sikap rendah diri itu harus dilakukan dengan penuh kasih sayang agar tidak sampai terjadi sikap rendah diri yang dibuat-buat hanya untuk sekedar menutupi celaan orang lain atau untuk menghindari rasa malu pada orang lain, akan tetapi agar sikap merendahkan diri itu betul-betul dilakukan karena kesadaran yang timbul dari hati nurani. Dasar-dasar Islam ialah wawasan tajam terhadap sistem kehidupan Islam yang sesuai dengan kedua sumber pokok (Al-Quran dan As-Sunnah) yang menjadi dasar bagi perumusan tujuan dan pelaksanaan pendidikan Islam. Pendidikan Islam harus memperhatikan dua sudut dalam aspek kehidupan manusia secara terpadu tanpa adanya pemisah. Seperti aspek jasmaniah dan ruhaniah, akliyah dan qolbiyah, individu dan sosial, duniawiyah dan ukhrawiyah. Pendidikan Islam mengarahkan kepada pembentukan insan kamil, yakni khalifah Allah yang pada hakikatnya ialah menjadi manusia saleh (manusia yang dapat menjadikan rahmat bagi semesta alam) (Ibn Rush, 2009: 132). Menurut Al Maraghi bahwa penanaman nilai birrul walidaini akan menjadi nyata bila seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang meliputi lima hal sebagai berikut: 1) Janganlah kamu jengkel terhadap sesuatu yang kamu lihat dilakukan oleh salah satu dari orang tua atau oleh
71
kedua-duanya yang menyakitkan hati orang lain, tetapi bersabarlah menghadapi semua itu dari mereka berdua, dan mintalah pahala Allah atas hal itu, sebagaimana kedua orang tua itu pernah bersikap sabar terhadapmu ketika kamu kecil. 2) Janganlah kamu menyusahkan keduanya dengan suatu perkataan yang membuat mereka berdua merasa tercela. Hal ini merupakan larangan menampakkan perselisihan terhadap mereka berdua dengan perkataan yang disampaikan dengan nada menolak atau mendustakan mereka berdua, di samping ada larangan untuk menampakkan kejemuan, baik sedikit maupun banyak. 3) Ucapkanlah dengan ucapan yang baik kepada kedua orang tua dan perkataan yang manis, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, sesuai dengan kesopanan yang baik, dan sesuai dengan tuntutan kepribadian yang luhur. Seperti ucapan: Wahai Ayahanda, wahai Ibunda. Dan janganlah kamu memanggil orangtua dengan nama mereka, jangan pula kamu meninggikan suaramu di hadapan orangtua, apalagi kamu memelototkan matamu terhadap mereka berdua (Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, 1994 : 238). 4) Bersikaplah kepada kedua orang tua dengan sikap tawadhu‟ dan merendahkan diri, dan taatlah kamu kepada mereka berdua dalam segala yang diperintahkan terhadapmu, selama tidak berupa kemaksiatan kepada Allah. Yakni, sikap yang ditimbulkan oleh belas kasih dan sayang dari mereka berdua, karena mereka benar-benar memerlukan orang yang bersifat butuh pada mereka berdua. Dan sikap seperti itulah, puncak ketundukan dan kehinaan yang bisa dilakukan. 5) Hendaklah kamu berdoa kepada Allah agar dia merahmati kedua orang tua dengan rahmatnya yang abadi, sebagai imbalan kasih sayang mereka berdua
72
terhadap dirimu ketika kamu kecil, dan belas kasih mereka yang baik terhadap dirimu (al-Maraghi, 1993 : 62-63). Maksud dari keterangan di atas adalah Janganlah seorang anak memandang kedua orang tua kecuali dengan belas kasih, jangan meninggikan suara melebihi tingginya suara orang tua, jangan mendahului kehendaknya (At-Thobatobai, 1991 : 96). Anak harus menundukkan pandangan dan membungkukkan diri dihadapan ibu bapaknya, maka secara otomatis ia tidak boleh berkacak pinggang di depan orang tuanya, apalagi bersikap menantang. Karena adanya keharusan sikap menunduk di hadapan ibu bapak ini, maka hal yang harus diperhatikan ialah anak tidak boleh bersujud seperti ia sujud dalam shalat di hadapan ibu bapaknya karena ingin melakukan perintah ini. Sebab sujud hanyalah boleh dilakukan manusia terhadap Allah sematamata(Thalib, 2005 : 27), yang bertujuan untuk bertawadhu‟ kepada kedua orang tua (An-Nahlawi, 1995 : 476). Kalau diaktualisasikan dalam dunia modern ini, justru perlakuan terhadap orang tua yang sudah lanjut usia sungguh terbalik. Di saat mereka membutuhkan perhatian lebih dari orang-orang terdekat terutama seorang anak, malahan mereka kebanyakan diasingkan dari keluarga dengan alasan supaya mendapatkan perhatian yang lebih baik. Akhirnya, mereka dititipkan di panti jompo atau yang lain. Memang memasukkan orang tua ke panti jompo bukanlah tindakan tercela. Tetapi alangkah lebih baik jika seorang anak sendiri yang merawatnya. Bukankah dulu seorang anak dirawat orang tuanya sendiri. Dulu orang tua sangat takut berpisah dengan anak tetapi mengapa sekarang pada usia lanjut dipisah dengan dititipkan di panti jompo
73
dan lain sebagainya (Arifin, 2008 : 62). Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah berkata bahwa orang yang diberi kesempatan oleh Allah untuk merawat kedua orangtuanya yang lanjut usia merupakan keuntungan yang sangat besar. Namun sebaliknya, bagi mereka yang hanya bisa menyaksikan orang tuanya sampai lanjut, tapi tidak berbuat kebaikan terhadapnya, maka akan sangat merugi di akhirat kelak (Arifin, 2008: 45-48). Memasukkan orang tua ke panti jompo jauh lebih lengkap dan terjamin tetapi alangkah lebih baiknya jika kita sendiri yang merawat mereka. Bukankah dulu seorang anak dirawat sendiri oleh mereka, benar bahwa fasilitas di panti jompo jauh lebih lengkap dan terjamin. Tetapi rasa tenang tinggal di rumah sendiri dengan ditemani anak-anak dan cucu-cucu tidak akan diperoleh di panti jompo (Arifin, 2008, 62). Inti ajaran Islam yang dibawa Rasulullah saw tidak lain adalah membentuk manusia yang berakhlak dan memiliki moralitas yang baik. Rasulullah sendiri menyatakan:”sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlakul karimah”. Oleh karena itu Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak, ia merupakan ruh dari semua perbuatan, aktivitas, kreasidan karya manusia. Kualitas perilaku seseorang diukur dari faktor moral/akhlak ini, sebagai cermin dari kebaikan hatinya. Rasulullah saw dalam sebuah hadits mengatakan:”ketahuilah bahwa didalam jasad manusia itu ada segumpal daging, bila ia baik akan baiklah manusia itu dan apabila ia rusak, rusak pulalah manusia itu. Ketahuilah, itu adalah hati” (Zulkarnain, 2008 : 8).
74
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Pentingnya kedudukan akhlak dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyyah (sunnah dalam bentuk perkara) Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad yaitu: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak, dan diriwayatkan oleh Imam Tarmizi yaitu: “mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya”. dan akhlak Nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu disebut akhlak Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam Al-Quran yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam (Ali, 2010 : 348-349). Pendidikan akhlak merupakan bagian besar dari isi pendidikan Islam. Posisi ini terlihat dari kandungan Al-Quran sebagai referensi paling penting tentang akhlak bagi kaum muslimin, individu, keluarga, masyarakat dan umat. Akhlak merupakan buah Islam yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan serta membuat hidup dan kehidupan menjadi baik. Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak masyarakat manusia tidak akan berbeda dari kumpulan hewan (Aly dan Munzier, 2003 : 89). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan perilakunya, baik ia sebagai manusia yang beragama, maupun sebagai mahkluk individu dan sosial. Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas kemajuan yang dialami ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang dapat
75
membahagiakan hidupnya adalah nilai materiil, sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlak manusia (Mahjuddin, 1991 : 39). Jadi dapat disimpulkan penanaman nilai birrul walidaini adalah berbuat baik kepada orang tua yakni berbakti kepada orang tua. Allah memerintahkan kepada manusia untuk berbakti kepada orang tua, lebih-lebih saat mereka sudah usia lanjut. Perintah untuk tetap berbakti kepada orang tua yang sudah lanjut usia mengindikasikan bahwa ketaatan kepada orang tua harus dilakukan secara menyeluruh. Menyeluruh artinya ketika seorang anak masih hidup kewajiban untuk mamatuhi dan menaati orang tua masih terus berlangsung. Selagi seorang anak masih hidup di dunia maka seorang anak wajib berbakti kepada mereka. Menyeluruh juga bisa diartikan berbakti kepada orang tua secara total baik dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh. Dengan hati seorang anak dapat mendoakan orang tua. Dengan lisan seorang anak dapat bertutur kata dengan baik kepada mereka. Dengan anggota tubuh seorang anak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka di saat mereka sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya sendiri.
76
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilainilai pendidikan akhlaq dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 yaitu : 1. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 yaitupertama, pendidikan akidah yakni Allah mewajibkan hambahamba-Nya
untuk
mengesakan-Nya
dalam
ibadah
dan
dalam
penyembahan serta melarang mereka menyekutukan Allah dengan apa pun atau siapa pun.Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan alam dan semua isinya. Dia-lah yang memberikan kehidupan dan kenikmatan pada seluruh makhluk-Nya. Maka apabila ada manusia yang memuja-muja benda-benda alam ataupun kekuatan ghaib yang lain, berarti ia telah sesat, karena kesemua benda-benda itu adalah makhluk Allah yang tak berkuasa
memberi
manfaat
dan
tak
berdaya
untuk
menolak
kemudaratan serta tak berhak disembah.kedua, Pendidikan birrul walidaini (berbuat baik kepada kedua orang tua) yakni sesudah Allah memerintahkan supaya jangan menyembah selain Dia lalu Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka benar-benar memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan tidak menganggapnya sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergetar dalam hati mereka, apakah mereka benar-benar mendambakan kebaktiannya 77
kepada kedua ibu bapak dengan rasa kasih sayang dan penuh kesadaran, ataukah kebaktian mereka hanyalah pernyataan lahiriyah saja, sedang di dalam hati mereka sebenarnya durhaka dan membangkang. Itulah sebabnya Allah menjanjikan bahwa apabila mereka benar-benar orangorang yang berbuat baik, yaitu benar-benar mentaati tuntunan Allah, berbakti kepada kedua ibu bapak dalam arti yang sebenarbenarnya, maka Allah akan memberikan ampunan kepada mereka atas perbuatannya. 2. Nilai-nilai pendidikan akhlaq berdasarkan Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dalam dunia pendidikan Islam yaitu pertama, pendidikan akidah di sekolahan hendaknya mengajarkan kepada peserta didik bertauhid meng-Esakan Allah bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah Tuhan Yang Maha Esa. Jumlah jam pelajaran yang terbatas dengan materi yang diserat menyebabkan guru agama mengambil jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan agama tidak lebih sebagai pelajaran daripada sebagai pendidikan. Sehingga pendekatan yang dipakainya adalah pendekatan ilmu yang lebih menyentuh ranah kognitif. Akibat yang mudah diharapkan dari pendekatan semacam itu adalah bahwa peserta didik hanya akan menumpuk bahan agama sebagai pengetahuan secara kuantitatif, dan tidak atau kurang kualitatif dalam pembentukan pribadi. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif yang menyentuh seluruh aspek pribadi, yang sering disebut sebagai pendekatan holistik atau integralistik.kedua, pendidikan birrul walidaini (berbuat baik kepada kedua orang tua)
78
dalam dunia modern seperti sekarang inijustru perlakuan terhadap orang tua yang sudah lanjut usia sungguh terbalik. Di saat mereka membutuhkan perhatian lebih dari orang-orang terdekat terutama seorang anak, malahan mereka kebanyakan diasingkan dari keluarga dengan alasan supaya mendapatkan perhatian yang lebih baik. Akhirnya, mereka dititipkan di panti jompo atau yang lain.Memang memasukkan orang tua ke panti jompo bukanlah tindakan tercela. Tetapi alangkah lebih baik jika seorang anak sendiri yang merawatnya. Bukankah dulu seorang anak dirawat orang tuanya sendiri. Dulu orang tua sangat takut berpisah dengan anak tetapi mengapa sekarang pada usia lanjut dipisah dengan dititipkan di panti jompo dan lain sebagainya. B.
Saran-saran Dari keterangan di atas penulis mempunyai saran-saran yaitu pertama, pendidikan akidah di sekolahan hendaknya mampu mengajarkan aqidah peserta didik sebagai landasan keberagamaan. Dengan kata lain, akidah diajarkan di sekolah untuk menjaga akidah peserta didik atau menjaga keimanan dan ketaqwaannya. Oleh karena itu, pendidik yang mengajar agama harus beragama yang sama dengan agama peserta didik. Pendekatan yang diberikan juga tidak banyak menekankan pada kajian kritis yang kritis. Kalau menggunakan argumentasi rasional (dalil aqli) sasarannya adalah untuk memperkuat akidah tadi. Dalam waktu bersamaan, pengertian menjaga akidah juga hendaknya meliputi menjaga pemahaman akidah yang diikuti oleh peserta didik.Jumlah jam pelajaran yang terbatas dengan materi
79
yang diserat menyebabkan guru agama mengambil jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan agama lebih sebagai pelajaran daripada sebagai pendidikan. Sehingga pendekatan yang dipakainya adalah pendekatan ilmu yang lebih menyentuh ranah kognitif. Akibat yang mudah diharapkan dari pendekatan semacam itu adalah bahwa peserta didik hanya akan menumpuk bahan agama sebagai pengetahuan secara kuantitatif, dan tidak atau kurang kualitatif dalam pembentukan pribadi. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif yang menyentuh seluruh aspek
pribadi
dengan
adanya
penambahan
jam
pelajaran
setiap
minggunya.kedua, pendidikan birrul walidaini(berbuat baik kepada kedua orang tua) seharusnya seorang anak memandang kedua orang tua kecuali dengan belas kasih, jangan meninggikan suara melebihi tingginya suara orang tua, jangan mendahului kehendaknya.Anak harus menundukkan pandangan dan membungkukkan diri dihadapan ibu bapaknya, maka secara otomatis ia tidak boleh berkacak pinggang di depan orang tuanya, apalagi bersikap menantang.Pada masa sekarang, memasukkan orang tua ke panti jompo jauh lebih lengkap dan terjamin tetapi alangkah lebih baiknya jika seorang anak sendiri yang merawat mereka. Bukankah dulu seorang anak dirawat sendiri oleh mereka, benar bahwa fasilitas di panti jompo jauh lebih lengkap dan terjamin. Tetapi rasa tenang tinggal di rumah sendiri dengan ditemani anak-anak dan cucu-cucu tidak akan diperoleh di panti jompo.
80
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz, Al-Fauzan. 2007.Fikih Sosial Tuntunan dan Etka Hidup Bermasyarakat, Jakarta: Qisthi Press. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Ahlu Syaikh. 1994.Terjemah Lubaib Tafsir Min Ibni Katsir, Kairo: Mus‟assasah. Departemen Agama RI. 2008.Al-Quran dan Terjemah Indonesia Inggris, Solo: Qamari. Abdurrahman, An-Nahlawi.1995. Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press. Abidin, Zaenal. 2007. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah Al A‟raf ayat 199 (skripsi), Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah. Achmadi. 2010.Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ahlu Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq. 1994.Terjemah Lubaib Tafsir Min Ibni Katsir, Kairo: Mus‟assasah. Aidh, Al-Qarni, Tafsir Muyassar, Jakarta: Qisthi Press. 2007. An-Nawawi Muhammad, Murohu Lubaid Tafsir An-Nawawi, Semarang: Toha Putra. Al-Ansari Abdullaah bin Ibrahim. 1248.Fathul Bayan Fi Maqosidil Quran, Bidaulatil Qitrin: Ihya‟ Turosil Islam. Bahreisy Salim dan Bahreisy Said. 1990.Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya: PT Bina Ilmu. Bahrul, Abu Bakar. 1990.Terjemah Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru. Abu Lait Samarqandy Abu. 2000.Terjemah Tanbihul Ghafilin, Surabaya, Mutiara Ilmu. Baidan, Nashruddin. 2010.Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baidan, Nashrudin. 2005.Methodologi Penafsiran Al-Qur‟an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Daradjat, Zakiah, dkk. 1992. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Departemen Agama. 1990. Al-Quran dan Tafsirnya, Jakarta: Depag. Departemen Agama. 1993.Al-Quran dan Tafsirnya, Semarang: PT. Citra Effhar.
81
Hakim Abdul Hamid, As-Sullam, Jakarta: Saadiyyah Putra. Hasbi Ash-Shiddieqy T.M., Al-Bayaan, Bandung: PT Al-Ma‟arif. Hery Noer Aly dan Munzier. 2003.Watak Pendidikan Islam, JAkarta: Friska Agung Insani. Jauharotul, Huda Faiq. 2008. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Menurut Al-Qur‟an surat At Taghabun ayat 14, (Skripsi) : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah. Khalil, Al-Qattan Mana‟. 2005. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, Terj. Mudzakir, Bogor: Pustaka Literatur Antarnusa. Marimba, Ahmad D. 1986.Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: AlMa‟arif. Muhammad, Al-Fahham. 2006.Terjemah Sa‟addah Al-Abna‟ Fii Birr AlUmmahat Wa Al-Aba‟, Bandung: Irsyad Baitus Salam. Muhammad, Al-Fahham. 2006.Terjemah Sa‟addah Al-Abna‟ Fii Birr AlUmmahat Wa Al- Aba‟, Bandung: Irsyad Baitus Salam. Muhammad, Aly As Shabuny. 1996.Al-Tibyan Fi „Ulum Al-Quran, Bairut: Alim Al- Kutub. Mustafa, Al-Maragi Ahmad. 1993.Terjemah Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra. Poerwadarminta, W.J.S. 1985. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. Qodri, Azizy A. 2003.Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu. Raghib, As Siraji. 2010.Cara Cerdas Hafal Al-Qur‟an, Solo: Aqwam. Sa‟id, Abdul Azhim. 2005.Ukhuwah Imaniyyah Persaudaraaan Iman, Jakarta: Qisthi. Said, Agil Husin Al-Munawar. 2002.Al-Quran Membangun Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press. Suharsimi, Arikunto. 2006.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: PT Rineka Cipta. Triantono. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.
82
DAFTAR SATUAN KETERANGAN KEGIATAN (SKK) Nama : Fathkul Manan Jhazuli
Wali Studi
NIM : 11110130 NO
NAMA KEGIATAN
: Fathchurrohman. M.Pd
Progdi PELAKSANAAN
: PAI KETERANG
NIL
AN
AI
25-27 Agustus 2010
PESERTA
3
20-25 September
PESERTA
3
1. Piagam Penghargaan OPAK 2010. 2. Sertifikat UPT Perpustakaan STAIN Salatiga “USER
2010
EDUCATION”. 3. Sertifikat “Tafsir Tematik”
29 November 2010
PESERTA
“Indonesia menangis
2
Darah” 4. Piagam “National Workshop of Entrepreneurship and
19 Desember 2010
PESERTA
6
PESERTA
2
Basic Cooperation 2010” (KOPMA) 5. Surat Keterangan :Baca TulisAl Qur‟an”
22 Juni 2011
83
6. Sertifikat “Praktikum Kepramukaan” jurusan
22 Juli 2011
PESERTA
5
25 Agustus 2011
PESERTA
2
13 Maret 2012
PESERTA
3
tarbiyah STAIN Salatiga. 7. Sertifikat :Seminar Enterpreneurship dan Koperasi” 8. Surat Keterangan “Praktikum Mata Kuliah Komputer Multimedia” 9. Piagam Penghargaan “Meningkatkan kepekaan dan Transparansi Kinerja
2 27 Maret 2012
PESERTA
21 April 2012
PESERTA
6
2 Mei 2012
PESERTA
3
Menuju Lembaga Kampus yang Amanah” 10. Sertifikat Seminar Nasional “Tren Bisnis Berbasis....” “”Kopma Fatawa” 11. Sertifikat Seminar Nasional “Berpolitik Untuk Kesejahteraan Indonesia”
84
(SEMA)
12. Piagam Penghargaan “Peran Mahasiswa dalam engawal BLSM..”
23 Mei 2012
PESERTA
3
(DEMA) 13. Piagam Penghargaan Public hearing II
3 18 Juni 2012
PESERTA
23 Juni 2012
PESERTA
3
1 Juli 2012
PESERTA
6
5 Juli 2012
PESERTA
2
(SEMA) 14. Sertifikat Seminar Nasional “Mewaspadai Gerakan Islam Garis Keras di Perguruan Tinggi‟ (DEMA) 15. SARASEHAN Nasional “Peran Mahasiswa Dalam Realita dan Idealitas Bangsa” “DEMA” 16. Piagam penghargaan “Memperingati Mulid nabi Muhammad SAW”
85
17. Sertifikat “Membentuk Karakter
10 September 2012
PESERTA
keislaman….”
3
18. Sertifikat Pelatihan Legal Drafting
31 oKTOBER 2012
PANITIA
3
11 Desember 2012
PESERTA
3
13 Maret 2013
PESERTA
3
1 Juni 2013
PESERTA
3
28 Juli 2013
PESERTA
(SEMA) 19. SERTIFIKAT ENGLISH FESTIFAL 2012 “SINGING CONTEST” (CEC) 20. Sertifikat “HIV/AIDS Bukan Kutukan Dari Tuhan” “DEMA” 21. SEMINAR POLITIK NASIONAL “Peran Nyata Mahasiswa dalam…” (SEMA) 22. Piagam Penghargaan “Pengembangan Profesionalisme Calon
2
Guru”
86
(IPNU)
23. Piagam Penghargaan “Sedekah Membawa
20 Agustus 2013
PESERTA
Berkah”
2
(IPNU) 24. Sertifikat “Pelatihan legal Drafting”
24-25 September
“Implementasi UU
PESERTA
3
2013
ORMAWA…” (SEMA) 25. Certificate “English Friendship Camp 2013”
28-29
3
September2013
PESERTA
9 Oktober 2013
PESERTA
6
20 Oktober 2013
PESERTA
3
(CEC) 26. Seminar Nasional “upaya Menjaga Eksistensi dan...” “ITTAQO” 27. Public Hearing III “Optimalisasi Kinerja Lembaga..” (SEMA)
87
28. Piagam Penghargaan MTQ Mahasiswa V
23 Oktober 2013
PESERTA
3
8-9November 2013
PESERTA
3
18-20 November
PESERTA
3
PESERTA
3
(JQH) 29. Sertifikat “Training SIBA SIBI 2014 (CEC,ITAQO) 30. Sertifikat CEC Festifal “Youngster Today is The Leader Tomorrow”
2013
(CEC) 31. PAB JQH 2013 “Kristalisasi Nilai Quar‟ani...”
23-24 November
“JQH”
2013
32. Piagam Penghargaan Sarasehan Akbar Bersama Tokoh Nasional
2 15 Maret 2014
88
PESERTA
89
90
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama
: Fatkhul Manan Jazuli
Tempat/Tanggal Lahir
: Temanggung, 11 Januari 1992
Jenis Kelamin
: Laki - Laki
Agama
: Islam
Warga Negara
: Indonesia
Alamat
: Dsn. Sinongko RT 001/RW 003, Ds. Plosogaden, Kec. Candiroto, Kab. Temanggung 56257
Riwayat Pendidikan
:
1.
MI Plosogaden, Candiroto, Kab. Temanggung, lulus Tahun 2004.
2.
SMP Islam Ngadirejo, Kab. Temanggung, lulus Tahun 2007.
3.
SMA Takhassus Alqur‟an, Kab. Wonosobo, lulus Tahun 2010.
4.
IAIN Salatiga, lulus Tahun 2015. Demikian data ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Salatiga, April 2015 Penulis
Fatkhul Manan Jazuli NIM: 111 10 130
91