Konflik Masyarakat di Bidang Sumberdaya Agraria1 Oleh: Sudjito2 Pengantar Konflik sumberdaya agraria di negeri ini dari waktu ke waktu terus hadir dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Ada kecenderungan konflik sumberdaya agrarian ini selalu meningkat, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.3 Kondisi seperti ini semakin mencemaskan, baik pada para pemegang (subyek) hak atas sumberdaya agraria maupun Pemerintah. Boleh saja dan bahkan tidak salah apabila ada orang yang berpendapat bahwa konflik sumberdaya agraria itu merupakan sesuatu yang inheren dalam kehidupan manusia, karena ia merupakan sisi lain dari kehidupan yang harmonis, akan tetapi pada hemat saya lebih bijaksana kalau kita senantiasa berupaya sungguh-sungguh untuk menyelesaikan konflik sumber daya agraria tersebut. Upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik-konflik sumberdaya agraria, penting untuk terus didorong dan dilakukan agar bisa mencapai hasil yang optimal. Bagaimanapun masyarakat maupun Negara memerlukan adanya kondisi keteraturan dan kepastian hukum dalam pemilikan, penguasaan maupun penggunaan sumberdaya agraria. Situasi yang teratur, tertib dan pasti ini diperlukan karena bagi siapapun hal demikian akan menjadi modal utama kehidupan produktif, bahagia dan sejahtera. Makna “kehidupan produktif” itu dalam konteks sumberdaya agraria, harus diletakkan sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3)UUD 1945 yaitu terwujudnya “sebesar-besar kemakmuran rakyat”,4 yang tolok ukurnya bukan semata-mata pada terpenuhinya kebutuhan lahiriah yang berupa: jaminan kepastian hukum dalam pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumberdaya agraria saja, melainkan juga mencakup terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang bersifat batiniah, metafisis, spiritual-religius. Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat lahiriah maupun batiniah tidak boleh sekali-kali direduksi, karena pemenuhan salah satu dari kebutuhan tersebut seraya mengesampingkan kebutuhan yang lain dipastikan akan menimbulkan permasalahan baru
1 Makalah untuk Pelatihan Tematik “Hukum Acara Perdata” Bagi Hakim di Lingkungan Peradilan Umum, diselenggarakan oleh Komisi Yudisial RI, di Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI Jl.Cipoko Selatan, Desa Suka Maju, Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 13 Juni 2013. Materi dikembangkan dari makalah yang pernah disampaikan pada Seminar Nasional “Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Dispute Resolution)”, diselenggarakan oleh PUSAT STUDI LINGKUNGAN HIDUP (PSLH) UGM, Di Inna Garuda Hotel, Jl.Malioboro, Yogyakarta, Kamis, 28 Juli 2005. 2
Prof.Dr. SH, MSi, Staf Pengajar pada Fakultas Hukum UGM; Kepala Pusat Studi Pancasila UGM. Alamat e-mail:
[email protected] 3 Betapapun makalah ini tidak menampilkan secara khusus data kuantitatif maupun kualitatif tentang konflik sumber daya agraria dimaksud, namun diyakini sepenuhnya bahwa pernyataan ini mengandung kebenaran dan bisa diterima oleh mayoritas. 4 Lihat : Pasal 33 ayat (3) UU 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
1
yang boleh jadi tidak kalah rumitnya dari konflik sumberdaya agraria itu sendiri. Penyelesaian konflik sumberdaya agraria dengan menggunakan “hukum” sebagai sarana kontrol maupun pencapaian tujuan, memang sudah merupakan kelaziman bahkan keharusan pada negara yang berpredikat sebagai “Negara Hukum” seperti halnya Indonesia.5 Permasalahannya, ketika hukum sumberdaya agraria (baik hukum materiil maupun hukum acara) sudah dibuat dan tersedia dengan cukup, kemudian dilaksanakan atau ditegakkan (dengan secara konsisten sekalipun), tetapi mengapa konflik-konflik sumberdaya agraria tersebut tidak menjadi berkurang, tetapi gejalanya justru cenderung terus meningkat? Lantas, apa yang mesti kita (utamanya para hakim) perbuat ketika konflik-konflik sumberdaya agraria itu dimintakan jasa penyelesaiannya secara adil? Makalah ini, ingin membahas permasalahan tersebut dengan memfokuskan pembahasannya pada konsep hukum sebagai sarana menyesaikan konflik-konflik sumberdaya agraria tersebut. Lebih lanjut, dari hasil pembahasan ini ingin ditawarkan pemikiran-pemikiran sebagai solusinya. Kompleksitas Konflik Sumberdaya Agraria Konflik, secara harafiah berarti percekcokan, perselisihan atau pertentangan.6 Dalam tingkatan yang paling awal dan sederhana, konflik itu biasanya muncul karena ada perbedaan persepsi atau penilaian antara seseorang dengan orang lain mengenai sesuatu hal. Katakanlah sesuatu hal itu mengenai sumberdaya agraria, maka sejak adanya perbedaan persepsi tentang sumberdaya agraria, sejak saat itu pula telah ada potensi konflik. Potensi konflik ini umumnya berupa ketegangan yang sifatnya tertutup (tersembunyi). Ketegangan itu manakala bertemu dan diikuti dengan dialog para pihak untuk mempertemukan persamaan-persamaan dan sekaligus meredam perbedaan yang masih tersisa, maka munculnya konflik bisa dicegah, sekaligus diperoleh sebuah keteraturan dan kebenaran baru yang tingkatnya lebih tinggi. Melalui dialektika, dari sebuah tesis dilawan dengan anti tesis, kemudian setelah didialogkan dicapailah sintesis. Di sinilah, ajaran suci bahwa perbedaan itu membawa rahmah bisa terwujud. Akan tetapi, apabila perbedaan persepsi itu sudah terkait dengan kepentingan, apalagi dikaitkan dengan isu-isu tentang sumberdaya agraria dan melibatkan banyak pihak, maka potensi konflik akan dengan cepat berubah menjadi sengketa. Sumberdaya agraria, sebagai salah satu sumberdaya alam yang amat penting bagi kelanjutan hidup dan kehidupan setiap manusia, sedari dulu
5
Predikat Indonesia sebagai “Negara Hukum” ini secara jelas dan tegas dicantumkan dalam UUD 1945
6 Baca: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, h.455.
2
telah kita rasakan dapat menjadi obyek ataupun isu pemicu munculnya konflik, yang untuk selanjutnya lazim disebut konflik sumberdaya agraria. Secara klasik, akar permasalahannya masih bertumpu pada ketimpangan perimbangan antara jumlah sumberdaya agraria yang terbatas sementara kebutuhan dan pihak-pihak yang memperebutkannya terus bertambah. Menurut Satjipto Rahardjo, dilihat dari dimensi sosiologi, jagad permasalahan konflik sumberdaya agraria itu mulai dari yang bersifat fisik sampai non fisik.7 Pertama, dimensi fisik. Tampilan fisik (topografi) berpengaruh terhadap penggunaan atau pemanfaatan tanah. Kerusakan lingkungan menyebabkan turunnya nilai ekonomi tanah, sehingga pada gilirannya mengganggu kesejahteraan rakyat. Penyelesaian atas masalah demikian sangat teknis sifatnya. Kedua, ruang sosial. Sumberdaya agraria memiliki ruang sosialnya sendiri, antara lain Negara, konstitusi dan kemunitas di luar Negara, misal masyarakat hukum adat. Kita mengenal “Hak Menguasai Negara”. Ada wewenang-wewenang untuk mengatur, dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang itu dapat dikuasakan kepada Daerah maupun masyarakat hukum adat. Realitas empiris, ada pereduksian “Hak Menguasai Negara” menjadi “Hak Menguasai Pemerintah, Kementerian, Pemerintah Daerah, dan sebagainya”, tetapi belum pernah ada pelimpahan kepada masyarakat hukum adat. Justru masyarakat hukum adat cenderung dipinggirkan, dilemahkan bahkan dianggap tak ada. Cara demikian, efektif bagi Negara untuk mengubah status tanah adat menjadi tanah Negara. Cara demikian, secara maknawi, sama dengan menghadirkan kembali azas domein verklaring. Dengan kata lain, di zaman kemerdekaan pun ada kolonialisasi (penjajahan) versi baru. Ketiga, institusi publik, seperti birokrasi BPN atau Pengadilan, merupakan lembaga yang rentan terlibat dalam konflik sumberdya agraria. Pelayanan yang lamban, tidak professional, korup, diskriminatif, merupakan sumber konflik potensial. Keempat, situasi sosial, seperti: kemiskinan, kesenjangan, keterbelakangan, ketidakadilan merupakan faktor-faktor yang menyimpan potensi konflik, dan akan cepat manifes bila dipicu hadirnya para provokator. Kelima, modernisasi-industrialisasi yang bergandengan dengan erat dengan paham kapitalisme, neo-liberalisme, senantiasa beroirentasi pada keuntungan ekonomi, serta merta rela mengorbankan golongan ekonomi lemah. Melalui berbagai kebijakan formal, rakyat “dipaksa” melepaskan tanahnya demi peningkatan investasi. Kekecewaan rakyat merupakan sumber konflik potensial, yang bila terakumulasi bisa cepat menyembul menjadi huru-hara. Pada hemat saya, UUPA (UU No.5 Tahun 1960) secara substansial telah mengatur secara holistik keseluruhan entitas yang terkait dengan sumberdaya agraria. Asas-asas hukum yang terkandung di dalamnya terbukti masih relevan untuk tetap dipertahankan. Akan tetapi sayang, semasa Pemerintahan Orde Baru dan berlanjut di era Orde Reformasi, jiwa 7 Satjipto Rahardjo, 2010, “Sosiologi Sengketa Pertanahan”, dalam Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta.
3
dan isi UUPA tersebut tidak sepenuhnya dijadikan acuan dalam membuat dan menjalankan kebijakan tentang sumberdaya agraria. Kita dengan mudah dapat menemukan dan membuktikan adanya peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA yang tidak/kurang konsisten baik di lihat dari substansi maupun hierarkinya. Kebijakan-kebijakan parsial dan sektoral di bidang sumberdaya agraria pada gilirannya telah menjadi sumber konflik bahkan bagian dari konflik sumberdaya agraria itu sendiri. Hingga tahun 2013 ini, konflik agraria belum mereda di Indonesia. Konflik agraria di sejumlah daerah, seperti di Lampung, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan lain-lain, masih terus berlangsung. Banyak yang menganggap konflik agraria itu seperti bom waktu. Jika tidak segera diatasi, maka sewaktuwaktu bisa meledak. Hasil kajian serta pemetaan Badan Informasi Geospasial (BIG) menemukan adanya potensi konflik agraria akibat tumpang tindih penguasaan lahan di bidang kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan lokasi transmigrasi. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, sejak 2004 hingga 2012 terjadi 618 konflik agraria di Indonesia. Sementara dalam rencana strategis BPN disebutkan fokus penyelesaian 7.491 kasus konflik agraria, yang terdiri dari 858 konflik, sengketa 4.581, dan perkara tanah 2.052 kasus. Menurut Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan (30/4/2013) di Provinsi Sumsel saja yang tercatat menghadapi 32 kasus konflik agraria, tapi juga sudah se-Indonesia, hampir 300 orang masyarakat tani di Indonesia mengalami kasus hukum dengan aparat ataupun badan usaha.8 Terlihat pula bahwa munculnya konflik sumberdaya agraria sering didorong oleh kebijakan yang ditetapkan oleh negara. Muncullah apa yang disebut “konflik struktural”. Konflik ini melibatkan warga masyarakat di satu pihak berhadapan dengan pihak lain yang difasilitasi dan didukung oleh kebijakan negara, atau konflik antara warga masyarakat dengan instansi Pemerintah. Metrotvnews.com, Jakarta, edisi: Selasa, 16 April 2013 mewartakan pernyataan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bahwa memasuki April 2013, ada 190 warga dan aktivis yang ditangkap karena mempertahankan hak atas tanah dan lingkungan. Peran polisi dalam menangani konflik lingkungan dan agraria semakin signifikan. Polisi menjadi aktor yang membuat konflik berlarut dan membesar. Dan tidak sedikit mereka memainkan peran dalam membantu perusahaan menghilangkan bukti kepemilikan tanah warga. Ada upaya sistematis dari negara dalam mengerahkan aparat untuk menjauhkan hak-hak masyarakat adat atas tanah yang mereka kelola.
8
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG, “Tercatat 32 Kasus Konflik Agraria di Sumsel” Selasa, 30 April 2013.
4
Tragedi kemanusiaan di Mesuji dan Bima cukup menjadi bukti adanya kepentingan masyarakat yang terpinggirkan oleh kepentingan kapitalisme bernama investasi. Dengan mengatasnamakan hukum positif negara, kelompok-kelompok masyarakat, terutama masyarakat adat, semakin tak mendapat tempat di wilayah asal mereka ketika terjadi konflik agraria. Konflik agraria di sini bukan hanya bicara tentang rebutan tanah, tetapi juga sumber-sumber daya alamnya. Dalam menghadapi konflik agraria, pemerintah cenderung mengedepankan hukum formal tertulis. Sebagian dibuat dengan mengangkangi prinsip-prinsip hukum agraria yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960. Berbekal peraturan semacam itulah aparat menggunakan kacamata kuda melihat konflik agraria. Seolah-olah hanya satu hukum yang berlaku di bidang agraria, yaitu hukum positif nasional. Seolah-olah masyarakat tidak punya hukum dan mekanisme sendiri yang bisa menyelesaikan konflik, bahkan mencegah jika ada potensi konflik. Keragaman budaya, etnisitas, dan indikasi sosio-antropologis lainnya terabaikan. Jika ada keberagaman hukum di satu sisi, dan keinginan menyatukan seluruh elemen masyarakat ke dalam satu nation, pertanyaan tentang pluralisme hukum akan selalu muncul. Deskripsi singkat tentang realitas konflik sumberdaya agraria di atas cukup memberikan gambaran bahwa : 1) Konflik sumberdaya agraria sering muncul karena kebijakan negara sudah bias (memihak) kepada pihak tertentu; 2) Masih ada perlakukan berbeda (diskriminatif) dalam penyelesaian konflik sumberdaya agraria; 3) Belum diketemukan mekanisme hukum terbaik (masih mencaricari) untuk penyelesaian konflik sumberdaya agraria tersebut. Dilihat dari isinya, sengketa itu menyangkut 3 hal yaitu: 1) Sengketa yang bersumber dari perbedaan pandangan di antara pihak-pihak yang bersengketa tentang kepemilikan sumberdaya agraria, kebenaran data fisik dan data yuridis; 2) Sengketa yang bersumber dari perbedaan kepentingan untuk memanfaatkan sumberdaya agraria tertentu di antara kelompokkelompok dalam masyarakat. 3)
Adanya indikasi korupsi di badan perijinan perkebunan, kehutanan maupun pertambangan yang memicu munculnya konflik agraria ini.
Bila kita cermati seksama, penyelesaian terhadap macam-macam sengketa tersebut cenderung mempunyai tekanan yang berbeda. Terhadap kelompok sengketa pertama, penyelesaian melalui mekanisme hukum lebih ditekankan meskipun dalam prosesnya tetap dapat dibuka kemungkinannya untuk diselesaikan melalui mekanisme di luar lembaga peradilan atau melalui penyelesaian sengketa alternatif. Sebaliknya
5
terhadap kelompok sengketa yang kedua dan ketiga, penyelesaiannya diusulkan diluar lembaga peradilan yang ada: melalui perwasitan, fasilitasi, mediasi atau arbitrase. Kenetralan (obyektivitas) institusi hukum (kebijakan Pemerintah) di bidang sumberdaya agraria selama ini memang pantas dipertanyakan. Saya sependapat dengan apa yang disinyalir oleh The Critical Legal Studies (CLS)9 bahwa hukum senantiasa sarat dengan persoalan politik, ekonomi dan sosial. Adalah omong kosong (tidak mungkin) memisahkan politik dan pilihan-pilihan etika-moral dengan hukum berdasarkan argumen obyektivitas dan netralitas hukum. Realitas yang hadir dan kita hadapi bahwa “law is as negotiable, subyective and policy-dependent as politics”. Hal demikian ini pada hemat saya berlaku umum, tak terkecuali pada kebijakan Pemerintah di bidang sumberdaya agraria. Dengan pemahaman demikian, akan mudah ditarik benang-merah, mengapa dan bagaimana konflik-konflik sumberdaya agraria tersebut muncul dan kecenderungan terhadap mekanisme penyelesaian hukum yang dipilihnya. Pada hemat saya, kompleksitas konflik sumberdaya agraria di negeri ini pada sekitar dua dekade terakhir, terkait erat dengan globalisasi.10 Apa yang disebut globalisasi ini secara singkat dapat dinyatakan sebagai satu fase perjalanan panjang perkembangan kapitalisme liberal, yang berupaya mengintegrasikan ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sistem ekonomi global. Semua mekanisme dan proses globalisasi itu diperjuangkan oleh para aktor-aktor globalisasi, seperti: Transnational Corporations (TNC’s), International Financial Institutions (IFI’s) khususnya World Bank dan International Monetery Fund (IMF) melalui kesepkatan yang dibuat di World Trade Organization (WTO). Perjuangan mereka itu dilandaskan pada satu ideologi yang dikenal sebagai neo-liberalisme. Apa yang menjadi pendirian neo-liberalisme dicirikan sebagai berikut: (1) kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, (2) penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, (3) serta menyingkirkan birokrasi dan “parasit” pemerintah. Aturan dasar kaum neo-liberalis adalah: (a) “liberalisasikan perdagangan dan finansial, (b) biarkan pasar menentukan harga, (c) akhiri inflasi, (stabilitas ekonomimakro dan privatisasi) kebijakan pemerintah haruslah “menyingkirkan dari penghalang jalan”. Paham inilah yang saat ini oleh para aktor globalisasi dipaksakan untuk diterima semua bangsa-bangsa di seluruh dunia, tak terkecuali pada bangsa Indonesia. Saat ini peruntukan tanah untuk perkebunan sawit sudah mencapai 8,9 juta hektar. Sampai sekarang, dengan kebijakan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada investasi asing, penambahan areal dan ekspansi perusahaan sawit masih akan berlanjut. Padahal, dari 9
Penjelasan lebih detail mengenai pemikiran-pemikiran CLS ini dapat dibaca pada Roberto M.Unger, The Critical Legal Studies Movement, Free Press, New York, 1966. 10 Buku menarik tentang globalisasi (yang juga digunakan untuk penulisan ini) adalah karya Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
6
keseluruhan perkebunan sawit, sebanyak 59 persen berkonflik dengan rakyat, yaitu 591 kasus konflik di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Model pembangunan ekonomi liberal, yang sangat pro-kapital, menciptakan ketidakadilan dalam peruntukan tanah. Di sektor kehutanan, misalnya, peruntukan hutan untuk industri (HTI) mencakup 9,39 juta ha (262 perusahaan), sementara Hutan Tanaman Rakyat (HTR) hanya berkisar 631.628 hektar. Karena desakan kapital, sebagian besar daratan Indonesia dikuasai oleh perusahaan HTI, HPH, sawit, perusahaan tambang, dan lainlain. Sementara di sisi lain, rata-rata petani Indonesia hanya menguasai kurang dari 0,25 hektar. Sebanyak 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah. Lalu, indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,6. Angka itu sudah melampaui titik ledak, yakni 0,5, yang berpotensi menyulut gejolak sosial. Mengutip apa yang dinyatakan oleh Mas’oed (1989) bahwa para aktor globalisasi itu sejak awal memiliki andil yang kuat dalam mendukung politik dan program-program agraria rejim Orde Baru,11 dan sangat dominan mendikte rejim Orde Reformasi. Keterlibatan dan peran mereka itu semakin dalam dan melebar pada saat kejatuhan rejim Orde Baru dan munculnya rejim Orde Reformasi. Dengan membonceng pada kebijakan desentralisasi, mereka berupaya mempengaruhi (mendikte) kebijakankebijakan agraria sampai ditingkat daerah Kabupaten dan Kota. Dengan cara begitu, akses dan kepentingan untuk bisa mendapatkan dan menguasai sumberdaya agararia semakin dekat, bahkan bisa langsung kepada pemiliknya. Kehadiran globalisasi sebagai proses kapitalisasi ekonomi liberal, pada hemat saya, identik dengan perilaku manusia individu yang mengumbar nafsu keserakahan duniawi yang tidak segan-segan mengorbankan kepentingan masyarakat keseluruhan. Globalisasi telah memunculkan pembagian kekuasaan yang tidak merata dan tidak seimbang. Sebagian besar kekuasaan dalam pembuatan hukum maupun penegakan hukum berada di tangan para aktor globalisasi, sedangkan para pelaku ekonomi di negara-negara berkembang menjadi terpinggirkan. Kondisi demikian itu semakin memberikan bukti bahwa sistem perekonomian menjadi faktor pendorong terjadinya perlapisan sosial12 dalam skala global. Penumpukan kekuasaan di tangan para aktor globalisasi, berhubungan dengan penguasaan sumber-sumber daya agraria dalam masyarakat (dunia). Dengan terjadinya perlapisan sosial, maka hukum pun sulit mempertahankan netralitasnya. Di sinilah Friedman menunjukkan bahwa perlapisan sosial merupakan kunci bagi penjelasan
11
Baca: Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, LP3ES, Jakarta, 1989.
12
Baca: Richard Schermerhorn, A Society and Power, New York: Random Haouse, 1965.
7
mengapa hukum itu bersifat diskriminatif, baik pada substansi maupun penegakan hukumnya.13 Terkait dengan dominasi globalisasi tersebut, semakin tampak dan terasakan bahwa kandungan nilai-nilai moralitas (khususnya nilai kebenaran dan keadilan), religius-magis pada sumberdaya agraria maupun berbagai kebijakan yang mengaturnya semakin terpinggirkan. Sebagai akibat dari tekanan para aktor globalisasi tersebut, diakui ataupun tidak, kebijakan-kebijakan di bidang agraria dalam dua dekade terakhir ini cenderung positivistik, terwujud sebagai kesepakatan politik yang sekuler, dan bernuansa liberal. Bagaimanapun tidak terbantahkan bahwa kebijakan Pemerintah di bidang sumberdaya agraria merupakan resultante dari proses interaksi dan negosiasi berbagai kepentingan di antara faksifaksi di dalam masyarakat dan negara. Dalam posisinya yang subordinatif terhadap Negara, kepentingan masyarakat (akar rumput) menjadi tidak/kurang terakomodasi. Sesuai dengan doktrin positivisme, kebijakan Pemerintah itu cenderung menguntungkan kaum elit, yaitu para pengusaha (nasional maupun asing) yang berkolaborasi dengan para penguasa (decesion makers). Penyelesaian Konflik Sumberdaya Alam Secara Progresif Penyelesaian konflik sumberdaya agraria yang diskriminatif sebagaimana terus berlangsung selama ini, dapat dipahami sebagai bagian dari proses yang diawali dengan pembuatan kebijakan Pemerintah yang tidak netral. Proses peradilan ataupun penjatuhan hukuman terhadap warga masyarakat yang terlibat dalam konflik, betapapun telah dilakukan sesuai prosedur, tetap saja akan melahirkan ketidak-adilan, sebab hukumnya sendiri sudah tidak netral. Disadari atau tidak, kita telah cukup lama “diperosokkan” oleh para aktor-aktor globalisasi ke dalam pola pembuatan kebijakan dan pola penegakan hukum liberal yang positivistik. Kita sungguh prihatin dengan maraknya konflik-konflik sumberdaya agraria di negeri ini. Hati kita pasti terusik dan sulit untuk bisa menerima bahwa aspek moral dan nilai-nilai religius-magis yang melekat pada sumberdaya alam, secara sistematis disingkirkan dari subtansi pengaturan hukum sumberdaya agraria. Kita paham bahwa pada masyarakat hukum adat, sumberdaya agraria merupakan bagian integral dari kehidupan warganya. Bagi mereka hukum sumberdaya agraria tidak pernah dipahami sekedar sebagai teks-teks yuridis-normatif tentang apa yang seharusnya dipatuhi, ditaati dan dilakukan, melainkan ia juga merupakan kegiatan sosial, budaya, adat bahkan keagamaan. Pendek kata, hukum sumberdaya agraria tersebut merupakan bagian dari kemanusiaan dan ia mengabdi serta melestarikan kemanusiaan. Pemahaman yang demikian itu membawa pencitraan hukum sumberdaya agraria sebagai “antropologi dokumen”. Realitas demikian itu masih dengan mudah ditampilkan contoh-contohnya, 13 Baca: Lawrence M.Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation, 1875, h.180-187.
8
misal : lembaga subak di Bali, sistem jeumba dalam pengelolaan lahan pertanian di Aceh, sistem cowal sebagai instrumen pembagian air irigasi di Jawa Barat, dan sebagainya.14 Apabila kemudian ada pihak lain yang memperlakukan sumberdaya agraria di wilayah itu semata-mata dengan pertimbangan nilai ekonomis, maka perbedaan penilaian ini akan bisa berlanjut menjadi konflik. Keprihatinan kita pun semakin mendalam ketika penyelesaian terhadap konflik-konflik sumberdaya agraria itu diperkeruh dengan maraknya “mafia peradilan”, sehingga hukum dan keadilan menjadi milik mereka yang kaya dan berkuasa sekaligus menjadi komoditi yang bisa diperdagangkan. Dalam kondisi seperti ini hukum bukan lagi “as a tool of social engineering” sebagaimana dikonsepkan oleh Roscoe Pound,15 melainkan telah berubah menjadi apa yang oleh Podgorecki & Olgiati (1966) disebut “dark engineering”.16 Dalam menghadapi relitas hukum sumberdaya agraria yang kompleks tersebut, pengaturan dan penyelesaian konflik dengan dasar legal thought yang positivistik sudah barang tentu tidak memadai. Mengapa demikian? Sebab dalam kerangka berpikir legal positivism, hukum justru harus dibersihkan dari anasir-anasir yang bersifat teologis dan metafisis.17 Dalam doktrin positivisme, hukum sumberdaya agraria sudah sah, asalkan rasional, diproses melalui prosedur baku, dan dituangkan dalam ketentuan-ketentuan perundang-undangn sehingga positif, pasti dan sistematis. Apakah hukum positif tersebut dapat menjadi sarana mewujudkan keadilan ataukah tidak, adalah persoalan lain, dan tidak menghalangi keabsahan hukum positif tersebut. Hukum sumberdaya agraria positif yang demikian itu jelas bertolak-belakang dengan konsep hukum sebagai “antropologi dokumen” di atas. Dalam pandangan saya, solusi untuk penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria tersebut lebih tepat dengan menggunakan konsep penegakan hukum progresif dari Satjipto Rahardjo.18 Pangkal pikiran dari konsep hukum progresif, bahwa hukum adalah suatu institusi yang berjuang mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat bahagia. Asumsi dasarnya adalah ada hubungan antara hukum dan manusia, sedangkan prinsip yang harus dipegang adalah “hukum adalah untuk manusia”, dan bukan sebaliknya. Faktor manusia 14 Baca: Sudjito, Hukum Pengelolaan Irigasi: Suatu Percobaan Untuk Melakukan pengaturan Secara Holistik, Disertasi, Undip, Semarang, 2005. 15
Baca : Roscoe Pound, Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence”, Harvard Law Review Vo..25, December 1912. 16
Baca : Adam Podgorecki & Vittorio Oligati (eds), Totalitarian and Post-Totalitarian Law, Aldershot, UK : Dartmouth Publishing Company, 1966. 17
Baca: August Comte, The Philosophy, judul asli : Cours de Philosophie Positive (1855) diterjemahkan oleh Harriet Martineau, AMS Press, Inc., New York, 1974. 18 Uraian mengenai hal ini dapat dibaca pada Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), makalah yang disampaikan pada acara Jumpa Alumni PDIH UNDIP Semarang, 4 September 2004.
9
adalah simbol daripada unsur-unsur greget (compassion, empathy, sincerety, edication, commitment, dare dan determination). Mengutamakan faktor manusia daripada hukum membawa kita untuk memahami hukum sebagai suatu proses. Dalam proses itu, hukum berbagi pendapat dengan semua entitas dalam masyarakat, dan terus bergerak tiada henti dalam aras sosiologis, bukan pada aras legalistik-posivistik. Melalui proses dialogis, menjadikan terbuka kemungkinan hukum progresif itu merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi dan prosedur. Koreksi demikian itu dilakukan demi mendekatkan kepada tujuan hukum yang sebenarnya yaitu “manusia yang sejahtera dan bahagia”. Penegakan hukum progresif bekerja untuk menyelesaikan segala bentuk ketidakteraturan (termasuk penyelesaian konflik) melalui pendayagunaan institusi kenegaraan maupun institusi non-kenegaraan. Penekanannya adalah memilih untuk menjadi kekuatan pembebasan. Pembebasan itu tertuju baik kepada tipe, cara berpikir, asas dan teori yang tidak lagi terbelenggu pada hukum konvensional (positivistik). Satu karakter penting dari konsep penegakan hukum progresif adalah menolak keadaan status quo, manakala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat merugikan rakyat. Watak inilah yang pada akhirnya berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum. Dengan penjelasan demikian, maka penegakan hukum progresif mengsisyaratkan pentingnya semua komponen bangsa selalu peka terhadap perubahanperubahan yang terjadi dalam masyarakat, baik lokal, nasional maupun global. Berhadapan dengan perubahan-perubahan tersebut, penegakan hukum progresif terpanggil untuk mengedepankan kepentingan rakyat, dan menjauhkan diri dari ego kelompok, golongan atau investor. Dari uraian padat mengenai konsep penegakan hukum progresif di atas, berikut ingin ditunjukkan beberapa poin penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka penyelesaian konflik sumberdaya agraria. Pertama, perlunya keterpaduan tekad bersama para aparat penegak hukum. Para hakim, jaksa, polisi, advokat, mediator, arbitrator, wasit, aparat teknis dan semua entitas yang terkait dengan kegiatan penyelesaian konflik sumberdaya agraria hendaknya duduk bersama di satu meja untuk menyamakan persepsi dan konsep, sebagaimana suatu pasukan yang akan berangkat perang untuk memenangkan negerinya. Katakanlah yang akan diperangi itu masalah konflik sumberdaya agraria, maka sejak awal semua entitas terkait harus sudah seia-sekata mengenai tipe, cara berpikir, asas dan teori yang akan dijadikan senjata untuk penyelesaian konflik tersebut, sehingga tidak ada lagi hambatan internal dalam tim (pasukan) aparat penegak hukum. Kedua, penyelesaian konflik sumberdaya agraria tidak boleh dipisahkan dari aspek moral. Telah diuraikan di atas bahwa akibat pengaruh hukum modern yang positivistik-kapitalistik-sekuler, dewasa ini demoralisasi kebijakan Pemerintah di bidang sumberdaya agraria kian
10
terjadi di negeri ini. Demoralisasi ini terjadi sejak orang secara tajam memisahkan antara wilayah hukum (kebijakan) dan moral. Ini amat berbahaya bagi kelangsungan hidup suatu negara hukum. Bila hukum sudah mulai dilepaskan dari moral, maka sungguh ia tak bedanya sebagai zombie. Dalam penegakan hukum progresif, demoralisasi hukum maupun sekulerisasi kebijakan di bidang sumberdaya agraria harus benar-benar dilawan. Inti hukum (kebijakan) justru terletak pada aspek moral, seperti nilai keadilan, nilai kebenaran, nilai religius dan sebagainya. Untuk menjaga kandungan moralitas itu, maka para stakeholders harus jujur, cerdas, dinamis, profesional, dengan visi komunal yaitu menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Ketiga, mobilisasi hukum, dengan semboyan “kalau tidak ada rotan, akarpun berguna”. Orientasi penyelesaian konflik sumberdaya agraria adalah kepada tujuan yang jelas dan konkrit, yaitu menjadikan sumberdaya agraria sebagai sarana tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan rumusan yang jelas dan tegas, yaitu memihak kepada kepentingan rakyat maka segala bentuk perilaku yang menghambat tercapainya tujuan itu harus dipangkas. Untuk pencapaian tujuan demikian itu maka sekalian hukum yang ada harus bisa dimobilisir agar semua konflik sumberdaya agraria, apapun bentuknya, dan siapapun yang terlibat bisa diatasi sampai ke akar-akarnya. Apabila prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik yang diatur dalam hukum acara tidak lagi memadai, perlu dihadirkan prosedur lain untuk mengatasi kelemahan hukum acara yang ada. Mekanisme penyelesaian konflik di luar lembaga peradilan atau penyelesaian sengketa alternatif, perwasitan, fasilitasi, mediasi atau arbitrase dapat menjadi pilihan. Harus dipahami bersama, bahwa hukum acara hanyalah salah satu bentuk alat atau sarana, dan bukan tujuan dari penyelesaian konflik, dan oleh karenanya penggunaannya harus benar-benar bijaksana, jangan sampai pencapaian tujuan yang sebenarnya menjadi terhalang oleh kelemahankelemahan prosedural. Setiap kali ada problema tentang hukum yang seharusnya menjadi sarana penyelesaian konflik, maka hukumlah yang harus ditinjau kembali (direform atau bahkan dicabut), dan bukan manusia (rakyat) yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum yang sudah out of date itu, dan bilamana perlu harus “berani keluar” dari kungkungan tertib berpikir dan bertindak yang linier-mekanistik-rasional. Keempat, melibatkan semua komponen bangsa. Penyelesaian konflik sumberdaya agraria yang progresif sifatnya multidimensional, artinya banyak faktor dan banyak pihak yang terkait dan perlu saling mendukung. Komponen utamanya adalah aparat penegak hukum itu sendiri. Mereka harus terdiri dari profesional hukum yang cerdas, jujur, dinamis dengan visi komunal. Kepentingan dan kebutuhan bangsa harus ditempatkan di atas kepentingan diri-sendiri ataupun kelompok. Tak kurang pentingnya, adalah keterlibatan komponen akademisi, cendekiawan, ulama, intelektual maupun pakar di bidang sumberdaya agraria. Semua komponen bangsa ini dituntut berjuang agar konflik sumberdaya agraria diselesaikan sampai pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar religiusnya, sebab
11
hanya dengan cara itu masyarakat akan merasakan kebijakan sumberdaya agraria itu cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut. Mereka harus berani melepaskan diri dari kungkungan paham liberalisme, positivisme dan sekulerisme, yang selama ini membelenggunya, dan berani melakukan pencerahan dengan nilai-nilai luhur yang termaktub dalam Pancasila. Penutup Sebagai penutup dari pemikiran yang terurai di atas, ada beberapa hal yang ingin dimintakan perhatian: Pertama, bahwa progresivitas dalam penyelesaian konflik sumberdaya agraria tidak berarti menghalalkan segala cara demi tercapainya suatu tujuan. Penegakan hukum progresif sama sekali tidak menghendaki anarkhi. Untuk menghindari hal-hal negatif seperti itu maka prinsip “social reasonableness”, pro-keadilan tetap menjadi kendali utama. Kedua, penyelesaian konflik sumberdaya agraria secara progresif sangat bertumpu pada sumberdaya manusia. Komplementaritas kearifan lokal yang dimiliki oleh tokoh-tokoh masyarakat, Kepala Adat, Ulama dengan ketajaman analisis para akademisi-cendekiawan, tokoh LSM serta ketrampilan para birokrat dan entitas yang lain akan lebih menjamin terwujudnya kesatuan tim yang jujur, profesional dan kokoh. Ketiga, keefektifan konsep penyelesaian konflik sumberdaya agraria secara progresif sangat dipengaruhi oleh kultur (budaya) hukum. Dimaksud dengan kultur hukum disini adalah nilai-nilai spiritual yang menjadi penggerak bekerjanya hukum. Apabila selama hampir tiga abad pemikiranpemikiran hukum telah dihegemoni oleh paham positivistik-liberal, maka hukum progresif justru berkesesuaian dengan budaya Timur yang mengedepankan visi komunal, kebersamaan, gotong-royong. Acuannya Pancasila. Daftar Pustaka Comte, August., The Philosophy, judul asli : Cours de Philosophie Positive (1855) diterjemahkan oleh Harriet Martineau, AMS Press, Inc., New York, 1974. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990. Fakih, Mansour., Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Friedman, Lawrence M., The Legal System, A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation, 1875.
12
Mas’oed, Mochtar., Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, LP3ES, Jakarta, 1989. Rahardjo, Satjipto., Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), makalah yang disampaikan pada acara Jumpa Alumni PDIH UNDIP Semarang, 4 September 2004. -------------------------, “Sosiologi Sengketa Pertanahan”, dalam Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010. Schermerhorn, Richard., A Society and Power, New York: Random Haouse, 1965. Sudjito, Hukum Pengelolaan Irigasi: Suatu Percobaan Untuk Melakukan Pengaturan Secara Holistik, Disertasi, Undip, Semarang, 2005. Unger, Roberto M.,The Critical Legal Studies Movement, Free Press, New York, 1966. Podgorecki, Adam & Oligati, Vittorio (eds), Totalitarian and Post-Totalitarian Law, Aldershot, UK : Dartmouth Publishing Company, 1966. Pound, Roscoe., Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence”, Harvard Law Review Vol.25, December 1912.
13