KAJIAN Listeria monocytogenes PADA KEJU GOUDA
DEBBY FADHILAH PAZRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Listeria monocytogenes pada Keju Gouda adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013 Debby Fadhilah Pazra NIMB251110011
RINGKASAN DEBBY FADHILAH PAZRA. Kajian Listeria monocytogenes pada Keju Gouda. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan DENNY WIDAYA LUKMAN. Listeria monocytogenes termasuk dalam foodborne pathogen yang dapat menyebabkan listeriosis terutama pada kelompok yang berisiko tinggi. L. monocytogenes dapat ditemukan pada keju Gouda karena dipengaruhi berbagai faktor diantaranya proses pasteurisasi susu yang tidak sempurna, kontaminasi setelah pasteurisasi, prosedur sanitasi yang tidak benar serta kemampuan bakteri ini membentuk biofilm. Selain itu, bakteri ini dapat bertahan hidup selama proses pembuatan keju serta pada proses pemeraman keju. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengkaji keberadaan L. monocytogenes pada keju Gouda serta memberikan gambaran keamanan keju Gouda terhadap keberadaan L. monocytogenes. Sampel yang digunakan pada Penelitian ini terdiri atas 15 keju Gouda produksi lokal dan 15 keju Gouda impor. Sampel yang diambil memperhatikan kode produksi dan tanggal kadaluarsa. Metode untuk mendeteksi keberadaan L. monocytogenes pada penelitian ini mengacu pada Bacteriological Analytical Manual (BAM), Food and Drug Administration (FDA) dan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Tahap pertama yaitu pengayaan sampel pada media Listeria enrichment broth, kemudian dilakukan isolasi pada media Oxford agar dan dilanjutkan dengan tahap identifikasi menggunakan uji katalase, uji KOH 3%, pewarnaan Gram, uji fermentasi karbohidrat (mannitol, rhamnose, xylose), uji motilitas dan uji CAMP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan keberadaan L. monocytogenes pada 15 sampel keju Gouda produksi lokal (0%) dan 15 sampel keju Gouda impor (0%). Tidak ditemukannya L. monocytogenes pada sampel keju Gouda produksi lokal dan impor yang diuji disebabkan karena kombinasi dari faktor-faktor preservatif (penghambat) pada keju Gouda seperti proses pasteurisasi susu sebagai bahan baku pembuatan keju Gouda, penurunan pH akibat dari penambahan kultur starter bakteri asam laktat (BAL), dan terjadinya penurunan aktivitas air selama proses pemeraman keju Gouda. Kombinasi dari faktor-faktor presevatif ini dapat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes bahkan dapat menginaktifkan L. monocytogenes. Selain itu, tidak terjadinya kontaminasi dari bakteri ini setelah proses pasteurisasi susu maupun selama proses pengolahan susu hingga menjadi keju. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi tidak ditemukannya L. monocytogenes pada sampel keju Gouda yang diuji yaitu jumlah L. monocytogenes pada sampel masih di bawah limit deteksi dari metode konvensional yang digunakan pada penelitian ini. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semua sampel keju Gouda yang diuji tidak ditemukan keberadaan L. monocytogenes dan relatif aman dari cemaran L. monocytogenes serta telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 7388:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Kata kunci: keju Gouda, Listeria monocytogenes
SUMMARY DEBBY FADHILAH PAZRA. Study of Listeria monocytogenes in Gouda Cheeses. Supervised by TRIOSO PURNAWARMAN and DENNY WIDAYA LUKMAN. Listeria monocytogenes is a foodborne pathogen, which has been associated with several outbreaks of human listeriosis especially in high risk groups. L. monocytogenes could present in Gouda cheeses because it was influenced by various factors, including unsatisfactory pasteurization treatment, contamination after heat treatment, improper sanitizing procedures and ability of this bacteria to forming biofilms. In addition, this bacteria could survive during the process of cheese making and ripening. The purpose of this study were to examine the presence of L. monocytogenes in Gouda cheeses and to provide an overview of Gouda cheese safety of in regards with L. monocytogenes. The samples of this study consisted of 15 local Gouda cheese and 15 imported Gouda cheese which were sold in supermarkets. The samples were taken with considering production code and expired date. The method to detect presence of L. monocytogenes which referred to the Bacteriological Analytical Manual, US Food and Drug Administration and Bergey's Manual of Determinative Bacteriology. The first step was enrichment of samples in Listeria enrichment broth, then isolated in oxford agar and identification step using catalase test, 3% KOH test, Gram stain, carbohydrate fermentation test (mannitol, rhamnose, xylose), motility test and CAMP test. The results of this study showed that L. monocytogenes was not found in 15 samples of local Gouda cheese (0%) and 15 samples of imported Gouda cheese (0%). The absence of L. monocytogenes in local and imported Gouda cheeses was related to combination of preservative factors in Gouda cheese such as pasteurization of milk as raw material for making of Gouda cheese, decrease in pH was caused by the addition of lactic acid bacteria starter cultures, and decline in water activity during the ripening process of Gouda cheeses. The combination of these preservative factors could inhibit the growth of L. monocytogenes could even inactivate L. monocytogenes. In addition, there was not contamination of L. monocytogenes after the pasteurization and during processing of milk to become cheeses. Another factor that could affect the absence of L. monocytogenes in Gouda cheese samples was the number of L. monocytogenes in the samples below the detection limit of conventional method which used in this study. The study could be concluded that all of samples of Gouda cheese were not found the existence of L. monocytogenes and relatively safe from contamination of L. monocytogenes and fulfilled the standard that determined by national standard of Indonesia 7388:2009 about Maximum Limit of Microbial Contamination in Food. Keywords: Gouda cheeses, Listeria monocytogenes
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KAJIAN Listeria monocytogenes PADA KEJU GOUDA
DEBBY FADHILAH PAZRA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr med vet drh Mirnawati B Sudarwanto
Judul Tesis Nama NlM
Kajian Listeria monocytogenes pada Keju Gouda Debby Fadhilah Pazra B251110011
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr drh Trioso umawarman, MSi
Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Tanggal Ujian:Z
9 JUL ZGtl
Tanggal Lulus :
1 4 AUG 2013
Judul Tesis Nama NIM
: : :
Kajian Listeria monocytogenes pada Keju Gouda Debby Fadhilah Pazra B251110011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr drh Trioso Purnawarman, MSi Ketua
Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga studi dan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan baik dalam segi materi, tata bahasa maupun dalam memberikan deskripsi. Selama pengerjaan tesis ini, penulis mendapatkan banyak saran dan masukan yang membangun dari berbagai pihak dalam penyempurnaan tulisan. Terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Dr drh Trioso Purnawarman, MSi selaku ketua komisi pembimbing atas bimbingan, saran, dan arahannya dalam penyelesaian tesis; Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku anggota komisi pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (PS KMV SPs IPB) yang dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulisan tesis; dan seluruh staf pengajar beserta tenaga kependidikan PS KMV SPs IPB. Terima kasih kepada seluruh rekan-rekan PS KMV Reguler tahun 2011/2012 dan rekanrekan mahasiswa pascasarjana lainnya yang telah memberikan warna dan keceriaan saat proses pendidikan. Terima kasih juga kepada Pak Hendra, Pak Rahmat dan Pak Ade yang sudah banyak membantu selama penelitian di laboratorium. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta atas kasih sayang, perhatian, dan dukungannya kepada penulis. Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua. Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2013 Debby Fadhilah Pazra
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik L. monocytogenes L. monocytogenes pada Keju Listeriosis pada Manusia Patogenesis L. monocytogenes Keju Gouda 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Metode Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel
Metode Pengujian L. monocytogenes Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan L. monocytogenes pada Keju Gouda Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
ix ix 11 22 22 2 2 4 4 5 7 9 9 9 10 13 13 20 24 24 24 29
14
DAFTAR TABEL 1 Interpretasi hasil uji L. monocytogenes 2 Persentase L. monocytogenes pada keju Gouda produksi lokal dan impor 3 Wabah listeriosis yang dikaitkan dengan keju pada beberapa negara dari tahun 2000-2010
3 14 21
DAFTAR GAMBAR 1 Listeria monocytogenes dengan pewarnaan Gram pada kultur cairan serebrospinal 2 Tahap proses invasi dan penyebaran intraseluler L. monocytogenes 3 Keju Gouda 4 Diagram alir pembuatan keju Gouda 5 Diagram alir pembiakan L. monocytogenes 6 Diagram alir identifikasi L. monocytogenes 7 Uji CAMP 8 Tahap pengayaan menggunakan LEB 9 Media Oxford agar mengandung biakan sampel keju Gouda produksi lokal dan impor yang telah diperkaya dalam media LEB tidak ditemukan pertumbuhan koloni yang mencirikan L. monocytogenes 10 Kontrol positif yang diisolasi pada media Oxford agar terdapat pertumbuhan dari L. monocytogenes
3 6 7 8 11 11 12 14 14
15
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Listeria monocytogenes termasuk dalam foodborne pathogen yang dapat menyebabkan listeriosis terutama pada kelompok yang berisiko tinggi seperti bayi, lanjut usia (umur ≥60 tahun), wanita hamil dan penderita immunocompromised. Infeksi yang disebabkan oleh L. monocytogenes terutama dapat menyebabkan septikemia dan meningitis dengan tingkat mortalitas yang tinggi (Lomonaco et al. 2009). Beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa sebagian besar infeksi L. monocytogenes bersumber dari makanan yang terkontaminasi (Ueda et al. 2006). Keju terutama keju lunak dikaitkan dengan sejumlah wabah listeriosis di beberapa negara. Wabah listeriosis yang disebabkan karena mengonsumsi keju telah dilaporkan di Jepang pada tahun 2001. Sebanyak 86 orang telah terinfeksi L. monocytogenes dan 38 orang diantaranya menunjukkan gejala gastroenteritis atau gejala seperti flu (flue like syndrome) setelah mengonsumsi keju (Makino et al. 2005). Sebanyak 119 kasus listeriosis juga terjadi di Chili pada tahun 2008 setelah mengonsumsi keju Brie dan Camembert (Gilmour et al. 2010), sedangkan di Indonesia belum tersedia data maupun laporan yang mencatat kejadian listeriosis. Hal ini cukup menyulitkan dalam menentukan prevalensi listeriosis di Indonesia. Infeksi L. monocytogenes melalui makanan pada manusia terutama berkaitan dengan produk-produk yang tidak memerlukan pemasakan sebelum dikonsumsi dan masa simpannya diperpanjang pada suhu dingin, produk ini disebut dengan ready to eat (makanan siap saji) salah satunya yaitu keju (Lomonaco et al. 2009). Keju Gouda merupakan salah satu jenis keju yang dikenal di Indonesia, dimana merupakan keju semi keras yang berasal dari Belanda. Pemenuhan kebutuhan keju Gouda di Indonesia tidak hanya melalui impor tetapi sudah dapat di produksi di dalam negeri sejak tahun 1999. Listeria monocytogenes dapat ditemukan pada keju Gouda karena dipengaruhi berbagai faktor diantaranya proses pasteurisasi susu yang tidak sempurna, perlakuan atau kontaminasi setelah pasteurisasi, prosedur sanitasi yang tidak benar, pengembangan resistensi bahan kimia yang secara rutin digunakan untuk sanitasi serta kemampuan bakteri ini membentuk biofilm juga mengakibatkan resisten terhadap desinfektan. Selain itu, beberapa sifat dari L. monocytogenes seperti tahan terhadap pH rendah (sampai pH 4.4), tahan terhadap konsentrasi garam yang tinggi dan kemampuan untuk tumbuh pada suhu dingin memungkinkan bakteri ini dapat bertahan hidup selama proses pembuatan keju dan pada proses pemeraman keju (Lomonaco et al. 2009). Pada umumnya permukaan keju Gouda dilapisi oleh lilin sehingga oksigen yang masuk ke dalam keju Gouda menjadi sedikit. Kondisi ini menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan L. monocytogenes mengingat bahwa bakteri ini bersifat fakultatif anaerob sampai mikroaerofilik. Laporan dari CDC (2010), menyatakan bahwa L. monocytogenes telah dideteksi pada keju Gouda. Pengujian terhadap keju Gouda telah dilakukan oleh Department of Food and Agriculture California terkait dengan terjadinya wabah penyakit di beberapa negara bagian Amerika
2
Serikat akibat dari mengonsumsi keju. Berdasarkan hal di atas, maka diperlukan pengujian terhadap keberadaan L. monocytogenes pada keju Gouda yang beredar di Indonesia.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas dapat diambil suatu perumusan masalah yaitu apakah keberadaan L. monocytogenes ditemukan pada keju Gouda serta bagaimana gambaran keamanan keju Gouda tersebut ditinjau dari keberadaan L. monocytogenes.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keberadaan L. monocytogenes pada keju Gouda serta untuk memberikan gambaran keamanan keju Gouda ditinjau dari keberadaan L. monocytogenes.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran keamanan keju Gouda ditinjau dari keberadaan L. monocytogenes. Selain itu, diharapkan dapat sebagai bahan pertimbangan terhadap kebijakan teknis kegiatan importasi untuk mencegah peluang masuk L. monocytogenes melalui media pembawa keju.
2 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik L. monocytogenes Listeria monocytogenes merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang, berukuran kecil dengan diameter 0.5 µm dan panjang 1-2 µm (Gambar 1). Susunan sel dari bakteri ini ditemukan sebagai unit tunggal atau rantai pendek serta dapat berbentuk V dan Y. Kadang-kadang bakteri ini berbentuk coccoid dengan rata-rata diameter 0.5 µm dan dapat dikelirukan dengan streptococci. L. monocytogenes tidak menghasilkan spora dan tidak membentuk kapsul serta bakteri ini merupakan patogen fakultatif intraseluler yang dapat ditemukan dalam monosit dan netrofil (Baek 2000; Donnelly 2001; Ryser dan Marth 2007).
3
Gambar 1 L. monocytogenes dengan pewarnaan Gram pada kultur cairan serebrospinal (Lee et al. 2010) Listeria monocytogenes memiliki flagela peritrikus yang merupakan alat gerak ketika dikultur pada suhu 20-25 °C dan tidak atau motilitasnya sangat lemah pada suhu 37 °C. Preparat hanging-drop dari biakan segar dalam tryptose phosphate broth diinkubasi pada suhu 20 °C menunjukkan karakteristik motilitas tumbling. Motilitas biakan dalam media semisolid menghasilkan gambaran khas berbentuk payung atau pohon pinus terbalik sekitar 0.5 cm di bawah permukaan, karena bakteri ini bersifat mikroaerofilik (Ryser dan Marth 2007). Selain itu, L. monocytogenes bersifat fakultatif anaerob, hemolitik dan mempunyai kemampuan memfermentasi rhamnose tetapi bukan xylose (Ray 2005). Karakteristik penting dari L. monocytogenes adalah bersifat psikrotrof dimana mampu tumbuh pada suhu dingin, mampu mentoleransi konsentrasi garam (NaCl) yang tinggi, kondisi pH yang rendah (Vázquez-Boland et al. 2001), tahan terhadap pembekuan dan pengeringan (Ray 2005) serta mampu membentuk biofilm pada permukaan peralatan pengolahan dan lingkungan pengolahan (Borucki et al. 2003). Biofilm adalah koloni bakteri yang melekat pada permukaan benda atau lingkungan dan berlindung dalam matriks extracellular polymeric substances (EPS) (Donlan dan Costerton 2000). Kemampuan L. monocytogenes membentuk biofilm membuat bakteri ini menjadi lebih resisten terhadap desinfektan dan paparan suhu tinggi (Moltz dan Martin 2005). Menurut Ray (2005), kisaran suhu pertumbuhan L. monocytogenes yaitu 1-44 °C dengan pertumbuhan optimal pada suhu 35-37 °C. L. monocytogenes sensitif terhadap suhu pasteurisasi (71.7 °C selama 15 detik atau 62.8 °C selama 30 menit), tapi ketika bakteri ini di dalam sel darah putih, diperlukan suhu yang lebih tinggi untuk membunuh sel bakteri yaitu pada suhu 76.4-77.8 °C selama 15 detik. Menurut Ryser dan Marth (2007), L. monocytogenes dapat tumbuh pada pH 4.5-9.2 dengan pertumbuhan optimal pada pH 7, bakteri ini juga tumbuh optimal pada aw ≥0.97 serta mampu tumbuh pada konsentrasi NaCl 10%, bahkan dapat bertahan hidup pada konsentrasi garam yang lebih tinggi. Kelangsungan hidup pada pH rendah dan konsentrasi garam yang tinggi sangat bergantung pada suhu. Menurut Jay et al. (2005), pertumbuhan L. monocytogenes terjadi dalam 14 hari pada pH 4.4 dengan suhu 20 °C dan pada pH 5.23 dengan suhu 4 °C pertumbuhan
4
terjadi dalam 21 hari. Menurut Adams dan Moss (2008), pada konsentrasi NaCl 16% dengan pH 6.0 L. monocytogenes dapat bertahan selama satu tahun.
L. monocytogenes pada Keju Kehadiran L. monocytogenes pada keju disebabkan oleh berbagai faktor antara lain proses pasteurisasi yang tidak sempurna, perlakuan atau kontaminasi setelah pasteurisasi. Kontaminasi dapat meningkat akibat prosedur sanitasi yang tidak benar, pengembangan resistensi bahan kimia yang secara rutin digunakan untuk sanitasi serta kemampuan bakteri ini membentuk biofilm juga mengakibatkan resisten terhadap desinfektan. Selain itu, beberapa sifat dari L. monocytogenes seperti tahan terhadap pH rendah (sampai pH 4.4), tahan terhadap konsentrasi garam yang tinggi dan kemampuan untuk tumbuh pada suhu dingin memungkinkan bakteri ini dapat bertahan hidup selama proses pembuatan keju dan pada proses pemeraman keju (Lomonaco et al. 2009). Menurut Doyle et al. (2001), selama proses pembuatan keju bakteri ini terkonsentrasi dalam curd (dadih keju) dan hanya sebagian kecil ditemukan pada whey. Perilaku pertumbuhan bakteri ini dalam curd dipengaruhi oleh jenis keju. Pada keju Feta terdapat pertumbuhan L. monocytogenes sedangkan pada keju Cottage terjadi inaktivasi dari bakteri ini. Saat pemeraman, sel bakteri dapat meningkat seperti pada keju Camembert, menurun secara berlahan seperti pada keju Cheddar atau penurunan secara cepat kemudian stabil seperti keju Blue. Penelitian yang dilakukan pada keju Gouda dengan menginokulasikan L. monocytogenes sebesar 500 cfu/ml ke dalam susu pasteurisasi dan diperam selama 6 minggu pada suhu 13 °C. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa L. monocytogenes terkonsentrasi dalam curd selama proses pembuatan keju yang mengakibatkan peningkatan populasi sekitar 10 kali lipat dari jumlah yang diinokulasikan. Jumlah L. monocytogenes relatif konstan pada bagian dalam dari sampel keju Gouda yaitu 104 cfu/g selama 2 minggu pemeraman, tetapi bakteri ini tidak terdeteksi pada permukaan sampel keju Gouda. Setelah 6 minggu pemeraman, L. monocytogenes terdeteksi di permukaan sampel keju Gouda sebesar 102-104 cfu/g. Sebaliknya, pada bagian dalam sampel keju Gouda yang diperam selama 6 minggu, jumlah L. monocytogenes menurun empat sampai delapan kali lipat (Ryser dan Marth 2007).
Listeriosis pada Manusia Listeria monocytogenes merupakan foodborne pathogen yang sumber infeksi utamanya melalui makanan yang terkontaminasi bakteri ini. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi L. monocytogenes disebut listeriosis. Listeriosis sering terjadi pada kelompok berisiko tinggi seperti bayi, lanjut usia, wanita hamil dan penderita immunocompromised dengan tingkat kematian yang tinggi sebesar 30% (Lomonaco et al. 2009). Menurut Acha dan Szyfrez (2003), kelompok umur paling rentan terhadap L. monocytogenes adalah bayi baru lahir (pada kejadian infeksi transplasenta), kemudian diikuti kelompok umur >50 tahun.
5
Secara keseluruhan, 1 558 kasus listeriosis dari 27 negara anggota Uni Eropa telah dilaporkan pada tahun 2007. Kelompok yang paling banyak terinfeksi yaitu kelompok berusia tua (>50 tahun) dan bayi baru lahir, dengan kejadian masing-masing 1 kasus/100 000 penduduk dan 0.51 kasus/100 000 penduduk. Pada kelompok anak-anak (0-4 tahun), 85% kasus terjadi pada bayi baru lahir. Tingkat kematian di Uni Eropa diperkirakan sekitar 20% (dari 795 kasus penyakit yang dilaporkan terdapat 160 orang meninggal) (EFSA 2009). Terdapat dua bentuk gejala klinis yang diakibatkan oleh infeksi L. monocytogenes yaitu listerial gastroenteritis/gastrointestinal illness (bentuk saluran pencernaan) dan invasive listeriosis (bentuk invasif). Pada listerial gastroenteritis, gejala klinis ditandai dengan mual, muntah, kram perut dan diare yang terlihat setelah menelan bakteri selama lebih dari 12 jam. Listeriosis bentuk invasif diakui sebagai foodborne disease yang serius karena tingkat keparahan gejala dan tingkat kematian yang tinggi yaitu 20-30% (Garrido et al. 2008). Masa inkubasi penyakit invasif pada umumnya jauh lebih lama dari bentuk pencernaan yaitu antara 20-30 hari (Garrido et al. 2010). Telah dilaporkan bahwa 1-10% manusia yang terinfeksi L. monocytogenes tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi bakteri ini dapat mengkontaminasi lingkungan melalui feses (Lovett dan Twedt 2004). Gejala klinis bentuk invasif pada wanita hamil yang paling sering terlihat yaitu gejala seperti flu diantaranya demam, menggigil, sakit kepala, kelelahan dan nyeri otot sekitar 2-14 hari sebelum keguguran serta kadang-kadang menimbulkan gejala gastrointestinal (Adams dan Moss 2008). Infeksi terhadap fetus dapat terjadi melalui transplasenta yang dapat mengakibatkan abortus, kematian pada bayi baru lahir atau persalinan prematur (Disson et al. 2008). Listeriosis pada bayi baru lahir dapat mengakibatkan meningitis, pneumonia, septikemia dan granuloma (abses) yang tersebar luas. Listeriosis pada kelompok umur dewasa yang tidak hamil biasanya ditandai dengan septikemia, meningitis dan meningoensefalitis, tetapi dapat juga menyebabkan endokarditis, arteritis, abses lokal atau osteomielitis (Vazquez-Boland et al. 2001; Doganay 2003; Delgado 2008).
Patogenesis L. monocytogenes Listeria monocytogenes merupakan patogen fakultatif intraseluler yang mampu bertahan dalam makrofag dan menyerang berbagai sel nonphagocytic seperti sel-sel epitel, hepatosit dan sel endotel (Cossart et al. 2003). Makanan yang terkontaminasi L. monocytogenes masuk ke saluran pencernaan, kemudian bakteri ini menyerang mukosa saluran pencernaan dan berlekatan dengan sel usus dibantu oleh D-galaktosa yang ada pada permukaan sel (Gambar 2a). Bakteri kemudian menginvasi makrofag (sel parenkim) dan terperangkap dalam vakuola yang disebut fagosom (Gambar 2b). Selanjutnya bakteri tersebut menghasilkan toksin listeriolysin O (LLO), dua phospholipases C yaitu phosphatidylinositolspecific phospholipases C (PI-PLC) dan phosphatidylcholine-specific phospholipase C (PC-PLC) mempunyai kemampuan sitolitik untuk merusak fagosom agar dapat masuk ke dalam sitoplasma (Gambar 2c). Ketiga toksin tersebut juga mencegah pencernaan bakteri oleh enzim hidrolitik yang dihasilkan
6
oleh lisosom. Secara cepat bakteri berkembang biak di dalam sitoplasma dan membentuk F-aktin (Gambar 2d). Bakteri akan menginvasi sel lain dengan bantuan F-aktin mengakibatkan kerusakan sel dan septikemia (Gambar 2e). Setelah berhasil menginvasi sel lain, bakteri berada dalam vakuola dengan membran ganda dan melanjutkan siklus hidup dengan terus menginvasi sel lain (Gambar 2f) (Lovett dan Twedt 2004).
Gambar 2 Tahap proses invasi dan penyebaran intraseluler L. monocytogenes (Hamon et al. 2006) Lima hari hingga tiga minggu setelah tertelan, bakteri ini menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan kerusakan sistem syaraf, jantung, mata, organ lain dan fetus. Infeksi L. monocytogenes pada sistem syaraf menimbulkan meningitis, ensefalitis dan abses dengan tingkat kematian 70%. Infeksi pada wanita hamil dapat mengakibatkan aborsi dan kematian bayi setelah lahir dengan rata-rata tingkat kematian sebesar 80%. Data epidemiologi menunjukkan bahwa invasive listeriosis dapat terjadi sebagai kasus sporadis dan epidemi. Kematian jarang terjadi pada kelompok usia dewasa dengan kondisi baik, namun angka
7
kematian 50% dapat terjadi pada kelompok usia dewasa dengan kekebalan rendah atau kelahiran bayi. Kemampuan L. monocytogenes untuk menimbulkan septikemia tergantung beberapa faktor seperti jumlah bakteri yang tertelan, status kekebalan tubuh induk semang dan keganasan galur bakteri yang menginfeksi (Lovett dan Twedt 2004).
Keju Gouda Keju Gouda merupakan salah satu keju semi keras yang berasal dari Belanda. Bentuk umum dari keju ini adalah berkulit tipis dan kering serta umumnya dilapisi dengan lilin kuning (Gambar 3). Curd berwarna kuning gading dan tidak lengket, tektur padat, rasanya gurih dengan sedikit asin tetapi tidak masam (Scott 1986). Keju Gouda dapat berbentuk bulat atau silinder datar dengan sisi menonjol berukuran antara 0.2-20 kg. Kandungan lemak dalam bahan kering berkisar dari 40 sampai >50%, kadar air dalam keju bebas lemak berkisar dari 53-63%, kadar garam dalam air keju berkisar antara 2-7%, pH dapat bervariasi dari 4.9-5.6 dan lama pemeramannya antara 2 minggu sampai 2 tahun (Fox et al. 2004).
Gambar 3 Keju Gouda (Anonim 2013) Sebelum proses pembuatan keju Gouda dilakukan, susu disiapkan terlebih dahulu sesuai dengan standarisasi untuk menghasilkan produk sesuai dengan komposisi yang diinginkan. Keju Gouda biasanya berasal dari susu sapi dengan sebagian skim untuk mendapatkan sedikitnya 40% kandungan lemak pada bahan kering keju. Susu yang telah disiapkan kemudian dipasteurisasi secara HTST (high temperature short time) dengan suhu 73-74 °C selama 15 detik. Setelah dipasteurisasi, susu didinginkan untuk ditambahkan kultur starter bakteri asam laktat (BAL) 0.6% terlebih dahulu, setelah itu ditambahkan rennet 0.020% dan bahan tambahan lainnya, lalu dilakukan pengadukan sampai homogen. Diamkan selama beberapa waktu sampai terjadi koagulasi susu (curd). Kultur starter BAL yang biasanya digunakan untuk pembuatan keju Gouda yaitu mesofilik lactococci dan leukonostok yang menghasilkan CO2. Tahap ini berfungsi untuk membantu proses koagulasi oleh rennet. Kultur starter BAL yang ditambahkan bertugas menurunkan derajat keasaman (pH) susu hingga mencapai titik isoelektriknya.
8
Fungsi rennet sebagai bahan koagulan akan lebih optimal jika ditambahkan dalam kondisi susu yang telah mengalami penurunan pH hingga mencapai pH 5-6. Kemudian dilanjutkan dengan pemotongan curd dan pengadukan kembali, setelah itu dilakukan pengendapan selama 30 menit. Kemudian whey dikeluarkan dan ditambahkan air hangat (34.5 °C) lalu diaduk. Proses pengendapan curd dan pengeluaran whey dilakukan sebanyak 3 kali, sedangkan penambahan air hangat dilakukan 2 kali. Setelah pengeluaran whey yang ke-3 kali, curd dicetak dan kemudian dilakukan pengempresan dengan tekanan pada permukaan keju meningkat secara bertahap sekitar 25 kPa dalam tiga atau empat tahap selama 80 menit. Setelah pengempresan, kemudian didiamkan selama 1 jam. Tahapan selanjutnya yaitu perendaman dalam air garam dengan konsentrasi 17-18% selama 1 hari, lalu dikeringkan. Keju kemudian dilapisi dengan lilin dengan cara dicelupkan pada lilin cair panas, selanjutnya keju diperam dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan jenis keju dalam kondisi suhu 12-16 °C dan kelembaban (RH) 80-85%. Pemeraman pada keju Gouda dilakukan selama 2 minggu sampai 2 tahun. Keju yang telah diperam dilakukan pengemasan dalam kondisi vakum (Fox et al. 2004). Proses pembuatan keju Gouda dapat dilihat pada Gambar 4. Susu segar Pengemasan Pasteurisasi suhu 73-74 °C selama 15 detik Keju Gouda Penambahan kultur starter (0.6%) terlebih dahulu, setelah itu rennet (0.02%) rennet (0.02%)
Pemeraman keju jangka waktu tertentu (sesuai jenis keju)
Koagulasi susu Coating (pelapisan) Pemotongan curd
Perendaman dalam larutan garam (17-18%) selama 24 jam
Pengendapan 30 menit (3 kali proses)
Penambahan air hangat (2 kali proses)
Pengepresan curd meningkat secara bertahap (3-4 kali) 25 kPa, 80 menit
Penyaringan whey (3 kali proses)
Pencetakan curd
Gambar 4 Diagram alir pembuatan keju Gouda (Fox et al. 2004)
9
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Depertemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, mulai bulan Maret 2012 sampai dengan April 2013.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Keju Gouda produksi lokal dan impor. Bahan kimia yang digunakan yaitu Listeria enrichment broth (LEB), Oxford agar, trypticase soy agar dengan yeast extract (TSAye), tryptone soya broth dengan yeast extract (TSBye), media semisolid SIM, pereaksi H2O2 3%, KOH 3%, gula-gula mannitol, xylosa, rhamnosa, pewarnaan Gram, anaerob gas pack, Staphylococcus aureus ATCC 25923, Rhodococcus equi ATCC 6939, Streptococcus agalactiae, dan biakan L. monocytogenes (isolat lapang) sebagai kontrol positif. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu cawan petri (diameter 100 mm, tinggi 15 mm), tabung reaksi berpenutup, botol media, gelas erlenmeyer, pipet ukur, pipet tetes, ose, mikroskop, pembakar bunsen, timbangan, tube shaker (vortex), stomacher, tabung jar, inkubator bersuhu 30 °C ± 1 °C, inkubator bersuhu 37 °C ± 1 °C, penangas air, autoklaf, lemari pendingin (refrigerator).
Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel Penelitian ini menggunakan sampel keju Gouda produksi lokal dan impor yang dijual di supermarket dengan total sampel sebanyak 30 sampel yang terdiri atas 15 sampel keju Gouda produksi lokal dan 15 sampel keju Gouda impor. Sampel keju Gouda yang diambil memperhatikan kode produksi yang berbeda pada setiap sampel dan tanggal kadaluarsa. Estimasi besaran sampel yang diambil, dihitung menggunakan rumus dari Cannon dan Roe (1982) dengan menggunakan prevalensi (P) sebesar 2% (Collin et al. 1995) dan tingkat kepercayaan (a) 90%. Jumlah sampel keju Gouda produksi lokal dan impor yang diambil di supermarket berdasarkan pada total keju Gouda yang dipasok di supermarket tersebut yaitu masing-masing sebesar rata-rata 15 kemasan (N). Perhitungan menggunakan rumus dari Cannon dan Roe (1982) yaitu sebagai berikut:
10
Keterangan: n : ukuran sampel a : tingkat kepercayaan (90%) D : nilai dugaan populasi yang sakit [D = PxN, dengan asumsi prevalensi (P) = 2%] N : jumlah populasi Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis. Kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik steril yang telah diberi label kode sampel dan disimpan dalam kondisi dingin untuk ditransportasikan.
Metode Pengujian L. monocytogenes Pengujian sampel mengacu pada Bacteriological Analytical Manual, Food and Drug Administration (2011) dan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (1994). Secara rinci dapat dilihat pada diagram alir Gambar 5. Preparasi sampel dan pengayaan (enrichment) menggunakan sampel keju Gouda sebanyak 25 g dan ditambahkan 225 ml Listeria enrichment broth (LEB), kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan stomacher selama 3 menit dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 24 jam, 48 jam dan 7 hari. Selanjutnya dilakukan isolasi pada media agar selektif (Oxford agar) secara duplo, diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24-48 jam ± 2 jam secara aerobik dan anaerobik (Gambar 5). Pertumbuhan koloni kuman yang mencirikan L. monocytogenes pada media Oxford agar berupa koloni kecil berdiameter 1 mm berwarna hitam dengan pusat yang cekung dan halo berwarna hitam. Tahap identifikasi diawali dengan menumbuhkan koloni yang mencirikan L. monocytogenes pada media TSAye, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24-48 jam. Selanjutnya dilakukan uji biokimia yang terdiri atas uji KOH 3%, Uji katalase, uji gula-gula (mannitol, rhamnose, xylose), pewarnaan Gram, uji motilitas, serta uji konfirmasi aktivitas hemolitik dengan uji CAMP. Sebelum dilakukan uji gula-gula, koloni yang diduga L. monocytogenes dibiakan terlebih dahulu pada media TSBye (Gambar 6). Interpretasi hasil uji L. monocytogenes dapat dilihat pada Tabel 1.
11
25 g sampel ditambah 225 ml LEB dan kontrol positif diinkubasi 24 jam, 48 jam dan 7 hari/30 °C
24 jam/30 °C 48 jam/30 °C
Oxford agar 24-48 jam ± 2 jam /37 °C secara aerobik dan anaerobik
7 hari/30 °C Gambar 5 Diagram alir pembiakan L. monocytogenes Koloni dari kontrol positif dan 5 koloni yang diduga L. monocytogenes dibiakkan dalam TSAye 24 jam/37 °C
Uji KOH, Uji Katalase, pewarnaan Gram, Uji CAMP
TSBye 8 jam/37 °C Mannitol, rhamnose, xylose
SIM-Agar
Gambar 6 Diagram alir identifikasi L. monocytogenes a. Uji Katalase Mencampurkan koloni yang diduga L. monocytogenes dengan satu tetes pereaksi H2O2 3% pada gelas obyek hingga rata. Kemudian diamati apakah terbentuk gelembung-gelembung gas. b. Uji KOH Dua tetes larutan KOH 3% diletakkan di atas gelas obyek. Satu koloni kuman yang diduga L. monocytogenes diambil menggunakan ose steril. Ose yang mengandung kuman dicampur dan diaduk dengan cepat dalam larutan KOH 3% di atas gelas obyek, kemudian diamati apakah ada benang yang kental terbentuk saat menaikkan dan menurunkan ose.
12
c. Pewarnaan Gram Pewarnaan Gram dilakukan mengikuti prosedur Hans Christian Gram (Xu1007). L. monocytogenes merupakan bakteri Gram positif sehingga menunjukkan sel berwarna violet pada pemeriksaan mikroskopis. d. Uji Motilitas Menggunakan media semi solid yaitu media SIM dalam tabung medium. Koloni dari media TSAye diambil dengan ose jarum, kemudian ditusukkan ke dalam media SIM secara tegak dan diinkubasi pada suhu 25 °C selama 24 jam. e. Uji Gula-gula Sebanyak 0.5 ml biakan dari media TSBye diinokulasikan pada media yang mengandung karbohidrat (mannitol, rhamnosa dan xylosa), kemudian diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 24 jam. f. Uji Konfirmasi Konfirmasi aktivitas hemolitik L. monocytogenes (β-hemolitik) dilakukan dengan uji CAMP. Uji ini dilakukan dengan menggoreskan biakan Staphylococcus aureus (β-hemolitik) dan Rhodococcus equi secara parallel/sejajar dan diametris berlawanan satu dengan yang lain pada media agar darah (mengandung darah domba 5-7%). Kemudian beberapa koloni yang diduga L. monocytogenes digoreskan sejajar terhadap yang lain tetapi membuat sudut ke arah kanan dan diantara goresan S. aureus dan R. equi. Selanjutnya sebagai kontrol positif, biakan L. monocytogenes juga digoreskan sejajar dengan koloni yang diduga L. monocytogenes. Selain itu, biakan Streptococcus agalactiae juga digoreskan sejajar dengan koloni yang diduga L. monocytogenes untuk membedakan hasil uji CAMP positif antara L. monocytogenes dengan Streptococcus agalactiae (Gambar 7). Selanjutnya media diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 24-48 jam. S. aureus
R. equi L. monocytogenes
Tempat terbentunya zona hemolisis
S. agalactiae
Koloni yang diduga L. monocytogenes
Gambar 7 Uji CAMP
13
Tabel 1 Interpretasi hasil uji L. monocytogenes No. Jenis uji Hasil uji Keterangan 1. Pewarnaan Gram Positif Batang pendek, Gram positif 2. Motilitas Positif Terdapat pertumbuhan bakteri di sepanjang tusukan dan menyebar seperti payung (umbrella motility) sekitar 0.5 cm di bawah permukaan media SIM 3. Mannitol Negatif Berwarna ungu 4. Rhamnosa Positif Berwarna kuning 5. Xylosa Negatif Berwarna ungu 6. KOH Negatif Tidak terbentuk benang kental 7. Uji katalase Positif Terbentuk gelembung gas 8. CAMP test Positif Zona hemolisis di sekitar goresan Staphylococcus aureus yang membentuk mata anak panah
Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif yaitu dengan menyajikan hasil uji keju Gouda terhadap keberadaan L. monocytogenes dalam bentuk tabel dan gambar. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002), analisa deskriptif adalah bidang statistik yang membahas tentang cara atau metode mengumpulkan, menyederhanakan dan menyajikan data sehingga dapat memberikan informasi.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan L. monocytogenes pada Keju Gouda Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 30 sampel keju Gouda yang terdiri atas 15 sampel keju Gouda produksi lokal dan 15 sampel keju Gouda impor tidak ditemukan keberadaan L. monocytogenes (Tabel 2). Hal ini ditandai dengan tidak ditemukan pertumbuhan koloni yang mencirikan L. monocytogenes pada media agar selektif (Oxford agar) setelah diinkubasi 24-48 jam ± 2 jam dengan suhu inkubasi 37 °C secara aerobik maupun anaerobik pada semua sampel yang diuji (Gambar 9), sedangkan pada kontrol positif yang diisolasi pada media Oxford agar terdapat pertumbuhan dari L. monocytogenes (Gambar 10). Sampel terlebih dahulu dilakukan pengayaan pada media LEB yang diinkubasi selama 24 jam, 48 jam dan 7 hari pada suhu 30 °C (Gambar 8) sebelum dilakukan isolasi pada media Oxford agar.
14
Tabel 2 Persentase L. monocytogenes pada keju Gouda produksi lokal dan impor Jenis sampel Hasil pengujian Positif Persentase (%) Keju Gouda impor (n = 15) Tidak ada 0 Keju Gouda produksi lokal (n = 15)
Tidak ada
0
Gambar 8 Tahap pengayaan menggunakan LEB
a b Gambar 9 Media Oxford agar mengandung biakan sampel keju Gouda produksi lokal (a) dan impor (b) yang telah diperkaya dalam media LEB tidak ditemukan pertumbuhan koloni yang mencirikan L. monocytogenes
15
Gambar 10 Kontrol positif yang diisolasi pada media Oxford agar terdapat pertumbuhan dari L. monocytogenes Hal ini berbeda dengan laporan dari CDC (2010) yang menyatakan bahwa L. monocytogenes dideteksi pada keju Gouda. Pengujian terhadap keju Gouda dilakukan oleh Department of Food and Agriculture California terkait dengan terjadinya wabah penyakit di beberapa negara bagian Amerika Serikat akibat dari mengonsumsi keju. Keju Gouda yang diuji merupakan keju yang terbuat dari susu yang tidak dipasteurisasi. Selain L. monocytogenes, Escherichia coli O157:H7 juga dideteksi pada keju Gouda tersebut yang mengakibatkan 38 orang terinfeksi dan 15 orang dirawat di rumah sakit, sedangkan kasus penyakit akibat dari infeksi L. monocytogenes tidak dilaporkan. Nwachukwu et al. (2009) juga telah mendeteksi keberadaan L. monocytogenes pada keju Gouda yang diproduksi di Nigeria. Penelitian yang dilakukan oleh Wemmenhove et al. (2013) dengan menginokulasikan tiga strain L. monocytogenes (Scott A, 2F, 6E) pada susu yang telah dipasteurisasi sebagai bahan baku untuk pembuatan keju Gouda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada pertumbuhan ketiga strain L. monocytogenes pada keju Gouda selama 8 minggu pemeraman dan terjadi penurunan pertumbuhan pada ketiga strain L. monocytogenes secara signifikan setelah 8 minggu sampai 52 minggu pemeraman sebesar 1 log-7 log. Tidak ditemukannya L. monocytogenes pada sampel keju Gouda produksi lokal dan impor yang diuji disebabkan karena kombinasi dari faktor-faktor preservatif (penghambat) pada keju Gouda seperti proses pasteurisasi susu sebagai bahan baku pembuatan keju Gouda, penurunan pH akibat dari penambahan kultur starter bakteri asam laktat (BAL), dan terjadinya penurunan aktivitas air selama proses pemeraman keju Gouda. Kombinasi dari faktor-faktor presevatif ini dapat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes bahkan dapat menginaktifkan L. monocytogenes. Menurut Ryser dan Marth (2007), inaktivasi L. monocytogenes dapat terjadi akibat dari kombinasi efek antilisteria yang ada pada keju seperti pH rendah, aktivitas air yang rendah serta suhu pada pemrosesan. Kombinasi dari faktor-faktor preservatif tersebut selama proses pembuatan keju dikenal dengan multiple hurdle technology. Menurut Leistner (2000), multiple hurdle technology merupakan konsep preservasi pada bahan makanan dengan menerapkan kombinasi faktor-faktor preservatif seperti suhu, aktivitas air, pH, potensial redoks, dan bahan preservasi. Penerapan multiple
16
hurdle technology pada bahan makanan dapat mengeliminasi, menginaktifkan atau setidaknya dapat menghambat pertumbuhan dari mikroba yang tidak diinginkan karena tidak dapat mengatasi hambatan tersebut. Hambatan yang berbeda dalam pengolahan makanan tidak hanya merupakan gabungan efek tetapi dapat bertindak secara sinergis. Sampel keju Gouda produksi lokal dan impor yang diuji terbuat dari susu yang dipasteurisasi terlebih dahulu sehingga mampu mengeliminasi L. monocytogenes dan bakteri patogen lain. Selain itu, tidak terjadinya kontaminasi dari bakteri ini setelah proses pasteurisasi susu maupun selama proses pengolahan susu hingga menjadi keju. Suhu pasteurisasi susu yang digunakan pada keju Gouda produksi lokal yaitu 65 °C selama 30 menit, suhu ini mampu menginaktifkan L. monocytogenes, sedangkan untuk keju Gouda impor tidak diketahui berapa suhu pasteurisasi susu yang digunakan. Menurut Ray (2005), L. monocytogenes sensitif terhadap suhu pasteurisasi (71.7 °C selama 15 detik atau 62.8 °C selama 30 menit). Menurut Ryser dan Marth (2007), suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan sel yang irreversible dari Listeria spp yang dapat mengakibatkan kematian sel. Terpaparnya L. monocytogenes terhadap suhu di atas 56 °C menyebabkan kerusakan ribosom, unfolding dan denaturasi protein serta inaktivasi enzim. Saat pemanasan, ribosom kehilangan Mg2+ yang menyebabkan pemisahan subunit ribosomal 30S dan 50S. Kerusakan ribosom terutama denaturasi dari subunit ribosom 30S dikaitkan dengan inaktivasi termal bakteri vegetatif dan diyakini menjadi penyebab utama kematian bakteri. Aktivitas enzim superoksida dimutase dari L. monocytogenes akan menurun apabila terpapar pada suhu di atas 45-50 °C, sedangkan aktivitas enzim katalase dari L. monocytogenes akan menurun apabila terpapar pada suhu di atas 55-60 °C. Suhu pengolahan yang lebih tinggi dapat menginaktifkan enzimenzim tersebut. Susu segar yang merupakan bahan dasar pembuatan keju dapat menjadi sumber kontaminasi L. monocytogenes pada keju terutama keju yang berasal dari susu yang tidak dipasteurisasi. Hewan dapat terinfeksi L. monocytogenes karena memakan silase atau pakan yang terkontaminasi bakteri ini. Beberapa hewan yang terinfeksi L. monocytogenes tidak menunjukkan gejala klinis (carrier) dan dapat menjadi sumber kontaminasi lingkungan peternakan dan susu. Susu dapat terkontaminasi L. monocytogenes melalui kontaminasi silang dari lingkungan peternakan, peralatan yang digunakan saat pemerahan, dan melalui pekerja yang terkontaminasi L. monocytogenes (Nightingale et al. 2004). L. monocytogenes juga dapat menyebabkan mastitis pada sapi dan bakteri ini dapat dieksresikan di dalam susu (Shakespeare 2009). Tingginya kejadian L. monocytogenes pada susu segar menyebabkan keju yang terbuat dari susu yang tidak dipasteurisasi dapat menjadi faktor risiko terhadap kontaminasi L. monocytogenes pada keju. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian, keju yang dibuat dari susu tanpa pasteurisasi lebih sering ditemukan L. monocytogenes dibandingkan dengan keju yang dibuat dari susu yang dipasteurisasi (Kasalica et al. 2011). Sebanyak 333 sampel terdiri atas keju lunak (soft cheese) dan keju semi lunak (semi-soft cheese) yang dikumpulkan dari toko ritel di Swedia, L. monocytogenes diisolasi sebanyak 6% dari sampel keju lunak dan keju semi lunak yang dibuat dari susu tanpa pasteurisasi serta hanya 2% L. monocytogenes diisolasi dari keju lunak dan keju semi lunak yang dibuat dari susu yang dipasteurisasi (Loncarevic et al. 1995).
17
Menurut Wemmenhove et al. (2013), tidak adanya pertumbuhan atau menurunnya pertumbuhan L. monocytogenes pada keju Gouda dapat disebabkan karena kandungan asam laktat dan terjadinya penurunan aktivitas air selama proses pemeraman keju Gouda. Asam laktat merupakan asam organik yang dominan terdapat pada keju Gouda (13.9 g/kg). Setelah terbentuk, konsentrasi asam laktat tidak berubah secara signifikan selama proses pemeraman keju Gouda. Asam laktat yang terkandung pada keju Gouda dalam bentuk tidak terdisosiasi (tidak terurai) dapat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes. Bakteri asam laktat yang ditambahkan pada proses pembuatan keju Gouda akan memfermentasi laktosa pada susu menjadi asam laktat sehingga dapat menurunkan pH. Kondisi ini yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan L. monocytogenes. Keju Gouda yang diperam selama lebih dari 2 minggu memiliki pH berkisar antara 5.3-5.5 dan setelah 6 bulan pemeraman pH keju Gouda tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Kisaran pH keju Gouda tersebut masih lebih rendah dari kisaran pH pertumbuhan dari L. monocytogenes. Menurut Doyle et al. (2001), L. monocytogenes dapat tumbuh pada kisaran pH 5.6-9.6. Menurut Ryser dan Marth (2007), tidak adanya pertumbuhan dan penurunan kelangsungan hidup sel L. monocytogenes (viabilitas) dapat diamati pada pH ≤5.5, ketika kondisi lingkungan lainnya (suhu) tidak optimal untuk kelangsungan hidup L. monocytogenes. Suhu mempengaruhi perilaku pertumbuhan L. monocytogenes dalam kondisi asam. Sensitivitas L. monocytogenes terhadap keasaman tinggi (pH <4.5) meningkat seiring dengan meningkatnya suhu terutama ketika media tidak kondusif untuk pertumbuhan bakteri ini. Populasi L. monocytogenes sebesar 104 cfu/ml diinokulasikan ke dalam jus kubis (pH 5.2) yang diinkubasi pada suhu 30 °C selama 3 hari mengalami peningkatan menjadi 109 cfu/ml. Selain itu, populasi L. monocytogenes tetap tidak berubah selama 22 hari penyimpanan pada suhu 5 °C. Pertumbuhan yang cepat terjadi pada suhu 30 °C diikuti juga dengan kematian yang cepat dari sel bakteri dimana bakteri ini tidak lagi terdeteksi setelah penyimpanan selama 15 hari. Viabilitas L. monocytogenes terhadap kondisi pH rendah tergantung pada kemampuan sel untuk mempertahankan pH intraseluler mendekati netral, terlepas dari pH lingkungan. Sel dapat mengatasi kondisi keasaman ringan dengan mengeliminasi kelebihan proton dari sitoplasma. Sel tidak dapat mengeliminasi proton secara cepat dan penurunan pH intraseluler tidak dapat dihindari, apabila berada pada kondisi di bawah ambang batas pH. Pengasaman sitoplasma dapat menyebabkan kehilangan energi penting dari sel untuk metabolisme. Kelebihan H+ dapat mengubah aktivitas enzim dan menyebabkan denaturasi protein. Komposisi makanan, pengolahan dan kondisi penyimpanan dapat mempengaruhi apakah pH rendah dapat bersifat listeriostatik atau listerisidal (Ryser dan Marth 2007). Menurut Wemmenhove et al. (2013), aktivitas air pada keju Gouda akan semakin menurun dengan semakin lama waktu pemeraman. Aktivitas air setelah 8 minggu pemeraman pada keju Gouda yaitu 0.98, setelah 7 bulan pemeraman menurun menjadi 0.92 dan 1 tahun pemeraman aktivitas air menjadi 0.84. Aktivitas air yang rendah setelah 7 bulan dan 1 tahun pemeraman dapat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes. Menurut Doyle et al. (2001), L. monocytogenes tumbuh optimum pada aktivitas air ≥0.97 dan sebagian besar
18
strain L. monocytogenes tumbuh pada aktivitas air minimum 0.93. Menurut Ryser dan Marth (2007), aktivitas air yang rendah (osmolaritas tinggi) dapat mengakibatkan tekanan osmotik pada sel bakteri dengan menyerap ke luar air yang ada di dalam sel sehingga mengakibatkan sel kekurangan air dan dapat mengakibatkan penghambatan pertumbuhan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Keberadaan L. monocytogenes yang tersebar luas di lingkungan memungkinkan kehadiran bakteri ini pada lingkungan pengolahan, hal ini penting untuk diperhatikan karena transfer bakteri ini dari lingkungan ke makanan dapat terjadi terutama jika penerapan higiene dan sanitasi yang masih buruk (D'Amico and Donnelly 2008). L. monocytogenes dapat ditemukan pada lingkungan pengolahan keju sebesar 13.1% (Fox et al. 2011). Kontaminasi L. monocytogenes selama proses pengolahan susu hingga menjadi keju biasanya dapat terjadi dari peralatan yang digunakan selama proses pembuatan keju yang telah tercemar L. monocytogenes, lingkungan pengolahan keju yang tercemar L. monocytogenes, pekerja yang tidak menerapkan higiene dan sanitasi yang baik serta penambahan bahan-bahan lain seperti rennet, kultur starter atau garam yang tercemar L. monocytogenes (Lundén et al. 2002). Menurut Ryser dan Marth (2007), rennet dapat tercemar L. monocytogenes apabila berasal dari ekstraksi lapisan abomasum (lambung keempat) anak sapi yang terinfeksi L. monocytogenes. Menurut Oliver (2005), bahan baku seperti susu segar yang sering terkontaminasi oleh L. monocytogenes dapat berfungsi sebagai sumber kontaminasi pada industri pengolahan makanan. Kontaminasi L. monocytogenes pada keju sebagian besar terlokalisasi pada permukaannya. Hal ini disebabkan karena terjadinya peningkatan pH dan terjadinya proses proteolisis pada permukaan keju (khususnya pada keju peram berkapang) selama proses pemeraman yang mengakibatkan perubahan fisik dan kimia secara teoritis memungkinkan untuk pertumbuhan L. monocytogenes. Program monitoring Listeria spp yang dilakukan oleh Dairy Research Station Swiss menyatakan bahwa hanya 0.9% dari 2 609 keju yang diuji terkontaminasi L. monocytogenes pada bagian dalam keju dan 5% dari 56 377 keju yang diuji terkontaminasi L. monocytogenes pada permukaan keju. Salah satu alasan tingginya kejadian ini, karena kontaminasi ulang pada keju selama proses pemeraman (Pak et al. 2002). Perilaku pertumbuhan dari L. monocytogenes pada keju dipengaruhi oleh jenis keju. Berdasarkan kadar air keju dibagi menjadi tiga tipe yaitu: (1) keju keras memiliki kadar air 20-42%, contohnya Parmesan dari Italia dan Emmentaler dari Swiss; (2) keju semi keras atau semi lunak memiliki kadar air 45-55%, contohnya Cheddar dari Inggris, Gouda dan Edam dari Belanda; dan (3) keju lunak memiliki kadar air (>55%), contohnya Camembert dari Normandia, Limburger dari Belgia dan Brie dari Perancis. Semua keju jenis tersebut dikonsumsi setelah diperam selama waktu tertentu, sedangkan keju segar yang memiliki kadar air >70% dikonsumsi langsung setelah penyaringan dan pemisahan dari whey seperti keju Cottage, Mozzarella dan Ricotta dari Italia (Heller et al. 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Roth (2009) menunjukkan bahwa keju lunak dan keju semi keras lebih sering terkontaminasi L. monocytogenes dibandingkan dengan keju keras. Menurut Kasalica et al. (2011), keju lunak dan keju berkapang merupakan lingkungan yang sangat baik
19
untuk perkembangbiakan L. monocytogenes karena memiliki aktivitas air yang tinggi dan pH >4.2 dan 5.6. Pada keju semi keras juga dapat ditemukan keberadaan L. monocytogenes karena pada tahap akhir pemeraman terjadi peningkatan pH sehingga cocok untuk pertumbuhan L. monocytogenes, sedangkan pada keju keras memiliki kandungan air yang rendah sehingga kondisi ini tidak cocok untuk pertumbuhan L. monocytogenes. Menurut Banks (2006), proses pemeraman, penanganan, dan proses pengemasan untuk beberapa keju semi keras (salah satunya yaitu keju Gouda) dan keju keras dimungkinkan sesekali terdeteksi L. monocytogenes dengan jumlah sangat rendah pada permukaan keju. Metode deteksi L. monocytogenes pada penelitian ini menggunakan metode deteksi secara konvensional yang mengacu pada FDA BAM. Metode ini terdiri atas beberapa tahap yaitu pemupukan pada media pengayaan LEB dan selanjutnya dilakukan isolasi pada media agar selektif Listeria spp (Oxford agar). Menurut Donnelly (2002), media pengayaan (enrichment) berfungsi untuk mendukung pertumbuhan bakteri sampai ke tingkat yang dapat dideteksi. Listeria spp mungkin ada pada makanan dengan tingkat yang sangat rendah sehingga media pengayaan harus dapat mengamplifikasi populasi awal bakteri yang rendah sampai pada batas yang dapat dideteksi. Listeria spp mungkin juga ada pada makanan dalam keadaan kerusakan subletal sebagai akibat dari proses pemanasan, paparan asam dan garam, pembekuan serta paparan senyawa sanitasi, sehingga media pengayaan biasanya digunakan untuk pemulihan Listeria spp yang mengalami kerusakan sublethal. Menurut Jeyaletchumi et al. (2010), media isolasi Listeria spp (Oxford agar) mengandung esculin karena semua spesies dari Listeria mampu menghidrolisis esculin dan inklusi esculin serta ion besi (ferric ion) dalam media pengayaan atau media plating menghasilkan zona hitam disekililing koloni bakteri. Warna hitam yang terbentuk disebabkan oleh pembentukan kompleks antara ferric iron dengan 6,7-dihydroxycoumarin yang merupakan produk dari pemecahan esculin oleh β-D-glucosidase. Media pengayaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu LEB dengan satu tahap pengayaan. Media LEB yang digunakan merupakan media pertumbuhan yang baik untuk L. monocytogenes karena mengandung tryptone soya broth, yeast extract, potassium di-hydrogen orthophosphate dan disodium hydrogen orthophosphate dengan pH 7.3 ± 0.2. Penghambatan pertumbuhan mikroba selain Listeria spp juga disikapi dengan penambahan zat antimikroba (agen selektif) pada LEB seperti acriflavine hydrochloride yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif lainnya, nalidixic acid yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif dan cycloheximide yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan (fungi). Selain LEB, media isolasi Oxford agar juga ditambahkan dengan agen selektif diantaranya yaitu cycloheximide, colistin sulphate, acriflavine, cefotetan, dan fosfomycin. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi tidak ditemukannya L. monocytogenes pada sampel keju Gouda yang diuji yaitu jumlah L. monocytogenes pada sampel masih di bawah limit deteksi dari metode konvensional yang digunakan pada penelitian ini. Menurut Ryser dan Marth (2007), limit deteksi dari metode konvensional yang mengacu pada FDA yaitu 1 cfu/25 g.
20
Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner Tidak ditemukannya L. monocytogenes pada semua sampel keju Gouda produksi lokal maupun impor menunjukkan bahwa sampel keju Gouda tersebut relatif aman dari cemaran L. monocytogenes. Menurut SNI 7388:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan menyatakan bahwa batas maksimum cemaran L. monocytogenes pada keju yaitu 0 cfu/25 g. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa batas maksimum cemaran L. monocytogenes pada sampel keju Gouda yang diuji telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 7388:2009. Selain itu, SNI 7388:2009 juga menetapkan cemaran L. monocytogenes harus 0 cfu/25 g pada susu segar yang langsung dikonsumsi, susu pasteurisasi dan produk olahan susu lainnya seperti yoghurt, es krim, dan mentega. Beberapa negara juga telah menetapkan standar batas maksimum cemaran L. monocytogenes pada makanan terutama makanan siap saji (ready to eat) dalam rangka tindakan pengendalian L. monocytogenes berdasarkan hasil penilaian risiko masing-masing negara. Amerika Serikat, Austria, Australia, Selandia Baru dan Italia merupakan negara yang mensyaratkan makanan yang beredar harus bebas dari cemaran L. monocytogenes (zero tolerance). Negara Eropa lainnya seperti Jerman, Belanda dan Perancis mentoleransi cemaran L. monocytogenes pada makanan <100 cfu/g pada tahap konsumsi. Negara lainnya seperti Kanada dan Denmark menetapkan toleransi cemaran L. monocytogenes <100 cfu/g pada beberapa makanan dan menetapkan zero tolerance terutama untuk makanan yang masa simpannya panjang yang dapat mendukung pertumbuhan L. monocytogenes (Ryser dan Marth 2007). Infeksi L. monocytogenes pada manusia terutama terjadi karena mengonsumsi makanan yang tercemar bakteri ini. Menurut Tompkin (2002), resiko tertinggi terjadi penularan adalah ketika terjadi pertumbuhan L. monocytogenes dalam bahan makanan pada saat sebelum dikonsumsi oleh populasi yang rentan (bayi, lanjut usia, wanita hamil, dan penderita immunocompromised). Dosis infektif L. monocytogenes adalah 100-1 000 sel terutama bagi kelompok yang rentan (Ray 2005). Keju Gouda yang tercemar L. monocytogenes dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Terdapat dua bentuk gejala klinis yang diakibatkan oleh infeksi L. monocytogenes yaitu listerial gastroenteritis (listeriosis bentuk saluran pencernaan) dan invasive listeriosis (listeriosis bentuk invasif). Gejala klinis yang ditimbulkan oleh listeriosis bentuk saluran pencernaan diantaranya mual, muntah, kram perut, dan diare. Listeriosis bentuk invasif diakui sebagai foodborne disease yang serius karena tingkat keparahan gejala dan tingkat kematian yang tinggi yaitu 20-30% (Garrido et al. 2008). Gejala klinis yang ditimbulkan oleh listeriosis bentuk invasif yaitu meningitis, meningoensefalitis dan septikemia serta pada wanita hamil akan mengakibatkan abortus, kematian pada bayi yang baru lahir atau persalinan prematur (Delgado 2008; Disson et al. 2008). Menurut Swaminathan dan Gerner-Smidt (2007), keju (terutama keju lunak) dikaitkan dengan sejumlah wabah listeriosis di beberapa negara dan dianggap produk yang berisiko. Berdasarkan penilaian risiko L. monocytogenes pada keju di Amerika Serikat, keju dikategorikan sebagai makanan yang berisiko rendah. Hal ini berdasarkan pada jumlah kasus listeriosis <1 kasus per tahun. Menurut Banks
21
(2006), kerentanan keju untuk tercemar L. monocytogenes sangat rendah dan hal ini didukung juga oleh sedikitnya data yang melaporkan kejadian listeriosis akibat mengonsumsi keju di Inggris. Selain itu, mayoritas keju yang dijual di Inggris merupakan keju yang dibuat dari susu yang dipasteurisasi. Kasus listeriosis pada manusia karena mengonsumsi keju telah dilaporkan di berbagai negara dan termasuk dalam kasus luar biasa. Kejadian penyakit ini tergolong lebih rendah (bersifat sporadik) dibandingkan dengan foodborne disease lainnya, tetapi mendapat perhatian besar karena memiliki tingkat kematian yang tinggi terutama pada kelompok yang berisiko tinggi (Lomonaco et al. 2009). Laporan wabah listeriosis berkaitan dengan keju pada beberapa negara dari tahun 2000-2010 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Wabah listeriosis yang dikaitkan dengan keju pada beberapa negara dari tahun 2000-2010 Tahun Negara Makanan Jumlah Kasus Serotipe 2000-2001 USA Keju ala Meksiko 13 4b 2001a Swedia Produk susu 42 1/2a 2001a Jepang Keju 38 1/2b 2002 Kanada Keju 17 4b 2003 USA Keju yang terbuat 12 4b dari susu tanpa pasteurisasi 2005 Switzerland Keju Tomme 10 1/2a 2006 Republik Ceko Keju dan salad 75 1/2b 2008 Cili Keju Brie dan 119 NA b Camembert 2009-2010 Jerman, Curd keju 34 1/2a Austria dan Republik Ceko Keterangan : a gastrointestinal listeriosis Sumber: (Garrido et al. 2010) Kejadian listeriosis pada manusia maupun prevalensi L. monocytogenes pada keju khususnya keju Gouda di Indonesia belum tercatat. Data yang ada hanya bersifat terbatas untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan belum sepenuhnya diterapkan ke masyarakat. Penelitian mengenai keberadaan L. monocytogenes pada keju Edam impor pernah dilakukan di Indonesia dan hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 4 sampel (13.33%) menunjukkan hasil positif terhadap L. monocytogenes dari 30 sampel keju Edam impor yang diuji (Haryanto 2009). Hal ini tentunya dapat menurunkan tingkat keamanan keju tersebut untuk dikonsumsi serta dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Kasus listeriosis dapat dikelirukan dengan foodborne disease lainnya kerena menimbulkan gejala klinis yang hampir sama seperti mual, muntah, kram perut, diare, gejala seperti flu diantaranya demam, menggigil, sakit kepala, kelelahan dan nyeri otot. Hal ini menyebabkan kasus listeriosis di Indonesia belum tercatat dengan baik. Selain itu, pengetahuan tentang penyakit ini juga masih didominasi oleh kelompok masyarakat tertentu.
22
Praktik higiene dan sanitasi dalam industri pembuatan keju Gouda hendaknya harus tetap dipertahankan. Hal ini disebabkan karena keberadaan L. monocytogenes yang tersebar luas di alam dan lingkungan membuat kontaminasi keju Gouda oleh L. monocytogenes pada setiap tahapan dalam rantai makanan (mulai dari peternakan sampai ke meja makan) sulit untuk dihindarkan (Hellstrom 2011). Menurut Adzitey dan Huda (2010), strategi untuk mencegah kontaminasi L. monocytogenes dalam makanan tergantung dari penerapan tindakan higiene dan sanitasi. Tindakan ini untuk mencegah kolonisasi, transmisi, dan kontaminasi silang L. monocytogenes antara makanan dan lingkungan. Kemampuan L. monocytogenes untuk membentuk biofilm pada permukaan peralatan pengolahan dan di lingkungan pengolahan juga membuat praktik higiene dan sanitasi yang benar penting untuk dipertahankan dalam industri pembuatan keju Gouda. Biofilm yang dibentuk oleh L. monocytogenes dapat bertahan selama beberapa bulan atau tahun. Kehadiran biofilm tentunya dapat menyebabkan masalah yang serius terhadap industri pembuatan keju. Biofilm yang melekat pada permukaan peralatan yang digunakan selama proses pembuatan keju dan lingkungan pengolahan dapat terlepas dari permukaan dan dapat mengkontaminasi produk. Biofilm adalah koloni bakteri yang melekat pada permukaan benda atau lingkungan dan berlindung dalam matriks extracellular polymeric substances (EPS). EPS merupakan matrik ekstraseluler yang terutama terdiri atas polisakarida (Donlan dan Costerton 2000). Kemampuan L. monocytogenes membentuk biofilm membuat bakteri ini menjadi lebih resisten terhadap desinfektan dan paparan suhu tinggi (Moltz dan Martin 2005). Peningkatan ketahanan biofilm terhadap desinfektan dan paparan suhu tinggi terjadi karena adanya mekanisme pertahanan dari sel biofilm. Adanya senyawa polisakarida ekstraselular yang dihasilkan bakteri dapat memberikan perlindungan sehingga bakteri lebih tahan terhadap desinfektan dan paparan suhu tinggi. Umur sel biofilm juga merupakan faktor yang menyebabkan berbedanya ketahanan sel biofilm terhadap desinfektan. Semakin lama umur sel biofilm maka ketahanannya terhadap desinfektan semakin tinggi karena terbentuknya beberapa lapis biofilm (multilayer) pada substrat. Terbentuknya beberapa lapis biofilm (multilayer) menyebabkan desinfektan tidak bisa menembus bagian dalam biofilm. Desinfektan yang digunakan biasanya hanya mampu mencapai bagian terluar karena sulit masuk ke bagian terdalam biofilm, padahal semua sisi biofilm berpeluang menjadi kontaminan sehingga diperlukan pengendalian khusus. Selain menghalangi penetrasi, kehadiran senyawa polisakarida ekstraselular yang sebagian besar merupakan senyawa organik, akan menghambat mekanisme kerja senyawa desinfektan (Bal’a et al. 1998). Bakteri di dalam biofilm lebih resisten 10-1 000 kali dibandingkan dengan tanpa biofilm (Monroe 2007). Tindakan pengendalian terhadap L. monocytogenes di industri pembuatan keju dapat dilakukan dengan penerapan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP). Program ini harus dilakukan dengan monitoring secara ketat. Tindakan monitoring pada HACCP harus menekankan pada praktik sanitasi, pemrosesan, pengemasan, higiene personal dan program pengujian terhadap L. monocytogenes secara rutin. Tindakan investigasi harus dilakukan segera untuk menentukan sumber kontaminasi sehingga dapat mencegah transmisi L. monocytogenes lebih lanjut, apabila bakteri ini ditemukan selama pemantauan.
23
Manajemen perusahaan harus memiliki kebijakan yang jelas serta diperlukan pelatihan untuk karyawan sehingga mereka memahami pentingnya praktik sanitasi yang tepat. Tindakan pengendalian terhadap L. monocytogenes di pedagang dapat berupa pemantauan suhu refrigerator secara teratur, menghindari pencampuran produk dari berbagai sumber, produk harus dikemas dengan baik dan produk yang kadaluarsa harus segera dibuang (Adzitey dan Huda 2010). Era globalisasi dan perdagangan bebas antar negara menuntut Indonesia harus waspada terhadap kemungkinan masuknya agen infeksius melalui media pembawa makanan. Pada kenyataannya, pengujian L. monocytogenes belum diterapkan pada pangan yang dilalulintaskan dari/menuju wilayah Republik Indonesia maupun pangan yang diedarkan di dalam negeri. Adanya beberapa negara lain yang telah menetapkan peraturan perundangan untuk pengendalian L. monocytogenes seyogyanya menjadi pemicu bagi Pemerintah Indonesia untuk menetapkan kebijakan dalam pengendalian penyakit ini. Penetapan kebijakan dalam rangka pengendalian penyakit ini dapat diawali dengan melakukan penilaian risiko L. monocytogenes pada makanan siap saji produksi lokal maupun impor yang beredar di Indonesia. Menurut Rocourt et al. (2003) dalam studinya melakukan penilaian risiko terhadap L. monocytogenes pada pangan siap saji dengan pendekatan FAO/WHO. Melalui analisis risiko tersebut, penilaian risiko terhadap peluang kontaminasi L. monocytogenes pada pangan siap saji dapat diperkirakan dan diadaptasikan pada pangan dalam negeri. Diharapkan hasil penilaian risiko tersebut dapat diterapkan pula dalam menjamin keamanan makanan siap saji yang dilalulintaskan melalui perdagangan internasional. Hasil penilaian risiko tersebut kemudian disesuaikan CAC (Codex Alimentarius Commission) dengan melengkapi risiko makanan siap saji terkontaminasi L. monocytogenes sebagai berikut: (1) perkiraan risiko pada kelompok yang rentan (lanjut usia, bayi, wanita hamil dan individu dengan kekebalan rendah) dalam populasi tertentu; (2) perkiraan risiko tumbuhnya L. monocytogenes pada pangan yang mendukung pertumbuhan dan pangan yang tidak mendukung pertumbuhan L. monocytogenes pada kondisi penyimpanan; dan (3) perkiraan bila pangan tercemar oleh 0 cfu/25 g/ml hingga 1 000 cfu/g/ml atau tidak melebihi batas jumlah cemaran. Hasil penilaian risiko terhadap L. monocytogenes pada makanan siap saji akan memberikan manfaat dalam menentukan kebijakan keamanan keju Gouda maupun produk pangan siap saji lainnya, tindakan sanitasi dan penetapan baku keamanan pangan di Indonesia. Pengujian L. monocytogenes pada keju Gouda memiliki nilai strategik yang tinggi apabila dihubungkan dengan risiko yang diakibatkan oleh bakteri tersebut pada manusia dan jumlah impor keju Gouda yang cukup besar di Indonesia. Makanan khususnya keju Gouda yang tercemar L. monocytogenes tidak hanya menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat tetapi dapat menimbulkan kerugian ekonomi sehingga tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap L. monocytogenes perlu dilakukan. Menurut laporan CDC pada tahun 2000, diperkirakan 76 juta kasus foodborne illness telah dilaporkan dan 5 000 kematian terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat. Sebanyak 2 298 kasus dari jumlah tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit dan 499 kematian disebabkan oleh L. monocytogenes serta 62 kasus yang tidak parah mengalami komplikasi kronis. Perkiraan biaya yang dikeluarkan setiap tahun untuk listeriosis yaitu $ 2.3 milyar
24
per tahun. Perkiraan biaya tersebut termasuk biaya cacat kronis atau kelainan bawaan, infeksi bayi baru lahir tetapi tidak termasuk komplikasi kronis lainnya, kehilangan waktu untuk bekerja karena harus merawat anak yang sakit, perjalanan untuk mendapatkan perawatan medis, waktu luang yang hilang, rasa sakit, dan penderitaan (Ryser dan Marth 2007).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari 30 sampel keju Gouda yang terdiri atas 15 sampel keju Gouda produksi lokal dan 15 sampel keju Gouda impor tidak ditemukan keberadaan L. monocytogenes. Sebanyak 30 sampel keju Gouda tersebut relatif aman dari cemaran L. monocytogenes dan telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 7388:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan.
Saran Perlu dilakukan analisis risiko terhadap cemaran L. monocytogenes pada makanan siap saji khususnya keju Gouda produksi lokal dan impor yang beredar di Indonesia. Diharapkan hasil dari analisis risiko tersebut dapat diterapkan dalam menjamin keamanan makanan siap saji khususnya keju Gouda produksi lokal maupun impor yang dilalulintaskan melalui perdagangan internasional.
DAFTAR PUSTAKA Acha PN, Szyfrez B. 2003. Zoonoses and Communicable Diseases Common to Man and Animals. Ed ke-3. Washington DC (US): PAHO Pr. Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology. Ed ke-3. Guildford (GB): RSC Pub. Adzitey F, Huda N. 2010. Listeria monocytogenes in foods: incidences and possible control measures. Afr J Microbiol Res. 4(25):2848-2855. Anonim. 2013. Learn more about 7 most popular cheeses [internet]. [diunduh 2013 Februari 25]. Tersedia pada: http://www.foodworldnews.com/articles/1381/20120327/learn-more-7popular-cheeses.htm#page2. Baek SY. 2000. Incident and characterization of Listeria monocytogenes from domestik and Imported Foods in Korea. J Food Prot. 63:86-189. Bal’a MFA, Jamilah I, Mrshall DL. 1998. Attachment of Aeromonas hydrophyla to stainless steel surface. Food Environ Sanit. 18:645.
25
Banks J. 2006. Risk Assessment of Listeria monocytogenes in UK Retailed Cheese. Inggris (GB): Food Standards Agency. Bergey D. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Baltimore (US): Waverly Pr. Borucki MK, Peppin JD, White D, Loge F, Call DR. 2003. Variation in biofilm formation among strains of Listeria monocytogenes. App Environ Microbiol. 69:7336-7342. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia (SNI) 7388:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. Cannon RM, Roe RT. 1982. Livestock Disease Surveys: A Field Manual for Veterinarians. Di dalam: Martin SW, editor. Veterinary Epidemiology Principal and Methods. Canada (CA): Iowa State Pr. [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010. Investigation update: multistate outbreak of E. coli O157:H7 infections associated with cheese [internet]. [diunduh 2013 Februari 10]. Tersedia pada: http://www.cdc.gov/ecoli/2010/cheese0157/index.html. Collin CH, Lyne PM, Grange JM. 1995. Microbiological Methods. Ed ke-7. Great Britain (GB): Butterworth-Heinemann. Cossart P, Pizarro-Cerda J, Lecuit M. 2003. Invasion of mammalian cells by Listeria monocytogenes: functional mimicry to subvert cellular functions. Trends Cell Biol. 13:23-31. D'Amico DJ, Donnelly CW. 2008. Enhanced detection of Listeria spp. in farmstead cheese processing environments through dual primary enrichment, PCR, and molecular subtyping. J Food Prot. 71:2239-2248. Delgado AR. 2008. Listeriosis in Pregnancy. J Midwifery Womens Health. 53:255-259. Disson O, Grayo S, Huillet E, Nikitas G, Langa-Vives F, Dussurget O, Ragon M, Le Monnier A, Babinet C, Cossart P et al. 2008. Conjugated action of two species-specific invasion proteins for fetoplacental listeriosis. Nature. 455:1114-1118. Doganay M. 2003. Listeriosis: clinical presentation. FEMS Immunol Med Microbiol. 35:173-175. Donlan RM, Costerton JW. 2002. Biofilm: survival mechanisms of clinically relevant microorganisms. Clin Microbiol Rev. 15:167-193. Donnely CW. 2001. Foodborne Disease Handbook: Bacterial Pathogen, Listeria monocytogenes. Ed ke-2. New York (US): Marcel Dekker. Donnelly CW. 2002. Detection and isolation of Listeria monocytogenes from food samples: implications of sublethal injury. J AOAC Int. 85(2):495-500. Doyle MP, Beuchat LR, Montville TJ. 2001. Food Microbiology: Fundamental and Frontiers. Ed ke-2. Washington DC (US): ASM Pr. [EFSA] European Food Safety Authority. 2009. The community summary report on trends and sources of zoonoses and zoonotic agents in The European Union in 2007. EFSA J. 1-320. [FDA] Food and Drug Administration. 2011. Bacteriological Analytical Manual: Detection and Enumeration of Listeria monocytogenes [internet]. [diunduh 2013 Januari 14]. Tersedia pada:
26
http://www.fda.gov/Food/FoodScienceResearch/LaboratoryMethods/ucm07 1400.htm. Fox E, Hunt K, O'Brien M, Jordan K. 2011. Listeria monocytogenes in Irish Farmhouse cheese processing environments. Int J Food Microbiol. 145:3945. Fox PF, McSweeney PL, Cogan TM, Guinee TP. 2004. Cheese Chemistry, Physics and Microbiology. Volume 2. Ed ke-3. California (US): Elsevier Academic Pr. Garrido V, Torroba L, Garcia-Jalon I, Vitas AI. 2008. Surveillance of listeriosis in Navarre, Spain, 1995-2005-epidemiological patterns and characterisation of clinical and food isolates. Euro Surveill. 13:19058. Garrido V, Vitas AI, Jalón G. 2010. The problem of Listeriosis and ready-to-eat products: prevalence and persistence. Spanyol (ES): Department of Microbiology and Parasitology, University of Navarra. Gilmour MW, Graham M, Van Domselaar G, Tyler S, Kent H, Trout-Yakel KM, Larios O, Allen V, Lee B, Nadon C. 2010. High-throughput genome sequencing of two Listeria monocytogenes clinical isolates during a large foodborne outbreak. BMC Genomics. 11:120.doi:10.1186/1471-2164-11120. Hamon M, Bierne H, Cossart P. 2006. Listeria monocytogenes: a multifaceted model. Nat Rev Microbiol. 4:423-434. Haryanto I. 2009. Kajian tingkat keamanan keju impor ditinjau dari pencemaran Listeria monocytogenes [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Heller KJ, Bockelmann W, Schrezenmeir J, de Vrese M. 2008. Handbook of Fermented Functional Food. Ed ke-2. Boca Raton (US): CRC Pr. Hellstrom S. 2011. Contamination routes and control of Listeria monocytogenes in food production [disertasi]. Finland (FI): University of Helsinki. Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology. Ed ke-7. New York (US): Springer. Jeyaletchumi P, Tunung R, Margaret SP, Son R, Farinazleen MG, Cheah YK. 2010. Review Article: Detection of Listeria monocytogenes in foods. Int Food Res J. 17:1-11. Kasalica A, Vuković V, Vranješ A, Memiši N. 2011. Listeria monocytogenes in milk and dairy products. Biotechnol Anim Husband. 27(3):1067-1082. doi: 10.2298/BAH1103067K. Lee JE, Cho WK, Nam CH, Jung MH, Kang JH, Suh BK. 2010. A case of meningoencephalitis caused by Listeria monocytogenes in a healthy child. Korean J Pediatr. 53(5):653-656. Leistner, L. 2000. Basic aspects of food preservation by hurdle technology. Int J Food Microbiol. 55:181-186. Lomonaco S, Decastelli L, Nucera D, Gallina S, Bianchi DM, Civera T. 2009. Listeria monocytogenes in Gorgonzola: subtypes, diversity and persistence over time. Int J Food Microbiol.128:516-520. doi:10.1016/j.ijfoodmicro.2008.10.009. Loncarevic S, Danielsson-Tham ML, Tham W. 1995. Occurrence of Listeria monocytogenes in soft and semi-soft cheeses in retail outlets in Sweden. Int J Food Microbiol. 26:245-250.
27
Lovett J, Twedt RM. 2004. Bacteria Associated with Foodborne Diseases. Scientific Status Summary. Chicago (US): Institute of Food Technologies. Lundén JM, Autio TJ, Korkeala HJ. 2002. Transfer of persistent Listeria monocytogenes contamination between food-processing plants associated with a dicing machine. J Food Prot. 65:1129-1133. Makino SI, Kawamoto K, Takeshi K, Okada Y, Yamasaki M, Yamamoto S, Igimi S. 2005. An outbreak of food-borne Listeriosis due to cheese in Japan, during 2001. Int J Food Microbiol. 104:189-196. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor (ID): IPB Pr. Mead PS, Slutsker L, Dietz V, McCaig LF, Bresee JS, Shapiro C, Griffin PM, Tauxe RV. 1999. Food-related illness and death in the United States. Emerg Infect Dis. 5:607-625. Moltz AG, Martin SE. 2005. Formation of biofilm by Listeria monocytogenes under various growth conditions. J Food Prot. 68 (1):92-97. Monroe D. 2007. Looking for chinks in the armor of bacterial biofilms. PLoS Biol. 5(11):2458-2461. Nightingale KK et al. 2004. Ecology and transmission of Listeria monocytogenes infecting ruminants and in the farm environment. Appl Environ Microbiol. 70:4458-4467. Norton DM. 2002. Polymerase chain reaction-based methods for detection of Listeria monocytogenes: toward real-time screening for food and environmental samples. J AOAC Int. 85:505-515. Nwachukwu NC, Orji FA, Amaike JI. 2009. Isolasi and characterization of Listeria monocytogenes from Kunu, a locally produced beaverage marketed in defferent markets in Abia State of Nigeria. Aust J Basic Appl Sci. 3(4):4432-4436. Oliver SP, Jayarao BM, Almeida RA. 2005. Foodborne pathogens in milk and the dairy farm environment: food safety and public health implications. Foodborne Pathog Dis. 2:115-129. Pak SI, Spahr U, Jemmi T, Salman MD. 2002. Risk factors for L. monocytogenes contamination of dairy products in Switzerland, 1990-1999. Prev Vet Med. 53:55-65. Ray B. 2005. Fundamental Food Microbiology. Ed ke-3. New York (US): CRC Pr. Ryser ET, Marth EH 2007. Listeria, Listeriosis, and Food Safety. Ed ke-3. Boca Raton (US): CRC Pr. Rocourt J, BenEmbarek, Toyofuku H, Schlundt J. 2003. Quantitative risk assessment of Listeria monocytogenes in ready-to-eat foods: FAO/WHO approach. Immunol Med Microbiol. 35:263-267. Roth E. 2009. Control of Listeria contamination on the surface of semi-hard cheeses by natural smear ecosystems and protective cultures [disertasi]. Zurich (CH): Swiss Federal Institute of Technology Zurich. Scott R. 1986. Cheesemaking Practise. Ed ke-2. London (GB): Elsevier Applied Science Pub. Shakespeare M. 2009. Zoonoses. Ed ke-2. London (GB): Pharmaceutical Pr. Swaminathan B, Gerner-Smidt P. 2007. The epidemiology of human listeriosis. Microbes Inf/Ins Pas. 9:1236-1243.
28
Tompkin RB. 2002. Control of Listeria monocytogenes in the food-processing environment. J Food Prot. 65:709-725. Ueda F, Ogasawara K, Hondo R. 2006. Characteristics of Listeria monocytogenes isolated from imported meat in Japan. Jpn J Infect Dis. 59:54-56. Vázquez-Boland JA, Kuhn M, Berche P, Chakraborty T, Domínguez-Bernal G, Goebel W, González-Zorn B, Wehland J, Kreft J. 2001. Listeria pathogenesis and molecular virulence determinants. Clin Microbiol Rev. 4:584–640. Wemmenhove E, Stampelou I, van Hooijdonk ACM, Zwietering MH, WellsBennik MHJ. 2013. Fate of Listeria monocytogenes in Gouda microcheese: No growth, and substantial inactivation after extended ripening times. Int Dairy J. 32:192-198.
29
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Talawi, Sumatera Barat pada tanggal 2 Februari 1986. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Ali Mukhni Oyon, SH dan Rumjasmi, SPd. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 1998 di SD Negeri 27 Muaro Ganting Mudik dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Sijunjung hingga lulus tahun 2001. Pendidikan SMU diselesaikan pada tahun 2004 di SMU Negeri 1 Sawahlunto Sijunjung, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) pada tahun 2008. Kemudian Penulis melanjutkan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) pada tahun 2009 dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (PS KMV), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (SPs IPB).