KAJIAN KESEJAHTERAAN KELUARGA: KERAGAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN DAN PERUMAHAN PADA KELUARGA NELAYAN DI DAERAH RAWAN BENCANA
ESTI ROHIMAH
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRACT ESTI ROHIMAH. Family Wellbeing Study: Food and Housing Fulfillment Description on Fisherman Family at Disaster Gristle Region. Undersupervised By EUIS SUNARTI.
Act of god that knocks over coast area will impacted on fisherman family wellbeing. The aim of this research is subject to be analyze food and housing fulfillment description as part of family wellbeing indicators on fisherman at disaster gristle region. Research is done at Pangandaran's Village Pangandaran's District, Ciamis's Regency by design cross sectional study. Example in observational it is 80 fisherman family that chosen by ala simple random is sampling . As big as 58.8 percent sample to comprise little families( 4 person). Patriarch age (57. 5%) and mother (70%) lie on early mature group. Father and mother education is not extremely different which is majority doesn't accomplish mandatory bounds studies 9 years. Family characteristic is engaged food fullfilmentt. The greater family head count therefore food expenditure and availibility of food per capita will get little. Progressively old aged mother therefore excelsior alertness zoom. Per capita income that excelsior that decrease caused by food aid and zoom food coping strategy. Food access increases and coping strategy decrease along with at the height asset ownership. Largely fisherman family samples (83. 7%) rank is not prosperous objectively, but a large part (67.5%) rank is prosperous subjectively. Factor that regard objective wellbeing is family size, while factors that regard subjective wellbeing are density (far ranging floor per capita) and home ownership state. Subjective wellbeing on fisherman family was characterized by housing fulfillment that give biggest satisfaction.
Keywords: family wellbeing, food, housing, fisherman family.
RINGKASAN ESTI ROHIMAH. Kajian Kesejahteraan Keluarga: Keragaan Pemenuhan Kebutuhan Pangan dan Perumahan pada Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana. Dibimbing Oleh EUIS SUNARTI. Bencana alam yang kerap melanda kawasan pesisir akan berdampak pada kesejahteraan keluarga, terutama keluarga nelayan yang sangat tergantung pada laut. Dampak bencana alam bagi keluarga nelayan dapat berupa terganggunya kegiatan melaut yang sangat terkait dengan rendahnya pendapatan. Kondisi tersebut menyebabkan terganggunya pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan yang merupakan bagian dari indikator kesejahteraan pada keluarga nelayan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keragaan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Tujuan khusus penelitian ini yaitu mengetahui karakteristik keluarga; menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana; menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan akses pangan, ketersediaan pangan, coping strategy pangan, dan kesiapsiagaan dalam pemenuhan pangan; menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, tingkat kesejahteraan keluarga, pemenuhan pangan, dan pemenuhan perumahan; serta menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Desain penelitian adalah cross sectional study dan retrospektif. Penelitian dilakukan di Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis pada bulan Febuari-Agustus 2009. Total contoh adalah 80 responden yang ditentukan secara proportional random sampling. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: 1) karakteristik keluarga (umur, besar keluarga, lama pendidikan, pendapatan dan pengeluaran perkapita, jenis aset, dan nilai kepemilikan aset), 2) kesejahteraan obyektif (pendapatan, frekuensi makan dan keragaman makanan, status kepemilikan rumah, luas lantai per kapita, dan kesesakan) dan kesejahteraan subyektif, dan 3) pemenuhan pangan (akses pangan, ketersediaan pangan, coping strategy pangan, kesiapsiagaan dan pola konsumsi) dan kualitas perumahan (kondisi fisik rumah, fasilitas dan perlengkapan rumah, dan kondisi lingkungan). Data sekunder yang dikumpulkan berupa gambaran umum lokasi penelitian. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 15.0 for Windows. Sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian, dilakukan analisis deskriptif untuk menggambarkan berbagai karakteristik contoh, uji Korelasi Pearson dan Spearman untuk mengetahui hubungan antar peubah penelitian, dan uji regresi logistik untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subyektif. Persentase terbesar keluarga (58.8%) termasuk keluarga kecil (≤ 4 orang). Usia kepala keluarga (57.5%) dan ibu (70%) berada pada kelompok dewasa muda (18-40 tahun). Tingkat pendidikan kepala keluarga dan ibu tidak jauh berbeda yaitu mayoritas tidak memenuhi batas wajib belajar 9 tahun. Rataan pendapatan nelayan antara musim panen, musim biasa, dan musim paceklik memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Persentase pengeluaran untuk pangan dan
pengeluaran non pangan dari pengeluaran total adalah 43.9 persen dan 56.2 persen, serta mayoritas keluarga nelayan contoh memiliki nilai aset lebih dari tiga kali kebutuhan minimal per bulan. Lama pendidikan ibu dan nilai kepemilikan aset pada keluarga nelayan juragan berbeda dengan keluarga nelayan buruh. Sementara, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah umur kepala keluarga dan ibu, besar keluarga, dan lama pendidikan kepala keluarga antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Lebih dari separuh keluarga nelayan contoh (52.5%) makan dengan menu yang beragam dan mayoritas keluarga nelayan contoh (86.3%) makan dengan frekuensi tiga kali sehari. Mayoritas keluarga nelayan contoh memiliki pola belanja beras harian, dan mayoritas keluarga nelayan contoh memperoleh bantuan pangan dari pihak lain. Lebih dari separuh contoh (58.8%) memenuhi konsumsi beras normatif, yaitu 300 gram per orang per hari, lebih dari separuh contoh memiliki jumlah food coping strategy antara 6-11, serta sebagian besar keluarga nelayan contoh memiliki perilaku siapsiaga (preparedness strategy) yang rendah (0-2 perilaku) dalam menghadapi kekurangan pangan. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal pengeluaran pangan, akses bantuan pangan, dan coping strategy pangan, serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah frekuensi dan keragaman pangan, ketersediaan pangan, dan kesiapsiagaan pangan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Indikator perumahan memberikan gambaran tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah kepemilikan rumah, luas lantai per kapita, dan kesesakan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Hampir separuh contoh menempati rumah dengan status bukan milik sendiri, keluarga nelayan contoh yang memiliki luas lantai ≥ 8 m2 per orang jumlahnya cukup dominan, dan hampir separuh contoh memiliki rumah yang termasuk dalam kategori sesak berdasarkan jumlah anggota keluarga dan jumlah anggota keluarga. Karakteristik keluarga, baik secara keseluruhan maupun berdasarkan tipe nelayan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Besar keluarga berhubungan negatif ketersediaan pangan. Umur ibu berhubungan positif dengan kesiapsiagaan kelauarga. Pendapatan perkapita dan kepemilikan aset berhubungan positif dengan pola belanja beras. Pada keluarga nelayan juragan pengeluaran pangan berhubungan negatif dengan besar keluarga dan berhubungan positif dengan pengeluaran total dan kepimilikan aset. Pada keluarga nelayan buruh, pengeluaran pangan berhubungan negatif dengan besar keluarga dan berhubungan positif dengan kepemilikan aset. Pada keluarga nelayan juragan, bantuan pangan berhubungan negatif dengan lama pendidikan ibu, pendapatan, dan kepemilikan aset. Sedangkan pada keluarga nelayan buruh, bantuan pangan berhubungan negatif dengan pendapatan. Coping strategy pangan keluarga nelayan juragan berhubungan negatif dengan pendapatan dan kepemilikan aset, sedangkan pada keluarga nelayan buruh, coping strategy pangan berhubungan negatif dengan lama pendidikan ibu. Setiap orang akan merasakan kepuasan yang berbeda dengan tingkat ekonomi yang relatif sama. Sebagian besar keluarga contoh termasuk dalam kategori tidak sejahtera. Namun, sebagian besar keluarga nelayan contoh tergolong sejahtera secara subyektif. Secara obyektif terdapat perbedaan yang signifikan antara kesejahteraan keluaraga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Sedangkan secara subyektif, tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara kesejahteraan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap kesejahteraan obyektif adalah besar keluarga, lama pendidikan ibu, pengeluaran non pangan, total pengeluaran, dan kepemilikan aset. Namun setelah dianalisis dengan menggunakan regresi logistik, maka dihasilkan satu faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan obyektif, yaitu besar keluarga. Selanjutnya, faktor yang diduga berpengaruh terhadap kesejahteraan subyektif adalah pendapatan per kapita, status kepemilikan rumah, densitas (luas lantai per kapita), dan kesesakan (crowding). Namun, setelah dianalisis dengan analisis dengan menggunakan regresi logistik, maka diperoleh dua faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subyektif yaitu status kepemilikan rumah dan luas lantai per kapita (densitas). Faktor utama yang mempengaruhi kesejahteraan subyektif pada keluarga nelayan contoh adalah status kepemilikan rumah. Keluarga nelayan contoh yang memiliki rumah dengan status tanah milik sendiri berpeluang 3.643 kali lebih sejahtera secara subyektif dibandingkan dengan keluarga nelayan yang status rumahnya bukan milik sendiri. Kesejahteraan subyektif keluarga nelayan di daerah rawan bencana dicirikan dengan pentingnya pemenuhan kebutuhan perumahan yang mana memberikan kepuasan yang lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan lain. Peubah-peubah yang diteliti hanya mewakili 30.9% dari peubah-peubah yang mempengaruhi kesejahteraan subyektif keluarga nelayan contoh. Terdapat 69.1 % peubah lain di luar peubah yang dianalisis, yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektif keluarga nelayan contoh. Bukti ilmiah yang dihasilkan dari penelitian ini mendorong penulis untuk memberikan saran antara lain: 1) rendahnya perilaku siapsiaga memberikan indikasi pentingnya pemberdayaan keluarga baik dari aspek pengetahuan pangan maupun startegi manajemen keuangan keluarga oleh pemerintah setempat bekerja sama dengan pihak yang berkiprah dalam upaya peningkatan kesejahteraan keluarga, 2) Peran KUD yang salah satunya sebagai lumbung pangan desa sangat penting untuk dimaksimalkan dan dapat diakses oleh seluruh nelayan sebagai salah satu upaya mitigasi resiko bencana, 3) berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan perumahan, status kepemilikan rumah dipandang penting sebagai penentu kesejahteraan subyektif keluarga, sehingga perlu adanya upaya pemerintah setempat untuk mempertimbangkan hal ini sehingga kondisi kesejahteraan nelayan menjadi lebih baik.
KAJIAN KESEJAHTERAAN KELUARGA: KERAGAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN DAN PERUMAHAN PADA KELUARGA NELAYAN DI DAERAH RAWAN BENCANA
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
ESTI ROHIMAH
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 23 Juli 1986. Penulis merupakan anak kedua dari 2 bersaudara pasangan Ahmad Nuryatin dan Kufah (almh). Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di MI Darul Hikam Lamongan, lalu melanjutkan pendidikan di MTs Darul Hikam Lamongan dan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Mayor Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) dan Minor Gizi Masyarakat (GM). Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten MK. Sosiologi Umum semester genap 2007/2008 dan semester ganjil 2008/2009, serta asisten MK. Pengasuhan Anak (Parenting) semester ganjil 2008/2009. Selain itu, penulis aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan sebagai anggota Divisi Litbang Gema Almamater IPB 2005/2006, anggota Komisi Eksternal DPM FEMA IPB 2006/2007, ketua Divisi Keprofesian Himaiko IPB 2007/2008. Selain itu penulis pernah magang di LSM Pratista Indonesia, salah satu LSM yang bergerak dibidang perlindungan anak dan perempuan dari tindak kekerasan. Penulis merupakan mahasiswa berprestasi IKK 2008 dan mewakili IKK dalam seleksi mahasiswa berprestasi tingkat Fakultas Ekologi Manusia. Beasiswa selama kuliah yang penulis peroleh antara lain POM (Perkumpulan Orangtua Mahasiswa), Persada, Karya Salemba Empat, Woman’s International Club (WIC), dan beasiswa Bank Indonesia. Penulis juga aktif menulis dalam beberapa perlombaan karya tulis. Penulis memperoleh penghargaan 10 terbaik dalam lomba karya tulis yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Tanah IPB (2005), lolos dalam seleksi pendanaan proposal PKMM dan PKMP oleh DIKTI (2007 dan 2008), serta Pemenang karya tulis dalam Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKM-AI) yang diselenggarakan oleh DIKTI (2009).
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tidak terkira sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Kajian Kesejahteraan Keluarga: Keragaan Pemenuhan Kebutuhan Pangan dan Perumahan pada Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari skripsi ini terwujud tidak lepas dari dukungan semua pihak maka ucapan terima kasih setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada : 1.
Dr. Ir. Euis Sunarti, MS. selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik yang dengan penuh kesabaran dan pengertian telah memberikan
bimbingan,
dukungan,
saran
dan
waktunya
selama
melaksanakan studi di IKK dan demi kesempurnaan penyelesaian skripsi ini. 2.
Dr. Ir. Diah K. Pranaji selaku dosen pemandu dalam seminar hasil penelitian, dan Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc. dan Ir. Istiqlaliyah Muflikhati M. Si selaku dosen penguji.
3.
Seluruh aparat Pemerintah Kabupaten Ciamis, Aparat Pemerintah Kecamatan Pangandaran, parat Pemerintah Desa Pangandaran, keluarga besar Bapak Wahyuni, serta Ibu responden penelitian ini. Tanpa beliau-beliau semua, penelitian ini tidak akan pernah terselesaikan.
4.
Bapak, Ibu, Mbak Izza, Adik Wirda, Mas Hadi, dan Adik Azam yang telah memberikan penulis semangat, cinta kasih, keceriaan dan kehidupan, serta pembelajaran yang sangat berharga.
5.
Teman-teman satu penelitian, keluarga besar Soka 15, teman-teman IKK angkatan 42, 43, dan 44 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaanya yang indah, mudah-mudahan kita selalu diberikan yang terbaik oleh Allah dimanapun dan menjadi sesukses apapun kita nanti. Amin. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan dan kelapangan
rezeki kepada semua orang yang telah berbuat kebajikan kepada penulis baik yang namanya telah disebutkan atau yang belum sempat disebutkan. Terakhir atas semua kekuatan, rezeki, kemampuan berfikir, waktu, dan kesehatan, hambaMu
berucap beribu-ribu rasa syukur yang tak terhingga. Semoga hasil karya ini bisa bermanfaat luas bagi masyarakat, institusi pendidikan dan dapat memberikan masukan kepada pemerintah. Bogor, Agustus 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................................x DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................xv PENDAHULUAN ...................................................................................................1 Latar Belakang......................................................................................................1 Perumusan Masalah ..............................................................................................2 Tujuan ...................................................................................................................4 Kegunaan ..............................................................................................................5 TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................6 Karakteristik Keluarga Nelayan ...........................................................................6 Bencana Alam dan Dampaknya Bagi Keluarga ...................................................9 Kesejahteraan Keluarga ......................................................................................11 Kesejahteraan Obyektif ................................................................................12 Pemenuhan Pangan .......................................................................................15 PemenuhanPerumahan .................................................................................21 Kesejahteraan Subyektif ...............................................................................23 Determinan Kesejahteraan Keluarga .................................................................25 KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................................26 METODE ...............................................................................................................28 Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian .............................................................28 Contoh dan Metode Pengambilan Contoh .........................................................28 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ....................................................................29 Pengolahan dan Analisis Data ...........................................................................30 DEFINISI OPERASIONAL ..................................................................................37 HASIL DAN PEBAHASAN .................................................................................41 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ....................................................................41 Karakteristik Keluarga .......................................................................................43 Kesejahteraan Keluarga Obyektif.......................................................................53 Keragaan Pemenuhan Pangan ...........................................................................54 Keragaan Pemenuhan Perumahan .....................................................................72 Kesejahteraan Subyektif ....................................................................................80 Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pemenuhan Pangan ........................83 Determinan Kesejahteraan Keluarga ................................................................87 Pembahasan Umun ...........................................................................................89
x
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................................91 Kesimpulan .......................................................................................................91 Saran .................................................................................................................93 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................94 LAMPIRAN ...........................................................................................................98
xi
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Perilaku coping berdasarkan keseriusan situasi dan kapasitas coping strategy ................................................................................................................... 20
2.
Jenis dan cara pengambilan data, variable, responden, alat, dan cara pengukuran serta skala data ...........................................................................29
3.
Karakteristik usia, besar keluarga, dan lama pendidikan berdasarkan tipe nelayan ............................................................................................................43
4.
Rata-rata, standar deviasi, persentase pendapatan tiap musim terhadap pendapatan total rata-rata, dan pengeluaran pangan serta non pangan terhadap pengeluaran total berdasarkan tipe nelayan ....................................47
5.
Jenis aset dimiliki berdasarkan tipe nelayan ...................................................50
6.
Nilai aset yang dimiliki contoh berdasarkan tipe nelayan ..............................52
7.
Kriteria kemiskinan pada musim panen, musim biasa, dan musim paceklik berdasarkan tipe nelayan ................................................................................54
8.
Frekuensi dan keragaman pangan berdasarkan tipe nelayan ..........................55
9.
Dimensi akses pangan berdasarkan tipe nelayan ...........................................57
10. Ketersediaan pangan pokok (beras) berdasarkan tipe nelayan ......................59 11. Perilaku coping stratregy pangan rumah tangga berdasarkan tipe nelayan ...61 12. Jumlah perilaku coping yang dilakukan keluarga berdasarkan tipe nelayan ..........................................................................................................62 13. Perilaku siapsiaga dalam memenuhi kebutuhan pangan berdasarkan tipe nelayan ...........................................................................................................63 14. Jumlah perilaku siapsiaga yang dilakukan keluarga berdasarkan tipe nelayan ...........................................................................................................64 15. Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi serealia dan umbi-umbian keluarga ...........................................................................................................65 16. Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi pangan sumber protein keluarga ...........................................................................................................67 17. Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi pangan sumber protein keluarga ...........................................................................................................70 18. Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi makanan jajanan ......................72
xii
19. Status kepemilikan rumah, densitas, dan kesesakan (crowding) berdasarkan tipe nelayan ................................................................................73 20. Kondisi fisik rumah (jenis lantai, jenis atap, dan jenis dinding rumah) berdasarkan tipe nelayan ................................................................................76 21. Fasilitas dan perlengkapan rumah berdasarkan tipe nelayan .........................77 22. Kondisi lingkungan tempat tinggal keluarga nelayan contoh ........................79 23. Kesejahteraan subyektif berdasarkan tipe nelayan .........................................81 24. Tingkat kesejahteraan subyektif berdasarkan tipe nelayan ............................83 25. Kofesien korelasi antara karakteristik keluarga dengan akses pangan, ketersediaan pangan, food coping strategy, dan kesiapsiagaan keluarga .......84 26. Koefesien korelasi antara karakteristik keluarga dengan akses pangan (pengeluaran pangan dan bantuan pangan) dan coping strategy pangan berdasarkan tipe nelayan .................................................................................85 27. Determinan kesejahteraan obyektif ................................................................87 28. Determinan kesejahteraan Subyektif .............................................................88
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Kerangka pemikiran ........................................................................................27
2.
Kerangka sampling penelitian.........................................................................28
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Uji beda berbagai variabel ..............................................................................98
2.
Hasil uji korelasi Pearson (hubungan karakteristik keluarga dengan kesejahteraan keluarga) .................................................................................102
3.
Hubungan karakteristik keluarga dengan komponen pemenuhan pangan ....103
4.
Hubungan karakteristik keluarga dengan komponen pemenuhan pangan berdasarlan tipe nelayan ................................................................................105
5.
Hasil uji regresi logistik ................................................................................109
6.
Hasil uji reliabilitas Instrumen ......................................................................111
7.
Uji kesahihan instrumen coping strategy ......................................................113
8.
Dokumentasi Penelitian ................................................................................115
xv
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara paling rentan di dunia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Asia, benua Australia, lempeng samudera Hindia, dan samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari pulau Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan daratan rendah yang sebagian didominasi rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor (Carter 1991). Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold 1986 diacu dalam Bapenas 2006). Daerah pesisir merupakan salah satu daerah yang rawan terhadap bencana alam. Sebagai negara kepulauan dengan luas laut mencapai 3.257.483 km2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km (Anonimous 2009), Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas (Savitri & Khazali 1999). Diperkirakan 22% jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 41 juta jiwa tinggal dan hidup di wilayah pesisir yang mata pencahariannya memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayah pesisir baik sebagai nelayan ataupun petani tambak (Nurududja, Aminah, & Sukarman 2007). Letak wilayah pesisir yang secara geografis berada diantara daratan dan lautan, mengakibatkan wilayah pesisir sangat dinamis dan rentan terhadap bencana. Bencana alam rutin seperti gelombang pasang bahkan bencana alam yang menghancurkan seperti tsunami, angin puting beliung, dan banjir merupakan risiko bagi penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Bencana alam yang kerap melanda kawasan pesisir akan sangat berdampak pada kehidupan keluarga, terutama keluarga nelayan yang sangat tergantung pada keramahan laut. Dampak bencana alam bagi keluarga nelayan dapat berupa terganggunya kegiatan melaut yang sangat terkait dengan minimnya pendapatan. Selain itu bencana alam yang terjadi di daerah pesisir akan
2
menyebabkan rusaknya kawasan pemukiman sekitar. Kondisi ini menyebabkan terganggunya pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai kebutuhan dasar manusia. Kondisi terpenuhinya kebutuhan biasanya dikenal dengan istilah sejahtera. Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material, maupun spiritual yang diikuti rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman diri, rumah tangga serta masyarakat lahir dan batin yang memungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, rumah tangga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi (Rambe 2004). Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya untuk mencapai kondisi kesejahteraan keluarga, maka setiap keluarga harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya baik lahir maupun batin. Pangan dan perumahan merupakan indikator dasar kesejahteraan keluarga. Artinya, untuk mencapai kondisi sejahtera keluarga harus dapat memenuhi kebutuhan pangan dan perumahannya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Perumusan Masalah Luasnya laut Indonesia dengan berbagai kekayaan alam merupakan potensi yang besar untuk Indonesia. Menurut pakar kelautan dan perikanan dari Perancis, Prof Dr Jean Chaussade, Indonesia memiliki potensi hasil laut sebesar 82 milliar dollar AS yang dapat digunakan untuk melunasi hutang Indonesia secara bertahap (Anonymous, 2009). Dengan demikian, sektor kelautan sangat potensial untuk membangun kesejahteraan di Indonesia, baik bagi masyarakat nelayan maupun masyarakat secara keseluruhan. Namun, besarnya potensi laut Indonesia sampai saat ini ternyata tidak dapat meningkatkan taraf hidup sebagian besar nelayan di Indonesia. Fakta yang terjadi sampai saat ini adalah tingkat kesejahteraan nelayan di Indonesia masih tergolong rendah. Data menunjukkan sedikitnya terdapat 14.58 juta atau sekitar 90% dari 16.2 juta nelayan di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Faktor-
3
faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan di Indonesia antara lain: 1) belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terintegrasi atau terpadu di antara para pelaku pembangunan, 2) tidak terjaganya konsistensi kuantitas hasil tangkap sehingga aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan tidak berlangsung terus-menerus, 3) terbatasnya modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya, 4) terisolasinya geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuk barang, jasa, kapital, dan manusia, 5) dinamika sosial, ekonomi,dan budaya masyarakat nelayan yang lambat, dan 6) relasi sosial ekonomi yang ”eksploitatif” dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan. Kawasan pesisir Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Salah satu kawasan pesisir di Indonesia yang rawan terhadap bencana alam adalah kecamatan Pangandaran. Kecamatan pangandaran merupakan daerah pesisir yang memiliki potensi yang besar, terutama potensi pariwisata dan potensi perikanan. Potensi perikanan yang ada menyebabkan sebagian besar penduduk Kecamatan Pangandaran bermata pencaharian nelayan, terutama di Desa Pangandaran. Adanya potensi perikanan dan pariwisata yang ada di Kecamatan Pangandaran dapat dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan sosial ekonomi mereka. Namun, secara ekonomi masyarakat di daerah pesisir berhadapan dengan ketidakpastian. Ketidakpastian ekonomi yang terjadi disebabkan matapencaharian sebagai nelayan sangat tergantung dengan alam, dan salah satu penyebab ketidakpastian adalah bencana alam. Berdasarkan catatan direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, terdapat 28 wilayah di Indonesia yang rawan gempa dan tsunami, salah satunya adalah wilayah Jawa Barat (Husin 2008). Bencana alam yang biasa terjadi di daerah pesisir antara lain gempa dan angin kencang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis (2008)
melaporkan
bahwa selama tahun 2007 terdapat empat kali bencana alam yang berupa angin kencang. Bencana angin kencang yang terjadi seringkali berdampak pada aktifitas melaut yang dilakukan oleh nelayan. Hal ini dapat mengganggu pemenuhan
4
kebutuhan keluarga, baik pangan maupun perumahan yang merupakan indikator kesejahteraan keluarga. Berdasarkan adanya permasalahan tersebut maka muncul beberapa pertanyaan: 1) bagaimana karakteristik keluarga nelayan di daerah rawan bencana? 2) bagaimana tingkat kesejahteraan obyektif dan subyektif keluarga nelayan di daerah rawan bencana? 3) bagaimana keragaan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan pada keluarga nelayan di daerah rawan bencana? 4) apakah terdapat perbedaan karakteristik keluarga, keragaan pemenuhan pangan dan perumahan, serta tingkat kesejahteraan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh? dan 5) faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana?
Tujuan Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keragaan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Tujuan Khusus Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan, maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut. 1.
Mengetahui karakteristik keluarga nelayan di daerah rawan bencana.
2.
Menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana
3.
Menganalisis keragaan pemenuhan pangan dan perumahan keluarga nelayan di daerah rawan bencana.
4.
Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, tingkat kesejahteraan keluarga, dan keragaan pemenuhan pangan dan perumahan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
5.
Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan akses pangan, ketersediaan pangan, coping strategy pangan dan kesiapsiagaan pemenuhan pangan.
6.
Menganalis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana.
5
Kegunaan Penelitian Penelitian mengenai keragaan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana
ini diharapkan dapat bermanfaat, baik bagi penulis, institusi
pendidikan, serta pemerintah dan instasi terkait. Bagi penulis, penelitian ini dapat digunakan sebagai pengalaman dalam melakukan penelitian sesuai dengan bidang keilmuan yang ditekuni, sehingga mengetahui kondisi dan lingkungan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat memperkaya dan memperluas dimensi penelitian mengenai pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga. Selain itu penelitian ini dapat menyediakan informasi ilmiah yang dapat digunakan oleh berbagai instansi atau pihak yang berkiprah dalam upaya peningkatan kesejahteraan keluarga.
6
TINJAUAN PUSTAKA Sesuai dengan tujuan penelitian, pada bab ini dikaji hasil-hasil penelitian dan kajian teoritis yang melandasi pentingnya mengkaji keragaan pemenuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Bagian pertama dibahas mengenai karakteristik keluarga nelayan serta bencana alam dan dampaknya bagi kualitas kehidupan keluarga, yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini. Bagian kedua dibahas bahwa keluarga merupakan sistem yang berusaha mencapai kesejahteraan keluarga baik secara obyektif maupun subyektif serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Bagian
yang
terakhir
mengkaji
mengenai
keragaan
pemenuhan pangan dan kualitas perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga. Karakteristik Keluarga Nelayan Menurut Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan (2000) definisi nelayan adalah orang yang aktif dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Nelayan merupakan bagian dari masyarakat yang hidup di pedesaan pesisir dan memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan kondisi masyarakat di luar komunitasnya, baik dari sudut pandang geoekologi, ekonomi, maupun sosial. Secara ekologi dan geografis masyarakat pesisir diuntungkan dengan luasnya lahan garapan mereka. Namun secara ekonomi, masyarakat di daerah pesisir berhadapan dengan ketidakpastian. Modal dan pendapatan nelayan umumnya rendah, sedangkan biaya yang dikeluarkan cukup besar. Selain itu, masyarakat pesisir memiliki kehidupan yang dihadapkan langsung dengan keadaan ekosistem yang keras, dan sumberdaya kehidupan yang bergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut (Satria 2002). Nelayan sebagai suatu komunitas masyarakat, memiliki sistem sosial yang berbeda. Secara tidak langsung, nelayan distratifikasi berdasarkan kepemilikan aset atau alat penangkapan dan keterlibatan orang lain dalam usaha penangkapan ikan (Mulyadi 2005). Stratifikasi ini menyebabkan masyarakat nelayan terbagi menjadi dua kelompok yaitu nelayan juragan dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau yang disebut dengan juragan adalah orang yang memiliki sarana
7
penangkapan seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah orang yang bekerja sebagai buruh dalam kegiatan penagkapan ikan di laut (Satria 2002). Kehidupan nelayan berada pada lingkungan keterbatasan dan kemiskinan yang
dibatasi
oleh
mobilitas
usaha
dan
ketidakpastian
usaha
karena
ketergantungan terhadap musim. Kondisi ini menyebabkan pendapatan nelayan sangat fluktuatif. Selain itu, pendapatan nelayan juga sangat ditentukan oleh pemilikan kekayaan khususnya penguasaan alat tangkap berupa perahu atau kapal beserta perangkatnya (Carner 1984 diacu dalam Waspodo 2003). Ciri lain yang melekat pada rumah tangga nelayan meliputi: 1) rumah dan barang yang dimiliki terbatas dan sangat sederhana, 2) tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, 3) produktivitas kerja rendah, 4) keterampilan kurang memadai, dan 5) kurang dapat mengikuti pembaharuan dan kurang memperoleh kesempatan berperan serta dalam pembangunan. Nelayan, sebagai suatu komunitas masyarakat memiliki sistem sosial yang berbeda. Secara tidak langsung, nelayan distratifikasi berdasarkan kepemilikan aset atau alat penangkapan dan keterlibatan orang lain dalam usaha penagkapan ikan (Mulyadi 2005). Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, masih terbelit oleh persoalan kemiskinan, keterbelakangan, dan kesulitan mengakses berbagai layanan publik. Terdapat persoalan tertentu yang terkait dengan aspek ekologis, sosial, dan ekonomi sehingga masyarakat di kawasan pesisir masih tertinggal (Hanson 1984 dalam Amanah et al, 2005). Nelayan dapat dikategorikan menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau yang disebut dengan juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah orang yang bekerja sebagai buruh dalam kegiatan penagkapan ikan di laut (Satria 2002). Mubyarto, Sutrisno, dan Dove (1984) menambahkan bahwa sekelompok nelayan yang tidak memiliki alat tangkap dan perahu harus menjadi buruh bagi nelayan lainnya, di mana pendapatan dipengaruhi oleh pola bagi hasil di kalangan nelayan. Besar Keluarga. Besar keluarga menunjukkan jumlah individu yang tinggal dalam suatu keluarga. Prabawa (1998) mengungkapkan bahwa setinggi
8
apapun tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala keluarga dalam rumah tangganya, pada akhirnya
kesejahteraan akan banyak ditentukan oleh
penadapatan per kapita. Besarnya pendapatan perkapita selain ditentukan oleh total pendapatan yang diterima, juga oleh seluruh anggota keluarga yang menjadi tanggungan dari kepala keluarga yang bersangkutan. Tidak semua anggota keluarga dalam rumah tangga bekerja produktif sehingga menjadi beban tanggungan. Banyaknya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita dan besarnya konsumsi keluarga. Oleh karena itu, jumlah anggota keluarga atau besar keluarga akan memberi dorongan bagi rumah tangga bersangkutan untuk lebih banyak menggali sumber pendapatan lainnya. Pendidikan. Hasil penelitian Megawangi (1994) membuktikan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata positif dengan kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Dengan demikian, kemampuan melihat ke depan dengan mengadakan perencanaan biaya dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi penduduk, dan semakin banyak anggota rumah tangga cenderung semakin sulit merencanakan biaya. Rumah tangga yang dikepalai oleh seseorang dengan pendidikan rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Pendapatan.
Secara
umum
pedapatan
nelayan
memang
sangat
berfluktuasi dari hari ke hari. Menurut Dahuri dkk (1996) diacu oleh Waspodo (2003), di daerah yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara jawa, sudah terjadi kelebihan tangkap (over fishing). Pendapatan nelayan ditentukan juga oleh produktivitas alat tangkap, keterampilan yang dimiliki, jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam penagkapan dan sistem bagi hasil yang dicapai (Syafin 1993 diacu oleh Waspodo 2005). Mengacu pada pendapat Carner (1984), Waspodo (2003) menambahkan bahwa besar pendapatan kelompok masyarakat nelayan berbedabeda tergantung pada pemilikan kekayaan khususnya penguasaan alat tangkap berupa perahu atau kapal beserta perangkatnya. Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan gizi dan kebiasaan makan masyarakat setempat (Berg 1986 diacu oleh Puspa 2007). Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
9
keluarga tersebut. Rendahnya pendapatan merupakan satu hambatan yang menyebabkan daya beli menurun sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang besar dan atau mutu yang diperlukan. Kepemilikan Aset. Sumberdaya bermakna sebagai sumber dari kekuatan, potensi dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat dan tujuan. Sumberdaya merupakan aset, yaitu sesuatu apapun baik yang dimiliki atau yang dapat diakses, yang dapat memberikan nilai tukar untuk mencapai tujuan. Aset tersebut bisa berupa sumberdaya ekonomi, potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, fasilitas masyarakat (Rice & Tucker 1986 diacu dalam sunarti 2008)
Sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi
merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan keluarga (Gross, Crandall & Knoll 1980 diacu dalam Nuryani 2007). Sumberdaya berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya materi/non manusia. Sumberdaya
manusia
mempunyai
dua
ciri,
yaitu
pribadi/personal
dan
interpersonal, sedangkan sumberdaya materi terdiri dari benda-benda atau barang, jasa, waktu, dan energi. Sumberdaya materi dalam keluarga adalah aset/kekayaan keluarga. Menurut Guhardja et al. (1992) aset keluarga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut: 1) aset lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif cepat dapat diuangkan misalnya emas, perhiasan, dan uang tunai, dan 2) aset tidak lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif agak lama jika diuangkan misalnya tanah, rumah, mobil, kebun, surat-surat berharga, saham, dan investasi modal.
Bencana Alam dan Dampaknya terhadap Kehidupan Keluarga Bencana alam merupakan peristiwa dramatis yang disebabkan oleh kejadian alam dan ulah manusia. Secara umum, bencana alam dicirikan dengan waktu bencana yang relatif singkat, terjadi secara tiba-tiba, tidak terkontrol tetapi dapat diprediksi, serta dapat menyebabkan kerusakan dan kekacauan (Bell et.al. 1990). Menurut Undang-Undang No. 24 tahun 2007 bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
10
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Carter (1991) menambahkan terdapat beberapa macam
bencana alam, antara lain letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Terjadinya bencana alam akan memberikan resiko yang besar pada masyarakat. Hasil kajian terhadap kegiatan pengurangan resiko bencana pada tahun 2007 oleh sekretariat ISDR (International Stategy for Disaster Reductin) mengidentifikasikan dua potensi resiko bencana, yaitu yang bersifat intensif dan ekstensif. Resiko yang bersifat intensif menyangkut kecenderungan konsentrasi manusia dan kegiatan ekonomi yang mungkin mengalami kerusakan hebat akibat kejadian bencana dalam skala besar. Resiko ekstensif meliputi kecenderungan populasi manusia yang lebih tersebar, tetapi rentan terhadap bencana yang bersifat lokal, berintensitas rendah, dan dampaknya bersifat kumulatiif atau kronis, misalnya akibat perubahan iklim. Lembanga Demografi Universitas Indonesia (2008) memaparkan bahwa ukuran resiko bencana pada suatu masyarakat dapat dianalisis menggunakan HDI (Human Development Index) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dapat digunakan untuk ukuran resiko bencana suatu masyarakat. HDI diukur dari tiga indikator yang menunjukkan tingkat penghidupan manusia, angka harapan hidup, dan pendapatan. Ketiganya menunjukkan seberapa resilience atau kelentingan satu masyarakat yang apabila dikombinasikan tingkat kesiapan dan kewaspadaan akan memperlihatkan kapasitas masyarakat untuk menghadapi dampak bencana. Negara-negara dengan HDI tinggi akan lebih tahan atau resilience terhadap bencana dan sebaliknya. Bukti statistik bencana dunia juga menunjukkan hubungan positif tersebut, dimana korban akibat bencana di negara-negara dengan HDI rendah jauh lebih besar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bencana sangat merusak dan menimbulkan stress yang menyebabkan masalah emosional (Kardinet et. al. 1945 diacu dalam Bell et. al. 1990), keterbatasan kebebasan, rusaknya komunitas, serta rusaknya berbagai saranan yang telah dibangun. Disisi lain,
pada faktanya
11
beberapa penelitian menunjukkan bahwa dampak bencana dapat bersifat positif berupa peningkatan kelekatan sosial. Karena merasa memiliki nasib yang sama, korban bencana akan cenderung saling menolong satu sama lain (Bell et. al. 1990). Kesejahteraaan Keluarga Keluarga merupakan bagian dari sistem dan berinteraksi dengan beragam lingkungan (Sunarti 2007), artinya keluarga akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi akan berpengaruh pada kualitas kehidupan keluarga, atau dikenal dengan istilah kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga adalah terciptanya suatu keadaan yang harmonis dan terpenuhinya kebutuhan jasmani serta sosial bagi anggota keluarga, tanpa mengalami hambatan-hambatan yang serius di dalam lingkungan keluarga, dan dalam menghadapi masalah-masalah keluarga akan mudah untuk di atasi secara bersama oleh anggota keluarga, (Soetjipto 1992; Iskandar 2007), sehingga
standar kehidupan
keluarga
dapat
terwujud (Soetjipto 1992).
Kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari mengonsumsi pendapatan yang diterima (Rambe 2004), namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif (Rambe 2004; Sumarti 1999) yang dibentuk masyarakat melalui interaksi sosial (sumarti 1999). Lee
dan
Hanna
(1990)
dalam
Iskandar
(2007)
mendefinisikan
kesejahteraan sebagai total dari net worth (kekayaan bersih) dan human capital wealth (kesejahteraan sumberdaya manusia). Manfaat yang diperoleh merupakan nilai atas aset yang dimiliki dikurangi hutang (liabilitas). Sedangkan kesejahteraan SDM dapat diduga melalui pendapatan yang dihasilkan oleh SDM (human capital income) yang ada saat ini, atau dihitung dari nilai pendapatan non aset. Menetapkan indikator kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan karena permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut satu bidang saja, tetapi menyangkaut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan pendekatan integrasi berbagai bidang disiplin
12
ilmu dan atau melalui pengalaman empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku umum dan spesifik (Prabawa
1998).
Pedekatan
yang
digunakan
untuk
mengukur
tingkat
kesejahteraan keluarga yaitu berdasarkan pendekatan objektif dan subyektif. Kesejahteraan Obyektif Pendekatan obyektif diturunkan
dari data kuantitatif
diperoleh dari
angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang ditelaah. Pendekatan obyektif atau yang dikenal dengan istilah kesejahteraan obyektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial,maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain tingkat kesejahteraan masyarakat diukur
dengan
pendekatan baku (tingkat kesejahteraan semua masyarakat dianggap sama). Ukuran yang sering digunakan yaitu terminologi uang, pemilikan akan tanah, pengetahuan, energi, keamanan, dan lain-lain. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensional untuk kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan mudah dilakukan, namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya (Santamarina et. al diacu dalam suandi 2005). Untuk menentukan suatu keluarga sudah digolongkan sejahtera atau belum tentunya diperlukan ukuran pendapatan yang biasa disebut juga garis kemiskinan. Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan, tentunya tidak dapat memenuhi semua kebutuhan secara material. Tingkat kesejahteraan masyarakat juga dapat terlihat dari tingkat kesehatan masyarakat. Penduduk yang mengalami gangguan kesehatan selama sebulan dipandang sebagai salah satu indikasi ketidaksejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Tingkat pendidikan masyarakat juga sebagai salah satu indikator kesejahteraan rakyat. Ukuran yang sangat mendasar adalah kemampuan baca tulis penduduk dewasa. Selain itu rata-rata lama sekolah penduduk juga menjadi indikator kesejahteraan rakyat. Tingkat partisipasi angkatan kerja (usia 15-64 tahun) adalah proporsi penduduk usia kerja yang termasuk ke dalam angkatan
13
kerja, yakni mereka yang bekerja dan mencari pekerjaan. Pekerjaan merupakan salah satu aspek penting dalam mencapai kepuasan individu dan memenuhi perekonmian rumah tangga dan kesejahteraan keluarga. taraf dan pola konsumsi masyarakat juga dijadikan indikasi untuk melihat tingkat kemiskinan keluarga. Berbagai indikator yang digunakan untuk mengetahui taraf dan pola konsumsi adalah: 1) tingkat pendapatan; 2) pengeluaran pangan dan non pangan. Penduduk miskin ditafsirkan sebagai penduduk yang pendapatannya (didekati dengan pengeluaran) lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan untuk hidup secara layak. Kebutuhan tersebut diterjemahkan sebagai jumlah rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makanan setara 2100 kalori sehari, perumahan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan (Badan Pusat Statistik 2006). Badan Pusat Statistik (2001) diacu dalam Rambe (2004) mengemukakan bahwa dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari aspek tertentu. Aspek spesifik yang dapat dijadikan indikator untuk mengamati kesejahteraan rakyat yaitu: kependudukan, kesehatan, Pendidikan, meliputi kemampuan baca tulis, tingkat partisipasi sekolah, dan fasilitas pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, dan kondisi sosial budaya. Pengukuran kesejahteraan Berdasarkan Kriteria BPS Sejarah, pendekatan, dan teknis pengukuran kemiskinan disadur dari BPS (2004). Badan Pusat Statistik Pertama kali melakukan perhitungan jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin. Pendekatan yang sama dilakukan BPS sejak pertama kali hingga saat ini dalam metode perhitungan penduduk miskin yaitu menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs). Dengan pendekatan ini kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non-makanan yang bersifat mendasar. Pengukuran Kesejahteraan Berdasarkan Kriteria BKKBN
14
BKKBN merumuskan konsep keluarga sejahtera yang dikelompokkan secara bertahap menjadi keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera tahap II, keluarga sejahtera tahap III, dan keluarga sejahtera tahap III plus. Batasan operasional dari keluarga sejahtera adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan
dasar,
kebutuhan
sosial,
kebutuhan
psikologis,
kebutuhan
pengembangan, dan kepedulian sosial (Sunarti 2008). Menurut Sunarti (2008), pada tahun 2005 dilakukan kajian indikator KS secara terbatas di kalangan BKKBN untuk mengakomodir berbagai saran perbaikan. Hasil kajian tersebut menetapkan terdapat perubahan indikator KS dari 23 item menjadi 21 item. 1. Keluarga KS I: umumnya anggota keluarga makan 2 kali atau lebih, anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah, dan bepergian, rumah yang ditempati keluarga memiliki atap, lantai, dan dinding yang baik, bila ada anggota keluarga yang sakit dibawa ke sarana kesehatan, bila pasangan usia subur ingin ber KB, pergi ke pelayanan kontrasepsi, dan semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah. 2. Keluarga KS II: pada umumnya keluarga anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayannya, paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan daging/ikan/telur, seluruh anggota keluarga paling kurang satu stel pakaian dalam setahun, luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk setiap penghuni 1 rumah, tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing, ada soerang atau lebih keluarga yang memperoleh penghasilan Seluruh anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulis latin, dan pasangan usia subur dengan 2 anak atau lebih menggunakan alat/obat kontrasespsi. 3. Keluarga KS III: keluarga berupaya untuk meningkatkan pengetahuan agama, sebagian keluarga menabung dalam bentuk uang atau barang, kebiasan keluarga makan bersama paling kurang seminggu sekali dimanfaatkan untuk berkomunikasi, keluarga sering ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal, dan keluarga dapat informasi dari radio/TV/majalah/surat kabar.
15
4. KS III Plus: keluarga secara teratur dengan sukarela memberikan sumbangan materiil untuk kegiatan sosial dan ada anggota keluarga yang aktif ikut perkumpulan sosial/yayasan/institusi/masyarakat. Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan menjelaskan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumberdaya hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan pemenuhan kebutuhan pangan adalah ketahanan pangan.
Menurut Chung,
Haddad, Ramakrisna, dan Riely (1997) sistem ketahanan pangan merupakan rangkaian tiga komponen utama, yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan, kemudahan memperoleh pangan (akses pangan), dan penyerapan pangan. Kemudian, rumah tangga yang mengalami gangguan ketahanan pangan (paceklik) akan mengatasi masalah pangannya dengan melakukan coping strategy (Adi et. al. 1999). Untuk mengantisipasi masalah pangan keluarga harus siapsiaga atau waspada. Ketiga komponen ketahanan pangan akan menentukan konsumsi pangan keluarga yang ditentukan oleh ketersediaan pangan (Harper, Deaton, & Driskel, 1986; Chung, Haddad, Ramakrisna, & Riely 1997). Akses Pangan Rumah tangga Akses pangan tingkat rumah tangga adalah kemampuan satu rumah tangga untuk memperoleh pangan secara terus-menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan rumah tangga, jual beli, tukar-menukar/barter, pinjammeminjam, dan pemberian atau bantuan pangan. Akses pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk mengakses kebutuhan pangan sesuai norma gizi (World Food Programme 2005). Menurut Deptan (2007) akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan hasil dari rumah/pekarangan sendiri,
16
pembelian, pinjaman atau bantuan pangan. Kemampuan akses pangan rumah tangga dikatakan baik apabila rumah tangga mampu menjangkau pangan yang tersedia baik secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya. Akses pangan rumah tangga antara lain ditentukan oleh kemampuan produksi sendiri, daya beli dari pendapatan, dan daya jangkau terhadap program bantuan pemerintah maupun terhadap sumber pangan lainnya seperti lumbung pangan atau kerabat. Dengan demikian faktor-faktor tesebut dapat dijadikan sebagai indikator akses pangan rumah tangga. Ketersediaan Pangan Rumah tangga Ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan, serta turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan satu sistem yang berjenjang, mulai dari nasional, provinsi (regional), lokal (kabupaten/kota), dan rumah tangga (Baliwati & Rosita, 2004). Hasil dari penelitian Tim Studi Evaluasi Sistem Isyarat Dini dan Intervensi (SIDI) PSKPB-IPB tahun 1991 menyatakan bahwa pada tingkat rumah tangga, ketersediaan pangan diartikan sebagai kemampuan daya beli rumah tangga untuk menjangkau harga pangan pokok yang tersedia di pasar dan atau rumah tangga mampu memenuhi kebutuhan pangan pokok dari hasil usaha taninya. Berbagai cara dilakukan keluarga dalam usaha menyediakan pangan yang cukup bagi anggota keluarganya. Cara yang dapat dilakukan antara lain memproduksi pangan sendiri di lahan pertaniannya atau pekarangan rumah dan membeli di pasar atau warung yang ada di lingkungan tempat tinggal (Khomsan, 1996). Kemudian dijelaskan bahwa ketersediaan pangan dapat membentuk kebiasaan
makan
kelompok
masyarakat,
faktor
yang
berperan
dalam
pembentukan kebiasaan makan tersebut adalah faktor obyektif dan subyektif dari ketersediaan pangan. Faktor obyektif misalnya pengaruh fisik alam, biologi, dan kemajuan teknologi. Sedangkan faktor subyektif adalah budaya, sosial, dan psikologi. Selain itu, dikatakan bahwa kurangnya pangan yang cukup atau tersedia untuk di makan merupakan sebab utama rendahnya keadaan kehidupan keluarga (Jutomo 2000).
17
Suhardjo, Hardinsyah, dan Riyadi (1988) menyebutkan ada empat faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran pangan rumah tangga, pengetahuan gizi, dan ketersediaan pangan.
Sedangkan produksi pangan untuk keperluan
rumah tangga juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, yaitu pemilihan tanaman, neraca uang dan tanaman, sumberdaya produksi, terdapatnya tanah untuk tanaman pangan, pembagian kerja dalam keluarga. Pengeluaran pangan dapat dipengaruhi subsidi pangan untuk pemerintah, pangan yang dibagi-bagikan di antara anggota masyarakat, jumlah dan ragam pangan yang dibeli, harga pangan di pasaran. Sebaliknya ketersediaan pangan dipengaruhi oleh produksi pangan untuk rumah tangga dan pengeluaran pangan rumah tangga. Menurut Word Food Program (2005) ketersediaan pangan rumah tangga ditentukan oleh konsumsi normatif serealia yaitu 300 gram per orang per hari. Pola Konsumsi Konsumsi pangan adalah informasi pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang, baik berupa jenis maupun jumlahnya pada waktu tertentu, artinya konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun jenis pangan yang dikonsumsi (Hardinsyah dan Suharjo 1990). Dengan demikian konsumsi pangan dapat dilihat dari frekuensi dan keragaman pangan. Menurut Riyadi (1996) ada tujuan seseorang mengkonsumsi pangan, yaitu tujuan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah untuk memenuhi rasa lapar atau keinginan memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis merupakan suatu yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memenuhi kepuasan emosional maupun selera seseorang. Tujuan sosiologis adalah berhubungan dengan memelihara hubungan antar manusia dalam kelompok kecil maupun kelompok besar. Household Dietery Diversity (keragaman konsumsi pangan rumah tangga) merupakan jumlah jenis makanan yang berbeda, yang dikonsumsi selama periode tertentu yang ditetapkan. Keragaman konsumsi pangan adalah indikator yang baik untuk alasan berikut (Swindale dan Bilinsky 2006): a) konsumsi pangan yang lebih beragam berhubungan dengan peningkatan berat badab bayi lahir, status
18
antropometrik anak, dan peningkatan konsentrasi hemoglobin, dan b) konsumsi pangan yang lebih beragam berkaitan erat dengan faktor seperti; kecukupan energi dan protein, persentase protein hewani, da pendapatan rumah tangga. Bahkan pada rumah tangga yang sangat miskin, peningkatan pengeluaran untuk makanan yang dihasilkan dari penghasilan tambahan berhubungan dengan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Menurut FAO (2007) keragaman konsumsi pangan adalah kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode tertentu yang ditetapkan yaitu dapat bertindak sebagai indikator alternatif bagi keamanan makanan bagi berbagai keadaan, termasuk negara dengan pendapatan sedang atau menengah, daerah pedesaan dan perkotaan, serta pada berbagai musim.
Keragaman
konsumsi pangan sangat penting, hal ini karena tidak ada satu jenis pangan yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang lengkap. Dengan mengkonsumsi pangan yang beragam, maka kekurangan zat gizi dalam satu jenis akan dilengkapi oleh kandungan zat gizi dari pangan lainnya. Adanya prinsip saling melengkapi akan berbagai pangan terrsebut akan menjamin terpenuhinya mutu gizi seimbang dalam jumlah cukup (Riyadi 1996). Berdasarkan satuan atau unit penilaian, konsumsi pangan dibedakan atas penilaian konsumsi pangan individu dan penilaian konsumsi pangan keluarga. Umumnya prinsip penilaian zat gizi individu dan keluarga adalah sama. Konsumsi pangan keluarga merupakan penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu anggota keluarga. Apabila satuan atau unit pengumpulan data konsumsi pangan adalah kelompok orang seperti keluarga atau rumah tangga, maka jumlah konsumsi pangan keluarga atau rumah tangga dibagi dengan jumlah orang atau anggota keluarga yang mengkonsumsi pangan tersebut (Hardinshyah dan Briawan 1994). Coping Strategy dan Kesiapsiagaan Keluarga Secara umum, coping adalah sebuah strategi yang dapat membantu seseorang untuk mengurangi stress dan membantu menyelesaikan masalah. Perbedaan budaya mempengaruhi perbedaan coping strategy seseorang. Perlu dimengerti bahwa coping strategy tidak dapat dinyatakan efektif atau tidak efektif tanpa mempertimbangkan keadaan individu.
19
Mengutip pernyataan Davies (1993), Usfar (2002) menyatakan bahwa coping strategy atau coping mechanism merupakan upaya yang dilakukan seseorang dalam mengatasi situasi atau keadaan yang tidak menguntungkan. Seseorang dapat berupaya dengan mengandalkan kemampuan intelektual, fisik, maupun material. Coping mechanism biasanya digunakan untuk mendayagunakan alat tukar sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam mendapatkan pangan untuk menjamin kelangsungan hidup diri orang tersebut dan anggota keluarganya. Coping mechanism juga menyediakan cara untuk memanfaatkan aset tagihan dan simpanan akses pangan yang dimiliki. Tujuan coping mechanism adalah mempertahankan dari berbagai tujuan rumah tangga termasuk pemenuhan konsumsi pangan, kesehatan, status, dan mata pencaharian. Konsumsi pangan dan kesehatan merupakan tujuan yang lebih disegerakan daripada status dan mata pencaharian, karena kecukupan pangan sangat perlu untuk hidup sehat dan memenuhi zat gizi yang dibutuhkan oleh anggota keluarga (Aams et. al. 1998 dalam Usfar 2002). Adi, Kusharto, Hardinsyah, dan Susanto (1999) menyebutkan bahwa rumah tangga yang mengalami gangguan ketahanan pangan (paceklik)) mengatasi masalah pangannya dengan melakukan coping strategy untuk memperoleh alat tukar dan meminimalkan resiko. Alat tukar bersifat fisik (tenaga) dengan bekerja keluar desa sebagai buruh bangunan, buruh serabutan, tukang becak, dan pedagang asongan. Alat tukar berupa benda hidup yaitu dengan menjual ternak (ayam, kambing), sedangkan alat tukar berupa benda mati (materi) yaitu dengan menjual atau menggadaikan perhiasan (emas) dan perkakas rumah tangganya. Selain sebagai indikator ketahanan pangan, coping strategy juga dapat menjadi salah satu determinan ketahanan pangan. Mamun menurut Frankenberner & Goldstein (1990) dalam Maxwel & Frankenberner (1992) menyatakan bahwa belum ada bukti yang kuat bahwa keberadaan coping strategy yang berhasil akan menyeimbangkan antara kebutuhan pangan saat ini dengan keberlanjutan pangan di masa yang akan datang sebagai salah satu syarat ketahanan pangan. Donahue (1998) dalam De Wagt dan Connolly (2005), menyatakan bahwa berdasarkan keseriusan situasi dan kapasitas coping dan perbedaan cara melakukan coping strategy untuk mengurangi ketidaktahanan pangan dapat
20
dikelompokkan menjadi: (1) reversible (ringan), (2)
productive assets
(menengah), dan (3) sangat parah (berat). Indikator-indikator di dalam ketiga kategori tersebut dikembangkan dalam penelitian terhadap keluarga penderita HIV/AIDS di Afrika. Perilaku coping berdasarkan keseriusan situasi dan kapasitas coping strategy dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perilaku coping berdasarkan keseriusan situasi dan kapasitas coping strategy Reversible Mencari bantuan dari anggota keluarga, teman, dan tetangga Mengurangi konsumsi
Menggunakan Productive Assets Menggunakan tabungan
Menjual asset termasuk tanah, binatang, dan perabotan Mengurangi pengeluaran untuk pangan dan kesehatan
Mengubah pembelian makanan menjadi lebih murah (kadang-kadang kurang gizi) Mengganti cadangan uang menjadi cadangan pangan Mengurangi pengeluaran untuk pendidikan Meningkatkan pendapatan Sumber: Donahue (1998) dalam De Wagt dan Connolly (2005)
Sangat Parah Tergantung kepada sumbangan dari lembaga pemerintah atau donator Migrasi Kriminalitas prostitusi
dan
Perilaku coping yang dilakukan oleh keluarga dapat berbeda-beda. Menurut Corbett (1988) dalam Anonimous (2004), bentuk-bentuk coping strategy yang berbeda didasarkan pada kondisi yang bermacam-macam, sering dikategorikan ke dalam empat tingkatan merdasarkan kondisi yang berbeda. Coping strategy yang dilakukan diantaranya adalah dengan: 1) adaptasi terhadap perubahan pola makan, seperti konsumsi pangan bergeser kepada konsumsi jagung sebagai pengganti beras, pengurangan porsi makan perhari, konsumsi makanan yang jarang dikonsumsi, mencari tambahan pendapatan sebagai buruh, dan meminjam uang dari keluarga lainnya; 2) menjual asset-aset tidak produktif, perhiasan, meminjam kepada selain keluarga, pindah pekerjaan sementara waktu, atau mengurangi makan sepanjang hari; 3) menjual tanah, hewan ternak dan asetaset produktif lainnya; dan 4) migrasi secara permanen dan mencari bantuan pangan. Maxwell (1996) menyatakan bahwa terdapat enam tahap utama (foodbased coping strategy) yang disebutkan oleh responden pada penelitiannya.
21
Tahap-tahap tersebut adalah (1) memakan makanan yang kurang disukai; (2) membatasi porsi makan; (3) meminjam makanan atau uang untuk membeli makan; (4) perubahan distribusi makan; (5) mengurangi fekuensi makan per hari; dan (6) tidak makan selama beberapa hari. Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Menurut Milligan et. al. (2006) akses terhadap tempat tinggal merupakan kebutuhan manusia yang cukup mendasar. Rumah tidak hanya menyediakan tempat untuk tidur, akan tetapi menyediakan kebutuhan psikologis. Sebagai lingkungan yang paling dekat dengan manusia, kondisi rumah dapat berdampak pada standar dan kualitas hidup manusia. Stigma sosial mengatakan bahwa perumahan dapat berdampak pada kesehatan mental keluarga. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap orangtua di Amerika, menunjukkan bahwa orang tua yang lemah akan lebih rentan jika tinggal di perumahan miskin (Lawton 1989; Moos & Lemke 1994 dalam Evans, Kantrowitz, & Eshelman 2002). Perumahan yang baik dapat menjadi tempat dimana kita merasa aman, merasa memiliki, megekspresikan diri kita (Brown & Perkins 1992 dalam Evans, Kantrowitz, & Eshelman 2002). Badan Pusat Statistik (2004) menjelaskan komponen perumahan menjadi penguasaan tempat tinggal, kondisi fisik bangunan, fasilitas dan perlengkapan rumah, serta kondisi lingkungan. Senada dengan Badan Pusat Statistik (2004), Statistic New Zaeland (2001e) dalam Milligan (2006) mengkalisifikasikan komponen pemenuhan perumahan menjadi status kepemilikan rumah, kondisi fisik bangunan (habitability), dan bebas dari kesesakan (crowding). Status Kepemilikan Rumah Status Kepemilikan rumah merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga (Statistic New Zaeland 1998d diacu oleh Milligan et. al. 2006). Hasil penelitian kuantitatif menunjukkan kepemilikan rumah berhubungan signifikan dengan kesejahteraan materi. Kepemilikan rumah merupakan indikator kekayaan dan status sosial, yang sangat berhubungan dengan pendapatan status sosial ekonomi seseorang. Selain itu, kepemilikan rumah
22
menunjukkan keamanan dan stabilitas finansial seseorang, segaligus mengurangi resiko frekuensi berpindah rumah. Kepemilikan rumah dalam pandangan nilai budaya, rumah merupakan investasi untuk masa depan. Selain berhubungan dengan kesejahteraan materi, rumah juga berhubungan dengan kesejahteraan subyektif. Hasil Penelitian Diener (2002) menunjukkan bahwa rumah memberikan pengaruh terbesar terhadap kesejahteraan subyektif seseorang. Kesesakan (Crowding) dan Kepadatan (Density) Kesesakan menunjuk pada kondisi rumah yang tidak nyaman. Kesesakan muncul ketika rumah tidak dapat menyediakan tempat tinggal yang cukup bagi anggotanya (Statistic New Zaeland 2004b). Kesesakan merupakan bentuk dari kemiskinan yang dapat menimbulkan berbagai konsekuensi negatif. Berbagai penelitian menunjukkan kesesakan berhubungan positif dengan peningkatan penyakit fisik dan mental (Baker et. al. 2004 diacu dalam Milligan et. al. 2006) . Menurut Asiama (1990) dalam Fiadzo dikemukakan bahwa kesesakan terjadi jika dua orang menempati satu ruangan dalam rumah. Sedangkan kesesakan berlebih (overcrowding) terjadi jika lebih dari 2 orang menempati satu ruangan dalam rumah. Sebagai indikator kesejahteraan keluarga, crowding diukur dengan crowding index, yang dianalisis berdasarkan jumlah kamar tidur yang ada di rumah dan jumlah anggota keluarga. Statistic New Zaeland (2004c) diacu dalam Milligan et. al. (2006) menetapkan formulasi pengukuran kesesakan dengan membandingkan antara [(1/2 jumlah anak <10 tahun) +(jumlah pasangan) + jumah anggota keluarga lain ≥ 10 tahun)] dengan jumlah kamar tidur. Indeks kesesakan yang >1 menunjukkan rumah yang termasuk kategori sesak. Komponen perumahan lain yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga adalah kepadatan (density). Kepadatan menunjuk pada luas lantai yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam rumah. Sebagai indikator kesejahteraan keluarga, BKKBN menetapkan luas lantai minimal yang memenuhi syarat rumah sehat adalah ≥ 8 m2 per orang (Sunarti 2007). Kepadatan, sama halnya dengan kesesakan menunjukkan terbatasnya ruang pribadi bagi seseorang. White (1975) dalam Bell et. al. (1990) mengungkapkan bahwa ruang pribadi (personal space) meningkat dengan
23
pengurangan ukuran ruangan dan menurun dengan penurunan ukuran ruangan. Selanjutnya Davis & Swaffer (1971) dalam Bell et. al. (1990) menemukan bahwa individu lebih berkeinginan memiliki tempat yang lebih luas diruang yang sempit daripada ruang yang lebih luas. Dan juga Baum, Reiss & O hara (1971) dalam Bell et. al. (1990) menjelaskan bahwa penempatan partisi di ruangan dapat mengurangi perasaan terganggu oleh anggota keluarga lain. Kondisi Fisik, Fasilitas dan perlengkapan, serta Kondisi Lingkungan Rumah Status ekonomi rumah tangga diperkirakan dapat mempengaruhi kondisi rumah tempat tinggal. Kondisi fisik rumah dapat dilihat dari jenis lantai, dinding, dan atap bangunan rumah. Fasilitas dan perlengkapan rumah digambarkan dengan jumlah dan jenis ruangan, fasilitas tempat mandi, kualitas air minum, bahan bakar untuk masak, sumber penerangan, dan penguasaan barang. Sementara kondisi lingkungan rumah digambarkan dengan lokasi rumah, kondisi lingkungan rumah, dan fasilitas umum (BPS 2004). Supraptini (2006) menjelaskan terdapat 14 indikator yang dapat dianalisis untuk menggambarkan rumah sehat. Indikator yang ada di dalam data Susenas, yaitu lokasi rumah, kepadatan hunian, jenis lantai, pencahayaan, ventilasi, air bersih, jenis jamban (WC), kepemilikan jamban, pembuangan akhir tinja, cara pembuangan air limbah, keadaan saluran/got, pembuangan sampah, polusi udara, dan bahan bakar untuk masak. Senada dengan yang diungkapkan oleh Supraptini, Fiadzo menggunakan 13 indikator untuk mengukur kualitas perumahan di Ghana, antara lain: jenis dinding, jenis atap, bahan bakar memasak, penerangan, pelayanan air, pembuangan kotoran, jabatan, dan jarak air minum terdekat, pasar yang menyediakan makanan, transportasi umum, Sekolah dasar, sekolah menengah, dan kesehatan (rumah sakit) Kesejahteraan Subyektif Pendekatan subyektif diperoleh dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan
sehingga
hasilnya
merupakan
perkembangan
dari
aspek
kesejahteraan. Pendekatan dengan indikator obyektif secara filosofi berhubungan erat dengan psikologi sosial masyarakat. Penduduk mungkin mempunyai pandangan tersendiri tentang apa arti kesejahteraan yang mungkin berbeda dengan
24
konsep obyektif. Konsep subyektif dapat memberikan pengertian yang mendalam tentang masalah kesejahteraan yang dihadapi rumah tangga. Model ini dianggap lebih sensitif untuk mengukur kesejahteraan rumah tangga (Raharto dan Romdiati 2000). Kesejahteraan
dengan
pendekatan
subyektif
diukur
dari
tingkat
kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang lain. Pendekatan subyektif mendefinisikan kesejahteraan berdasarkan pemahaman penduduk mengenai standar hidup mereka dan bagaimana mereka mengartikannya (Santamarina et. al diacu dalam suandi 2005). Menurut Diener (2002) kesejahteraan subyektif didefinisikan sebagai evaluasi seseorang terhadap kehidupannya. Evaluasi dapat berupa pendapat kognitif, seperti kepuasan hidup dan respon emosi terhadap suatu peristiwa, seperti perasaan emosi yang positif. Kesejahteraan subyektif merupakan istilah ilmiah dalam disiplin ilmu psikologi yang menunjuk pada evaluasi individu terhadap peristiwa yang dialami dan memberikan dampak positif atau negatif, kepuasan hidup, dan kebahagiaan (Guardiola & Munoz 2008). Penilain individu mengenai tingkat kesejahteraan subyektif tidak hanya pada dirinya, akan tetapi membandingkan dengan orang lain, serta pengalaman masa lalu dan harapan masa depan (Frey & Stutzer 2002a diacu dalam
Guardiola & Munoz 2008). Kesejahteraan subyektif di Negara
berkembang merupakan konsep yang lebih luas, yang dihubungkan dengan debat mengenai kemiskinan, baik kemiskinan pendapatan maupun kemiskinan konsumsi, yang mencakup kebutuhan dasar (Gaugh & Mc Gregor 2007:3). Menurut Guardiola & Munoz (2008) tingkatan pemenuhan kebutuhan dasar seseorang tergantung perasaan puas baik secara mental, sosial, dan berdasarkan kondisi lingkungan. Ruang lingkup kepuasan terhadap kebutuhan dapat mencakup kebutuhan pendidikan dasar, penanganan kesehatan, akses air bersih, dan kebutuhan tempat tinggal.
Determinan Kesejahteraan Keluarga Menurut Syarif dan Hartoyo (1993) faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga terdiri dari faktor ekonomi dan bukan ekonomi. Faktor
25
ekonomi berkaitan dengan kemampuan keluarga dalam memperoleh pendapatan. Keluarga yang tidak sejahtera memiliki pendapatan yang rendah. Rendahnya pendapatan menurut Sharp et. al. (1996) disebabkan oleh adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya, rendahnya SDM, serta perbedaan akses dan modal. Sementara faktor bukan ekonomi yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga antara lain budaya, teknologi, keamanan, kehidupan, dan kepastian hukum. Rambe (2004) menyebutkan bahwa faktor yang menentukan kesejahteraan keluarga
tergantung
pada
indikator
yang
digunakan
dalam
mengukur
kesejahteraan keluarga. Selanjutnya dikatakan terdapat empat faktor yang konsisten berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga yaitu pendidikan, kondisi tempat tinggal, harga, dan pengeluaran. Menurut Iskandar (2007), aspek karakteristik keluarga, aspek sosoal ekonomi, aspek lingkungan eksternal, serta aspek manajemen sumberdaya keluarga berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga. Konsisten dengan pernyataan tersebut hasil studi menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga, umur suami, pendidikan suami, pendidikan istri, pendapatan, tabungan, dan kepemilikan aset, serta adanya perencanaan dalam keluarga berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga. Selain itu, hasil penelitian Lee dan Hanna (1990) dalam Iskandar (2007) menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh usia, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, tempat tinggal, ukuran rumah tangga, dan siklus hidup.
1
KERANGKA PEMIKIRAN Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material, maupun spiritual yang diikuti rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman diri, rumah tangga serta masyarakat lahir dan batin yang memungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, rumah tangga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi (Rambe 2004). Pedekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga yaitu berdasarkan pendekatan objektif dan subyektif. Pendekatan obyektif atau yang dikenal dengan istilah kesejahteraan obyektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial,maupun ukuran lainnya. Kesejahteraan dengan pendekatan subyektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang lain. Terdapat
beberapa
indikator
yang
digunakan
untuk
mengukur
kesejahteraan, diantaranya adalah menggunakan indikator kebutuhan dasar, yaitu pemenuhan pangan dan perumahan. Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan pemenuhan kebutuhan pangan adalah ketahanan pangan. Sistem ketahanan pangan merupakan rangkaian tiga komponen utama, yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan, kemudahan memperoleh pangan (akses pangan), dan penyerapan pangan (Chung, Haddad, Ramakrisna, dan Riely 1997). Kemudian, rumah tangga yang mengalami gangguan ketahanan pangan (paceklik) akan mengatasi masalah pangannya dengan melakukan coping strategy (Adi et. al. 1999). Untuk mengantisipasi masalah pangan keluarga harus siapsiaga atau waspada. Ketiga komponen ketahanan pangan akan menentukan konsumsi pangan keluarga yang ditentukan oleh ketersediaan pangan (Harper, Deaton, dan Driskel, 1986 dan Chung, Haddad, Ramakrisna, dan Riely 1997). Selain pemenuhan pangan, kebutuhan dasar yang dijadikan sebagai indikator kesejahteraan keluarga adalah kualitas perumahan. Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia. Kaualitas rumah digambarkan dengan kondisi sanitasi rumah dan kepadatan atau densitas rumah yang menunjuk pada luas ruangan yang tersedia untuk masingmasing individu dalam rumah.
Secara komprehensif, kerangka pemikiran
2
mengenai pemenuhan pangan dan perumahan sebagai indikator kesejahteraan keluarga dapat dijelaskan melalui gambar di bawah ini. Daerah Rawan Bencana Karakteristik Keluarga Umur Pendidikan Besar Keluarga Pengeluaran Keluarga Kepemilikan Aset
Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan Obyektif Keragaan Pemenuhan Pangan Frekuensi dan Keragaman Pangan Akses Pangan Ketersediaan Pangan Coping Strategy Pangan Kesiapsiagaan Keluarga Konsumsi Pangan
Kesejahteraan Subyektif Keragaan Pemenuhan Perumahan Status Kepemilikan Rumah Kepadatan Rumah Kesesakan Rumah Kondisi Fisik Rumah Fasilitas dan Perlengkapan Rumah Kondisi Lingkungan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Kajian Ketahanan Keluarga Nelayan: Pemenuhan Pangan dan Perumahan Sebagai Indikator Kesejahteraan Keluarga di Daerah Rawan Bencana
28
METODE Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengunakan desain cross sectional, di mana data diambil pada waktu tertentu secara bersamaan. Penelitian dilakukan di Desa Pangandaran. Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Selain itu penelitian ini menggunakan desain retrospektif di mana data diperoleh dari pengalaman responden beberapa waktu sebelumnya. Pemilihan kelurahan tersebut dilakukan purposive (sengaja), berdasarkan alasan bahwa Desa Pangandaran merupakan daerah nelayan yang rawan terhadap bencana alam. Secara keseluruhan, penelitian ini dilakukan selama enam bulan, meliputi penyusunan proposal dan kuesioner, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, serta penyusunan laporan. Contoh dan Metode Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga nelayan yang tinggal di Desa Pangandaran. Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga yang memenuhi kriteria penelitian, yaitu kepala keluarga bekerja sebagai nelayan dan bersedia dijadikan contoh penelitian. Sedangkan responden dalam penelitian ini adalah ibu. Penarikan contoh dilakukan dengan Proportional Random Sampling dengan menngunakan sistem proporsi. Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 80 keluarga yang tinggal di Desa Pangandaran. Kerangka sampling pada penelitian ini disajikan pada gambar di bawah ini. Kecamatan Pangandaran
Pangandaran
RW 3 N1= 118
RW 3 N2= 153
RW 3 n1=22
RW 7 n2=28
na=53
Total N=80
Purposive
Purposive
RW 9 N3= 167
RW 9 n3=30
Nb=27
Gambar 2 Kerangka Sampling Penelitian
Proportional Random Sampling
29
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer berupa karakteristik keluarga contoh (besar keluarga, usia orang tua, tingkat pendidikan orangtua, pendapatan per kapita, pengeluaran keluarga, kepemilikan asset, dan akses informasi dan dukungan sosial), pemenuhan pangan (akses pangan, ketersediaan pangan, coping strategy, kesiapsiagaan pangan, konsumsi pangan), keragaan perumahan (status kepemilikan rumah, kondisi fisik rumah, densitas rumah, fasilitas dan perlengkapan rumah, dan kondisi lingkungan), dan kesejahteraan keluarga (kesejahteraan obyektif dan subyektif). Data skunder meliputi gambaran lokasi penelitian yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Ciamis, Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi Kabupaten Ciamis, arsip Kecamatan Pangandaran, dan arsip Desa Pangandaran. Jenis dan cara pengambilan data, variabel, responden, alat dan cara pengukuran, serta skala data secara rinci disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan Cara Pengambilan Data, Variabel, Responden, Alat, dan Cara Pengukuran serta Skala Data. Jenis data
Primer
Skunder
Variabel Karakteristik Keluarga: 1. Usia 2. Lama Pendidikan 3. Besar Keluarga 4. Pendapatan 5. Pengeluaran 6. Kepemilikan Aset Pemenuhan Pangan 1. Akses Pangan 2. Ketersediaan pangan 3. Kesiapsiagaan pangan 4. Coping Strategy 5. Konsumsi Pangan Kualitas Perumahan (Housing) 1. Luas Rumah 2. Densitas (luas lantai per kapita) 3. Jumlah Ruangan 4. Jenis Atap Rumah 5. Jenis Lantai Rumah 6. Jenis Dinding Rumah 7. Sumber air minum dan masak 8. Sumber air keperluan utama 9. Jaarak Sumber air dengan septic tank Tingkat Kesejahteraan: 1. Kategori Kesejahteraan Obyektif 2. Kategori Kesejahteraan Subyektif Data Demografi
Alat dan Cara Pengukuran Kuesioner dan Wawancara
Kuesioner dan Wawancara
Instrumen
Pengembangan Kuesioner
Pengembangan kuesioner berdasarkan Deptan (2007a), WFP (2005), Maxwell (1996), dan Food Frequency Questionnaires
Kuesioner dan Wawancara
BPS (2006) dan Milligan et al (2006)
Kuesioner dan Wawancara
BPS (2006) dan Suandi (2007)
30
Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh di lapangan, diolah melaui proses editing, coding, scoring, entry data, dan analisis data. Tahapan editing yaitu pengecekan terhadap data-data yang telah dikumpulkan melalui pengisian kuesioner. Coding yaitu pemberian kode tertentu terhadap jawaban responden untuk memudahkan analisis data. Data yang telah dicoding kemudian akan discoring. Tahapan selanjutnya adalah entry data, yaitu memasukkan data yang telah discoring ke dalam komputer untuk diolah dan dianalisis. Data yang dianalisis meliputi karakteristik keluarga, dan pemenuhan pangan dan perumahan sebagai indikator kesejahteraan keluarga. Semua data di olah dengan menggunakan computer Microsoft Excel dan SPSS 15.0 for Windows. Analisis Data Karakteristik Keluarga Data karakteristik keluarga meliputi besar keluarga, umur orang tua, lama pendidikan orangtua, pendapatan dan pengeluaran per kapita, dan kepemilikan aset. Besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤4 orang), sedang (5-6 orang), dan besar (≥7 orang). Umur orangtua dibagi menjadi 3 kategori, yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa lanjut (>60 tahun) (Hurlock 1981). Lama pendidikan dikelompokkan berdasarkan criteria wajib belajar 9 tahun, yaitu < 9 tahun dan ≥ 9 tahun. Data pendapatan diolah berdasarkan tiga musim, yaitu musim panen, musim biasa, dan musim paceklik. Untuk analis hubungan dan regresi, pendapatan yang digunakan adalah pendapatan pada musim paceklik (saat penelitian dilakukan). Data Pengeluaran diolah dengan mengelompokkan pengeluaran pangan dan non pangan kemudiana dianalisis secara deskriptif berdasarkan rata-rata pengeluaran perkapita, standar deviasi, dan persentase pengeluaran pangan dan non pangan terhadap pengeluaran total. Data kepemilikan aset diolah dengan mengelompokkan aset menjadi beberapa kelompok yaitu lahan (tanah, sawah, kolam/empang), barang elektronik (radio, televisi, kulkas, video/VCD), kendaraan (mobil, motor, sepeda, becak), barang berharga (emas), tabungan (orangtua dan anak), ternak (ayam dan bebek/itik), dan aset melaut
31
(kapal dan alat tangkap). Untuk contoh yang memiliki aset tersebut diberi skor 1 dan yang tidak memiliki aset diberi skor 0). Aset juga dianalisis berdasarkan nilainya dan dikelompokkan menjadi 2 yaitu > 3x kebutuhan minimum per bulan dan ≤ 3x kebutuhan minimum per bulan. Analisis Data Kesejahteraan Obyektif Indikator Pendapatan. Pendapatan diukur dengan pendekatan garis kemiskinan Kabupaten Ciamis. Metode penghitungan garis kemiskinan adalah dengan mengukur batas kecukupan pangan dalam rupiah yang setara dengan 2100 kalori per kapita per hari. Rumah tangga dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu sangat miskin, miskin, mendekati miskin, dan tidak miskin. Batas garis kemiskinan rumah tangga adalah :1) rumahtangga dikatakan sangat miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebesar Rp 120.000,00 per orang per bulan, 2) rumahtangga dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai Rp 150.000,00 per orang per bulan, 3) rumah tangga dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai Rp 175.000,00 per orang per bulan, dan rumah tangga dikatakan tidak miskin apabila telah menuhi kebutuhan dasarnya lebih dari Rp 175.0000,00 per bulan. Indikator Frekuensi dan Keragaman Pangan. Data frekuensi pangan dikelompokkan menjadi empat yaitu satu kali perhari (skor 0), dua kali perhari (skor 1) ,dan tiga kali perhari (skor 2). Keragaman pangan dikolompakkan menjadi dua yaitu tidak beragam (tidak=skor 0) dan beragam (ya=skor 1). Dalam penelitian ini pangan dikatakan beragam apabila setiap kali makan terdiri dari nasi, lauk, dan sayur. Indikator
Perumahan
(Housing).
Terdapat
beberapa
indikator
perumahan yang dianalisis antara lain status kepemilikan rumah, kesesakan rumah (crowding), kondisi fisik rumah, fasilitas dan perlengkapan rumah, dan kondisi lingkungan rumah. Status kepemilikan rumah dibedakan menjadi milik sendiri, sewa, numpang, dan gadai. Setelah dilakukan pengelompokkan maka data dianalisis secara deskriptif. Indikator kesesakan diukur berdasarkan jumlah kamar tidur dan jumlah anggota keluarga yang ada di rumah. Indeks kesesakan diformulasikan dengan:
32
Croding Index = [(1/2 jumlah anak <10 tahun) +(jumlah pasangan) + jumah anggota keluarga lain ≥ 10 tahun)] /jumlah kamar tidur. Nilai >1 menunjukkan adanya kesesakan rumah (Milligan et. al. 2006). Selanjutnya dianalisis berdasarkan dua kategori ≤1 = tidak sesak (skor 1) dan >1= sesak (skor 0). Indikator perumahan seperti kondisi fisik rumah, fasilitas dan perlengkapan rumah, dan kondisi lingkungan, sebagaimana status kepemilikan rumah, dikelompokkan kemudian dianalisis secara deskriptif. Analisis Data Pemenuhan Pangan Akses pangan rumah tangga digambarkan berdasarkan akses pangan ekonomi, akses pangan fisik, dan akses sosial. Akses pangan secara ekonomi digambarkan dengan pola belanja beras (per hari= skor 0, per minggu=skor 1, dan per bulan=skor 2). Akses pangan secara fisik digambarkan dengan ketersediaan pasar di desa dan ketersediaan pangan di warung, akses pangan secara ekonomi digambarkan dengan pola belanja beras dan pengeluaran pangan per kapita, dan akses pangan secara sosial digambarkan dengan adanya pihak yang membantu pemenuhan pangan (ya=skor 1, tidak=skor 0). Ketersediaan pangan digambarkan dengan konsumsi normatif serealia (beras) /kapita/hari. Konsumsi normatif beras untuk dapat memenuhi kebutuhan kalori perhari dari karbohidrat adalah 300 gram per orang perhari (World Food Programme 2005). Data diolah berdasarkan dua pola. Pola pertama diperoleh melalui jumlah kilogram beras yang dimasak setiap hari untuk konsumsi keluarga (tidak termasuk untuk konsumsi buruh bagi nelayan juragan). Pola kedua didasarkan pada asumsi bahwa pada keluarga yang belanja beras per minggu, seharusnya dapat memenuhi konsumsi normatif karena pada faktanya keluarga contoh masih memiliki persediaan beras yang belum dimasak. Pengkatagorian dikelompokkan menjadi dua, yaitu memenuhi konsumsi normatif (skor=1) dan tidak memenuhi kensumsi nomatif (skor =0). . Frekuensi konsumsi pangan diolah berdasarkan konsumsi pangan keluarga perkapita per bulan dengan menggunakan instrumen Food Frequency Questionnaire (FFQ). Pengolahan data coping strategy pangan dilakukan dengan menghitung jumlah perilaku coping yang dilakukan oleh setiap keluarga.
33
Berdasarkan sebaran data, jumlah perilaku coping dikelompokkan menjadi tiga, yaitu 0-5, 6-11, dan 12-16 perilaku.
Analisis Data Kesejahteraan Subyektif Kesejahteraan subyektif diukur berdasarkan tingkat kepuasan yang dirasakan keluarga contoh terhadap berbagai pemenuhan kebutuhan dalam keluarga. yakni berdasarkan beberapa item pertanyaan tentang kepuasan responden terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian, kualitas rumah, kualitas pendidikan anak, kesehatan keluarga, dan pendapatan per kapita. Masingmasing item pertanyaan akan diberi skor 0= tidak puas, 1= kurang puas, 2 =puas, dan 3=sangat puas. Selanjutnya skor yang diperoleh dari masing-masing pertanyaan akan dijumlahkan, kemudian akan ditransformasikan dari skala ordinal menjadi skor dengan skala 0-100 persen. Selanjutnya dikategorikan menjadi sejahtera jika skor >50 persen dan tidak sejahtera jika skor ≤ 50 persen. Analisis Perbedaan berbagai Peubah Penelitian Perbedaan antara peubah karakteristik keluarga, tingkat kesejahteraan, serta keragaan pemenuhan pangan dan perumahan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dianalisis dengan menggunakan uji beda Independent Sample T-Test dan uji beda Mann Withney. Uji beda Independent Sample T-Test digunakan jika data yang dianalisis bersifat interval atau rasio, sementara uji beda Mann Withney digunakan jika data yang dianalisis bersifat ordinal. Hasil dari uji beda akan menentukan analisis selanjutnya. Apabila terdapat perbedaan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh pada peubah tertentu, maka analisis korelasi atau regresi dilakukan berdasarkan tipe nelayan. Analisis Hubungan Karakteristik Keluarga dan Komponen Pemenuhan Pangan Hubungan antara peubah karakteristik keluarga dengan akses pangan, ketersediaan pangan, food coping strategy dan kesiapsiagaan keluarga dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Pearson dan Uji Korelasi Spearman. Uji
34
korelasi pearson digunakan jika data yang dianalisis bersifa ordinal, sedangkan Uji Korelasi Pearson digunakan jika data yang dianalis bersifat interval atau rasio. Analisis Determinan Kesejahteraan Keluarga Uji regresi logistik digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga. Kriteria untuk dapat dilakukan uji regresi logistik yaitu peubah yang memiliki nilai signifikansi p>0.05 pada analisis korelasi. Peubah-peubah dengan nilai signifikansi p>0.05 dipilih kemudian diasukkan dalam kandidat model regresi logistik. Analisis ini menggunakan model binary logistic regression dengan metode backward wald. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan obyektif
e β 0 + β1 x1 + β 2 x2 + β 3 x3 +.......+ β n xn π ( x) = 1 + e β 0 + β1 x1 + β 2 x2 + β 3 x3 +.......+ β n xn Keterangan: л (x)
= peluang untuk sejahtera (1 = Sejahtera; 0 = tidak sejahtera)
e
= eksponensial
β0 - β1
= koefisien regresi
x1
= besar keluarga
x2
= lama pendidikan ibu
x3
= pengeluaran non pangan per kapita
x4
= pengeluaran total
x5
= kepemilikan aset
2. faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subyektif
e β 0 + β1 x1 + β 2 x2 + β 3 x3 +.......+ β n xn π ( x) = 1 + e β 0 + β1 x1 + β 2 x2 + β 3 x3 +.......+ β n xn Keterangan: л (x)
= peluang untuk sejahtera (1 = Sejahtera; 0 = tidak sejahtera)
e
= eksponensial
β0 - β1
= koefisien regresi
35
x1
= kepemilikan aset
x2
= umur ibu
x3
= umur kepala keluarga
x4
= status kepemilikan rumah (0=bukan milik sendiri, 1=milik sendiri)
x5
= crowding (kepadatan) (0=>1, 1=≤1)
x6
= densitas (luas lantai per kapita) (0=<8 m2, 1=≥ 8 m2)
x7
= pendapatan per kapita (0=>Rp 175.000,00, 1=≥ Rp 175.000,00
Analisis Faktor (Exploratory Factor Analysis) Analisis faktor digunakan untuk mengukur validitas ukuran peubah coping strategy pangan. Vt
= Vco + Vsp +Ve
Vt
= keragaman total suatu ukuran
Vc
= keragaman faktor bersama (common factor variance)
Vsp
= keragaman spesifik masing-masing faktor
Ve
= keragaman eror
Vco
= VA + VB +......VK
A,....,K= jumlah faktor Validitas = Vco/Vt = h2 (communality) hi2
= ai2 + bi2 +.....+ ki2
ai2, bi2,.....ki2 = kuadrat faktor loading peubah ke i hi2
= VA + VB +VK Vt
Vt
Vt
V(A)
=a2 V(B) =b2
Xi
= ai1F1+ ai2F2+......+aimFm+ei
Xi
= skor test dengan rata-rata nilai nol
ai1, ai2,....aim = keragaman unit F1, F2,..... Fm = m faktor bersama tidak saling berkorelasi ei
= faktor spesifik
36
Var (Xi)
= 1= ai12 var (F1)+ai22var (F2)+....+ aim2var (Fm)+var (ei) = ai12+ai22+aim2+var (ei) = communality X + var (ei)
F1
= d11F1+ d12F2+....+ d1mFm
F2
= d21F1+ d22F2+....+ d2mFm
Fm
= dm1F1+ dm2F2+....+ dmmFm
Fi
= provisional factor loading
h1
= d112+ d112+.....+d1m2 communality peubah 1
37
DEFINISI OPERASIONAL Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Keluarga nelayan adalah sekelompok orang yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang memiliki hubungan darah dan hidupnya dari memanfaatkan laut sebagai sumber nafkah utama. Keluarga nelayan dalam penelitian ini adalah keluarga yang kepala keluarganya bermatapencaharian nelayan. Keluarga nelayan juragan adalah sekelompok orang yang terdiri dari suami, istri, dan anak yang sekurang-kurangnya memiliki perahu yang digunakan untuk kegiatan operasi penangkapan hasil laut. Keluarga nelayan buruh adalah sekelompok orang yang terdiri dari suami, istri, dan anak yang tidak memiliki perahu atau alat tangkap sehingga pekerjaan melaut dilakukan bersama nelayan juragan. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Daerah rawan bencana merupakan tempat yang memiliki kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, serta geografis untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Bencana alam yang dimaksud antara lain gempa, banjir, angin, dan lain-lain. Keluarga nelayan yang rawan bencana adalah sekelompok orang yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang salah satu anggota keluarganya bermata pencaharian sebagai nelayan ataupun melakukan pekerjaan sampingan selain menjadi nelayan yang bertempat tinggal di daerah rawan bencana. Karakteristik keluarga adalah ciri-ciri keluarga yang meliputi umur, besar keluarga, tingkat lama pendidikan, pendapatan per kapita, pengeluaran keluarga, dan kepemilikan aset.
38
Besar Keluarga adalah banyaknya anggota yang masih tinggal dalam suatu rumah atau tidak yang masih menjadi tanggungan orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup dan di kelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kecil (≤4 orang), sedang (5-6 orang), dan besar (≥7 orang). Umur Kepala Keluarga dan Ibu adalah jumlah tahun lengkap sejak kepala keluarga dan ibu lahir sampai pada saat ulang tahun terakhir yang diperoleh dari wawancara langsung dengan ibu. Umur kepala keluarga dan ibu dikelompokkan berdasarkan sebaran data. Lama pendidikan adalah waktu yang dibutuhkan untuk menempuh pendidikan formal terakhir bagi anggota keluarga. Lama pendidikan dikelompokkan menjadi dua kelompok (berdasarkan program wajib belajar 9 tahun), yaitu <9 tahun dan ≥ 9 tahun. Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dari pendapatan semua anggota keluarga baik dari pekerjaan utama maupun tambahan, ditambah dengan hasil bersih usaha tani yang dikonversikan dalam per bulan, dibagi jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan keluarga dan dinyatakan dalam rupiah perkapita per bulan. Pengeluaran per kapita adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh keluarga baik untuk kebutuhan pangan maupun non pangan yang dikonversikan dalam per bulan, dibagi jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan keluarga dan dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. Kepemilikan aset keluarga adalah seluruh kekayaan yang dimiliki keluarga berupa lahan milik sendiri, alat melaut, barang elektronik, kendaraan, barang berharga (emas), tabungan, dan ternak yang dihitung berdasarkaan jumlah selakigus dikonversikan ke dalam nilai uang. Aset dalam penelitian ini belum dibandingkan dengan rasio hutang keluarga. Kesejahteraan keluarga adalah kepuasan, kemakmuran, dan kualitas hidup pada kelompok keluarga nelayan, dalam hal ini diukur berdasarkan pendekatan kesejahteraan objektif dan subjektif. Kesejahteraan objektif adalah kesejahteraan yang diukur melalui pendapatan, frekuensi makan, kelengkapan menu makan, status kepemilikan rumah, luas lantai/orang, dan kesesakan (crowding).
39
Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan yang diukur berdasarkan kepuasan responden terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian, kualitas rumah, kualitas pendidikan anak, kesehatan keluarga, kemudahan akses, dan pemenuhan kebutuhan sosial di dalam masyarakat. Pemenuhan pangan adalah kegiatan seseorang dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan. Dalam penelitian ini pemenuhan pangan mencakup akses pangan, ketersediaan pangan, coping strategy pangan, kesiapsiagaan pemenuhan pangan, dan konsumsi pangan. Akses pangan adalah kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pangan secara terus-menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan rumah tangga, jual beli, tukar-menukar/barter, pinjam-meminjam, dan pemberian atau bantuan pangan. Akses pangan terdiri dari akses pangan fisik (jarak pasar dan ketersediaan pangan di warung), ekonomi (pengeluaran pangan dan pola belanja beras), dan sosial (bantuan pangan dari tetangga, masyarakat, dan pemerintah). Ketersediaan pangan keluarga adalah besarnya konsumsi normatif beras perhari per orang. Jumlah konsumsi normatif beras adalah 300 gram/hari/orang. Konsumsi normatif adalah jumlah beras minimal yang harus dikonsumsi oleh setiap anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan kalori dari karbohidrat. Coping Strategy pangan adalah upaya-upaya yang dilakukan keluarga dalam mengatasi kekurangan pangan pada saat atau setelah terjadi bencana. Kesiapsiagaan keluarga merupakan kemampuan untuk peduli terhadap bencana alam yang akan terjadi, terkait dengan kepedulian terhadap ketersediaan pangan. Konsumsi pangan adalah informasi pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang, baik berupa jenis maupun jumlahnya pada waktu tertentu. Dalam penelitian ini konsumsi pangan menunjuk pada frekuensi dan jenis pangan yang dimanfaatkan keluarga. Keragaman Pangan menunjuk pada jenis pangan yang dikonsumsi keluarga. Dalam penelitian ini makanan dianggap beragam apabila terdiri dari nasi, lauk, sayur, dan buah.
40
Kualitas Perumahan kondisi perumahan yang dimiliki oleh keluarga contoh, yang mencakup status kepemilikan rumah, kondisi fisik rumah, densitas rumah, fasilitas dan perlengkapan rumah, dan kondisi lingkungan. Status Kepemilikan rumah adalah kondiri tanah yang dijadikan sebagai tempat tinggal. Yang dimaksud kondisi tanah dalam penelitian ini milik sendiri, sewa, numpang, atau gadai. Densitas Rumah adalah kepadatan rumah yang didapatkan dengan membagi luas rumah dengan jumlah anggota keluarga (luas lantai/orang = m2/orang). Densitas rumah dianalisis berdasarkan berdasarkan kriteria rumah sehat menurut BKKBN, yaitu luas lantai rumah ≥ 8 m2 per kapita. Kesesakan (crowding) adalah merupakan kondisi kepadatan rumah yang dapatkan dengan membagi setengah kali anak <10 tahun ditambah jumlah pasangan ditambah anggota lain ≥10 tahun dengan jumlah kamar tidur yang ada di rumah. Kondisi fisik rumah adalah penampakan rumah yang dilihat dari jenis atap rumah, jenis lantai rumah, dan jenis dinding rumah. Fasilitas dan Perlengkapan rumah adalah komponen-komponen yang tersedia di rumah yang terdiri dari tempat keluarga mandi, kepemilikan jamban tempat sumber air, jarak sumber air minum dengan septic tank, alat penerangan rumah, pencahayaan sinar matahari, kecukupan jendela rumah, ventilasi rumah untuk kecukupan udara. Kondisi lingkungan adalah keadaan sekitar rumah yang mencerminkan kualitas tempat tinggal yang dimiliki, antara lain tempat pembuangan sampah, kepemilikan ternak jarak rumah dengan kandang ternak.
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Desa Pangandaran merupakan desa pesisir yang terletak di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Desa Pangandaran memiliki luas wilayah 667.87 ha dengan luas daratan 137.87 ha dan luas pegunungan 530 ha. Sebelah utara Desa Pangandaran dibatasi oleh Desa Babakan/Sungai Cikidang, sebelah barat dibatasi oleh Desa Pananjung, serta sebelah selatan dan timur dibatasi oleh Samudra Hindia. Desa Pangandaran merupakan desa yang berada di wilayah utama obyek wisata pangandaran yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah Kabupaten Ciamis. Desa Pangandaran mempunyai wilayah sebagian besar bahkan seluruhnya merupakan daerah obyek wisata. Selain sebagai daerah wisata, Desa Pangandaran juga merupakan daerah perikanan laut, dan kedua potensi tersebut merupakan potensi masyarakat yang dominan. Dalam hal kependudukan, Desa Pangandaran merupakan desa yang perkembangan penduduknya sangat cepat sehingga kepadatan penduduk tidak dapat dihindari, yang tentunya diikuti dengan kepadatan pemukiman/rumah tinggal penduduk. Jumlah penduduk pangandaran adalah 9.169 jiwa dengan penduduk laki-laki berjumlah 4.617 jiwa dan penduduk perempuan yang berjumlah 4.552 jiwa. Adapun jumlah kepala keluarga di Desa Pangandaran adalah 2.558 kepala keluarga. Sumber pendapatan penduduk Desa Pangandaran sebagian besar berasal dari sektor perikanan. Sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan yang ada di Pangandaran adalah nelayan tradisional. Jumlah nelayan yang ada di Desa Pangandaran adalah 2.174, dan penduduk yang lain bekerja sebagai pegawai dan pemilik hotel, pedagang, jasa pariwisata, buruh, tani, PNS, dan TNI/POLRI. Partisipasi
pendidikan
di
Desa
Pangandaran
dapat
digambarkan
bedasarkan jumlah penduduk yang menempuh pendidikan tertentu. Data potensi desa menunjukkan terdapat 2 orang yang tidak tamat sekolah, 1091 orang tamat SD/Sederajat, 191 orang tamat SMP/Sederajat, 129 orang tamat SLTA/Sederajat,
42
dan 2 orang tamat perguruan tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Desa Pangandaran masih tergolong rendah. Sarana dan inrastruktur yang ada di Desa Pangandaran sudah cukup baik. Sarana dan infrastruktur desa terdiri dari jalan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas ibadah. Di Desa pangandaran terdapat rumah sakit yang jaraknya dekat dengan pemukiman penduduk, sekolah-sekolah dari tingkat SD sampai SMA, sarana ibadah berupa masjid dan surau, serta jalan aspal sepanjang 22.845 km. Kelembagaan sosial yang terdapat di Desa Pangandaran adalah Koperasi Unit Desa Mina, Rukun Nelayan, dan Pengajian baik untuk ibu-ibu, bapak-bapak maupun anak-anak. Kelembagaan tersebut sebagian besar beranggotakan masyarakat yang tinggal di Desa Pangandaran baik bapak-bapak, ibu-ibu maupun anak-anak.
Penduduk
Desa
Pangandaran
bukan
seluruhnya
orang
asli
pangandaran tetapi banyak pendatang dari daerah lain dan akhirnya menetap. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Sunda dan bahasa Jawa dengan logat daerah Cilacap. Hal ini dikarenakan wilayah Desa Pangandaran merupakan daerah yang dekat dengan perbatasan provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Penduduk yang tinggal di sekitar pantai pada umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan baik juragan maupun buruh. Sistem patronklien (juragan-buruh) masih diterapkan di Desa Pangandaran. Pada tanggal 17 Juli 2006 telah terjadi gempa bumi tektonik di Kabupaten Ciamis dengan kekuatan 5.9 Skala Richter dengan pusat gempa di laut sebelah selatan Pulau Jawa mengakibatkan Tsunami di sekitar Kabupaten Ciamis. Tsunami yang terjadi di Kabupaten Ciamis telah menimbulkan kerusakan sarana prasarana dan korban manusia. Daerah yang terkena Tunami paling parah adalah kecamatan pangandaran. Korban meninggal dunia berjumlah 227 orang, dan sejumlah 19.130 rumah rusak parah. Pada tanggal 2 Oktober 2009, gempa kembali terjadi. Gempa melanda daerah jawa barat (Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Tasikmalaya, dan kabupaten Ciamis). Gempa tersebut nengakibatkan 73 orang meninggal, 34 orang hilang, dan 900 orang luka-luka. Selain itu tercatat 5765 rumah hancur 48394 rumah rusak berat, dan 114556 rumah rusak ringan (Handoko 2009).
43
Karakteristik Keluarga Kategori Usia Usia merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan tahap perkembangan manusia. Setiap kebudayaan memiliki pandangan yang berbeda terhadap perkembagan kehidupan manusia, yang berimplikasi pada perbedaan pengategorian tahap perkembangan berdasarkan umur seseorang. Pengategorian usia pada penelitian ini mengacu pada Hurlock (1980) yang mencatat pengategorian usia dewasa menjadi 3 kelompok yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60) tahun, dan dewasa lanjut (>60 tahun). Tabel 3 Karakteristik usia, besar keluarga, dan lama pendidikan berdasarkan tipe nelayan Karakteristik Sosial
Usia
Besar Keluarga
Lama Pendidikan
Kepala Keluarga Dewasa Awal (18-40) Dewasa Madya (41-60) Dewasa Lanjut (>60) Min-Max Rata-Rata±SD p-value Ibu Dewasa Awal (18-40) Dewasa Madya (41-60) Dewasa Lanjut (>60) Min-Max Rata-Rata±SD p-value Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5–6 orang) Besar (>6 orang) Min-Max Rata-Rata±SD p-value Kepala Keluarga < 9 Tahun ≥ 9 Tahun Min-Max Rata-Rata±SD p-value Ibu < 9 Tahun ≥ 9 Tahun Min-Max Rata-Rata±SD p-value
Tipe nelayan Juragan Buruh n % n % 29 24 0
54.7 45.3 0.0
27-60 41.04 ± 9.3
32 20 1
60.4 37.7 1.9
22-62 40.07 ± 11.6 27 20 6
50.9 37.7 11.3
2-8 4.58 ± 1.35 40 13
75.5 24.5
0-12 5.8 ± 2.7
39 14
73.6 26.4
0-12 5.7 ± 2.6
Total n
%
16 9 2
59.3 33.3 7.4 22-65 37.1 ± 10.1 0.688
46 57.5 32 40.0 2 2.5 22-65 40.7 ± 10.2
22 5 0
81.5 18.5 0.0 21-60 34.1 ± 10.7 0.227 20 74.1 6 22.2 1 3.7 2-7 4.04 ± 1,28 0.0677
56 70.0 23 28.8 1 1.3 20-62 36.1 ± 10.3
18 9
48 32
66.7 33.3
3-12 7.8 ± 2.6 0.054 18 9
66.7 33.3
3-12 7.5 ± 2.8 0.049
47 26 7
58.8 32.5 8.7
2-8 4.4 ± 1.3
60.0 40.0 0-12 6.6 ± 2.7
48 32
71.0 29.0 0-12 6.6 ± 2.7
44
Lebih dari separuh kepala keluarga contoh, baik nelayan juragan (54.7%) maupun nelayan buruh (59.3%) berada pada rentang usia dewasa muda. Hal yang sama terjadi pada usia ibu, baik keluarga nelayan juragan maupun keluarga nelayan buruh yang dominan berada pada tahap usia dewasa muda, yaitu 60.4 persen dan 81.5 persen. Hasil ini diperkuat dengan uji beda yang menunjukkan bahwa usia kepala keluarga dan ibu, baik keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh tidak berbeda signifikan, yaitu sama-sama dominan berada pada usia produktif. Pada usia produktif ini seharusnya kepala keluarga dan ibu masih mampu bekerja dengan giat untuk mencukupi nafkah bagi seluruh anggota keluarganya. Pekerjaan sebagai nelayan membutuhkan stamina fisik yang kuat. Pekerjaan sebagai nelayan juga biasanya dikerjakan dalam waktu yang cukup lama. Nelayan tradisional biasanya berangkat kerja pada pagi hari dan pulang pada sore atau malam hari. Besar Keluarga Konsep Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera telah sejak lama dicanangkan oleh pemerintah Indonesia. Keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) telah dapat menghambat laju pertumbuhan penduduk. Banyak keluarga muda yang kini hanya memiliki dua anak. Dalam istilah kependudukan, digunakan istilah replacement fertility untuk menggambarkan keluarga-keluarga yang hanya memiliki 2 anak. Anggota keluarga contoh berkisar antara 2 sampai 8 orang dengan ratarata 4 orang, artinya rata-rata keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga kecil. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3, lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (50.94%) dan sebagian besar keluarga nelayan buruh (74.07%) termasuk dalam kategori keluarga kecil. Hasil uji beda dengan selang kepercayaan 95 persen (α=0.05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara besar keluarga nelayan juragan dan besar keluarga nelayan buruh. Rata-rata besar keluarga pada keluarga nelayan juragan adalah 4.58, sedangkan pada keluarga nelayan buruh adalah sebesar 4,04. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata keluarga nelayan juragan termasuk dalam kategori keluarga sedang dan keluarga nelayan buruh termasuk dalam keluarga kecil. Keluarga kecil lebih banyak
45
terdapat pada buruh nelayan dibandingkan dengan keluarga nelayan juragan. Hal ini diduga karena usia ibu rumah tangga pada kelompok buruh sebagian besar berada pada usia 20-30 tahun, yang berarti keluarga pada kelompok nelayan buruh tergolong keluarga muda. Kondisi ini dapat menyebabkan jumlah anak pada keluarga buruh lebih sedikit daripada nelayan juragan. Pandangan yang kerap muncul di masyarakat menyatakan bahwa banyak anak banyak rejeki. Namun kini pandangan tersebut tampaknya sudah bergeser karena membesarkan anak ternyata tidak hanya cukup dengan mencukupi kebutuhan pangan. Anak memerlukan pendidikan yang baik dan pendidikan yang baik memerlukan biaya yang mahal. Membekali anak agar nantinya dapat hidup mandiri menjadi tuntutan orang tua di jaman sekarang. Keberhasilan pemerintah dalam mengurangi laju pertumbuhan penduduk diawali dengan pencanangan program Keluarga Berencana pada akhir tahun 1960an. Pada saat itu sebagian masyarakat belum dapat menerima inovasi baru bidang kesehatan yang mengatur jarak kelahiran. Berbagai upaya pemerintah yang dilakukan melalui berbagai program akhirnya mendatangkan keberhasilan, dan pertumbuhan penduduk Indonesia dapat dikendalikan dengan baik. Lama Pendidikan Saat ini pemerintah tengah mencanagkan dan menggalakkan program pendidikan dasar 9 tahun. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan hingga jenjang SMP. Negara juga membebaskan biaya sekolah sampai jenjang ini yang dikenal dengan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk memperbaikai kualitas sumberdaya manusia sebagai entry point dari pembangunan melalui jalur pendidikan, khususnya pendidikan formal. Meskipun kebijakan ini belum dapat dinikmati oleh orangtua, namun kebijakan ini dapat dinikmati oleh anak-anak nelayan yang sekarang masih berada pada usia sekolah. Dengan menggunakan ukuran tamat pendidikan dasar 9 tahun sebagai batas, sebagian besar kepala keluarga (75.47%) dan ibu (66.67%) pada keluarga nelayan juragan dan sebagian besar kepala keluarga (73.58%) dan ibu (66.67%) pada keluarga nelayan buruh termasuk dalam kategori belum memenuhi program
46
wajib belajar 9 tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa program wajib belajar di Desa Pangandaran terutama untuk yang berprofesi nelayan belum berhasil. Secara deskriptif, terlihat bahwa lama pendidikan kepala keluarga dan ibu pada keluarga nelayan buruh cenderung lebih tinggi daripada nelayan juragan. Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara lama pendidikan ibu antara keluarga nelayan juragan dan buruh. Sementara, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara lama pendidikan suami pada keluarga nelayan juragan dan buruh. Pendidikan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi pendidikan, maka semakin besar peluangnya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Konsekuesinya, seseorang juga akan mendapatkan penghasilan yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya. Pendapatan dan Pengeluaran Pendapatan dan pengeluaran merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk
menggambarkan
status
ekonomi
suatu
rumah
tangga.
Peneliti
menggambarkan pendapatan per kapita pada tiga musim yang berbeda, yaitu musim panen, musim biasa, dan musim paceklik. Tabel 4 menunjukkan rata-rata standar deviasi, persentase pendapatan tiap musim terhadap pendapatan total ratarata, dan pengeluaran pangan serta nonpangan terhadap pengeluaran total berdasarkan tipe nelayan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang cukup mencolok mengenai rata-rata pendapatan perkapita pada tiga musim yang yang berbeda, yaitu musim panen (Rp 2 883 108,-), musim biasa (Rp 879 683,-), dan musim paceklik (Rp 69 518,-). Adapun rata-pendapatan total (pendapatan pada tiga musim) adalah Rp 962 191,-. Gambaran pendapatan tersebut menunjukkan bahwa persentase pendapatan musim paceklik hanya 6.6 % dari pendapatan total ratarata. Implikasinya adalah pada musim paceklik nelayan akan berada pada kondisi kemiskinan yang sangat memprihatinkan. Pada kondisi ini, upaya untuk menjaga agar nelayan tetap dapat memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga sangat penting untuk diperhatikan.
47
Hasil lain yang menarik untuk dibahas adalah perbedaan pendapatan antara nelayan buruh dan nelayan juragan pada tiga musim yang berberbeda. Pada musim panen dan musim biasa, terdapat perbedaan pendapatan antara nelayan juragan dan nelayan buruh. Lain hanya dengan pendapatan pada musim paceklik yang menunjukkan tidak adanya perbedaan pendapatan antara nelayan juragan dan nelayan buruh. Tabel 4 Rata-rata, standar deviasi, persentase pendapatan tiap musim terhadap pendapatan total rata-rata, dan pengeluaran pangan serta non pangan terhadap pengeluaran total berdasarkan tipe nelayan Pendapatan dan Pengeluaran (per kapita/ bulan)
Rata-rata (Rp)
SD (Rp)
Min-Maks (Rp)
%
Pendapatan Total (rata-rata) Juragan Buruh p-value Panen Juragan Buruh p-value Biasa Juragan Buruh p-value Paceklik Juragan Buruh p-value
1.191.015 513.017
1.007.497 484.68
100.533-3.885.000 140.833-2.012.500 0.001
100 100
2.858.013 1.154.589
2.760.691 1.230.127
80.000-10.000.000 133.333-4.350.000 0.003
240.0 225.1
1.092.723 461492
1.357.758 651.957
40.000-5.400.000 26.667-2.625.000 0.025
91.7 90.0
78.746 51.403
149.180 123.965
0-970.000 0-612.000
6.6 10.0
0.416 Pengeluaran
Total Keluarga Pangan Non Pangan Total Juragan Pangan Non Pangan Total Buruh Pangan Non Pangan Total p-value
167.527 214.514 382001
76.774 222.959 272.617
38.733 – 391500 31.750 - 1.788.583 107.049 - 2.180.083
43.9 56.2 100
169.455 243.102 412.512
79.715 265.648 319.156
38.773-330.000 63.115-319.645 168.387-606.291
41.1 58.9 100
163.740 158.396 322.137
71.955 70.502 128.366
57.800-391.500 31.750-1.788.583 107.049-2.180.083 0.002
50.8 49.2 100
Nelayan di Desa Pangandaran telah menetapkan pembagian pendapatan untuk juragan dan buruh. Nelayan juragan akan memberikan 40 persen
48
pendapatannya untuk nelayan buruh. Apabila nelayan buruh berjumlah 2 orang maka masing-masing akan memperoleh 20 persen dari total pendapatan bersih dan apabila nelayan buruh berjumlah 4 orang, maka masing-masing akan memperoleh 10 persen dari total pendapatan bersih. Pada musim panen dan musim biasa yang dicirikan dengan pendapatan yang cukup memadai, tentunya nelayan juragan dan nelayan buruh memperoleh pendapatan yang berbeda. Namun pada musim paceklik yang dicirikan dengan minimnya pendapatan atau bahkan tidak memperoleh pendapatan sama sekali, maka baik nelayan juragan maupun nelayan buruh akan memperoleh pendapatan yang sedikit. Oleh karena itu hasil menunjukkan tidak ada perbedaan pendapatan antara nelayan juragan dan nelayan buruh pada musim paceklik. Pengeluaran perkapita dikelompokkan berdasarkan pengeluaran pangan dan non pangan, sehingga selain dapat menggambarkan pengeluaran secara keseluruhan, juga dapat menggambarkan perbedaan porsi antara pengeluaran pangan dan non pangan. Alokasi pengeluaran pangan untuk keseluruhan keluarga nelayan contoh adalah Rp 167 527 (43.8%) dan pengeluaran non pangan adalah Rp 214 514 (56.2%). Hal ini menunjukkan bahwa keluarga nelayan contoh mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan non pangan lebih besar daripada alokasi pengeluaran untuk kebutuhan pangan. Apabila dilihat berdasarkan jenis nelayan, maka terlihat adanya perbedaan. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara pengeluaran total keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
Proporsi pengeluaran pangan
keluarga nelayan buruh (58.9%) lebih besar daripada pengeluaran non pangan (41.1%), berbeda dengan keluarga nelayan juragan yang proporsi pengeluaran non pangannya (50.8%) lebih besar daripada pengeluaran pangan (49.2%). Tinggi rendahnya alokasi pengeluaran pangan adalah indikasi tingkat kesejahteraan keluarga. Pada masyarakat yang lebih sejahtera, kebutuhan akan pangan tetap penting, namun pendapatan yang dialokasikan untuk belanja pangan umumnya semakin mengecil. Menurut hukum Engel, pada saat terjadi peningkatan
pendapatan,
keluarga
(rumahtangga)
akan
membelanjakan
pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin mengecil.
49
Sebaliknya bila pendapatan menurun, persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk kebutuhan pangan akan meningkat (BPS 2007; Sunarti 2008). Teori hierarki kebutuhan Maslow mengemukakan bahwa manusia akan mengutamakan kebutuhan fisiologisnya sebelum memenuhi kebutuhan yang lain (seperti kebutuhan akan rasa aman, cinta, dan harga diri). Pemenuhan akan pangan termasuk dalam kebutuhan fisiologis. Oleh karena itu, dalam kondisi kurang sejahtera, maka kebutuhan pangan harus terpenuhi meski harus membelanjakan sebagian besar penghasilannya. Menurut Roedjito diacu oleh Sunarti (2008) tingkat pendapatan yang lebih tinggi akan memberi peluang yang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan dalam jumlah banyak dan beragam jenisnya. Kepemilikan Aset Aset merupakan apapun yang dimiliki maupun yang dapat diakses, yang dapat memberikan nilai tukar untuk mencapai tujuan. Menurut Guhardja et. al. (1992) aset keluarga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu aset lancar dan aset tidak lancar. Aset lancar merupakan barang-barang kekayaan yang relatif cepat dapat diuangkan, seperti emas, perhiasan, dan uang tunai. Aset tidak lancar merupakan barang-barang kekayaan yang relatif agak lama jika diuangkan, misalnya tanah, rumah, kendaraan, dan kebun. Dalam penelitian ini, aset digambarkan melalui jenis dan nilai aset. Peneliti menggolongkan jenis aset antara lain lahan, barang elektonik, barang berharga, tabungan, dan ternak. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh nelayan juragan (66%) memiliki tanah, lain halnya dengan nelayan buruh yang hanya 33 persen keluarga memiliki aset berupa tanah. Persentase nelayan juragan dan nelayan buruh yang memiliki sawah hampir sama yaitu 3.8 persen dan 3.7 persen. Aset tanah dalam penelitian ini termasuk tanah yang digunakan untuk tempat tinggal. Dengan hasil tersebut, maka dapat digambarkan bahwa meskipun seluruh contoh menghuni rumah, akan tetapi tanah yang ditempati hampir separuh contoh (45.5%) bukan merupakan tanah milik sendiri.
50
Tabel 5 Jenis aset dimiliki berdasarkan tipe nelayan Tipe Nelayan Juragan
Jenis Aset Lahan Tanah Sawah Empang Aset Melaut Kapal Alat Tangkap Barang Elektronik Radio Televisi Kulkas Video/VCD Kendaraan Mobil Motor Sepeda Becak Barang Berharga Emas Tabungan Anak Keluarga Ternak Ayam Bebek/itik
Total
Buruh
n
%
n
%
n
%
35 2 3
66.0 3.8 5.7
9 1 1
33.3 3.7 3.7
44 3 4
55 3.8 5
53 53
100.0 100.0
1 2
3.7 7.4
54 55
67.5 68.5
21 49 13 31
39.6 92.5 24.5 58.5
11 18 4 9
40.7 66.7 14.8 33.3
32 67 17 40
40 83.8 21.3 50
1 28 34 0
1.9 52.8 64.2 0.0
1 2 16 1
3.7 7.4 59.3 3.7
2 30 50 1
2.5 37.5 62.5 1.3
14
26.4
3
11.1
17
21.3
2 15
3.8 28.3
1 2
3.7 7.4
3 17
3.8 21.3
20 0
37.7 0.0
10 2
37.0 7.4
30 2
37.5 2.5
Berdasarkan definisi operasinal bahwa nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki perahu/kapal dan alat tangkap yang digunakan untuk melaut, maka seluruh nelayan juragan (100%) memiliki perahu dan alat tangkap. Sebagian kecil nelayan buruh memiliki aset melaut, namun aset tersebut sudah tidak dimanfaatkan untuk melaut. Terdapat 3.7 persen nelayan buruh yang memiliki perahu, dan 7.4 persen yang memiliki alat tangkap. Alat elektronik yang paling banyak dimiliki contoh adalah televisi yaitu sejumlah 83.8 persen. Ini membuktikan bahwa televisi menjadi sarana hiburan yang murah dan merakyat. Selain itu, alat elektonik yang juga dominan dimiliki contoh adalah video/VCD (50%) dan radio (40%). Kulkas sebagai alat elektronik yang lebih modern, hanya dimiliki oleh sebagian kecil contoh yaitu sejumlah 21.3%. Dengan tingginya persentase kepemilikan aset untuk akses informasi seperi televisi, radio, dan video/VCD maka dapat mendukung keluarga contoh untuk memperoleh informasi. Informasi yang paling penting bagi masyarakat
51
nelayan adalah mengenai cuaca, meskipun umumnya nelayan telah memiliki pengetahuan lokal mengenai kondisi cuaca sepanjang tahun, khususnya berkaitan dengan musim penagkapan ikan. Kendaraan merupakan aset yang penting dimiliki seseorang. Dapat dikatakan bahwa aset ini merupakan kebutuhan mutlak untuk dapat mengakses kebutuhan seluruh anggota keluarga. Terdapat separuh contoh (50%) yang memiliki sepeda, hampir sepertiga contoh (30%) memiliki motor, sementara hanya sebagian kecil contoh yang memiliki mobil maupun becak, masing-masing 2.5 persen dan 1.3 persen. Aset barang berharga seperti emas dan tabungan hanya dimiliki oleh sebagian kecil responden. Seluruh contoh (100%) tidak memelihara ternak berupa sapi, kerbau, dan kambing. Hewan ternak yang dipelihara contoh adalah ayam dan itik. Terdapat hampir sepertiga contoh (30%) yang memelihaya ayam, meskipun bukan dalam jumlah yang besar. Sementara hanya sebagian kecil (2.5%) contoh yang memelihara itik/bebek. Ayam kampung (bukan ras) merupakan ternak yang sangat mudah pemeliharaannya dan harganya cukup mahal sehingga memelihara ayam dapat menjadi tabungan yang berguna. . Namun rata-rata jumlah ayam yang dipelihara sangat sedikit yaitu 4-5 ekor per keluarga, meskipun keluarga yang memiliki ayam hingga 30 ekor.
Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun
contoh mengetahui bahwa ayam yang dipelihara sewaktu-waktu dapat dijual dan menghasilkan uang, namun memelihara ayam belum dipandang sebagai kegiatan ekonomis bagi rumah tangga nelayan contoh. Kepemilikan aset merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur ketahanan fisik keluarga. Menurut sunarti (2008), gambaran ketahanan fisik keluarga dapat ditunjukkan dapat ditunjukan oleh beberapa indikator yaitu sumberdaya fisik keluarga, masalah dan penaggulangan masalah fisik keluarga, dan kesejahteraan fisik keluarga. Berkaitan dengan kepemilikan aset, keluarga dikatakan tahan jika aset yang dimiliki keluarga lebih dari tiga kali kebutuhan minimal per kapita per bulan. Tabel 6 menunjukkan hampir seluruh contoh (90%) memiliki aset dengan nilai lebih dari tiga kali kebutuhan minimal per bulan. Apabila dilihat berdasarkan tipe nelayan, maka terdapat 29.63 persen nelayan buruh dan tidak ada nelayan
52
juragan yang memiliki aset kurang dari tiga kali kebutuhan minimum per bulan. Hasil uji beda menunjukkan bahwa nilai aset yang dimiliki nelayan juragan berbeda signifikan dengan nilai aset yang dimiliki nelayan buruh. Tabel 6 Nilai aset yang dimiliki contoh berdasarkan tipe nelayan Kepemilikan Aset ≤3 x kebutuhan min/ bln >3 x kebutuhan min/bln Rata-rata sd p-value
Tipe Nelayan Juragan (%) Buruh (%)
Total (%)
0.0
29.63
10.0
100.0
70.37
90.0
35.422.415 38.875.835
2.027.314 2.857.621 0.0003
24.151.569 35.355.381
Aset yang besar umumnya dimiliki oleh nelayan juragan, karena memiliki perahu yang harganya relatif mahal, yaitu ± Rp 25 000 000 per buah (lengkap dengan mesinnya) untuk perahu tempel, dan lebih mahal lagi untuk harga kapal. Selain perahu, nelayan juga memiliki aset yang berupa alat tangkap yang harganya tidak murah. Gambaran ini menunjukkan bahwa berdasarkan kepemilikan aset, keluarga nelayan contoh umumnya tergolong keluarga yang tahan secara fisik. Alat tangkap yang dimiliki contoh ada delapan jenis yaitu jaring ciker untuk menangkap udang berukuran kecil, jaring jogol untuk menangkap udang berukuran besar, jaring brenong untuk menangkap lobster, jaring sirang 2 inch untuk menangkap ikan layur, jaring sirang 5 inch untuk menangkap ikan bawal, kakap, dan tuna, alat tangkap pancing atau rawe untuk menangkap semua ikan, jaring arat berupa jaring yang sangat rapat untuk menangkap semua ikan, dan alat tangkap cedok untuk menangkap kerang. Jenis jaring yang dimiliki oleh sebagian besar contoh adalah jaring ciker, jogol, brenong, sirang 2 inch, dan sirang 4 inch. Jenis jaring yang jarang dimiliki oleh contoh adalah pancing (rawe), arat, dan cedok. Jaring pancing sangat jarang dimiliki contoh karena cepat berkarat. Jaring arat sebenarnya sudah dilarang dipakai oleh Dinas Perikanan dan Kelautan karena merusak keseimbangan ekosistem. Hal ini disebabkan jaring arat dapat menangkap semua ikan dari berbagai umur, sehingga ikan belum sempat berkembang biak sudah ditangkap. Penggunaan jaring arat ini yang menyebabkan berkurangnya ikan akhir-akhir ini.
53
Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengonsumsi pendapatan yang diterima. Kesejahteraan keluarga pada dasarnya memiliki dua dimensi yaitu material dan spiritual. Kesejahteraan spiritual bersifat relatif karena tergantung dari kepuasan yang diperoleh dari hasil mengonsumsi pendapatan tersebut. Oleh karena itu terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan yaitu pendekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Kesejahteraan Obyektif Pengukuran kesejahteraan obyektif dilakukan untuk melihat tingkat kesejahteraan secara obyektif. Menurut Milligan et. al. (2006) terdapat enam indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan antara lain pendapatan, pendidikan, jenis pekerjaan, perumahan kualitas kesehatan, dan akses untuk menjangkau hubungan sosial. Peneltiti membatasi penenelitian ini dengan hanya mengukur tiga komponen kesejahteraan objektif yang mana akan mendapatkan dampak yang besar terutama ketika terjadi bencana alam. Pendekatan obyektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau sekelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial, maupun ukuran lainnya. Secara umum, pengukuran kesejahteraan dapat dilakukan dengan memgukur tingkat pendapatan. Syarief dan Hartoyo (1993) mengemukakan pengukuran kesejahteraan material relatif lebih mudah dan menyangkut pemenuhan kebutuhan keluarga yang berkaitan dengan materi, baik sandang, pangan, dan papan, serta kebutuhan lainnya yang dapat diukur dengan materi. Secara umum, pengukuran kesejahteraan material ini dapat dilakukan dengan mengukur tingkat pendapatan keluarga. Indikator pendapatan digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan kesejahteraan objektif keluarga contoh. Suatu keluarga dikatakan sejahtera apabila pendapatan perkapita perbulan di atas garis kemiskinan, sedangkan keluarga dikatakan tidak sejahtera apabila pendapatan perkapita per bulan keluarga berada di bawah garis kemiskinan.
54
Tabel 7 Kriteria kemiskinan pada musim panen, musim biasa, dan musim paceklik berdasarkan tipe nelayan Tingkat Kesejahteraan Sangat Miskin Miskin Mendekati Miskin Tidak Miskin
Panen (%) Juragan Buruh 5.67 0 0 7.41 0 0 94,33 92.59
Paceklik (%) Juragan Buruh 73.58 88.89 3.77 3.7 1.89 0 20.76 7.41
Biasa %) Juragan Buruh 32.07 48.15 3.78 14.82 7.55 3.7 33.33 56.6
Pada musim panen hampir seluruh keluarga nelayan juragan (94.33%) dan buruh (92.59%) termasuk dalam kategori tidak miskin, karena hasil tangkapan yang diperoleh pada musim panen sangat melimpah. Pada musim ini hampir seluruh nelayan memperoleh pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan. Sementara pada musim paceklik sebagian besar nelayan juragan (73.58%) dan buruh (88.89%) termasuk dalam kategori sangat miskin. Pada musim biasa, lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (56.6%) termasuk dalam kategori tidak miskin, sedangkan hampir separuh contoh nelayan buruh termasuk dalam kategori sangat miskin. Pada musim biasa, nelayan juragan yang memiliki alat tangkap terbatas, terkadang memperoleh hasil tangkapan yang kurang memadai, sehingga kondisi ini akan lebih berdampak pada rendahnya pendapatan nelayan buruh yang hanya memperoleh 10 atau 20 persen dari pendapatan bersih. Penggolongan musim pada masyarakat nelayan tradisional didasarkan pada musim keluarnya ikan tertentu. Nelayan juragan yang memiliki berbagai alat tangkap dapat tetap melaut kapan saja dengan hasil tangkap yang berbeda. Hal ini mendatangkan konsekuensi yang berarti bagi nelayan buruh. Nelayan buruh yang bekerja pada nelayan juragan dengan berbagai alat tangkap akan tetap dapat penghasilan pada berbagai musim, sebaliknya nelayan buruh yang berkerja pada nelayan juragan dengan alat tangkap yang terbatas akan sangat terpuruk dengan jumlah penghasilan yang tidak layak atau bahkan tidak sama sekali. Keragaan Pemenuhan Pangan Frekuensi dan Keragaman Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang mutlak untuk dipenuhi. Oleh karena itu pemenuhan pangan digunakan sebagai salah satu indakator kesejahteraan obyektif keluarga. Indikator kesejahteraan keluarga melalui
55
pemenuhan pangan diukur dengan frekuensi dan keragaman pangan. Tabel 8 menunjukkan frekuensi dan keragaman pangan keluarga nelayan contoh. Hampir seluruh keluarga nelayan juragan (90.57%) dan sebagian besar keluarga nelayan buruh (77.78%) makan dengan frekuensi tiga kali sehari, dan baik keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh tidak ada yang makan dengan frekuensi sekali sehari. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal frekuensi
makan.
Frekuensi
makan
dapat
digunakan
untuk
mengukur
kesejahteraan obyektif keluarga karena frekuensi makan per hari dapat menggambarkan kemampuan suatu keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Tabel 8 Frekuensi dan keragaman pangan berdasarkan tipe nelayan Pemenuhan kebutuhan pangan Frekuensi makan/hari 1 kali 2 kali 3 kali p-value Keragaman pangan Ya Tidak p-value
n
Juragan %
Buruh n
Total %
n
%
0 5 48
0 9.43 90.57
0 6 21
0 22.22 77.78 .741
0 11 69
0 13.7 86.3
26 27
49.06 50.94
16 11
59.26 40.74 .160
42 38
52.5 47.5
Mengonsumsi makanan yang beragam merupakan syarat terpenuhinya kebutuhan gizi baik individu maupun keluarga. Pemerintah telah lama mengeluarkan slogan yang dikenal dengan “3B” (beragam, bergizi, dan berimbang). Tujuannya adalah agar masyarakat membiasakan untuk makan makanan yang beragam, bergizi, dan berimbang. Namun, lagi-lagi keterbatasan perekonomian dan minimnya pengetahuan menjadi faktor penghambatnya. Lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (52.5%) dan hampir separuh keluarga nelayan buruh (40.74%) mengonsumsi makanan yang tidak beragam yang terdiri dari nasi, lauk pauk, dan sayur pada setiap kali makan. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal frekuensi makan antara nelayan juragan dan nelayan buruh. Konsumsi pangan pada keluarga nelayan kurang beragam karena harga sayuran mahal, dan akses ke pasar membutuhkan biaya yang lumayan mahal, sehingga keluarga nelayan lebih
56
memilih mengonsumsi makanan berupa hasil tangkapan dari laut. Menurut Rosalina et. al. (2007) rendahnya keragaman pangan merupakan faktor resiko ketidaktahanan pangan. Menurut FAO (2007) keragaman konsumsi pangan adalah kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode tertentu yang ditetapkan yaitu dapat bertindak sebagai indikator alternatif bagi keamanan makanan bagi berbagai keadaan, termasuk negara dengan pendapatan sedang atau menengah, daerah pedesaan dan perkotaan, serta pada berbagai musim.
Keragaman
konsumsi pangan sangat penting, hal ini karena tidak ada satu jenis pangan yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang lengkap. Dengan mengonsumsi pangan yang beragam, maka kekurangan zat gizi dalam satu jenis akan dilengkapi oleh kandungan zat gizi dari pangan lainnya. Akses Pangan Rumahtangga Akses pangan adalah kemampuan rumahtangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan hasil dari rumah/pekarangan sendiri, pembelian, barter, pemberian, pinjaman, atau bantuan pangan (Deptan 2007). Kemampuan akses pangan rumahtangga dikatakan baik apabila rumahtangga mampu menjangkau pangan yang tersedia baik, secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya untuk memenuhi kebutuhan gizi anggotanya setiap saat. Akses pangan rumah tangga antara lain ditentukan oleh produksi sendiri, daya beli dari pendapatan, dan daya jangkau terhadap bantuan program dari pemerintah maupun terhadap sumber pangan lainnya seperti lumbung pangan atau kerabat. Penelitian ini berupaya menggambarkan akses pangan secara fisik, ekonomi dan sosial. Akses pangan secara fisik ditunjukkan dengan ketersediaan pasar di desa. Sebagai lokasi penelitian, desa pangandaran memiliki pasar yang jaraknya relatif dekat, yaitu ± 500 meter - 2 kilo meter. Menurut Deptan (2007) suatu wilayah dikatakan memiliki akses pangan tinggi apabila memiliki pasar dengan jarak terdekat minimum 3 kilometer. Apabila jarak pasar terdekat dengan wilayah tersebut lebih dari 3 km maka termasuk kategori akses pangan rendah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa akses fisik pangan berdasarkan jarak pasar di Desa Pangandaran secara umum termasuk dalam kategori akses pangan tinggi.
57
Tabel 9 Dimensi akses pangan berdasarkan tipe nelayan Akses Pangan
Pola Belanja Beras Harian Mingguan Bulanan Tidak belanja beras p-value Pengeluaran Pangan < Rp 153.304 ≥ Rp 153.000 p-value Bantuan Pangan Ya Tidak p-value
Tipe Nelayan Juragan Buruh n % n %
n
%
45 6 0 2
96.3 0.0 0.0 3.7
71 6 0 3
88.8 7.5 0 3.8
55.6 44.4
39 41
48,8 51,3
81.5 18.5
60 20
75 25
84.9 11.3 0.0 3.8
26 0 0 1
Total
0.222 26 27
49.1 50.9
15 12 0.050
25 28
47.2 52.8
22 5 0.004
Akses pangan secara ekonomi digambarkan dengan pola belanja beras sebagai makanan pokok dan pengeluaran pangan. Sebagian besar contoh (88.8%) memiliki pola belanja beras harian, hanya sebagian kecil contoh (7.5%) yang memiliki bola belanja beras mingguan, dan terdapat contoh yang memiliki pola belanja beras bulanan. Dilihat dari tipe nelayan, terdapat sebagian kecil nelayan juragan, dan tidak ada nelayan buruh yang belanja beras mingguan. Hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal pola belanja beras antara nelayan juragan dan nelayan buruh. Baik keluarga nelayan juragan atau buruh, mayoritas belanja beras setiap hari. Pola belanja pangan pokok dapat menggambarkan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Keluarga yang mampu membeli beras untuk kebutuhan dalam jangka waktu yang lebih lama menunjukkan akses pangannya semakin baik. Fenomena yang terjadi pada masyarakat nelayan adalah umumnya mereka mengaku memiliki pola belanja yang berbeda pada musim yang berbeda. Artinya ketika pada musim paceklik keluarga nelayan contoh membeli beras per hari, maka bagi beberapa keluarga dapat membeli beras per minggu pada musim panen. Berdasarkan pengeluaran pangan, lebih dari separuh contoh (51.3%) memiliki alokasi pengeluaran non pangan lebih dari rata-rata pengeluaran pangan Propinsi Jawa Barat untuk daerah pedesaan. Apabila dilihat berdasarkan tipe
58
nelayan, terlihat bahwa lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (50.9%) mengalokasikan pengeluaran pangan lebih dari pengeluaran pangan rata-rata. Hal yang berbeda terjadi pada keluarga nelayan buruh, yang lebih dari separuh (55.6%) mengalokasikan pengeluaran pangan kurang dari pengeluaran pangan rata-rata. Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal peneluaran pangan. Gambaran hasil tersebut dapat mengindikasikan bahwa secara ekonomi, rumah tangga nelayan contoh memiliki akses yang kurang terhadap pangan. Akses pangan bergantung pada daya beli rumah tangga, yang pada akhirnya merupakan fungsi dari akses terhadap matapencaharian. Akses terhadap mata pencaharian berarti terjaminnya penghasilan dalam waktu yang panjang. Dengan kata lain, kemampuan untuk memperoleh pangan bergantung pada akses terhadap matapencaharian yang tetap. Mereka yang tidak berpenghasilan tetap dan memadai akan tetap miskin. Jumlah penduduk miskin merupakan gambaran dari penduduk yang tidak memiliki akses yang produktif terhadap mata pencaharian yang memadai. Semakin besar jumlah penduduk miskin, maka semakin rendah pula akses mereka terhadap tingkat yang memadai terhadap pangan dan semakin tinggi tingkat kerawanan pangan di daerah tersebut. Secara sosial, akses pangan dapat ditunjukkan dengan bantauan dalam hal pemenuhan pangan, baik dari keluarga luas, tetangga, masyarakat, maupun pemerintah. Mayoritas contoh (75%) mengaku sering menerima bantuan pangan, sedangkan terdapat seperempat contoh (25%) yang mengaku tidak sering menerima pangan. Berdasarkan tipe nelayan, persentase keluarga nelayan buruh yang memperoleh bantuan pangan jauh lebih tinggi (81.5%) dibandingkan dengan keluarga nelayan juragan yang hanya 47.2 persen. Hasil uji beda menunjukkan bahwa akses terhadap bantuan pangan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh berbeda. Deskripsi hasil tersebut menunjukkan bahwa secara sosial, keluarga nelayan buruh memiliki akses pangan lebih tinggi daripada keluarga nelayan juragan. Ketersediaan Pangan Rumahtangga Ketersediaan pangan didefinisikan sebagai jumlah pangan yang tersedia untuk dikonsumsi penduduk (individu/keluarga/masyarakat) pada suatu waktu
59
tertentu (Dwiriani diacu dalam Jutomo 2009). Pada tingkat rumah tangga ketersediaan pangan diartikan sebagai kemampuan daya beli rumah tangga untuk menjangkau harga pangan pokok yang tersedia di pasar dan atau rumah tangga mampu memenuhi kebutuhan pangan pokok dari hasil usaha taninya. Ketersediaan pangan dalam penelitian ini digambarkan dengan konsumsi normatif serealia (beras) perhari perkapita. Konsumsi normatif beras untuk dapat memenuhi kebutuhan kalori perhari dari karbohidrat adalah 300 gram per orang perhari (World Food Programme 2005). Melalui indikator konsumsi normatif beras perhari perkapita, maka dapat dielaborasi dua pola ketersediaan pangan rumah tangga. Tabel 10 menunjukkan dengan asumsi yang berbeda, maka ditemukan perbedaan persentase antara rumah tangga yang memenuhi konsumsi normatif beras perhari perkapita. Tabel 10 Ketersediaan pangan pokok (beras) berdasarkan tipe nelayan Ketersediaan Beras ≥ 300 gram/kapita/hari < 300 gram/kapita/hari Rata-rata±SD Min-Maks p-value
Juragan Pola I
Pola II
66.0 79.2 34.0 20.8 340.3±116.8 100-625
Buruh Pola I
Pola II
44.4 44.4 55.6 55.6 303.3±104.6 125-500 0.170
Total Pola I
Pola II
58.8 67.5 41.3 32.5 327.8±113.4 100-625
Pola pertama diperoleh melalui jumlah kilogram beras yang dimasak setiap hari untuk konsumsi keluarga (tidak termasuk untuk konsumsi buruh bagi nelayan juragan). Pola kedua didasarkan pada asumsi bahwa pada keluarga yang belanja beras per minggu, seharusnya dapat memenuhi konsumsi normatif karena pada faktanya keluarga contoh masih memiliki persediaan beras yang belum dimasak. Pada pola pertama, ditemukan terdapat lebih dari separuh contoh (58.8%) dapat memenuhi konsumsi normatif beras, sedangkan pada pola kedua ditemukan sebagian besar contoh (67.5 %) dapat memenuhi konsumsi normatifnya. Hal ini berarti terdapat 6.7 persen keluarga yang sebenarnya dapat memenuhi konsumsi normatifnya. Sejumlah 6.7 persen keluarga yang sebenarnya dapat memenuhi konsumsi normatifnya tersebut berasal dari keluarga nelayan juragan yang memiliki pola belanja mingguan. Hasil uji beda menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi normatif beras antara nelayan juragan dan nelayan buruh relatif sama.
60
Coping Strategy Pangan Coping strategy dapat diartikan sebagai upaya atau cara yang dilakukan individu atau rumah tangga dalam menghadapi dan mengatasi situasi atau keadaan yang tidak menguntungkan. Coping strategy pangan berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa yang menyebabkan terganggunya pemenuhan kebutuhan pangan, misalnya keadaan alam yang tidak menguntungkan. Menurut Ninno et. al. (2001) ketika suatu keluarga tertimpa bencana, keluarga tidak akan tinggal diam, akan tetapi berusaha melakukan berbagai perilaku coping strategy. Pada masyarakat nelayan, kondisi yang tidak menguntungkan antara lain kejadian bencana dan musim paceklik. Suatu kondisi dimana terjadi penurunan dan kekurangan pangan untuk dikonsumsi, penurunan hasil tangkapan laut, sehingga menyebabkan penurunan pendapatan, serta kondisi alam yang tidak memungkinkan nelayan untuk pergi mencari ikan di laut (musim hujan dan angin kencang) merupakan tanda-tanda terjadinya masa paceklik. Kondisi paceklik di Desa Pangandaran dapat disebabkan oleh waktu keluarnya jenis ikan tertentu yang memerlukan alat tangkap yang berbeda. Nelayan yang memiliki beberapa alat tangkap akan lebih beruntung daripada nelayan yang hanya memiliki satu jenis alat tangkap. Nelayan yang memiliki berbagai alat tangkap akan tetap dapat melaut dan mencari ikan pada berbagai jenis musim penagkapan ikan.
Kondisi tersebut mendorong keluarga untuk
melakukan berbagai cara sehingga kekurangan pangan tetap dapat diatasi walaupun dengan kondisi yang terbatas. Terdapat 16 cara yang dapat dilakukan keluarga dalam mengatasi keterbatasan yang secara ringkas dikelompokkan menjadi empat, antara lain: 1) perubahan kebiasaan makan, 2) penambahan akses pangan dalam jangka pendek, 3) menjalani hari-hari tanpa makan, dan 4) migrasi. Tabel 11 menggambarkan perilaku coping keluarga dalam mengatasi keterbatasan pangan. Perilaku coping yang dilakukan contoh dengan frekuensi paling besar berturut-turut mengurangi membeli pangan hewani (76.3%), membeli pangan yang lebih murah (75%), Hutang di warung (73.8%), dan meminjam uang dari teman, keluarga, serta tetangga (60%). Apabila dicermati perilaku tersebut berada pada kelompok perilaku perubahan kebiasaan makan dan penambahan akses
61
pangan dalam jangka pendek. Menarik untuk dibahas adalah terdapat kecenderungan bahwa ternyata keluarga nelayan contoh lebih menyukai hutang di warung daripada harus meminjam uang ke keluarga, tetangga, ataupun teman. Kondisi ini dapat dikarenakan adanya perasaan bahwa hutang di warung lebih nyaman daripada meminjam ke tetangga, teman, atau keluarga. Tabel 11 Perilaku coping stratregy pangan rumah tangga berdasarkan tipe nelayan Tipe Nelayan Coping Strategy Membeli pangan kurang disukai Membeli pangan lebih murah Mengurangi membeli pangan hewani Mengubah prioritas membeli pangan Mengurangi porsi makan Mengurangu jumlah pangan Menggadaikan asset Menjual asset Hutang ditempat membeli (warung) Meminjam uang dari teman, keluarga, dan tetangga Mencari tambahan pendapatan Perubahan distribusi makan Mengurangi frekuensi makan perhari Menjalani hari-hari tanpa makan Migrasi Menukar dengan barang lain
Juragan
Total
Buruh
n 25 37 39 30 20 24 6 21 36
% 47.2 69.8 73.6 56.6 37.7 45.3 11.3 39.6 67.9
n 18 23 22 17 13 14 5 12 23
% 66.7 85.2 81.5 62.9 48.2 51.8 18.5 44.4 85.2
n 43 60 61 47 33 38 11 33 59
% 53.7 75.0 76.3 58.8 41.6 47.5 13.7 41.2 73.7
28
52.8
20
74.1
48
60.0
26 23 11 3 5 1
49.1 43.4 20.7 5.7 9.4 1.9
16 19 9 3 11 2
59.3 70.2 33.3 11.1 40.7 7.4
42 42 20 6 16 3
52.5 52.5 25.0 7.5 20.0 3.6
Perilaku coping yang paling sedikit dilakukan adalah menukar dengan barang lain (3.8%) dan menjalani hari-hari tanpa makan (7.5%). Kebiasaan tukar menukar barang atau yang dikenal dengan istilah barter tampaknya sekarang dan bahkan mulai beberapa dekade yang lalu telah menyurut. Ini dikarenakan telah adanya alat tukar yang sangat praktis yaitu uang. Selain itu perkembangan jaman telah mengubah kebudayaan masyarakatnya. Berdasarkan tipe nelayan terlihat hasil yang konsisten, yaitu persentase nelayan buruh pada berbagai perilaku coping selalu lebih tinggi daripada nelayan juragan. Hal ini menunjukkan kejadian kekurangan pangan lebih terlihat pada nelayan buruh daripada nelayan juragan. Tingkat keparahan kejadian kekurangan pangan dapat dilihat dari jumlah perilaku coping yang dilakukan oleh keluarga. Semakin banyak perilaku coping yang dilakukan keluarga, maka tingkat keparahan kejadian kekurangan pangan semakin tinggi. Jumlah coping yang dilakukan keluarga berdasarkan tipe nelayan
62
disajikan dalam Tabel 12.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan
jumlah perilaku coping antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Jumlah perilaku coping yang dilakukan nelayan juragan berkisar antara 014, sedangkan jumlah perilaku coping yang dilakukan nelayan buruh berkisar antara 3-16. Lebih dari separuh keluarga nelayan buruh (52.8%) dan sebagian besar keluarga nelayan juragan (70.4%) melakukan 6-11 perilaku coping strategy pangan. Artinya, jumlah perilaku coping yang dilakukan keluarga nelayan buruh lebih banyak daripada nelayan juragan. Tabel 12 Jumlah perilaku coping yang dilakukan keluarga berdasarkan tipe nelayan Jumlah Coping Strategy 0-5 6-11 12-16 Min-maks Rata-rata± SD p-value
Juragan n 21 28 4
% 39.6 52.8 7.5
0-14 6.32±3.76
Buruh n 4 19 4
Total % 14.8 70.4 14.8
3-16 8.41±2.95 0.008
n 25 47 8
% 31.3 58.8 10.0
0-16 7.02±3.62
Kejadian kekurangan pangan yang kerap melanda keluarga nelayan terutama pada musim paceklik akan mendorong keluarga nelayan untuk melakukan coping strategy pangan. Keluarga nelayan buruh merupakan keluarga yang lebih beresiko terhadap kondisi ini. Oleh karena itu jumlah perilaku coping yang menunjukkan keparahan kejadian kekurangan pangan pun lebih tinggi daripada nelayan juragan. Kejadian kekurangan pangan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Keadaan bencana yang melanda suatu wilayah akan mengganggu sistem pangan di wilayah tersebut. Kesiapsiagaan Pemenuhan Pangan Keluarga nelayan dapat melakukan strategi untuk menghindari kekurangan pangan dengan melakukan strategi kesiapsiagaan. Perilaku kesiapsiagaan dapat berupa penyediaan lumbung padi yang dapat terletak di rumah maupun di desa, kebiasaan menyimpan bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan pada saat kekurangan pangan, dan usaha keluarga untuk menyisihkan pangan selain yang dikonsumsi sehari-hari. Tingkat kesiapsiagaan keluarga nelayan contoh, digambarkan dalam Tabel 13.
63
Perilaku siapsiaga yang paling banyak dilakukan keluarga nelayan contoh adalah kebiasaan menyimpan cadangan makanan untuk persediaan (32.5%) dan perilaku siapsiaga yang paling sedikit dilakukan keluarga nelayan contoh adalah adanya lumbung padi di desa. Secara keseluruhan gambaran ini menunjukkan keluarga nelayan kurang siapsiaga dalam menghadapi keterbatasan pangan. Keberadaan lumbung pangan desa hanya dapat diakses oleh nelayan yang termasuk dalam anggota KUD, yaitu nelayan juragan. Namun demikian, tidak semua nelayan juragan aktif mengikuti KUD. Oleh karena itu, tidak semua nelayan juragan dapat mengakses lumbung pangan desa tersebut. Tabel 13 Perilaku siapsiaga dalam memenuhi kebutuhan pangan berdasarkan tipe nelayan Kesiapsiagaan Keluarga Kepemilikan lumbung pangan pribadi Ketersediaan lumbung pangan desa Kebiasaan menyimpan makanan Kebiasaan menyimpan persediaan makanan Kebiasaan menyimpan untuk persediaan ketika terjadi kekurangan pangan Kebiasaan menkonsumsi persediaan makanan meskipun tidak terjadi kekurangan pangan
Juragan n % 18 33.9 10 35.8 17 32.1
n 6 0 5
Buruh % 22.2 0 18.5
n 24 19 22
Total % 30 23.6 27.5
19
35.9
7
25.9
26
32.5
16
30.2
7
25.9
23
28.6
14
26.4
5
18.5
19
23.6
Berdasarkan tipe nelayan, penelitian menunjukkan hasil yang konsisten pada berbagai perilaku kesiapsiagaan. Persentase nelayan juragan selalu lebih tinggi pada berbagai perilaku kesiapsiagaan daripada nelayan juragan. Kondisi demikian diduga karena pendapatan nelayan buruh lebih rendah sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan saat itu. Selain itu, rendahnya perilaku kesiapsiagaan dapat juga disebabkan kurangnya kemampuan manajemen sumberdaya keluarga dengan asumsi sebagian masyarakatnya berpendidikan rendah.
Sementara, dalam hal pendapatan, nelayan juragan lebih beruntung
daripada nelayan buruh. Nelayan juragan akan memperoleh pendapatan yang relatif lebih tinggi, sehingga bisa lebih siapsiaga dalam hal pemenuhan pangan. Tingkat kesiapsiagaan keluarga dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilihat dari jumlah perilaku siapsiaga yang dilakukan keluarga. Berdasarkan tingkatannya, kesiapsiagaan dapat dikelompokkan menjadi rendah (0-2), sedang (3-4), dan tinggi (5-6).
Tabel 14 menunjukkan jumlah perilaku siapsiaga
64
berdasarkan tipe nelayan. Mayoritas keluarga nelayan contoh (70%) memiliki tingkat kesiapsiagaan yang rendah, sementara hanya sebagian kecil keluarga nelayan contoh (12.5%) yang memiliki tingkat kesiapsiagaan tinggi. Hasil uji beda menunjukkan perilaku siapsiaga antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan juragan tidak berbeda signifikan, dikarenakan tidak adanya diversifikasi perilaku kesiapsiagaan. Tabel 14 Jumlah perilaku kesiapsiagaan pangan yang dilakukan keluarga berdasarkan tipe nelayan Kesiapsiagaan Keluarga 0-2 3-4 5-6 Rata-rata±SD Min-maks p-value
Juragan n % 36 67.92 11 20.75 6 11.32 1.77±1.93 0-6
Buruh n % 20 74.07 4 14.81 3 11.11 1.44±1.91 0-6 0.471
Total N % 56 70.00 15 18.75 9 11.25 1.66±1.92 0-6
Selain perilaku di atas, kesiapsiagaan dapat dilihat dari aset yang dimiliki oleh keluarga. Keluarga yang memiliki tabungan dapat dikatakan bahwa keluarga tersebut telah melakukan perilaku siapsiaga. Tabungan dapat dijadikan untuk persediaan membeli pangan apabila terjadi kekurangan pangan. Hasil penelitian menunjukkan persentase keluarga nelayan juragan yang memiliki tabungan jauh lebih tinggi daripada keluarga nelayan buruh. Deskrisi hasil tersebut menunjukkan bahwa keluarga nelayan juragan lebih siapsiaga daripada keluarga nelayan buruh. Perilaku kesiapsiagaan penting dimiliki oleh keluarga nelayan karena pendapatannya yang fluktuatif. Pada musim panen pendapatan nelayan dapat sangat tinggi, sebaliknya pada musim paceklik pendapatan nelayan dapat sangat rendah.
Selain itu perilaku siapsiaga terlebih sangat penting dilakukan oleh
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Dengan melakukan perilaku siapsiaga, maka keterpurukan keluarga akibat bencana dapat dikurangi. Berdasarkan kondisi tersebut, upaya menabung sebagai salah satu bentuk perilaku siapsiaga baik dalam bentuk barang maupun uang sangat penting dilakukan. Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan suatu masyarakat berkembang melalui suatu kurun waktu, sebagai hasil dari banyak faktor yang bersifat kompleks, yang membentuk
65
kerangka di mana orang belajar tentang pangan dan mengembangkan pangan pribadinya. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi cara makan dan kebiasaan pangan individu baik dalam masyarakat maupun nasional, tiga diantaranya yang terpenting adalah ketersediaan pangan, pola sosial budaya, dan faktor pribadi (Riyadi 1996). Pangan Sumber Karbohidrat Karbohidrat merupakan zat gizi yang memiliki persentase terbesar untuk memenuhi kebutuhan kalori per hari. Seseorang memilih dan mengonsumsi pangan berdasarkan kesukaannya. Tabel 15 menunjukkan frekuensi dan kebiasaan konsumsi serealia dan umbi-umbian. Umumnya beras dikonsumsi setiap hari dengan rata-rata 3 kali sehari. Sebagai makanan pokok, beras menduduki tingkat sosial yang tinggi dibandingkan umbi-umbian. Sejumlah 100% rumah tangga mengonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Data di tingkat nasional menunjukkan bahwa konsumsi beras untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah cenderung naik dan ketika pendapatan terus meningkat hingga mencapai level tertentu konsumsi beras mulai menurun. Dua peubah ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga (Madanijah 2004). Untuk masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi konsumsi beras diperkirakan hanya 75-90 kg/kapita/tahun, sedangkan orang Indonesia mengonsumsi beras rata-rata 120-130 kg/kapita/tahun. Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli (Sunarti 2008). Tabel 15 Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi serealia dan umbi-umbian keluarga Serealia Beras Jagung Singkong Ubi Jalar Talas
Frekuensi (Per bulan) 84.2 1.7 3.9 4.2 1.1
Kebiasaan Konsumsi Tidak(%) Pernah Konsumsi (%) 0.0 100.0 28.8 37.3 11.3 53.8 18.8 43.3 75.0 25.0
66
Orang-orang dengan ekonomi tinggi pada dasarnya telah mengurangi konsumsi beras. Mereka mengonsumsi nasi relatif sedikit karena terjadinya pergeseran pola makan. Sarapan tidak lagi harus dengan nasi tetapi diganti dengan roti atau sereal. Sementara itu masyarakat golongan ekonomi bawah cenderung mengonsumsi beras dalam jumlah lebih banyak karena kurang mengonsumsi bahan pangan jenis serealia lain (terigu). Selain sebagai sumber kalori, beras juga mengandung protein tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa kontribusi beras terhadap asupan kalori dan protein sesungguhnya relatif tinggi. Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini belum dapat tergantikan peranannya oleh pangan sumber karbohidrat lain. Meski sudah ada Inpres no 14 tahun 1974 yang disempurnakan menjadi Inpres no 2 tahun 1979 tentang Penganekaragaman Menu Makanan Rakyat, namun pada kenyataannya konsumsi beras masyarakat Indonesia masih sangat tinggi. Kekurangberhasilan diversifikasi pangan pokok disebabkan beras memiliki citra superior, mudah diperoleh, harga terjangau, dan rasanya enak. Serealia lain seperti jagung frekuensi konsumsinya relatif jarang ( 1.7 kali per bulan). Jagung umumnya dikonsumsi sebagai makanan selingan (snack) dalam bentuk jagung rebus atau jagung bakar. Di perkotaan, jagung dibuat crackers dan merupakan produk industri yang dipasarkan di mall atau pasar swalayan. Sangat jarang jagung dikonsumsi sebagai makanan pokok. Oleh karena itu dapat dimaklumi apabila frekuensi konsumsi jagung masih sangat sedikit. Umbi-umbian terutama singkong dan ubi jalar dikonsumsi dengan frekuensi masing-masing 3.9 dan 4.2 kali per bulan. Hampir sama seperti jagung, umbi-umbian hanya diperlakukan sebagai snack yakni dengan cara digoreng atau direbus. Snack singkong juga dijual sebagai kripik yang dihasilkan oleh industri kecil maupun industri besar. Umbi-umbian lain yang dikonsumsi contoh adalah talas, namun frekuensi konsumsinya sangan kecil yaitu 1.1 kali per bulan. Pangan Sumber Protein Pangan sumber protein dapat tersedia dari daging, ikan, telur, susu dan olahannya, serta bahan pangan yang terbuat dari kacang-kacangan seperti tempe, tahu, dan oncom. Protein menyumbangkan 10-15 persen kalori dari total konsumsi normal yaitu 2100 kalori per hari. Tabel 16 menunjukkan sebaran
67
frekuensi dan kebiasaan konsumsi pangan sumber protein. Pangan sumber protein yang harganya mahal seperti daging sapi, daging ayam sangat jarang dikonsumsi. Tabel 16 Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi pangan sumber protein keluarga Sumber Protein Daging, Ikan, dan Telur Daging Ayam Daging Sapi/Kambing Ikan Segar Ikan Pindang Ikan Asin Telur Susu Anak Susu Keluarga Kacang-kacangan Tahu Tempe Oncom
Frekuensi (kali per bulan)
Kebiasaan Konsumsi Tidak Pernah Konsumsi (%) (%)
2.2 0.2 21.8 5.5 12.6 16.3 29.0 3.1
17.5 43.8 1.3 31.3 11.3 2.5 45.0 83.8
82.5 56.3 98.8 68.8 88.8 97.5 55.0 16.3
24.6 25.0 0.1
2.5 1.3 98.8
97.5 98.8 1.3
Frekuensi konsumsi daging sapi dan daging ayam masing-masing adalah 2.2 kali per bulan dan 0.2 kali per bulan. Pangan sumber protein utama bagi rumah tangga adalah ikan segar, ikan asin, dan telor dengan frekuensi konsumsi masing-masing 21.8, 12.6, dan 16.3 kali per bulan. Konsumsi ikan segar dan ikan asin relatif tinggi karena rumah tangga contoh bermatapencaharian nelayan. Ikan segar dapat langsung dikonsumsi rumah tangga tanpa harus membeli di pasar atau warung. Sama halnya dengan ikan asin, keluarga dengan matapencaharian nelayan dapat memproduksi ikan asin sendiri tanpa harus membeli. Frekuensi konsumsi telur juga relatif tinggi karena telur merupakan makanan yang disukai semua kalangan dan harganya relatif murah. Konsumsi telur orang Indonesia masih sangat rendah. Hal ini terkait juga dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Pada dasarnya kemajuan ekonomi suatu masyarakat ternyata diikuti dengan meningkatnya konsumsi telor. Amerika serikat dapat dikatakan sebagai konsumen telor tertinggi yaitu 314 butir/orang/tahun, Inggris 290 butir, jepang 269 butir, Negara-negara eropa lain 210 butir, dan Indonesia sekitar 50 butir. Umumnya telur disukai sebagai pelengkap sarapan pagi. Untuk mempersiapkan makan pagi, seseorang umumnya ingin yang serba cepat dan oleh
68
karena itu, telor adalah pilihan terbaik karena bisa dimasak dengan berbagai cara dalam waktu yang cepat. Harga telor yang murah menjadi penyebab mengapa frekuensi konsumsi telor menjadi relatif sering di kalangan rumah tangga contoh. Susu hanya sering dikonsumsi oleh anak-anak yakni dengan frekuensi 29.0 kali per bulan. Sementara itu, susu untuk konsumsi keluarga sangat kecil frekuensi konsumsinya (3.1 kali per bulan). Jumlah keluarga yang mengonsumsi juga sangat sedikit yaitu 55.0% untuk anak-anak dan 16.3 untuk susu keluarga. Susu telah dikenal banyak orang sejak dulu. Prof. Poorwo Soedarmo telah mensosialisasikan pentingnya minum susu dengan menciptakan slogan Empat Sehat Lima Sempurna. Kalau susu ditempatkan pada posisi terakhir dalam slogan tersebut mungkin didasari bahwa bangsa Indonesia di awal tahun 1950an baru saja merdeka sehingga asupan pangan juga seadanya dan susu merupakan produk yang masih langka (Sunarti 2008). Tren peningkatan susu di Indonesia berlangsung sangat lambat. Pada tahun 1970 konsumsi susu Indonesia hanya 1.82 kg/kap/tahun dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 6.50 kg. Jadi selama 30 tahun hanya terjadi peningkatan 4.68 kg. Pangan sumber protein nabati yang sangat popular di kalangan rumah tangga contoh adalah tahu dan tempe. Hampir setiap 2 hari sekali contoh mengonsumsi tahu/tempe sebagai lauk pauk. Kedua jenis pangan nabati ini mudah diperoleh dan harganya murah. Barangkali ini menyebabkan frekuensi konsumsi telur dan tempe menjadi agak tinggi. Tahu adalah makanan yang empuk, lezat dan bergizi. Sangat disukai orang karena kelembutannya. Tahu dibuat melalui penyaringan kedelai yang telah digiling dengan penambahan air. Kelembutan teksturnya menyebabkan tahu mudah dikunyah. Karena tahu terbuat dari kedelai, maka kandungan proteinnya sangat tinggi dan berkualitas. Daya cernanya dapat mencapai 85-98 persen, dan total protein yang dapat dimanfaatkan tubuh sebesar 65 persen. Sebagai makanan rakyat, tahu mudah dijumpai dipasaran. Harganya relatif murah dan dapat dimasak dengan berbagai cara. Masyarakat menyukai tahu sebagai lauk pauk bahkan sebagai makanan cemilan. Sebagai makanan tradisional, kepopuleran tahu telah menyebar di seluruh pelosok nusantara. Terutama di pulau Jawa, penggemar tahu sangat banyak tidak terbatas usia dan lokasi (desa atau kota).
69
Sebagai makanan rakyat, tempe disukai karena rasanya enak. Tempe semula dikembangkan oleh orang jawa pada beberapa abad yang lalu. Kajian tenjtang tempe oleh para ahli baru dimulai ketika zaman pendudukan jepang. Kini tempe diketahui berperan besar sebagai pangan sumber vitamin B12 dan kaya antioksidan. Senyawa yang terakhir ditemukan ini memungkinkan tempe dapat digunakan untuk penangkal radikal bebas, mencegah penyakit degeneratif, dan menangkal proses penuaan dini. Sebagai salah satu pangan tradisional, posisi tempe belum tergantikan oleh pangan lainnya. Bahkan sebagian masyarakat yang sudah makmur hidupnya, yang menu makanan sehari-harinya banyak didominasi daging, ikan, dan telur ternyata mereka masih menyukai tempe sebagai lauk-pauk dan makanan selingan. Hal ini tidak terlepas dari sejarah tempe yang panjang sebagai makanan rakyat yang sudah mendarah daging. Pangan Sumber Vitamin dan Mineral Sayur dan buah merupakan bahan pangan yang sangat penting sebagai sumber vitamin dan mineral. Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi sayuran dan buah dapat dilihat dalam tabel 17. Beberapa jenis sayuran telah dikonsumsi cukup sering dan lebih tinggi dibandingkan sayur lain adalah tomat dan kangkung. Sementara buah yang dikonsumsi dengan frekuensi tinggi adalah papaya, pisang, dan jeruk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sayuran daun/umbi seperti bayam, kangkung, wortel dan kacang panjang sangat populer. Buah-buahan yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah papaya, pisang, dan jeruk. Penelitian Sunarti (2008) pada rumah tangga wanita pemetik teh di Malabar, Purbasari, Talun Santosa Sedep, dan Rancabali menyatakan bahwa jenis sayurang yang sering dikonsumsi adalah bayam, kangkung, tomat, dan labu siam. Sementara penelitian Ginting (2005) pada pedesaan dan perkotaan di Bogor menyatakan bahwa jenis sayuran yang sering dikonsumsi adalah bayam, buncis, mentimun, dan wortel, dengan sebagian besar contoh beralasan karena jenis sayuran tersebut memiliki rasa yang enak, dan mudah didapat dengan harga yang relatif murah.
70
Tabel 17 Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral keluarga Sumber Vitamin dan Mineral Sayur Daun/Umbi Bayam Kangkung Wortel Kacang Panjang Sayur Buah Labu Siam Tomat Mentimun Terong Buah Pepaya Mangga Pisang Jeruk Melon Apel Rambutan Kedondong Duku Kelengkeng Pear Alpukat
Frekuensi (Per bulan)
Kebiasaan Konsumsi Tidak Pernah (%) Konsumsi (%)
5.8 6.1 5.7 5.4
5.0 2.5 5.0 6.3
95.0 97.5 95.0 93.8
5.4 10.5 4.8 4.3
10.0 10.0 20.0 23.8
90.0 90.0 80.0 76.3
19.4 3.4 16.1 25.8 3.1 0.3 3.2 3.1 0.1 0.3 0.2 1.1
50.0 83.8 30.0 22.5 66.3 50.0 87.5 98.8 98.8 98.8 98.8 97.5
50.0 16.3 70.0 77.5 33.8 50.0 12.5 1.3 1.3 1.3 1.3 2.5
Frekuensi konsumsi kangkung adalah 6.1 kali per bulan. Kangkung sebagai sayuran yang digemari merupakan bahan pangan sumber serat. Saat ini mungkin dapat dikatakan bahwa orang Indonesia umumnya kurang serat. Ratarata serat yang dikonsumsi orang Indonesia baru mencapai sekitar 55-60 persen dari kebutuhan yang mencapai 20 gram per hari. Kekurangan serat diindikasikan oleh sulitnya buang air besar, dan hal ini dapat membawa dampak yang serius pada waktu mendatang. Buang air besar yang tidak lancar karena menu makan yang miskin serat dapat memicu kanker usus besar. Masyarakat Indonesia mempunyai ragam olahan sayuran yang bervariasi. Makanan yang terbuat dari berbagai macam sayuran misalnya gado-gado, karedok, pecel, dan lain-lain. Hal ini membuat seseorang dapat menyiapkan menu sayuran dengan lebih baik sehingga tidak bosan. Bayam adalah sayuran hijau yang yang dikonsumsi dengan frekuensi tersering nomor dua sesudah kangkung. Bayam merupakan sayuran populer yang telah dikenal luas oleh masyarakat. Dari nilai gizinya diketahui bahwa bayam adalah sumber betakaroten (vitamin A),
71
vitamin C, riboflavin, dan asam folat. Kandungan mineral terpenting yang terkandung dalam bayam adalah zat besi dan kalsium. Mineral lain seperti seng, magnesium, fosfor, dan kalium juga terdapat dalam bayam. Dengan membiasakan memasak dan mengonsumsi sayur setiap hari, maka akan terjamin kebutuhan vitamin dan mineral bagi seluruh keluarga. Konsumsi buah tertentu umumnya meningkat di saat musim buah tersebut. Beberapa jenis buah seperti pisang dan papaya dikenal sebagai buah yang tersedia sepanjang waktu. Harga pisang dan papaya umumnya relatif murah, sedangkan mangga, melon, jeruk, dan rambutan yang mudah diperoleh pada musimnya. Jenis buah lain seperti kedondong merupakan buah yang cukup sering dikonsumsi keluarga contoh. Hal ini mungkin dikarenakan beberapa contoh memiliki pohon kedondong, selain itu kedondong merupakan buah yang kerap terdapat dalam rujak, yang merupakan makanan favorit bagi masyarakat. Jenis buah seperti duku, kelengkeng, pear, dan apel sangat jarang dikonsumsi keluarga contoh. Hal ini mungkin dikarenakan karena buah tersebut harganya mahal dan hanya mungkin didapatkan pada musimnya. Buah sebagaimana sayuran juga memberikan kontribusi penting untuk asupan vitamin dan mineral. Buah juga umumnya kaya akan serat yang sangat penting untuk mendukung kesehatan. Frekuensi konsumsi beras secara keseluruhan pada keluarga nelayan di Desa Pangandaran masih perlu ditingkatkan. Buah, sebagaimana sayuran sebaiknya dikonsumsi setiap hari. Konsumsi Jajanan Snack atau makanan jajanan menjadi bagian penting dalam pola makan seseorang sebagai makanan pokok atau makanan selingan. Snack dapat membantu memenuhi kebutuhan kalori, di samping yang diperoleh dari makanan utama. Snack yang dipilih secara baik akan bermanfaat untuk tubuh karena dapat menghilangkan atau menunda rasa lapar.
Rasa lapar yang dibiarkan (tanpa
mengonsumsi snack) akan mendorong orang untuk makan berlebihan. Hal ini akan membuat seseorang terbiasa makan banyak yang berdampak pada kemungkinan munculnya kegemukan. Tabel 18 menunjukkan frekuensi konsumsi jajanan (bakso, soto, siomay, mie ayam, bakwan, pisang goreng, tahu goreng, dan chiki) dan makanan lainnya (gula, kopi, dan teh).
72
Tabel 18 Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi makanan jajanan Jenis Pangan Jajanan Bakso Soto Siomay Pisang Goreng Mie Ayam Bakwan Tahu Goreng Chiki Lain-lain Gula The Kopi
Frekuensi (kali per bulan)
Kebiasaan Konsumsi Tidak Pernah Konsumsi (%) (%)
4.5 0.3 1.5 20.5 3.5 20.5 10.3 19.8
8.8 56.3 8.8 31.3 8.8 11.3 47.5 2.5
91.3 43.8 91.3 68.8 91.3 88.8 52.5 97.5
28.3 16.5 27.6
28.8 38.8 18.8
71.3 61.3 81.3
Jenis jajanan yang sering di konsumsi adalah pisang goreng, bakwan, dan chiki dengan frekuensi konsumsi masing-masing 20.5, 20.5, dan 19.8 kali per bulan. Pisang goreng, bakwan dan tahu goreng merupakan makanan tradisional yang disukai oleh masyarakat. Sementara chiki termasuk junk food yang umumnya disukai anak-anak, rasanya enak, dan harganya terjangkau. Chiki dikonsumsi oleh hampir seluruh keluarga nelayan contoh (97.5%). Hal ini disebabkan chiki merupakan makanan yang sangat disukai oleh anak-anak. Selain itu tidak jarang juga orang dewasa yang menyukai bahan makanan ini. Jajanan yang juga relatif popular di kalangan keluarga nelayan di desa pangandaran adalah mie ayam, siomay, dan bakso, yang ketiganya dikonsumsi oleh 91.3 persen rumahtangga. Jajanan ini merupakan makanan yang sudah memasyarakat dan sangat digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Keragaan Pemenuhan Perumahan Status ekonomi rumah tangga diperkirakan dapat mempengaruhi kondisi tempat tinggal. Secara umum dapat dikatakan, semakin miskin rumah tangga semakin kecil persentase rumah sehat, sebaliknya semakin tinggi status ekonomi semakin besar persentase rumah sehat. Indikator yang ada di dalam data Susenas, yaitu lokasi rumah, kepadatan hunian, jenis lantai, pencahayaan, ventilasi, air bersih, jenis jamban (WC), kepemilikan jamban, pembuangan akhir tinja, cara pembuangan air limbah, keadaan saluran/got, pembuangan sampah, polusi udara, dan bahan bakar untuk masak. Dalam penelitian ini pemenuhan kebutuhan
73
perumahan sebagai indikator kesejahteraan keluarga dielaborasi melalui status kepemilikan rumah, densitas rumah, kesesakan rumah, kondisi fisik rumah, fasilitas dan perlengkapan rumah, serta kondisi lingkungan rumah. Dalam penelitian ini indikator perumahan yang akan dibahas dan dianalisis secara statistik inferensi adalah status kepemilikan rumah, luas lantai per kapita (densitas), dan kesesakan atau crowding. Sedangkan indikator lain seperti fasilitas dan perlengkapan rumah, kondisi fisik rumah, kondisi lingkungan akan dibahas secara deskriptif. Status Kepemilikan Rumah, Densitas, dan Kesesakan (Crowding) Status kepemilikan rumah menunjukkan kondisi rumah yang ditempati, dapat berupa milik sendiri, sewa, numpang, dan lain-lain. Keluarga yang menempati rumah dengan status milik sendiri akan lebih nyaman daripada keluarga yang menempati rumah dengan status sewa, terlebih lagi dengan status numpang. Status kepemilikan rumah, densitas, dan kesesakan (crowding) berdasarkan tipe nelayan disajikan dalam Tabel 19. Tabel 19 Status kepemilikan rumah, densitas, dan kesesakan (crowding) berdasarkan tipe nelayan Pemenuhan Kebutuhan Perumahan
Juragan N %
Status Kepemilikan Rumah Milik sendiri 26 Sewa 14 Numpang 12 Digadaikan 1 P-value (Dummy)* Luas Rumah/Kapita (Densitas) < 8 m² 12 ≥ 8 m² 41 p-value Kesesakan (Crowding) Ya 26 Tidak 27 p-value *1=milik sendiri, 0=bukan milik sendiri
49.1 26.4 22.6 1.9
Tipe Nelayan Buruh n % 18 2 7 0
Total n
%
66.7 7.4 25.9 0
44 16 19 1
55 20 23.8 1.2
25.9 74.1
13 67
16.3 83.8
48.1 51.9
39 41
48.8 51.3
0.240 22.6 77.4
7 20 0.743
49.1 50.9
13 14 0.253
Hasil penelitian menunjukkan hampir separuh keluarga nelayan juragan (49.06%) dan sebagian besar keluarga nelayan buruh (66.67 %)
menempati
rumah dengan status milik sendiri. Persentase keluarga nelayan juragan yang memiliki rumah dengan status sewa jauh lebih besar (26.42%) daripada keluarga
74
nelayan buruh (7.41%). Kondisi ini dapat disebabkan pendapatan keluarga nelayan juragan lebih besar daripada keluarga nelayan buruh, sehingga nelayan juragan memiliki kesempatan yang lebih tinggi dalam mengalokasikan pendapannya untuk biaya sewa rumah. Namun, hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal status kepemilikan rumah antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Keluarga nelayan yang memiliki rumah dengan status numpang, sewa, atau gadai, sedikit banyak mereka memiki kekhawatiran karena status dari lahan yang mereka tempati. Nelayan yang memiliki rumah dengan status sewa harus menyisihkan sebagian pendapatannya untuk sewa rumah, dan konsekuensinya adalah proporsi untuk memenuhi kebutuhan lain akan berkurang. Nelayan yang memiliki rumah dengan status numpang akan dibayang-bayangi rasa khawatir karena pemilik lahan dapat datang kapan saja untuk memanfaatkan lahan yang dimilikinya. Kondisi ini didukung dengan potensi desa yang merupakan tempat pariwisata, sehingga kemungkinan besar pemilik lahan akan memanfaatkannya untuk mengembangkan bisnisnya, misalnya untuk pembangunan penginapan, rumah makan, dan lain-lain. Kajian ekologi keluarga secara langsung memberikan perhatian terhadap situasi fisik seperti kepadatan (densitas), tata ruang dan wilayah, perumahan, dan jumlah serta jenis ruang yang tersedia bagi individu dan keluarga (Sunarti, 2007). Berkaitan dengan pemaknaan atau pentingnya ruang bagi perkembangan atau kehidupan individu dalam keluarga, maka tingkat kepadatan atau densitas minimal seseorang individu untuk bisa hidup nyaman seringkali dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan keluarga. Salah satu dari indikator keluarga sejahtera adalah luas lantai minimal untuk tiap penghuni dalam rumah. Untuk memenuhi rumah sehat, maka bangunan rumah minimal memiliki luas 8 m2 per kapita. Hasil penelitian menunjukkan, secara keseluruhan sebagian besar contoh (83.8%) telah menempati rumah sesuai dengan syarat minimal tersebut. Berdasarkan tipe nelayan, persentase nelayan yang memiliki rumah dengan luas lantai ≥ 8 m2 antara nelayan juragan dan nelayan buruh tidak jauh berbeda, yaitu sebesar 77.4 dan 74.1 persen. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keluarga
75
nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal luas lantai rumah perkapita. Rumah yang cukup luasnya sangat penting agar penghuninya betah dan tidak merasa sumpek (sesak). Cara lain yang digunakan untuk mengukur kesesakan rumah (crowding), adalah berdasarkan jumlah kamar tidur dan jumlah seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Milligan et. al. (2006) menetapkan formulasi pengukuran kesesakan sebagai berikut: Croding Index = [(1/2 jumlah anak >10 tahun) +(jumlah pasangan) + jumah anggota keluarga lain ≥ 10 tahun)] /jumlah kamar tidur. Nilai >1 menunjukkan adanya kesesakan rumah. Persentase nelayan yang tinggal di rumah dengan kategori sesak antara nelayan juragan dan nelayan buruh hampir sama, yaitu 48.1 persen dan 49.1 persen. Kondisi tersebut diperkuat dengan hasil uji beda yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dalam hal kesesakan rumah antara keluarga nelayan buruh dan keluarga nelayan juragan. Kondisi Fisik Rumah Kondisi fisik bangunan ditentukan oleh komponen-komponen seperti jenis lantai, jenis atap rumah, dan jenis dinding rumah. Kondisi fisik rumah dapat menentukan status sosial ekonomi keluarga. Jenis lantai rumah, dinding dan atap rumah dapat juga tergantung budaya dan adat masyarakat setempat. Gambaran kondisi fisik rumah dapat disajikan dalam Tabel 20. Jenis lantai rumah dapat berupa keramik, semen/plester/ubin, kombinasi plester dan tanah, seluruhnya tanhan, dan rumah panggung. Hampir separoh contoh (49.06%) dari kelompok nelayan juragan dan lebih dari sepertiga contoh (37.04%) menempati rumah dengan jenis lantai keramik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil contoh dari keluarga nelayan juragan (1.89%) dan 7.41% contoh dari kelompok nelayan buruh yang menempati rumah dengan seluruh lantainya berupa tanah. Jenis atap rumah yang dimiliki contoh berbeda-beda. Jenis atap rumah antara lain dapat berupa genteng, seng, sirap, nifah, dan asbes. Sebagian besar contoh baik yang berasal dari keluarga nelayan juragan (83.02%) dan berasal dari keluarga nelayan buruh (77.78%) menempati rumah dengan jenis atap berupa
76
genteng. Sedangkan secara keseluruhan hanya sebagian kecil contoh (1.25%) yang menempati rumah dengan jenis atap berupa nifah. Tabel 20 Kondisi fisik rumah (jenis lantai, jenis atap, dan jenis dinding rumah) berdasarkan tipe nelayan Kondisi Fisik Bangunan Jenis Lantai Rumah
Jenis Atap Rumah
Jenis Dinding Rumah
Keramik Semen/plester/ubin tanah dan plester seluruhnya tanah Rumah Panggung Genteng Seng Sirap Nifah Lainnya Tembok Sebagian tembok Kayu Bambu Lainnya
Tipe Nelayan (%) Juragan Buruh 37.7 37.0 29.6 45.3 15.1 18.5 1.9 7.4 0 7.4 83.0 77.8 1.9 3.7 5.7 7.4 0 3.71 9.4 7.4 26.4 33.3 11.3 7.4 1.9 1.1 54.7 44.4 5.7 3.7
Total (%) 37.5 40.0 16.3 3.8 2.5 81.2 2.5 6.3 1.2 8.8 28.8 10.0 5.0 51.2 5.0
Jenis dinding rumah yang dimiliki contoh juga bervariasi. Jenis dinding rumah dapat berupa tembok, sebagian tembok, kayu, bambu, dan lain-lain. Lebih dari separuh contoh (54.72%) dari keluarga nelayan juragan dan hampir separoh contoh (44.44%) dari keluarga nelayan buruh menempati rumah dengan jenis diding berupa kayu. Sedangkan secara keseluruhan, hanya sebagian kecil (5.00%) keluarga yang menempati rumah dengan jenis dinding berups kayu. Fasilitas dan Perlengkapan Rumah Rumah memerlukan komponen-komponen tertentu agar penghuninya dapat hidup dengan nyaman. Fasilitas dan perlengkapan rumah dapat terdiri dari fasilitas tempat mandi dan WC, kualitas air minum, bahan bakar untuk masak, sumber penerangan dan pencahayaan, serta fasilitas dan perlengkapan lainnya. Fasilitas dan perlengkapan rumah yang dimiliki dapat ditentukan oleh kondisi ekonomi suatu keluarga. Semakin baik kondisi dan perlengkapan rumah yang ditempati dapat menggambarkan semakin baik keadaan sosial ekonomi suatu rumah tangga.
77
Tabel 21 Fasilitas dan perlengkapan rumah berdasarkan tipe nelayan Fasilitas dan Perlengkapan Rumah Tempat Keluarga Mandi Kepemilikan Jamban Tempat Keluarga Buang Hajat
Sumber air masak dan minum
sumber air untuk keperluan utama Jarak sumber air minum dengan septic tank Alat Penerangan Rumah Ventilasi Untuk Kecukupan Udara
kamar mandi umum kamar mandi sendiri Ya Tidak Kebun Sungai/Empang WC umum WC Sendiri air sungai/hujan sumur/mata air ledeng/PAM sumur,gallon PAM,gallon Air Sungai/hujan sumur/mata air ledeng/PAM < 5 meter 5-10 meter 10 meter NA Lampu Neon Lampu Tempel Cukup Tidak Cukup
Tipe Nelayan (%) Juragan Buruh 22.64 29.63 77.36 70.37 77.36 66.67 22.64 33.33 3.77 3.70 1.89 7.41 18.87 33.33 75.47 55.56 3.77 0.00 71.70 70.37 9.43 7.41 15.09 18.52 0.00 3.70 1.89 0.00 88.68 96.30 9.43 3.70 9.43 14.81 39.62 37.04 33.96 25.93 16.98 22.22 100.00 100.00 0.00 0.00 96.23 96.30 3.77
3.70
Total (%) 25.00 75.00 73.75 26.25 3.75 3.75 23.75 68.75 2.50 71.25 8.75 16.25 1.25 1.25 91.25 7.50 11.25 38.75 31.25 18.75 100.00 0.00 96.25 3.75
Sebagian besar contoh baik dari keluarga nelayan juragan (77.36%) maupun keluarga nelayan buruh (70.37%) memiliki kamar mandi sendiri. Artinya secara keseluruhan sebagian besar keluarga nelayan contoh (75%) memiliki kamar mandi sendiri. Sedangkan sisanya (25%) keluarga nelayan contoh tidak memiliki kamar mandi sendiri. Contoh yang tidak memiliki kamar mandi sendiri biasanya mandi di kamar mandi umum atau numpang di rumah tetangga maupun rumah orang tua yang rumahnya berdekatan. Sama halnya dengan kepemilikan kamar mandi, sebagian besar keluarga nelayan juragan (77.36%) dan keluarga nelayan buruh (66.67%) memiliki jamban sendiri. Dengan kata lain, secara keseluruhan sebagian besar nelayan contoh (73.75%) telah memiliki jamban, sedamgkan sisanya (26.25%) contoh tidak memiliki amban. Mengacu pada kepemilikan jamban, maka sebagian besar keluarga nelayan contoh (68.75%) buang hajat di WC sendiri. Keluarga yang tidak memiliki jamban biasanya menggunakan fasilitas jamban umum atau numpang di tempat orang lain dan buang haat di kebun atau sungai.
78
Fasilitas lain yang sangat penting diperhatikan adalah fasilitas sumber air. Sumber air minum sangat mempengaruhi kualitas air minum. Sumber air minum yang sampai saat ini masih dianggap terbaik adalah air minum dalam kemasan, karena sifatnya yang higienis. Namun, air minum dalam kemasan baru dikonsumsi 7.18% dari seluruh rumah tangga Indonesia (BPS 2007). Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar contoh baik dari keluarga nelayan juragan (71.70%) maupun keluarga nelayan buruh (70.37%) menggunakan sumur atau mata air sebagai sumber air untuk air minum dan air untu memasak. Sedangkan hanya sebagian kecil keluarga nelayan contoh (1.25%) menggunakan air PAM untuk keperluan masak dan air gallon untuk keperluan minum. Pada umumnya sumber air yang digunakan untuk minum dan masak berbeda dengan sumber air yang digunakan untuk keperluan utama, misalnya untuk mandi dan mencuci. Sebagian besar keluarga nelayan juragan (88.68%) dan hampir seluruh keluarga nelayan buruh (96.30%) memanfaatkan sumber air sumur untuk keperluan mandi dan mencuci, dan hanya sebagian kecil contoh (7.5%) yang menggunakan air PAM untuk keperluan mandi dan mencuci. Jarak sumber air minum (yang berasal dari pompa, sumur, atau mata air) ke tempat pembuangan kotoran sangat mempengaruhi kualitas air minum. Jarak sehat antara sumber air minum dan tempat penanpungan kotoran adalah lebih dari 10 meter. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa persentasi terbesar contoh
memiliki jarak sumber air minim dan tempat penampungan kotoran antara 5-10 meter, yaitu lebih dari sepertiga contoh dari keluarga nelayan juragan (39.62%) dan keluarga nelayan buruh (37.04%). Sedangkan hanya sebagian kecil contoh yang jarak sumber air dan tempat pembuangan kotoran termasuk kategori yang memadai, yaitu lebih dari 10 meter. Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas air minum nelayan contoh masih tergolong cukup rendah. Fasilitas lain yang harus dipenuhi dirumah adalah pemenuhan alat penerangan dan ventilasi. Listrik merupakan sumber penerangan yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan penerangan petromak, pelita, dan sumber penerangan lainnya. Hal ini disebabkan karena listrik lebih praktis dan modern, serta tidak menimbulkan polusi. Rumahtangga yang menggunakan listrik diaggap mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Hasil penelitian menunjukkan
79
seluruh keluarga nelayan contoh menggunakan listrik sebagai sumber penerangan rumah. Artinya fasilitas penerangan rumah keluarga contoh cukup baik. Akan tetapi sebagian keluarga nelayan contoh menggunakan listrik dari tetangganya yang memiliki status sosial ekonominya lebih baik. Fasilitas ventilasi dan pencahayaan rumah pada keluarga contoh secara umum juga cukup baik. Hasil penelitian menunjukkan hampir seluruh contoh memiliki pencahayaan sinar matahari, kecukupan jendela rumah, dan ventilasi rumah yang cukup baik atau memadai. Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan rumah sangat menentukan kualitas rumah yang ditempati. Kondisi lingkungan rumah dapat digambarkan dengan dengan kualitas lingkungan sekitar rumah, lokasi rumah dan akses terhadap fasilitas umum. Tabel 22 menggambarkan kondisi lingkungan sekitar rumah. Kualitas lingkunga sekitar rumah dapat digambarkan dengan tempat pembuangan sampah dan jarak kandang ternak apabila keluarga memiliki ternak. Tabel 22 Kondisi lingkungan tempat tinggal keluarga nelayan contoh Tempat Pembuangan Sampah Kepemilikan ternak Jarak Rumah dengan Kandang Ternak
Kondisi Lingkungan Pekarangan/lubang terbuka/sungai Tempat sampah tertutup/kantung plastik/TPS Punya ternak Tidak Punya Ternak Di dalam Rumah Menempel dengan Rumah < 10 meter dari Rumah ≥ 10 meter dari Rumah
n 52
% 65
28
35
27 53 0 3 20 4
33.7 66.3 0.00 11.1 74.1 14.8
Sebagian besar keluarga nelayan contoh (65%) membuang sampah di pekarangan atau lubang terbuka sekitar rumah. Hal ini akan membuat kualitas lingkungan yang tidak baik karena sampah yang dibiarkan terlalu lama akan menyebabkan polusi di lingkungan tersebut. Bagi keluarga yang memiliki ternak, letak kandang ternak akan menetukan kualitas rumahnya. Semakin dekat jarak kandang ternak dengan rumah, kualitas rumah semakin tidak baik. Terdapat lebih dari sepertiga contoh (33.7%) memiliki ternak dengan sebagian besar berjarak
80
kurang dari 10 meter dari rumah. Hal ini menunjukkan kualitas lingkungan rumah contoh yang memiliki ternak tidak begitu baik. Kualitas lingkungan juga ditentukan oleh lokasi rumah. Lokasi-lokasi yang kurang menguntungkan misalnya daerah industri, daerah pembuangan sampah, dan daerah bencana merupakan lingkungan yang kurang baik untuk daerah pemukiman. Desa Pangandaran merupakan daerah pesisir yang dapat dikatakan rawan bencana. Tentunya kondisi tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat yang tinggal dipemukiman tersebut. Ketersediaan fasilitas umum digambarkan dengan pasar terdekat, jalan utama (transportasi umum), fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas ibadah, dan kantor pemerintah. Fasilitas umum di Desa Pangandaran termasuk dalam kondisi cukup baik karena jarak antara pemukiman dan fasilitas umum kurang dari 5 km. Menurut BPS (2007) suatu daerah dikatakan memiliki akses sulit jika jarak pemukiman dengan fasilitas umum lebih dari 5 km. Kesejahteraan Subyektif Pendekatan subyektif diperoleh dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan. Kesejahteraan dengan pendekatan subyektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri, bukan oleh orang lain. Pendekatan subyektif mendefinisikan kesejahteraan berdasarkan pemahaman penduduk mengenai standar hidup dan bagaimana mendefinisikannya (Milligan et. al. 2006). Kesejahteraan subjektif diukur berdasarkan kepuasan responden terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian, kualitas rumah, kualitas pendidikan anak, kesehatan keluarga, kemudahan akses, dan pemenuhan kebutuhan sosial di dalam masyarakat (Tabel 23). Pemenuhan kebutuhan pangan dikaji dalam dua aspek yaitu aspek frekuensi makan per hari dan keragaman pangan yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi makan per hari keluarga contoh relatif terpenuhi karena sebagian besar keluarga nelayan juragan (88.68%) dan hampir seluruh keluarga nelayan buruh (92.59%) menyatakan puas dengan frekuensi makannya. Selanjutnya sebagian besar keluarga nelayan juragan (75.47%) dan lebih dari separuh keluarga nelayan buruh (62.96%) merasa puas dengan keragaman makanan yang dikonsumsinya. Menurut Prabawa (1998) menyatakan bahwa
81
kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling utama dan mutlak tidak dapat ditunda sehingga dengan sifat demikian kebutuhan pangan merupakan indikator dasar dari tingkat kesejahteraan baik secara individual rumah tangga maupun masyarakat. Tabel 23 Kesejahteraan subyektif berdasarkan tipe nelayan 1 0.00 1.89 1.89 1.89 0.00 3.73
Juragan (%) 2 3 11.32 88.68 22.64 75.47 28.30 69.81 41.51 54.72 20.75 79.25 49.06 47.17
4 0.00 0.00 0.00 1.89 0.00 0.00
1 3.70 11.11 11.11 14.81 3.70 14.81
Buruh (%) 2 3 3.70 92.59 25.93 62.96 22.22 66.67 37.01 48.15 25.93 70.37 40.74 44.44
4 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
11.32
35.85
52.83
0.00
0.11
40.74
48.15
0.00
9.43
49.06
41.51
0.00
22.22
40.74
37.03
0.00
1.89
16.98
81.13
0.00
3.70
14.81
77.78
3.70
1.89
16.98
81.13
0.00
3.70
14.81
81.48
0.00
1.89
35.85
62.26
0.00
11.11
33.33
55.56
0.00
0.00
15.09
84.91
0.00
3.70
14.81
81.48
0.00
Tingkat Kepuasan Frekuensi makan Keragaman pangan Jumlah pakaian Kualitas rumah Kemudahan akses Fasilitas rumah Kualitas pendidikan anak Kualitas pendidikan tambahan anak Penanganan keluarga sakit Tindakan menangani keluarga sakit Pendapatan per kapita Pemenuhan kepedulian sosial Keterangan: 1=tidak puas
2=kurang puas 3=merasa puas 4=sangat puas
Berkaitan dengan kepuasan keluarga nelayan dalam hal pemenuhan kebutuhan pakaian, lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (69.81%) dan buruh (66.67%) merasa puas dengan jumlah pakaian yang dimiliki. Selanjutnya, lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (54.72%) dan hampir separuh keluarga nelayan buruh (48.15%) merasa puas dengan kualitas rumah yang dimiliki, bahkan ada 1.89 % keluarga nelayan juragan yang merasa sangat puas dengan kualitas rumah yang dimiliki. Berdasarkan kemudahan akses, sebagian besar keluarga nelayan juragan (79.25%) dan lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (70.37%) merasa puas dengan akses yang dimilikinya. Hal ini diduga karena Desa Pangandaran merupakan tempat wisata, sehingga akses seperti jalan raya sudah cukup baik. Kepuasan keluarga contoh mengenai fasilitas rumah yang ditempati berbeda antara keluarga nelayan juragan dan buruh. Hampir separuh keluarga nelayan juragan (49.06%) merasa kurang puas dengan fasilitas rumah yang dimilikinya, sedangkan hampir separuh keluarga nelayan buruh (44.44%) merasa
82
puas dengan fasiitas rumah yang dimilikinya. Hal ini diduga karena harapan keluarga nelayan juragan yang besar untuk mempunyai fasilitas rumah yang lebih baik, sedangkan keluarga nelayan buruh tidak berharap terlalu besar karena pendapatannya yang kecil. Berdasarkan hasil penelitian, lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (52.83%) dan hampir separuh keluarga nelayan buruh (48.15%) merasa puas dengan kualitas pendidikan anak. Selanjutnya, hampir separuh keluarga nelayan juragan (49.06%) dan buruh (40.74%) kurang merasa puas terhadap kualitas pendidikan tambahan anak. Hal ini dikarenakan baik keluarga nelayan juragan maupun buruh tidak mengikutsertakan anak-anak mereka dalam pendidikan tambahan seperti les tambahan dan berbagai kursus. Tabel 23 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga nelayan juragan (81.13%) dan buruh (77.78%) merasa puas dengan penanganan keluarga yang sakit. Selanjutnya, sebagian besar keluarga nelayan juragan (81.13%) dan buruh (81.48%) merasa puas dengan tindakan menangani keluarga yang sakit. Data tersebut menunjukkan bahwa keluarga contoh menganggap bahwa kesehatan itu penting untuk menunjang aktivitas yang dilakukan setiap hari. Selain itu, contoh tidak ada yang pernah mendatangi dukun mengenai kesembuhan kesehatannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga contoh sudah mampu menangani keluarga yang sakit dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (62.26%) dan buruh (55.56%) merasa puas dengan pendapatan per kapita yang dimiliki. Hal ini diduga karena pendapatan keluarga nelayan juragan maupun buruh tidak jauh berbeda dikarenakan sedang musim paceklik, sehingga pendapatan yang diterima sangat kecil bahkan tidak ada. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar keluarga nelayan juragan (84.91%) dan buruh (81.48%) merasa puas dengan pemenuhan kepedulian sosial. Hal ini diduga karena masyarakat contoh masih memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi.
83
Tabel 24 Tingkat kesejahteraan subyektif berdasarkan tipe nelayan Kategori Kesejahteraan Sejahtera Tidak Sejahtera p-value
Juragan
Buruh
n
%
n
39 14
73.58 26.41
15 12
Total %
55.56 44.44 0.238
n
%
54 16
67.50 20.00
Pengukuran kesejahteraan subyektif menggunakan dua kategori, yaitu sejahtera dengan skor > 50 persen dan tidak sejahtera dengan skor ≤ 50 persen. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal kesejahteraan subyektif.
Secara
deskriptif,
hasil
pengukuran
kesejahteraan
subyektif
menunjukkan sebagian besar keluarga nelayan juragan (73.58%) dan lebih dari separuh keluarga nelayan buruh (55.56%) berada dalam kategori sejahtera. Artinya, secara umum kondisi kesejahteraan keluarga nelayan contoh sudah cukup baik. Kondisi kesejahrteraan yang secara subyektif cukup baik ini dapat sebabkan tingginya perasaan menerima nasib atau pasrah pada keluarga nelayan contoh dan kehidupan mereka yang seperti saat penelitian, sudah mereka alami secara berkepanjangan.
Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pemenuhan Pangan Korelasi Rank Spearman dan korelasi Pearson digunakan dalam analisa untuk mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan komponen pemenuhan pangan, yaitu akses pangan, ketersediaan pangan, dan food coping strategy, dan kesiapsiagaan keluarga. Uji Korelasi Spearman digunakan untuk mengtaui hubunag antara karakteristik keluarga dengan pola belanja dan bantuan pangan. Sementara uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan anyara karakteristik keluarga dengan pengeluaran pangan, ketersediaan pangan, food coping strategy, dan kesiapsiagaan keluarga. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Akses Pangan (Pola Belanja), Ketersediaan Pangan, dan Kesiapsiagaan Keluarga Peubah Akses Pangan. Pola belanja merupakan salah satu komponen akses pangan dimensi ekonomi. Hasil uji korelasi Spearman memperlihatkan
84
adanya hubungan antara pola belanja dengan pendapatan per kapita dan nilai aset keluarga. Hubungan positif
signifikan (r=-.399; p<0.01) terlihat antara pola
belanja dengan pendapatan per kapita. Semakin tinggi pendapatan perkapita maka pola belanja yang dilakukan menunjukkan waktu yang lebih lama, artinya keluarga dengan penghasilan per kapita yang lebih tinggi akan cenderung belanja beras dalam jumlah banyak untuk konsumsi beberapa hari. Pola belanja juga memiliki hubungan positif (r=.251; p>0.05) dengan nilai aset keluarga. Semakin tinggi nilai aset yang dimiliki, maka pola belanja yang dilakukan keluarga nelayan contoh akan cenderung menunjukkan waktu yang lebih lama. Peubah
Ketersediaan
Pangan.
Hasil
uji
korelasi
Pearson
memperlihatkan adanya hubungan antara pemenuhan konsumsi normatif beras dengan besar keluarga (r=-.410; p>0.01), pengeluaran per kapita (r=.270; p>0.05), dan kepemilikan aset (r=.245; p>0.05). Semakin besar jumlah anggota keluarga maka beras yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan semakin besar. Hal ini akan memberikan dampak berkurangnya konsumsi normatif beras perkapita. Lain halnya dengan pengeluaran per kapita dan nilai aset, semakin tinggi nilai pengeluaran dan nilai aset keluarga nelayan contoh maka ketersediaan pangan yang dicerminkan dengan konsumsi normatif beras per hari/orang akan semakin besar. Tabel 25
Kofesien korelasi antara karakteristik keluarga dengan akses pangan (pola belanja), ketersediaan pangan, dan kesiapsiagaan keluarga
Akses Pangan (Pola Belanja) Besar Keluarga 0.033 Umur KK 0.206 Umur ibu 0.165 Lama pend. KK -.040 Lama pend. Ibu .080 Pendapatan/kapita ,399(**) Pengeluaran/ kapita 0.020 Kepemilikan asset ,251(*) Keterangan: * : korelasi signifikan pada p<0.05 **: korelasi signifikan pada p<0.01 Karakteristik Keluarga
Ketersediaan Pangan -,410(**) 0.046 0.056 -0.196 -0.093 0.005 ,270(*) ,245(*)
Kesiapsiagaan -0.100 -0.049 ,277(*) 0.186 0.043 -0.143 -0.141 -0.072
Peubah Kesiapsiagaan Keluarga. Kesiapsiagan keluarga merupakan suatu upaya yang dilakukan suatu keluarga untuk mengantisipasi adanya kekurangan pangan apabila terjadi bencana atau pada saat musim paceklik. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan psitif antara kesiapsiagaan
85
dan umur ibu (r=.277; p>0.05). Keluarga yang memiliki ibu dengan usia yang lebih tua cenderung lebih siapsiaga dalam menghadapi kekurangan pangan. Hal ini di duga dengan pengalaman yang lebih banyak, seseorang akan cenderung memiliki keinginan untuk bersiap-siap untuk menghadapi kondisi kekurangan pangan. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Akses Pangan (Pengeluaran Pangan dan Bantuan Pangan), dan Coping Strategy Pangan Peubah Akses Pangan. Pengeluaran pangan per kapita adalah komponen akses pangan ekonomi selain pola belanja. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan pada nelayan juragan pengeluaran pangan berhubungan dengan besar keluarga (r=-.571; p>0.01), pengeluaran per kapita (r=.740; p>0.01), dan nilai kepemilikan aset (r=.412; p>0.01). Lain halnya dengan nelayan juragan, peneluaran pangan pada nelayan buruh hanya menunjukkan adanya hubungan signifikan dengan besar keluarga (r=-.557; p>0.01). Semakin besar jumlah anggota keluarga maka pengeluaran pangan per kapita semakin kecil. Semakin tinggi pengeluaran perkapita dan nilai aset yang dimiliki maka pengeluaran pangan akan semakin besar. Tabel 26
Koefesien korelasi antara karakteristik keluarga dengan akses pangan (pengeluaran pangan dan bantuan pangan) dan coping strategy pangan berdasarkan tipe nelayan
Akses Pangan Pengeluaran Bantuan Pangan Pangan Juragan Buruh Juragan Buruh Besar Keluarga -,571(**) -,557(**) 0,208 0,241 Umur KK -0,086 0,351 -0,078 -0,272 Umur ibu -0,188 0,037 -0,015 -0,276 Lama pend. KK 0,230 -0,176 -0,228 -0,081 Lama pend. Ibu 0,087 0,023 -,289(*) -0,162 Pendapatan/kapita 0,036 0,125 -,350(*) -,567(**) Pengeluaran/ kapita ,740(**) -0,069 -0,237 -0,338 Kepemilikan asset ,412(**) -0,029 -,278(*) -0,288 Keterangan: * : korelasi signifikan pada p<0.05 **: korelasi signifikan pada p<0.01 Karakteristik Keluarga
Coping Strategy Pangan Juragan 0,031 -0,043 0,023 -0,029 -0,095 -,345(*) -0,218 -,480(**)
Buruh 0,229 -0,184 -0,099 -0,122 -,513(**) -0,023 -0,030 -0,240
Akses sosial pangan ditunjukkan oleh adanya bantuan pangan baik dari anggota keluarga lain, teman atau tetangga, masyarakat, atau pemerintah. Uji korelasi Spearman menunjukkan pada nelayan juragan, bantuan pangan
86
berhubungan dengan lama pendidikan ibu (r=-.289; p>0.05), pendapatan per kapita (r=-.350; p>0.05), dan nilai kepemilikan aset (r=-.278). Lain halnya dengan nelayan juragan, pada nelayan buruh bantuan pangan hanya berhubungan signifikan dengan pendapatan per kapita (r=-.567; p>0.01). Semakin tinggi pendapatan per kapita, pengeluaran per kapita, dan nilai aset maka keluarga nelayan contoh akan cenderung kurang mendapatkan bantuan pangan dari pihak lain. Peubah Food Coping Strategy. Berdasarkan hasil uji korelasi pearson, pada keluarga nelayan juragan, terdapat hubungan yang signifikan antara food coping strategy dengan pendapatan perkapita (r=-.355; p>0.01) dan kepemilikan aset (r=-.480; p>0.01). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita dan nilai aset, maka tingkat food coping strategy suatu keluarga akan semakin rendah Pendapatan dan kepemilikan aset merupakan faktor penting hubungannya dengan coping strategy pangan pada keluarga nelayan juragan. Keluarga nelayan dengan pendapatan dan aset yang memadai akan cenderung melakukan perilaku coping dengan jumlah yang sedikit. Hal yang berbeda terjadi pada keluarga nelayan buruh. Pada nelayan buruh, coping strategy pangan berhubungan dengan lama pendidikan ibu (r=-,513; p>0.01). Semakin tinggi pendidikan ibu, maka coping strategy akan semakin rendah. Keluarga nelayan buruh dicirikan dengan rendahnya pendapatan dan kepemilikan aset, sehingga faktor yang paling berperan dalam coping statregy pangan adalah lama pendidikan ibu. Ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi untuk membantu keluarga untuk memperoleh sumber pendapatan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Rosalina et. al. (2007) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan tingkat kemiskinan. Meningkatnya pendapatan keluarga nelayan buruh akibat tambahan pendapatan dari ibu akan menyebakan rendahnya coping strategy pangan.
87
Determinan Kesejahteraan Keluarga Determinan Kesejahteraan Obyektif Aspek karakteristik keluarga berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga. Faktor yang mungkin berpengaruh terhadap kesejahteraan obyektif berdasarkan indikator pendapatan adalah besar keluarga, lama pendidikan ibu, pengeluaran non-pangan, pengeluaran total, dan kepemilikan aset. Namun, setelah dianalisis menggunakan regresi logistik, maka hanya terdapat satu faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan obyektif, yaitu besar keluarga (Tabel 27). Tabel 27 Determinan kesejahteraan obyektif B Besar Keluarga Constant
Sig.
Exp(B)
-0,656
0,041
0,519
4,482
0,006
88,420
95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper 0,276 0,974
Peningkatan satu satuan besar keluarga, akan menurunkan kesejahteraan obyektif keluarga sebesar 0.519 kali (OR= 0.519; 95% CI 0.274-O.974). Semakin tinggi jumlah anggota keluarga, maka kesejahteraan obyektif keluarga akan semakin rendah. Hal ini senada dengan penelitian menyebutkan bahwa besar keluarga (family size) berhubungan dengan kesejahteraan keluarga (Robin et. al. 1991; Iskandar 2007). Peubah-peubah yang diteliti hanya 24.9 persen dari peubahpeubah yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator pendapatan. Terdapat 75.1 persen peubah lain di luar peubah yang dianalisis, yang berpengaruh terhadap kesejahteraan obyektif menurut indikator pendapatan. Determinan Kesejahteraan Subyektif Kondisi sosial ekonomi berpengaruh terhadap kepuasan pemenuhan kebutuhan nelayan (Datta S.K. & Ruma K. 2007).
Faktor yang mungkin
berpengaruh terhadap kesejahteraan subyektif keluarga nelayan contoh adalah umur kepala keluarga, umur ibu, pendapatan per kapita, kepemilikan aset, status kepemilikan rumah, densitas (luas lantai per kapita), dan kesesakan (crowding). Namun, setelah dianalisis dengan menggunakan regresi logistik, maka diperoleh
88
tiga faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subyektif, yang disajikan dalam Tabel 28. Faktor pertama dari perubah yang diteliti yang mempengaruhi kesejahteraan subyektif adalah densitas. Densitas menunjukkan luas rumah per kapita (m2/kapita). Keluarga nelayan yang memiliki rumah dengan luas lantai ≥ 8 m2 per kapita berpeluang 2.937 kali untuk lebih puas (sejahtera secara subyektif) dibandingkan dengan keluarga yang luas lantainya < 8 m2 per kapita (OR = 2.937; 95% CI 1.038-8.315). Tabel 28 Determinan kesejahteraan subyektif Densitas (0=<8 m2) 1= ≥ 8 m2 Status Rumah (0= Bukan milik sendiri) 1= Milik sendiri Constant
95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
B
Sig.
OR
1.078
0.042
2.937
1.038
8.315
1.293 -0.488
0.015 0.322
3.643 0.614
1.290
10.287
Faktor kedua yang mempengaruhi kesejahteraan subyektif adalah status kepemilikan rumah. Keluarga nelayan contoh yang memiliki rumah dengan status tanah milik sendiri berpeluang 3.643 kali lebih sejahtera secara subyektif dibandingkan dengan keluarga nelayan yang status rumahnya sewa, numpang , atau gadai (OR = 3.643; 95% CI 1.290-10.287). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Diener (2002), bahwa rumah memberikan pengaruh terbesar terhadap kesejahteraan subyektif. Selanjutnya, Guardiola dan Munoz (2008) menekankan bahwa kegagalan pada salah satu domain kesejahteraan (misalnya perumahan) akan berdampak pada kepuasan hidup secara umum. Keluarga nelayan Desa Pangandaran sebagian besar menempati lahan yang bukan milik sendiri. Mereka mengaku khawatir dengan kondisi rumah mereka, karena sewaktu-waktu pemilik bisa datang dan mereka tidak tahu harus tinggal di mana. Oleh karena itu kepemilikan rumah merupakan kepuasan tersendiri bagi keluarga nelayan di Desa Pangandaran. Peubah-peubah yang diteliti hanya mewakili 37.1 persen dari peubah-peubah yang mempengaruhi kesejahteraan subyektif keluarga nelayan contoh. Terdapat 62.9 persen peubah
89
lain di luar peubah yang dianalisis, yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektif keluarga nelayan contoh. Pembahasan Umum Validitas (Kesahihan) Ukuran Coping Strategy Pangan Kesahihan merupakan masalah yang penting dalam pengukuran. Suatu ukuran dikatakan sahih jika mengukur apa yang seharusnya diukur (Singarimbun 1989; Sunarti 2001). Uji kesahihan konstrak dapat dilakukan dengan menggunakan analisis faktor. Analisis faktor memiliki dua tujuan utama, yaitu; 1) untuk mengeksplorasi lingkup peubah dalam rangka mengidentifikasi faktorfaktor yang melandasi peubah tersebut, serta 2) untuk menguji hipotesis hubungan antarpeubah (Sunarti 2001). Analisis faktor yang dilakukan lebih ditujukan untuk mengelompokkan, dan bukan untuk seleksi. Dengan demikian, pengelompokan suatu komponen coping strategy pangan dilakukan dengan pemilihan koefisien tertinggi, tanpa menggunakan batasan nilai dari koefisien tertentu. Analisis faktor terhadap 16 item dengan kumulatif minimal 60 persen disajikan pada Lampiran 7. Menurut Corbett (1988) dalam Anonymous (2004), coping strategy pangan dikelompokkan menjadi empat, yaitu adaptasi terhadap perubahan pola makan, menjual aset yang tidak produktif, menjual aset produktif, dan migrasi secara permanen dan meminta bantuan pangan. Hasil analisis faktor menunjukkan terdapat lima komponen yang dibangkitkan dengan minimal kumulatif 60 persen. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dengan konstrak yang ada. Hal ini dapat disebabkan pembuatan instrumen yang kurang memperhatikan dan kurang menyesuaikan dengan konstraknya. Keterbatasan Penelitian Pengumpulan data pola konsumsi dilakukan dengan metode mencatat frekuensi atau banyak kali penggunaan pangan yang biasanya dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu (seminggu, sebulan, atau semusim). Data yang diperoleh bersifat kualitatif. Kekurangan metode ini adalah responden dimungkinkan tidak dapat menjawab dengan tepat mengenai frekuensi makan jenis pangan tertentu. Selain itu terlalu banyaknya jenis pangan yang ditanyakan
90
akan membosankan, sehingga dimungkinkan adanya jawaban yang tidak sebenarnya (asal menjawab saja). Nelayan di Desa Pangandaran mengenal adanya tiga musim, yaitu musim panen, musim biasa, dan musim paceklik. Pada peubah pendapatan, penelitian ini dapat memotret perbedaan pada ketiga musim tersebut. Sedangkan pada indikator lain, seperti coping strategy pangan, peneliti hanya dapat memotret pada saat penelitian saja, yaitu coping strategy pangan pada musim paceklik. Berdasarkan analisis yang dilakukan, telah ditemukan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan obyektif dari semua peubah yang diteliti hanya mewakili 24.9 persen dari semua peubah yang mempengaruhi kesejahteraan obyektif keluarga. Selanjutnya, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subyektif dari semua peubah yang diteliti hanya mewakili 37.1 persen dari semua peubah yang mempengaruhi kesejahteraan subyektif keluarga. Artinya masih terdapat peubah-peubah lain yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga yang belum dapat dijawab melalui penelitian ini. Penelitian Lanjutan Berdasarkan temuan yang dihasilkan, maka diperlukan penelitian mengenai coping strategy pangan pada keluarga nelayan di tiga musim yang berbeda dengan menggunakan instrumen yang handal. Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis faktor, maka diperlukan pengembangan atau elaborasi untuk menghasilkan instrumen coping strategy yang lebih baik. Dengan mengetahui keragaan coping strategy pangan pada tiga musim yang berbeda, maka dapat dipetakan suatu gambaran perubahan pola coping.
Selain itu,
penelitian lanjutan mengeai faktor-faktor yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, baik obyektif maupun subyektif sangat penting dilakukan. Hal ini disebabkan peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga hanya mewakili tidak lebih dari 38 persen dari total peubah yang berpengaruhh terhadap kesejahteraan keluarga.
91
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Persentase terbesar keluarga termasuk keluarga kecil (≤ 4 orang). Usia kepala keluarga dan ibu dominan berada pada kelompok dewasa muda (18-40 tahun). Tingkat pendidikan kepala keluarga dan ibu tidak jauh berbeda yaitu mayoritas tidak memenuhi batas wajib belajar 9 tahun. Rataan pendapatan nelayan antara musim panen, musim biasa, dan musim paceklik memiliki perbedaan yang cukup drastis.
Persentase pengeluaran untuk pangan dan
pengeluaran non pangan dari pengeluaran total adalah 43.9 persen dan 56.2 persen, serta mayoritas keluarga nelayan contoh memiliki nilai aset lebih dari tiga kali kebutuhan minimal per bulan. Lama pendidikan ibu dan nilai kepemilikan aset pada keluarga nelayan juragan berbeda dengan keluarga nelayan buruh. Sementara, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah umur kepala keluarga dan ibu, besar keluarga, dan lama pendidikan kepala keluarga antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. 2. Berdasarkan indikator pendapatan perkapita yang didapatkan dari rata-rata tiga musim (musim panen, musim biasa, dan musim paceklik), sebagian besar keluarga contoh termasuk dalam kategori tidak sejahtera. Namun, sebagian besar keluarga nelayan contoh tergolong sejahtera secara subyektif. Secara obyektif terdapat perbedaan yang signifikan antara kesejahteraan keluaraga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Sedangkan secara subyektif, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kesejahteraan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. 3. Lebih dari separuh keluarga nelayan contoh makan dengan menu yang beragam dan mayoritas keluarga nelayan contoh makan dengan frekuensi tiga kali sehari. Mayoritas keluarga nelayan contoh memiliki pola belanja beras harian, dan mayoritas keluarga nelayan contoh memperoleh bantuan pangan dari pihak lain.
Lebih dari separuh contoh memenuhi konsumsi beras
normatif, yaitu 300 gram per orang per hari, lebih dari separuh contoh memiliki perilaku food coping strategy sedang antara 6-11, serta sebagian besar keluarga nelayan contoh memiliki perilaku siapsiaga yang rendah dalam
92
menghadapi kekurangan pangan. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal pengeluaran pangan, akses bantuan pangan, dan coping strategy pangan, serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah frekuensi dan keragaman pangan, ketersediaan pangan, dan kesiapsiagaan pangan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. 4. Indikator perumahan memberikan gambaran tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah kepemilikan rumah, luas lantai per kapita, dan kesesakan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Hampir separuh contoh menempati rumah dengan status bukan milik sendiri, keluarga nelayan contoh yang memiliki luas lantai ≥ 8 m2 per orang jumlahnya cukup dominan, dan hampir separuh contoh memiliki rumah yang termasuk dalam kategori sesak berdasarkan jumlah anggota keluarga dan jumlah anggota keluarga. 5. Karakteristik keluarga, baik secara keseluruhan maupun berdasarkan tipe nelayan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Besar keluarga berhubungan negatif ketersediaan pangan. Umur ibu berhubungan positif dengan kesiapsiagaan kelauarga. Pendapatan perkapita dan kepemilikan aset berhubungan positif dengan pola belanja beras. Pada keluarga nelayan juragan pengeluaran pangan berhubungan negatif dengan besar keluarga dan berhubungan positif dengan pengeluaran total dan kepemilikan aset. Pada keluarga nelayan buruh, pengeluaran pangan berhubungan negatif dengan besar keluarga dan berhubungan positif dengan kepemilikan aset. Pada keluarga nelayan juragan, bantuan pangan berhubungan negatif dengan lama pendidikan ibu, pendapatan, dan kepemilikan aset. Sedangkan pada keluarga nelayan buruh, bantuan pangan berhubungan negatif dengan pendapatan. Coping strategy pangan keluarga nelayan juragan berhubungan negatif dengan pendapatan dan kepemilikan aset, sedangkan pada keluarga nelayan buruh, coping strategy pangan berhubungan negatif dengan lama pendidikan ibu. 6. Faktor yang mempengaruhi kesejahteraan obyektif pada keluarga nelayan contoh adalah besar keluarga. Sementara yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subyektif pada keluarga nelayan contoh adalah status kepemilikan rumah dan densitas (luas lantai per kapita). Kesejahteraan
93
subyektif keluarga nelayan contoh dicirikan dengan pentingnya pemenuhan kebutuhan perumahan yang memberikan perasaan puas lebih dibandingkan pemenuhan kebutuhan pangan. Saran Strategi kesiapsiagaan (preparedness strategy) terhadap pemenuhan pangan penting dilakukan terutama oleh masyarakat nelayan yang tinggal di daerah rawan bencana. Rendahnya perilaku siapsiaga memberikan indikasi pentingnya pemberdayaan keluarga oleh pemerintah setempat bekerja sama dengan pihak yang berkiprah dalam upaya peningkatan kesejahteraan keluarga baik dari aspek pengetahuan pangan maupun startegi manajemen keuangan. Upaya menabung baik dalam bentuk uang maupun barang sangat diperlukan sebagai upaya mitigasi resiko bencana dalam bentuk strategi kesiapsiagaan. Oleh karena itu, peran KUD yang salah satunya sebagai lumbung pangan desa sangat penting untuk dimaksimalkan, sehingga dapat diakses oleh seluruh nelayan. Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan perumahan, status kepemilikan rumah dipandang penting sebagai penentu kesejahteraan subyektif keluarga, sehingga perlu adanya upaya pemerintah setempat untuk merumuskan strategi kebijakan yang mendukung keluarga dalam mengakses tempat tinggal. Hal ini dimaksudkan agar kondisi kesejahteraan nelayan menjadi lebih baik.
94
DAFTAR PUSTAKA Amanah, S. U., 2005. Perilaku Nelayan dalam Pegelolaan Wisata Bahari di Kawasan Pantai Lovina, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Anonimous. 2005. Pemberdayaan Nelayan dalam Upaya Mengurangi Kemiskinan Kalangan Nelayan di Indonesia. . 2009. Kesejahteraan. http://id.wikipedia.org/wiki/Kesejahteraan. Didownload pada tanggal 16 Febuari 2009. Badan Pusat Statistik [BPS]. 2006. Indeks Pembangunan Manusia Tingkat Kecamatan di Kabupaten Ciamis. Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis. Badan Pusat Statistik [BPS]. 2008. Kabupaten Ciamis dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis. Baliwati, Y.F. 2004. Sistem Pangan dan Gizi. Dalam Baliwati Y.F. et al., (editor), 2004. Pengantar pangan dan Gizi. Depok: Penebar Swadaya. Bell et. al. 1990. Environmental Psychology. Third Edition. Holt, Rinehart and Winston, Inc Carter WN. 1991. Disaster Management. A disaster Manager’s Handbook. National Library of The Philiphines CIP Data. Asian Development Bank. Datta K.S. & Ruma K. 2007. Sosio-Economic Appraisal of Culture Based Fisherman: Case Study in West Bengal. J. Soc. Sci., 15 (3): 255-262 Departemen Pertanian, 2007. Buku Pedoman Akses Pangan Pedesaan. Jakarta: Departemen Pertanian. Diener, E. 2002. Finding on Subjective Well-being and Their Implication for Empowerment. Social Indicators Research. 79:661-8 Evans, Kantrowitz, & Eshelman. 2002. Housing Quality and Psychological WellBeing among The Elderly Population. University, Ithaca, New York. Guhardja et. al. 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Haddinot, J. dan Yohanes, 2002. Dietery Diversity as a Household Food Security Indicator. http://www.fantaproject.org [19 Juli 2008]. Handoko. 7 September 2009. Satu Orang Meninggal, Tujuh Pingsan. Kompas: 15 (kolom 1-3). HardinsyaH, Briawan, D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: IPB Press. Hardinsyah dan Suhardjo. 1987. Ekonomi Gizi. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
95
Harlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Istiwidayati & Soedjarwo, Penerjemah; Silabat RM, editor. Mc Graw-Hill, Inc. Terjemahan dari Development Psychology. Hildawati, I. 2008. Analisis Akses Pangan serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Konsumsi Energi dan Protein pada Keluarga Nelayan. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Iskandar, A. 2007. Analisis Praktek Manajemen Sumberdaya Keluarga dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor. Disertasi. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumbrdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana 2006-2009. Jakarta: Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Lembaga Demografi FEUI, 2008. Situasi dan Arah kependudukan Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Maluccio, et. al. 2005. Social and Economic Development and Change in Four Guatemala Village: Demographics, Schooling, Occupation, and Assets. Food and Nutr. Vol. 26, no. 2 Maxwell, D. G. 1996. Measuring Food Insecurity: The Frequency and Severity of “Coping Strategies”. International Food Policy Research Institute, Washington, D. C., USA. , S. & t. r. Frankerberner . 1992. Household Food Security Consept Indikators, Measurement, A Technical Review. International Fund for Agriculture Development/United Stations Children’s Fund, Rome. Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda. Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan Pustaka. Melson, G. F. (1980) Family and Environment. Burgess Publishing Company. Mineapolis, Minnesota. Milligan et al. 2006. Family Welbeing Indicators from the 1981-2001 New Zealand Censuses. Statistics New Zealand Mulyadi, S. 2005. Ekonomi Kelautan. Jakarta: Radjagrafindo Persada. Ninno et. al. 2001. The 1998 Flood in Bangladesh: Disaster Impacts, Household Coping Strategies, and Response. International Food Policy Reseach Institute. Washington, D.C. Nurududja, Bibik, Aminah, Siti, & Sukarman. 2007. Suara Dari Pesisir: Rangkuman Narasi Proses Workshop Penanggulangan Kemiskinan di Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir. Semarang: LBH Semarang. Penny, D. H. 1990. Kemiskinan. PerananSistem Pasar. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).ejahteraan Rumah Tangga Petani (Studi di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Profinsi jawa barat). [tesis] Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
96
Prabawa, S. 1998. Sumberdaya Keluarga dan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani (Studi Desa Wates Jaya, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). [Tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Puspa, A. R. 2007. Kajian Keluarga Petani: Pengambilan Keputusan Istri dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga. Skripsi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Raharto, A. & Romdiati, H. 2000. Identifikasi Rumah Tangga Miskin. Di dalam Sera, A. K. et al. Editor Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Tanggal 29 Februari-2 Maret 2000. Hal 259-284. Jakarta: LIPI. Rambe, A. 2004. Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga dan Tingkat Kesejahteraan (Kasus di Kecamatan Medan, Kota Sumatra Utara). Tesis Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Riyadi, H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Bogor. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Robin et. al. 1991. The Relationship Between Measures of Subjective and Economic Well-being: A New Look. Social Indicator Reseach 26: 407-422. Rosalina et. al. 2007. Food Poverty Status and Food Insecurity in Rural West Lombok Based on Mothers’ Food Expenditure Equevalency. Food and Nutrition Bul. Vol. 28, no. 2. Satria, A. 2008. Negeri Bahari yang Melupakan Nelayan. [Diakses tanggal 2 Mei 2009. content/uploads/publikasi_dosen/Pemberdayaan%20Nelayan.pdf Savitri, Laksmi A., Khazali, M. 1999. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir: Pengalaman Pelaksanaan Pengembangan Tambak Ramah Lingkungan dan Rehabilitasi Mangrove di Indramayu. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme. Sharma, R. P., 1992. Monitoring Access to Food and Household Food Security. www.fao.org Suandi. 2007. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Pedesaan Propinsi Jambi. Disertasi. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sumarwan, U. & D. Sukandar. 1998. Analisis Ketahanan Pangan Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga. Juli, 31-38. Media Gizi dan Keluarga XX11 (1). Sunarti, E. 2001. Studi Ketahan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan. Tesis. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor . 2006. Indikator Keluarga Sejahtera. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. . 2007. Ekologi Keluarga dalam Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
97
. 2008. Keragaan Pemetik Teh Wanita: Sosial Ekonomi, Ketahanan Keluarga, Konsumsi Pangan, Pertumbuhan dan Perkembagan Anak. Bogor: Departemen Ilmu Kelyuarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Tanziha, I dan Heryatno, Y. 2008. Analisis Indikator dan Determinan Kelaparan serta Alternatif Model-model Penanganan Masalah Kelaparan pada Masyarakat Nelayan. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Usfar, A. A. 2002. Household Coping Strategies for Food Security in Indonesia and The Relation on Nutritional Status: A Comparison Befere and After The 1997 Economic Crisis. VERLAG GRAURER Beuren Stittgart, Germany. Waspodo, S.2003. Implikasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Nelayan Di Bagian Utara Kabupaten Lombok Barat. Tesis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Wibowo, R. 2000. Pertanian dan Pangan, Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Jakarta: Pustaka Harapan. Winton, Chester A., 1995. Framework for Studying Families. The Duskin Publishing Group, Inc. Guilford, Connecticut. World Food Programme. 2005. Emergency Food Scurity Assesment Hand Book: Metodological Guidance for Better Assesment. First Edition. Zeitlin MF, Ratna Megawangi, Ellen M. Krammer, Nancy D. Coletta, E. D. Barbatunde, & David Garman. 1995. Strengthening the Family. Implication for International Development. The United Nations University Press. Syibuya-ku, Tokyo 150, Japan.
98
Lampiran 1. Uji beda berbagai variabel T-Test Group Statistics
Besar Keluarga Umur kepala keluarga Umur ibu Lama pendidikan kepala keluarga Lama pendidikan ibu Pendapatan musi panen Pendapatan musim paceklik Pendapatan musim biasa Pendapatan per kapita Pengeluaran pangan Pengeluaran non pangan Pengeluaran total Kepemilikan aset Ketersediaan beras Coping strategy Kesiasiagaan Densitas Kesesakan Kesejahteraan subyektif
Tipe Nelayan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
N
Mean 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27 53 27
4,6 4,0 41,0 40,1 37,1 34,1 6,1 7,4 6,2 7,5 2.858.013,3 1.154.589,9 78.746,5 51.403,9 1.092.723,3 461.492,1 1.191.014,8 513.017,7 169.455,7 163.740,9 243.102,9 158.396,9 412.512,8 322.137,8 35.422.415,1 2.027.314,8 340,3 303,3 6,3 8,4 1,8 1,4 13,5 12,9 1,2 1,3 19,9 18,6
Std. Deviation 1,4 1,3 9,3 11,6 10,1 10,7 2,7 2,6 2,7 2,8 2.760.691,2 1.230.128,0 149.180,1 123.965,3 1.357.757,7 651.957,2 1.007.497,6 484.680,6 79.715,8 71.955,1 265.648,2 70.502,7 319.156,2 128.366,9 38.875.835,6 2.857.621,8 116,8 104,6 3,8 3,0 1,9 1,9 7,6 7,1 0,4 0,7 4,7 4,8
Std. Error Mean 0,2 0,2 1,3 2,2 1,4 2,1 0,4 0,5 0,4 0,5 379.210,1 236.738,2 20.491,5 23.857,1 186.502,4 125.469,2 138.390,4 93.276,8 10.949,8 13.847,8 36.489,6 13.568,2 43.839,5 24.704,2 5.340.006,7 549.949,6 16,0 20,1 0,5 0,6 0,3 0,4 1,0 1,4 0,1 0,1 0,6 0,9
99
Mann-Whitney Test Ranks Frekuensi makan
Keragaman Pangan
Pola belanja beras
Bntuan pangan
Status kepemilikan rumah
Tipe nelayan 1 2 Total 1 2 Total 1 2 Total 1 2 Total 1 2 Total
N 53 27 80 53 27 80 53 27 80 53 27 80 53 27 80
Mean Rank 39,96 41,56
Sum of Ranks 2.118,00 1.122,00
42,90 35,80
2.273,50 966,50
41,98 37,59
2.225,00 1.015,00
35,87 49,59
1.901,00 1.339,00
42,65 36,28
2.260,50 979,50
Test Statistics(b) X1 687,000 2.118,000 -0,486 0,627 ,741(a)
X2 588,500 966,500 -1,494 0,135 ,160(a)
X3 637,000 1.015,000 -1,457 0,145 ,222(a)
X4 470,000 1.901,000 -2,929 0,003 ,004(a)
X5 601,500 979,500 -1,346 0,178 ,240(a)
0,733
0,153
0,214
0,003
0,232
0,750
0,167
0,230
0,005
0,248
,454(a) ,103(a) Lower 0,444 0,097 Bound Upper 0,464 0,109 Bound a. Based on 10000 sampled tables with starting seed 2000000. b. Grouping Variable: jn
,125(a)
,003(a)
,132(a)
0,118
0,002
0,125
0,131
0,004
0,139
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Monte Sig. Carlo 95% Sig. (2Confidence tailed) Interval Monte Carlo Sig. (1tailed)
Sig. 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
X1=frekuensi makan, X2= keragaman pangan, X3=pola belanja beras, X4=bantuan pangan, X5=status kepemilikan rumah
Lampiran 2. Hasil Uji Korelasi Pearson (Hubungan karakteristik keluarga dengan kesejahteraan keluarga)
X1 X1 X2 X3
X2 1
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
X13
X14
0.061
,235(*)
-0.050
0.101
0.095
,266(*)
,285(*)
0.063
,225(*)
0.202
,231(*)
-0.108
-0.107
1
,247(*)
-0.081
0.008
0.042
0.038
0.068
0.054
0.029
0.039
0.209
-0.174
0.123
1
0.000
0.150
0.205
0.047
0.028
0.098
0.059
0.076
,242(*)
-,281(*)
,323(**)
1
-0.095
0.032
-0.133
-,285(*)
-,548(**)
-,398(**)
-,480(**)
-0.131
,477(**)
0.045
1
,783(**)
-,307(**)
-,242(*)
0.073
0.202
0.185
0.141
-0.203
0.017
1
-,340(**)
-,364(**)
-0.109
-0.070
-0.088
0.095
-0.207
0.031
1
,541(**)
0.099
0.082
0.094
-0.022
-0.048
0.072
1
0.057
0.150
0.139
-0.042
-0.122
-0.102
1
,547(**)
,729(**)
,324(**)
0.141
0.079
1
,972(**)
,508(**)
0.095
-0.161
1
,507(**)
-0.022
-0.110
1
-,243(*)
0.100
1
-0.072
X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
X1=pendapatan per kapita, X2= kesejahteraan obyektif, X3=kesejahteraan subyektif, X4=besar keluarga, X5=umur kepala keluarga, X6=umur ibu, X7=lama pendidikan kepala keluarga, X8= lama pendidikan ibu, X9=pengeluaran pangan, X10=pengeluaran non pangan, X11=pengeluaran total, X12= kepemilikan aset, X13= kesesakan, X14 = status kepemilikan rumah.
1
Lampiran 3. Hubungan karakteristik Keluaraga dengan pemenuhan pangan Korelasi Spearman X1
X2
X3
X4
X5
1,000 ,905(**) ,838(**) ,288(**) 0,130 X1 1,000 ,562(**) ,301(**) 0,143 X2 1,000 0,145 0,055 X3 1,000 ,812(**) X4 1,000 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
,368(**) ,363(**) ,249(*) ,524(**) ,519(**) 1,000
,233(*) 0,192 0,168 ,875(**) ,841(**) ,514(**) 1,000
0,088 0,068 0,058 0,175 0,183 0,156 0,201 1,000
0,059 0,024 0,060 0,058 0,071 ,233(*) 0,098 ,527(**) 1,000
0,093 0,185 -0,061 0,095 0,071 0,130 0,021 -,403(**) -,337(**) 1,000
0,170 ,262(*) 0,043 0,149 0,106 0,170 0,073 -,279(*) -,306(**) ,788(**) 1,000
-,510(**) -,396(**) -,543(**) -0,132 -0,030 -0,205 -0,072 -,348(**) -0,168 0,090 -0,050 1,000
X13 ,285(*) ,308(**) 0,149 ,520(**) ,357(**) ,253(*) ,446(**) -0,084 -0,082 0,159 0,139 0,092 1,000
X14 0,020 0,113 -0,133 0,133 0,038 0,126 -0,053 -0,040 0,080 0,206 0,165 0,033 ,251(*) 1,000
X15 -,270(*) -,311(**) -0,129 -,744(**) -,601(**) -,511(**) -,653(**) -0,141 -0,115 -0,138 -0,167 0,130 -,389(**) -0,184 1,000
X1=Pengeluaran total, X2=pengeluaran non pangan, X3=pengeluarn pangan, X4=pendapatan per kapita, X5=pendapatan musim biasa, X6=pendapatan musim paceklik, X7=pendapatan musim panen, X8= lama pendidikan kepala keluarga= X9=lama pendidikan ibu, X10= umur kepala keluarga, X11= umur ibu, X12= besar keluarga, X13=kepemilikan aset, X14=pola belanja beras, X15=bantuan pangan
Korelasi Pearson
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8
X1 1
X2 -0,141 1
X3 -0,113 ,972(**) 1
X4 -0,174 ,729(**) ,547(**) 1
X5 -0,143 ,323(**) ,335(**) 0,173 1
X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15
X6 -0,173 ,247(*) ,257(*) 0,131 ,875(**) 1
X7 0,035 159,243 ,225(*) 0,063 ,669(**) ,638(**) 1
X8 -0,162 ,311(**) ,312(**) 0,200 ,915(**) ,730(**) ,572(**) 1
X9 -0,100 0,139 0,150 0,057 ,227(*) ,256(*) ,285(*) ,230(*)
X10 -0,049 0,094 0,082 0,099 0,143 0,133 ,266(*) 0,153
X11 ,277(*) -0,088 -0,070 -0,109 0,106 0,006 0,095 0,050
X11 0,186 0,185 0,202 0,073 0,122 0,027 0,101 0,071
X12 0,043 -,480(**) -,398(**) -,548(**) -0,082 -0,039 -0,050 -0,074
X13 -0,072 ,507(**) ,508(**) ,324(**) ,470(**) ,292(**) ,231(*) ,370(**)
X14 -0,211 -0,189 -0,191 -0,117 -,355(**) -,291(**) -,289(**) -,326(**)
X15 0,186 ,270(*) 0,212 ,343(**) 0,005 0,044 0,041 0,011
1
,541(**)
-,364(**)
-,242(*)
-,285(*)
-0,042
-0,113
-0,093
1
-,340(**)
-,307(**)
-0,133
-0,022
0,015
-0,196
1
,783(**)
0,032
0,095
-0,120
0,056
1
-0,095
0,141
-0,128
0,046
1
-0,131
0,003
-,410(**)
1
-,493(**)
,245(*)
1
-0,211
X16 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
X1=kesiapsiagaan, X2=total pengeluaran, X3= pengeluaran non pangan, X4= pengeluaran pangan, X5= pendapatan per kapita, X6=pendapatan musim biasa, X7=pendapatan musim paceklik, X8=pendapatan musim panen, X9= lama pendidikan kepala keluarga= X10=lama pendidikan ibu, X11= umur kepala keluarga, X12= umur ibu, X13= besar keluarga, X14=kepemilikan aset, X15=coping strategy, X16=ketersediaan beras
1
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
Besar Keluarga Umur kepala keluarga Umur ibu Lama pendidikan kepala keluarga Lama pendidikan ibu Pendapatan musi panen Pendapatan musim paceklik Pendapatan musim biasa Pendapatan per kapita Pengeluaran pangan Pengeluaran non pangan Pengeluaran total
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
F 0,555
Sig. 0,458
0,606
0,439
0,012
0,911
0,343
0,560
1,609
0,208
18,385
0,000
1,038
0,312
11,368
0,001
21,123
0,000
0,301
0,585
4,085
0,047
2,395
0,126
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Upper Lower -0,08 1,17 -0,07 1,17 -3,80 5,73 -4,23 6,16 -1,88 7,81 -2,03 7,95 -2,50 0,02
78 54,804 78 43,258 78 49,636 78
Sig. (2-tailed) 0,085 0,082 0,688 0,710 0,227 0,238 0,054
Mean Difference 0,55 0,55 0,96 0,96 2,96 2,96 -1,24
Std. Error Difference 0,31 0,31 2,39 2,58 2,43 2,48 0,63
-1,994
55,164
0,051
-1,24
0,62
-2,48
0,01
-1,998 -1,978 3,048 3,810 0,819 0,869 2,280 2,808 3,300 4,063 0,313 0,324 1,623 2,176 1,411 1,796
78 51,066 78 77,030 78 61,718 78 77,834 78 77,846 78 57,448 78 64,892 78 75,119
0,049 0,053 0,003 0,000 0,416 0,388 0,025 0,006 0,001 0,000 0,755 0,747 0,109 0,033 0,162 0,077
-1,27 -1,27 1.703.423,31 1.703.423,31 27.342,62 27.342,62 631.231,21 631.231,21 677.997,07 677.997,07 5.714,76 5.714,76 84.706,05 84.706,05 90.374,98 90.374,98
0,64 0,64 558.792,19 447.040,59 33.403,64 31.449,37 276.817,96 224.779,12 205.447,28 166.890,63 18.257,04 17.653,87 52.179,79 38.930,54 64.057,90 50.320,96
-2,54 -2,57 590.953,51 813.257,35 -39.158,92 -35.529,49 80.128,98 183.715,33 268.982,95 345.733,01 -30.632,23 -29.630,54 -19.175,93 6.953,95 -37.154,50 -9.866,91
0,00 0,02 2.815.893,10 2.593.589,27 93.844,15 90.214,72 1.182.333,44 1.078.747,08 1.087.011,19 1.010.261,12 42.061,74 41.060,05 188.588,02 162.458,14 217.904,46 190.616,87
t 1,743 1,772 0,403 0,374 1,218 1,194 -1,957
df
Kepemilikan aset Ketersediaan beras Coping strategy Kesiasiagaan Densitas Kesesakan Kesejahteraan subyektif
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
18,008
0,000
0,334
0,565
1,869
0,175
0,420
0,519
0,427
0,515
3,488
0,066
0,377
0,541
4,444 6,221 1,386 1,437 -2,515 -2,719 0,725 0,727 0,328 0,335 -1,151 -1,001 1,188 1,178
78 53,097 78 57,823 78 64,605 78 52,919 78 55,467 78 37,094 78 51,223
0,000 0,000 0,170 0,156 0,014 0,008 0,471 0,470 0,743 0,739 0,253 0,323 0,238 0,244
33.395.100,28 33.395.100,28 37,00 37,00 -2,09 -2,09 0,33 0,33 0,58 0,58 -0,14 -0,14 1,33 1,33
7.515.279,50 5.368.250,75 26,69 25,74 0,83 0,77 0,45 0,45 1,75 1,72 0,13 0,14 1,12 1,13
18.433.328,12 22.628.211,77 -16,13 -14,53 -3,74 -3,62 -0,58 -0,58 -2,92 -2,87 -0,39 -0,44 -0,90 -0,94
48.356.872,44 44.161.988,78 90,13 88,53 -0,44 -0,55 1,23 1,24 4,07 4,02 0,11 0,15 3,56 3,60
Lampiran 4. Hasil uji korelasi berdasarkan tipe nelayan Nelayan Juragan Korelasi Pearson X1
X2 0,132
0,195
X4
X5
X6
X7
X8
X9
-0,215
-,344(*)
-0,143
-0,049
-0,077
-0,170
1 ,788(**) -,400(**) X2 1 -,418(**) X3 1 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed
-,330(*) -,416(**) ,575(**) 1
0,034 -0,030 ,291(*) ,365(**) 1
0,092 0,071 ,380(**) ,342(*) ,576(**) 1
-0,005 -0,056 0,223 ,338(*) ,691(**) ,611(**) 1
0,115 0,051 ,293(*) ,365(**) ,900(**) ,681(**) ,861(**) 1
X1
1
X3
X10 ,571(**) -0,086 -0,188 0,230 0,087 0,175 0,036 0,106 0,162 1
X11
X12
X13
X14
-,468(**)
-,532(**)
-,299(*)
0,208
0,175 -0,172 0,145 0,244 ,271(*) 0,222 0,220 ,297(*) ,589(**) 1
0,124 -0,190 0,178 0,224 0,269 0,194 0,210 ,288(*) ,740(**) ,979(**) 1
0,173 0,039 0,092 0,071 ,273(*) 0,248 0,215 ,391(**) ,412(**) ,492(**) ,512(**) 1
-0,078 -0,015 -0,228 -,289(*) -,538(**) -,350(*) -,498(**) -,610(**) -0,149 -0,240 -0,237 -,278(*) 1
X1=besar keluarga, X2= umur kepala keluarga, X3=umur ibu, X4= lama pendidikan kepala keluarga, X5=lama pendidikan ibu, X6= pendapatan musim panen, X7= pendapatan musim paceklik, X8=pendapatan musim biasa, X9= pendapatan total, X10= pengeluaran pangan, X11= pengeluaran non pangan, X12=pengeluaran total, X13= kepemilikan aset, X14= coping strategy
Korelasi Spearman X1 X1 X2 X3 X4 X5
1,000
X2
X3
X4
0,191
0,262
-0,258
1,000
,801(**) 1,000
-,397(**) -,411(**) 1,000
X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
-,412(**)
-0,077
-0,152
0,002
-,396(**) -,465(**) ,553(**) 1,000
-0,043 -0,100 0,209 0,270
0,052 0,021 ,352(**) 0,238
1,000
,533(**) 1,000
X13
X14
-0,183
-,524(**)
-,368(**)
-,496(**)
-0,166
0,190
0,026 0,004 0,126 0,189
0,073 0,012 0,213 0,270
-0,090 -0,122 0,163 0,037
0,071 0,037 0,086 0,095
-0,056 -0,057 0,182 0,144
0,105 -0,023 0,054 0,052
-0,092 -0,020 -0,230 -0,249
,801(**) ,548(**) 1,000
,885(**) ,622(**) ,845(**) 1,000
0,071 0,186 -0,070 0,100 1,000
0,087 ,319(*) 0,048 0,218 ,561(**) 1,000
0,114 ,321(*) 0,013 0,213 ,827(**) ,906(**) 1,000
,406(**) ,299(*) ,301(*) ,442(**) ,299(*) ,288(*) ,323(*) 1,000
-,587(**) -,512(**) -,555(**) -,702(**) -0,101 -0,222 -0,185 -0,232 1,000
X1=besar keluarga, X2= umur kepala keluarga, X3=umur ibu, X4= lama pendidikan kepala keluarga, X5=lama pendidikan ibu, X6= pendapatan musim panen, X7= pendapatan musim paceklik, X8=pendapatan musim biasa, X9= pendapatan total, X10= pengeluaran pangan, X11= pengeluaran non pangan, X12=pengeluaran total, X13= kepemilikan aset, X14= bantuan pangan
Nelayan Buruh Korelasi Pearson Correlations X1 X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14
1
X2 -,506(**) 1
X3 -0,366 ,788(**) 1
X4 0,170 -0,152 -0,130 1
X5 -0,070 -0,098 -0,216 ,403(*) 1
X6 -0,208 0,177 0,158 0,071 0,261 1
X7 -0,123 0,115 0,114 0,077 0,256 ,666(**) 1
X8 -0,176 0,094 0,070 0,123 0,376 ,872(**) ,852(**) 1
X9 -0,163 0,153 0,122 0,049 0,280 ,954(**) ,777(**) ,929(**) 1
X10 -,557(**) 0,351 0,037 -0,176 0,023 0,366 0,125 0,239 0,244 1
X11 -,656(**) ,560(**) 0,343 0,072 0,046 0,332 0,267 0,300 0,314 ,624(**) 1
X12 -,673(**) ,505(**) 0,209 -0,059 0,038 ,387(*) 0,217 0,299 0,310 ,903(**) ,899(**) 1
X13 -0,041 0,167 0,235 0,329 0,279 0,246 0,004 0,240 0,251 -0,069 0,311 0,132 1
X14 0,229 -0,184 -0,099 -0,122 -,513(**) -0,146 -0,023 -0,166 -0,087 -0,029 -0,024 -0,030 -0,240 1
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
X1=besar keluarga, X2= umur kepala keluarga, X3=umur ibu, X4= lama pendidikan kepala keluarga, X5=lama pendidikan ibu, X6= pendapatan musim panen, X7= pendapatan musim paceklik, X8=pendapatan musim biasa, X9= pendapatan total, X10= pengeluaran pangan, X11= pengeluaran non pangan, X12=pengeluaran total, X13= kepemilikan aset, X14=coping strategy
Korelasi Spearman
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14
X1 1,000
X2 -,471(*) 1,000
X3 -0,259 ,758(**) 1,000
X4 0,240 -0,057 -0,052 1,000
X5 -0,092 -0,003 -0,206 ,427(*) 1,000
X6 -0,326 ,385(*) 0,244 0,099 0,342 1,000
X7 -,427(*) ,456(*) 0,287 0,102 0,086 ,456(*) 1,000
X8 -0,239 0,266 0,125 0,138 ,403(*) ,874(**) ,410(*) 1,000
X9 -0,271 ,430(*) 0,251 -0,041 0,254 ,732(**) 0,220 ,631(**) 1,000
X10 -,623(**) 0,248 0,048 -0,215 0,073 ,502(**) 0,343 0,358 0,214 1,000
X11 -,657(**) ,584(**) ,403(*) 0,076 0,163 ,410(*) 0,377 0,265 0,324 ,558(**) 1,000
X12 -,697(**) ,497(**) 0,293 -0,050 0,135 ,523(**) ,388(*) 0,360 0,311 ,868(**) ,883(**) 1,000
X13 0,164 0,101 0,347 ,381(*) 0,276 0,186 -0,015 0,109 0,220 -0,082 0,135 0,068 1,000
X14 0,198 -0,344 -0,313 -0,099 -0,145 -,649(**) -,453(*) -,576(**) -,600(**) -0,220 -,477(*) -,392(*) -0,171 1,000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
X1=besar keluarga, X2= umur kepala keluarga, X3=umur ibu, X4= lama pendidikan kepala keluarga, X5=lama pendidikan ibu, X6= pendapatan musim panen, X7= pendapatan musim paceklik, X8=pendapatan musim biasa, X9= pendapatan total, X10= pengeluaran pangan, X11= pengeluaran non pangan, X12=pengeluaran total, X13= kepemilikan aset, X14= bantuan pangan
109
Lampiran 5. Hasil Analisis Regresi Logistik
Kesejahteraan Obyektif Model Summary -2 Log Cox & Snell R Nagelkerke R likelihood Square Square 1 37,519(a) 0,117 0,261 2 37,568(a) 0,116 0,260 3 37,746(a) 0,115 0,256 4 38,014(a) 0,112 0,249 a. Estimation terminated at iteration number 8 because parameter estimates changed by less than ,001. Step
Variables in the Equation
B Step 1(a)
Step 2(a)
Step 3(a)
Step 4(a)
Besar kel. pdd_ibl pnp_kpt tp_kpt astot Constant jak pnp_kpt tp_kpt astot Constant jak pnp_kpt astot Constant jak astot Constant
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
-0,650
0,398
2,658
1
0,103
0,522
0,239
1,140
-0,040 0,000 0,000 0,000 4,695 -0,637 0,000 0,000 0,000 4,329 -0,575 0,000 0,000 3,666 -0,656 0,000 4,482
0,178 0,000 0,000 0,000 3,290 0,393 0,000 0,000 0,000 2,820 0,357 0,000 0,000 2,259 0,321 0,000 1,628
0,050 0,347 0,179 2,292 2,037 2,621 0,370 0,182 2,368 2,358 2,591 0,252 2,273 2,634 4,168 2,785 7,575
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0,824 0,556 0,672 0,130 0,154 0,105 0,543 0,670 0,124 0,125 0,107 0,615 0,132 0,105 0,041 0,095 0,006
0,961 1,000 1,000 1,000 109,412 0,529 1,000 1,000 1,000 75,885 0,563 1,000 1,000 39,108 0,519 1,000 88,420
0,679 1,000 1,000 1,000
1,361 1,000 1,000 1,000
0,245 1,000 1,000 1,000
1,144 1,000 1,000 1,000
0,279 1,000 1,000
1,133 1,000 1,000
0,276 1,000
0,974 1,000
a. Variable(s) entered on step 1: jak, pdd_ibl, pnp_kpt, tp_kpt, astot.
110
Kesejahteaan Subyektif Model Summary Cox & Snell R Nagelkerke R -2 Log Square Square Step likelihood 1 72,064(a) 0,289 0,407 2 72,065(a) 0,289 0,407 3 72,150(a) 0,288 0,406 4 73,489(a) 0,276 0,389 5 74,888(a) 0,264 0,371 a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.
Variables in the Equation B Step 1(a)
astot umur_kp umur_ib stt_rmh(1) crowd dnsts pdpt_kpt Constant umur_kp umur_ib stt_rmh(1) crowd dnsts pdpt_kpt Constant umur_kp umur_ib stt_rmh(1) dnsts pdpt_kpt Constant umur_ib stt_rmh(1) dnsts pdpt_kpt Constant stt_rmh(1) dnsts Constant
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper 1,000 1,000 0,846 1,046 0,978 1,211 1,291 10,348 0,242 2,855 0,998 8,145 1,000 1,000
0,000 0,000 0,001 1 0,982 1,000 -0,061 0,054 1,267 1 0,260 0,941 0,085 0,055 2,399 1 0,121 1,088 1,295 0,530 5,960 1 0,015 3,651 -0,184 0,629 0,085 1 0,770 0,832 1,046 0,535 3,825 1 0,050 2,847 0,000 0,000 3,883 1 0,049 1,000 -1,561 1,751 0,795 1 0,373 0,210 Step -0,061 0,054 1,268 1 0,260 0,941 0,846 1,046 2(a) 0,085 0,055 2,402 1 0,121 1,088 0,978 1,211 1,295 0,530 5,960 1 0,015 3,651 1,291 10,338 -0,182 0,625 0,085 1 0,771 0,834 0,245 2,835 1,046 0,535 3,825 1 0,050 2,847 0,998 8,125 0,000 0,000 5,011 1 0,025 1,000 1,000 1,000 -1,566 1,736 0,814 1 0,367 0,209 Step -0,063 0,054 1,370 1 0,242 0,939 0,844 1,044 3(a) 0,088 0,054 2,654 1 0,103 1,092 0,982 1,213 1,295 0,530 5,960 1 0,015 3,651 1,291 10,328 1,046 0,535 3,825 1 0,050 2,847 0,998 8,125 0,000 0,000 5,108 1 0,024 1,000 1,000 1,000 -1,899 1,317 2,079 1 0,149 0,150 Step 0,035 0,030 1,357 1 0,244 1,036 0,976 1,098 4(a) 1,292 0,533 5,882 1 0,015 3,640 1,281 10,342 1,037 0,555 3,491 1 0,062 2,821 0,950 8,374 0,000 0,000 4,996 1 0,025 1,000 1,000 1,000 -2,210 1,268 3,037 1 0,081 0,110 Step 1,293 0,530 5,956 1 0,015 3,643 1,290 10,287 5(a) 1,078 0,531 4,119 1 0,042 2,937 1,038 8,315 -1,128 0,846 1,778 1 0,182 0,324 a. Variable(s) entered on step 1: astot, umur_kp, umur_ib, stt_rmh, crowd, dnsts, pdpt_kpt.
Lampiran 6. Hasil Uji Realibilitas Instrumen Coping Strategy Reliability Statistics Cronbach's Alpha .782
Cronbach's Alpha Based on Standardized Items .777
N of Items 15
Item-Total Statistics
VAR00001 VAR00003 VAR00008
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
20.8750 20.6250 20.8750
14.125 12.268 13.268
-.308 .191 -.064
. . .
.820 .787 .803
Keterangan: VAR00001 : Membeli makanan yang kurang disukai VAR00003 : Mengurangi pembelian pangan hewani VAR00008 : Menjual asset untuk memenuhi kebutuhan pangan Kesiapsiagaan Reliability Statistics Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on Standardized Items
N of Items
.813
.829
7
Item-Total Statistics
VAR0001 VAR0002
Scale Mean if Item Deleted 7.3750 7.0000
Scale Variance if Item Deleted 3.982 3.143
Corrected Item-Total Correlation -.076 .302
Squared Multiple Correlation
Keterangan: VAR0001 VAR0002
: Apakah ibu memiliki lumbung pangan keluarga? : Apakah di desa ini terdapat lumbung pangan?
Cronbach's Alpha if Item Deleted .872 .845
Kesejahteraan Subyektif Reliability Statistics Cronbach's Alpha .712
Cronbach's Alpha Based on Standardized Items .766
N of Items 11
Item-Total Statistics
VAR0005 VAR0006
Scale Mean if Item Deleted 29.7500 29.7500
Scale Variance if Item Deleted 11.643 13.643
Corrected Item-Total Correlation -.082 -.429
Squared Multiple Correlation . .
Cronbach's Alpha if Item Deleted .757 .832
Keterangan: VAR0005 VAR0006
: Apakah keluarga bapak /ibu merasa puas dengan aksesibilitas (kemudahan memperoleh) rumah yang dimiliki? : Apakah keluarga bapak /ibu merasa puas terhadap fasilitas rumah yang dimiliki?
Lampiran 7. Uji Kesahihan instrumen coping strategy Total Variance Explained Initial Eigenvalues Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
% of Variance
Cumula tive %
4,477 2,033 1,303 1,231 1,148 0,926 0,790 0,690 0,662 0,547 0,532 0,510 0,431 0,319 0,238
27,982 12,706 8,147 7,696 7,174 5,789 4,940 4,312 4,140 3,419 3,327 3,190 2,691 1,991 1,486
27,982 40,687 48,834 56,530 63,704 69,493 74,433 78,745 82,885 86,304 89,630 92,820 95,511 97,502 98,988
0,162
1,012
100,000
Extraction Sums of Squared Loadings % of Cumula Total Variance tive %
Rotation Sums of Squared Loadings % of Cumula Total Variance tive %
4,477 2,033 1,303 1,231 1,148
2,823 2,213 2,156 1,693 1,308
27,982 12,706 8,147 7,696 7,174
27,982 40,687 48,834 56,530 63,704
17,641 13,834 13,474 10,583 8,172
17,641 31,475 44,949 55,532 63,704
4
5
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Compoment Matrix (a) Component 1 Membeli makan yang kurang disukai Membeli makanan yang lebih murah Mengurangi pembelian pangan hewani Mengubah proritas pembelian pangan Membagi lebih sedikit pangan (mengurangi porsi makan) Mengurangi jumlah pangan yang dikonsumsi Menggadaikan asset untuk memenuhi kebutuhan pangan Menjual asset untuk memenuhi kebutuhan pangan Membeli pangan dengan hutang ditempat membeli Meminjam uang ke keluarga, tetangga, atau teman untuk membeli pangan Mencari tambahan pendapatan untuk pangan di luar pekerjaan utama
2
3
0,690
-0,251
-0,075
0,062
-0,301
0,743 0,680 0,577
-0,265 -0,341 -0,419
-0,272 -0,245 -0,028
0,031 -0,061 -0,238
-0,142 -0,025 0,064
0,631
-0,176
0,176
-0,324
0,288
0,449
-0,328
0,332
-0,444
0,014
0,446
0,399
-0,205
-0,118
0,569
0,362
0,463
-0,424
0,010
0,389
0,488
-0,110
-0,332
0,520
0,018
0,468
0,143
0,125
0,538
-0,226
0,205
-0,141
0,577
0,333
0,394
Component 1 Mengurangi frekuensi makan per hari Menjalani hari-hari tanpa makan Migrasi untuk mendapatkan pangan (ke rumah mertua, tetangga, atau tempat lain di luar desa) Menukar dengan barang lain
0,577
2 0,488
3 0,162
4 0,088
5 0,060
0,432
0,521
0,456
0,039
-0,067
0,440
0,432
-0,180
-0,231
-0,256
0,339
0,561
0,116
-0,281
-0,439
115
Lampiran 8 Dokumentasi Penelitian
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Gambar 2 Hasil tangkapan nelaya
Gambar 4 Rumah dengan sebagian atap daun kelapa
Gambar 3 Rumah Panggung
Gambar 5 Rumah dengan lantai keramik