LAPORAN TIM PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
KELOMPOK KERJA BIDANG HUKUM EKONOMI DAN INDUSTRI
DISUSUN OLEH TIM DIBAWAH PIMPINAN
PROF. DR. C.F.G. SUNARYATI HARTONO, SH
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI TAHUN 2005
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………
I
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..
ii
BAB I
PENDAHULUAN A. B. C. D.
BAB II
Latar Belakang Masalah ……………………………… Permasalahan ……..………………………………….. Tujuan dan Kegunaan………………………………….. Metodologi ……………………………………………...
1 9 10 11
POKOK-POKOK PIKIRAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DI BIDANG HUKUM EKONOMI DAN INDUSTRI A. Strategi Sistem Hukum Ekonomi Nasional Menuju sistem Ekonomi Nasional Yang Memberdayakan Sektor ekonomi Informal, serta Usaha Kecil dan Menengah. Oleh: Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH………… B. Perkembangan Ekonomi Indonesia Oleh: Dr. Sri Adiningsih, MSc. .................................... C. Pembangunan Nasional dan Anggaran Negara Oleh: Dr. Sri Adiningsih, MSc...................................... D. Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Oleh: Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, SH....................... E. Membangun Sistem Ekonomi Oleh: Diani Sadiawati, SH.,LL.M.................................. F. Peran Pembangunan Hukum Dalam Menunjang Investasi di Indonesia. Oleh: Diani Sadiawati, SH.,LL.M..................................................................... G. Tinjauan Pengembangan UKM dari Sudut Hukum Oleh: Dr. Yenti Ganarsih, SH.,MH...............................
13
29
41
60
67
75
84
H. Dimensi Kejahatan Ekonomi Sebagai Dampak Negatif Dari Kejahatan Pembangunan Ekonomi Yang Tidak Berimbang. Oleh: Dr. Yenti Ganarsih, SH.MH............
I. Penjamin Kredit dan Upaya mendorong Penyaluran Kredit Perbankan kepada Usaha Mekro dan Kecil. Oleh: Dr. Yunus Husein, SH.,LL.M & Garda T. Paripurna, SH.,LL.M..................................................... BAB III
87
96
PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………
124
B. Saran-saran……………………………………………
129
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR Pada tanggal 6-8 September 2004, di Hotel Nikko, Jakarta, Badan Pembinaan
Hukum
Nasional
Departemen
Kehakiman
dan
HAM
RI
menyelenggarakan Forum Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum dengan tema :“ Memantapkan Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Menuju Program Legislasi Nasional yang Progresif dan Bertanggung Jawab”. Forum ini merupakan kegiatan yang sangat strategis untuk mendukung pembangunan hukum nasional yang terencana, terarah, terpadu
dan
konsisten
dengan
“pendekatan
multidisipliner
dan
interdisipliner” di dalam pembentukan hukum nasional. Pembentukan Kelompok Kerja Bidang Hukum dan Ekonomi merupakan salah satu upaya positif dalam rangka mencari jalan keluar agar keadaan perekonomian Indonesia yang tidak pasti menjadi terang melalui pencarian solusi bagi masalah-masalah hukum berdimensi ekonomi. Mencari persamaan dari dua kubu yang berbeda yaitu kubu ilmu hukum dan kubu ilmu ekonomi sangat penting, mengingat kedua bidang ilmu ekonomi dan hukum merupakan dua bidang yang menukik pada satu hal yang sama dan saling mengisi yaitu kesejahteraan dalam keadilan dan kepastian manusia dan kemanusiaan. Di dalam perjalanan waktu yang panjang, kebijakan politik selalu mempengaruhi kebijakan Hukum dan Ekonomi. Dimana ada perubahan kebijakan politik, maka kebijakan Hukum dan Ekonomi juga selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari satu alasan kepada alasan lain sesuai dengan kepentingan masing-masing. Oleh karena itu “kesepahaman antara hukum dan ekonomi” merupakan satu hal yang sangat penting, mengingat ekonomi dan hukum harus saling mengisi dalam rangka penciptaan suatu kegiatan ekonomi
yang
bermartabat
untuk
menciptakan
kesejahteraan
bersama.
Kedudukan yang berhadapan dan saling menuding sudah waktunya diakhiri. Kedua kubu bidang ilmu dan kajian harus duduk bersama dan melakukan dialog dalam rangka menyatukan pendapat dan mengurangi kesenjangan dan secara bersama menciptakan suatu harmonisasi bersama.
Laporan ini ini merupakan hasil dari keseluruhan pemikiran, pendapat dan pandangan Tim Kelompak Kerja Hukum dan Ekonomi yang terdiri dari ahli hukum dan ahli ekonomi. Pemikiran, pandangan dan pendapat para pakar ini menjadi konsep-konsep dasar dari Tim Pokja Hukum dan Ekonomi yang telah disampaikan di dalam Forum Dialog Hukum dan Non Hukum, pada tanggal 6-8 September 2004 di Hotel Nikko, Jakarta. Penghargaan dan terimakasih kami sampaikan atas perhatian dan dukungan penuh dari anggota Tim Pokja Hukum dan Ekonomi, yaitu : Prof. Dr.Sri Rejeki Hartono,S.H, Prof.DR.Djuhaendah Hasan S.H, Prof.Dr.Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Prof.DR.Sutan Remmy Sjahdeini,S.H, Dr. Sri Adiningsih, Dr.Yunus Hussein, S.H, LL.M, Garda T. Paripurna, S.H, LL.M, Dr.Huala Adolf, SH, Lasminingsih,SH,LL.M, Erry Ryana Harjapamekas, Sri Ati Hartami, S.H, Tuti Trihastuti, S.H, Jamilus, S.H, M.H, dan juga kepada Prof. Dr. Didik J.Rachbini yang telah berbagi pemikiran dengan kami. Kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Prof.DR.Romli Atmasasmita,S.H, LL.M, kami mengucapkan terimakasih, yang senantiasa mengajak kami untuk duduk dan berdialog bersama di dalam upaya Badan Pembinaan Hukum Nasional membina sistem hukum nasional. Tentunya menjadi harapan kita bersama bahwa hasil dari Forum Dialog Nasional Hukum dan Non-Hukum dapat dimanfaatkan Pemerintah R.I di dalam pengambilan kebijakan di bidang hukum memasuki abad-XXI. Akhir kata, kami mendukung Forum Dialog Nasional Hukum dan NonHukum diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional sebagai kegiatan yang berkesinambungan.
Jakarta, Desember 2004 Ketua Tim Kelompok Kerja Bidang Hukum dan Ekonomi Forum Dialog Nasional Hukum dan Non-Hukum
PROF.DR.C.F.G.SUNARYATI HARTONO, S.H
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI pada tanggal 6-8 September 2004 di Hotel NIKKO Jakarta telah menyelenggarakan Forum Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum
dengan
Tema
“MEMANTAPKAN
SINKRONISASI
DAN
HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENUJU PROGRAM
LEGISLASI
NASIONAL
YANG
PROGRESIF
DAN
BERTANGGUNG JAWAB” Forum ini merupakan kegiatan yang sangat strategis untuk mendukung pembangunan Hukum Nasional yang terencana, terarah, terpadu dan konsisten dengan pendekatan multidispliner dan interdispliner di dalam pembentukan hukum nasional. Salah satu kajian terpenting dalam Forum Dialog tersebut adalah mengenai Hukum Ekonomi dan Industri. Mengingat perkembangan ekonomiera Suharto berakhir dengan krisis moneter dankrisis ekonomi yang sempat memporak porandakan seluruh kehidupan ekonomi kita, maka diperlukan pemikiran kembali mengenai dasar-dasar, filsafah, tujuan dan kebijakan ekonomi di tengah-tengah reformasi politik, sosial dan hukum, termasuk reformasi birokrasi dan reformasi peradilan. Ketidak stabilan ekonomi yang merupakan bagian dari reformasi seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara ini dikhawatirkan akan membawa
dampak ekonomi yang lebih serius, karena bisa merusak sendi-sendi perekonomian yang sudah tertata sebelumnya tersebut, apalagi Indonesia harus sudah siap menghadapi pasar bebas AFTA yang sudah mulai diimplementasikan tahun 2002 dan akan dilaksanakan secara penuh pada tahun 2010. Untuk menjawab permasalahan yang berkembang dalam forum dialog tersebut, pembentukan Kelompok Kerja Bidang Hukum Ekonomi dan Industri merupakan salah satu upaya positif dalam rangka mencari dan merumuskan masalah-masalah hukum yang berdimensi ekonomi dan industri. Oleh karena menurut Kelompok Kerja Bidang Hukum Ekonomi dan Industri ini kelemahan struktur ekonomi Indonesia terletak pada lemahnya ekonomi pedesaan dan sumber daya manusia ekonomi Indonesia yang masih hidup di dalam alam masyarakat agraria atau yang menurut Alvin Toffer masih hidup di alam Gelombang Pertama (First Wave), maka Kelompok Kerja ini menganggap, bahwa demi pembangunan daya saing pengusaha Indonesia, pelaku ekonomi tradisional inilah yang perlu diberdayakan dan dimodernisasi perilaku ekonominya. Oleh sebab itu Kelompok Kerja Bidang Hukum Ekonomi dan Industri ini akan memfokuskan pembahasannya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan Usaha Kecil dan Menengah. Apalagi dalam situasi yang buruk dan krisis justru ekonomi yang lalu usaha kecil yang tetap eksis dan tetap bertahan dan memberikan
kontribusi yang besar bagi kelangsungan ekonomi nasional. Sebab usaha kecil dan menengah ini sudah membuktikan bahwa pada waktu krisis ekonomi melanda Indonesia antara tahun 1997-2001, kontribusi output Usaha Kecil Indonesia terhadap PDB relative besar, yakni sekitar 40% dan bahkan tahun 1999 sebesar 43,40%, dibandingkan dengan Usaha Besar pada tahun yang sama sebesar 41,27%, yang menjadi lebih besar mulai tahun 2000 dan 2002, ketika menyumbangkan 45,26% pada PDB. Lagi pula usaha kecil dan menengah merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas pada masyarakat serta dapat berperan dalam proses pemerataan
dan
peningkatan
pendapatan
masyarakat,
disamping
mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas
nasional
pada
umumnya
dan
stabilitas
ekonomi
pada
khususnya. Seyogyanya dalam kenyataannya UKM masih belum menunjukkan kemampuan dan peranannya secara optimal dalam perekonomian nasional, meski banyak instansi-instansi yang terlibat di dalamnya, Hal ini terjadi karena banyaknya isu negatif terhadap instansi-instansi yang terlibat
dalam
pengembangan
UKM
tersebut,
seperti
politisasi/penyalahgunaan kepentingan UKM, baik oleh partai-partai politik, maupun oleh pengusaha swasta dan usaha-usaha besar. Kemudian juga terjadi terutama dalam rangka penyaluran berbagai macam dana untuk pengembangan UKM yang tidak jelas dan tidak
terarah. Demikian pula kewajiban BUMN untuk menyisihkan labanya 1-5% juga tidak dikelola dan dilaksanakan dengan baik. Kebanyakan BUMN memilih persentase terkecil, yaitu 1%, sementara banyak UKM yang mengaku kesulitan memperoleh dana tersebut. Selain itu kredit perbankan juga sulit untuk diakses oleh UKM, diantaranya karena prosedur yang rumit serta banyaknya UKM yang belum bankable. Apalagi Bank Indonesia tidak lagi membantu usaha kecil dalam bidang permodalan secara langsung dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Permasalahan lain yang dihadapi UKM secara umum juga masih, banyak baik yang bersifat yuridis maupun non yuridis (termasuk organisasi manajemen). Lagi pula masalah yang terbesar yang dihadapi oleh UKM, bukan hanya terletak pada masalah keuangan danpermodalan, tetapi juga disebabkan karena masih tetap digunakan teknologi pertanian tradisional, pertanian individual, tanpa cara-cara yang lebih modern, seperti pembukuan, perencanaan, kerjasama antar petani/pengusaha, pemasaran yang kurang dihiraukan dan sebagainya. Oleh sebab itu penyuluhan dan pelatihan kearah modernisasi yang bebas korupsi birokratis sangat diperlukan dan perlu ditingkatkan. Hambatan-hambatan yang melekat pada pengusaha UKM dapat dibagi ke dalam hambatan non-yuridis (pendidikan, sosiologis, ekonomis, dll) serta hambatan yuridis sebagai berikut :
A. Hambatan
non
yuridis
(termasuk
Finansial
dan
organisai
menajemen) antara lain mencakup sebagai berikut: 1. Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah termasuk penggunaan teknologi yang rendah/tradisional serta pengetahuan ekonomi yang rendah. 2. Terbatasnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control. 3. Lemahnya sisi pemasaran. 4. Terbatasnya kemampuan menggunakan pangsa pasar dan sistem distribusi. 5. Kemampuan menjual baik internal perusahaan, SDM, dan Sumbersumber lain. 6. Kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akutansi, serta kemampuan managerial. 7. Kurangnya kesesuaian antara dana yang tersedia yang dapat diakses oleh UKM. 8. Kemampuan financial, termasuk memperoleh kemudahan kredit dan jaminan. 9. Selain itu, UKM juga menghadapi permasalahan kurangnya hubungan atau linkage dengan perusahaan ekspor. Permasalahan yang terkait dengan linkage diantaranya adalah: a.
Industri pendukung yang lemah.
b.
UKM yang memanfaatkan/menggunakan sistem cluster dalam bisnis belum banyak.
Sedangkan permasalahan yang terkait dengan ekspor di antaranya adalah sbb: c.
Kurangnya informasi mengenai pasar ekspor.
d.
Kurangnya lembaga yang dapat membantu mengembangkan ekspor.
e.
Sulitnya mendapatkan sumber dana ekspor.
f.
Pengurusan dokumen untuk ekspor yang birokratis.
Tambahan pula perundang-undangan yang ada lebih terbatas pada kepentingan usaha besar, seperti PMDN dan PMA, sehingga Hukum Ekonomi kita belum mendukung pemberdayaan usaha tradisional dan UKM pada umumnya. Hal ini tentu membutuhkan kebijaksanaan/policy yang serius serta terkait secara sistematik dengan kebijaksanaan di bidang ekonomi keuangan, pendidikan masyarakat, politik dan politik hukum nasional yang sungguhsungguh dan secara sinkron menuju pada pemberdayaan UKM.
B.
Hambatan yuridis mencakup hal-hal sebabagi berikut: 1. Aspek-aspek Hukum Kontrak yang perlu diketahui dan diwaspadai oleh UKM bila mengadakan transaksi-transaksi kredit, jual beli, transport, dll termasuk dak dan kewajiban sebagai akibat transaksi,
serta dokumen yang berkaitan dengan transaksi itu, yang perlu disimpan dan diperhatikan. 2. Tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan hokum, baik sebelum maupun setelah berdiri, prosedur dan status badan usaha, kewajiban membayar pajak, buruh, konsultan, dsb. 3. Tentang jangka/batas waktu pemenuhan kewajiban-kewajiban dan hak-hak terhadap partner pihak ketiga, pajak dan kebersihan lingkungan.
Dengan latar belakang pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka Tim POKJA Bidang Hukum Ekonomi dan Industri mencoba merumuskan program kerja untuk meneliti dan menanamkan masalahmasalah yang berkaitan dengan UKM, guna perumusan kembali peraturan perundang-undangan tentang hukum ekonomi & industri , sebagaimana disajikan dalam bentuk makalah –makalah sbb: 1. Strategi Pembangunan Sistem Hukum Ekonomi Nasional yang mendukung Pemberdayaan Sektor Ekonomi Informal serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah Oleh: Prof.DR.C.F.G. Sunaryati Hartono, SH 2. Perkembangan Ekonomi Indonesia Oleh: Dr. Sri Adiningsih, MSc. 3. Pembangunan Nasional dan Anggaran Negara Oleh: Dr. Sri Adiningsih, MSc.
4. Membangun Sistem Ekonomi Oleh: Diani Sadiawati, SH.,LL.M 5. Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Oleh: Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, SH 6. Tinjauan Pengembangan UKM dari Sudut Hukum Oleh: Dr. Yenti Ganarsih, SH.,MH. 7. Peran Pembangunan Hukum Dalam Menunjang Investasi di Indonesia. Oleh: Diani Sadiawati, SH.,LL.M. 8. Penjamin Kredit dan Upaya mendorong Penyaluran Kredit Perbankan kepada Usaha Mekro dan Kecil. Oleh: Dr. Yunus Husein, SH.,LL.M & Garda T. Paripurna, SH.,LL.M 9. Dimensi Kejahatan Ekonomi Sebagai Dampak Negatif Dari Kejahatan Pembangunan Ekonomi Yang Tidak Berimbang. Oleh: Dr. Yenti Ganarsih, SH.MH.
B.
Permasalahan Yang menjadi pokok permasalahan dalam kelompok kerja Bidang Hukum Ekonomi dan Industri ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana gambaran perkembangan perekonomian Indonesia?
2.
Masalah-masalah apa yang masih dialami oleh UKM sebagai pelaku ekonomi yang paling banyak jumlahnya/kuantitasnya di Indonesia?
3.
Sejauhmana pula peran keuangan negara dalam perekonomian Indonesia?
4.
Bagaimana Upaya Mendorong Penyaluran Kredit Perbankan Kepada Usaha Kecil dan Menengah? Dan apa saja hambatan-hambatannya, serta bagaimana solusinya?
5.
Sejauhmana Pembangunan Hukum Ekonomi dapat menunjang investasi di Indonesia, dan peraturan perundang-undangan apa saja yang dibutuhkan untuk mendukungnya?
6.
Bagaimana strategi Pembangunan Sistem Hukum Ekonomi Nasional yang Dapat Memberdayakan Sektor Ekonomi informal Serta Usaha Kecil dan Menengah?
7.
Untuk Memberdayakan Usaha Kecil dan Menengah tersebut Syaratsyarat apa saja yang perlu dipersiapkan?
C.
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan: a. Untuk
menindaklanjuti
pemikiran,
gagasan,
pandangan-
pandangan, dan pendapat para pakar hukum dan pakar ekonomi pada forum dialog nasional bidang hukum dan non hukum, sebagai dasar kebijaksanaan Ekonomi dan Hukum dalam rangka penyusunan perencanaan pembangunan di bidang hukum yang
mendukung program dan kegiatan prioritas di bidang ekonomi secara komprehensif, terarah, dan realistis. b. Untuk memetakan konsep-konsep pemikiran pakar hukum dan pakar ekonomi secara sistematis dengan adanya perubahan dari paradigma pembangunan ekonomi dari trickle down effect ke pemberdayaan masyarakat pelaku ekonomi mikro. c. Untuk menyusun program dan kegiatan di bidang Hukum Ekonomi yang perlu diusulkan oleh para pakar hukum dan pakar ekonomi guna mendukung upaya-upaya modernisasi kehidupan pedesaan, sehingga tercipta kesinambungan konsep, visi, misi dan tujuan yang selaras antara pembangunan hukum dan ekonomi maupun keselarasan antara pembangunan ekonomi pedesaan dengan ekonomi perkotaan, serta antara ekonomi mikro dan ekonomi makro.
Kegunaan: a.
Untuk menjadi masukan bagi Pemerintah dalam menyusun rencana program dan kegiatan pembangunan hukum dan ekonomi, politik, maupun sosial dalam rangka modernisasi kehidupan pedesaan dan memberdayakan pelaku usaha mikro.
b.
Untuk menjadi perhatian pemerintah dan pemerintah daerah agar program dan kegiatan pemerintah Pusat dan Daerah dapat
diintegrasikan dalam penetapan kebijaksanaan di bidang hukum dan ekonomi di masa mendatang. c.
Untuk menjadi perhatian para pengambil kebijakan bahwa pembangunan ekonomi sudah semestinya lebih diarahkan pada pemberdayaan masyarakat agraris termasuk melayani sehingga pembangunan hokum, ekonomi dan industri diorientasikan pada pembentukan peraturan perundang-undangan yang mendorong pembangunan di pedesaan dan pemberdayaan masyarakat tradisional (Gelombang I dan II).
D. METODOLOGI Kelompok Kerja Bidang Hukum Ekonomi dan Industri ini mempergunakan metode penelitian hukum interdisipliner, yaitu dengan melakukan analisis kritis terhadap masalah-masalah ekonomi, social dan hokum khususnya yang menyangkut masalah investasi, teknologi danmanajerial yang dihadapi Usaha Kecil dan Menengah ditengahtengah arus globalisasi dan dominasi perusahaan besar BUMN dan perusahaan transnasional (TNC) . Untuk lebih memudahkan pelaksanaan kegiatan ini, masingmasing anggota membuat makalah sesuai dengan topik yang telah disepakati,
yang
dalam
makalah
tersebut
dapat
memberikan
rekomendasi terhadap pengembangan dan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah di masa yang akan datang.
BAB II POKOK-POKOK PIKIRAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DI BIDANG HUKUM EKONOMI A. STRATEGI SISTEM HUKUM EKONOMI NASIONAL MENUJU SISTEM EKONOMI NASIONAL YANG MEMBERDAYAKAN SEKTOR EKONOMI INFORMAL SERTA USAHA KECIL DAN MENENGAH (PROF.DR.C.F.G.SUNARYATI HARTONO, S.H)
A.
Pendahuluan
Di Indonesia para ekonom biasanya memandang hukum sekedar sebagai “alat bantu” atau instrumen untuk melegalisasi atau mensahkan kebijaksanaan, kepentingan, dan perilaku ekonomis melalui peraturan perundang-undangan atau surat keputusan pejabat Pemerintah (dari Presiden sampai ke Direktur Jenderal Departemen atau Kementerian). Tidak pernah sarjana hukum diminta pendapatnya apakah suatu kebijaksanaan atau keputusan atau peraturan yang ingin diadakan oleh Pemerintah boleh, dapat, atau mungkin diadakan, atau sebaliknya akan merupakan ketentuan yang melanggar hukum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar, atau undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi dari pada peraturan perundang-undangan atau surat keputusan Presiden, Menteri, Direktur Jenderal, atau Kepala Daerah yang ingin diadakan. Bahkan, apabila ada sarjana hukum mencoba menghalang-halangi dibuatnya peraturan atau surat keputusan yang nyata-nyata bertentangan atau diluar/melampaui kewenangan pejabat yang bersikeras untuk mengadakan peraturan atau surat keputusan tertentu dan/atau bertentangan dengan asasasas hukum atau undang-undang yang lebih tinggi, maka orang seperti itu dianggap menghambat atau menentang pembangunan ekonomi yang di Zaman Orde Baru dianggap paling penting dan harus diprioritaskan di atas segalagalanya. Kalau di Zaman Orde Lama Bung Karno mengatakan bahwa “Kita tidak dapat membuat revolusi dengan sarjana hukum”, maka di Zaman Orde Baru para ekonom Indonesia berpendapat bahwa “Kita tidak mungkin membangun ekonomi apabila kita terus harus memperhatikan hukum”. Bahkan ada yang lebih radikal yang menganggap bahwa (asas dan peraturan) hukum harus minggir dan disisihkan, demi kemajuan dan pembangunan Ekonomi. Itulah sebabnya kita boleh katakan bahwa selama 59 tahun merdeka, bangsa Indonesia telah memperalat Hukum demi tujuan politik, ekonomi, dan sosial, dan kepentingan penguasa. Barulah Krisis Ekonomi tahun 1997 yang dengan seketika mengalihkan perhatian kepada Hukum; ketika orang berteriak :“ Bagaimana Hukum kita ?!,
atau “Hukum dan penerapan Hukum kita amburadul, tidak mampu mencegah krisis moneter dan krisis ekonomi kita !” atau “Akibat Hukum dan penerapan Hukum kita amburadul, maka investor asing tidak mau masuk ke Indonesia !” Dilupakan bahwa selama 59 tahun justru kepentingan-kepentingan politik, ekonomi dan sosial, termasuk kepentingan politik dan ekonomi Negara dan Perusahaan Asing itulah yang sudah mengabaikan dan mengamburadulkan sistem hukum Indonesia, menjadi seperti keadaan sekarang. Itulah sebabnya maka apabila di dalam masa Reformasi ini supremasi hukum dan asas-asas pemerintahan yang benar (good governance) benar-benar ingin ditegakkan, maka tugas pertama dan utama adalah mentransformasikan sistem hukum kita yang amburadul ini menjadi sistem hukum yang benar, dan menerapkan secara nyata asas-asas hukum dan asas umum pemerintahan yang benar, baik di dalam UUD, UU dan peraturan perundang-undangan serta suratsurat keputusan dan perilaku pejabat Negara dan Pemerintah maupun dalam putusan-putusan hakim dan perilaku instansi-instansi yang harus memberi pelayanan kepada masyarakat, tidak terkecuali seluruh lapisan masyarakat Indonesia . B.
Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi Dikatakan bahwa sejak tahun 1967 dengan UU No.1 Tahun 1967, modal
asing mulai masuk lagi ke Indonesia setelah 25 tahun, yaitu sejak Perang Dunia Kedua (tahun 1942) sampai dengan tahun 1967 Pemerintah Orde Lama menutup pintu Indonesia terhadap penanaman modal dari luar negeri, sebagai akibat pengalaman di Zaman Kolonial, ketika rakyat dan bumi Indonesia hanya menjadi sapi perahan bagi perusahaan-perusahaan asing, sementara rakyat Indonesia sendiri hampir tidak memperoleh bagian dari hasil dan keuntungan perusahaan-perusahaan asing tersebut, yang sebagian besar ditransfer ke Negara-negara di Eropa (Belanda, Inggris, Perancis, Norwegia), Jepang dan China.
Terbukanya pintu Indonesia dengan beroperasinya perusahaan Freeport Sulphur di luar Jawa dan diundangkannya UU Penanaman Modal Asing ketika itu menimbulkan reaksi masyarakat Indonesia yang tidak rela berbagai fasilitas seperti pembebasan pajak (tax holiday) dan lain-lain fasilitas dan kemudahan hanya diberikan kepada penanaman modal asing, tetapi tidak pernah diberikan kepada pengusaha Indonesia. Sebagai akibat dan protes pengusaha dan rakyat Indonesia itu barulah diterbitkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No.6 Tahun 1968). Dengan dicanangkannya proses debirokratisasi, deregulasi dan privatisasi pada tahun 1980-an, mengikuti praktik ekonomi Inggris di bawah Perdana Menteri Margareth Thatcher, yang menggema di IMF, Bank Dunia dan PBB, maka Indonesia pun mengikuti praktik ekonomi privatisasi dan deregulasi itu, tanpa menghiraukan bahwa suatu sistem ekonomi pasar yang bebas (liberal) hanya dapat berjalan dengan baik, apabila dasar-dasar kaedah hukum di bidang dan / atau menyangkut ekonomi sudah tertata dengan baik yaitu : 1)
Hukum Kontrak ;
2)
Hukum tentang Hak Milik, termasuk Hak Milik atas benda –benda dan aset yang tidak berwujud (intangible rights) dan Hak Milik atas tanah yang sekarang di atur oleh UU Pokok Agraria tetapi perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia abad ke-21);
3)
Hukum tentang Bentuk-Bentuk Usaha ;
4)
Hukum tentang Perbuatan Melawan Hukum ;
5)
Hukum Acara Perdata ;
6)
Hukum Acara Pidana ;
7)
Hukum Acara di Pengadilan Tata Usaha Negara ;
8)
Hukum Acara di Pengadilan ad-hoc Niaga ;
9)
Hukum Acara di Pengadilan ad-hoc Anti Korupsi ;
10) Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi ; 11) Tugas dan Tanggungjawab Mahkamah Agung, terutama setelah tugas Departemen Kehakiman dan Ham diserahkan kepada Mahkamah Agung ;
12) Kerjasama antar lembaga-lembaga penegak hukum dalam mewujudkan pemerintahan yang benar (good governance) dan Negara Hukum ( the rule of law) 13) Terselenggaranya pelayanan (kepada) publik oleh aparat Negara, badan-badan Pengadilan dan Pemerintahan yang sesuai dengan asasasas umum pemerintahan yang benar (good governance), di bawah pengawasan Ombudsman Republik Indonesia, agar Ombudsman menjadi “parliamentary ombudsman” berkoordinasi dengan Ombudsman (di) Daerah ; 14) Diundangkannya RUU Ombudsman Republik Indonesia ; 15) Proses penyusunan dan pembahasasn rancangan undang-undang yang lebih cepat, tetapi proporsional, sistemik dan bertanggungjawab ;
16) Sistem Pendidikan Hukum yang lebih mendalam dan semakin interdisipliner untuk dapat menyusun dokumen dan/atau undang-undang Hukum Ekonomi, Hukum Teknologi, Hukum Informasi, Hukum Angkasa, Hukum Lingkungan, dan lain-lain ; 17) Sistem Bantuan Hukum yang juga perlu membantu para petani dan pengusaha tradisional untuk memperoleh haknya yang wajar dalam persaingan yang tidak wajar /curang antara pengusaha kuat dan lemah; 18) Dan masih banyak lagi seperti perbankan, perkreditan, pajak dan lainlain ; Semua itu pada saat ini masih belum diadakan juga, apalagi pada saat dimulainya politik privatisasi dan deregulasi pada tahun 1980, sehingga tidak mengherankan, bahwa ekonomi nasional kita dari tahun ke tahun makin berlangsung secara liar yang mengakibatkan semakin terjadinya fenomena “hukum rimba” dimana pihak yang kuatlah (baik secara fisik, kaya, atau yang menguasai ilmu dan teknologi) yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak, atau apa yang benar dan apa yang tidak. Disamping korupsipun akhirnya
semakin bebas berkembang, sampai-sampai menjadi bagian yang integral dari birokrasi dan peradilan. Itulah sebabnya pada saat ini, setelah semua Badan Usaha Milik Negara “go international” dengan menjual saham-sahamnya kepada perusahaanperusahaan asing, maka ekonomi Indonesia sebenarnya sudah semakin dikuasai oleh tuntutan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh pengusaha asing yang didukung oleh perjanjian-perjanjian ekonomi internasional dan regional seperti Konvensi–konvensi ILO, GATT dan WTO, ASPAC, dan lain-lain. Akibatnya menjadi semakin sulit bagi Indonesia untuk memperjuangkan pemberdayaan dan kebutuhan kaum miskin dan kurang terdidik seperti petani tradisional, penjual jamu, buruh, nelayan dan bahkan sektor ekonomi nasional sendiri (yang belum tersentuh teknologi
atau modal asing) terhadap posisi
investor asing di Indonesia, yang jauh lebih banyak mendapat perhatian Pemerintah daripada golongan ekonomi non-formal dan informal kita. Padahal DR.Sri Adiningsih, MSc dalam makalah “Peta Dunia Usaha Indonesia” memperlihatkan, bahwa “kontribusi output Usaha Kecil Indonesia terhadap PDB relatif besar yaitu sekitar 40% pada tahun 1997 – 2001, dan sumbangan Usaha Kecil pada tahun 1999 (jadi justru pada waktu krisis ekonomi sedang memuncak) adalah yang terbesar yaitu 43,40%”. Sumbangan Usaha Kecil bila dibandingkan dengan Usaha Besar pada tahun yang sama adalah 41,27%, yang menjadi lebih besar mulai tahun 2000 dan 2001, ketika usaha besar menyumbangkan (hanya) 45, 26 % pada PDB. Melihat perbandingan semacam ini, agaknya tidak rasional untuk memberikan perhatian yang jauh lebih besar kepada pengembangan jumlah perusahaan besar (-baca transnasional) untuk beroperasi di Indonesia daripada upaya pemberdayaan usaha informal usaha kecil dan usaha menengah. Karena apabila diingat bahwa perusahaan transnasional lebih sering ditransfer keuntungannya ke luar negeri, sementara hasil usaha-usaha
informal usaha
kecil dan usaha menengah akan lebih banyak dikembangkan ke dalam negeri sendiri; maka dengan adanya perimbangan kontribusi yang kurang lebih sama terhadap PDB Indonesia, akan lebih logis apabila di dalam dasawarsa yang akan
datang politik ekonomi lebih ditekankan pada pemberdayaan dan modernisasi petani, nelayan dan pengusaha tradisional, pengusaha kecil dan menengah, sehingga mulai akhir tahun 2004 ini, khususnya memasuki tahun ke-60 Indonesia Merdeka, kita benar-benar hendak melaksanakan aspirasi Proklamasi Kemerdekaan dan Pembukaan UUD 1945 serta Pasal 33 hasil Amandemen Keempat yang menyatakan: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan ; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara ; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasi oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat; (4) Perekonomian ekonomi
nasional
dengan
diselenggarakan
prinsip
berdasar
kebersamaan,
atas
efisiensi,
demokrasi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional ; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Ayat 5 dari pasal 33 UUD 1945 ini menandakan bahwa bukanlah Hukum yang harus senantiasa mengikuti saja apa yang dikehendaki oleh Pemerintah sebagai politik dan kebijakan ekonomi nasional kita, tetapi juga bahwa penentuan politik dan kebijakan ekonomi juga harus tunduk pada ketentuan dan asas-asas Hukum yang telah ditentukan oleh UUD dan TAP MPR, dan masih akan ditentukan oleh UU dan lain-lain peraturan perundangan-undangan di masa depan. Dengan lain perkataan: Untuk dapat menyusun UU atau peraturan perundang-undangan atau untuk dapat memutus perkara pengadilan atau arbitrase atau mengadakan negosiasi yang akan menghasilkan suatu dokumen Hukum Ekonomi, mau tidak mau sarjana hukum harus juga sedikit banyak mengerti dan memahami masalah-masalah ekonomi lokal, nasional dan
internasional untuk dapat menghasilkan produk Hukum Ekonomi yang baik dan benar. Di lain pihak untuk menetapkan politik dan kebijakan ekonomi yang sesuai dengan asas-asas hukum nasional dan asas-asas umum pemerintahan yang benar (good governance), sarjana ekonomi juga harus mengerti dan memahami baik asas-asas Hukum Nasional kita, maupun ketentuan-ketentuan Hukum Ekonomi yang sudah berlaku sebelumnya, atau setidak-tidaknya meminta dan memperoleh pendapat hukum (legal opinion) seorang ahli Hukum Ekonomi. Hanya dengan kerjasama dan saling isi-mengisi secara interdisipliner dan terintegrasi dari kedua bidang ilmu, yaitu Hukum dan Ekonomi, bahkan juga antara hukum, ekonomi, ilmu kesehatan dan kedokteran, teknologi, lingkungan, politik, kriminologi, persenjataan dan ilmu perang, dan masih banyak lagi, barulah dapat diharapkan terwujudnya suatu Sistem Hukum Nasional khususnya Sistem Hukum Ekonomi Indonesia yang cukup moderen, sikron, holistik, dan sistemik. Kiranya Dialog antara Hukum dan Non-Hukum merupakan langkah pertama ke arah Perbaikan dan Pembaharuan yang perlu dilaksanakan secara kontinu untuk mendapatkan sinergi dan hasil yang baik dalam bentuk Hukum Ekonomi yang benar-benar menunjang dan membawa masyarakat Indonesia ke tingkat ekonomi nasional yang lebih baik seimbang antara kebutuhan penduduk mayoritas Indonesia dan kepentingan pelaku ekonomi dan organisasi-organisasi internasional, yang cenderung ingin menguasai pasar, termasuk keuangan di seluruh dunia. Gelombang dan Kehidupan bangsa Indonesia yang hidup dalam gelombang peradaban sekaligus. Dalam tahun 1980 Alvin Toffler dan isterinya menerbitkan buku yang berjudul ”The Third Wave” , yang menunjukkan bahwa umat manusia (di Amerika Serikat) telah melalui dua gelombang peradaban, yaitu Gelombang Masyarakat Agraria, yang disusul dengan Gelombang Masyarakat Industri sebagai Gelombang Kedua. Dan diakhir abad ke 20, masyarakat sedang berada di dalam Gelombang Ketiga (Third Wave) yang ditandai oleh penemuan chip komputer
dan komputerisasi. Setiap gelombang baru mencerminkan perubahan yang fundamental dalam pandangan hidup dan paradigma dunia. Mengikuti nalar Alvin Toffler, H.B. Maynard, Jr dan Susan E. Mehrtens pada tahun 1995 menulis buku dengan judul ”The Fourth Wave” atau Gelombang Keempat, yang merupakan kelanjutan atau akibat perkembangan komputerisasi di Gelombang Ketiga, yaitu globalisasi di segala bidang. Kalau dalam Gelombang Pertama manusia melihat dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari suku atau desa tempat ia dilahirkan, maka dalam Gelombang Kedua justru terjadi individualisasi, sehingga manusia melihat dirinya sebagai individu yang berhak atas keinginan dan kehidupan sendiri, terlepas dari kelompoknya. Di dalam Gelombang Ketiga dirasakan barulah perlunya kerjasama antar individu untuk survive. Belum lagi the Fourth Wave itu dibahas dan dipelajari di Indonesia, orang sudah ramai membahas masalah ”cloning” dan penggunaan bio-teknologi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di Amerika Serikat dan Eropa karena memasuki Gelombang Kelima. Padahal kita di Indonesia masih terus saja berjuang dengan masalahmasalah yang merupakan ciri Masyarakat Agraria, sekali pun sebagian bangsa kita sudah juga berkenalan dan menggunakan PC (personal Copmputer), internet, e-mail, handphone dan televisi yang sudah tersebar dan ditonton sampai ke pelosok-pelosok desa. Melalui televisi itulah manusia-manusia Indonesia serta penduduk lain-lain negara berkembang di Asia dan Afrika secara seketika dapat menyaksikan kehidupan di Amerika Serikat, seperti peluncuran satelit ke luar angkasa, pemboman gedung WTC di New York, acara pembagian piala Oscar di Hollywood, penembakan anak sekolah oleh seorang anak kecil pula, tetapi juga kemewahan yang berlebihan di Las Vegas, keindahan gunung Fuji dan istana atau kuil-kuil serta kehidupan para samurai di Nagoya, perkembangan ekonomi yang sangat pesat di Cina, Yunani atau Swiss, tetapi juga penerangan dan kesengsaraan di Irak, Palestina, bencana tsunami di Aceh, India, Srilangka dan masih banyak lagi.
Melalui televisi dan telpon genggam, maka dunia seakan-akan dapat dipantau dari seluruh penjuru tanah air dengan hanya memijat tombol kecil saja. Sekali pun hal ini mampu membuka jendela dunia di benak orang dan anak bangsa Indonesia, namun hal itu sekali gus juga menimbulkan keinginankeinginan yang bertubi-tubi (explonding demands), karena semakin banyak yang ingin menyamai kehidupan seperti di negara-negara maju, sebagaimana disaksikan sendiri dari televisi itu. Dilupakan bahwa negara-negara industri maju baru mencapai kenikmatan dan kemajuan seperti
yang mereka nikmati
sekarang, setelah perkembangan dan perubahan budaya, ilmu dan teknologi, politik, ekonomi dan hukum selama sekitar 400 – 500 tahun terakhir. Itu pun dengan ”bantuan” negeri-negeri (bekas) jajahan yang oleh negara dan bangsabangsa itu dijadikan tempat sumber rempah-rempah dan bahan mentah lainnya (seperti halnya minyak bumi, besi, tembaga, timah, dan sebagainya) Sementara itu bangsa-bangsa Asia dan Afrika, yang kecuali Thailand dan Cina, dijajah oleh Inggeris, Belanda, Perancis, Portugis dan Spanyol, juga Jepang, justru tidak sudi berubah, tetapi bertekad untuk tetap mempertahankan kebudayaan asli, yang di abad ke-17 itu berada pada taraf Gelombang Pertama, kalau bukan pada Gelombang Nol, yaitu jaman Nomaden. Sikap ”tidak ingin berubah” itu di satu fihak merupakan kekuatan kita, tetapi kemudian menjadi sebab mengapa bangsa-bangsa yang baru merdeka di Asia dan Afrika mengalami kesulitan besar untuk hidup di dalam dunia baru di abad ke-20 dan 21, karena seakan-akan ”disapu” oleh Gelombang Tsunami Kedua dan Ketiga yang melanda masyarakat-masyarakat kita dalam waktu kurang dari setengah abad, padahal perkembangan danperubahan politik, sosial, ekonomi, budaya ini di negeri asalnya membutuhkan lebih dari 300 tahun untuk benar-benar menjadi ”kepribadian” masyarakat negara-negara industri maju itu. Belum lagi proses Gelombang Kedua dan Ketiga ini mampu diterima oleh manusia Indonesia (dan lain-lain bangsa-bangsa Asia dan Afrika), Gelombang Tsunami yang Keempat (Komputerisasi dan Globalisasi) dan yang Kelima (dengan penerangan bio-teknologinya) sudah melanda kita.
Sehingga dapatlah dibayangkan betapa ”porak poranda”nya masyarakat dan lingkungan bangsa-bangsa yang baru merdeka setelah Perang Dunia II tahun 1945 itu, karena bertubi-tubi dihadang oleh ”gelombang-gelombang tsunami” yang sempat menggoyahkan akar-akar dan sendi-sendi budaya dan (sistem) hukum yang asli bangsa-bangsa Asia-Afrika itu. Itu pun senantiasa di bawah pengawasan ”mata dunia (internasional)” yang setiap saat menegur dan mengoreksi perilaku bangsa-bangsa bekas jajahan itu, agar menyesuaikan diri dengan nilai-nil;ai dan perilaku yang mereka anggap sebagai satu-satunya nilai budaya internasional yang benar. Padahal ketika bangsa-bangsa industri maju sendiri mengalami perubahan dari Gelombang Pertama ke Gelombang Kedua sampai Gelombang Ketiga dan Keempat sekarang ini, dunia masih belum merupakan ”one world” dan masih belum begitu transparan seperti sekarang ini, sehingga banyak sekali hal-hal yang sebenarnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang diakui secara internasional sekarang ini diabaikan dan/atau dilanggar dengan sangat mudahnya, tanpa sanksi apa pun dari lain negara atau dari dunia internasional. Yang jelas adalah penjajahan itu sendirilah yang melanggar hak asasi manusia secara massal. Juga, masalah lingkungan yang sekarang ini begitu ditekankan oleh dunia internasional,
sehingga
bangsa-bangsa
kita
sulit
memenuhi
tuntutan
industrialisasi yang lebih cepat, justru dimulai oleh bangsa-bangsa industri maju sendiri selama 200 sampai 300 tahun yang lalu tanpa halangan apa-apa. Kehidupan dalam 5 (lima) gelombang sekaligus. Bagaimana pun juga, bangsa-bangsa Asia-Afrika sekarang dihadapkan pada kehidupan di dalam lima gelombang budaya sekaligus, sehingga mau tidak mau kita harus mencari solusi mengenai bagaimana masyarakat Indonesia yang sudah ”dari sononya” beraneka ragam, secara budaya sebenarnya juga hidup paling sedikit dalam 3 (tiga) abad sekaligus. Sebab mayoritas bangsa Indonesia sampai kini masih hidup sebagai petani
gurem,
nelayan
tradisional
dan
pengusaha
mikro
(Masyarakat
Agraria/Gelombang Pertama), sementara sebagian sudah menjadi pengusaha kecil dan menengah (Gelombang Kedua). Sebagian kecil telah menjadi pengusaha besar atau ilmuwan dan hidup dan berfikir sesuai dengan alam fikiran dan nilai-nilai Gelombang Ketiga dan Keempat (Komputerisasi dan Informasi Global). Seorang mahasiswa yang berasal dari daerah pedesaan bahkan mungkin saja dalam 1 (satu) hari berpindah-pindah dari kehidupan Gelombang Pertama ke Gelombang Kedua, Ketiga dan Keempat, kalau ia ke kampus dan mengikuti kuliah-kuliah di Fakultas Teknik atau Fakultas Ekonomi dengan menggunakan komputer, website, internet dan e-mail, atau bahkan mengikuti teleconference, untuk kembali ke alam masyarakat Gelombang Pertama setelah ia pulang kampung di pedesaan. Jelas bahwa perubahan psikologis dan budaya yang begitu cepat silih berganti, sarat dengan kemungkinan timbulnya konflik, baik konflik dengan diri sendiri, juga konflik dengan orang lain; bahkan dengan orang tua, saudara atau keluarga yang tidak mengalami perubahan psikologis dan budaya seperti orang di (pinggiran) kota negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tidak mengherankan bahwa begitu banyak orang yang bingung atau kehilangan pegangan (baik secara budaya, moral atau psikologis), sehingga banyak orang yang menjadi sakit jiwa atau melepaskan segala nilai moral dan tidak segan-segan dan tanpa malu-malu melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat koruptif tanpa memperhatikan nama baik atau reputasi dirinya sendiri. Tetapi ada juga anggota masyarakat yang terus menerus menuntut perbaikan nasib secara instant, sambil merusak gedung-gedung dan milik negara atau masyarakat dan bahkan menantang polisi dan kadang-kadang melukai aparat negara sambil melupakan segala norma kesopanan, seperti membakar foto atau boneka kepala negara kita sendiri dengan Budaya Masyarakat Informasi, maka dapatlah dikatakan bahwa bangsa Indonesia abad ke-21 sesungguhnya hidup di dalam 3-4 abad sekali gus, atau dalam 4 (empat) gelombang peradaban sekali gus.
Membentuk Hukum dalam masyarakat yang hidup dalam 4 Gelombang Peradaban sekali gus. Karena hukum selalu terbuat (secara pasif) atau dibuat (secara aktif) untuk suatu masyarakat, maka Hukum Nasional Indonesia yang harus kita bentuk itu pun harus dibuat untuk masyarakat yang hidup dalam 4 Gelombang Peradaban sekali gus. Itu berarti bahwa sekali pun seluruh Hukum Nasional harus bersumber dan diilhami oleh UUD sebagai Konstitusi bangsa Indonesia yang berlindung di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun perbedaan-perbedaan kebutuhan bagi tiap-tiap dan masing-masing Gelombang Peradaban itu mau tidak mau harus diperhatikan dan diberi saluran dan tempatnya di dalam Hukum Nasional Indonesia itu. Akibatnya Bhineka Tunggal Ika tidak hanya merupakan motto negara saja, tetapi benar-benar menjadi Asas Hukum yang harus menentukan dan mewarnai Hukum Nasional yang (harus) kita bentuk. Karena pluralisme hukum itu tidak hanya ditentukan oleh perbedaan etnis kedaerahan (Hukum Adat), agama (Hukum Agama), aliran politik (Demokrasi Multi Partai), jender saja, tetapi juga oleh pertanyaan: ”dimanakah tempatnya pranata hukum yang akan kita atur itu: di dalam masyarakat Gelombang Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, atau Kelima (Bio-genetika). Sehingga apabila kita harus mengatur masalah Usaha Mikro/Agraria, pertanyaan nya adalah misalnya : •
Apakah
peraturan
ini
menyangkut
irigasi
daerah
persawahan (Gelombang I) •
Ataukah kita ingin memodernisasikan cara-cara bertani dalam rangka meningkatkan peranan petani tradisional (Gelombang I, III dan IV)
•
Ataukah kita ingin meningkatkan produktivitas petani dengan memperbesar lahan pertanian (Gelombang II)?
Jika kita harus mengatur atau menangani masalah ”illegal logging”, perlu misalnya dipertanyakan: •
Apakah sudah tepat apabila seluruh wilayah hutan Papua dinyatakan sebagai ”tanah negara” (Gelombang III), sehingga
kemungkinan
rakyat
Papua
yang
selama
berabad-abad, sesuai dengan Adatnya menjadikan hutan mereka sebagai sumber nafkah dan hidupnya (Gelombang I), dengan satu goresan pena menjadi kehilangan seluruh sumber kehidupannya? •
Sebaliknya, dapatkah dibenarkan (apabila Undang-undang Otonomi Daerah dianggap mengembalikan hak otonomi atas hutan-hutan di Papua itu), orang-orang Papua dengan sebebas-bebasnya menyetujui kontrak-kontrak dengan orang-orang asing yang dengan cara teknologi Gelombang III, dalam waktu singkat membabat habis hutan-hutan di Papua dengan sekedar memberi uang harian kepada penduduk yang menjadi buruh orang asing dan kepada pemerintah dan/atau pejabat setempat yang memberi izin ”resmi” atau membiarkan perusahaan Gelombang III orang-orang asing itu menebang dan mengangkut pohonpohon tersebut keluar negeri (karena telah menerima uang suap)?
Jelas kedua-dua sikap tersebut adalah salah dan tidak tepat, karena mengakibatkan ketidak-adilan, sehingga dalam setiap situasi kita harus memperhatikan kepentingan semua fihak dan mencari solusi bagaimana setiap aspek yang terpaut dan dilatar belakangi ”mindset”
dan kepentingan yang
berbeda-beda (dan kadang-kadang bertolak belakang) dapat diakui dan memperoleh tempat di dalam (Sistem) Hukum Nasional kita. Karena itu tidak mungkin diadakan satu peraturan yang berlaku untuk semua. Sebaliknya, untuk itu setiap bidang hukum, misalnya Hukum Kontrak,
perlu diadakan peraturan hukum yang relevan bagi kontrak-kontrak yang biasanya dilakukan dalam Suasana Agraria (Gelombang I), dalam suasana Industri (Gelombang II), yang terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (BW) yang berasal dari abad ke-19 kontrak-kontrak bagi Masyarakat Pasca Industri (industri massal) (Gelombang III), yang banyak belum diatur di Indonesia, serta kontrak-kontrak yang dibuat melalui komputer dan internet (econtraccts) yang biasanya mengikuti Hukum Amerika (Gelombang IV). Sedang ketentuan bagi ”international government contracts” tidak lagi dapat dianggap sebagai kontrak perdata, tetapi harus juga memuat aspek-aspek Hukum Administrasi Negara dan Hukum Internasional (Gelombang IV). Demikian pula hukum yang memberantas dan/atau mencegah korupsi pun ada macam-macam : suap ”kecil-kecilan” untuk memperoleh KTP dengan lebih cepat atau mudah agar SIM pengemudi tidak ditahan oleh polisi lalu-lintas akibat pelanggaran lalu-lintas diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Gelombang II), sedangkan tindak pidana korupsi yang besar dan bersifat transnasional diatur tersendiri oleh UU yang khusus (UU No. 30 tahun 2002) yang merupakan cara /masalah masyarakat Gelombang IV. Hal seperti ini perlu dilakukan dengan semua hal dan di segala bidang. Sekali pun demikian, kita tetap masih dapat mengatakan, bahwa Hukum yang dibentuk
(melalui
perundang-undangan,
yurisprudensi,
kebiasaan
dan
rekomendasi Ombudsman serta lembaga-lembaga hukum yang baru dibentuk) masih merupakan Hukum Nasional, sepanjang semua itu mengacu, bersumber dan melaksanakan filsafah dan semangat UUD 1945 (sebagaimana telah diamandemen 4 kali). Cara pembentukan hukum itu pun juga tidak hanya dapat dilakukan oleh dan melalui Dewan Perwakilan Rakyat atau Pemerintah, tetapi juga terbentuk oleh Pengadilan (case law atau yurisprudensi tetap), rekomendasi Ombudsman (Ombudsprudensi), Badan-badan Arbitrasi, kontrak-kontrak dan kebiasaankebiasaan nasional serta internasional. Sehingga cara pembentukan hukum itu bukan saja dapat dilakukan secara perlahan-lahan, sesuai dan menurut faham Von Savigny (dari madzhab
Historis), tetapi juga dapat dilakukan menurut faham Thibaut ( melalui kodifikasi dari madzhab Hukum Tertulis dan Kodifikasi) dan Roscoe Pound (madzhab Pragmatic Legal Realism) yang menganggap Hukum sebagai ”tool of social engineering” untuk mencapai suatu keadaan hukum atau corak masyarakat yangdiinginkan.
B. PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA Dr. Sri Adiningsih, MSc I. Potret Ekonomi
Pemulihan ekonomi Indonesia meski berjalan amat lamban, namun on track, sehingga akhirnya Indonesia keluar dari krisis ekonomi pada tahun 2004. Selama lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi meningkat pelan-pelan dari 3,44% pada tahun 2001 hingga mencapai 5,13% pada tahun 2004, bahkan pada kuartal I tahun 2005 telah mencapai 6,35%. Dimana mesin penggerak ekonomi juga telah mengalami pergeseran dari pengeluaran konsumsi rumah tangga ke investasi dan ekspor sejak 2004. Investasi dan ekspor mulai bangkit lagi, pembentukan modal tetap bruto (gross fixed capital) tumbuh 15,71% pada tahun 2004, lebih tinggi dari dibanding pertumbuhannya pada tahun 2003 yang sebesar 1,36%. Untuk periode yang sama, ekspor juga mengalami pertumbuhan 8,47%, lebih tinggi daripada tahun 2003 yang hanya tumbuh sebesar 4,04%. Bahkan pada semester 1 tahun 2005 pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto sebesar 14,10% dan pertumbuhan Ekspor sebesar 10,34%. Tabel 1. Pertumbuhan PDB menurut Pengeluaran (%) 2000
2001
2002
2003
2004
Konsumsi rumah tanga
1.6
4.4
4.7
4.0
4.9
2005/s1 3.34
Konsumsi pemerintah
6.5
9.0
12.8
9.8
2.0
-7.07
Pembentukan modal tetap bruto
16.7
7.7
-0.2
1.4
15.7
14.10
Ekspor barang & jasa
26.5
1.9
-1.2
4.0
8.5
10.34
Impor barang & jasa 25.9 Sumber: BPS, SEKI Bank Indonesia
8.1
-8.3
2.0
25.0
12.73
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara konsisten tersebut dapat diraih Indonesia karena didukung oleh stabilitas ekonomi makro yang membaik dalam empat tahun terakhir. Inflasi dan tingkat suku bunga turun signifikan sejak tahun 2002. Inflasi tahun 2004 hanya 6,18% dan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan turun dari 17,62% (tahun 2001) menjadi 7,43% (tahun 2004). Cadangan devisa juga menguat dari US$28,01 miliar pada tahun 2001 menjadi US$37,4 miliar pada Maret tahun 2004. Demikian juga, nilai tukar relatif stabil pada kisaran Rp9.000 per US dolar sampai akhir 2004. Pada akhir 2003 bahkan nilai rupiah pada posisi sekitar Rp8.500,- untuk tiap dolar AS. Gambar 1. Pertumbuhan PDB, Inflasi, & Tingkat Bunga (%)
20 Tingkat Bunga,
17.62
14.53 15 Inflasi 11.50
10
12.93 11.90
10.0* 8.31
5
4.92 3.80
5.06
Pertumbuhan PDB, 3.44
3.70
4.10
7.43 6.18 5.13
8.33** 5.86
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005/Q2
* Agustus 2005 * * Agustus 2005, YoY Sumber: SEKI, Bank Indonesia
Kesuksesan Indonesia menjalankan kebijakan fiskal yang berhati-hati dalam beberapa tahun tarakhir hingga tahun 2004 telah membuat pemerintah dapat menjaga keberlanjutan anggarannya dengan baik. Kebijakan konsolidasi fiskal pemerintah terlihat hasilnya, defisit anggaran telah turun signifikan, demikian juga beban hutang pemerintah juga telah berkurang. Dimana rasio utang pemerintah pada PDB turun signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini. Meskipun masih besar nilainya sehingga berpotensi mengganggu kelangsungan fiskal mendatang. Defisit anggaran cenderung turun, dimana defisit anggaran tahun 2004 dapat ditekan menjadi sekitar 1,5% terhadap PDB. Pada tahun 2005 diharapkan defisit akan berada dibawah 1% dari PDB. Defisit anggaran diharapkan akan cenderung menurun dalam beberapa tahun mendatang. Pemerintah sendiri mengharapkan balance budget tercapai pada tahun 2008, mundur dari rencana sebelumnya tahun 2006. Kebijakan fiskal yang prudent telah memberikan sumbangan bagi tercapainya kemajuan selama ini. Pada saat yang sama, beban utang juga turun signifikan dari 95,4% PDB pada tahun 1999, hingga sekitar 50% dari PDB pada saat ini. Gambar 2. Konsolidasi Fiskal (% PDB)
120 Utang Pemerintah 97.0 99.0
100
84.0
87.0
80
68.0 60 59.0
51.0 40
38
20 10.3 2.4 0 1997
10.7 -1.7 1998
11.3
11.8
Rasio Pajak, 12.8
Surplus(defisit)-1.6 -4.0 1999 2000
-2.8 2001
13.1
13.5
-1.3
-1.9
2002
2003
13.6 -1.5 2004
-20
Sumber: Departemen Keuangan dan Laporan Tahunan Bank Indonesia
Berbagai
perkembangan
ekonomi
yang
menggembirakan
tersebut
sayangnya mulai memburuk akhir-akhir ini. Gambaran ekonomi makro secara umum sampai dengan kuartal 1/2005 cukup bagus, namun kestabilan ekonomi makro mulai tergoncang memasuki semester 2 tahun 2005. Sentimen negatip mulai menghantui ekonomi Indonesia lagi.
Demikian juga laju pertumbuhan
ekonomi juga mulai menurun. Indikator ekonomi lainnya juga menunjukkan tanda-tanda pemburukkan ekonomi akhir-akhir ini. Pemburukkan ekonomi yang dimulai dari tergoncangnya kestabilan ekonomi makro sudah mulai merambah ke sektor riil, yang jika tidak segera dapat diatasi dapat membawa kerusakkan yang lebih serius pada perekonomian Indonesia. II. Masalah dan Tantangan Ekonomi Indonesia yang semakin cantik tersebut sayangnya menghadapi masalah dan tantangan yang cukup berat. Selain ekonomi yang mulai memburuk lagi, yang dapat berpotensi membawa ekonomi ke krisis lagi. Beberapa masalah struktural juga masih menghantui, khususnya terkait dengan masih tingginya kemiskinan, dan pengangguran yang masih meningkat hingga kini, serta tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah. 2.1.
Ekonomi Memburuk Perkembangan ekonomi Indonesia masih on track
sampai dengan
kwartal 1 tahun 2005. Laju pertumbuhan ekonomi bahkan meningkat dari 5,13% pada tahun 2004, menjadi 6,35% pada kuartal I tahun 2005. Pendorong
pertumbuhan ekonomi juga sudah bergeser dari konsumsi rumah tangga ke investasi dan ekspor. Bahkan Foreign Direct Investment (FDI) yang selama ini defisit mulai positip pada tahun 2004. Sehingga Indonesia siap membangun ekonominya lagi, tidak lagi berkutat dengan masalah pemulihan ekonomi. Sayangnya gambaran ekonomi yang cantik tersebut mulai memburuk memasuki kuartal 2 tahun 2005. Kestabilan ekonomi makro yang kelihatan kokoh, pelan-pelan tergoncang, bahkan rupiah sempat terpuruk berada diatas Rp 11.000 untuk tiap dolar AS. Demikian juga indeks harga saham gabungan Jakarta juga sempat anjlog hingga dibawah 1000 pada bulan Agustus 2005. Inflasi meningkat diperkirakan mencapai sekitar 9% untuk tahun ini, serta cadangan devisa terkuras sekitar 6 miliar dolar AS, hingga pada akhir Agustus sudah merosot pada tingkat 31,18 miliar dolar AS. Demikian juga laju pertumbuhan ekonomi turun menjadi 5,5% pada kwartal 2 tahun 2005 (dari 6,35% pada kuartal 1). Semua indikator ekonomi tersebut menunjukkan merosotnya kinerja ekonomi Indonesia. Ketidak seimbangan internal juga memburuk, karena defisit APBN akan membengkak dengan membesarnya anggaran untuk subsidi BBM dan listrik. Memburuknya ekonomi domestik juga dibarengi dengan ketidak seimbangan eksternal. Dimana current account atau neraca perdagangan barang dan jasa (yang pada masa krisis biasanya surplus) dan capital account (aliran dana luar negeri) yang sudah surplus sudah mulai defisit lagi. Itu semua menunjukkan mulai seriusnya masalah ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia. Goncangan pada ekonomi makro yang tidak dapat ditangani dengan baik dan cepat pada akhirnya sudah mulai merambah pelan-pelan kesektor riil. Apalagi dengan adanya kelangkaan BBM dan krisis listrik yang semakin serius membawa konsekuensi pada sektor riil. Berita penutupan perusahaan ataupun PHK yang dilakukan oleh dunia usaha semakin hari semakin banyak. Sehinga non performing loan (kredit bermasalah) perbankan mulai naik dari sekitar 4% menjadi sekitar 7%. Padahal BI belum lama ini menaikkan suku bunga BI rate hingga mencapai 10%, yang tentunya akan meningkatkan suku bunga kredit yang pada gilirannya akan memberatkan dunia usaha, dikhawatirkan kredit
bermasalah akan semakin meningkat. Berbagai indikator ekonomi yang memburuk tadi pernah kita alami pada saat awal Indonesia masuk krisis ekonomi. Pada pertengahan tahun 1997 kita juga mengalami hal yang hampir sama. Jika Indonesia gagal mengatasi masalah ekonomi yang sekarang ini mulai memburuk, bukan tidak mungkin krisis ekonomi dapat menghantam lagi. 2.2.
Pengangguran dan Kemiskinan Tinggi Meski perkembangan ekonomi hingga dalam beberapa tahun ini secara
umum membaik namun masalah besar masih menghadang, dimana tingkat pengangguran masih meningkat, demikian juga tingkat kemiskinan masih tinggi. Tingkat pengangguran terbuka masih terus meningkat, pada Februari 2005 mencapai 10,3% atau 10,9 juta orang menganggur. Sedangkan tingkat kemiskinan meskipun telah turun signifikan dari tahun 1999 hingga saat ini, namun jumlah orang miskin yang berada di bawah garis kemiskinan masih tinggi. Pada Februari 2004, sekitar 16,64% dari penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, bandingkan dengan tahun 1999 yang mencapai 23,4%. Pada tahun 2003, dengan menggunakan standar Bank Dunia 1 dollar/kapita/hari, masih terdapat 7,4% penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan dengan menggunakan standar 2 dollar/kapita/hari, masih terdapat 53,4% penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Gambar 3. Pengangguran dan Kemiskinan (%)
30
23.4 19.14
20
18.41
18.2
Kemiskinan 17.42
16.68
10 Pengangguran, 6.36
8.1
9.06
2001
2002
9.5
9.84
2003
2004
10.3 *
6.07
0 1999
2000
2005
* Data Februari 2005 Sumber: BPS
2.3.
Daya Saing Internasional Rendah Daya saing internasional yang merupakan pilar penting perekonomian
dalam era pasar bebas sayangnya tidak dapat diandalkan Indonesia. Padahal pasar bebas AFTA sudah dimulai 2002 dan akan diimplementasikan secara penuh pada tahun 2010. Sehingga Indonesia dituntut meningkatkan daya saing internasionalnya, agar paling tidak dapat bersaing di kawasan ASEAN. Daya saing internasional Indonesia rendah dibandingkan dengan negara maju ataupun sedang berkembang lainnya, seperti yang dilaporkan dari berbagai publikasi internasional yang ada. Data dari World Economic Forum menunjukkan bahwa indeks pertumbuhan daya saing Indonesia hanya berada pada peringkat 69 dari 104 negara, sedikit lebih baik dibanding Philipina dan Vietnam untuk kawasan ASEAN, dan sedikit mengalami kenaikan peringkat dibanding tahun 2003.
Tabel 2. Index Pertumbuhan Daya Saing Country GCI 2004 GCI 2004 GCI 2003 rank score rank USA
2
5.82
2
Singapore
7
5.56
6
Japan
9
5.48
11
Korea
29
4.9
18
Malaysia
31
4.88
29
Thailand
34
4.58
32
China
46
4.29
44
Indonesia
69
3.72
72
Philippines
76
3.51
66
Vietnam
77
3.47
60
dari 104 negara Sumber: World Economic Forum
2.4. UKM yang Sarat Masalah UKM sebagai unit bisnis yang penting dalam perekonomian, kurang mendapatkan perhatian di Indonesia selama ini. Meski demikian krisis ekonomi yang telah meruntuhkan banyak usaha besar dan menghasilkan banyak pengangguran, justru memperkuat perkembangan UKM. UKM bukan saja bertahan, namun jumlahnya justru meningkat dengan pesat. Bertahan dan berkembangnya UKM didukung oleh struktur permodalannya yang lebih banyak tergantung pada dana sendiri (sebesar 73%), 4% dari bank swasta, 11% dari bank
pemerintah,
dan
3%
dari
pihak
supplier
(Azis,
2001).
Bahkan
kemampuannya UKM dalam menyerap tenaga kerja semakin meningkat dari sekitar 12 juta pada tahun 1980, meningkat menjadi 67,17 juta orang (1999), 71,66 juta orang (2001) dan sekitar 79,04 juta orang pada tahun 2003. Hal ini juga selaras dengan jumlah UKM yang meningkat dengan pesat, dari 38,9 juta unit usaha (2001) menjadi 42,39 juta unit usaha pada tahun 2003. Sementara itu output yang dihasilkan UKM meningkat dari sebesar Rp 219,76 triliun (57,9% dari PDB) tahun 1999, Rp 238,13 triliun (57,8% dari PDB) pada tahun 2001, dan menjadi sekitar Rp 259,1 triliun (58,3% dari PDB) pada tahun 2003. Bahkan total ekspor UKM juga meningkat dari Rp 52,59 triliun atau 14,6% dari total ekspor pada tahun 1999, menjadi Rp 80,85 triliun (2001) dan tahun 2003 sekitar Rp 75,86 triliun atau sekitar 15,4% dari total ekspor. Nilai investasi UKM pada tahun 1999 sebesar Rp 32,1 triliun dan tahun 2003 meningkat menjadi sekitar Rp 41,14 triliun atau sekitar 42,5% dari total investasi. Potret UKM yang menggembirakan tersebut sayangnya, sebagian besar merupakan unit usaha yang sangat kecil, sehingga sulit diharapkan untuk dapat
meningkatkan produktivitasnya (daya saingnya rendah). Dimana total volume usaha, usaha kecil dengan modal di bawah Rp 1 miliar yang merupakan 99,85% dari total unit usaha. Meski demikian mampu menyerap 88,59% dari total tenaga kerja pada tahun yang sama. Demikian juga usaha skala menengah (0,14% dari total usaha) dengan nilai modal antara Rp 1 miliar sampai Rp. 50 miliar hanya mampu menyerap 10,83% tenaga kerja. Sedangkan usaha skala besar (0,01%) dengan modal di atas Rp 54 miliar hanya mampu menyerap 0,56% tenaga kerja. Dari data-data yang ada dapat dilihat bahwa sumbangan UKM pada perekonomian semakin penting, seharusnya mendapat perhatian yang semakin besar dari para pengambil kebijakan, khususnya lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab atas perkembangan UKM. Tabel 3. Peta Dunia Usaha Indonesia 1999
2000
2001
2002*
2003**
UKM Unit Usaha (juta)
37.91
38.72
38.90
40.76
42.39
Tenaga Kerja (juta orang)
67.17
70.41
72.66
75.64
79.04
219.76
229.42
238.13
247.78
259.10
57.9
57.6
57.8
58.0
58.3
52.59
75.45
80.85
87.29
75.86
Output (triliun Rp) % terhadap PDB Ekspor (triliun Rp) % total ekspor Investasi (triliun Rp) % total investasi
14.6
14.9
14.7
17.2
15.4
32.10
38.16
40.67
40.76
41.14
41.0
42.7
42.7
42.7
42.5
Usaha Besar Unit Usaha (ribu)
1.89
1.97
1.81
2.07
2.24
Tenaga Kerja (ribu orang)
366.48
382.44
382.22
407.90
438.20
Output (triliun Rp)
159.59
168.60
173.62
179.16
185.35
Ekspor (triliun Rp)
306.63
432.05
467.40
419.59
415.83
51.22
54.52
54.64
55.73
Investasi (triliun Rp) 46.19 * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber: DepKop dan UKM
Banyak instansi yang terlibat dalam pengembangan UKM di Indonesia selama. Namun demikian yang paling utama adalah Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kementerian Negara KUKM). Instansi yang lain seperti Depperin, Deperdag, Depkeu, dan BI juga melaksanakan fungsi pengembangan UKM sesuai dengan wewenang masing-masing. Departemen Perindustrian (Deperin) melaksanakan fungsi pengembangan Industri Kecil dan
Menengah (IKM) dengan menyusun Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah tahun 2002-2004. Demikian juga Departemen Keuangan melalui SK Menteri Keuangan (Menkeu) No.316/KMK.016/1994 mewajibkan BUMN untuk menyisihkan 1-5% Iaba perusahaan bagi pembinaan usaha kecil dan koperasi
(PUKK).
Bank
Indonesia
sebagai
otoritas
keuangan
dahulu
mengeluarkan peraturan mengenai kredit bank untuk UKM, meskipun akhir-akhir ini tidak ada kebijakan khusus terhadap Perbankan mengenai pemberian kredit ke usaha kecil lagi. Demikian juga kantor ataupun instansi lainnya yang terlibat dalam “bisnis” UKM juga banyak. a. Masalah yang dihadapi UKM Meski banyak yang terlibat dalam pengembangan UKM namun tugas pengembangan UKM yang dilimpahkan kepada instansi-instansi tersebut diwarnai banyak isu negatif misalnya politisasi terhadap UKM, terutama dalam penyaluran berbagai macam dana untuk pengembangan UKM yang tidak jelas dan tidak terarah. Demikian juga kewajiban BUMN untuk menyisihkan labanya 15% juga tidak dikelola dan dilaksanakan dengan baik. Kebanyakan BUMN memilih persentase terkecil, yaitu 1%, sementara banyak UKM yang mengaku kesulitan mengakses dana tersebut. Selain itu kredit perbankan juga sulit untuk diakses oleh UKM, di antaranya karena prosedur yang rumit serta banyaknya UKM yang belum bankable. Apalagi BI tidak lagi membantu usaha kecil dalam bidang permodalan secara lansung dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Masalah lainnya yang dihadapi UKM secara umum juga masih banyak, khususnya dari sisi finansial dan masalah nonfinansial (organisasi manajemen). Masalah yang termasuk dalam masalah finansial menurut penelitian Urata (2000) di antaranya adalah (Sri Adiningsih, 2004): •
Kurangnya kesesuaian antara dana yang tersedia yang dapat diakses oleh UKM
•
Biaya transaksi yang tinggi, sehingga suku bunga kredit menjadi mahal
•
Terbatasnya akses ke sumber dana yang formal
•
Banyak UKM yang belum bankable
Demikian juga masalah organisasi manajemen (non-finansial) di antaranya adalah: •
Terbatasnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control
•
Lemahnya sisi pemasaran
•
Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah
•
Kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akuntansi Selain itu, UKM juga menghadapi permasalahan linkage dengan
perusahaan serta ekspor. Permasalahan yang terkait dengan linkage antar perusahaan di antaranya sebagai berikut : •
Industri pendukung yang lemah.
•
UKM yang memanfaatkan/menggunakan sistem cluster dalam bisnis belum banyak.
Sedangkan permasalahan yang terkait dengan ekspor di antaranya sebagai berikut: •
Kurangnya informasi mengenai pasar ekspor
•
Kurangnya lembaga yang dapat membantu mengembangkan ekspor.
•
Sulitnya mendapatkan sumber dana untuk ekspor.
•
Pengurusan dokumen untuk ekspor yang birokratis.
Penyebab
munculnya
permasalahan
tersebut
diantaranya
adalah
pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan UKM, termasuk masalah perpajakan yang belum mendukung; adanya mismatch antara fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dan kebutuhan UKM; serta kurangnya linkage antar UKM sendiri atau antara UKM dengan industri yang lebih besar. Hal ini tentunya membutuhkan penanganan yang serius serta terkait erat dengan kebijakan pemerintah yang dibuat untuk mengembangkan UKM. III. Rekomendasi
Meskipun reformasi ekonomi yang dilakukan Indonesia sejak 1999 telah kelihatan hasilnya, dimana ekonomi mulai pulih sejak tahun 2004, namun akhirakhir ini perekonomian mulai memburuk lagi, kestabilan ekonomi makro mulai tergoncang. Kondisi ekonomi yang mulai memburuk akhir-akhir ini harus segera diatasi,
khususnya
instabilitas
ekonomi
makro
perlu
segera
ditangani.
Terganggunya kestabilan ekonomi dikhawatirkan akan membawa dampak ekonomi yang lebih serius, bisa merusak sendi-sendi perekonomian yang sudah tertata semakin baik akhir-akhir ini. Tanpa kestabilan ekonomi makro tidaklah mungkin pembangunan ekonomi dapat dilakukan dengan baik. Indonesia masih perlu melanjutkan reformasi ekonomi yang sampai saat ini belum tuntas, agar supaya dapat meletakkan sendi-sendi ekonomi yang kokoh dalam pembangungan ekonominya. Apalagi perkembangan ekonomi akhir-akhir ini yang semakin dinamis dan mengalami perubahan yang besar, membuat pengelolaan ekonomi suatu negara menjadi semakin tidak mudah. Padahal Indonesia harus sudah siap menghadapi pasar bebas AFTA yang sudah mulai diimplementasikan mulai 2002 dan akan dilaksanakan secara penuh pada tahun 2010. Oleh karena itu dengan daya saing internasional yang rendah akan mebuat ekonomi Indonesia mudah sekali tergilas oleh liberalisasi. Untuk itu perlu adanya usaha-usaha yang serius dari otoritas (khususnya) agar supaya dapat meningkatkan produktivitas nasional kita, daya saing internasional harus dinaikkan secara sistematis dalam 5 tahun kedepan. Untuk itu semua infrastruktur baik yang langsung ataupun tidak langsung, baik hardware ataupun software harus dibenahi untuk mendukung peningkatan daya saing internasional Indonesia. Dengan meningkatnya produktivitas nasional diharapkan akan dapat meningkatkan investasi dan ekspor sehingga dapat menggerakkan ekonomi nasional. Masalah ekonomi menjadi lebih serius karena sampai sekarang tingkat kemiskinan masih tinggi, demikian juga pengangguran yang masih besar jumlahnya sampai sekarang juga meningkat. Padahal kemampuan sektor formal menciptakan kesempatan kerja juga terbatas. Oleh karena itu UKM yang selama ini menjadi safety nets masih akan memegang peranan yang penting dalam 5
tahun mendatang. Untuk itu otoritas perlu mendorong dan memfasilitasi pengembangan UKM agar supaya unit usaha ini juga semakin berkembang dan juga dapat menjadi salah satu pencetak kesempatan kerja untuk menampung pengangguran. Untuk itu otoritas
dapat membantu baik dari sisi permodalan
ataupun aspek teknis lainnya, khususnya dari sisi regulasinya agar supaya dapat mendukung pengembangan UKM dengan lebih baik, sehingga meskipun UKM diharapkan juga memiliki daya saing yang tinggi sehingga dapat bersaing di pasar AFTA.
C. PEMBANGUNAN NASIONAL DAN ANGGARAN NEGARA1 DR. Sri Adiningsih Pemulihan ekonomi Indonesia sejak tahun 2000 sudah berjalan dijalur yang benar. Kestabilan ekonomi makro terjaga semakin baik, demikian juga kinerja ekonomi secara konsisten juga membaik, dimana sektor riil pelan-pelan menggeliat, bahkan pada tahun lalu mulai
bangkit lagi. Sementara itu daya
tahan ekonomi juga meningkat, sehingga serangan teroris di Bali tahun 2002 dan di Jakarta pada bulan Agustus 2003, serta sindrom penyakit pernafasan akut (SARs) yang melanda kawasan regional, tidak memberikan pengaruh yang
1 Disampaikan pada Badan Pengembangan Hukum Nasional, dimana versi awalnya pernah disampaikan dalam Trade Union Leadership Training, yang diselenggarakan oleh ILO/USA Declaration Project-Phase II, Kuta Bali, 21 April 2005
signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan, Indonesia mampu keluar dari program IMF pada akhir tahun 2003 dengan baik. Ekonomi Indonesia dapat dikatakan secara umum telah mulai pulih memasuki tahun 2004. Ekonomi secara gradual membaik dari tahun ke tahun secara konsisten, kecuali pengangguran yang masih terus meningkat. Oleh karena itulah Indonesia siap untuk membangun ekonominya kembali. Pemilu legislatif maupun eksekutif yang berjalan aman dan damai disambut baik oleh masyarakat dan pasar, sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha pada perekonomian Indonesia. Apalagi pemerintah sudah meluncurkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 yang diharapkan dapat memberikan arah bagi pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Sehingga stabilitas ekonomi makro yang semakin membaik dan sektor mikro yang mulai menggeliat hingga akhir 2004 akan dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk membangun ekonomi Indonesia kembali. Dengan demikian harapan masyarakat agar dalam waktu dekat ini pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kemiskinan serta penganguran dapat ditekan akan semakin mudah untuk diraih. Meski demikian masalah dan tantangan yang menghadang masih cukup banyak. Perkembangan Perekonomian Perbaikkan ekonomi yang berlangsung gradual dalam empat tahun terakhir dapat dilihat diantaranya dari laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari 3,44% pada tahun 2001 terus meningkat hingga mencapai 5,13% pada tahun 2004, bahkan pada kuartal I tahun 2005 sudah mencapai 6,35%. Pada umumnya, pertumbuhan ekonomi naik sekitar setengah persen per tahun. Dimana mesin pertumbuhan ekonomi selama ini banyak didukung oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga. Namun demikian sejak tahun 2004 investasi dan ekspor mulai bangkit
lagi, tumbuh tinggi. Pada tahun 2004,
pembentukan modal tetap bruto (gross fixed capital) tumbuh 15,71%, lebih tinggi daripada pertumbuhan pada tahun 2003 (1,36%). Pada saat yang sama, ekspor
tumbuh 8,47%, lebih tinggi daripada tahun 2003 yang hanya tumbuh 4,04%. Jadi, motor penggerak pertumbuhan ekonomi telah mulai bergeser, tidak hanya didukung oleh konsumsi rumah tangga, namun juga didukung oleh investasi dan ekspor, karena konsumsi pada tahun 2004 hanya tumbuh 4,94% (lihat gambar 1, 2, dan 3). Demikian juga pada kuartal I tahun 2005 Pembentukan Modal Tetap Bruto tumbuh 14,98% dan ekspor tumbuh 13,39%. Selain itu Foreign Direct Investment pada tahun 2004 mulai positip lagi dengan nilai lebih dari $1046. Bahkan memasuki tahun 2005 realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) pada 5 bulan pertama meningkat 123% menjadi 2,98 miliar dolar AS. Sedangkan untuk realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada periode yang sama mengalami penurunan 22% dimana nilainya Rp6,72 triliun. Namun trend ini juga belum akan stabil untuk tahun-tahun mendatang.
Gb1.Pertumbuhan PDB, Inflasi & Suku Bunga (%)
20
Interest rate,
17.62
14.53 15 Inflation 11.50
10
12.93 11.90 8.31
5
5.06
4.92 3.80
GDP growth,
4.10
3.70
3.44
8.12 7.43 6.18
7.81 6.35
4.89
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005/Q1
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, BI
Gb2.Pertumbuhan PDB Menurut Pengeluaran (%) 30
Private consumption
20
Government consumption
10
Gross fixed capital formation Export of goods & services
0 2000 -10
-20
2001
2002
2003
2004
2005/Q1
Import of good & services
Sumber: Statistik Ekonomi dan PDB Keuangan Gb3.Pertumbuhan MenurutIndonesia, Sektor (%) BI 14 Agriculture 10
Mining Manufacturing
6
Electricity Construction
2
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, BI -2
2000
2001
2002
2003
2004
2005/Q1
Trade Transportatio n Financial
-6
Dalam empat tahun terakhir ini hingga tahun 2004, disamping pertumbuhan ekonomi semakin meningkat, stabilitas ekonomi makro juga menguat. Inflasi dan tingkat suku bunga turun signifikan sejak tahun 2002. Inflasi tahun lalu hanya 6,18% dan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan turun dari 17,62% pada 2001 menjadi 7,43% pada 2004. Pada saat yang sama, cadangan devisa juga menguat, dari 28,01 milyar dolar Amerika pada tahun 2001 menjadi 35,8 milyar dolar Amerika pada tahun 2004. Demikian juga, nilai tukar stabil pada kisaran Rp 9.000 per dolar Amerika. Sehingga terjaganya stabilitas ekonomi makro tersebut semestinya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski gambaran ekonomi makro secara umum sampai dengan kuartal 1 tahun 2005 cukup cantik, namun mulai kuartal 2 kestabilan ekonomi makro mulai tergoncang cukup serius. Dimana rupiah mulai terpuruk hingga mendekati Rp 10.000,- untuk tiap dolar AS (depresiasi sekitar 15% dalam beberapa bulan), inflasi cenderung meningkat dapat mencapai lebih dari 8% untuk tahun ini, sukubunga SBI 1 bulan sudah menyentuh 8,25% (diatas asumsi APBN sebesar 8%), serta cadangan devisa yang merosot pada tingkat 34,3 miliar dolar AS (pernah mencapai 37,4 miliar dolar pada Maret 2004). Kebijakan pemerintah yang meningkatkan harga BBM, serta perkembangan ekonomi global yang kurang menguntungkan seperti kenaikkan harga BBM dan ancaman inflasi, serta kenaikkan suku bunga global ataupun laju pertumbuhan ekonomi global tahun ini yang diperkirakan akan lebih rendah dari 2004 juga memberikan dampak
kurang menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Memburuknya kestabilan ekonomi makro akan menjadi tantangan yang serius bagi pemerintah dalam membangun kembali ekonomi Indonesia. Tanpa kestabilan ekonomi makro akan sukar bagi pemerintah untuk dapat membangun ekonomi.
40000
Gb 4. Cadangan Devisa (Juta US$) Reserves 36295
30000
32038 29394
Gb 5. Nilai Tukar Rp/US$
12000
Exchange
Asset (Million US$), 35800
Rates 8000
9535
10400
28016
20000
Rp/US$, 8940
8465
9308
2002
2003
2004
4000
10000
0 2000
2001
2002
2003
2004
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, BI
2000
2001
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, BI
Demikian juga tantangan lainnya yang dihadapi oleh Indonesia masih berat, sebab dalam era pasar bebas seperti sekarang ini dituntut daya saing internasional yang tinggi dari suatu negara. Padahal daya saing internasional masih rendah (seperti yang dilaporkan dari berbagai publikasi internasional yang ada) dibandingkan dengan negara-negara maju ataupun sedang berkembang lainnya. Data dari World Economic Forum menunjukkan bahwa indeks pertumbuhan daya saing Indonesia hanya berada pada peringkat 69 dari 104 negara, sedikit lebih baik dibanding Philipina dan Vietnam di ASEAN (sedikit lebih baik dibanding peringkat tahun 2003). Tabel 1. Pertumbuhan Competitiveness Index 2004 Country USA Singapore Japan Korea Malaysia Thailand China Indonesia Philippines Vietnam World Economic Forum
GCI 2004 rank 2 7 9 29 31 34 46 69 76 77
GCI 2004 score 5.82 5.56 5.48 4.90 4.88 4.58 4.29 3.72 3.51 3.47
GCI 2003 rank 2 6 11 18 29 32 44 72 66 60
dari 104 countries Sumber:
Daya saing internasional Indonesia yang rendah diantaranya juga terefleksi dari rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini (JETRO). Produktivitas tenaga kerja yang rendah akan semakin parah jika tidak ada peningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang serius. Produktivitas tenaga kerja Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini stagnan. Sementara itu negara seperti China yang mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam beberapa dekade terakhir ini banyak didukung oleh laju pertumbuhan produktivitas tenaga kerjanya yang meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan akhir-akhir ini mengalami peningkatan
sekitar
10%.
Demikian
juga
Amerika
Serikat
mengalami
pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dalam beberapa dekade terakhir ini banyak didukung dari peningkatan produktivitas tenaga kerjanya. Pasar keuangan yang terhantam krisis yang dalam pada akhirnya sudah mulai pulih kembali. Bahkan pada tahun 2004 yang lalu kinerjanya bagus sekali. Dimana kinerja pasar keuangan telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dari tahun ke tahun dalam beberapa tahun terakhir ini. Industri perbankan, pasar modal serta lembaga keuangan lainnya berkembang pesat dalam tiga tahun terakhir. Industri perbankan pasca rekapitalisasi telah berjalan sesuai dengan arah yang benar. Restrukturisasi industri perbankan telah dapat membangun suatu industri perbankan Indonesia yang lebih kuat, sehat dan efisien, meskipun daya saingnya masih rendah dibandingkan dengan industri yang sama di kawasan ini. Namun demikian beberapa indikator menunjukkan perbaikkan yang signifikan. Rasio loan to deposit ratio (LDR) telah mencapai sekitar 60% pada saat ini, naik dari 26,2% pada tahun 1999. Pada saat yang sama, kredit macet (non performing
loan) turun dari 7,3% pada 1999 menjadi 2% pada 2004.
Indikator kinerja perbankan seperti profitabilitas, net interest margin, dan income to operating cost ratio juga menunjukkan peningkatan.
Gb 7. Indeks Harga Saham Gabungan
Gb 6. Kinerja Perbankan (%)
60
Sto ck P rices Indices, 1000.23
LDR 40
NPL gross CAR
20
691.90
NPL net 416.32
392.03
2000
2001
424.94
0 1999 -20
2000
2001
2002
2003
2004 2002
2003
2004
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, BI
Pasar modal Indonesia juga menunjukkan kemajuan yang signifikan. Likuiditas pasar naik dan indeks harga saham mengalami kenaikan yang tajam. Indeks harga saham gabungan Bursa Efek Jakarta naik dari 424,94 pada tahun 2002 menjadi 1000,23 pada tahun 2004. Pada tahun 2003 dan 2004, Bursa Efek Jakarta sudah diperhitungkan sebagai salah satu pasar terbaik di kawasan regional. Demikian juga memasuki tahun 2005 optimisme yang tinggi dari pasar telah dapat mendorong IHSG meningkat dengan pesat. Meski perkembangan ekonomi sampai kuartal I/2005 secara umum membaik namun ada beberapa aspek yang masih menjadi masalah besar bagi bangsa ini. Pengangguran dan tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Tingkat pengangguran terbuka masih terus meningkat pada Februari 2005 mencapai 10,3% atau 10,9 juta orang menganggur. Demikian juga tingkat kemiskinan telah turun signifikan dari 1999 hingga saat ini, namun jumlah orang miskin yang tinggal dibawah garis kemiskinan masih tinggi. Pada bulan Februari 2004, 16,6% dari seluruh penduduk Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan, bandingkan dengan 23,4% pada tahun 1999. Pada tahun 2003, dengan menggunakan standar Bank Dunia 1dolar/kapita/hari, masih terdapat 7,4% penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, sedangkan dengan menggunakan standar 2dolar/kapita/hari, masih terdapat 53,4% penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Gb 8. Pengangguran dan Kemiskinan (%) 30 23.4 19.14
20
10
18.41
18.2
P o verty 17.42
9.06
9.5
Unemplo yment, 6.36 6.07
8.1
0
Sumber: Statistik Ekonomi Indonesia, BI 1999 2000 dan Keuangan 2001 2002
2003
Di tengah-tengah optimisme yang muncul untuk membangun kembali Indonesia, berbagai bencana alam melanda Indonesia. Korban jiwa dan kerugian materi yang ditimbulkan sangat besar. Dampak bencana alam yang terjadi selama ini terhadap perekonomian Indonesia secara umum tidaklah besar, karena terjadi bukan didaerah pusat pertumbuhan ekonomi. Namun demikian ancaman masih berlangsungnya
bencana
alam
dapat
membawa
dampak
serius
bagi
perekonomian Indonesia, apalagi jika sampai terjadi di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Keuangan Negara Keuangan Negara memegang peranan penting dalam perekonomian suatu negara, baik dinegara maju maupun negara sedang berkembang. Khususnya bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia yang baru saja keluar dari krisis ekonominya, dimana tingkat pengangguran masih tinggi demikian juga kemiskinan juga masih besar, peranan anggaran negara untuk mengatasi masalah ekonomi adalah amat penting. Apalagi laju pertumbuhan ekonomi meskipun secara konsisten membaik dalam 4 tahun terakhir ini, namun perbaikkan yang gradual tersebut
belum mampu memberikan tingkat
kesejahteraan yang tinggi pada masyarakat, selain laju pertumbuhan ekonomi masih rendah, dibawah potensi pertumbuhan ekonomi yang ada, pendapatan masyarakat juga masih rendah. Demikian juga pengangguran masih meningkat. Padahal APBN mestinya bisa berperan dalam mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia sekarang ini. JM Keynes ekonom besar yang pendapatnya banyak mempengaruhi pengambil kebijakan ekonomi makro percaya bahwa peranan keuangan negara untuk mengatasi masalah ekonomi, khususnya dalam pertumbuhan ekonomi yang rendah (dibawah tingkat naturalnya) diperlukan, untuk memberikan dorongan/stimulus agar ekonomi segera bangkit lagi, tumbuh lebih tinggi sehingga dapat mengatasi masalah pengangguran serta kemiskinan. Oleh karena itu menggunakan APBN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi memang perlu dilakukan oleh Indonesia.
Namun peranan APBN sebagai alat untuk menjadi pendorong/stimulus perekonomian masih sulit dilaksanankan di Indonesia pada saat ini. Pada masa Orde Baru dimana kenaikkan harga BBM menjadi rejeki nomplok
bagi
Indonesia, sehingga banyak kegiatan ekonomi yang dapat didanai dari keuangan negara. Bahkan untuk mendorong dunia usaha, melalui penyaluran kredit ke pengusaha-pengusaha domestik juga banyak menggunakan uang negara. Sehingga bank pun pada masa jayanya minyak Indonesia hanya menjadi jalur menyalurkan dana dari pemerintah. Namun kondisi keuangan negara Indonesia sejak 1998 dalam kondisi yang berat. Krisis ekonomi telah memaksa Indonesia harus mengeluarkan dana
yang besar untuk membayar ongkos dari krisis,
khususnya untuk menyehatkan perbankan nasional, hingga sampai saat ini APBN “tersandera” dari dampak krisis tersebut. Kewajiban yang harus dibayar oleh Indonesia tiap tahunnya besar sekali. Oleh karena itu meskipun kebutuhan untuk menggunakan APBN sebagai pendorong/stimulus perekonomian adalah amat besar, namun kenyataanya sulit untuk dilakukan. Apalagi kebijakan harga BBM sejak krisis ekonomi juga membuat beban APBN semakin berat, dana yang digunakan untuk subsidi BBM menyita banyak porsi dari anggaran negara, padahal harga BBM internasional juga meroket terus hingga menembus sekitar 60 dolar per barel. Kenyataan bahwa Indonesia sudah menjadi net importir BBM membuat kenaikan harga BBM justru memberatkan keuangan negara. Kemampuan Indonesia untuk menggunakan keuangan negara untuk menjadi instrumen pendorong/stimulus fiskal sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan memang sangat terbatas. Fleksibilitas pemerintah untuk menggunakan kebijakan fiskal adalah terbatas sekali sampai empat tahun kedepan. Selain beban hutang yang besar, yang masih merupakan lampu merah bagi kelanjutan fiskal kedepan, berbagai contingent liability yang ada juga membawa resiko fiskal yang serius, sehingga jika Indonesia tidak pruden dalam menggunakan anggarannya, resiko fiskalnya akan serius. Oleh karena itulah pemerintah terbelenggu dengan beban masa lalu, yang mau tidak mau harus tetap menjalankan konsolidasi fiskal sampai resiko fiskal dianggap cukup aman, yang diperkirakan masih akan dihadapi Indonesia sampai 4 tahun
kedepan. Untuk itu APBN sampai 4 tahun ke depan tidak akan memiliki kemampuan untuk memberikan stimulus dalam perekonomian. Dengan demikian pembangunan ekonomi Indonesia kedepan akan banyak tergantung pada peranan swasta, baik dari domestik ataupun internasional. Sehingga peranan fiskal akan lebih memberikan dorongan laju pertumbuhan ekonomi jika lebih difokuskan usaha untuk memberikan iklim investasi dan bisnis yang terbaik yang dapat disediakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini telah dapat menjaga keberlanjutan
anggarannya
dengan
baik.
Pemerintah
selama
ini
telah
menjalankan kebijakan konsolidasi fiskal yang hasilnya sudah dapat dilihat pada saat ini. Dimana defisit anggaran telah turun signifikan, demikian juga beban hutang pemerintah juga telah berkurang. Rasio utang pemerintah pada PDB telah turun signifikan meskipun masih besar nilainya. Dengan demikian pemerintah tinggal melanjutkan konsolidasi fiskal yang sudah berhasil dilakukan dengan melaksanakan kebijakan fiskal yang berhati-hati (prudent) agar sustainability fiscal dapat berlanjut. Defisit anggaran tahun 2004 diharapkan tetap 1,3% dari PDB, dan pada tahun 2005 diharapkan 0,8% dari PDB. Kebijakan fiskal yang prudent telah memberikan sumbangan bagi tercapainya kemajuan selama ini. Pada saat yang sama, beban utang juga turun signifikan dari 95,4% PDB pada tahun 1999, hingga sekitar 50% dari PDB pada saat ini. Pemerintah sendiri mengharapkan balance budget tercapai pada tahun 2008, mundur dari rencana sebelumnya tahun 2006. Gb 9. Konsolidasi Fiskal 99 87 80
Gov.debt/GDP 97
84 68 59
51 30 11.8 Deficit budget -1.6 -4 1999 Keuangan 2000RI dan Sumber:1998 Departemen 10.7 -1.7
-20
10.3
Tax ratio 12.4 -2.8
13 -1.3
2001 2002 Laporan Tahunan BI
13.5 -1.9 2003
13.6 -1.4 2004
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 Pemerintah pada tanggal 19 Januari 2005 yang lalu meluncurkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009. Dimana salah satu visi pembangunan Nasional 2004-2009 dari 3 visi yang ada adalah “Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan” dengan misi yang terkaitnya adalah “Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera”. Dalam hal ini ada 5 sasaran pkok yang akan dilakukan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, yaitu: a. Menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi 8,2% pada 2009 serta terciptanya lapangan kerja secara memadai (pengangguran terbuka 2009 tinggal 5,1%, yang didukung oleh laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6%), b. berkurangnya kesenjangan antar wilayah, c. meningkatkan
kualitas
manusia
secara
menyeluruh
(Indeks
Pembangunan Manusia meningkat), d. membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam sehingga terciptanya pembangunan yang berkelanjutan, dan e. membaiknya infrastruktur secara kuantitatif dan kualitatif. Dimana dari Keppres yang memuat RPJM tersebut secara komprehensif memuat semua bidang dan sektor yang ada seperti Repelita ataupun Propenas sebelumnya. Sehingga dengan guideline tersebut sebenarnya pemerintah tinggal bekerja untuk melaksanakan semua rencana pembangunan yang ada. Dimana agenda untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah sebagai berikut: -
Penanggulangan kemiskinan
-
Peningkatan investasi dan ekspor non migas
-
Peningkatan daya saing industri manufaktur
-
Revitalisasi pertanian
-
Pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah
-
Peningkatan pengelolaan BUMN
-
Peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi
-
Perbaikan iklim ketenagakerjaan
-
Pemantapan stabilitas ekonomi makro
-
Pembangunan perdesaan
-
Pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah
-
Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas
-
Peningkatan askes masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas
-
Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial
-
Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas serta pemuda dan olahraga
-
Peningkatan kualitas kehidupan beragama
-
Perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup
-
Percepatan pembangunan infrastruktur
Sedangkan kebijakan ekonomi makro yang akan dilaksanakan pada tahun 20042009 ditujukan untuk: 1. Membaiknya kesejahteraan rakyat melalui pertumbuhan ekonomi yang berkualitas 2. Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi 3. Tercapainya stabilitas ekonomi yang mantap meliputi: a. Neraca pembayaran b. Stabilitas moneter c. Keuangan negara d. Kebutuhan investasi dan sumber pembiayaan
e. Perkiraan dampak bencana di Aceh dan Sumatera Utara terhadap perekonomian nasional Dengan demikian pemerintah sudah menyiapkan rencana kerja untuk lima tahun kedepan dalam rangka membangun ekonomi Indonesia. Dengan rencana tersebut pemerintah diharapkan dapat merealisasikan pembangunan kembali Indonesia sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesimpulan Indonesia telah siap untuk membangun perekonomiannya lagi setelah dapat melewati krisis ekonomi. Ekonomi yang mulai pulih sejak 2004 dapat menjadi landasan yang kuat bagi pembangunan kembali Indonesia pasca krisis. Stabilitas ekonomi makro yang telah dicapai Indonesia sejak 4 tahun terakhir dapat dijadikan dasar untuk membangun ekonomi mendatang. Apalagi investasi dan ekspor yang mulai bangkit tahun lalu akan mampu mendukung pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, makmur dan merata dalam 5 tahun mendatang. Dengan RPJMN yang dibuat cukup komprehensif untuk menjawab masalah dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia pada tahun-tahun mendatang pemerintah sudah siap membangun kembali Indonesia. Meskipun demikian perjalanan pemerintah untuk menahkodai bidak perekonomian tidaklah mudah. Instabilitas makro yang meningkat yang ditandai dengan meningkatnya inflasi dan suku bunga dapat menjadi ganjalan. Apalagi nilai rupiah terdepresiasi cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir ini telah membuat kestabilan ekonomi agak “tergoncang”, padahal cadangan devisa juga merosot cukup tajam akhir-akhir ini. Padahal potensi bahwa defisit anggaran akan meningkat nampaknya semakin menguat.
Sehingga
usaha untuk menjaga kestabilan
ekonomi makro nampaknya akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah lagi. Jika instabilitas ekonomi makro masih terus berlangsung dalam beberapa
bulan kedepan, dan bahkan semakin memburuk, maka pembangunan ekonomi akan semakin sulit untuk dilakukan. Padahal selain kestabilan ekonomi yang akan menjadi tantangan pembangunan, pemerintah juga harus menghadapi berbagai tantangan lainnya yang juga tak kalah beratnya. Faktor non ekonomi yang diperlukan dalam mendukung keberhasilan ekonomi seperti kepastian hukum, kestabilan sosial dan politik, pemerintahan yang baik bebas KKN, dan desentralisasi tidaklah dapat diselesaikan dalam jangka pendek dan perlu dukungan semua pihak yang terkait. Selain itu persaingan yang semakin keras karena pasar bebas juga sudah menghadang, apalagi kenaikkan harga BBM di pasar internasional, trend tingkat suku bunga dunia yang meningkat, dan laju pertumbuhan ekonomi global yang agak melamban akan menjadi tantangan yang besar bagi perekonomian yang baru pulih dari krisis. Sementara tuntutan masyarakat pada janji pemerintah juga semakin besar, dan kekritisan masyarakat akan membuat pemerintah mesti dapat membuat perbaikkan yang signifikan dengan cepat. RPJM yang dibuat oleh pemerintah dapat dijadikan sebagai pedoman dalam membuat kebijakan ekonomi untuk menjawab tantangan dan masalah yang ada. Namun demikian karena RPJM juga sangat komprehensif, mencakup kebijakan yang amat luas, maka pemerintah dapat terjebak membuat kesalahan yang sama seperti pemerintah-pemerintah sebelumnya, kurang fokus dalam membuat kebijakan. Apalagi hak budget ada di DPR, sehingga tentu saja RPJM tidak dapat dilakukan jika tidak didukung oleh anggaran. Dukungan DPR pada RPJM yang dibuat pemerintah diperlukan. Selain itu masalah koordinasi antar lembaga negara seringkali juga tidak mudah untuk dilakukan, sehingga akan membuat keberhasilan mengatasi masalah, ancaman, dan tantangan yang ada dapat kurang efektif. Namun karena keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia pada saat ini akan menjadi taruhan besar bagi bangsa ini untuk keluar dari keterpurukkan karena kemiskinan dan keterbelakangan, maka kerja keras dari semua pihak dengan koordinasi yang baik amat diperlukan. Lampiran:
Tabel Gambaran Ekonomi Makro
Sumber:Peraturan Presiden RI no.7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009
Tabel Perkiraan Struktur Ekonomi
Sumber:Peraturan Presiden RI no.7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009
Tabel Perkiraan Neraca Pembayaran (US$ miliar)
Sumber:Peraturan Presiden RI no.7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009
Tabel Perkiraan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (%PDB)
Sumber:Peraturan Presiden RI no.7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009
Tabel Kebutuhan Investasi dan Sumber Pembiayaan (triliun Rp)
Sumber:Peraturan Presiden RI no.7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009
D. PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO KECIL Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, S.H
A.
PENDAHULUAN Sebagai Negara hukum konstitusi memberikan satu landasan utama
untuk memberi tempat, mengakui dan melindungi eksistensi usaha kecil yang merupakan sosok dari ekonomi kerakyatan. Hal ini sangat jelas dan tegas tercantum dalam Pasal 33 dan penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai dasar utama untuk memberdayakan
eksistensi ekonomi
kerakyatan yang meliputi sector ekonomi mikro dan kecil sampai menengah sebagai : “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Disamping itu asas demokrasi juga tercantum dalam penjelasan Pasal 33 yang mengatakan bahwa produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota masyarakat. Konsep tersebut pada dasarnya untuk membutuhkan kewirausahaan di dalam masyarakat agar masyarakat menjadi sangat mandiri. Kewirausahaan dan kreatifitas berusaha yang tumbuh dari lapisan masyarakat yang terbawah tidak selamanya gagal dan tidak berhasil dan tumbuh dengan sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam situasi yang buruk dan kritis justru usaha dankewirausahaan pada lapisan bawahlah yang tetap eksis dan tetap bertahan untuk memberikan kontribusi kelangsungan ekonomi Nasional. Kenyataan juga menunjukkan bahwa usaha Mikro, Kecil dan Menengah belum dapat mewujudkan perannya secara maksimal karena berbagai factor baik yang berasal dari dalam maupun factor internal. Berangkat dari keadaan yang bersifat positif dannegatif tersebut, kajian terhadap strata terbawah dan pelaku ekonomi ini menjadi sangat penting untuk mencari solusi.
1.
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Perkembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sangat terkenal
oleh factor-faktor sebagai berikut :
a.
Lemah
dalam
memperoleh
peluang
pasar
dalam
rangka
memperluas pangsa pasar terutama pasar internasional. b.
Lemah dalam struktur permodalan tidak mempunyai akses pada sumber modal.
c.
Lemah dalam organisasi dan manajemen.
d.
Lemah dalam hal teknologi dan teknologi terapan.
e.
Keterbatasan jaringan usaha kecil.
Pada umumnya usaha mikro dankecil mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, sehingga memang perlu memperoleh perhatian dengan rencana kerja yang lebih pasti. Adapun ciri-cirinya adalah : 1. mempunyai skala usaha yang kecil baik modal, penggunaan tenaga kerja maupun orientasi pasar. 2. Banyak berlokasi di pedesaan, kota-kota kecil atau daerah pinggiran kota besar. 3. Status usaha milik pribadi atau keluarga. 4. Sumber tenaga kerja berasal dari lingkungan social budaya (etis geografis) yang direkrut melalui pola pemagangan atau melalui pihak ketiga. 5. Pola kerja seringkali part time atau sebagai usaha sampingan dari kegiatan ekonomi lainnya. 6. Memiliki kemampuan terbatas dalam mengadopsi teknologi, pengelolaan usaha danadministrasinya sederhana. 7. Struktur permodalan sangat terbatas dan kekurangan modal kerja serta
sangat
tergantung
terhadap
sumber
modal
sendiri
danlingkungan pribadi. 8. Izin usaha seringkali tidak dimiliki danpersyaratan usaha tidak dipenuhi. 9. Strategi perusahaan sangat sipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang sering berubah secara cepat.
Disamping itu terdapat karakteristik yang khusus pada usaha kecil danmikro ialah : 1. Intensitas perubahan usaha sering terjadi sehingga sulit untuk membangun spesialisasi atau profesionalisme usaha. 2. Ketidakstabilan mutu produk dan adanya sifat yang cenderung ingin mencari keuntungan jangka pendek sehingga seringkali sangat spekulatif, tiru meniru, situasi persaingan mengarah pada persaingan tidak sehat danlain-lain sifat yang dapat merugikan usaha jangka panjang. 3. Manajemen keuangan belum tercatat dengan baik danbelum ada pembedaan antara konsumsi rumah tanga dengan biaya produksi, usaha serta keterbatasan modal dan ketrampilan. 4. Adanya keterkaitan kekerabatan yang tinggi sehingga akumulasi modal tidak dapat tercipta melainkan tersebat diantara sanak saudara. 5. memiliki rasa
kebersamaan
yang menyebabkan persaingan
menjadi terbatas. 6. Kebanyakan usaha kecil merupakan usaha untuk mempertahankan hidup bukan usaha yang produktif. Karakteristik-karakteristik dari usaha kecil tersebut kemudian menjadi salah satu tolok ukur dalam menyusun program pembangunan bagi usaha kecil,menengah dankoperasi. Program-program tersebut disesuaikan denngan kondisi-kondisi yang ingin dicapai, yaitu : a. Pengembangan system ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar melalui : •
pemulihan ekonomi melalui perkembangan mekanisme pasar yang berkeadilan.
•
Memelihara persatuan dan kesatuan Indonesia.
•
Pemberdayaan
rakyat
melalui
demokratisasi
yang
berkesinambungan. •
Mengoptimalkan
peran
pemerintah
dalam
kerangka
persaingan yang sehat dan mengkoreksi ketidak sempurnaan pasar. b. Penumbuhan iklim berusaha yang kondusif bagi usaha kecil, menengah
dankoperasi
penyempurnaan
diharapkan
dapat
terjadi
peraturanperundanng-undangan
dengan yang
memberikan beberapa fasilitas di bidang : •
moneter danperbankan
•
fiscal
•
perdagangan
•
indusri
•
invesasi
•
pengembangan iklim lembaga kompeisi
•
penumbuhan kemiraan usaha
•
pembangunan oonomi daerah
•
peningkaan koordinasi
c. dukungan perkuaan bagi usaha kecil, menengah dan koperasi dapa meliputi ; •
Dukungan keuangan dan pembiayaan
•
Peningkatan kualitas penyedia jasa pengembangan bisnis
•
Peningkatan kualitas sumber daya manusia
•
Peningkatan penguasaan teknologi
•
Peningkatan penguasaan informasi
•
Peningkatan penguasaan pasar
•
Pencadangan lokasi usaha
•
Perlindungan dari persaingan tidak sehat
2.
•
Penataan kelembagaan
•
Pengambangan usaha.
Kemitraan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah a.
Perencanaan dapat dilakukan dengan lebih rinci danjelas dalam rangka mengurangi tumpang tindih, sehingga dapat bermanfaat secara maksimal. Apabila akan dikoreksi dapat dilakukan dengan lebih cermat sesuai bagian yang akan diperbaiki.
b.
Penyusunan perundangan/perangkat peraturan untuk strata pelaku ekonomi makro dapat dikelompokkan berdasarkan sektor usaha dan berdasarkan pemberian fasilitas dan proteksi.
c.
Pengembangan potensai daerah harus konsisten dari perangkat peraturan yang diatur di jurnal dan yang akan ditindak lanjuti pada tingkat daerah, Pemda-pemda yang bersangkutan.
d.
Perlu dilakukan penelitian guna menciptakan harmoni, antara potensi, kebutuhan dan perkembangan daerah dan pusat secara konsisten.
e.
Dibutuhkan perangkat peraturan yang mampu merubah kinerja birokrasi yang buruk, menjadi suatu kinerja yang profesional dan mencapai standart kerja sesuai dengan konsep good governance.
f. a.
Undang-undang yang bersangkutan agar segera diikuti dengan peraturan pelaksana yang tepat. Keberadaan peraturan tersebut dapat dengan tepat memberikan kepastian berusaha yang akan memperlancar kegiatan ekonomi dan akan membantu percepatan pertumbuhan ekonomi. Dibutuhkan program sosialisasi yang cermat dan mendasar.
b.
Membangun kinerja yang baik di dalam birokrasi, sehingga mampu menjadi pendamping usaha mikro dan
kecil sehingga usaha-usaha mikro dapat berusaha aman dan sah. c.
Merubah kinerja menuju pada satu konsep pelayan masyarakat yang sebenarnya.
d.
Memperkecil kesenjangan antara perusahaan besar, menengah
dankecil
mikro
dalam
hal
kemampuan
bersaing yang sehat. e.
Harus diterapkan dengan baik dan benar sampai pada tingkat yang terendah.
g.
Memperbaiki sistem hukum pertanaham, mengingat tanah makin menjadi komoditas yang terbatas. Membatasi peralihan tanah kepada perusahaan besar. Pengakuan kembali atas hakhak adat. Pembinaan koperasi yang sudah ada sehingga mampu
menngembangkan
diri
baik
secara
institusional,
kegiatan dan usaha. Membangun koperasi yang sehat dalam rangka mengantisipasi kegiatan ekonomi di pedesaan. h.
Melakukan penyuluhan tentang kontrak yang benar dan melakukan pendampingan dengan baik, benar dan jujur.
Membuka peluang dan juga membuka pendidikan dan pelatihanpelatihan oleh Departemen/Dinas yang bertanggungjawab.
3.
Sub Isu 1
Membangun Sistem Pendampingan Membangun sistem pendampingan dapat dilakukan sebagai berikut : Kegiatan Sistem pendamping khusus - Sektor Ekonomi - Tenaga-tenaga pendamping untuk semua bagian kegiatan ekonomi mikro danusaha formal. - Produksi - Pemasaran - Pembukaan
Indikator Keluaran/Hasil
- Tenaga terdidik, D1, D2, D3, S1. - mengurangi pengangguran - Membutuhkan kewirausahaan.
- Kewajiban-kewajiban - Pedagang Kaki Lima - Mendorong profesionalisme - Pertanian - Teknologi pertanian - Nelayan - pengolahan hasil perikanan - pemasaran hasil olahan 2
Sistem pendampingan untuk semua sektor : - Ekonomi, mikro dan kecil - pertanian/perikanan - nelayan - pedagang kaki lima (informal) - Sosial - kesehatan - pendirikan - perdagangan kaki lima di perkotaan - menuju profesionalisme, terutama kebersihan dan ketertiban lingkungan.
- Penyuluhan pertanian - produksi - pemasaran - Koordinasi pemasaran - menuju pasar lelang - industri kecil - Tenaga terdidik/terlatih dari semua sektor. - Industri kecil mulai dari desain, produk dan pemasaran - Perdagangan - pemasaran - angkutan - Pertanian - penyuluhan, produksi dan pemasaran - Mengurangi pengangguran - Meningkatkan kewirausahaan Mengurangi urbanisasi
E. MEMBANGUN SISTEM EKONOMI Diani Sadiawati, S.H., LL.M A.
KONDISI SAAT INI Pada tahun tahun 2005 secara makro ekonomi, kondisi perekonomian
Indonesia dapat dikatakan masih cukup optimis. Adanya sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dimana menempatkan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla sebagai pasangan presiden dan wakil
presiden terpilih membawa angin segar. Reaksi pasar uang menunjukkan tingkat optimisme para pelaku bisnis di Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam dokumen perencanaan disebutkan bahwa laju inflasi pada tahun 2005 sedikit meningkat namun relatif terkendali. Hal ini disebabkan antara lain karena meningkatnya harga minyak bumi dunia yang berpengaruh terhadap harga bahan bakar minyak nasional. Kenaikan harga BBM nasional tentunya akan berpengaruh terhadap harga kebutuhan bahan masyarakat lainnya sehingga pada akhirnya akan memacu tingkat inflasi nasional, namun demikian tingkat kenaikan inflasi tersebut masih relatif terkendali. Sebagai salah satu negara pengimpor minyak dan negara yang mempunyai hutang yang besar, maka tingginya nilai tukar dollar terhadap rupiah sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian nasional. Sebagai akibatnya maka kenaikan harga minyak dunia menyebabkan permintaan akan dollar meningkat, sehingga nilai dollar terhadap rupiahpun mengalami peningkatan. Variabel lain yang juga besar pengaruhnya terhadap kerangka ekonomi makro kita adalah tingkat suku bunga SBI. Sebagaimana diketahui tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator tingkat suku bunga perbankan baik itu untuk deposito maupun suku bunga kredit perbankan. Biasanya tingginya tingkat suku bunga SBI akan berpengaruh terhadap perbankan untuk menaikan pula bunga deposito. Pada dasarnya SBI merupakan sarana intervensi pasar dari otoritas moneter untuk mengendalikan uang yang beredar di masyarakat. Dengan adanya kebijakan untuk meningkatkan suku bunga SBI diharapkan agar masyarakat akan lebih banyak menginvestasikan dananya di perbankan nasional melalui produk-produk perbankan seperti deposito, tabungan dsb. Namun demikian peningkatan suku bunga SBI juga akan mempunyai pengaruh terhadap peningkatan suku bunga kredit perbankan sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor riil karena mereka akan dibebani untuk membayar bunga yang lebih tinggi. Kondisi pada tahun 2005 menunjukan bahwa spread antara tingkat suku bunga SBI dengan suku bunga kredit perbankan cukup tinggi sehingga diperkirakan baik sektor riil maupun masyarakat tidak akan terbebani oleh bunga pinjaman yang tinggi.
Disektor
perbankan tingkat non performance loan (NPL) menurun, hal ini menunjukan bahwa sektor perbankan dalam melakukan penyaluran kreditnya telah menggunakan prinsip-prinsip kehati-hatian sehingga diharapkan tidak terjadi lagi kondisi dimana perbankan nasional sampai mengalami kesulitan likuiditas sebagai mana yang terjadi pada tahun 1998. Pada tahun 2001-2003 pertumbuhan ekonomi yang terjadi lebih ditunjang karena tingkat konsumsi masyarakat. Pada tahun 2004, peranan investasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih berkesinambungan mulai meningkat. Pada tahun 2004 investasi berupa pembentukan modal tetap bruto tumbuh sebesar 15,7 persen; jauh lebih tinggi dari rata-rata tahun 2001-2003 yang tumbuh hanya rata- rata 4,1 persen pertahun. Sebagaimana diketahui bahwa investasi merupakan salah satu motor penggerak pembangunan. Investasi dalam bentuk pembentukan modal tetap merupakan salah satu indikator dari adanya stabilitas ekonomi pada suatu negara. Jenis investasi ini mempunyai pengaruh positif terhadap perekonomian nasional karena dengan adanya investasi modal tetap ini akan menimbulkan multiple effect seperti menambah lapangan kerja baru. Hal tersebut berbeda dalam kaitannya dengan investasi saham dimana investor sewaktu-waktu dapat menarik modalnya melalui bursa efek sehingga secara makro kurang menjamin adanya stabilitas ekonomi makro. Salah satu indikator pembangunan ekonomi adalah tingkat pengangguran pada suatu negara. Pengangguran terbuka pada tahun 2004 mengalami peningkatan yaitu menjadi 10,3 juta atau 9,9 persen dari jumlah angkatan kerja pada tahun tersebut. Sementara pada tahun 2000 jumlah pengangguran terbuka tersebut masih meskipun
5,8 juta atau 6,1 persen dari angkatan kerja tahun 2000.
peningkatan
tersebut
tidak
semata-mata
disebabkan
karena
banyaknya PHK yang terjadi akan tetapi juga karena pertumbuhan lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan pertambahan angkatan kerja. B.
MASALAH
Pertumbuhan perekonomian yang belum menggembirakan menyebabkan jumlah lapangan kerja belum bisa menampung seluruh angkatan kerja yang ada, terutama pada sektor pekerjaan formal. Krisis ekonomi disatu sisi membawa dampak negatif yang sangat luas kepada masyarakat akan tetapi disisi yang lain krisis ekonomi mendorong masyarakat untuk lebih kreatif melalui berbagai aktivitas perdagangan sektor informal agar dapat terus bertahan hidup. Sebagai contoh dengan semakin berkembangnya sektor informal ini merupakan salah satu alternatif untuk
menampung angkatan kerja produktif yang tidak
tertampung dalam lapangan pekerjaan sektor formal. Akan tetapi perlindungan tenaga kerja sektor informal ini masih sangat minim, hal ini karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjangkau tenaga kerja sektor informal ini. Masih rendahnya upah yang diterima oleh tenaga kerja sektor informal, tidak ada pembatasan jam kerja, dan belum adanya perlindungan hak-hak sebagai tenaga kerja seperti halnya pada tenaga kerja sektor formal, menyebabkan tenaga kerja ini termasuk dalam kelompok yang rentan terhadap eksploitasi. Data di atas menyebutkan bahwa pada tahun 2004 terjadi kenaikan investasi berupa pembentukan modal tetap, akan tetapi hal tersebut tidak secara otomatis menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia sudah cukup attractive bagi para investor khususnya yang berasal dari luar negeri. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari data yang menunjuk,kan bahwa masih rendahnya persetujuan investasi. Adapun beberapa permasalahan yang dirasakan oleh investor sebagai hambatan antara lain adalah masih kompleksnya prosedur investasi di Indonesia. Meskipun pemerintah telah menetapkan prinsip one stop services dimana BKPM sebagai institusi berwenang untuk mengeluarkan ijin investasi di Indonesia, namun masih ada tarik menarik kewenangan antara satu institusi dengan institusi lainnya seperti ijin kerja bagi orang asing masih menjadi kewenangan Departemen Tenaga Kerja. Di samping itu adanya otonomi daerah mendorong masing-masing daerah untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya sendiri, sehingga ada kecenderungan masing-masing daerah membuat regulasi yang pada akhirnya dapat menciptakan birokrasi baru dan menambah cost production bagi para
pelaku bisnis. Rendahnya kinerja lembaga peradilan di Indonesia menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum nasional sangat rendah. Dalam beberapa penilaian oleh lembaga asing terhadap kondisi perekonomian di Indonesia, disebutkan bahwa rendahnya kepastian hukum menyebabkan resiko dalam berinvestasi di Indonesia menjadi semakin besar dan mahal. Hal tersebut menjadi salah satu variabel yang sangat diperhitungkan oleh investor asing. Kepastian hukum terkait dengan masalah kontrak-kontrak bisnis yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam hal tidak adanya lembaga peradilan yang akuntabel untuk menyelesaikan kasus-kasus bisnis maka bagi pelaku usaha merasakan sebagai tidak adanya kepastian dalam melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnisnya. Adanya ketidakpercayaan dunia usaha terhadap institusi hukum di Indonesia antara lain dapat dilihat dari indikasi bahwa sebagian besar kontrak bisnis mencantumkan penyelesaian sengketa alternatif (ADR) yang mengacu kepada lembaga arbitrase di luar negeri. Investasi modal tetap sangat terkait dengan ketersediaan infrastruktur ditempat dimana investasi tersebut dilakukan seperti sarana jalan, listrik, telpon dsb. Adanya kenyataan bahwa investasi banyak terjadi pada daerah di Indonesia bagian barat menunjukan adanya keterkaitan yang erat antara ketersediaan infrastruktur dengan daya tarik investasi pada suatu daerah. Belum adanya pemerataan pembangunan infrastruktur di beberapa daerah khususnya wilayah Indonesia bagian timur dan adanya keterbatasan anggaran pembangunan menyebabkan beberapa daerah masih minim investasi dan kurang menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya pada daerah tersebut. Bagi pemerintah investasi untuk public infrastructure merupakan investasi yang besar hal ini dapat dilihat pada alokasi anggaran untuk infrastruktur termasuk dalam the big five. C.
REKOMENDASI Pada dasarnya kondisi perekonomi makro nasional merupakan indikator
dari gambaran tingkat perekonomian dan kesejahteraan dari masyarakat.sebagai contoh tingkat inflasi yang meningkat merupakan gambaran bahwa harga barang-barang dan jasa yang ada dimasyarakat lebih mahal dari tahun
sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi nasional merupakan gambaran dari kemampuan pasar tenaga kerja domestik dalam menyerap ketersediaan tenaga kerja yang ada dalam masyarakat. Dari fakta diatas menunjukan bahwa meskipun perekonomian nasional masih dalam tekanan namun secara umum perekonomian tersebut relatif masih optimis. Tekanan tersebut datang baik dari luar seperti kebijakan moneter Amerika, peningkatan harga misnyak dunia, fluktuasi mata uang dollar dsb. Di samping itu tekanan yang datang dari dalam negeri antara lain munculnya konflik baik horisontal maupun fertikal dalam masyarakat, beberapa aksi terorisme sehingga berpengaruh kepada stabilitas keamanan nasional, kewajiban untuk membayar hutang luar negeri, dan keterbatasan anggaran negara. Pada dasarnya arah kebijakan ekonomi kita adalah untuk meningkatkan kualitas dan sekaligus pertumbuhan ekonomi agar mampu memecahkan masalah sosial yang mendasar terutama pengangguran dan kemiskinan dengan tetap
mempertahankan
stabilitas
ekonomi.
Namun
demikian
untuk
melaksanakan hal tersebut tidaklah mudah mengingat kondisi perekonomian nasional masih belum sepenuhnya baik. Dengan adanya tekana-tekanan baik yang datang dari dalam maupun luar negeri menyebabkan ruang gerak dari kebijakan moneter dan fiskal menjadi sangat terbatas oleh karenanya arah kebijakan ekonomi nasional adalah untuk mendorong peranan masyarakat untuk secara aktif dalam kegiatan pembangunan melalui intervensi regulasi termasuk dengan meminimalisir kemungkinan adanya kendala-kendala yang dapat menghambat keikutsertaan masyarakat dalam proses pembangunan. Intervensi regulasi yang dimaksud adalah dengan pemberian insentif kepada para investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Namun demikian kewajiban negara untuk menyediakan pelayanan umum tetap harus dijalankan khususnya dalam rangka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang kurang mampu seperti pelayanan pendidikan dasar dan kesehatan masyarakat. Keterbatasan anggaran negara menyebabkan dalam rangka penyediaan pelayanan umum tersebut pemerintah bersama-sama dengan DPR diharuskan
melakukan penentuan prioritas pembangunan agar penggunaan anggaran negara tersebut dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Pada dasarnya dalam sistem ekonomi pasar terdapat prinsip bahwa semakin sedikit adanya intervensi pemerintah akan semakin baik bagi pasar karena akan meminimalisir adanya distorsi dan inefisiensi. Sebagai contoh adanya subsidi pada suatu produk tertentu akan menyebabkan produsen dari produk tersebut akan bekerja tidak secara efisien dan dia tidak akan dapat bersaing dengan produsen sejenis yang berasal dari luar negeri karena sudah terbiasa dengan subsidi dan kemudahan yang diterima dari pemerintah. Namun demikian prinsip tersebut tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia dimana disamping ekonomi kita adalah ekonomi kerakyatan tetapi juga kondisi masyarakat pada saat ini belum sepenuhnya siap dengan sistem mekanisme pasar.
Sebagai contoh kebijakan pencabutan subsidi BBM sangat
memukul masyarakat luas khususnya mereka yang sudah dalam kondisi perekonomian kurang mampu. Pencabutan subsidi BBM berakibat pada kenaikan harga BBM yang secara otomatis berpengaruh terhadap harga barang dan jasa lainnya. Adanya kenaikan harga barang dan jasa tidak secara serta merta diikuti dengan peningkatan pendapatan masyarakat sehingga pada akhirnya jumlah masyarakat miskin menjadi semakin bertambah. Dengan
adanya
keterbatasan
tersebut
maka
kebijakan
ekonomi
diharapkan dapat diarahkan pada upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan ekspor non migas. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui penyederhanaan prosedur dan birokrasi dalam rangka investasi dan perdagangan dari dan keluar negeri. Kemudahan investasi ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan sistem birokrasi one stop service dalam rangka investasi, dimana BKPM sebagai leading institution dapat melakukan koordinasi dengan instansi lain dalam rangka pemberian perijinan investasi termasuk perijinan kerja bagi orang asing. Penyederhanaan birokrasi dalam rangka perdagangan barang dari dan ke luar negeri juga sangat penting sebagai bagian dalam upaya untuk menarik investor ke dalam negeri. Kemudahan pengurusan dokumen untuk impor bahan dasar produk yang akan
diekspor serta eksport produk dalam negeri ke luar negeri akan sangat membantu pelaku bisnis dalam melakukan usahanya. Adanya kemudahan untuk pengurusan dokumen impor dan ekspor secara on line dapat mengurangi kemungkinan adanya pungutan liar dan mengurangi waktu yang diperlukan dalam pengurusan dokumen secara konvensional. Adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan baik antar sektor maupun peraturan perundang-undangan nasional dengan peraturan daerah merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam rangka untuk menciptakan kepastian hukum di Indonesia. Adanya kecenderungan untuk menambah pendapatan daerah menyebabkan beberapa pemerintah daerah mengeluarkan ketentuan mengenai perpajakan yang pada dasarnya akan bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat yang berusaha menarik investor asing. Dalam rangka untuk membangun infrastruktur di Indonesia maka pemerintah disamping mengalokasikan anggaran pembangunan untuk sektor ini, tetapi
juga
melalui
regulasi
yang
dibuatnya
pemerintah
harus
dapat
mengembangkan konsep kemitraan atau partnership dengan pihak swasta dalam rangka untuk membangun infrastruktur di Indonesia. Konsep kemitraan ini tentunya harus dapat menyeimbangkan antara konsep bisnis dimana pihak investor akan memperoleh keuntungan dari proyek tersebut akan tetapi disisi lain infrastruktur tersebut juga dapat meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat disekitarnya. Untuk lebih mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan
di Indonesia
maka
fungsi
intermediasi perbankan
perlu
ditingkatkan dalam mendorong pertumbuhan sektor usaha strategis terutama yang berlokasi di luar pulau Jawa. Di samping itu dalam rangka untuk menciptakan kestabilan sektor keuangan maka perlu adanya kebijakan moneter yang hati-hati serta pelaksanaan kebijakan fiskal yang mengarah pada kesinambungan fiskal dengan tetap memberi ruang gerak bagi peningkatan kegiatan ekonomi. Ketahanan ekonomi mendukung ketahanan sektor keuangan melalui penguatan dan
pengaturan jasa keuangan, perlindungan dana masyarkat, serta peningkatan koodinasi otoritas keuangan
F. PERAN PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MENUNJANG INVESTASI DI INDONESIA Diani Sadiawati, S.H.,LL.M
LATAR BELAKANG Dalam negara yang menganut system mekanisme pasar investasi swasta merupakan sumber utama untuk menggerakkan perekonomian nasional. Investasi swasta ini dapat bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Indonesia mekanisme
meskipun pasar,
system
perekonomiannya
sebagaimana
negara-neraga
tidak
menganut
barat,
namun
system dalam
kenyataannya peran swasta menjadi sangat penting ketika kemampuan keuangan
negara
sangat
terbatas
dalam
mengakselerasi
pertumbuhan
perekonomian nasional. Pada negara yang menganut system ekonomi pasar peran sector swasta sangat penting karena hampir segala sector dikelola oleh swasta sementara negara akan berperan sebagai regulator yang mengatur hubungan antar pelaku usaha yang ada. Fungsi negara menjadi sangat kecil namun strategis karena dapat
mempengaruhi arah dari keseluruhan
pembangunan yang ada. Semakin banyak campur tangan pemerintah akan dapat menyebabkan distorsi pasar yang pada akhirnya akan dapat menciptakan ketidak efisienan dan pemborosan. Tujuan negara kita sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
melindungi segenap bangsa Indonesia. Apabila kita lihat tujuan
tersebut maka tidaklah berbeda dengan tujuan negara-negara lain yang menganut system welfare state atau negara bertugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Dalam kondisi dimana perekonomian Indonesia masih dalam tahap recovery pasca krisis, maka perlu adanya structural reform pada sector pemerintahan. Salah satu cara dalam melakukan reformasi ini adalah dengan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang dapat menciptakan efisiensi dan mengurangi birokrasi yang tidak diperlukan. Masingmasing negara dengan system hukumnya masing-masing mempunyai cara yang berbeda-beda dalam melakukan reformasi structural ini. Indonesia dengan system hukum yang berasal dari Belanda menganut system civil law dimana peran peraturan perundang-undangan menjadi sangat sentral karena legalitas dari segala kegiatan akan sangat tergantung pada hukum tertulis yang mengaturnya. Bahkan hakim dalam memutus suatu perkara akan sangat tergantung pada hukum tertulis formal yang ada. Oleh karenanya salah satu cara yang dipakai oleh negara dalam membuat suatu policy untuk mengakselerasi perekonomian nasional antara lain adalah dengan membuat peraturan perundang-undangan formal (formal law based state) seperti UU mengenai penanaman modal, UU mengenai perbankan, UU mengenai Perseroan Terbatas, UU mengenai Pasar Modal dll. Adanya formal law based state ditandai dengan dibuatnya peraturan perundangundanngan tertulis sebagai fungsi regulasi yang dilakukan oleh negara. Sebagai contoh
tahun
1989
negara-negara
Eropa
tengah
dan
Timur
banyak
menggunakan model formal law based state sebagai cara untuk melakukan perubahan ekonomi sosialis menjadi ekonomi liberal. Sementara di China proses penyusunan peraturan perundang-undangan formal ini berjalan dengan lebih lambat karena terpengaruh konsep hirarki tradisional. Dimana perubahan tersebut dimulai dengan perubahan konstitusi tahun 1982 yang mengakui adanya hak-hak dasar dan kewajiban bagi warga negaranya. Kemudian pada tahun 1988 swasta mulai diberikan peran secara terbatas sebagai pelengkap dari system ekonomi sosialis. Selanjutnya pada tahun 1993 mulai diperkenalkan konsep system ekonomi sosialis yang berbaris pada market ekonomi. Sebagai
tindak lanjutnya mulai tahun 1999 konsep formal law based state mulai dilaksanakan sepenuhnya, sehingga peran dari hukum menjadi sangat penting dalam proses pembangunan ekonomi di China.2 Paper ini akan membahas peran serta dari proses legislasi nasional dalam memberikan kontribusi terhadap iklim investasi di Indonesia legislasi yang dimaksud di sini akan meliputi permasalahan yang terkait dengan adanya tumpang tindih dan bertabrakannya antar peraturan perundang-undangan baik yang sifatnya nasional mapun peraturan daerah. Tidak adanya harmonisasi peraturan peerundang-undangan ini juga tidak terlepas kaitannya dengan proses pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut. Selanjutnya paper ini ini juga akan menyinggung permasalahan yang terkait dengan implementasi dari peraturan perundang-undangan yang ada khususnya peran pengadilan niaga dalam memutus perkara kepailitan.
PROSES LEGISLASI Permasalahan yang paling menonjol yang dihadapi dalam rangka pelaksanaan pembangunan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah banyaknya peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih dan bertentangan satu dengan yang lainnya. Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah karena masih tingginya ego sektoral maupun kepentingan dari instansi sebagai pengusul inisiatif. Disamping itu juga dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan kadang kala kelompok tertentu berusaha mempengaruhi
substansi
dari
peraturan
perundang-undangan
yang
bersangkutan sebagai akibatnya produk yang dihasilkannya tidak netral. Ditingkat daerah permasalahan tersebut juga muncul, apalagi dengan adanya otonomi daerah yang membawa konsekwensi kepada masing-masing daerah untuk mencari sumber-sumber pendapatan asli daerahnya. Sebagai akibatnya peraturan-peraturan daerah yang dihasilkan sering kali secara
2 The Rule of Law – A key asset in the world maarket (Pekka Hallberg, Unitas 2003; 75;3; ABI/INFORM research, pg 4
nasional
justru akan merugikan kepentingan perekonomian nasional karena
masing-masing daerah berlomba-lomba untuk menarik dana dari masyarakat baik dalam bentuk peraturan perpajakan, retribusi maupun perijinan. Sebagai gambaran sebelum berlakunya UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jumlah pungutan daerah amat banyak dan bervariasi, contohnya berdasarkan UU No. 11 Drt Tahun 1957 untuk pajak daerah di tingkat propinsi ada 5 buah sementara di tingkat kabupaten/kota 20 jenis. Namun dengan adanya UU ini justru jumlah dan jenis pajak daerah bertambah lebih banyak sekitar 40 jenis.3 Studi dari Bank Dunia tahun 2004 menyebutkan bahwa untuk memulai suatu usaha perijinan yang dibutuhkan di Indonesia relatif lebih banyak, lebih lama dan memerlukan biaya yang lebih tinggi jika dibandingkan negara tetangga. Malaysia hanya membutuhkan 9 prosedur sedangkan biaya yang dibutuhkan hanya 25 persen dari per capita income sementara Indonesia prosedur yang harus dilalui mencapai 12 prosedur sementara biayanya mencapai 131 persen dari percapita income. Dari sudut waktunyapun relatif lebih lama karena waktu yang diperlukan untuk sampai keluarnya ijin memerlukan waktu 151 hari, sementara Malaysia, Filipinaa, dan Thailand membutuh waktu 30 hari, 50 hari, dan 33 hari.4 Tidak adanya harmonisasi antar peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah menyebabkan tidak adanya kepastian hukum di Indonesia. Kondisi ini tentunya menjadi variable yang sangat berpengaruh terhadap daya tarik investor baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menanamkan modalnyaa di Indonesia. Pada saat seseoranng akan menanamkan modalnya tentunya dia akan memperhitungkan segala aspek disamping aspek market dari produk yang akan dihasilkan. Rasa aman dan perlindungan terhadap infestasi yang ditanamkan merupakan salah satu faktor 3 Robert A Simanjuntak, Kebijakan Pungutaan Daerah di Era Otonomi, (domestic Trade, decentralization and Globalization A One Day Conference, Conference Papers) halaman 38, PEG, USAID, Dep. Perindustrian dan Perdagangan. 4 Rencana Pembangunan Jangkaa Menengah Nasional TAhun 2004-2009 (khusus Pembangunan Bidang Hukum, Bab 17 Peningkatan Investasi dan Ekspor Non-Migas.
yang sangat menentukan. Adanya peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi investor merupakan satu nilai lebih bagi negara tersebut dalam menarik investor dari luar. Apabila dilihat secara makro ekonomi pada dasarnya, Indonesia lebih membutuhkan FDI (Foreign Direct Investment) karena nilai tambah yang dihasilkan oleh investasi jenis ini lebih banyak seperti pajak, lapangan pekerjaan, transfer knowledge dll. Akan sangat berbeda dengan investasi dalam bentuk Saham dimana sewaktu-waktu pemegang saham sebagai investor dapat menarik dananya keluar sehingga dalam kondisi tertentu seperti pada saat krisis, arus dana keluar ini akan dapat memperburuk perekonomian yang sudah dalam kondisi sakit.
PENEGAKAN HUKUM Apabila kita melihat laporan yang dibuat oleh Bank Dunia mengenai investment climate indicators dari tahu 1996-2003, beberapa indicator yang terkait dengan governance menunjukan angka yang masih jauh dari yang diharapkan. Corruption perception index (dengan skala 0-10 menggambarkan tingkatan buruk ke baik) dari 2,65 pada tahun 1996 turun menjadi 1,9 pada tahun 2003. Demikian juga untuk Law and Order (dengan skala 1-6 menggambarkan tingkatan buruk ke baik) dari 4,0 pada tahun 1996 turun menjadi 2,0 pada tahun 2003.5 Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pelaksanaan good governance di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, tingkat korupsi justru meningkat dari tahun ke tahun. Demikian juga dengan penyelenggaraan hukum di Indonesia menunjukkan data yang kurang menggembirakan. Baik permasalahan mengenai korupsi maupun penyelenggaraan hukum tersebut sangat erat kaitannya dengan pembangunan struktur hukum di Indonesia dimana meliputi pembangunan kelembagaan hukum dan SDM pelaksananya. Pada dasarnya pembangunan terhadap struktur hukum ini bertujuan untuk menciptakan kepercayaan masyarakat pada system peradilan yang ada, meningkatkan penghormatan masyarakat terhadap institusi hukum yang ada dan 5 World Development Indicators, United Nations and Central Bureau of Statistics, and Staff Calculations, http://siteresources, worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Country-Data/Investment,stats.pdf
menjaga reputasi dari aparat penegak hukumnya. Dalam ,mencapai tujuan tersebut maka ada tiga prinsip yang harus diperhatikan yaitu : a. Impartiality b. Judicial independence; dan c. Integritas Isu impartiality menjadi sangat penting terutama ketika membahas mengenai lembaga peradilan, bukan dalam pelaksanaan independency dan integritas maka tidak dapat terlepas dari pemahaman konsep impartiality itu sendiri. Dalam prakteknya impartiality sering diimplementasikan kedalam tindakan hakim yang tidak memihak kepada para pihak yang berperkara dan hakim
juga
harus
menghindari
dari
tindakan-tindakan
yang
dapat
menguntungkan salah satu pihak tersebut. Beberapa isu yang terkait dengan impartiality ini adalah bias, conflict of interest dan prejudgment of an issue.6 Pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut sudah diatur baik dalam undang-undang pokok Kekuasaan Kehakiman maupun dalam Undang-undang Mahkamah Agung. Adanya ketentuan untuk tidak memihak dari hakim, kewajiban hakim untuk mengundurkan diri dari
menangani perkara dimana pihaknya ada ikatan
keluarga, dan asas praduga tak bersalah itu semua merupakan bukti bahwa undang-undang kita pada dasarnya sudah mengakomodasikan isu-isu ini. Prinsip kedua adalah judicial independence meliputi constitutional independence dan independence in discharge of judicial duties. Constitutional independence terkait dengan isu ketatanegaraan dimana adanya pemisahan kekuasaan eksekutif, legislative dan judikatif. Lembaga peradilan disini harus bebas dari pengaruh pemerintah, oleh karenanya pada saat ini salah satu prioritas program pembangunan hukum adalah mendorong proses transisi menuju “one roof system” dimana pada tahun 2004 segala urusan yang terkait dengan pengadilan, baik itu administrasi keuangan, kepegawaian, maupun substansi peradilan menjadi sepenuhnya kewenangan Mahkamah Agung.
6 Guide to judicial Conduct, the Council of Chief Justices of Australia, The Australian Institute of Judicial Administration Incorporated
Selanjutnya independence in discharge of judicial duties adalah kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun juga. Bahkan secara hukum kemandirian seorang hakim ini dijamin sepenuhnya sehingga seorang ketua pengadilan tidak mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi hakim bawahannya dalam memutus suatu perkara. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hakim secara individu merupakan bagian dari suatu masyarakat sehingga dapat terpengaruh oleh public opinion melalui pemberitaan pada media elektronik maupun media massa lainnya. Seringkali pemberitaan pada surat kabar sudah bersifat “mengadili”, meskipun proses persidangannya masih berlangsung. Sehingga akibatnya tanpa integritas yang tinggi dari seorang hakim dia akan dapat mudah terpengaruh oleh opini publik yang beredar di masyarakat. Prinsip ketiga adalah integritas dari aparat penegak hukum. Pada dasarnya integritas ini meliputi kejujuran intelektual, kepatuhannya terhadap norma-norma yang ada pada masyarakat maupun norma hukum negara, transparan terhadap sumber-sumbeer keuangan yang dimilikinya, menganut prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugasnya, dan menghindari ikut dalam organisasi politik atau kemasyarakatan yang kemungkinan dapat mempengaruhi kemandiriannya.6 Upaya untuk memperbaiki integritas seorang hakim terus dilakukan baik dengan melalui program pendidikan pelatihan maupun perbaikan system rekruitmennya. Sebagai contoh beberapa tahun ini proses pemilihan hakim agung dilakukan melalui tahapan fit and proper test oleh DPR. Didalam fit and proper test ini tidak hanya dipertanyakan visi dan misi dari masing-masing kandidat hakim agung tersebut, akan tetapi juga menyangkut harta kekayaan yang dimilikinya. Meskipun upaya untuk memperbaiki kelembagaan hukum yang ada dan peningkatan integritas terhadap SDM hukum telah dilakukan, namun hasil yang dicapai belum seperti yang diharapkan. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap system peradilan di Indonesia juga masih sangat rendah. Upaya-upaya untuk mengatasi kondisi ini dilakukan antara lain dengan membentuk lembaga-
6 Guide to Judicial Conduct, the Council of Chief Justices of Australia, The Australian Institute of Judicial Administration Incorporated
lembaga baru yang pada prinsipnya tugas dan wewenangnya sama dengan lembaga yang sudah ada lebih dahulu seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan niaaaaga, pengadilan HAM dan pengaadilan Tipikor ( masih dalam lingkungan pengadilan umum). Adanya kecenderungan dari lembaga legislative dalam merumuskan suatu undang-undang juga mensyaratkan dibentuknya lembaga baru sebagai implementing agency merupakan gambaran kurang percayanya masyarakat terhadap lembaga yang sudah ada. Sebagai contoh KPK pada dasarnya fungsi dan kewenangannya hampir sama dengan Kejaksaan Agung, namun karena dipandang kinerja dari Kejaksaan Agung kurang memuaskan dalam menangani kasus korupsi maka dibentuklah KPK. Namun permasalahannya banyak anggota KPK justru dipilih dari pensiunan dari aparat penegak hukum yang ada sehingga tentunya baik visi maupun cara kerjanya tidak akan berbeda dengan pengalaman masa lalunya. Adanya
pengkhususan
di
lingkungan
pengadilan
umum,
seperti
pengadilan HAM, Pengadilan Niaga, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, meskipun merupakan bagian dari lingkungan pengadilan umum akan tetapi dalam pelaksanaannya memerlukan perencanaan yang tersendiri. Sebagai contoh proses rekruitmen hakimnya, akan berbeda dengan hakim untuk pengadilan umum karena pada pengadilan-pengadilan khusus ini hakimnya dipilih dari hakim-hakim yang sudah ada ataupun diambilkan dari praktisi hukum lainnya untuk menjabat sebagai hakim ad hoc. Sistem pengajian untuk hakimhakimnya apakah akan dipersamakan atau berbeda dengan hakim pengadilan umum, selanjutnya masih menjadi bahan pemikiran adalah system pendidikan dan promosi dari hakim-hakim pengadilan khusus ini. Apakah hakim-hakim ini dapat dipromosikan untuk menjadi hakim tingkat yang lebih tinggi meskipun tidak lagi menjadi hakim pada pengadilan khusus tersebut, karena untuk pengadilan niaga hanya dikenal pengadilan tingkat pertama dan selanjutnya kasasi, tidak dikenal adanya banding. Pengadilan niaga sebagai bagian dari pengadilan umum mulai beroperasi pada tahun 1998. Berdirinya pengadilan niaga ini merupakan amanat dari Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, dimana diharapkan
dengan adanya pengadilan niaga ini permasalahan mengenai hutang piutang dapat
diselesaikan.
Sesuai dengan
ketentuan
undang-undang
tersebut,
kewenangan pengadilan niaga adalah untuk memutus permohonan kepailitan dan penyelesaian kewajiban pembayaran hutang. Namun dengan adanya perkembangan waktu kewenangan dari pengadilan niaga ini bertambah yaitu juga menangani perkara yang terkait dengan hak kekayaan intelektual seperti hak cipta, paten, merek, desaign industri, sirkuit terpadu (integrated circuit). Selanjutnya dengan berjalannya waktu undang-undang tentang kepailitan juga telah disempurnakan dengan Undang-undang No. 37 Tahun 2004.
G. TINJAUAN PENGEMBANGAN UKM DARI SUDUT HUKUM Dr. Yenti Ganarsih, S.H., MH Fakta
•
Sejak era orde baru hingga era reformasi dewasa ini pembangunan ekonomi nasional telah diarahkan kepada system ekonomi bebas (liberal), yang sangat tergantung kepada penanaman modal (investasi) asing.
•
Sistem ekonomi bebas yang berkembang di dunia internasional dikuasai oleh standard dan syarat-syarat secara internasional pula yang telah disepakati dalam perjanjian-perjanjian ekonomi internasional dan regional seperti Konvensi-konvensi GATT/WTO, ASPAC, AFTA, ILO dan lain-lain.
•
Dengan system ekonomi bebas, konsentrasi perhatian Pemerintah lebih tertuju kepada masuknya investor asing (multinasional) dibandingkan dengan pengembangan ekonomi informal, kecil dan menengah. (Sunaryati Hartono : Strategi Sistem Hukum Ekonomi Nasional Menuju Sistem Ekonomi Nasional Yang Memberdayakan Sektor Ekonomi Informal Serta Usaha Kecil dan Menengah- makalah BPHN, 2004).
•
Sementara itu terbukti bahwa pada waktu krisis ekonomi melanda Indonesia antara 1997-2001, kontribusi output Usaha Kecil Indonesia terhadap PDB relative besar yakni sekitar 40% dan bahkan tahun 1999 sebesar 43,40%, dibandingkan dengan usaha besar pada tahun yang sama adalah 41,27%, yang
menjadi
lebih
besar
mulai
tahun
2000
dan
2001,
ketika
menyumbangkan 45,26% pada PDB. (Sri Adiningsih : Peta Dunia Usaha Indonesia, makalah) •
Mengacu kepada system ekonomi berdasarkan UUD 1945 Pasal 33 Amandemen Keempat, maka sudah waktunya bagi Pemerintah Indonesia untuk memberi perhatian yang lebih atau paling tidak yang seimbang antara pengembangan dan pemberdayaan usaha informal serta kecil dan menengah disamping perhatian kepada investor asing.
•
Pengembangan Usaha informal kecil dan menengah didasari beberapa alasan sebagai berikut : 1. dapat menyerap tenaga kerja yang signifikan di dalam negeri.
2. keuntungan yang diperoleh tetap berada di Indonesia, tidak di bawa ke luar
negeri
sebagaimana
halnya
dengan
perusahaan-perusahaan
transnasional. 3. kondisi umum potensi di sector informal kecil dan menengah perlu diangkat dan ditingkatkan sehingga menjadi kekuatan ekonomi nasional yang tangguh. 4. dan lain-lain. •
Perlu dilakukan pengnkajian yang lebih mendalam bidang peraturan perundang-undangan
yang
terkait
dengan
pengembangan
dan
pemberdayaan sector ekonomi informal kecil dan menengah, mengarah kepada pengembangan system ekonomi bebas. Masalah •
Masalah-masalah
yang
menghambat
pengembangan
UKM
adalah
hambatan-hambatan yang bersifat yuridis dan hambatan-hambatan non yuridis/ekonomi khususnya finacial dan tehnologi yang kurang tepat. •
Hambatan Yuridis mencakup hal-hal sbb: 1. tentang pemenuhan persyaratan, prosedur dan status Badan Usaha; 2. tentang pemenuhan kewajiban-kewajiban dan hak-hak terhadap partner pihak ketiga, pajak dan lingkungan; 3. tentang pemenuhan yang berkaitan dengan transaksi-transaksi termasuk hak dankewajiban serta dokumen-dokumennya.
•
Hambatan non yuridis mencakup : 1.
kemampuan financial, termasuk memperoleh kemudahan kredit dan jaminan;
2.
kemampuan menjual baik internal perusahaan, SDM, dan sumbersumber lain;
3.
terbatasnya kemampuan meluaskan pangsa pasar dan system distribusi.
Masalah-masalah non yuridis ini pada suatu titik pasti berhubungan dengan
•
masalah hukum juga karena akan selalu berhubungan erat dengan hak dan kewajiban serta dokumen yang harus dipenuhi. Rekomendasi •
Melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan bidang pengaturan UKM yang ada dan dibuat pada era sebelumnya yang tidak sesuai dengan situasi saat ini.
•
Mempersiapkan peraturan perundang-undangan yang baru yang mengatur dan mengarah kepada pengembangan UKM pada masa yang akan datang.
•
Perhatian yang serius dari Pemerintah tentang pengembangan dan pemberdayaan UKM tersebut.
H. DIMENSI KEJAHATAN EKONOMI SEBAGAI DAMPAK NEGATIF DARI KEJAHATAN PEMBANGUNANEKONOMI YANG TIDAK BERIMBANG 1 Oleh : Dr. Yenti Garnasih, S.H.,MH 2 1 Kertas kerja ini bersifat sangat awal dan sederhana, yang masih harus diikuti dengan inventarisasi dan penelitian kebijakan-kebijakan yang ada dan ketentuan perundang-undangan secara lebih mendalam.
1. Pendahuluan Salah satu pilar pembangunan bangsa adalah kokoh dan tangguhnya perekonomian bangsa tersebut. Sejak dilanda krisis ekonomi 1997,
Indonesia
telah
berupaya
memulihkan
perekonomiannya,
sayangnya sampai saat ini pemulihan itu masih tersendat. Berbagai permasalahan masih dihadapi dalam penyelenggaraan iklim investasi. Dalam Rencana Pembanngunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 (khusus Bidang Hukum), Program Pembanngunan Departemen Hukum Dan HAM Tahun 2004-2009, disebutkan bahwa ke depan Pembangunan investasi ,menghadapi tantanngan eksternal yang tidak ringan. Salah satunya adalah tidak masuknya investasi global, sementara daya saing Indonesia atas negara-negara seperti Tahiland, RRC, Vietnam dan Malaysia juga
melemah, Negara-negara tersebut
justru menampakkan daya tarik investasi yang baik. Iklim investasi yang buruk harus segera diperbaiki, respon yang lamban dikhawatirkan akan berdampak buruk pada pencapaian jangka menengah panjang pekonomi nasional. Secara ringkas Indonesia pada saat ini sedang menghadapi permasalahan berkaitan dengan belum teratasinya iklim usaha yang buruk yang disebabkan berbagai faktor.
2. Framework and Principles of Economic Development. Berkaitan denngan rencana (upaya) pembangunan perekonomian bangsa, Freedom from Debt Coalition (FDC) memberikan suaatu pemikiran baahwa setiap upaya pembangunan ekonomi harus dimasukan dalam Framework and Principles of Economic Development.3 Dalam Framework dan Principles of Economic Development tersebut terdapat
2 Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Trisakti. 3 http://www.freedomfromdebtcoalition.org/main/framework.php
hal-hal
penting
yang
perlu
dikaji
berkaitan
denngan
kebijakan
pembangunan ekonomi yang berimbang dan mendukung kepentinngan hak asasi manusia termasuk hak-hak sosial atas perekonomian. Kerangka kerja dan prinsip-prinsip tersebut dilatar belakangi dengan defenisi bahwa : “The economy and economic life of society as those activities, realitions, processes, policies and structures involved in and affecting the provisioning for human life in all its fullness, integrity and dignity”. Definisi tersebut aakan mempunyai implikasi baahwa dalam pembangunan ekonomi masyarakat secara luas tidak saja diartikan sebagai Production tetapi jugaa termasuk dan berkaitan dengan kegiatan, proses,
hubungan
dan
struktur
dalam
hal
yang
disebut
Reproduction.Dimana hal ini terjadi tidak saja dalam domain public tetapppppppi juga dalam keluarga dan lingkungannya, serta dalam artian Market tetapi juga Non-Market. Ekonomi harus bertujuan menyediakan syarat-syarat
materiil
untuk
menjamin
kehidupan
manusia
yang
berintegritas dan bermartabat denngan terpenuhinya kebutuhan yang bersifat fisik, mental, intelektual, emosional, psikologis, social, budaya dan lain-lain. Selain itu ditekankan bahwa untuk menciptakan ekonomi dan pembangunan yang baik harus tidak mengabaikan berbagai prinsip yang meliputi: a. Human Development b. Equity, Economic Rights, Economic Justice c. Democratizing the Economy d. Sustainable Economy e. The Role the State Must Play in the Economy f. Economic Sovereignity and National Self Reliance g. Global Economic Relations.
Dalam menciptakan pembangunan ekonomi harus memperhatikan yang disebut Pembangunan manusia yang pada dasarnya merupakan dasar dari hak asasi manusia, maka pembangunan ekonomi harus bertujuan untuk menciptakan terjaminnya hak tersebut. Selanjutnya pembangunan manusia tersebut untuk menuju dan memperkuat pembannngunan ekonomi. Keberhasilan program dan kebijakan ekonomi yang peeertama dan utama adalah langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas hidup usia secara menyeluruh. Diingatkan pula adanya pengakuan bahwa terdapat berbagai perbedaan dalam hal status dan kondisi khusus yang didasarkan pada gender, yang seharusnya ditanggapi secara positif untuk kepentingan dan haknya serta pengaruh khusus terhadap gender dari program dan kebijakan ekonomi. Berkaitan dengan equity, Economic rights, Economic justice disebutkan bahwa pembangunan ekonomi harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas semua manusia, bukan untuk golongan elite tertentu saja. Equity atau keadilan seharusnya tidak diartikan berdasarkan kelas, kelompok dan sector karena di dalamnya terdapat permasalahan ketidak adilan gender, keluarga, urusan rumah tangga. Pembangunan ekonomi harus dapat menyediakan bagi cara-cara agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu harus menjunjung tinggi terjaminnya hak-hak: the rights to sources of subsistence, the rights to work and the rights to engage in productive economic activity. Kemudian juga disebutkan pentingnya hak bagi para pekerja untuk berserikat, berorganisasi dan juga terdapat jaminan keselamatan dan kesehatan tempat bekerja. Dalam Pembangunan ekonomi melibatkan keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan dan program, dimana didalamnya harus dijamin adanya
hak
untuk
berpartisipasi
dalam
memformulasikan,
mengimplementasikan dan juga terdapat evaluasi aatas keputusan, kebijakan dan program (especially the poor, vulnerable, marginalized
sectors, women, people organizations, indigeous people). Dalam hal ini juga perlu diberdayakan paartisipasi masyarakat dalam hal ensuring full transparency and equitable access to informationat all leveland stages; developing capability to process and analyze information; providing venues for meaningful participatiion and representation and democratizing of decision making process. Selain itu juga harus mencegah adanya monopoli of ownership dan pengawasan sumber-sumber ekonomi (tanah, modal,
teknologi
dll).
Pembagunan
ekonomi
seharunya
juga
memperhatikan masalah lingkungan (carrying capacity of the natural environment to provide for the present as well as the future). 3. Kejahatan ekonomi sebagai suatu dampak negatif dari Pembangunan Ekonomi. Pemikiran baahwa kebijakan pembangunan termasuk pembangunan ekonomi terutama apabila tidak dilakukan denngan baik, berimbanng dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dapat mernimbulakan berbagai permasalahan terkait denngan muncul kejahatan. Pembangunan ekonomi yang juga diiringi denngan pembangunan dalam segala bidanng terutama terkait denngan science dan high technology tentu akan dimanfaatkan pula oleh para pelaku kejahatan. Hal ini jauh-jauh hari telah dinyatakan dalam beberapa kongres PBB yang memberikan signal bahwa ada korelasi aktif antara pembangunan ekonomi danmunculnya kejahatan ekonomi. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam hal pencegahan dan pemberantasan kejahatan (terutama kejahtan ekonomi) perlu dikaji apakah sebab-sebab kejahatan terkait dennngan bagaiomana kebijakan dan program ekonomi. Artinya bahwa kebijakan ekonomi apabila tidak dilakukan dengan cermat akan menimbulkan permasalahan dalam kaitannya dengan kejahatan ekonomi, terutama dengan munculnya a new international economic order.4
4 Sixth UN Congress, Caracass Declaration, 1980.
Pembangunan sendiri pada hakekatnya tidak harus menimbulkan keadaan yang dapat memicu timbulnya kejahatan, kalau sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang baik. Namun apabila pembangunan itu tidak direncanakan denngan rasional, tidak seimbannng, mengabaikan nilai-nilai cultural dan moral serta tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat secara integral maka pembangunan dapat berdampak pada munculnya berbagai kejahatan.5 Selanjutnya bahkan ditegaskan adanya keterkaitan antara pembangunan ekonomi dan yang lain denngan upaya pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. “Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political system, social and cultural values and social change, as well as in the context of the new international economic order. The criminal justice system should be fully responsive to the diversity of political, economic and social system and to the constantly evolving condition of society”.6
Bahkan kemudian dalam Guidings Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in Context of Development and a New International Economic Order, jelas disebutkan bahwa terdapat direct relationship antara gejala kriminalitas yang merupakan kelanjutan dari kegiatan dan perkembangan ekonomi, dan selanjutnya dihimbau agar Negara-negara memperkuat upaya pembangunan ekonomi yang berimbang melalui restrukturisasi system
ekonomi, denngan
memberi tekanan pada
pencegahan kejahatan dan system peradilan.7 Dari
berbagai
kongres
tersebut
dan
juga
kongres-kongres
selanjutnya seperti Kongres PBB ke 8 di Havana, menekan hal tersebut. Maka perlu disadari bahwa dalam membuat kebijakan dan program ekonomi penting untuk dilakukan suatu kebijakan pencegahan dan 5 Seventh UN Congress, Milan Plan of Action of 1985, Doc.A/CONF.121/L.15.hal.2. 6 Ibid.hal.3. 7 Seventh UN Congress, Milan, 1985.
pemberantasan kejahatan yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan juga tentang beberapa kejahatan yang dapat merusak pembangunan ekonomi tersebut seperti korupsi. Kebijakan tersebut berkaitan dengan suatu kebijakan dalam hal pencegahan danpemberantasan kejahatan ekonomi. Dengan menggunakan alat penegakan hukumnya maka diharapkan kebijakan ini dapat mengawal kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dengan prinsip-prinsip yang antara lain meliputi : a.
Ultimum Remedium Asas ini berbicara bahwa hukum pidana diterapkan sebagai sarana terakhir setelah dipertimbangkan sarana pencegahan menggunakan sanksi melalui hukum perdata dan administrasi tidak dapat menngatasi. Artinya bahwa hukum pidana baru digunakan bila sanksi-sanksi lain tidak mampu untuk menjaga menertibkan proses pembangunan ekonomi atau tetap
mendahulukan
langkah-langkah
yang
masih
memungkinkan
perkembangann ekonomi kearah economic growth. Perlu juga ditekankan bahwa kriminalisasi dalam hal ini pada umumnya bersifat sebagai mala prohobita (mallum prohibitum) yaitu bahwa perbuatan itu dikategorikan sebagai
kejahatan
karena
diatur
oleh
undang-undang
walaupun
perbuatan itu sendiri bukanlah amoral (is not necessarily immoral). Berkaitan denngan masalah ini maka perlu dilakukan kriminalisasi terhadap beberapa bentuk kejahatan dengan tetap menjaga jangan sampai terjadi over criminalization yang justru akan menghambat proses ekonomi. Sebaliknya aapabila suatu saat keadaan berubah, pencapaian stabilitas ekonomi telah optimal maka tentu harus dikaji kembali untuk mengembalikan fungsi hukum pidana sebagai pengawal kebijakan ekonomi dan social, dan apanila masih terdapat pelanggaran yang tidak terlalu berbahaya cukup diserahkan kepada hukum administrasi. Namun bila kita ikuti perkembangan ekonomi danpelanggaran-pelanggarannya, serta budaya hukum masyarakat saat ini nampaknya penggunaan hukum pidana untuk pelanggaran ekonomi masih akan lama berlangsung.
b.
Kriminalisasi Korupsi di Sektor Swasta Untuk menjaga kelancaran pembangunan ekonomi, pada saat ini nampak telah perlu dilakukan kriminalisasi tentang korupsi disektor swasta. Korupsi seperti yang sudah sangat dipahami akan mengganggu pembangunan ekonomi bahkan pada tahap tertentu akan menggoyahkan sendi-sendi
perekonomian
Negara.
Kriminalisasi
pemberantasan
kejahatan korupsi di privat sector telah digaungkan dalam United Convention Against Corruption, 2003 yang antara lain menyatakan bahwa : “Each State Party shall take measures, in accordance with fundamental principles of its domestic law, to prevent corruption involving the private sector, enhance accounting ang auditing standards in the private sector and, where appropriate, provide effective, proportionate and dissuasive civil, administttrative or criminal penalties for failure to comply with such measures.” Langkah-langkah harus diambil dalam hal ini antara lian mengembangkan kerjasama antar penegak hukum dan sector swasta, mengembangkan standard an prosedur untuk menngamankan relevant private entities, termasuk : Codes of cunduct for the correct, honourable and proper performance of the activities of businesses and all relevant professions and the prevention of conflict of interest, and for the promotion of the use of good commercial pratice among businesses and in the contractual relations of businesses with the State. Selanjutnya dinyatakan bahwa : In order to prevent corruption, each State Party shall take such measures as may be necessary, in accordance with its domestic laws and regulations regarding the maintain of books and records, financial statement disclosures and accounting and auditing standards, to prohibit the following acts carried out for the purpose of commiting any of the offences estabilished in accordance with Convention. c.
Corporate Crimes Responsibility Penting untuk dikaji kembali penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi yang sudah sering terjadi. Sesungguhnya Indonesia telah memiliki ketentuan ini sejak tahun 1951 melalui ketentuan tentang
Penimbunan Barang, dan kemudian secara resmi ketika melakukan kriminalisasi Tindak Pidana Ekonomi melalui Undang Undang No. 7 Drt 1955. Kejahatan korporasi sendiri telah sejak munculnya White Collar Crimes sudah mulai dipikirkan. Seiring dennngan fakta-fakta yang ada dalam kegiatan ekonomi (korporasi), nampaknya perlu segera ditekankan untuk menegakan pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek hukum pidana. Bagi Indonesia telah lama mempunyai ketentuan ini,namun penegakan hukumnya masih sangat sedikit, para penegak hukum masih belum optimal menerapkan. Hal ini perlu dikaji apakah pengaturan yang tidak jelas atau kemampuan danpemahaman penegak hukumnya yang belum benar, atau karena belum terjawabnya masalah teori pembuktian yang nyata-nyata memerlukan justifikasi secara teori. Paling tidak terdapat permasalahan perbuatan apa saja yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam hal ini terkait asas kulpabilitas serta bentuk pidana apa yang dapat dijatuhkan pada korporasi. Permasalahan lain adalah berkenanaan berlakunya konsep strict liability dan vicarious liability berhadapan dengan asas kausalitas. Terlepas bahwa masih terdapat Negara yang belum menerima hal ini, tetapi nampaknya kecenderungan internasional menunjukan perlunya konsep dan penegakan hukum atas corporate crime. d.
Independent crime and dependent crime. Berkaitan denngan permasalahan maraknya kejahatan ekonomi di Indonesia samapai saat ini, nampaknya perlu dilakukan pengkajian kembali atas kriminalisasi yang telah dilakkukan, khususnya dalam hal menentukan termasuk criteria independent atau dependent crime kejahatan yang berdiri sendiri atau teritegrasi dalam ketentuan hukum administrasi atau sering disebut sebagai penguat sanksi. Berkaitan dengan hal ini perlu dikaji kembali mengisi ketentuan Undang Undang No. 7 Drt 1955, yang telah disfunction, setelah keluarnya ordonantie bea menjadi ketentuan Aministrasi Kepabeanan dengan Undang Undang No. 10 Tahun 1995. Implikasi
I. PENJAMINAN KREDIT DAN UPAYA MENDORONG PENYALURAN KREDIT PERBANKAN KEPADA USAHA MIKRO DAN KECIL7 Dr. Yunus Husein, S. H., LL. M Garda T. Paripurna, S. H., LL. M I.
Pendahuluan Setelah melewati krisis keuangan yang cukup parah pada tahun 1997-
19988,
kondisi
ekonomi
makro
Indonesia
dalam
tahun-tahun
terakhir
menunjukkan perbaikan yang ditandai dengan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap nilai tukar asing, laju inflasi yang terkendali dan suku bunga yang menurun dengan tajam, serta pertumbuhan ekonomi yang meningkat9. Namun demikian kenaikan laju pertumbuhan ekonomi tahun-tahun terakhir sebesar kurang dari 5% per tahun masih di bawah rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum krisis yang secara normal sebesar rata-rata 7,8% pada 7 8
9
Makalah disampaikan pada Forum Diskusi Pakar Hukum dan Non-Hukum yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 2004 Krisis keuangan di Indonesia ditandai dengan krisis mata uang Rupiah terhadap nilai tukar asing khususnya US Dollar yang tercatat paling rendah sepanjang sejarah yaitu USD 1 = Rp 17.000 pada pertengahan tahun 1998. Pada awal tahun 2004, nilai tukar Rupiah terhadap USD tercatat USD 1 = Rp 8.250, tingkat inflasi 7%, laju pertumbuhan ekonomi 4%, tingkat suku bunga pinjaman sebesar rata2 10%
tahun-tahun 1989-1997. Salah satu penyebabnya adalah masih lambatnya penyaluran kredit oleh perbankan untuk menggairahkan investasi sekaligus sebagai sumber pembiayaan dunia usaha. Hingga saat ini perbankan masih belum menjalankan kembali fungsi utamanya sebagai intermediasi antara deficit spending unit dan surplus spending unit. Hal ini sejatinya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, perbankan masih melakukan konsolidasi internal dan berupaya memenuhi ketentuan prinsip kehati-hatian (prudential regulation). Kedua, masih tingginya risiko dunia usaha yang menyebabkan adanya keengganan melakukan ekspansi dan atau memulai usaha baru. Belum lagi kondisi sosial dan politik yang sedang mengalami masa pancaroba. Belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan tersebut dapat dilihat dari rendahnya loan to deposit ratio (LDR) yang saat ini berkisar 40%. Padahal fungsi intermediasi perbankan berperan penting dalam mendorong kegiatan ekonomi suatu negara terutama pada saat negara tersebut sedang melakukan proses pemulihan dari krisis yang parah seperti yang dialami Indonesia. Patut dicatat bahwa rendahnya LDR yang menyebabkan perbankan mengalami kelebihan likuiditas juga membawa persoalan tersendiri. Kelebihan likuiditas ini tentunya harus ditanamkan dalam investasi yang memberikan nilai tambah. Dalam kondisi lesunya dunia usaha, bentuk investasi yang paling aman dan memberikan keuntungan adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Apabila dicermati, keuntungan yang dinikmati oleh industri perbankan beberapa waktu terakhir memang berasal dari pendapatan bunga SBI. Singkatnya, gaji besar dan fasilitas kelas wahid yang dinikmati oleh eksekutif perbankan berasal dari “subsidi” bank sentral. Masalah lain yang tidak kalah krusialnya akibat kelebihan likuiditas adalah “pemburuan” dollar. Riak kecil yang terjadi baik di sektor ekonomi maupun sosial dan politik dapat memicu kepanikan masyarakat yang berujung pembelian dollar yang berlebihan. Akibatnya pastilah terjadi gejolak nilai tukar rupiah yang pada gilirannya makin mempersulit perkembangan dunia usaha. Padahal, ongkos penyehatan perbankan yang dikeluarkan pemerintah sangat besar. Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Anwar Nasution,
berdasarkan prosentase terhadap PDB, biaya penyehatan perbankan Indonesia adalah yang termahal sepanjang sejarah peradaban manusia. Maksud upaya penyehatan tersebut pastilah
agar industri perbankan dapat berperan
mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional. Dengan kondisi yang demikian itu maka upaya meningkatkan ratio LDR tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada kebijakan yang berasal dari sektor perbankan sendiri. Berbagai upaya dan kebijakan perlu diambil dalam mengoptimalkan
fungsi
intermediasi
perbankan
dimaksud,
baik
dengan
menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pemberian kredit oleh sektor perbankan atau dengan menerapkan ketentuan yang bersifat memaksa agar bank meningkatkan pemberian kreditnya. Bentuk pemaksaan yang pernah diusulkan misalnya mewajibkan bank untuk menyalurkan 20% dari portofolio kreditnya ke sektor usaha mikro, kecil dan menengah. Usulan lain yang tidak kalah menariknya adalah menerapkan ketentuan LDR minimal bagi perbankan. Bank yang tidak dapat menyalurkan kredit dalam batas prosentase tertentu dikenakan pinalti. Disadari bahwa dampak melambatnya penyaluran kredit perbankan tidak hanya mempengaruhi usaha besar dan menengah, namun juga Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang memiliki peran sangat vital dalam perekonomian Indonesia. Keadaan ini dapat dilihat dari data empiris yang menunjukkan bahwa eksistensi usaha kecil relatif lebih tahan terhadap guncangan krisis, dan memberikan kontribusi yang sangat positif dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Kontribusi positif dapat dilihat dari jumlah unit usaha yang begitu besar sehingga menjadi pilar penopang angkatan kerja yang sangat besar. Selain itu usaha kecil juga memiliki beberapa keunggulan antara lain kemampuan yang tinggi dalam memanfaatkan sumber daya lokal yang juga turut memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap pembentukan pendapatan nasional. Pada gilirannya melambatnya pertumbuhan kredit ini akan mengganggu proses pemulihan ekonomi dan menyulitkan upaya mengurangi jumlah kemiskinan yang tercatat sebanyak 37,2 juta jiwa pada tahun 2003. Dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah tersebut menyebabkan penyediaan tambahan
lapangan kerja menjadi sangat terbatas, sehingga kurang mampu menyerap tambahan angkatan kerja baru. Di sisi lain masih timbul keenganan dari perbankan untuk membiayai sektor korporasi karena selain pengalaman yang pahit selama masa krisis, juga telah muncul indikasi adanya penarikan dana langsung dari sektor korporasi melalui pasar modal. Sementara itu untuk membiayai langsung sektor UMK masih mengalami kesulitan karena belum memiliki pengalaman sehingga banyak penyaluran kredit UMK dalam tahun-tahun terakhir terkonsentrasi pada penggunaan konsumsi. Dengan demikian tujuan untuk mendorong sektor UMK dalam rangka pemulihan ekonomi melalui peningkatan kesempatan kerja dan pemerataan masih mengalami kendala. Tulisan ini akan menguraikan seluk beluk UMK, langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk membantu perbankan dalam menyalurkan kredit kepada UMK, termasuk peran penjaminan perbankan dalam mendorong penyaluran kredit kepada UMK. II.
Peran Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dalam Perekonomian Nasional Tidak terdapat suatu definisi yang sama di semua negara terhadap kriteria
UMK. Di beberapa negara, definisi usaha Mikro dikaitkan dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan yakni kriteria Usaha Mikro adalah usaha yang mempekerjakan sebanyak 1-4 tenaga kerja dan usaha kecil adalah usaha yang mempekerjakan sebanyak 5-19 tenaga kerja. Definisi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Indonesia menggunakan kriteria yang ditetapkan oleh Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Dalam Undangundang pengertian Usaha Kecil yaitu kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil, dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp 200 Juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 Miliar dan milik WNI (Warga Negara Indonesia). Kriteria tersebut selanjutnya dijadikan acuan dalam pemberian kredit kepada
usaha kecil sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil. Di samping itu berdasarkan Kesepakatan Bersama Menko Kesra Selaku Ketua Komite Penanggulangan Kemiskinan dengan Gubernur Bank Indonesia Tentang
Penanggulangan
Kemiskinan
Melalui
Pemberdayaan
dan
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah10 disebutkan definisi Kredit Usaha Mikro dan Kredit Usaha Kecil. Kredit Usaha Mikro adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha mikro, baik langsung maupun tidak langsung, yang dimiliki dan dijalankan oleh penduduk miskin atau mendekati miskin dengan kriteria penduduk miskin menurut Badan Pusat Statistik dengan plafon kredit maksimal sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Kredit Usaha Kecil adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan tempat usaha atau yang memiliki hasil penjualan maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) per tahun, dengan plafon kredit maksimum sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Berdasarkan data empiris terbukti bahwa UMK memiliki peran cukup vital dalam kegiatan perekonomian. Eksistensi UMK relatif tahan terhadap guncangan krisis, memiliki jumlah unit usaha yang besar, potensi besar dalam penyerapan tenaga kerja, dan memiliki kontribusi dalam pembentukan PDB. Perlu pula diketengahkan pengertian rakyat miskin dan ekonomi kerakyatan.
Sebagaimana
dimaklumi
bahwa
tekad
Pemerintah
untuk
memperkuat ekonomi rakyat ini telah dituangkan di dalam Propenas (Program Pembangunan Nasional) tahun 2000-2004, khususnya Bab II yang menyebutkan bahwa salah satu prioritas pembangunan nasional adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Rakyat miskin bukanlah satu golongan yang homogen, namun terdiri dari kelompok yang dibedakan dari aktivitas ekonomi yang dikerjakan. Kelompok Destitute (melarat),
10
Kesepakatan Bersama Menko Kesra dengan Gubernur Bank Indonesia 11/KEP/MENKO/KESRA/ IV/2002 dan No. 4/2/KEP.GBI/2002, tanggal 22 April 2002
No.
Sangat Miskin (Extremely Poor), dan Miskin Moderat adalah kelompok yang berada di bawah garis kemiskinan. Kelompok miskin ini tidak dapat dimasuki lembaga keuangan formal bank (bank komersial), sehingga untuk memenuhi kebutuhan keuangannya, mereka biasanya lari ke pelepas uang atau pegadaian, atau ke lembaga keuangan desa. Kelompok keempat adalah kelompok miskin yang aktif melakukan kegiatan ekonomi (Economically Active Poor) termasuk usaha mikro. Kelompok terakhir ini sudah berada di atas
garis kemiskinan
sehingga sudah dapat diberikan jasa keuangan formal. Untuk lebih memahami peran UMK dalam perekonomian nasional, maka akan diuraikan di bawah ini. 2.1
Jumlah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) Berdasarkan hasil survey BPS tahun 2000 dan 2003, tercatat jumlah unit
UMK dalam kegiatan ekonomi sangat menonjol yaitu sebesar 99,85%. Sementara Usaha Menengah sebesar 0,14 %, dan usaha besar hanya 0,001 %. Disamping proporsinya besar, jumlah UMK juga terus berkembang dengan ratarata pertahun sebesar 3,15 %. Secara jelas dapat dilihat dari Tabel 1 berikut. Tabel 1. Jumlah Unit Usaha Menurut Skala Usaha Tahun 2000 dan 2003 Jenis Usaha
Unit Usaha 2000
2003
Pertumbuhan 2002-2003
Rata2/Tahun Usaha Mikro dan Kecil
39,669,355
42,326,520
9,46%
3,15%
Usaha Menengah
54,632 0,14%
61,986 0,15%
13,46%
4,49%
Sumber : Data BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM, Berita Resmi Statistik No. 21/VII/24 Maret 2004
2.2
UMK Sebagai Mesin Pencipta Kesempatan Kerja Dilihat dari jumlah tenaga kerja, UMK menyerap sebanyak sekitar 88% dari
seluruh tenaga kerja yang ada, dan terus berkembang dengan rata-rata per tahun sebanyak 3 %. Dengan melihat kenyataan ini, UMK dapat dikatakan
merupakan mesin pencipta kesempatan kerja yang efisien, terlebih bila dilihat dengan membandingkan antara perkembangan investasi yang digunakan dengan perkembangan jumlah tenaga kerja yang diciptakan. Untuk mengetahui pertumbuhan kesempatan kerja yang diciptakan oleh UMK dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha Tahun 2000 dan 2003 Jenis Usaha
Tenaga Kerja (Orang) 2000 2003
Pertumbuhan 2000-2003
Usaha Mikro & Kecil
62,856,765 88,5%
70,282,178 88,4%
11,8%
3,0%
Usaha Menengah
7,550,674 10,7%
8,754,615 11,0%
15,0%
4,0%
Rata2/Tahun
Sumber : Data BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM, Berita Resmi Statistik No. 21/VII/24 Maret 2004
UMK
merupakan
kelompok
usaha
yang
padat
karya
dengan
membutuhkan investasi yang relatif sangat rendah dibandingkan usaha menengah dan besar. Kebutuhan investasi UMK tahun 2003 sebesar Rp 64,8 triliun (18,4%), sedangkan Usaha Menengah (UM) dan Usaha Besar (UB) masing-masing Rp 81,3 Triliun (23,1 %) dan Rp 206,3 Triliun (58,5 %). UMK menyediakan kesempatan usaha dan kesempatan kerja kepada calon pengusaha yang berminat mengembangkan kewiraswastaan (kewirausahaan). Kenyataan membuktikan bahwa pendirian usaha-usaha baru dan perkembangan jumlah UMK menciptakan banyak tambahan kesempatan kerja. 2.3
UMK Sebagai Pelaku Ekonomi Daerah UMK sebagai pelaku dalam pembangunan ekonomi daerah yang dapat
dilihat dari peranannya menghasilkan produk dari sumber daya yang ada di daerahnya dan memiliki keterkaitan yang dekat dengan perekonomian lokal, serta dapat membentuk “core of industrial clusters”. Pada saat krisis terlihat bahwa berdasarkan hasil penelitian menunjukkan wilayah lokal kurang terpengaruh dari krisis dibandingkan di kota besar. Dengan demikian UMK dapat
dikatakan sebagai usaha yang memiliki kontribusi terhadap stabilitas ekonomi lokal. 2.4
UMK Sebagai Pencipta Pasar UMK sebagai tempat para wirausahawan muda mengembangkan
kreativitasnya sehingga dapat membentuk pasar barang dan jasa serta menciptakan inovasi-inovasi baru. UMK merupakan pencipta pasar market yang baru dan inovasi baru karena pengalaman menunjukkan bahwa UMK dapat berganti jenis usaha pada saat timbul ide-ide baru, pengalaman baru dan tidak meningkatnya usaha. Selain itu banyak UMK menciptakan inovasi yang konstan walaupun secara kecil-kecilan. 2.5
UMK Berperan dalam Peningkatan Nilai Tambah UMK merupakan usaha yang berperan dalam peningkatan Nilai Tambah.
Berdasarkan data BPS tahun 2002 dan 2003, menunjukkan bahwa UMK memiliki peranan dalam PDB sebesar 39,74% pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 41,11% pada tahun 2003, Usaha Menengah sebesar 14,77% pada tahun 2000 dan menjadi 15,61% pada tahun 2003, sedangkan Usaha Besar sebesar 45,49% pada tahun 2000 kemudian menurun menjadi 43,27% pada tahun 2003. Apabila dibandingkan dengan negara lainnya, maka kontribusi UMK dan Usaha Menengah terhadap PDB di Indonesia masih relatif kecil, sebagai contoh di Taiwan kontribusi terhadap PDB telah mencapai 92%, di Singapura mencapai 90%, dan di Jepang sebesar 85% (ketiga negara tersebut memiliki definisi UMK dan Usaha Menengah yang berbeda dengan Indonesia karena menggunakan jumlah tenaga kerja sebagai kriteria). Dari sisi produktivitas per tenaga kerja, UMK menghasilkan sebesar Rp 8 Juta per tenaga kerja per tahun pada tahun 2000. Nilai ini meningkat cukup besar pada tahun 2003 menjadi Rp 10,5 Juta per tenaga kerja per tahun. Sementara produktivitas kelompok Usaha Menengah dan Besar pada tahun 2000 masing-masing sebesar Rp 24,7 Juta dan Rp 1,5 Miliar per tenaga kerja per tahun. Pada tahun 2003 telah meningkat masing-masing menjadi sebesar
Rp 31,8 Juta dan Rp 1,8 Miliar. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa masingmasing kelompok usaha memiliki keunggulan dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Kelompok Usaha Besar memiliki potensi sebagai motor pertumbuhan, sementara kelompok UMK sebagai penyeimbang pemerataan dan penyerapan tenaga kerja. Untuk meningkatkan perannya dalam perekonomian Indonesia, UMK seringkali
menghadapi
berbagai
kendala
yang
terkait
dengan
aspek
pengembangan dan pengelolaan usaha maupun dengan masalah permodalan guna meningkatkan daya saing dan pertumbuhan usaha. Salah satu upaya yang dilakukan UMK dalam mengatasi kesulitan sumber permodalan adalah melakukan akses dengan lembaga-lembaga non-formal. Namun yang akan dibahas lebih lanjut dan menjadi pusat perhatian adalah sejauh mana kesulitan dalam permodalan yang dihadapi UMK dalam mengakses pada lembaga keuangan formal yang akan dikaji lebih lanjut melalui perkembangan pemberian kredit. III.
Kredit Usaha Mikro dan Kecil Sulit untuk dipungkiri bahwa perkembangan pemberian kredit perbankan
kepada UMK akan dipengaruhi antara lain oleh sejauh mana perbankan menyikapi kebijakan yang ditetapkan Bank Indonesia selaku otoritas moneter terhadap perkembangan instrumen pasar. Dalam kaitan ini, sebagaimana dimaklumi bahwa kebijakan moneter Bank Indonesia yang ditransmisikan ke sektor riil melalui jalur suku bunga berjalan dengan baik. Penurunan suku bunga SBI yang telah diikuti dengan penurunan suku bunga dana pihak ketiga (DPK) belum dapat tercermin pada penurunan yang cukup signifikan dari suku bunga pinjaman karena belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan. Apabila tingginya suku bunga pinjaman dipertahankan terus dalam jangka yang lebih panjang maka dikhawatirkan dapat meningkatkan resiko akibat timbulnya adverse selection. Adanya krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 di Indonesia, telah mendorong perbankan nasional mengubah strategi lending-nya dalam tahun-
tahun terakhir dari kredit ke korporasi menjadi kredit ke Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Dirasakan bahwa kredit ke sektor korporasi telah menimbulkan berbagai permasalahan dengan banyaknya kredit macet yang dialihkan ke BPPN. Sebaliknya, dengan tingginya suku bunga pinjaman, membuat sektor korporasi kurang menoleh pada pinjaman dari perbankan dan bahkan telah menarik pendanaannya melalui penerbitan saham dan obligasi. Berdasarkan data Direktorat Riset dan Kebijakan Moneter (DKM) Bank Indonesia, realisasi penerbitan obligasi korporasi meningkat tajam dari sebelumnya pada tahun 2002 sebesar Rp 6,3 Triliun menjadi Rp 19,7 Triliun pada tahun 2003. Dengan demikian, seharusnya menjadi pertimbangan untuk semakin meningkatkan pinjamannya ke sektor UMKM. Untuk melihat perkembangan outstanding, pangsa dan keragaan pemberian kredit perbankan pada sektor Usaha Mikro dan Kecil pada periode tahun 2001-2003 dapat dilihat pada Tabel 3. Dalam Tabel 3 terlihat bahwa pangsa kredit perbankan yang disalurkan ke UMK senantiasa meningkat dari tahun ke tahun dari semula 24,53% pada tahun 2001, meningkat menjadi 33,05% dan 34,49% masing-masing tahun 2002 dan 2003, sementara kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) berada di bawah 4% pada periode yang sama.
Tabel 3. Perkembangan Outstanding Kredit UMK Tahun 2001-2003 Plafond Kredit Perkembangan Pertumbuhan (%) 2001 Pangsa
Kredit
UMK
Terhadap
Kredit
Perbankan
2002
Pangsa
2003
Pangsa
Des 01-02
Des 0-2-03
Kredit Mikro NPL Kr. Mikro
59.520 16,60 2,30%
83.243 3,32%
22,43
101.304
23,05
39,86
21,70
Kredit Kecil NPL Kr. Kecil
28.466 7,94 3,90%
39.385 3,75%
10,61
50.284
11,44
38,36
27,67
Kredit Mikro&Kecil Kredit Menengah NPL UMKM
87.986 24,53 31.763 8,86 3,90%
122.628 45.030 4,88%
33,05 12,14
151.588 61.704 4,34%
34,49 14,04
39,37 41,77
23,62 37,03
Kredit Perbankan NPL Kr. Perbankan
358.661 100,00 12,10%
371.058 8,09%
100,00
439.563 6,71%
100,00
3,46
18,46
Sumber : Biro Kredit, Bank Indonesia
Dengan adanya perubahan kecenderungan pemberian kredit perbankan tersebut, secara politik dan sosial merupakan fenomena sangat menarik untuk diperhatikan karena penyaluran kredit ke UMK yang sebelumnya hanya disentuh oleh BPR dan beberapa bank saja, saat ini telah menjadi perhatian hampir seluruh bank. Bank-bank besar tidak segan-segan untuk menyalurkan kredit ke sektor UMK baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagi bank-bank besar yang sebelumnya berorientasi ke korporasi bukan menjadi suatu halangan untuk menyalurkan kredit barunya ke UMK, karena keterbatasan sumber daya manusia, pengalaman maupun jaringan kantor pendukung dapat diimbangi dengan melakukan linkage program antara bank besar tersebut dengan BPRBPR maupun re-lending ke lembaga bukan bank seperti perusahaan pembiayaan (leasing). Dalam linkage program tersebut, bank umum akan memberikan pinjaman kepada BPR yang nantinya pinjaman tersebut akan disalurkan oleh BPR kepada nasabah UMK dengan mengambil margin keuntungan tertentu. Dengan adanya linkage program tersebut secara tidak langsung perbankan nasional telah menyalurkan kreditnya ke sektor UKM. Perkembangan
yang
cukup
menggembirakan
dalam
pelayanan
perbankan kepada UMK tersebut belum sepenuhnya memberikan indikasi adanya perbaikan di sektor UMK sendiri karena dilihat dari penggunaaan kredit masih banyak terfokus pada konsumsi seperti ditunjukkan pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Perkembangan Outstanding Kredit UMK Menurut Penggunaan Tahun 2002-2003 Kredit UMK (Rp 0-Rp 500 Jt) 2003
Proporsi Kredit UMK a.d Penggunaan Tahun 2002 Pangsa Tahun 2003 Pangsa
Pertumbuhan Periode 2002-
Kredit Modal Kerja
38.776,3
Kredit Modal Investasi 10.071,1
31,62%
43.978,7
29,01%
13,42%
8,21%
11.909,3
7,86%
18,25%
Kredit Konsumsi
73.780,7
60,17%
95.700
63,13%
29,71%
Sumber : Biro Kredit, Bank Indonesia
Penggunaan kredit UMK untuk konsumsi masih memiliki pangsa terbesar, dan berkembang terus pada periode tahun 2002-2003 dengan pertumbuhan per tahun mencapai 29,711% jauh dibanding untuk modal kerja sebesar 13,42% dan investasi 18,25%. Apabila keadaan ini dibiarkan maka akan berdampak pada stagnasi dalam penciptaan lapangan kerja yang sangat dibutuhkan dalam rangka pemulihan ekonomi. Penelitian Dampak Pola Pembiayaan Usaha Skala Mikro terhadap Kinerja Bank dan Nasabah pada tahun 2003 menyimpulkan bahwa pemberian
kredit
oleh
perbankan
kepada
Usaha
Mikro
belum
dapat
mempengaruhi Usaha Mikro dalam hal penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan hasil survey perbankan diperoleh informasi bahwa kendala utama yang dihadapi UMK untuk dapat akses terhadap kredit perbankan disebabkan perbankan memperhatikan beberapa aspek yang dijadikan dasar untuk persetujuan kredit yakni (1) lamanya perusahaan menjadi nasabah bank, (2) kinerja perusahaan, dan (3) kemampuan menyediakan jaminan. Ditinjau dari kinerja perusahaan, terdapat keengganan dari bank menyalurkan kredit kepada usaha kecil walaupun memiliki kualitas kredit yang lebih baik dibandingkan usaha menengah dan besar. Bank memandang bahwa administratif terhadap usaha kecil sangat rumit dan memerlukan biaya tinggi, sementara dari sisi nasabah terdapat beberapa faktor yang dipandang menghambat penyaluran kredit yakni suku bunga yang terlalu tinggi dan persyaratan untuk mengajukan kredit terlalu berat dan rumit. Hal di atas sejalan dengan yang dinyatakan oleh Rudjito (2004) bahwa lembaga keuangan formal menghadapi hambatan hambatan dalam melayani golongan Destitute. Extremely poor, dan Miskin Moderat karena : a.
Kendala geografis, menyebabkan perbankan sangat sulit untuk menjangkau pengusaha kecil karena tempat usaha dan tempat tinggal terpencil dan terbesar.
b.
Kendala ekonomi, yaitu usaha yang dikelola berskala kecil dan terisolir sehingga biaya transaksi bagi kedua belah pihak (perbankan dan pengusaha kecil) menjadi sangat tinggi.
c.
Kendala hukum/legalitas, dengan adanya regulasi yang mensyaratkan perbankan untuk memperhatikan legalitas usaha calon debitur, maka perbankan mengalami hambatan dalam membiayai pengusaha kecil/sektor informal.
d.
Kendala desain yaitu banyak program-program pengembangan usaha kecil merupakan paket kebijakan pemerintah yang seringkali tidak sesuai dengan kondisi obyektif sektor usaha kecil yang sangat bervariasi berdasarkan lokasi, jenis usaha dan latar belakang sosial budaya setempat.
e.
Kendala inkonsistensi program dimana seringakali pelaksanaan kredit program berubah-ubah bahkan dihentikan yang mengakibatkan bank harus menyususn kembali sistem dan prosedur baru padahal bank telah melakukan investasi infrastruktur dan sumber daya manusia yang cukup besar sehingga menambah biaya operasional bank.
f.
Kendala koordinasi yaitu lemahnya koordinasi inter departemen teknis atau pihak-pihak yang terkait. Untuk meningkatkan harkat dan kesejahteraan masyarakat melarat dan
sangat miskin (extremely poor), dapat dilakukan dengan cara pemberian subsidi pemerintah antara lain dalam bentuk bantuan sandang, pangan dan papan. Dengan demikian keberadaan mereka dapat dinaikkan kelasnya menjadi masyarakat yang Economically Active Poor. Sebagai contoh dapat disebutkan Program Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil atau P4K yang menggunakan pendekatan kepada kelompok petani dan nelayan kecil. Kredit P4K bukanlah suatu proyek program tetapi betul-betul merupakan kredit komersil yang ditujukan untuk mendidik dan meningkatkan penghasilan anggota kelompok. Selanjutnya untuk menjadikan masyarakat ini bankable, perlu diberikan bantuan teknis (teknis produksi, teknik usaha, pendidikan dan latihan,
pembinaan organisasi dan manajemen) agar layak mendapat bantuan modal/kredit perbankan. Bantuan teknis untuk pengusaha mikro ini dapat diperoleh melalui KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank) yang akhir-akhir ini dikembangkan atas kerjasama Sekretaris Komite Pengentasan Kemiskinan dengan Bank Indonesia. Pola pembiayaan semacam P4K inilah yang dapat dikembangkan menjadi pola pembiayaan berskala lebih besar guna menciptakan semacam kelompok-kelompok bisnis UMK yang akan meningkatkan kapasitas pembiayaannya. IV.
Upaya Pemulihan Fungsi Intermediasi Perbankan Suatu pendekatan yang tepat apabila bank umum melakukan pendekatan
kepada BPR melalui berbagai sarana, antara lain melalui linkage program karena keragaan pelayanan BPR kepada UMK memperlihatkan kondisi yang menggembirakan dari berbagai sisi. Berdasarkan data dari Perbarindo (Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia) dikemukakan bahwa perkembangan kredit dari sekitar 2200 BPR mencapai 26,3% per tahun pada periode 1998-2003 dengan LDR yang tinggi yakni sebesar 79% pada tahun 2003. BPR mampu berkembang dengan baik selama masa krisis karena bank umum pada saat tersebut tidak memberikan kredit, sementara banyak bisnis UMK yang tidak terpengaruh oleh krisis tetap membutuhkan kredit dan mengalihkan permohonan kreditnya dari bank umum ke BPR. Proses kredit di BPR sangat sederhana dan sehingga cukup menarik bagi UMK, walaupun bunga BPR lebih tinggi dari bunga komersial bank umum. Pada pertemuan tahunan perbankan 2004, Gubernur Bank Indonesia mengungkapkan bahwa guna mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan bagi pengembangan sektor riil, maka salah satu yang dianggap paling penting adalah memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Hal ini sangat strategis karena lebih dari 95% unit usaha di Indonesia tergolong ke dalam UMKM sehingga upaya memberdayakan sektor ini berarti juga memberdayakan sebagian besar masyarakat.
Masalah intermediasi perbankan merupakan masalah yang sering dilontakan oleh berbagai pihak khususnya pandangan yang berasal dari sektor riil. Perbankan sebenarnya terus mengalirkan kredit dari tahun ke tahun sehingga sebenarnya telah menjalankan fungsi intermediasi. Namun yang menjadi masalah adalah intermediasi perbankan tersebut berjalan agak lamban sehingga Loan–to-Deposit Ratio hanya bergerak tipis dari 38,2% pada tahun 2002 menjadi 42% pada tahun 2003 jauh lebih kecil dari BPR. Rendahnya penyaluran kredit baru perbankan pada tahun 2003 menandakan suatu angka yang belum optimal, mengingat pada tahun 2002 kredit baru yang disalurkan perbankan telah mencapai Rp 79,4 Triliun. Kenyataan tersebut tampaknya memperlihatkan keadaan yang cukup memberatkan bagi perbankan untuk dapat menyalurkan kredit baru sebesar Rp 90,5 Triliun sesuai dengan rencana mereka yang telah tertuang dalam Business Plan 2003. Dengan demikian maka menjadi sangat penting bagi bank umum untuk menciptakan suatu terobosan dalam pembiayaan kepada UMK selain dari pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan saat ini seperti melalui linkage program dengan BPR. Bank Umum harus lebih memahami bagaimana menjangkau UMK yang memiliki berbagai permasalahan seperti 1) adanya sistem sertifikasi tanah yang masih belum menunjang dan tidak bisa menggerakkan subordinate mortgages, (2) perlunya pengalaman dalam menganalisa permohonan kredit dari UMK, (3) memahami bagaimana mengatasi transactional cost yang meningkat sejalan dengan mengecilnya nilai pinjaman. Penelitian menunjukkan bahwa
untuk di atas Rp 500 Ribu biaya transaksi
sebesar 26%, sementara untuk Rp 500 Ribu – Rp 5 Juta sebesar 10% dan untuk di atas Rp 5 juta – Rp 25 juta sebesar 3%, (4) adanya keterbatasan kemampuan dari bank untuk memonitor pinjaman yang telah diberikan, (5) kapabilitas pengelolaan usaha oleh UMK yang rendah, (6) suku bunga yang masih tinggi untuk penggunaan investasi, serta (7) tidak cukup dana yang dipasok dari pasar modal. 4.1
Peningkatan LDR dan The Community Reinvestment Act
Untuk meningkatkan peran intermediasi sektor perbankan pemerintah Amerika Serikat mewajibkan bank di suatu negara bagian untuk menyalurkan kredit kepada debitur di negara bagian tersebut, sebesar presentasi tertentu dari jumlah dana pihak ketiga. Ketentuan ini diatur dalam The Community Reinvestment Act (CRA) yang pertama kali diberlakukan pada tahun 1977 (12 USC 2901) dan kemudian direvisi pada tahun 1995. CRA bertujuan untuk mendorong depository institution membantu mempertemukan kebutuhan kredit di wilayahnya termasuk daerah sekitar yang berpenghasilan rendah dan menengah dengan tetap memperhatikan prinsip operasional perbankan yang aman dan sehat (prudential regulation). Jenis pembiayaan yang diatur dalam ketentuan CRA meliputi (i) pembiayaan komersial (commercial loan) (ii) pembiayaan pembelian atau perbaikan rumah (home mortgage loan) dan (iii) pembiayaan untuk usaha kecil dan pertanian berskala kecil (small business and small farm loan). Namun demikian, kebijakan memaksa tersebut bukan tanpa risiko. Pemaksaan LDR minimum misalnya dapat menyebabkan moral hazard karena bank akan terdorong untuk memberikan kredit dengan assessment yang kurang memperhatikan
prinsip
kehati-hatian
sehingga
dikhawatirkan
terulangnya
pengalaman masa lalu dimana terjadi peningkatan kredit bermasalah atau bahkan kredit macet yang pada gilirannya menghancurkan perbankan itu sendiri. Dengan risiko demikian itu tentunya perlu dicari alternatif kebijakan yang lebih market friendly yaitu kebijakan yang mendorong bank menyalurkan kredit dan juga membantu bank mengurangi risiko yang dihadapi dalam penyaluran kreditkredit tersebut. Pendekatan yang dilakukan untuk membantu Usaha Mikro dan Kecil dapat dijadikan gagasan untuk mendorong percepatan pemulihan fungsi intermediasi perbankan. Untuk membantu pengembangan usaha kecil dibentuk PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) yang menawarkan skim asuransi dan penjaminan. Alasan pembentukan PT. Asuransi Kredit Indonesia adalah untuk menjaga kepercayaan pada industri kecil yang sangat penting bagi pertumbuhan
ekonomi dan juga untuk mewujudkan kesetaraan sosial. Dengan alasan itu maka pemberian jaminan bagi Usaha Mikro dan Kecil
merupakan suatu
pendekatan yang adil dan tepat untuk menciptakan kondisi dimana bank dapat beroperasi secara konsisten dan dipercaya sehingga mampu
menyediakan
kredit dalam jumlah cukup untuk kesehatan perekonomian. Dalam bentuk yang lain Pemerintah pernah mengeluarkan ketentuan yang mengatur pemberian jaminan dalam rangka mendorong sektor riil. Ketentuan tersebut berupa Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indnesia tentang Program Penjaminan Eskpor Dalam Rangka Penggerakan Sektor Riil. Program ini ditujukan untuk menggerakkan sektor ekspor, memberdayakan eksportir dalam melancarkan kegiatan usahanya dalam rangka mempercepat pemulihan kegiatan sektor riil dan meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional.11 Sedangkan objek yang dijamin adalah kredit modal kerja dalam rangka ekspor, L/C impor barang yang penggunaannya untuk keperluan ekspor. Program penjamin pemerintah ini tetap mewajibkan bank melakukan analisis keyakinan bank terhadap nasabah yang akan menikmati fasilitas penjaminan yang antara lain meliputi analisis persyaratan proyek dan analisis persyaratan
eksportir.
Dengan
kewajiban
ini
maka
bank-bank
tetap
mempraktekkan prudential banking meski sudah dijamin oleh pemerintah. Program ini dihentikan oleh pemerintah pada 20 Mei 2002 dengan pertimbangan sudah semakin membaiknya perekonomian nasional. Pendekatan yang dilakukan Pemerintah Amerika Serikat dengan CRA-nya juga dijadikan bahan kajian. Untuk memantau pelaksanaan CRA seluruh perbankan diwajibkan menyampaikan data dan laporan yang berkaitan dengan aktifitas pembiayaan, investasi dan jasa pelayanan yang diberikan bank dalam mendukung pembangunan wilayahnya. Data dan laporan ini untuk selanjutnya dievaluasi oleh lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengawasan bank sesuai dengan wilayah kewenangan pengawasannya. Berdasarkan hasil
11 Pasal 1 Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Gubernur Bank Indonesia, No.Kep.046/KM.17/1999.
evaluasi, diberikan rating penilaian terhadap bank yaitu outstanding, satisfactory, needs to improve dan substantial noncompliance yang merupakan refleksi dari data bank dalam membantu mempertemukan kebutuhan kredit di wilayah kerjanya termasuk wilayah sekitarnya yang berpenghasilan rendah dan menengah. Hasil penilaian/evaluasi tersebut berpengaruh pada performance bank, yaitu pada pemberian ijin pembukaan cabang baru bank atau perluasan bank melalui merger dan akuisisi. Dalam hal ini, bank tidak diijinkan untuk membuka cabang baru atau melakukan merger dan akuisisi apabila evaluasi atas pelaksanaan ketentuan CRA dinilai jelek (needs to improve atau substantial noncompliance). Dalam mengimplementasikan CRA dibentuk suatu lembaga yang secara konsisten memasyarakatkan aturan CRA yaitu The Consumer Compliance Task Force of the Federal Financial Institution Examination Council (FFEIC). Lembaga ini bertugas membantu memfasilitasi lembaga penyimpanan dengan masyarakat yang membutuhkan pembiayaan (debitur) dengan cara menerbitkan secara berkala informasi-informasi berkenaan dengan pertanyaan masyarakat tentang CRA, prosedur pelaksanaan dan memberikan panduan keseragaman pelaporan data. VI.
Fungsi Jaminan Kredit Bagi Dunia Usaha Alasan operasional perlunya
jaminan dalam pemberian kredit adalah
sulitnya menerapkan prinsip 5 C dalam analisis pemberian kredit sebagaimana yang disyaratkan oleh Undang-Undang Tentang Perbankan, terlebih lagi pemberian kredit bagi UKM. Prinsip 5C dalam pemberian kredit telah digunakan selama
bertahun-tahun
dan
kenyataannya
dipergunakan. Prinsip ini meliputi 5 asas, yaitu: •
Character (watak);
•
Capacity (Kemampuan);
•
Capital (Modal);
•
Conditions (Kondisi Perekonomian); and
pada
saat
ini
masih
terus
•
Collateral (Jaminan). Karakter adalah faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan jika
ingin memberikan kredit. Apabila debitur adalah seseorang yang dikenal tidak jujur, curang, ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil
tanpa
perlu memperhatikan faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan selalu mencari jalan untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence
menjalankan bisnis tidak diragukan lagi akan menjalankan
bisnisnya dengan buruk, dan hasilnya kredit akan mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak ingin membayar kembali mencari jalan untuk karakter debitur harus
kreditnya, kemungkinan ia akan
menghindari membayar kembali. Untuk itu, penilaian ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk
mendapatkan pinjaman. Dalam menentukan karakter, debitur harus mampu menunjukkan kepada bank
bahwa ia adalah orang yang jujur dan dapat diandalkan. Untuk itu
dibutuhkan track record dari yang bersangkutan. Tentu saja untuk melakukan hal ini sangat sulit. Di Australia informasi semacam itu dapat diperoleh dari Credit Bureau (biro kredit), seperti Credit Reference Association of Australia, Ltd. (“CRAA”). Di Indonesia informasi tersebut dapat diperoleh melalui Sistem Informasi Debitur (dahulu dikenal dengan Sistem Informasi Kredit) yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Sistem ini meskipun sudah dirasakan manfaatnya oleh perbankan, namun karena tidak adanya sistem “kenal diri” yang berlaku nasional sehingga seorang dapat memiliki identitas diri lebih dari satu informasi itu seringkali tidak akurat. CRAA mengelola database yang berisi
data kredit baik perorangan
maupun perusahaan yang ada di Australia, yang memuat berbagai informasi dari kredit yang telah diajukan, pembayaran yang telat dan juga putusan pengadilan yang berhubungan dengan kredit macet. Lembaga keuangan yang menjadi anggota CRAA berhak untuk mendapatkan informasi tentang si peminjam, dan sebagai imbalannya, mereka harus menyediakan informasi dari pinjaman yang akan diajukan.
Sedangkan modal (capital) berhubungan dengan kekuatan keuangan dari si peminjam. Ada beberapa cara untuk menentukan apakah modal seseorang itu memuaskan. Langkah pertama adalah mendapatkan laporan asset dan passiva dari si peminjam dan harus dipastikan data tersebut akurat. Beberapa lembaga pinjaman mempunyai aturan-aturan pinjaman yang
memuat batas ratio
maksimal asset dan passiva. Conditions, dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur untuk mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun kontrak yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga. Bank berhak mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu bank menilai resiko dari pinjaman, tipe dari produk pinjaman dan
keamanan apa yang
diperlukan. Bank tidak memberikan kredit untuk tujuan yang illegal misalnya memberikan kredit untuk tujuan yang dapat membahayakan lingkungan.12 Kesulitan bank dalam melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C sebagaimana dikemukakan di atas dapat diatasi dengan adanya skim penjaminan atau skim asuransi kredit. Dengan adanya skim tersebut maka bank lebih mudah menilai risiko kredit yang diberikannya.
6.1
Bentuk-Bentuk Jaminan Kredit Skim penjaminan apabila ditelaah berdasarkan hukum perdata memiliki
persamaan dengan perjanjian pertanggungan. Pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri, untuk memenuhi perikatan debitur manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.13 Perjanjian penanggungan adalah perjanjian accessoir dimana penanggungan boleh diadakan hanya sebagian saja dari utangnya atau dengan syarat-syarat yang kurang. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa pihak ketiga tersebut adalah penjamin, si berutang adalah nasabah dan pihak terhadap siapa prestasi harus diberikan adalah bank. 12 13
PM Weaver & CD Kingsley, Banking & Lending Practice, (Sydney: Lawbook Co., 2001), hal. 97104. Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung:: Alumni, 1994), hal.101.
Skim asuransi bila disimak dari apa yang dirumuskan sebagai asuransi oleh Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung,
dengan
menerima
premi,
untuk
memberikan
penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian merumuskan asuransi atau pertanggungan sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tersebut lebih luas jika dibandingkan dengan rumusan Pasal 246 KUHD karena mencakup juga asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Pihak-pihak yang menjadi subjek dalam asuransi adalah penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian asuransi. Penanggung dan tertanggung adalah pendukung hak dan kewajiban. Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak
memperoleh
pembayaran
premi,
sedangkan
tertanggung
wajib
membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan.14 Adanya dua perbedaan mendasar antara asuransi dan penjaminan yaitu, Pertama, subjek yang menjadi para pihak. Dalam penjaminan ada tiga pihak yang menjadi subjek yaitu penanggung, debitur sebagai pihak tertanggung dan bank sebagai pihak yang menerima manfaat penanggungan.. Kedua, kewajiban membayar premi dan menerima penggantian kerugian. Dalam asuransi yang wajib membayar premi adalah pihak yang berhak memperoleh penggantian jika 14
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal.8.
timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan. Sedangkan dalam penjaminan, premi dibayar oleh nasabah, sedangkan yang berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian adalah bank. Dalam kaitannya dengan skim penjaminan, lembaga penjamin sebagai penanggung harus melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dulu disita dan dijual.15 Apabila hak istimewa tersebut tidak dilepaskan maka skim penjaminan tersebut tidak akan berjalan. Lembaga jaminan atau yang sehari-hari disebut jaminan ditemukan Pasal 1131 KUH Perdata, namun tidak dijelaskan apa yang didefinisikan sebagai jaminan. Pasal 1131 KUH Perdata merupakan konsep jaminan yang bersifat umum (jaminan umum) di mana harta debitur menjadi pelunasan hutang kepada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur tidak perlu membuat perjanjian jaminan karena perikatannya telah diatur oleh undang-undang. Para kreditur tidak diutamakan atau konkuren semuanya secara bersama-sama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang.16 Disamping jaminan umum terdapat pula jaminan khusus, di mana pada jaminan ini pihak debitur memperjanjikan kepada kreditur atas suatu barang atau hak tertentu yang khusus diperuntukkan sebagai jaminan hutang debitur. Jaminan
khusus
memberikan
kedudukan
mendahului
(preferen)
bagi
pemegangnya. Lembaga jaminan khusus yang dikenal di Indonesia ada 2 kelompok, yaitu: 1.
Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undangundang lainnya, dengan bentuk, yiatu: a. Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan oleh debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut dengan mendahulukan kreditur dari kreditur lain.
15 16
Mariam Darus, Op.cit, hal.102 Prof. Sri Sudewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, cet.1 (Yogyakarta: Liberty, 1980). Hal. 45
b. Hak tanggungan; UU No.4/1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu ketentuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditu lain. c. Fiducia, UU No.42/1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama terhadap kreditur lain. 2.
Jaminan perorangan dan garansi, diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam bentuk: a. Penanggungan hutang (Borgtoght) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang tersebut tidak memenuhinya. b. Perjanjian Garansi/indemnity (Surety Ship) Pasal 1316 KUH Perdata, yang berbunyi meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung
atau
menjamin
seorang
pihak
ketiga,
dengan
menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya. Kedua bentuk jaminan di atas mempunyai karekteristik berbeda. Pada jaminan kebendaan kreditur penerima jaminan mempunyai hak-hak khusus terhadap suatu benda tertentu yang dijadikan sebagai objek jaminan di tangan siapapun benda itu berada. Sedangkan pemegang jaminan perorangan tidak mempunyai hak khusus seperti jaminan kebendaan, yang terjadi hanyalah kesepakatan penjamin dengan kreditur bahwa ia mengikatkan diri dan menjamin
dengan kekayaannya yang dimiliki untuk memenuhi kewajiban debitur pada saatnya nanti dengan syarat-syarat tertentu.17 Praktek penjaminan sudah sejak lama dilakukan oleh lembaga keuangan khususnya bank, dalam bentuk bank garansi. Sedangkan dalam dunia asuransi penjaminan dilakukan dalam bentuk surety bond merupakan suatu bentuk penjaminan yang relatif baru di Indonesia. Bisnis surety bond di Indonesia mulai diperkenalkan sejak tahun 1980 atas kebijakan pemerintah dengan tujuan untuk membantu para pengusaha ekonomi lemah untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Untuk itu pemerintah mengeluarkan Keppres No. 14A/80 tahun 1980 tentang pelaksanaan APBN/APBD dan bantuan luar negeri. Berdasarkan Keppres tersebut dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 271/KMK.011/1980 Tentang Pemberian Ijin Bagi Bank-bank dan Lembaga Keuangan Non Bank untuk dapat Menerbitkan Jaminan. Dalam pelaksanaannya pemerintah menetapkan pemberian ijin kepada lembaga keuangan non bank untuk menerbitkan surety bond sebagai alternatif bank garansi, yang ditunjuk pada waktu itu adalah PT. Asuransi Jasa Raharja (Persero). Secara teori dan praktek terdapat kemiripan antara bank garansi dan garansi asuransi dalam bentuk surety bond yang pada intinya bahwa baik bank atau asuransi menjamin untuk memenuhi kewajiban apabila yang dijamin di kemudian hari ternyata tidak memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga sebagaimana telah diperjanjikan. Bank garansi sudah lebih dahulu dikenal sebagai lembaga penjaminan atas hutang atau kewajiban debitur kepada pihak ketiga, dimana tentunya prinsip-prinsip perbankan dan kehati-hatian diterapkan dalam menganalisa permohonan bank garansi oleh debitur. Melihat potensi pasar yang cukup menggiurkan itulah perusahaan asuransi kerugian meluncurkan produk penjaminan yang mirip bank garansi yang lebih dikenal dengan surety bond, yang merupakan produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi sebagai upaya pengambilalihan resiko
17
Asrus Sani., “Tinjauan Hukum Mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan Jaminan Perusahaan”, Hukum dan Pembangunan No.5 tahun XXIII, (Oktober 1993), hal.428.
kerugian yang mungkin dialami debitur yang umumnya sebagai kontraktor yang diberikan kepercayaan oleh pemilik proyek dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan (obligee/kreditur) sebagai konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin (principal/debitur) tersebut. Dasar hukum antara surety bond dan bank garansi terdapat
perbedaan.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifat alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan penerbitannya tidak lepas dari prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan permohonan surety bond terhadap perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang diajukan untuk penerbitan bank garansi. Perbedaan pokok surety bond dan bank garansi. Pertama, lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety bond oleh lembaga asuransi. Oleh karena itu, teknis penerbitannya
mengikuti ketentuan yang
berlaku bagi lembaga tersebut yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi. Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral). Sedang asuransi mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko disebar diantara penanggung uang (reasuransi). Kedua, bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang penanggungan hutang/borgtoch sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya pasal 1831 dimana bank dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk pelunasan kewajibannya. Sedangkan surety bond adalah perjanjian indemnitas dan diatur dalam pasal 1316 KUH Perdata di mana kedudukan lembaga asuransi sebagai penjamin dan prinsipal adalah setara dan mengganti secara tanggung renteng. Ketiga, garansi yang diterbitkan bank mempunyai jangka waktu terbatas dalam arti tidak dapat diperpanjang secara otomatis. Apabila setelah dikaji ternyata nasabah tidak layak diberi jaminan atau posisi penjamin tidak memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan yang sudah jatuh tempo maka bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang jaminan dimaksud. Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka waktu surety bond mengikuti kontrak
pembayaran yang dibuat prinsipal/obligee. Dengan demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan kontrak surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak pembayaran. Keempat, dalam surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian
kontrak
pelaksanaan
proyek
dimana
dalam
hal
principal/kontraktor gagal maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang pemutusan hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus diperhitungkan dengan pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak surety dalam hal ini asuransi membayar hanya sebesar kerugian yang sungguh, sungguh diderita obligee. Berbeda halnya dengan bank garansi yang bersifat tanpa syarat (unconditional) dimana apabila principal telah gagal/lalai memenuhi kewajibannya maka obligee secara sepihak dan mutlak dapat melakukan pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan prinsipal sama sekali tidak diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara penuh. VIII.
Penutup Upaya mendorong penyaluran kredit perbankan kepada Usaha Mikro dan
Kecil masih menghadapi kendala. Pemerintah, perbankan dan pihak terkait perlu melakukan sinergi agar hambatan di dalam penyaluran kredit dapat diatasi. Usaha Mikro dan Kecil berperan penting dalam perekonomian nasional. Disamping itu, Usaha Mikro dan Kecil telah terbukti mampu bertahan dalam menghadapi krisis keuangan yang cukup parah dalam tahun 1997-1998. Kalangan perbankan perlu mendesak pemerintah untuk membentuk lembaga penjamin kredit perbankan bagi para pengusaha berskala mikro dan kecil. Alasannya selama ini perbankan kesulitan untuk mengucurkan kredit karena proposal Usaha Mikro dan Kecil dinilai tidak cukup layak sehingga sulit dikabulkan. Bankir mengaku sangat kesulitan dalam melakukan analisa kemampuan para pengusaha berskala mikro karena sebagian besar dari mereka tidak menerapkan manajemen usaha yang tertib. Kondisi para pengusaha mikro
semacam itu sangat menyulitkan perbankan dalam melakukan analisa keuangan. Terutama ketika hendak mengabulkan permohonan kredit usaha. Oleh karena itu, diharapkan agar pemerintah mendirikan infrastruktur pendukung berupa lembaga penjamin kredit guna memayungi keberadaan para pengusaha berskala mikro dan kecil yang jumlahnya sangat besar. Melihat harapan industri perbankan dan kondisi belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan, peran PT. Askrindo sangat strategis. Askrindo dapat berperan sebagai pendamping dan penjamin tidak saja bagi pengusaha mikro dan kecil dalam berhubungan dengan perbankan tetapi juga bagi dunia usaha yang ingin berhubungan dengan bank. Dengan demikian maka upaya mendorong pertumbuhan dunia usaha dan sekaligus mendorong fungsi intermediasi perbankan dapat dilakukan secara efektif.
BAB III PENUTUP A.
Kesimpulan Dari beberapa makalah yang dibuat para pakar hukum dan pakar ekonomi di atas, serta diskusi yang diadakan sebanyak 3 (tiga) kali dapat dihimpun beberapa kesimpulan dan rekomendasi untuk ditindak lanjuti, sebagai berikut : 1. Gambaran ekonomi makro secara umum sampai dengan kuartal 1 tahun 2005 cukup bagus, namun kestabilan ekonomi makro mulai tergoncang memasuki semester 2 tahun 2005. Demikian juga laju pertumbuhan
ekonomi
mulai
menurun,
bahkan
sudah
mulai
merambah ke sektor riil, yang jika tidak segera dapat diatasi dapat membawa
kerusakan
yang
lebih
serius
pada
perekonomian
Indonesia. Sedangkan peranan anggaran negara juga sangat penting untuk mengatasi masalah ekonomi, terutama masalah pengangguran yang masih tinggi dan juga masalah kemiskinan yang masih besar. Namun sampai saat ini masih belum mampu memberikan tingkat kesejahteraan yang tinggi pada masyarakat. 2. Sebab-sebab terjadinya kegoncangan dalam ekonomi nasional kita adalah antara lain:
a.
Tidak
diperhatikannya
dan
diremehkannya
aspek-aspek
Hukum dalam proses pembangunan selama 60 tahun terakhir. b.
Kurang diperhatikannya upaya pemberdayaan masyarakat tradisional, dengan sedikitnya sekolah-sekolah pertukangan, dan bahkan ditutupnya sekolah-sekolah kepandaian putri.
c.
Karena pengusaha modal asing dan pengusaha bermodal besar terlalu banyak diberi kebebasan, yang bahkan masih diberi fasilitas keringanan pajak, dan lain-lain.
d.
Karena
pengawasan
dan
campur
tangan
organisasi
internasional, seperti WTO, Bank Dunia, IMF, dll terlalu banyak dan langsung di dalam penentuan kebijaksanaan ekonomi maupun Hukum Nasional kita. e.
Karena
anggaran
untuk
pembangunan
Hukum
selama
berpuluh tahun itu sangat terlalu kecil dibandingkan dengan Anggaran Belanja Negara untuk bidang Politik, Sosial, apalagi untuk bidang Ekonomi. Hal-hal tersebut di atas dan masih banyak lagi, yang sudah disebut dalam makalah di atas menyebabkan mengapa pembangunan Hukum sangat tertinggal dengan lain-lain bidang pembangunan Nasional dan karena itu perlu dipacu dan ditunjang dengan perhatian dan anggaran yang sangat besar, jika benar-benar kita mencapai masyarakat yang teratur, sopan dan sejahtera. 3. Amburadulnya pembangunan ekonomi kita selama ini adalah:
a.
Karena hukum sejak tahun 1950-an hanya dipandang sebagai instrumen untuk melegalisasi atau mensahkan kebijaksanaan, kepentingan (politik, ekonomi dan perusahaan asing) melalui peraturan perundang-undangan atau surat keputusan pejabat pemerintah (dari Presiden sampai kepada Direktur Jenderal Departemen atau Kementerian).
b.
Sikap menyampingkan asas dan peraturan hukum yang mestinya diperhatikan, mengakibatkan terwujudnya: 1). Suatu sistem ekonomi yang penuh dengan kolusi, korupsi dan
nepotisme,
yang
berfilsafahkan
”tujuan
menghalalkan segala cara”, baik di bidang politik, sosial, ekonomi maupun hukum. 2).
Suatu sistem amburadul,
hukum yang juga tidak konsisten,
dan
menghasilkan
sistem
penegakan
hukum dan peradilan, yang juga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. 3).
Suatu sistem birokrasi yang juga penuh dengan perbuatan-perbuatan melawan hukum, KKN dan jual administrasi,
demi kepuasan
hati dan kepuasan
kantong atasan/penguasa. Oleh sebab itu, kini hampir 10 tahun setelah penggulingan Presiden Soeharto di tahun 1997 tampak jelas, bahwa titik-titik rawan dalam menuju Negara Hukum dan Negara Sejahtera itu, justru terdapat
dalam sistem politik, sistem ekonomi, sistem hukum termasuk peradilan maupun sistem birokrasi itu sendiri, yang nota bene seharusnya justru menegakkan asas-asas umum pemerintahan yang benar (good governance) itu. Oleh sebab itu, mau tidak mau, perlu diadakan reformasi atau pembahasan yang sesuai dengan good governance itu, terlebih dahulu, baik dalam kebijaksanaan, organisasi maupun prosedur serta pelaku (SDM) sistem ekonomi, sistem politik, sistem hukum dan peradilan dan sistem birokrasi itu. 4. Bahwa arah kebijakan ekonomi kita adalah untuk meningkatkan kualitas dan sekaligus pertumbuhan ekonomi, serta untuk mendorong peranan masyarakat untuk secara aktif dalam kegiatan pembangunan melalui
intervensi
memecahkan pengangguran
regulasi,
masalah dan
dengan
sosial
kemiskinan.
demikian
yang
agar
mendasar
Namun
demikian
mampu terutama untuk
melaksanakan hal tersebut diperlukan reformasi dan perubahan mindset dan cara berfikir pengambil keputusan, birokrasi, penegak dan pembuat hukum serta peradilan, maupun para politisi dan lembaga-lembaga politik, ekonomi dan sosial, dengan meninggalkan asas ”tujuan menghalalkan semua cara” dan melaksanakan asasasas pemerintahan dan hukum yang baik. 5. Dalam krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1999, terbukti bahwa UKM tetap eksis dan tetap bertahan untuk
memberikan kontribusi kelangsungan ekonomi nasional. Meskipun bisa bertahan, namun UKM belum dapat mewujudkan perannya secara maksimal karena terdapat kendala-kendala dari berbagai faktor, baik faktor yuridis maupun non yuridis (termasuk manajemen organisasi), kurangnya tingkat pendidikan dan penggunaan teknologi maupun ilmu ekonomi perusahaan yang modern, dll. 6. Hingga saat ini perbankan masih belum menjalankan kembali fungsi utamanya sebagai intermediasi antara defisit spending unit dan surplus spending unit, meskipun perekonomian Indonesia mulai membaik. Hal ini disebabkan oleh dua factor: a. Perbankan masih melakukan konsolidasi internal dan berupaya memenuhi ketentuan prinsip kehati-hatian (prudential regulation ). b. Masih tingginya risiko dunia usaha baru. Belum lagi kondisi sosial dan politik yang sedang mengalami masa pancaroba
B.
Saran-saran Berdasarkan kesimpulan diatas kami sarankan : 1. Agar untuk Penumbuhan Iklim berusaha yang kondusif bagi UKM diadakan penyempurnaan hukum di bidang ekonomi secara makro
dan mikro, baik dalam bentuk menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan ketentuan yang baru, maupun dengan mengadakan Undang-Undang yang spesifik seperti Penanaman Modal,
Perkreditan,
peraturan
perundang-undangan
yang
memberikan beberapa fasilitas di bidang: •
Pelatihan dan Pendidikan Pertukangan/D4/Politeknik
•
Moneter dan perbankan, misalnya dengan memberi kredit tanpa bunga bagi pembelian alat yang essensiil, dll
•
Keinginan
pajak
dan
Fiskal,
terutama
untuk
10
tahun
produksi/usaha pertama. •
Hakim Perdagangan, khususnya dengan menyusun perangkat Hukum
kontrak,
jual-beli,
sewa-menyewa,
liesing
pengangkutan, impor-ekspor yang sesuai dan berbeda-beda untuk usaha mikro, kecil, menengah dan besar. •
Hukum,
Undang-Undang
dan
putusan
pengadilan
yang
mendukung pengembangan industri kecil/tepat guna di samping industri barang dan jasa yang lebih canggih dan sangat canggih. •
Pengembangan Investasi kecil, menengah, di samping industri besar .
•
Pengembangan iklim yang menghindari/mencegah persaingan yang tidak sehat antara usaha besar, menengah dan kecil.
Penumbuhan kemitraan usaha yang menjamin pengembangan
•
dan tidak memperalat UKM. Pembangunan otonomi daerah, yang sesuai dengan sumber
•
daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia. Peningkatan
•
koordinasi
dan
sinkronisasi
antara
Usaha
Besar/Asing, Usaha Menengah dan UKM dalam rangka pembangunan ekonomi nasional. 2. Untuk mendukung UKM menjadi lebih kuat maka di bidang nonhukum perlu dilakukan : •
Peningkatan
penyuluhan
dan
pendidikan
praktis
penggunaan
teknologi modern, manajemen,
dalam
pemasaran,
accounting, komputerisasi, dsb. •
Peningkatan kualitas penyedia jasa pengembangan bisnis
•
Peningkatan kualitas SDM, terutama tenaga kerja trampil dan professional
•
Pembangunan fasilitas modern di daerah pedesaan (untuk mencegah urbanisasi)
•
Peningkatan penguasaan informasi dan penyebaran informasi
•
Peningkatan kebersihan, termasuk kebersihan produksi dan tempat kerja/pabrik serta pembuangan/pengolahan sampah.
•
Peningkatan penguasaan pasar
•
Pencadangan lokasi usaha
•
Perlindungan dari persaingan tidak sehat
•
Pengembangan usaha daur ulang (recycling), dsb
•
Perluasan
dan
penyebaran
hasil-hasil
penelitian
yang
mendukung pengembangan UKM dan mendorong ekspor hasil-hasil UKM ke luar negeri.
3. Untuk menuju sistem ekonomi nasional yang memberdayakan usaha ekonomi informal serta usaha kecil dan menengah perlu penerapan asas-asas hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang benar (good governance), baik di dalam UUD, UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, serta surat keputusan dan perilaku pejabat negara dan pemerintah, maupun dalam putusan-putusan hakim dan perilaku instansi-instansi yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat (khususnya petani, nelayan dan pengusaha/produsen mikro dan kecil). 4. Pemerintah
perlu
melakukan
pengkajian
terhadap
peraturan
perundang-undangan Hukum Ekonomi dan Hukum Bisnis bidang UKM yang ada dan yang tidak sesuai lagi dengan saat ini. Di samping itu pemerintah perlu pula mempersiapkan kebijaksanaan hokum dan peraturan perundang-undangan yang baru, yang mengatur dan lebih mengarah kepada pengembangan UKM dalam menghadapi sistem ekonomi pasar dan global di abad 21 ini. 5. Indonesia masih perlu melanjutkan reformasi ekonomi yang sampai saat ini belum tuntas, agar supaya dapat meletakkan sendi-sendi
ekonomi nasional yang kokoh dan efisien dalam era globalisasi yang menuntut hokum modern sebagai salah satu fundamentalnya, Seperti: a. Perlu usaha-usaha yang serius (khususnya) agar supaya dapat meningkatkan produktivitas nasional kita. b. Semua infrastruktur baik yang langsung ataupun tidak langsung, baik hardware ataupun software harus dibenahi untuk mendukung peningkatan daya saing internasional. Dengan meningkatnya produktivitas nasional diharapkan akan dapat meningkatkan investasi dan ekspor sehingga dapat menggerakkan ekonomi nasional. 6. Kebijakan ekonomi kedepan perlu diarahkan pada upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan ekspor nonmigas. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui penyederhanaan prosedur dan birokrasi dalam rangka investasi dan perdagangan dari dan ke luar negeri, dengan tetap memperhatikan faktor kehati-hatian terhadap penyalahgunaan hukum oleh pelaku ekonomi asing maupun Indonesia Penyederhanaan prosedur dan birokrasi dalam bidang investasi ini oleh BKPM sebagai leading institution dapat melakukan koordinasi dengan instansi lain terutama dalam rangka pemberian perizinan termasuk izin kerja bagi orang asing. Sedangkan penyederhanaan birokrasi dalam rangka perdagangan barang dari dan ke luar negeri
adalah berupa kemudahan pengurusan dokumen untuk impor bahan dasar produk yang akan di ekspor, serta ekspor produk dalam negeri ke luar negeri. Hal ini akan membantu pelaku bisnis dalam melakukan usahanya. 7.
Dalam rangka menciptakan kepastian hukum Pemerintah perlu melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan, baik antar sektor maupun peraturan perundang-undangan nasional dengan peraturan daerah, mengingat adanya kecendrungan beberapa pemerintahan daerah yang mengeluarkan ketentuan mengenai perpajakan guna menambah pemasukan daerah yang pada dasarnya akan bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat yang berusaha menarik Investasi Asing. Dalam hal ini ketentuan Hukum antar Pusat dan Daerah memang perlu diadakan dan diperhatikan.
8.
Pemerintah harus dapat mengembangkan konsep kemitraan atau partnership dengan pihak swasta, untuk membangun infrastruktur di Indonesia, yaitu konsep kemitraan yang dapat menyeimbangkan antara konsep bisnis, dimana pihak investor akan memperoleh keuntungan dari proyek tersebut, sementara infrastruktur tersebut juga dapat meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat sekitarnya.
9.
Untuk menyusun UU atau Peraturan Perundang-undangan perlu ada kerjasama antara sarjana bidang hukum dengan sarjana bidang ekonomi, karena hanya dengan kerjasama dan saling isi mengisi
secara interdisipliner dari kedua bidang ilmu itulah dapat terwujud Hukum Ekonomi Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia, sinkron, holistik dan sistemik menunjang pemberdayaan pelaku ekonomi kecil/lemah. 10. Karena upaya mendorong penyaluran kredit perbankan kepada UKM hingga
kini
masih
menghadapi
kendala
maka
Pemerintah,
Perbankan dan pihak terkait perlu meningkatkan sinergi agar hambatan di dalam penyaluran kredit terutama kepada golongan usaha mikro dan kecil dapat diatasi. Di samping itu kalangan perbankan perlu mendesak pemerintah untuk membentuk lembaga penjamin kredit perbankan bagi para pengusaha berskala mikro dan kecil, mengingat salama ini perbankan kesulitan untuk mengucurkan kredit karena proposal usaha mikro dan kecil dinilai tidak cukup layak, sehingga sulit dikabulkan, karena sebagian besar dari mereka tidak menerapkan manajemen usaha yang tertib. Dalam rangka ini perlu diadakan lembaga bantuan pelatihan manajemen perusahaan, peningkatan teknologi usaha maupun akunting dan pertanggungjawaban serta penyusunan proposal kredit/pembangunan usaha kepada usaha mikro dan kecil, yang dapat dilakukan oleh bank perkreditan sendiri, dunia pendidikan atau lembaga-lembaga LSM, bahkan juga oleh partai politik. Demikianlah, beberapa kesimpulan dan saran yang dapat kami sampaikan demi peningkatan kinerja dan pendapatan usaha mikro dan kecil bangsa kita,
yang ternyata, bagaimana pun juga merupakan tulang punggung maupun tujuan pembangunan ekonomi nasional kita sendiri. Semoga dapat menjadi perhatian pengambil keputusan politik kami di DPR maupun di kalangan Pemerintah.
Jakarta, 31 Desember 2005
DAFTAR PUSTAKA 1.
Abdullah, B. (2004), Memperkokoh Kestabilan, Meraih Masa Depan; paper dipresentasikan pada Pertemuan Tahunan Perbankan 2004, tanggal 9 Januari 2004 di Bank Indonesia, Jakarta
2.
Agung, J dkk (2001), Credit Crunh di Indonesia Setelah Krisis; Fakta, Penyebab dan Implikasi Kebijakan, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jakarta
3.
Setiadi, E. (2004), Penyaluran Kredit Perbankan kepada Usaha Mikro dan Kecil : Sebuah Dilema dalam Optimalisasi Fungsi Intermediasi Perbankan di Indonesia, paper disusun dalam rangka Sespibi XXVI tahun 2004 di Jakarta
4.
Hadad, M. (2003), Beberapa Catatan Singkat Mengenai Rigiditas Suku Bunga Kredit dan Permasalahan Perbankan Nasional, paper yang disampaikan pada Kongres ISEI di Malang, Jawa Timur, 13-15 Juli 2003.
5.
Pohan, Aulia (2003), Kebijakan Bank Indonesia dalam Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk Mendukung Pemulihan Sektor Riil, paper disampaikan dalam acara “Dialog Dalam Rangka Peresmian Gedung Kadin Kota Bandung”, Bandung
6.
Rudjito dan Djoko Retnadi (2004), Pemberdayaan ekonomi Rakyat Guna Meningkatkan Perekonomian Nasional dalam rangka Pembangunan Nasional, paper disampaikan pada KSA XII Lemhanas 2004, di Jakarta.
7.
Sundari, Siti (2000), Efektivitas Pengaturan Kredit untuk Usaha Kecil, disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam ilmu hukum, Program Pascasarajana Universitas Indonesia, Jakarta, Tahun 2000.
8.
Sitompul, Zulkarnain (2004), Program Penjaminan Kredit: Kendala dan Prospek, Jakarta, Tahun 2004.
9.
Sugiarto, A. (2003), Dilema Penyaluran Kredit Saat Bank Over Likuid, Artikel di Harian Media Indonesia tanggal 3 November 2003.