MENDESAIN KEHIDUPAN MELALUI TEKS SASTRA Abdul Rozak Sobihah Rasyad FKIP-Unswagati Cirebon
[email protected]
Abstrak Tulisan ini menyajikan peluang pengajar membedah teks sastra sebagai media penyusunan skenario hidup. Teks sastra memberikan peluang kepada para pembaca menemukan makna hidup. Pembelajaran sastra sesungguhnya mempunyai peluang besar memberikan makna pembelajarannya dengan membincangkan kehidupan masa depan dengan para pembelajar melalui perbincangan teks sastra. Diskusi sastra berdasarkan topik tertentu sesuai dengan kondisi yang dikehendaki terjadi pada saat pembelajaran dapat menghidupkan suasana kelas. Menghidupi teks sastra adalah dengan memberikan petunjuk pembahasan secara hidup. Pada kenyataannya para pembelajar termotivasi untuk selalu ikut perbincangan dengan menyampaikan gagasannya, pengalamannya, perasaannya. Pengajar harus menyadari bahwa sebuah desain harus disiapkan sejak dini. Para orang tua sangat berharap bahwa sekolah dapat membimbing para pembelajar agar mereka mengetahui menjalani hidup dengan baik dan benar. Teks satra dengan ramuan jitu pengajar sastra dapat berkontribusi terhadap niat itu. Abstract Kata kunci ; teks sastra, desain, pengalaman, skenario hidup, konstruksi This paper provides opportunity for teachers to dissect literary works as a medium for designing life scenario. Literary works offers a medium for readers to find the meaning of life. Literary learning provides huge opportunity for learners to gain meaning from learning through discussion about life in the future. Literary work discussion which is presenting certain topics relevant to intended condition in the learning process may live up the class. In order to make literary work discussion livelier in the classroom, detail instructions about it should be provided interestingly. By so doing, learners are more motivated to participate in the discussion by delivering their thoughts, experiences, and feelings. Teachers should realize that a well-designed learning needs a thorough preparation. Parents do really hope that schools are able to guide their children to go through their life in a good and right manner. Literary works presented in a well-designed learning scenario by teachers can contribute to achieve the objective. Kata kunci ; teks sastra, desain, pengalaman, skenario hidup, konstruksi Keywords : literary text, design, experience, scenario of life, construction
1
1. PENDAHULUAN Mengapa orang tua menyekolahkan anak-anaknya? Jawaban yang sederhana adalah karena orang tua percaya bahwa sekolah akan menjadi jalan pencarian hidup anak-anaknya. Kepercayaan ini ditandai dengan serta merta orang tua menyekolahkan anak-anaknya tanpa bertanya dengan rinci apa yang dilakukan sekolah kelak. Mereka percaya bahwa sekolah akan mendidik dengan benar. Kepercayaan ini sebetulnya modal sekolah yang sangat kuat. Beban sebagian orang tua dipindahkan ke sekolah dan sekolah harus siap menerima beban itu dengan menyusun program kepercayaan orang tua. Peralihan sebagian beban itu akan memuliakan pengajar jika dilaksanakan dengan sepenuh hati dan seluruh tanggung jawab. Sekolah menyiapkan program berdasarkan kurikulum yang telah disiapkan dan harus disusun ulang untuk kepentingan anak didik. Kurikulum yang disiapkan pemerintah hanya pedoman. Ia harus dihidupi dan dihidupkan sesuai dengan rencana perjalanan hidup para pembelajar. Semua pembelajar punya mimpi menjadi orang baik dan lebih baik dalam segalanya daripada orang tuanya. Orang tua juga mempunyai maksud mulia. Mereka menghendaki anak-anaknya dapat menjalankan kehidupannya lebih baik daripada diri mereka. Mimpi orang tua dan anak-anak tumpah dalam kelas dan itu tanggung jawab utama para pengajar, para kepala sekolah, para kepala dinas pendidikan dan kebudayaan dan pada akhirnya tanggung jawab utama ada pada pundak pemerintah daerah dan pusat. Sekolah dengan acuan kurikulum menjabarkan materi ke dalam bentuk satuan mata pelajaran yang disiapkan sebagai media diskusi. Semua mata pelajaran pada intinya harus selalu menjadi bagian dalam menjadikan anak didik mengetahui bagaimana menjalankan kehidupan dengan baik dan bersih. Salah satu mata pelajaran yang ikut berperan adalah mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Tulisan ini membahas kontribusi mata ajar sastra dalam menyediakan pengalaman bersasatra anak didik sebagai bagian pelatihan menyusun skenario hidup. Bagaimana teks sastra dapat menjadi media menemukan pengalaman hidup untuk kepentingan menyusun skenario hidupnya. Hidup teratur dimulai dengan penetapan tujuan sebagai arahan pada saat berperilaku. Tujuan hidup ini selalu menjadi sandungan baga kebanyakan orang dalam berkiprah. Hidup apa adanya harus diasingkan dari pribadi berkualitas. Tugas sekolah, terutama pengajar adalah mendidik pembelajar menjadi pribadi unggul, berkualitas. Pendidikan yang dislenggarakan apa adanya tidak akan berguna bagi hidup para pembelajarnya. Materi ajar sastra dapat dijadikan media penumbuhan pribadi unggul ini. Persyaratan utama adalah pengajar yang mempunyai kepedulian terhadap masa depan para pembelajarnya. Persiapan menghadapi masa depan selalu meminta perhatian khusus karena merujuk pada kemungkinan. Prediksi disusun berdasarkan gejala sekarang dan pengalaman masa lalu. Pengajar mempunyai perpaduan ini; ia telah menjalani kehidupan pada masa lalu dan bertugas menciptakan jalan bagi para pembelajarnya menuju kehidupan yang lebih baik. Kehidupan ini yang harus selalu diolah para pengajar. Dengan niat ini, kelas
2
akanmenjadi hidup karena di dalamnya dibicarakan tentang kehidupan yang berkualitas. Jika ini menjadi perhatian para pengajar, tidak akan ada lagi aktivitas di luar jalur. Perbincangan mengarah pada perbaikan dan kebaikan. 2. PEMBAHASAN 2.1 KURIKULUM SASTRA DIHIDUPI Pemerintah pusat selalu mempunyai rancangan masa depan yang dituangkan dalam bentuk kurikulum. Dengan kewenangannya dan tanggung jawabnya pemerintah menyusun masa depan negara yang pada operasionalnya dibebankan kepada seluruh tingkat satuan pendidikan. Pemerintah menjadi selalu paling mengetahui apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan apa yang harus dimiliki oleh anak-anak bangsa. Tujuan tersebut dapat diteliti pada tujuan kurikulum yang selalu berubah dengan alasan yang dikuatkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kurikulum selalu dijadikan sebagai pedoman bagi seluruh kegiatan berpendidikan di sekolah. Rancang bangun kurikulum diselaraskan dengan keinginan pemerintah. Salah satu contoh penetapan penerapan Kurikulum 2013 disampakan oleh pemerintah sepertitercantumdalamlampiranPermendikbud No. 69 Tahun 2013 di antaranyasebagaiberikut. 1. Tantangan Internal. Tantangan internal berhubungan dengan (a) kondisi pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan, (b) perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). 2. Tantanganeksternal. Tantanganeksternalterkaitdengan (a)arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat internasional, (b) pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains serta mutu, investasi, dan transformasi bidang pendidikan. Apa yang dikehendakikurikulum 2013 tersuratkeinginan agar anakdidikmempunyaikemampuanhidupdalamdunia yang lebihluasdenganpikiranpikiran yang luas. Kehidupaninimemangluasdanselalumeluasdengantidak menutup kemungkinanmenyempit. Kondisiinibergantungpada pandanganseseorang. Olehkarenaitu, salahsatutugasutamapengajaradalahmeluaskanpandanganhidup para pembelajarsehinggamerekamempunyaikeberanianberbuatlebihluasdaripadalingku ngandandaripadadirinyasertanegaranya. Apa yang kitarasakanselamainiadalahkekurangandoronganterhadapanak-anakkita yang sebenarnyamempunyaikemampuanlebihdari yang diembannya. Pendidik yang berkewajibanmemberikanjalan agar merekaberanimelintasbatasnegeri. Kondisiinidapatdiwujudkandenganmemberikanpengalamanhidup yang bervariasi. 3
Dapatkahsekolah, pengajarmemberikanpengalamanhidup? Pengajarbahasadansastra Indonesia dapatmemberikanpengalamanhidup yang bervariasiberdasarkantekssastra.Pengalaman yang disajikankepadapembelajarberdasarkangarisbesarmateri ajar yang terdapat pada Kurikulum 2013. Apa yang disiapkandalamkurikulumharusdiwarnaidandihidupiolehpengajarsastradenganselu ruhkemampuan yang diharapkandapatmenjadikan para pembelajarcerdasdalammenatakehidupan. Salah satu syaratnya adalah pengajar harus terus menghidupi dirinya sendiri dan memberikan kehidupan pada materi ajarnya. Bagaimana mungkin mengajari hidup berkualitas tanpa berpijak pada pengalaman dan pandangan hidup berkualitas. Pengajar sesungguhnya bagian dari bagaimana menciptakan segala hal berkualias di kelas sebagai pelajaran hidup pembelajar pada masa yang akan datang. Pandangan hidup akan menjadi dasar pijak berperilaku pengajar pada saat berhadapan dengan para pembelajar. Tujuan pembelajaran yang selalu disiapkan pada rancangan pelaksanaan pembelajaran sesungguhnya tujuan hidup per bagian yang mengarah pada episode. Bukankah hidup ini sebuah rangkaian yang seharusnya disusun begitu berhati-hati karena selalu merupakan kesatuan yang saling mengisi dan berpengaruh. Apa yang dilakukan hari ini berjasa pada langkah berikutnya dan begitu selanjutnya. Bayangkan apa yang terjadi jika pengajar tidak memberikan gambaran hidup pada setiap pertemuannya dengan para pembelajar. Kurikulum 2013 menginginkanpara pembelajar “memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warganegara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.”Sungguhmemerlukankecerdasantinggidanskenariocanggihuntukmewudjukank ehendakitu. Banyakpihak yang harusdilibatkan. Banyakpikiran yang harusdicurahkan. Butuhdanabesar agar terlaksanadenganbaik. Niat yang kuatsesungguhnyamenjadibagianpenentu. Segalahaltersediatanpaitutidakakanterjadi. 2.2 BELAJAR MENDESAIN HIDUP MELALUI TEKS SASTRA Apakontribusimaterikajiansastra terhadap pencapaian tujuan tersebut? Pembelajaran sastra harus “membedah, membicarakan” teks sastra, bukan sebagai media menguasai aspek tertentu dalam pembelajaran sastra. Seperti terungkap dalam beberapa kompetensi ...”1.3 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan ulasan/reviu film/drama.” , atau “3.1 Memahami struktur dan kaidah teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan ulasan/reviu film/drama baik melalui lisan maupun tulisan”. Kata melalui mengisyaratkan sarana melakukan sesuatu. Teks sastra penuh dengan pengalaman yang menakjubkan, yang istimewapara penulisnya. “The work on the other hand, is much more evanescent entity. It stars out as the they experience we undergo we we read...”. (Olsen &Pettersson, 2005:148).
4
Membaca teks sastra bukan sekedar mencermati sarananya. Ia harus dibongkar karena banyak aspek yang dapat diungkap, terutama perjalanan para tokoh yang menjalani hidup. Menelusuri rangkaian peristiwa yang diciptakan pengarang memerlukan persiapan yang matang. Jiwa dan raga, pikir dan rasa diseimbangkan untuk memahami makna hidup yang terkandung dalam teks sastra. Membaca teks sastra tidak dapat dilaksanakan sembarang, tanpa persiapan. Bagaimana mungkin ragam peristiwa serius yang disusun pengarang direspons sembarang. Memang teks sastra bersifat netral, bergantung kepada bagaimana pembaca meresponsnya. Akan tetapi, satu hal yang harus diperhatikan adalah teks sastra itu disiapkan dengan matang oleh pengarangnya dan kesungguhan sepenuh hati. Marah Rusli pada saat mengarang novel Siti Nurbayadalam keadaan sadar dan serius. Dia memertimbangkan segala aspek dengan matang, sistematik. Sutan Takdir Alisyabana memilik pandangan cerdas pada saat melahirkan novel Layar Terkembang. Beliau menyusun rangkaian peristiwa yang bersambungan. Pandangan hidupnya diurai melalui para tokohnya. Apa yang dipikirkan oleh Mochtar Lubis adalah kehendak bangsa ini bermartabat. Melalui karya sastra yang dihasilkannya pembaca dapat mengetahui bagaimana sebauah perjalanan hidup yang penuh liku. Kita dapat mengikuti pengalaman hidup para tokohnya melalui cerita Jalan Tak Ada ujung, Maut dan Cinta, Harimau! Harimau!, Tanah Gersang, dan Tak Ada Esok. Ceritacerita itu cermin indah yang sangat bermanfaat-guna bagi anak-anak kita. Jika kita lihat novel-novel mukahir, seperti Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Sepatu Dahlan, dan masih banyak lagi novel-noel bagus yang dapat dibedah untuk menemukan makna hidup bagi kemajuan anak-anak kita. Kehidupan sekarang harus membuat kita khawatir dan mengantisipasi dengan menyusun kegiatan pembalajaran yang mengarah pada kegiatan menjalani hidup dengan sebaik-baiknya dan seindahindahnya. Teks sastra media membincangkan berbagai kehidupan. Teks sastra selalu berbicara sekumpulan orang-orang hidup dalam dunia rekaan yang berdasar pada kehidupan nyata. Pengolahan pengarang membawa dampak tertentu pada teks sastra. Oleh karena itu, teks sastra mempunyai ciri khas.
Tekssastramempunyaisifatunik. Kebermaknaannyabergantungkepadapembaca. Sebelumsampaikepadapembacaiahanyaobjekberbentukkertasdantinta (Rosenblatt, 1978). Dengankenetralannyaini, teksmemberikanpeluangkepadapembacauntukmemberikantanggapansesuaidengan pengalamannya, pengetahuannya, danperasaannyabahkantujuanmembacanya. Latarbelakangpembaca yang berbedaakanmenunjukkanperbedaantanggapanterhadapteks yang dibacanya. (Rozak, 2011 : 1). Konsep inilah yang harus dipahami para pengajar. Pengajar tidak memosisikan dirinya sebagai kepanjangan dari kurikulum, tetapi harus lebih jauh dari itu. Ia harus merupakan bagain dari media penyiapan anak-anak bangsa untuk menjalankan roda bangsa ini dengan baik. Salah satu indikator keberhasilan ke arah itu adalah para pembelajar sejak belajar telah memiliki keinginan berkarakter jujur, ikhlas, sabar. Hal ini dapat dipupuk melalui pembelajaran sastra yang berorientasi pada pemerolehan pengalaman bersastra, pengalaman hidup. Bagaimana cara mengajak pembelajar menggeluti teks sastra. Tulisan ini menyajikan sekedar contohnya. Langkah-langkah berikut bukan mutlak. Ia dapat dimodifikasi sesuai dengan konteks pembelajaran yang dikehendaki. Pendidik seharusnya menentukan harapan bagi para pembelajarnya, bagi dirinya, bagi 5
bangsanya sebelum melaksanakan pembelajaran. Kelas harus dijadikan sebagai laboratorium hidup dalam pembicaraan kehidupan yang penuh dengan suasana hidup.Membicangkan sastra dalam kelas akan menyehatkan jasmani, rohani, melatih logika, berpikir runtun dan banyak makna yang tersimpan di dalamnya menunggu dan dibedah. Beberapa pertimbangan dapat dikemukan di bawah ini.
1. Tekssastra, salahsatubentukteksnarasibukanobjek yang berdirisendiridanmemancarkanwajah yang samakepadapembaca. Karyasastrabukanlahsebuahmonumen yang mengungkapkanintinya yang abadidalamsebuah monolog (Selden, 1991 : 121). Karyasastraselalumembukapeluang dialog denganpembacanya. Tekspadaumumnyamembukakemungkinanmengajak dialog kepadapembacanya. Dalam dialog ituberbagaitafsiranakanmunculdantafsiranpembacadipengaruhioleh pengetahuansebelumnya (pengetahuan, pengalaman, danperasaan) (Rozak, 2011 : 2) 2. Miller (2002 :32-41 memaparkan beberapa teks sastra. a) Karya sastra tidak selaras dengan satu sama lainnya. Setiap karya sastra selalu berbeda satu dengan lainnya. Bahkan dengan karyanya sendiri. Karya Putu Wijaya seperti Telegram berbeda dengan Bila Malam Bertambah Malam. Kedua karya itu mempunyai ciri khas. Begitu juga dengan karya Ramadhan K.H. seperti Kemelut Hidup atau Royan Revolusi. Karya-karya itu khas. Oleh karena itu, membicarakan sastra tidak akan membosankan karena selalu dituntut menemukan sesuatu yang baru untuk bekal hidup. Pengalaman yang sangat beragam itu dapat mengayakan pilihan hidup. Pengajar yang memegang peranan penting mengolah teks sastra agar para pembelajar dapat menemukan makna hidup. b) Sastra adalah ungkapan performatif. Ungkapan performatif itu tidak menyebutkan keadaan suatu kejadian, tetapi mengungkapkan hal yang disebutkan. Salah satu contoh, misalanya dalam kondisi tertentu penghulu mengatakan, “Dengan ini saya nikahkan dan kawinkan ....” Dalam teks sastra c) Sastra menyimpan rahasianya sendiri. Bagaimana cara membongkar apa yangterdapat dalam teks sastra? Membaca adalah cara untuk mengungkap makna yang terkadung. Pengarang menitipkan pesannya melalui kata-kata. Kata-kata dipilih pengarang dengan memertimbangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan niat. Keterpilihan kata-kata didorong penentuan amanah yang akan disampaikan kepada pembaca. Pengarang selalu beranggapan bahwa pembaca adalah orang yang cerdas. Oleh karena itu, pesannya dimasukkan ke dalam kata yang dipilihnya dengan saksama. Rahasia itu harus diungkap pembaca dengan cara membaca. Jadi, membaca teks sastra sesungguhnya
6
belajar membongkar rahasia yang rapi disimpan dalam rangkaian kata. d) Sastra menggunakan bahasa kiasan. Sastra itu bukan karya biasa. Ia dilahirkan para pengarangnya melalui proses yang panjang. Bahasa teks sastra menjadi tidak biasa karena cara berpikir para pengarang luar biasa. Para pengarang mencipta peristiwa biasa menjadi tidak biasa. Dengan keindahan dan kelincahan bahasanya berbagai peristiwa mengalir. Bahasa kaisan yang tidak biasa itu menjelajah ruang-ruang kehidupan yang sengaja dicipta pengarang. Bahasa dicipta menarik agar apa yang diniatkan terwujud dengan indah dalam keseimbangan. 3. Kebermaknaan karya sastra terpenuhi setelah disentuh pembaca (Rosenblatt, 1978). Karya sastra tidak dengan sendirinya menjadi teks. Pembaca akan menentukan maknanya. Riset membuktikan bahwa lima ratus orang akan menyatakan hal yang berbeda tentang teks, seperti membicarakan bahasa, atau plot, atau karakter, atau setting, atau interpretasi, atau genre, atau tema, atau moral, dan sebagainya (Purves, 1990 : 55). Hal itu dapat terjadi karena pengalaman orang berbeda dan pengalaman ini berpengaruh terhadap respons. Orang berbeda dalam konsep sesuatu. Orang berbeda dalam menyikapi sesuatu dan minat orang berbeda (Rozak, 2011 : 14). 4. Pendekatan terhadap teks dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu efferent dan aesthetic reading (Rosenblatt, 1978 :22-47). Kata efferent berasal dari bahasa Latin yang bermakna “to carry away”. Secara sederhana Cox & Many, 1992 dikutip oleh Will & Johson (2000),”Efferent stance can be described as reading for information and facts, and is characterized as both impersonal and nonliterary. In contrast, in an aesthetic stance, responsees are notably more literary – the reader is able to “center upon her own transactions with the book and images, feelings, sensation, moods, literature, and life.”. Efferent stance(orientasi sikap efferent), pembacaan karya sastra dimaksudkan terutama untuk “mengambil sesuatu” dari bacaan tersebut. Aesthetic stance bertujuan pada penikmatan karya kesastraan sebagai hiburan dan “santapan batin”. (Rozak, 2011 : 17). Penguatan tentang teks sastra diperlukan sebagai bagian dari tata cara berdasar agar tindak selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmu. Teks sastra, jika berdasar pada pernyataan di atas merupakan peluang mengembangankan berbagai kebaikan yang harus ditanamkan kepada para pembelajar, kesempatan itu bergantung kepada kemampuan yang didorong keinginan pengajar menumbuhkan kebaikan itu pada diri para pembelajar. Banyak pengajar yang lupa menanamkan kebaikan pada dirinya sendiri sebelum kepada para pembelajarnya. Apa yang dimilikinya sebagai pengajar tidak pernah berubah dari tahun ke tahun selama menjadi pengajar. Materi jangkauan bacanya tidak pernah bergerak dari apa yang telah dilakukannya pada saat sebelum jadi pengajar. Kemutakhiran akan memberikan
7
kebahagian pada dirinya dan para pembelajarnya. Pembelajar-pembelajar akan memeroleh sesuatu yang baru untuk bekal menjalankan kehidupannya dan pengajar sastra dapat menghidupkan kelasnya dengan materi-materi ajar baru. Teks sastra selalu berkembang sejalan dengan pikiran-pikiran para pengarangnya dengan tidak menghapuskan teks sastra yang telah dipublikasikan sebelumnya. Pilihan pengajar didasarkan pada kepentingkan masa depan pembelajar dengan mempertimbangkan kurikulum yang menentukan. Pertimbangan itu diharapkan dapat menjadikan pembelajaran berkualitas. Tindak selanjutnya yang harus dipertimbangkan pengajar adalah menentukan cara terbaik yang dapat melibatkan para pembelajar mampu berinteraksi dengan teks sastra. Di bawah ini beberapa cara yang dapat digunakan pengajar untuk membincangkan teks sastra, khususnya teks narasi fiksi, yang mengarah pada kemampuan pembelajar memeroleh pengalaman hidup.
Tahap pertama: penyiapan situasi. Pada tahap ini pengajar menjelaskan (1) apa yang harus dilakukan pembelajar, (2) bagaimana proses pembelajaran akan berlangsung, dan (3) bagaimana cara pembelajar mengkonstruksikan makna teks narasi fiksi yang dibacanya. Kejelasan harus dinomorsatukan dalam pembelajaran karena pembelajar belum mengetahui apa yang harus dilakukan. Tindak perilaku pembelajar didesain pengajar yang mengarah pada bagaimana menemukan makna hidup dalam teks sastra. Pada tahap ini pengajar menayangkan gambar-gambar yang berhubungan dengan isi teks sastra yang akan dibahasnya. Sepintas melalui gambar itu pengajar menjelaskan tata cara mengonstruksi teks sastra. Pengajar perlu memberikan tata cara berinteraksi dengan teks sastra agar pembelajar tepat sasaran dan tidak ada prilaku yang sia-sia. Tahap kedua : Membaca sekilas. Pada tahap ini pembelajar diberi kesempatan membaca sekilas teks narasi fiksi yang akan dikaji. Para pembelajar sebelumnya telah membaca di rumah. Penugasan baca merupakan tahap awal mengenal teks narasi, di saming jika dilaksanakan secara teratur akan membiasakan baca para pembelajar. Pada tahap ini pengajar harus betul-betul memerhatikan kegiatan baca pembelajar. Kegiatan bersastra harus dimulai dengan kegiatan baca. Membaca dijadikan pengalaman berarti agar para pembelajar merasakan sendiri bagaimana menjelajah dunia fiksi, dunia yang berbeda dengan keseharian. Beralih perhatian dari kehidupan nyata akan memberikan warna lain, yaitu pada dunia yang dinyatakan. Tahapan ini bertujuan agar pembelajar mengingat ulang apa yang telah dibacanya. Pembacaan berpengaruh terhadap pengambilan makna secara menyeluruh. Oleh karena itu, tahapan ini ditindaklanjuti dengan tindakan yang harus dijalankan pembelajar. Pengajar sebagai fasilitator harus bertindak memberikan jalan beraktivitas bagi pembelajar sehingga pembelajara tidak kehilangan arah. Apa pun yang terjadi di dalam kelas merupakan tanggung jawab pengajar. Oleh karena itu skenario pengajar menjadi penting. Pengajar harus menajdi sutradara andal agar para pemain (pembelajar)
8
dapat masuk ke dalam peristiwa. Kegagalan pada tahap ini dapat berpengaruh terhadap peristiwa pengalaman bersastra selanjutnya. Tahap ketiga : Perenungan. Pada tahap ini pembelajar diberi waktu untuk merenungkan apa yang telah dibacanya. Kegiatan ini sebagai pelengkap kegiatan transaksi yang telah dilakukan di rumah dan membaca sekilas. Aktivitas pengajar sebagai motivator dalam tahap ini diperlukan dan sangat berperan penting. Tahapan ini mengarahkan agar para pembelajar menemukan peristiwa penting melalui penelusuran berbagai peristiwa yang tersaji dalam teks cerita. Pengajar harus memberikan jalan yang benar. Pengajar harus membimbing, memberi tahu cara menjelajah, menelusuri jalur peristiwa yang tidak dibebani dengan ketakutan tidak memahami. Pembelajar harus disenangkan, dijauhkan dari rasa tidak bisa memahami teks cerita, khawatir ditanya pengajar. Renungan ini jalan menuju pemilikan makna teks cerita oleh pembelajar sehingga apa yang diinginkannya menjadi miliknya. Pada tahap ini masuk ke dalam pemilihan dari beragam peristiwa. Tahap keempat : Peragaan. Pada tahap ini pembelajar melakukan interaksi. Mereka menyampaikan responsnya kepada sesama pembelajar dan kepada pengajar. Kegiatan interaksi dilakukan dalam kegiatan diskusi. Dalam diskusi ini pengajar melontarkan beberapa pertanyaan yang mengarah pada perangsangan agar pembelajar terus mengikuti diskusi. Pengajar tidak hanya melontarkan pertanyaan, mungkin saja komentar, pendapat, kesimpulan sementara. Semua kegiatan pengajar harus menyebabkan aktivitas pembelajar terus mengalir merujuk pada berbagai fokus. Pilihan-pilihan topik dilakukan pengajar sehingga pembelajar terus berfokus pada arahannya. Pengajar harus yakin bahwa pembelajar memiliki potensi untuk selalu menyampaikan gagasan. Lontaran pertanyaan pengajar harus menambah suasana menjadi hangat dan ramai dengan perbincangan. Pertanyaan harus mendalam, mengarah pada pemahaman, membedah peristiwa yang terdapat dalam teks cerita dengan membawanya ke luar, mendekatkan peristiwa dalam teks dengan kehidupan yang akan dijalani para pembelajar. Perbincangan berhubungan dengan bagaimana menjalani hidup dengan baik dan selalu dengan berdasarkan kebaikan. Oleh karena itu, pengajar selalu berbincang kebaikan dari berbagai peristiwa yang tedapat pada teks tersebut. Pilihan teks menentukan apa yang akan diterjadikan dan apa yang akan terjadi di kelas. Pilihan teks ditentukan oleh pengalaman dan pendalaman para pengajar. Teks sastra sekarang banyak pilihan. Hampir setiap saat dipublikasikan teks sastra yang dapat menjadi pilihan bagi para pengajar. Pilihan tepat diawali dengan keseringan pembaca bergaul dengan berbagai teks secara komprehensif yang ditunjang dengan kedalaman teori sastra dan bahasa serta budaya yang juga didukung dengan ketahuan tentang psikologi, sosiologi, dan filsafat. Jika kondisi ini tidak dimiliki pengajar pertanda akan sulit memilih teks sastra yang tepat sehingga perbincangan di kelas akan kering. Sekali lagi, apa yang dibicarakan di kelas itu adalah tentang hidup. Ajaran hidup yang harus ditanamkan dengan cara yang hidup. Pengajar bertanggung jawab atas kehadiran unsur-unsur yang mendorong hidupnya perasaan dan pikrian para pembelajar. Pada tahapan ini arus
9
pembicaraan dialirkan melalui jalur-jalur pikiran para pembelajar. Pada pembincangan ini diwujudkan komunikasi pikiran-pikiran pembelajar melalui jalur bahasan teks sastra. Para pembelajar diarahkan berfokus pada apa yang seharusnya mereka peroleh untuk ditanamkan pada skema (stuktur pengetahuan) yang telah tersedia dalam diri mereka. Kondisi ini akan terjadi jika pengajar mempunyai keingian kuat dengan memelajari teks secara berhati-hati dan penuh perhitungan. Kecerdasan pengajar sastra menjadi syarat utama bagi tercapainya tujuan menanamkan kehidupan ini. Pengajar sastra yang sadar akan kehidupan akan selalu memberikan nilai kehidupan pada setiap pertemuan dengan para pembelajar. Teks sastra selalu memberikan peluang untuk dihidupkan dengan ragam pengalaman dan pengetahuan. Sekali lagi pilihan teks secara komprehensif yang akan menuntun kondisi kelas menjadi kondusif. Peragaan ini media bagi para pembelajar memerlihatkan kepahamannya terhadap sastra dan juga kepeduliannya terhadap sesama pembelajar. Pada tahap ini pembelajar belajar menerima, mengutip, dan memasukkan pikrian orang lain ke dalam pikirannya melalui tahapan asimilasi, akomodasi, dan ekualibrasi (toeri kognitif Piaget). Jika pengajar menanamkan tahapan ini secara bertahap, pembelajar secara bertahap akan meraih makna sastra yang disejajarkan dengan makna kehidupan. Di bawah ini penulis sampaikan contoh pembincangan pembelajar dalam tahap peragaan. Contoh ini dikutip dari hasil penelitian penulis (2011:65-70) Dalam kegiatan pembelajaran pertama para pembelajar mendiskusikan teks narasi fiksi (cerpen) yang berjudul Sambutan di Pemakaman Ayah karya Jujur Prananto. Cerpen ini bercerita tentang kebingungan anak-anak ketika diminta menyambut pada pemakaman ayahnya. Mereka bingung karena tidak ada satu pun dari mereka yang mau memberikan sambutan pada pemakaman ayahnya. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka katakan tentang ayahnya di pemakaman. Mereka tidak mempunyai catatan yang baik tentang ayahnya. Ayahnya selalu menyakiti ibu. Ayahnya tidak pernah berbuat baik kepada mereka. Jadi, mereka tidak ada yang mau memberikan sambutan. Di pemakaman ternyata ada seorang wanita muda dengan dua anak memberikan sambutan. Perempuan itu istri muda ayah mereka, Pak Budiluhur. Topik 1: Sambutan di Pemakaman Di antara anak-anak Pak Budiluhur terjadi perbincangan tentang siapa yang akan memberikan sambutan di pemakaman nanti. Ternyata tidak ada seorang pun yang bersedia. Pembelajar (partisipan) memberikan respons atas peristiwa itu. Inilah responsnya. 1.
Pengajar
Bagaimana perasaan Anda setelah membaca cerita pendek itu?
2.
Pembelajar 1
Saya kecewa. Mengapa kecewa? Karena pada awal sang tokoh utama, yaitu saya begitu bertanggung jawab sehingga mau bersedia memenuhi perlengkapan sebelum pemakaman. Akan 10
tetapi, pada detik-detik terakhir ia tidak mau memberikan sambutan di pemakaman ayahnya 3.
Pengajar
Mengapa menurut Anda penting memberikan sambutan di pemakaman itu?
4.
Pembelajar 1
Sambutan tidak begitu penting. Tetapi mendoakan kewajiban anak terhadap orang tuanya. Menurut hadis bahwa setelah orang tua meninggal yang diharapkan adalah doa anak saleh. Mestinya ia mendoakan orang tuanya betapun semasa hidupnya ia menyakiti anaknya.
5.
Pengajar
Ada yang lain?
6.
Pembelajar 3
Mendoakan bisa saja dalam hati. Tetapi pada saat pemakaman yang penting adalah sambutannya. Dalam sambutan itu disampaikan bahwa yang meninggal itu orang baik, yang kedua mohon maaf barangkali yang meninggal itu banyak dosa dan kesalahan sengaja maupun tidak sengaja. Orang yang meninggal tidak boleh diceritakan yang tidak baiknya.
7.
Pengajar
Mengapa anaknya tidak mau menyambut? Bagimana saudara Oman?
8.
Pembelajar 2
Anaknya tidak tahu ayahnya yang meninggal itu sebagai apa. Biasanya dalam sambutan itu diutarakan yang baik-baiknya, misalnya sebagai dermawan. Jadi, intinya dia tidak tahu apa yang harus diucapkan dalam pidato itu.
9.
Pengajar
Jadi, tidak tahu ayahnya itu sebagai apa. Ada yang lain? Silakan Saudara Ato?
10.
Pembelajar 3
Dalam tokoh itu ada sifat dualisme, perasaan yang berlawanan. Satu sisi, layak atau lazim dalam pemakaman itu ada sambutan. Satu sisi sang ayah itu alam kehidupan rumah tangganya, katakanlah kurang baik. Jadi, kalau ia menyampaikan sambutan, bingung. Apa yang harus disampaikan. Jadi, ada pertentangan batin.
11. Pengajar
Ada lagi. Silakan Tina!
12.
Bagimanapun orang tua kita. Kita harus memberikan doa terakhirnya buat orang tua kita.
Pembelajar 8
Pembelajar memeragakan kemampuannya dalam dialog itu. Beberapa istilah muncul dalam interaksi itu. Mereka memasukkan doa, isi sambutan, hadis, sifat dualisme, kewajiban anak. Istilah-istilah itu menunjukkan bukti adanya
11
perluasan pemahaman terhadap apa yang mereka perbincangkan. Istilah doa dikaitkan dengan pemakaman kerena menurut mereka antara doa dengan pemakaman berkaitan erat. Bahkan lebih penting daripada sambutan. Sambutan tidak begitu pennting. Tetapi, mendoakan kewajiban anak terhadap orang tuanya.(nomor 4). Pendapat ini ditentang oleh pembelajar lain, bahwa sambutan itu justru yang penting. Mendoakan bisa saja dalam hati. Tetapi pada saat pemakaman yang lebih penting adalah sambutan. (nomr 6). Pembelajar ini menjelaskan pentingnya sambutan. Pendapatnya didukung oleh pembelajar lain (Bagimanapun orang tua kita. Kita harus memberikan doa terakhirnya buat orang tua kita.). Berdasarkan data di atas tampak ada interaksi antara pembelajar. Mereka saling memperhatikan. Pendapat yang satu direspons oleh yang lain. Dalam dialog itu muncul respons yang merupakan perluasan dari pembelajar. Mereka mengambil pokok masalah sambutan dan siapa yang harus menyambut. Menurut pembelajar sambutan tetap harus dilaksanakan, karena Dalam sambutan itu disampaikan bahwa yang meninggal itu orang baik, yang kedua mohon maaf barangkali yang meninggal itu banyak dosa dan kesalahan sengaja maupun tidak sengaja. Orang yang meninggal tidak boleh diceritakan yang tidak baiknya.(nomor 6). Akan tetapi, menurut mereka anaknya bingung karena tidak ada yang harus dikatakan tentang ayahnya. Menurut pembelajar sambuatan itu tetap penting. Respons pembelajar merupakakan hasil transaksi antara mereka dengan teks narasi-fiksi yang dibacanya kemudian diperagakan dalam interaksi itu. Topik 2
: Hubungan Keluarga
Dalam keluarga itu hubungan ayah dan anak-anaknya tidak pernah harmonis. Anak-anaknya merasa tidak senang terhadapa ayahnya. Perlakuan ayahnya terhadap ibu menurut anak-anaknya tidak manusiawi, tidak menggambarkan kesan seorang ayah. Atas peristiwa itu pembelajar memberikan respons. Inilah respons mereka. 13. Pengajar
Apakah menurut Anda sang ayah sudah pasti jelek?
14.
Satu sisi ia jelek. Tetapi terdesak situasi.
Pembelajar 8
15. Pengajar
Bagaimana Amsori?
16.
Ada sesuatu yang baik dari ayahnya. Dia memberikan hadiah setelah ia mendapatkan pekerjaan tetap. Jadi, menurut saya, tokoh saya itu tetap mengecewakan. Jadi, menurut saya tetap anak itu kurang ajar.
Pembelajar 1
17. Pengajar
Apa betul anak itu kurang ajar? Bagaimana Oman?
12
18.
Pembelajar 2
Belum tentu. Memang ayah setelah bekerja sering memberikan. Akan tetapi, yang diberikannya sering yang tidak diperlukan. Hanya sekali ketika saya diberi hadiah, yaitu corolla merah. Tetapi baru enam bulan. Lagi senang-senangnya dicabut kembali. Itu kan menonjok lagi.
19. Pengajar
Silakan Arnengsih!
20.
Saya mengomentari pendapat Sdr. Amsori yang memojokkan anaknya. Pemberian itu tidak hanya materi saja, tetapi perhatian, kasih sayang, pendidikan juga perlu. Ayah sisi baiknya itu. Sisi jeleknya ada. Di rumah, istri tua ia berbuat jelek tetapi baik di istri muda. Dia mempunyai perasaan dosa. Tetapi, di istri mudanya ia berperilaku baik.
Pembelajar 3
21. Pengajar
Sdr. Suko kalau Anda sebagai anak. Bagaimana sikap Anda?
22.
Saya sangat setuju dengan sikap anak itu. Karena saya sendiri seperti anak itu. Sepertinya cerita itu untuk saya. Mungkin orang tuanya itu seperti orang tua saya. Sikap orang tua hanya mementingkan pribadinya, dirinya sendiri.
Pembelajar 4
23. Pengajar
Sdr. Eka kalau Anda sebagai istrinya, bagaimana?
24.
Saya sendiri.
Pembelajar 4
25. Pengajar
Kalau Anda sebagai kepasrahannya.
26.
Tidak. Kesalahan itu bukan hanya anak, istrinya salah, perempuan muda itu juga salah. Sebagai anak harus menghormati orang tua. Sejelek apa pun orang tua kita, kita tetap harus menghormati. Seorang istri harus menerima tetapi ada batasnya. Mungkin saja Pak Budiluhur sebagai lelaki mendapatkan kekurangan dari istrinya. Mengapa istri saya diam saja, tidak protes. Kok, diam saja.
Pembelajar 4
istrinya,
Anda
setuju
dengan
27. Pengajar
Yang muda bagaimana. Silakan sdr. Merlin?
28.
Sebagai istri Budiluhur saya tidak akan begitu. Saya tidak akan menerima begitu saja.
Pembelajar 5
29. Pengajar
Jadi, Anda tidak pasrah begitu saja. Anto bagaiamana menurut pendapat Anda, jika Anda mendapatkan istri yang tidak pasrah.
30.
Kalau menurut saya, jika istri tidak menerima apa adanya telah melanggar kodrat. Manusia itu telah digariskan aturannya. Dalam rumah tangga itu aturannya telah ditentukan. Apa yang ada dalam suami itu istri harus tahu. Begitu juga suami harus
Pembelajar 6
13
tahu apa yang ada dalam istrinya. Kalau sang istri sudah tahu kemampuan suami dan tidak diterimanya otomatis sang suami pun tidak menerima. Istri berhak protes bila suami tidak menyadari keadaan istrinya. Tetapi bila istri telah menyadari keadaannya. 31. Pengajar
Jadi, Anda akan bahagia bila mempunyai istri seperti istri Pak Budiluhur. Bagaimana Sdr. Iin?
32.
Menurut saya istri itu harus mengabdi kepada suami. Istri yang begitu pasrah, saya bertanya ada apa di belakang itu. Pasti ada sesuatu. Pada waktu nikah ada perjanjian supaya istrinya tidak boleh melawan. Diperlakukan apa saja oleh suaminya.
Pembelajar 7
33. Pengajar
Apa ada perkawinan seperti itu?
34.
Ada, umpamanya hamil sebelum nikah, dipaksa orang tua.
Pembelajar 7
35. Pengajar
Silakan, Oman! Mau menambahkan?
36.
Kehidupan antara suami istri ada rahasia. Menurut saya dalam cerita itu, wanita itu, seorang istri dan ibu yang baik.
Pembelajar 2
37. Pengajar
Istri dan ibu yang baik akan melahirkan anak yang baik.
38.
Menurut ahli pendidik Mesir, ibu sekolah bagi anak-anaknya. Artinya dari ibulah anak-anak berkembang. Dalam sejarah dibuktikan bahwa anak-anak mengikuti ibunya bukan ayahnya. Jadi, ibu dominan terhadap anaknya.
Pembelajar 1
Dalam interaksi itu pembelajar memeragakan pengatahuannya. Menurut pembelajar (nomor 16) ciri kebaikan ayah itu karena ia sering memberikan hadiah kepada anaknya. Pendapat ini ditentang oleh pembalajar lain (nomor 20), pemberian tidak hanya materi, tetapi kasih sayang, juga pendidikan lebih penting. Pembelajar lain (nomor 26) melontarkan pendapat bahwa istri itu salah, Pak Budiluhur sebagai suami mungkin tidak mendapatkan kepuasaan. Istri menurut pembelajar (nomor 32) boleh saja harus mengabdi kepada suami tetapi tidak harus pasrah seperti istri Pak Budiluhur. Tentang pasrah beberapa pembelajar menyampaikan responsnya. Menurut pembelajar (nomor 28) dia tidak akan menerima begitu saja. Hal ini ditanggapi oleh pembelajar yang lain (nomor 30) istri itu harus menerima apa adanya, kalau tidak berarti melanggar kodrat. Padahal ibu itu sangat penting. Menurut pembelajar (nomor 38) “Menurut ahli pendidik Mesir, ibu sekolah bagi anak-anaknya. Artinya dari ibulah anak-anak berkembang. Dalam sejarah dibuktikan bahwa anak-anak mengikuti ibunya bukan ayahnya. Jadi, ibu dominan terhadap anaknya.”
14
Seorang pembelajar (nomor 22) mengemukakan pengalamannya (Saya sangat setuju dengan sikap anak itu. Karena saya sendiri seperti anak itu. Sepertinya cerita itu untuk saya. Mungkin orang tuanya itu seperti orang tua saya. Sikap orang tua hanya mementingkan pribadinya, dirinya sendiri.). Pembelajar berterus terang. Dia sangat terlibat dengan cerita itu. Dalam peragaan itu pembelajar telah menyampaikan pengetahuannya. Mereka telah mengeluarkan pengatahuan yang dimilikinya untuk memahami apa yang ada dalam cerita itu. Proses itu sebagai proes transaksi, memadukan pengetahuan sebelumnya dengan peristiwa yang ada dalam teks narasi-fiksi yang dibacanya. Mereka bertukar pengetahuan, menyumbang saran dengan pembelajar lain. Pemahaman mereka menjadi bertambah. Beberapa masukan dari pembelajar lain menjadi bahasan pemahaman terhadap teks narasi-fiksi yang dibacanya. Salah seorang pembelajar menyampaikan pengalamannya. Ia menghubungkan cerita itu dengan kehidupannya dan dia berani berterus terang dengan kalimat yang lugas, Sepertinya cerita itu untuk saya. Kalimat ini menunjukkan bahwa ia terlibat dengan teks narasi-fiksi itu. Dengan peragaan yang ditunjukkan oleh pembelajar kemampuan mereka dapat diketahui, apa yang mereka ketahui tentang peristiwa itu dan apa yang mereka alami. Tahap kelima : Refleksi. Kegiatan refleksi ini bertujuan memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk menyusun konstruksi sebagai wujud pemaknaan terhadap teks narasi-fiksi yang dibacanya. Kegiatan refleksi ini dilakukan setelah kegiatan diskusi (peragaan) berakhir. Tahapan ini sangat penting dalam rangkaian kegiatan perilaku bersastra pembelajar. Pada tahapan inilah pembelajar merancang konstruksi yang mengarah pada pembelajaran menyusun skenario kehidupan. Pengajar memberikan bimbingan awal dengan meminta pembelajar menemukan bagian-bagian yang dapat didajikan sebagai bagian yang sejalan dengan tujuan dan arah hidup yang akan dijalaninya. Masa depan harus diingatkan kepada para pembelajar. Pilihan-pilihan peristiwa telah didiskusikan. Akhir kegiatan ini adalah tersusunnya konstruksi tulis para pembelajar yang mengandung skenario hidup yang dirancang untuk masa depan. Konstruksi pembelajar dikomunikasikan kepada para pembelajara lain dan dikomentari pengajar. Perbincangan ini memberikan masukan pula bagi para pembelajar untuk memperbaiki, jika perlu apa yang telah dituliskannya. Beberapa contoh konstruksi disampaikan di bawah ini. Konstruksi Pemisalan Saya berharap pada ibu semoga dia berhenti dari pekerjaannya yang kotor itu dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya akan menyadari perbuatan saya selama ini, dan saya akan berhenti menjadi pelacur. Saya akan berdoa kepada Tuhan semoga diampuni dosa saya 15
Saya akan tabah menerima walaupun dalam hati kecil merasa malu menjadi anak pelacur. Tetap akan menyayangi Sandra dan menasihatinya agar tidak meniru ibunya sebagai pelacur Saya akan menuruti apa yang diharapkan ibu, ingin menjadi anak yang baik dan tidak meniru pekerjaan ibu. Saya akan mengubah nasib saya ke jalan yang benar dan mencari pekerjaan yang halal. Konstruksi Pembandingan Ibu Sandra mirip dengan tetangga saya yang suka ngomel dan memarahi anaknya setiap hari. Sandra mirip dengan saya, dia tidak pernah mengeluh dengan keadaan seperti yang dia hadapi, dia hadapi apa adanya. Ada yaitu tetangga saya. Walaupun dia seorang pelacur, dia menginginkan anaknya menjadi seorang yang baik-baik dan berguna. Salah satu tetangga di tempat kost saya mempunyai karakter yang mungkin bisa dikatakan mirip dengan ibu Sandra. Di seorang janda yang mempunyai anak laki-laki berusia kira-kira 8 tahun dan sekolah kelas IV SD. Mengenai pekerjaan yang dilakukannya saya tidak tahu pasti. Kemiripan dia dengan Sandra terletak pada sikapnya yang kasar pada anaknya. Anaknya bandel, nakal, sikapnya tidak sopan, dan kasar. Konstruksi Perlakuan Terkadang kasar karena sering memaki Sandra. Tetapi terkadang pula dia baik karena setiap minggu Sandra selalu diajak jalan-jalan ke plaza. Dan membeli apa saja yang Sandra mau. Perlakuan ibu Sandra terhadap Sandra sangatlah buruk. Jika tetap bersikap kasar mungkin Sandra akan mengalami korban mental fatal untuk kehidupan di masa yang akan datang. Pada dasarnya ibu Sandra sangat mencintai dan memperhatikan Sandra. Dia selalu meminta Sandra berjanji menjadi anak baik-baik 3. PENUTUP Teks sastra membuka peluang bagi para pembacanya untuk berinteraksi menurut tujuannya karena ia bersifat netral. Apa yang akan diunduhnya bergantung kepada pembaca. Ia dapat mencarinya dengan berbagai alasan. Makna sastra yang sesungguhnya muncul pada saat dibincangkan, dibicarakan berdasarkan berbagai kepentingan dari sudut yang dapat dipertanggungjawabkan. Para pengajar sastra dapat membedah teks sastra bersama-sama dengan para pembelajar dengan tidak mengabaikan kepentingan kurikulum. Kurikulum cetak yang telah ditentukan pemerintah harus diaplikasikan dalam pembelajaran. Akan 16
tetapi, pembelajaran hidup harus dikedepankan. Pencarian makna hidup bagi para pembelajar harus diprioritaskan. Para pengajar harus memaknai kedatangan para pembelajar ke sekolah adalah untuk menemukan cara menjalani hidup pada masa yang akan datang. Tanggung jawab sekolah (pengajar) menyediakan berbagai kebutuhan hidup (tata cara menjalani hidup dengan jujur, benar, sesuai dengan aturan). Apa yang digariskan UNESCO tentang learning to know, learning to do,learning to be,learning tolive together harus dimaknai bahwa materi ajar itu merupakan media ke arah pemilikan kemampuan dalam memutuskan untuk menjalani kehidupan para pembelajar. Pembelajaran sastra memberikan peluang kepada para pengajar dan para pembelajar menemukan berbagai variasi hidup. Apa yang terdapat dalam teks sastra adalah selalu mengenai kehidupan dengan berbagai permasalahannya. Pengarang telah menyusun ragam peristiwa hidup. Setidaknya sebagian kecil dari kehidupan yang disampaikan pengarang dengan gaya bercerita, bukan mengajari. Oleh karena itu, makna teks itu harus diungkap dengan alat yang tepat. Pada posisi inilah peran pengajar. Pengetahuan tentang sastra, apresiasi sastra, teori sastra dan pengalaman baca dipadukan dengan pengalaman hidup diharapkan dapat mewarnai perbincangan hidup di kelas sastra. Pada akhirnya kembali kepada pengajar yang harus mempunyai keinginan kuat untuk selalu menghidupkan pembelajaran sastra dengan sepenuh hati. Banyak baca, banyak bergaul dengan komunitas sastra, serta mengikuti pergaulan dengan ragam strata sosial akan mengayakan pembelajaran sastra yang pada akhirnya mengayakan para pembalajar tentang makna hidup. Rujukan Miller, J.H. 2002. On Literature, Aspek Kajian Sastra. Yogyakarta : Jalasutra. Purves, A.C. (1990). Testing Literature: The CurrentState of Affairs.. http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed321261.html23 April 200013& Rosenblatt, L.M. (1978). The Reader, the Text, The Poem. Carbordale, IL : SIUP. Rozak, A. 2011. KonstruksiResponsPembacaterhadapTeksNaratif. Cirebon UnswagatiPress. Selden, R. (1991). Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Stein, H. O. & Anders, P. 2005. From Text to Literature, New Analytic and Pragmatic Approachs. Palgrave : Macmillan).
Willis, A.I & Johson, J.L. (2000). “A Horizon of Possibilities”: A Critical Framework for Transforming Multiethnic Literature Instruction. http://www.readingonline.org/aticles/willis/index.html 17
18