Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS UNGGAS LOKAL YANG BERKELANJUTAN (Partnership Institutional Business to Support Sustainable Local Poultry Agribusiness) SAPTANA Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. Ahmad Yani No. 70, Bogor
[email protected]
ABSTRACT The development of local poultry agribusiness has a potencial to be one of people’s economic growth and equity sources. This paper aimed to analyze sustainability for local poultry agribusiness on: the concept of institutional business partnership of, the performance and strategy development along with the development perspective of business partnerships. The essence of business partnership is profit risk sharing, which mostly implemented through contract system, especially in the the marketing aspect. Development of partnerships on local poultry agribusiness can be achieved sustainability between some parties through implemented several basic principles such as equality, mutual-trust, transparancy, and accountability. The choices of development strategy on local poultry agribusiness can be carried out through transformation from traditional local poultry business towards agribusiness by industrial oriented. This could be done based on technology innovation and skilled human resources. Further economic transformation will move on to industrial economy that based on information and the creative economy and creative industries which based on local poultry products. Key Words: Business Partnerships, Institutional, Sustainable, Local Poultry Agribusiness ABSTRAK Pengembangan agribisnis unggas lokal memiliki potensi untuk dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan dan pemerataan masyarakat. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis secara berkelanjutan: (1) Konsep kelembagaan pola kemitraan usaha unggas lokal, (2) Kinerja agribisnis usaha unggas lokal, (3) Strategi pengembangan agribisnis unggas lokal, dan (4) Perspektif pengembangan kemitraan usaha unggas lokal. Esensi dari usaha kemitraan adalah adanya saling kontribusi dan manfaat bersama di antara beberapa pihak dan pada umumnya melalui sistem kontrak dalam hal pemasaran. Kemitraan agribisnis unggas lokal yang berkelanjutan dapat terwujud dengan menerapkan beberapa prinsip dasar, diantaranya: kesetaraan, saling percaya, serta transparansi dan akuntabilitas. Pilihan strategi pengembangan agribisnis pada unggas lokal dapat dilakukan melalui transformasi usaha secara tradisional menuju ke arah agribisnis dengan orientasi industri. Hal ini dapat didorong melalui usaha berbasis inovasi teknologi dan sumber daya manusia yang terampil. Strategi transformasi ekonomi berbasis sumberdaya unggas lokal dapat mengarah menuju ekonomi industri berdasarkan informasi, ekonomi kreatif dan industri kreatif. Kata Kunci: Kemitraan Usaha, Kelembagaan, Agribisnis Berkelanjutan, Unggas Lokal
PENDAHULUAN Pengembangan agribisnis unggas lokal dapat berpotensi untuk menjadi sumber pertumbuhan yang disertai pemerataan (growth with equity) bagi masyarakat. Sumber pertumbuhan unggas lokal dari sisi permintaan ditentukan oleh jumlah penduduk, tingkat pendapatan, preferensi konsumen, serta berkembangnya industri kuliner. Sumber
pertumbuhan dari sisi penawaran ditentukan oleh jumlah populasi, tingkat efisiensi dan produktivitas, serta daya saing produk unggas lokal. Pengembangan unggas lokal sangat tergantung akan ketersediaan bahan baku pakan dan harga pakan. Perubahan teknologi, tingkat efisiensi, skala usaha, dan kebijakan pendukung akan mempengaruhi produktivitas usahaternak unggas lokal.
43
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Kondisi unggas lokal di Indonesia belum mencapai tahapan keunggulan kompetitif. Indonesia tergolong net importer untuk produk ternak secara keseluruhan, dimana nilai impor masih lebih besar dari pada nilai ekspornya. Dengan ketergantungan kepada produk ternak dan bahan baku pakan impor untuk unggas komersial, maka sudah saatnya pemerintah dan masyarakat perunggasan Indonesia memberikan perhatian yang lebih baik dalam pengembangan agribisnis unggas lokal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diramalkan akan terus meningkat pada masa lima tahun mendatang, dan pertumbuhan ini akan memacu peningkatan konsumsi produk unggas lokal yang bersifat elastis terhadap pendapatan. Jika usaha unggas lokal dapat dilakukan dengan baik disertai dengan kandungan jiwa wirausaha yang tinggi, serta memiliki budaya industrial maka agribisnis unggas lokal dapat dijadikan basis pengembangan ekonomi rakyat. Beberapa permasalahan utama dalam pengembangan agribisnis unggas lokal cukup kompleks, salah satunya adalah masih lemahnya budaya industrial dan usaha ternak yang masih bersifat tradisional. Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dikaji dalam upaya membangun kelembagaan kemitraan usaha agribisnis unggas lokal secara berkelanjutan sebagaimana yang disajikan dalam makalah ini. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis usaha unggas lokal secara berkelanjutan dalam hal konsepsi kemitraan dan kelembagaan usaha, kinerja agribisnis unggas lokal dan strategi pengembangannya serta perspektif pengembangan kemitraan. TINJAUAN KONSEPTUAL Konsep kemitraan usaha Secara teoritik kemitraan usaha berada pada ranah ilmu ekonomi kelembagaan. Salah satu teori yang sangat relefan untuk membahas kemitraan usaha adalah Agency Theory yang menjelaskan hubungan-hubungan hierarki atau pertukaran hak kepemilikan antar individu atau organisasi (EGGERTSSON, 1990; NUGROHO, 2006). Teori Principal-Agents (P-A) memfokuskan pada kajian bentuk-bentuk
44
kontrak yang optimal, keseimbangan kesejahteraan antar pelaku, pembagian risiko, struktur informasi, serta kinerja ekonomi yang dihasilkan. Teori kemitraan positip (Positive Agency Theory) memberikan penekanan pada pengaruh adanya tambahan aspek pada kontrak, teknologi, pengawasan dan penjaminan kontrak, serta bentuk organisasi yang diperlukan. Principal-Agent Relationship dapat didefinisikan sebagai hubungan di mana satu orang atau lebih sebagai pemberi kepercayaan (principals) mempengaruhi pihak lain sebagai mitra yang menerima kepercayaan (agents) untuk melaksanakan beberapa tugas principals melalui pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada mitra (JENSEN dan MECKLING, 1976; NUGROHO, 2006). Implikasi hubungan (P-A) dalam teori kemitraan adalah: (a) Munculnya biaya transaksi ekonomi (transaction cost economy/TCE), seperti biaya koordinasi, biaya informasi, dan biaya strategi; (b) Masalah ketidaksepadanan informasi (asymetric information) yang terkait dalam hubungan P-A dan (c) Masalah yang menyangkut pemindahan hak kepemilikan (transfer of rights). Dalam AMERICAN HERITAGE DICTIONARY (1992) yang diacu SYAHYUTI (2006), “partnership” adalah “a relationship between individuals or groups that is characterized by mutual cooperation and responsibility, as for the specified goal”. Istilah partnership pertama kali muncul dalam hukum bisnis yang berkaitan dengan suatu kontrak bagi hasil yang adil. Esensi kemitraan usaha adalah adanya pembagian keuntungan dan risiko (profit risk sharing). Kemitraan usaha (contract farming) mulai berkembang di Amerika Serikat, dimana industri perunggasan komersial dunia hampir sebagian besar didominasi oleh model kemitraan usaha, namun belum berkembang untuk industri unggas lokal. Dalam banyak literatur tentang contract farming, sangat didominasi dengan pendekatan ekonomi transaksi (TCE) (WILLIAMSON, 1985; CATELO dan COSTALES, 2009). Dalam pendekatan ekonomi transaksi, basis dari unit analisis adalah “kontrak”. Kontrak merupakan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, dimana akan ada tindakan balasan.
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Kontrak dapat ditegakkan dalam lembaga pengadilan yang eksis dengan syarat adanya ketersediaan informasi yang cukup (DIXIT, 1996). Dalam kebanyakan yurisdiksi, pengadilan bersedia menegakkan kontrak jika pihak-pihak yang melakukan kontrak telah menyepakati empat persyaratan dasar (SHIPPEY, 2004), yakni: 1) Deskripsi barang dalam hal jenis, kuantitas, dan kualitas; 2) Waktu pengiriman; 3) Penetapan harga harus jelas; serta 4) Waktu dan cara pembayaran. BAUMANN (2000) mendefinisikan kontrak sebagai suatu sistem dimana unit perusahaan membeli hasil panen petani atau peternak dan dalam hal pembelian tersebut dituangkan melalui kontrak yang ditetapkan dimuka. KARTASASMITA (1996) mengemukakan bahwa kemitraan usaha, terutama dalam dunia usaha adalah hubungan antar pelaku usaha yang didasarkan pada ikatan usaha yang saling menguntungkan dalam hubungan kerja yang sinergis, yang hasilnya bukanlah suatu zerosum-game, tetapi positive-sum game atau winwin situation. Berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1995 kemitraan usaha adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah/usaha besar yang disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Pola-pola kelembagaan kemitraan usaha EATON dan SHEPHERD (2001) membagi lima model kelembagaan kemitraan usaha. Pertama, centralized model, yaitu model yang terkoordinasi secara vertikal, dimana sponsor membeli produk dari para petani/peternak dan kemudian mengolah, mengemas, dan memasarkan produknya. Kedua, nucleus estate model, variasi dari model terpusat, dimana dalam model ini perusahaan mitra juga memiliki dan mengatur sumberdaya yang biasanya dekat dengan pabrik pengolahan. Ketiga, multipartite model, biasanya melibatkan badan hukum dan perusahaan swasta yang secara bersama berpartisipasi bersama para petani atau peternak. Keempat, informal model, model yang biasanya diaplikasikan terhadap wiraswasta perseorangan yang membuat kontrak produksi informal yang
mudah dengan para petani secara musiman. Kelima intermediary model, model pemberdayaan masyarakat petani atau peternak melalui mediasi lembaga pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat dalam menjalin kemitraan usaha dengan perusahaan (pembeli), fasilitasi dalam penyediaan dana, serta bimbingan dan penyuluhan. Kelembagaan agribisnis berkelanjutan Definisi agribisnis yang lebih luas dikemukakan antara lain oleh DOWNEY dan ERICKSON (1985) yaitu sebagai berikut: “Agribusiness include all those business and management activities performed by firms that provide inputs to the farm sector, produce farm product and or process, transport, finance, handle or market farm products.” PEARCE dan TURNER (1990) mengidentifikasikan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai upaya memaksimumkan manfaat bersih suatu pembangunan ekonomi dengan syarat dapat mempertahankan dan meningkatkan jasa, kualitas dan kuantitas sumber daya alam (peternakan) sepanjang waktu. Dengan demikian agribisnis berkelanjutan pada unggas lokal dapat didefinisikan sebagai agribisnis unggas lokal yang pada waktu mendatang dapat kompetitif, produktif, menguntungkan, mengkonservasi sumber daya unggas lokal, melindungi lingkungan terkait unggas lokal, meningkatkan kesehatan peternak, kualitas pangan berbasis unggas lokal, dan keselamatan konsumennya. Dalam pembangunan agribisnis unggas lokal berkelanjutan harus mampu mendayagunakan sumber daya unggas lokal yang bersifat pulih (renewable) dengan laju yang kurang atau sama dengan laju pemulihan alaminya. KINERJA AGRIBISNIS UNGGAS LOKAL: PELUANG DAN TANTANGAN Kinerja industri pembibitan Salah satu pelaku kunci dalam industri perunggasan termasuk unggas lokal adalah industri pembibitan (breeding farm). Industri pembibitan unggas lokal (ayam kampung/ buras, itik/bebek, dan entok) belum berkembang dan masih dilakukan dalam skala
45
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
rumah tangga dan atau industri skala kecil. Sebagai ilustrasi, pencarian sifat unggul melalui persilangan antara itik Magelang dan itik Tasikmalaya menghasilkan itik Pajajaran dengan sifat jinak dan penampilan yang baik serta produksi telurnya tinggi (TROBOS, 2010). Unggas lokal atau unggas yang tetuanya berasal dari Indonesia adalah ayam lokal/buras, itik lokal/petelur, entok dan puyuh Jepang (HARDJOSWORO dan PRASETYO, 2009). Selanjutnya dikatakan bahwa kelebihan unggas lokal adalah: 1. Memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat tinggi 2. Lebih toleran terhadap penyakit terutama jenis parasit 3. Toleran terhadap kualitas pakan yang berkualitas rendah. Beberapa kekurangan unggas lokal adalah: 1. Komposisi genetiknya menghasilkan produktivitas yang rendah 2. Belum ada jenjang bibit yang jelas 3. Belum berkembangnya sistem pembibitan dan industri pembibitan yang dapat memenuhi permintaan pasar secara kuantitas maupun kualitas. Bibit adalah teknologi inti dalam industri perunggasan, sehingga pengembangan agribisnis unggas lokal sangat tergantung pada kualitas bibit. Industri pakan unggas Pakan merupakan input utama dalam peternakan unggas, pada ayam ras untuk menghasilkan produk daging ayam dan telur maka pangsa biaya pakan mencapai (70 – 80%) dari biaya produksi total. Pakan untuk unggas lokal masih mengandalkan biji-bijian terutama jagung, dedak dan bekatul, serta sisa-sisa limbah makanan rumah tangga. Sebagian peternak maju telah menggunakan kombinasi pakan lokal dan konsentrat buatan pabrik. Kondisi usaha unggas lokal semakin diminati oleh konsumen di Indonesia, sehingga perlu usaha intensifikasi dalam pengusahaannya. Pengembangan industri pakan skala rumah tangga dan skala kecil harus segera diinisiasi dengan sebagian besar menggunakan bahan baku lokal, seperti dedak/bekatul, jagung, singkong, bekicot, keong mas, cacing tanah, serta limbah industri hasil pertanian (penggilingan padi, kelapa sawit, industri tahu).
46
Upaya yang dapat dilakukan adalah: 1. Mengembangkan daerah sentra produksi padi dan jagung 2. Memanfaatkan hasil samping industri dan limbah pertanian 3. Memanfaatkan biji-bijian alternatif seperti sorgum dan jagung 4. Mengembangkan peternakan bekicot, keong mas, dan cacing tanah untuk penyedia protein alternatif untuk unggas lokal 5. Mendorong pengembangan industri pakan jadi (complete feed) skala rumah tangga dan kecil berbahan baku lokal yang terstandarisasi. Kinerja usahaternak unggas lokal Indonesia memiliki kekayaan hayati yang sangat beragam, diantaranya adalah keanekaragaman plasma nutfah unggas lokal. Ayam kampung sering dikenal dengan istilah ayam keluarga (poultry family), ayam belakang rumah (backyard poultry) atau ayam pedesaan (village/rural poultry) (NAIPOSPOS, 2009). Metode produksi ayam kampung relatif mudah dan sederhana. Prinsip dasarnya adalah kandang harus dalam kondisi kering, lantai atau alas tidak basah dan lembab, sirkulasi udara baik, dan dianjurkan menggunakan kandang dengan tipe postal/lantai semen. Kegiatan usahaternak unggas lokal cocok untuk usaha sampingan dan dapat dikembangkan sebagai usaha pokok. Pemberian pakan ayam kampung sebagai usaha sampingan dilakukan pagi dan sore disesuaikan sesuai kebutuhan. Vitamin, obat-obatan, dan vaksinasi juga perlu dilakukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan mencegah penyakit. Untuk usaha pokok perlu kandang yang lebih permanen, usahaternak semi intensif hingga intensif, dan skala usaha yang cukup besar, serta memiliki jaringan pasar yang baik. Analisis usahaternak ayam Kampung super per 300 ekor dan itik Pajajaran per 100 ekor disajikan pada Tabel 1 dan 2. Rekomendasi pemeliharaan usahaternak ayam kampung dianjurkan 300 ekor dan itik 200 ekor per rumah tangga, dengan pertimbangan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Dengan usahaternak skala 300 ekor dan itik 200 ekor akan mencapai skala ekonomi, minimal dari penggunaan penggunaan tenaga kerja keluarga. Disamping
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Tabel 1. Analisis pendapatan usahaternak ayam kampung super per 300 ekor/siklus, 2010 – 2011 Uraian
Analisis biaya dan keuntungan
Jenis biaya
Jumlah fisik
Harga (Rp/unit)
Nilai (Rp)
Pembelian bibit ayam kampung super (ekor)
300
4.200
1.260.000
Pakan 0 – 60 hari (sak)
11
255.000
2.805.000
100.000
150.000
Vitamin dan vaksinasi Jumlah biaya
4.215.000
Penerimaan 266 kg
Penjualan ayam: 0,95kg 280 = 266 kg
21.000
5.558.000
Jumlah
5.558.000
Keuntungan
1.371.000
R/C rasio
1,32
Sumber: http://www.ayamkampungku.com (4 Juni 2012)
itu, pengusahaan 300 ekor ayam dan 200 ekor itik juga berpeluang melakukan kemitraan usaha unggas lokal dengan pedagang, supermarket/hypermarket, dan industri kuliner. Diasumsikan peternak dapat mencapai tingkat mortalitas standar berkisar antara 5 – 10% (20 ekor) mengalami kematian, maka pada saat panen jumlahnya 280 ekor dengan berat rata-rata 0,8 – 1 kg. Harga ayam adalah Rp. 21.000/kg dengan kisaran harga antara Rp 18.000 – Rp. 23.000/kg. Diperkirakan usahaternak ayam kampung super mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 1.371.000/300 ekor/siklus produksi. Efektivitas pengembalian modal dengan R/C rasio ayam kampung super tergolong baik, yaitu 1,32. Artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,32. Itik Pajajaran yang merupakan persilangan itik Magelang dengan karakter (jinak, tenang dengan tingkat stres rendah, produksi telaur stabil) dengan itik Tasikmalaya dengan karakter (penampilan postur tinggi dan besar dengan bobot mencapai lebih 2 kg/ekor) menghasilkan itik dengan sifat unggul. Selama usia produktif (6 – 7 bulan) dari 100 ekor itik Pajajaran untuk petelur yang dipelihara dengan tingkat produksi sebesar (65%) dapat memberikan keuntungan bersih sekitar Rp. 5,5 juta/siklus produksi. Efektivitas pengembalian modal dengan R/C rasio itik Pajajaran tergolong tingi, yaitu 1,38. Artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,38.
Usahaternak itik petelur layak diusahakan dan bisnis ini cukup menjanjikan. Tabel 2. Analisis biaya dan keuntungan usahaternak itik Pajajaran per 100 ekor/siklus produksi, 2010 Uraian
Analisis biaya dan keuntungan (Rp)
Modal usaha Pembelian itik @ Rp. 50.000
5.000.000
Kebutuhan pakan per hari @ Rp.30.000
9.000.000
Perlengkapan kandang (termasuk alat) Jumlah biaya
500.000 14.500.000
Penerimaan Prodksi telur 2000 butir per bulan @ Rp 1000
20.000.000
Keuntungan
5.500.000
R/C Rasio
1,38
Sumber: TROBOS (2010) (diolah)
Rantai pasok usaha ayam kampung dan itik/bebek pedaging Berdasarkan pola yang ada, maka rantai pasok produk ayam kampung dan itik/bebek pedaging dapat dibagi dua, yaitu pola usahaternak mandiri dan pola kemitraan usaha.
47
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Pola mandiri, pada prinsipnya peternak menyediakan seluruh sarana produksi dari modal sendiri dan dapat memasarkan hasil produksi sendiri. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar usaha ayam kampung dan itik/bebek potong di wilayah Pulau Jawa adalah sebagai peternak mandiri. Sulit ditemukan adanya peternak ayam kampung dan bebek potong dengan menggunakan pola kemitraan. Andaikan ada, peternak-peternak yang melakukan kemitraan usaha terbatas pada peternak skala yang cukup besar (di atas 100 – 300 ekor), sedangkan peternak skala kecil umumnya merupakan peternak mandiri. Kemitraan umumnya dilakukan antara peternak dengan pedagang pengepul, super/hypermarket, atau langsung dengan industri pengolahan, pengusaha rumah makan/restoran atau industri kuliner. Gambar 1 menyajikan alur rantai pasok daging unggas lokal (ayam Kampung dan bebek), dimana terdapat dua sumber hasil ternak ayam kampung dan bebek potong, yaitu peternak unggas lokal pola mandiri dan pola kemitraan usaha. Pada pola mandiri, produk di jual kepada pedagang pengumpul, selanjutnya ke pedagang pengumpul, RPA atau pedagang besar (broker), akhirnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pasar dan pengecer di pasar-pasar tradisional. Sementara itu, hasil ternak ayam kampung dan bebek pola
kemitraan dijual ke agen atau supplier, selanjutnya ke RPA (jasa pemotongan), kemudian dijual untuk memasok pasar tradisional, rumah makan/restaurant, dan industri kuliner. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa dalam sistem kemitraan usaha pada peternak skala kecil (100 – 300 ekor) umumnya merupakan kontrak pemasaran hasil dan beberapa hanya berupa ikatan langganan. Pada kemitraan usaha antara peternak skala kecil dengan pedagang pengepul atau agen terdapat ikatan permodalan dan peternak plasma berkewajiban menjual hasil produksinya kepada pedagang pengepul atau agen besar. Disamping itu, terdapat kemitraan antara industri pemasok kuliner retail (industri kuliner besar) yang memasok bahan baku ayam kampung dan bebek bumbu siap saji, minyak goreng, tepung, disertai bumbu sambal kepada industri kuliner retail merek dagang tertentu. Peluang Pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia selama ini masih bertumpu kepada pangan nabati, khususnya beras yang diindikasikan oleh tingginya starchy staple ratio sebesar 63 persen. Adanya gejala - Industri kuliner retail - Restoran/RM besar - Rumah makan kecil
Konsumen rumah tangga
Pedagang besar di pasar-pasar tradisional (broker)
Pedagang pengecer/warung
Pasar modern (super market/hyper market) dan industri kuliner besar
RPU/RPA/TPA
Pedagang pengumpul kecil
Peternak ayam kampung/bebek mandiri
Pengepul/agen besar
Peternakan ayam kampung/bebek kemitraan usaha
Gambar 1. Rantai pasok produk ayam kampung dan bebek dari peternak pola usaha ternak mandiri dan kemitraan usaha
48
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
pergeseran permintaan konsumen dari komoditas bernilai rendah (padi, palawija) ke arah komoditas bernilai ekonomi tinggi (produk hortikultura, peternakan, dan ikan) dalam literatur dinamakan value ladder atau struktur peningkatan nilai tambah pertanian (DARYANTO, 2011). Sesungguhnya masyarakat Indonesia masih mempunyai ruang untuk memperbesar pangsa pasar produk-produk peternakan terutama produk unggas lokal, seperti ayam kampung, itik/bebek dan entok. Diversifikasi konsumsi pangan perlu didorong bukan saja untuk produk-produk pangan lokal (bersifat nostalgia: umbi-umbial lokal) tetapi juga produk-produk pangan hewani yang dapat mempercepat peningkatan indeks pembangunan sumberdaya manusia (human development index) dan pola pangan harapan (PPH) penduduk Indonesia. Tingkat konsumsi protein hewani asal ternak masyarakat Indonesia masih di bawah rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, yaitu sebesar 6 g/kapita/hari. Saat ini pencapaian untuk daging adalah 3,35 g/kap/hari, telur 1,77 g/kapita/hari dan susu 0,6 g/kap/hari, total 5,72 g/kapita/hari. Tingkat konsumsi dalam satu tahun untuk daging adalah 5,13 kg/kapita/tahun, telur 6,78 kg/kapita/tahun, dan susu 3,13 kg/kapita/hari (DITJENNAK, 2010). Peluang produk unggas lokal baik berupa daging unggas maupun telur menunjukkan tren yang terus meningkat terutama untuk negara-negara kelas pendapatan menengah (TAHA, 2003; ILHAM, 2006). Upaya pengembangan produk dan promosi produk berbasis unggas lokal secara sistematis perlu digalakkan terutama melalui pengembangan ekonomi, industri kreatif (industri kuliner) serta pengembangan produk dan promosi produk.
atribut lingkungan (ecolabel attributes) dan atribut kemanusiaan (humanistic attributes), serta aspek animal welfare yang merupakan persyaratan baru. Dari sisi penawaran, peternak unggas lokal dituntut untuk dapat bersaing berkaitan dengan kemampuan merespons atribut produk yang diinginkan oleh konsumen secara cepat dan efisien baik untuk tujuan konsumen pasar tradisional, pasar modern, dan industri kuliner. Artinya peternak harus mampu menghasilkan produk-produk unggas lokal yang memenuhi dimensi jenis, kuantitas, kualitas, kontinuitas, cita rasa, serta atribut yang dinginkan konsumen dengan harga yang bersaing. Permasalahan-permasalahan yang dapat menghambat pengembangan agribinis unggas lokal antara lain adalah: 1. Belum adanya sistem seleksi yang baik terhadap unggas unggul lokal 2. Belum berkembangnya industri pembibitan unggas unggul lokal 3. Pakan masih bertumpu pada limbah konsumsi rumah tangga 4. Kurang tersedianya bahan baku industri pakan perunggasan 5. Belum adanya penataan pengembangan kawasan industri unggas lokal 6. Keterbatasan modal peternak unggas lokal 7. Mewabahnya penyakit menular terutama flu burung (Avian Influenza) 8. Kompetisi penggunaan komoditas pangan seperti jagung, dedak/bekatul, ubikayu dan kedelai untuk ternak dan unggas komersial. STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS UNGGAS LOKAL Strategi kemitraan usaha agribisnis unggas lokal
Tantangan Dari sisi permintaan, harus disadari bahwa permintaan konsumen terhadap produk-produk unggas lokal yang dipersepsikan bernilai ekonomi tinggi oleh konsumen (consumer’s value perception) semakin kompleks. Hal ini menuntut berbagai atribut lengkap dan rinci, mencakup atribut keamanan produk (safety attributes), atribut nutrisi (nutritional attributes), atribut nilai (value attributes), atribut pengepakan (package attributes),
Sumber pertumbuhan produktivitas dapat berasal dari adanya perubahan teknologi (tehnical change-TC) dan efisiensi teknis (tehnical efficiency-TE), dan skala usaha (economic of scale). Pada kelompok komoditas unggas lokal sumber pertumbuhan produktivitas dari ketiga aspek tersebut masih terbuka secara luas dan realisasinya akan menjadi lebih mudah melalui pendekatan kemitraan usaha agribisnis unggas lokal berdayasaing dan berkelanjutan.
49
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Sumber pertumbuhan baru yang selama ini masih kurang tersentuh adalah sumber pertumbuhan baru melalui kemitraan usaha. HUGHES (1992) dalam KARTASASMITA (1996) mengemukakan hasil penelitiannya yang dilakukan untuk Bank Dunia dan UNINDO, bahwa kemitraan dapat menghasilkan sinergi yang dapat mendorong proses industrialisasi. Kemitraan usaha agribisnis unggas lokal dapat berkelanjutan jika dilakukan dengan beberapa prinsip dasar: 1. Adanya kesetaraan (equality) antar pihakpihak yang bermitra 2. Saling percaya-mempercayai (mutual trust) antara satu pihak dengan pihak lainnya 3. Adanya keterbukaan (transparancy) antar pihak-pihak yang bermitra terutama dalam hal kualitas produk dan harga 4. Tindakan antar pihak-pihak yang bermitra dapat dipertanggungjawabkan (accountability) sehingga terbangun kemitraan usaha yang saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan. Secara lebih terperinci manfaat kemitraan usaha agribisnis unggas lokal yang dapat dijadikan sebagai pemacu pertumbuhan, antara lain adalah: 1. Meningkatkan produktivitas usahaternak unggas lokal yang dapat berperan dalam pertumbuhan subsektor peternakan 2. Meningkatkan efisiensi dengan menggunakan kombinasi input berbahan baku sumberdaya lokal secara lebih efisien 3. Jaminan kualitas, kuantitas, citarasa dan kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra yang menjaga kesinambungan proses produksi secara berkelanjutan 4. Menciptakan nilai tambah bagi perusahaan mitra melalui pengembangan ekonomi dan industri kreatif sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi secara lebih luas. Beberapa manfaat yang memiliki dimensi pemerataan, antara lain adalah: 1. Adanya pembagian kerja secara organik, sehingga dapat menyerap tenaga kerja secara lebih luas dan sekaligus meningkatkan produktivitas. 2. Adanya pembagian risiko di antara pihak yang bermitra. 3. Meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha agribisnis.
50
4. Memberikan dampak sosial, terutama dalam mengurangi kesenjangan sosial ekonomi. 5. Meningkatkan tingkat, stabilitas dan kontinuitas pendapatan bagi petani mitra. Strategi transformasi usahaternak unggas lokal Pilihan strategi pengembangan bisnis unggas lokal kini dan ke depan adalah: pertama, pengembangan bisnis unggas lokal berdasarkan potensi sumberdaya lokal dan SDM yang ada di suatu wilayah. Pola ini dapat dikembangkan di daerah-daerah sentra produksi bahan baku pakan (jagung, dedak/bekatul, dan limbah industri pengolahan pertanian) dengan SDM belum terampil (local resource based and unskil labor based atau factor driven). Pada tahap ini dapat dikembangkan unggas lokal skala kecil dengan sistem usahaternak tradisional. Kedua, pengembangan agribisnis unggas lokal dengan kebudayaan industrial, yakni dengan memanfaatkan barang-barang modal modern dan didukung oleh SDM yang makin terampil (capital and semi-skill labor based atau capital driven). Pada tahap ini dapat dikembangkan unggas lokal skala kecil (100 – 300 ekor) dengan usahaternak semi intensif. Ketiga, pembangunan agribisnis unggas lokal yang digerakkan oleh inovasi, yakni pembangunan agribisnis unggas lokal yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan SDM yang terampil (knowladge and skilled labor based atau knowladge driven). Pada tahap ini dapat dikembangkan usahaternak unggas lokal skala menengah secara intensif skala di atas 300 ekor dan mendekati usahaternak ayam ras skala kecil. Pengembangan agribisnis unggas lokal yang berdayasaing dapat dilakukan dengan menerapkan transformasi peternakan dalam rangka mewujudkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif (Gambar 2). Strategi pengembangan ekonomi kreatif berbasis unggas lokal Ekonomi kreatif adalah era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari SDM sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Gambar 2. Transformasi peternakan dalam rangka mewujudkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif Sumber: WEF (2010)
(KEMENDAG, 2010). Dengan demikian ekonomi kreatif merupakan usaha ekonomi produktif berbasis daya kreativitas dan kewirausahaan SDM. Industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan memberdayakan daya kreasi dan daya cipta individu SDM. Salah satu negara ASEAN yang telah mengembangkan ekonomi kreatif secara intensif adalah Thailand yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas negara (http://www.apu.ac.jp/rcaps/uploads/fckeditor/ RCAPS). Salah satu program pengembangan ekonomi kreatif adalah one tambon one product (OTOP) dan di Jepang yakni one village one product yakni (OVOP), dimana setiap satu kecamatan atau desa harus memiliki minimal satu komoditas ekonomi unggulan. OTOP diluncurkan oleh pemerintah Thailand pada tahun 2001 dan diterapkan secara penuh pada tahun 2002. Pada dasarnya, keberhasilan OTOP dikarenakan adanya kesamaan kebutuhan di berbagai tingkatan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mengembangkan komoditas unggulan lokal untuk kepentingan bersama. Pengembangan ekonomi kreatif didasarkan pada pengembangan industri kreatif berbasis
pembangunan kewirausahaan dalam wadah industri kreatif dan karya inovatif. Berdasarkan definisi di atas, cakupan ekonomi kreatif dan industri kreatif sangat luas. UNESCO (2005) mendefinisikan industri kreatif sebagai industri-industri yang menghasilkan output artistik dan kreatif berwujud atau tidak berwujud, dan yang memiliki potensi untuk menciptakan pendapatan. Indonesia sampai sejauh ini baru mengelompokkan industri kreatifnya ke dalam 14 kelompok industri, antara lain adalah tata busana (fashion), kerajinan, desain, penerbitan dan percetakan, televisi dan radio, musik, periklanan, pasar dan barang seni (ERIYATNO, 2011). Dengan demikian pengembangan produk, promosi produk, dan pemasaran berbasis produk unggas lokal yang telah mendorong industri kuliner juga dapat dimasukkan ke dalam ekonomi dan industri kreatif. Berkembangnya ekonomi kreatif pada industri unggas lokal dapat berdampak terhadap tumbuhnya usaha rumah tangga, usaha kecil, dan usaha menengah industri kreatif berbasis produk unggas lokal sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi yang progrowth, pro-poor, dan pro-job. Pengembangan industri kreatif berbasis unggas, seperti pengolahan daging unggas menjadi berbagai produk olahan dengan berbagai merek dagang yang telah terkenal. Sementara itu,
51
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
pengembangan industri kreatif berbasis telur unggas, seperti telur ayam menjadi produk telur terstandarisasi, tepung telur, telur asin, serta berbagai kue berbahan baku telur ayam dan itik/bebek juga mengalami perkembangan yang signifikan. Sebagai sebuah menu makanan favorit masyarakat Indonesia, bisnis unggas lokal (seperti ayam goreng, bebek goreng dan ricarica entok) cepat saji terus memberikan peluang yang cukup menjanjikan. Bahkan keunggulan produk olahan unggas lokal ini tidak kalah dengan produk unggas komersial merk terkenal dari luar negeri. Kemitraan ayam goreng berinvestasi kecilpun semakin berkembang dan diminati. Berkembangnya industri kuliner berbahan baku unggas lokal telah mengembangkan kemitraan skala mini yang semakin luas bagi peternak unggas lokal. Bagi masyarakat Indonesia, menu makanan ayam goreng, bebek goreng, sup ayam cepat saji sudah lama dikenal dan masih menjadi primadona hingga kini dan mendatang. Hal ini terbukti dengan terus berkembangnya produkproduk baru dengan menu utama unggas lokal, terutama di Pulau Jawa (Jabodetabek, kotakota provinsi, kota-kota kabupaten) dan beberapa di luar Pulau Jawa (Kalimantan, Bali, NTB, dan NTT). Para pengusaha berbasis unggas lokal ini juga menawarkan konsep waralaba dan kemitraan usaha agribisnis untuk memperluas jaringan pasar. Industri kuliner Ayam Goreng dan Bebek Goreng sebagian besar telah menjalin kemitraan usaha dengan pedagang dan atau peternak unggas lokal. Kemitraan usaha produk unggas lokal mulai mendapatkan kesempatan karena rata-rata mereka menawarkan harga paket dan biaya investasi yang terjangkau. PERSPEKTIF PENGEMBANGAN KEMITRAAN AGRIBISNIS UNGGAS LOKAL BERKELANJUTAN Hasil kajian menunjukkan bahwa faktorfaktor penentu yang perlu dipahami dalam rangka membangun kemitraan usaha agribisnis unggas lokal secara berdayasaing dan berkelanjutan mencakup: 1. Usahaternak unggas lokal merupakan industri biologis, dari karakteristik dasar
52
2.
3.
4. 5.
6.
7.
bisnis unggas lokal yang demikian maka keberhasilan bisnis unggas lokal akan ditentukan kualitas bibit, pakan dan pasar. Pentingnya melakukan intensifikasi usahaternak unggas lokal yang berbasis sumberdaya lokal dan kapasitas SDM peternak dapat meningkatkan stabilitas dan kontinuitas pasokan produk unggas lokal. Meningkatkan skala usaha sehingga mendekati skala ekonomis. Apabila unggas lokal ini akan dijadikan sebagai usaha pokok yang berorientasi bisnis, maka peningkatan skala usaha di atas 300 ekor baru dapat dicapai skala ekonomi. Meletakkan prinsip-prinsi dasar kemitraan usaha agribisnis unggas lokal. Dinamika harga masukan dan keluaran unggas lokal dapat distabilkan. Dalam batas-batas tertentu kemitraan usaha agribisnis antara peternak unggas lokal dan pedagang atau industri kuliner dapat menjaga stabilitas harga input dan output melalui kerjasama yang saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan. Pentingnya kandungan kewirausahaan. NEUFELDT dan GULANIK (1988) mendefinisikan entrepreneur adalah seseorang yang mengorganisir dan mengelola suatu kegiatan usaha untuk mencari keuntungan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan menghasilkan produk berbasis unggas lokal sangat dipengaruhi oleh seberapa besar kandungan kewirausahaan sebagai energi penggerak untuk menghasilkan produk unggas lokal secara berdayasaing dan berkelanjutan. Pentingnya konsolidasi kelembagaan di tingkat peternak unggas lokal. Hasil kajian menunjukkan lemahnya kelembagaan peternak unggas lokal dan peternak cenderung melakukan hubungan kemitraan usaha melalui kontrak individu, sehingga menempatkan posisi peternak lemah. Hasil kajian juga menunjukkan posisi tawar yang lemah dalam kemitraan usaha dan hubungannya dengan pedagang pengumpul (tengkulak), pedagang besar pasar (broker), dan industri kuliner. Kelembagaan peternak dapat dijadikan alat konsolidasi peternak unggas lokal yang efektif untuk meningkatkan posisi tawarnya baik di pasar input maupun di pasar output.
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
8. Pentingnya pengembangan ekonomi dan industri kreatif. Sumber kesejahteraan peternak unggas lokal ke depan sangat ditentukan oleh daya kreativitas SDM terutama dalam pengembangan produk, promosi produk dan pengembangan industri kuliner berbasis produk unggul lokal. 9. Pentingnya pengembangan sistem informasi agribisnis unggas lokal. Pengembangan sistem informasi yang handal sangat berguna untuk mempermudah eksekusi suatu aktivitas dan merupakan determinan dari sistem koordinasi yang harus dijalankan dalam kemitraan usaha agribisnis unggas lokal yang berdayasaing dan berkelanjutan. 10. Perlunya perlindungan usaha bagi peternak rakyat. Beberapa langkah kebijakan yang dapat ditempuh adalah perlindungan dari praktek monopoli dan persaingan tidak sehat, proteksi melalui kebijakan perdagangan, program intensifikasi unggas lokal, program ketahanan pangan masyarakat melalui bantuan unggas lokal, dan program penanggulangan dan pencegahan wabah penyakit terutama flu burung (Avian Inflienza). 11. Perlunya kebijakan mencadangkan bahwa usaha budidaya unggas lokal adalah untuk porsi usahaternak rakyat. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1. Teori kemitraan adalah teori yang menjelaskan hubungan-hubungan hierarki atau pertukaran hak kepemilikan antar individu atau organisasi. Esensi kemitraan usaha adalah adanya kontribusi dan manfaat bersama atau profit risk sharing. 2. Strategi kemitraan usaha agribisnis unggas lokal dapat berkelanjutan jika dilakukan dengan beberapa prinsip dasar: (a) Adanya kesetaraan (equality) antar pihak-pihak yang bermitra; (b) Saling percayamemepercayai (mutual trust) antara satu pihak dengan pihak lainnya; (c) Adanya keterbukaan (transparancy) antar pihakpihak yang bermitra terutama dalam hal kualitas produk dan harga; dan (d) Tindakan antar pihak-pihak yang bermitra dapat dipertanggungjawabkan
(accountability) sehingga terbangun kemitraan usaha yang saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan. 3. Pilihan strategi pengembangan bisnis unggas lokal kini dan ke depan dapat dilakukan melalui transformasi dari pengembangan bisnis unggas lokal berdasarkan potensi sumberdaya lokal dan SDM yang belum terampil ke arah pengembangan agribisnis unggas lokal dengan kebudayaan industrial (capital and semi-skill labor based atau capital driven), selanjutnya pembangunan agribisnis unggas lokal yang digerakkan oleh inovasi teknologi dengan tenaga terampil. 4. Strategi tranformasi ekonomi, yaitu dari ekonomi berbasis sumberdaya peternakan unggas lokal, ke arah ekonomi industri (pengolahan hasil peternakan unggas lokal) melalui pengembangan produk, selanjutnya ekonomi berbasis informasi terutama informasi pasar, dan terakhir ekonomi kreatif yang diawali pengembangan industri kreatif berbasis produk unggas lokal. DAFTAR PUSTAKA BAUMANN, P. 2000. Equity and efficiency in contract farming schemes: The experience of agricultural tree crops. Working Paper 139, ODI, London, UK. CATELO, M.A.O. and A.C. COSTALES. 2009. Contract farming and other market institution as mechanisms for integrating smallholder livestoct producers in the growth and development of the livestock sector in developing contries. Working Paper: http:/www.fao.org/ag/againfo/programmes/an/ pplpi/docars/wp45.pdf. DARYANTO, A. 2011. Nilai Tambah Peternakan Melalui Agroindustri. TROBOS No. 137 Februari 2011 Tahun XII. DEPTAN. 1997. SK. Mentan No. 940/Kpts/OT.210/ 10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. DITJENNAK. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. DOWNEY, W.D. dan S.P. ERICKSON. 1985. Manajemen Agribisnis. Dialihbahasakan oleh ROCHIDAYAT, S. GONDA dan ALFONSUS (Eds.). Penerbit Erlangga, Jakarta. hlm. 516.
53
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
EATON, C.S. and A.W. SHEPHERD. 2001. Contract Farming-Partnerships for Growth. A GS Bulletin No. 145. Food and Agriculture Organization, Rome. EGGERTSSON, T. 1990. Economic Behavior and Institution. Cambridge University Press, Cambridge. ERIYATNO. 2011. Membangun Ekonomi Komparatif: Strategi Meningkatkan Kemakmuran Nusa dan Resiliensi Bangsa. PT Elex Media Kompu tindo. Jakarta. http://www. poultryindonesia. com. (4 Juni 2012). http://www.apu.ac.jp/ rcaps/uploads/fckeditor/ RCAPS. (19 Juni 2012). HARDJOSWORO, P.S. dan L.H. PRASETYO. 2009. Unggas dan Perunggasan di Indonesia. Makalah disampaikan Seminar Strategi Usaha Perunggasan dalam Menghadapi Krisis Global. Bogor, 26 Oktober 2009. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia. ILHAM, N. 2006. Analisis Sosial Ekonomi dan Strategi Pencapaian Swasembada Daging 2010. Analisis Kebijakan Pertanian 4(2): 131 – 145. JENSEN, M.C. and W. MECKLING. 1976. Theory of the firm: Managerial behavior, agency cost, and capital structure. J. Financ. Econ. 3: 305 – 60. KARTASASMITA, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES, Jakarta. KEMENDAG. 2010. Perkembangan Ekonomi Kreatif di Indonesia. Kementerian Perdagangan. Republik Indonesia, Jakarta. NAIPOSPOS, T.S.P. 2009. Ayam Kampung Proletar yang Siap Dilirik. Trobos. No. 112 Januari 2009 Tahun IX.
54
NEUFELDT, V. and D.B. GULANIK. 1988. Webster’s New World Dictionary of American English. Webster’s New World, New York. NUGROHO, B. 2006. Pengantar Memahami Ekonomi Kelembagaan. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. PEARCE, D. dan R.K. TURNER. 1990. Economic of Natural Resourcer and The Environment. Harvester Wheatsheaf, New York. p. 378. SHIPPEY, K.C. 2004. Kontrak Bisnis Internasional: Panduan Menyusun Draft Kontrak Bisnis Internasional. Penerbit PPM, Jakarta. SYAHYUTI. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pertanian: Penjelasan tentang “Konsep, Istilah, Teori, dan Indikator serta Variabel”. PT Bina Rena Pariwara, Jakarta. TAHA, A.F. 2003. The Poultry Sector in MiddleIncome Countries and Its Feed Requirement: The Case of Egypt. Agriculture and Trade Report WRS-03-02. United State Department of Agriculture. hlm. 1 – 42. TROBOS. 2010. Itik Pajajaran hasil pencarian sifat unggul persilangan Itik Magelang dengan sifat jinak dan penampilan baik serta produksi Telurnya Tinggi. Trobos 125: 30 – 40. UNESCO. 2005. Creative Industries. United Nation Educational Scientific and Cultural Organizatian. Blackwell Publishing Ltd. JOHN HARTLEY (Ed). WEF. 2010. The Global Competitiveness Report 2009 – 2010. World Economic Forum, Geneve. WILLIAMSON, O.E. 1985. The Economic Institutions of Capitalism: Firms, Market and Relational Contracting, New York and London. Free Press.