“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DALAM PERSPEKTIF ALQUR’AN Oyoh Bariah Dosen DPK UIN SGD Bandung pada Fakultas Agama Islam (FAI) Unsika Email: Oyoh.bariah@staff,unsika.ac.id
ABSTRAK Alqur’an merupakan kitab mukjizat yang mempunyai berbagai kemukjizatan, antara lain bersifat kekal, tidak ada yang mampu menandinginya, baik dari segi susunan kata, gaya bahasa maupun dari keindahan, syariat, filsafat, ilmu pengetahuan, dan perumpamaan-perumpamaan yang dikandungnya. Alqur’an senantiasa sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku dan dipakai sebagai pedoman hidup manusia sepanjang zaman. Di antara isi kandunngannya memuat dan menjelaskan tentang laki-laki dan perempuan. Alqur’an mengakui adanya perbedaan juga kesetaraan dalam hubungan antara laki-laki dan perermpuan. Secara biologis bahwa laki-laki dan perempuan berbeda, namun keduanya diakui Alqur’an sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Paper ini mencoba untuk mengungkap konsep kesetaraan dan keadilan gender perspektif Alqur’an, melalui kajian pustaka yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan gender makalah/paper ini diuraikan. Ajaran Islam dalam penjelasan Alqur’an memandang bahwa hubungan antara perempuan dan laki-laki adalah setara, baik sebagai hamba Allah, sebagai khalifah di bumi, sebagai hamba yang mempunyai tanggung jawab, dan berpotensi meraih prestasi. Perempuan dalam paradigma ini memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Keadilan bagi perempuan mutlak dimaknai kembali sejalan dengan prinsip kemanusiaan, karena keadilan sendiri adalah kemanusiaan. Kata kunci: kesetaraan, keadilan, gender, kemanusiaan
PENDAHULUAN Alqur’an al-karim mengintroduksikan dirinya sebagai kitab hidayah bagi seluruh manusia dalam memperoleh petunjuk, bimbingan, dan berkewajiban untuk mengamalkannya..Alqur’an memuat prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral, bukan hanya dokumen hukum (legal document), tetapi juga mengandung sejumlah pernyataan hukum yang penting (Fazlur Rahman, 1979: 17). Kitab suci Alqur’an mempunyai berbagai kemukjizatan, antara lain bersifat kekal, tidak ada yang mampu menandinginya, baik dari segi susunan kata, gaya bahasa maupun dari keindahan, syariat, filsafat, ilmu pengetahuan, dan perumpamaanperumpamaan yang dikandungnya (Muhamad Ismail Ibrahim, t.t: 12). Dengan kemukjizatan itu,Alqur’an senantiasa sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku dan dipakai sebagai pedoman hidup manusia sepanjang zaman. Di antara isi kandunngannya memuat dan menjelaskan tentang laki-laki dan perempuan. Alqur’an mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perermpuan seperti firman Allah Swt dalam Qs. Ali imran ayat 36 berikut :
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Artinya: “Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.” Tetapi ayat tersebut di atas tidak bermaksud memandang yang satu superior dibandingkan dengan yang lain, karena misi pokok diturunkannya Alqur’an adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskiriminatif dan penindasan, termasuk diskriminasi warna kulit, ras, etnis, dan jenis kelamin. Alqur’an menganjurkan manusia untuk saling mengenal sehingga tidak ada diskriminasi, kekerasan juga penindasan (Qs.al-Hujurat/49:13). Secara kodrat memang diakui adanya perbedaan bukan pembedaan antara lakilaki dengan perempuan,misalnya dalam aspek biologis masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang selanjutnay bersifat komplementer, saling mengisi dan melengkapi seperti yang diungkapkan Alqur’an Qs. At-Taubah/9:71 berikut :
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Ayat di atas mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan bekerja sama dalam amar ma’ruf nahi munkar, maka dengan ayat ini Islam memperhatikan kesetaraan dalam fungsi dan peran laki –laki dan perempuan.baik dalam ranah domestik maupun publik
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
PEMBAHASAN 1. Makna Gender dan Seks Kata “gender” berasal dari bahasa Inggeris “gender”, dalam Kamus Bahasa Inggeris-Indonesia, berarti “jenis kelamin” (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Sedangkan dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku” (Victoria Neufeldt (Ed.), 1984: 561). Kalau dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata gender memang belum masuk dalam perbendaharaannya, akan tetapi istilah gender ini lebih populer di lingkungan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Dengan demikian untuk memudahkan pemahaman kita terhadap kata gender tersebut, ada baiknya merujuk pada penjelasan pemerintah melalui Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan sebagaimana juga yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI No. 9 tahun 2000, sebagai berikut: Gender (asal kata gen); perbedaan peran, tugas, fungsi, dan tanggung-jawab serta kesempatan antara laki-laki dan perempuan karena dibentuk oleh tata nilai sosial budaya (konstruksi sosial) yang dapat diubah dan berubah sesuai kebutuhan atau perubahan zaman (menurut waktu dan ruang) (Kantor Menteri Negara Urusan Peanan Wanita, Buku III, Pengatar Teknik Analisa Gender, 1992: 3). Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman (Kantor Menteri Negara Urusan Peanan Wanita, Buku III, Pengatar Teknik Analisa Gender, 1992: 3). Ann Oakley seorang feminis pertama dari Inggris menyatakaan bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan.perbedaan biologis adalah perbedaan jenis kelamin yang bermuara dari kodrat Tuhan sememtara gender adalah perbedaan yang bukan kodrat Tuhan, tetapi diciptakan oleh kaum laki-laki dan perempuan melalui proses social dan budaya yang panjang Kantor Menteri Negara Urusan Peanan Wanita, Buku III, Pengatar Teknik Analisa Gender, 1992: 3). Menurut Nasarudin Umar, Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari social budaya. Gender dalam arti ini memdefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut nonbiologis (Nasarudin Umar, 1999: 35). Dari uraian diatas dapat disimpulkan:Gender: merupakan Konstruksi/bentuk sosial,tidak dimiliki sejak lahir, bisa dibentuk/bisa berubah, dipengaruhi:tempat, pemahaman agama, ideologi Negara,politik, hukum dan ekonomi,Waktu/zaman,.Suku/ras/bangsa,budaya dan Status social Karenanya gender, bukan kodrat, dibuat manusia, bisa dipertukarkan, relatif, berbeda dengan ciri-ciri yang terdapat pada laki-laki maupun perempuan (jenis kelamin, biologis, natur)
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Sex adalah pembagian jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki, yang telah ditentukan oleh Tuhan, sebagai kodrat Allah Swt. Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki dapat dilihat baik dari ciri fisik primer maupun ciri fisik sekunder dari organ dan fungsi reproduksinya. Karenanya seks relatif tidak dapat ditukar atau diubah. Perbedaan jenis kelamin atau seks adalah sama di semua Negara dan merupakan fakta mengenai biologi manusia (Isstibsyaroh, 2004: 62). Maka dapat disimpukan bahwa jenis Kelamin biologis (seks) atau kodrat adalah bawaan, kodrat, buatan Tuhan, tutlak, tidak dipengaruhi oleh tempat,waktu/zaman, ras,suku,bangsa, budaya, negara dan ideologi. Sementara itu, kesetaraan berasal dari kata setara asal katanya tara. Pada kamus besar bahasa Indonesia diartikan dengan yang sama tingkatnya, kedudukannya dsb. Kata setara mempunyai arti sejajar, sebanding, sepadan dan seimbang (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 1143). Kesetaraan gender adalah suatu kondisi di mana semua manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. (Unesco, 2002). Keadilan gender adalah keadilan dalam memperlakukan perempuan dan lakilaki sesuai kebutuhan mereka. Hal ini mencakup perlakuan yang setara atau perlakuan yang berbeda karena mereka punya kebutuhan yang berbeda, baik secara biologis maupun konstruksi sosial budaya. 2.
Proses asal kejadian Perempuan Pada masa Jahiliyah, anak-anak perempuan kehadirannya tidak diterima sepenuh hati oleh masyarakat Arab. Pandangan mereka ini telah direkam oleh Alquran, mulai dari sikap yang paling ringan yaitu bermuka masam, sampai pada sikap yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi mereka yang perempuan. Informasi ini dapat dibaca dalam QS. an-Nahl (16): 58, sebagai berikut:
Artinya: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah”.(Qs,an-Nahl/16:58) Bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. telah memperjuangkan dan berhasil meningkatkan derajat perempuan yang sebelumnya mereka tertindas. Kaum perempuan yang sebelumnya tidak menerima warisan, malah termasuk barang yang diwariskan, oleh Islam diberikan porsi waris yang tetap (faraidh). Islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk Allah sederajat dengan pria dengan hak dan tanggungjawabnya yang adil dan seimbang. Tetapi, kenyataan bahwa perempuan Muslimah pada masa-masa berikutnya pernah dan sebagian masih
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
mengalami perlakuan yang berbeda dan diskriminatif, juga telah menjadi catatan historis dan kajian para ahli. Alquran, sebagai sumber utama dalam ajaran Islam, telah menegaskan ketika Allah Yang Maha Pencipta menciptakan manusia termasuk di dalamnya, laki-laki dan perempuan. Paling tidak ada empat kata yang sering digunakan Alquran untuk menunjuk manusia, yaitu basyar, insan dan al-nas, serta bani adam (A. Hamid Hasan Qolay, 1989: 51-52). Masing-masing kata ini merujuk makhluk ciptaan Allah yang terbaik (fi ahsan taqwim), meskipun memiliki potensi untuk jatuh ke titik yang serendah-rendahnya (asfala safilin), namun dalam penekanan yang berbeda. Keempat kata ini mencakup laki-laki dan perempuan. Mengenai asal kejadian manusia ini, Alquran menyatakan dalam surah AnNisa’(4): 1 sebagai berikut:
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Qs.an-Nisa/4:1) Ayat di atas menjelaskan bahwa Alqur’an menolak pandangan-pandangan yang membedakan lelaki dan perempuan (yang juga menjadi pandangan beberapa masyarakat abad ke -20 ini) dengan menegaskan bahwa dari keduanya secara bersamasama Tuhan mengembangbiakan keturunannya baik yang laki-laki maupun yang perempuan (M.Quraish Shihab, 2004: 270). Kata
من نفس واحدة
dalam ayat di atas mayoritas ulama memahaminya dalam
arti Adam As., dan ada pula yang memahaminya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita. Syaikh Muhammad Abduh al-Qasimi dan beberapa ulama kontemporer lainnya memahami demikian sehingga ayat ini sama dengan firman Allah SWT dalam Qs.alhujurat/49:13. Memahami nafsin wahidah sebagai Adam menjadikan kata
زوجهاyang secara
harfiah bermakna pasanganyan yang popular disebut Hawa. Para Mufassir terdahulu memahami bahwa istri Adam diciptakan dari Adam As. Pasangan Adam diciptakan dari
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok dan karena itu -tulis al-Qurtuby dalam tafsirnya-perempuan bersifat ( )عوجاbengkok (Muhamad ibn Ahmad ibn Abi Bakr Syamsudin al-Qurtuby, 1964: Juz 2: 5). Pandangan ini, mereka perkuat dengan hadis Rasul saw yang menyatakan : “Saling berwasiatlah untuk berbuat baik kepada wanita karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok kalau engkau membiarkannya, ia tetap bengkok dan bila engkau berupaya meluruskannya ia akan patah.” (HR.Imam Bukharii melalui Abu Hurairah) (Muhamad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-mughirah al- Bukhari, Juz.4: 161). Pandangan ini kemudian akan melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dan mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Muhamad Rasyid Ridla dalam tafsir al-Manar menulis : “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II,21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim (Muhamad Rasyid Ridla, 1990: 270). Tulang rusuk yang bengkok dalam hadis di atas harus dipahami dalam pengertian metafora (majazi), dalam arti memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok (M.Quraish Shihab, 2004: 271). Dengan pemahaman di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan) nya sejak lahir, bahwa perempuan mempunyai sifat dan karakter yang berbeda dengan laki-laki dan bukan untuk melemahkan perempuan. Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Alqur’an Berbicara mengenai prinsip-prinsip kesadaran gender dalam perspektif Islam, setidaknya kita dapat mengajukan 5 (lima) variable yang dapat digunakan sebagai ukuran untuk menguji bagaimana kitab suci Alquran memberitakan. Kelima variable tersebut masing-masing: laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah, sebagai khalifah di muka bumi, sebagai yang menerima perjanjian/sama-sama berikrar akan keberadaan Allah, sebagai hamba yang punya tanggung-jawab, dan sebagai yang berpotensi meraih prestasi (Nasarudin Umar, 1999: 248-265). Pertama, sebagai hamba Allah. Alquran menyebutkan bahwa salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepadaTuhan. Penjelasan ini dapat dibaca dalam QS. Az-Zariyat (51): 56, sebagai berikut: 3.
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Alquran biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu yang disaebutkan dalam QS Al-Hujurat (49): 13, sebagai berikut:
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nahl (16): 97, sebagai berikut:
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Kedua, sebagai khalifah di bumi. Maksud dan tujuana penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, disamping untuk menjadi hamba (‘abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah SWT., juga untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fi al-ard). Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi ditegaskan dalam QS. Al-An’am (6): 165, sebagai berikut:
Artinya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Pada ayat lain disebutkan dalam QS. al-Baqarah (2): 30, sebagai berikut: Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Kata khalifah dalam kedua ayat di atas tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan menpunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggung-jawabkan tugas-tugas kekhalifah-annya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung-jawab sebagai hamba Tuhan. Ketiga, sebagai penerima perjanjian/ikrar ketuhanan yg sama. Laki-laki dan perempuan sama-sama mengamban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan.Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya (QS.Al-A’raf (7): 172).
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Qs.alA’raf/7:172) Menurut penjelasan Fakhr ar-Razi, tidak seorang pun anak manusia yang lahir ke muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para Malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan tidak. Di dalam ajaran Islam, tanggung jawab individual dan kemandirian seseorang telah berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah kejadian manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Dan tambahnya lagi Alquran mengungkapkan bahwa Allah SWT yang Maha Kuasa memuliakan seluruh anak cucu
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Adam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya QS. Al-Isra’ (17): 70, sebagai berikut:
Artinya: ”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baikbaik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” Keempat, sebagai hamba yang punya tanggung jawab. Semua ayat yang memuat cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang ( هماhuma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut: bahwa Adam dan Hawa diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga, disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 35, sebagai berikut:
Artinya: “Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.” Adam dan istrinya sama-sama mendapat godaan dari setan, yang ditegaskan dalam Alquran, QS. Al-A’raf (7): 20, sebagai berikut:
Artinya: “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga).” Keduanya (Adam dan istrinya) sama-sama memakan buah khuldi dan mereka menerima akibat jatuh ke bumi, seperti tertulis dalam QS. Al-A’rat (7): 22, sebagai berikut:
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Artinya:”Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya auratauratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" Kemudian keduanya sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan, yang kisahnya diabadikan dalam QS. Al-A’raf (7): 23, sebagai berikut:
Artinya: “Keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi.” Pernyataan-pernyataan dalam Alquran di atas, agak berbeda dengan pernyataanpernyataan dalam Alkitab yang membebankan kesalahan lebih berat kepada Hawa. Dalam ayat-ayat tersebut di atas, Adam dan Hawa disebutkan secara bersama-sama sebagai pelaku dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut. Kelima, sebagai hamba yang berpotensi meraih prestasi. Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan secara khusus di dalam firman-Nya surah Ali Imran (3): 195:
… Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan…” Dalam QS. an-Nisa’ (4): 124, Allah menegaskan:
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang senada, seperti QS. an-Nahl (16): 97; dan QS. al-Gafir (40): 40. Ayat-ayat tersebut di atas mengisyaratkan konsep kesadaran gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir professional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Salah satu penjelasan Alquran tentang tujuan dari syariat Islam ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Alquran mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu Alquran tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan. Seorang ulama kontemporer Muhamad Syahrur dalam karyanya Al-kitab wa Alqur’an :Qira’ah Mu’ashirah dalam pembahasannya juga menjelaskan ayat-ayat gender dalam konteks ini, Syahrur menulis: Bahwasanya kajian tentang kedudukan perempuan dalam Islam termasuk dalam bidang yang sangat sensitiv. Dan sudah banyak yang mencoba mengkajinya, baik dari kalangan “pendukung“ Islam maupun kelompok yang “memusuhi“ Islam. Meskipun demikian, saya tidak yakin bahwa sudah ada yang melakukan kajian orisinil terhadap obyek ini, dengan bertolak dari perspektiv pertentangan (yang terus menerus, pen) antara kelompok substansialis yang formatnya bisa berubah (Dalam bahasa Syahrur disebut sebagai al Hanîfîyah) dan kelompok formalis yang statis (Baca: al Shirâth al Mustaqîm atau al Istiqâmah) —dalam ajaran Islam— di satu sisi, dan pertentangan keduanya dengan fitrah kemanusiaan di sisi lain, seraya menjadikan konsep al-hudûd sebagai pilar utama (Syahrur, 1992: 592 ) Kemudian ia memaparkan pandangannya tentang penafsiran ayat-ayat gender sebelumnya, dengan menyebut kesalahan-kesalahan para penafsir terdahulu sebagai berikut: a. Dalam klaim Syahrur, kesalahan utama Fiqh Islam dan Tafsîr al-Qur’an konvensional yang ada sekarang bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks kitab suci. Akibatnya hukum Islam yang ada sekarang membebani punggung ummat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi-kondisi abad ke-20. (Al-‘Qurî: 127) b. Bahwa hukum-hukum Islam tentang kaum perempuan mempunyai sifat yang sama dengan hukum-hukum Islam tentang perbudakan, yang tidak menggunakan cara revolusi dalam menuntut perubahan. Keduanya dilakukan secara berangsur-angsur. Karena itu, harus dikatakan bahwa emansipasi kaum perempuan dalam Islam telah dimulai dari zaman Nabi saw dan belum berakhir, sebagaimana halnya dengan pembebasan budak. Karena itu, dengan bersandarkan kepada ayat-ayat hudûd, “program” perbaikan kondisi sosial kaum perempuan harus tetap berlanjut. c. Kesalahkaprahan para ulama dalam menafsirkan QS. Ali ‘Imrân: 14 serta QS. AlBaqarah: 223, sudah menjebak mereka dalam kesalahan fatal: memposisikan perempuan sebagai harta-benda milik laki-laki. Kesalahan ini dilatari oleh ketidaktahuan mereka terhadap konsep hudûd dalam penafsiran al-Qur’an kontemporer. d. Bahwa Islam, pada hakikatnya, meletakkan perempuan dalam posisi yang seimbang. Perhatikan, misalnya, QS. Al-Baqarah: 182 (Hunna libâs lakum wa
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
antum libâs lahunna). Islam juga menyamakan lelaki dan perempuan dalam sistem hukum, tanpa memandang perbedaan yang ada, baik perbedaan fisik (seperti QS. Al-Najm: 45 dan QS. Al-Dzâriyât: 49), maupun perbedaan kemampuan akal (seperti QS. Al-Hujurât: 13 dan QS. Al-Isrâ’: 70). Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena memiliki kudrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis. AlQuran mengingatkan: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang lakilaki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs.anNisa/4:32) Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu. Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Mustafa as-Siba’i menegaskan bahwa perbedaah hak laki-laki dan perempuan dalam Islam meliputi empat hal yaitu hak waris, persaksian, ketentuan diyat bagi kasus pembunuhan tidak sengaja bagi perempuan, dan kepemimpinan negara. Namun perbedaan tersebut tidak mengurangi sedikitpun bahwa Islam memuliakan perempuan, mengakui kemampuan perempuan juga derajat kemanusiannya (Mustafa as-Siba’i, 1989: 23-32). Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama. Kata al-qawwâmah pada surat an-Nisa ayat 34 di atas dimaksudkan dengan imârah (pengaturan) dan idârah (pengurusan). Diharuskannya pengaturan dan pengurusan bagi seseorang yang menjadi pemimpin sebuah lembaga atau perkumpulan yaitu pengaturan keadaan dan pengawasan mereka (Muhammad Sa'id Ramdan al-Buti, 1977: 101). Jika dalam keluarga, salah seorang di antara suami istri diangkat menjadi pemimpin menunjukan keinginan yang besar agar tidak semenitpun dalam sebuah keluarga kecuali ada pemimpin yang memelihara, menjaga dan merawat keadaan serta mengatur urusan mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Jika tiga orang sedang dalam perjalanan maka hendaklah menjadikan salah satu di antara mereka menjadi pemimpin”. (HR Baihaqi, Ahmad, Hakim dan Daruquthni dari Abi Hurairah). Jadi kepemimpinan bagi keluarga dalam aturan dan syariat Islam adalah kepemimpinan sebagai pemeliharaan dan pengurusan, bukan berbentuk kepemimpinan pengawasan dan kekuasaan. Tidak dengan pertimbangan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala semata yang menjadi pembeda seorang pemimpin atau pengatur, tetapi pertimbangannya ditentukan oleh kecukupan kapasitas yang dimiliki oleh seorang
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
pemimpin untuk mengemban kesukaran-kesukaran tanggungjawab ini (Muhamad Said Ramadhan al-Buthi, t.t.: 103). Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat tingkat yang lebih tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang derajat tersebut yaitu firman-NyA, “Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata derajat dalam ayat di atas (Qs.al-Baqarah/2:228) menurut Imam Thabary adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri (Imam Ibn Jarir at-Thabary, jilid.4: 531). Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, laki-laki yang memiliki kemampuan material dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah penghasilan. Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayatayat Al-Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhin – sebagian kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan kitab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (QS. An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah: 71). Pengertian menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar mencakup segi perbaikan dalam berbagai bidang dan kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang baik dan mantap bukan atas dasar perbedaan jenis kelamin. KESIMPULAN 1. Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar perempuan dan lakilaki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat, yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Sedangkan seks (jenis kelamin: laki-laki dan perempuan) tidak berubah dan merupakan kodrat Tuhan.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
2.
3.
Ajaran Islam memandang antara perempuan dan laki-laki adalah setara, baik sebagai hamba Allah, sebagai khalifah di bumi, sebagai hamba yang mempunyai tanggung jawab, dan berpotensi meraih prestasi. Perempuan dalam paradigma ini memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Oleh karena itu, konstruksi sosial baru yang menjamin keadilan gender diharapkan lahir menjadi basis pendefinisian kembali pranata sosial, regulasi, kebijakan politik, dan ekonomi, juga fikih. Keadilan bagi perempuan mutlak dimaknai kembali sejalan dengan prinsip kemanusiaan, karena keadilan sendiri adalah kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA A.Hamid Hasan Qolay, Kunci Indeks dan Klasifikasi Ayat-ayat Alquran, Jilid I, Bandung: Pustaka, 1989 Imam Ibn Jarir at-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wi Ay Alqur’an, jilid.4 Istibsyaroh, Hak-hak perempuan: Relasi Gender dalam Tafsir al-Sya’rawy, Jakarta: Teraju, 2004 Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Islam dan Jender1999 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia,(Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983 Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III, Pengantar Teknik Analisa Gender, 1992 Mansour Fakih, Membincang Peminisme: Diskursus Gender Persfektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996 M.Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an, Bandung:Mizan , 2004, ----------------, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an, Jakarta:lentara Hati , 2002 Muhamad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, Kairo: Al-Haiah al-Misriyah al-“amah li alKitab: 1990, Jilid 4 Muhammad Sa'id Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi as-Syariah al-Islamiyah Beirut: Mu'assasah ar-Risalah, 1977 Muhamad ibn Ahmad ibn Abi Bakr Syamsudin al-Qurtuby, al-jami’ Li Ahkam Alqur’an. Kairo: Dar al-kutub al-Misriyah, 1964, Cet.ke-2,, Juz .2 Muhamad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-mughirah al- Bukhari, Al-Jami’ as-Shahih, Juz.4 Mustafa as-siba’i, al-Mar’ah bain al-Fiqh wa al-Qanun, Mesir : Dar as-Salam, 1998 Nasarudin Umar, Argumen kesetaraan Jender Persfektif Alqur’an, Jakarta: Paramadina, 1999 Victoria Neufeldt (Ed.), Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New World Clevenland, 1984),
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Apr97/7.html, diunduh Kamis, 13-12-2012 http://lppm.uns.ac.id/Panduan Pendidikan Berprespektif Gender /index.php/option=com_content &view =article