I SSN25286005
P R O S I D I N G K O N F E R E N S I N A S I O N A LP E N D I D I K A NM A T E M A T I K A V I U N I V E R S I T A SN E G E R I G O R O N T A L O , 1 1 1 4A G U S T U S2 0 1 5
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR ISI Halaman Depan .............................................................................................
i
Daftar Isi .........................................................................................................
ii
Kata Pengantar Presiden IndoMS ...............................................................
iii
Kata Pengantar Panitia .................................................................................
iv
Panitia Pelaksana............................................................................................
v
Tim Reviewer .................................................................................................
vii
Daftar Pemakalah ..........................................................................................
viii
ii
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KATA PENGANTAR PRESIDEN INDOMS Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam sejahtera bagi kita semua. Puji dan syukur kita panjatkan ke Hadirat Allah SWT, atas semua rahmat dan karuniaNya, sehingga kami telah dapat menyelesaikan Prosiding Konferensi Nasional Pendidikan Matematika (KNPM) ke- 6 yang telah diselenggarakan di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo, pada tanggal 11- 14 Agustus 2015 bertempat di Ballroom TC Damhil UNG. KNPM ke- 6 ini terselenggara atas kerja sama antara IndoMS dengan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo dengan tema “Mewujudkan Kultur Akademik dan Revolusi Mental Melalui Matematika dan Pendidikan Matematika”. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Negeri Gorontalo yang telah mengusulkan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo sebagai penyelenggara KNPM ke-6 tahun 2015. Kami juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang mendalam kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo yang telah membantu sehingga acara KNPM ke- 6 ini telah terselenggara dengan baik Dalam mengisi pembangunan di Indonesia ini, IndoMS (Himpunan Matematika Indonesia) yang dibentuk tanggal 15 Juli 1976 di Bandung, sebagai organisasi profesi yang bersifat ilmiah dan non-profit senantiasa dituntut peran sertanya melalui berbagai aktivitas segenap anggota serta pengurus baik di tingkat pusat maupun wilayah. IndoMS merupakan suatu forum bagi matematikawan, pengguna matematika maupun penggemar dan pemerhati matematika di seluruh Indonesia. Dalam KNPM ke- 6 ini telah dipaparkan berbagai hasil penelitian dalam bidang pendidikan matematika, matematika dan statistika. Hasil konferensi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bidang pendidikan dan pembelajaran matematika serta matematika, statistika dan aplikasinya. Pengurus Pusat IndoMS periode 2014-2016 mengucapkan terima kasih kepada semua reviewer, editor, tim prosiding serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu atas peran sertanya dan dukungannya dalam penerbitan prosiding ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada semua penulis yang telah mempresentasikan dan mengirimkan naskah makalahnya untuk diterbitkan pada Prosiding KNPM ke- 6 ini. Kami harapkan bahwa Prosiding KNPM ke- 6 ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, pemakalah serta kemajuan pendidikan matematika, ilmu matematika dan statistika di tanah air tercinta, Indonesia. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Gorontalo, Juli 2016 Presiden IndoMS 2014-2016, Prof. Dr. Budi Nurani Ruchjana iii
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KATA PENGANTAR PANITIA KNPM 6 Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kemudahan dalam pelaksanaan Konferensi Nasional Pendidikan Matematika (KNPM) ke- 6 tahun 2015 di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo pada tanggal 11–14 Agustus 2015. Kami menyampaikan terima kasih atas penunjukkan Jurusan Matematika FMIPA UNG sebagai penyelenggara KNPM ke- 6, yang telah diselenggarakan di Ballroom TC Damhil kampus Universitas Negeri Gorontalo. Pada KNPM ke- 6 ini panitia telah menetapkan tema: “Mewujudkan Kultur Akademik dan Revolusi Mental Melalui Matematika dan Pendidikan Matematika”. Hal ini mengingat karena pengembangan karakter pada hakekatnya adalah pembangunan dan pengembangan mental. Pada sisi lain karakter merupakan bagian integral dari kultur akademik, mengingat karakter diperlukan dan berpotensi dikembangkan dari setiap aktivitas akademik. Pengembangan kultur akademik menjadi titik terminal antara upaya pembinaan karakter dengan peningkatan mutu akademik dari suatu proses pendidikan. Pengembangan kultur akademik dapat diwujudkan melalui ranah pendidikan termasuk pendidikan matematika. Kultur akademik yang baik akan menjadi lahan bagi tumbuh berkembangnya masyarakat ilmiah, yakni masyarakat (peserta didik) yang memiliki keingintahuan yang tinggi, logis, kritis, objektif, analitis, kreatif dan konstruktif, percaya diri, mandiri, terbuka untuk menerima kritik, menghargai prestasi ilmiah, memiliki dan menjunjung tinggi norma dan susila akademik serta tradisi ilmiah, dinamis, dan berorientasi kemasa depan. Nilai-nilai tersebut di atas juga merupakan instructional effect dan nurturant effect dari konten matematika dan pendidikan matematika. Pada konteks ini Konferensi Nasional Pendidikan Matematika (KNPM) ke- 6 di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) diniatkan untuk dapat memberikan sumbangsih pemikiran meneguhkan harapan tumbuhnya kultur akademik dan menggaungkan revolusi mental melalui matematika dan pendidikan matematika. Harapan ini senantiasa harus diikhtiarkan secara bertahap dan kontinu. Seminar, diskusi ilmiah, diseminasi hasil-hasil penelitian dan sharing pengetahuan terkini dibidang matematika serta best practice dalam pembelajaran matematika pada kegiatan KNPM 6 ini diharapkan menjadi wahana instrumental dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045 dan generasi Indonesia yang berkarakter. Pada KNPM ke- 6 tahun 2015 tersebut telah dipresentasikan 7 makalah pada sidang pleno serta 78 makalah pada sidang paralel. Setelah melalui proses review oleh tim, panitia KNPM ke-6 telah menyusun prosiding KNPM ke- 6, yang alhamdulillah saat ini sudah dapat dituntaskan. Kami dari pihak panitia mengucapkan banyak terima kasih kepada semua peserta yang telah mengirimkan makalah untuk diterbitkan pada prosiding konferensi, kepada Tim Reviewer dan Tim Editor yang telah membantu sehingga terbitnya prosiding ini. Akhirnya, kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kegiatan konferensi ini terutama kepada Rektor UNG, Pemerintah Provinsi Gorontalo, Pihak sponsor dan Panitia baik dari staf dosen, pegawai maupun para mahasiswa yang telah bekerja keras untuk mempersiapkan kesuksesan KNPM ke- 6 ini. Panitia Pelaksana KNPM ke-6,
iv
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PANITIA PELAKSANA KNPM KE-6 TAHUN 2015 1.
Pengarah: Ketua : Prof. Dr. Budi Nurani (Universitas Padjadjaran) Sekretaris : Prof. Dr. Syamsu Qamar Badu, M.Pd (Universitas Negeri Gorontalo) Anggota : 1. Dr. Kiki Ariyanti Sugeng (Universitas Indonesia) 2. Prof. Dr. Zulkardi (Universitas Sriwijaya) 3. Prof. Dr. Tulus (USU) 4. Prof. Dr. Didi Suryadi (UPI) 5. Prof. Dr. Sarson W. Dj Pomalato, M.Pd (UNG) 6. Prof. Dr. Nurhayati Abbas, M.Pd (UNG) 7. UM Malang 8. UNM Makasar 9. Unesa Surabaya
2. Pelaksana Ketua Pelaksana Wakil Ketua 1 Wakil Ketua 2 Wakil Ketua 3 Sekretaris Bendahara Wakil Bendahara
: : : : : : :
Prof. Dr. Evi Hulukati, M.Pd Dr. Arfan Arsyad, M.Pd Dra. Lailany Yahya, M.Si Dr. Tedy Machmud, M.Pd Drs. Majid, M.Pd Nursiya Bito, S. Pd, M.Pd Rahnikmawati Hasan, A.Md
Seksi-seksi: Seksi Sidang dan Acara 1 .
Drs. Sumarno Ismail, : M.Pd Drs. Abas Kaluku, M.Si Novianita Achmad, M.Si Drs. Yus Iryanto Abas, M.Pd Agustina Mohi S.Sos Emli Rahmi, S.Pd, M.Si Sri Lestari Machmud, S.Pd, M.Si Abd. Fikri Katili Mulyadi Ondah
Seksi Makalah
Nurwan, S.Pd, M.Si.: M. Yusuf, M.Si Zulfikar Hasan, S.Pd Syafrudin Kama, S.Pd.
2 .
Seksi Reviewer Extended 3 Abstract .
Prof. Dr. Sarson W.: Dj Pomalato, M.Pd Prof. Dr. Nurhayati Abbas, M.Pd. Prof. Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd DR. Tedy Machmud, M.Pd.
v
KNPM 6
Seksi Prosiding
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
4 .
Dr. Ali Kaku, M.Pd: Drs. Pery Zakaria, M.Pd Hasan Panigoro, S.Pd, M.Si Jihad Wungguli, S.Pd, M.Si Laswi Kamali, S.T. Irvan Mustafa, S.Pd.
Seksi Akomodasi dan 5 Transportasi .
Dr. Abd. Djabar Mohidin, : M.Pd. Drs. Abdul Wahab Abdullah, M.Pd Zulwardi S. Mamu, S.Pd, M.Pd Sufitro Kalapati, S.Pd.
Seksi Konsumsi 6 .
Dra. Kartin Usman,: M.Pd Diana Madi, S.Pd, M.Pd Dewi Rahmawaty Isa, S.Si, M.Si Yanti, S.Pd
Seksi Publikasi dan7 Dokumentasi dan . Pengelolaan web
Drs. Franky A. Oroh, : M.Si Hasan Panigoro, S.Pd, M.Si Resmawan, S.Pd, M.Si
Seksi Perlengkapan8 .
Khardiyawan Pauweni, : S.Pd, M.Pd Dahlan Lukum, S.Pd Noldi Latada, S.Pd Ismet Mobia
Seksi Ekskursi / TOUR 9 .
Drs. Yamin Ismail,:M.Pd Drs. Yus Iryanto Abas, M.Pd Salmun, S.Pd, M.Si Sitti Zakiyah, S.Pd, M.Pd
Seksi Sponsorship1dan Public Relation 0 . Design Cover dan Layout Prosiding
Drs. Abas Kaluku, :M.Si Novianita Achmad, S.Si, M.Si Irvan Mustafa, S.Pd
vi
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
TIM REVIEWER 1. Prof. Dr. H. Sarson W. Dj Pomalato, M.Pd.
(Universitas Negeri Gorontalo)
2. Prof. Dr. Nurhayati Abbas, M.Pd.
(Universitas Negeri Gorontalo)
3. Prof. Dr. H. Hamzah B. Uno, M.Pd.
(Universitas Negeri Gorontalo)
4. DR. H. In Hi Abdullah, M.Si
(Universitas Khairun Ternate)
5. DR. H. Kodirun, M.Pd.
(Universitas Halu Oleo)
6. DR. Gelar Dwirahayu, M.Pd.
(UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
7. DR. Hepsi Nindiasari, M.Pd.
(Univ. Sultan Ageng Tirtayasa)
8. DR. Maria Ulpah, M.Si.
(IAIN Purwokerto)
9. DR. Achmad Mudrikah, M.Pd.
(Uninus Bandung)
10. DR. Edy Surya, M.Si.
(Universitas Negeri Medan)
11. DR. H. Ismail Zakaria, M.Si.
(Universitas Negeri Gorontalo)
12. DR. Tedy Machmud, M.Pd.
(Universitas Negeri Gorontalo)
vii
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR MAKALAH A. PEMAKALAH UTAMA: 1.
2.
3.
4. 5.
6.
7.
Prof. Dr. Hans-Stefan Siller. University of Koblenz-Landau Germany. Judul Makalah: “Modelling as a big idea in mathematics – Knowlegde and views of preservice and in-service teachers”. Prof. DR. Didi Suryadi, M.Ed. SPs UPI Bandung. Judul Makalah: “Penguatan Kapasitas Pendidik Melalui Sistem Komunitas Berbasis Riset: Sebuah Upaya Rintisan Di Kota Bandung”. Prof. DR. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si. Universitas Sriwijaya. Judul Makalah: “Design Research: Eksplorasi Budaya Indonesia Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Matematika”. Prof. DR. Budi Nurani Ruchjana. Universitas Padjajaran. Judul Makalah: “Peranan Pendidikan Matematika Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015”. Prof. Dr. Sarson W. Dj. Pomalato, M.Pd. Universitas Negeri Gorontalo. Judul Makalah: “Model Based Development Of Contextual Learning Math For Improved Communication And Creativity Of Math Elementary School Students”. Profesor Dr.rer nat Dedi Rosadi S.Si M.Sc. Universitas Gajah Mada. Judul Makalah: “Pengajaran Ekonometrika Dan Analisis Runtun Waktu Dengan Paket Perangkat Lunak RcmdrPlugins.SPSS”. DR. Kadir, S.Pd., M.Si. Universitas Halu Oleo. Judul Makalah: “Penggunaan Masalah Pesisir Untuk Melatih Kemampuan Berpikir Matematik Siswa SMP”.
B. PEMAKALAH BIDANG: BIDANG PENDIDIKAN MATEMATIKA PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING DENGAN MEDIA SOFTWARE WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP DAN REPRESENTASI MATEMATIKA PESERTA DIDIK PADA MATERI RUANG DIMENSI TIGA KELAS X1 DI SMA NEGERI 1 LUWUK KABUPATEN BANGGAI Andiny Sapriyanty Ahmad, Tedy Machmud................................................. 1-9 PROFIL KREATIVITAS PENYELESAIAN MASALAH GEOMETRI SISWA KELAS VIII SMP NEGERI TOMBULU MINAHASA DITINJAU DARI GAYA BELAJAR Ontang Manurung ....................................................................................... 10-17 PROSES ABSTRAKSI PENGETAHUAN OLEH SISWA PADA KONSEP LUAS PERMUKAAN DAN VOLUME BANGUN RUANG Syukma Netti, Sudirman, Susi Herawati ...................................................... 18-29
viii
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS) DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP HIMPUNAN DI SMPN 1 SAWAN BULELENG Made Susilawati .......................................................................................... 30-40 DESKRIPSI KESULITAN BELAJAR SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL MATEMATIKA KELAS VII DI SMP NEGERI 2 GORONTALO Franky A. Oroh ............................................................................................ 41-56 PENINGKATAN KREATIVITAS DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MODEL PROBLEM BASED LEARNING DI SEKOLAH DASAR Zulfa Amrina ................................................................................................ 57-68 KOMPETENSI KOGNITIF SISWA YANG DIAJAR DENGAN MODEL PEMBELAJARAN DIRECT INSTUCTION BERBANTUAN SOFTWARE MATHEMATICA® DALAM PEMBELAJARAN MATERI VOLUM BENDA PUTAR James U.L. Mangobi .................................................................................... 69-80 ANALISIS PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS KURIKULUM 2013 DI SMP KOTA PEKANBARU Atma Murni .................................................................................................. 81-90 EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN DEMONSTRASI-STUDENT CENTERED LEARNING (SCL) DAN METODE AUDITORY INTELLECTUALLY REPETITION (AIR) Ni Made Asih ............................................................................................... 91-103 PENGEMBANGAN SOAL PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DENGAN STRATEGI FINDING A PATTERN Navel Oktaviandy Mangelep ....................................................................... 104-112 ANALISIS STRUKTUR DAN KEMAMPUAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL UJIAN NASIONAL MATEMATIKA SMP/MTS TAHUN 2013/2014 MENGGUNAKAN KERANGKA KERJA LITHNER Triyawan Kolopita, Kartin Usman .............................................................. 113-127 PENGGUNAAN MIND MAPPING DALAM MENGATASI MISKONSEPSI MAHASISWA PADA PEMBELAJARAN ANALISIS REAL Luh Putu Ida Harini, Tjokorda Bagus Oka, Made Susilawati .................... 128-137 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR LOGIKA MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL BERNUANSA ISLAMI UNTUK MENGEMBANGKAN KARAKTER MAHASISWA Nurjanah ...................................................................................................... 138-147
ix
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGARUH PEMBELAJARAN BERPUSAT MASALAH (PROBLEM CENTERED LEARNING) TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIKA SISWA KELAS VIII Madjid.......................................................................................................... 148-160 MELIBATKAN METAKOGNISI SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Amelia T.P Kansil ........................................................................................ 161-175 KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA MAHASISWA PADA MATA KULIAH STRUKTUR ALJABAR Nila Kesumawati ......................................................................................... 176-186 PENGGUNAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING DENGAN BANTUAN SOFTWARE GEOGEBRA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA Khoerul Umam, Sigid Edy Purwanto, Cut Nurlia Aprilna .......................... 187-199 AKTIVITAS SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT MODEL KOOPERATIF TIPE STAD Santje M.Salajang........................................................................................ 200-210 MEMBENTUK PENGUASAAN KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PESERTA PPL-1 DALAM BIMBINGAN LATIHAN MENGAJAR MELALUI LESSON STUDY Sumarno Ismail ............................................................................................ 211-222 MENINGKATKAN AKTIFITAS UNTUK HASIL BELAJAR INDIVIDU PADA MATERI POKOK UKURAN PEMUSATAN SUATU DATA YANG DISAJIKAN MELALUI DIAGRAM MELALUI PEMBELAJARAN SISTEM TAMU Satra Hamzah .............................................................................................. 223-233 PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MELIBATKAN OTAK KIRI DAN OTAK KANAN DALAM PEMROSESAN INFORMASI Magy Gaspersz ............................................................................................ 234-248
BIDANG MATEMATIKA PENENTUAN PEMENANG TENDER PENGADAAN BARANG DAN JASA DENGAN MENGGUNAKAN SIMPLE ADDITIVE WEIGHTING METHOD (SAW) (Studi Kasus : Pengadaan Barang dan Jasa di LAPAN, Rumpin) Imam Nurhadi Purwanto, Agus Widodo, Indah Yanti ................................. 249-258
x
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DIMENSI METRIK GRAF BLOK BEBAS ANTING Hazrul Iswadi ..............................................................................................
259-266
MODEL PERTUMBUHAN LOGISTIK:MODIFIKASI PADA DAYA DUKUNG DENGAN PEMANENAN PROPOSIONAL TERHADAP POPULASI Hasan S. Panigoro....................................................................................... 267-279 MODEL LOGISTIK DENGAN PEMANENAN KONSTAN TERHADAP POPULASI:FENOMENA BIFURKASI AKIBAT PEMANENAN Hasan S. Panigoro....................................................................................... 280-289 KESTASIONERAN DAN SIFAT STATISTIK DARI MODEL GARCH (1,1) DAN EGARCH (1,1) Isran K. Hasan............................................................................................. 290-300 ANALISIS SENSITIVITAS PENGARUH EDUKASI, SKRINING DAN TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA MODEL PENYEBARAN HIV/AIDS Marsudi, Noor Hidayat, Ratnobagus E. W. ................................................ 301-310
xi
PAPARAN PROF. DR. HANS STEFAN SILLER
http://proxy.furb.br/ojs/index.php/modelling/article/view/322 1/2055
1
Modelling as a big idea in mathematics – Knowledge and views of pre-service and in-service teachers Modelling is agreed to be a big idea for mathematics as a scientific
discipline with high relevance for mathematical literacy. Consequently, teachers should be aware of this big idea and know how modelling relates to a variety of curricular contents. However, especially quantitative empirical research into knowledge and views of pre-service and in-service teachers related to modelling is scarce. Hence, a study of ABC-maths concentrates on professional knowledge and views of (Austrian) pre-service teachers about modelling as a big idea and contains first exploratory comparisons with in-service teachers. The results suggest that especially for a sub-group of the participants there is a need of professional development related to modelling.
In particular, the study focuses on the teachers’ knowledge and perceptions about modelling as a big idea and on views about the significance of modelling. The research questions are as follows: Are pre-service and in-service teachers able to connect contents through the big idea of modelling and do they have meta-knowledge about the modelling process? 2. Which significance do pre-service and in-service teachers assign to the big idea of modelling and how do they see this idea related to specific content areas? 1.
2
In order to find out about the research questions, a paper-
and-pencil-test and questionnaire was administered to 39 Austrian pre-service teachers (30 female, 8 male, 1 without
data, mean age 23.5 years; SD=3.5 years) and 11 Austrian in-service teachers (5 female, 5 male, 1 without data, mean age 32.5 years; SD=9.6 years), working for on average 5.8 (SD=9.1) years at academic-track secondary schools.
Research question 1 focuses on professional knowledge related to
connecting contents through the big idea of modelling. In both items, teachers were asked to give examples related to
aspects of modelling. Number of adequate examples given 0
1
2
3
4
5
6
50
frequency of code (percent)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Task 1
Task 2
Modelling (pre-service teachers, N=39)
Task 1
Task 2
Modelling (in-service teachers, N=11)
Between one fifth and more than one third of the teachers did not
provide any adequate example, even if a first example was already given in the items, respectively.
3
The influence of these given examples on the examples provided by the teachers was not high. Transfer level code no exam ple given/ no adequate exam ple adequate exam ple(s ) given are clos e to the content area / clos e to given exam ple
frequency of code (percent)
adequate exam ple(s ) m ake(s ) link acros s content areas / are not clos e to content area of given exam ple 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Task 1
Task 2
Modelling (pre-service teachers, N=39)
Task 1
Task 2
Modelling (in-service teachers, N=11)
It is shown that the frequencies of the transfer level coding, which distinguished between examples close to the given example vs. examples in other content areas. The results show that a big majority of the examples was related to other content areas.
A global result concerning the question about describing phases of the modelling process was that 43.6% of the pre-service teachers did not provide any answer at all. Among the in-service teachers, 63.6% did not give any answer to that question. For the remaining 56.4% resp. 36.4% who gave an answer to the question, it was coded which phases and aspects of the modelling process were contained in the teachers’ answers.
Percentage of teachers who mentioned phases of modelling process pre-service in-service Phase teachers teachers Situation
86.4%
100%
Model of the situation
27.3%
25%
Model of the problem
27.3%
100%
Mathematical model
86.4%
75%
Mathematical result
72.7%
100%
54.5%
100%
27.3%
100%
4.5%
25%
0.0%
0%
Interpreting the mathematical result Validating the interpreted result Running through the cycle another time Use of technology
4
Research question 2 concentrates on the significance assigned to the big idea ‘modelling’ by the pre-service and in-service teachers in comparison with other big ideas. Figure 4 presents the corresponding results of the teachers’ ratings (ratings by numerical values from 0 (low significance) to 5 (high significance)). As the data show, the big idea ‘modelling’ was rather not given the highest significance by both sub-samples, replicating the basic tendency of a pior study (Siller et al., accepted) with more than 100 German and more than 40 Austrian pre-service teachers.
These results concern the perceived significance of modelling for selected content domains. The diagram indicates that the significance of modelling might – in the eyes of the participating teachers – be restricted to a rather narrow field of curricular contents. However, for three obviously relevant content areas, the teachers do on average see a high significance of modelling.
High significance
5 4,5 4
pre-service teachers in-service teachers
3,5 3 2,5 2 1,5 1
Low significance
0,5 0 Examining the divisibility of numbers
Patterns in number sequences
steps towards Examining Word problems multiplication calculus rules iconcerning algorithm (e.g. 7×3=3×7) calculus with money
Tables and diagrams
multiplication of fractions
calculating areas
5
Beyond the evidence, the findings of this study also call for
empirical research into the role of the views examined here for the teachers’ choice of specific learning opportunities in the classroom and into the interdependency structure of professional teacher knowledge related to modelling. Such deepened analyses could open up ways of effective professional development approaches.
6
PENGUATAN KAPASISTAS PENDIDIK MELALUI SISTEM KOMUNITAS BERBASIS RISET: SEBUAH UPAYA RINTISAN DI KOTA BANDUNG Didi Suryadi Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] Abstrak Tata kelola pendidik di Indonesia, baik di lingkungan perguruan tinggi (dosen) maupun di sekolah (guru), dihadapkan pada tiga permasalahan substansial: 1) budaya berpikir pendidik yang cenderung imitatif dalam konteks pembelajaran; 2) budaya berpikir profesionalisme yang cenderung prosedural-administatif dalam konteks pengembangan kapasitas diri; dan 3) budaya berpikir komunitas profesi (guru, dosen, pengawas, widyaiswara) yang cenderung terisolasi satu sama lain dalam konteks pencapaian tujuan kolektif dan eksistensial pendidikan nasional. Akumulasi permasalahan tersebut bersifat kontraproduktif terhadap pengembangan karakteristik kecakapan baru yang dapat memperkuat kapasitas professional pendidik pada masa yang akan datang. Model komunitas pendidik berbasis riset menawarkan alternatif pemberdayaan pendidik melalui pengembangan kultur berpikir dalam konteks riset secara kolaboratif. Kultur yang berkembang melalui pendekatan ini diharapkan mampu meningkatkan kapasitas pendidik secara berkelanjutan.
PENDAHULUAN Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan tantangan kehidupan semakin kompleks memerlukan kapasitas sumber daya manusia (SDM) mandiri dan berdaya sebagai dampak dari proses pendidikan yang mencerdaskan. Karena itu, diperlukan perspektif tata kelola SDM pendidik baik di lingkungan perguruan tinggi (dosen) maupun di sekolah (guru) yang mentransformasikan tiga permasalahan berikut: 1) budaya berpikir akademik yang cenderung imitatif dalam konteks pembelajaran; 2) budaya berpikir profesi pendidik yang cenderung prosedural-administatif dalam konteks pengembangan kapasitas diri; dan 3) budaya berpikir komunitas antar profesi pendidik (guru, dosen, pengawas, widyaiswara) yang cenderung terisolasi satu sama lain dalam konteks pencapaian tujuan kolektif dan eksistensial pendidikan nasional. Akumulasi isu tersebut mencerminkan ketidakmandirian dan ketidakberdayaan pendidik. Permasalahan tersebut memerlukan perbaikan tata kelola SDM pendidikan berorientasi pada perubahan budaya sekolah dan budaya pendidikan guru. Dalam hal ini, aspek berpikir merupakan fondasi dari kemandirian pendidik (Suryadi, 2012). Karenanya, diperlukan pengembangan dasar filosofis, konseptual-teoretis dan praktis budaya berpikir dalam konteks pembelajaran, pengelolaan institusi pendidikan dan pengembangan profesional pendidik mulai jenjang sekolah dasar melalui analisis kemampuan berpikir peserta didik, pendidik dan pendidik guru yang mendasari konseptualisasi tata kelola sistem komunitas dan kemandirian sistem pendidikan yang memberdayakan kapasitas para pendidiknya. Permasalahan utamanya adalah bagaimana mengembangkan sistem komunitas untuk peningkatan kapasitas pendidik melalui pengkajian isu terkait: 1) Bagaimana memberdayakan kapasitas pendidik yang mengembangkan budaya berpikir akademik yang kreatif dan produktif dalam konteks pembelajaran/perkuliahan?; 2) Bagaimana memberdayakan kapasitas pendidik
yang mengembangkan budaya berpikir berorientasi pada pemutakhiran aspekaspek subtansial dari profesi pendidik, yaitu guru, dosen dan profesor?; 3) Bagaimana memberdayakan kapasitas komunitas antar pendidik yang mengembangkan budaya kerjasama sinergis dan saling memberdayakan?; dan 4)Bagaimana implikasinya terhadap tata kelola pendidikan calon pendidik, pengembangan profesional pendidik dan penelitian yang dilakukan pendidik? HASIL AWAL YANG TELAH DICAPAI Penelitian tentang pemberdayaan kapasitas pendidik telah lama dilakukan, khususnya melalui implementasi Lesson Study di beberapa kabupaten/kota (Bandung, Sumedang, Karawang, Surabaya dan Pasuruan). Melalui kajian sistematis terhadap berbagai budaya berpikir dan belajar terutama yang berkembang di Eropa dan Asia, penulis telah menghasilkan sintesis teoretis dan metodologis yang orisinal, yaitu Metapedadidaktik (Suryadi, 2009) dan Didactical Design Researh (DDR) (Suryadi, 2010). Keduanya memperoleh perhatian dan pengakuan luas dari kalangan akademisi dan praktisi pendidikan, baik di dalam dan luar negeri. Hasil penelitian tersebut kemudian diperkenalkan kepada para guru di Sekolah Dasar GagasCeria Bandung yang telah menjadi mitra sejak tahun 2012 dalam konteks penelitian pengembangan profesional. Rintisan kerjasama penelitian tersebut telah menghasilkan beberapa produk yang dikembangkan tim dosen dan tim guru, antara lain berupa artikel yang dipresentasikan di seminar/konferensi nasional dan internasional, makalah utama, manuskrip artikel jurnal dan model pembelajaran matematika yang dikembangkan guru berdasarkan perspektif DDR. Semenjak bermitra dengan SD GagasCeria, kontekstualisasi teori Metapedadidaktik dan metodologi DDR menyentuh aspek bahan dan media ajar, pengembangan kurikulum dan pengelolaan pengembangan profesional di SD. Selain itu, kini permintaan untuk pembicara kunci serta studi banding ke SD GagasCeria baik di dalam dan luar negeri telah terjadwal hingga 2014. Pengelolaan sistem pendidikan memerlukan perspektif tata kelola yang mendorong kemandirian dan inovasi. Penelitian lanjutan dari Metapedadidaktik dan DDR untuk mensinergikan tata kelola pendidikan sekolah dan pendidikan guru saat ini terus dilakukan. Perspektif ini merepresentasikan keunikan budaya berpikir tata kelola sistem pendidikan yang memungkinkan terbentuknya pusat keunggulan pendidikan di Indonesia serta memperkaya keilmuan pendidikan di dunia. Kontribusi sistem komunitas primer yang telah dicapai adalah peningkatan tata kelola berbasis budaya berpikir di UPI dan SD GagasCeria. Perbaikan tata kelola di UPI mencakup kurikulum, pengajaran, penelitian, pengembangan profesional dosen dan manajemen pendidikan guru. Sementara di SD GagasCeria mencakup perbaikan tata kelola pembelajaran, pengembangan profesional guru dan manajemen sekolah. Kajian sistematis terhadap berbagai praktik professional learning community (PLC) dan budaya berpikir pendidik, terutama yang berkembang di Eropa (Kansanen, 2003; Brosseau, 1997) telah menghasilkan sintesis teoretis dan metodologis yang orisinal. Dalam hal ini, penulis telah menginisiasi aplikasi
terbatas yang secara empiris menunjukkan dua temuan utama: 1) komunitas riset sebagai sistem (Suryadi, 2011); dan 2) kerangka substansial teori Metapedadidaktik dan metode Didactical Design Researh (DDR) (Suryadi, 2009; 2010; 2013). Kedua inovasi akademik tersebut telah memperoleh HAKI (2014) dan juga mendapat apresiasi dari masyarakat akademik internasional (disampaikan dalam konferensi WALS, November 2014). Studi tentang komunitas riset (2007) menghasilkan konstruksi milieu sebagai unit dasar sistem komunitas, misalnya di satu sekolah. Di dalamnya, milieu memiliki norma, perangkat, daya dukung, pola relasi dan substansi yang mendasari situasi riset. Oleh karena itu, sistem aktivitas kolaboratif-kolegial di dalam milieu melibatkan proses refleksi dan dialog perspektif antar individu pendidik dari sekolah tersebut. Pola serupa berlaku pada level subsistem yang terbentuk dari jalinan antar milieu yang pada akhirnya terakumulasi menjadi sistem berskala luas. Melalui sistem tersebut terbangun dialog reflektif dan argumentatif yang mendasari inferential belief system pendidik dalam memahami kerumitan fenomena pengajaran dan pembelajaran yang menjadi fokus kajian bersama. Implikasi dari studi ini adalah perlunya pengembangan kerangka dan perangkat berpikir yang membantu internalisasi pemahaman dan keyakinan pendidik agar dapat menerapkannya ke dalam praktik profesionalnya sehari-hari. Implikasi tersebut mendasari studi tentang metapedadidaktik dan DDR (2009). Metapedadidaktik menyediakan perspektif tentang sistem keyakinan (belief system) serta proses berpikir relasional pendidik terkait materi, peserta didik dan dirinya sendiri. Untuk memaknainya dikembangkan DDR sebagai perangkat berpikir (thinking tool) dalam mengkaji dan menangani kompleksitas pengajaran-pembelajaran melalui praktik refleksi kritis (critical reflection). Ketika merancang pembelajaran, pendidik melakukan repersonalisasi untuk menggali argumentasi konseptual materi yang diajarkannya sambil memprediksi dan mengantisipasi ragam kemungkinan respon peserta didik. Pola pikir tersebut mendasari argumentasi didaktis-pedagogis pendidik ketika melaksanakan dan menganalisis pembelajaran. Sejak tiga tahun terakhir kedua capaian penelitian tersebut diimplementasikan pada konteks terbatas baik pada lingkup perguruan tinggi maupun sekolah (Gambar 1). Di awal perkembangannya, penulis mengkaji komunitas riset pada kelompok bidang kajian (KBK) di Jurusan Pendidikan Matematika UPI (20072009). Temuannya mendasari konseptualisasi milieu dan objek penelitian dari sistem komunitas (2011). Selanjutnya, penulis menginisiasi pembentukan komunitas riset dosen yang memfokuskan pada pengembangan teori metapedadidaktik dan didactical design research (DDR) (2009-2011; 2013). Melalui milieu ini dihasilkan perangkat intelektual untuk analisis pengajaran dan pembelajaran seperti konstruksi learning obstacle (kesulitan belajar), learning trajectory (alur belajar), didactical situation (tahapan pengajaran), critical reflection and argumentation, repersonalization, dialog and Socratic questioning serta belief system (Suryadi, 2013). Untuk memapankannya, sejak 2011 dilakukan riset kolaborasi dengan kolega dari Jepang yang mendasari pembentukan milieu penelitian internasional. Riset Dasar
Riset Terapan
Riset Eksperimen
Pengembangan Prototip
Riset Scaling-up
Alih Teknologi-Standarisasi Inovasi Kebijakan Tata Kelola Pendidik.
Pengembangan Kerangka Teoretis-Metodologis
Pengembangan Prototip & Ujicoba Terbatas
Implementasi Model Berskala Luas (LPDP RISPRO)
Pengajuan HAKI
Gambar 1. Rekam jejak riset
Untuk menguji kelayakannya maka dilakukan implementasi terbatas dalam konteks penelitian calon guru matematika dan pengembangan guru sekolah dasar mitra. Penulis mengembangkan model sistem komunitas bimbingan skripsi dan tesis mahasiswa (2011) yang dilanjutan dengan inisiasi kemitraan riset dengan SD GagasCeria Bandung (2012) untuk mengembangkan proses berpikir dan sistem keyakinan guru matematika. Milieu yang terbentuk di SD GagasCeria menstimulasi difusi inovasi sehingga apa yang berkembang di tim guru matematika menyebar ke kelompok guru lainnya. Di tahapan ini, tim peneliti berhasil menemukan strategi pembentukan milieu, analisis situasi riset dan penerapan DDR sebagai perangkat intelektual. Lebih dari itu, sistem komunitas tersebut bersifat produktif imana telah dihasilkan beberapa artikel yang disajikan di berbagai forum nasional dan internasional. Saat ini beberapa tulisan mahasiswa dan guru SD GagasCeria sedang dalam proses reviu untuk publikasi monograf dan buku antologi. Capaian awal tersebut mendorong penulis bersama tim dari UPI dan SD GagasCeria menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Bandung (Februari 2014). Perluasan terhadap 21 SD negeri mendasari prototip jalinan milieu antar sekolah. Pengalaman ujicoba terbatas memberikan gambaran strategi implementasi sistem komunitas berbasis riset yang diperankan oleh pusat-pusat milieu baru yang menjadi poros kegiatan riset pendidik beserta skema diseminasinya. Lebih dari itu, pengalaman tersebut mendasari kerangka transfer pengetahuan, inovasi kebijakan dan standar tata kelola pendidik secara sistematis berbasis riset. Diseminasi terbatas pengalaman di SD GagasCeria tersebut mendapat apresiasi dari partisipan serta rekognisi dari pimpinan dinas pendidikan dan pimpinan UPI RENCANA PENGEMBANGAN SELANJUTNYA Rencana pengembangan selanjutnya akan dilaksanakan selama tiga tahun ke depan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Bandung. Subyek utama penelitian adalah tim peneliti dari UPI, pimpinan dan guru-guru SD GagasCeria dan Dinas Pendidikan Kota Bandung. Setiap mitra berkontribusi dalam penyediaan daya dukung, misalnya pembiayaan maupun personel, dengan mekanisme berbagi peran dan tanggungjawab. Pengalaman kemitraan yang terjalin selama ini menunjukkan berjalannya mekanisme tersebut sehingga memungkinkan untuk pembentukan sistem komunitas pendidik SD di Kota Bandung sebagai target perluasan. Tim peneliti UPI berperan dalam mengembangkan kerangka penelitian perluasan ini seperti konstruksi teoretis dan metodologis, fasilitasi program dan kontennya, instrumentasi dan analisis data serta mekanisme transfer pengetahuan dan diseminasinya. Selain itu, tim peneliti UPI akan melibatkan mahasiswa S2 maupun S3 yang berperan untuk melakukan penelitian dengan tema spesifik dan mendalam dari penelitian implementatif ini. Dalam pelaksanaannya, tim UPI bersama mitra lainnya, mengembangkan sistem komunitas dan pendekatan berbasis riset.
Sistem komunitas dibangun dengan beberapa pendekatan: 1) memperkuat SD GagasCeria sebagai milieu primer; 2) membentuk empat SD sasaran baru sebagai milieu sekunder; 3) melibatkan banyak SD lainnya untuk membentuk jalinan antar milieu; 4) mengembangkan forum dialog interaktif dan partisipatif untuk sosialisasi, perancangan, serta praktik refleksi kritis; dan 5) mengembangkan mekanisme dan platform untuk komunikasi, publikasi dan transfer pengetahuan. Basis riset dikembangkan dengan beberapa pendekatan: 1) mengembangkan protokol pola interaksi dialogis untuk mendukung praktik refleksi kritis dalam bentuk workshop, diskusi terfokus dan seminar; 2) menerapkan DDR sebagai perangkat intelektual dalam perancangan dan analisis pengajaran dan pembelajaran; 3) mengembangkan kerangka dialog argumentatif sebagai basis penyelidikan pendidik yang humanis; 4) mengembangkan kemampuan akademik partisipan terkait penulisan dan publikasi practical research; 5) mengembangkan tema penelitian spesifik yang akan dikaji secara mendalam; dan 6) mengembangkan model, standar dan penjaminan mutu tata kelola pendidik berskala sistem komunitas berbasis riset. Tim peneliti SD GagasCeria berperan untuk menyediakan daya dukung untuk penguatan sekolahnya sebagai milieu primer yang menjadi poros utama perluasan sistem komunitas dan basis riset di Kota Bandung. Terkait sistem komunitas, SD GagasCeria mengembangkan: 1) tata kelola milieu; 2) forum dialog interaktif dan praktik refleksi kritis diantara guru; 3) platform komunikasi, publikasi dan transfer pengetahuan kepada sekolah lain. Berkenaan dengan basis riset, SD GagasCeria mengembangkan: 1) kepemimpinan, manajemen dan program sekolah; 2) panduan refleksi kritis dan dialog argumentatif diantara guru; 3) rancangan pembelajaran beserta analisisnya dengan menerapkan DDR; 4) tema penelitian spesifik yang akan dikaji secara mendalam oleh para guru; dan 5) model standar dan penjaminan mutu tata kelola pendidik berskala milieu berbasis riset. Dinas Pendidikan Kota Bandung berperan dalam menyediakan daya dukung pembentukan milieu sekunder serta jalinan antar milieu sehingga terbentuk sistem komunitas berbasis riset berskala luas. Pendekatan yang dilakukan Dinas Pendidikan Kota Bandung adalah: 1) mengkoordinasikan keterlibatan banyak SD di Kota Bandung; 2) memetakan dan menentukan empat SD yang akan dijadikan milieu sekunder; 3) mengkoordinasikan pembentukan subsistem komunitas berupa jalinan antara milieu sekunder dengan SD lainnya; 4) mengkoordinasikan pembentukan sistem komunitas berupa jalinan antar milieu; 5) mengkoordinasikan pelaksanaan forum dialog dan praktik refleksi; dan 6) mendukung realisasi platform komunikasi, publikasi dan transfer pengetahuan. Terkait dengan basis riset, Dinas Pendidikan Kota Bandung berperan dalam mengembangkan: 1) manajemen program sistem komunitas berbasis riset; 2) panduan pembentukan dan jalinan antar milieu; 3) rancangan penjaminan mutu dan produktifitias sistem komunitas berbasis riset; dan 4) standar tata kelola pendidik berskala sistem komunitas berbasis riset. Empat SD sasaran dipilih untuk dijadikan sebagai milieu sekunder. Poros baru ini akan bekerjasama dengan milieu primer dalam penguatan dan perluasan sistem komunitas berbasis riset. Pemilihan keempat SD tersebut terutama berdasarkan potensi dan komitmennya. Milieu sekunder ini berperan dalam hal:
1) menyediakan daya dukung untuk dibentuk menjadi milieu sekunder melalui pendampingan tim UPI; 2) bekerjasama dengan milieu primer dan membentuk jalinan antar milieu membentuk sistem komunitas; 3) bekerjasama dengan sekolah lainnya membentuk subsistem komunitas; dan 4) mendukung realisasi platform komunikasi, publikasi dan transfer pengetahuan. Terkait dengan basis riset, milieu sekunder berperan dalam hal: 1) menerapkan panduan refleksi kritis dan dialog argumentatif diantara guru; 3) merancangan pembelajaran beserta analisisnya dengan menerapkan DDR; 4) mengembangkan tema penelitian spesifik yang akan dikaji secara mendalam oleh para guru; dan 5) bersama tim peneliti mengembangkan model tata kelola pendidik berskala subsistem berbasis riset. Sejumlah SD lainnya dilibatkan untuk partisipasi dalam membentuk sistem komunitas. Setiap sekolah berperan dalam: 1) menyediakan daya dukung bagi terciptanya milieu berbasis riset di sekolahnya masing-masing; 2) bekerjasama dengan milieu sekunder untuk membentuk subsiste; 3) terlibat dalam forum dialog dan praktik refleksi berskala sistem komunitas; dan 4) mendukung realisasi platform komunikasi, publikasi dan transfer pengetahuan. Terkait dengan basis riset, setiap SD berperan dalam: 1) menerapkan panduan refleksi kritis dan dialog argumentatif diantara guru; 3) merancangan pembelajaran beserta analisisnya dengan menerapkan DDR; 4) mengembangkan tema penelitian spesifik yang akan dikaji secara mendalam oleh para guru. Berdasarkan konstruksi peran-peran tersebut dikembangkan kerangka umum metodologi penelitian ini (Gambar 2). Skema besar model sistem komunitas berbasis riset mirip seperti konferensi pendidikan atau education fair yang dibangun dari bawah (grassroot movement) dengan dukungan dari pemangku kebijakan secara sistematis dan berkelanjutan. Hal tersebut direalisasikan ke dalam bentuk kegiatan spesifik dan unik yang berhasil dikembangkan prototipnya selama bermitra dengan SD GagasCeria. Prinsip dari kegiaatan tersebut adalah membangun dialog argumentatif dan praktik refleksi kritis. Kegiatan tersebut diantaranya workshop DDR dan berbagai forum/sesi dalam bentuk diskusi terfokus, perancangan, pengamatan dan refleksi pembelajaran, penulisan manuskrip, serta eksibisi praktik dan karya pendidik. Untuk mengkomunikasikan perluasan tersebut secara lebih luas, platform berbasis ICT dikembangkan dalam bentuk website dan social media yang interaktif serta publikasi cetak seperti buku, antologi, artikel, modul dan monograf.
Gambar 2 Kerangka besar metodologi penelitian Skema besar seperti konferensi tersebut merupakan akumulasi dan kulminasi dari berbagai kegiatan yang dilakukan di setial level milieu dan subsistem. Kegiatan besar itu akan dilakukan sekali setiap tahunnya. Adapun kegiatankegiatan spesifik di setiap level tersebut dilaksanakan secara sistematis dan berkelanjutan. Level I dilaksanakan pada milieu primer yang berpusat di SD GagasCeria. Level II diterapkan kepada milieu sekunder atausubsistem dipusatkan di empat SD sasaran. Level III berskala sistem komunitas yang dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi dimana diperankan secara strategis oleh Dinas Pendidikan Kota Bandung. Implementasi di setiap level tersebut dilakukan melalui dua pendekatan utama: workshop dan forum dialog. Di dalam skema tersebut, Workshop DDR menjadi kunci karena berkaitan langsung dengan praktik pengajaran dan pembelajaran. Workshop ini bersifat eksploratif karena di dalamnya tersedia perangkat intelektual untuk analisis pengajaran dan pembelajaran. Perangkat tersebut mencakup pola-pola berpikir kritis dan kreatif serta dialog argumentatif dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan refleksi pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Brosseau, G. (1997). Theory of Didactical Situations in Mathematics. New York: Kluwer Academic Publishers. Darling-Hammond, L. (2006a). Powerful Teacher Education: Lessons from Exemplary Programs. San Francisco: Jossey-Bass. Hardman, D., & Macchi, L. (Eds). (2003). Thinking: Psychological Perspectives on Reasoning, Judgment and Decision Making. Chichester: John Willey & Sons Ltd. Hargreaves, A., & Fullan, M. (2011). Professional Capital. San Francisco: Josssey-Bass. Hendayana, S., Suryadi, D., Karim, M. A., Sukirman., Ariswan., Sutopo., Supriatna, A., Sutiman., Santosa., Imansyah, H., Paidi., Ibrohim., Sriyati, S., Permanasari, A., Hikmat., Nurjanah., and Joharmawan, R. et al. (2007). Lesson Study: Suatu strategi untuk meningkatkan keprofesionalan pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung: UPI Press.
Kansanen, P. (2003). Studying-theRealistic Bridge Between Instruction and Learning. An Attempt to a Conceptual Whole of the Teaching-Studying-Learning Process. Educational Studies, Vol. 29,No. 2/3, 221-232 Suryadi, D. (2009). Metapedadidaktik dalam Pembelajaran Matematika: Suatu Strategi Pengembangan Diri menuju Guru Profesional. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung April 2009. Suryadi, D. (2010). Metapedadidaktik dan Didactical Design Research (DDR): Sintesis hasil pemikiran berdasarkan lesson study. Dalam T. Hidayat, I. Kaniawati, I. Suwarma, A. Setiabudi, and Suhendra (Eds.): Teori, paradigma, prinsip dan pendekatan pembelajaran MIPA dalam konteks Indonesia (pp. 55-75). Bandung: FPMIPA UPI. Suryadi, D. (2012). Membangun Budaya Baru dalam Berpikir Matematika. Bandung: Rizqi Press. Suryadi, D. (2013) Didactical Design Research (DDR) to improve the teaching of mathematics. Far East Journal of Mathematical Education, 10 (1), pp. 91-107. Suryadi, D., Rosjanuardi, R., Itoh, T. (2011). A model of a mathematics research community in the context of Indonesian higher education. Gunma University Journal, 59, pp. 21-34.
DESIGN RESEARCH: EKSPLORASI BUDAYA INDONESIA DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Ratu Ilma Indra Putri Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsri,
[email protected]
Extended abstract Penggunaan konteks yang berupa kehidupan sehari-hari dalam pembelajaran matematika sedang banyak dibicarakan khususnya dalam PISA. PISA adalah salah satu studi international yang hasilnya dijadikan bencmarking international untuk negara-negara peserta Organisation For Economic Cooperation And Development (OECD) dan peserta PISA di luar negara-negara OECD (OECD, 2012). Dilihat dari aspek matematika, PISA bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mengidentifikasi, memahami, dan menggunakan dasar-dasar matematika yang diperlukan siswa dalam menghadapi kehidupan sehari-hari (Putri, 2012). Hasil PISA tahun 2012 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada rangking 64 dari 65 negara, hal ini menunjukkan harus lebih ada perubahan dalam dunia pendidikan matematika. Menurut Pranoto dalam Kompas (2013), yang menyatakan bahwa kecakapan matematika yang diharapkan dunia melalui tes PISA itu berbeda dengan yang diajarkan di sekolah dan yang diujikan dalam ujian nasional, hal ini yang disebabkan oleh sekolah Indonesia terlalu fokus mengajarkan kecakapan yang sudah kedaluwarsa, seperti menghafal dan berhitung ruwet dan melupakan bernalar. Rendahnya nilai PISA di Indonesia sejak tahun 2000 sampai tahun 2012, hal ini menunjukkan perlunya perubahan kurikulum di Indonesia sehingga diharapkan siswa mampu bukan hanya untuk pengetahuan namun juga mampu berpikir kritis dan kreatif dan berkarakter (Kemendikbud, 2013). Untuk mewujudkan hal itu maka diperlukan kemampuan guru untuk mendesain perangkat pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013. Namun kenyataannya terdapat kendala bagi guru dalam mendesain perangkat pembelajaran, sehingga dibutuhkan kerjasama yang baik antara peneliti (dosen), calon guru (mahasiswa FKIP) dengan guru di sekolah. Salah satu pendekatan yang sesuai dengan kurikulum 2013 adalah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Menggunakan konteks, membuat siswa berinteraktifitas, adanya kontribusi siswa dalam pembelajaran merupakan karakteristik PMRI, hal ini sangat sesuai dengan kurikulum. Walapun di kelas siswa telah berdiskusi, namun membuat permasalahan yang membuat siswa untuk berdiskusi masih sulit bagi guru (Gravemeijer, 2010). Menurut Freudenthal (1991), matematika harus dikaitkan dengan kehidupan seharihari. Zulkardi dan Putri (2006) menyatakan untuk memulai pembelajaran harus menggunakan konteks. Gravemeijer (2011), menyatakan cara untuk membuat matematika yang abstrak menjadi konkrit dengan cara menghubungkan apa yang pernah dialami oleh siswa. Hal ini dapat melalui budaya dan seni. Indonesia terkenal dengan budaya dan seninya, namun budaya dan seni tersebut belum dimanfaatkan
1
secara maksimal dalam pembelajaran. Budaya tersebut dapat berupa cerita rakyat, tarian dan kerajinan tradisional. Salah satunya adalah melalui Tari Indang, siswa dapat belajar tentang Simetri (Helsa dan Putri, 2012). Selain itu kerajinan tradisional menganyam dapat digunakan dalam pembelajaran luas (Haris dan Putri, 2011). Menurut Gadanidis dan Hoogland (2002); Lestariningsih et al (2012) menyatakan bahwa cerita dapat menjadi suatu konteks dalam belajar mengajar matematika. Hal ini sesuai dengan penelitian Triyani dan Putri (2012) yang menggunakan cerita legenda “Putri Dayang Merindu” dalam mengajarkan meteri Kelipatan Persekutuan Terkecil. Putri (2012) menggunakan cerita legenda “Malin Kundang” dalam mengajarkan bangun datar. Menurut Norvell (2007); Jaelani et al (2013) menyatakan siswa dapat belajar konsep waktu menggunakan permainan pengukuran waktu. Permainan tradisional Gasing, dapat menjadi titik awal belajar tentang pengukuran waktu (Jaelani et al, 2013). Permainan Bermain Satu Rumah, siswa dapat belajar operasi bilangan (Nasrullah et al, 2011). Selain mendesain lintasan belajar, juga mengembangkan modul (Putri, 2013b), mengembangkan soal seperti soal tipe PISA (Putri, 2013a), serta mendesain lingkungan belajar melalui televisi (Putri, 2015). Oleh karena itu melalui aktivitas menemukan dan konstuktivis, siswa dapat mengembangkan seluruh kemampuan dan berpikirnya. Menurut Gravemeijer dan Cobb (2006), untuk mengembangkan instructional theory dan materi ajar, yang didesain untuk mendukung pembelajaran menggunakan design research. Untuk mendesain materi ajar yang sangat penting adalah mengetahui bagaimana proses pelaksanaan dari lintasan belajar (Learning Trajectory/LT) yang didesain, sehingga harus dikaitkan antara yang didesain dengan teori tertentu yang sesuai dengan topik (Eerde, 2013). Teori yang dimaksudkan bukan secara general, tapi secara spesifik dalam pembelajaran matematika, seperti topik geometri pada materi bangun datar yang diajarkan menggunakan permainan tangram. Oleh karena itu teori khusus ini disebut dengan Local Instructional Theory (LIT). Design research dalam bidang pendidikan matematika yang lazim dilakukan oleh guru, mahasiswa, serta pendidik matematika bertujuan untuk mengembangkan teori pembelajaran yang spesifik pada topik matematika tertentu. Tujuan makalah ini untuk menginformasikan proses penggunaan design research dalam menghasilkan lintasan belajar matematika menggunakan budaya Indonesia dan implemetasinya di kelas. Metode yang digunakan adalah design research dengan tipe validation studies. dalam proses belajar mengajar, dilakukan observasi menggunakan video, wawancara dan catatan lapangan. Melalui cerita Malin Kundang dapat membantu siswa mengerti konsep pengenalan bangun datar dan permainan gasing dalam membantu siswa memahami konsep waktu. Dari hasil penelitian yaitu lintasan belajar menggunakan budaya Indonesia dapat membantu siswa mengerti tentang konsep matematika. Daftar Pustaka Freudenthal, H. (1991). Revisiting mathematics education: China Lectures. Dordrecht, the Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Gadanidis., Hoogland. (2002). Mathematics as Story. Ontario: University of Western Ontario. Gravemeijer, K. (2011). How concrete is concrete. IndoMS. J.M.E., 2 (1).pp.1-14. 2
Graveimeijer, K. (2010). Realistic mathematics education theory as a guideline for problem-centered, interactive mathematics education. In Sembiring, R.K., Hoogland, K., & Dolk M. (2010). A decade of PMRI in Indonesia. Utrecht: APS International. Gravemeijer, K.P.E., & Cobb, P. (2006). Design Research from a learning design perspective. In J. van den Akker, K.P.E. Gravemeijer, S. McKenney & N. Nieveen (Eds.), Educational design research (pp.17-51). London: Routledge. Haris, D., dan Putri, R.I.I. (2009). The role of context in third graders’ learning of area measurement. IndoMS. J.M.E., 2 (1), pp. 55-66. Helsa, Y., dan Putri, R.I.I. (2012). Design research in PMRI: using math traditional dance in learning symmetry for grade four of primary school. Proceeding of joint seminar on mathematics, 11-12 November, Riau, Indonesia. Putri, R.I.I. (2015). Designing learning environment on television. International Journal Social Media Interactive Learning Environment. 3 (1), pp. 71-82. Putri, R.I.I. (2013a). Pengembangan soal tipe PISA siswa sekolah menengah pertama dan implikasinya pada kontes literasi matematika (KLM) 2011. Prosiding pada Seminar Nasional Matematika dan Terapan. 28-29 November. Aceh, Indonesia. Putri, R.I.I. (2013b). Pengembangan modul evaluasi pembelajaran menggunakan teori belajar konstruktivisme. Prosiding pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika. 13-14 November. Yogyakarta, Indonesia. Putri, R.I.I. (2012). Pendisainan hypotetical learning trajectory (HLT) cerita malin kundang pada pembelajaran matematika. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. 10 November. Yogyakarta. Indonesia. Jaelani, A., Putri, R.I.I., Hartono, Y. (2013). Traditional gasing game to support students strategies of measuring time in third grade of primary school. IndoMS. J.M.E., 4 (1), pp. 29-40. Kemendikbud, (2013). Implementasi kurikulum 2013. Jakarta. Kompas, (2013). Skor PISA: Posisi Indonesia nyaris jadi juru kunci. Retrieved Desember 2013, dari web di http:// www.kompas.com. Lestariningsih, Putri, R.I.I., Darmawijoyo, (2012). The legend of kemaro island for supporting students in learning average. IndoMS. J.M.E., 3 (2), pp. 165-174. Nasrullah, Zulkardi, (2011). Using “BSR” as traditional game to support number sense development in children’s strategies of counting. Proceeding of joint seminar on mathematics, 11-12 November, Riau, Indonesia. Norvell, B. (2007). Have We Been To Launch Yet? Helping Young Children Conceptualize Time. Research Brief Coastal Carolina University November 2007. (http://www.coastal.edu/education/research/time.pdf. Retrieved 11 Agustus 2011. OECD. (2012). PISA 2012 Mathematical Framework. Paris : OECD. Triyani, S., Putri, R.I.I., Darmawijoyo, (2012). Ability in understanding least common multiple (LCM) concept using storytelling. IndoMS. J.M.E., 3 (2), pp.151-164. Zulkardi dan Putri, R.I.I. (2006). Mendesain sendiri soal kontektual matematika. Prosiding KNM XIII. Juli. Semarang. Indonesia.
3
PERANAN PENDIDIKAN MATEMATIKA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015
BUDI NURANI R. –HANS STEFAN SILLER* DOSEN PRODI MATEMATIKA FMIPA UNPAD PRESIDEN INDOMS 2012-2016
[email protected]
*) Didaktik der Mathematik Universität Koblenz-Landau FB Mathematik/Naturwissenschaften Mathematisches Institut Leiter des Zentrums für Lehrerbildung
[email protected] KONFERENSI NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA VI GORONTALO, 11 AGUSTUS 2015
TOPIK BAHASAN KNPM VI 2015
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 (MEA2015)
HIMPUNAN PROFESI I NDOMS PENDIDIKAN TINGGI , PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH PERANAN INDOMS DALAM MENGHADAPI MEA2015
1
TUJUAN KNPM VI 2015 Konferensi Nasional Pendidikan Matematika (KNPM) ke 6 di
Universitas Negeri Gorontalo (UNG) diniatkan untuk dapat memberikan sumbangsih pemikiran meneguhkan harapan tumbuhnya kultur akademik dan menggaungkan revolusi mental melalui matematika dan pendidikan matematika. Harapan ini senantiasa harus diikhtiarkan secara bertahap dan
kontinu. Seminar, diskusi ilmiah, diseminasi hasil-hasil penelitian dan sharing pengetahuan terkini dibidang matematika serta best practice dalam pembelajaran matematika pada kegiatan KNPM 6 ini diharapkan menjadi wahana instrumental dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045 dan generasi Indonesia yang berkarakter.
MEA2015 (ASEAN ECONOMIC COMMUNITY)
2
MEA2015 Sejak tahun 2008, ASEAN telah menjadi organisasi regional
yang membentuk legal personality dengan motonya yang terkenal: "One vision, one identity, one caring and sharing." Masyarakat Ekonomi ASEAN (popular dengan sebutan MEA) sebagai pasar tunggal (single market) yang akan segera berlaku Desember 2015 Beberapa prinsip yang ingin dicapai dalam MEA 2015, antara lain, adalah aliran barang dan jasa secara bebas, investasi, serta tenaga kerja profesional dan terdidik (free flow of professional and skilled labors). Semua ini tentu berkaitan secara langsung maupun tak langsung dengan dunia pendidikan tinggi.
Peluang bagi Indonesia Sumberdaya alam yang beragam 2. Jumlah penduduk yang produktif 2010 sd 2025 (bonus demografi) 3. Peluang mendapatkan pendidikan tinggi yang semakin membaik 4. Pemahaman pendidikan tinggi pendidikan untuk orang dewasa 5. Pemahaman perguruan tinggi sebagai lembaga Tridharma (Diklitabmas), modal untuk pengembangan dan penerapan iptek 6. Masyarakat pengguna teknologi komunikasi 7. Mutual Recognition Agreement dengan berbagai pihak 8. Masyarakat yang melek teknologi informasi 9. Percepatan peningkatan nilai tambah dengan sentuhan teknologi 10. Terbukanya akses ke dunia internasional 1.
3
Tantangan global 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kecepatan perkembangan iptek Perkembangan arus informasi yang tak mengenal ruang dan waktu Kebutuhan layanan yang professional (cepat, tepat) Perkembangan bisnis yang berorientasi pada “networking” Mobilitas orang dan ilmu pengetahuan Fleksibilitas dalam bertransaksi Kembalinya kehidupan pada bahan yang alami Adanya kecenderungan pada keseragaman kebutuhan (pangan, air, energi)
2008-2009 • Harmonisasi regulasi • Perbaikan sistem dan penguatan institusi
2010-2011
2012-2013
2014-2015
• Persiapan dan • Pelaksanaan pelaksanaan MRA untuk MRA okupasi yang sudah disepakati
• Perluasan, penyiapan dan pelaksanaan untuk bidang profesi lain
BIDANG PROFESI 1
ENGINEERS
5
MEDICAL DOCTOR
2
ARCHITECT
6
DENTIST
3
ACCOUNTANT
7
NURSES
4
LAND SURVEYORS
8
LABORS IN TOURISM
4
Tenaga Kerja Asing di Indonesia Tahun 2014
PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA
5
SISTEM PENDIDIKAN di INDONESIA
PENDI DIKAN NON FORM AL
PENDIDIKAN FORMAL PAU D
PENDIDIK AN INFORMAL
Pemb angu nan karak ter
PENDIDI KAN DASAR Pemban gunan karakter dan PEMBELA JARAN
PENDIDI KAN MENEN GAH Pemban gunan karakter dan PEMBELAJA RAN
PENDIDIKAN TINGGI Pembangunan karakter, PEMBELAJARAN ,PENELITIAN dan PENGABDIAN pada MASYARAKAT
Pendidikan sebagai fondasi Kemandirian bangsa Pendidikan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Pendidikan sebagai metode untuk membangun karakter bangsa
Landasan Hukum dalam Menjalankan Pendidikan Tinggi UU Sisdiknas 20/2003
RUU keperawatan
UU Guru dan Dosen 14/2005
UU Dikdok 13/2013
UU keinsinyuran
UU Dikti 12/2012
6
PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA 2014 Jumlah perguruan tinggi di Indonesia adalah 3.485 100 PTN (3%) menampung sekitar 1.541.261
mahasiswa 3.385 PTS 97%) menampung sekitar 2.825.466
mahasiswa.
BEBERAPA KENDALA PT masih kurangnya tenaga dosen masih rendahnya kuantitas dan kulitas penelitian serta
publikasi ilmiaH terbatasnya sarana untuk bidang pendidikan seperti lisensi perangkat lunak yang digunakan dalam proses belajar mengajar maupun riset terbatasnya sarana maupun alat-alat laboratorium pendidikan serta laboratorium peneltian dan lain-lain (APTISI)
7
Data Dosen Tetap Berdasar Jabatan Akademik (2013) GURU BESAR; 4390; 3%
JUMLAH
LEKTOR KEPALA; 25814; 16%
TENAGA PENGAJAR; 62722; 40%
LEKTOR; 35467; 22%
ASISTEN AHLI; 30352; 19%
Peringkat Perguruan Tinggi Indonesia versi QS 2013 No
Peringkat Nama Perguruan Tinggi ke
1
309
Unversitas Indonesia
2
461
Institut Teknologi Bandung
3
501
Universitas Gadjah Mada
4
701+
Universitas Airlangga
5
701+
Institut Pertanian Bogor
6
701+
Universitas Diponegoro
7
701+
Institut Teknologi Sepuluh Nop. Surabaya
8
701+
Universitas Brawijaya
8
Peringkat Perguruan Tinggi Indonesia versi Webometrics 2013 No
Peringkat Nama Perguruan Tinggi ke
1
600
Institut Teknologi Bandung
2
640
Universitas Gadjah Mada
3
653
Universitas Indonesia
4
1084
Universitas Padjadjaran
5
1165
Universitas Gunadarma
6
1254
Universitas Brawijaya
7
1290
Institut Pertanian Bogor
8
1360
UK Petra
9
1404
Universitas Airlangga
10
1455
Universitas Diponegoro
PERINGKAT PERGURUAN TINGGI VERSI 4ICU EDISI JANUARI 2014
9
Tantangan : Hasil Akreditasi Program Studi
PTS Jumlah Prodi: 4944
PTN C' 7% C 16%
Proses 16%
A 21%
B 40%
19
50 PT --SCOPUS
10
24 MATEMATIKAWAN DENGAN PUBLIKASI TERBANYAK TAHUN 2014 1. Edy T. Baskoro (ITB, Bandung, Kombinatorika), 103/169 2. Hendra Gunawan (ITB, Bandung, Analisis), 46/135 3. M. Salman (ITB, Bandung, Kombinatorika), 42/56 4. Kiki A. Sugeng (UI, Depok, Kombinatorika), 32/32 5. Slamin (Unej, Jember, Kombinatorika), 31/150 6. Rinovia Simanjuntak (ITB, Bandung, Kombinatorika), 31/59 7. Edy Soewono (ITB, Bandung, Matematika Terapan), 27/23 8. Hilda Assiyatun (ITB, Bandung, Kombinatorika), 24/17 9. Mawardi Bahri (Unhas, Makassar, Analisis), 23/18 10. Saladin Uttunggadewa (ITB, Bandung, Kombinatorika), 19/2 11. Pudji Astuti (ITB, Bandung, Aljabar), 17/10 12. S.M. Nababan+ (ITB, Bandung, Matematika Terapan), 17/8
13. Sutawanir Darwis (ITB, Bandung, Statistika), 17/0 14. A.A. Gede Ngurah (Unmer, Malang, Kombinatorika), 15/24 15. Andonowati (ITB, Bandung, Matematika Terapan), 15/11 16. Agus Y. Gunawan (ITB, Bandung, Matematika Terapan), 15/1 17. I Wayan Mangku (IPB, Bogor, Statistika), 14/15 18. Intan Muchtadi-Alamsyah (ITB, Bandung, Aljabar), 14/1 19. I Wayan Sudarsana (Untad, Palu, Kombinatorika), 13/9 20. Leo H. Wiryanto (ITB, Bandung, Matematika Terapan), 13/7 21. Irawati (ITB, Bandung, Aljabar), 12/0 22. Johan M. Tuwankotta (ITB, Bandung, Analisis), 11/6 23. Djoko Suprijanto (ITB, Bandung, Kombinatorika), 10/9 24. Indah E. Wijayanti (UGM, Yogyakarta, Aljabar), 10/7
11
GURU BESAR BIDANG MATEMATIKA BIDANG MATEMATIKA: 89 ORANG BIDANG PENDIDIKAN MATEMATIKA: 43 ORANG
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DI INDONESIA
12
JUMLAH DATA SATUAN PENDIDIKAN (SEKOLAH)
PERANAN GURU (WIDODO, SEMNAS MATEMATIKA UMS, 2015)
Sejak 2007 guru merupakan jabatan profesional yang
mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat penting dalam mencapai visi pendidikan yaitu menciptakan insan Indonesia cerdas dan kompetitif. Pendidik (Guru, Widya Iswara, Dosen) memiliki peran kunci
yang strategis dan penting dalam peningkatan kualitas pendidikan, karena pendidik merupakan salah satu ujung tombak pembinaan generasi penerus.
13
Sejak diakuinya guru sebagai profesi melalui UU No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta diberlakukannya sertifikasi guru mulai tahun 2007, guru harus melakukan tugasnya secara professional. Dalam pasal 11 Permenneg PAN dan RB No. 16/2009, tugas
guru tidak hanya mengajar, membimbing dan menilai, tetapi juga harus melakukan peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB) yang meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Ada empat jenjang jabatan guru yaitu guru pertama, guru muda, guru madya dan guru utama. Permenneg ini diberlakukan mulai tahun 2013.
14
15
Dengan prestasi dan kemampuan serta tantangan yang ada saat ini, siapkah kita menghadapi persaingan di Asia? Jawabannya BELUM SIAP, kecuali:
Membangun budaya kualitas berkelanjutan dengan mengimplementasikan sistem penjaminan mutu internal dan eksternal di pendidikan tinggi serta pendidikan dasar dan menengah 2. Menciptakan suasana akademik di kampus dan persekolahan 3. Mengimplementasikan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia untuk pendidikan tinggi 1.
SURAT MENDIKBUD KEPADA KEPALA DINAS
16
MASALAH SERIUS MENGHADAPI MEA2015 Sampai saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia masih
belum paham tentang adanya MEA2015, apalagi untuk memanfaatkan peluangnya. Sementara itu, di sisi neraca perdagangan Indonesia dengan ASEAN, Indonesia mengalami defisit dengan trend yang makin meningkat. Meskipun berdasarkan indeks daya saing yang dikeluarkan oleh World Economic Forum baru-baru ini, Indonesia mengalami peningkatan dari 50 pada tahun 2012-2013 menjadi peningkatan ke-38 pada tahun 2013-2014, namun posisi Indonesia saat ini masih berada pada satu peringkat persis di bawah Thailand, di peringkat 37.
Selain itu, secara khusus, daya saing tenaga kerja Indonesia saat ini
masih rendah dibandingkan Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Menurut Asian Productivity Organization (APO), dari setiap 1.000 tenaga kerja Indonesia hanya ada sekitar 4,3% yang terampil, sedangkan Filipina 8,3%, Malaysia 32,6% dan Singapura 34,7%. Tantangan internal, yaitu bervariasinya tingkat pembangunan daerah dan kesiapannya dalam menghadapi MEA2015. Hal ini tentunya terkait erat dengan kondisi geografis yang bervariasi dan penyebaran pembangunan yang relatif belum merata. Khusus yang menyangkut perguruan tinggi (PT), kualitas PT kita masih jauh tertinggal, baik dilihat dari pemeringkatan seperti Webometric, QS Star, masih belum ada yang menembus level 100 dunia. Hal ini merefleksikan rendahnya produktivitas dan kualitas penelitian dan publikasi para dosen di Indonesia.
17
USULAN KEGIATAN Meningkatkan kualitas dan cakupan pendidikan tinggi di
perguruan tinggi, pendidikan dasar dan menengah dipersekolahan agar dapat memberikan saran kebijakan dan masukan/rekomendasi kepada pemerintah dan swasta tentang langkah dan peluang yang dapat diraih oleh Indonesia di pasar ASEAN; atau tentang strategi negara ASEAN lain yang harus dicermatii oleh Indonesia. Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang MEA2015,
yang dapat diselipkan dalam program pengabdian masyarakat
Memperkuat kapasitas kelembagaan perguruan tinggi dan
persekolahan menghadapi MEA2015, bukan saja pada aturanaturan yang ada, namun pada organisasi secara keseluruhan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah sejak lama memberikan dorongan pada upaya penguatan itu, yang diintroduksi lewat berbagai aktivitas untuk mengarahkan padaTatakelola (Tata Pamong) Perguruan Tinggi dan persekolahan yang baik. Melakukan penjaminan mutu dan akreditasi sesuai standar nasional dan internasional. Dalam mengembangkan kurikulum, selain memasukkan pendidikan soft skill dan entrepreneurship, serta sertifikasi, juga orientasi kepada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Kerangka Kualifikasi Regional (KKR) merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, sosialisasi, khususnya tentang KKNI harus lebih ditingkatkan.
18
USULAN KEGIATAN Kerjasama-kerjasama baik dengan sesama perguruan tinggi
dalam negeri maupun dengan perguruan tinggi luar negeri, khususnya perguruan tinggi ASEAN sangat perlu dalam rangka meningkatkan kapasitas perguruan tinggi Indonesia baik melalui proyek-proyek penelitian bersama. Joint seminar, menghadirkan dan menjadi dosen tamu internasional, pertukaran mahasiswa, mutual recognition arrangemment (MRA) dan sebagainya. Peningkatan berbagai pelatihan untuk para guru agar dapat
menjalankan profesinya dengan lebih baik
DAFTAR PUSTAKA [1] Widodo and Ruchjana, B.N., Mathematics in Indonesia: Challenges and Opportunities, 2013 [2] Laporan pertanggungjawaban IndoMS 2012-2014 [3] http://www.jims-a.org [4] http://www.jims-b.org [5] http://www.ams.org/ mathscinet/msc/ [6] http://personal.fmipa.itb.ac.id/hgunawan/files/2012 [7] http://seams2011.fmipa.ugm.ac.id/index.htm [8] http://www.ewm-association.org/ [9] http://www.kms.or.kr/amc2013/ [10]http://www.iicma-2013.org
19
[11]http://www.icm.2014.org [12] http://www.icwm.2014.org [13] http://www.knm17.its.ac.id [14] http://www.indoms.org [15] http://www.Pikiran Rakyat.com [16] KuliahUmum Menristekdikti, Unej, 17 Januari 2015 [17] Semnas Perguruan Tinggi dalam Menghadapi MEA 2015 [18] Perpustakaan Bappenas.go.id [19] Kadarsah, Program Kerja Calon rektor ITB 2014 [20] http://hgunawan82.wordpress.Com/2014 [21] http://www.indoms.org. [22] http://www.kemdikbud.go.id/ [13] Widodo, Paparan Semnas Matematika, UMS, Solo, Maret 2015 [14] Budi Nurani, Paparan Semnas UMS, Solo, Maret 2015
Kebersamaan matematika (Atje S. Abdullah, 2012)
Andaikan aku integral, maka engkau diferensial Seandainya aku bilangan riil, maka engkau bilangan imajiner Aku dan engkau saling berkomplemen laksana himpunan semesta Berjuang konvergen ke titik tak hingga
20
06/09/2016
MODEL BASED DEVELOPMENT OF CONTEXTUAL LEARNING MATH FOR IMPROVED COMMUNICATION AND CREATIVITY OF MATH ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS By. Sarson Pomalato
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
BACKGROUND In mathematic instruction, students are necessary 1. to master logical thinking as main basic for thinking, 2. The process of instruction to dig up the potentiality of the students to think which being accumulated as a skill of thinking in mathematics, such as critical thinking, high level of thinking, and developing their communicative ability in mathematics. 3. To make the students more creative and having capability on doing a competitive communication for building their future. 4. The affective method used is REACT+ Plus DI Approach.
1
06/09/2016
THE ELABORATION OF REACT
R stands from Relating; that’s mean learning should be related from the real life; E stands from Experiencing means learning should be study in detail;
A stands from Applying, it should utilized knowledge useful context; C stands from Cooperating means learning through context of interpersonal communication, sharing knowledge, T stands from Transferring means learning thorough utilizing knowledge through new context and situation.
PLUS.
D stands from Discovery means learning strategy should be created a condition of finding something; I stands from Invention means in learning it should be any innovation achievement;
PROBLEMS STATEMENT 1. How is the instructional model based on contextual in improving the elementary students’ competence and the creative competence? 2. How is the model assessment model and instrument for measuring the communicative competence and creative mathematics? 3. How is the model of mathematic instructional material which based on contextual for improving the elementary students’ communicative competence and creative competence?
2
06/09/2016
THE AIMS OF RESEARCH 1. To observe he effectiveness of applying model which being developed towards the students’ communicative competence and creative mathematics viewed from the various students’ competence. 2. To Observe the effectiveness of applying model which being developed towards the students’ communicative competence and creative mathematic elementary schools viewed from the variation of the quality of schools. 3. To observe the possible interaction the type variation of contextual problems that being improved by the level of critical thinking competence and creativity. 4. To observe the possible interaction between the variation of schools quality and the improvement of communicative competence in mathematics and creative mathematics
RESEARCH METHODOLOGY This research is developmental research that its coverage consists of instructional material, the instructional models, the assessment model for improving the elementary students’ communicative competence and creative competence. Totally this research is carried out in two phases; each phase was carried out one year. The methodology of this research used is set up based on the series of developmental research, which being done by starting from the though experiments and instructional experiment to the final experiment for validating the model being developed.
3
06/09/2016
THE RESULT OF RESEARCH
1. The existing instructional material needs the varieties of material. That’s meant the approach used should be adjusted by the existing material. 2. Identifying the students’ Competence. 3.The instructional materials are constructed through identifying the students’ competence first. Then, adjusting the instructional material and the level students’ competence; especially in the students’ work sheets. It is easy to make the students having opinion, however they don’t face a high sophisticated that so they are not satisfy toward the materials given to them. On the contrary, the difficult worksheets will make the students give up. That’s way generally to create the students interested in, it is necessary to innovate the worksheets, some of parts are easy and the other parts are difficult.\ 4.The Depth and the Width of Instructional Material 5. In constructing instructional materials should be begun by relating the concrete things which being found in the environment around the students. That will motivate the students to think and learn. Constructing worksheets will help the students to be fluent in learning materials.
CONCLUSION 1. The contextual instructional model is affectively improving the students’ communicative mathematic competence and the students’ creativity by applying contextual instructional material design. 2. In building up the assessment model, it is considered the communicative competence aspect and mathematic creativity. 3. The contextual instructional model is mostly affective to increase the students’ communicative competence and creativity in instructional mathematics. 4. This model might cause the interaction between the variant of contextual problems type which is being developed and the level of the students’ critical thinking ability, and their creativity.
4
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGAJARAN EKONOMETRIKA DAN ANALISIS RUNTUN WAKTU DENGAN PAKET PERANGKAT LUNAK RcmdrPlugins.SPSS 1
1
Dedi Rosadi, 2Khabib Mustofa
Grup Riset Statistika dan Komputasi , Jurusan Matematika, FMIPA UGM, Indonesia, e-mail:
[email protected] 2
Jurusan Ilmu Komputer, FMIPA UGM, Indonesia, e-mail:
[email protected]
Extended abstract R (R Development Core Team, 2015) merupakan salah satu software open source yang terpopuler dan telah menjadi “lingua franca” atau bahasa “standar” untuk keperluan komputasi statistika saat ini. Dalam tulisan ini, akan dikenalkan dan dibahas penggunaan paket R-GUI yang disebut RcmdrPlugin.SPSS, khususnya submenu Forecasting (Rosadi dan Mustofa, 2015) untuk keperuan pengajaran beberapa mata kuliah yang diberikan pada program studi Statistika FMIPA UGM, seperti mata kuliah analisa regresi, analisa runtun waktu, ekonometrika, metode statistika, analisa data keuangan dan analisa data panel. Versi awal dari RcmdrPlugin.SPSS submenu Forecasting tersedia sebagai paket R-GUI yang dinamakan RcmdrPluginEconometrics (Rosadi, 2010) dan dimana pembahasan mendetail untuk penggunaan paket ini guna pengajaran statistika diberikan pada Rosadi (2011). Untuk ilustrasi diberikan pengunaan paket RcmdrPlugin.SPSS untuk keperluan analisa penghalusan eksponensial (exponential smoothing). Daftar Pustaka R Development Core Team, 2015, R: A language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria. ISBN 3-900051-00-3. Rosadi, D., 2010, Rplugin.Econometrics: R-GUI for Teaching Time Series Analysis”. in Proceedings of COMPSTAT 2010, 19th International Conference on Computational Statistics, Paris-France, 22-27 Agustus 2010. ISBN 978-3-7908-2603-6 Rosadi, D., 2011, Analisa Ekonometrika dan Runtun Waktu dengan R, Andi Offset, Yogyakarta Rosadi, D. dan Mustofa, K., 2015, Statistics Goes Open Source (SGOS): Pengembangan Software R-GUI untuk Edukasi Ilmu Statistika berbasis Free Open Source Software (FOSS) dan Aplikasinya dalam pemodelan dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak dan Gas terhadap Ekonomi masyarakat Yogyakarta, Laporan penelitian PUPT UGM, LPPM
UGM, Yogyakarta
1
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGGUNAAN MASALAH PESISIR UNTUK MELATIH KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIK SISWA SMP Kadir1, Fahinu2, La Masi3 1
Jurusan Pendidikan Matematika FKIP UHO Kendari,
[email protected] 2 Jurusan Pendidikan Matematika FKIP UHO Kendari,
[email protected] 3 Jurusan Pendidikan Matematika FKIP UHO Kendari,
[email protected]
Extended abstract Rendahnya kemampuan berpikir matematik siswa masih merupakan masalah di sekolah. Penyebabnya adalah penggunaan konteks pembelajaran yang tidak sesuai dengan keseharian siswa. Artikel ini mengkaji tentang pengaruh penggunaan konteks pesisir untuk melatih kemampuan berpikir matematik siswa SMP. Penelitian dilaksanakan pada lima SMP pesisir yang mewakili dua kabupaten/kota di pesisir Sulawesi Tenggara. Kelima SMP pesisir tersebut dipilih secara acak. Jumlah sampel yang diteliti adalah sebanyak 159 siswa kelas VIII SMP. Data diambil dengan menggunakan tes kemampuan pemecahan masalah matematik berbentuk uraian. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kemampuan berpikir matematik siswa pesisir masih rendah. Rendahnya kemampuan berpikir matematik siswa disebabkan oleh rendahnya pemahaman siswa terhadap masalah matematik dan rendahnya pengetahuan dasar matematik siswa. Penggunaan masalah potensi pesisir sebagai konteks dalam pembelajaran matematika mampu meningkatkan aktivitas belajar, menantang proses berpikir, memunculkan cara alternatif pemecahan masalah, kemampuan berkomunikasi matematik, pengetahuan potensi pesisir, dan penanaman kearifan lokal. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Garis pantai Indonesia juga adalah salah satu garis pantai terpanjang di dunia setelah Canada. Sepanjang garis pantai pada setiap pulau-pulau ini tersimpan kekayaan alam pesisir yang berlimpah. Pasir, kepiting, ikan, bakau (mangrove), dan berbagai jenis biota pesisir lainnya merupakan wujud keanekaragaman hayati tersebut. Tetapi, sikap destruktif dan kebutuhan ekonomi masyarakat serta pembangunan wilayah pesisir telah mengubah lingkungan berbagai habitat pesisir tersebut pada kondisi rusak dan sangat memprihatinkan. Kondisi lingkungan pesisir yang rusak ini perlu segera dibenahi sehingga sumber kekayaan pesisir tersebut dapat terwariskan kepada generasi berikut. Upaya melestarikan atau menyelamatkan kekayaan pesisir tidak dapat dilakukan dalam kurun waktu yang singkat. Upaya tersebut membutuhkan waktu yang lama. Pola pikir dan sikap masyarakat pesisir atau yang berkepentingan mesti disiapkan sejak dini. Program UNESCO sejalan dengan pembangunan pendidikan di Indonesia khususnya untuk masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan di pulau-pulau kecil. Program tersebut menegaskan bahwa pembangunan wilayah pesisir untuk kepentingan ekonomi dan pendidikan berkelanjutan harus dimulai sejak siswa SMP. Siswa pada usia SMP membutuhkan pembelajaran yang bermakna. Apalagi pada mata pelajaran matematika. Matematika yang diajarkan dalam bentuk serba simbol dan kurang menyentuh aspek keseharian siswa akan semakin menjauhkan siswa dari matematika.
1
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Penggunaan konteks yang sesuai akan dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti proses pembelajaran matematika. Jika masalah tersebut dibuat secara non routine, maka masalah seperti ini akan menantang proses berpikir siswa.Siswa akan tertarik dan terlatih untuk memecahkan maalah yang disajikan. Jika dilihat dari materi yang disajikan pada buku paket di sekolah, tampak bahwa buku-buku tersebut kurang mengadopsi masalah keseharian masyarakat pesisir atau terkait permasalahan potensi pesisir. Akibatnya siswa kurang tertarik dan kurang tertantang untuk mengikuti pembelajaran matematika. Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa juga menjadi rendah. Siswa tidak mampu berpikir alternatif atau kreatif dalam memecahkan masalah yang disajikan. Aktivitas belajar siswa rendah. Kemampuan berpikir matematik masih merupakan masalah bagi siswa pesisir. Kurangnya pembiasaan guru dalam melatih siswa memecahkan masalah matematika dalam berbagai tingkat kesulitan juga menjadi penyebabnya. Belajar melalui proses berpikir pemecahan masalah matematik memang menjadi proses belajar paling tinggi. Menurut Gagne (1985), “learning tasks for intellectual skills can be organized in a hierarchy according to complexity: stimulus recognition, response generation, procedure following, use of terminology, discriminations, concept formation, rule application, and problem solving”. Oleh karena itulah maka tujuan diberikannya matematika di sekolah adalah melatih siswa mampu memecahkan masalah matematika. Hal ini sejalan dengan NCTM 1989 yang menegaskan bahwa “Problem solving should be the central focus of the mathematics curriculum” (Kirkley 2003:3). Bahkan Kirkley (2003:3) menambahkan bahwa, “Today there is a strong movement in education to incorporate problem solving as a key component of the curriculum”. Melatih kemampuan siswa memecahkan masalah matematik tidak cukup dengan hanya membuat siswa tertarik dengan masalah yang disajikan. Pemahaman siswa terhadap masalah tersebut sehingga dapat dibuat dalam model matematika sangat berperan. Di sini kemampuan berbahasa siswa sangat diperlukan. Ketika model matematika sudah diperoleh, maka siswa juga dituntut mampu menyelesaikannya dengan menggunakan metode atau prosedur matematika. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Sternberg & Ben-Zeev (1996:31) bahwa “a mathematical procedure, such as an arithmetic or algebraic procedure, is needed to solve the problem”. Oleh karena itu, penting sekali memperhatikan kedua faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan berpikir matematika ini.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada lima SMP pesisir Sulawesi Tenggara, tiga SMP di Kota Kendari dan dua SMP di Kabupaten Buton. Pemilihan kelima SMP tersebut dilakukan secara acak. Pada setiap SMP tersebut diambil secara acak satu kelas VIII yang memiliki kemampuan matematika yang setara dari sekumpulan data hasil belajar matematika siswa. Jumlah siswa sampel yang diteliti sebanyak 159 orang siswa. Sebelum diambil data kemampuan berpikir matematiknya, siswa terlebih dahulu diberikan pembelajaran sebanyak delapan kali pertemuan. Proses pembelajaran berbasis masalah pesisir. Setelah proses pembelajaran selesai, siswa diberikan tes kemampuan pemecahan masalah matematik berbentuk uraian. Data hasil tes ini dianalisis secara deskriptif kualitatif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berpikir pemecahan masalah matematik siswa masih rendah. Rata-rata kemampuan berpikir pemecahan masalah matematik siswa sebesar 44.73 dengan deviasi standar sebesar 15,50, nilai minimum 11,25, nilai maksimum 88,75, median 43,75, dan modus 40. Jika dilihat dari aspek kemampuan berpikir pemecahan masalah matematik, tampak
2
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
bahwa siswa masih lemah dalam menuliskan jawaban masalah yang diberikan. Siswa tertarik memecahkan berbagai masalah matematik selama proses pembelajaran. Kondisi ini berpengaruh positif terhadap kemampuan siswa memahami masalah. Pemahaman terhadap masalah tersebut dapat dilihat dari kemampuan siswa menyusun model matematik sebagai representasi lain dari masalah yang diberikan. Siswa juga terlatih dalam melakukan prosedur matematik. Meskipun demikian, hasil pekerjaan siswa menunjukkan bahwa siswa masih lemah dalam menuliskan secara cermat prosedur atau algoritma atau kebenaran konsep yang digunakan dalam memecahkan masalah tesebut. Setelah siswa melakukan proses pemecahann masalah, banyak siswa tidak menuliskan jawaban akhir dari masalah. Hal ini berarti bahwa siswa tidak melakukan pengecekan kembali kesesuaian jawaban yang diperoleh dengan pertanyaan yang diajukan pada soal. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir matematik siswa pesisir masih rendah. Rendahnya kemampuan berpikir matematik siswa disebabkan oleh rendahnya pemahaman siswa terhadap masalah matematik dan rendahnya pengetahuan dasar matematik siswa. Penggunaan masalah potensi pesisir sebagai konteks dalam pembelajaran matematika mampu meningkatkan aktivitas belajar, menantang proses berpikir, memunculkan cara alternatif pemecahan masalah, kemampuan berkomunikasi matematik, pengetahuan potensi pesisir, dan penanaman kearifan lokal. Oleh karena itu disarankan agar pembelajaran matematik di sekolah pesisir lebih melibatkan masalah pesisir sebagai konteks. Penelitian seperti ini dapat dikembangkan melalui penggunaan konteks lain sesuai kondisi potensi geografi lokasi penelitian (geographic specific). DAFTAR PUSTAKA Ang Keng Cheng. 2009. Mathematical Modeling and Real Life Problem Solving dalam Kaur, B., Har, Y.B., & Kapur, M., Mathematical Problem Solving. Year Book 2009. h. 159-184. Singapore: World Scientific Publishing. Brenner, M. E. 1998. Development of Mathematical Communication in Problem Solving Groups by Language Minority Students. Bilingual Research Journal, 22:2, 3, & 4 Spring, Summer, & Fall. Ho Geok Lan. 2007. A Cooperative Learning Program to Enhance Mathematical Problem Solving Performance among Secondary Three Students. The Mathematics Educator, 2007, Vol. 10, No. 1, 59 – 80. Kadir. 2009. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP melalui Penerapan Pembelajaran Kontekstual Pesisir. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, tanggal 5-12-2009, hlm. 428-440, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Kirkley, J. 2003. Principles for Teaching Problem Solving. Technical Paper #4. Indiana University: Plato Learning Inc. Sauian, M. S. 2002. Mathematics education: The relevance of “contextual teaching” in developing countries. Proceedings of the 3rd International MES Conference. Copenhagen: Centre for Research in Learning Mathematics, pp. 1-7. Sternberg, R.J. & Ben-Zeev, T. 1996. The Nature of Mathematical Thinking. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
3
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING DENGAN MEDIA SOFTWARE WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP DAN REPRESENTASI MATEMATIKA PESERTA DIDIK PADA MATERI RUANG DIMENSI TIGA KELAS X1 DI SMA NEGERI 1 LUWUK KABUPATEN BANGGAI Andiny Sapriyanty Ahmad1, Tedy Machmud2 Universitas Negeri Gorontalo
[email protected] [email protected]
Abstrak. Pada materi ruang dimensi tiga, diharapkan kemampuan pemahaman konsep dan representasi matematika peserta didik dapat meningkat. Salah satu media pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan representasi matematika peserta didik dalam materi ruang dimensi tiga adalah media Software Wingeom. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan representasi matematika pada materi ruang dimensi tiga kelas X1 melalui model Penemuan Terbimbing dengan Media Software Wingeom. Jenis penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas X1 SMA Negeri I Luwuk yang berjumlah 32 peserta didik. Penelitian dilaksanakan 2 siklus. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tes kemampuan pemahaman konsep dan tes kemampuan representasi matematika, lembar pengamatan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran melalui model Penemuan Terbimbing dengan Media Software Wingeom dan pengamatan aktivitas peserta didik dalam pembelajaran melalui model Penemuan Terbimbing dengan Media Software Wingeom. Kata Kunci: Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing, Pemahaman Konsep, Representasi Matematika, Software Wingeom.
PENDAHULUAN Matematika disadari sangat penting peranannya. Belajar konsep merupakan hal yang paling mendasar dalam proses belajar matematika, oleh karena itu seorang guru dalam mengajarkan sebuah konsep harus beracuan pada sebuah tujuan yang harus dicapai. Dalam mempelajari matematika, peserta didik diharapkan dapat membangun pemahaman akan konsep-konsep matematika agar peserta didik mampu mengingat konsep-konsep tersebut dalam waktu yang lama. Konsepkonsep
yang
telah
dipahami
itu
mempermudah
peserta
didik
untuk
1
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
memvisualisasikan konsep-konsep tersebut ke dalam berbagai bentuk representasi matematika. Berdasarkan pengalaman penulis saat mengajar di SMA Negeri 1 Luwuk menunjukkan masih banyak peserta didik yang mendapatkan nilai rendah dan belum mampu memahami berbagai konsep matematika serta merepresentasikan konsep matematika dengan baik. Hal ini disebabkan dalam mengikuti pembelajaran peserta didik kurang aktif dalam proses belajar mengajar, kemudian motivasi dalam belajar masih rendah, sehingga mengakibatkan pemahaman konsep matematis dan kemampuan representasi matematika peserta didik masih rendah. Pemahaman konsep diartikan sebagai pemahaman ide-ide abstrak untuk menggolongkan atau mengkategorikan obyek sebagai contoh dan bukan contoh, Nurhayati [3]. Penelitian yang dilakukan oleh Hutagol [2], menyebutkan representasi matematika yang dimunculkan siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan-gagasan atau ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upaya untuk memahami suatu konsep matematika ataupun dalam upayanya mencari solusi dari masalah yang dihadapinya. Model pembelajaran penemuan terbimbing efektif untuk mendorong keterlibatan dan motivasi peserta didik seraya membantu mereka mendapatkan pemahaman mendalam tentang topic-topik yang jelas (Eggen & Kauchak, 2012:177). Model pembelajaran penemuan terbimbing merupakan salah satu alternatif yang diharapkan mampu mengaktifkan anak, menemukan sesuatu yang beda (inovatif), mengembangkan kreativitas, sehingga efektif namun tetap menyenangkan. Suasana belajar yang menyenangkan diindikasikan dapat membuat proses pembelajaran lebih efektif, yaitu peserta didik akan mampu membangun pemahamannya dengan kondisi fisik dan psikis yang tidak tertekan. Salah satu software komputer yang dapat digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika adalah Wingeom. Menurut
Rudhito
(2008: 2) “program Wingeom merupakan salah satu perangkat lunak computer matematika dinamik (dynamic mathematic software) untuk topic geometri”. Dalam pembelajaran matematika, peserta didik akan lebih termotivasi jika apa yang dipelajarinya menarik perhatiannya, relevan dengan kebutuhan peserta didik 2
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
sehingga menyebabkan peserta didik mudah memahami materi yang diajarkan. Penggunaan model pembelajaran yang tepat, dapat menjadikan hasil belajar meningkatkan serta dapat mengembangkan potensi yang tersimpan dalam diri peserta didik. Model pembelajaran penemuan terbimbing yang di kolaborasikan dengan media software wingeom pada materi ruang dimensi tiga diharapkan mampu mengaktifkan peserta didik untuk menemukan sesuatu , mengembangkan kreativitas, sehingga efektif namun tetap menyenangkan karena peserta didik mampu memvisualisasikan konsep-konsep geometri agar lebih mudah dipahami. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Peneliti menggunakan model yang dikemukakan oleh Kemmis dan Mc. Taggart (dalam Arikunto) [1] yang terdiri dari 4 tahapan yakni perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi dalam setiap siklus. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus yang masing-masing siklus terdiri dari 4 kali pertemuan. Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas X1 di SMA Negeri 1 Luwuk Kabupaten Banggai. Dalam teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan lembar observasi untuk mengukur aktivitas kegiatan guru dan aktivitas peserta didik serta tes uraian yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep dan representasi matematika. Dalam instrumen tes kemampuan pemahaman konsep menggunakan indikator: menyatakan ulang sebuah konsep, mengklasifikasi objek menurut sifat tertentu, dan mengaplikasikan konsep ke pemecahan masalah. Untuk instrument tes kemampuan representasi matematika menggunakan indikator: representasi visual yakni membuat gambar pola geometri dan membuat gambar bangun geometri, persamaan atau ekspresi matematika yakni menyelesaikan masalah dengan melibatkan ekspresi matematik, dan kata-kata atau teks tertulis yakni menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Penelitian
3
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Data pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini diperoleh dari dua siklus. Pada bagian berikut ini akan dideskripsikan tentang (1) data hasil observasi kegiatan guru, (2) data hasil observasi kegiatan peserta didik, (3) data hasil tes kemampuan pemahaman konsep matematika peserta didik, dan (4) data hasil tes kemampuan representasi matematika peserta didik kelas X1 SMA Negeri 1 Luwuk Kabupaten Banggai yang dikenai tindakan dengan model pembelajaran penemuan terbimbing dengan media software wingeom. Secara umum, deskripsi data hasil penelitian tersebut dapat disajikan pada tabel 1, 2 dan 3 berikut ini. Tabel 1. Data Hasil Tes Kemampuan Pemahaman Konsep dan Representasi Matematika Peserta Didik
Nilai
Kurang dari 75 Prosentase Capaian (%) 75 ke atas Prosentase Capaian (%)
Tes Kemampuan Pemahaman Konsep Siklus I
Tes Kemampuan Pemahaman Konsep Siklus II
Tes Kemampuan Representasi Matematika Siklus I
Tes Kemampuan Representasi Matematika Siklus II
12
4
10
3
Menurun
37,5*
12,5*
31,25*
9,38*
Menurun
20
28
22
29
Meningkat
62,50*
87,50
68,75*
90,62
Meningkat
Ket
Tabel 2. Data Hasil Observasi Aktivitas Guru No
Aspek Penilaian
Jumlah
Prosentase
Prosentase
Item
Capaian Siklus I
Capaian Siklus II
Ket
1
Pendahuluan
4
68,75*
90,63
Meningkat
2
Kegiatan Inti
11
66,66*
88,55
Meningkat
3
Penutup
3
78,12
90,63
Meningkat
71,08*
90,69
Meningkat
Rata-rata
4
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 3. Data Hasil Observasi Aktivitas Kegiatan Peserta Didik No
Aspek yang dinilai
1
Menjawab salam
2
Menyiapkan diri untuk mengikuti proses
Persentase
Persentase
Capaian Siklus
Capaian Siklus
I
II
Ket
87,50
100,00
Meningkat
75,00
100,00
Meningkat
62,50*
87,50
Meningkat
62,50*
100,00
Meningkat
75,00
75,00
Tetap
50,00*
75,00
Meningkat
pembelajaran 3
Memperhatikan dan memahami penjelasan guru
4
Menjawab pertanyaan
5
Menyusun, memproses, dan menganalisisi data yang ada pada LKS
6
Bertanya kepada guru
7
Mencari kemungkinan- 62,50*
100,00
kemungkinan jawaban 8
Meningkat
Menerima dan mengerjakan soal-soal
62,50*
87,50
Meningkat
50,50*
87,50
Meningkat
75,00
87,50
Meningkat
87,50
87,50
Tetap
latihan 9
Menyusun verbalisasi konjektur
10
Menulis kemungkinankemungkinan jawaban yang dianggap benar
11
Bersama- sama guru membuat rangkuman
5
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dari materi yang baru saja dipelajari Rata-Rata
68,75*
90,90
Meningkat
B. Pembahasan Hasil Penelitian Pembelajaran matematika melalui model penemuan terbimbing dengan media software wingeom di kelas x1 sma negeri 1 luwuk telah dilakukan sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran di rpp dan skenario pembelajaran yaitu: (a) pada kegiatan pendahuluan, pembelajaran diawali dengan masalah pada kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran matematika serta memberikan penjelasan tentang materi yang akan dipelajari; (b) pada kegiatan inti, 1) merumuskan masalah, 2) memeriksa dan membimbing peserta didik menyususn verbalisasi konjektur, 3) menyiapkan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar, 4) konfirmasi, (c) pada kegiatan penutup, guru melakukan refleksi dengan mereview apa yang telah diajarkan serta membimbing peserta didik membuat rangkuman materi yang telah dipelajari. temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang sangat signifikan dari aktivitas kegiatan pembelajaran. Pada siklus i menunjukkan bahwa aktivitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru mulai dari kegiatan pembuka, kegiatan inti dan kegiatan penutup secara umum belum menunjukkan hasil yang optimal dengan persentase 71,08% yang mana hal ini belum memenuhi indicator keberhasilan yang diharapkan. Kondisi tersebut menggambarkan pelaksanaan kegiatan ini cenderung belum berhasil memenuhi indicator keberhasilan yang ditetapkan. hasil pengamatan terhadap aktivitas belajar peserta didik pada siklus i menunjukkan bahwa dalam kegiatan pembelajaran mulai dari kegiatan awal, kegiatan inti sampai dengan kegiatan penutup menunjukkan hasil yang belum optimal. Persentase rata-rata aktivitas belajar peserta didik berada pada klasifikasi belum memenuhi indikator keberhasilan dengan besar capaian yaitu 68,75%. Hal ini merupakan akumulasi dari seluruh item yang menjadi aspek dalam pembelajaran 6
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
yang berada pada kategori belum memenuhi indikator keberhasilan. Dengan demikian aktivitas kegiatan belajar oleh guru dan aktivitas kegiatan oleh peserta didik kedua-duanya belum mencapai indikator keberhasilan yang diinginkan. tes kemampuan pemahaman konsep matematika menunjukkan bahwa jumlah peserta didik yang tidak tuntas dalam belajar sebanyak 12 orang atau 37,50%, sedangkan jumlah peserta didik yang tuntas dalam belajar sebanyak 20 orang atau 62,50%. Jika dibandingkan dengan indicator keberhasilan capaian tersebut belum memenuhi criteria yang ditentukan. Semantara untuk tes kemampuan representasi matematika menunjukkan bahwa jumlah peserta didik yang tidak tuntas dalam belajar sebanyak 10 orang atau 31,25%, sedangkan jumlah peserta didik yang tuntas dalam belajar sebanyak 22 orang atau 68,75%. Jika dibandingkan dengan indicator keberhasilan capaian tersebut belum memenuhi criteria yang ditentukan. pelaksanaan tindakan pada siklus ii terkait observasi kegiatan guru dalam proses belajar mengajar menunjukkan bahwa dari 18 item yang menjadi tolak ukur pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada kegiatan pendahuluan berada pada kategori sangat baik dan kategori baik. Kegiatan pendahuluan telah memenuhi indicator keberhasilan dengan capaian 90,63%. Pelaksanaan kegiatan inti juga telah mengalami perubahan yang sangat signifikan dengan tingkat capaian 88,55%. Dengan skor perolehan kategori sangat baik, kategori baik dan kategori cukup. Meskipun ada 1 item yang berada dalam kategori cukup namun persentase kegiatan inti telah berhasil memenuhi indicator keberhasilan yang diinginkan. Pada tahap akhir pembelajaran menunjukkan bahwa ada 3 item yang menjadi focus pelaksanaan pembelajaran juga telah mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini ditunjukkan oleh persentase capaiannya sebesar 90,63%. Dari ketiga kegiatan tersebut menunjukkan bahwa capaian rata-rata aktivitas pelaksanaan kegiatan belajar mengajar telah memenuhi indicator keberhasilan dengan persentase 90,69%. SIMPULAN DAN SARAN Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, dapat dilakukan melalui penerapan model pembelajaran penemuan terbimbing dengan media 7
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
software wingeom. Karena berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa setelah melalui proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran penemuan terbimbing software wingeom dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan representasi matematika peserta didik pada materi ruang dimensi tiga, sehingga peserta didik tuntas dalam materi tersebut, untuk kemampuan pemahaman konsep matematika, capaian siklus I adalah 62,50% dan siklus II adalah 87,50% atau terjadi peningkatan 25%. Sedangkan untuk kemampuan representasi matematika capaian siklus I adalah 68,75% dan siklus II mancapai 90,63% atau terjadi peningkatan sebesar 21,88%. Hasil ketuntasan ini diperoleh setelah melakukan beberapa perbaikan dan peningkatan pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran model penemuan terbimbing dengan media software wingeom yang dilakukan secara bertahap pada setiap siklus. Temuan yang diperoleh selama pelaksanaan proses belajar mengajar dan pemberian tindakan, bahwa factor yang turut menentukan keberhasilan penerapan model pembelajaran penemuan terbimbing dengan media software wingeom adalah pendekatan humanistic kepada peserta didik. Artinya dengan melakukan komunikasi dan jalinan hubungan pembelajaran yang harmonis peserta didik akan lebih cenderung berperan aktif dalam pembelajaran. Dari hasil penerapan dua siklus, yang masing-masing terdiri dari empat kali pertemuan. Hasil yang diperoleh adalah setelah pelaksanaan siklus I, diberi evaluasi dan diperoleh hasil bahwa dari 32 orang peserta didik hanya 62,50% yang memperoleh ketuntasan belajar, atau dengan kata lain secara keseluruhan (klasikal), tingkat pemahaman peserta didik terhadap konsep yang diajarkan baru 62,50% untuk kemampuan pemahaman konsep matematika, sedangkan kemampuan representasi matematika mencapai 68,75%. Dengan demikian, pada pelaksanaan siklus II perlu adanya perbaikan-perbaikan. Pada tahap pelaksanaan siklus II, dilakukan perbaikan berdasarkan refleksi terhadap pelaksanaan siklus pertama. Perbaikan dititikberatkan pada proses pelaksanaan tindakan dengan member perhatian lebih kepada hal-hal yang dianggap masih kurang. Sehingga hasil evaluasi siklus II terjadi peningkatan yang signifikan dimana dari 32 orang peserta didik 87,50% untuk kemampuan 8
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pemahaman konsep matematika. Sedangkan untuk kemampuan representasi matematika hasil capaian 90,63% peserta didik memeperoleh ketuntasan. Hal ini menandakan bahwa tingkat pemahaman peserta didik secara keseluruhan terhadap konsep yang dibelajarkan terjadi peningkatan 25%. Sedangkan peserta didik yang belum tuntas pada setiap siklus diberikan remedial, sehingga materi pelajaran pada setiap siklus dapat dilanjutkan. Beberapa saran yang dapat penulis anjurkan antara lain, sebagai suatu penelitian tindakan, informasi dari penelitian ini menarik untuk dikembangkan dan dilakukan penelitian selanjutnya. Dengan demikian akan membantu dalam menemukan cara-cara yang paling efektif untuk mengajarkan materi pelajaran secara bervariasi dan menyenangkan peserta didik, serta berhasil meningkatkan mutu proses dan hasil belajar. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara Eggen & Kauchak. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: PT Indeks. Terjemahan: Satrio Wahono. http://e-journal.stkipsiliwangi.ac.id Diakses pada tanggal 15 Maret 2015 http://portalgaruda.org. diakses pada tanggal 25 Mei 2015 Hutagol, Kartini. 2013. Pembelajaran Kontekstual Untuk Meningkatkan Representasi Matematis Siswa SMP. Jurnal Ilmiah Prodi Matematika. Bandung: STKIP Siliwangi Nurhayati, Siti. 2011. Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika dengan Strategi Pembelajaran Aktif Melalui Alat Peraga dan Permainan Pada Siswa Kelas VII SMP N Sukoharjo. Jurnal Pendidikan . Surakarta:Universitas Muhammadiyah Surakarta. Rudhito, Andy. 2008. Geometri dengan Wingeom. Jurnal Pendidikan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
9
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PROFIL KREATIVITAS PENYELESAIAN MASALAH GEOMETRI SISWA KELAS VIII SMP NEGERI TOMBULU MINAHASA DITINJAU DARI GAYA BELAJAR Ontang Manurung Jurusan Matematika UNIMA,
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil kreativitas penyelesaian masalah geometri siswa SMP kelas VIII SMP Negeri Tombulu Minahasa ditinjau dari gaya belajar. Penilaian kreativitas didasarkan pada penyelesaian masalah geometri yang dibuat subjek meliputi tiga aspek kreativitas yaitu: kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Kefasihan penyelesaian masalah geometri mengacu pada kemampuan siswa memberi banyak penyelesaian yang benar. Fleksibilitas penyelesaian masalah geometri mengacu pada kemampuan siswa memberi penyelesaian masalah geometri dengan cara berbeda yang benar. Kebaruan penyelesaian masalah geometri mengacu pada kemampuan siswa memberi penyelesaian berbeda dari sebelumnya yang benar. Dua penyelesaian berbeda bila konsep matematika atau konteks yang digunakan berbeda atau tidak biasa dibuat siswa pada tingkat pengetahuannya. Penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, pada kelas VIII-1 SMP Negeri Tombulu Minahasa Tahun Ajaran Semester gasal 2014-2015. Subjek siswa dengan gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik. Subjek 3 siswa, 1 siswa dengan gaya belajar visual, 1 siswa dengan gaya belajar auditori, dan 1 siswa dengan gaya belajar kinestetik, penentuan subjek menggunakan tes gaya belajar yang diadaptasi dari Chislett & Chapman. Subjek diberikan soal tes berupa masalah geometri materi kelas VIII SMP dilanjutkan wawancara berbasis tugas, digunakan triangulasi waktu untuk melihat keabsahan data (valid), selanjutnya data valid dianalisis berdasarkan ketiga aspek kreativitas. Hasil penelitian siswa dengan gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik tidak kreatif dalam penyelesaian masalah geometri. Kata Kunci : Kreativitas, Kemampuan Matematika, VAK
PENDAHULUAN Menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan sumber daya yang memiliki keterampilan tinggi dengan melibatkan pemikiran kritis, logis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama yang baik. Munandar (2009) menjelaskan bahwa pendidikan bertanggung jawab untuk memandu serta memupuk bakat tersebut, termasuk dari mereka yang berbakat istimewa atau memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (the gifted and talented). Lebih jauh dikatakan Munandar
10
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
sekarang makin disadari bahwa yang menentukan keberbakatan bukan hanya inteligensi (kecerdasan) melainkan juga kreativitas dan motivasi untuk berprestasi, karena kreativitas atau daya cipta memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi, serta dalam semua bidang usaha manusia lainnya. Kreativitas dalam pembelajaran matematika lebih banyak dihubungkan dengan kemampuan siswa dalam penyelesaian masalah matematika yang diberikan oleh guru, kemampuan penyelesaian masalah merupakan bagian penting bagi siswa yang harus dikembangkan melalui pembelajaran. Pemecahan/penyelesaian masalah matematika di banyak negara termasuk Indonesia secara eksplisit menjadi tujuan pembelajaran matematika. Pehkonen (1997) membagi 4 kategori, alasan mengajarkan pemecahan/penyelesaian masalah dalam pembelajaran matematika yaitu: (1) penyelesaian masalah mengembangkan keterampilan kognitif secara umum, (2) penyelesaian masalah mendorong kreativitas, (3) penyelesaian masalah merupakan bagian dari proses aplikasi matematika, dan (4) penyelesaian masalah memotivasi siswa untuk belajar matematika. Hasil penyelesaian masalah geometri siswa SMP dapat dilelompokkan tinggi, sedang, dan rendah. Salah satu masalah dalam pembelajaran matematika di SMP adalah rendahnya kemampuan siswa dalam pemecahan/penyelesaian soal terbuka, khususnya soal tidak rutin. Soal terbuka (open ended) adalah soal yang memiliki lebih dari satu jawaban dan cara penyelesaian, sehingga guru memberikan kesempatan siswa mengembangkan kreativitasnya penyelesaian masalah. Penyebab
rendahnya
kemampuan
penyelesaian
masalah
matematika
diantaranya tidak dibahas strategi-strategi yang bervariasi atau yang mendorong keterampilan kreativitas siswa untuk menemukan jawaban dimana hasilnya bisa divergen. Davis (1984) menyebutkan beberapa alasan kreativitas merupakan hal penting dalam belajar matematika : a) matematika terlalu luas dan kompleks untuk dihapalkan, sehingga diperlukan cara-cara kreatif, b) kreativitas dibutuhkan siswa untuk menemukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri, c) kreativitas diperlukan untuk memberikan tanggapan terhadap anak yang memiliki perilaku 11
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
aneh/unik dan pemikiran asli, karena merupakan bagian ciri anak kreatif, d) kreativitas diperlukan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar, e) kreativitas diperlukan guru dalam mengembangkan pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan siswa, dan f) kreativitas diperlukan anak untuk menghubungkan matematika dengan dunia nyata. Sternberg (2008) mendefinisikan kreativitas sebagai proses memproduksi sesuatu yang orisinil dan bernilai. Sesuatu disini bisa memiliki banyak bentuk, bisa berupa sebuah teori, sebuah tarian, sebuah proses atau prosedur, sebuah zat kimia, sebuah cerita, sebuah simfoni atau apapun yang lain.
Setiap individu memiliki
karakteristik yang khas, yang tidak dimiliki oleh individu lain, jadi setiap individu berbeda satu sama lain. Penelitian Swartz dan Perkins (dalam Warli, 2010) menunjukkan bahwa manusia cenderung mengalami empat pola berpikir tidak efektif atau salah yaitu: a) tergesa-gesa, yaitu terlalu cepat membuat keputusan, tanpa mempertimbangkan idea atau alternatif lain, b) acak-acakan, yaitu kecenderungan untuk tidak teratur dalam berpikir, melompat dari satu gagasan ke gagasan yang lain tanpa menganalisis secara mendalam salah satu dari gagasan tersebut, c) tidak fokus, yaitu menjadi kabur atau samar-samar dalam pemikiran serta tidak jelas dalam memberikan pendapat; d) sempit, yaitu kecenderungan berpikir dengan tidak mendalam, sehingga mengabaikan informasi penting lain yang mungkin ada. Mengacu pada hasil penelitian ini, anak yang mempunyai gaya kognitif impulsif mempunyai pola pikir tidak efektif. Treffinger (dalam Munandar,2009) juga mengatakan bahwa pribadi yang kreatif biasanya lebih terorganisir dalam bertindak. Rencana tindakan mereka telah dipikirkan dengan matang lebih dahulu, dengan mempertimbangkan masalah yang mungkin timbul serta implikasinya, dengan adanya profil ini akan diketahui gambaran kreativitas siswa kelas VIII SMP negeri Tombulu Minahasa ditinjau dari perbedaan gaya belajar, yang dapat dijadikan acuan memahami berpikir kreatif siswa pada pembelajaran dan guru bisa mengupayakan strategi pembelajaran yang sesuai dan dapat digunakan untuk meningkatkan kreativitas yang lebih tinggi sebab kreativitas 12
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
merupakan hal penting dalam belajar matematika antara lain karena kreativitas dibutuhkan siswa untuk menemukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dilaksanakan pada siswa kelas VIII-1 SMP Negeri Tombulu Minahasa tahun ajaran gasal 2014-2015. Subjek diambil menggunakan tes gaya belajar adaptasi dari Chislett & Chapman. Diambil minimal 1 siswa dengan gaya belajar visual, 1 siswa dengan gaya belajar auditori, dan 1 siswa dengan gaya belajar kinestetik Kepada subjek diberikan tes tertulis masalah geometri secara bersamaan, dan dilanjutkan wawancara konfirmasi secara perorangan, untuk mengecek keabsahan data dilakukan triangulasi waktu. Data valid dianalisis kreativitas penyelesaian masalah geometri unuk masing-masing subjek, lalu dideskripsikan profil kreativitas penyelesaian masalah geometri untuk masing-masing subjek. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil tes penentuan subjek dan konsultasi dengan guru matematika kelas VIII, didapatkan YKV laki-laki siswa dengan gaya belajar visual, RMRA laki-laki siswa dengan gaya belajar auditori, dan EKK laki-laki siswa dengan gaya belajar kinestetik. Hasil analisis kreativitas penyelesaian masalah geometri untuk masing-masing subjek sebagai berikut : Tabel Keterpenuhan Aspek Kreativitas Siswa dengan gaya belajar Aspek Kreativitas
Visual
Auditori
Kinestetik
Kefasihan
o
o
o
Fleksibilitas
o
o
o
Kebaruan
o
o
o
Keterangan : = Memenuhi dan o = Tidak memenuhi 13
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dari hasil analisis kreativitas penyelesaian masalah geometri untuk masing-masing subjek dibuatkan profil kreativitas penyelesaian masalah geometri untuk masingmasing subjek seperti pada simpulan penelitian. PENUTUP SIMPULAN 1.
Profil kreativitas penyelesaian masalah geometri siswa kelas VIII SMP dengan gaya belajar visual sebagai berikut; a) Kefasihan : siswa
tidak mampu
menggambar bangun datar sebanyak yang dimintakan dengan benar. Sehingga penyelesaian yang dibuat siswa tidak memenuhi kefasihan dalam penyelesaian masalah geometri. b) Fleksibilitas : siswa tidak mampu menemukan atau membuat cara berbeda, bangun datar yang telah dibuatnya. Sehingga penyelesaian yang dibuat siswa tidak memenuhi fleksibilitas dalam penyelesaian masalah geometri. c) Kebaruan : siswa tidak mampu menggambar bangun datar yang konsep atau konteksnya berbeda dengan sebelumnya dan tidak biasa dilakukan untuk tingkat pengetahuan sebayanya dengan benar. Sehingga penyelesaian yang dibuat siswa tidak memenuhi kebaruan dalam penyelesaian masalah geometri.
Dari
keterpenuhan indikator kreativitas di atas, maka disimpulkan bahwa siswa dengan gaya belajar visual tidak kreatif karena tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indicator berpikir kreati dalam penyelesaian masalah geometri. 2.
Profil kreativitas penyelesaian masalah geometri siswa kelas VIII SMP dengan gaya belajar auditori sebagai berikut: a) Kefasihan : siswa
tidak mampu
menggambar bangun datar sebanyak yang diminta dengan benar.
Sehingga
penyelesaian masalah geometri yang dibuat siswa tidak memenuhi kefasihan dalam penyelesaian masalah geometri. b) Fleksibilitas : siswa tidak mampu menemukan atau membuat cara berbeda bangun datar yang sudah dibuatnya. Sehingga penyelesaian masalah geometri yang dibuat siswa tidak memenuhi fleksibilitas. c) Kebaruan : siswa tidak mampu membuat gambar bangun datar yang dapat dikatakan baru untuk tingkat pengetahuan sebayanya.
Sehingga 14
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
penyelesaian masalah geometri yang dibuat siswa tidak memenuhi kebaruan. Dari keterpenuhan indikator kreativitas di atas, maka disimpulkan bahwa siswa dengan gaya belajar auditori tidak kreatif karena tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir kreatif dalam penyelesaian masalah geometri. 3.
Profil kreativitas penyelesaian masalah geometri siswa dengan gaya belajar kinestetik sebagai berikut: a) Kefasihan : siswa tidak mampu menggambar bangun datar sebanyak yang diminta dengan benar. Sehingga penyelesaian masalah geometri yang dibuat siswa tidak memenuhi kefasihan dalam penyelesaian masalah geometri. b) . Fleksibilitas : siswa tidak mampu menemukan atau membuat cara
berbeda bangun datar yang sudah dibuatnya.
Sehingga
penyelesaian masalah geometri yang dibuat siswa tidak memenuhi fleksibilitas. c) Kebaruan : siswa tidak mampu membuat gambar bangun datar yang dapat dikatakan baru untuk tingkat pengetahuan sebayanya. Sehingga penyelesaian masalah geometri yang dibuat siswa
tidak memenuhi kebaruan.
Dari
keterpenuhan indikator kreativitas di atas, maka disimpulkan bahwa siswa dengan gaya belajar kinestetik tidak kreatif karena tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir kreatif dalam penyelesaian masalah geometri. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk lebih meyakinkan dan memantapkan hasil penelitian untuk mengamati kreativitas penyelesaian geometri siswa ditinjau dari gaya belajar dan gender. DAFTAR PUSTAKA Csikszentmihalyi, M. (1997). Creativity. New York: HarperCollins. Davis, Robert B. (1984). Learning Mahtematics The Cognitive Science Approach to Mathematics Education. London & Sydney:Croom Helm. Evans, James R. (1991). Creative Thinking in the Decision and Management Sciences. Cincibnati: South-Western Publishing Co..
15
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kenny, Robert F. (2007) ‘Digital Narrative as a Change Agent to Teach Reading to Media-Centric Student”. International Jurnal of Social Science Volume 2 Number 3 Tahun 2007. Krulik, Stephen, & Jesse A. Rudnick. (1995). “Innovative Task to Improve Critical and Creative Thinking Skills”. Surabaya: Jurnal Pembelajaran Matematika UNESA. Liu, Y., & Ginther, D. (1999, November 1). Cognitive styles and distance education. The Journal of Distance Learning Administration, 2(3), Article 005. Retrieved October 1, 1999, from http://www.westga.edu/~distance/liu23.html Miles dan Huberman. Terjemahan Rohidi. T.R (2009). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press) Moleong, J. Lexy. (2010) Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Munandar. U. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta Nasution, S. 2008. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar & Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara Navarro. Jose. I, Aguilar. M, Alcalde. C. (1999). Relationship of Arithmetic Problem Solving and Reflektif-Impulsif Cognitive Styles in Third-Grade Students. Psychological Report. University of Caddiz, Spain. Pehkonen, Erkki. (1997). ‘The State-of-Art in Mathematical Creativit”y. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volume 29 (June 1997) Number 3 Elctronic Edition ISSN 1615-679X. Download … Rozencwajg, Paulette & Corroyer, Denis. (2005). “Cognitive Processes in the Reflektive-Impulsive Cognitive Style”. The Journal of Genetic Psycholoy, 2005, 166(4), 451-463 Semiawan. C. (1997). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta : PT Grasindo Silver, Edward A. (1997). “Fodtering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing”. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volume 29 (June 1997) Number 3 Elctronic Edition ISSN 1615-679X. Download ……. Siswono, Tatag Y.E., (2007) “Penjenjangan Kemampuan Berpkir Kreatif dan identifikasi tahap berpikir kreatif siswa dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika”. Disertasi Doktor, UNESA Surabaya. Slameto, (2010). Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
16
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Smit. M.K dkk (penerjemah Abdul Q S) . (2009). Teori Pembelajaran dan Pengajaran. Jogjakarta: Mirza Media Pustaka Sobur, A. (2009). Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia. Solso. L.R, Maclin. H.O, Maclin. K.M.(2008). Psikologi Kognitif. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
17
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PROSES ABSTRAKSI PENGETAHUAN OLEH SISWA PADA KONSEP LUAS PERMUKAAN DAN VOLUME BANGUN RUANG Syukma Netti1, Sudirman2, Susi Herawati3 Universitas Bung Hatta,
[email protected] Universitas Negeri Malang,
[email protected] Universitas Bung Hatta,
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini berkaitan dengan mengidentifikasi proses abstraksi siswa dalam mengonstruk pengetahuan tentang konsep luas permukaan dan volume bangun ruang. Secara metodologi, analisis yang digunakan adalah tindakan epistemik yang bernama model RBC. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa dalam proses abstraksi yang dilakukan siswa ketika mengonstruk pengetahuan luas permukaan dan volume pada bangun ruang ketiga tindakan epistemik muncul dengan jumlah dan cara yang berbeda. Kata kunci: Proses Abstraksi, model RBC.
PENDAHULUAN Memahami bagaimana siswa mengonstruk pengetahuan matematika yang bersifat abstrak adalah penting (Dreyfus, 2012), hal ini perlu dipahami dengan baik oleh para pendidik agar dapat membelajarkan siswa dengan cara yang lebih tepat. Setiap konsep matematika yang ada dalam pikiran siswa merupakan hasil dari suatu proses abstraksi (Altun & Kayapinar, 2011). Lebih lanjut Altun & Kayapinar (2011) menyatakan bahwa walaupun hampir semua perolehan matematika terjadi melalui abstraksi, sejumlah pengetahuan dan keterampilan seperti operasi algoritma tidak membutuhkan abstraksi, tetapi diperoleh melalui proses mengingat dan pengulangan. Abstraksi merupakan konsep yang kompleks yang dapat dipandang dari berbagai sudut pandang (Hazzan & Zazkis, 2005; Mitchelmore & White, 1995). Oleh karena itu muncul berbagai kajian di bidang pendidikan tentang pengertian abstraksi, dan tidak ada konsensus tentang pengertian tunggal dari abstraksi (Drayfus, 2002,2012; Gray & Tall, 2001,2007; Gravemenijer, 2001). Namun ada kesepakatan bahwa kemampuan abstraksi merupakan keterampilan yang penting untuk siswa terlibat dalam matematika dengan pemahaman yang baik (Hazzan & 18
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Zazkis, 2005). Maka disini penulis merasa perlu memberikan contoh ilustrasi bagaimana proses abstraksi itu terjadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan terjadinya proses abstraksi yang dilakukan siswa dalam mengonstruk pemahaman tentang luar permukaan dan volume pada kubus dan balok. Davydov (1990) menyatakan bahwa Abstraksi dimulai dari hal-hal sederhana berkembang ke bentuk yang awalnya samar-samar dan terkadang kurang konsisten lalu berkembang melalui analisis, sintesis dan melalui proses diskusi (dialektical) sehingga berakhir dengan sesuatu yang lebih konsisten dan bentuk yang lebih jelas. Lebih lanjut Davydov (1990) menjelaskan bahwa abstraksi bukanlah proses dari konkrit ke abstrak tapi dari hal yang belum berkembang ke hal yang sudah berkembang Definisi abstraksi yang digunakan dalam kajian ini diambil dari pendapat Hershkowitz dkk (2001), yang menyatakan bahwa abstraksi adalah sebagai suatu aktifitas dalam menata ulang pengetahuan matematika sebelumnya secara matematisasi vertikal untuk dapat mengonstruk pengetahuan matematika yang baru bagi siswa. Definsi ini dikembangkan dengan mengadopsi pandangan Dovydov dan mengkombinasikan dengan konsep matematisasi vertikal dari Treffers & Goffree (1985). Makna kata aktifitas pada definisi tersebut mengacu pada apa yang siswa lakukan dalam lingkungan belajar baik individu atau grup belajar dan phrasa “konstruksi matematika baru” mengacu pada berfikir matematis (konsep, korelasi atau generalisasi ) yang terjadi sebagai konsekwensi dari abstraksi. Dan “matematisasi vertikal ” berarti objek matematika yang lebih formal dari semua bentuk formal dan informal yang lainya, bekerja dengan simbol-simbol dan membangun hubungan antar konsep. Dreyfus (2007) menyatakan bahwa abstraksi bukanlah objektif, proses yang universal tapi sangat bergantung kepada kontek termasuk riwayat siswa yang terlibat dalam kegiatan abstraksi dan fasilitas yang tersedia. Fasilitas tersebut diantaranya dapat berupa material objek, alat-alat seperti komputer serta bahan yang bukan berupa objek seperti bahasa dan prosedur. Terjadinya proses abstraksi tidak dapat diamati langsung Hershkowitz dkk (2001), Schwarz dkk, (2009), Dreyfus dkk, (2007, 2012, 2015) sehingga perlu 19
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
didefinisikan tindakan-tindakan siswa yang dapat diamati agar dapat memfasilitasi informasi tentang terjadinya proses abstraksi tersebut. Tindakan yang dapat diamati tersebut disebut tindakan epistemik (Dreyfus 2007). Hershkowitz dkk (2001) mengenalkan tiga tindakan epistemik yang dapat diamati ketika terjadi proses abstraksi
pada
siswa,
yaitu
Recognizing(R),
Building-With(B)
dan
Constructing(C) dan mereka menyebutnya model RBC. Alasan utama mengapa tindakan tersebut didefinisikan berharap dapat menginformasikan proses abstraksi yang terjadi. Tiga tindakan tersebut dapat diamati sehingga memungkinkan kita untuk mengetahui lebih banyak tentang proses abstraksi yang dilakukan siswa (Dreyfus, 2007). Definisi operasional konstruksi memberikan kriteria yang jelas untuk menilai apakah ucapan siswa atau tindakan memberikan bukti bahwa tindakan B telah terjadi, seperti tindakan atau ucapan oleh siswa akan terjadi selama atau segera setelah tindakan C dari siswa dan kadang-kadang hanya pada tahap berikutnya. Ini mungkin tergantung pada bagaimana melibatkan siswa dalam interaksi dengan siswa lain, dengan guru, atau dengan pewawancara di saat-saat kritis. Hal ini, tentu saja, tidak berarti bahwa siswa kurang terlibat dalam interaksi tidak membangun; itu hanya berarti bahwa peneliti mungkin tidak memiliki akses langsung ke konstruksisi siswa (Dreyfus, 2007). Berikut rincian dari masing-masing tindakan yang digunakan untuk mengidentifikasi tahap abstraksi yang dilakukan siswa. a. Recognizing atau tindakan R, yaitu mengenali konstruksisi pengetahuan yang telah diketahui dari kegiatan sebelumnya. Bukti untuk tindakan R adalah ditunjukan dengan jarang muncul perbedaan pendapat sehubungan dengan konstruksisi yang telah dikenali oleh siswa sebagai bukti yang menunjukkan bahwa konstruksisi pengetahuan tersebut dikenali dengan baik. Tindakan R sering, walau tidak selalu, terjadi pada level berfikir empiris (Hershkowitz dkk, 2001). Contoh penyataan siswa yang termasuk tindakan R adalah “jadi semakin lama jumlah zebra akan semakin berkurang sedangkan jumlah singa semakin bertambah bertambah” ketika siswa diminta mengamati dan menelaah grafik dari dua fungsi linier yang berkenaan dengan pertumbuhan jumlah singa dan
20
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
zebra. Hal ini dikatakan tindakan R karena ungkapan tersebut berdasarkan pengetahuan sebelumnya tentang makna gradien. b. Building-with atau tindakan B, tindakan ini mengacu pada memanfaatkan konstruksisi sebelumnya yang telah dikenali oleh siswa yang relevan dengan situasi masalah yang sedang diselesaikan. Tindakan B ditunjukan pada tindakan seperti komputasi, sketsa, membenarkan, penalaran dengan konstruksisi sebelumnya. Tindakan B merupakan tindakan merangkai beberapa pengetahuan sebelumnya
yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapi. Contoh, ketika guru memberikan petunjuk pada siswa untuk melihat bagaimana karakteristik dari sketsa grafik yang disajikan. Siswa dapat juga melakukan
tindakan
B
ketika
mereka
membuat
hipotesis,
siswa
membandingkan data numerik dengan sumber lain dan menemukan petunjuk dari sejumlah sumber. c. Contructing atau tindakan C, yaitu membangun pengetahuan baru bersamaan tindakan B dan tindakan R atau pengetahuan yang telah diakui sebelumnya. Contoh ungakapan siswa yang menggambarkan terjadinya tindakan C seperti potongan percakapan antara guru (G) dan siswa (S) berikut. G : yang atas, bawah, kiri dan bagian kanan semua ada berapa? S : 3, 8, 3 dan 8 G : jadi luas permukaan itu apa? S : jumlah seluruh luas sisi-sisi pada bangun tersebut. Ungkapan siswa yang terakhir merupakan tindakan C, karena munculnya konstruksisi baru
berupa definisi dari luas permukaan dari bangun ruang
yang sedang didiskusikan. Untuk dapat mengidentifikasi masing-masing tindakan,
Dreyfus (2015)
menjelaskan secara teknis cara mengidentifikasi tindakan C yang telah terjadi, yaitu dengan menandai tindakan-tindakan atau ucapan –ucapan yang relevan pada transkrip sebagai akhir dari tindakan C dan mulai bekerja mundur melalui transkrip untuk mengidentifikasi tindakan R dan B yang berkontribusi terhadap tindakan C. Peneliti dapat mengidentifikasi dengan mudah tindakan R atas dasar tindakan atau penjelasan eksplisit dari konstruksisi sebelumnya oleh siswa. Hal dasar yang membedakan antara tindakan C dan tindakan B adalah apakah tugas memerlukan 21
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
B atau C: Jika urutan tindakan dan ucapan-ucapan siswa ketika berhadapan dengan tugas mengungkapkan reorganisasi vertikal dan muncul konstruksisi yang baru bagi siswa, maka tindakan tersebut adalah tindakan C; jika tidak, itu adalah sebuah tindakan B. METODA PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kualitatif, yaitu mendiskripsikan fenomena yang berlangsung dalam proses siswa pada suatu kelas, interaksi siswa dengan guru dan interaksi siswa dengan siswa dalam mengonstruk pengetahuan matematika pada pokok bahasan luas permukaan dan volume kubus dan balok. Fokus masalah dalam penelitian ini terdiri dari konstruksisi pengetahuan siswa yang dianalisis dengan tahap recognizing (R), buildig-with (B) dan Constructing(C) dalam proses mengonstruk pengetahuan mereka. Seperti yang dijelaskan dalam model RBC. Bahan yang digunakan berupa soal diberikan pada siswa sebagai bahan diskusi untuk membangun pemahaman tentang luas permukaan dan Volume. Penelitian dilaksana terhadap siswa kelas VIIIB MTs Surya Buana Malang. Data diambil dengan membuat dokumen audio visual dan hasil kerja siswa dalam menyelesaikan soal yang diberikan dalam aktifitas siswa di kelas. Lalu dianalisis untuk mengidentifaikasi ketiga tahap tindakan epistemik terjadi dengan menggunakan model RBC, dengann cara membuat tanskripsinya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Proses abstraksi yang dilakukan siswa ketika mengonstruk pengetahuan tentang luar permukaan dan volume pada kubus dan balok dideskripsikan berdasarkan tiga tindakan epistemik recognizing, building-with dan Constructing, dengan cara membuat transkripsinya. Siswa disimbolkan dengan S sedangkan G menyimbolkan peneliti sekaligus berperan sebagai guru. Nomor urut percakapan dimulai dengan 50 sampai seterusnya karena memang ada percakapan sebelumnya dan untuk memudahkan laporan berikutnya ditulis terurut. Kegiatan pembelajaran didukumentasikan dengan kamera video lalu ditraskripsikan saat meminta siswa
22
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menghitung luas permukaan dari bangun ruang berikut:
Gambar 1: Bangun ruang yang akan dihitung volume dan luas permukaannya. Berikut transkripsi dari percakapan siswa guru dengan siswa. 50. S : buk mau tanya, masih bingung, kok luas permukaan ke tiga gambar ini punya luas permukaan yang sama. 51. G: lho kok bisa sama, memang yang mau dimaksud luas permukaan atau volume (tidak mungkin luas permukaannya sama) 52. S : Luas permukaan Buk 53. G: berapa luas permukaan dari setiap gambar yang kamu peroleh 54. S :24. 55. G: 24 kamu peroleh dengan cara apa? 56. S: dengan cara menghitung jumlah seluruh kubus satuan yang ada 57. G: oo, dengan cara menghitung seluruh kubus, jadi seluruh model gambar a, b dan c punya luas permukaan sama-sama 24. 58. S: iya 59. G: padahal bentuknya beda-beda semua. nah sekarang coba kita telusuri, apa yang dimaksud dengan luas permukaan 60. S: siswa tidak menjawab Walau kelihatannya soal yang diberikan tidak sulit namun siswa tetap tidak dapat langsung menyelesaikan soal tersebut. Kalaupun ada siswa yang bisa mengerjakan, mereka mengerjakan dengan langsung mencari dan menggunakan rumus yang ada dibuku paket.
23
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Gambar 2: Jawaban siswa yang langsung mengaju pada rumus di buku teks Hal ini terjadi karena pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya bersifat hafalan dan prosedural sehingga mereka tidak memahami makna luas dan tidak mampu menggunakan konsep luas yang telah mereka miliki untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Maka guru mengarahkan siswa untuk bisa menemukan dan mengonstruk konsep luas permukaan. 61. G: Tadi diawal pembelajaran temanmu sudah menunjukan luas permukaan dengan kotak obat nyamuk, 62. S: ya 61. G: Apa kotak tadi mirip dengan bentuk gambar ini? 62. S: ya 63. G: mana yang merupakan permukaan dari bangun pada gambar ini? 64. S:ini, (sambil menunjuk permukaan bagian depan dari bangun ruang). 65. G: betul, itu adalah salah satu permukaan dari bangun ruang, berapa luaspermukaan yang depan itu. 66. S: (siswa itu binggung lagi) 67. G: Coba hitung, ada berapa persegi di bagian depan 68. S: (lalu siswa menghitung) 24. 69. G: Oke terus yang belakang berapa 70. S: 24 71. G: Terus yang atas, bawah, kiri dan bagian kanan semua ada berapa? 72. S : (berturut-turut) 3, 8, 3 dan 8 73. G: Jadi luas permukaan itu apa? S: Jumlah seluruh luas permukaan G: Betul sekali, nah yang kamu peroleh sama-sama 24 tadi apanya S: (bingung) G: Tadi sudah dikatakan bahwa kubus satuan punya volume 1 cm kubik, berarti kalau kamu menghitung seluruh kubus satuan berarti kamu menghitung...? 78. S : volume 79. G: beda ngak menghitung volume dengan menghitung luas permukaan 80. S : beda 74. 75. 76. 77.
24
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
81. G: jadi harusnya antara gambar a, b dan c punya luas permukaan..? 82. S : beda 83. G: sip, ayo lanjutkan dengan soal berikutnya. Setelah interaksi antara kelompok siswa dengan guru membuat siswa jadi menyadari pengetahuan yang telah mereka miliki, terlihat bahwa hal itu membuat siswa menjadi mampu mengonstruk pengetahuan tentang konsep luas permukaan, walau dengan bantuan dan arahan dari guru. Disini berhasil diidentifikasi ketiga tindakan epistemik, yaitu tindakan R(56,66) merupakan tindakan yang menunjukan siswa menyadari pengetahuan mereka dan tindakan B(71,75) menunjukan mereka mampu menggunakan pengetahuan mereka sebelumnya untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah yaitu pengetahuan tentang luas, dengan arahan yang diberikan guru siswa mampu untuk mengonstruk pengetahuan baru muncul yang ditandai dengan tindakan C (77). Berikutnya, dalam menyelesaikan masalah kedua tentang volume kubus, percakapan yang terjadi antara kelompoksiswa yang lain dengan guru adalah sebagai berikut: 101. S: buk, kami kesulitan mengerjakan soal kedua. apa maksud dari soal ini buk? 102. G: baiklah sekarang andaikan kita punya 24 kubus kecil-kecil yangterbuat dari tanah liat atau plestisin sehingga bisa dirubah bentuknya. 103. S: yang ditekan –tekan gitu ya, buk? 104. G: ya, benar, lalu kita buat menjadi bentuk seperti di gambar, kira-kira berapa ukuran rusuknya?
S: Oh, berarti .... (siswa terhenti, terlihat bingung dan juga berfikir) G: ada hubungannya dengan volume tidak? S: Ada. G: Lalu? S: (siswa mereka-reka dan membayangkan) pokoknya supaya jadi kubus gitu? Oh berarti 4. 110. G: Coba dikerjakan 111. S: 4,6,12,16,20,24 (kelihatan siswa bingung) 105. 106. 107. 108. 109.
25
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
112. G: coba digambarkan! 113. S: (Siswa mencoba menggambar susunan beberapa kubus satuan pada rusuk-rusuk kubusberdasarkan angka yang disebutkannya) 114. G: bagaimana dengan bagian dalam kosong atau berisi? Pernah main prastisin? 24 kubus digabungkan menjadi satu,pertama beli kotak sendiri-sendiri, lalu diaduk menjadi satu. 115. S: ya 116. G: ada 24 kubus satuan artinya ? 117. S: Bingung 118. G: 1 Kubus satuan volumenya berapa? 119. S:1 cm3 120. G: semua ada 24 kubus satuan, berapa volumenya? 121. S: 24 122. G: Benar sekali, sekarang lihat Gambar a volumenya 24, gambar b volumenya 24 dan gambar c juga volumenya 24. 123. G: berarti apa hubungannya kubus dengan gambar yang akan kita cari panjang rusuknya? 124. S:Volume dibagi 6 (dijawab secara spontan) 125. G: Volume kubus rumusnya apa? 126. S: (siswa melihat buku cetak, mereka tidak ingat rumus volume kubus yang telah dipelajari ketika SD) lihat gambar dengan rusuk 4 satuan V= 4 x 4 x 4 oh ya, ini rumus volume kubusV= r x r x r 127. G : Berarti apa hubungannya dengan soal tadi? 128. S : Berarti cari rusuk 129. G : ya 130. S : Caranya cari rusuk bagaimana? (lalu bolak-balok buku untuk mencari rumus rusuk, mereka tidak menyadari dengan baik arti pengetahuan mereka tentang rumus volume kubus ) 131. G : Rumus balok tadi bisa di gunakan untuk mencari rusuk? 132. S : Nggak (ragu-ragu) 133. G : Coba tulis rumusnya 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144.
S : V= r x r x r ditulis disini G : r x r x r dapat ditulis dalam bentuk pangkat? S : V = r3 G :Volumenya sudah bisa diketahui belum? S :nggak bisa. G : Tadi kita bahas tentang 24 kubus S : Ya G :Berarti S :Oya iya, 24 = r x r x r G : Betul, bisakan menemukan berapa nilai r? S : insyaallah bisa, buk.(Lalu siswa melanjutkan perhitungannya sehingga mereka menemukan nilai r)
Walau butuh waktu cukup lama dan butuh arahan dariguru, siswa akhirnya 26
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mampu mengonstruk pengetahuan dalam menyelesaikan soal yang diberikan yang ditandai dengan munculnya tindakan C pada ungkapan 142. Tindakan R dan B yang merupakan tindakan yang mendukung terjadinya tindakan C. Percakapan yang menujukan tindakan R yaitu R(119, 121) sedangan tindakan B adalah B(122, 128). Terlihat bahwa proses abstraksi sangat bergantung pada riwayat siswa, Sebagaimana yang juga disampaikan Dreyfus bahwa proses abstraksi juga sangat dipengaruhi oleh riwayat dari siswa itu sendiri yaitu pengetahuan sebelumnya yang dimiliki. Siswa yang tidak terbiasa mengonstruk sendiri pengetahuan mereka mengalami kesulitan untuk melakukan proses abstraksi. Pengetahuan awal siswa yang bersifat prosedural sulit untuk memahami soal yang tidak rutin atau soal yang tidak bersifat algoritmatik. Walaupun ada, namun tidak banyak ucapan siswa yang dapat didentifikasi sebagai tindakan R, B atau tindakan C, hal ini mungkin disebabkan oleh ketidak sesuaian bantuan guru dengan proses konstruksi siswa (Drayfus, 2015) yang telah diuraikan di bagian teori, yang menyatakan bahwa terkadang, tindakan atau ucapan siswa akan terjadi, selama atau segera setelah tindakan mengonstruk dan kadangkadang hanya pada tahap berikutnya. Ini mungkin tergantung pada bagaimana melibatkan siswa dalam interaksi dengan siswa lain, dengan guru, atau dengan pewawancara di saat-saat kritis. Hal ini, tentu saja, tidak berarti bahwa siswa kurang terlibat dalam interaksi tidak membangun; itu hanya berarti bahwa peneliti mungkin tidak memiliki akses langsung ke konstruksi siswa. Peneliti menyadari kekurangan peneliti dalam mengarahkan siswa dalam mengonstruk pengetahuan mereka. Hal ini disebabkan oleh percakapan antara siswa sangat bergantung ke pada respon siswa jadi terkadang peneliti memberikan tanggapan yang tidak sesuai sehingga bisa menjadi hambatan bagi siswa untuk mengonstruk pengetahuan mereka. Hal ini peneliti sadari sebagai kelemahan dari penelitian ini. KESIMPULAN DAN SARAN Pada proses abstraksi siswa, dalam memahami konsep luas permukaan dan volume pada kubus dan balok muncul ketiga tindakan epistemik, namun kemunculannya membutuhkan bantuan dari guru karena faktor riwayat dari siswa 27
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
itu sendiri. Dimana siswa memiliki pengetahuan sebelumnya yang hanya bersifat prosedural dan hafalan. Disini dapat dilihat bahwa kemampuan mengonstruk siswa akan berkembang secara berkelanjutan jika pengetahuan yang mereka peroleh tidak dengan cara hafalan tetapi dengan cara yang lebih bermakna. Sehingga semua siswa betul-betul menyadari semua pengetahuan yang mereka miliki. Siswa tahu menghitung luas bidang dengan menggunakan rumus tapi siswa tidak memahami soal yang meminta mereka menghitung luas bidang yang hanya diberi grid atau kotak-kotak tanpa ukuran. Karena Menyadari pengetahuan sebelumnya (tindakan R) merupakan tahap penting dalam mengonstruk pengetahuan baru. Jelas disini bahwa dalam membangun pengetahuan baru siswa sangat bergantung pada kualitas pengetahuan sebelumnya maka kami sarankan bahwa sangat penting untuk membiasakan siswa mengonstruk pengetahuan mereka sendiri bukan dengan cara diberi tahu oleh guru. DAFTAR PUSTAKA Altun, M & Kayapinar, A.,Y., (2011) High School Students` Abstraction Prosess of the Knowledge of Signum Functions Based on Piecewise Fuctions. Education and Science. Vol 36 No. 162 page 65-83. Davydov, V. V. (1990). Types of generalisation in instruction: Logical and psychological problems in the structuring of school curricula(Soviet studies in mathematics education, Vol. 2;J. Kilpatrick (Ed.), trans: Teller, J.). Reston: National Council of Teachers of Mathematics. (Original work published 1972) Dreyfus, T., (2007). Proses of Abstraction in Context the Nested Epistemic Actions Model. http://medicina.iztacala.unam.mx/medicina/dreyfus.pdf diakses tanggal 3 Pebruari 2014. Dreyfus, T. 2012. Constructing Abstract Mathematical Knowledge in Context. 12th International Congress on Mathematical Education. 8-15 Juli 2012. Seoul. Korea. Dreyfus, T., Hershkowitz, R., & Schwarz, B. B. (2015). The Nested Epistemic Actions Model for Abstraction in Context: Theory as Methodological Tool and Methodological Tool as Theory. Springer Science+Business Media Dordrecht. Gravemeijer, K. (1999). How emergent models may foster the constitution of formal mathematics. Mathematical Thinking and Learning.1 (2), 155-177. Hazzan, O. & Zazkis, R. (2005). Reducing abstraction: the case of school 28
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mathematics. Educational Studies in Mathematics, 58, 101-119. Hershkowitz, R., Schwarz, B. B., & Dreyfus, T. (2001). Abstraction in context: Epistemic actions. Journal for Research in Mathematics Education, 32, 195– 222. Treffers, A., & Goffree, F. (1985). Rational analysis of realistic mathematics education.In L. Streefland (Ed.), Proceedings of the 9th International Conference for the Psychologyof Mathematics Education, Vol. II (pp. 97123). Utrecht, The Netherlands: OW&OC.
29
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS) DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP HIMPUNAN DI SMPN 1 SAWAN BULELENG Made Susilawati1 1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Udayana,
[email protected] Abstrak. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan. Dalam proses pembelajaran matematika keaktifan siswa dalam belajar merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran matematika. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions). Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompokkelompok. Tujuan penelitian ini adalah menerapkan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions) dalam meningkatkan pemahaman konsep himpunan. Penelitian ini dilakukan di SMPN 1 Sawan terletak di desa Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng Bali. Penelitian ini dilakukan di kelas VII dengan menerapkan pembelajaran STAD pada materi himpunan. Analisis yang digunakan untuk mengukur keefektifan metode STAD adalah analisis statistik uji t. Sedangkan penilaian terhadap kelompok menggunakan tabel penghargaan yang ditentukan melalui nilai peningkatan hasil belajar yang besarnya ditentukan berdasarkan selisih nilai kuis terkini dan nilai dasar (awal) masing-masing siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara deskriptif nilai rataan pretes (75.00) yang lebih kecil dari rataan postes (88.71) menjelaskan bahwa kemampuan siswa memahami materi setelah diberikan pembelajaran STAD meningkat. Hasil analisis inferensial dengan melakukan uji t diperoleh nilai P = 0.000 lebih kecil dari taraf nyata 0.05, artinya hipotesis nol ditolak, ini menunjukkan telah terjadi peningkatan yang signifikan dari kemampuan siswa dalam memahami materi himpunan. Kata Kunci: Siswa SMP, Matematika, Pembelajaran kooperatif, STAD.
PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu bidang studi yang mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jam mata pelajaran ini dibandingkan mata pelajaran lain. Selama ini masih banyak guru yang mengajarkan matematika dengan paradigma pembelajaran yang lama, yaitu guru menerangkan konsep dan operasi matematika, memberi contoh mengerjakan soal, serta meminta siswa untuk mengerjakan soal yang sejenis dengan soal yang sudah diterangkan guru. Guru lebih menekankan pembelajaran matematika bukan pada pemahaman siswa terhadap konsep dan operasinya, melainkan pada pelatihan 30
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
simbol-simbol matematika dengan penekanan pada pemberian informasi dan latihan penerapan dalam soal. Guru masih bergantung pada metode ceramah, siswa yang pasif, sedikit tanya jawab, dan siswa mencatat dari papan tulis. Dalam
proses
pembelajaran
matematika
keaktifan
siswa
dalam
belajar merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran matematika. Siswa diharapkan benar-benar aktif dalam belajar matematika, sehingga akan berdampak pada ingatan siswa tentang materi pelajaran yang
diajarkan.
Keterlibatan
siswa
dalam
melakukan
langkah-langkah
pembelajaran dapat mempertajam ingatan tentang materi pelajaran. Suatu konsep akan lebih mudah untuk dipahami dan diingat apabila disajikan melalui langkah dan prosedur yang menarik. Selain kurangnya keaktifan dalam pembelajaran matematika, guru seringkali kurang memperhatikan tingkat pemahaman siswa dalam mengikuti perubahan, langkah, tahap demi tahap dalam penyampaian materi pelajaran. Usaha-usaha guru dalam membelajarkan siswa merupakan bagian yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan. Oleh karena itu pemilihan berbagai metode, strategi, pendekatan serta teknik pembelajaran merupakan suatu hal yang utama. Menurut Eggen dan Kauchak dalam Wardhani (2005), model pembelajaran adalah pedoman berupa program atau petunjuk strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu pembelajaran. Pedoman itu memuat tanggung jawab guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Salah satu tujuan dari penggunaan model pembelajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa selama belajar. Dengan pemilihan metode, strategi, pendekatan serta teknik pembelajaran, diharapkan adanya perubahan dalam mengingat (memorizing) atau menghapal (rote learning) ke arah berpikir
(thinking) dan
pemahaman
(understanding), dari model ceramah ke pendekatan discovery learning atau inquiry learning, dari belajar individual ke kooperatif, serta dari subject centered ke clearer centered atau terkonstruksinya pengetahuan siswa. Penyajian bermacam-macam model pembelajaran dan aplikasinya dalam pengajaran matematika bertujuan agar siswa dan guru memiliki pengetahuan yang 31
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
luas tentang model-model pembelajaran dan memiliki keterampilan untuk menerapkannya. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions). Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah) dan jika memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Nur (2000), semua model
pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan. Struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan pada model pembelajaran kooperatif berbeda dengan struktur tugas, struktur tujuan serta struktur penghargaan model pembelajaran yang lain. Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta pengembangan keterampilan sosial. Pembelajaran kooperatif tipe STAD dikembangkan oleh Slavin dkk. STAD merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Sehingga model pembelajaran ini dapat digunakan oleh guru-guru yang baru memulai menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif. Tujuan penelitian ini adalah menerapkan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions) dalam meningkatkan pemahaman konsep himpunan di SMPN 1 Sawan Buleleng. METODE PENELITIAN Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD, materi pembelajaran dirancang sedemikian rupa untuk pembelajaran secara berkelompok. Dengan menggunakan lembaran kegiatan atau perangkat pembelajaran lain, siswa bekerja bersama-sama (berdiskusi) untuk menuntaskan materi. Mereka saling membantu satu sama lain 32
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
untuk memahami bahan pelajaran, sehingga dipastikan semua anggota telah mempelajari materi tersebut secara tuntas. Pada kegiatan pembelajaran matematika kooperatif tipe STAD ini difokuskan pada pemahaman konsep himpunan dengan mengaitkan pada benda-benda yang ada dalam kehidupan siswa sehari-hari. Kegiatan ini dilakukan di SMPN 1 Sawan, kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng pada siswa-siswa kelas VII. Kegiatan dalam pembelajaran ini dimulai dengan tahapan sebagai berikut: 1.Presentasi kelas, diawali dengan penyampaian materi himpunan oleh guru atau tim pelaksana dari Universitas Udayana. 2. Memberikan tes awal pada siswa secara individual 3. Membagi siswa dalam kelompok-kelompok, dengan anggota masing-masing kelompok bersifat heterogen. 4. Kegiatan kelompok, diawali dengan menyiapkan berbagai benda atau barangbarang yang nantinya akan diperagakan untuk menunjukkan yang mana disebut himpunan dan bukan himpunan. 5. Melaksanakan evaluasi atau tes akhir kepada siswa secara individual 6. Membuat tabel pembentukan dan penghargaan kelompok dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Menentukan nilai dasar (awal) masing-masing siswa. Nilai dasar (awal) dapat berupa nilai tes/kuis awal atau menggunakan nilai ulangan sebelumnya. 2. Menentukan nilai tes akhir atau nilai kuis terkini. 3. Menentukan nilai peningkatan hasil belajar yang besarnya ditentukan berdasarkan selisih nilai kuis terkini dan nilai dasar (awal) masing-masing siswa dengan menggunakan kriteria berikut ini.
33
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kriteria
Nilai peningkatan
Nilai kuis/tes terkini turun lebih dari 10 poin di bawah
5
nilai awal Nilai kuis/tes terkini turun 1 sampai dengan 10 poin di
10
bawah nilai awal Nilai kuis/tes terkini sama dengan nilai awal sampai
20
dengan 10 di atas nilai awal Nilai kuis/tes terkini lebih dari 10 di atas nilai awal
30
Penghargaan kelompok diberikan berdasarkan rata-rata nilai peningkatan yang diperoleh masing-masing kelompok dengan memberikan predikat cukup, baik, sangat baik, dan sempurna. Kriteria untuk status kelompok: Cukup, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok kurang dari 15 atau (Rata-rata nilai peningkatan kelompok < 15). Baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 15 dan 20 atau (15 ≤ Rata-rata nilai peningkatan kelompok < 20) Sangat baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 20 dan 25 atau (20 ≤ Rata-rata nilaipeningkatan kelompok < 25) Sempurna, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok lebih atau sama dengan 25 atau (Rata-rata nilai peningkatan kelompok ≥ 25) (Widyantini, dkk, 2006). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang sudah dicapai dalam pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat mengenai penerapan pembelajaran CTL DI SDN 2 Sawan adalah berupa nilai evaluasi. Nilai evaluasi ini diperoleh dari pretes dan postes, data mengenai nilai evaluasi dan kategorinya adalah sebagai berikut:
34
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 1. Nilai Evaluasi Siswa Kelas VII SMPN 1 Sawan Klp
Nama
Pre
Post
Peningkat
Rata 25.25
Kriteria
1
I Kd Dipa Suwitra
80
95
30
1
Km Agus Kusuma W
70
85
30
Sempurna
1
Pande Pt Mahendra
60
90
30
Sempurna
1
I Md Arya Ditha M
90
95
20
Sempurna
2
I Gd Trisnawan
70
85
30
2
IGA Pt Suantari Pratami
80
95
30
Sempurna
2
Pt Novita Sari
80
100
30
Sempurna
2
Ny Angga Sumpena
75
95
20
Sempurna
3
Kd Rian Andinata
70
90
30
3
Km Tomi Mantri Yasa
40
60
30
Sempurna
3
Gd Putra Yasa
60
80
30
Sempurna
3
I Kd Semara
60
95
30
Sempurna
4
Ni L.P. Citra Dewi
70
90
30
4
Ni Kd Putri Artiwi
75
100
30
Sempurna
4
Km Dian Kusumayanti
70
100
30
Sempurna
4
Gd Budarka
80
85
20
Sempurna
5
Luh Putri Artiwi
70
85
30
5
Kd Ayu Diah Lestari
85
90
20
Sangat Baik
5
Nym Rita Pradnyani
90
90
20
Sangat Baik
5
Km Widiantari
80
90
20
Sangat Baik
6
Kd Bayu Darma M
90
95
20
6
Pt Novi Damayanti
80
85
20
Sangat Baik
6
Kd Restiaevan
70
80
20
Sangat Baik
7
Kt Gesmiantari
70
75
20
7
Ni Luh Suciani
70
80
20
Sangat Baik
7
Kd Citra Nopianingsih
70
75
20
Sangat Baik
7
Luh Ayu Trisna S
90
90
20
Sangat Baik
25.25
30
25.25
20.25
20
20
Sempurna
Sempurna
Sempurna
Sempurna
Sangat Baik
Sangat Baik
Sangat Baik
35
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
8
Km Febri Yuliandari
90
90
20
8
Kd Era Cantika Dewi
80
95
30
Sempurna
8
Md Mutiara Putri U
80
95
30
Sempurna
8
Pt Arundati Dharmapatni
80
95
30
Sempurna
25.25
Sempurna
Tabel 1 menunjukkan ada 8 kelompok dalam kelas VII SMPN 1 Sawan, ada 3 kelompok yang masuk kategori penghargaan sangat baik, ini menunjukan telah terjadi peningkatan rata-rata perolehan nilai post tes dibandingkan dengan pre tes sebesar 20 sampai 25. Sedangkan kelima kelompok lainnya masuk dalam kategori sempurna karena rata-rata peningkatan nilainya lebih dari 25. Suatu pencapaian yang sangat bagus artinya metode pembelajaran STAD dengan system berkelompok telah mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan. Hasil statistika deskriptif dari data nilai evaluasi adalah sebagai berikut: Tabel 2. Descriptive Statistics: Pretes, Postes Variabel
N
Rataan
StDev
Min
Maks
Pretes
31
75.00
10.95
40.00
90.00
Posttes
31
88.71
8.66
60.00
100.00
Difference 31
13.71
9.13
-
-
Hasil yang didapat dari Tabel 1 tercemin pula pada Tabel 2, nilai rataan pretes yang lebih kecil dari postes menjelaskan bahwa kemampuan siswa memahami materi setelah diberikan pembelajaran STAD meningkat. Nilai minimal pretes siswa adalah 40 yang meningkat pada posttes menjadi 60, demikian pula dengan nilai maksimum yang diperoleh siswa meningkat pada saat pretes dibandingkan dengan nilai maksimum pada saat postes. Dilihat dari nilai standar deviasi menunjukkan bahwa nilai standar deviasi pretes lebih besar dari postes, ini berarti nilai pretes siswa lebih beragam dibandingkan nilai posttesnya. Analisis selanjutnya adalah analisis inferensial yaitu analisis yang melibatkan pengujian hipotesis untuk mendapatkan kesimpulan secara sahih (Walpole,1995). Hipotesis yang diajukan dalam pengabdian ini adalah H0: µ2 - µ1 = 0 (Rata-rata pre-tes siswa sama dengan rata-rata post-tes) 36
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
H1: µ2 - µ1 > 0 (Rata-rata post-tes siswa lebih tinggi dari rata-rata pre-tes) Statistik hitung yang digunakan untuk menguji hipotesis di atas adalah statistik uji t yang dirumuskan sebagai berikut:
t Hit
X1 X 2 Sd 1 / n1 1 / n2
Dengan X 1 dan X 2 adalah Rata-rata pre tes dan post tes, Sd = standar deviasi gabungan yang dihitung dengan rumus berikut: Sd
( n1 1) s12 (n2 1) s 22 n1 n 2 2
Ho akan diterima jika nilai thit lebih besar dari nilai t tabel dengan α = 0.05 dan Ho ditolak jika sebaliknya atau jika nilai P yang diperoleh dalam keluaran pake program lebih kecil dari taraf nyata (α) = 0.05 maka Ho ditolak. Dalam analisis uji t ada asumsi yang harus dipenuhi sebelum analisis dilakukan, yaitu asumsi kenormalan data dan kehomogenan ragam. Hasil uji kenormalan data seperti yang terlihat dalam Gambar 1 di bawah ini:
Hasil Uji Kenormalan Nilai Siswa SMPN 1 Sawan Normal 99 Mean StDev N AD P-Value
95 90
13.71 9.126 31 0.716 0.055
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
-10
0
10 20 Perbedaan
30
40
Gambar 1. Hasil Uji Kenormalan Nilai Siswa SMPN 1 Sawan Berdasarkan grafik uji kenormalan di atas terlihat titik-titik data mengikuti garis lurus maka dapat disimpulkan bahwa data menyebar normal. Hal ini 37
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dipertegas dengan hasil uji AD (Anderson Darling) yang mendapatkan nilai P (PValue) = 0.055 yang lebih besar dengan taraf nyata 0.05, ini mengindikasikan bahwa data sudah menyebar normal. Selanjutnya adalah pengujian pada asumsi kehomogenan ragam, disini untuk menentukan apakah ragamnya sudah homogeny atau tidak menggunakan uji Levene’s. Hasil ujinya seperti terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan uji Levene’s didapat nilai P (P-Value) = 0.178 yang lebih besar dengan taraf nyata 0.05, hal ini menunjukkan bahwa ragam data sudah homogeny, artinya siswa yang terlibat dalam pembelajaran STAD ini mempunyai kemampuan yang homogen. Uji Kehomogenan ragam F-Test Test Statistic P-Value
pretes
1.60 0.203
Lev ene's Test Test Statistic P-Value
1.86 0.178
postes
6
8 10 12 14 95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs
16
pretes
postes
40
50
60
70 Data
80
90
100
Gambar 2. Hasil Uji Kehomogenan Ragam Nilai Siswa SMPN 1 Sawan. Kedua asumsi yang mendasari uji t sudah terpenuhi, karenanya uji t sudah dapat dilakukan. Hasil dari uji t didapat T-Value = 5.47 dengan P-Value = 0.000. Dengan membandingkan P-Value = 0.000 dengan taraf nyata 0.05 diperoleh bahwa P-Value = 0.000 lebih kecil dari taraf nyata 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak yang berarti rata-rata nilai evaluasi posttes siswa lebih besar dari rata-rata nilai pretes. Dengan kata lain terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam memahami materi himpunan. Dalam penerapan pembelajaran STAD ini terlihat sekali kalau siswa-siswa antusias belajar matematika. Hal ini dapat dilihat dari semangat para siswa saat menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh tentor, dan berlomba untuk menjawab
38
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
paling pertama. Pembelajaran STAD ini juga mudah untuk diterapkan, hanya diperlukan pembentukan kelompok-kelompok untuk siswa. Siswa yang sudah dikelompokkan tidak lagi merasa takut atau minder ketika mereka belum mengerti materi karena mereka bisa menanyakan pada temannya yang sudah lebih dahulu memahami materi tersebut. Jadi metode pembelajaran STAD ini sangat sesuai diterapkan di kelas untuk meningkatkan pemahaman siswa pada konsep matematika. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil analisis deskriptif diperoleh bahwa rata-rata postes siswa lebih besar dari rata-rata pretes. Dan hasil analisis inferensial dengan melakukan uji t diperoleh nilai P = 0.000 lebih kecil dari taraf nyata 0.05, artinya hipotesis nol yang ditolak, ini menunjukkan telah terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam memahami materi himpunan. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran STAD efektif meningkatkan kemampuan siswa SMPN 1 Sawan Buleleng. 2. Penerapan pembelajaran STAD telah dapat meningkatkan antusiasme dan semangat siswa dalam belajar matematika. Saran Penerapan pembelajaran STAD ini tidak terlalu menyita waktu, sehingga bisa diterapkan oleh guru pengampu mata ajar matematika dalam pembelajarannya sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Nur dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA UNIVERSITY PRESS. Slavin, Robert. E. 1995. Cooperative learning. Theory, Research and Practice, Second Edition. Boston: Allyn and Bacon. Sumardi, Bremaniwati. 2005. Matematika SMP untuk kelas VII. Klaten: Prestasi Agung Pratama. Walpole, R.E.1995. Introduction to Statistics. Terjemahan Bambang Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wardhani, Sri. 2005. Pembelajaran Matematika Kontekstual. Bahan Ajar Diklat di 39
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PPPG Matematika, Yogyakarta: PPPG Matematika. Widyantini, Th., Edy Prayitno dan Puji Iryanti. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kooperatif. Modul Paket Pembinaan Penataran. Departemen Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan Dan Penataran Guru Matematika, Yogyakarta.
40
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DESKRIPSI KESULITAN BELAJAR SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL MATEMATIKA KELAS VII DI SMP NEGERI 2 GORONTALO Franky A. Oroh Prodi Pendidikan Matematika, Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo Jalan Jenderal Sudirman Nomor 6 Kota Gorontalo Telepon (0435) 827213 Fax. (0435) 82721
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesulitan belajar yang dialami siswa kelas VII SMP Negeri 2 Gorontalo dalam memahami materi garis dan sudut yang di ukur melalui indikator kesulitan belajar siswa. Berdasarkan hasil penelitian bahwa ratarata persentasi capaian hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 2 Gorontalo pada materi garis dan sudut menurut indikator kesulitan belajar siswa yaitu pada indikator belajar fakta adalah 60,02% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 39,98%, indikator belajar konsep adalah 59,1% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 40,9%., indikator belajar operasi adalah 50,13% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 49,87% dan indikator belajar prinsip adalah 43,86% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 49,87%. Kesulitan siswa kelas VII SMP Negeri 2 Gorontalo yang di ukur melaui indikator kesulitan belajar siswa sangat beragam dan belum begitu maksimal sehingga perlu metode dan strategi untuk meminimalisir kesulitan yang di alami oleh siswa. Kata Kunci : Kesulitan belajar siswa
PENDAHULUAN Dalam matematika banyak dijumpai rumus-rumus yang digunakan untuk menyelesaikan soal-soal. Siswa menganggap bahwa dengan menghafal rumusrumus tersebut dapat memudahkan mereka dalam menjawab soal-soal. Akan tetapi matematika bukanlah materi yang dihafal, melainkan memerlukan pemahaman dan penalaran yang lebih. Akibatnya ketika diberi evaluasi siswa mengalami kesulitan, walaupun soal yang diberikan hampir sama dengan soal yang telah dipelajari. Sehingga tidak heran jika banyak orang yang menganggap matematika adalah pelajaran yang sulit. Pada umumnya kesulitan merupakan kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam kegiatan untuk mencapai suatu tujuan, sehingga memerlukan usaha yang lebih berat lagi untuk dapat mengatasinya. Kesulitan
41
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Faktor lain yang menyebabkan siswa menemukan kesulitan-kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal matematika yaitu dapat kita lihat pada saat pembelajaran berlangsung, dimana siswa kurang aktif dalam belajar matematika, siswa tidak mau bertanya bila menemui kesulitan, kurangnya perhatian siswa pada saat guru menjelaskan materi pelajaran, dan juga kurangnya pemahaman siswa dalam memahami konsep yang dapat menjadikan Siswa kesulitan mengerjakan soal jika soal yang diberikan guru berbeda dengan contoh soal. Dengan adanya situasi belajar yang seperti ini mengakibatkan dampak yang jelek bagi proses belajar mengajar matematika. KAJIAN TEORI Pengertian Kesulitan Belajar Menurut Abu Ahmadi dan Widodo S (2004), dalam keadaan dimana anak didik/siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut kesulitan belajar. Mukhtar dan Rusmini (2003) mengungkapkan bahwa secara garis besar faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tersebut antara lain kelemahan fisik, mental, dan emosional, kebiasaan dan sikap-sikap yang salah (seperti malas belajar) atau tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan dasar yang diperlukan. Sedangkan faktor eksternal antara lain kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran yang tidak tepat, beban belajar yang terlalu berat, terlalu banyak kegiatan diluar jam sekolah, terlalu sering pindah sekolah dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi siswa dalam menyerap bahan ajar yang disajikan. masing-masing faktor memiliki intensitas pengaruh yang berbeda pada setiap siswa tergantung pada masalah yang dialami masing-masing siswa. Misalkan pada siswa tertentu mungkin metode pembelajaranlah yang menjadi faktor utama penyebab kesulitannya dalam belajar, akan tetapi pada siswa
42
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
lain yang brokenhome misalnya, faktor emosionallah yang paling mempengaruhi kesulitan dalam belajar. Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan oleh faktor inteligensi yang rendah (kelainan mental), akan tetapi juga disebabkan oleh faktorr-faktor non inteligensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Seperti diungkapkan oleh Muhibbin syah (1999) bahwa “ kesulitan belajar tidak hanya menimpa siswa berkemampuan rendah saja tetapi juga dialami oleh siswa yang berkemampuan tinggi. Selain itu, kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata atau normal. Hal tersebut disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai harapan”. Jadi belum tentu anak yang mengalami kesulitan belajar menandakan bahwa anak tersebut mempunyai IQ rendah, terkadang kesulitan belajar hanya disebabkan oleh tidak cukupnya pengetahuan siswa tentang cara-cara belajar. Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa inggris learning disability. Terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar (learning artinya belajar, disability artinya ketidakmampuan) akan tetapi istilah kesulitan belajar digunakan karena dirasakan lebih optimistik. Jadi kesulitan belajar merupakan Hambatan belajar pada anak dalam menerima atau menyerap pelajaran di sekolah yang diberikan oleh guru. Kesulitan-Kesulitan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-Soal Matematika Kesulitan-kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal matematika dapat disebabkan oleh masalah karakteristik Matematika, masalah siswa, ataupun masalah guru. (Mohammad Soleh 1998: 34-35) 1. Karakteristik Matematika Karakteristik Matematika yaitu objeknya abstrak, konsep dan prinsipnya berjenjang, dan prosedur pengerjaannya banyak memanipulasi bentuk-bentuk. Siswa memerlukan waktu dan peragaan dalam menangkap konsep yang abstrak itu. Siswa akan mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep berikutnya, jika konsep yang sebelumnya tidak terbentuk dengan benar.
43
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2. Masalah siswa Setiap siswa mempunyai kecepatan belajar yang berbeda-beda dan gaya belajar yang berbeda pula. Mereka mempunyai kecenderungan untuk membentuk konsep sendiri yang akhirnya membentuk miskonsepsi. Selain itu, mereka juga kurang dalam latihan mengerjakan soal-soal Matematika. 3. Masalah guru Setiap guru mempunyai persepsi sendiri tentang Matematika, hakekat belajar, dan mengajar. Mereka mempunyai gaya mengajar atau metode mengajar sendiri. Selain itu, mereka juga mempunyai keterbatasan pengetahuan dan keterampilan. Menurut Soleh (199:34) karakteristik matematika, yaitu objeknya yang abstrak, konsep dan prinsipnya berjenjang, dan prosedur pengerjaannya banyak memanipulasi bentuk-bentuk ternyata menimbulkan kesulitan dalam belajar matematika. Karakteristik tersebut merupakan bagian dari objek langsung pembelajaran matematika, sehinggga penyebab kesulitan belajar matematika yang dialami siswa dapat diuraikan menurut objek langsung pelajaran matematika sebagai berikut : 1. Kesulitan belajar fakta Fakta merupakan perjanjian atau pemufakatan yang dibuat dalam matematika, misalnya lambang, nama, istilah, serta perjanjian. Kaitannya dengan kesulitan belajar matematika siswa, maka siswa sering mengalami kesulitan disebabkan dari adanya lambang-lambang atau simbol, huruf dan kata (Soleh, 199:35). Contohnya jika dikaitkan dengan materi garis dan sudut adalah siswa kesulitan dalam mendefinisikan arti dari simbol derajat, sudut, menit, dan detik. 2. Kesulitan belajar konsep Konsep merupakan pengertian abstrak yang memungkinkan seseorang menggolong-golongkan objek atau peristiwa (Soleh, 199:8). Contohnya jika dikaitkan dengan materi garis dan sudut adalah siswa kesulitan dalam menangkap konsep dengan benar mengenai materi garis dan balok khususnya mengenai konsep titik, garis, dan sudut.
44
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
3. Kesulitan belajar prinsip Prinsip yaitu pernyataan yang menyatakan berlakunya suatu hubungan antara beberapa konsep. Pernyataan itu dapat menyatakan sifat-sifat suatu konsep, atau hukum-hukum atau teorema atau dalil yang berlaku dalam konsep itu (Soleh, 199:8). Contohnya jika dikaitkan dengan materi garis dan sudut adalah sering sekali siswa mengusai konsep tentang baris dan sudut, namun saat menyelesaikan soal yang bentuknya abstrak siswa akan kesulitan dalam menyelesaikanya. 4. Kesulitan belajar keterampilan/prosedur Keterampilan merupakan prosedur mempercepat pengerjaan, namun tetap didasari logika yang benar (Soleh, 199:8). Contohnya saat siswa dimintakan untuk meyelesaikan soal yang berhubungan dengan perhitungan seperti menentukan 2 putaran sama dengan berapa detik, siswa kebanyakan lupa tentang konsep gradien dan kesulitan dalam melakukan perhitungan. Mengenal dan Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Dalam pelaksanaan tugas pembelajaran, guru tidak hanya berkewajiban menyajikan materi pelajaran dan mengepaluasi pekerjaan siswa, akan tetapi juga bertanggung jawab terhadap pelaksanaan bimbingan belajar. Sebagai pembimbing belajar siswa, guru harus mengadakan pendekatan bukan saja melalui pendekatan instruksional, akan tetapi dibarengi dengan pendekatan yang bersifat pribadi (personal approach) dalam setiap proses belajar mengajar berlangsung. Melalui pendekatan pribadi, guru akan secara langsung mengenal dan memahami siswa secara lebih mendalam sehingga dapat memperoleh hasil belajar yang optimal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap guru adalah sebagai pengajar sekaligus berperan sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar. Aunurrahman (2011:196) mengemukakan bahwa sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar, seorang guru diharapkan mampu : 1. Memberikan informasi yang diperlukan dalam proses belajar. 2. Membantu setiap siswa dalam mengatasi setiap masalah pribadi yang dihadapinya. 3. Mengevaluasi hasil setiap langkah kegiatan yang telah dilakukannya. 45
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
4. Memberikan setiap kesempatan yang memadai agar setiap murid dapat belajar sesuai dengan karakteristik pribadinya. 5. Mengenal dan memahami setiap setiap murid baik secara individual maupun secara kelompok. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Kota Gorontalo. Waktu Penelitian Waktu penelitian ini dilaksanakan pada semester Genap Tahun Ajaran 2015/2016 selama kurang lebih 2 bulan terhitung mulai dari Bulan Maret 2015 sampai Mei 2015 mulai dari tahapan persiapan, pelaksanaan dan penyusunan laporan. Berikut adalah tabel jadwal kegiatan penelitian. Tabel 3.1 Jadwal Penelitian Bulan Maret
Kegiatan 3
4
April 1
Minggu Ke 2 3
Mei 4
1
2
Penyusunan Proposal Seminar Proposal Perbaikan Proposal Observasi Pelaksanaan Penelitian Penyusunan Laporan Pengolahan Data Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif. Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang lebih mengarah pada pengungkapan suatu masalah atau keadaan yang sebagaimana adanya yang mengungkapkan fakta-fakta yang ada.
46
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kehadiran Peneliti Adapun kehadiran peneliti adalah sebagai instrumen utama yang sudah tentu harus beradaptasi dengan kondisi yang ada di lapangan untuk kepentingan penelitian, sehingga kehadiran peneliti dilokasi penelitian diketahui oleh objek penelitian. Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai partisipan penuh, artinya peneliti datang untuk mencari data guna kepentingan penelitian sehingga data yang dikumpulkan benar-benar akurat sesuai kebutuhan peneliti. Sumber Data Adapun Sumber data dalam penelitian ini adalah: 1. Sumber data primer yaitu siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kota Gorontalo yang mengalami masalah dengan soal matematika. 2. Sumber data sekunder yaitu guru-guru, terutama guru matematika di kelas VII SMP Negeri 2 Kota Gorontalo yang di pandang dapat memberikan informasi yang menunjang penelitian baik berupa keadaan sekolah, siswa, serta komponen yang dapat menghambat atau menunjang pembelajaran disekolah yang menjadi objek penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kota Gorontalo sejumlah 29 siswa yang terdiri dari 1 kelas. Jumlah fokus penelitian yang berperan sebagai informan (sumber data) ini didasarkan pada teknik penarikan sampel Arikunto (2002:112) ‘Apabila sumber data kurang dari 100, lebih baik di ambil semua. Tetapi sumber data lebih dari 100, dapat di ambil antara 10-15 % atau 20-25 %. Teknik Pengumpulan Data Observasi Menurut Nasution (Sugiyono, 2011:310) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Pengamatan atau observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipan, yaitu peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil 47
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data yaitu guru, dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang tampak. Wawancara Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu (Sugiyono, 2011:317). Wawancara digunakan peneliti sebagai pelengkap untuk lebih memperkuat data yang diperoleh dari hasil penelitian. Wawancara yamg digunakan untuk menjaring data langsung dari siswa tentang kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika pada pembelajaran matematika. Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai enam orang siswa yang terpilih sebagai wakil dari setiap kelompok. Dimana dua orang siswa mewakili dari kelompok siswa yang berkemampun tinggi, dua orang siswa mewakili dari kelompok siswa yang berkemampun sedang dan dua orang siswa lainnya mewakili dari kelompok siswa yang berkemampun rendah. Dokumentasi Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dalam penelitian ini dokumen yang digunakan yaitu foto. Pengecekan dan Keabsahan Data Pemeriksaan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian data ini menggunakan teknik triangulasi. peneliti menggunakan observasi partisipan, wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak. Teknik Analisis Data Pada penelitian ini untuk menganalisis data metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (Sugiyono, 2011: 337) bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif
48
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Dalam menganalisis data aktifitas yang dilakukan yaitu : 1. Reduksi Data. Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan pengumpulan data maka data yang diperoleh akan direduksi. Dalam hal ini mereduksi data dengan membuang data yang tidak relevan dengan masalah yang berkaitan dengan penelitian, kemudian memilah-milah data serta mengklasifikasikan berdasarkan permasalahan penelitian dalam penelitian dan akan disusun secara sistematis dengan berpedoman pada apa yang menjadi fokus masalah. 2. Penyajian data. Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam hal ini peneliti menyajikan data dalam bentuk deskriptif, yang diuraikan pada aspek-aspek yang dinilai dan diamati selama proses pembelajaran berlangsung. 3.
Penarikan kesimpulan Langkah terakhir adalah melakukan penarikan kesimpulan dari berbagai
data yang telah diperoleh dan didukung. Data-data yang diperoleh pada saat peneliti mengumpulkan data yang didukung dengan bukti-bukti yang valid, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel, artinya jika data-data yang dikumpul didukung oleh bukti-bukti yang valid. Tahap-Tahap Penelitian Adapun tahap-tahap penelitian yang dilakukan peneliti sebagai berikut : 1. Tahap Pra Lapangan (Pengamatan) a. Observasi / pengamatan dilokasi penelitian b. Wawancara / interview c. Memahami latar penelitian dan persiapan diri 2. Tahap Pekerjaan Lapangan Mengumpulkan data dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. 3. Melakukan Analisis Data 4. Membuat Laporan.
49
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Hasil Penelitian Deskripsi hasil penelitian ini adalah skor yang diperoleh oleh siswa pada masing-masing test yang diberikan sebgai berikut: 1. Soal Nomor Satu Soal nomor satu didasarkan pada indikator fakta. Dalam soal ini siswa dimintakan untuk menyelesaikan dan berikan masing-masing 3 contoh simbol derajat, simbol sudut, simbol menit, dan simbol detik dalam matematika. Skor maksimal untuk soal nomor satu ini yaitu 8 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa yaitu 232. Siswa yang dapat menjawab soal nomor satu ini dengan benar 6 orang siswa atau sekitar 20,7%, yang menjawab sebagian benar ada 20 orang siswa atau sekitar 69%, dan tidak menjawab sama sekali ada 3 orang siswa atau sekitar 10,3%. 2. Soal Nomor Dua Soal nomor dua didasarkan pada indikator fakta. Dalam soal ini siswa dimintakan untuk menjelaskan pengertian dari titik, garis, dan sudut. Skor maksimal untuk soal nomor dua ini yaitu 6 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa yaitu 174. Siswa yang dapat menjawab soal nomor dua ini dengan benar 8 orang siswa atau sekitar 27,6%, yang menjawab sebagian benar ada 20 orang siswa atau sekitar 69%, dan tidak menjawab sama sekali ada 1 orang siswa atau sekitar 3,4%. 3. Soal Nomor Tiga Soal nomor tiga didasarkan pada indikator konsep. Dalam soal ini siswa dimintakan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan garis sejajar, garis berimpit, haris berpotongan, dan garis bersilangan. Skor maksimal untuk soal nomor tiga ini yaitu 8 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa yaitu 232. Siswa yang dapat menjawab soal nomor tiga ini dengan benar 4 orang siswa atau sekitar 13,8%, yang menjawab sebagian benar ada 23 orang siswa atau sekitar 79,3%, dan tidak menjawab sama sekali ada 2 orang siswa atau sekitar 6,9%. 4. Soal Nomor Empat 50
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Soal nomor empat didasarkan pada indikator konsep. Dalam soal ini siswa dimintakan untuk menjelaskan perbedaan antara sudut siku-siku, lancip dan tumpul. Skor maksimal untuk soal nomor empat ini yaitu 6 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa yaitu 174. Siswa yang dapat menjawab soal nomor empat ini dengan benar 1 orang siswa atau sekitar 3,4%, yang menjawab sebagian benar ada 28 orang siswa atau sekitar 96,6%, dan yang tidak menjawab sama sekali tidak ada 5. Soal Nomor Lima Soal nomor lima didasarkan pada indikator operasi. Dalam soal ini siswa dimintakan untuk menghitung besar sudut. Skor maksimal untuk soal nomor lima ini yaitu 4 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa yaitu 116. Siswa yang dapat menjawab soal nomor lima ini dengan benar 8 orang siswa atau sekitar 27,6%, yang menjawab sebagian benar ada 14 orang siswa atau sekitar 48,3%, dan tidak menjawab sama sekali ada 7 orang siswa atau sekitar 24,1%. 6. Soal Nomor Enam Soal nomor enam didasarkan pada indikator konsep. Dalam soal ini siswa dimintakan untuk menentukang garis yang sejajar, garis yang berpotongan, dan garis yang bersilangan. Skor maksimal untuk soal nomor enam ini yaitu 6 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa yaitu 174. Siswa yang dapat menjawab soal nomor enam ini dengan benar 7 orang siswa atau sekitar 24,1%, yang menjawab sebagian benar ada 21 orang siswa atau sekitar 72,4%, dan tidak menjawab sama sekali ada 1 orang siswa atau sekitar 3,4%. 7. Soal Nomor Tujuh Soal nomor tujuh didasarkan pada indikator prinsip. Dalam soal ini siswa dimintakan untuk menentukan panjang sebuah garis. Skor maksimal untuk soal nomor tujuh ini yaitu 12 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa yaitu 348. Siswa yang dapat menjawab soal nomor tujuh ini dengan benar 5 orang siswa atau sekitar 17,2%, yang menjawab sebagian benar ada 20 orang siswa atau sekitar 69%, dan tidak menjawab sama sekali ada 4 orang siswa atau sekitar 13,8%. 8. Soal Nomor Delapan
51
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Soal nomor delapan didasarkan pada indikator prinsip. Dalam soal ini siswa dimintakan untuk menentukan besar sudut. Skor maksimal untuk soal nomor delapan ini yaitu 14 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa yaitu 348. Siswa yang dapat menjawab soal nomor delapan ini dengan benar 3 orang siswa atau sekitar 10,3%, yang menjawab sebagian benar ada 26 orang siswa atau sekitar 89,7%, dan tidak menjawab sama sekali tidak ada. Untuk lebih jelasnya disajikan tabel persentasi jawaban siswa untuk kedelapan soal. Tabel 4.1 Persentasi Jawaban Siswa Persentasi Jawaban No Soal
Benar Semua
Benar Sebagian
Jumlah Salah Semua
f
%
F
%
f
%
f
%
1
6
20,7%
20
69,0%
3
10,3%
29
100%
2
8
27,6%
20
69,0%
1
3,4%
29
100%
3
4
13,8%
23
79,3%
2
6,9%
29
100%
4
1
3,4%
28
96,6%
0
0,0%
29
100%
5
8
27,6%
14
48,3%
7
24,1%
29
100%
6
7
24,1%
21
72,4%
1
3,4%
29
100%
7
5
17,2%
20
69,0%
4
13,8%
29
100%
8
3
10,3%
26
89,7%
0
0,0%
29
100%
Pembahasan Persentase capain kemampuan siswa secara keseluruan adalah 49,53%. Hal ini menunjukan bahwa kesulitan belajar terhadap materi garis dan sudut masih cukup tinggi meskipun ada sebagian siswa yang memperoleh skor yang tinggi. Untuk mengukur kemampuan siswa pada setiap indikator, peneliti mengacu pada kriteria ketuntasan minimal yaitu 75. Ini berarti rata-rata setiap indikator yang dicapi oleh siswa dikatakan berhasil jika mencapai nilai minimal 75. Klasifikasi kesulitan belajar siswa pada materi garis dan sudut dikelas VII-8 di SMP Negeri 2
52
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kota Gorontalo. Berdasarkan indikator kesulitan belajar siswa adalah sebagi berikut: a) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator fakta adalah 60,02% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 39,98%. b) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator konsep adalah 59,1% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 40,9%.\ c) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator operasi adalah 50,13% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 49,87%. d) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator prinsip adalah 43,86% yang berarti kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 56,14%. Berdasarkan rata-rata persentase kesulitan belajar siswa pada empat indikator kesulitan belajar siswa diatas menunjukkan bahwa hanya sebagian siswa pada kelas VII-8 di SMP Negeri 2 Kota Gorontalo yang sudah mampu menguasai materi garis dan sudut. Dari keempat indikator yang ada, hanya pada indikator fakta dan konsep siswa memperoleh persentase capaian kemampuan hasil belajar adalah sebesar 60,02% dan 59,01%. Hal ini menunjukkan bahwa sudah cukup mampu mengetahui lambang-lambang atau simbol yang akan digunakan pada soal matematika dan memahami konsep dengan benar dalam memecahkan masalah soal matematika, sedangkan untuk kedua indikator lainnya belum memperoleh skor yang maksimal. Ini dapat dilihat dari perolehan persentase capaian hasil belajar siswa pada indikator operasi hanya sebesar 50,13%, sedangkan capaian hasil belajar siswa pada indikator prinsip hanya sebesar 43,86%.
53
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan yang ada sebagai berikut: a. Kesulitan belajar siswa pada materi garis dan sudut kelas VII-8 di SMP Negeri 2 Kota Gorontalo sangat bervariasi dan belum cukup maksimal. b. Persentase capaian kesulitan belajar siswa kelas VII-8 di SMP Negeri 2 Kota Gorontalo yang dikelompokkan menurut hasil peroleh skor adalah sebagai berikut: 1) Indikator Fakta Kelompok siswa berkemampuan tinggi : 14,29% Kelompok siswa berkemampuan sedang :30,15% Kelompok siswa berkemampuan rendah: 75,51% 2) Indikator Konsep Kelompok siswa berkemampuan tinggi : 17,5% Kelompok siswa berkemampuan sedang: 38,33% Kelompok siswa berkemampuan rendah: 67,14% 3) Indikator Operasi Kelompok siswa berkemampuan tinggi : 25% Kelompok siswa berkemampuan sedang: 38,89% Kelompok siswa berkemampuan rendah: 85,75% 4) Indikator Prinsip Kelompok siswa berkemampuan tinggi: 10,42% Kelompok siswa berkemampuan sedang: 69,91% Kelompok siswa berkemampuan rendah: 88,1% c. Rata-rata persentasi capaian kemampuan hasil belajar siswa kelas VII-8 di SMP Negeri 2 Kota Gorontalo pada materi garis dan sudut menurut indikator kesulitan belajar siswa adalah sebagai berikut:
54
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
1) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator fakta adalah 60,02% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 39,98%.. 2) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator konsep adalah 59,1% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 40,9%. 3) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator operasi adalah 50,13% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 49,87%. 4) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator prinsip adalah 43,86% yang berarti kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 56,14%. Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan sebelumnya, maka peneliti menyampaikan beberapa saran diantaranya: a. Untuk siswa diharapkan lebih memperdalam pelajaran matematika khususnya materi garis dan sudut kemudian siswa diharapkan banyak melatih dan mengerjakan soal-soal yang berkaitan dengan materi garis dan sudut dengan banyak bertanya jika ada materi yang tidak dipahami. b. Kepada guru matematika setelah memberikan pelajaran matematika khususnya materi garis dan sudut agar selalu mengadakan test evaluasi terhadap konsep dasar yang siswa miliki. Selain itu pula, pada guru mata palajaran matematika diharapkan mampu menerapkan sebuah metode atau strategi mengajar yang sesuia dengan tingkat kemampuan siswa, agar para siswa bisa menerima pelajaran dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT Rineke Cipta Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta Aunurrahman.2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
55
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Ahmadi, Abu & Widodo S. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineke Cipta Budiarto, Mega Teguh dkk. 2004. Matematika. Jakarta: Depdiknas Mohammad, Soleh. 1998. Pengertian Kesulitan Belajar. http://file.upi.bedu/Direktori/FIP/jur.PEND.LUARBIASA/195707121984 032-EHAN/KESULITAN BELAJAR MATEMATIKA.pdf diakses tnggal 18 April 2012. Mukhtar & Rusmini. 2003. Pengajaran Remedial ; Teori dan Penerapannya dalam Pembelajaran. Jakarta: Fifa Mulia Sejahtera Nafi’an, Muhammad Ilman. 2011. Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Ditinjau Dari Gender Di Sekola Dasar Russefendi ET. 2012. Hakikat Matimatika. (http://sainsmatika.blogspot.com/). Diakses tanggal : 20 April 2013 Sugiyono.2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Syah Muhibbin. 1999. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Usman, Moh.Uzer dan Lilis Setiawati. 2001. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
56
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENINGKATAN KREATIVITAS DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MODEL PROBLEM BASED LEARNING DI SEKOLAH DASAR Zulfa Amrina1 1
Jurusan PMIPA FKIP Universitas Bung Hatta
[email protected]
Abstract. This study aimed at describing how the increase of creativity and critical thinking of grade V-students at elementary school in learning Mathmatics using Problem Based Learning is. This is action research using cyrcle. This study was conducted at grade V of SD Negeri 10 Sungai Sapih Padang with 39 students. This study consists of planning, implementing, observation, and reflection. The data were colleceted using observation sheet for teacher activities, observation sheet for students activities, test for critical thinking. The data were analyzed quantitatively and qualitatively. Based on the research finding discovered, it can be concluded that first, learning mathematics using Problem Based Learning (PBL) can increase students learning careativity. This is proved that students’ creatity in cyrcle I was 50.73%, meanwhile students’ creativity in cyrcle II was 70,95%. Two, students critical thinking after learning mathemtics increases. This was shown that students critical thinking in Cyrcle I was 72,55%, meanwhile students’ critical thinking in cyrcle II was 76,77%. Related to the reasearch findings, it is suggested to teacher in order to use PBL as one of alternative varieties in conducting mathematic instruction. Kata kunci : Problem Based Learning, creativity, Critical Thingking.
PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai jenjang pendidikan Sekolah Dasar sampai pada jenjang Perguruan Tinggi. Tujuan pembelajaran matematika dimaksudkan untuk membekali peserta didik, dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerja sama. Sehingga dengan bekal tersebut peserta didik akan mampu bersaing di era globalisasi dimasa yang akan datang. Namun jika dilihat pelaksanaan pendidikan di SD, guru cendrung menggunakan metode ceramah atau konvensional, jarang menggunakan media dan kurang melibatkan siswa dalam pembelajaran. Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan terhadap guru yang mengajar di kelas V SD Negeri 10 Sungai Sapih Padang terlihat bahwa guru langsung menyampaikan materi pembelajaran 57
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dengan menggunakan metode ceramah, materi disampaikan, kemudian berikan contoh soal dan kemudian siswa disuruh mengerjakan soal-soal. Soal yang dikerjakan dikumpulkan di depan, guru memeriksa hasil kerja siswa di meja guru dan anak yang sudah mengerjakan soal dengan betul belajar selesai dan yang masih salah disuruh memperbaiki. Setelah waktu habis siswa diberi pekerjaan rumah dan pembelajaran
matematika
hari
itu
selesai,
tanpa
ada
kegiatan
untuk
mengkomunikasikan hasil yang dijawab siswa, tidak ada kegiatan diskusi dan tidak ada kesempatan siswa untuk bertanya hal yang tidak dimengerti. Hal itu tidak membawa siswa menjadi pribadi yang produktif, kreatif, inovatif dan kritis. Pengamatan juga peneliti lakukan pada beberapa sekolah di kota Padang. Pembelajaran yang dilakukan tidak jauh berbeda. Ada memang kadang kala siswa yang pintar disuruh mengerjakan jawaban soal di depan kelas. Namun siswa lain hanya menyalin, hasil pengerjakan temannya yang pintar di depan kelas. Pembelajaran yang demikian tidak dapat mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa. Pembelajaran yang kurang melibatkan siswa dalam pembelajaran mengakibatkan kemampuan berpikir siswa tidak berkembang secara optimal. Pembelajaran yang demikian akan berdampak pada hasil belajar siswa yang rendah. Ini dibuktikan hasil belajar matematika siswa SD Negeri 10 Sungai sapih pada ulangan tengah semester genap tahun ajaran 2014-2015 hanya 47,47% yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), dengan KKM 70. Hasil belajar yang rendah akan mengakibatkan mutu pendidikan juga akan rendah. Mengacu kepada kenyataan di atas serta tujuan pembelajaran matematika maka perlu dicarikan solusi untuk mengatasinya. Salah satu cara adalah dengan cara merubah cara mengajar guru. Ada banyak strategi yang dapat mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa. Adapun salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran Problem Based Learning. Menurut Wena (2013:91), model Problem Based Learning (PBL) ini merupakan strategi pembelajaran yang menghadapkan siswa pada permasalahanpermasalahan praktis sebagai pijakan dalam belajar atau dengan kata lain siswa belajar dengan permasalahan-permasalahan. Menurut Amrina (2014:13), Problem based learning merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan 58
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Menurut Wena (2013:91), “problem based learning adalah sebuah startegi pembelajaran dengan menghadapkan siswa belajar melalui permasalahan-permasalahan”. Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model problem based learning adalah suatu rangkaian pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai bahan untuk pembelajaran. Menurut Arends dalam Amrina (2014:16)
model
pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 langkah yaitu: (1) Mengorientasikan siswa pada masalah, (2) Mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) Membimbing pengalaman individual/kelompok, (4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5) Menganalisa dan mengevaluasi proses penyelsaian masalah. Dari langkah-langkah pembelajaran PBL ini, sangat dimungkinkan untuk mengembangkan kreativitas siswa, dalam merumuskan permasalahan, mengolah informasi dan menganalisa proses penyelesaian masalah. Disamping itu kemampuan berpikir kritis siswa juga akan dioptimalisasikan melalui proses menyelesaikan
masalah,
menganalisa
dan
mengevaluasi
masalah
yang
diselesaikan. Model PBL diplih untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa. Munandar (2002 : 33) menyebutkan kreativitas sebagai kemampuan umum untuk mencipta suatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberi gagasan-gagasan baru yang diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Menurut Slameto (2010:145) kreativitas adalah hal yang berhubungan dengan penemuan sesuatu, mengenai hal yang menghasilkan sesuatu yang baru dengan mengunakan sesuatu yang telah ada. Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru dan asli, yang sebelumnya belum dikenal ataupun memecahkan masalah baru yang dihadapi. Kreativitas merupakan kemampuan yang tidak hanya sekedar menjawab soal matematika dengan tepat, akan tetapi merupakan suatu kemampuan untuk menciptakan gagasan, mengenal kemungkinan alternatif, melihat kombinasi yang 59
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
tak terduga, memiliki keberanian mencoba sesuatu yang tidak lazim dan sebagainya. Sound (dalam Slameto, 2010:147), mengungkapkan bahwa ciri-ciri individu kreatif adalah (1) Hasrat keingintahuan yang cukup besar, (2),Bersikap terbuka terhadap pengalaman baru, (3) Panjang akal,(4) Keingintahuan untuk menentukan dan meneliti,(5) Cenderung lebih menyukai tugas yang berat dan sulit, (6) Cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan, (7) Memiliki dedikasi bergairah serta aktif dalam melaksanakan tugas, (8) Berfikir fleksibel, (9) Menanggapi pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban lebih banyak, (10) Kemampuan membuat analisis dan sintesis, (11) Memiliki semangat bertanya seta meneliti, (12) Memiliki daya abstrak yang cukup baik, (13) Memiliki latar belakang membaca yang cukup luas. Sedangkan Piers (dalam Ngalimun, dkk 2013:53) mengemukakan bahwa karakteristik kreatifitas sesorang adalah (1) Memiliki dorongan (drive) yang tinggi, (2) Memiliki keterlibatan yang tinggi, (3) Memiliki rasa ingin tahu yang besar, (4) Memiliki ketekunan yang tinggi, (5) Cenderung tidak puas terhadap kemampuan, (6) Penuh percaya diri, (7) Memiliki kemandirian yang tinggi, (8) Bebas dalam mengambil keputasan, (9) Menerima diri sendiri, (10) Senang humor, (11) Memiliki intuisi yang tinggi, (12) Cenderung tertarik kepada hal-hal yang kompleks dan (13) Toleransi terhadap ambiguitas. Sesuai pendapat-pendapat di atas pada penelitian ini, peneliti membatasi indikator kreativitas yang akan diteliti adalah (1) hasrat ingin tahu siswa, (2) kecenderungan siswa mencari jawaban yang luas dan memuaskan, (3) menanggapi pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban yang lebih banyak, (4) keinginan untuk mengemukan dan meneliti, (5) kecenderungan siswa menyukai tugas yang lebih berat dan sulit meningkat, (6) berpikir fleksibel, (7) kemampuan membuat analisis dan sintesis dan (8) semangat bertanya dan meneliti. Sedangkan kemampuan berpikir kritis menurut Susanto (2014:121) adalah suatu kegiatan melalui cara berpikir tentang ide atau gagasan yang berhubungan dengan konsep yang diberikan atau masalah yang dipaparkan. Dressel & Mayhew dalam Jufri (2013:103), menyatakan bahwa: indikator-indikator berpikir kritis yang dikembangkan oleh komite berpikir kritis (Intercollege Committee on Critical 60
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Thingking) meliputi kemampuan-kemampuan seperti: (1) merumuskan masalah dan hipotesis, (2) menyelesaikan informasi dan data untuk menyelesaikan masalah, (3) mengenali asumsi-asumsi, dan (4) menarik kesimpulan dan mengambil tindakan. Selanjutnya Jufri (2013:103), menyatakan bahwa Berpikir kritis sebagai cara berpikir reflektif yang berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan harus dilakukan. Indikator keterampilan berpikir krtitis menurut Ennis terdiri atas 12 komponen, yaitu: (1) merumuskan masalah, (2) menganalisis argumen, (3) bertanya dan menjawab pertanyaan, (4) menilai kredibilitas sumber informasi, (5) melakukan observasi dan menilai laporan hasil observasi, (6) membuat deduksi dan menilai deduksi, (9) mendefenisikan dan menilai
defenisi,
(10)
mengidentifikasi
asumsi,
(11) memutuskan
dan
melaksanakan, dan (12) berinteraksi dengan orang lain. Berpatokan pada pendapat-pendapat di atas maka kemampuan berpikir kritis yang akan diteliti pada penelitian ini adalah (1) Merumuskan masalah, (2) Menyeleksi informasi dan data untuk menyelesaikan masalah, (3) Mengenali asumsi-asumsi dan (4) Menarik kesimpulan. Berdasarkan paparan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimanakah peningkatan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas V SDN 10 Sungai Sapih Padang pada pembelajaran matematika dengan menggunakan model Problem Based Learning. Sehingga hipotesis dapat dirumuskan (1) Kreatifitas Siswa Kelas V dalam pembelajaran Matematika meningkat Melalui Model Problem Based Learning di SDN 10 Sungai Sapih Padang, (2) Kemampuan berpikir kritis siswa kelas V dalam pembelajaran Matematika meningkat Melalui Model Problem Based Learning di SDN 10 Sungai Sapih Padang. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan bagaimana peningkatan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa Sekolah Dasar pada pembelajaran matematika model Problem Based Learning. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi berbagai pihak yaitu bagi siswa, agar lebih meningkatkan hasil belajar dan pemahaman dalam pembelajaran. Bagi guru sekolah dasar, sebagai pedoman dalam penggunaan model pembelajaran dalam 61
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
proses pembelajaran. Bagi kepala sekolah, hendaknya dapat mendorong para guru untuk melakukan penelitian tindakan kelas dalam rangka perbaikan pembelajaran. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Lokasi penelitian di kelas V SD Negeri 10 Sungai Sapih Padang, dengan jumlah siswa sebanyak 39 orang. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap, tahun pelajaran 2014/2015. Prosedur penelitian meliputi dilaksanakan dengan metode siklus, yang terdari dari empat komponen yaitu perancanaan (planning) berisi tentang tujuan atau kompetensi yang harus tercapai serta perlakuan khusus yang akan dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran; tindakan (acting) adalah perlakuan yang dilakasanakan oleh guru berdasarkan perencananaan yang telah disusun; pengamatan (observing) dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang proses pembelajaran yang dilakukan guru dengan tindakan yang telah disusun; dan refleksi (reflecting) aktivitas melihat berbagai kekurangan yang dilaksanakan guru selama tindakan (Kemmis dan Taggart, 1992:3). Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi aktivitas guru, lembar observasi kreativitas siswa, dan tes kemampuan berpikir kritis siswa. Indikator keberhasilan dalam penelitian adalah kreativitas belajar siswa yang akan dicapai 75% dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas V SDN 10 Sungai Sapih yang akan dicapai adalah tergolong kriteria baik > 70%. Analisis data bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif dianalisis secara deskriptif dan data kualitatif dianalisis dengan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Miles dan Hubermen (1992 : 15-20) dengan langkah-langkah (1) menelaah seluruh data yang telah dikumpulkan, (2) mereduksi data yang didalamnya melibatkan kegiatan pengkategorian dan pengklasifikasian dan (3)menyimpulkan dan verifikasi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 62
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Masing-masing siklus dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Masing-masing siklus diuraikan sebagai berikut Siklus 1 Siklus 1 dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan. Kegiatan pembelajaran dilakukan sesuai dengan langkah-langkah PBL. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui kreativitas belajar siswa dan aktivitas pembelajaran yang dilaksanakan guru di kelas. Di akhir siklus diberikan tes kemampuan berpikir kritis siswa. Dari data yang diperoleh, pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru belum optimal. Ada beberapa langkah pembelajaran yang tidak terlaksana. Dilihat dari persentase pelaksanaan pembelajaran oleh guru baru mencapai 70%. Sementara dari hasil pengamatan observer terhadap kreativitas siswa dalam pembelajaran dapat dilihat bahwa rata-rata kreativitas siswa dalam pembelajaran baru mencapai 50,73%. Sesuai dengan kriteria kreativitas siswa dalam pembelajaran pada siklus I ini masih dalam kategori kurang baik sehingga belum begitu tampak kreativitas siswa dalam belajar. Dari data kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus 1 baru berada pada kategori sedang yaitu 72,55%. Karena target keberhasilan penelitian belum tercapai, maka berdasarkan hasil refleksi diputuskan untuk melanjutkan penelitian pada siklus 2, dengan beberapa perbaikan tindakan. Siklus 2 Siklus 2 juga dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan. Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan guru dan kreativitas siswa dalam pembelajaran diamati sesuai lembar observasi yang telah disusun. Di akhir siklus diberikan tes kemampuan berpikir kritis siswa. Dari lembar observasi kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan guru terjadi peningkatan. Semua langkah-langkah pembelajaran sudah terlaksana, walaupun masih ada yang belum sempurna. Sehingga persentase kegiatan pembelajan oleh guru sudah mencapai 83,3%, ini sudah meningkat dibandingkan siklus 1. Jika dilihat data pengamatan kreativitas siswa juga sudah meningkat, yaitu mencapai 70,95% yang termasuk kategori baik. Begitu juga jika 63
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dilihat dari kemampuan berpikir kritis siswa juga sudah mengalami peningkatan, dan sudah berada pada kategori baik yaitu 76,77%. Peningkatan yang terjadi memang belum terlalu tinggi. Kalau dilihat dari data pada indikator tertentu peningkatan terjadi sangat tinggi, namun pada indikator yang lain tidak terjadi peningkatan. Karena indikator keberhasilan sudah tercapai, maka penelitian dihentikan. Peningkatan masing masing indikator terjadi karena dampak dari pembelajaran matematika menggunakan model Problem Based Learning, masingmasing indikator dijelaskan sebagai berikut. Pembahasan Aktifitas Pembelajaran Guru Hasil analisis data pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan guru pada siklus I dan siklus II dapat digambarkan seperti diagram berikut.
Diagram 1: Persentase Aktivitas Guru pada Siklus I dan II Dari diagram tersebut, dapat dilihat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran melalui model problem based learning pada siklus I sudah dikatakan cukup, dan ini dapat dilihat dari rata-rata persentase aktivitas guru yaitu 69,99%. Sementara ratarata persentase aktivitas guru pada siklus II adalah 83,3%, sehingga pelaksanaan pembelajaran melalui model problem based learning dapat dikatakan baik dan mencapai target yaitu 70% serta meningkat dari siklus I. Kreatifitas Belajar Siswa Hasil analisis data kreatifitas belajar siswa guru pada siklus satu dan dua dapat digambarkan seperti diagram berikut.
64
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
D a l a m
p 100 e r n 50 s e 0 I
= Siklus I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
= Siklus II
Diagram 2: Rata-rata Kreativitas Belajar Siswa pada Siklus I dan Siklus II Berdasarkan diagram tersebut, kategori I adalah hasrat ingin tahu siswa meningkat sebanyak 14,7% , hal ini disebabkan bahwa guru selalu memberikan motivasi kepada siswa agar tidak malu untuk bertanya. Kategori II adalah kecenderungan siswa mencari jawaban yang luas dan memuaskan meningkat sebanyak 47,06% hal ini terjadi karena siswa sudah memulai mencoba memecahkan masalah dengan menggunakan buku berbagai sumber, dan siswa sudah mampu saling bertukar pikiran saat kerja kelompok. Katagori ke III adalah kreativitas menanggapi pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban yang lebih banyak meningkat sebanyak 11,76%. Hal ini terjadi karena siswa menjawab benar dan tepat. Kategori IV keinginan untuk mengemukan dan meneliti mengalami peningkatan sebanyak 20,28% hal ini terjadi karena siswa sudah yakin dengan jawabannya, dan siswa sudah mulai percaya diri untuk tampil. Katagori ke V adalah kecenderungan siswa menyukai tugas yang lebih berat dan sulit meningkat sebanyak 23,53% hal ini terjadi karena anak sudah mampu menjawab soal-soal yang kesulitannya lebih tinggi. Ke VI adalah berpikir fleksibel tidak mengalami peningkatan. Ke VII adalah kemampuan membuat analisis dan sintesis meningkat menjadi 11,76%. Hal ini dikarnakan siswa sudah mampu membuat sintesis analis dari pemecahan masalah yang benar, dan yang terakhir adalah Ke VIII semangat bertanya dan meneliti meningkat menjadi 32,35%. Hal ini dikarenakan anak sudah berani bertanya tentang materi dan tidak malu-malu lagi dan anak meneliti yang ditulis temannya saat menyajikan hasil karya dengan jawabannya sendiri.
65
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dari diagram tersebut dapat dilihat kenaikan rata-rata kreativitas dari siklus I ke siklus II. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika melalui model problem based learning yang dilaksanakan dapat meningkatan kreativitas belajar siswa, karena model problem based learning merupakan model yang menyajikan masalah-masalah dalam pencapaian tujuan belajar, sehingga siswa dituntut untuk mampu memacahkan masalah dengan mengunakan ide-ide kreatif . Hal ini terbukti dari kenaikan rata-rata persentase untuk masing-masing indikator keberhasilan kreativitas belajar siswa yang telah ditetapkan. Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Berdasarkan hasil analisis data kemampuan berpikir kritis siswa terhadap pembelajaran Matematika selama diterapkannya model pembelajaran Problem Based Learning, dapat digambarkan sebagai berikut. 84,37% 90,00% 74,58% 75,34%83,15% 74,02% 80,00% 74,13% 72,39% 61,66% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00% Indikator Indikator Indikator Indikator 1 2 3 4
Siklus I Siklus II
Diagram 3: Grafik persentase kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus I dan siklus II Dari gambar di atas terlihat peningkatan persentase yang terjadi terhadap setiap indikator dan skor kemampuan berpikir kritis siswa, (1) pada indikator merumuskan masalah meningkat dari siklus I ke siklus II sebesar 3,45%, (2) pada indikator menyeleksi informasi dan data untuk menyelesaikan masalah meningkat dari siklus I ke siklus II sebesar 2,95%, (3) pada indikator mengenali asumsi-asumsi meningkat dari siklus I ke siklus II sebesar1,22%, dan (4) pada indikator menarik 66
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kesimpulan tindakan meningkat sebesar 12,36%. Kalau diperhatikan kemampuan berpikir kritis siswa terdapat peningkatan yang cukup tinggi pada indikator ke 4 yang mana indikator menarik kesimpulan pada siklus I sebesar 61,66% dan di siklus II meningkat menjadi 74,02%. Pada siklus I siswa belum terlalu memahami bagaimana cara ataupun membuat penyelesaian sebuah pertanyaan pada soal dengan seharusnya karena, soal yang diberikan peneliti pada saat proses pembelajaran tidak soal yang biasa dikerjakan siswa di kelas ketika guru memberikan latihan atau pun ulangan harian. Di sini siswa mulai memahami sedikit demi sedikit bagaimana cara penyelesaian soal dengan arahan peneliti terlebih dahulu. Dengan demikian siswa dapat menyelesaikan dengan target yang telah ditetapkan peneliti. Dari hasil penelitian siklus 1 dan siklus 2 dari kedua indikator yang diamati terjadi peningkatan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa melalui pembelajaran PBL dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika. Hal ini dapat terjadi karena sesuai dengan langkahlangkah PBL memang sangat dimungkinkan untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa pertama pembelajaran metematika dengan menggunakan model PBL dapat meningkatkan kreativitas belajar siswa. Hal ini dibuktikan pada siklus I persentase kreativitas siswa sebesar 50,73% sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 70,95%. Kedua kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan melalui pembelajaran PBL, dimana rata-rata persentase kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus 1 sebesar 72,55% pada siklus 1 meningkat menjadi 76,77% pada siklus 2. Sehubungan dengan hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan kepada guru-guru agar penggunaan model PBL dapat dijadikan salah satu alteratif variasi dalam pelaksanaan pembelajaran.
67
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR PUSTAKA Amrina, Zulfa. 2014. “Peningkatan Kreativitas Siswa melalui Problem Based Learning”, Padang: Prodi PGSD FKIP Bung Hatta. Jufri Wahab.2013. Belajar dan Pembelajaran SAINS. Mataram : Pustaka Reka Cipta. Kemis, S. Dan Taggart, M.R. 1988. The Action Research Planner. Victoria : Deakin University. Miles, B.M. dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif (Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi) Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Munandar, A.S. 1998. Penerapan Dan Pemanfaatan Kreativitas. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Ngalimun, dkk. 2013. Perkembangan dan Pengembangan Kreatifitas. Agustus: Aswaja pressindo. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta. Rineka cipta. Susanto Ahmad. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana. Wena. Made. 2013. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta timur: Bumi Aksara.
68
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KOMPETENSI KOGNITIF SISWA YANG DIAJAR DENGAN MODEL PEMBELAJARAN DIRECT INSTUCTION BERBANTUAN SOFTWARE MATHEMATICA® DALAM PEMBELAJARAN MATERI VOLUM BENDA PUTAR James U.L. Mangobi Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado,
[email protected] Abstrak. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pencapaian kompetensi kognitif siswa yang diajar dengan menggunakan Software Mathematica yang mengikuti pola Model Pembelajaran Direct Instruction. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen terhadap siswa kelas XII MIA SMA Negeri 3 Manado, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara, pada bulan Juli hingga September 2014. Polulasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XII MIA SMA Negeri 3 Manado terdiri dari 4 kelas pararel, yang terdaftar pada Tahun Ajaran 2014/2015. Sampel adalah kelas XII MIPA 4 yang diambil secara acak kelompok (cluster random) sejumlah 30 siswa. Untuk mengetahui hasil belajar siswa pada pembelajaran materi integral khususnya volum benda putar diberikan tes akhir (postest). Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa terbilang baik. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran direct instruction dengan bantuan software mathematica lebih daripada nilai kriteria ketuntasan minimal. Kata Kunci: model pembelajaran, direct instruction, software mathematica, volum benda putar
PENDAHULUAN Dalam dunia pendidikan, matematika merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit dipelajari oleh siswa. Hal ini terungkap pada saat penulis melakukan observasi awal di beberapa sekolah termasuk di SMAN 3 Manado yang merupakan tempat pelaksanaan penelitian. Hasil observasi awal tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar siswa terbilang rendah khususnya pada materi Volum Benda Putar jika dilihat dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Tabel 1 berikut menunjukkan hasil belajar siswa kelas XII MIA SMAN 3 Manado tahun terakhir untuk materi Integral dan khususnya Volum Benda Putar. Tabel 1. Rataan Hasil Belajar Siswa Materi Rataan Hasil Belajar Integral 65,17 -. Volum Benda Putar 64,58 (Sumber: Data Guru Matematika SMAN 3 Manado Tahun 2013)
KKM 70 70
69
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Rendahnya hasil belajar siswa ini disebabkan karena beberapa faktor yang muncul selama proses pembelajaran di kelas. Faktor-faktor tersebut secara umum digolongkan dalam dua bagian, yakni faktor guru dan faktor siswa. Faktor guru, berdasarkan hasil observasi awal, antara lain meliputi kesesuaian model pembelajaran dan media yang digunakan dengan materi pembelajaran. Sedangkan faktor siswa meliputi faktor internal dan faktor eksternal diri siswa tersebut dan biasanya timbul karena akibat dari faktor guru. Dalam pembelajaran materi Integral khususnya Volum Benda Putar, sebagian besar guru yang menggunakan model pembelajaran direct instruction tidak menggunakan media pembelajaran, dan kalaupun menggunakan media, hanya berupa alat peraga yang sifatnya statis sehingga kurang menarik perhatian siswa. Guru kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang apa yang mereka pelajari. Selain itu, guru kurang memberdayakan siswa yang memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan teman-teman sekelasnya untuk membantu memahami materi yang diajarkan. Faktor siswa yang sering muncul ialah sebagian besar siswa kurang berani dalam mengajukan pertanyaan tentang masalah yang mereka temukan dalam proses pembelajaran. Selain itu, para siswa belum memanfaatkan suasana belajar secara berkelompok dalam memecahkan masalah yang diberikan guru selama proses pembelajaran. Mengatasi permasalahan di atas, perlu diadakan perbaikan-perbaikan dalam proses pembelajaran. Perbaikan yang dimaksud adalah perbaikan di pihak guru dan di pihak siswa melalui pemilihan model dan media pembelajaran yang tepat. Salah satu model pembelajaran yang diduga mampu mengatasi masalah tersebut adalah Model Pembelajaran Direct Instruction. Model pembelajaran ini merupakan salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik. Guru akan lebih mudah menerapkan model ini apabila dibantu oleh media pembelajaran yang sesuai seperti media komputer yang bersifat interaktif (Anonymous (2015); Matindas (2006); Suprijono (2009)). Kata media berasal dari bahasa Latin, medius, yang secara harafiah berarti tengah, perantara atau pengantar. Gerlach dan Ely mengatakan bahwa media 70
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap (Arsyad, 2011). Dalam pengertian ini, guru, buku teks, komputer dan lingkungan sekolah merupakan media. AECT (Association of Education and Communication Technologi) memberi batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi (Arsyad, 2011). Dewasa ini komputer memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam bidang pendidikan dan latihan. Komputer berperan sebagai menejer dalam proses pembelajaran yang dikenal dengan nama Computer Manager Instruction (CMI). Selain itu, peran komputer sebagai pembantu tambahan dalam belajar; pemanfaatannya meliputi penyajian informasi isi materi pembelajaran, latihan, atau kedua-duanya. Modus ini dikenal sebagai Computer-Assisted Instruction (CAI). Kenyataan menunjukkan bahwa komputer dapat membantu proses pembelajaran. Menurut Glass (Matindas, 2006) menyebutkan bahwa komputer dapat melakukan sejumlah kegiatan untuk membantu guru. Komputer dapat mengindividualisir pengajaran, mengadakan manajemen pengajaran, mengajarkan konsep, melaksanakan perhitungan dan menstimulir belajar siswa. Dalam belajar matematika, komputer pun dapat betul-betul dimanfaatkan, karena sebagai mesin, komputer dapat diberi masukan (input), sehingga dapat melakukan sesuatu kegiatan dan memberikan respons/hasil (output). Beberapa
keuntungan
dalam
mendayagunakan
komputer
dalam
pembelajaran, yaitu: (a) membangkitkan motivasi kepada peserta didik dalam belajar, (b) warna, musik, dan grafis animasi dapat menambahkan kesan realisme, (c) menghasilkan penguatan yang tinggi, (d) kemampuan memori memungkinkan penampilan peserta didik yang telah lampau direkam dan dipakai dalam merencanakan langkah-langkah selanjut-nya di kemudian hari, (e) berguna sekali untuk peserta didik yang lamban, (f) kemampuan daya rekamnya memungkinkan pengajaran individual bisa dilaksanakan, dan (g) rentang pengawasan guru diperlebar sejalan dengan banyaknya informasi yang disajikan dengan mudah, dan membantu pengawasan lebih dekat kepada kontak langsung dengan para siswa. 71
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Komputer dapat digunakan sebagai alat mengajar utama untuk memberi penguatan belajar awal, merangsang dan memotivasi belajar, atau untuk berbagai jenis kemungkinan lainnya. Banyak manfaat yang diperoleh dari fleksibilitas komputer ini, karena dapat memasukan video, audio, elemen-elemen grafis, bentukbentuk, proses, peran dan tanggung jawab lainnya. Salah satu software komputer yang bersifat interaktif adalah Wolfram Mathematica®. Software ini dirancang khusus untuk melakukan perhitungan matematik. Selain mudah digunakan dan memberikan hasil yang akurat, juga dapat membuat gambar atau objek di layar monitor tidak statis, sehingga memungkinkan guru atau siswa dapat lebih menggali pengetahuannya tentang objek yang diamati. Wolfram Mathematica merupakan software aplikasi buatan Wolfram Research dari tahun 1988 hingga sekarang, yang handal dengan fasilitas terintegrasi lengkap untuk menyelesaikan beragam masalah matematika. Software ini merupakan sistem aljabar komputer dengan mengintegrasikan fasilitas: (a) komputasi matematik, (b) visualisasi grafik, (c) bahasa pemrograman, (d) pengolah kata, dan (e) mathlink untuk komunikasi dengan sistem lain (Torrence, B.F. dan Torrence E,A. 2009; Ramsden, P dan Kent, P. 1999). Komputasi matematika pada dasarnya dapat diklasifikasikan dalam tiga kelas utama, yaitu komputasi numerik, komputasi simbolik dan visualisasi grafik. Mathematica menyediakan fasilitas lengkap untuk melaksanakan semua komputasi matematika tersebut dalam suatu lingkungan kerja yang terintegrasi. Kemampuan dan keunggulan Mathematica di antaranya ialah selain mampu melakukan seluruh perhitungan aljabar, kalkulus, matematika diskrit, matematika teknik dan statistika dengan mudah dan ringkas, juga mampu menggambarkan beragam jenis grafik dimensi-dua dan dimensi-tiga yang dapat bergerak sesuai ukuran yang diinginkan (Ardana Kutha, N.K, 2002). Berdasarkan uraian di atas, penulis perlu mengkombinasikan model direct instruction dengan bantuan software mathematica. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pencapaian kompetensi kognitif siswa yang diajar dengan menggunakan software mathematica yang mengikuti pola model direct instruction dalam pembelajaran materi volum benda putar. 72
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 3 Manado, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara, pada bulan Juli hingga September 2014. Polulasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XII MIA SMA Negeri 3 Manado terdiri dari 4 kelas pararel, yang terdaftar pada Tahun Ajaran 2014/2015. Sampel adalah siswa kelas XII MIA 4 yang diambil secara acak kelompok (cluster random) sejumlah 30 siswa. Variabel dalam penelitian ini ialah hasil belajar siswa setelah diberikan perlakuan. Rancangan penelitian menggunakan pola One-shot Case Study (Sugiyono, 2010, Sugiyono, 2012; Sukardi 2003) sebagai berikut:
Tabel 2. Rancangan Penelitian Kelas Eksperimen (Sumber: Sugiyono, 2012)
Perlakuan
Posttest
Keterangan : : Perlakuan dengan menggunakan model direct instruction berbantuan software Mathematica. : Hasil posttest kelas eksperimen
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan prosedur sebagai berikut: 1.
Persiapan a. Membuat perangkat pembelajaran b. Memvalidasi perangkat pembelajaran
2.
Pelaksanaan a. Melaksanakan
pembelajaran
dengan
langkah-langkah
pelaksanaan
ditunjukkan oleh Tabel 3 berikut. Langkah-langkah dalam Tabel 3 ini didasarkan pada sintaks yang ada pada Tabel 4. b. Memberikan posttest. 3.
Analisis Data
4.
Penyusunan Laporan
73
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 3. Langkah-langkah Pelaksanaan Pembelajaran Fase 1.
Kelas Eksperimen Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
2.
Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan
3.
Membimbing pelatihan
4.
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
5.
Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan
Guru menjelaskan TPK, informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar. Guru mendemonstarsikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap dengan meng-gunakan menggunakan model pembelajaran direct instruction berbantuan software Mathematica. Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik. Guru mempersiapkan kesempatan melakukan penelitian lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari– hari
Kelas Kontrol Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
Guru menjelaskan TPK, informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar.
Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan
Guru mendemonstarsikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap dengan menggunakan model pembelajaran direct instruction tanpa bantuan software Mathematica.
Membimbing pelatihan
Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik. Guru mempersiapkan kesempatan melakukan penelitian lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari– hari
Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan
74
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 4. Sintaks Model Direct Instruction Berbantuan Software Mathematica Fase 1. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa 2.
Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan
3.
Membimbing pelatihan
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik 5. Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan 4.
Peran Guru Guru menjelaskan TPK, informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar. Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap dengan menggunakan software Mathematica.. Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik. Guru mempersiapkan kesempatan melakukan penelitian lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari
(Sumber: Trianto, 2007)
Instrumen dalam penelitian ini adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun berdasarkan model direct instruction berbantuan software mathematica dan tes bentuk pilihan berganda serta uraian (essay) untuk mendapatkan data capaian kompetensi kognitif siswa. Instrumen tes telah valid dan reliabel melalui serangkaian uji coba di beberapa sekolah sederajat kecuali di SMAN 3 Manado. Pengolahan data menggunakan paket program MINITAB pada komputer. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah statistik uji-t satu kelompok dengan syarat bahwa data menyebar normal ~ ( ,
) . Jika data tidak menyebar normal maka pengujian menggunakan
statistik uji nonparametrik (Walpole, 1995).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari sampel penelitian, yaitu siswa kelas XII MIA 4 yang berjumlah 30 siswa. Data berupa skor tes hasil belajar siswa (posttest) untuk materi integral khususnya volum benda putar pada mata pelajaran matematika. Tabel 5 berikut menyajikan Descriptive Statistics skor hasil belajar siswa sebagai gambaran kompetensi kognitif siswa pada materi volum benda putar.
75
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 5. Descriptive Statistics Skor Hasil Belajar Siswa No. Statistik 1. Jumlah Datum (N) 2. Skor Minimum 3. Skor Maksimum 4. Jumlah Skor 5. Rataan Hitung 6. Standar Deviasi 7 Varians (Sumber: Hasil olahan Minitab)
Skor Kelas Eksperimen 30 65,00 100,00 2410,00 80,33 9,91 98,16
Gambar 1 berikut menampilkan printout uji normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov sebagai uji prasyarat pada taraf signifikansi
= 0.05
dengan hipotesis statistik: : ~ ( , :
) data skor hasil belajar siswa berdistribusi normal
( ,
≁
) data skor hasil belajar siswa tidak berdistribusi normal
Kriteria yang digunakan untuk menentukan normal atau tidaknya data adalah jika − value ≥ , maka tolak untuk menolak
− value < , maka tidak cukup bukti
atau jika
.
Kolmogorov-Smirnov Normality Test Normal 99 Mean StDev N KS P-Value
95 90
80.33 9.908 30 0.118 >0.150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
60
70
80
90
100
110
X
Gambar 1. Uji Normalitas Data dengan Kolmogorov-Smirnov Normality Test
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa p-value > 0,150 dan nilai ini lebih dari taraf signifikansi
= 0.05, sehingga diputuskan bahwa tidak cukup bukti untuk 76
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menolak
, artinya bahwa data skor hasil belajar siswa berdistribusi normal.
Karena itu, hipotesis yang dirumuskan diuji dengan menggunakan statistik uji-t satu kelompok dapat dilanjutkan. Tabel 6 berikut menampilkan printout uji hipotesis dengan statistik uji-t satu kelompok pada taraf signifikansi :
= 70
:
> 70
yang mana
= 0.05 dengan hipotesis statistik:
adalah rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan
model pembelajaran direct instruction berbantuan software mathematica dan 70 adalah KKM yang ditetapkan sekolah. Kriteria yang digunakan adalah jika p-value ≥ , maka tolak
atau jika p-value < , maka tidak cukup bukti untuk menolak
.
Tabel 6. Perhitungan Uji Hipotesis Menggunakan Statistik Uji-t Satu Kelompok Variabel
N
Rataan
30 80,33 (Sumber: Hasil olahan Minitab)
=
St. Deviasi 9,91
1,699
Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa bahwa tolak
pada taraf signifikansi
p-value
,
>
5,71
0,000
0,05
, sehingga diputuskan
= 0,05. Begitu juga jika dilihat dari nilai-
p, terlihat bahwa p-value kurang dari taraf signifikansi, sehingga diputuskan tolak . Hal ini berarti bahwa rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model direct instruction berbantuan software mathematica lebih dari KKM yang ditetapkan sekolah pada pembelajaran materi volum benda putar. Pembahasan Secara umum dapat dikatakan bahwa pembelajaran materi volum benda putar dengan menggunakan model pembelajaran direct instruction berbantuan software mathematica yang dilaksanakan di SMAN 3 Manado dapat menghadirkan suasana belajar yang menyenangkan. Akibatnya, terjadi peningkatan hasil belajar siswa hingga melebihi KKM yang ditentukan sekolah sehingga kompetensi kognitif siswa
77
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
tercapai. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata hasil belajar siswa pada kelas XII PIA 4 sebesar 80,33 yang tahun sebelumnya hanya sebebesar 64,58. Rataan tersebut jika dihubungkan dengan skor minimum dan maksimum, maka terlihat bahwa masih ada siswa yang belum mencapai KKM. Dari data yang menyusun Tabel 5 di atas, diketahui 13,33% siswa yang belum mencapai KKM dan 86,67% siswa lainnya telah mencapai KKM. Pencapaian kompetensi kognitif siswa akibat penggunaan software mathematica yang mengikuti pola model pembelajaran direct instruction pada pembelajaran materi volum benda putar, sejalan dengan pendapat beberapa ahli yang menyebutkan beberapa keuntungan dalam mendayagunakan komputer dalam pembelajaran, antara lain: membangkitkan motivasi peserta didik dalam belajar; animasi dapat menambahkan kesan realisme; menghasilkan penguatan yang tinggi; berguna untuk peserta didik dengan kemampuan berpikir yang lamban, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan software mathematica pada pembelajaran materi volum benda putar cukup bermanfaat. Uji hipotesis juga menunjukkan hal itu. Keputusan pengujian hipotesis yang menyebutkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran direct instruction berbantuan software mathematica lebih dari KKM yang ditetapkan sekolah pada pembelajaran materi volum benda putar, mengisyaratkan kepada kita betapa pentingnya penggunaan komputer sebagai media animasi dalam pembelajaran matematika yang sering dianggap abstrak. Penggunaan media animasi sebagaimana yang dilakukan oleh software mathematica dalam pembelajaran materi volum benda putar dapat membantu siswa lebih memahami apa yang ia pelajari. Selain itu, tugas guru menjelaskan materi akan lebih mudah. Penggunaan media animasi menggunakan komputer dalam pembelajaran, bukan hanya terbatas pada materi seperti dalam penelitian ini, tetapi bisa juga dalam pembelajaran materi lain yang memerlukan gambar dalam memahaminya. Dalam penelitian ini, contoh media yang digunakan dalam pembelajaran materi volum benda putar ditunjukkan oleh Gambar 2 dan Gambar 3.
78
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Gambar 2. Contoh Media Animasi dengan Software Mathematica Pembelajaran Materi Volum Benda Putar dengan Metode Cakram.
Gambar 3. Contoh Media Animasi dengan Software Mathematica Pembelajaran Materi Volum Benda Putar dengan Metode Cincin.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran direct instruction berbantuan software mathematica lebih dari KKM yang ditetapkan sekolah pada pembelajaran materi volum benda putar. Saran Berangkat dari kesimpulan di atas, maka instansi yang terkait dengan pengembangan pendidikan supaya menjadikan metode mengajar menggunakan 79
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
media pembelajaran seperti Software Mathematica sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2014. Direct Instruction. https://en.wikipedia.org/wiki/Direct_instruction. [25 Juli 2014] Ardana Kutha, N.K. 2002. Panduan Penggunaan Mathematica. Pelatihan Pemodelan Mathematika Pengem-bangan dan Implementasinya dalam Komputer. Buku I – II. Jurusan Matematika Fakultas MIPA – IPB Bogor. Arikunto, S. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arsyad, A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers. Matindas, H. 2006. Pemanfaatan Bahan Ajar Berbantuan Komputer dalam Pembelajaran Matematika Pokok Bahasan Kubus dan Balok. Skripsi. Unima Ramsden, P. dan Kent, P. 1999. An Introduction to Mathematica. The Metric Project. Mathematics Department. UK: Imperial College of Science, Technology and Medicine. http://metric.ma.ic.ac.uk/mathematica Shodigiqin, A. 2011. Pembelajaran Matematika dengan Bantuan Sofware Mathematica. Skripsi. IKIP PGRI Semarang. Shodigiqin, A dan Fakhrudin. 2011. Pembelajaran Matematika dengan Bantuan Sofware Mathematica untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika. Semarang: IKIP PGRI Semarang. Sudjana, Nana. 2005. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta ------------. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta. Suherman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA UPI. Suprijono, A. 2009. Cooperative Learning. Jakarta: Pustaka Pelajar. Torrence, B.F. dan Torrence, E.A. 2009. The Student’s Introduction to Mathematica®. 2nd ed. New York: Cambridge University Press. Trianto, 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Walpole, E. Ronald. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: PT. Gramedia.
80
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ANALISIS PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS KURIKULUM 2013 DI SMP KOTA PEKANBARU Atma Murni Pendidikan Matematika FKIP Universitas Riau,
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis pelaksanaan proses pembelajaran matematika berbasis Kurikulum 2013 di SMP Kota Pekanbaru. Data diperoleh melalui observasi, rekaman video, dan wawancara terkait dengan kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, kegiatan penutup, penggunaan media, dan penilaian yang dilakukan dalam pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa guru belum menggunakan strategi, model, pendekatan, metode, media, dan penilaian yang tepat sebagaimana tuntutan Kurikulum 2013. Pendekatan saintifik belum terlaksana secara tepat dan cermat. Media pembelajaran sangat kurang sehingga pembelajaran kurang berjalan secara efektif dan efisien. Pelaksanaan penilaian kognitif, psikomotor, dan afektif yang dilakukan belum terintegrasi dan komprehensif. Kata kunci: pembelajaran matematika, kurikulum 2013, pendekatan saintifik.
PENDAHULUAN Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Kurikulum ini mulai diberlakukan pada tahun pelajaran 2013/2014 secara terbatas pada beberapa sekolah. Untuk tingkat SMP di Kota Pekanbaru telah dilaksanakan pada enam sekolah yang terdiri dari tiga SMP negeri dan tiga SMP swasta. Implementasi Kurikulum 2013 di SMP didukung beberapa Permendikbud, diantaranya berkaitan dengan: (1) Standar Kompetensi Lulusan (Permendikbud No. 54 Tahun 2013); (2) Standar Isi (Permendikbud No. 64 Tahun 2013); (3) Standar Proses (Permendikbud No.65 Tahun 2013); (4) Standar Penilaian (Permendikbud No. 66 Tahun 2013); dan (5) Implementasi Kurikulum 2013 (Permendikbud 81A Tahun 2013). Berdasarkan Permendikbud tahun 2013 ini, dikemas dan ditetapkan lagi Permendikbud No. 58 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama, Permendikbud No. 103 tentang pembelajaran dan Permendikbud No. 104 81
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
tentang penilaian. Pada Kurikulum 2013 pemerintah menyiapkan silabus, buku teks pelajaran (buku peserta didik), dan buku panduan guru. Dengan adanya silabus dan buku teks pelajaran yang telah disediakan secara nasional, guru dituntut untuk dapat mengemas persiapan dan pelaksanaan pembelajaran dengan cermat. Pembelajaran dilaksanakan berbasis aktivitas dengan karakteristik: (1) interaktif dan inspiratif; (2) menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; (3) kontekstual dan kolaboratif; (4) memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik; dan (5) sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan pengembangan fisik serta psikologis peserta didik. Pembelajaran menggunakan pendekatan, strategi, model, dan metode yang mengacu pada karakteristik pembelajaran. (Permendikbud No. 103 Tahun 2014). Pada tahun pelajaran 2013/2014 ditetapkan enam SMP di Kota Pekanbaru untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Pada tahun 2014/2015 dianjurkan semua SMP, tetapi hanya berlangsung satu semester saja dan diminta kembali ke KTSP. Akhirnya pada tahun 2014/2015 SMP yang tetap mengimplementasikan Kurikulum 2013 adalah enam SMP yang ditetapkan Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru sejak tahun pelajaran 2013/2014. Situasi dan kondisi penerapan kurikulum yang belum stabil menjadikan pihak sekolah merasa bingung dalam menjalankan proses pembelajaran. Enam sekolah yang ditetapkan juga kurang percaya diri dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. Sekolah dituntut menyelenggarakan secara mandiri tanpa pendampingan yang diprogramkan dengan jelas dan buku peserta didik kelas VIII juga tidak dimiliki sekolah. Untuk itu dipandang perlu melakukan penelitian dalam rangka mengamati secara cermat, mendeskripsikan, dan menganalisis pelaksanaan pembelajaran khususnya pada pembelajaran matematika berbasis Kurikulum 2013. Aspek pelaksanaan pembelajaran yang diamati, dideskripsikan, dan dianalisis terkait dengan kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup disertai penggunaan media dan penilaian yang dilakukan dalam proses pembelajaran matematika. METODE PENELITIAN
82
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian pengembangan (research and development) yang sedang dilakukan pada tahun 2015 yaitu dalam rangka pengembangan perangkat pembelajaran matematika berrbasis Kurikulum 2013 sebagai upaya peningkatan mutu proses dan hasil belajar matematika peserta didik di SMP. Penelitian ini merupakan fase pertama dari rangkaian empat fase penelitian pengembangan yaitu fase define yang menuntut melakukan analisis kebutuhan untuk keperluan pengembangan. Salah satu kegiatan analisis kebutuhan adalah mengobservasi, mendeskripsikan, dan menganalisis pelaksanaan pembelajaran matematika berbasis Kurikulum 2013. Penelitian dilakukan pada enam sekolah sasaran penerapan Kurikulum 2013 yaitu SMPN 1 Pekanbaru, SMPN 6 Pekanbaru, SMPN 23 Pekanbaru, SMP Babussalam, SMP Al Izhar, dan SMP Cendana. Subjek penelitian (responden) adalah guru-guru matematika yang mengajar di kelas VII dan kelas VIII pada SMP sasaran penerapan Kurikulum 2013 sebanyak 11 orang. Data dikumpulkan menggunakan handy cam, lembar pengamatan dan wawancara. Lembar pengamatan dan pedoman wawancara memuat indikator terkait dengan: (1) kegiatan pendahuluan (apersepsi dan motivasi (Pd1), penyampaian kompetensi dan rencana kegiatan (Pd2)); (2) kegiatan inti (penguasaan materi pembelajaran (I1), penerapan strategi pembelajaran yang mendidik (I2), penerapan pendekatan saintifik (I3), pemanfaatan sumber belajar/media dalam pembelajaran (I4), pelibatan peserta didik dalam pembelajaran (I5), penggunaan bahasa yang benar dan tepat dalam pembelajaran (I6)); dan (3) kegiatan penutup dalam pembelajaran (melakukan refleksi atau membuat rangkuman (P1), memberikan tes tertulis atau lisan (P2), mengumpulkan hasil kerja sebagai portofolio (P3), dan melaksanakan tindak lanjut (P4)). Dari 12 indikator (aspek pengamatan) dijabarkan menjadi 40 pernyataan dan setiap pernyataan memiliki empat pilihan jawaban yaitu selalu, sering, kadang-kadang, dan tidak pernah dengan skor berturut-turut 4, 3, 2, dan 1. Nilai (N) responden pada setiap aspek pengamatan dihitung menggunakan rumus berikut. =
× 100
83
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dari nilai yang diperoleh ditentukan peringkat responden menggunakan ketentuan yang dinyatakan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Peringkat Nilai Pengamatan Peringkat
Nilai
Amat Baik ( A)
90 < N ≤ 100
Baik (B)
75 < N ≤ 90
Cukup (C)
60 < N ≤ 75
Kurang (K)
N ≤ 60
Dari peringkat responden pada setiap aspek pengamatan dilakukan perhitungan tentang persentase responden pada setiap peringkat.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika di SMP sasaran Kurikulum 2013 dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Hasil Pengamatan Pelaksanaan Pembelajaran Matematika Berbasis Kurikulum 2013 Persentase Responden pada Kegiatan Pembelajaran Peringkat
Amat Baik Baik
Cukup
Kurang
Kegiatan
Kegiatan Inti
Pendahuluan Pd1
Pd2
I1
I2
I3
9
0,09
0
0
0
0
0
0
18,18
9,09
36
54,5
100
81,82
55
36,4
0
0
I4
Kegiatan Penutup I5
I6
P1
P2
P3
P4
0
0
9,09
0
0
0
18,18
18,18
18,2
0
0
0
0
54,5
54,55
63,64
81,8
45,5
0
0
0
36,4
27,27
18,18
0
45,5
100
100
100
0
Dari Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa aktivitas yang dilakukan guru dalam pembelajaran dominan berada pada peringkat cukup dan kurang. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran matematika yang dilakukan guru belum sesuai dengan tuntutan implementasi Kurikulum 2013. Pelaksanaan 84
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pembelajaran matematika berdasarkan tuntutan Kurikulum 2013 diharapkan menggunakan pendekatan dan strategi pembelajaran yang memicu peserta didik agar aktif berperan dalam proses pembelajaran dan membimbing peserta didik dalam pengajuan masalah (problem posing) dan pemecahan masalah (problem solving). Pada tahap akhir diharapkan pembelajaran matematika dapat membentuk sikap-sikap positif peserta didik seperti kedisiplinan, tanggung jawab, toleransi, kerja keras, kejujuran, dan menghargai perbedaan. Selanjutnya di kemudian hari dapat terbentuk pola berpikir
dan bertindak ilmiah yang merupakan suatu
kebiasaan (Permendikbud No. 58 Tahun 2014). Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika pada Tabel 2 menyatakan bahwa aktivitas yang dilakukan guru dalam pembelajaran matematika masih berada pada peringkat cukup dan kurang. Hal ini disebabkan guru merasa keberatan dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyiapkan perangkat pembelajaran dengan cermat sehingga berdampak pada pelaksanaan pembelajaran. Selain itu kebiasaan guru menerapkan strategi, model, pendekatan, metode, media, dan penilaian sesuai tuntutan Kurikulum 2013 masih relatif rendah. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Setiap tahap kegiatan memiliki aktivitas yang telah dirumuskan dalam standar proses dan menuntut guru untuk melakukannya secara cermat dan disiplin sehingga berdampak pada keterlibatan dan kreativitas peserta didik dalam pembelajaran matematika. Pada kegiatan pendahuluan ada beberapa aktivitas yang harus dilakukan. Pada penelitian ini dikelompokkan menjadi dua komponen, yaitu: (1) guru melakukan apersepsi dan memberikan motivasi; dan (2) guru menjelaskan kompetensi dan rencana kegiatan. Komponen pertama, guru melakukan apersepsi dan memberikan motivasi. Aktivitas yang termasuk pada komponen pertama ini meliputi: (1) mengaitkan materi pembelajaran sekarang dengan pengalaman peserta didik atau pembelajaran sebelumnya; (2) mengajukan pertanyaan menantang; (3) menyampaikan manfaat materi pembelajaran; dan (4) mendemonstrasikan sesuatu yang terkait dengan materi pembelajaran. Ketika dilakukan pengamatan terlihat guru belum mengemas 85
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kegiatan apersepsi dengan tepat bahkan ada yang tidak melakukan apersepsi. Guru cenderung langsung membahas materi pembelajaran disebabkan merasa takut kekurangan waktu. Akibatnya guru kurang atau tidak dapat menggali pengetahuan awal peserta didik terkait dengan materi pembelajaran yang akan dibahas. Pengetahuan awal berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap proses pembelajaran. Secara langsung, pengetahuan awal dapat mempermudah proses pembelajaran, secara tidak langsung pengetahuan awal dapat mengoptimalkan kejelasan materi pembelajaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu dalam pembelajaran. Sebagaimana dinyatakan Arends (2008), bahwa kemampuan peserta didik untuk mempelajari ide-ide baru bergantung pada pengetahuan awal mereka sebelumnya dan struktur kognitif yang sudah ada. Demikian juga halnya dalam pemberian motivasi, guru kurang jeli mencari contoh-contoh kontekstual yang dapat membuat peserta didik tertarik terhadap materi yang akan dipelajari. Sejatinya guru harus mampu membangkitkan motivasi belajar peserta didik, agar peserta didik dapat berupaya mengerahkan segala kemampuannya dalam proses pembelajaran (Sanjaya, 2010). Komponen kedua, guru menjelaskan kompetensi dan rencana kegiatan. Kenyataan menunjukkan guru kurang tegas menginformasikan tentang kompetensi yang harus dimiliki peserta didik dan rencana kegiatan yang akan dilakukan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini menjadikan peserta didik kurang terarah dalam mengikuti pembelajaran. Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar (KD) yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Permendikbud No. 58 Tahun 2014). Kegiatan inti menggunakan model pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar yag disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. (Permendikbud No. 65 Tahun 2013). Untuk itu sesuai ketentuan pada standar proses, kegiatan inti dijabarkan lebih lanjut dari kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi menjadi lima pengalaman belajar, 86
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
yakni: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasikan, dan mengkomunikasikan. Pengalaman belajar ini lebih dikenal dengan pendekatan saintifik. Kegiatan yang diamati pada pelaksanaan kegiatan inti pembelajaran dalam penelitian ini adalah: (1) penguasaan materi pembelajaran; (2) penerapan strategi pembelajaran yang mendidik; (3) penerapan pendekatan saintifik; (4) pemanfaatan sumber belajar/media dalam pembelajaran; (5) pelibatan peserta didik dalam pembelajaran; dan (6) penggunaan bahasa yang benar dan tepat dalam pembelajaran. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa guru cenderung dan terbiasa menggunakan sumber belajar dari satu buku dan merasa terbebani dengan penundaan pemberian buku teks dari pemerintah. Semestinya guru dapat merancang Lembar Kerja Siswa (LKS) berbasis kontekstual pada kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau secara mandiri untuk setiap materi pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar bagi peserta didik dalam membangun pengetahuannya. Namun untuk merancang LKS guru merasa sangat kesulitan disebabkan LKS harus dirancang sedemikian rupa dari berbagai sumber dan disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Selain itu dinyatakan juga bahwa untuk merancang LKS membutuhkan banyak waktu dan pemikiran yang luas. Lebih lanjut dinyatakan bahwa jika ada buku teks maka pelaksanaan pembelajaran bisa secara langsung memanfaatkan buku teks tersebut. Ada satu responden yang telah menggunakan LKS sebagai sumber belajar, namun LKS tersebut masih belum memenuhi kaidah penulisan LKS yang tepat dan benar serta belum komunikatif. Akibatnya pembelajaran masih cenderung didominasi oleh guru dan terlihat peserta didik tidak terlibat secara aktif. Pendekatan pembelajaran yang digunakan guru masih tergolong berpusat pada guru (teacher-centred approaches). Meskipun guru telah berupaya melaksanakan pembelajaran dengan menempatkan peserta didik dalam beberapa kelompok atau secara berpasangan namun penerapan model pembelajaran dan pendekatan saintifik sebagaimana tuntutan Kurikulum 2013 belum terlaksana secara cermat dan sistematis. Kenyataan ini terlihat ketika pada sebuah kelas guru melaksanakan pembelajaran dengan mengorganisasikan peserta didik pada 87
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kelompok yang beranggotakan 4 s.d. 5 orang dan telah menyediakan LKS sebagai sumber belajar. Peserta didik telah melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan, namun setiap aktivitas belum terlaksana optimal dan memerlukan penyempurnaan. Ketika peserta didik diminta mengamati, guru hanya meminta siswa mengamati buku siswa dan LKS yang semestinya dapat menggunakan media visual sehingga pembelajaran lebih menarik, efektif dan efisien. Pada aktivitas menanya guru belum mengemukakan pertanyaanpertanyaan yang menantang dan peserta didikpun tidak dirangsang untuk mengajukan pertanyaan terkait materi yang sedang dibahas dalam kelompok sehingga tidak dapat melatih peserta didik menalar terkait materi yang dipelajari. Ketika peserta didik melakukan aktivitas mencoba, hasil percobaan tidak diminta untuk dicatat dengan cermat sehingga peserta didik mengalami kendala merumuskan suatu kesimpulan dari percobaan yang dilakukan. Ketika peserta didik diminta mengkomunikasikan, peserta didik belum dapat mempresentasikan hasil diskusi sesuai kompetensi yang diharapkan. Dalam hal penggunaan media, guru masih menggunakan media yang sudah tersedia di sekolah, belum lagi menyiapkan media sesuai kebutuhan pencapaian kompetensi. Kenyataan ini belum memenuhi tuntutan yang dinyatakan dalam Permendikbud No. 58 Tahun 2014 bahwa pembelajaran matematika hendaknya berangkat dari hal-hal yang bersifat konkret menuju abstrak. Guru dituntut lebih mengoptimalkan penggunaan peralatan, media, alat peraga, dan sumber belajar lainnya yang menarik dan berdayaguna sesuai tuntutan kompetensi. Di beberapa sekolah telah tersedia LCD Proyector di setiap kelas, namun jarang digunakan guru sebagai media pembelajaran yang dapat menjadikan pembelajaran efektif dan efisien. Pada kegiatan penutup, sebagian kecil guru sudah merangkum materi yang dipelajari bersama siswa. Beberapa kegiatan lainnya belum dapat dilakukan seperti: memberikan tes tertulis atau lisan; mengumpulkan hasil kerja sebagai portofolio; dan melaksanakan tindak lanjut. Guru seringkali kekurangan waktu dan terbelenggu dengan jam pelajaran yang telah berakhir dan pergantian mata pelajaran. Dengan demikian peserta didik kurang memiliki gambaran tentang 88
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
materi yang akan dipelajari berikutnya. Pengintegrasian penilaian afektif, psikomotor, dan kognitif belum berjalan secara nyata. Penilaian kognitif diakhir proses pembelajaran belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya, dan pemberian tugas setiap kali pertemuan
belum
mencakup semua materi yang dibahas. Karena pembelajaran pada umumnya berpusat pada guru maka siswa tidak banyak melakukan aktivitas dalam kelompok sehingga tidak terlihat guru melakukan penilaian psikomotor. Sedangkan untuk penilaian afektif yang telihat adalah guru menyampaikan beberapa pesan terkait sikap spiritual dan sikap sosial. Bedasarkan kenyataan pelaksanaan pembelajaran yang dapat dihimpun melalui penelitian ini dapat dinyatakan bahwa implementasi Kurikulum 2013 belum sesuai dengan aturan yang tertuang pada standar proses. Dengan demikian sangat diperlukan memberikan bantuan pada guru menyiapkan perangkat pembelajaran untuk dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Untuk itu perlu mengembangkan perangkat pembelajaran matematika yang dapat digunakan guru dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. Beberapa langkah yang dilalui dalam rangka pengembangan perangkat pembelajaran matematika adalah mulai dari penulisan perangkat yang terdiri dari RPP dan LKS dilanjutkan dengan validasi ahli, ujicoba kelompok kecil, revisi, uji coba kelompok besar, revisi sehingga menghasilkan prototype perangkat pembelajaran yang siap untuk diuji efektivitasnya dan akhirnya dapat digunakan guru dalam proses pembelajaran. KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada enam SMP sasaran Kurikulum 2013 belum terlaksana sebagaimana mestinya. Untuk itu perlu adanya kolaborasi antara pihak Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan guru dalam merancang perangkat pembelajaran untuk dapat dipergunakan dalam pelaksanaan proses pembelajaran matematika berbasis Kurikulum 2013. DAFTAR PUSTAKA
89
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Arends, R.I. (2008). Learning to Teach, Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh Buku Satu. Penerjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kemendikbud., 2013., Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: Depdikbud. Kemendikbud., 2013., Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian. Jakarta: Depdikbud. Kemendikbud., 2013., Permendikbud No. 58 Tahun 2014 tentang Kompetensi Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/MTs. Jakarta: Depdikbud. Kemendikbud., 2013., Permendikbud No. 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum. Jakarta: Depdikbud. Kemendikbud., 2014., Permendikbud No. 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud. Kemendikbud., 2014., Permendikbud No. 104 Tahun 2014 tentang Penilaian. Jakarta: Depdikbud. Mulyatiningsih, E., 2010., Pengembangan Model Pembelajaran. [Online]. Tersedia: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dra-endangmulyatiningsih-mpd/7cpengembangan-model-pembelajaran.pdf. [10 Februari 2014] Sanjaya, W., 2010. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
90
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN DEMONSTRASI-STUDENT CENTERED LEARNING (SCL) DAN METODE AUDITORY INTELLECTUALLY REPETITION (AIR) Ni Made Asih1 1
Jurusan Matematika,FMIPA Universitas Udayana,
[email protected]
Abstrak. Pada Jurusan Matematika mata kuliah Fungsi Kompleks merupakan mata kuliah wajib di semester tiga. Nilai fungsi kompleks dikategorikan rendah dan standar, hal ini dikarenakan model pembelajarannya. Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh faktor interen dan eksteren. Faktor interen salah satunya adalah dari siswa sendiri berupa kesiapan siswa dalam menghadapi perkuliahan atau proses belajar mengajarnya(PBM), sedangkan factor eksterennya salahsatunya yaitu kegiatan siswa diluar kelas dalam mengikuti suatu organisasi,keadaan keluarga, dan lainnya. Untuk keaktifan siswa dalam Proses Belajar Mengajar akan dilaksanakan dengan kombinasi metode Demostrasi dan metode Student Centered Learning (SCL), dibandingkan dengan metode Audiotory Intellectualy Repetition (AIR) , metode demonstrasi adalah model pembelajaran yang mendemokan, memaparkan, menjelaskan baik berupa alat peraga, objek ataupun mendemokan materi/Konsep dan Metode Student Centered Learning (SCL) adalah Model Pembelajaran yang berfokus pada kreatifitas siswa dalam proses belajar mengajar,sedangkan Model pembelajaran (Auditory Intellectually Repetition) AIR adalah suatu model pembelajaran yang menekankan pada kegiatan belajar siswa, dimana siswa secara aktif membangun sendiri pengetahuannya secara pribadi maupun kelompok dan diharapkan siswa lebih aktif dan berperan serta dalam Proses belajar mengajar (PBM). Sampel yang akan digunakan adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah fungsi kompleks tahun ajaran 2011, mahasiswa akan dibagi menjadi 2 kelompok kelas, yaitu kelas A terdiri dari 22 orang dan kelas B terdiri dari 22 orang, dengan kategori kedua kelas mempunyai kemampuan yang sama dan diberikan perlakuan berbeda dari kedua metode tersebut. Keefektifan metode akan di ujikan dengan uji dua sampel berpasangan (two paired sample).Hasil penelitian setelah diberikan pembelajaran dari kombinasi Metode Demostrasi dan metode Student Centered Learning (SCL), menunjukkan dikelas A memperoleh p value 0,329 dan dikelas B dengan metode Audiotory Intellectualy Repetition (AIR) memperoleh p value 0,485, yang artinya kedua kelas tidak ada pengaruh diadakannya metode pembelajaran tersebut. Hasil pengujian hipotesis penelitian untuk kedua kelas yaitu memperoleh p value 0,199 yaitu menolak Ho yang artinya dari kedua kelas tidak ada perbedaan hasil belajar, hal ini bukan berarti kedua metode tidak efektif, tetapi kesiapan siswanya yang kurang dalam menghadapi model pembelajaran yang baru, waktu yang kurang lama, dan materi yang padat. Kata kunci: Keberhasilan Belajar, Model pembelajaran Demonstrasi, Model pembelajaran SCL,Model pembelajaran AIR.
PENDAHULUAN Di Tingkat Perguruan tinggi , khususnya di Universitas Udayana sistem pembelajaran sudah mulai dikembangkan. Di tingkat universitas, kategori usia 91
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
siswa dan pola berpikir, tingkah laku dapat dikatakan dewasa dan mandiri. Proses belajar mengajar pun diusahkan menyenangkan dan tidak membosankan dan berjalan secara mandiri dengan saran dan prasarana yang tersedia. Dijurusan matematika Fakultas MIPA Universitas Udayana, seluruh siswa yang memilih jurusan matematika otomatis sudah pasti senang dan menyenangi matematika walaupun mata ajar ini dianggap sulit oleh beberapa siswa lain. Hanya saja bagaimana cara Dosen yang memberikan PBM dan melaksanakan perkuliahan agar kelas menjadi bergairah dan menyenangkan, supaya prestasi siswa meningkat. Sebagai mata kuliah yang akan dipakai objek dalam PBM ini adalah mata Kuliah Fungsi Kompleks, mata kuliah ini keluar setiap semester tiga dan merupakan mata kuliah wajib. Mata kuliah fungsi kompleks selama ini memperoleh keberhasilan belajar yang masih dikategorikan rendah, disamping mata kuliah ini memang agak berat dalam pemahaman konsep, materi yang banyak. Dosen ingin mengubah model pembelajaran yang berlangsung selama ini yaitu metode pembelajaran konvensional yang hanya mentransfer ilmu secara monoton dan menjenuhkan, model pembelajaran yang akan diperkenalkan yaitu
kombinasi model
pembelajaran demonstrasi dan SCL yang akan dibandingkan dengan model pembelajaran metode AIR. Keberhasilan belajar dan keefektifan proses belajar mengajarnya akan dianalisis dengan uji dua sampel berpasangan (two paired sample). TINJAUAN PUSTAKA Keberhasilan belajar adalah tercapainya keadaan proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberhasilan belajar bisa diketahui dengan evaluasi karena evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Indikator yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam menyatakan bahwa suatu proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, adalah:(a).Daya serap terhadap bahan pelajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok, (kognitif), (b). Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/ TIK telah dicapai 92
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
siswa baik individu maupun klasikal (afektif). Namun yang banyak dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan dari keduanya adalah daya serap siswa terhadap pelajarannya. Tes prestasi belajar dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan dan dapat digolongkan kedalam jenis penilaian sebagai berikut :(a). Tes Formatif; Penilaian ini digunakan untuk menguur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang daya serap anak didik terhadap pokok bahasan tersebut. Hasil tes ini dimanfaatkan untuk memperbaiki proses balajar mengajar bahan tertentu dalam waktu tertentu Contohnya: ulangan harian, (b). Tes Subsumatif; Tes ini meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang telah diajarkan dalam waktu tertentu, bertujuan untuk memperoleh gambaran daya serap anak didik untuk meningkatkan tingkat prestasi belajar anak didik. Hasil tes ini digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan diperhitungkan dalam menentukan nilai rapor (UTS), (c). Tes Sumatif; Tes ini dilakukan untuk mengukur daya serap anak didik terhadap bahan pokok-pokok bahasan yang telah diajarkan selama satu semester atau dua tahun pelajaran, Tes ini bertujuan untuk menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan belajar anak didik dalam suatu periode belajar tertentu. Hasil tes ini daigunakan untuk kenaikan kelas, menyusun rangking atau sebagai ukuran mutu sekolah (UAS). Metode Pembelajaran Demonstrasi Pengertian
model
pembelajaran
demonstrasi
menurut
Jusuf
Djajadisastra,dkk(1989) mengemukakan bahwa model demonstrasi adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan mempertunjukkan secara langsung objeknya atau cara melakukan kegiatan, atau prosesnya. Sedangkan menurut Nana Sudjana(2000) mengatakan bahwa model demonstrasi adalah metode mengajar yang efektif, sebab membantu para siswa mencari jawaban dengan usaha sendiri berdasarkan olahan yang benar, nyata benar. Dari Syaiful Bahri Djamariah dan aswan Zain (1996) mengemukakan bahwa model demonstrasi adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan meragakan atau mempertunjukkan kepada para
93
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
siswa suatu proses memperoleh hasil, situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik sebenarnya ataupun tiruan, yang sering disertai dengan penjelasan lisan.Dengan model demonstrasi ini siswa dapat menerima pelajaran dengan kesan yang mendalam, membentuk pengertian dengan baik dan sempurna.Berdasarkan beberapa pendapat tentang model demonstrasi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa model demonstrasi adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan memepertunjukkan secara langsung objeknya, atau cara melakukan suatu kegiatan atau prosesnya. Tujuan penggunaan metode demonstarsi ialah untuk menjelaskan suatu bahan pelajaran yang tidak mungkin hanya diberikan secara lisan saja.Hal ini erat sekali hubungannya denagn penjelasan penjelasan yang bersangkutan dengan bentuk, warna,
sususnan,
bagian
didemonstrasikan.Langkah
bagian langkah
pertamapersiapan/perencanaan
untuk
dan
proses
pelaksanaan menciptakan
kerja
dari
metode kondisi
objek
yang
ini
adalah
belajar
untuk
pelaksanaan pembelajaran, kedua pelaksanaan dengan tahapan menjelaskan prosedur atau proses, diamati dan diikuti oleh siswa, sikap kritis siswa, tanya jawab, memberikan siswa untuk bergantian mendemokan materi dan soal, membuat penilaian, dan ketiga memberika tugas baik secara lisan maupun tertulis dalam evaluasi yang baik dan benar.(Desak dan asih,2013) Model Pembelajaran Student Centered Learning (SCL). Berikut ini beberapa pengertian SCL dari berbagai literatur; Rogers (1983), SCL merupakan hasil dari transisis perpidahan kekuatan dalam proses pembelajaran, dari kekuatan dosen sebagai pakar menjadi kekuatan mahasiswa sebagai pembelajar. Perubahan ini terjadi setelah banyak harapan untuk memodifikasi atmosfer pembelajaran yang menyebabkan siswa menjadi pasif, bosan dan resisten, Kember (1997), SCL merupakan sebua kutub proses pembelajaran yang menekankan mahasiswa sebagai pembangun pengetahuan sedangkan kutub yang lain adalah dosen sebagai agen yang memberikan pengetahuan, Harden dan Crosby (2000), SCL menekankan pada Mahasiswa sebagai pembelajar dan apa
94
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
yang dilakukan siswa untuk sukses dalam belajar dibanding dengan apa yang dilakukan oleh guru. Dari berbagai definisi tersebut dapat dipahami bahwa Student Centered Learning (SCL) adalah suatu model pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai pusat dari proses belajar. Model pembelajaran ini berbeda dari model belajar Instructor-Centered Learning yang menekankan pada transfer pengetahuan dari guru ke murid yang relatif bersikap pasif. Dalam menerapkan konsep StudentCentered Leaning, peserta didik diharapkan sebagai peserta aktif dan mandiri dalam proses belajarnya, yang bertanggung jawab dan berinitiatif untuk mengenali kebutuhan belajarnya, menemukan sumber-sumber informasi untuk dapat menjawab kebutuhannya, membangun serta mempresentasikan pengetahuannya berdasarkan kebutuhan serta sumber-sumber yang ditemukannya. Dalam batasbatas tertentu mahasiswa dapat memilih sendiri apa yang akan dipelajarinya . Student-Centered Learning, yang menekankan pada minat, kebutuhan dan kemampuan individu, menjanjikan model belajar yang menggali motivasi intrinsik untuk membangun masyarakat yang suka dan selalu belajar. Model belajar ini sekaligus dapat mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan masyarakat seperti kreativitas, kepemimpinan, rasa percaya diri, kemandirian, kedisiplinan, kekritisan dalam berpikir, kemampuan berkomunikasi dan bekerja dalam tim, keahlian teknis, serta wawasan global untuk dapat selalu beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan. Materi dan model penyampaian pembelajaran dalam SCL secara lengkap meliputi 3 aspek, yaitu (1) isi ilmu pengetahuan (IPTEK), (2) sikap mental dan etika yang dikembangkan, dan (3) nilai-nilai yang diinternalisasikan kepada para mahasiswa. Di dalam proses SCL terdapat hubungan “tarik-menarik” antara learner support dan learner control (http//google.com.2014.Pendidikan-Konsep SCL). Model Pembelajaran Kooperatif AIR (Auditory Intellectually Repetition). Model pembelajaran AIR (Auditory Intellectually Repetition) adalah suatu model pembelajaran yang menekankan pada kegiatan belajar siswa, dimana siswa secara aktif membangun sendiri pengetahuannya secara pribadi maupun kelompok,
95
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dengan cara mengintegrasikan ketiga aspek tersebut. Menurut Herdian model pembelajaran AIR mirip dengan SAVI (Somatic Auditory Visualization Intellectually) dan VAK (Visualization Auditory Kinesthetic), bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalaman, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis. Istilah AIR diambil dari kependekan unsur-unsurnya yaitu Auditory, Intellectually dan Repetition. Adapun penjelasan mengenai unsur-unsur AIR adalah sebagai berikut : a. Auditory (A);Auditory adalah belajar dengan berbicara dan mendengarkan, menyimak, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi. Menurut Meier ada beberapa gagasan untuk meningkatkan penggunaan auditory dalam belajar, diantaranya (Yusuf dan juntika,2005). (1) Mintalah siswa untuk berpasangan, membincangkan secara terperinci apa yang baru mereka pelajari dan bagaimana menerapkannya; (2) Mintalah siswa untuk mempraktikan sesuatu keterampilan atau memperagakan suatu konsep sambil mengucapkan secara terperinci apa yang sedang mereka kerjakan; (3) Mintalah siswa untuk berkelompok dan berbicara saat menyusun pemecahan masalah. Dari ketiga gagasan tersebut dimulai dari siswa dikumpulkan dalam beberapa kelompok dan mempraktekan secara bersama-sama untuk menyelesaikan masalah, tentunya ketiga aspek tersebut dapat menumbuhkan komunikasi siswa dalam kelas sehingga siswa berperan aktif dikelas. Auditory yang dimaksud disini yaitu ketika kita membuat suara sendiri dengan berbicara beberapa area penting di otak kita menjadi aktif b. Intellectually ( I ); Intellectually adalah belajar dengan berfikir untuk menyelesaikan masalah, kemampuan berfikir perlu dilatih dengan latihan bernalar, menciptakan, memecahkan masalah, mengkonstruksi dan menerapakan. Menurut Meier Intellectually dalam belajar akan terlatih jika guru mengajak siswa terlibat dalam aktivitas memecahkan masalah, menganalisis pengalaman, mencari dan menyaring informasi, merumuskan pertanyaan (Ali dan Asrori,2011).Dalam hal ini guru harus mampu merangsang, mengarahkan, memelihara dan meningkatkan intensitas proses berfikir siswa guna mencapai kompetensi yang akan dicapai. c. Repetition ( R ); Repetition merupakan pengulangan yang bermakna mendalami, 96
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
memantapkan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau kuis. Dengan adanya latihan dan pengulangan akan membantu proses mengingat. Pengulangan yang dilakukan tidak berarti dilakukan dengan bentuk pertanyaan atau informasi yang sama, melainkan dalam bentuk informasi yang bervariatif sehingga tidak membosankan. Dengan pemberian soal dan tugas, siswa akan mengingat informasiinformasi yang diterimanya dan terbiasa untuk menyelesaikan permasalahapermasalahan matematika (http://jaul4blog.wordpress.com,2013). Langkah-langkah model pembelajaran AIR adalah sebagai berikut :(a). Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing kelompok 4-5 anggota; (b). Siswa mendengarkan dan memperhatikan penjelasan dari guru; (c). Setiap kelompok mendiskusikan tentang materi yang mereka pelajari dan menuliskan hasil dari hasil diskusi tersebut dan selanjutnya untuk dipresentasikan didepan kelas (Auditory) ;(d). Saat diskusi berlangsung, siswa mendapat soal atau permasalahan yang berkaitan dengan materi[15]; (e). Masing-masing kelompok memikirkan cara menerapkan hasil diskusi serta dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk menyelesaikan maslah dari guru (Intellectual); (f). Setelah selesai berdiskusi, siswa mendapat pengulangan materi dengan cara mendapatkan tugas atau kuis tiap individu (Repetition) )http://annieck-dheh.blogspot.com,2013). Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahan. Adapun yang menjadi kelebihan dari model pembelajaran AIR adalah sebagai berikut: (1) Melatih pendengaran dan keberanian siswa untuk mengungkapkan pendapat (Auditory); (2) Melatih siswa untuk memecahkan masalah secara kreatif (Intellectually); (3) Melatih siswa untuk mengingat kembali tentang materi yang telah dipelajari (Repetition); (4) Siswa menjadi lebih aktif dan kreatif. Sedangkan yang menjadi kelemahan dari model pembelajaran AIR adalah dalam model pembelajaran AIR terdapat tiga aspek yang harus diintegrasikan yakni Auditory, Intellectually, Repetition sehingga secara sekilas pembelajaran ini membutuhkan waktu yang lama. Tetapi, hal ini dapat diminimalisir dengan cara pembentukan
kelompok
pada
aspek
Auditory
dan
Intellectually
(http://widyoktivia.blogspot.com,2013). 97
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Uji Statistik Dua Sampel Berpasangan (Two Paired Sampel). Adapun peneliti juga melakukan uji statistik yaitu uji t dua sampel berpasangan untuk mengetahui signifikansinya dari metode pembelajaran
ini. Langkah-
langkahnya adalah; (1).Menentukan nilai evaluasi dari masing masing kelompok pada kelompok A (Kombinasi metode demonstrasi dan SCL) dan kelompok B (metode AIR); (2).Menguji nilai masing masing kelompok dengan uji dua sampel berpasangan, kemudian membandingkan kedua nilai kedua kelompok dengan uji t dua sampel berpasangan, dengan selang kepercayaan 5% atau alpha 0,05(Walpole). Hipotesis yang dipakai; H0 = Ada pengaruh metode yang diberikan terhadap hasil belajar H1 = Tidak ada pengaruh metode yang diberikan terhadap hasil belajar (3).Menyimpulkan hasil perbandingan dari p value yang didapatkan dari kedua kelompok yaitu kelas A dan kelas B dengan metode yang berbeda. Observasi Pembelajaran (Deskriptif). Beberapa aspek yang akan dinilai dari pelaksanaan pembelajaran antara lain adalah; a. Partisipasi (Kehadiran Penuh dan Tidak hadir) b. Tanggung Jawab (Penuh dan Cukup) c. Ketrampilan/Psikomotorik d. Kemandirian (Mandiri, Cukup) e. Kriteria Keaktifan (Aktif, Cukup Aktif, Tidak Aktif) METODE DAN HASIL PENELITIAN Jenis dan Sumber data pada penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dalam melaksanakan penelitiannya, yang diperoleh dari hasil kombinasi pembelajaran metode demonstrasi- metode SCL, dan model pembelajaran AIR. Sampel yang akan dipakai adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah Fungsi Kompleks. Dalam pelaksanaanya kombinasi model demonstrasi dan SCL dibentuk kelompok A, serta dari metode AIR juga ada kelompok B, dengan kata lain kelas Fungsi kompleks 98
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
akan dipecah menjadi dua kelompok. Kelompok A terdiri dari 22 mahasiswa yang akan diberikan pembelajaran dengan metode Demonstrasi dan SCL, dan kelompok B akan diberikan pembelajaran dengan metode AIR yang terdiri dari 22 mahasiswa. Kedua kelompok terdiri dari mahasiswa dengan keadaan kemampuannya yang sama. Materi yang akan diberikan juga sama, jam atau waktu pelaksanaanya juga sama (6 bulan)/satu semester. Adapun variable yang akan dinilai adalah Proses pelaksanaan metode, yaitu dapat dilihat dari table 1. Tabel 1. Penilaian proses Pembelajaran pada Metode Demonstrasi dan SCL. No
Aspek yang dinilai
Jumlah Jumlah
Persentase
(orang)
(%)
a.Kehadiran Penuh
22
100
b.Tidak hadir
0
0
a.Penuh
20
90,9
b.Cukup
2
9,09
3.
Ketrampilan/Psikomotorik
22
100
4.
Kemandirian a.Mandiri
18
36,36
b.Cukup
4
18,18
a. Aktif
18
36,36
b.Cukup Aktif
2
9,09
c.Tidak Aktif
2
9,09
1.
2.
5.
Partisipasi
Tanggung Jawab
Kriteria Keaktifan
Tabel 1 mengartikan bahwa kelas A terdiri dari 22 mahasiswa, Partisipasi 100%, Tanggung jawab 90%., Ketrampilan /Psikomotorik 100%, Kemandirian 36,36%, Keaktifan penuh 36,36%, hal ini menandakan kelas A dengan semangat dan aktif , senang dengan model pembelajaran yang baru. Sedangkan untuk hasil 99
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pembelajaran pada kelas B dapat dilihat pada table 2, sebagai berikut; Tabel 2. Penilaian proses Pembelajaran pada Metode AIR. No
Aspek yang dinilai
Jumlah Jumlah
Persentase
(orang)
(%)
a.Kehadiran Penuh
22
100
b.Tidak hadir
0
0
a.Penuh
18
36,36
b.Cukup
4
18,18
3.
Ketrampilan/Psikomotorik
15
68,18
4.
Kemandirian a.Mandiri
15
68,18
b.Cukup
7
31,81
a. Aktif
15
68,18
b.Cukup Aktif
4
18,18
c.Tidak Aktif
3
13,63
1.
Partisipasi
2.
Tanggung Jawab
5.
Kriteria Keaktifan
Tabel 2 mengartikan bahwa kelas B terdiri dari 22 mahasiswa, Partisipasi 100%, Tanggung jawab 36,36%., Ketrampilan /Psikomotorik 68,18%, Kemandirian 68,18%, Keaktifan penuh 68,18%, hal ini menandakan kelas B dengan lebih semangat dan aktif , senang dengan model pembelajaran yang baru. Hasil dari ujian atau test untuk kelas A ditunjukkan dari table 3. Tabel 3. Data Nilai Tes 1 dan Test 2 pada Metode Demonstrasi dan SCL Klp Interval Nilai
Nilai
Kategori
Jumlah
Jumlah
UTS- test 1
UAS – test 2
Frekuensi
%
Frekuensi
%
100
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
1.
80-100
Amat baik
6
27,72
11
0,5
2.
70-79
Baik
6
27,27
2
9,09
3.
56-69
Cukup
1
4,54
3
13,63
4.
0-55
Kurang
9
40,9
6
27,27
Jumlah
Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari 27,72% pada ujian 1 menjadi 50% pada ujian 2, walaupun adanya sedikit peningkatan dan peningkatannya pun tidak sampai 80%, akan tetapi sudah 50% mahasiswa sudah mampu dalam hasil belajarnya ( kurang efektif dilaksanakan). Hasil Uji t dari sampel kelas A menunjukkan bahwa nilai P adalah 0,329 mengidikasikan bahwa tidak ada pengaruh model pembelajaran ini dengan madel konvensional yang PBM selama ini dilaksanakan Sedangkan dari kelas B terlihat pada table 4 sebagai berikut; Tabel 4. Data Nilai Tes 1 dan 2 pada Metode AIR. Klp Interval Nilai
Kategori
Nilai
Jumlah
Jumlah
UTS
UAS
Frekuensi
%
Frekuensi
%
1.
80-100
Amat baik
6
27,27
9
40,9
2.
70-79
Baik
5
22,72
2
9,09
3.
56-69
Cukup
6
27,27
3
13,63
4.
0-55
Kurang
5
22,72
8
36,36
Jumlah
Tabel 4 , dari kelas B menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari 27,27% pada ujian 1 menjadi 40,9% pada ujian 2, walaupun adanya sedikit peningkatan dan peningkatannya pun tidak sampai 80%, akan tetapi sudah 40,9% mahasiswa sudah mampu dalam hasil belajarnya ( kurang efektif dilaksanakan ). Kelas B menunjukkan bahwa nilai P adalah 0,485 mengidikasikan bahwa
101
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
tidak ada pengaruh model pembelajaran ini dengan model konvensional yang PBM selama ini dilaksanakan. Hasil Uji t dua sampel berpasangan dari kelas A dan Kelas B adalah ; N
Mean
St.Deviasi
SE Mean
Kelas B
22
-3.14
20.67
4.41
Kelas A
22
3.36
15.77
3.36
Selisih
22
-6.50
22.96
4.90
95% CI for mean difference: (-16.68, 3.68) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -1.33 P-Value = 0.199 Nilai p adalah 0,199 artinya bahwa tidak ada pengaruh perbedaan model pembelajaran dari kedua metode yang dilaksanakan dari kelas A dan kelas B, artinya kedua metode sama baiknya untuk dilaksanakan dalam pembelajara mata kuliah Fungsi kompleks. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Model pembelajaran yang telah diberikan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dari kombinasi metode Demostrasi dan metode Student Centered Learning (SCL), dibandingkan dengan metode Audiotory Intellectualy Repetition (AIR), mendapatkan hasil nilai p 0,199 artinya bahwa tidak ada pengaruh perbedaan model pembelajaran dari kedua metode yang dilaksanakan dari kelas A dan kelas B, artinya kedua metode sama baiknya untuk dilaksanakan dalam pembelajara mata kuliah Fungsi kompleks. Saran. Dengan kata lain peneliti dapat menyarankan bahwa untuk melakukan pembelajaran dengan metode Demostrasi dan metode Student Centered Learning (SCL), dibandingkan dengan metode Audiotory Intellectualy Repetition (AIR), diharapkan kesiapan siswa dipersiapkan dulu, menyediakan waktu yang cukup lama, materi yang sudah dipersiapkan dengan baik, dan jadwal yang padat dalam mengikuti organisasi.
102
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR PUSTAKA Djajadisastra,Jusuf.1989.Administrasi pendidikan dan Pengajaran.Bandung:Proyek BPG tertulis,Depdikbud
Metodologi
Marpaung, Y. 1999. Mengejar Ketertinggalan Kita dalam PendidikanMatematika. Mengutamakan Proses Berpikir dalamPembelajaran Matematika. Makalah Disampaikan dalamUpacara Pembukaan Program S3 Pendidikan Matematika UNESA, Tanggal 10 September 1999. Nana,Sudjana.1996.Cara Belajar siswa Aktif Mengajar.Bandung:Sinar Baru Algensindo
dalam
proses
belajar
Nilakusmawati,Desak Nila dan Asih Ni Made.2013.Kajian Teoritis Beberapa Model Pembelajaran.Jurusan Matematika FMIPA Universitas Udayana. Muhibbin Syah, 2005,Psikologi Belajar, Jakarta:Pt.Raja Grafindo Persada Priyatno,Dwi.2008.SPSS(statistical Product and Service Solution) untuk analisis data dan uji statistika.Diterbitkan oleh MediaKom.Yogyakarta. Sudjana,Prof Dr.1992.Metode Statistika.Edisi kelima.Penerbit Tarsito Bandung. Varberg,Dale dan Edwin J Purcell dan Steven E.Rigdon.2010.Kalkulus II.Edisi kesembilan jilid I.Penerbit Erlangga (IKAPI) -----------------------.http//google.com.2014.Pendidikan-Konsep SCL.ditulis tanggal 28 agustus 2010. http://jaul4blog.wordpress.com/2013/02/25/285/ November 2013
diakses
pada
tanggal
05
http://annieck-dheh.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-en-us-xnone.html diakses pada tanggal 05 November 2013 http://windyoktivia.blogspot.com/2013/04/model-pembelajaran-air.html pada tanggal 19 Januari 2014
diakses
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 246 Mohammad Ali & Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal. 42-43
103
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGEMBANGAN SOAL PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DENGAN STRATEGI FINDING A PATTERN Navel Oktaviandy Mangelep1 1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado,
[email protected]
Abstrak. This study aims to develop a valid and practical mathematics problem on the finding a pattern strategy and to determine the potential effects of such tasks to the students' mathematics skills. The method used is development research comprised preliminary stages (analysis and design) and prototyping (formative evaluation). The subjects were students of grade X SMA Negeri 1 Tondano. Data collection techniques include walk through, documentation, interviews, questionnaires, and tests. Based on the development results, it generates valid and practical prototype. The tasks consist of 14 problems. Validity was fulfilled by the qualitative and quantitative validation. Practicality is fulfilled by state of experts and practitioners that the developed taks can be applied to senior high school students. In addition, appropriate with the implementation of one-to-one and small group, it appears that all students can use the prototype of tasks properly. Students' responses show that the prototype tasks have a potential effect to explore the potency of students grade X in SMA Negeri 1 Tondano Students can use optimally their mathematics ability to solve mathematical problems related to daily life in that prototype of tasks. Moreover, from the results of a questionnaire conducted at the field test stage, most students said that the given mathematics problems on the finding a pattern strategy are interesting. They also said that those may spur enthusiasm in learning mathematics due to the given problem related to the problems of everyday life. Kata Kunci: finding a pattern, pengembangan, soal pemecahan masalah
PENDAHULUAN Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa Indonesia sangatlah rendah. Hal ini ditunjukkan dengan hasil studi internasional yang menggunakan soal-soal pemecahan masalah seperti PISA (Program for International Student Assessment), TIMSS (Tren in International Mathematics and Science Study), dan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study). Dalam PISA Indonesia bahkan hampir selalu menduduki peringkat bawah, yakni peringkat 39 dari 43 negara pada PISA 2000 (OECD, 2003), peringkat 38 dari 41 negara pada PISA 2003 (OECD, 2004), peringkat 50 dari 57 negara pada PISA 2006 (OECD, 2007), dan peringkat 61 dari 65 negara pada PISA 2009 (OECD, 2010). Hasil paling mencengangkan adalah
pada
PISA 2012 dimana siswa-siswa Indonesia
menempati posisi 64 dari 65 negara (OECD, 2013). 104
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kemampuan pemecahan masalah siswa yang rendah juga terlihat dari hasil penelitian Novita (2012) yang mengembangkan soal pemecahan masalah matematika model PISA level moderate dan most difficul. Pada penelitian tersebut siswa yang termasuk dalam subjek penelitian hanya berada pada kategori cukup dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Runtukahu (2015) dan Karinda (2015) menunjukkan bahwa masih banyak siswa yang kesulitan dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah matematika, padahal dalam kurikulum 2013 kemampuan memilih dan menerapkan strategi pemecahan masalah matematika merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa. Berdasarkan hasil pengamatan awal dan wawancara dengan guru mata pelajaran matematika di SMA Negeri 1 Tondano didapatkan bahwa sebagian besar siswa kesulitan menjawab soal pemecahan masalah matematika terutama pada topik barisan dan deret sehingga prestasi siswa pada materi tersebut cenderung rendah. Hal ini dikarenakan siswa tidak terbiasa dengan soal pemecahan masalah yang berbentuk soal cerita, dan kurangnya keterampilan dalam menerjemahkan kalimat sehari-hari ke dalam kalimat matematika. Selain itu, guru terbiasa hanya memberikan soal yang terdapat pada buku paket dan tidak pernah mengembangkan soal pemecahan masalah yang terkait dengan topik pembelajaran. Padahal menurut Suandito (2009), kebanyakan soal yang terdapat dalam buku pegangan guru merupakan soal cerita tertutup dengan jawaban tunggal yang mengakibatkan siswa menjadi tidak kreatif dan sulit mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Pengembangan soal yang dapat membuat siswa berpikir kreatif dan aktif dalam pemecahan masalah matematika bisa menjadi alternatif dalam mengatasi persoalan di atas. Hal ini didasarkan dari beberapa hasil penelitian seperti Mangelep (2013) yang telah mengembangkan soal matematika pada kompetensi proses koneksi dan refleksi PISA, Karinda (2015) yang mengembangkan soal pemecahan masalah pada materi PLDV dengan menggunakan strategi Intelligent Guessing and Testing, dan Runtukahu (2015) yang mengembangkan soal cerita matematika dengan strategi pemecahan masalah Polya, menunjukkan bahwa soal yang
105
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dikembangkan memiliki efek potensial dalam meningkatkan kreatifitas siswa terutama dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah. Strategi Finding a Pattern (FaP) merupakan salah satu strategi dalam menyelesaikan masalah dan proses pemecahan masalah matematika. Strategi ini terkait dengan proses mengamati informasi dalam bentuk gambar, angka, huruf, kata, warna, atau suara (Mangelep, 2014). Ada beberapa ciri masalah matematika yang dapat diselesaikan dengan strategi FaP ini, antara lain : (1) masalah berbentuk perpangkatan yang cukup besar dan biasanya diminta untuk menentukan digit terakhir, digit tengah atau banyaknya digit, (2) masalah yang melibatkan sebuah bentuk bangun dan kita diminta menentukan banyaknya bangun satuan yang membentuk bangun tersebut, (3) menentukan suku tertentu pada sebuah barisan, (4) menentukan jumlah bilangan atau rumusnya yang membentuk suatu barisan tertentu, (5) menyelesaikan masalah tentang operasi aljabar pada suatu pecahan, (6) menentukan hasil bagi suatu bilangan yang lebih dari 10 digit. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dikembangkan soal pemecahan masalah matematika dengan strategi FaP yang valid dan praktis serta melihat bagaimana efek potensial soal yang dikembangkan dengan kemampuan matematika siswa. Masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana mengembangkan soal pemecahan masalah matematika dengan strategi FaP pada topik barisan dan deret yang valid dan praktis? (2) Bagaimana efek potensial soal yang dikembangkan terhadap kemampuan matematika siswa SMA Negeri 1 Tondano? METODE PENELITIAN Peneltian dilaksanakan pada semester 2 tahun pelajaran 2014/2015 dengan subjek penelitian siswa kelas X SMA Negeri 1 Tondano. Penelitian ini menggunakan metode penelitian pengembangan dengan tipe evaluasi formatif (Zulkardi, 2010). Penelitian ini terdiri tahap analisis, tahap pendesainan
dan
evaluasi formatif yang meliputi self evaluation, expert reviews dan one-to-one dan small group serta field test. (Tessmer 1993, Zulkardi 2010, Mangelep 2013).
106
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Expert Reviews Analysis
Design
Self Evaluation
Revise
Revise
Small Group
Revise
Field Test
One-to-one
Gambar 1. Diagram Alir Pengembangan Soal Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan tahapan pengembangan soal yang telah disebutkan sebelumnya, disini akan dijelaskan hasil pengembangan berdasarkan tahapan tersebut. 1.
Tahap Analisis Pada tahap ini yang dianalisis mencakup 3 hal yakni analisis siswa, analisis kurikulum, dan analisis soal pemecahan masalah berdasarkan strategi FaP. Analisis siswa bertujuan untuk mengetahui level kemampuan siswa yang menjadi subjek penelitian. Disini peneliti bekerjasama dengan guru matematika disekolah tersebut untuk menentukan siswa mana yang akan menjadi subjek penelitian dilihat dari tingkat kemampuan menyelesaikan soal matematika (tinggi, sedang, rendah). Berdasarkan analisis siswa didapatkan 3 siswa untuk tahap one to one, 6 siswa untuk tahap small group, dan 30 siswa untuk tahap field test. Analisis kurikulum dilakukan untuk mengidentifikasi materi pembelajaran matematika SMA sebagai acuam dalam pengembangan soal nantinya, sehingga soal yang dikembangkan sesuai dengan standar isi pembelajaran matematika SMA. Sedangkan analisis soal pemecahan masalah dilakukan untuk mengidentifikasi katakteristik soal, tingkat kesulitan soal, dan apakah soal memungkinkan siswa melakukan pemecahan masalah matematika.
107
KNPM 6
2.
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tahap Pendesainan Pada tahap ini, dilakukan pendesainan soal berdasarkan analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Disini diperoleh perangkat instrumen berupa (1) Kisi-kisi Soal, (2)Kartu Soal, (3) Butir Soal sebanyak 20, dan (4) Rubrik Penilaian. Selanjutnya soal yang telah didesain dievaluasi pada tahap selanjutnya.
3.
Tahap Evaluasi formatif a.
Self Evaluation Pada tahap ini peneliti melakukan evaluasi sendiri terhadap desain yang telah dikembangkan dengan melihat kesesuaian desain soal dengan kurikulum, kisi-kisi, dan rubrik penilaian yang telah dikembangkan. Hasil evaluasi ini menghasilkan prototipe I yang selanjutnya di validasi oleh pakar pada tahap selanjutnya.
b.
Expert Review Pada tahap ini dilakukan validasi prototipe I secara kualitatif oleh pakar berkenaan dengan konten, konstruk, dan bahasa.
c.
One-to-one Pada tahap ini, prototipe I diuji kepada 3 siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Pelaksanaan one-to-one ini difokuskan pada keterbacaan, kepraktisan, dan interpretasi siswa terhadap soal yang diberikan. Setelah mengerjakan soal yang ada, peneliti meminta siswa memberikan pendapat, dan saran untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk memperbaiki soal yang dikembangkan. Berdasarkan validasi pada tahap expert review dan tahap one-to-one dilakukan revisi pada prototipe I. Hasil revisi ini menghasilkan prototipe II dengan soal sebanyak 15 butir soal.
d.
Small Group Tahap ini diikuti 6 siswa yang berkemampuan beragam dengan 2 orang berkemampuan tinggi, 2 orang berkemampuan sedang, dan 2 orang berkemampuan rendah. Disini siswa akan menjawab prototipe II selama 120 menit. Setelahnya siswa akan diminta pendapat dan saran terhadapt 108
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
prototipe II yang diberikan. Hasil pekerjaan, komentar, dan saran siswa dianalisis untuk melihat apakah hasil revisi yang dilakukan sebelumnya memberikan pengaruh terhadap soal yang ada, ataukah hasil revisi tidak memberikan pengaruh sama sekali atau justru membiat siswa lebih sulit untuk memahami soal yang diberikan. Dari hasil analisis didapatkan bahwa prototipe 2 yang dikembangkan telah memenuhi valid dab praktis secara kualitatif. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan field test, prototipe II diujicoba lagi di kelas yang berbeda untuk melihat validitas, reabilitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda secara kuantitatif. Hasilnya didapatkan 14 soal valid koefisien reabilitas 0,734 sehingga dapat dikatakan reliabel. Untuk indeks kesukaran, terdapat 10 butir soal pada kategori sedang, dan 4 soal pada kategori tinggi. Sedangkan untuk daya pembeda terdapat 6 butir soal pada kategori sedang dan 8 butir soal pada kategori tinggi. Hasil analisis secara kualitatif dan kuantitatif ini menghasilkan prototipe III yang akan diujicobakan pada tahap field test. e.
Field Test Pada tahap ini prototipe III diujicobakan pada siswa kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Tondano sebanyak 30 siswa dengan waktu pengerjaan selama 120 menit. Disini dilakukan pengamatan dan komunikasi dengan siswa sehingga dapat diketahui kendala dan pendapat mereka tentang soal yang dikerjakan.
Berdasarkan hasil pengembangan soal tersebut, maka telah dihasilkan prototipe soal pemecahan masalah matematika dengan strategi FaP yang valid secara kualitatif dan kuantitatif. Kevalidan secara kualitatif dipenuhi berdasarkan penilaian validator pada tahap expert review dimana telah dinyatakan bahwa prototipe yang dikembangkan telah baik berdasarkan konten yakni sesuai dengan kurikulum, dan sesuai dengan strategi pemecahan masalah matematika, baik secara konstruk yakni dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika, kaya akan konsep, dan sesuai dengan level kemampuan siswa, serta baik secara bahasa yakni sesuai dengan ejaan yang disempurnakan (EYD), tidak berbelit-belit, dan tidak mengandung penafsiran ganda. Sedangkan kevalidan 109
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
secara kuantitatif dipenuhi berdasarkan analisis korelasi product moment dangan koefisien reabilitas sebesar 0,734 yang berarti soal memiliki reliabilitas yang tinggi. Selain valid secara kualitatif dan kuantitif, prototipe soal yang dikembangkan juga sudah memenuhi kriteria praktis. Hal ini terlihat pada tahap one-to-one dan small group, dimana semua siswa dapat menggunakan perangkat soal dengan baik berarti soal sudah sesuai dengan alur berpikir siswa, tidak terjadi penafsiran ganda, dan sesuai dengan konteks yang digunakan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, berdasarkan hasil angket yang dilakukan pada tahap field test, sebagian besar siswa mengatakan bahwa prototipe soal yang diberikan sangat menarik, karena terkait dengan kehidupan sehari-hari, dan tidak hanya terkait dengan angka, tetapi memacu semangat dalam berpikir logis, efektif, dan kreatif. Sehingga mereka menjadi semangat dalam belajar matematika. Oleh karena itu, hasil pengembangan soal yang dilakukan dapat dikatakan efektif (memiliki efek potensial) dan sesuai dengan kriteria keefektifan Akker (1999) yaitu : 1.
Ahli dan praktisi berdasarkan pengalamannyha menyatakan bahwa perangkat soal memenuhi syarat efektif
2.
Secara operasional di lapangan prototipe yang dikembangkan memberikan hasil yang sesuai harapan/ Berdasarkan hal inilah dapat dikatakan bahwa pengembangan soal pemecahan
masalah matematika dengan strategi FaP memiliki efek potensial terhadap kemampuan matematika siswa. KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini telah menghasilkan prototipe soal pemecahan masalah matematika dengan strategi FaP. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa prototipe soal yang dikembangkan dapat dikategorikan valid adan praktis. valid tergambar secara kualitatif yakni dari hasil penilaian validator, dimana semua validator menyatakan bahwa prototipe tersebut baik berdasarkan konten, konstruk, dan bahasa. Selain itu, prototipe tersebut valid secara kuantitatif berdasarkan analisis butir soal. Keparaktisan dapat tergambar dari hasil pelakasanaan one-to-one dan small group yang menunjukkan bahwa prototipe yang dikembangkan telah praktis. dari hasil 110
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
jawaban siswapun terlihat bahwa soal yang dikembangkan telah efektif (memiliki efek potensial) untuk menggali potensi siswa kelas X SMA Negeri 1 Tondano. Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan maka disarankan (1) agar siswa terus
melatif
kemampuan
pemecahan
masalah
matematikanya
dengan
menggunakan soal seperti yang dikembangkan pada penelitian ini; (2) guru matematika hendaknya dapat menggunakan soal pemecahan masalah matematika sebgai alternati dalam evaluasi pembelajaran dan proses pembelajaran karena dapat melatif kemampuan matematika siswa; (3) hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dan referensi dalam penelitian selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Akker, J.v.d. 1999. Principes and Method of development research (Eds). Design Approaches and Tools in Education and Training. Dordrecht : Kluwer Academic Publisher Berinderjeet, K. 2008. Problem Solving in the Mathematics Classroom (Secondary). Singapore: National Institude of education Karinda, F. 2015. Pengembangan Pemecahan Masalah Pada Materi PLDV dengan Menggunakan Strategi Intelligent Guessing and Testing. Tondano: FMIPA UNIMA (Jurnal Sains, Matematika dan Edukasi Vol 3 No. 6 Tahun 2015) Mangelep, N. 2013. Pengembangan Soal Matematika Pada Kompetensi Proses Koneksi dan Refleksi PISA. Jogjakarta: PPPPTK (Jurnal Edukasi Matematika Vol. 4 No. 7, Juni 2013) Mangelep, N. 2014. Strategi Pemecahan Masalah Matematika. LP2AI UNIMA: Tondano Novita. 2012. Exploring Primary Student's Problem Solving Ability. Journal on Mathematics Education (IndoMS-JME), July 2012, Volume 3 No. 2. OECD. 2003. Literacy Skill for the World of Tommorow. Further Results from PISA 2000. Paris : OECD. OECD. 2004. Literacy for Tommorow’s World.First Result from PISA 2003. Paris: OECD OECD. 2007. PISA 2006 : Science Competencies for Tommorow's World . Paris : OECD OECD. 2009. PISA 2009 Assesment Framework - Key Competencies in Reading, Mathematics and Sciece . Paris : OECD.
111
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
OECD. 2010. PISA 2009 Result : What Students Know and Can Do. STUDENT PERFORMANCE IN READING, MATHEMATICS, AND SCIENCE (Vol. I). Paris : OECD. OECD. 2014. PISA 2012 Results in Focus : What 15-year-olds know and what they can do with what they know. Paris : OECD Polya , G. 1985. How to Solve It: A new aspect of mathematics method (2 nd ed). Princeton, N.J., Princetonn: University Press Tessmer, M. 1993. Planning and Conducting Formative Evaluations . Philadelphia : Kogan Page Runtukahu, 2015. Pengembangan Soal Cerita Matematika dengan Strategi Pemecahan Masalah Polya. Tondao: JSME (Jurnal Sains, Matematika dan Edukasi Vol. 3 No. 5 Tahun 2015) Zulkardi. 2010. How to Design Mathematics Lessons based on the Realistic Approach? Diakses tanggal 4 Februari 2015, dari http://eprints.unsri.ac.id/692/1/rme.html.
112
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ANALISIS STRUKTUR DAN KEMAMPUAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL UJIAN NASIONAL MATEMATIKA SMP/MTS TAHUN 2013/2014 MENGGUNAKAN KERANGKA KERJA LITHNER Triyawan Kolopita1, Kartin Usman2 Prodi Pendidikan Matematika, Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo
Abstrak. Penelitian ini bertujuan mengkaji stuktur dan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal-soal Ujian Nasional. Adapun soal-soal Ujian Nasional yang digunakan adalah soal-soal Ujian Nasional Matematika SMP/MTs Tahun 2013/2014 serta peserta didik yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa. Kajian dalam penelitian ini menggunakan kerangka kerja Lithner, dimana soal diklasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu Imitative Reasoning dan Creative Reasoning. Sedangkan metode analisisnya didasarkan pada hasil jawaban siswa yang diadaptasi dari buku teks pegangan siswa dari 5 penerbit yang digunakan selama proses pembelajaran di sekolah. Analisis dilakukan dengan cara mengklasifikasi soal dan menyortir solusi soal tersebut kepada dua tipe penalaran soal. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 40 soal Ujian Nasional SMP/MTs tahun ajaran 2013/2014 dengan partisipan sebanyak 94 siswa, terdapat sebanyak 37 soal termasuk dalam tipe Imitative Reasoning dengan persentase 92,5 % dan terdapat sebanyak 3 soal termasuk dalam tipe Creative Reasoning dengan persentase 7,5 %. Adapun rata-rata persentase kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal Ujian Nasional tersebut sebesar 29,67%. Dengan demikian, soal Ujian Matematika SMP/MTs tahun ajaran 2013/2014 termasuk dalam kategori mudah karena masih didominasi soal yang akrab dengan siswa namun masih sedikit siswa yang mampu menyelesaikan soal Ujian Nasional tersebut. Berdasarkan hasil tersebut maka strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal Ujian Nasional Matematika adalah strategi drill. Kata Kunci : Kerangka Kerja Lithner, Ujian Nasional, Imitative Reasoning, Creative Reasoning
1 2
Penulis 1 : Dra. Kartin Usman, M.Pd Penulis 2 : Triyawan Kolopita, S.Pd
113
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENDAHULUAN Keberhasilan proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dapat dilihat dari hasil belajar siswa. Kenyataan menunjukkan bahwa pada mata pelajaran matematika, hasil belajar yang ditunjukkan siswa Indonesia belum memuaskan. Rendahnya hasil belajar matematika semakin terlihat jelas ketika mencermati hasil yang diperoleh siswa dalam Ujian Nasional. Hampir dalam setiap Ujian Nasional, mata pelajaran matematika cenderung menempati posisi nilai terendah jika dibandingkan dengan nilai mata pelajaran lain yang juga diujikan dalam Ujian Nasional. Ujian Nasional merupakan salah satu standar kelulusan bagi siswa yang duduk di bangku sekolah, dimana tes tersebut dilakukan secara nasional pada jenjang pendidikan menengah. Sebagian besar siswa menganggap bahwa Ujian Nasional khususnya pada mata pelajaran matematika adalah momok yang menakutkan. Jika ditinjau lebih lanjut maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi masalah bukanlah pada Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah, melainkan kurang mampunya siswa memahami ataupun mengenali struktur dan komposisi soal Ujian Nasional yang berimbas pada kurang mampunya siswa menyelesaikan soal-soal tersebut. Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat dikhawatirkan ketercapaian standar kelulusannya, baik oleh siswa, orang tua maupun guru. Selain karena tingginya standar nilai kelulusannya, matematika dianggap sebagai pelajaran yang sangat sulit, begitupun dengan soal-soal UN. Pada dasarnya dalam pembelajaran di sekolah melalui standar isi dan standar proses siswa telah dibelajarkan segala hal yang terkait dengan matematika terutama soal-soal UN yang harusnya lebih menguatkan siswa untuk mampu menyelesaikan soal-soal UN dengan baik. Namun kenyataannya masih banyak siswa yang hanya mendapatkan nilai rendah bahkan ada juga yang tidak lulus. Berdasarkan uraian dan pemikiran diatas, penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Analisis Struktur dan Kemampuan Siswa dalam
114
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Menyelesaikan Soal Ujian Nasional Matematika SMP/MTs Tahun 2013/2014 Menggunakan Kerangka Kerja Lithner” Berdasarkan uraian latar belakang diatas, masalah yang teridentifikasi adalah: 1. Kurangnya minat siswa pada mata pelajaran UN, 2. Tingkat daya nalar siswa yang kurang terhadap soal-soal UN, 3. Rendahnya hasil belajar siswa, 4. Kurang siapnya siswa dalam menghadapi hal ini didasarkan siswa berpikir bahwa guru akan membantu, 5. Bentuk soal Ujian Nasional Matematika yang dianggap siswa sukar padahal dalam proses pembelajaran sudah sering dipelajari, 6. Kurang siapnya tenaga pengajar yang terdapat pada sekolah menengah terutama di sekolah-sekolah pelosok kabupaten, 7. Dan apabila ada waktu luang bagi siswa baik di rumah maupun di sekolah, kebanyakan siswa hanya membuang waktu dengan bersenda gurau, ada juga yang online di rumah karena semakin majunya globalisasi, hal ini karena siswa berfikir waktu pelaksanaan UN masih lama. Berdasarkan masalah dan identifikasi masalah diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah soal UN Matematika SMP/MTs tahun 2013/2014 mempunyai struktur soal yang cukup sulit? dan Apakah soal Ujian Nasional (UN) Matematika SMP/MTs tahun pelajaran 2013/2014 mampu dikuasai siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa?”. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagi Guru Memberikan masukkan kepada guru mata pelajaran untuk mengetahun struktur soal UN Matematika tahun 2013/2014 sehingga dapat menjadi sebuah pengetahuan dan dasar pengambilan langkah dalam menjawab soal-soal Ujian Nasional dan menjadi referensi kedepannya sebagai bahan evaluasi dan strategi dalam menghadapi Ujian Nasional di tahun-tahun mendatang. b. Bagi Peneliti
115
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Menambah khazanah pengetahuan terutama dalam hal struktur soal UN tahun 2013/2014 yang dikaji menggunakan kerangka kerja Lithner serta strategi yang digunakan dalam menyelesaikan soal-soal Ujian Nasional serta dapat menjadi pembanding bagi peneliti lain untuk pengembangan penelitian ini diwaktu yang akan datang. KAJIAN TEORI Ujian Nasional Ujian Nasional adalah sebutan yang diberikan untuk ujian yang soalsoalnya disiapkan oleh pemerintah. Pada awal pelaksanaan (tahun 2003-2005), ujian ini bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) dan nama tersebut berubah menjadi Ujian Nasional (UN) pada tahun 2006. Mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional tingkat SMP/MTs mencakup empat mata pelajaran, yaitu matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan IPA Terpadu. Nilai minimal kelulusan siswa dalam Ujian Nasional setiap tahun juga semakin meningkat. Pada tahun pelajaran 2002/2003, nilai rata-rata minimal seluruh mata pelajaran Ujian Akhir Nasional adalah 3,01. Pada saat pelaksanaan Ujian Nasional tahun pelajaran 2009/2010, nilai kelulusan minimal dalam Ujian Nasional semakin jauh meningkat menjadi 5,5. Ujian Nasional menjadi salah satu syarat kelulusan siswa dari satuan pendidikan. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikanan Kebudayaan Nomor 97 tahun 2013, yaitu: Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan dasar dan menengah setelah: a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. Memperoleh nilai baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran; c. Lulus ujian S/M/PK; dan d. Lulus Ujian Nasional. Kerangka Kerja Lithner Dalam penelitian empiris yang dilakukan oleh Lithner telah ditemukan dan didefinisikan dua tipe penalaran matematika, yaitu Creative mathematically
116
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
founded reasoning and imitative reasoning. Pada penelitian ini, tipe penalaran Lithner dijadikan sebagai kerangka kerja penelitian. Artinya dijadikan sebagai alat ukur untuk meneliti apakah suatu soal dalam ujian nasional dapat diklasifikasikan atau dikategorikan sebagai salah satu dari tipe penalaran diatas. Alasan penggunaan tipe penalaran diatas sebagai alat ukur dalam penelitian ini adalah untuk mengkategorikan soal-soal ujian nasional dari aspek penalaran, karena penulis memandang bahwa tipe penalaran yang dikemukakan Lithner tersebut, sampai saat ini merupakan kerangka kerja yang menyajikan tipe penalaran matematis yang lengkap. Pemaknaan yang jelas untuk membedakan secara signifikan tentang karakteristik tipe-tipe penalaran matematis diatas amatlah esensial. Untuk itu, berikut ini dijelaskan pemaknaan dari tipe-tipe penalaran diatas yaitu: 1. Imitative Reasoning (Penalaran Tiruan) Imitative Reasoning dapat disebut sebagai tipe yang membangun penalaran melalui peniruan solusi soal, jawaban dan argument formula jawaban dan solusi, imitative Reasoing diklasifikasikan menjadi dua kelompok yang utama, yaitu penalaran yang dihafalkan (Memorized Reasoning) dan penalaran yang berdasarkan algoritma (Algoritmic Reasoning). Berikut penjelasan kedua penalaran tersebut. a. Memorized Reasoning (MR) solusi soal disebut MR, jika memenuhi kondisi berikut: 1) Strategi pemilihan yang berdasarkan pada pengulangan jawaban yang lengkap melalui ingatan. 2) Strategi penggunaan dengan menuliskan atau mengucapkan jawaban. Tipe soal yang dapat diselesaikan dengan MR adalah soal yang menanyakan suatu fakta, suatu definisi, atau suatu pembuktian yang telah diselesaikan sebelumnya. b. Algoritmic Reasoning (AR) menurut Lithner, algoritma didefinisikan sebagai sekumpulan aturan yang harus diikuti ketika akan membuktikan atau menyelesaikan soal misalnya rumusan baku untuk menyelesaikan persamaan kuadrat. Penalaran disebut AR, apabila memenuhi kondisi:
117
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
1) Pilihan strategi didasarkan pada pengingatan kembali sekumpulan aturan yang menjamin mencapai solusi yang benar. 2) Implementasi strategi terdiri dari hasil perhitungan-perhitungan trivial (bagi yang menalar) atau tindakan-tindakan dengan mengikuti sekumpulan aturan-aturan. 2. Creative Mathematical Founded Reasoning (CR) CR adalah sebuah kerangka kerja yang dipandang sebagai sebuah hasil dari berfikir matematika kreatif. Proses-proses berfikir matematika kreatif dalam konteks ini didasarkan pada sifat fleksibel, melalui pendekatan yang berbeda, dan tidak dibatasi dengan aturan-aturan yang biasa. Suatu penalaran disebut CR, harus memenuhi kondisi dengan urutan sebagai berikut; 1. Apakah merupakan penalaran yang baru (novelty). 2. Masuk akal (Plausibilitas) 3. Berisi beraneka pilihan strategi dan atau implementasi yang didukung argumentasi-argumentasi yang mendorong penarikan kesimpulan yang benar dan masuk akal, dan yang melibatkan komponen-komponen penalaran. Dengan memperhatikan karakteristik dari soal Ujian Nasional, Creative Reasoning mempunyai dua kelompok utama, yaitu Global Creative Reasoning (disingkat GCR) dan Local Creative Reasoning (disingkat LCR). Suatu soal dapat dikategorikan dalam Global Creative Reasoning apabila soal itu tidak memiliki solusi yang didasarkan pada Imitative Reasoning. Soal semacam ini selalu menuntut penalar untuk menggunakan Creative Reasoning pada semua langkah atau cara penyelesaiannya. Hanya sebagian kecil GCR yang didasarkan pada Imitative Reasoning. Selain GCR, didalam Creative Reasoning masih terdapat Local Creative Reasoning. Suatu soal dikategorikan LCR, jika suatu soal hampir sepenuhnya dapat diselesaikan dengan menggunakan Imitative Reasoning hanya dengan memodifikasi algoritma local, jadi esensinya hanya pada modifikasi algoritma yang digunakan dalam menyelesaikan soal. Soal-soal LCR pada kondisi tertentu dapat diselesaikan dengan IR. Yang dimaksud kondisi tertentu, yaitu saat soal-soal LCR telah akrab dikenal
118
KNPM 6
peserta
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
didik. Pengenalan dan keakraban siswa pada soal-soal akan
mengakibatkan mereka mudah menyelesaikan soal-soal ujian. Semakin akrab dan semakin kenal siswa pada bentuk soal-soal MR, AR, dan LCR akan semakin membantu mereka dalam menyelesaikan soal-soal ujian. Keakraban dan pengenalan peserta didik dengan soal berkaitan erat dengan pengalaman peserta didik dalam belajar. Tetapi yang perlu dicatat bahwa dalam penelitian ini yang diperhatikan dari keakraban siswa terhadap soal itu hanya dari buku pegangan belajar (buku teks) yang diasumsikan dipakai guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Suwawa, pada bulan Maret sampai bulan April tahun 2015. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengkaji soal-soal Ujian Nasional Matematika Tahun pelajaran 2013/2014. Dalam penelitian ini dilakukan secara analisis kualitatif dan kuantitatif yang dapat dilakukan dengan memberikan pemaknaan terhadap setiap butir soal berdasarkan tipe penalaran Lithner yang kemudian di analisis setiap jawaban siswa menggunakan hasil analisis setiap butir soal sebelumnya. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data diperoleh dari pengumpulan dokumen dan hasil jawaban siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa terhadap soal UN Matematika SMP 2014. Dokumen yang digunakan merupakan dokumen resmi negara dalam bentuk soal-soal Ujian Nasional (UN) SMP Matematika tahun 2014 yang terdiri dari 20 paket, namun dipilih salah satu paket saja secara acak. Dokumen tersebut diperoleh dari arsip yang dimiliki oleh sebuah Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Suwawa. Sementara itu untuk tes hasil jawaban siswa akan diperoleh setelah siswa menjawab soal UN Matematika SMP yang telah di pilih. Disamping itu, dalam penelitian ini juga menggunakan dokumen pelengkap berupa buku-buku
119
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
matematika dari 5 penerbit berbeda yang diasumsikan digunakan oleh sekolah selama pembelajaran disekolah. Teknik Analisis Data Setelah memperoleh dokumen berupa Soal UN Matematika SMP/MTs 2014 yang telah dipilih acak, soal-soal dalam buku teks yang sering digunakan siswa, dan hasil tes yang merupakan jawaban siswa terhadap soal UN Matematika SMP/MTs 2014 maka akan dilakukan analisis dengan 2 tahapan yaitu teknik analisis soal UN dan analisis hasil jawaban siswa. Teknik analisis soal dilakukan dengan cara menggolongkan tiap soal dan solusinya dengan mengikuti empat langkah analisis seperti kerangka kerja Lithner sebagai berikut: Langkah 1 : Analisis soal ujian nasional Pada langkah pertama ada 4 tahapan yang dilakukan, yaitu: a. Solusi Jawaban dari soal atau algoritma untuk menyelesaikan soal. b. Konteks Konteks adalah situasi nyata dalam kehidupan (jika ada). Konteks terkadang membantu siswa untuk memilih suatu metode yang benar walaupun hanya bersifat mendasar sebagai contoh, konteks “resep obat dokter” memberi petunjuk bahwa peserta didik dapat menggunakan algoritma tentang perkalian sebagai penjumlahan yang berulang. c. Informasi tentang situasi Informasi tentang situasi adalah informasi mengenai soal, dapat berupa penjelasan tentang kaitan soal dalam pokok bahasan atau sub pokok bahasan. d. Fitur kunci Fitur kunci untuk menunjukkan kata kunci, ungkapan-ungkapan (kalimat), rumus yang jelas digunakan dan informasi lain yang sesuai dengan yang ada dalam buku teks yang memperjelas soal seperti menggunakan “aljabar” dan kata “pemfaktoran”. Langkah 2 : Analisis buku teks Analisis buku teks adalah mengkaji muatan materi, kejadian-kejadian soal dalam buku teks baik contoh maupun latihan yang memuat sifat-sifat soal yang
120
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mendasar dan solusi yang memungkinkan untuk diidentifikasi siswa. Langkah 1 dan 2 digunakan untuk menentukan apakah mungkin ada suatu kejadian, misalnya soal dengan solusi atau memiliki karakteristik yang sama dengan soal ujian. Terdapat dua jenis data yang digunakan, yaitu: 1. Kejadian dalam buku teks Kejadian dalam buku teks adalah muatan materi yang ada dalam buku teks. 2. Kejadian dalam contoh dan latihan soal Banyaknya kejadian dalam latihan dan contoh soal yang sama karakteristiknya dengan soal ujian pada buku teks. Jika kejadian itu tidak sama atau sama dengan soal maka perbedaan dan kesamaannya dicatat. Langkah 3 : Argumentasi dan Kesimpulan a. Argumentasi Argumentasi berisi penilaian terhadap jenis penalaran. Argumentasi ini didasarkan pada informasi pada langkah kedua dan berhubungan dengan kejadian dan kesamaan dengan soal ujian nasional dengan buku teks. b. Kesimpulan Kesimpulan adalah pengelompokkan jenis penalaran berdasarkan argumentasi yang sudah dibuat. Langkah 4 : Komentar Sebagai langkah terakhir, setiap soal disajikan, dianalisis secara kuantitatif dan kemudian di komentari. Komentar-komentar tersebut berhubungan dengan gejala yang khusus dari soal atau jenis soal serta hal-hal yang dianggap penting. Untuk memudahkan dalam pengambilan kesimpulan maka peneliti membuat ringkasan tentang karakteristik tipe soal berdasarkan kerangka kerja Lithner yang sudah di bahas sebelumnya. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis jawaban siswa, dapat diketahui jumlah siswa yang menguasai tiap butir soal artinya juga menguasai tipe soal tersebut. Secara umum jumlah siswa yang mampu menguasai ataupun menjawab setiap soal adalah sebagai berikut.
121
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 1 Jumlah siswa menjawab benar berdasarkan tipe setiap soal
Nomor Tipe Penalaran 1 Soal Algoritmic Reasoning 2 Algoritmic Reasoning 3 Algoritmic Reasoning 4 Algoritmic Reasoning 5 Algoritmic Reasoning 6 Algoritmic Reasoning 7 Algoritmic Reasoning 8 Algoritmic Reasoning 9 Algoritmic Reasoning 10 Algoritmic Reasoning 11 Algoritmic Reasoning 12 Algoritmic Reasoning 13 Memorized Reasoning 14 Algoritmic Reasoning 15 Algoritmic Reasoning 16 Algoritmic Reasoning 17 Algoritmic Reasoning 18 Algoritmic Reasoning 19 Algoritmic Reasoning 20 Algoritmic Reasoning 21 Global Creative Reasoning 22 Local Creative Reasoning 23 Algoritmic Reasoning 24 Algoritmic Reasoning 25 Algoritmic Reasoning 26 Algoritmic Reasoning 27 Algoritmic Reasoning 28 Memorized Reasoning 29 Algoritmic Reasoning 30 Algoritmic Reasoning 31 Memorized Reasoning 32 Memorized Reasoning 33 Algoritmic Reasoning 34 Algoritmic Reasoning 35 Algoritmic Reasoning
Jumlah 53Siswa SiswaBenar Persentase 56,38 % 9 Siswa 9,57 % 0 Siswa 0% 20 Siswa 21,27 % 24 Siswa 25,53 % 43 Siswa 45,74 % 1 Siswa 1,06 % 11 Siswa 11,70 % 3 Siswa 3,19 % 5 Siswa 5,32 % 9 Siswa 9,57 % 1 Siswa 1,06 % 1 Siswa 1,06 % 10 Siswa 10,63 % 2 Siswa 2,13 % 0 Siswa 0% 0 Siswa 0% 0 Siswa 0% 0 Siswa 0% 8 Siswa 8,51 % 0 Siswa 0% 0 Siswa 0% 0 Siswa 0% 7 Siswa 7,44 % 18 Siswa 19,15 % 2 Siswa 2,13 % 0 Siswa 0% 0 Siswa 0% 1 Siswa 1,06 % 0 Siswa 0% 2 Siswa 2,13 % 40 Siswa 42,55 % 1 Siswa 1,06 % 0 Siswa 0% 0 Siswa 0%
122
KNPM 6
36 37 38 39 40
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Algoritmic Reasoning Local Creative Reasoning Algoritmic Reasoning Algoritmic Reasoning Algoritmic Reasoning Rata-Rata
8 Siswa 0 Siswa 6 Siswa 2 Siswa 0 Siswa
8,51 % 0% 0% 0% 0% 29,67 %
Rata-rata persentase siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa yang mampu menjawab benar dari seluruh soal UN Matematika Tahun 2013/2014 hanya 29,67%. Persentase ini sangat rendah dan sangat perlu diperhatikan mengingat tidak sampai setengah dari jumlah siswa mampu menjawab dengan benar soal UN tahun 2013/2014. Berdasarkan data tersebut juga tidak ada satu pun siswa yang mampu menyelesaikan soal yang bertipe Creative Reasoning atau dapat dipersentasikan dari 94 siswa sebanyak 0% siswa yang tidak menguasai ataupun menjawab soal tersebut yang terdiri dari 3 soal yaitu soal nomor 21, 22 dan 37. Sementara itu untuk soal Imitative Reasoning yang terdiri terdiri dari 37 soal dengan komposisi 33 AR (Algoritmic Reasoning) dan 4 MR (Memorized Reasoning) ada juga yang tidak dapat dijawab oleh seluruh siswa yaitu soal nomor 3, 16, 17, 18, 19, 23, 27, 30, 34, 35, 40 (Algoritmic Reasoning) dan nomor 28 (Memorized Reasoning). Setelah dilakukan penelitian terhadap struktur soal pada UN matematika 2013/2014 yang berjumlah 40 butir soal, maka diperoleh hasil terdapat sebanyak 33 soal yang termasuk kedalam tipe penalaran Algoritmic Reasoning, 4 soal termasuk kedalam tipe penalaran Memorized Reasoning dan pengelompokkan hasil jawaban siswa dalam menyelesaikan soal UN matematika maka diperoleh data berupa hasil analisis 40 butir soal berdasarkan kerangka kerja Lithner yang telah dikelompokkan dengan hasil jawaban siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebenarnya soal-soal Ujian Nasional adalah soal-soal yang sudah pernah diberikan oleh guru selama dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini harusnya menunjukkan bahwa seluruh siswa, lebih khususnya siswa SMP Negeri 1 Suwawa dapat memperoleh nilai diatas standar nilai yang ditetapkan oleh pemerintah ataupun bahkan tidak sedikit yang harusnya dapat menjawab soal UN dengan benar semua. Tapi pada kenyataannya justru sebaliknya yang terjadi yaitu dengan persentase rata-rata penguasaan siswa yang
123
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
hanya menunjukkan angka 29,67 % artinya tidak sampai setengah dari jumlah siswa sebanyak 94 siswa yang mampu menjawab soal UN tersebut. Berdasarkan hasil penelitian komposisi soal 92,5% merupakan soal Imitative Reasoning yang sebenarnya merupakan soal yang mudah. Namun pada penelitian ini justru ada juga hal yang lebih menakjubkan bahwa ada nomor soal yang termasuk soal tipe IR dan dari sekitar 95 orang siswa yang diuji tidak ada satupun yang benar. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa buku pegangan siswa yang merupakan buku perpustakaan sekolah adalah buku yang selalu dan sering digunakan selam proses belajar mengajar. Berdasarkan hasil penelitian justru seharusnya jika memang ingin mengukur kualitas pendidikan nasional maka harusnya perlu diimbangi antara komposisi soal IR dan CR minimal 50%:50%. Sementara itu, untuk hasil persentase rata-rata siswa yang mampu menjawab soal UN yang masih sangat rendah maka perlu adanya metode yang tepat untuk menanggulangi keadaan tersebut agar pada saat tiba Ujian Nasional peserta didik terutama siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa siap untuk menghadapinya. Metode yang dapat digunakan adalah Metode drill. Menurut Nana Sudjana (1991:86) metode drill adalah satu kegiatan melakukan hal yang sama, berulang-ulang secara sungguh-sungguh dengan tujuan untuk menyempurnakan suatu keterampilan agar menjadi permanen. Ciri yang khas dari metode ini adalah kegiatan berupa pengulangan yang berkali-kali dari suatu hal yang sama. Dalam menghadapi kenyataan bahwa kemampuan siswa dalam menjawab soal UN Matematika tahun 2013/2014 yang masih sangat kurang maka metode drill adalah metode yang tepat bagi siswa yaitu dengan mempraktekan ataupun melatih soal-soal yang sering muncul dalam Ujian Nasional terutama soal yang mirip dengan soal-soal UN tahun 2013/2014
secara kontinyu agar siswa mendapatkan
keterampilan serta kesiapan dalam menghadapi UN tahun 2015. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis struktur dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal Ujian Nasional matematika SMP//MTs tahun 2013/2014 dapat disimpulkan bahwa:
124
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
1. Soal Ujian Nasional merupakan soal yang tidak sukar karena sudah pernah ditemui siswa pada saat proses belajar mengajar, dengan komposisi soal yaitu 92,5 % adalah soal tipe Imitative Reasoning dan 7,5% soal tipe Creative Reasoning. Maka soal yang harus dikuasai siswa dalam mengahadapi Ujian Nasioanal sebagian besar adalah soal dengan tipe Imitative Reasoning. Namun juga tidak mengabaikan soal-soal tipe Creative Reasoning. 2. Siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa belum mampu menguasai soal Ujian Nasional tahun 2013/2014 hal ini karena rata-rata persentase jumlah siswa yang menjawab benar soal UN Matematika tahun 2013/2014 sebesar 29,67 % dengan komposisi jumlah siswa yang menguasai tipe soal Imitative Reasoning sebesar 29,67 % dan jumlah siswa yang menguasai tipe soal Creative Reasoning sebesar 0%. 3. Soal Ujian Nasional Matematika SMP/MTs tahun 2013/2014 merupakan soalsoal yang tergolong mudah karena sebagian besar soal sering ditemui siswa dalam pembelajaran. Sehingga Soal UN ini belum dapat mengukur kompetensi bernalar siswa karena komposisi soal yang sebagian besarnya bertipe Imitative Reasoning. Seharusnya jika soal UN digunakan untuk mengukur kompetensi bernalar siswa secara nasional maka komposisi soal dengan tipe penalaran Imitative Reasoning dan Creative Reasoning harusnya seimbang dengan komposisi 50:50. Dari hasil penelitian ini yang dikemukakan , diperolah beberapa saran dan rekomendasi yang sangat berguna untuk peningkatan kualitas pendidikan terutama dalam hal peningkatan hasil belajar siswa ditinjau dari hasil Ujian Nasional, yaitu: 1. Hendaknya soal yang baik untuk menguji tingkat kemampuan siswa memiliki komposisi soal seimbang yaitu 50% soal yang memiliki tipe Imitative Reasoning dan 50% soal yang memiliki tipe penalaran Creative Reasoning. 2. Seluruh siswa, guru maupun pihak sekolah bahkan para orang tua tidak perlu khawatir dengan soal Ujian Nasional karena soal Ujian Nasional masih memiliki tingkat kesukaran yang rendah. Hal ini didasarkan pada komposisi soal Imitative Reasoning yang mencapai 92,5%.
125
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR PUSTAKA Babudin. 2007. Analisis Penalaran Dalam Ujian Matematika SMA/MA Program IPA Tahun 2006/2007), Laporan Proyek Magister Pengajaran. Institut Teknologi Bandung. Badan Standar Nasional Pendidikan. 2013 : Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa dan Sekolah Menengah Kejuruan Tahun 2013/2014, Jakarta. Bergqvist, Ewa. 2007. Types of Reasoning Required in University Exam in Mathematics. Journal of Mathematical Behavior. 26. 348-370. Lithner, J. 2008. A Research Framework for Creative and Imitative Reasoning. Jurnal Educational Studies in Mathematics. 67. 255-276. Departemen Agama RI. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dirjen Kelembagaan Agama Islam. Jakarta. Depdiknas. 2006. Permendiknas no 22 Tahun 2006 : Tentang Standar Isi Sekolah Menengah Atas. Jakarta. Dikpora Prov. Gorontalo (2014). Data Ujian Nasional 4 tahun terakhir : Rekapitulasi Data Peserta Terdaftar, Ikut, dan Tidak Lulus UN SMP/MTs Tahun Pelajaran 2013/2014. IP-PMRI. 2010. Ranking Indonesia pada PISA 2009 dan 10 Terbaik, http://p4mri.net/new/? tag= hasil-pisa-2009, 9 Desember 2014. Kemendikbud. 2013 . Permendikbud No. 97 Tahun 2013 : Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pandidikan dan Penyelenggara Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional, Jakarta. Kemendikbud . 2011. Permendikbud No. 59 Tahun 2011 : Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pandidikan dan Penyelenggara Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional, Jakarta. Kemendikbud. 2010. Permendikbud No. 45 Tahun 2010 : Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pandidikan dan Penyelenggara Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional, Jakarta. Kilpatrick, J.,Swafford, J.,& Findell, B. .2001. Adding it up ; Helping Children Learn Mathematics, Mathematics Learning Study Communitee. National Academi Press. Washington DC. Mujib . 2012. Analisis Penalaran dalam Ujian Nasional Matematika SMA/MA Program IPA tahun 2011/2012. ISSN: 1411-0229. Mumun Syahban. 2008. Educare Jurnal Pendidikan dan Budaya, Menumbuh Kembangkan Daya Matematis Siswa, http://educare.e-fkipunla.net, 9
126
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Desember 2014 NCTM . 2000. Principles and Standards for School Mathematics, Reston, Virginia. OECD. 2007. PISA 2006 : Sciences Competencies for Tomorrow’s World, http://oecd.org/dataoecd/15/13/39725224. Pdf. 9 Desember 2014 Rychen, D, S. & Salganik, L, H,. 2003. Key Competencies for a Successful life and well functioning society, Hogrete & Huber. Spencer, L, M & Spencer, S, M,.(1993), Competence at work. Models for superior performance, The United States of America. Sukmawarti. 2011. Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP Taman Siswa Medan. Jurnal Kependidikan Kopertis Wilayah I NAD. Vol. 6 No. 2. ISSN : 1907-4077. Sumatera Utara. Sudjana . 1991. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar . Bandung : Sinar Baru Yuliana. 2009. Analisis Soal Ujian Nasional (UN) Matematika SMA/MA Program IPA Tahun Pelajaran 2007/2008 yang Didasarkan Pada Tingkat Penalaran, Laporan Proyek Program Magister Pengajaran, Institut Teknologi Bandung
127
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGGUNAAN MIND MAPPING DALAM MENGATASI MISKONSEPSI MAHASISWA PADA PEMBELAJARAN ANALISIS REAL Luh Putu Ida Harini1), Tjokorda Bagus Oka2), Made Susilawati3) 1
2
Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Udayana,
[email protected] Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Udayana,
[email protected] 3 Jurusan Matematika FMIPA Universitas Udayana,
[email protected] Abstrak. Penanaman dimensi berpikir merupakan target capaian kompetensi mata kuliah Analisis Real, sehingga pembelajaran Analisis Real seyogyanya dirancang untuk mampu memberdayakan potensi penalaran mahasiswa dan tidak hanya sekedar menghafal. Mind mapping merupakan salah satu teknik untuk berpikir secara praktis dan efisien, yang menggunakan kerja otak secara efektif, dengan merancang pemetaan (peta pikiran), sehingga otak lebih mudah mengingat dan menarik kembali informasi yang diterima. Penggunaan mind mapping dalam pembelajaran analisis real diharapkan dapat membantu mengatasi miskonsepsi mahasiswa yang muncul disaat mengikuti perkuliahan. Berdasarkan papar an tersebut dalam penelitian ini akan digagas bahan pembelajaran yang mensinergikan antara peta pikiran yang diarahkan untuk pengembangan penalaran mahasiswa yang mengambil mata kuliah Analisis Real. Penelitian ini menggunakan rancangan one shot-case study. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode pengamatan, metode angket, dan metode tes. Sedangkan indikator keberhasilan pada penelitian ini meliputi nilai hasil belajar minimal 60. Berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dapat disimpulkan bahwa penggunaan mind mapping dalam pembelajaran Analisis Real dapat dikatakan berhasil dan dapat mengatasi miskonsepsi yang dialami mahasiswa. Selain itu dalam melaksanakan perkuliahan mahasiswa menjadi lebih mandiri dan termotivasi dalam belajar.
Kata Kunci: analisis real, mind mapping, miskonsepasi, penalaran.
PENDAHULUAN Penanaman dimensi berpikir merupakan target capaian kompetensi mata kuliah Analisis Real, sehingga pembelajaran Analisis Real seyogyanya dirancang untuk mampu memberdayakan potensi penalaran mahasiswa dan tidak hanya sekedar menghafal. Harini, Astawa dan Srinadi (2014) telah menunjukkan bahwa dari hasil observasi terhadap tingkat kesulitan mahasiswa dan hasil analisis miskonsepsi mahasiswa terhadap Analisis Real masih terjadi miskonsepsi yang cukup tinggi dari mahasiswa untuk mata kuliah Analisis Real. Miskonsepsi dapat dipandang sebagai suatu pengertian yang tidak akurat terhadap konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, dan hubungan konsep-konsep yang tidak benar. Bentuk miskonsepsi dapat berupa kesalahan konsep, hubungan yang 128
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
tidak benar antar konsep, dan gagasan intuitif atau pandangan yang keliru (Suparno, 2005) dalam Sastradi (2013). Berdasarkan hasil penelitian Harini, Astawa dan Srinadi (2014) miskonsepsi yang dialami mahasiswa yang mengambil Mata Kuliah Analisis Real diakibatkan oleh beberapa penyebab diantaranya: (1) kurangnya kemampuan dalam berkomunikasi secara matematis; (2) kurangnya Kemampuan menangkap konsep yang lebih abstrak; (3) kesulitan dalam memahami definisi dan teorema akibat kurangnya kemampuan menggunakan dan membaca simbul-simbul dalam matematika; (4) kebingungan dan kesulitan dalam membuktikan (bingung memulai dari mana pada saat ditugaskan untuk membuktikan, kurang menyadari konsekuensi suatu teorema, kesulitan dalam memberikan contoh penyangkal (counter example)). Untuk mengatasi hal tersebut maka harus diupayakan adanya perubahan strategi dalam pembelajaran, dengan cara mencoba membuat variasi model pembelajaran yang tetap dapat mengakomodir maksud dan tujuan pembelajaran Analisis Real. Mind mapping didefinisikan sebagai sebuah sistem berpikir yang bekerja sesuai dengan cara kerja alami otak manusia dan mampu membuka dan memanfaatkan seluruh potensi dan kapasitasnya. Sistem ini mampu memberdayakan seluruh potensi, kapasitas, dan kemampuan otak manusia, sehingga menjamin tingkat kreativitas dan kemampuan berpikir yang lebih tinggi bagi penggunanya (Hernowo, 2005:3). Buzan dan Barry (2004) dalam buku pintar mind mappnya menyatakan, mind mapping adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi itu ketika dibutuhkan. Peta pikiran (mind mapping) adalah satu teknik mencatat yang mengembangkan gaya belajar visual. Peta pikiran memadukan dan mengembangkan potensi kerja otak yang terdapat di dalam diri seseorang. Dengan adanya keterlibatan kedua belahan otak maka akan memudahkan seseorang untuk mengatur dan mengingat segala bentuk informasi, baik secara tertulis maupun secara verbal. Dengan demikian mind mapping merupakan salah satu teknik untuk berpikir secara praktis dan efisien, yang menggunakan kerja otak secara efektif, dengan merancang pemetaan (peta pikiran), sehingga otak lebih mudah mengingat dan menarik kembali informasi yang 129
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
diterima. Beberapa kajian pendukung yang telah membuktikan keefektifan peta pikiran (mind mapping) dalam proses pembelajaran diantaranya menyatakan bahwa implementasi peta pikiran mampu meningkatkan prestasi belajar (Sistiani, 2010), selain itu implementasi metode peta pikiran berbantuan objek langsung ternyata juga dapat meningkatkan keterampilan menulis siswa Arini (2011). Berdasarkan informasi tersebut selanjutnya digagas bahan pembelajaran yang mensinergikan antara peta pikiran yang diarahkan untuk pengembangan penalaran mahasiswa yang mengambil mata kuliah Analisis Real. Penggunaan mind mapping dalam pembelajaran analisis real diharapkan dapat membantu mengatasi miskonsepsi mahasiswa yang muncul disaat mengikuti perkuliahan. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui apakah mind mapping dapat digunakan untuk mengatasi miskonsepsi mahasiswa pada pembelajaran Analisis Real. Selain itu akan dikaji apakah ada respon positif dari mahasiswa terkait dengan proses pembelajaran dengan menggunakan mind mapping. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan menggunakan rancangan one shot-case study. Perlakuan tertentu (penggunaan mind mapping) dikenakan pada satu kelas saja tanpa adanya kelas kontrol dan tanpa tes awal. Adapun objek dari penelitian ini adalah 40 orang mahasiswa matematika Jurusan Matematika FMIPA Universitas Udayana yang sedang mengambil mata kuliah Analisis Real. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengamatan aktivitas mahasiswa, soal tes hasil belajar, dan lembar angket respon siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode pengamatan, metode angket, dan metode tes. Data observasi yang terkumpul dari angket/kuisioner maupun test hasil belajar dianalisis melalui langkah-langkah berikut: a) Melakukan tabulasi data untuk mengetahui aktivitas, respon dan motivasi mahasiswa dalam pembelajaran Analisis Real menggunakan mind mapping. b) Melakukan tabulasi data tentang masalah yang dihadapi mahasiswa dalam 130
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pembelajaran matakuliah Analisis Real menggunakan mind mapping. c) Melihat statistika desktriptif nilai test hasil belajar dengan menggunakan nilai 60 sebagai indikator keberhasilan proses pembelajaran pada penelitian ini. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian diawali dengan melakukan persiapan penyusunan bahan ajar Analisis Real bermuatan mind mapping. Analisa pendahuluan dilakukan dengan cara menganalisis buku teks dan bahan ajar yang sudah ada (baik berbahasa Inggris maupun berbahasa Indonesia). Ini bertujuan untuk dapat melihat sejauh mana kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam bahan ajar masing-masing sehingga menjadi pertimbangan dalam membentuk bahan ajar yang baru. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan mahasiswa yang sudah pernah mengambil mata kuliah Analisis Real terkait harapan mereka terhadap pembelajaran yang lebih menarik. Gambar 1. berikut adalah salah satu contoh penyajian bahan ajar berbasis mind mapping.
Gambar 1. Contoh Bahan Ajar Analisis Real Bermuatan Mind Mapping (Materi Pendahuluan)
Selain itu yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menyusun instrument 131
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
penelitian diantaranya berupa pedoman observasi dan pedoman wawancara, chek list, angket, dan tes yang akan dipergunakan pada tindakan kelas. Dengan menggunakan beberapa bahan ajar analisis real bermuatan mind mapping yang sudah disusun, kemudian dilakukan uji coba lapangan (PTK). Dalam penelitian ini tatap muka dilakukan 6 kali. Pada proses pembelajaran mahasiswa juga diwajibkan menggambarkan kembali hasil belajar mereka dalam bentuk mind mapping. Tes evaluasi pembelajaran dilakukan sebanyak tiga kali pada tatap muka ke dua, ke empat dan ke enam. Pada proses pemberian materi, dilakukan pula observasi terhadap proses pembelajaran dan motivasi mahasiswa dalam pembelajaran yang dilaksanakan. Data hasil evaluasi belajar mahasiswa menggunakan bahan ajar Analisis Real yang bermuatan mind mapping kemudian dianalisis dengan analisis statistika deskriptif. Hasil olah data dari hasil evaluasi belajar tersebut diuraikan dalam Tabel 1. berikut Tabel 1. Analisis Data Statistik Deskriptif Hasil Evaluasi Belajar mahasiswa menggunakan bahan ajar Analisis Real yang bermuatan mind mapping N
Range
Statistic Statistic
Minimu
Maximu
Sum
Mean
Std.
m
m
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
Std. Error
Statistic
Variance
Deviation Statistic
Nilai_1
40
75
25
100
2965
74,13
2,630
16,637
276,779
Nilai_2
40
70
30
100
2827
70,68
2,547
16,108
259,456
Nilai_3
40
70
25
95
2753
68,83
2,370
14,990
224,712
40
58
40
98
2849
71,23
2,101
13,291
176,640
Rerata_ responden Valid N (listwise)
31
Tabel 1. menunjukkan bahwa setiap nilai test hasil evaluasi belajar mahasiswa menggunakan bahan ajar Analisis Real yang bermuatan mind mapping terlihat memiliki rentang antara nilai tertinggi dan nilai terendah yang sangat lebar. Berikut analisis dari setiap tahapan evaluasi pembelajaran yang dilakukan: 1. Hasil tes evaluasi belajar I (Nilai_1) memiliki rentang sebesar 75, dengan rataan 74,13 dan simpangan baku 16,637. Artinya, nilai hasil tes evaluasi belajar I 132
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mahasiswa sangat beragam, ada mahasiswa yang sudah sangat mengerti sehingga memperoleh nilai jauh lebih tinggi dari nilai mahasiswa lainnya, dan ada juga mahasiswa yang sangat tidak mengerti sehingga nilainya jauh lebih rendah dari nilai rataan. Dengan menggunakan standard nilai 60 sebagai indikator keberhasilan proses pembelajaran mata kuliah Analisis Real, akan terlihat bahwa nilai rataan test berada di atas indikator keberhasilan pembelajaran. Hal ini memberi informasi bahwa penggunaan mind mapping dalam pembelajaran tahap I berhasil. 2. Hasil tes evaluasi belajar II (Nilai_2) memiliki rentang sebesar 70, dengan rataan 70,68 dan simpangan baku 16,108. Artinya, nilai hasil tes evaluasi belajar II mahasiswa sangat beragam. Dengan menggunakan standard nilai 60 sebagai indikator keberhasilan proses pembelajaran mata kuliah Analisis Real, akan terlihat bahwa nilai rataan test berada di atas indikator keberhasilan pembelajaran. Hal ini memberi informasi bahwa penggunaan mind mapping dalam pembelajaran tahap II juga berhasil. 3. Dengan cara yang sama diperoleh hasil tes evaluasi belajar III (Nilai_3) memiliki rentang sebesar 70, dengan rataan 68,83 dan simpangan baku 14,990. Artinya, nilai hasil tes evaluasi belajar II mahasiswa sangat beragam. Dengan menggunakan standard nilai 60 sebagai indikator keberhasilan proses pembelajaran mata kuliah Analisis Real, masih terlihat bahwa nilai rataan test berada di atas indikator keberhasilan pembelajaran. Hal ini juga memberi informasi bahwa proses pembelajaran tahap III berhasil. Secara umum dari hasil rerataan nilai yang dihitung dari setiap responden diperoleh bahwa rentang nilai hasil pembelajaran adalah 58 dengan rataan 71,23 dan simpangan baku 13,291. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum proses pembelajaran dengan menggunakan mind mapping dalam pembelajaran Analisis Real berhasil mengingat nilai rataan berada di atas nilai indikator keberhasilan proses pembelajaran mata kuliah Analisis Real (71,23>60). Berdasarkan nilai dari rataan tiap responden diperoleh bahwa sebanyak 34 orang dari 40 orang memiliki rataan nilai lebih besar atau sama dengan 60, sehingga ada 85% hasil belajar mahasiswa memiliki nilai di atas 60. Hal ini lebih menegaskan 133
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kembali bahwa proses pembelajaran dengan menggunakan mind mapping dalam pembelajaran Analisis Real berhasil mengingat lebih banyak hasil belajar mahasiswa yang berada di atas standar minimal nilai kompetensi. Dengan kata lain penggunaan mind mapping dalam pembelajaran Analisis Real dapat dikatakan berhasil dan dapat mengatasi miskonsepsi yang dialami mahasiswa. Selain itu berdasarkan hasil tabulasi angket terkait ketertarikan mahasiswa dalam pembelajaran Analisis Real menggunakan bahan ajar bermuatan mind mapping diperoleh hasil evaluasi seperti terlihat pada Tabel 2. berikut. Tabel 2.
Hasil Analisis Data Kuesioner Ketertarikan Mahasiswa dalam Melakukan Proses Pembelajaran Analisis Real Menggunakan Bahan Ajar Analisis Real Yang Bermuatan Mind Mapping RESPONDEN
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
P10
Total
1
3
3
3
4
3
4
4
4
4
3
35
2
5
4
5
3
3
4
5
4
3
3
39
3
5
4
5
3
3
4
5
4
3
3
39
4
5
4
5
3
3
4
5
4
3
3
39
5
5
5
4
5
4
5
4
5
5
5
47
6
5
4
5
4
5
4
5
4
5
4
45
7
5
5
4
4
5
4
5
5
5
4
46
8
4
4
4
4
4
4
3
4
4
3
38
9
4
4
3
4
3
4
4
4
4
3
37
10
4
4
4
4
3
3
4
4
3
5
38
11
4
4
4
4
3
3
4
4
3
5
38
12
4
3
4
3
2
1
4
5
4
5
35
13
4
4
5
4
5
4
3
4
5
5
43
14
4
4
5
4
4
4
5
4
5
5
44
15
4
4
4
5
4
4
4
5
4
4
42
16
4
5
4
4
4
5
5
4
3
4
42
17
4
4
4
4
3
3
4
4
3
4
37
18
4
4
4
3
4
5
4
4
4
5
41
19
4
4
4
4
3
3
4
4
5
4
39
20
4
4
4
4
5
5
4
4
3
4
41
21
4
4
4
5
3
3
4
4
3
4
38
22
4
5
4
5
4
4
4
5
3
4
42
23
4
4
4
3
3
4
4
3
4
5
38
24
4
4
4
3
4
4
5
4
4
5
41
25
4
4
4
5
5
4
4
3
5
4
42
26
4
4
4
4
4
3
4
3
4
5
39
134
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
27
4
4
4
3
3
4
4
4
3
4
37
28
4
5
4
5
4
4
3
4
4
5
42
29
4
4
4
4
3
4
3
3
4
4
37
30
4
3
4
3
3
4
4
3
3
4
35
31
4
4
4
5
4
5
4
3
4
4
41
32
4
4
5
4
4
4
4
5
3
4
41
33
5
5
5
4
3
5
3
3
4
4
41
34
4
4
4
3
3
4
4
4
4
4
38
35
5
4
4
4
4
4
3
4
4
4
40
36
4
4
4
4
4
5
4
4
4
4
41
37
4
4
4
4
4
3
4
4
4
4
39
38
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
40
39
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
39
40
4
4
5
4
3
4
4
3
4
4
39
Total
167
162
167
157
146
157
162
158
154
165
1595
Persentase
83,5
81
83,5
78,5
73
78,5
81
79
77
82,5
79,75
Berdasarkan Tabel 2. tersebut diperoleh bahwa prosentase respon terkait ketertarikan mahasiswa dalam pembelajaran Analisis Real pada uji coba tersebut sebesar 79,75%. Berdasarkan kriteria interpretasi skor pada sekala Likert (dalam hal ini angka 0%-20% terkategori sangat lemah; 21%-40% terkategori Lemah; 41%-60% terkategori Cukup; 61%-80% terkategori Kuat; 81%-100% terkategori sangat kuat) dapat diperoleh bahwa respon terkait ketertarikan mahasiswa dalam pembelajaran Analisis Real pada uji coba terkategori kuat. Sedangkan apabila dilihat dari nilai setiap komponen pertanyaan maka diperoleh analisa seperti pada Tabel 2. berikut. Tabel 3. Hasil Analisis Data Kuesioner Ketertarikan Mahasiswa (Perkomponen Pertanyaan) Dalam Melakukan Pembelajaran Analisis Real Menggunakan Bahan Ajar Yang Bermuatan Mind Mapping
No . 1. 2.
Pernyataan Materi lebih menarik dan mudah dimengerti. Saya merasa termotivasi untuk belajar mandiri setelah menggunakan bahan ajar Analisis Real berbasis mind mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa dibandingkan dengan buku/sumber lain.
Nilai
%
167 162
83,3 81
Kategori Skala Likert Sangat Kuat Sangat Kuat
135
KNPM 6
3. 4.
5.
6.
7. 8.
9.
10
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Proses pembelajaran lebih terarah. Bahan ajar Analisis Real berbasis mind mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa yang diberikan membantu saya lebih fokus belajar. Dengan bahan ajar Analisis Real berbasis mind mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa pemahaman saya tentang materi yang diajarkan meningkat. Dengan bahan ajar Analisis Real berbasis mind mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa saya dituntun untuk belajar menuliskan kalimat matematika dengan argument yang tepat . Saya tidak takut lagi pelajaran Analisis Real Dengan bahan ajar Analisis Real berbasis mind mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa saya lebih terlatih menyelesaikan soal secara sitematis Dominasi Dosen lebih berkurang setelah menggunakan bahan ajar Analisis Real berbasis mind mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa, sehingga lebih leluasa dalam menerima materi. Dengan bahan ajar Analisis Real berbasis mind mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa, saya terdorong untuk mendahului membaca materi kuliah sebelum perkuliahan dimulai.
167 157
83,5 78,5
Sangat Kuat Kuat
146
73
Kuat
157
78,5
Kuat
162 158
81 79
Sangat Kuat Kuat
154
77
Kuat
165
82,5
Sangat Kuat
Melihat hasil pada Tabel 3. diperoleh beberapa alasan mengapa pembelajaran Analisis Real dengan menggunakan bahan ajar bermuatan mind mapping sangat kuat menarik mahasiswa dalam melakukan proses pembelajaran diantaranya adalah pembelajarannya
menarik,
memotivasi,
mengarahkan
dalam
belajar,
menghilangkan kesan angker dan mendorong untuk mendahului dalam belajar (termotivasi untuk belajar mandiri). Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa mahasiswa yang menjadi responden, banyak diperoleh kesan positif terhadap pembelajaran analisis real bermuatan mind mapping. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan indikator yang telah ditetapkan diperoleh bahwa sebanyak 85% hasil belajar mahasiswa memiliki nilai di atas 60. Dengan 136
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan mind mapping dalam pembelajaran Analisis Real dapat dikatakan berhasil dan dapat mengatasi miskonsepsi yang dialami mahasiswa. Selain itu dalam mengikuti perkuliahan Analisis Real, mahasiswa memberikan respon positif terhadap proses perkuliahan dengan menggunakan mind mapping, diantaranya mahasiswa menjadi lebih mandiri dan lebih termotivasi dalam belajar. Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. model pembelajaran mind mapping dapat digunakan sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran untuk konsep matematika yang lebih abstrak 2. mind mapping dapat disinergikan dalam bahan pembelajaran sehingga diperoleh bahan ajar yang lebih menarik dan atraktif, sehingga diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman mahasiswa. DAFTAR PUSTAKA Arini, N.W. (2011) Implementasi Metode Peta Pikiran Berbantuan Objek Langsung untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Deskripsi Siswa Kelas IV Sekolah DasarNomor 4 Kampung Baru. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan Ganesha. Buzan, T. & Barry. 2004. Memahami Peta Pikiran. Edisi Milenium. Batam: Interaksara. Harini, LPI, Astawa, IGS dan Srinadi, IGAM. (2014) Eksplorasi Miskonsepsi Mahasiswa Dalam Pengembangan Buku Teks Analisis Real Bermuatan Peta Pikiran,Proceding Seminar Nasional Sains & Teknologi 2014, hal. 941949. Hernowo. 2005. Quantum Writing. Bandung: Mizan Learning Center. Sastradi, T. (2013) Pengertian Prakonsepsi dan Miskonsepsi. Tersedia pada http://mediafunia.blogspot.com/2013/03/pengertian-prakonsepsidanmiskonsepsi.html, [Diunduh: 1 Agustus 2014]. Sistiani, A. A. H. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Mind Mapping Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Menulis Karangan Narasi (Studi Kasus pada Siswa Kelas V SD Tunas Daud). Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran. 6(2). 1450-1461.
137
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR LOGIKA MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL BERNUANSA ISLAMI UNTUK MENGEMBANGKAN KARAKTER MAHASISWA Nurjanah Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Nusantara,
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini memiliki tujuan utama menghasilkan bahan ajar logika matematika sebagai referensi utama perkuliahan Logika dan Himpunan pada Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Uninus. Melalui tahapan-tahapan kegiatan yang sudah dirancang, diharapkan akan diperoleh bahan ajar matematika bernuansa islami yang relevan untuk menumbuhkembangkan karakter terpuji pada perkuliahan logika matematika dengan pendekatan kontekstual. Subjek dari penelitian ini adalah mahasiswa semester 1 Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Nusantara, Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan (research anddevelopment) yang ditempuh melalui tahapan olah pikir (thought experiments) dan eksperimen pembelajaran (instruction experiments). Secara garis besar penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap selama dua tahun, yaitu tahap: persiapan dan penerapan pada tahun pertama, dan penyempurnaan pada tahun kedua. Tahap persiapan meliputi desain pendahuluan, validasi, dan uji coba terbatas. Tahap penerapan merupakan tahap percobaan inti; sementara tahap penyempurnaan meliputi validasi ahli dan revisi, dilengkapi dengan publikasi ilmiah. Saat ini penelitian telah menyelesaikan tahap 1 dan 2, dan sedang mempersiapkan pelaksanaan tahap 3. Melalui tahapan-tahapan kegiatan yang telah dilakukan, kini telah terwujud Disain Logika Matematika (DLM) revisi 2 yang telah teruji validitas, kepraktisan, dan keefektifannya. Kata Kunci: Logika matematika, nuansa islami, kontekstual, karakter.
PENDAHULUAN Keterpurukan demi keterpurukan yang dialami masyarakat Indonesia sulit dipisahkan dari
kemiskinan dan
kebodohan, yang diwarnai dengan jumlah
pengangguran yang semakin mengkhawatirkan. Berbarengan dengan itu; tindak kriminal tambah mewabah, peredaran dan penyalahgunaan narkoba kian marak, terorisme tak juga padam, demonstrasi yang disertai anarkisme menjadi trend pemaksaan kehendak, sementara korupsi pun makin merajalela. Bukan hanya itu, kini banyak tindak kejahatan dilakukan
oleh pejabat serta orang-orang
berpendidikan. Di lain pihak, remaja calon penerus generasi bangsa bukan hanya berbuat nakal khas remaja, melainkan mulai berani melakukan kejahatan pula. 138
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Singkat kata, moralitas bangsa kini benar-benar memprihatinkan. Situasi dan kondisi bangsa yang mengkhawatirkan tersebut tidak luput dari perhatian penyelenggara negara. Buktinya, pemerintah
mengambil
inisiatif
memprioritaskan pembangunan karakter bangsa, dengan menjadikannya sebagai arus utama pembangunan nasional. Konsekuensinya, setiap upaya pembangunan harus selalu diarahkan untuk memberi dampak positif terhadap pengembangan karakter. Sebagai lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap pembinaan karakter bangsa, Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mencanangkan pendidikan karakter yang akan diterapkan pada semua jenjang pendidikan. Pendidikan karakter yang dicanangkan berfokus pada landasan keingintahuan intelektual yang
berbingkai kesantunan dengan pendekatan
habituasi dan intervensi, yang diharapkan akan menghasilkan budaya sekolah (lingkungan pendidikan) yang menunjang tumbuh kembangnya karakter terpuji. “Karakter adalah nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan ) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku.” (Pemerintah Republik Indonesia, 2010:7). Sementara itu, Marzuki (2012) setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa karakter identik dengan akhlaq. Mengingat Universitas Islam Nusantara (Uninus) bercita-cita mewujudkan insan-insan berakhlaqul karimah, maka spirit pendidikan yang diselenggarakan oleh Uninus tak lain tak bukan merupakan pendidikan karakter adanya. Menurut Lickona (1991) pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti. Dengan kata lain
pendidikan karakter dapat dimaknai
sebagai
pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Sementara itu, Frye (2002:2) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, “A national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through an emphasis on universal values 139
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
that we all share”. Seperti halnya Frye, Kemendiknas RI menganggap bahwa pendidikan karakter hendaknya menjadi gerakan nasional. Sehubungan dengan pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa, Kemendiknas (2010:6) menyatakan, “Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itumenghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi,ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta ketrampilan).” Jelas, pembinaan karakter bukan hanya menjadi tanggung jawab PPKn dan pendidikan agama, dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia, melainkan juga harus dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Berbagai pemikiran yang telah dipaparkan mendorong penulis untuk mengembangkan bahan ajar matematika
yang dapat menumbuhkembangkan
karakter terpuji pada diri mahasiswa. Logika Matematika dipilih mengingat mata kuliah ini diberikan di semester pertama. Diharapkan, jika mahasiswa telah disadarkan akan pentingnya menumbuhkembangkan karakter-karakter terpuji sejak pertama mengikuti perkuliahan, mereka akan memelihara dan menjaga karakter yang telah dimiliki, dan menumbuhkembangkan karakter-karakter terpuji lainnya, melalui persentuhan mereka dengan matematika. Pendekatan kontekstual, yang menghubungkan kenyataan keseharian dengan konsep matematika, serta nuansa islami; dipilih agar penumbuhkembangan karakter berjalan alamiah, dan sesuai dengan visi dan misi Universitas Islam Nusantara. Rumusan Masalah Permasalahan yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini adalah, pada perkuliahan Logika Matematika: 1. Bahan ajar kontekstual bernuansa islami seperti apa yang dapat menumbuhkembangkan
karakter
terpuji
pada
individu-individu
mahasiswa?
140
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2. Bagaimanakah karakter mahasiswa yang memperoleh perkuliahan dengan bahan ajar pengantar Logika Matematika dengan pendekatan kontekstual bernuansa islami? METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Research and development, disingkat R&D), dalam hal ini pengembangan bahan ajar Logika Matematika. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mewujudkan bahan ajar Logika Matematika berbasis kontekstual yang dapat
menumbuhkembangkan
karakter: jujur, disiplin, dan ulet, pada individu-individu mahasiswa. Bahan ajar yang dihasilkan diharapkan layak untuk digunakan pada perkuliahan yang dilakukan dengan pendekatan kontekstual bernuansa islami. Pengembangan bahan ajar dilakukan dengan mengikuti rangkaian penelitian dengan langkah-langkah yang diadaptasi dari model R&D versi Borg dan Gall (1989). Secara garis besar penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap selama dua tahun; yaitu tahap persiapan dan penerapan pada tahun pertama, serta tahap penyempurnaan pada tahun kedua. Tahap persiapan meliputi: desain pendahuluan, validasi, dan uji coba terbatas; tahap penerapan merupakan tahap percobaan inti; sementara tahap penyempurnaan mencakup validasi ahli dan revisi, dilengkapi dengan publikasi ilmiah. Dalam bentuk diagram alir, desain penelitian diilustrasikan dengan gambar 1, 2, 3, yang berturut-turut mewakili tahap 1, tahap 2, serta tahap 3 penelitian dan pengembangan yang dilakukan.
Kajian kurikulum
Studi pustaka
Rancangan Bahan Ajar (DLM) dan Instrumen Peneliitian
Workshop (Validasi DLM dan Instrumen )
Uji Coba Terbatas
Analisis Hasil Uji Coba
DLM Revisi 1
Gambar 1 tahap pertama penelitian dan pengembangan
Tahap pertama penelitian dan pengembangan diawali dengan
kajian 141
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kurikulum untuk menentukan tujuan, menetapkan pada kompetensi yang mana bahan ajar akan dikembangkan, serta mengidentifikasi materi utama yang perlu diajarkan. Langkah selanjutnya adalah studi pustaka; dilakukan dengan mengumpulkan dan memilih materi yang relevan, menyusunnya kembali secara sistematis, sehingga akhirnya diperoleh rancangan bahan ajar yang dinamai dengan Disain Logika Matematika (DLM) dan instrumen penelitian. DLM dan instrument kemudian divalidasi, diuji cobakan secara terbatas, dianalisis dan direvisi, sehingga menghasilkan DLM revisi I.
DLM Revisi 1
Analisis Hasil Uji Coba 1
Uji Coba 1
DLM Revisi 2
Gambar 2 tahap ke-2 penelitian dan pengembangan Seperti halnya tahap 1, tahap 2 penelitian dan pengembangan dilaksanakan pada tahun pertama. DLM revisi 1 yang dihasilkan pada tahap 1 diujicobakan pada kelas sesungguhnya, yakni mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Uninus semester 1 tahun ajaran 2014/2015. Hasil uji coba, berupa: rekaman perkuliahan, lembar observasi aktivitas dosen dan mahasiswa, serta nilai tes formatif dan sumatif; kemudian dianalisis, dan hasilnya digunakan guna memperbaiki desain bahan ajar sehingga diiperoleh DLM revisi 2.
DLM Revisi 2
Workshop (Validasi DLM dan Instrumen
Publikasi Ilmiah & Analisis
Publikasi Ilmiah & Pengajuan ISBN Buku Logika Matematika
DLM Revisi 3
Logika Matematika Berkarakter
Uji Coba 2
Analisis Hasil Uji Coba 2
Gambar 3 tahap ke-3 penelitian dan pengembangan 142
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tahap 3 penelitian dan pengembangan dilaksanakan pada tahun ke-2. Kegiatan pertama adalah workshop untuk membahas DLM revisi 2 yang berujung validasi ahli serta pengguna. Bersamaan dengan publikasi ilmiah, hasil workshop dianalisis, dan hasilnya diolah sehingga tim peneliti memperoleh DLM revisi 3. Uji coba
DLM revisi 3 dilakukan pada mahasiswa Program Studi Pendidikan
Matematika FKIP Uninus semester 1 tahun ajaran 2015/2016. Hasil uji coba dikonsultasikan kepada pakar, direvisi dan diedit kembali,
sehingga diperoleh
Bahan ajar Logika Matematika yang layak untuk diajarkan pada perkuliahan dengan pendekatan kontekstual bernuansa islami. Kegiatan terakhir adalah publikasi ilmiah dan pengajuan ISBN. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Saat ini penelitian telah menyelesaikan tahap 1 dan 2, dan sedang mempersiapkan pelaksanaan tahap 3. Melalui tahapan-tahapan kegiatan yang telah dilakukan, kini telah terwujud Disain Logika Matematika (DLM) revisi 2 yang telah teruji validitas, kepraktisan, dan keefektifannya. Pada artikel ini, gambaran penitipan pendidikan
karakter
bernuansa islami akan dilustrasikan pada
pembelajaran implikasi yang diintegrasikan dengan pendidikan karakter disiplin. Nuansa islami dalam pembelajaran implikasi diekspresikan dengan mengambil contoh pernyataan yang merupakan salah satu ayat Alquran. Pada topik-topik lain nuansa islami dikuatkan dengan hadits, tarikh, dan wawasan keislaman; disamping Alquran. Dalam pelaksanaannya, mahasiswa diminta mencermati pernyataan: Jika memperoleh nilai A pada mata kuliah Logika dan Himpunan, maka Nani akan mentraktir Teti. Melalui konteks kehidupan sehari-hari tersebut, secara lebih bermakna mahasiswa diajak mengingat kembali bahwa suatu implikasi: 1) hanya bernilai salah, jika antesedennya bernilai benar sedangkan konsekuennya salah; 2) pasti bernilai benar jika memiliki konsekuen bernilai benar; 3) selalu bernilai benar jika memiliki anteseden yang bernilai salah. Selanjutnya dosen mengajak mahasiswa untuk mencermati firman Allah 143
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
surat 39 (Al- Ankabut) ayat 45 yang artinya: shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Pernyataan dlm alquran tersebut selanjutnya diubah ke dalam bemntuk implikasi sehingga diperoleh pernyataan baru yang berbubnyi: Jika seseorang menunaikan shalat, maka orang tersebut akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar, atau Jika X menunaikan shalat, maka X terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Misalkan, P: X menunaikan shalat bernilai benar, Q: X terhindar dari perbuatan keji dan munkar, bernilai benar. Selanjutnya mahasiswa diminta mencermati tabel berikut: No 1.
2.
P
Q
P→Q
X menunaikan shalat
X terhindar dari perbuatan keji
B
B
dan munkar B
X menunaikan shalat
X
B
perbuatan keji
tidak
dari
S
menunaikan X terhindar dari perbuatan keji
B
dan munkar. 3.
X
tidak
shalat
dan munkar.
terhindar
S
B
S 4.
X
tidak
menunaikan X
tidak
shalat
perbuatan keji
S
dan munkar. S
terhindar
dari
B
1. Pernyataan pertama merupakan implikasi bernilai benar. 2. Pernyataan kedua memiliki anteseden bernilai benar dan konsekuen bernilai salah, berarti nilai kebenaran implikasi tersebut adalah salah. Namun demikian bisa saja ada yang protes, karena pada kenyataannya di masyarakat dijumpai orang-orang yang sudah mengerjakan shalat, namun mereka tidak terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Dengan kata lain, implikasi tersebut bisa bernilai benar. Kondisi ini merupakan wahana bagi dosen untuk menanamkan nilai kedisiplinan. Mahasiswa perlu diingatkan agar konsisten mengikuti kesepakatan bahwa implikasi yang memiliki anteseden benar dan konsekuen salah, bernilai salah. Muslim yang telah 144
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menunaikan shalat pasti terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Ketika ada (banyak) orang yang sudah mengerjakan shalat, namun mereka tidak terhindar dari keji dan munkar; yang patut dipertanyakan adalah apa yang salah dengan shalat dia/mereka? Kemungkinan besar, hal itu terjadi karena orang yang bersangkutan baru mengerjakan shalat, belum mendirikan shalat. 3. Jika X tidak menunaikan shalat, maka X terhindar dari perbuatan keji dan munkar” merupakan implikasi yang bernilai benar; karena antesedennya bernilai salah. Mahasiswa bisa diajak melihat kenyataan; di masyarakat dijumpai orang-orang non muslim yang tidak mengerjakan shalat, namun mereka terhindar dari perbuatan keji dan munkar. 4. Pernyataan ke-4 memiliki anteseden
dan konsekuen yang sama-sama
bernilai salah; berarti implikasi tersebut bernilai benar. Muslim yang tidak menunaikan shalat pasti tidak terhindar dari perbuatan munkar, karena meninggalkan shalat termasuk munkar (inkar dari menuanaikan kewajiban). Selain itu, banyak dijumpai orang-orang yang tidak menunaikan shalat, dan mereka
tidak terhindar dari perbuatan keji dan
munkar Penanaman karakter disiplin diteruskan dengan melanjutkan pembahasan implikasi dengan contoh-contoh dalam konteks matematika. Dosen perlu memberi perhatian khusus dalam menjelaskan implikasi yang memiliki anteseden dan konsekuen yang tidak saling berhubungan, seperti: jika 3 > 5, maka 14 merupakan kelipatan 7. Pada kasus ini mahasiswa diminta mengabaikan hubungan diantara anteseden dan konsekuen. 3 > 5 bernilai salah. Karena antededen bernilai salah, mahasiswa harus disiplin menyatakan bahwa kebenaran dari implikasi tersebut bernilai benar. Pembahasan Waktu 3 bulan yang dialokasikan untuk merancang DLM dirasa tidak cukup. Bukan berarti dalam rentang waktu tersebut peneliti tidak berhasil merancang DLM, melainkan rancangan yang dihasilkan masih belum memuat karakter yang dititipkan secara elegan dan wajar. Integrasi
karakter dalam 145
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pembelajaran sangat mungkin dilakukan; selagi pengajar memiliki kepedulian, dan siap menggunakan momen-momen yang seringkali muncul saat pembelajaran berlangsung. Akan tetapi, menitipkan pendidikan karakter pada bahan ajar bukanlah perkara gampang, terlebih jika hal tersebut harus dibuktikan dengan pemunculan istilah karakter tersebut secara eksplisit sebagai jiwa dan atau hasil (nurturant effect) dari konsep matematika yang diajarkan. Nuansa Islami
bukanlah perkara yang sulit untuk diterapkan dalam
pembelajaran. Akan tetapi, ketika hal tersebut akan dimunculkan dalam bahan ajar, kesan eksklusif mau tidak mau akan terjadi. Oleh karena itu peneliti/penulis perlu berhati-hati; demi menghindarii eksklusivitas, juga guna sedikit mengurangi kesan terlalu menggurui. Pada praktek perkuliahan, peneliti ditemani oleh seorang dosen yang berperan sebagai observer. Hasil pengamatan oleh observer didiskusikan bersama guna menghasilkan suatu refleksi yang akan dijadikan pertimbangan untuk menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan pada pertemuan berikutnya. Observer juga bertugas mengamati karakter yang tumbuh dan berkembang selama dan sesudah perkuliahan Logika Matematika dengan menggunakan bahan ajar yang telah digunakan berlangsung. KESIMPULAN DAN SARAN Pada pembelajaran Logika Matematika dengan pendekatan kontekstual bernuansa islami dengan menggunakan bahan ajar yang telah disusun 1. Bahan ajar yang telah dikembangkan tim peneliti adalah bahan ajar yang secara eksplisit menyisipkan/menitipkan muatan karakter terpuji sebagai upaya integrasi pendidikan karakter melalui pembelajaran matematika. Nuansa islami diekspresikan melalui penjelasan/contoh yang mengacu kepada Alquran dan Hadits., hadits, tarikh, dan wawasan keislaman. 2.
Tumbuhkembangnya karakter pada mahasiswa dapat digambarkan sebagai berikut: jujur dan disiplin berada pada tingkat Membudaya, sementara kerja keras berada pada tingkat Mulai Berkembang.Selain 3 karakter yang dengan sengaja ditumbuhkembangkan, peneliti menemukan 3 karakter lain, yakni: 146
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
rasa ingin tahu, percaya diri, dan menghargai orang lain; tumbuh dan berkembang pada individu-individu mahasiswa. DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama Republik Indonesia (1990). Alquran dan Terjemahannya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan/Pentafsir Alquran. Borg, W. R. & Gall, M. D. (1989). Educational research an introduction. New York: Longman. Frye, Mike at all. (Ed.) 2002. Character Education: Informational Handbook and Guide for Support and Implementation of the Student Citizent Act of 2001. North Carolina: Public Schools of North Carolina. Kementrian Pendidikan Nasional (2010). Pedoman Sekolah Pengembangan Pendidikan BudayaDan Karakter Bangsa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.[Online] Tersedia: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=we&cd=2&ve d=0CDAQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.puskurbuk.net%2Fdownload s%2Fviewing%2FProduk_Puskurbuk%2F2011%2FPendidikan_Karakter%2 F4_PANDUAN%2BPELAKS%2BPENDIDIKAN%2BKARAKTER.pdf% 2F&ei=YFNYUoWJDs2UrAfY34HoDA&usg=AFQjCNEIjcTfVy6KlaxDx w5RFktx6kvyBQ&bvm=bv.53899372,d.bmk.Diunduh Januari 2013. Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books. Marzuki. (2009). Prinsip Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-konsep Dasar Etika dalam Islam. Yogyakarta: Debut Wahana Press-FISE UNY. Pemerintah Republik Indonesia, 2010. Kebijakan Nasional embangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2015. .[Online] Tersedia: www.puskurbuk.net.
147
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGARUH PEMBELAJARAN BERPUSAT MASALAH (PROBLEM CENTERED LEARNING) TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIKA SISWA KELAS VIII Majid Prodi Pendidikan Matematika, Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo
Abstract. The purpose of this study was to determine whether the ability of the students that learned mathematical connection using Problem Based Learning models (Problem Centered Learning) is higher than on the ability of students that learned mathematical connection with learning models Direct (Direct Instruction). This research is a study of experimental studies. The population in this study are all Class VIII students of SMP N 1 Tibawa scattered in the class with the average number of students per class consists of 26-29 people. The total population of 219 people. The samples in this study conducted from 8 classes drawn at random two classes, which will serve as classes taught using learning model centered on the issue (experimental) and classes taught using direct learning model (control). Based on the results obtained randomization VIII-2 class taught by problem-centered learning model (experimental class) and VIII-3 class taught by direct learning model (control class). Based on the research that has been done that the ability to connect students that learned by using learning model Centered Learning Problem higher than the connection capabilities of students that learned to use direct instructional model. Keywords: Problem Centered Learning, Mathematical Connections
PENDAHULUAN Matematika merupakan disiplin ilmu yang saling berhubungan dan berkaitan, bukan sebagai sekumpulan materi yang terpisah-pisah. Artinya matematika saling berhubungan dengan materi yang dipelajari sebelumnya. Dengan demikian kemampuan koneksi ini sangat diperlukan oleh siswa sejak dini, karena melalui koneksi matematik maka pandangan dan pengetahuan siswa akan semakin luas terhadap matematika sebab semua yang terjadi di kehidupan seharihari maupun materi yang dipelajari saling berhubungan. Dalam belajar matematika siswa dituntut memahami koneksi antara ide-ide matematik dan antar matematik dan bidang studi lainnya. Jika siswa sudah mampu melakukan koneksi antara beberapa ide matematik, maka siswa akan memahami setiap materi matematika dengan lebih dalam dan baik. 148
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Namun, kenyataan yang ada bahwa selama ini guru hanya menjelaskan konsep, memberikan contoh soal dan cara menyelesaikannya selanjutnya disusul oleh soal-soal latihan, sedangkan penanaman konsep itu sendiri tidak dijelaskan, akibatnya kemampuan berfikir siswa tidak berkembang karena hanya mengikuti apa yang diberikan oleh guru. Model pembelajaran PCL (Problem Centered Learning) atau pembelajaran berpusat masalah yang merupakan suatu pembelajaran yang lebih menekankan pada masalah autentik sehingga siswa mampu membangun pengetahuannya sendiri. Dengan pembelajaran berpusat masalah memungkinkan siswa melakukan stimulus pikirannya untuk membuat konsep yang ada menjadi logis berdasarkan masalah yang mereka hadapi dan mengembangkan konsep-konsep tersebut sesuai dengan aturan matematika yang diketahui menurut bahasa atau pemahaman sendiri. Dalam pembelajaran berpusat masalah ini dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman menemukan, mengenali dan menghubungkan konsep matematika serta memecahkan masalah yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Menurut Sumarmo (2007: 117) Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan mengaitkan konsep konsep matematika baik antar konsep dalam matematika itu sendiri maupun mengaitkan konsep matematika dengan konsep dalam bidang lainnya.Sementara Ma (dalam yuniaw, 2012: 292) menggambarkan koneksimatematika sebagai hubungan matematis antara konsep, bersama-sama dengankonsep-konsep kunci mendasari peserta didik untuk mempresentasikan ideidematematika. Konsep-konsep kunci ini merupakan paket pengetahuan yang saling berhubungan yang digunakan untuk memahami dan mengembangkan ideidematematika, konsep dan prosedur. koneksi matematika yaitu kemampuan yang dimiliki siswa dalam memahami hubungan-hubungan yang terkait dengan matematika, dalam hal ini pada pelajaran matematika itu sendiri maka siswa mampu melihat keterkaitan antara konsep matematika dengan matematika itu sendiri, keterkaitan konsep matematika dengan ilmu pengetahuan yang lain, maupun keterkaitan antara konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari. 149
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Selanjutnya terdapat dua indikator yang akan digunakan untuk melihat kemampuan
koneksi
matematika
siswa
dalam
penelitian
ini
yaitu
:Menggunakankoneksi antar konsep matematika dan Menggunakan koneksi antara konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari. Jakubowski (Kurniawan, 2008: 20) Problem Centered Learning merupakan pendekatan
pembelajaran
mengkonstruksi
pengertian
yang
memfokuskan
yang
kemampuan
dimilikinya
terhadap
siswa
untuk
konsep-konsep
matematika”. Selain itu, Dewanti mengemukakan bahwa Pendekatan PCL memungkinkan siswa menstimulasikan pikirannya untuk membuat konsep yang ada menjadi logis berdasarkan masalah yang mereka hadapi dan mengembangkan konsep-konsep tersebut sesuai dengan aturan matematika yang diketahui menurut bahasa atau pemahaman sendiri. Melalui aktivitas pembelajaran pada masalahmasalah
yang
menarik,
siswa
selalu
berusaha
memecahkan
masalah,
mementingkan komunikasi, memfokuskan pada proses-proses penyelidikan dan penalaran, dan mengembangkan kepercayaan diri dalam menghadapi situasi kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Problem Centered Learning dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa melakukan aktivitas belajar yang potensial melalui penyelesaian masalah yang menuntut siswa mencari solusi dari masalah yang ada yang dapat dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Wheatly (dalam Shohibul) membuat komponen pendekatan Problem Centered Learning menjadi tiga komponen, yaitu: mengerjakan tugas, kegiatan kelompok, dan berbagi (sharing). Langkah-langkah dalam proses pembelajaran dengan pendekatan Problem Centered Learning yaitu: Tabel 2.1. Penerapan Pembelajaran Berpusat Masalah Langkah-langkah Mengorientasi
Perilaku guru
Pemberian Guru memberikan permasalahan matematika
permasalahan pada siswa
kepada siswa atau mungkin guru bertanya permasalahan yang berasal dari aspirasi siswa
150
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
yang
mempunyai
permasalahan
dari
pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan matematika. Mengorganisir siswa dalam Guru mengkondisikan kelas dalam kelompok pembelajaran kelompok kecil
kecil yang terdiri dari 4-5 orang. semua siswa belajar dalam kelompok kecil tersebut untuk menyelesaiakan permasalahan tersebut dengan cara Negosiasi, Kolaborasi dan Sharing dengan teman lainnya.
Mempersentasikan diskusi kelompok kecil.
hasil Guru mengkondisikan kelas dalam diskusi kelas untuk mempresentasikan hasil diskusinya. setiap kelompok menyajikan solusi-solusi yang mereka temukan di depan kelas kepada kelompok lain.
Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa dari kegiatan diskusi kelas tersebut akan tercapai kesepakatan bersama oleh siswa, untuk menentapkan solusi yang paling benar dengan cara yang mudah. Tujuan dari aktivitas diskusi kelas tersebut adalah menciptakan kesempatan bagi siswa untuk mempresentasikan solusi-solusi mereka kepada siswa-siswa yang lain dalam menyelesaikan permasalahan matematika tersebut. Sementara Jihad dan Haris (2012:27) mengatakan bahwa “Model pembelajaran langsung dirancang secara khusus untuk menunjang proses belajar siswa berkenaan dengan pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Selanjutnya Menurut Suprijiono (2009 : 46-47) pembelajaran langsung atau direct instruction dikenal dengan sebutan active teaching. Pembelajaran langsung juga dinamakan whole-class teaching. Penyebutan itu mengacu pada gaya mengajar dimana guru terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada peserta didik dan
151
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mengajarkannya secara langsung kepada seluruh kelas. Modeling adalah pendekatan
utama
dalam
pembelajaran
langsung.
Modelling
berarti
mendemonstrasikan suatu prosedur kepada peserta didik. Modelling mengikuti urutan -urutan berikut : (1) guru mendemonstrasikan perilaku yang hendak dicapai sebagai hasil belajar, (2) perilaku itu dikaitkan dengan perilaku-perilaku lain yang sudah dimilki peserta didik, (3) guru mendemonstrasikan sebagai bagian perilaku tersebut dengan cara yang jelas, terstruktur, dan berurutan disertai penjelasan mengenai apa yang dikerjakannya setelah setiap langkah selesai dikerjakan, dan (4) peserta didik perlu mengingat langkah-langkah yang dilihatnya dan kemudian menirukannya. Berdasarkan kajian teori di atas, permbelajaran berpusat masalah merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat menyajikan proses pembelajaran matematika lebih aktif .Problem Centered Learning juga merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar yang potensial melalui penyelesaian masalah yang menuntut siswa mencari solusi yang tidak segera ditemui. Karena dengan instruksi berpusat pada masalah akan memberikan usaha siswa untuk belajar. Siswa yang mengikuti pembelajaran ini akan memahami konsep matematika yang akan dipelajarinya sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut. Siswa akan merasa tertantang membangun pemahaman matematikanya sendiri dengan cara memecahkan masalah, menyajikan solusi-solusinya melalui presentase di depan teman-teman sekelasnya. Selain itu, dalam pembelajaran Problem Centered Learning ini siswa dpat melakukan interaksi dengan siswa lain dalam bentuk negosiasi dan kolaborasi dalam diskusi kecil maupun diskusi kelas, serta siswa dilibatkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang dapat meningkatkan keterampilan siswa khususnya dalam mengkoneksikan matematika. Dalam pembelajaran berpusat masalah diperlukan keterampilan siswa dalam mengkoneksikan matematika. Karena masalah-masalah yang akan diberikan dalam model pembelajaran ini lebih kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga dengan adanya model pembelajaran
152
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
berpusat masalah siswa dilatih untuk mengembangkan pola pikirnya dalam meningkatkan kemampuan koneksi matematika. Jika dilihat serta dibandingkan dengan model pembelajaran langsung, dimana siswa hanya bertindak sebagai penerima informasi saja karena dalam proses kegiatan pembelajaran, guru lebih berperan aktif baik saat memberikan materi pada awal pembelajaran sampai memberikan contoh soal dan penyelesainnya. Hal ini tentu membuat siswa terbiasa dengan contoh-contoh soal yang diberikan guru dan tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berfikir matematikanya khususnya kemampuannya untuk mengkoneksikan matematik itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, peneliti berasumsi bahwa pembelajaran berpusat masalah terhadap kemampuan koneksi matematika akan lebih baik daripada kemampuan koneksi matematika siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran langsung. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kelas VIII semester genap Tahun Ajaran 2014/2015. Penelitian ini dimulai dari tahap observasi, persiapan, eksperimen, tes akhir kemampuan koneksi matematika, dan pengolahan data. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen. Dimana akan menggunakan desain penelitian posttest only control group designDalam desain ini akan dipilih dua kelompok belajar secara random, dimana kelas pertama akan diberi perlakuan (kelas eksperimen) dan kelas kedua sebagai kelas kontrol. Dengan desain sebagai berikut: Tabel 3.1 Desain Penelitian Kelas
Perlakuan
Post test
Eksperimen
𝑋1
𝑂
Kontrol
𝑋2
𝑂
Keterangan : X1 = Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran PCL X2 = Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Langsung
153
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
O= test akhir (post test) untuk kelas eksperimen O = test akhir (post test) untuk kelas kontrol. Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan intstrumen berupa tes kemampuan koneksi siswa pada materi kubus dan balokyang telah disusun berdasarkanindikator kemampuan koneksi siswa Tabel 1. Kisi-kisi Intrumen Kemampuan Koneksi Indikator
KD
Materi
Menentuka n
Menentukan
Indikator Kemampuan Koneksi
Luas dan
Permukaan
Menggunakan konsep
menghitung
koneksi
matematika
kemampuan
antar
kubus
matematika yang baru akan di
dan
volume
pelajari
konsep
dengan
matematika yang sudah pernah
kubus
dipelajari
balok
3,4,5
konsep
bangun ruang dan
2,6,7,8
untuk
menghubungkan
balok.
Soal
yaitu
dan volume luas dan permukaan
No
Menggunakan koneksi antara konsep
matematika
kehidupan
sehari-hari
kemampuan
dengan yaitu untuk
menghubungkan
konsep
matematika
dengan
permasalahan
yang
terkait
dengan kehidupan sehari-hari. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyajikan data setiap variabel dalam besaran statistika seperti rata-rata (mean), nilai tengah (median), frekuensi terbanyak (modus), simpangan baku (standar deviasi) dan menggambarkannya kedalam bentuk tabel frekuensi dan histogram.Analisis inferensial digunakan untuk 154
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menguji hipotesis penelitian yang diajukan oleh peneliti. Dalam menguji hipotesis penelitian ini menggunakan statistik uji t dua sampel bebas (independet test).Pengujian normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh peneliti berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini di uji normalitas yang digunakan adalah Uji Liliefors. Pengujian homogenitas varians bertujuan untuk menguji kesamaan rata-rata dari beberapa varians. Karena dalam penelitian ini hanya menggunakan dua kelas maka rumus yang akan dilakukan adalah uji kesamaan dua varians. Pengujian ini menggunakan uji FKriteria pengujian adalah Jika Fhitung < Ftabel pada taraf signifikan 𝛼 yang dipilih dengan derajat kebebasan (dk) pembilang = n-1, dan derajat kebebasan penyebut = n-1 maka data homogen.Hipotesis statistik berbentuk uji satu pihak yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 𝐻0 : 𝜇1 ≤ 𝜇2 𝐻1 : 𝜇1 > 𝜇2 Keterangan : H0 = Hipotesis nol H1 = Hipotesis Alternatif 𝜇1 = kemampuan koneksi matematika siswa yang diajarkan melalui model pembelajaran berpusat pada masalah 𝜇2 = kemampuan koneksi matematika siswa yang diajarkan melalui model pembelajaran langsung
Hasil Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang terdiri dari dari dua kelompok yaitu data hasil tes kemampuan koneksi yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran problem centered learning dan data hasil tes kemampuan koneksi yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran langsung. Berdasarkan hasil tes kemampuan koneksi pada kelas eksperimen yang diperoleh dari 26 orang siswa diperoleh skor minimum adalah 14 dan skor maksimal adalah 78. Dari perhitungan diperoleh nilai rata-ratanya adalah 47,76, 155
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
diperoleh modus 53,8 dan median 49,6. dengan standar deviasi adalah 17,06. Sementara untuk kelas kontrol hasil tes kemampuan koneksi yang diperoleh dari 26 orang siswa diperoleh skor minimum adalah 4 dan skor maksimal adalah 50. Dari perhitungan diperoleh nilai rata-ratanya adalah 23,19, modus 21,7 dan median 21,9. Sementara standar deviasi adalah 12,075. Untuk uji normalitas data Berdasarkan hasil post tes kelas eksperimen dan hasil perhitungan diperoleh nilai 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 0,0942. Dengan taraf nyata 𝛼 = 0,05 dan 𝑛 = 26diperoleh 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 0,174. dapat disimpulkan hipotesis H0 diterima karena 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , hal ini berarti bahwa data tersebut berdistribusi normal, dengan demikian persyaratan normalitas untuk kelas eksperimen dipenuhi dalam penelitian ini. Sementara hasil post tes kelas kontrol dan hasil perhitungan diperoleh nilai 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 0,1684. Untuk taraf nyata 𝛼 = 0,05 dan 𝑛 = 26diperoleh 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 0,174. Dengan demikian dapat disimpulkan hipotesis H0 diterima karena 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , hal ini menunjukkan bahwa data tersebut berdistribusi normal. Untuk pengujian homogenitas hasil perhitungan diperoleh nilai varians terbesar 𝑆2 = 275,1815dan 275,1815 164,2584
varians terkecil 𝑆 2 = 164,2584 dengan demikian nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
= 1,6752. Sedangkan nilai 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝐹(𝛼)(𝑉1 ,𝑉2 ) = 𝐹(0,05)(16,16) = 1,96 pada
taraf nyata 𝛼 = 0,05. Karena nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 1,6752 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,96 maka hipotesis H0 diterima artinya kedua varians homogen dan dapat dilakukan uji t. Adapun hipotesis statistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. H0 : 1 2
Dimana kemampuan koneksi siswa yang mengikuti pembelajaran dengan mengunakan model pembelajaran problem centered learning lebih rendah atau sama dengan kemampuan koneksi siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran langsung.
H1 :𝜇1 > 𝜇2
Dimana kemampuan koneksi siswa yang mengikuti pembelajaran dengan mengunakan model pembelajaran problem centered learning lebih tinggi dari kemampuan koneksi siswa yang
156
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mengikuti
pembelajaran
dengan
menggunakan
model
pembelajaran langsung. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 5,97 dan nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70 pada taraf signifikansi α =0,05 dengan dk = 32. Hal ini menunjukkan bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 5,97 > 𝑡(1−𝛼) = 1,70, maka H0 ditolak sehingga dengan uji statistik dapat disimpulkan bahwa kemampuan koneksi siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Problem Centered Learninglebih tinggi dari kemampuan koneksi siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran langsung . Sketsa kurva penerimaan dan penolakan Ho sebagai berikut: Daerah Penolakan H0 H0
H1H1
𝛼 = 0,05
PEMBAHASAN
5,97 1,70 Gambar 4.3 Kurva Penerimaan dan Penolakan Ho
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan antara kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran problem centered learningdengan kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran langsung. Dari hasil tes kemampuan koneksi diperoleh nilai rata-rata dari kelas eksperimen adalah 47,76 dan nilai rata-rata dari kelas kontrol adalah 23,19. Hal ini berarti bahwa kelas ekperimen memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata dari kelas kontrol. Selanjutnya akan dilakukan pengujian normalitas dan homogenitas terhadap data hasil tes kemampuan koneks sebagai syarat untuk dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian normalitas ini dilakukan menggunakan uji liliefors. Berdasarkan hasil perhitungan, untuk kelas eksperimen diperoleh
𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
0,094, sedangkan 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 0,174dengan taraf nyata 0,05 dengan 𝑛 = 26. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka dapat disimpulkan bahwa data hasil tes kemampuan koneksi untuk kelas
157
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
eksperimen berdistribusi normal. Selanjutnya untuk data hasil tes kemampuan koneksi untuk kelas kontrol berdasarkan hasil perhitungan diperoleh 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 0,168 serta 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 0,174 dengan taraf nyata 0,05 dengan 𝑛 = 26. Dari hasil perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka dapat disimpulkan bahwa data hasil tes kemampuan koneksi untuk kelas kontrol juga berdistribusi normal. Untuk pengujian homogenitas, dari hasil perhitungan diperoleh kesimpulan bahwa 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 1,67< 1,96 pada α = 0,05 yang artinya kedua kelas yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen memiliki varians yang populasinya homogen. Setelah kedua sampel berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen, maka dilanjutkan dengan pengujian statistik terhadap hipotesis. Pada pengujian hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik parametrik yaitu uji t yaitu uji kesamaan dua rata-rata dengan taraf nyata 𝛼 = 0,05. Hasil analisis yang diperoleh yaitu 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 5,97dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70 , 𝑑𝑘 = 50. Maka dapat disimpulkan bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 artinya H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini berarti bahwa kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran problem centered learninglebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran langsung. Berdasarkan hipotesis tersebut bahwa ada perbedaan antara kemampuan koneksi siswa yang belajarkan dengan menggunakan model pembelajaran problem centered learningdan kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran langsung. Kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berpusat pada masalah atau problem centered learning lebih tinggi daripada kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran langsung. Hal ini jelas terlihat dari cara siswa memecahkan suatu masalah matematika yang diberikan oleh guru melalui LKS yang terkait dengan materi luas dan volume kubus dan balok. Masalah-masalah yang diberikan merupakan
158
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang sering siswa jumpai. Sehingga dengan menggunakan model pembelajaran berpusat pada masalah atau problem centered learning dimana siswa dibimbing oleh guru melihat adanya masalah untuk dipecahkan melalui LKS, siswa merumuskan masalah dengan memanfaatkan pengetahuan siswa tersebut untuk mengkaji dan menganalisis masalah sehingga akan muncul rumusan masalah yang jelas dan dapat dipecahkan. Hal ini berarti bahwa model pembelajaran berpusat pada masalah sangat berpengaruh terhadap perkembangan cara berpikir siswa terutama untuk kemampuan koneksi pada pembelajaran matematika. Dalam penelitian ini koneksi matematika yang dimaksudkan adalah kemampuan siswa dalam melakukan koneksi yang terlihat melalui cara siswa saat menyelsaikan masalah yang diberikan guru. Sesuai dengan indikator penelitian yaitu dimana siswa mampu mengkoneksikan konsep matematika dengan matematika itu sendiri dan juga kemampuan siswa dalam mengkoneksikan matematika dengan kehidupan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Agus, Nuniek Avianti. Mudah belajar matematika 2: untuk kelas VIII Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/ .Jakarta: Pusat Perbukuan. Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Arends, Richard. 2008, Learning To Teach Belajar untuk Mengajar, Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Arikunto, Suharsimi. 2013, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2, Jakarta;PT Bumi Aksara.Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktis. Jakarta: PT. Rineka cipta Dewanti, Sintha , Sih. 2009.The Combination Of Problem-Centered Learning And Meta-Cognitive Training To Increase Students’ Ability To Solve Mathematics Problems . Jurnal penelitian dan evaluasi pendidikan Pps Universitas Negeri YogyakartaVol. 12, No. 1 Jihad, Asep dan Haris Abdul. 2012, Evaluasi Pembelajaran, Yogyakarta: Multi Pressindo. Listyotami, M Kusuma. 2011, Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa Kelas Viii A Smp N 15 Yogyakarta Melalui Model Pembelajaran Learning Cycle “5e”. Tesis pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta (tidak diterbitkan)
159
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Lestari, Puji. 2011. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMK Melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual. Jurnal Penelitian Pendidikan. Volume 1, Isbn 978-602-19541-0-2 Mustika, Rika. 2005, Penerapan Model Problem Centered Learning (PCL) DalamUpaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik. Tesis pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan Nuharini, Dewi. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya: untuk SMP/MTs Kelas VIII. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional Pauweni, Khardiyawan. 2012, Pengaruh model pembelajaran berdasarkan masalah dan perbedaan gender terhadap kemampuan komunikasi Matematika. Tesis : Universitas negeri gorontalo (tidak diterbitkan) Shohibul, Ahmad. 2008. Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem Centered Learning terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa. Tesis Universitas Islam Syarif hidayatullah jakarta. (tidak diterbitkan). Shoimin, Aris. 2014, 68 Model pembelajaran Inovatif dalam kurikulum 2013, Yogyakarta; AR-RUZZ Media Sudjana, 2005, Metoda Statistika, Bandung; Tarsito Sugiono, 2012, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan R & D. Bandung; Alfabeta Suherman, Erman, dkk. 2003. Strategi Pembelajran Matematika Kontemporer, Bandung, Alfabeta Suhendri. 2006. Kemampuan Pemecahan Matematis Siswa Sma Melalui ProblemCentered-Learning (PCL). Jurnal penelitian dan evaluasi pendidikanVolume. 12, No. 1, Pps Universitas Pendidikan Indonesia. Sumarmo,utari dan Permana Yanto.2007. Mengembangkan kemampuan penalaran Dan koneksi matematik siswa sma melalui pembelajaran berbasis masalah. Vol. I, No. 2. ISSN : 1907-8838 Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, yogyakarta; Kanisius Suprijono, Agus. 2009. Cooperative learning teori dan aplikasi PAIKEM, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Warli. 2012. Scaffolding Sebagai Strategi Pembelajaran Matematika Bagi Anak Bergaya Kognitif Impulsif Atau Reflektif. Prosiding seminar nasional mipa dan pembelajaran malang. ISBN: 978-602-97895-6-0 Yuniawatika. 2011. Penerapan pembelajaran mtematika dengan strategi react untuk meningkatkan kemampuan koneksi dan repsentasi matematika siswa sekolah dasar. Jurnal Pendidikan, ISSN 1412-565x
160
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
MELIBATKAN METAKOGNISI SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Amellia T.P. Kansil Abstrak. Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah mengembangkan pemikir-pemikir yang matang dan dapat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dalam kehidupan nyata. Seiring perkembangan pendidikan, salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada psikologi kognitif. Salah satu aspek kognitif yang menarik adalah yang dikenal dengan metakognisi. Pengetahuan metakognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan tentang proses kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif. Anderson & Kathwohl (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi, secara umum sama dengan kesadaran dan pengetahuan tentang kognisi-diri seseorang. Metakognisi berhubungan dengan berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka menggunakan strategi belajar tertentu dengan tepat. Artikel ini membahas tentang bagaimana melibatkan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika yang menggunakan model pembelajaran interaktif. Berdasarkan kajian teoritis penulis berkesimpulan bahwa melibatkan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika yang menggunakan model pembelajaran interaktif, dapat dilakukan pada fase yang kedua dan ketiga dari sintaks model tersebut. Siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat melakukan manipulasi, investigasi, eksperimen dan penyelesaian masalah.
Kata kunci : psikologi kognitif, proses kognitif, metakognisi, pembelajaran interaktif
PENDAHULUAN Abad sekarang ini dikenal dengan abad ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mampu bertahan hidup seseorang harus memiliki sumber daya yang berkualitas tinggi, yang memiliki kemampuan komparatif, inovatif, kompetitif dan mampu berkolaborasi. Disadari bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat terbentuk lewat jalur pendidikan. Marzano et al (1988) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan pemikir-pemikir yang matang dan dapat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dalam kehidupan nyata. Upaya pendidikan untuk menjawab tantangan ini nyata dalam pembaharuan salah satu substansi pendidikan, yakni kurikulum. Kurikulum Nasional KTSP (2006) yang dikembangkan dengan pendekatan berbasis kompetensi merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki
161
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
sistem pendidikan nasional dalam konteks untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Matematika sebagai salah satu cabang ilmu yang terstruktur dan terorganisir secara sistematis, disadari mempunyai peranan penting dalam mengoptimalkan kemampuan berpikir manusia. Plato (Gredler,1986) dalam ajarannya yang menyatakan bahwa untuk mengembangkan pikiran, pelajari matematika. Kesadaran tersebut juga tampak dalam rumusan kebijakan pendidikan matematika di Indonesia. Depdiknas (2003) menjelaskan salah satu tujuan pendidikan matematika adalah melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan. Dalam kurikulum matematika sekolah (Depdiknas, 2003), dikemukakan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah; 1. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan misalnya melalui kegiatan penyelidikan dan eksperimen 2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran orisinil, rasa ingin tahu, dan dugaan,serta mencoba-coba. 3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. 4. Mengembangkan
kemampuan
menyampaikan
informasi
atau
mengkomunikasikan gagasan. Uraian di atas menjelaskan bahwa matematika sebagai wahana pendidikan tidak dapat hanya digunakan untuk mencapai satu tujuan mencerdaskan siswa saja, tetapi juga dapat digunakan untuk membangun kepribadian dan ketrampilan siswa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa matematika dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir seseorang yang dapat digunakannya dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan nyata. Fakta menunjukkan bahwa hingga sekarang masalah hasil belajar matematika siswa yang rendah sebagian besar belum dapat diselesaikan. Ini dapat dilihat pada hasil Ujian Nasional yang masih rendah. Salajang (2007) mengungkapkan masalah aktual lain yang ditemukan di lapangan adalah rendahnya penguasaan matematika oleh anak-anak dan rendahnya kualitas pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika yang dilakukan selama ini belum mampu memanfaatkan kemampuan atau potensi anak-anak. Masalah ini perlu segera 162
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ditangani agar dampaknya tidak terlalu meluas dengan mengkaji ulang proses pembelajaran yang dilaksanakan. Banyak model pembelajaran yang dikembangkan untuk memfasilitasi siswa dalam belajar guna mencapai tujuan pembelajaran. Seiring perkembangan pendidikan, salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada psikologi kognitif. Salah satu aspek kognitif yang menarik adalah yang dikenal dengan metakognisi. Flavell (Livingston,1997) mengemukakan bahwa metakognisi terdiri dari dua komponen, yaitu pengetahuan metakognitif dan regulasi metakognitif. Pengetahuan metakognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan tentang proses kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif. Anderson & Kathwohl (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi, secara umum sama dengan kesadaran dan pengetahuan tentang kognisi-diri seseorang. Metakognisi berhubungan dengan berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat (Nur, 2000). Sejalan dengan pengertian di atas, O’Neil & Brown (1997) mengemukakan pengertian metakognisi sebagai proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir mereka sendiri dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Suzana
(2004)
mendefinisikan
pembelajaran
dengan
pendekatan
keterampilan metakognitif sebagai pembelajaran yang menanamkan kesadaran bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol tentang apa yang mereka ketahui; apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya; menitikberatkan pada aktivitas belajar siswa; membantu dan membimbing siswa jika ada kesulitan; dan membantu siswa untuk mengembangkan konsep diri apa yang dilakukan saat belajar matematika sehingga siswa dapat belajar secara mandiri. Dengan uraian di atas, diasumsikan bahwa pendekatan pembelajaran yang di dalamnya metakognisi siswa dilibatkan akan membantu menghasilkan siswa yang dapat belajar mandiri, dalam kerangka pembentukan kualitas sumber daya manusia yang diharapkan. Untuk maksud tersebut kajian tentang pembelajaran 163
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
yang melibatkan metakognisi sangatlah diperlukan untuk menjadi acuan bagi guru dalam mengembangkan pembelajaran di kelas. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan : “Bagaimanakah melibatkan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika? “ Adapun tujuan penulisan artikel ini adalah mendapatkan gambaran bagaimana melibatkan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika dengan model interaktif. Metakognisi Metakognisi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976 dan menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya. Hal ini berakibat bahwa metakognisi tidak selalu sama di dalam berbagai macam bidang penelitian psikologi, dan juga tidak dapat diterapkan pada satu bidang psikologi saja. Namun demikian, pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para peneliti bidang psikologi, pada umumnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Wellman (1985) menyatakan bahwa metakognisi sebagai suatu bentuk kognisi atau proses berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri. Selain itu Livingston (1997) dan Schoenfeld (1992) menyatakan bahwa metakognisi melibatkan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas kognitifnya. Dengan demikian, aktivitas kognitif seseorang seperti perencanaan, monitoring, dan mengevaluasi penyelesaian suatu tugas tertentu merupakan metakognisi secara alami (Livingston, 1997). Flavell & Brown (Veenman, 2006) menyatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan (knowledge) dan regulasi (regulation) pada suatu aktivitas kognitif seseorang dalam proses belajarnya. Sedangkan Moore (2004) menyatakan bahwa metakognisi mengacu pada pemahaman seseorang tentang pengetahuannya, sehingga pemahaman yang mendalam tentang pengetahuannya akan mencerminkan 164
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
penggunaannya yang efektif atau uraian yang jelas tentang pengetahuan yang dipermasalahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan-kognisi adalah kesadaran seseorang tentang apa yang sesungguhnya diketahuinya dan regulasikognisi adalah bagaimana seseorang mengatur aktivitas kognisifnya secara efektif. Karena itu, pengetahuan-kognisi memuat pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional, sedang regulasi-kognisi mencakup kegiatan perencanaan, prediksi, monitoring
(pemantauan),
pengujian,
perbaikan
(revisi),
pengecekan
(pemeriksaan), dan evaluasi. Baker & Brown, Gagne (Nur, 2000) mengemukakan bahwa metakognisi memiliki dua komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b) mekanisme pengendalian diri dan monitoring kognitif. Sedang Flavell (Livington, 1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu (a) pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge), dan (b) pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive experiences or reguloation). Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Huitt (1997) bahwa terdapat dua komponen yang termasuk dalam metakognisi, yaitu (a) apa yang kita ketahui atau tidak ketahui, dan (b) regulasi bagaimana kita belajar. Pengertian metakognisi yang dikemukakan para pakar sebagaimana yang dijelaskan di atas, pada umumnya memberikan penekanan pada proses berpikir seseorang. Pengertian yang paling umum dari metakognisi adalah thinking about thinking (berpikir tentang berpikir) atau learn how to learn (belajar bagaimana belajar) (Blakey & Spence, 1990; Huiit, 1997; NCREL, 1995; Kasper, 1993; O’Neil & Brown, 1997; Livington, 1997). Gambaran yang lebih jelas tentang metakognisi dapat dipahami dalam pengertian yang dikemukakan oleh Flavell (Nur, 2000) sebagai berikut. Metakognisi adalah pengetahuan seseorang berkenaan dengan proses dan produk kognitif orang itu sendiri atau segala sesuatu yang berkaitan dengan proses dan produk tersebut. Metakognitif berhubungan dengan salah satu diantaranya dengan pemonitoran aktif dan pengendalian yang konsekuen serta pengorganisasian proses pemonitoran dan pengendalian ini berhubungan dengan tujuan kognitif, pada masa
165
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
proses-proses tersebut menunjang, umumnya dalam mendukung sejumlah tujuan konkret. Dalam sudut pandang lain, metakognisi didefinisikan sebagai keterampilan kompleks yang dibutuhkan siswa untuk menguasai suatu jangkauan keterampilan khusus, kemudian mengumpulkan dan mengumpulkan kembali keterampilanketerampilan ini ke dalam strategi belajar yang tepat terhadap suatu masalah khusus atau isu-isu dalam konteks yang berbeda (Sharples & Mathews, 1989). Bagaimana siswa secara berangsur-angsur
menguasai
keterampilan
metakognisi
ini
memerlukan suatu proses yang cukup lama. Namun demikian, guru dapat memulai, lebih awal di sekolah, dengan model keterampilan ini, dengan secara spesifik melatih siswa dalam keterampilan dan strategi khusus (seperti perencanaan atau evaluasi dan analisis masalah) dan dengan struktur mengajar mereka sedemikian sehingga siswa terfokus pada bagaimana mereka belajar dan juga pada apa yang mereka pelajari (Jacob, 2000). Dalam konteks ini, untuk memperoleh hasil belajar yang efektif, maka guru harus mengajarkan kepada siswa keterampilan metakognitif yang meliputi kesadaran, merancang, memonitor dan merevisi kerja mereka sendiri serta menganalisis prestasi belajarnya; menjadi pelajar yang mampu menyelesaikan masalah matematika secara mandiri dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, guru akan terfokus untuk mengembangkan: (1) kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah; dan (2) keyakinan siswa dalam kemampuan pemecahan masalahnya. Akhirnya, apabila siswa menyadari akan proses yang mereka gunakan, dan apabila mereka belajar untuk kontrol proses kognitif ini, kemampuan mereka untuk transfer keterampilan pemecahan masalah meningkat. Mengajar keterampilan metakognitif dapat dilakukan sesuai dengan teori yang diusulkan oleh Mayer (Jacob, 2003), yaitu: (1) translasi (translation); (2) integrasi (integration); (3) perencanaan dan monitoring (planning and monitoring); serta (4) pelaksanaan solusi (solution execution). Translasi membutuhkan pengetahuan linguistik yang membolehkan siswa untuk mengerti kalimat dan fakta-fakta tertentu. Pengetahuan faktual merupakan suatu komponen kunci dalam translasi. Misalnya, konversi skala membutuhkan 166
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pengetahuan faktual (mengkonversikan 40 cm dengan 0,1 m perlu mengetahui bahwa 100 cm = 1 m). Integrasi membutuhkan siswa untuk menggabungkan masing-masing pernyataan ke dalam suatu representasi yang berkaitan secara logis dan dengan memiliki pengetahuan sistematik untuk mengenal dan pendekatan kepada tipe-tipe masalah. Perencanaan dan monitoring membutuhkan pengetahuan strategi yang terfokus pada bagaimana untuk menyelesaikan masalah. Rancangan meliputi pemecahan masalah ke dalam komponen-komponen. Misalnya, apakah operasi akan diselesaikan pertama dan mengapa? Merencanakan dan monitoring suatu rancangan solusi merupakan aspek krusial dari pemecahan masalah sistematis. Siswa sangat berbeda dalam pendekatan dan kemampuannya untuk memonitor perencanaan solusi. Pelaksanaan solusi mewajibkan siswa untuk menggunakan pengetahuan prosedural untuk mengaplikasikan aturan aritmetika secara akurat serta efisien saat melakukan kalkulasi dalam merancang solusi. Pengetahuan prosedural ini didemonstrasikan apabila melaksanakan suatu prosedur seperti multiplikasi atau penjumlahan. Huiit (1997) mengemukakan bahwa metakognisi mencakup kemampuan seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan yang berkaitan dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Apa yang saya ketahui tentang topik atau masalah ini ? 2. Tahukah saya apa yang dibutuhkan untuk mengetahuinya ? 3. Tahukah saya dari mana saya dapat memperoleh informasi atau pengetahuan ? 4. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mempelajarinya ? 5. Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk mempelajarinya ? 6. Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat ? 7. Akankah saya tahu jika saya mempelajarinya secara cepat ? 8. Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat sesuatu ?
167
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Nur (2002) mengemukakan secara operasional tentang kemampuan metakognitif yang dapat diajarkan pada siswa, seperti kemampuan-kemampuan untuk menilai pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka butuhkan untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang efektif untuk belajar atau memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak memahami sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk memprediksi apa yang cenderung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat diterima oleh akal dan mana yang tidak. North Central Regional Education Laboratory (NCREL) (Nurdin,2007) mengemukakan 3 elemen dasar dari metakognisi secara khusus dalam menghadapi tugas, yaitu : (a) mengembangkan rencana tindakan, (b) mengatur atau memonitor, dan (c) mengevaluasi rencana. Menurut NCREL ketiga komponen metakognisi tersebut dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut: Sebelum : Ketika kamu mengembangkan rencana tindakan, tanyalah dirimu : 1. Pengetahuan apa yang membantu dalam tugas ini ? 2. Petunjuk apa yang dapat digunakan dalam berfikir ? 3. Apa yang pertama akan saya lakukan ? 4. Mengapa saya membaca (bagian) pilihan ini ? 5. Berapa lama saya mengerjakan tugas ini secara lengkap ? Selama : Ketika kamu mengatur atau memonitor rencana tindakan, tanyakan dirimu: 1. Bagaimana saya melakukannya ? 2. Apakah saya berada pada jalur yang benar ? 3. Bagaimana saya meneruskannya ? 4. Informasi apa yang penting untuk diingat ? 5. Akankah saya pindah pada petunjuk yang lain ? 6. Akankah saya mengatur langkah-langkah bergantung pada kesulitan ? 7. Apa yang perlu dilakukan jika saya tidak mengerti ? Sesudah : Ketika kamu mengevaluasi rencana tindakan, tanyakan dirimu : 1. Seberapa baik saya melakukannnya ?
168
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2. Apakah saya memerlukan pemikiran khusus yang lebih banyak atau yang lebih sedikit dari yang saya perkirakan ? 3. Apakah saya dapat mmengerjakan dengan cara yang berbeda ? 4. Bagaimana saya dapat mengaplikasikan cara berfikir ini pada problem yang lain ? 5. Apakah saya perlu kembali pada tugas itu untuk mengisi “kekosongan” pada ingatan saya ? Walaupun secara redaksional pengertian dan komponen-komponen metakognisi yang dikemukakan para pakar di atas sangat beragam, namun pada hakekatnya memberikan penekanan pada komponen-komponen yang hampir sama. Mengenai strategi guru untuk meningkatkan metakognisi siswa, Huiit (Nurdin, 2007) mengemukakan beberapa contoh sebagai berikut : 1. Mintalah siswa untuk memonitor belajar dan berfikir mereka sendiri. 2. Mintalah siswa mempelajarai strategi belajar, seperti PQ4R 3. Mintalah
siswa
membuat
prediksi
tentang
informasi
yang
akan
dipresentasikan berdasarkan apa yang telah mereka baca. 4. Mintalah siswa menghubungkan ide-ide untuk membentuk struktur pengetahuan. 5. Mintalah siswa membuat pertanyaan-pertanyaan, bertanya pada diri mereka sendiri tentang apa yang terjadi disekeliling mereka. 6. Bantulah siswa untuk mengetahui kapan bertanya untuk membantu. 7. Tunjukkan siswa bagaimana mentransfer pengetahuan, sikap, nilai, dan ketrampilan pada situasi atau tugas lain. Model Pembelajaran Interaktif Menurut Holmes (1995), pembelajaran interaktif didasarkan pada dua premis mayor yaitu (1) pemahaman berkembang sebagai suatu proses informasi dan konstruksi ide-ide secara mental. Pemikiran kita sendiri memungkinkan kita untuk membuat hubungan antara apa yang kita ketahui dengan informasi baru. Pengetahuan matematika diperoleh sebagai hasil pemikiran kita tentang konsepkonsep numerik dan spasial, (2) pemecahan masalah sangat penting untuk 169
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menstimulasi pikiran. Selanjutnya dikatakan bahwa pembelajaran interaktif memungkinkan guru dan siswa untuk saling mempengaruhi proses berpikir masingmasing. Guru membuat tugas yang memancing siswa untuk berpikir mengonstruksi konsep-konsep, membangun aturan-aturan dan belajar strategi pemecahan masalah. Guru menanyakan siswa untuk menjelaskan tentang pekerjaan mereka dan guru memikirkan respons siswa. Refleksi guru akan memungkinkan mereka untuk merencanakan pengajaran sehingga siswa akan lebih maju dalam belajar matematika. Dalam pembelajaran interaktif, interaksi sosial antar siswa dan antara siswa dengan guru mendapat perhatian. Menurut Burscheid dan Struve (Voigt, 1996 : 23), belajar konsep-konsep di sekolah tidak cukup hanya dengan memfokuskan pada individu siswa yang akan menemukan konsep-konsep, tetapi perlu ada “social impulses” di sekolah sehingga siswa dapat mengonstruksikan konsep-konsep teoritis seperti yang diinginkan. Menurut Voigt, dengan interaksi ini, akan dimungkinkan terjadinya negosiasi makna dari konsep matematika tertentu bahkan siswa mungkin saja memperkenalkan konstruksi baru walaupun mungkin menyimpang dari konsep matematika. Holmes (1995) membuat klasifikasi pelaksanaan pembelajaran interaktif dalam 5 (lima) fase yaitu, (1) pengantar, (2) aktivitas/pemecahan masalah, (3) saling membagi dan diskusi, (4) meringkas, dan (5) penilaian belajar unit materi. Kelima fase ini selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sintaksis Model Pembelajaran Interaktif Menurut Holmes FASE 1. Pengantar
AKTIVITAS a. Mengorganisasi kelas untuk belajar b. Menyampaikan kepada siswa tentang apa yang akan mereka lakukan ; menyelesaikan masalah, melakukan aktivitas, melanjutkan mempelajari suatu topik, atau mengerjakan tugas (proyek) c. Menentukan masalah atau aktivitas. Jika perlu mintakan siswa untuk mencatat pekerjaan mereka
170
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2. Siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat Aktivitas/pemecahan melakukan manipulasi, investigasi, eksperimen dan masalah penyelesaian masalah. Saat siswa bekerja menyelesaikan tugas-tugas, guru berkeliling di antara siswa, mengamati dan mendengar, serta bertanya dan memberi komentar. Siswa dapat diberikan pertanyaan open-ended sebelum diskusi kelas. 3. a. Siswa melaporkan penyelesaian masalah mereka Saling membagi dan sendiri atau kelompok, hasil dari aktivitas atau diskusi mendiskusikan jawaban mereka terhadap pertanyaan open-ended. b. Memimpin diskusi. Menyampaikan pertanyaan apakah, mengapa dan bagaimana sehingga siswa mencapai tujuan pelajaran. Pertanyaan akan memungkinkan siswa untuk menggunakan berpikir tingkat tinggi dan menghubungkan model-model pada representasi simbolik jika sesuai untuk pelajaran. 4. Meringkas
a. Siswa memeriksa kembali apa yang telah mereka lakukan atau yang mereka pelajari b. Siswa mendemonstrasikan belajar (seperti memunculkan masalah mereka sendiri, menyelesaikan masalah yang diajukan guru, saling bertukar ide dengan pasanganatau membuat laporan tertulis apa yang telah dipelajari.
5. Penilaian belajar a. Sebelum, selama dan setelah pembelajaran dapat unit materi
digunakan berbagai penilaian, seperti observasi, wawancara, jurnal siswa atau buku harian, melengkapi tugas, konstribusi kelompok, proyek, portofolio, kuis dan tes b. Menekankan pada penilaian siswa sendiri.
171
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Melibatkan Metakognisi dalam Pembelajaran Matematika Melibatkan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika yang menggunakan model pembelajaran Interaktif, dapat dilakukan pada fase yang kedua maupun ketiga dari sintaks model pembelajaran Interaktif, yakni pada fase pemecahan masalah dengan aktifitas. Siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat melakukan manipulasi, investigasi, eksperimen dan penyelesaian masalah. Saat siswa bekerja menyelesaikan tugas-tugas, guru berkeliling di antara siswa, mengamati dan mendengar, serta bertanya dan memberi komentar. Siswa dapat diberikan pertanyaan open-ended sebelum diskusi kelas. Pertanyaan openended, maupun pertanyaan yang dilontarkan adalah pertanyaan yang sekiranya dapat melibatkan metakognisi siswa ketika mereka menjawabnya. Sebagaimana contoh dalam pembahasan metakognisi. Misalnya, “Berapa lama waktu yang kamu perlukan untuk mengerjakan soal tersebut”, “Dengan langkah apa kamu akan memulai mengerjakan?”, dan yang lainnya. KESIMPULAN Metakognisi siswa adalah proses berpikir siswa tentang pikirannya, yang dapat dilatih dalam setiap pembelajaran Matematika, secara operasional metakognitif yang dapat dilatih pada siswa selama pembelajaran adalah seperti dengan meatih kemampuan-kemampuan untuk menilai pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka butuhkan untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang efektif untuk belajar atau memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak memahami sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk memprediksi apa yang cenderung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat diterima oleh akal dan mana yang tidak. Dengan melibatkan metakognisi dalam pembelajaran diharapkan siswa dapat melatih diri untuk menjadi pembelajar yang mandiri Melibatkan metakognisi siswa dalam pembelajaran Matematika yang menggunakan Model Pembelajaran Interaktif, dapat dilakukan pada fase yang kedua maupun ketiga dari Sintaks Model Pembelajaran interaktif, yakni pada fase pemecahan masalah dengan aktifitas Siswa dilibatkan dalam berpikir matematika 172
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pada saat melakukan manipulasi, investigasi, eksperimen dan penyelesaian masalah. Saat siswa bekerja menyelesaikan tugas-tugas, guru berkeliling di antara siswa, mengamati dan mendengar, serta bertanya dan memberi komentar. Siswa dapat diberikan pertanyaan open-ended sebelum diskusi kelas. Pertanyaan openended, maupun pertanyaan yang dilontarkan adalah pertanyaan yang sekiranya dapat melibatkan metakognisi siswa ketika mereka menjawabnya. Misalnya, “Berapa lama waktu yang kamu perlukan untuk mengerjakan soal tersebut”, “Dengan langkah apa kamu akan memulai mengerjakan?”, dan yang lainnya. Berdasarkan uraian dalam Artikel ini, dapatlah disimpulkan tentang pentingnya para siswa mengetahui atau menyadari kekurangan maupun kelebihan diri mereka sendiri, agar para siswa yang memiliki pengetahuan tersebut akan dapat mengontrol dirinya sendiri untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Dengan cara seperti itu, diharapkan para siswa akan lebih berhasil mempelajari matematika. DAFTAR PUSTAKA Anderson, O.W. & Krathwohl, D.R., (2001). A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). New York: Addision Wesley Longman, Inc. Depdiknas, (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika, Jakarta : Depdiknas Depdiknas, (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Jakarta : Depdiknas Flavell, J. H., (1976). Metacognitive aspects of problem solving. In L. B. Resnick (Ed.), The nature of intelligence. Hillsdale, NJ: Erlbaum. http://tip.psychology.org/meta.html Gredler, M.E.B. (1991). Belajar dan Membelajarkan (Learning and Instruction Theory Into Practice). Terjemahan oleh Munandir. Jakarta : Rajawali Holmes, E. Emma. (1995). New Directions in Elementary Schools Mathematics. Interactive Theaching and Learning. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentise Hall, Inc Huitt, William G. (1997). Metacognition. Available: http://tip.psycology.org/meta.html. Jacob, C. (2000). Belajar Bagaimana untuk Belajar Matematika: Suatu Telaah Strategi Belajar Efektif. Surabaya : ITS 173
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Livingston, J., (1997) Metacognition : An overview. http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/Metacog.htm.
from
Marzano, at all (1998) Dimensions of Thingking : A Framework for Curriculum and Instruction. Alexandria, Virginia, Association for Supervision and Curriculum Development Moore, K.C., (2004). Constructivism & Metacognition. http://www.tier1. performance.com /Articles/constructivism.pdf Nur, Moh., (2000). Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Pusat Pendidikan Sains dan Matematika Sekolah. Unesa – Surabaya. Nurdin, (2007). Model Pembelajarn Matematika yang Menumbuhkan Kemampuan Metakognitif untuk Mengetahui Bahan Ajar. Disertasi Program Pascasarjana Unesa, Surabaya. O’Neil Jr, H.F. & Brown, R.S (1997). Differential Effects of Question Formats in Math Assesment on Metacognition and Affect. Los Angeles: Cresst-CSE University of California Salajang, S.M., (2007). Pengembangan Model Pembelajaran Konstruktivistik dengan Advance Organizer (Model Konstad). Disertasi. PPS Universitas Negeri Surabaya Sharples, J., & Mathews, B. (1989). Learning How To Learn: Investigating Effective Learning Strategies. Victoria: Office of Schools Administration Ministry of education. Shoenfeld, A.H., (1992). Learning To Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, And Sense-Making In Mathematics. Handbook for Research on Mathematics Teaching and Learning (D. Grouws, Ed.). New York: MacMillan. http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bcb8.pdf. Suzana (2004). Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa SMU. Disajikan pada Seminar Nasional Matematika: Matematika dan Kontribusinya terhadap Peningkatan Kualitas SDM dalam Menyongsong Era Industri dan Informasi, 15 Mei 2004, Bandung. Veenman, M.V.J., (2006). Metacognition and learning: conceptual and methodological considerations. Recieved: 08 December 2005/Accepted: 08 December 2005/Published online: 08 March 2006 # Springer Science + Business Media, Inc. 2006. www://springerlink.com Voigt, J (1996). Negotiation of Mathematical Meaning in Classroom Processes : Social Interaction and Learning Mathematics. In Steffe Leslie P., et al (eds.) Theories of Mathematical Learning, New Jersey : Laurence Earlbaum Asscociates Publishers Wellman, H., (1985). The Origins of Metacognition. In D.L.Forrest-Pressley, G.E.MacKinnon, and T.G. Waller (eds.), Metacognition, Cognition, and 174
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Human Performance, volume 1 – Theoretical Perspectives, chapter 1. Academic Press, Inc.
175
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA MAHASISWA PADA MATA KULIAH STRUKTUR ALJABAR Nila Kesumawati Universitas PGRI Palembang,
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan pemahaman konsep matematika mahasiswa semester enam prodi Pendidikan Matematika Universitas PGRI Palembang tahun akademik 2014/2015 pada mata kuliah struktur aljabar. Subjek penelitian ini berjumlah 209 mahasiswa, 164 perempuan dan 45 lakilaki. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes kemampuan pemahaman konsep matematika mahasiswa pada mata kuliah struktur aljabar. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil analisis data menyimpulkan bahwa rata-rata kemampuan pemahaman konsep matematika mahasiswa pada mata kuliah struktur aljabar adalah 40,55. Nilai ini berada pada kategori sangat kurang sehingga perlu dicarikan solusi pemecahannya. Kata kunci: struktur aljabar, kemampuan pemahaman konsep, deskriptif.
PENDAHULUAN Pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut adalah reformasi dalam pembelajaran matematika. Reformasi pembelajaran matematika telah dilakukan tetapi kenyataan di lapangan masih ditemui kesulitan peserta didik dalam memahami materi matematika. Kemampuan pemahaman konsep matematika sangat erat kaitannya dengan kemampuan matematika lainnya. NCTM 2000 menyebutkan bahwa pemahaman matematis merupakan aspek yang sangat penting dalam prinsip pembelajaran matematika. Dalam proses belajar matematika haruslah disertai dengan pemahaman. Hal ini merupakan tujuan utama dari belajar matematika. Belajar tanpa pemahaman merupakan hal yang terjadi dan menjadi masalah sejak tahun 1930-an, sehingga belajar dengan pemahaman tersebut terus ditekankan dalam kurikulum (Qohar, 2010:1). Siswa dikatakan memahami suatu konsep matematika antara lain ketika mereka membangun hubungan antara pengetahuan baru yang diperoleh dan pengetahuan sebelumnya.
176
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Menurut Anderson et al. (2001: 70), siswa dikatakan memiliki kemampuan pemahaman jika siswa tersebut mampu mengkonstruksi makna dari pesan-pesan yang timbul dalam pengajaran seperti komunikasi lisan, tulisan, dan grafik. Pemahaman konsep matematika peserta didik dalam proses pembelajaran haruslah sesuai dengan tingkat perkembangan mentalnya. Peserta didik yang tingkat perkembangannya belum mencapai tingkat berpikir formal akan mengalami kesulitan dalam memahami konsep matematika. Sementara itu, kesulitan mahasiswa belajar matematika di perguruan tinggi biasanya disebabkan oleh lemahnya penguasaan aspek konsep matematika. Konsep matematika di perguruan tinggi adalah suatu konsep yang rumit dan kompleks. Rumit karena memiliki banyak simbol dan makna, sedangkan kompleks karena memiliki kaitan dengan konsep sebelumnya. Untuk memahami suatu konsep matematika, seseorang harus mampu (a) memahami makna simbol pada konsep itu, (b) menguasai konsep sebelumnya, dan (c) mengaitkan konsep sebelumnya dengan konsep yang sedang dipelajari (Sutiarso, 2010: 2). Pemahaman konseptual menurut Kilpatrick, Hiebert, Ball (Juandi, 2006: 29), adalah pemahaman konsep-konsep matematika, operasi, dan relasi dalam matematika. Mahasiswa dikatakan memahami konsep jika mahasiswa mampu mendefinisikan konsep, mengidentifikasi dan memberi contoh atau bukan contoh dari konsep, mengembangkan kemampuan koneksi matematik antar berbagai ide, memahami bagaimana ide-ide matematika saling terkait satu sama lain sehingga terbangun pemahaman menyeluruh, dan menggunakan matematika dalam konteks di luar matematika (Kesumawati, 2010:26). Penguasaan sebuah konsep matematika yang rumit dan kompleks diperlukan adanya kecermatan, yaitu cermat memahami makna simbol pada suatu konsep, memahami konsep-konsep sebelumnya, dan mengaitkan konsep sebelumnya dengan konsep yang sedang dipelajari. Mahasiswa yang dapat memahami konsepkonsep matematika dengan benar akan lebih mudah mengaplikasikan konsep tersebut ke dalam pembuktian suatu teorema. Salah satu mata kuliah yang sarat dengan pembuktian adalah mata kuliah struktur aljabar. Mata kuliah struktur aljabar dipelajari mahasiswa pada program sarjana dan 177
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
juga program pascasarjana bagi mahasiswa yang akan melanjutkan studi lebih lanjut. Struktur aljabar adalah bagian dari cabang matematika abstrak yang memuat konsep-konsep aljabar. Isi mata kuliah struktur aljabar menekankan pada teori-teori dasar dan pembuktian teorema, serta sedikit aspek perhitungannya. Penekanan pada teori dasar, pembuktian, dan sedikit perhitungan ini menyebabkan mahasiswa senantiasa mengalami kesulitan dalam memahami mata kuliah struktur aljabar. Mahasiswa terbiasa dengan perhitungan matematika, tidak terbiasa dengan proses pembuktian matematika. Sebagian besar mahasiswa beranggapan bahwa mata kuliah struktur aljabar adalah mata kuliah yang abstrak dan kering, serta berisi konsep, teorema, dan pembuktiannya seolah berada di luar bayangan, tidak dapat divisualisasikan, dan tidak berkaitan dengan kehidupan nyata. Pada umumnya mempelajari ilmu abstrak lebih sulit dibandingkan mempelajari ilmu konkret karena tidak adanya komputasi melainkan mengaitkan berbagai konsep dan prinsip dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang biasanya berupa pembuktian. Hal ini sering dikeluhkan mahasiswa karena mereka kesulitan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan pada mata kuliah struktur aljabar. Penelitian yang telah dilaksanakan Moore (Isnarto, 2014:2) menemukan bahwa kesulitan mahasiswa dalam menyusun bukti disebabkan oleh: (1) mahasiswa tidak memahami dan tidak dapat menyatakan definisi, (2) mahasiswa mempunyai keterbatasan intuisi yang terkait dengan konsep, (3) gambaran konsep yang dimiliki oleh mahasiswa tidak memadai untuk menyusun suatu pembuktian, (4) mahasiswa tidak mampu, atau tidak mempunyai kemauan membangun suatu contoh sendiri untuk
memperjelas
pembuktian,
(5)
mahasiswa
tidak
tahu
bagaimana
memanfaatkan definisi untuk menyusun bukti lengkap, (6) mahasiswa tidak memahami penggunaan bahasa dan notasi matematis, dan (7) mahasiswa tidak tahu cara mengawali pembuktian. Pemahaman konsep matematika yang diteliti dalam penelitian ini merupakan indikator kemampuan pemahaman konsep matematika yang dirujuk berdasarkan kemampuan pemahaman konsep matematika pada kurikulum 2006. Adapun indikator kemampuan pemahaman konsep matematika tersebut adalah sebagai 178
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
berikut: (1) Menyatakan ulang sebuah konsep, yaitu kemampuan mahasiswa untuk mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan kepadanya, (2) Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya), yaitu kemampuan mahasiswa untuk dapat mengelompokkan objek menurut sifat-sifatnya, (3) Memberikan contoh dan non contoh dari konsep, yaitu kemampuan mahasiswa dapat membedakan contoh dan bukan contoh dari suatu materi yang telah dipelajari, (4) Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, yaitu kemampuan mahasiswa menggambar atau membuat grafik, membuat ekspresi matematis, menyusun cerita atau teks tertulis, (5) Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep, yaitu kemampuan mahasiswa mengkaji mana syarat perlu atau cukup suatu konsep yang terkait, (6) Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu, yaitu kemampuan mahasiswa menyelesaikan soal dengan tepat sesuai dengan prosedur, dan (7) Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah, yaitu kemampuan mahasiswa menggunakan konsep serta prosedur dalam menyelesaikan
masalah
yang
berkaitan
dengan
kehidupan
sehari-hari
(Kesumawati, 2010: 28-29). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan pemahaman konsep matematika mahasiswa semester enam Pendidikan Matematika Universitas PGRI Palembang pada mata kuliah struktur aljabar tahun akademik 2014/2015. Ruang lingkup dari penelitian ini terbatas pada kemampuan pemahaman konsep matematika mahasiswa dan materi mata kuliah struktur aljabar terbatas pada grup, subgrup, permutasi, grup siklik, koset, homomorfisma, dan isomorfisma serta penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun akademik 2014/2015. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa semester enam Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas PGRI Palembang tahun akademik 2014/2015, berjumlah 209 mahasiswa. Adapun rincian jumlah mahasiswa dapat dilihat pada Tabel 1. 179
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 1 Jumlah Mahasiswa Semester Enam Pendidikan Matematika FKIP UPGRI Palembang Tahun Akademik 2014/2015 No 1 2 3 4 5 6
Semester/Kelas 6A 6B 6C 6D 6E 6F Total
Laki-laki 5 12 10 2 3 13 45
Perempuan 43 25 39 12 5 40 164
Jumlah 48 37 49 14 8 53 209
Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan tes. Tes yang dipergunakan berupa tes uraian yang berjumlah enam soal, bertujuan untuk mendapat data kemampuan pemahaman konsep matematika. Tes diberikan pada akhir perkuliahan mata kuliah Struktur Aljabar. Tes dibuat berdasarkan indikator pemahaman konsep matematika yakni: (1) menyatakan ulang sebuah konsep, (2) mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya), (3) memberikan contoh dan non contoh dari konsep, (4) menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, (5) mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep, (6) menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu, dan (7) mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui kemampuan pemahaman konsep mata kuliah struktur aljabar mahasiswa yang diteliti. Dalam analisis data juga dikemukakan kemampuan pemahaman mahasiswa untuk setiap indikator kemampuan pemahaman yang diteliti HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Gambaran umum data penelitian ini adalah sebagai berikut. Rata-rata kemampuan pemahaman konsep matematika mahasiswa semester enam prodi Pendidikan Matematika Tahun Akademik 2014/2015 adalah 40,55 dan termasuk dalam kategori sangat kurang, dengan simpangan baku sebesar 10,89. Rincian untuk setiap aspek kemampuan pemahaman konsep matematika dapat dilihat pada 180
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 2. Tabel 2. Rerata Hitung setiap Indikator dari Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika dan Kategorinya No.
Indikator
Rerata
Kategori
1.
Menyatakan ulang sebuah konsep
73,06
Baik
2.
Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu.
39,64
Sangat Kurang
3.
Memberikan contoh dan non contoh dari konsep.
44,74
Kurang
4.
Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis.
40,7
Sangat Kurang
5.
Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep.
10,76
Sangat kurang
6.
Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu.
58,16
Cukup
7.
Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
7,59
Sangat kurang
Pendeskripsian kemampuan pemahaman konsep matematika (KPKM) mahasiswa dalam mata kuliah struktur aljabar, data disajikan dalam tiga kelompok kategori, yakni: kelompok atas, kelompok sedang, dan kelompok bawah. Kriteria pengelompokan berdasarkan skor rerata ( x ) dan simpangan baku (s) berikut: Nilai KPKM x + s
(mahasiswa kelompok atas)
x - s nilai KPKM < x + s
(mahasiswa kelompok sedang)
nilai KPKM < x - s
(mahasiswa kelompok bawah).
Hasil
perhitungan
terhadap
data
KPKM
siswa,
diperoleh
kriteria
pengelompokan siswa adalah: mahasiswa kelompok atas
jika nilai KPKM 51,44;
mahasiswa kelompok sedang
jika 29,66 nilai KPKM < 51,44;
mahasiswa kelompok bawah
jika nilai KPKM < 51,44.
Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui bahwa dari 209 mahasiswa yang diteliti, ada 22 orang kelompok atas, 141 orang kelompok sedang, dan 46 orang kelompok bawah. Rata-rata KPKM setiap kelompok mahasiswa pada indikator 1 s.d. 7 berturut-
181
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
turut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Rerata Hitung setiap Indikator dari Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika berdasarkan Kelompok No.
Indikator
1 2
Menyatakan ulang sebuah konsep Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu. Memberikan contoh dan non contoh dari konsep. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis. Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep. Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
3 4 5 6 7
Kel. Atas 75,91
Rerata Kel. Sedang 74,4
Kel. Bawah 67,61
39,39 93,18
43,85 43,97
31,16 23,91
92,9
40,1
17,6
3,98
11,08
13,04
93,94
64,22
22,46
38,07
3,9
4,35
Pembahasan Pada indikator ke-1 yakni, “menyatakan ulang sebuah konsep”, rerata nilai mahasiswa termasuk dalam kategori baik hanya saja pada kelompok bawah termasuk dalam kategori cukup, hal ini disebabkan mahasiswa telah paham dengan definisi suatu materi, sehingga mahasiswa dapat menentukan apakah sebuah pernyataan dari suatu soal salah atau benar serta memberikan alasannya jika pernyataan tersebut salah. Contoh soal tes tersebut adalah sebagai berikut. Benar atau salahkah pernyataan-pernyataan berikut ini? Jika salah, berikan penjelasan! a. Grupoid adalah suatu struktur aljabar dengan satu operasi biner saja dan tanpa syarat. b. Suatu grupoid (G, *) dikatakan semigrup jika memenuhi syarat-syarat: (G,*) tertutup, dan mempunyai elemen identitas. c. Himpunan bilangan bulat positif ganjil terhadap operasi penjumlahan merupakan suatu grup. d. Orde dari grup bilangan bulat terhadap operasi penjumlahan (Z, +) adalah tak hingga. Pada indikator ke-2, yakni “mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu”, rerata nilai mahasiswa termasuk dalam kategori sangat kurang, hal ini disebabkan mahasiswa belum dapat mengklasifikasi apakah suatu himpunan ini
182
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
adalah suatu monoid dan juga apakah suatu sub grup untuk soal tes yang diberikan kepada mahasiswa. Karena untuk mengklasifikasi suatu himpunan, mereka memerlukan langkah pembuktikan terlebih dahulu. Teori pembuktian yang berlaku di matematika dikembangkan berdasarkan penalaran logis dan deduktif sehingga teori tersebut dapat diterapkan (Isnarto, 2014: 36). Mahasiswa belum dapat bernalar bahwa suatu subgrup secara harfiah dapat diartikan sebagai grup bagian yang mempunyai sifat-sifat grup. Pada indikator ke-3, yakni “memberikan contoh dan non contoh dari konsep”, rerata nilai mahasiswa termasuk dalam kategori sangat baik untuk mahasiswa kelompok atas, sedangkan untuk mahasiswa kelompok sedang dan bawah termasuk dalam kategori sangat kurang. Dari jawaban soal tes mahasiswa diketahui bahwa mahasiswa tidak dapat menentukan semua generator dari Z8. Mahasiswa belum paham bahwa sebelum menentukan generator mereka harus menemukan order dari Z8 terlebih dahulu, baru kemudian mereka harus menentukan bilangan-bilangan yang menjadi generator. Karena bilangan yang menjadi generator haruslah membangun suatu grup siklik terhadap penjumlahan atau perkalian (Gallian, 1992:71). Pada indikator ke-4, yakni ”menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis”, rerata nilai mahasiswa termasuk dalam kategori yang sama seperti pada indikator ke-3. Hal ini disebabkan mahasiswa tidak dapat menyajikan atau belum paham tentang berbagai representasi dari permutasi. Hasil pengerjaan soal tesnya masih salah, kecuali sebagian besar mahasiswa pada kelompok atas karena mereka telah paham. Mahasiswa belum paham tentang 1
2
operasi “o” (hasil kali) permutasi dapat berbentuk (∝ (1) ∝ (2)
3 ) ∝ (3)
dan juga
dapat berbentuk sikel. Untuk mempelajari dan memahami ide-ide abstrak itu memerlukan representasi dalam berbagai cara yang dapat menafsirkan hasil yang diperoleh sehingga dapat dipahami. Nilai rerata indikator ke-5 ini berbeda nilai rerata dari indikator 1 s.d. 4. Perbedaannya adalah nilai rerata yang diperoleh kelompok rendah dan sedang lebih tinggi dari kelompok atas walaupun rerata nilainya masih tergolong sangat kurang. Soal tes yang diberikan adalah “apa syarat perlu dan cukup dua koset dikatakan 183
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
sama?”. Terhadap soal ini, mahasiswa hanya menjawab sampai dengan definisi koset saja. Mahasiswa masih mengalam kesulitan dalam melakukan pembuktian untuk menjawab syarat perlu dan cukup dua koset dikatakan sama. Pembuktian yang tepat mengandung rangkaian langkah-langkah yang logis dan argumentatif berdasarkan aturan yang berlaku di matematika untuk menunjukkan benar atau salahnya suatu ketetapan (Isnarto, 2014:36). Hal ini terbukti dari hasil pengerjaan soal tes yang diberikan pada mahasiswa yang belum memahami konsep untuk menyelesaikan suatu persoalan. Pada indikator ke-6, yakni ”Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu”, rerata nilai mahasiswa termasuk dalam kategori cukup. Untuk kelompok atas termasuk dalam kategori sangat baik, kelompok sedang termasuk dalam kategori cukup, dan untuk kelompok bawah termasuk dalam katogori sangat kurang. Soal tes yang diberikan pada mahasiswa masih soal pembuktian tetapi masih terbatas pada pembuktian tentang grup dan grup abelian. Mahasiswa kelompok bawah banyak mengalami kesulitan untuk menentukan sifat tertutup untuk himpunan {1, -1, i, -i}dan juga menentukan invers dari setiap anggota himpunan tersebut. Mahasiswa tidak terbiasa menggunakan tabel Cayley, karena dengan menggunakan tabel Cayley untuk pembuktian yang anggotanya terbatas akan lebih efektif dan tepat. Pada indikator yang terakhir, yakni “mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah”, rerata nilai mahasiswa termasuk dalam kategori sangat kurang. Pada indikator terakhir ini terdapat 49 dari 209 mahasiswa (23,44%) telah menggunakan langkah yang tepat. Dan 32 mahasiswa (15,31%) dapat menentukan anggota dari U(8) dan U(12) juga telah menggunakan strategi penyelesaian yang tepat yakni dimulai dari pemanfaatan konsep FPB untuk menentukan U(8) dan U(12), selanjutnya menyelidiki keberlakuan keempat aksioma grup. Terdapat 10 dari 209 mahasiswa (4,78%) dapat menentukan perpadanan sebagai pengawetan hasil atau homomorfisma. Dan hanya 4 dari 209 mahasiswa (1,91%) dapat membuktikan bahwa kedua grup tersebut struktrur-strukturnya memiliki sifat yang sama atau identik yang dinamakan isomorfik.
184
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah nilai rata-rata kemampuan pemahaman konsep matematika mahasiswa pada mata kuliah struktur aljabar adalah 40,55 termasuk dalam kategori sangat kurang. Berdasarkan pembagian kelompok kemampuan pemahaman konsep matematika mahasiswa terbagi atas 3 kelompok yakni tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan indikator dari kemampuan pemahaman konsep matematika, mahasiswa tergolong sangat kurang pada indikator 2, 4, 5, dan 7. Berdasarkan temuan dari penelitian ini maka disarankan untuk dosen mata kuliah struktur aljabar agar dapat: (1) membuat pemetaan terhadap kemampuan mahasiswa dilakukan pada awal perkuliahan, (2) melakukan pendampingan pada kelompok mahasiswa,
belajar (3)
dengan
mempertimbangkan
meningkatkan
porsi
heterogenitas
tugas-tugas
dengan
kemampuan tujuan
untuk
mengembangkan kemampuan pemahaman konsep. DAFTAR PUSTAKA Anderson., et al. 2001. A Taxonomy for Learning Teaching and Assessing. New York: Longman Galian,J.A. 1998 .Contemporary Abstract Algebra. Ed.4. New York: University of Minnesota. Isnarto. 2014 . Kemampuan Konstruksi Bukti dan Berpikir Kritis Matematis Mahasiswa pada Perkuliahan Struktur Aljabar melalui Guided Discovery Learning Pendekatan Motivation to Reasoning and Proving Tasks. Disertasi Doktor pada PPs UPI: tidak dipublikasikan. Juandi, D. 2006 . Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi Doktor pada PPS UPI: tidak dipublikasikan. Kesumawati, Nila. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis Siswa Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi Doktor pada PPs UPI: tidak dipublikasikan. NCTM. 2000. Defining Problem Solving. [Online]. Tersedia: http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk2/session 03/sectio 03 a.html. [3 September 2007]. Qohar, Abd. 2010. Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi dan Komunikasi Matematis Serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP 185
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
melalui Reciprocal Reaching. Disertasi Doktor pada PPs UPI: tidak dipublikasikan. Sutiarso, Sugeng. 2010 . Pengaruh Penerapan Teori APOS dalam Pembelajaran Kalkulus Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Mahasiswa. Disertasi Doktor pada PPs UPI: tidak dipublikasikan.
186
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGGUNAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING DENGAN BANTUAN SOFTWARE GEOGEBRA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA 1
Khoerul Umam, 2Sigid Edy Purwanto, 3Cut Nurlia Aprilna
Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA
[email protected],
[email protected],
[email protected]
1
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa pada materi persamaan dan fungsi kuadrat melalui model problem based learning dengan bantuan software geogebra pada siswa kelas X. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan model Kemmis dan Taggart melalui empat tahapan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Subjek penelitian adalah siswa kelas X MIA 1 tahun pelajaran 2014-2015 yang berjumlah 33 siswa, terdiri dari 11 siswa laki-laki dan 22 siswa perempuan. Indikator keberhasilan nilai rata-rata kelas dalam melakukan evaluasi sebesar 75,00 dan 70% dari 33 siswa kelas X MIA 1 mendapatkan nilai lebih dari 75,00. Kriteria ketuntasan minimal dari mata pelajaran matematika adalah 75,00. Berdasarkan hasil pengamatan awal sebelum tindakan rata-rata hasil belajar matematika siswa sebesar 55,70 dengan persentase pencapaian KKM 15,15%. Tes evaluasi pada penelitian siklus pertama diperoleh nilai rata-rata kelas sebesar 68,15 dengan persentase pencapaian kriteria ketuntasan minimal 36,36%. Pada penelitian siklus kedua diperolah nilai rata-rata kelas sebesar 78,79 dengan persentase pencapaian kriteria ketuntasan minimal 72,73% sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dengan model problem based learning berbantu software geogebra dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa pada materi persamaan dan fungsi kuadrat di kelas X MIA 1.
: Model Problem Based Learning dengan Bantuan Software Geogebra, PTK, Hasil Belajar Matematika Siswa. Kata Kunci
PENDAHULUAN Pembelajaran merupakan aktivitas yang diberikan guru agar terjadinya proses memperoleh ilmu pengetahuan, pembentukan sikap serta kepercayaan diri pada siswa. Guru memberikan bimbingan dan menyediakan berbagai kesempatan saat proses pembelajaran untuk mendorong siswa memperoleh ilmu pengetahuan melalui pengalaman belajar secara bermakna. Siswa mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan sebelum terjadinya pembelajaran setelah siswa memperoleh pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang didapat pada lingkungan belajar menyebabkan pengetahuan terus bertambah sehingga mempengaruhi pembentukan sikap dan rasa percaya diri pada siswa. Proses interaksi guru dengan
187
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
siswa saat pembelajaran mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Guru berupaya mempersiapkan proses pembelajaran yang sesuai. Persiapan proses pembelajaran sesuai dengan komponen yang dirancang berupa kurikulum, rencana proses pembelajaran (RPP), metode pembelajaran yang tepat dan materi bahan ajar yang akan disampaikan. Guru ideal mempersiapkan komponen pembelajaran agar lebih mudah mengarahkan dan membimbing siswa saat proses pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pada akhir proses pembelajaran guru melakukan evaluasi secara menyeluruh. Evaluasi pembelajaran bertujuan mengukur tingkat pencapaian kompetensi siswa. Selain itu, laporan kemajuan guru dibutuhkan sebagai pertimbangan kegiatan pembelajaran selanjutnya. Pertimbangan dibuat untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Salah satu sekolah yang ada di Jakarta Pusat mempunyai berbagai macam kemampuan siswa dengan karakteristik belajar yang berbeda dan hasil belajar yang bervariasi pada pembelajaran matematika. Perbedaan tersebut disebabkan faktor internal seperti semangat belajar, motivasi, dan kemampuan siswa. Sebagian besar siswa kurang serius dalam pelakasanaan pembelajaran. Selain itu, lingkungan sekolah yang dekat dengan stasiun dan kali menjadi faktor eksternal yang mempengaruhi proses pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan pada kelas X MIA 1 dengan jumlah siswa terdiri dari 33 siswa, dengan 22 siswa perempuan dan 11 siswa laki-laki. Rendahnya hasil belajar matematika dialami pada kelas X MIA 1, hal ini dilihat dari nilai UAS tahun pelajaran 2014/2015 dengan sedikitnya siswa yang mendapatkan nilai di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 75. Siswa yang mendapat nilai kurang memuaskan mencapai 84,85% atau sebanyak 28 siswa yang belum mencapai KKM, sedangkan yang mendapatkan nilai di atas KKM sebanyak 5 siswa. Pada saat proses pembelajaran guru masih menggunakan metode ekspositori dengan paduan metode pembelajaran lainnya. Metode ekspositori merupakan cara penyampain seorang guru kepada siswa dengan cara berbicara diawal pelajaran, 188
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menjelaskan materi dan contoh soal serta melakukan tanya jawab. Seringnya pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori menyebabkan siswa kurang aktif, tergambar ketika dalam proses kegiatan belajar mengajar berlangsung. Selain itu, guru belum pernah menggunakan model problem based learning dengan bantuan software geogebra di kelas X MIA 1 saat pembelajaran. Problem based learning merupakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan belajar yang dibutuhkan pada era globalisasi saat ini. Pembelajaran secara berkelompok yang dihadapkan pada suatu masalah, kemudian siswa berupaya melakukan pemecahan masalah melalui tahapan-tahapan. Melalui proses pemecahan masalah siswa dapat belajar keterampilan-keterampilan yang lebih mendasar. Siswa banyak mencari tahu apa yang harus dikerjakan dan bagaimana menyelesaikannya sehingga siswa sangat berperan aktif dalam belajar. Siswa mampu mempertanggungjawabkan hasil dari proses mencari tahu yang dilakukan, dengan adanya itu siswa merasakan makna dari pembelajaran tersebut. Siswa dapat melihat dan mengeksplorasi grafik fungsi kuadrat dengan bantuan software geogebra untuk meningkatkan pemahaman materi yang sedang dipelajari. Jika siswa dapat memahami materi grafik fungsi kuadrat, maka siswa diharapkan mampu menggambar sketsa grafik fungsi kuadrat tersebut.
Model Pembelajaran Model pembelajaran merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran yang harus di pikirkan secara matang. Pemberian model pembelajaran yang tepat akan mempengaruhi aktivitas siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Sesuai dengan pernyataan Joyce bahwa each model guides us as we design instruction to help students achieve various objectives (Trianto. 2010: 52). Setiap model mengarahkan kita dalam merancang pembelajaran untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelejaran dimaksudkan sebagai pola interaksi dengan guru di dalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas (Erman Suherman. 1994:7). Sebelum proses mengajar, guru sudah 189
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
merencanakan model pembelajaran sesuai dengan materi pelajaran yang akan di sampaikan menyangkut strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Apabila guru sudah merencanakan dengan baik diharapkan proses pembelajaran akan lebih mudah terarahkan.
Problem Based Learning Problem Based Learning (pembelajaran berbasis masalah) merupakan model pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk meningkatkan keterampilan belajar sesuai dengan kebutuhan pada era globalisasi saat ini. Siswa belajar tidak hanya sekedar belajar, akan tetapi siswa belajar dengan melakukan rangkaian kegiatan. Berbagai rangkaian kegiatan yang dilakukan, siswa akan merasakan pembelajaran lebih bermakna. Problem based learning didasarkan pada kajian John Dewey, yang menekankan pentingnya pembelajaran melalui pengalaman (belajar dari pengalaman)(David, dkk.
2009:242). Siswa akan
merasakan dampak dari belajar itu sendiri, apabila siswa mengalami langsung proses pembelajaran. Pada awal pembelajaran siswa sudah dihadapkan dengan permasalahan disajikan dalam bentuk soal. Siswa berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan berperan aktif dalam memecahkan masalah. Masalah tersebut yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dunia nyata maupun dalam pembelajaran itu sendiri. Siswa dihadapkan suatu permasalahan dalam dunia nyata bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Sesuai dengan pengertian problem based learning adalah salah satu model pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan cara menghadapkan para siswa tersebut dengan berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupan(Marhamah Saleh. 2013:203). Model PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Masalah yang diberikan dalam proses pembelajaran sebagai modal awal untuk mengetahui pengetahuan baru. Menurut Awang “Problem-based learning (PBL) is one of the student centered approaches and has been considered by a number of higher educational institutions in many parts of the world as a method of delivery” (Scolastika Mariani, dkk. 2014:532). Maksud dari kutipan tersebut PBL merupakan salah satu 190
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pendekatan yang memusatkan kepada siswa untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Proses pembelajaran yang dilakukan dalam PBL dengan mencari informasi dan bertukar pikiran sehingga terjadinya proses pengiriman ilmu-ilmu yang baru didapat. Problem-based learning requires students to make choices about how and what they will learn”( Robert Delisle.1997:11). Pembelajaran ini menuntut siswa untuk memikirkan bagaimana dan apa yang mereka pelajari. Siswa harus mengetahui apa yang mereka pelajari dan bagaimana menyelesaikannya. Siswa berusaha memecahkan permasalahan dengan menggunakan cara mereka untuk memperoleh informasi. Usaha yang dilakukan akan mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir, sehingga siswa memperoleh pembelajaran yang bermakna. Apabila siswa tidak tahu apa yang mereka kerjakan dan bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan maka siswa tidak dapat memperoleh pembelajaran secara bermakna. Kemauan dalam diri siswa merupaan modal dalam kegiatan problem based learning. Langkah-Langkah Problem Based Learning Terdapat lima langkah utama atau tahapan di dalam problem based learning. Langkah-langkah (Rusman. 2012:243) ditujukan sebagai berikut :
Fase
Tabel 2.1 Langkah –Langkah Problem Based Learning Indikator Tingkah Laku Guru
1
Orientasi siswa pada Menjelaskan masalah
tujuan
pembelajaran,
menjelaskan logistik yang diperlukan, dan memotovasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah.
2
Mengorganisasikan
Membantu
siswa
siswa untuk belajar
mengorganisasikan
mendefinisakan tugas
belajar
dan yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
191
KNPM 6
3
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Membimbing
Mendorong siswa untuk mengumpulkan
pengalaman
informasi
individual/kelompok
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan
yang
sesuai,
melaksanakan
dan pemecahan masalah tersebut. 4
Mengembangkan
Membantu siswa dalam merencanakan dan
dan menyajikan hasil menyiapkan karya yang sesuai seperti karya
laporan, dan membantu mereka untuk berbagai tugas dengan temannya.
5
Menganalisa
dan Membantu siswa untuk melakukan refleksi
mengevaluasi proses atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka pemecahan masalah
dan proses yang mereka gunakan.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 10 Jakarta yang berlokasi di jalan Mangga Besar XIII Jakarta Pusat. Waktu penelitian dilaksanakan pada semester genap taun pelajaran 2014/2015 pada bulan Januari. Subjek Penelitian Pada penelitian tindakan kelas ini yang menjadi subjek adalah hasil belajar matematika siswa kelas X MIA 1 tahun pelajaran 2014/2015 pada materi persamaan dan fungsi kuadrat, dengan jumlah siswa 33 siswa terdiri dari 22 siswa perempuan dan 11 siswa laki-laki. Pihak yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah guru yang bertindak sebagai kolaborator yaitu Imas Gandasari M.Pd . Jenis Penelitian Metode penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas untuk mengetahui akibat tindakan yang diterapkan pada suatu subyek penelitian di kelas tersebut. Tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
192
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa siklus untuk melihat hasil belajar matematika siswa pada materi persamaan dan fungsi kuadrat menggunakan model problem based learning dengan bantuan software geogebra. Hasil belajar tersebut digunakan untuk mengetahui adanya peningkatan atau tidak dan sebagai penentuan siklus berikutnya. Hubungan keempat komponen ini dipandang sebagai satu siklus seperti model penenlitian kemmis dan taggart pada Gambar 3.1 di bawah ini.
Gambar 3.1 Model Penenlitian Kemmis dan Taggart Konsep pokok action research menurut Kemmis dan Mc. Taggart berupa satu perangkat yang terdiri dari empat komponen yaitu: perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Komponen tindakan dengan pengamatan dilakukan secara bersamaan karena kedua komponen tersebut dapat dilakukan dalam satu kesatuan waktu. Siklus akan berlanjut apabila belum terjadi perubahan atau peningkatan
pada hasil
belajar
matematika
siswa. Namun bila terjadi peningkatan maka penelitian dicukupkan pada siklus tersebut. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 193
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
1. Tes dengan menggunakan soal essay untuk mendapatkan data yang mengukur kemampuan hasil belajar matematika siswa. 2. Lembar observasi, untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan aktivitas siswa dan aktivitas guru saat pembelajaran berlangsung. 3. Catatan lapangan digunakan untuk mencatat kejadian-kejadian selama proses belajar mengajar yang akan diisi oleh kolaborator atau observer. Dari catatan lapangan diharapkan peneliti dapat menemukan hal menarik yang masih bisa dikembangkan dari tiap siklusnya. 4. Dokumentasi digunakan untuk memvisualisasikan kejadian-kejadian penting yang terjadi di dalam kelas selama penelitian berlangsung sebagai bukti pendukung penelitian. Indikator Keberhasilan Indikator keberhasilan ditandai dengan kenaikan hasil belajar yang dapat menunjukkan adanya kenaikan nilai rata-rata kelas dan kenaikan jumlah siswa yang telah mencapai kriteria ketuntasan minimum. Indikator keberhasilan ditargetkan dengan nilai rata-rata kelas 75,00 dan persentase pencapaian KKM adalah 70% atau 23 siswa yang berhasil mencapai KKM. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.
Pembahasan Hasil Penelitian Awal Penelitian awal dilaksanakan pada 15 Desember 2014. Sebelum melakukan
penelitian, peneliti melakukan pengamatan di SMA Negeri 10 Jakarta untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar matematika siswa pada mata pelajaran matematika. Tabel 4.1 Hasil Belajar Matematika Sebelum Penelitian Tindakan (Nilai Awal) No.
Kriteria
Jumlah Persentase (Siswa)
1.
Belum mencapai KKM
28
Nilai Rata-rata
84,85%
194
KNPM 6
2.
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Sudah mencapai KKM
5
15,15%
55,70
Berdasarkan tabel 4.1 nilai rata-rata hasil belajar matematika yang diambil berdasarkan nilai UAS memperoleh 55,70, sedangkan KKM nilai matematika di SMA Negeri 10 Jakarta adalah 75,00. 2.
Pembahasan Hasil Penelitian Siklus I Berdasarkan hasil belajar matematika dan temuan-temuan pada penelitian awal
maka peneliti bekerja sama dengan kolaborator untuk melakukan refleksi. Pada siklus I peneliti menerapkan pembelajaran sebanyak 2 kali pertemuan dengan mengambil materi pokok persamaan kuadrat. Tabel 4.2 Data Hasil Belajar Siklus I No
Kriteria
Jumlah Presentase
Nilai Rata-rata
Siswa 1.
Belum mencapai KKM
21
63,64 %
2.
Sudah mencapai KKM
12
36,36 %
68,15
Berdasarkan tabel 4.2 data hasil belajar siklus I belum mencapai indikator pencapaian yang ditentukan peneliti. Nilai siswa yang mencapai target KKM sebanyak 12 siswa atau 36,36%, sedangkan siswa yang belum mencapai target sebanyak 21 siswa atau 63,64%. Dari data tersebut dapat diartikan bahwa perlu mendapat perhatian dan perbaikan pada siklus II. 3.
Pembahasan Hasil Penelitian Siklus II Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, peneliti mempersiapkan tindakan
pembelajaran menggunakan model problem based learning dengan bantuan software geogebra dengan pada materi fungsi kuadrat. Kekurangan-kekurangan proses pembalajaran pada siklus I akan diperbaiki pada siklus II. Pada siklus II ini peneliti menetapkan pembelajaran sebanyak 2 kali pertemuan.
195
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Hasil belajar matematika pada siklus II menunjukan bahwa telah tercapainya indikator keberhasilan yang telah ditetapkan yaitu nilai rata-rata kelas 75,00. Keberhasilan peningkatan ini karena melalui pembelajaran menggunakan model problem based learning dengan bantuan software geogebra dan adanya perbaikan kesalahan yang dilakukan pada siklus sebelumnya. Tabel 4.4 Data Hasil Belajar Siklus II No
Kriteria
Jumlah Persentase
Nilai Rata-rata
Siswa 1.
Belum mencapai KKM
9
27,27 %
2.
Sudah mencapai KKM
24
72,73 %
78,79
Data di atas yang diperoleh dari hasil belajar matematika siklus II pada materi fungsi kuadrat dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2015. Siswa yang mencapai KKM sebanyak 24 siswa atau 72,73%, sedangkan yang belum mencapai KKM sebanyak 9 siswa atau 27,27%. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan dalam dua siklus yang dilakukan peneliti dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Cara pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning dengan bantuan software geogebra terbukti dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Hal tersebut terbukti dimana hasil belajar matematika siswa yang mencapai KKM 75,00 pada siklus I yaitu mencapai 36,36%, sedangkan pada siklus II terjadi peningkatan mencapai 72,73% dengan rata-rata siklus I yaitu 68,15 dan siklus II 78,79. Hal ini menunjukan terjadinya peningkatan hasil belajar siswa secara signifikan. Sebaliknya hasil belajar siswa yang belum mencapai KKM mengalami penurunan secara signifikan, pada awal siklus I sebesar 63,64% dan pada siklus II menjadi 27,27%.
196
KNPM 6
2.
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Proses pembelajaran menggunakan model problem based learning dengan bantuan software geogebra dilakukan dengan beberapa siklus. Kekurangan yang terjadi pada siklus I seperti peneliti kurang mengatur alokasi waktu, kelas kurang kondusif dan kurang memberikan motivasi. Kemudian, di refleksi berdasarkan pengamatan kesalahan yang terjadi pada siklus I diperbaiki pada siklus II.
3.
Melalui model problem based learning dengan bantuan software geogebra dapat meningkatkan keaktifan dan kemampuan berpikir siswa. Siswa belajar dari pemasalahan kemudian mencari informasi yang berkaitan dengan masalah yang diberikan. Berdasarkan data yang didapat, siswa mengasah dan mengembangkan kemampuan berpikir untuk memcahkan permasalahan dengan memberikan kesimpulan dari hasil yang didapat. Siswa bertanggung jawab atas hasil yang didapat. Berdasarkan keaktifan dan kemampuan siswa dalam memecahkan permasalahan yang dilakukan saat proses belajar siswa akan mampu menjelaskan hasil yang didapat berdasarkan pengalaman belajar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning dengan bantuan software geogebra dapat menjadi salah satu model yang dapat diterapkan dengan materi yang sesuai karena efektif dan efisien.
4.
Pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning dengan bantuan software geogebra dapat meningkatkan aktivitas siswa. Siswa lebih banyak
berperan
aktif
dalam
pembelajaran
dengan mencari berbagai
informasi, mengembangkan kemampuan berpikir dan menemukan langkah - langkah
pemecahan
masalah
berdasarkan pengalaman belajar.
Saran Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model problem based learning dengan bantuan software geogebra dalam pembelajaran matematika yang sudah dipaparkan di atas, dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut:
197
KNPM 6
1.
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Agar hasil belajar siswa selalu mengalami peningkatan, maka perlu ditambah sarana penunjang seperti software matematika yang dapat membuat siswa merasakan suasana baru dalam belajar.
2.
Menjadikan
model
problem
based
learning
sebagai
acuan
dalam
meningkatakan kualitas pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar matematika siswa di SMA Negeri 10 Jakarta. 3.
Pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning membutuhkan waktu persiapan dengan baik, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan. Pembelajaran menggunakan model problem based learning dengan bantuan software geogebra dapat membantu meningkatkan hasil belajar siswa, karena siswa dituntut untuk berperan aktif dalam mencari informasi yang diberikan untuk pemecahan masalah diawal pembelajaran dan siswa dapat mengembakan kemapuan berpikir dengan proses berinteraksi dalam kelompok.
DAFTAR PUSTAKA David, dkk. 2009. Methods for Teaching: Metode-metode Pengajaran Meningkatkan Belajar Siswa TK-SMA . Yogyakarta: Pustaka Pelajar Delisle, Robert.1997. How to Use Problem Based Learning in The Classroom. USA: ASCD, hal.11 Kemmis & Taggart. 1988. The Action Research Planner. Deakin University Mariani, Scolastika, dkk. 2014. The Effectiveness of Learning by PBL Assisted Mathematics Pop Up Book Againts the Spatial Ability in Grade VIII on Geometry Subject Matter. Internationlan Jurnal of Education and Reasaerch. Diunduh pada tanggal 21 Februari 2015 Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru (edisi kedua). Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada Saleh, Marhamah. 2013. Strategi Pembelajaran Fiqh dengan Problem Based Learning. Jurnal ilmiah DIDAKTIKA, hal.229. Diunduh pada 22/02/2015 Suherman, Erman, dkk. 1994. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : UPI Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka
198
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
. 2010. Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara
199
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
AKTIVITAS SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT MODEL KOOPERATIF TIPE STAD Santje M.Salajang1 Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado
Abstrak.Kualitas aktivitas siswa dalam pembelajaran menurut model tertentu, merupakan salah satu indikator keefektifan model pembelajaran itu. Kualitas aktivitas siswa dalam suatu pembelajaran dapat diukur dengan membandingkan hasil observasi terhadap aktivitas siswa selama pembelajaran dengan Patokan Waktu Ideal (PWI). Konstruktivisme merupakan aliran kuat yang mempengaruhi perancangan model pembelajaran. Menurut aliran tersebut, fasilitas pembelajaran disediakan untuk memberi keleluasaan kepada tiap-tiap siswa dalam melakukan aktivitas konstruksi pengetahuan sendiri. Pembelajaran model STAD adalah salah salah tipe dari pembelajaran kooperatif dan termasuk pembelajaran konstruktivistik. Dalam pembelajaran konstruktivistik, pemecahan masalah untuk mengonstruksi pengetahuan adalah hal yang esensial. Menyatakan bahwa pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran lebih menerapkan pengajaran top-down yang berarti aktivitas siswa dimulai dengan memecahan masalah kompleks dan kemudian menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Makalah ini bertujuan memberikan deskripsi tentang aktivitas siswa dalam pembelajaran model Kooperatif tipe STAD yang berlangsung selama 4 pertemuan yang didasarkan pada sebagian hasil penelitian pengembangan perangkat pembelajaran model Kooperatif tipe STAD untuk materi Persamaan Garis Lurus di SMP Negeri 2 Tondano. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD cukup efektif mengkondisikan siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Kata kunci: aktivitas-siswa, kualitas, konstruktivisme, pemecahan masalah, model STAD
PENDAHULUAN Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi kita sendiri (Suparno, 1997). Dikatakan bahwa menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengonstruksi teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Konstruktivisme memandang bahwa fasilitas pembelajaran disediakan untuk memberi keleluasaan setiap siswa dalam melakukan aktivitas konstruksi pengetahuan sendiri. Peran guru
1
Dosen pada Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado
200
adalah mediator dan fasilitator yang membatu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Pendekatan dan strategi pembelajaran yang disarankan kurikulum 2013 untuk matematika
adalah
sesuai
dengan
pandangan
konstruktivisme
tentang
pembelajaran. Sehubungan dengan pelaksanaan kurikulum 2013, telah diterapkan berbagai pembelajaran beracuan konstruktivistik, seperti model kooperatif, untuk mengajarkan matematika, namun banyak kendala dalam pelaksanaannya. Aktivitas siswa dalam pembelajaran tersebut tidak memperlihatkan aktivitas yang diharapkan, sehingga konstruksi pengetahuan siswa melalui kegiatan tersebut sulit terjadi. Akibatnya ada guru matematika kembali mengajar dengan menggunakan pola lama. Melalui kajian pustaka, penulis menemukan bahwa kendala utama dalam aktivitas konstruksi pengetahuan baru matematika adalah masalah psikologi dan masalah karakteristik matematika. Oleh karena itu, penulis mengembangkan perangkat pembelajaran matematika untuk topik Persamaan Garis Lurus (PGL) dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD. Salah satu tahapan pengembangan perangkat tersebut adalah uji coba lapangan yaitu pertemuan pembelajaran. Penulis melakukan uji coba perangkat pembelajaran model kooperatif tipe STAD di SMP Negeri 2 Tondano selama 4 pertemuan. Salah satu indikator keefektifan model kooperatif tipe STAD adalah kualitas aktivitas siswa dalam pembelajaran menurut model itu (Eggen & Kauchack,1988). Kualitas aktivitas siswa dalam suatu pembelajaran dapat diukur dengan membandingkan hasil observasi dengan kriteria Patokan Waktu Ideal (Salajang, 2007). Sekumpulan data aktivitas siswa telah terhimpun melalui instrumen Lembar Observasi Aktivitas Siswa (LOAS) dan dianalisis untuk mengetahui bagaimana deskripsi aktivitas siswa dalam pembelajaran model kooperatif tipe STAD khususnya untuk topik PGL. Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD dan Karakteristik Matematika
201
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD tergolong salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang dirancang dengan mengacu pada paham konstruktivisme. Komponen sintaks pembelajaran Model Kooperatif terdiri atas 6 (enam) fase (lihat Ibrahim dkk, 2000). Slavin (2000) menyatakan, teori yang mendasari pembelajaran kooperatif adalah bahwa siswa lebih mudah memecahkan atau menemukan konsep-konsep yang sulit jika mereka membicarakan dengan teman lain mengenai suatu masalah. Pemecahan masalah untuk mengonstruksi pengetahuan adalah hal yang esensial dalam pembelajaran konstruktivistik. Selanjutnya dinyatakan bahwa pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran lebih menerapkan pengajaran top-down daripada bottom-up. Top-down berarti siswa memulai dari masalah kompleks untuk dipecahkan dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Menurut Slavin (2000), model pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri atas aktivitas pengajaran sebagai berikut : 1. Mengajar : Menyajikan pelajaran 2. Pelajaran tim : Para siswa bekerja pada kertas kerja (LKS-penulis) dalam tim untuk menguasai materi 3. Tes : Para siswa mengerjakan kuis perorangan atau alat penilaian lain (seperti essay atau penampilan) 4. Pengakuan tim : Skor tim dihitung berdasarkan skor peningkatan tiap anggota tim, dan tim yang meraih skor tinggi dihargai dengan sertifikat, atau melalui pengumuman pada majalah dinding kelas atau papan pengumuman Karakteristik utama matematika adalah memuat objek dasar yaitu fakta, konsep, operasi atau relasi dan prinsip ; semuanya merupakan objek mental atau objek pikiran (Soedjadi, 2000). Berdasarkan identifikasi “mengetahui sesuatu” dengan “membuat sesuatu”, Giambatista Vico, seorang epistemolog dari Italia (dalam Suparno, 1997) mengatakan bahwa matematika adalah cabang pengetahuan yang paling tinggi. Alasannya, dalam matematika, orang menciptakan dalam pikirannya semua unsur dan aturan-aturan yang secara lengkap dipakai untuk mengerti 202
matematika. Identifikasi Vico menjelaskan tentang sulitnya mempelajari matematika. Kesulitan yang dimaksud adalah dalam hal mengonstruksi pengetahuan matematika yang dilakukan dalam pikiran. Penyebabnya adalah objek-objek dasar matematika merupakan benda pikiran. Padahal objek-objek dasar digunakan untuk mengonstruksi dan juga menjadi objek konstruksi. Faktor internal matematika inilah yang menyebabkan guru kesulitan mengajarkan matematika dan juga siswa kesulitan mempelajari matematika. Oleh karena itu aktivitas mengonstruksi pengetahuan matematika yang baru perlu disesuaikan dengan faktor internal matematika tersebut. Aktivitas mental yang perlu dilakukan siswa adalah mengidentifikasi setiap objek matematika yang sesuai yang ada dalam ingatanya dan “mencari kembali” jika sudah hilang dari memori. Glasersfeld (Suparno, 1997), mengatakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu arti lingkungan adalah bila kita memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, maka lingkungan menunjuk pada sekeliling hal itu yang telah kita isolasikan. Berdasarkan sintaks model pembelajaran kooperatif dan 4 komponen aktivitas dalam tipe STAD serta karakteristik matematika, maka peneliti menyusun sejumlah perangkat pembelajaran yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Buku Siswa, dan Lembar Kerja Siswa serta Instrumen Tes. Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Salah satu indikator keefektifan suatu model pembelajaran adalah kualitas aktivitas siswa dalam pembelajaran menurut model itu (Eggen & Kauchack,1988). Aktivitas siswa adalah keterlibatan siswa dalam pembelajaran yang ditunjukkan dengan kegiatan verbal atau non-verbal selama pembelajaran berlangsung. Kualitas aktivitas siswa dalam suatu pembelajaran dapat diukur dengan membandingkan hasil observasi terhadap aktivitas siswa selama pembelajaran dengan Patokan Waktu Ideal (PWI) yang dinyatakan dengan besaran prosentase. PWI ditetapkan berdasarkan waktu setiap aktivitas yang diharapkan terjadi dalam suatu pembelajaran dengan model tertentu. 203
Instrumen Lembar Observasi Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Aktivitas siswa dalam pembelajaran diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu aktivitas aktif dan aktivitas pasif. Aktivitas siswa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas aktif adalah jika siswa melakukan kegiatan menulis yang relevan dengan kegiatan belajar mengajar, berdiskusi/bertanya dengan guru atau dengan siswa lain dan membaca buku siswa, LKS atau bacaan lain yang relevan. Aktivitas siswa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas pasif adalah jika siswa melakukan aktivitas seperti hanya mendengar penjelasan guru, hanya mendengar penjelasan temannya
atau melakukan sesuatu hal yang tidak relevan dengan
pembelajaran (mengganggu teman atau keluar dari kelas). Patokan Waktu Ideal (PWI) Aktivitas Siswa Telah diuraikan sebelumnya tentang kategori aktivitas siswa yang dapat dijadikan indikator seluruh aktivitas yang terjadi dalam setiap kegiatan pembelajaran. Selanjutnya diberikan kriteria PWI untuk setiap kategori aktivitas siswa yang didasarkan pada aktivitas pembelajaran pada setiap fase dalam sintaks model kooperatif tipe STAD dan dimuat pada Tabel 1. Tabel 1.Kriteria Patokan Waktu Ideal Aktivitas Siswa
KATEGORI AKTIVITAS Mendengar/memperhatikan penjelasan guru/teman Membaca (buku siswa, LKS atau sumber bacaan lain) Menulis yang relevan dengan KBM (memecahkan masalah pada LKS, membuat catatan, membuat rangkuman) Berdiskusi/bertanya antara siswa dengan guru Berdiskusi/bertanya antara siswa dengan temannya
N O 1 2
3
4 5
KRITERIA AKTIVITAS IDEAL UNTUK SISWA
KRITE RIA PWI 5% 15% 15% 25%
-
10% 20%
-
15%25% 25%35%
Aktivitas siswa dika-takan ideal jika mini-mal kriteria No.3, 4 dan 5 dipenuhi.
204
Aktivitas tidak relevan
6
0 - 5%
METODE PENELITIAN Penelitian ini tergolong penelitian kuantitatif yang difokuskan pada aktivitas siswa dalam pembelajaran model kooperatif tipe STAD. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan penulisan makalah adalah memberikan deskripsi aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika model kooperatif tipe STAD dalam 4 (empat) kali pertemuan. Selama pembelajaran berlangsung, aktivitas siswa diobservasi dengan menggunakan Format Observasi Aktivitas Siswa. Subjek observasi adalah sekelompok siswa (6 orang) yaitu representasi siswa dalam setiap kelas pertemuan. Data yang diperoleh adalah kategori aktivitas dominan yang dilakukan oleh setiap siswa subjek observasi dalam setiap selang waktu 2 (dua) menit. Dalam observasi ini, waktu yang digunakan untuk pengamatan adalah 2 (dua) menit dan waktu pencatatan hasil pengamatan adalah 1 (satu) menit. Data aktivitas siswa yang terjaring dalam setiap pertemuan, selanjutnya dianalisis dengan langkahlangkah berikut, 1. Menentukan rata-rata frekwensi hasil observasi aktivitas sekelompok siswa untuk setiap kategori dalam setiap pertemuan. 2. Mencari prosentase frekwensi setiap kategori aktivitas dengan cara membagi besarnya frekwensi setiap kategori aktivitas dengan jumlah frekwensi untuk semua kategori, dan hasilnya dikalikan 100%. Kemudian dihitung rata-rata prosentase waktu untuk semua pertemuan dalam setiap pertemuan. 3. Selanjutnya rata-rata prosentase waktu untuk setiap kategori aktivitas siswa dirujuk pada kriteria Patokan Waktu Ideal (PWI) aktivitas siswa, sebagaimana dinyatakan dalam Tabel 1. 4. Buat kesimpulan mengenai kualitas aktivitas siswa dalam pembelajaran berdasarkan kriteria PWI. Hasil Penelitian
205
A. Analisis data aktivitas siswa dalam pembelajaran pada pertemuan I Data aktivitas siswa yang diobservasi pada pertemuan I selanjutnya diolah dengan langkah-langkah 1 dan 2. Hasilnya tampak pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa Selama Pertemuan I RATA-RATA TIAP TM FREKW. PROSENTASE
KATEGORI AKTIVITAS 1. Mendengar/memperhatikan penjelasan guru/teman 2. Membaca (Buku Siswa, LKS) 3. Menulis yang relevan dengan KBM 4. Berdiskusi/bertanya antara siswa dan guru 5. Berdiskusi/bertanya antar siswa dan siswa 6. Perilaku yang tidak relevan dengan KBM
10.5
35%
3.9
13%
3.0
10%
4.2
14%
6.6
22%
1.8
6%
Jika hasil pada Tabel 2 dirujuk pada kriteria PWI aktivitas siswa (lihat Tabel 1), maka deskripsinya tampak pada diagram di bawah ini. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa pada Tatap Muka I 40 35
Prosentase
30 25
Infimum interv al PWI
20
Rata-rata Prosentase
15
Suprimum interv al PWI
10 5 0 1
2
3
4
5
6
Kategori Aktivitas Siswa
Diagram di atas menunjukkan bahwa hanya kategori aktivitas 2 dan 3 yang memenuhi kriteria PWI sedangkan kategori aktivitas 1, 4, 5 dan 6 belum memenuhi kriteria PWI. Menurut kriteria tambahan kategori aktivitas 4 dan 5 harus memenuhi kriteria PWI. Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa selama pertemuan I belum ideal. B. Analisis data aktivitas siswa dalam pembelajaran pada pertemuan II Data aktivitas siswa yang diobservasi pada pertemuan II selanjutnya diolah dengan langkah-langkah 1 dan 2. Hasilnya tampak pada Tabel 3. 206
Tabel 3. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa Selama Pertemuan II RATA-RATA TIAP TM FREKW. PROSENTASE
KATEGORI AKTIVITAS 1. Mendengar/memperhatikan penjelasan guru/teman 2. Membaca (Buku Siswa, LKS) 3. Menulis yang relevan dengan KBM 4. Berdiskusi/bertanya antara siswa dan guru 5. Berdiskusi/bertanya antar siswa dan siswa 6. Perilaku yang tidak relevan dengan KBM
19%
5.7 6.9
23% 18%
5.4
12%
3.6
23%
6.9
5%
1.5
Jika hasil pada Tabel 3 dirujuk pada kriteria PWI aktivitas siswa (Tabel 1), maka deskripsinya tampak pada diagram di bawah ini. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa pada Tatap Muka II 40 35
Prosentase
30 25
Infimum interv al PWI
20
Rata-rata Prosentase
15
Suprimum interv al PWI
10 5 0 1
2
3
4
5
6
Kategori Aktivitas Siswa
Diagram di atas menunjukkan bahwa hanya kategori aktivitas 2, 3 dan 6 yang memenuhi kriteria PWI sedangkan kategori aktivitas 1, 4, dan 5 belum memenuhi kriteria PWI. Menurut kriteria tambahan kategori aktivitas 4 dan 5 harus memenuhi kriteria PWI. Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa selama pertemuan II belum ideal. C. Analisis data aktivitas siswa dalam pembelajaran pada Pertemuan III Data aktivitas siswa yang diobservasi pada pertemuan III selanjutnya diolah dengan langkah-langkah 1 dan 2. Hasilnya tampak pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa Selama Pertemuan III KATEGORI AKTIVITAS
RATA-RATA TIAP TM FREKW. PROSENTASE 207
1. Mendengar/memperhatikan penjelasan guru/teman 2. Membaca (Buku Siswa, LKS) 3. Menulis yang relevan dengan KBM 4. Berdiskusi/bertanya antara siswa dan guru 5. Berdiskusi/bertanya antar siswa dan siswa 6. Perilaku yang tidak relevan dengan KBM
15%
4.5 6.6 5.4
22% 18% 16%
4.8
26%
7.8
3%
0.9
Jika hasil pada Tabel 3 dirujuk pada kriteria PWI aktivitas siswa (Tabel 1), maka deskripsinya tampak pada diagram di bawah ini. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa pada Tatap Muka II 40 35
Prosentase
30 25
Infimum interv al PWI
20
Rata-rata Prosentase
15
Suprimum interv al PWI
10 5 0 1
2
3
4
5
6
Kategori Aktivitas Siswa
Diagram di atas menunjukkan bahwa semua kategori aktivitas memenuhi kriteria PWI. Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa selama pertemuan III termasuk ideal. C. Analisis data aktivitas siswa dalam pembelajaran pada pertemuan IV Data aktivitas siswa yang diobservasi pada setiap pembelajaran selama pertemuan II selanjutnya diolah dengan langkah-langkah 1 dan 2. Hasilnya tampak pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa Selama Pertemuan IV KATEGORI AKTIVITAS 1. Mendengar/memperhatikan penjelasan guru/teman 2. Membaca (Buku Siswa, LKS) 3. Menulis yang relevan dengan KBM 4. Berdiskusi/bertanya antara siswa dan guru
RATA-RATA TIAP TM FREKW. PROSENTASE 3.0 7.2 5.7 5.1
10% 24% 19% 17%
208
5. Berdiskusi/bertanya antar siswa dan siswa 6. Perilaku yang tidak relevan dengan KBM
30%
9.0
0%
0.0
Jika hasil pada Tabel 3 dirujuk pada kriteria PWI aktivitas siswa (Tabel 1), maka deskripsinya tampak pada diagram di bawah ini. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa pada Tatap Muka II 40 35
Prosentase
30 25
Infimum interv al PWI
20
Rata-rata Prosentase
15
Suprimum interv al PWI
10 5 0 1
2
3
4
5
6
Kategori Aktivitas Siswa
Diagram di atas menunjukkan bahwa semua kategori aktivitas memenuhi kriteria PWI. Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa selama pertemuan IV termasuk ideal. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data aktivitas siswa dalam pertemuan I, II, III dan IV, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran STAD cukup efektif mengkondisikan siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
Pada
pertemuan I dan II, guru masih mengalami kesulitan untuk menghilangkan dominasinya atas situasi kelas, tetapi pada pertemuan III dan IV guru berhasil menghilangkan dominasinya dan memberi keleluasaan kepada siswa untuk mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada pertemuan III dan IV, aktivitas aktif siswa seperti membaca, menulis, berdiskusi dan bertanya kepada guru atau kepada temannya mendapat proporsi waktu yang cukup besar jika dibandingkan dengan proporsi waktu aktivitas pasif siswa mendengarkan penjelasan/informasi dari guru/teman. Dalam pembelajaran ini, siswa tidak lagi bersifat pasif tetapi aktif mengonstruksi secara individu, bekerja sama menganalisis pemecahan masalah, berdiskusi baik 209
dalam kelompok maupun antar kelompok dan mempersentasikan hasil konstruksi pengetahuan mereka di depan kelas. Perilaku belajar siswa selama kegiatan pembelajaran sangat relevan dengan tuntutan kurikulum matematika 2006 dan ciri khas belajar menurut pandangan konstruktivistik yaitu pembelajaran berpusat pada aktivitas siswa dan siswa secara leluasa aktif dalam mengonstruksi sendiri pengetahuan matematikanya. DAFTAR PUSTAKA Eggen, P.D & Kauchak, D.P. 1988. Strategies for teacher: Teaching Content and Thinking Skill. Allyn and Bacon: Boston Ibrahim, Muslimin., dan Nur, Mohamad (2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA University Press. Salajang, S.M.. 2007. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Konstruktivistik dengan Advance Organizer (Model Konstad). Unesa : Program Pascasarjana. Slavin, R. E. (2000). Educational Psychology-Theory and Practice. Edisi 6. Boston : Allyn and Bacon. Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta : Dirjen Dikti, Depdiknas. Suparno, Paul (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius. Suwarsono, St. (2003). Media Pembelajaran (Teori-Teori Perkembangan Kognitif Dan Proses Pembelajaran Yang Relevan Untuk Pembelajaran Matematika), Jakarta : Proyek Peningkatan Mutu SLTP, Direktorat Pend. Lanjutan Pertama, Depdiknas Tam, Maureen (2000). Constructivism, Instructional Design, and Technology: Implications for Transforming Distance Learning. Educational Technology & Society 3(2) 2000 ISSN 1436-4522.
210
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO MEMBENTUK PENGUASAAN KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PESERTA PPL-1 DALAM BIMBINGAN LATIHAN MENGAJAR MELALUI LESSON STUDY . Sumarno Ismail Program Studi Pendidikan Matematika FMIP Universitas Negeri Gorontalo
[email protected]
ABSTRAK Penguasaan keterampilan dasar mengajar mutlak bagi tenaga pengajar, karena dengan penguasaan itu melaksanakan pembelajaran tidak menjadi suatu beban. Terdapat 8 keterampilan dasar mengajar meliputi : (1) keterampilan membuka dan menutup pelajaran keterampilan bertanya, ( ) keterampilan menjelaskan, keterampilan memberi penguatan, (5) keterampilan mengadakan variasi, (6) keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil, (7) keterampilan mengelola kelas dan (8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan. Untuk dapat menguasainya harus melalui proses latihan terbimbing, berlapis, terencana secara sistematis dan kontinu. Proses ini dapat dilakukan melalui strategi lesson study dengan 4 tahapan yakni Condisioning-Planning-Doing-Seeing (CoPlan-Do-See). Strategi lesson study diartikan sebagai suatu keterampilan mengatur aktivitas dalam pembelajaran yang dikaitkan dengan usaha untuk menguasai keterampilan dasar mengajar melalui latihan terbimbingan dan mandiri. Kata Kunci: Keterampilan dasar mengajar, strategi lesson study
PENDAHULUAN Dalam pembelajaran ada dua kemampuan pokok yang harus dikuasai dan dimilki oleh seorang guru termasuk maha siswa program studi pendidikan matematika sebagai calon guru, yakni (1) menguasai substansi materi atau bahan ajar yang akan dibelajarkan (what to teach) dan (
menguasai atau memiliki berbagai keterampilan untuk
membelajarkannya (how to teach). Bagi mahasiswa program studi pendidikan termasuk pendidikan matematika sebagai calon guru matemtika terdapat 8 keterampilan dasar mengajar yang harus dibentuk untuk dikuasai.
Proses pembentukan penguasaan 8
keterampilan dasar mengajar itu mula-mula melalui latihan yang terbimbing dalam bentuk pembelajaran sesama teman (peer teaching). Keterampilan dasar mengajar (teaching skills) sebagai kemampuan bersifat khusus yang harus dimiliki oleh guru agar dapat melaksanakan tugas mengajar secara efektif, efisien dan professional. Dengan demikian keterampilan dasar mengajar berkenaan dengan
keterampilan atau kemampuan yang bersifat mendasar dan harus dikuasai oleh
guru dalam melaksanakan tugas mengajarnya. Keterampilan dasar mengajar mutlak dimiliki dan dikuasai oleh tenaga pengajar, karena dengan keterampilan dasar mengajar memberikan pengertian lebih dalam tentang mengajar.
211
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO Ketarampilan dasar mengajar sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai sumber
termasuk yang disebutkan oleh Dadang Sukirman (2013) bahwa keterampilan dasar mengajar adalah keterampilan yang bersifat generik/mendasar/umum dan kompleks yang harus dikuasai oleh setiap guru. Terdapat 8 keterampilan dasar mengajar sebagaimana yang disebutkan oleh Tunney 1998 yang selanjutnya diuraikan di dalam Pedoman PPL Universitas Negeri Gorontalo (2013: 3 - 4) meliputi : (1) keterampilan bertanya, (2) keterampilan memberi penguatan, (3) keterampilan mengadakan variasi, (4) keterampilan menjelaskan, (5) keterampilan membuka dan menutup pelajaran, (6) keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil, (7) keterampilan mengelola kelas dan (8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan. Penguasaan teoretis terhadap 8 keterampilan dasar mengajar dimaksud tidak cukup hanya dihafal, tetapi harus dilatih dan dilakukan melalui bimbingan latihan mengajar terbatas (micro teching). Latihan mengajar dilakukan dalam bentuk mengajar sesama teman dalam satu kelompok yang diasuh oleh dosen pembimbing. Mengingat setiap jenis keterampilan dasar mengajar erat kaitannya satu sama lain dan bersifat aplikatif, maka untuk menguasainya harus dilakukan melalui latihan di depan kelas. Latihan dilakukan secara teratur dan dalam mekanisme aktivitas yang terkontrol, teramati dan padu. Proses pembimbingan kepada mahasiswa peserta PPL- bertujuan untuk ( ) membentuk penguasaan dengan mempraktikkan setiap jenis ketarampilan dasar mengajar, (2) meningkatkan penguasaan substansi mata pelajaran yang dibelajarkan, (3) memberikan pengalaman mengajar secara dini sebelum melakukan pembelajaran pada kelas yang sesunggunya (real class). Fakta yang diperoleh dalam pelaksanaan PPL-1 di Program Studi Pendidikan Matemika bahwa latihan keterampilan dasar mengajar dilakukan melalui pengajaran terbatas umumnya belum dilakukan dengan proses berlapis dan kontinu sebagai berikut : a. Merencanakan keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus latihan/praktik; b. Setiap mahasiswa secara bergilir mempraktikkan keterampilan dasar mengajar yang sudah dipersiapkan; c. Pengamatan terhadap keterampilan yang menjadi fokus praktik bagi setiap mahasiswa; d. Umpan balik secara bersama-sama kepada setiap praktikan dengan memperhatikan komponen keterampilan yang dipraktikkan.
212
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dalam proses pembimbingan ada pembimbing memberi kesempatan kepada mahasiswa melatihkan semua keterampilan dasar mengajar dan mengamati secara komprehensif semua jenis keterampilan tersebut. Sebaiknya proses bimbingan praktik mengajar dilakukan dalam rangkaian aktivitas sebagai be rikut:
Banyak hal positif berupa hubungan fungsional, pengaruh, dan pengembangan dalam pembelajaran yang diperoleh akibat dari penerapan lesson study dalam pembelajaran matematika antara lain temuan Rustono (2008) dalam penelitiannya Meningkatkan Kemampuan Peserta Didik Menerapkan Strategi Pembelajaran Melalui Lesson Study menemukan bahwa Lesson Study sebagai model pembinaan guru yang bersifat kolaboratif dan kolegaliatif dapat dimanfaatkan
sebagai model bimbingan
pengajar oleh dosen terhadap mahasiswa. Lesson study sebagai suatu model yang digunakan untuk bimbingan mengajar bagi mahasiswa, karena di dalam model tersebut dikembangkan kerja kelaboratif, kolegial dan saling menguntungkan dalam belajar (mutual learning). Fakta teoretis ini menunjukkan bahwa lesson study dapat digunakan untuk mengatur, melatih dan membimbing mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu lesson study juga dapat membuat mahasiswa lebih termotivasi belajar dengan demikian turut meningkatkan hasil belajar mereka. Sejalan dengan ini Siska Candra Ningsih (2013 : 382) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa rata-rata motivasi, keaktifan dan hasil belajar mahasiswa mencapai 82.75%. Memperhatikan fakta-fakta di atas sangat berlasan bahwa lesson study dapat digunakan sebagai salah satu
strategi yang dapat digunakan untuk membentuk
penguasaan mahasiswa terhadap 8 keterampilan dasar mengajar.
213
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tinjauan Keterampilan Dasar Mengajar Proses penguasan keterampilan dasar mengajar dapat diperoleh melalui tiga kegiatan yakni (1) menguasai konsep keterampilan dasar mengajar, (2) membedakan dan mengaitkan jenis-jenis keterampilan dasar mengajar, dan (3) terampilan menerapkan setiap jenis keterampilan dasar mengajar dan mampu memadukannya. Dadang Sukirman (2013 : 3) menjelaskan bahwa keterampilan dasar mengajar (teaching skills) merupakan kemampuan yang bersifat khusus (most specific instructional behaviours) yang harus dimiliki untuk melakukan tugas mengajar secara efektif, efisien dan professional. Pendapat di atas menunjukkan bahwa ketrampilan dasar mengajar merupakan himpunan kemampuan atau keterampilan yang sifatnya mendasar, harus dimiliki, tidak berdiri sediri dan diaktualisasikan oleh guru dalam pelaksanaan tugasnya. Ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru yaitu (1) kompetensi pedagogik, (2) komptensi kepribadian, (3) kompenesi social, dan (4) kompetensi professional. Keterampilan dasar mengajar merupakan kemampuan atau keterampilan pokok (basic skills) yang harus dikuasai oleh setiap guru. Oleh sebab itu keterampilan dasar mengajar termasuk di dalam kompetensi professional. Karena dalam penerapannya harus disesuaikan dengan segala macam keadaan pembelajaran, maka keterampilan dasar mengajar tidak dapat dipisahkan dari kompetensi pedagogik. Sebagai kemampuan atau keterampilan pokok dan bersifat khusus, maka mahasiswa sebagai calon guru wajib menguasai dan mampu mengaktualisasikan jenis-jenis keterampilan dasar mengajar dalam pembelajaran. Berbagai sumber tertulis menyebutkan bahwa keterampilan dasar mengajar terdiri dari 8 jenis yakni : (1) keterampilan membuka dan menutup pelajaran, (2) keterampilan menjelaskan (3) keterampilan bertanya, (4) keterampilan memberi penguatan, (5) keterampilan mengadakan variasi, (6) keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil, (7) keterampilan mengelola kelas dan (8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan. Kedelapan jenis keterampilan dasar mengajar tersebut satu dengan yang lain saling terkait. Pokok pandangan di dalam uraian ini memberikan acuan kepada dua hal yaitu (1) pengauasaan substansi materi pelajaran dan (2) penguasaam 8 keterampilan dasar mengajar dari maha siswa. Oleh sebab itu terkait dengan latihan keterapilan dasar mengajar kepada maha siswa sebagai calon guru, maka salah satu alternatif urutan latihan keterampilan dasar mengajar dapat dipilih sebagai berikut: 1) Keterampilan membuka dan menutup pelajaran; Membuka pelajara sebagai kegiatan awal yang dimaksudkan untuk mengkondisikan peserta didik (siswa) sedemikian sehingga mereka termotivasi secara pisik maupun psikhis dan siap melakukan aktivitas pembelajaran, memberikan acuan terhadap kompetensi, menunjukkan kaitan substansi materi pembelajaran . Penutup pelajaran pada dasarnya sebagai aktivitas mengakhir pembelajaran. Melalui kegiatan ini peserta didik dipastikan sudah memiliki pengalaman belajar yang utuh sesuai dengan perencanaan pembelajaran. Jadi menutup pembelajaran sebagai bagian integral dari pembelajaran yang dimaksudkan untuk megecek capaian kompetensi, memberikan rangkuman, kesimpulan, memberikan materi untuk pendalaman, dan mengingatkan komptenis selanjutnya.
214
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2) Keterampilan bertanya; Bertanya merupakan salah satu aktivitas yang selalu ada dalam proses komunikasi, memberi stimulus kepada peserrta didik dalam bentuk kalimat tanya yang membutuhkan jawaban. Pertanyaan yang diajukan sangat ditentukan oleh fungsi dari pertanyaan itu. Dalam pembelajaran pertanyaan dapat berfungsi untuk meningkatkan aktivitas peserta didik, menuntun atau membangun proses berpikir, membangkitkan rasa ingin tahu atau untuk memusatkan perhatian. Banyak hal yang harus menjadi pertimbangan dalam mengajukan pertanyaan antara lain (a) ungkap pertanyaan secara jelas, (b) memilik acuan supaya tidak membingungkan, (c) menyebar kepada seluruh peserta didik, (d) memperhatikan jedah waktu untuk peserta didik memikirkan jawaban, (e) jika pertanyaan tidak mendapatkan jawaban, maka diajukan dengan kalimat yang lain yang ebih mudah sehingga lebih dimengerti peserta didik dan (f) memperjelas informasi yang sudah diterima peserta didik. Wujud sebuah pertanyaan bisa berperan sebagai (a) memperjelas jawaban yang sudah diberikan, (b) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengungkap alasan, fakta atau pandangan atau memberikan contoh, (c) untuk mendapatkan kesepakatan, (d) menuntun peserta didik melengkapi jawaban, (e) mengembangkan jawaban sedemikian sehingga jawaban yang lebih komplek. 3) Keterampilan menjelaskan; Menjelaskan merupakan keterampilan yang utama dalam pembelajaran matematika dan tidak terpisah dari penguasaan materi pelajaran. Hal ini dilatarbelakangi oleh objek matematika yang abstrak dan terdiri dari fakta, konsep, operasi dan prinsif. Menjelaskan objek matematika dalam pembelajaran sangat erat kaitannya dengan penyajian materi pelajaran. Menyajikan materi pelajaran dapat diartikan sebagai usaha untuk mengorganisasikan materi pembelajaran dalam tata urutan fungsional, terencana secara sistematis. Menjelaskan dalam hal ini berti menyampaikan informasi secara lisan kepada peserta didik untuk mengkondisikan siswa belajar dan mengembangkan kemampuan bagaimana berpikir untuk pemecahan masalah.Oleh sebab itu perlu diperhatikan hal-hal berikut : (a) menggunakan bahasa sesuai dengan perkembangan peserta didik, (b) mengungkap dengan lancar dan menghindari kata yang tidak perlu dan berulang, (c) kalimat disusun dengan tata bahasa yang baik dan mudah dimengerti, (d) menghindari istilah yang meragukan seperti kira-kira, mungkin, apa dulu, kalau tidak salah dan yang sejenisnya, (e) suara yang jelas kata-katanya, dan (f) memungkinkan tumbuhnya pengaruh mendidik (nurturant effec). 4) Keterampilan mengadakan variasi; Variasi dalam pembelajaran adalah perubahan aktivitas yang sengaja dilakukan guru dengan maksud untuk menghidarkan kemonotonan yang berakibat kebosanan, motivasi belajar yang tidak putus, pemenuhan gaya belajar peserta didik yang
215
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
beraneka rangam. Dari berbagai sumber teori dapat dirangkum bahwa variasi dalam pembelajaran meliputi: a. Variasi gaya mengajar, antara lain berupa : variasi suara, variasi gerak badan dan mimik, mobilitas posisi, memusatkan perhatian, membuat kesenyapan sejenak, memberi kontak pandang. b. Variasi penggunaan media dan bahan pembelajaran, antara lain berupa : variasi alat dan bahan yang dapat dilihat,didengar, diraba dan dimanipulasi. c. Variasi pola interaksi dan kegiatan. Variasi interaksi berbentuk klasikal, kelompok dan perorangan. Variasi kegiatan berupa : demonstrasi, diskusi, latihan, menelaah materi, atau praktikum dan yang sejenisnya. 5) Keterampilan memberi penguatan; Penguatan adalah tanggapan guru terhadap perilaku peserta didik yang memungkinkan dapat membesarkan hati peserta didik agar lebih terpacu dalam interaksi pembelajaran. Pengauatan verbal adalah aktivitas guru untuk merespon kegiatan peserta didik berupa kata-kata atau gerakan-gerakan menjadi hal yang penting di dalam pembelajaran. Kata-kata atau komentar berupa pujian dalam ungkapan antara lain: bagus, baik sekali, saya puas dengan jawabanmu, sebaiknya kalian mencontoh temanmu ini, dapat membuat peserta didik lebih percaya diri dan terdorong untuk berperan aktif dalam pembelajaran. Penguatan dapat pula dilakukan dengan non-verbal misalnya cara menunjukkan mimik dan gerak badan simpati, mendekati dan sentuhan, memberi hadiah dan kegiatan menyenangkan. Hal yang mendasar dan menjadi prinsip pemberian penguatan adalah : (a) kehangatan dan keantusiasan. Kata atau ungkapan disertai dengan menunjukkan suara simpati, senyum dan berbagai gerakan menyenangkan. (b) Kebermaknaan, penguatan yang diberikan membuat peserta didik merasakan dihargai sehingga tumbuh dan meningkat perannya dalam pembelajaran. (c) Hindari kata-kata atau ungkapan mencela atau mengejek respon peserta didik yang tidak sesuai dengan harapan misalnya jawaban salah. (d) Penguatan berikan dengan segera dan bervariasi. Setiap respon positif segera diringi dengan penguatan sesuai dengan sasarannya baik ditujukan kepada individu, kelompok atau seluruh peserta didik. 6) Keterampilan mengelola kelas; (1) Menciptakan dan mempertahankan iklim belajar yang optimal. Keterampilan ini membutuhkan kemampuan guru untuk meninisiatifkan kegiatan pembelajaran yang optimal, efisien, dan efektif. Oleh sebab itu guru harus : (a) Tanggap terhadap karakteristik peserta didik, menguasai materi dan strategi pembelajaran; (b) Menguasai cara membagi perhatian; (c) Menguasai cara memusatkan perhatian individu, kelompok dan kelasikal; (d) Tepat memberikan petunjuk kepada peserta didik; € Terampil memberikan penguatan. ) Mengembalikan kondisi belajar yang optimal. Untuk hal ini guru harus: (a) memiki penguasaan tentang cara memodifikasi tingkah laku yang menyimpang; (b) terampil pengelolaan aktivitas belajar dalam
216
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kelompok dan (c) mampu menemukan dan memecahkan tingkah laku yang menimbulkan masalah. 7) Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil. Untuk memaksimalkan ktivitas peserta didik di dalam pembalajaran antara lain dilakukan melalui diskusi dan perhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Rencanakan sebaik-baiknya masalah, sistematika diskusi, peran setiap anggota kelompok, tujuan yang harus dicapai. b. Pada saat diskusi berlangsung guru harus cermat memperhatikan interaksi di dalam kelompok. c. Lakukan pengendalian terhadap aktivitas kelompok jika terdapat pergeseran atau penyimpangan dari pokok masalah diskusi di kelompok. d. Berikan arahan atau tuntunan sedemikian sehingga kelompok bisa mengkonstruksi dan menemukan penyelesaian masalah yang didiskusikan. e. Jika terjadi bebedaan pandangan sehingga kelompok tidak sampai pada suatu kesimpulan, maka guru harus memposisikan diri sebagai penyeimbang. f. Perjelas semua gagasan menuju kepada kesimpulan penyelesaian masalah yang didiskusikan dengan mengungkap ide pokok dari kelompok. 8) Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan. Aktivitas mengajar kelompok kecil dan perorangan umumnya terjadi jika guru melaksanakan pembelajaran secara kelasikal. Keterampilan mengajar kelompok kecil adalah kemampuan guru melayani kegiatan peserta didik dalam belajar berkelompok dengan jumlah peserta didik berkisar antara 3 - 5 orang setiap kelompoknya. Sedangkan keterampilan dalam pengajaran perorangan atau pengajaran individual adalah kemampuan guru dalam pembelajaran dengan memperhatikan tuntutantuntutan atau perbedaan-perbedaan individual peserta didik. Terkait dengan hal tersebut Putu Sutrisna (2011) memberikan menyebutkan gunakan pendekatan perorangan dengan memperhatikan hal-hal berikut : (1) guru harus menampilkan kehangatan kepada peserta didik, (2) guru harus peka terhadap peserta didik dan kebutuhan peserta didik, (3) guru perlu mendengarkan secara simpati dan merespon secara positif terhadap pikiran peserta didik dan membuat hubungan yang saling percaya, (4) guru bisa membantu peserta didik jika peserta didik mengahadapi masalah. Strategi Lesson Study Dalam Pembimbingan Latihan 8 Keterampilan Dasar Mengajar Strategi yang dimaksud di dalam kajian ini diartikan sebagai suatu keterampilan mengatur aktivitas dalam pembelajaran yang dikaitkan dengan usaha untuk menguasai keterampilan dasar mengajar melalui pembimbingan. Pelaksanaannya mengikuti rangkaian aktivitas sebagaimana yang ditunjukkan pada diagram 1. Dari berbagai sumber teori dan hasil penelitian diperoleh bahwa aktivitas dalam strategi lesson study dilaksanakan dalam rangkaian siklus kegiatan: Planning-DoingSeeing (Plan-Do-See). Untuk keperluan pembimbingan kepada mahasiswa dalam
217
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menguasai 8 keterampilan dasar mengajar, tiga kegiatan ini didahului dengan pengkondisian. Sehingga rangkaian satu siklus pembimbingan ada 4 aktivitas pokok strategi lesson study adalah : Condisioning-Planning-Doing-Seeing (Co-Plan-Do-See). Rangkaian aktivitas pembimbingan mahasiswa untuk menguasai keterampilan dasar mengajar digambarkan pada diagram berikut:
Diagram
: Siklus Aktivitas Pembimbingan Latihan 8 Keterampilan Dasar Mengajar dengan Strategi Lesson Study
1) Pengkondisian Tahap ini bertujuan untuk menyiapkan mahasiswa mengenal konsep 8 keterampilan dasar mengajar dan menelaah kembali hubungan konsep didalam materi pelajaran matematika SMP/MTs, SMA, SMK dan MA. Pada tahap ini aktivitas mahasiswa adalah (a) mempelajari konsep-konsep di dalam 8 keterampilan dasar mengajar, (b) menelah substansi materi pelajaran matematika yang akan diajarkan, (c) mendiskusikan permasalahan hasil bacaan yang ditemukan dari 8 keterampilan dasar mengajar. 2) Perencanaa (Plan) Pada tahap ini yang paling penting adalah menghasilkan gagasan praktik berdasarkan komponen keterampilan mengajar fokus latihan. Jika mahasiswa mengalami kesulitan dalam menemukan permasalahan pada komponen keterampilan sebagai fokus praktik, maka dosen pembimbing menunjukkan atau memodelkan. Penguasaan komponen keterampilan mengajar yang akan dipraktikkan akan membantu mahasiswa untuk mengamati terlaksananya komponen tersebut oleh koleganya. Setiap mahasiswa memilih kompotensi dasar yang akan dipraktika dan membuat catatan singkat tentang pokok materi yang dibelajarkan. Terkait dengan hal ini dipersiapkan pula hal-hal yang terkait dengan komponen keterampilan dan materi yang diajarkan. Termasuk hal yang perlu disepakati dalam perencanaan adalah proses pengamatan yang meliputi : aspek yang diamati, penguasaan materi pelajaran, alokasi waktu untuk setiap keterampilan yang menjadi fokus paraktik, proses refleksi dan tindaklanjut hasil refleksi. 3) Pelaksanaan latihan (Do) Doing (Do) pada lesson study dalam pelaksanaan bimbingan latihan keterampilan dasar mengajar ini merupakan tahap yang bertujuan untuk mengimplementasikan komponen keterampilan dasar mengajar yang telah dirancangan. Fokus pengamatan
218
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
bukan hanya pada sikap penampilan mahasiswa yang mengajar, tetapi lebih diarahkan pada terlaksanan dengan sebaik mungkin komponen keterampilan dasar mengajar. Setiap mahasiswa secara bergilir menjadi guru model untuk mepraktikkan keterampilan dasar yang sudah direncanakan. Sebagai model berarti mahasiswa dituntuk untuk mampu mempertunjukkan komponen-komponen keterampilan dasar mengajar. Mahasiswa yang lain mengamati dan mencatat kelebihan dan kekurangan yang teramati. Dalam kelompok bimbingan peer teaching ini, mahasiswa lain disamping sebagai pengamat mereka juga berperan sebagai peserta didik (siswa). Dalam peran sebagai siswa yang perlu diperhatikan adalah mahasiswa berperilaku sebagai siswa yang sesuai dengan materi pelajaran yang diajarkan (SMP/MTs atau SMA/SMK/MA). Dosen pembimbing mengamati dan mencatat penguasaan materi pelajaran dan seluruh komponen keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik. 4) Refleksi (See) Rekaman seluruh aktivitas praktik diungkap secara terbuka pada tahapan ini. Pengungkapan aktivitas praktik tidak dimaksudkan untuk membuat praktikan tersajung dengan kelebihannya atau terpejokkan dengan kekurangannya dalm keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik. Tetapi kelebihan dan kekurangan dari seorang mahasiswa pada keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik menjadi pengalaman kepada mahasiswa lain. Kekurang salah seorang mahasiswa pada keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik harus diperbaiki oleh mahasiswa lain pada giliranya mempraktikan keterampilan dasar yang sama. Manfaat yang diperoleh dari refleksi ini adalah setiap mahasiswa dapat meniru dan meningkatkan kelebihan koleganya dan menghidari kekurangan yang sama pada giliranya mempraktikan keterampilan dasar yang sama. Aktivitas refleksi dilaksakan dalam tahapan sebagai berikut: a. Penyampaian kesan dari pengalaman praktikan Praktikan mengungkap kesan-kesannya dalam melaksanakan praktik keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik (latihan). Kelebihan dan kekurangannya dalam praktik diungkap sendiri oleh mahasiswa baik yang berkaitan dengan komponen keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik maupun penguasaan materi pelajaran. b. Penyampaian tanggapan dari mahasiswa lain Wujud tanggapan dapat berupa pujian, krtik dan saran terhadap pelalsanan latihan keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik. Kritik dan saran diarahkan dalam rangka peningkatan kualitas praktik dan disampaikan secara bijak tanpa merendahkan atau menyakiti hati mahasiswa model. Masukan yang positif dapat digunakan untuk merancang kembali pembelajaran yang lebih baik. c. Penyampaian tanggapan dari dosen pembimbing. Dosen pembimbing mengungkap catatannya berhubungan dengan keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik. Peran dosen pembimbing adalah (1) memberikan penguatan kepada kelebihan-kelebihan mahasiswa model dan
219
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO menjadikan contoh kepada mahasiswa lain untuk mempraktikkan keterampilan dasar mengajar yang sama, (2) memberikan solusi permasalahan yang dialami oleh mahasiswa model, (3) menunjukkan contoh menghindari kekurangan mahasiswa model pada saat melaksanakan keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik. Hal yang terpenting dari pelaksanaan refleksi adalah memaknai apa yang bisa dipelajari dari praktik keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik. Refleksi harus segera setelah setiap mahasiswa model berakhir melaksanakan latihan keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik.
METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah deskriftif. Deskripsi didasarkan pada akumulasi data kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh pada setiap tahapan strategi lesson study setiap fokus praktik. Oleh sebab itu pendekatan yang digunakan bersifat kualitatif-kuantitatif atau kuantitatif-kualitatif. Data dikumpulkan pada saat mahasiswa melakukan diskusi persiapan materi dan keterampilan yang menjadi fokus praktik dan pada saat praktik pembelajaran peer teaching. Data kuantitatif tentang keterampilan mengajar diperoleh dari daftar komponen keterampilan dasar mengajar. Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi penilaian keterampilan dasar mengajar
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian tentang keterampilan dasar mengajar untuk dan oleh 5 subjek Diagram 1: Hasil Penilaian Keterampilan Dasar
penelitian disajikan di dalam diagram berikut: Tergambar dari data hasil penelitian bahwa mahasiswa sudah menguasai konsep 8 ketarampilan dasar mengajar. Berdasarkan kriteria ketuntasan minimal skor 70, hasil
Keterampilan Dasar
Kode Subjek:
yang ditunjukkan dari diagram bahwa skor
yang diperoleh mahasiswa sudah berada di atas kriteria. Hal ini bisa dicapai karena perlakuan dalam perencanaan adalah mahasiswa mempelajari semua kompenen keterampilan yang menjadi fokus praktik. Selanjutnya mendeskripsi secara tertulis apa saja yang dilakukan di dalam praktik keterampilan tersebut. Deskripsi aktifitas itu selanjutnya didiskusikan dan diberi masukan oleh sejawat. Setelah itu mahasiswa
220
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO melaksanakan simulasi praktik mengajar dengan ketermpilan yang menjadi fokus prkatik. Hal ini yang membuat mahasiswa semakin kaya dengan informasi tentang melaksanakan keterampilan dasar fokus prkatik. Ditinjau dari mahasiswa sebagai subjek dalam penelitian ini, digarma 2 menunjukkan bahwa terdapat satu subjek dengan kode M5 yang memiliki rata-rata
skor tidak terlalu jauh dari batas ketuntasan minimal. Tetapi secara keseluruhan rata-rata skor keberhasilan dari ke lima subjek penelitian adalah 87,73. Keberhasilan ini tentu merupakan salah satu akibat dari perlakuan yang didasarkan strategi lesson sudy dalam pembimbingan 8 keterampilan dasar mengajar.
SIMPULAN Memperhatikan temuan teoretis seperti yang disajikan di atas, dapat disimpulkan babarapa hal sebagai berikut: 1) Untuk membuat mahasiswa menguasai 8 keterampilan dasar mengajar harus dilakukan dalam proses latihan mengajar yang terecana, bertahap, berlapis sistematis dan berkelanjutan. 2) Proses latihan dapat dilakukan berdasarkan strategi lesson study dalam 4 tahapan yakni condisioning, (2) planning, (3) doing dan (4) seeing. Keempat tahapan dari strategi ini merupakam rangkaian tidak putus dari Condisioning-PlanningDoing-Seeing (Co-Plan-Do-See). 3) Kontribusi nyata dan positif dari strategi lesson study ini terhdap penguasaan keterampilan dasar mengajar melalui latihan mengajar dalam bentuk bimbingan peer teaching.
DAFTAR PUSTAKA Cholis Sa'dijah. 2010. Aktivitas dan Respon Calon Guru Dalam Penerapan Lesson Study Pada Pembelajaran Matematika Berbahasa Inggris di SMA Negeri 3 Malang. Prosiding Seminar Nasilan Lesson Study 3. Peran lesson Study Dalam Meningkatkan Profesionalitas Pendidik. Jurusan Matemalika FMIPA Universitas Negeri Malang
221
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dadang Sukarman. 2013. Keterampilan Dasar Mengajar. Tersedia pada http://pujakesumaputrasurya.blogspot.com/2013/09/8-keterampilan-dasar-mengajaryang.html (28 Februar 2015; 20,43 Wita) Dwikoranto Meningkatkan Profesionalisme Guru MIPA Melalui Implementasi Lesson Study Berbasis MGMP di Kota Surabaya. Proseding Seminar Nasional Pembelajaran Matematika Sekolah Untuk Mencaapai Keunggulan Bangsa. Yogyakarta, 6 Desember 2009. ISBN : 978- Heni Purwati , Supandi. 2011. Meningkatkan Kompetensi dan Profesionalisme Dosen Melalui Lesson Study. Online Tersedia pada http://portalgaruda.org/article.php?article=6861&val=527#page=1&zoom=aut
o,-
(3 Maret 2015: 23.05 Wita)
Lewis, C, Perry, R., Hurd,J.,& O'Connel, M. P. 2006. Teacher collaboration: Lesson study omes ofage in North America. Tersedia pada http://www.Lessonresearch.net/LS_06Kappan. (20 Desember 2014) Lise Chamisijatin. 2014. Implementasi Lesson Study untuk Meningkatkan Pelaksanaan Pendekatan Scientific Guru IPA SMP Muhammadiyah 6 Kabupaten Malang. Malang. Universitas Muhammadiyah Malang.
Pusat PPL Universitas Negeri Gorontalo. 2013. Pedoman PPL. Gororntalo. Universitas Negeri Gorontalo Putu Sutrisna. 2011. Komponen 8 Keterampilan Dasar Mengajar. Tersedia pada. http://putusutrisna.blogspot.com/2011/04/komponen -komponen-8keterampilan.html, (28 Februar 2015; 20,43 Wita) Rustono W.S. 2008. Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa Menerapkan Strategi Pembelajaran Melalui Lesson Study Di Sekolah Dasar “JURNAL Pendidikan Dasar “ Nomor: - Oktober 2008 Siska Candra Ningsih. 2013. Implementasi Lesson Study Dalam Upaya Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajaran Mahasiswa. Volume 1. Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Sudrajad, A. 2008. Lesson study Untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Pembelajaran. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/22/lesson-study-untuk-meningkatkanproses-dan-hasilpembelajaran/. Januari 2015; 20,43 Wita)
222
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
MENINGKATKAN AKTIFITAS UNTUK HASIL BELAJAR INDIVIDU PADA MATERI POKOK UKURAN PEMUSATAN SUATU DATA YANG DISAJIKAN MELALUI DIANGRAM MELALUI PEMBELAJARAN SISTEM TAMU Satra Hamzah Guru Matematika SMK Negeri 4 Kota Gorontalo
[email protected]
ABSTRAC Peran guru sebagai perencana dan pelaksana pembelajaran harus bisa memposisikan siswa sebagai subjek dan objek pembelajaran. Usaha ini harus dilakukan untuk memberi kesempatan maksimal kepada setiap siswa untuk aktif dalam belajar. Untuk menciptakan suasana pembelajaran aktif dapat dilakukan dengan menggunakan pembelajaran kooperatif. Berbagai meodel pembelajaran matematika telah dikembangkan untuk maksud di atas, salah satu dari model pembelajaran itu adalah model pembelajaran kelompok atau Cooperative Learning. Gejala yang ditemukan bahwa akitivitas siswa pada pembelajaran kooperatif dalam mata pelajaran matematika masih tetap didominasi oleh siswa pintar atau siswa yang berani mengeluarkan pendapat. Sehingga siswa yang pintar semakin pintar dan siswa yang memiliki kemampuan rendah tidak bisa menyesuaikan dengan siswa yang pintar. Kondisi ini ditanggulangi dengan implementasi pembelajaran sedemikian sehingga siswa menunjukkan intesitas aktifitas belajar yang baik, maka akan berimbas kepada peningkatan hasil belajarnya. Implementasi pembelajaran kooperatif pada pembelajaran matematika yang dimaksud adalah teknik sistem tamu. Teknik sistem tamu memiliki karakteristik yang dapat meningkatkan intesitas aktifitas belajar siswa, karena teknik ini menuntut peran aktif siswa dalam menerima, mengkaji untuk menguasai dan mengkomunikasikan kembali informasi. Kata Kunci : Aktivitas individu, Hasil Belajar, Teknik Sistem Tamu
PENDAHULUAN Fakta yang sering ditemukan di dalam pembelajaran matematika bahwa siswa lebih bermasalah dalam menentukan ukuran pemusatan jika data-data tersebut diagram, seperti berikit. Kondisi pembelajaran
disajikan dalam
matematika yang diharapkan terjadi adalah
pembelajaran aktif, efektif, kreatif dan menyenangkan. Sebagian besar guru matematika masih mengakui bahwa dalam pembelajaran matematika, aktivitas belajar senantiasa didominasi oleh siswa yang memiliki kemampuan akademik yang lebih tinggi. Tetapi ada pula ditemukan bahwa kadang-kadang siswa yang memiliki akademik lebih tinggi tetapi tidak menunjukkan aktivitas belajar yang lebih dibandingkan dengan siswa lain. Apalagi siswa dengan kemampuan akademik yang berada pada tingkat rata-rata atau di bahwa rata-rata hampir dipastikan kreativitas belajar mereka belajar di dalam kelas juga relatif rendah.
223
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kondisi pembelajaran matematika yang diharapkan terjadi adalah pembelajaran aktif, efektif, kreatif dan menyenangkan. Empat kondisi ini sangat diharapkan baik oleh guru maupun oleh siswa. Akan tetapi fakta yang ditemukan belum seperti ini, oleh sebab itu beberapa pertanyaan yang bisa diajukan adalah: a. Guru harus melakukan apa dalam pembelajaran matematika untuk dapat mengaktifkan setiap siswa secara maksimal? b. Strategi pembelajaran matematika seperti apa yang harus direncanakan agar intensitas aktivitas belajar siswa dalam kelompok dapat memberi kontribusi kepada hasi belajar secara individu dalam pembelajaran ukuran pemusatan yangdisajikan dalam diagram ?. c. Bagaimana melaksanakan pembelajaran ukuran pemusatan atau tendensi sentral jika data disajikan dalam bentuk diagram sedemikian sehingga siswa meningkat intensitas aktivitas belajarnya.
Orientasi Pembelajaran Kooperatif Teknik Sistem Tamu Dalam Pembelajaran Ukuran Pemusatan Membisakan pembelajaran yang terpusat pada siswa merupakan salah satu usaha untuk menyahuti pergeseran paradigma pembelajaran dari pembelajaran tepusat pada guru kepada paradigma pembelajaran terpusat pada siswa. Inovasi dalam strategi pembelajaran merupakan hal harus dilakukan guru untuk maksud tersebut. Guru matematika sebagai perencana dan pelaksana pembelajaran perlu menetapkan kegiatan inovatif untuk pembelajaran matematika berdasarkan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut: 1) Menciptakan Kondisi Pembelajaran dengan Pengetahuan dan pengalaman bermakna. Aktivitas belajar kelompok di dalam kelas harus dikondisikan untuk dapat memberi pengaruh kepada aktivias seluruh siswa pada kelompok dan seluruh siswa di dalam kelas. Kontribusi aktivatas kelompok tersebut dilakukan untuk memberi hasil belajar siswa pada matematika sebagai pengetahuan yang ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa. 2) Menciptakan Kondisi Pembelajaran Untuk siswa membangun pengetahuan secara aktif. Hal pokok yang harus disadari dalam pembelajaran adalah bahwa belajar adalah statu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Siswa menggunakan panca inderanya untuk mengamati, menanya, mengolah informasi, menalar dan mengkomunikasikan hasil belajarnya. Oleh sebab itu Anderson & Armbruster (dalam Anita Lie, 4:2004) mengemukakan bahwa penyusunan pengetahuan yang terus-menerus menempatkan siswa sebagai peserta yang aktif.
224
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
3) Menciptakan Kondisi Pembelajaran Untuk Mengembangkan Kompetensi Siswa Di dalam diri siswa tersimpan sejumlah poensi yang dapat dikembangkan melalui pembejaran matematik. Potensi itu dapat dikembangakn dengan memberi peran aktif secara kelompok atau secara perorangan. Pemberian kesempatan belajar itu memberikan penekanan kepada siswa melakukan proses dari pada hasil. Hal ini sejalan dengan paradigma bahwa setiap siswa memiliki kompetensi yang dapat dikembangkan melalui proses belajar. 4) Menciptakan Kondisi Pembelajaran Untuk Iklim Interaksi Multi Arah Kegiatan pembelajaran matematika merupakan suatu proses yang terjadi karena adanya interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru maupun interaksi pribadi. Belajar merupakan suatu proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing siswa berinteraksi dengan yang lain dan membangun pengertian dan pengetahuan secara bersama-sama, Empat pokok pikiran di atas mengaharuskan suasana pembelajaran matematika perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi ini siswa akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk menciptakan proses belajar yang saling menguntungkan sehingga berpengaruh kepada peningkatan hasil belajar siswa. Dalam suatu kajiannya Anita Lie (2004:7) menyebutkan bahwa suasana belajar kooperatif mengahasilkan prestasi yang lebih tinggi, hubungan positif, dan penyesuain psikologi yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh dengan kompetisi. Implementasi Cooperatif Learning Teknik Sistem Tamu Dalam Pembelajaran Matematika Falsafah yang mendasari cooperatif learaning adalah homo homini socius. Falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Kerjasama merupakan hal yang sangat penting artinya dalam kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama tidak akan ada individu, keluarga dan yang lebih luas dari itu. Untuk menggunakan Cooperatif Learning termasuk sistem tamu dalam pembelajaran matematika perlu diperhatikan 5 (lima) unsur, sebagaimana dikemukakan oleh Roge dan David Johnson (dalam Anita Lie, 2004:31) yakni: (1) saling ketergantungan positif, (2) tanggungjawab perorangan, (3) tatap muka, (4) komunikasi antara anggota dan (5) evaluasi proses kelompok. Pendapat ini dikembangkan dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Saling Ketergantungan Positif Kelompok-kelompok yang dibentuk dalam pembelajaran terdiri dari anggota-anggota yang memiliki tugas dan tanggungjawab untuk kemajuan belajar dalam kelompok.Tugas dan tanggungjawab tersebut merupakan suatu rangkaian kegiatan. Untuk menciptakan rangkaian
225
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kerja kooperatif yang efektif guru perlu menyusun tugas sedemikian sehingga setiap anggota kelompok memiliki tugas dan tanggungjawab yang berbeda tetapi dalam satu kesatuan untuk tugas dan tanggungjawab kelompok. Dengan demikian setiap siswa di dalam kelompok tersebut mendapat kesempatan untuk meberikan sumbangan aktivitasnya kepada kelompok. Pemikiran sisi positifnya adalah siswa yang memiliki kemampuan yang kurang merasa terhargai, tidak minder, bahwa meraka akan terpacu untuk meningkatkan usaha mereka dan dengan demikian akan menaikkan kemampuan belajar mereka. 2) Tanggungjawab Perseorangan Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur pertama, karena keberhasilan aktivitas kelompok sangat tergantung dari aktivitas individau. Oleh sebab itu perencanaan kegiatan individu dalam cooperatif learning sangat ditentukan oleh perencanaan pembelajaran yang dirumuskan oleh guru. 3) Tatap Muka Setiap anggota kelompok secara bersama-sama dan berkelanjutan harus diberi kesempatan untuk berinteraksi langsung (tatap
muka). Interaksi ini akan menciptakan sinergitas
(ketergantungan yang saling menguntungkan) semua anggota kelompok. Dasar pemikiranya adalah hasil pemikiran dari banyak orang adalah lebih baik dari hasil pemikiran dari satu orang. Inti dari sinergitas itu adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Sinergitas tidak didapatkan begitu saja dalam sekejap, tetapi melalui proses kelompok yang cukup panjang. 4) Kemunikasi Antar anggota Melalui unsur ini dikehendaki bahwa siswa dilatih untuk mampu berkomunikasi baik secara lisan maupun secara tertulis. Peran guru pada unsur ini sangat dibutuhkan untuk mengarahkan para siswa sehingga mampu menunjukkan kemampuan berkemunikasi dengan baik, sebagai salah satu dari akibat pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional siswa. 5) Evaluasi Proses Kelompok. Dua hal menjadi sasaran evaluasi dalam pembelajaran matematika adalah evaluasi proses dan evaluasi hasil kerja sama kelompok. Untuk itu guru perlu merencanakan waktu pelaksanaan evaluasi. Evaluasi proses ditujukan untuk mengetahui aktivitas siswa di dalam kegiatan belajar, berupa: (a) partisipasi anggota kelompok, (b) usaha siswa membantu anggota kelompok, (c) terjadi saling bertanya dan saling meberi jawaban atau mengajukan pendapat terhadap sesuatu yang menjadi masalah kelompok, (d) peran masing-masing anggota
226
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kelompok dalam menyelesaikan tugas dan tangungjawab masing-masing untuk keberhasilan kelompok. Memperhatikan pokok-pokok pikiran dan unusr-unsur cooperative learning maka penggunaannya dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan beberapa cara yakni : pertama memanfaatkan tugas pekerjaan rumah. Membentuk siswa menjadi beberapa kelompok dengan banyaknya anggota kelompok 2 – 5 orang setiap kelompok. Siswa diberi tugas untuk membandingkan hasil pekerjaan antara anggota yang satu dengan anggota yang lain di dalam kelompoknya. Kedua, pembahasan materi baru. Aktivtas siswa dalam membahas materi baru, didahului dengan informasi berupa mendemonstrasikan suatu teknik baru yang dapat digunakan untuk menghitung, memecahkan masalah, menggambar grafik, membuktikan teorema. Selanjutnya siswa bergabung dalam kelompok-kelompok yang telah ditetapkan untuk mengkaji pengembangan materi atau membahas soal/masalah. Aktivtas siswa selanjutnya adalah mengkomunikasikan hasil kerja kelompok kepada kelompok lain. Jika diperlukan selanjutnya guru memberikan penegasan terhadap pekerjaan kelompok yang membutuhkan penjelasan atau klarifikasi. Masalah yang perlu disiapkan guru harus dibuat sedemikian rupa sehingga saling membutuhkan antara anggota kelompok yang satu dengan teman kelompoknya dalam penyelesaian masalah tersebut. Pengelompokan Dalam Cooperative Learning Teknik Sistem Tamu Untuk mengoptimalkan aktivitas siswa di dalam Cooperative Learning pada pembelajaran matematika, keanggotaan sebaiknya heterogen, baik dari kemampuan akademik maupun karakteristik lainnya. Untuk menjamin keheterogenan kelompok, gurulah yang membagi kelompok. Pengelompokan heterogenitas (kemacamragaman) merupakan ciri yang mononjol dalam pembelajaran Cooperative Learning.
System Tamu Dalam Pembelajaran Cooperative Learning. Salah satu yang menandai komitmen terhadap tugas guru adalah melakukan inovasi pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Pembelajaran cooperative learning dapat dilaksanakan dengan berbagai teknik. Teknik yang sudah sering digunakan guru adalah
jigsaw, stad dan kelompok penyelidik. Selain teknik-teknik yang
dsebutkan di atas masih terdapat beberapa teknik pembelajaran kooperatif yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika salah satu diantaranya adalah teknik sistem tamu (Visitor System).
227
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Struktur kegiatan sistem tamu ini memberi kesempatan kepada kelompok untuk mengkomunikasikan hasil bahasan kelompoknya kepada kelompok lain. Secara garis besar ada aktivitas siswa yang tumbuh pada kegiatan kelompok ialah: (1)
siswa bekerja sama dalam kelompok seperti biasa
(2)
setelah selesai, satu orang pada kelompok itu tetap tinggal pada kelompoknya dan anggota yang lain berkunjung ke kelompok lainnya. Siswa yang tinggal bertugas memberikan penjelasan hasil kerja kelompoknya kepada siswa yang dari kelompok lain.
(3)
setelah selesai pemberian penjelasan dan diskusi pada saat kunjungan, tamu kembali kekelompok mereka sendiri dan secara bergilir melaporkan informasi dan hasil diskusi mereka dengan kelopok lain.
(4)
setiap siswa membuat kesimpulan dari seluruh informasi yang mereka peroleh.
Empat aktivitas di atas dapat dirinci melalui langkah-langkah kegiatan sebagai berikut: Tahap I (1) guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai; (2) guru menjelaskan pokok-pokok materi (3) bentuk kelompok dengan banyaknya anggota kelompok sama dengan jumlah masalah yang akan dibahas; Tahap II (4) setiap kelompok diberikan satu masalah untuk didiskusikan pemecahannya dalam waktu yang ditentukan; (5) setelah waktu yang ditentukan selesai, mintalah masing-masing kelompok menyepakati anggotanya yang akan berkunjung ke kelompok yang lain dan salah seorang lainnya menunggu tamu dari kelompok lain; (6) siswa yang bertamu akan mendiskusikan pemecahan masalah yang telah didiskusikan oleh kelompok yang dikunjunginya; Tahap III (7) anggota kelompok yang bertamu kembali ke kelompoknya, secara bergilir menjelaskan kembali apa yang telah mereka terima. (8) setiap siswa meberikan laporan individu dari semua masalah yang dibahas; (9) guru memberikan penegasan pada pokok-pokok materi.
228
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Konseptual dan Hipotesis Koseptual Tiga hal yang menjadi target penerapan teknik system tamu dalam pembelajaran kooperatif adalah (1) pengembangan aktivitas belajar dan (2) memaksimalkan aktivitas individu dalam pembelajaran matematika dan (3) peningkatan penguasaan siswa terhadap materi yang dibelajarkan. Dalam pengembangan aktivitas belajar terdapat tiga kemampuan yang dikembangkan pada siswa yakni (1) tanggungjawab akademik (2) sosial akademik dan (3) mempublikasikan hasil kerja. Tiga kemampuan akademik ini akan memberi dampak positif terhadap peningkatan penguasaan dalam menghitung rata-rata, median dan modus. Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan konseptual yang dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis bahwa ”Jika dalam pembelajaran ukuran pemusatan suatu data yang disajikan dengan grafik digunakan pembelajaran teknik system tamu, maka aktivitas kelompok dapat meningkatkan aktivitas individu”.
METODE PENELITIAN Seting Penelitian Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMK Negeri 4 Gorontalo, pada siswa kelas XII Jurusan Akuntansi tahun pelajaran 2014/2015. Siswa dikelas ini berjumlah 21 orang terdiri dari masing-masing 4 siswa laki-laki dan 17 orang siswa perempuan. Di kelas ini terdapat 15 % siswa yang sering menunjukkan aktivitas lebih dari siswa lainnya., 25 %
siswa yang
memberi respon nyata jika ditunjuk dan
60 %
menunjukkan aktivitas nyata di dalam kelas jika diberikan bimbingan langsung secara individu. Siklus Tindakan Secara skematik desain tindakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Instrumen Penelitian Instrumen penelitian meliputi lembar pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran, lembar balikan dari siswa dan instrumen hasil belajar berupa tes tertulis essay.
229
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Indikator Keberhasilan Tolok ukur keberhasilan tindakan adalah rata-rata perkembangan hasil belajat adalah: a.
Minimal 85% siswa memperoleh skor ≥ 75
b.
Minial 85% siswa menunjukkan perkembangan hasil belajar yang baik.
Untuk skor perkembangan hasil belajar siswa didasarkan pada kriteria seperti yang dikemukakan Slavin,Robert. E, (1995).berikut:
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran Ukuran Pemusatan
Aktivitas siswa dalam kegiatan kelompok diamati
dalam
tanggungjawab
4
indikator, akademik
yanki (2)
(1)
sosial
akademik dan (3) publikasi hasil kerja kelompok.pada masing-masing pembelajaran yakni
pembelajaran
I
sampai
dengan
230
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pembelajaran III disajikan pada diagram 1.1. Dalam tiga rangkaian pembelajaran telah diperoleh data aktivitas belajar siswa pada setiap siklus. Aktifitas belajar pada setiap kelompok disiklus 1 menunjukkan bahwa aktifitas siswa pada pembelajaran 2 lebih baik dari pada aktifitas siswa pada pembelajaran 1 dan pembelajaran 3. Dari data diperoleh pula bahwa aktivitas siswa dalam pembelajaran 3 lebih baik dibandingkan dengan aktivitas siswa dlam pembelajaran 1. Peninjauan terhadap beberapa langkah pembelajaran ternyata memberi akibat yang lebih baik kepada aktivitas belajar siswa. Hasil tindakan yang diperoleh pada diagram ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar cenderung memberi skor yang lebih baik. Skor aktivitas dalam pembelajaran 1 lebih baik dari pada aktivitas dalam mebelajaran 2, pembelajaran
2
dan aktivitas dalam
lebih
baik lagi pada
pembelajaran 3. Skor Hasil Belajar dan Perkembangannya Sebelum
implementasi
pembelajaran
kooperatif dengan teknik system tamu pada pembelajaran
ukuran
pemusatan
(mean,
median dan modus) dilakukan, aktivitas pembelajaran didahului dengan memberikan pre-test. Hasil pre-test ini selanjutnya dipakai sebagai dasar pengelompokan siswa. Penentuan anggota setiap kelompok didasarkan pada ranking (kemampuan akademik) yang diperoleh dari hasil pretest. Pada akhir setiap siklus pembelajaran dilakukan test yang dinamakan post-test (post-test 1 dan post-test 2). Post-test 1 dilakukan setelah pembelajaran
sklus
1
dan
post-test
2
dilakukan setelah pembelajaran sklus 2. Nomor 1 sampai dengan nomor 21 pada digram ini
adalah urutan siswa setelah
diranking berdasarkan hasil pretest. Dari diagram ini datanya menunjukkan bahwa hasil belajar siswa menunjukkan peningkatan. Hasil belajar yang ditunjukan oleh data posttest 1 lembih baik dari pada hasil pretest
231
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dan hasil pelajaran yang ditunjukkan oleh posttest 3 lebih baik dari pada hasil belajar yang ditunjukkan oleh data posttest 2. Dampak baik dari penggunaan model pembelajaran kooperatif dengan teknik system tamu dalam penelitian tidakan kelas ini persentasenya ditunjukkan pada diagram 2.1. Skor hasil belajar seperti yang disajikan pada diagram 2.1 selanjutnya digunakan untuk menentukan skor perkembangan masing-masing siswa dalam pembelajaran. Untuk skor perkembangan hasil belajar siswa pada posttest 1 didasarkan pada skor pre-test dan posttest 1. Selanjutnya skor perkembangan hasil belajar siswa pada posttest 2 didasarkan pada skor posttest 1 dan posttest 2 Berdasarkan hasil pree test, posttest 1 dan posttest 2, diperoleh hasil persentase perkembengan belajar sebagai berikut. Tabel 4.1 Persentase Poin Perkembangan Skor Perolehan Siswa Kriteria Pekembangan
0 poin 10 poin 20 poin 30 poin 40 poin
Posttest-1
0,00 42,86 4,76 23,81 28,57
Posttest-2
0,00 9,52 0,00 4,76 85,71
Terbaca dari tabel ini bahwa pada siklus 1 persestase poin perkembangan skor hasil belajar siswa sampai degan 30 poin adalah 71,43%. Hal ini dapat diperbaiki pada siklus 2 sehingga menghasilkan persentase poin perkembangan 30 poin – 40 poin adalah 90,47%.
KESIMPULAN Memperhatikan hasil pelaksanaan penelitain tindakan kelas ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Aktivitas belajar individu pada siswa kelas XII Akuntansi SMK Negeri 4 Gorontalo pada materi ukuran pemusatan yang disajikan dalam diagram dapat ditingkatan dngan pembelajan kooperatif teknik system tamu. 2) Aktivitas belajar dalam kelompok memberi kontribusi positif terhadap perkembangan akativitas belajar individu, sehingga berpengaruh pada perkembangan hasil belajar atau ketuntasan kompetensi pada materi pokok ukuran pemusatan 3) Pembelajaran kooperatif dengan teknik system tamu dapat menumbuhkan tanggungjawab akademik, mengembangkan sikap sosial akademik dan menumbuhkan kemampuan mempublikasikan hasil kerja kelompok.
232
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR PUSTAKA Abdulrahman, Mulyono, (2000). Memahami dan menangani siswa dengan problema dalam belajar, Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Atik Winarti, (2001). Inquiri, Bertanya dan Refleksi dalam CTL (Makalah), Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas. Fadjar Shadiq, (2004). Strategi Pembelejaran Matematika. Yogyakarta: P3G Yogyakarta. Hadianto, Umar, (2009). Efektivitas Pembelajaran Kooperatif dengan Grup Investigastion Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Motivasi Berprestasi (Tesis). Surakarta: Univeritas Sebelas Maret. Ibrahim, Muslinin, dkk. (2000), Pembelajaran Kooperatif, Surabaya: University Press. Ismail, (2001). Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pada Sub Pokok Bahasan Persamaan Garis Lurus I (Makalah) , Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Johnson, Eaine B. (2002), Contextual Teaching and Learning (What it is and why it’s here to stay), California; Corwin Press, Inc Masriyah, (2001). Pengajaran Langsung Pada Pokok Bahasan Menggambar Grafik Fungsi Kuadrat (Makalah), Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Nur, Muhamad, (2000). Strategi-strategi Belajar, Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah Unesa. ------------------, (2001). Asesment Dalam Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual, Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Santoso, (2002), Komik Mencerdaskan Bangas, Kompas 2002 Slavin, Robert. E, (1995). Cooperative Learning (Theory, Research, and Parctice). Boston: Allyn and Bacon Soedjadi, R, (1999/2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.
233
ABSTRAK Pembelajaran Matematika Dengan Melibatkan Otak Kiri dan Otak Kanan Dalam Pemrosesan Informasi Magy Gaspersz Pembelajaran yang melibatkan optimalnya penggunaan otak kiri dan otak kanan secara seimbang akan memberikan respon positif pada siswa dalam berpikir dan bertindak. Oleh karena itu pembelajaran harus dapat melibatkan gambar, warna, dimensi atau ruang sehingga lebih mudah diingat. Otak kiri dan otak kanan tidak berfungsi secara sendiri- sendiri, namun akan berfungsi secara bersama - sama dalam menerima dan memroses informasi. Sehingga diharapkan guru bisa merancang pemebelajaran yang melibatkan keseimbangan otak kiri dan otak kanan. Matematika sebagai alat untuk mengembangkan ketajaman berpikir siswa yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah yaitu bernalar dan berpikir secara logis, analitis, kritis, kreatif dan bekerja sama. Pembelajaran matematika akan lebih menyenangkan jika adanya keseimbangan antara otak kiri dan otak kanan dalam pemrosesan informasi. Sehingga sistem pembelajaran emosional otak dalam menentukan individualitas seseorang memungkinkan pembelajaran menjadi menyenangkan bagi siswa dan membuat koneksi antara belahan otak kiri dan otak k anan menjadi lebih cepat dan siswa dapat berpikir tentang pemecahan masalah matematika. Kata kunci : Pembelajaran Matematika Otak Kiri danOtak Kanan, Pemrosesan Informasi
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting dari pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Untuk itu matematika dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan ketajaman berpikir siswa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan mempelajari
matematika siswa diharapkan dapat bernalar dan berpikir secara logis, analitis, kritis, kreatif dan dapat bekerja sama (Gaspersz, 2013). Menurut Hall (Gaspersz, 2013) bahwa “duduk diam di tempat terbatas adalah salah satu hukuman yang paling berat dan dapat dijatuhkan kepada manusia. Namun inilah yang sering dilakukan kepada manusia di kelas”. Berdasarkan pendapat inilah, dalam pembelajaran guru selalu menganggap bahwa dirinya yang paling mengetahui ilmu matematika tanpa berpikir bahwa siswa juga mempunyai peranan penting dalam pencapaian keberhasilan pembelajaran. Siswa dijadikan tempat untuk menampung ilmu saja. Hal ini mengakibatkan guru tidak mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan tidak memperhatikan fakta pentingnya penggunaan otak dalam proses pembelajaran. Padahal dengan adanya perkembangan IPTEK, justru siswalah yang dijadikan sebagai sumber informasi. Berdasarkan Triune Theory yang diperkenalkan oleh Paul McClean pada tahun 1970 (Syafa’at, 2007) bahwa proses evolusi tiga bagian otak manusia yaitu otak besar (otak kiri dan otak kanan), otak tengah, dan otak kecil dengan fungsi masing-masing yang khas dan unik. Triune Theory merupakan sebuah temuan penting yang harus direspon positif oleh dunia pendidikan, terutama dalam kaitannya untuk
mengembangkan
sebuah
strategi
pembelajaran
berbasis
otak
dan
memberdayakan seluruh potensi diri siswa. Hal ini disebabkan karena kemampuan IQ dan EQ seseorang dapat ditentukan oleh proses kinerja otak kiri dan otak kanan. Kecenderungan umum yang tejadi di kelas adalah pembelajaran yang hanya memfungsikan otak kecil semata, yaitu pembelajaran yang bersifat teacher centered. Padahalnya
Pembelajaran
merupakan
faktor
yang
sangat
penting
dalam
perkembangan dan perkembangan sebagai hasil komulatif dari pembelajaran. Dalam pembelajaran terjadi proses informasi, untuk diolah sehingga membentuk hasil belajar. Proses belajar tidak berbeda halnya dengan proses menerima, menyimpan dan mengungkapkan kembali dengan informasi-informasi yang telah diterima sebelumnya. Gejala-gejala tentang belajar dapat dijelaskan jika proses belajar itu dianggap sebagai proses transformasi masukan menjadi keluaran. Sehingga dapat terjadinya proses kognitif dalam diri pembelajar melalui cara kerja otak.
PEMBAHASAN A. Pembelajaran Matematika Pembelajaran diartikan sebagai suatu upaya menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa dapat belajar. Menurut Degeng (Mataheru, 2013) pembelajaran merupakan upaya untuk membelajarkan siswa secara eksplisit terlihat bahwa dalam pembelajaran ada kegiatan memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode untuk mencapai hasil yang diinginkan. Pembelajaran merupakan proses membantu siswa untuk membangun konsep/prinsip dengan kemampuan siswa sendiri melalui internalisasi, sehingga konsep/prinsip tersebut terbentuk. Dengan proses internalisasi itu terjadilah transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru. Transformasi tersebut mudah terjadi, karena terbentuknya jaringan konsep/prinsip dalam benak siswa. Dengan demikian pembelajaran adalah mengkonstruk pemahaman dan proses membangun inilah yang lebih penting dari pada sekedar prestasi belajar. Matematika merupakan pelajaran yang memerlukan pemusatan pikiran untuk mengingat dan mengenal kembali semua aturan-aturan yang ada dan harus dipenuhi untuk menguasai materi yang dipelajari. Dengan demikian matematika adalah salah satu disiplin ilmu yang mempunyai peranan cukup besar dalam menunjang ilmu pengetahuan dan teknologi, karena penguasaan matematika menuntun siswa untuk berpikir rasional, kritis, sistematis, produktif serta lugas. Pengajaran matematika melibatkan objek kajian langsung dan tak langsung. Menurut Soedjadi (Mataheru, 2003) objek dasar matematika yang berupa fakta, konsep, operasi atau relasi, dan prinsip merupakan objek mental atau onjek pikiran. Mengingat objek dasar matematika merupakan objek mental atau objek pikiran, maka upaya untuk mengaktifkan kembali pengetahuan terdahulu dan pola berpikir yang pernah dipelajari siswa tentang matematika, bukanlah merupakan hal yang mudah. Oleh sebab itu diharapkan keterlibatan siswa secara individu aktif dalam belajar. Menurut Nikson (Ratumanan, 2004:3), pembelajaran matematika adalah suatu upaya membantu siswa untuk mengkonstruksi (membangun) konsep-konsep
atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu terbangun kembali. Dengan demikian pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai suatu upaya membelajarkan siswa tentang rangkaian konsep/prinsip matematika yang akan dibangun siswa sendiri melalui pengalaman dan kempuannya sehingga membantu siswa berpikir matematis.
B. Konsep Pemrosesan Informasi Dalam kehidupan setiap orang pasti menerima informasi yang ditangkap melalui panca indera yang dimiliki. Suara pembaca berita yang kita tangkap melalui telinga pada saat menyaksikan berita dapat kita ingat hingga beberapa jam berikutnya. Sebagian berita ada yang tetap selalu kita ingat secara detail hingga ingatan tersebut bertahan sampai beberapa tahun hingga puluhan tahun, beberapa berita kita lupa dalam waktu yang singkat pula. Robert Gagne merupakan salah satu tokoh pencetus teori pemrosesan informasi. Teori ini memandang bahwa belajar adalah proses memperoleh informasi, mengolah informasi, menyimpan informasi, serta mengingat kembali informasi yang dikontrol oleh otak. Teori belajar oleh Gagne (Hidayati, 2012) disebut dengan Information Processing Learning Theory. Teori ini merupakan gambaran atau model dari kegiatan di dalam otak manusia di saat memroses suatu informasi. Karenanya teori belajar ini disebut juga Information-Processing Model oleh Lefrancois atau ‘Model Pemrosesan Informasi’. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisikondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne (Hidayati, 2012) tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase, yaitu: 1) Motivasi 2) Pemahaman 3) Pemerolehan 4) Penyimpanan 5) Ingatan kembali 6) Generalisasi 7) Perlakuan 8) Umpan balik Informasi yang akan diingat (remembered), pertama-tama harus sampai pada indera seseorang. Kemudian diterima dan ditransfer dari register penginderaan ke memori kerja. Selanjutnya diproses lagi untuk ditransfer ke memori jangka panjang. Memori Jangka panjang
Stimulus dari luar
Register penginderaan
Lupa
Pemrosesan
awal
Pengulanga n dan pengkodean
Pemanggilan kembali
Memori jangka pendek/memori kerja
Lupa
Pengulangan
Gambar 2.1 Urutan Pemrosesan Informasi (Slavin, 2009:159) Penjelasan secara rinci tentang urutan pemrosesan informasi pada Gambar 2.1 disajikan dari tulisan Slavin (2009: 159 – 163) sebagai berikut. a. Register penginderaan. Register penginderan menerima (receive) sejumlah besar informasi dari indera (penglihat, pendengar, peraba, pembau, pengecap) dan menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat, tidak lebih dari dua detik. Bila tidak terjadi sesuatu proses terhadap informasi yang disimpan dalam register penginderaan itu, maka dengan cepat informasi itu akan hilang. Sesaat setelah
stimulus diterima oleh indera, otak segera mulai bekerja memproses stimulus itu. Oleh sebab itu, gambaran (bayangan) penginderaan yang ada dalam benak kita tidak tepat sama seperti apa yang dilihat, didengar, atau dirasakan; gambaran itu merupakan apa yang dipersepsi. Persepsi dari stimulus tidak langsung seperti penerimaan stimulus; persepsi itu dipengaruhi oleh status mental kita, pengalaman masa lalu, pengetahuan, motivasi, dan banyak lagi faktor lainnya. Keberadaan register penginderaan mempunyai dua implikasi penting dalam pendidikan. Pertama, seseorang harus menaruh perhatian pada suatu informasi bila informasi itu harus diingat. Kedua, seseorang memerlukan waktu untuk membawa semua informasi yang dilihat (seen) dalam waktu singkat masuk ke dalam kesadaran. b. Memori jangka pendek. Informasi yang dipersepsi dan mendapat perhatian dari seseorang ditransfer ke komponen kedua dari sistem memori, yaitu memori jangka pendek. “Short-term memory is a storage system that can hold a limited amount of information for a few seconds. It is the part of memory in which information that is currently being thought about is stored.” (Memori jangka pendek merupakan sistem penyimpanan yang dapat menyimpan informasi dalam jumlah yang terbatas hanya dalam beberapa detik. Memori jangka pendek merupakan bagian dari memori dan di sinilah informasi yang terkini dipikirkan disimpan). Pikiran-pikiran (thoughts) yang kita sadari pada suatu saat tertentu disimpan dalam memori jangka pendek kita. Bila kita berhenti berpikir (thinking) tentang sesuatu maka sesuatu itu akan hilang dari memori jangka pendek kita. Istilah lain untuk memori jangka pendek adalah memori kerja. Istilah ini lebih menekankan pada pengolahan yang aktif. Informasi dapat masuk ke memori kerja dari register penginderaan atau dari komponen dasar ketiga sistem memori, yaitu memori jangka panjang (long-term memory). Seringkali keduanya terjadi pada waktu yang bersamaan. Satu cara untuk menyimpan informasi di dalam memori kerja adalah memikirkan tentang informasi itu atau mengucapkannya
berkali-kali. Proses mempertahankan suatu butir informasi dalam memori kerja dengan cara latihan disebut pengulangan (rehearsal). Pengulangan sangat penting dalam belajar, karena semakin lama suatu butir informasi tinggal dalam memori kerja, semakin besar kesempatan butir informasi itu akan ditransfer ke memori jangka panjang. Tanpa pengulangan, kemungkinan butir informasi itu akan tinggal di memori kerja lebih dari sekitar 30 detik. Karena memori kerja mempunyai kapasitas yang terbatas, maka butir informasi itu dapat hilang akibat terdesak oleh informasi lainnya. c. Memori jangka panjang. “Long-term memory is that part of our memory system where we keep information for long periods of time. Long-term memory is thought to be a very large-capacity.” (Memori jangka panjang merupakan bagian dari sistem memori kita tempat kita menyimpan informasi untuk periode waktu yang pajang. Memori jangka panjang diperkirakan memiliki kapasitas yang sangat besar). Dalam kenyataannya, banyak ahli yakin bahwa kita tidak pernah melupakan informasi yang terdapat dalam memori jangka panjang, kemungkinan kita hanya sekedar kehilangan kemampuan untuk menemukan kembali informasi yang tersimpan di dalam memori kita. Kapasitas memori jangka panjang nampaknya sangat besar. Para ahli membagi memori jangka panjang menjadi tiga bagian, yaitu memori episodik, memori semantik, dan memori prosedural. Memori episodik adalah memori kita tentang pengalaman pribadi, suatu gambaran (bayangan) mental tentang sesuatu yang kita lihat atau kita dengar. Memori semantik (atau deklaratif) adalah diorganisasikan dalam suatu cara yang sangat berbeda. Memori semantik secara mental diorganisasikan dalam jaringan hubungan ide-ide yang berhubungan atau saling berkaitan dan disebut skemata. Memori semantik berisi fakta-fakta dan generalisasi informasi yang kita ketahui; konsep, prinsip, atau aturan dan bagaimana menggunakannya; dan keterampilan pemecahan masalah, dan strategi belajar kita. Memori prosedural mengacu pada “mengetahui bagaimana” (“knowing how”) sebagai lawan dari “mengetahui apa” (“knowing
that”). Memori prosedural adalah kemampuan untuk mengingat bagaimana melakukan sesuatu. C. Konsep Otak Penemuan penting dalam sejarah otak adalah kesadaran kita bahwa berbagai bagian otak mengendalikan fungsi yang berbeda-beda. Otak adalah suatu organ terpenting dalam tubuh kita karena otak mengendalikan seluruh tubuh kita. Otak yang sehat dapat menunjang daya pikir yang baik dan otak setiap manusia berbeda-beda, bahkan kembar identik sekalipun. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana otak kita bekerja. Setiap bagian otak mempunyai fungsi dan peranan masing-masing. Menurut Buzan (2011:41-42) Otak manusia berevolusi dengan urutan berikut: 1. Batang otak, mengendalikan fungsi-fungsi penyangga kehidupan dasar misalnya pernapasan dan laju denyut jantung. Mengontrol tingkat kesiagaan terhadap informasi
sensorik
yang
masuk.
Batang
otak
juga
berfungsi
dalam
mengendalikan suhu dan proses pencernaan serta menyampaikan informasi dari serebrum. 2. Serebelum atau otak kecil, mengendalikan gerakan tubuh dalam ruang dan menyimpan ingatan untuk respon-respon dasar yang dipelajari dan mengirim informasi vital melalui batang ke otak. 3. Sistem limbik, yang posisinya sedikit lebih ke depan dan terdiri atas thalamus dan ganglia basal (otak tengah). Sitem limbik penting bagi pembelajaran dan ingatan jangka pendek serta panjang dan menyimpan ingatan dari pengalaman hidup serta menjaga homeostatis di dalam tubuh (tekanan darah, suhu tubuh, dan kadar gula darah). 4. Serebrum (korteks serebral), membungkus seluruh otak dan posisinya berada di depan. Serebrum adalah karya besar evolusi alam dan bertanggung jawab atas berbagai kerterampilan termasuk ingatan, komunikasi, pembuatan keputusan, dan kreativitas. Serebrum adalah hasil evolusi yang paling mengagumkan, serebrum merupakan bagian terakhir otak yang berkembang.
Serebrum adalah bagian terbesar dalam otak. Kemampuan inteligen dan IQ seseorang di tentukan oleh kualitas pada bagian ini. serebrum atau otak besar terbagi menjadi 2 yaitu otak kanan dan otak kiri. Serebrum adalah area terpenting otak yang perlu dipahami dalam mengenali kekuatan otak. Serebrum atau otak besar terbagi menjadi 2 bagian yaitu otak kiri dan otak kanan. Otak kiri dan otak kanan merupakan bagian penting yang mengatur kemampuan pribadi seseorang. Perbedaan otak kiri dan otak kanan dapat membentuk kepribadian, sifat, karakteristik dan kemampuan yang unik dan berbeda pada diri seseorang. Otak besar adalah bagian yang memproses semua kegiatan intelektual, seperti kemampuan berpikir, menalarkan, mengingat, membayangkan, serta merencanakan masa depan. Menurut penelitian professor Roger Sperry dan timnya serta professor Robert Ornstein pada tahun 1950an dan 1960an, pada umumnya korteks serebral (serebrum) membagi tugas ke dalam dua kategori utama, yaitu tugas otak kiri dan tugas otak kanan (Buzan, 2011:48).
Gambar 2.2 Fungsi Otak (sumber: Maulana, 2014) Otak belahan kiri atau yang biasa kita sebut sebagai otak kiri berhubungan dengan kemampuan dalam berfikir rasional, logika, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika. Menurut beberapa pakar pendidikan, otak kiri merupakan pusat dari Intelligence Quotient(IQ). Sedangkan otak kanan berfungsi
dalam perkembangan Emotional Quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari, melukis dan segala jenis kegiatan kreatif lainnya.Oleh karena itu kita harus mampu menyeimbangkan antara otak kiri dan otak kanan.
D. Pembelajaran Matematika dengan Melibatkan Otak Kiri dan Otak Kanan dalam pemrosesan informasi. Mengajar adalah suatu kegiatan seni, selain itu kompetensi standar seorang pengajar harus melibatkan proses intuisi, imaginasi, ekspresi, dan improvisasi dalam mengelola proses pembelajaran. Dalam pembelajaran matematika banyak masalah yang datang dalam karakteristik matematika, medianya, atau faktor perkembangan intelektual siswa atau kompetensi gurunya (Arifin, 2009:46). Menurut Chi (Arifin, 2009:79) berdasarkan domainnya, pengetahuan yang terbangun pada diri seseorang merupakan pengetahuan deklaratif, dapat pula berupa pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif mengacu pada fakta dan keaslian. Contohnya; pengetahuan fakta-fakta dalam matematika. Sedangkan pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Pengetahuan prosedural dapat dipresentasikan sebagai seperangkat aturan membentuk pasangan antara kondisi (condition) dan tindakan (action). Pengetahuan procedural adalah langkah-langkah melakukan operasi hitung. Pengetahuan deklaratif maupun procedural dapat dipandang sebagai suatu informasi. Sehingga membangun pengetahuan dapat dipandang sebagai upaya pemrosesan informasi. Dalam proses pembelajaran matematika, pengetahuan tentang lambang sigma yang disampaikan oleh guru dengan metode ceramah kepada siswa dapat diserap oleh sebagian siswa, bagi sebagian siswa lainnya informasi tersebut begitu cepat berlalu atau terlupakan. Siswa yang dapat menyerap informasi tersebut dapat dengan tepat menulis lambang sigma lengakap dengan pengertiannya. Adapula yang mampu menulis lambang sigma tanpa memahami pengertian dari sigma tersebut. Berbagai
kemungkinan terkait dengan daya tangkap seseorang terhadap informasi yang diterima oleh panca indera memunculkan pemikiran para ahli psikologi terkait dengan memori. Salah satu kajian psikologi tersebut adalah teori pemrosesan informasi. Teori ini mengkaji tentang keterkaitan antara memori dan proses belajar seseorang. Hal ini juga sangat berhubungan dengan cara kerja otak, yaitu bagaimana sesorang dapat memfungsikan kerja otak kiri atau otak kanan. Sebagian informasi yang kita tangkap begitu saja terlupakan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Otak akan bekerja secara sinergis dan pengulangan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Contohnya; ketika guru matematika menjelaskan sejumlah istilah yang menunjuk pada bagian-bagian dari suatu lingkaran, sebagian dari unsur-unsur lingkaran tersebut dapat diingat dengan baik, tetapi ada unsure-unsur lingkaran yang dengan mudah terlupakan. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi daya ingat seseorang terhadap informasi yang telah diterima oleh panca indera. Sesaat setelah rangsangan dari luar ditangkap oleh alat indera, otak segera memproses rangsangan tersebut. Gambaran (bayangan) sensori yang ada di benak kita tidak akan tepat sama seperti aslinya. Gambaran tersebut merupakan apa yang dipersepsikan oleh alat indera kita. Persepsi atas rangsangan tidak sama sebagaimana penerimaan kita terhadap rangsangan tersebut. Persepsi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi mental, pengetahuan yang dimiliki, motivasi, pengalaman masa lalu dan faktor-faktor lainnya. Jika guru mengajar dengan memberikan gambar lingkaran yang tidak lengkap (terpotong beberapa bagian) akan dipersepsi sebagai gambar lingkaran yang utuh. Ini menunjukkan ada upaya untuk melengkapi rangsangan yang kurang lengkap. Dalam pembelajaran matematika sebaiknya digunakan buku teks yang berwarna-warni atau huruf tertentu dalam menyajikan hal-hal penting (menebalkan, memiringkan menggunakan kotak teks atau menggaris bawahi). Disamping otak kiri bekerja memroses bahasa (angka dan huruf) logika, ilmu dan matematika, secara bersamaan otak kanan harus dapat berfungsi terkait kesadaran dalam melakukan sesuatu. Menurut Buzan (2011:50) ketrerampilan yang dimiliki otak kanan yaitu melamun yang sangat penting bagi ketahanan hidup otak. Melamun memberikan
istirahat yang diperlukan kepada bagian-bagian otak yang telah melakukan pekerjaan analitis dan pengulangan, melatih pemikiran proyektif dan imajinatif, serta memberi kesempatan intuk mengintegrasikan dan mencipta. Kebanyakan genius besar menggunakan lamunan yang diarahkan untuk membantu dalam memecahkan masalah, menghasikan ide, dan mancapai tujuan. Sehingga cara kerja otak kiri dan oatak kanan dalam pemrosesan informasi dapat berfungsi secara seimbang. Menurut Jiwandono (Arifin, 2011:88) ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi kualitas ingatan terhadap suatu informasi dalam pembelajaran matematika yaitu; 1. Elaborasi (Elaboration) Elaborasi adalah proses berpikir dengan cara menambah arti suatu informasi dengan cara menghubungkan satu informasi baru dengan informasi baru lainnya atau dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Hubungan ini terjadi apabila informasi baru tersebut berhasil menyatu dalam kerangka kerja dan masuk dalam struktur kognitif atau schemata secara proporsional. Proses berpikir ini sering kita alami secara otomatis. Ketika para siswa memperagakan cara menghitung pembagian panjang, mereka teringat dengan cara-cara mereka baca di buku dan teringat dengan langkah-langkah yang dilakukannya ketika belajar di rumah. 2. Organisasi (organization). Organisasi adalah suatu proses berpikir yang berusaha menata atau menyusun butir-butir informasi sehingga membentuk suatu susunan yang tepat berdasarkan hubungan kedekatan antar informasi tersebut. Proses ini dilakukan dengan mempertimbangkan hasil elaborasi yang dilakukan pada tahap sebelumnya. Dengan demikian, apabila informasi yang diterima oleh seseorang sudah terorganisir dengan baik, sudah barang tentu tahap ini sudah tidak dilakukan
lagi.
Materi
pelajaran
atau
bahan
ajar
matematika
yang
diorganisassikan dengan baik akan lebih mudah dipelajari dan diingat oleh siswa daripada yang diingat secara acak dan sepotong-sepotong. 3. Konteks. Informasi yang diterima akan mudah diingat kembali apabila kita berada pada konteks, lingkungan, atau suasana yang sama seperti ketika kita menerima
informasi tersebut. Dalam pembelajaran matematika, kegiatan belajar akan lebih baik jika materi yang dipelajari dikaitkan dengan konteks yang relevan. Walaupun konteks yang relevan tersebut tidak berada dalam kelas, tetapi cukup dengan dibayangkan saja. Konteks yang relevan ini dapat berupa contoh-contoh obyek tentang dunia nyata (realistic), yaitu ketika belajar tentang lingkaran, bayangan siswa diarahkan pada benda-benda berbentuk lingkaran. Berdasarkan tiga faktor di atas, maka bagaimana proses pembelajaran matematika terjadi sehingga guru dapat menyesuaikan pola berpikir siswa dalam menerima informasi
dan memroses informasi
yang diterima serta dapat
menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan. Jika seseorang memiliki kelemahan pada area tertentu, baik itu otak kiri atau kanan dan sering dilatih terus menerus maka kinerja orang tersebut akan lebih menguat.
PENUTUP A. KESIMPULAN Pembelajaran melatih pengetahuan seseorang dan pengetahuan yang dibangun dalam diri seseorang meliputi pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Sehingga dalam prosesnya membangun pengetahuan dapat dipandang sebagai upaya pemrosesan informasi. Dalam pemrosesan informasi terdapat tiga urutan, yaitu register penginderaan, memori jangka pendek (short term memory) dan memori jangka panjang (long term memory). Sebagaimana pemrosesan informasi, otak manusia juga bekerja berevolusi dengan urutan batang otak, serebelum (otak kecil), sistem limbik (otak tengah) dan serebrum (otak besar; oatk kiri dan otak kanan). Otak kiri dan otak kanan merupakan area terpenting karena otak kiri dan kanan dapat mengendalikan
14
semua ingatan dan keterampilan pembelajaran. Otak kiri dan kanan mempunyai fungsi
dan
kerja
masing-masing.
Sehingga
seseorang
harus
dapat
menyeimbangkan cara kerja otak kiri maupun otak kanan. Hal ini mengakibatkan bahwa jika seseorang hanya memfungsikan salah satu sisi otak kiri atau kanan maka akan membentuk kebiasaan-kebiasaan dominan yang lebih memilih kegiatan yang dikendalikan sisi otak tersebut dan akan mengurangi potensi keseluruhan otak secara drastis. Pembelajaran matematika lebih memfungsikan cara kerja oatak kiri, namun seseorang harus dapat melatih keseimbangan otak sehingga disamping kecenderungan terhadap matematika, bahasa, dan ilmu pengetahuan
dalam
prosesnya secara bersamaan otak kanan dapat difungsikan dalam seni, musik, dan pengajaran keterampilan berpikir terutama berpikir secara kreatif.
B. SARAN Adapun saran yang dapat penulis sampaikan dalam penulisan makalah ini yaitu: 1. Dalam proses belajar matematika hendaknya guru memberikan kesempatan yang cukup bagi siswa untuk memroses ulang informasi yang baru diperolehnya
dengan
cara
mengucapkan
atau
menuliskan
kembali,
memikirkan atau mengaitkanya dengan konsep lain yang relevan. 2. Guru dapat mendukung siswa untuk mencapai proses pembelajaran yang baik sesuai dengan kemampuan kerja otak siswa yang dapat memfungsikan otak kiri dan otak kanan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. Z. 2009. Membangun Kompetensi Pedagogis Guru Matematika (Landasan Filosofi, Histori, dan Psikologi). Surabaya: Lentera Cendika
15
Buzan. T. 2011. Buku Pintar. Mind Map. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Gaspersz, M. 2013. Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pendekatan Brain Based Learning. Prosiding. Seminar Nasional Pembelajaran Matematika yang Berkualitas dalam Menumbuhkan Karakter Bangsa. Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unpatti. Hidayah,
I. E. 2012. Pemrosesan Informasi. pendidikan11086ilamaefha.wordpress.com
http://teknologi
Mataheru, W. 2013. Penanaman Nilai-nilai Melalui Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika. Prosiding. Seminar Nasional Pembelajaran Matematika yang Berkualitas dalam Menumbuhkan Karakter Bangsa. Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unpatti. Maulana, I. 2014. http://iskamaulana.blogspot.com/2014/fungsi-otak-kanan-dankiri-html Ratumanan, T. G. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Unessa University Press Slavin. 2009. Educational Psychology, Theory and Practise. Ninth Edition. America: Allyn and Bacon Soedjadi. R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Naaasional
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENENTUAN PEMENANG TENDER PENGADAAN BARANG DAN JASA DENGAN MENGGUNAKAN SIMPLE ADDITIVE WEIGHTING METHOD (SAW) (Studi Kasus : Pengadaan Barang dan Jasa di LAPAN, Rumpin)
Imam Nurhadi Purwanto 1 , Agus Widodo 2 , Indah Yanti 3 1
Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Brawijaya, Email :
[email protected] 2 Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Brawijaya, Email :
[email protected] 3 Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Brawijaya, Email :
[email protected]
Abstrak. Penentuan pemenang tender merupakan pekerjaan yang cukup kompleks. Hal ini karena pemilihan pemenang menggunakan berbagai kriteria. Jika dalam menentukan pemenang dikelola secara profesional, maka diperoleh perusahaan terbaik dalam hal mutu dan kelayakan barang/jasa yang ditawarkan. Pada penelitian ini dibuat sebuah sistem pendukung keputusan untuk memudahkan pihak panitia pengadaan dalam proses penentuan pemenang tender. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam membuat sebuah sistem pendukung keputusan, diantaranya Simple Additive Weighting Method (SAW). Metode SAW dikenal sebagai metode penjumlahan terbobot. SAW merupakan metode yang efektif dan efisien, karena selain mudah dipahami, metode ini tidak membutuhkan waktu yang lama dalam penggunaannya. Ada beberapa kriteria yang menjadi dasar pengambilan keputusan, antara lain administrasi, teknis, harga, dan kualifikasi. Sementara itu, alternatif yang digunakan berupa perusahaan yang mendaftar menjadi peserta. Adapun langkah dalam menggunakan metode SAW adalah mengategorikan kriteria yang bersifat keuntungan dan kriteria yang bersifat biaya, menentukan bobot preferensi, membuat matriks keputusan, melakukan proses normalisasi dan diakhiri dengan proses perangkingan. Hasilnya adalah PT. Platinum Network Indonesia menempati urutan pertama dengan nilai preferensi 13,8000, PT. Palapa Network Nusantara menempati urutan kedua dengan nilai preferensi 11,6667 dan PT. Indonesia Super Corridor menempati urutan ketiga dengan nilai preferensi 9,7500. Kata Kunci: Simple Additive Weighting, tender
PENDAHULUAN Persoalan pengambilan keputusan dalam penentuan pemenang tender menjadi kompleks karena banyaknya alternatif yang digunakan. Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang dapat memperhitungkan segala kriteria dan mendukung pengambilan keputusan guna membantu, mempercepat dan mempermudah proses pengambilan keputusan dalam menentukan pemenang tender, salah satu metode yang lebih praktis dari pada metode Analytic Hierarchy
249
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Proccess (AHP) diantaranya adalah Simple Additive Weighting Method (SAW). Metode SAW dikenal sebagai metode penjumlahan terbobot. Menurut Fishburn (1967) dan MacCrimmon (1968), konsep dasar metode SAW adalah mencari penjumlahan terbobot dari rating kinerja pada setiap alternatif pada semua atribut. Pada artikel ini, metode SAW dijadikan sebagai solusi alternatif dalam menentukan pemenang tender dengan studi kasus di LAPAN, Rumpin.
METODOLOGI Pengolahan
data
dengan
menggunakan
metode
SAW
dimulai
dengan
mengategorikan kriteria yang bersifat keuntungan dan kriteria yang bersifat biaya. Kriteria yang bersifat keuntungan, jika semakin besar nilainya maka semakin menguntungkan perusahaan yang mengadakan tender dan untuk kriteria yang bersifat biaya, jika semakin besar nilainya maka semakin merugikan perusahaan yang mengadakan tender. Kemudian, menentukan bobot preferensi dan dilanjutkan dengan membuat matriks keputusan. Setelah itu, melakukan proses normalisasi matriks keputusan (X) ke suatu skala yang dapat diperbandingkan dengan semua rating alternatif yang ada. 𝑥𝑖𝑗 jika 𝑗 adalah atribut keuntungan (𝑏𝑒𝑛𝑒𝑓𝑖𝑡) Max 𝑥𝑖𝑗 𝑟𝑖𝑗 = Min 𝑥𝑖𝑗 jika 𝑗 adalah atribut biaya (𝑐𝑜𝑠𝑡) { 𝑥𝑖𝑗 dimana 𝑟𝑖𝑗 adalah rating kinerja ternormalisasi dari alternatif 𝐴𝑖 pada atribut 𝐶𝑗 ; 𝑖 = 1,2, … , 𝑚 dan 𝑗 = 1,2, … , 𝑛. Terakhir, melakukan proses perangkingan, yaitu menghitung nilai preferensi untuk setiap alternatif (𝑉𝑖 ) diberikan sebagai: 𝑛
𝑉𝑖 = ∑ 𝑤𝑗 . 𝑟𝑖𝑗 𝑗=1
Nilai 𝑉𝑖 yang lebih besar mengindikasikan bahwa alternatif 𝐴𝑖 lebih terpilih. Perhitungan metode SAW menggunakan bantuan software MATLAB. Alternatif yang digunakan dalam artikel ini berupa perusahaan yang mendaftar menjadi peserta, yaitu sebagai berikut.
A. PT. Palapa Network Nusantara. B. PT. Platinum Network Indonesia. C. PT. Indonesia Super Corridor. D. PT. Cyber Network Indonesia. 250
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
E. PT. Melvar Lintasnusa. F. CV. Sumber Makmur Kencana. G. Baratum Teknologi. H. PT. Pika Media Komunika. I.
PT. Ditalent Putri.
J.
PT. Pacific Dwitama Karsa.
K. CV. Prima Sentosa. L. PT. Nilakandi. M. PT. Link Net. N. PT. Incosyndo Perkasa. O. PT. Citra Buana Nusa. P. PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Q. PT. Mora Telematika Indonesia. R. PT. Pusuk Buhit Lestari. S. PT. Indo Loran Widia Jaya. ASUMSI Batasan-batasan masalah yang menjadi asumsi dasar artikel ini sebagai berikut. Penentuan kriteria dan bobot antarkriteria yang digunakan dalam artikel ini mengacu pada Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Adapun kriteria yang digunakan adalah administrasi (C1), teknis (C2), harga (C3), dan kualifikasi (C4). HASIL DAN PEMBAHASAN
Menentukan Pemenang Tender Menggunakan Metode SAW Kriteria yang digunakan dalam menentukan pemenang tender secara elektronik adalah administrasi, teknis, harga, dan kualifikasi. Kriteria yang bersifat keuntungan adalah administrasi dan kualifikasi sedangkan kriteria yang bersifat biaya adalah teknis dan harga. Setelah itu, menentukan bobot preferensi. Bobot
251
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
preferensi ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan setiap kriteria. Adapun bobot preferensi yang diberikan sebagai berikut: 𝑊 = (5, 4, 3, 2),
dengan menggunakan skala 1 sampai 5, dimana: 1 = Sangat rendah, 2 = Rendah, 3 = Cukup, 4 = Tinggi, 5 = Sangat tinggi. Kemudian, membuat model (matriks keputusan) untuk metode SAW. Model (matriks keputusan) untuk metode SAW dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Model (Matriks Keputusan) untuk Metode WP Kriteria
Kriteria
Alternatif
Alternatif C1
C2
C3
C4
C1
C2
C3
C4
A
0,95
0,15
0,20
1
K
0,50
0,55
0,55
0,70
B
1
0,10
0,15
0,90
L
0,45
0,60
0,60
0,60
C
0,85
0,20
0,25
0,85
M
0,45
0,70
0,60
0,60
D
0,85
0,25
0,30
0,90
N
0,40
0,70
0,65
0,55
E
0,80
0,25
0,35
0,90
O
0,30
0,75
0,70
0,50
F
0,75
0,30
0,40
0,80
P
0,25
0,80
0,75
0,40
G
0,75
0,35
0,40
0,80
Q
0,20
0,85
0,80
0,30
H
0,70
0,40
0,45
0,90
R
0,15
0,90
0,90
0,20
I
0,60
0,45
0,50
0,85
S
0,10
0,90
0,95
0,10
J
0,55
0,50
0,50
0,75
Selanjutnya melakukan proses normalisasi. Perhitungan normalisasi dimulai dengan kriteria yang bersifat keuntungan. 𝑟𝑖𝑗 =
𝑥𝑖𝑗 Max 𝑥𝑖𝑗
252
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kriteria administrasi: 0,95 0,95 = = 0,9500 max {0,95; 1; 0,85; … ; 0,20; 0,15; 0,10} 1 1 1 = = = 1,0000 max {0,95; 1; 0,85; … ; 0,20; 0,15; 0,10} 1
𝑅11 = 𝑅21
. . . 0,15 0,15 = = 0,1500 max {0,95; 1; 0,85; … ; 0,20; 0,15; 0,10} 1 0,10 0,10 = = = 0,1000 max {0,95; 1; 0,85; … ; 0,20; 0,15; 0,10} 1
𝑅181 = 𝑅191
Kriteria kualifikasi: 1 1 = = 1,0000 max {1; 0,90; 0.85; … ; 0,30; 0,20; 0,10} 1 0,90 0,90 = = = 0,9000 max {1; 0,90; 0.85; … ; 0,30; 0,20; 0,10} 1
𝑅14 = 𝑅24
. . . 0,20 0,20 = = 0,2000 max {1; 0,90; 0.85; … ; 0,30; 0,20; 0,10} 1 0,10 0,10 = = = 0,1000 max {1; 0,90; 0.85; … ; 0,30; 0,20; 0,10} 1
𝑅184 = 𝑅194
Kemudian melakukan proses normalisasi untuk kriteria yang bersifat biaya. 𝑟𝑖𝑗 =
Min 𝑥𝑖𝑗 𝑥𝑖𝑗
Kriteria teknis: min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,10 𝑅12 = = = 0,6667 0,15 0,15 min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,10 𝑅22 = = = 1,0000 0,10 0,10
. . . min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,10 = = 0,1111 0,90 0,90 min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,10 = = = 0,1111 0,10 0,90
𝑅182 = 𝑅192
Kriteria harga: min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,15 𝑅13 = = = 0,7500 0,20 0,20
253
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,15 = = 1,0000 0,15 0,15
𝑅23 =
. . . min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,15 = = 0,1667 0,90 0,90 min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,15 = = = 0,1579 0,95 0,95
𝑅183 = 𝑅193
𝑅 dapat ditulis kembali dalam bentuk matriks menjadi: 0,9500 1,0000 0,8500 0,8500 0,8000 0,7500 0,7500 0,7000 0,6000 𝑅 = 0,5500 0,5000 0,4500 0,4500 0,4000 0,3000 0,2500 0,2000 0,1500 [0,1000
0,6667 1,0000 0,5000 0,4000 0,4000 0,3333 0,2857 0,2500 0,2222 0,2000 0,1818 0,1667 0,1429 0,1429 0,1333 0,1250 0,1176 0,1111 0,1111
0,7500 1,0000 0,6000 0,5000 0,4286 0,3750 0,3750 0,3333 0,3000 0,3000 0,2727 0,2500 0,2500 0,2308 0,2143 0,2000 0,1875 0,1667 0,1579
1,000 0,9000 0,8500 0,9000 0,9000 0,8000 0,8000 0,9000 0,8500 0,7500 0,7000 0,6000 0,6000 0,5500 0,5000 0,4000 0,3000 0,2000 0,1000]
Selanjutnya diakhiri dengan proses perangkingan, yaitu mencari nilai preferensi untuk setiap alternatif. 𝑛
𝑉𝑖 = ∑ 𝑤𝑗 . 𝑟𝑖𝑗 𝑗=1
𝑉𝐴 = (5)(0,9500) + (4)(0,6667) + (3)(0,7500) + (2)(1,0000) = 11,6667 𝑉𝐵 = (5)(1,0000) + (4)(1,0000) + (3)(1,0000) + (2)(0,9000) = 13,8000
. . . 𝑉𝑅 = (5)(0,1500) + (4)(0,1111) + (3)(0,1579) + (2)(0,1000) = 2,0944 𝑉𝑆 = (5)(0,1000) + (4)(0,1111) + (3)(0,1579) + (2)(0,1000) = 1,6181 Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh alternatif terbaik dalam
254
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
penentuan pemenang tender, yaitu PT. Platinum Network Indonesia dengan nilai preferensi 13,8000 serta PT. Palapa Network Nusantara sebagai cadangan pertama dengan nilai preferensi 11,6667 dan PT. Indonesia Super Corridor sebagai cadangan ke dua dengan nilai preferensi 9,7500.
LAMPIRAN Kode Program MATLAB untuk Metode SAW Perhitungan metode SAW menggunakan bantuan software MATLAB agar lebih efektif dan efisien. Adapun kode program serta tampilan (command window) untuk metode SAW sebagai berikut. clear all;clc; m = input('Baris: '); n = input('Kolom: '); for i=1:m fprintf('baris ke-%d',i); a = input(' = '); X(i,:) = a; end K = [1 0 0 1]; W = [5 4 3 2]'; [m n] = size (X); % Melakukan normalisasi dan pembobotan atribut R = zeros (m,n); Y = zeros (m,n); for j=1:n, if K(j)==1, R(:,j)= X(:,j)./max(X(:,j)) else R(:,j)= min(X(:,j))./X(:,j) end; end; % Perangkingan for i=1:m, V(i)= sum(W'.*R(i,:)); end; disp(' V'); 255
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
for i = 1:m fprintf('%6.4f\n',V(i)); end
256
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
257
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KESIMPULAN Penentuan pemenang tender di LAPAN, Rumpin menggunakan metode SAW menghasilkan PT. Platinum Network Indonesia menempati urutan pertama dengan nilai preferensi 13,8000 serta PT. Palapa Network Nusantara menempati urutan ke dua dengan nilai preferensi 11,6667 dan PT. Indonesia Super Corridor menempati urutan ke tiga dengan nilai preferensi 9,7500.
DAFTAR PUSTAKA Kusumadewi, S., dkk. 2006. Fuzzy Multi-Attribute Decision Making (Fuzzy MADM). Yogyakarta: Graha Ilmu. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Dokumen Pengadaan secara Elektronik Hosting Internet 10 Mbps No. 01.a/DOC/PS/PTP/I/2013, 11 Januari 2013. Bogor. Saaty, T. L. 1980. The Analytical Hierarchy Process. New York: McGraw-Hill. Supardi, J. dan Lestari,E. 2010. Determination of the Winner of Project Tender Using Analytical Hierarchy Process. Jurnal Generic Vol. 5 No.1, ISSN: 19074093. 19-24.
258
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DIMENSI METRIK GRAF BLOK BEBAS ANTING Hazrul Iswadi Departemen MIPA dan Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik, Universitas Surabaya Jalan Raya Kalirungkut, 60293, Surabaya Jawa Timur, Indonesia
Abstrak. Misalkan G = (V(G),E(G)) adalah graf dengan himpunan titik V(G) dan himpunan garis E(G). Representasi dari v terhadap himpunan titik W = {w1, w2, ;wk} V(G) adalah k-tuple r(v|W) = (d(v,w1), d(v,w2), , d(v,wk)). Himpunan W disebut himpunan resolving dari G jika setiap titik mempunyai representasi yang berbeda terhadap W. Titik potong v di G adalah titik di G dengan sifat jika titik v dihapus maka banyaknya komponen G - v akan lebih besar dari banyaknya komponen G. Sebuah blok dari suatu graf adalah subgraf maksimal tanpa titik potong. Graf G disebut graf blok jika dan hanya jika setiap blok dari graf G adalah graf lengkap. Blok dari graf blok yang diperoleh dengan hanya menghapus satu titik potong dari graf blok disebut dengan blok ujung. Blok ujung yang hanya satu titik disebut dengan anting. Pada makalah ini akan dibahas beberapa sifat himpunan resolving dan nilai dimensi metrik dari graf blok yang tidak memiliki anting. Kata Kunci: representasi, himpunan resolving, titik potong, blok, graf blok, graf blok bebas anting.
PENDAHULUAN Misalkan G = (V(G),E(G)) adalah graf dengan himpunan titik V(G) dan himpunan garis E(G). Simbol, istilah dan konsep-konsep dasar graf mengacu pada buku Graphs and Digraphs karya Chartrand dkk. [2]. Misalkan W = {w1, w2, ;wk} V(G) adalah himpunan titik terurut. k-tuple r(v|W) = (d(v,w1), d(v,w2), , d(v,wk)) didefinisikan sebagai representasi dari v terhadap W. Himpunan W disebut himpunan resolving dari G jika setiap titik mempunyai representasi yang berbeda terhadap W. Himpunan resolving G yang memuat jumlah titik minimal disebut himpunan resolving minimum atau basis dari G. Dimensi metrik dari graf G, dinotasikan dengan dim(G), adalah jumlah titik dalam basis G. Titik v di basis B dari G disebut dengan titik basis dari G. Konsep tentang himpunan pembeda minimum pada graf diperkenalkan secara terpisah oleh Slater [14], dan Harary dan Melter [4], dengan menggunakan peristilahan yang berbeda. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan sifat himpunan resolving dan nilai dimensi metrik seperti pada graf lintasan, 259
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pohon, lengkap, dan lingkaran dapat dilihat pada daftar pustaka [1], [4], [14]. Kemudian aplikasi dan konteks masalah riil dari dimensi metrik suatu graf dapat dilihat di [5], [6], [10], [11], dan [12]. Graf G disebut sebagai graf berdimensi-k jika dim(G) = k (Chartrand dan Zhang [3]). Misalkan G adalah graf berdimensi-k dengan k ≥ 1. Graf G adalah graf berdimensi-k secara acak jika setiap k buah titik secara acak di graf G maka himpunan yang dibentuk oleh k buah titik tersebut membentuk sebuah basis di G. Chartrand dan Zhang [3] telah membuktikan bahwa graf lengkap Kk+1 adalah graf berdimensi-k secara acak untuk setiap k ≥ 1 dan graf lingkaran Cn dengan n bilangan ganjil ≥ 3 adalah graf berdimensi-2 secara acak. Sebuah titik v dari graf G disebut titik potong G jika v dihapus dari G akan mengakibatkan banyaknya komponen G - v (k(G - v)) lebih dari banyaknya komponen G (k(G)). Blok dari sebuah graf adalah subgraf maksimal tanpa titikpotong. Graf G disebut graf blok jika dan hanya jika setiap blok dari graf G adalah graf lengkap. Komponen lengkap
dari graf blok adalah subgraf lengkap yang
dinduksi dari gabungan semua titik dari blok dan semua titik potong yang membentuk blok tersebut. Titik-titik yang berada dalam suatu blok di graf blok G disebut dengan titik ekstrim. Jadi setiap titik dalam graf blok adalah salah satu dari sebagai titik potong atau sebagai titik ekstrim. Pendefinisian yang serupa terjadi untuk graf kaktus. Graf kaktus G adalah sebuah graf dengan sifat untuk setiap blok berlaku gabungan semua titik blok dan semua titik kritisnya menginduksi sebuah subgraf lingkaran. Graf blok dan graf kaktus adalah kelas-kelas graf yang didefinisikan oleh Zverovich [16]. Definisi dari Zverovich adalah definisi yang lebih umum dari graf amalgamasi lingkaran ([7],[8]), dan graf kaktus
[13]. Wang dan Wang [15] memadukan definisi graf
blok dan graf kaktus menjadi graf blok kaktus. Mereka mendefinisikan graf blok kaktus sebagai graf dengan sifat untuk setiap blok berlaku gabungan semua titik blok dan semua titik kritisnya menginduksi sebuah subgraf lengkap atau subgraf lingkaran. Iswadi [9] telah meneliti sifat himpunan resolving dari graf kaktus. Pada makalah ini akan diteliti sifat himpunan resolving himpunan resolving dari graf 260
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
blok. Pengetahuan atas sifat himpunan resolving dari kedua kelas graf ini diharapkan membuka peluang untuk menentukan sifat himpunan resolving dan nilai dimensi metrik dari graf blok kaktus.
DIMENSI METRIK GRAF BLOK BEBAS ANTING Blok dari graf blok yang diperoleh dengan hanya menghapus satu titik potong dari graf blok disebut dengan blok ujung. Sedangkan blok dari graf blok yang diperoleh dengan menghapus lebih dari satu titik potong dari graf blok disebut dengan blok internal. Blok ujung yang hanya satu titik disebut dengan anting. Untuk menyederhanakan persoalan maka graf blok yang akan diteliti adalah graf tanpa titik anting atau disebut juga dengan graf blok bebas anting. Gambar 1 berikut ini adalah contoh dari graf blok bebas anting G dengan orde 21, 4 buah komponen lengkap yang terdiri dari 1 bauh graf lengkap K4, 2 buah graf lengkap K5, dan 1 buah K7. Graf G ini memiliki 5 buah titik potong yang ditandai oleh titik-titik yang berwarna hitam.
Gambar 1. Graf blok bebas anting dengan 21 titik.
Lema-lema berikut ini dapat digunakan untuk memprediksi batas bawah dari dimensi metrik dari graf blok G.
261
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Lema 1 Sekurang-kurangnya n – (c + 1) titik dari setiap komponen lengkap
dari
graf blok bebas anting G harus menjadi anggota himpunan resolving W dari G, ≥ 3 adalah n adalah orde dari
dimana
dari komponen lengkap
dan c adalah banyaknya titik potong
.
Bukti: Misalkan W adalah himpunan resolving dari graf blok bebas anting G. Misalkan terdapat sebanyak
titik potong yang berada di komponen lengkap
dari graf . Sehingga terdapat sebanyak
− titik ekstrim berada di
. Bukti dari
Lema 1 ini akan dilakukan dengan cara kontradiksi. Andaikan terdapat suatu sehingga | ekstrim
|<
∩
dan
di
− − 1. Berarti terdapat sekurang-kurangnya 2 titik
sehingga ,
∉
. Karena
dan
berjarak sama, yaitu berjarak 1, ke setiap titik potong ∩ Jadi
. Kemudian dan
dan
berada di
maka
dan
dan titik ekstrim lain
∈
∩( −
).
juga berjarak sama ke setiap titik
∈
berjarak sama ke setiap titik yang berada pada himpunan resolving
Hal ini bertentangan dengan sifat himpunan resolving
.
yang harus membedakan
setiap dua titik di graf G.∎
Lema 1 dapat dinyatakan secara ekivalen dengan memperhatikan banyaknya titik yang tidak berada dalam himpunan resolving W. Pernyataan alternatif untuk Lema 1 dapat dituliskan pada Lema 2 berikut ini. Lema 2 dituliskan tanpa bukti.
Lema 2 Paling banyak satu titik dari setiap komponen lengkap
dari graf blok
bebas anting G tidak menjadi anggota himpunan resolving W dari G, dimana adalah n adalah orde dari
Jika
≤
≥3
.
− 1 maka terdapat sekurang-kurangnya n – (c + 1) titik dari
komponen lengkap
dari graf blok bebas anting G harus menjadi anggota
himpunan resolving W dari G. Jika
=
maka setiap titik dari komponen lengkap
dari graf blok bebas anting G tidak harus menjadi anggota himpunan resolving W dari G. Komponen lengkap
yang setiap titiknya adalah titik potong maka
komponen tersebut disebut komponen lengkap penuh titik potong. Sedangkan 262
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
komponen lengkap
yang lain disebut komponen lengkap tidak penuh titik
potong. Lema 1 atau Lema 2 dapat digunakan untuk membuktikan Teorema 1 berikut ini.
Teorema 1 Jika graf blok bebas anting G mempunyai m buah komponen lengkap tidak penuh titik potong
= 1, 2, … ,
, dimana
,
≥ 3 dan
adalah
banyaknya titik potong dalam komponen lengkap tidak penuh titik potong ≤
dengan
− 1 maka ( )=
(
ditunjukkan berlaku | | ≥ ∑
(
− )−
untuk setiap himpunan resolving penuh titik potong
di
di
∩
berlaku
−
=
(
− )−
, dan { }. Himpunan . Sedangkan
− )−
dengan setiap komponen )≠
,
− 1)
. =
. Buat himpunan titik |=
−
− 1. Pendefinisian
dapat dikelompokkan menjadi 3 himpunan adalah himpunan semua titik potong di
adalah titik ekstrim di
Untuk setiap pasangan titik potong
dengan ( ,
(
− 1. Sehingga
∩
adalah titik ekstrim dengan |
dengan | | =
−
(
di atas mengakibatkan titik-titik di ,
≥
≥
Akan ditunjukkan | | ≤ ∑
yaitu:
. Dengan menggunakan Lema 1,
dan untuk setiap komponen lengkap tidak
| |≥
|
.
adalah himpunan basis untuk graf blok bebas anting G. Akan
Bukti: Misalkan
∈
− )−
dan
yang tidak berada di
di , setiap komponen
−
− . Sehingga terdapat suatu titik ekstrim . Untuk suatu titik potong , selalu terdapat
.
berbeda ∈ ∈ 263
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dengan titik ekstrim ( ,
)> ( ,
himpunan
dan
berada pada komponen yang berbeda sehingga
). Jadi setiap titik
=∑
_
∩ { } dapat dibedakan oleh
∈
dengan | | ≤ ∑
(
− )−
. Jadi
himpunan resolving di graf . Dari sifat basis , diperoleh | | ≤ ∑
adalah (
− )−
. Dengan menggunakan dua pertidaksamaan | | ≥ ∑ ∑
(
− )−
(
− )−
, dapat disimpulkan bahwa dim( ) = | | = ∑
dan | | ≤ (
− )−
.∎
Dengan menggunakan graf pada Gambar 1, pada Gambar 2 berikut ini diberikan contoh graf G dengan titik-titik potong dan titik-titik basis yang dimilikinya. Titiktitik potong ditandai oleh titik-titik yang berwarna hitam, sedangkan titik-titik basisnya ditandai oleh titik-titik yang bercorak papan catur. Nilai-nilai parameter dari graf G di atas adalah = 1, dan
= 5,
= 5,
= 4,
= 7,
= 1,
= 3,
= 1,
= 4. Dimensi metrik graf G ini adalah dim( ) = (5 − 1) +
(5 − 3) + (4 − 1) + (7 − 1) − 4 = 11.
Gambar 2. Graf blok bebas anting dengan titik-titik basisnya, titik-titik potongnya. Teorema 1 dapat digunakan untuk menghitung nilai dimensi metrik dari
264
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
amalgamasi titik G dari graf lengkap
seperti yang terdapat pada Akibat 1
berikut. Untuk graf amalgamasi titik dari graf lengkap G di atas
= 1.
Akibat 1 Jika G adalah graf amalgamasi titik dari m buah graf lengkap 1,2, … ,
dan
( =
≥ 3) maka ( )=
−2 .
KESIMPULAN Dari uraian dan pembuktian pada bagian atas, dapat disimpulkan beberapa hal: 1. Komponen yang mempengaruhi himpunan resolving dari graf blok bebas anting adalah komponen lengkap tidak penuh titik potong. 2. Nilai dimensi metrik dari graf blok bebas anting G berasal dari orde dan banyaknya titik potong dari dalam komponen lengkap tidak penuh titik potong.
DAFTAR PUSTAKA Chartrand, G., Eroh, L., Johnson, M.A., dan Oellermann, O.R., 2000, Resolvability in graphs and the metric dimension of a graph, Discrete Appl. Math., 105, 99 – 113. Chartrand, G., Lesniak, L., dan Zhang, P., 2011, Graphs and Digraphs, Edisi 5, CRC Press, Boca Raton. Chartrand, G. dan Zhang, P., 2003, The Theory and Appllications of Resolvability in Graphs: A Survey, Congr. Numer. 160, 47 – 68. Harary, F. dan Melter, R., 1976, On the Metric Dimension of a Graph, Ars Combin. 2, 191 – 195. Hulme, B., Shiver, A. dan Slater, P., 1981, Fire: A Subroutine for Fire Protection Network Analysis, Sandia National Laboratories, New Mexico SAND 81– 1261. Hulme, B., Shiver, A. dan Slater, P., 1982, Computing Minimum Cost Fire Protection, Sandia National Laboratories, New Mexico SAND 82–0809. Iswadi, H., Baskoro, E.T., Simanjuntak, R., dan Salman, A.N.M., 2010, Metric Dimension of Amalgamation of Cycles, Far East Journal of Mathematical Sciences (FJMS), 41:1, 19 – 31. Iswadi, H., Baskoro, E.T., Salman A.N.M., dan Simanjuntak, R., 2010, The Resolving Graph of Amalgamation of Cycles, Utilitas Mathematica, Util. Math., 83, 121-132.
265
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Iswadi, H., 2012, Himpunan Resoving dari Blok Lingkaran dari Graf Kaktus, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi I UNTAD, 3-5 Desember 2012, Palu. Johnson, M., 1993, Structure-Activity Maps for Visualizing the Graph Variables Arising in Drug Design, J. Biopharm. Statist. 3, 203 – 236. Johnson, M., 1998, Browsable Structure-Activity Datasets, Advances in molecular similarity (R. Carbo-Dorca and P. Mezey, eds.) 153 – 170. Khuller, S., Raghavachari, B. dan Rosenfeld, A., 1994, Localization in Graphs, Technical Report. Maryono, I., Salman, A.M.N., dan Iswadi, H., 2009, Dimensi metrik dari graf kaktus Cnm, Proceeding of Mathematics and Mathematics Education National Seminar in Surabaya State Univesity, Indonesia, June 20, Surabaya. Slater, P., 1975, Leaves of Trees, Congr. Numer. 14, 549 – 559. Wang, F.H., dan Wang, Y.L., The lower and upper forcing geodetic number of block-cactus graphs, preprint. Zverovich, V.E., 1998, The ratio of the irredundance number and the domination number for block-cactus graphs, J. Graph Theory, 29:1, 139-149.
266
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
MODEL PERTUMBUHAN LOGISTIK: MODIFIKASI PADA DAYA DUKUNG DENGAN PEMANENAN PROPOSIONAL TERHADAP POPULASI Hasan S. Panigoro1 1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo Jln. Jendral Sudirman No. 6 Kota Gorontalo,
[email protected]
Abstrak. Paper ini merupakan kajian analisis dinamik terhadap model pertumbuhan logistik suatu populasi dengan mengasumsikan bahwa daya dukung (carrying capacity) juga tumbuh secara logistik. Asumsi ini muncul dikarenakan adanya kondisi pada suatu populasi tertentu yang mengalami perubahan daya dukungnya sehingga model logistik biasa tidak lagi relevan terhadap kondisi tersebut. Modifikasi selanjutnya adalah perilaku pemanenan secara proposional terhadap populasi tersebut. Munculnya perilaku pemanenan terhadap populasi dalam model ini diasumsikan karena adanya campur tangan manusia dalam eksistensi populasi tersebut dalam hal ini memburu atau memanen populasi tersebut dengan tipe pemanenan proposional terhadap jumlah populasi. Analisis yang dilakukan yaitu mencari titik ekuilibrium dan mempelajari kestabilannya ditinjau dari besaran pemanenan secara proposional yang dilakukan. Hasil analisis yang dilakukan di interpretasikan lebih lanjut dengan melihat pengaruh dari pemanenan secara proposional terhadap eksistensi dari populasi tersebut. Kata Kunci: Ekuilibrium, Logistik, Pemanenan, Populasi
PENDAHULUAN Model pertumbuhan suatu populasi merupakan suatu model yang sangat menarik untuk dipelajari dan terus dikaji dikarenakan masalah yang berkaitan dengan populasi selalu mengalami perkembangan dan perubahan seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu banyak peneliti yang terus mengkaji, mengembangkan, dan memodifikasi model yang berhubungan
267
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dengan masalah pertumbuhan populasi, baik masalah populasi satu spesies, dua, atau lebih spesies seperti model pertumbuhan satu spesies, model kompetisi dua atau lebih spesies, model predator-prey dua atau lebih spesies dan sebagainya. Dalam
model
dinamik,
diperkenalkan
model
pertumbuhan
eksponensial yang mengasumsikan populasi tumbuh secara eksponensial seperti pada Boulanouar (2014) yang meneliti pertumbuhan populasi bakteri yang
diasumsikan
tumbuh
secara
eksponensial.
Namun
dalam
perkembangannya, model pertumbuhan tidak hanya diterapkan pada masalah populasi bakteri, namun pada populasi spesies lainnya. Pada beberapa kasus tertentu, model exponensial tidak lagi relevan terhadap pertumbuhan populasi lainnya. Oleh karena itu diperkenalkan suatu model pertumbuhan populasi oleh Verhulst (1838, 1841, 1845, 1847) yaitu model logistik yang mengasumsikan bahwa dalam kasus tertentu, pertumbuhan suatu populasi terbatas oleh daya dukungnya. Dalam perkembangannya, model ini tidak hanya digunakan dalam pertumbuhan populasi, namun juga dalam bidang lainnya seperti Cai (2010) dan Juratoni et.al (2010) yang menerapkan model logistik dalam model pertumbuhan ekonomi Perkembangan model logistik juga tidak hanya dalam bidang ilmu lainnya, namun juga mengalami perkembangan dalam model itu sendiri. Dalam beberapa kasus, terjadi modifikasi pada model logistik seperti yang dilakukan oleh Arugaslan (2015) yang memodifikasi model logistik dengan waktu tunda dan pemanenan. Modifikasi juga dilakukan oleh Lumi et.al (2014) yang mengasumsikan daya dukung (carrying capacity) berubah terhadap waktu dengan perubahannya di sebut size-dependent carrying capacity. Modifikasi model logistik ini dikenal dengan model Von Foerster. Modifikasi terhadap daya dukung juga dilakukan oleh Meyer et.al (1999) yang mengasumsikan bahwa daya dukung juga tumbuh secara logistik.
268
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dalam paper ini, penulis mengkaji tentang modifikasi yang dilakukan oleh Meyer et.al (1999) namun dengan memberikan perlakuan terhadap populasi tersebut yakni pemanenan proposional terhadap populasi tersebut. Dalam paper ini difokuskan untuk melihat pengaruh dari pemanenan proposional terhadap kestabilan model dan eksistensi dari populasi. FORMULASI SISTEM Model Pertumbuhan Logistik Populasi Model Logistik pertama kali diperkenalkan oleh Verhulst (1838, 1841, 1845, 1847) yang menyatakan bahwa setiap populasi akan tumbuh dengan daya dukung lingkungannya. Model ini dituliskan dalam:
𝑥
𝑥̇ = 𝑟𝑥 (1 − 𝐾)
(1)
Dimana 𝑥(𝑡) ≥ 0 sepanjang 𝑡 ≥ 0, dan 𝑟, 𝐾 bilangan real positif. 𝑥(𝑡) menyatakan jumlah populasi pada waktu 𝑡, 𝑟 merupakan laju pertumbuhan intrinsik populasi dan 𝐾 adalah daya dukungnya. Model ini memiliki solusi khusus:
𝑥(𝑡) =
𝐾 𝐾 ( −1)𝑒 −𝑟𝑡 +1 𝑥0
(2)
Model ini memiliki 2 titik ekuilibrium yaitu 𝑥̅1 = 0 dan 𝑥̅2 = 𝐾 dengan tipe kestabilan yang berbeda. Titik ekuilibrium 𝑥̅1 = 0
merupakan titik
269
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ekuilibrium tidak stabil sedangkan titik ekuilibrium 𝑥̅2 = 𝐾 merupakan titik ekuilibrium stabil. Hal ini mengakibatkan nilai awal 0 < 𝑥(0) < 𝐾 akan menjauhi titik ekuilibrium 𝑥̅1 = 0 dan mendekati titik ekuilibrium 𝑥̅2 = 𝐾. Dengan demikian maka populasi akan tumbuh dan mencapai nilai daya dukungnya. Dengan demikian model ini menjamin bahwa tidak akan terjadi kepunahan terahadap populasi tersebut. Pergerakan potret fase dari solusi dapat dilihat pada gambar (1) berikut:
Gambar 1. Potret Fase Model Logistik Model Pertumbuhan Logistik Populasi dengan Pertumbuhan Logistik Daya Dukung Dalam Meyer et.al (1999) diperlihatkan bahwa pada beberapa kasus model logistik tidak lagi relevan dengan keadaan sebenarnya. Modifikasi kemudian dilakukan oleh Meyer et.al (1999) yaitu dengan mengasumsikan bahwa daya dukung (carrying capacity) tumbuh secara logistik. Dengan kata lain, asumsi ini mengakibatkan model pertumbuhan logisitik memiliki daya dukung yang juga tumbuh secara logistik (model logistik di dalam logistik). Pertumbuhan logistik daya dukung dituliskan sebagai:
270
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝐾 𝐾̇ = 𝛼𝐾 (1 − 𝜅 )
(3)
Asumsi model logistik dari daya dukung ini dianggap masih tidak realistik mengingat model ini mengakibatkan daya dukung 𝐾(𝑡) ≥ 0 sepanjang 𝑡. Oleh karena itu model logistik untuk daya dukungnya dimodifikasi sehingga daya dukungnya dimulai dari suatu daya dukung awal 𝜅1 dan tumbuh mencapai daya dukung 𝜅1 + 𝜅2 . Asumsi oleh Meyer et.al (1999) ini mengakibatkan persamaan (3) dimodifikasi menjadi:
𝐾−𝜅 𝐾̇ = 𝛼(𝐾 − 𝜅1 ) (1 − 𝜅 1 )
(4)
2
Model ini pada akhirnya menjadi sistem persamaan diferensial yang dapat dituliskan sebagai:
𝑥
𝑥̇
=
𝑟𝑥 (1 − 𝐾)
𝐾̇
=
𝛼(𝐾 − 𝜅1 ) (1 −
𝐾−𝜅1 𝜅2
)
(5)
Sistem (5) memiliki potret fase sebagai berikut:
271
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Gambar 2.
Potret Fase Model Logistik dengan perubahan daya dukung yang tumbuh secara logistik
Sistem (5) memiliki 4 titik ekuilibrium yaitu:
𝐸1 = (0, 𝜅1 ), 𝐸3 = (0, 𝜅1 + 𝜅2 ), 𝐸2 = (𝜅1 , 𝜅1 ), 𝐸4 = (𝜅1 + 𝜅2 , 𝜅1 + 𝜅2 ). Sistem (5) memiliki 3 titik ekuilibrium tidak stabil dan satu titik ekuilibrium stabil. Titik ekuilibrium 𝐸1 merupakan titik ekuilibrium tidak stabil asimtotik, titik ekuilibrium 𝐸2 dan 𝐸3 merupakan titik ekuilibrium tidak stabil tipe saddle, dan titik ekuilibrium 𝐸4 merupakan titik ekuilibrium stabil asimtotik. Dapat dilihat pada gambar (2) bahwa jika nilai awal 𝜅1 < 𝑥(0) < 𝜅1 + 𝜅2 , maka solusi akan selalu bergerak mencapai 𝐾 = 𝜅1 + 𝜅2 . Dengan demikian kondisi dengan nilai awal ini akan mengakibatkan eksistensi dari populasi tetap terjaga.
272
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Model Pertumbuhan Logistik Populasi dengan Modifikasi daya dukung dan Pemanenan Proposional terhadap Populasi Modifikasi selanjutnya yaitu dengan memberikan perlakuan terhadap sistem (5) yakni pemanenan secara proposional sehingga sistem menjadi:
𝑥
𝑥̇
=
𝑟𝑥 (1 − 𝐾) − ℎ𝑥
𝐾̇
=
𝛼(𝐾 − 𝜅1 ) (1 −
𝐾−𝜅1 𝜅2
)
(6)
dengan ℎ adalah laju pemanenan yang bergantung pada jumlah dari 𝑥(𝑡). Model inilah yang menjadi fokus pembahasan dari paper ini. Analisis yang dilakukan difokuskan dalam mengamati kestabilan dari sistem (6) terhadap perubahan kestabilan dari sistem. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Titik Ekuilibrium Titik ekuilibrium didapatkan dari:
𝑥
𝑟𝑥 (1 − 𝐾) − ℎ𝑥 𝛼(𝐾 − 𝜅1 ) (1 −
𝐾−𝜅1 𝜅2
=
0
) =
0
(7)
Dari persamaan (7) didapatkan solusi:
273
KNPM 6
𝐸3
=
𝐸4
=
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝐸1
=
(0, 𝜅1 )
𝐸2
=
(𝜅1
𝑟−ℎ
(0, 𝜅1 + 𝜅2 ) ((𝜅1 + 𝜅2 )
𝑟−ℎ 𝑟
𝑟
, 𝜅1 ) (8)
, 𝜅1 + 𝜅2 )
Eksistensi Titik Ekuilibrium Untuk melihat solusi (8) sebagai titik ekuilibrium, perhatikan teorema berikut: Teorema 1. Perhatikan solusi (8). Untuk ℎ, 𝑟 > 0, dan ℎ, 𝑟 bilangan real, 𝐸1 dan 𝐸3 merupakan titik ekuilibrium, sedangkan: a. Jika ℎ < 𝑟 maka 𝐸2 dan 𝐸4 merupakan titik ekuilibrium sistem (6) b. Jika ℎ ≥ 𝑟 maka 𝐸2 dan 𝐸4 bukan merupakan titik ekuilibrium sistem (6). Bukti. Perhatikan bahwa untuk menjadi titik ekuilibrium sistem (6), berdasarkan kondisi biologis maka titik ekuilibrium 𝐸𝑖 dengan 𝑖 = 1. .4 harus merupakan anggota dari himpunan 𝐸 ≔ {(𝑥, 𝐾)|𝑥 ≥ 0, 𝐾 > 0, 𝑑𝑎𝑛 𝑥, 𝐾 ∈ ℝ}. Perhatikan bahwa 𝐸1 ∈ 𝐸, dan 𝐸3 ∈ 𝐸 sehingga 𝐸1 dan 𝐸3 merupakan titik ekuilibrium. Perhatikan jika ℎ < 𝑟 mengakibatkan 𝜅1 (𝜅1 + 𝜅2 )
𝑟−ℎ 𝑟
𝑟−ℎ 𝑟
> 0 dan
> 0. Karena 𝜅1 > 0, 𝜅2 > 0 dan 𝜅1 + 𝜅2 > 0 maka 𝐸2 ∈ 𝐸
dan 𝐸4 ∈ 𝐸. Dengan demikian 𝐸2 dan 𝐸4 merupakan titik ekuilibrium dari sistem (6). Untuk ℎ > 𝑟 mengakibatkan 𝐸2 ∉ 𝐸 dan 𝐸4 ∉ 𝐸 sehingga 𝐸2 dan 𝐸4 bukan merupakan titik ekuilibrium dari sistem (6). Perhatikan bahwa jika ℎ = 𝑟 mengakibatkan 𝐸1 = 𝐸2 dan 𝐸3 = 𝐸4 dengan 𝐸1 ∈ 𝐸, dan 𝐸3 ∈ 𝐸 sehingga hanya akan ada dua titik ekuilibrium di sistem (6) yaitu 𝐸1 dan 𝐸3 .
274
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kestabilan Titik Ekuilibrium Untuk mempelajari kestabilan titik ekuilibrium, kita lakukan pelinearan ̅ ) terhadap sistem (6) sehingga didapatkan disekitar titik ekuilibrium 𝐸(𝑥̅ , 𝐾 matriks jacobian sebagai berikut:
̅) = [ 𝐽( 𝑥̅ , 𝐾
(𝑟 − ℎ) − 0
2𝑟𝑥̅ ̅ 𝐾
−
𝑟𝑥̅ 2 ̅2 𝐾 ̅ −𝜅2 −2𝜅1 )] 𝛼(2𝐾
(9)
𝜅2
Sehingga pelinearan disekitar solusi titik ekuilibrium (8) memberikan matriks jacobian:
𝐽(𝐸1 ) = [ [−(𝑟 − ℎ) 0
𝑟−ℎ 0
0 ], 𝛼
𝐽(𝐸2 ) =
𝑟−ℎ 0
0 ], −𝛼
𝐽(𝐸4 ) =
(𝑟−ℎ)2
]
𝑟
𝛼 𝐽(𝐸3 ) = [
[−(𝑟 − ℎ) 0
(𝑟−ℎ)2 𝑟
]
−𝛼
Dengan masing-masing nilai eigen: a. 𝐽(𝐸1 ) memiliki nilai eigen 𝜆1 = 𝑟 − ℎ dan 𝜆2 = 𝛼. b. 𝐽(𝐸2 ) memiliki nilai eigen 𝜆1 = −(𝑟 − ℎ) dan 𝜆2 = 𝛼.
275
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
c. 𝐽(𝐸3 ) memiliki nilai eigen 𝜆1 = 𝑟 − ℎ dan 𝜆2 = −𝛼. d. 𝐽(𝐸4 ) memiliki nilai eigen 𝜆1 = −(𝑟 − ℎ) dan 𝜆2 = −𝛼. Berdasarkan teorema (1) maka pada saat ℎ < 𝑟 maka ada 4 titik ekuilibrium dimana 𝐸1 tidak stabil asimtotik, 𝐸2 dan 𝐸3 tidak stabil tipe saddle dan 𝐸4 stabil asimtotik. Untuk ℎ > 𝑟 maka hanya ada dua titik ekuilibrium yaitu 𝐸1 yang merupakan titik ekuilibrium tidak stabil tipe saddle dan 𝐸3 yang merupakan titik ekuilibrium stabil asimtotik. Untuk ℎ = 𝑟 juga akan memberikan kondisi titik ekuilibrium seperti pada saat ℎ > 𝑟. Perhatikan potret fase pada gambar berikut:
a) ℎ < 𝑟
b) ℎ > 𝑟
c) ℎ =
𝑟
Gambar
2. Potret Fase Model Logistik dengan perubahan daya
276
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dukung yang tumbuh secara logistik dan perlakuan berupa pemanenan proposional Berdasarkan analisis dan simulasi diatas, perhatikan bahwa jika laju pemanenan proposional lebih besar atau sama dengan laju pertumbuhan intrinsik akan mengakibatkan populasi akan mendekati kepunahan atau dengan kata lain eksistensi dari populasi tersebut akan terancam. Satu-satunya harapan agar eksistensi dari populasi tetap terjaga yaitu ketika laju pemanenan proposional lebih kecil dari laju pertumbuhan intrinsik dengan nilai awal populasi lebih besar dari daya dukung awalnya (𝜅1 ). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dalam model pertumbuhan logistik dengan daya dukung tumbuh secara logisitik, eksistensi populasi akan tetap terjaga apabila nilai awal dari populasi berada diatas dari daya dukung awal populasi tersebut. Namun apabila diberikan perlakuan berupa pemanenan secara proposional, maka kondisi ini akan tercapai apabila laju pemanenan proposional lebih kecil dari laju pertumbuhan intrinsik. Laju pertumbuhan intrinsik yang lebih kecil atau sama dengan laju pemanenan proposional akan mengakibatkan seluruh kondisi dari nilai awal populasi menuju kepunahan. Dengan demikian agar eksistensi dari populasi terjaga maka laju pemanenan proposional yang dilakukan tidak boleh lebih besar dari laju pertumbuhan intrinsik. Saran Pada beberapa kasus, daya dukung populasi tidak hanya tumbuh secara logistik, misalkan daya dukung yang mengalami peluruhan dan sebagainya.
277
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Oleh karena itu lebih lanjut lagi dapat dikaji masalah serupa namun dengan beberapa modifikasi baru pada model disesuaikan dengan konteks masalah yang ada.
DAFTAR RUJUKAN Arugaslan, D. 2015. Dynamics of a Harvested Logistic Type Model with Delay and Piecewise Constant Argument. J. Nonlinear Sci. Appl. 8. pp.507-517. Boulanouar, M. 2014. Asynchronous Exponential Growth of a Bacterial Population. Electronic Journal of differential Equations. Vol 2014, No.06. pp.1-12. Cai, D. 2010. Multiple Equilibria and Bifurcations in an Economic Growth Model with Endogenous Carrying Capacity. International Journal of Bifurcation an Chaos. Vol.20, No.11. pp.3461-3472. Juratoni, A. & Bundau, O. 2010. Hopf Bifurcation Analysis of The Economical Growth model with Logistic Population Growth and Delay. Proceedings of the 21st International DAAAM Symposium, Vol.21, No.1. Viennam Austria. Kuznetsov, Y.A. 1998. Elements of applied bifurcation theory. SpringerVerlag. New York. Lumi, N., Ainsaar, A. and Mankin, R. 2014. Noise-Induced Transitions in a Population Growth Model Based on Size-Dependent Carrying Capacity. Journal of Mathematical Problems in Engineering. Volume 2014. Article ID 120624. pp.1-8. Lynch, S. 2010. Dynamical Systems with Applications using Maple, 2nd Edition. Springer, New York. Meyer, P.S. & Ausubel, J.H. 1999. Carrying Capacity: A Model with Logistically Varrying Limits. Tecnological Forecasting \& Social Change: pp.209-2014. Perko, L. 1991. Differential Equations and Dynamical Systems. SpringerVerlag. New York. Purnomo, K. D. 2000. Model Pertumbuhan Populasi dengan Menggunakan Model Pertumbuhan Logistik. Majalah Matematika dan Statistika, Vol.1, No.1, pp.21–29. Verhulst, F. 1996. Nonlinear Differential Equations and Dynamical Systems. Spinger-Verlag, Berlin Heidelberg.
278
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Verhulst, PF. 1838. Notice sur la loi que la population poursuit dans son accroissement. Correspondance mathématique et physique 10: 113– 121. Retrieved 2013-02-18. Verhulst, PF. 1841. Traité élémentaire des fonctions elliptiques : ouvrage destiné à faire suite aux traités élémentaires de calcul intégral. Bruxelles: Hayez. Retrieved 2013-02-18. Verhulst, PF. 1845. Recherches mathématiques sur la loi d'accroissement de la population [Mathematical Researches into the Law of Population Growth Increase]. Nouveaux Mémoires de l'Académie Royale des Sciences et Belles-Lettres de Bruxelles 18: 1–42. Retrieved 2013-0218. Verhulst, PF. 1847. Deuxième mémoire sur la loi d'accroissement de la population. Mémoires de l'Académie Royale des Sciences, des Lettres et des Beaux-Arts de Belgique 20: 1–32. Retrieved 2013-02-18.
279
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
MODEL LOGISTIK DENGAN PEMANENAN KONSTAN TERHADAP POPULASI: FENOMENA BIFURKASI AKIBAT PEMANENAN Hasan S. Panigoro1 1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo Jln. Jendral Sudirman No. 6 Kota Gorontalo,
[email protected]
Abstract. Tulisan ini merupakan kajian terhadap model pertumbuhan logistik dengan pemanenan konstan pada populasi. Diperlihatkan bahwa model ini memiliki maksimum dua titik ekuilibrium dengan tipe kestabilan berbeda, dan minimum tidak memiliki titik ekuilibrium. Salah satu fenomena yang menarik pada model ini adalah terjadinya bifurkasi. Fenomena ini terjadi ketika perubahan satu atau lebih parameter pada model mengakibatkan perubahan struktur kestabilan model tersebut. Bifurkasi yang terjadi pada model ini adalah bifurkasi saddle-node dimana model yang mula-mula memiliki dua titik ekuilibrium dengan tipe kestabilan berbeda, kemudian setelah dilakukan variasi nilai parameter yakni parameter pemanenan, maka dua titik ekuilibrium melebur menjadi satu kemudian hilang. Dalam tulisan ini juga diperlihatkan bahwa eksistensi populasi dapat terjaga (tidak punah) apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Keywords: Bifurkasi, Ekuilibrium, Logistik, Pemanenan, Populasi, Saddle-Node
PENDAHULUAN Masalah populasi adalah salah satu masalah yang sangat penting mengingat masalah ini dapat mempengaruhi keadaan yang lain pada populasi tersebut. Misalkan masalah populasi manusia dalam suatu negara yang dapat mempengaruhi keadaan politik, ekonomi dan sebagainya dari populasi tersebut. Oleh karena itu masalah populasi merupakan masalah yang sangat menarik dibahas dalam bidang ilmu matematika. Salah satu metode untuk mempelajari masalah populasi yaitu dengan membuat model matematika yang sesuai dengan masalah ini. Model matematika adalah himpunan dari rumus dan atau persamaan berdasarkan fenomena nyata dan dibuat dengan harapan bisa merepresentasikan dengan baik fenomena nyata tersebut menurut ilmu yang melatarbelakanginya. Salah satu model matematika yang mempelajari model pertumbuhan populasi adalah model logistik. Model logistik merupakan suatu persamaan diferensial yang memodelkan pertumbuhan suatu populasi. Populasi yang dimaksud adalah sekumpulan spesies yang sama yang menempati tempat tertentu. Model pertumbuhan ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan suatu populasi 280
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
bergantung pada daya dukung lingkungan seperti ruang dan makanan. Model logistik adalah salah satu model yang popular tidak hanya dalam bidang matematika, namun juga dalam bidang-bidang lainnya (Fory’s:2003). Model pertumbuhan logistik dibangun menggunakan kaidah logistik (logistic law) bahwa persediaan logistik ada batasnya, model ini mengasumsikan pada masa tertentu jumlah
populasi
akan
mendekati
titik
kesetimbangan
(ekuilibrium)
(Purnomo:2000). Model logistik pertama kali diperkenalkan oleh Verhulst (1838, 1841, 1845, 1847). Dalam perkembangannya model ini kemudian dimodifikasi agar sesuai dengan kondisi populasi yang dipelajarinya. Beberapa modifikasi pada daya dukungnya dapat dilihat pada Arugaslan (2015), Cai (2010), Juratoni (2010), dan Lumi (2014). Selain itu, model pertumbuhan logistik juga dipelajari dalam bidang ilmu lainnya seperti model pertumbuhan ekonomi (Cai:2010, Juratoni:2010), model pertumbuhan tumor (Forry et.al:2003), dan sebagainya. Dalam tulisan ini dipelajari model logistik dengan perlakuan berupa pemanenan secara konstan terhadap suatu populasi. Modifikasi ini termotivasi dari kondisi bahwa dalam beberapa kasus suatu populasi seperti ikan, rumput laut dan populasi lainnya merupakan salah satu kebutuhan dari manusia sehingga manusia melakukan perburuan atau pemanenan terhadapnya. Dalam tulisan ini, diasumsikan pemanenan yang dilakukan yaitu pemanenan secara konstan sepanjang 𝑡 ≥ 0.
FORMULASI SISTEM Perhatikan persamaan diferensial biasa berikut: 𝑥
𝑥̇ = 𝑟𝑥 (1 − 𝐾)
(1)
Dimana 𝑥(𝑡) ≥ 0 sepanjang 𝑡 ≥ 0, dan 𝑟, 𝐾 bilangan real positif. 𝑥(𝑡) menyatakan jumlah populasi pada waktu 𝑡, 𝑟 merupakan laju pertumbuhan intrinsik populasi dan 𝐾 adalah daya dukungnya. Model ini memiliki solusi khusus:
𝑥(𝑡) =
𝐾 (
𝐾 −1)𝑒 −𝑟𝑡 +1 𝑥0
(2)
Model ini dikenal dengan model logistik yang mengasumsikan pertumbuhan suatu 281
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
populasi dibatasi oleh daya dukungnya. Model (1)
memperlihatkan bahwa
eksistensi populasi akan selalu terjaga dan tumbuh secara logistik dengan jumlah awal populasi bertambah mencapai kondisi daya dukungnya (carrying capacity). Potret Fase model ini dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Potret fase model logistik
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita melihat bahwa eksistensi populasi suatu spesies bergantung pada campur tangan manusia. Misalkan perburuan terhadap harimau, perburuan ikan paus dan hiu, dan perburuan terhadap spesies lainnya oleh manusia yang akhirnya mengancam eksistensi dari populasi itu sendiri. Dengan demikian pada paper ini diasumsikan ada perlakuan berupa pemanenan terhadap populasi pada model logistik ini. Pemanenan yang diberikan diasumsikan dilakukan secara konstan sepanjang waktu 𝑡. Dengan demikian model logistik setelah pemanenan secara kosntan menjadi: 𝑥
𝑥̇ = 𝑟𝑥 (1 − 𝐾) − ℎ
(3)
Dimana ℎ merupakan laju pemanenan secara konstan terhadap populasi. Model inilah yang dikaji pada paper ini. Kajian utama yang dipelajari adalah melihat pengaruh dari pemanenan secara konstan terhadap populasi dengan model logistik. Akan diperlihatkan bagaimana eksistensi dari populasi apabila diberikan perlakuan berupa pemanenan secara konstan.
HASIL DAN PEMBAHASAN 282
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Titik Ekuilibrium 𝑥̅ adalah titik ekuilibrium (3) jika: 𝑥̅
𝑟𝑥̅ (1 − 𝐾) − ℎ = 0 ,
(4)
atau: 𝑥̅ 2 − 𝐾𝑥̅ +
ℎ𝐾 𝑟
=0,
(5)
sehingga diperoleh: 𝑥̅ =
dimana Δ = 𝐾 2 −
4ℎ𝐾 𝑟
.
Berdasarkan
𝐾±√Δ
(6)
2
kondisi
biologis
maka
kita hanya
memperhatikan solusi di daerah Ω ≔ {𝑥|𝑥 ≥ 0, 𝑥 ∈ ℝ}. Untuk selanjutnya perhatikan teorema berikut:
Teorema 1. Ekuilibrium dari model (3) adalah sebagai berikut: 𝑟𝐾
(i)
Model (3) tidak memiliki titik ekuilibrium di 𝛺 jika ℎ >
(ii)
Model (3) Memiliki satu titik ekuilibrium 𝑥̅1 di 𝛺 jika ℎ = 𝑥̅1 =
(iii)
2ℎ 𝑟
4
(gambar 2a). 𝑟𝐾 4
, dimana
(gambar 2b).
Model (3) Memiliki dua titik ekuilibrium 𝑥̅2 dan 𝑥̅ 3 di 𝛺 jika ℎ <
𝑟𝐾 4
,
dimana:
𝑥̅2 =
𝐾+√Δ 2
dan 𝑥̅ 3 =
𝐾−√Δ
(7)
2
(perhatikan gambar 2c)
Bukti. Perhatikan bahwa untuk ℎ >
𝑟𝐾 4
mengakibatkan Δ < 0 sehingga persamaan
(4) tidak memiliki akar real sehingga model (3) tidak akan memiliki titik ekuilibrium di Ω. Selanjutnya untuk ℎ =
𝑟𝐾 4
persamaan (4) memiliki satu akar real yaitu 𝑥̅1 =
mengakibatkan Δ = 0 2ℎ 𝑟
. Karena
2ℎ 𝑟
sehingga
> 0 maka 𝑥̅1 berada
283
KNPM 6
didaerah Ω. Untuk ℎ <
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝑟𝐾
mengakibatkan Δ > 0 sehingga persamaan (4) memiliki
4
dua akar real yaitu 𝑥̅2 =
𝐾+√Δ 2
dan 𝑥̅3 =
𝐾−√Δ 2
. Eksistensi 𝑥̅2 dan 𝑥̅3 di Ω dapat
dilihat pada proposisi berikut: Proposisi 1.1. Jika Δ > 0 maka 𝑥̅2 , 𝑥̅3 ∈ Ω atau 𝑥̅ 2 , 𝑥̅3 adalah titik ekuilibrium. Bukti. Karena Δ > 0 dan 𝐾 > 0 maka
𝐾+√Δ 2
> 0 sehingga 𝑥̅2 ∈ Ω atau dengan kata
lain 𝑥̅2 adalah titik ekuilibrium model (3). Perhatikan bahwa 𝑟, ℎ, 𝐾 > 0 sehingga 4ℎ𝑘 𝑟
> 0: 4ℎ𝐾 𝑟 4ℎ𝐾 𝐾2 − 𝑟 Δ −
<
0
<
𝐾2
<
𝐾2
< √Δ 𝐾 − √Δ > 𝐾 − √Δ > 2
𝐾 0 0
Dengan demikian maka 𝑥̅3 ∈ Ω atau 𝑥̅ 3 adalah titik ekuilibrium dari model (3). Kestabilan Titik Ekuilibrium Untuk menganalisa kestabilan titik ekuilibrium yaitu dengan melakukan pelinearan. Jika diketahui suatu persamaan diferensial biasa 𝑥̇ = 𝑓(𝑥) dengan titik ekuilibrium 𝑥̅ , maka pelinearan dilakukan dengan melakukan transformasi koordinat (Wiggins:1990); 𝑦 = 𝑥 − 𝑥̅ .
Hasil pelinearan akan memberikan persamaan diferensial: 𝑟(𝐾𝑥̅ −𝑥̅ 2 )−ℎ𝐾
𝑦̇ = (
𝐾
𝑟
𝑟
) + 𝐾 (𝐾 − 2𝑥̅ )𝑦 − 𝐾 𝑦 2 ,
(8)
284
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
namun untuk mempelajari kestabilan titik ekuilibrium 𝑥̅ maka menurut Wiggins (1990) kita cukup mempelajari: 𝑟
𝑦̇ = 𝐾 (𝐾 − 2𝑥̅ )𝑦,
(9)
Teorema 2. Ekuilibrium (3) memiliki tipe kestabilan sebagai berikut: (i)
Jika ℎ =
(ii)
Jika ℎ <
𝑟𝐾 4 𝑟𝐾 4
, maka titik ekuilibrium 𝑥̅1 adalah titik ekuilibrium stabil.
, maka titik ekuilibrium 𝑥̅2 adalah titik ekuilibrium stabil
sedangkan titik ekuilibrium 𝑥̅3 adalah titik ekuilibrium tidak stabil. Bukti. Untuk ℎ =
𝑟𝐾 4
𝑟2
mengakibatkan persamaan (8) menjadi 𝑦̇ = − 4ℎ 𝑦 2 sehingga
titik ekuilibrium 𝑥̅1 titik ekuilibrium stabil. Untuk ℎ <
𝑟𝐾 4
, perhatikan persamaan
(9). Agar titik ekuilibrium ini stabil, berdasarkan persamaan (9) maka 𝐾 − 2𝑥̅ < 0. Dengan demikian titik ekuilibrium stabil jika 𝑥̅ > Dengan aljabar sederhana didapatkan 𝑥̅ 2 =
𝐾+√Δ 2
>
𝐾 2
𝐾 2
𝐾
dan tidak stabil jika 𝑥̅ < 2 .
dan 𝑥̅3 =
𝐾−√Δ 2
<
𝐾 2
sehingga
𝑥̅2 adalah titik ekuilibrium stabil dan 𝑥̅3 adalah titik ekuilbrium tidak stabil.
285
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
a) ℎ >
𝑟𝐾
b) ℎ =
4
𝑟𝐾 4
c) ℎ <
𝑟𝐾 4
Gambar 2. Potret fase model logistik dengan pemanenan konstan
Dari simulasi dan analisis diatas dapat di interpretasikan bahwa: a. Untuk ℎ > b. Untuk ℎ =
𝑟𝐾 4 𝑟𝐾 4
mengakibatkan populasi pada 𝑡 tertentu mencapai kepunahan. mengakibatkan populasi akan mengalami kepunahan apabila
nilai awal 𝑥(0) < 𝑥̅1 . Namun untuk 𝑥(0) ≥ 𝑥̅1 maka eksistensi dari populasi tetap terjaga dengan jumlah populasi akan mendekati 𝑥̅1 . c. Untuk ℎ <
𝑟𝐾 4
, jika nilai awal 0 < 𝑥(0) < 𝑥̅3 mengakibatkan populasi akan
mencapai kepunahan, dan jika 𝑥(0) > 𝑥̅3 mengakibatkan eksistensi populasi akan terjaga dengan jumlah populasi akan bergerak mendekati 𝑥̅2 . Bifurkasi Saddle-Node Dari teorema (1), perubahan parameter pemanenan mengakibatkan perubahan jumlah titik ekuilibrium dan kestabilannya. Dapat dilihat ketika nilai pemanenan ℎ melewati titik
𝑟𝐾 4
mengakibatkan titik ekuilibrium di Ω dari tidak ada
menjadi dua titik ekuilibrium. Hal ini mengindikasikan terjadinya bifurkasi saddlenode. Dalam Kuznetsov (1998) telah dibuktikan bahwa bentuk umum bifurkasi saddle-node (fold) adalah: 𝜂̇ = 𝛽 ± 𝜂2 + 𝑂(𝜂3 ).
286
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Selanjutnya akan dibuktikan bahwa model (3) juga mengalami bifurkasi saddle-node dengan cara melakukan transformasi koordinat dan penskalaan waktu 𝐾
𝑡. Misalkan 𝜂 = 𝑥 − 2 maka: 𝑟𝐾
𝑟
𝜂̇ = ( 4 − ℎ) − 𝐾 𝜂2
(10)
𝐾
Dengan melakukan penskalaan 𝑡 → 𝑟 𝑡 maka persamaan (10) menjadi: 𝐾2
𝜂̇ = ( 4 −
ℎ𝐾 𝑟
) − 𝜂2 .
(11)
Karena persamaan (11) merupakan bentuk umum bifurkasi saddle-node, maka model (3) juga mengalami bifurkasi saddle-node dengan titik bifurkasinya adalah
𝐾2 4
−
ℎ𝐾 𝑟
= 0 atau ℎ =
𝑟𝐾 4
. Fenomena bifurkasi saddle-node dapat dilihat
pada simulasi berikut:
Gambar 3. Diagram bifurkasi saddle-node pada model (3)
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Model logistik dengan pemanenan secara konstan adalah model yang mengalami suatu fenomena yang disebut dengan bifurkasi. Bifurkasi yang dialami oleh model ini adalah bifurkasi saddle-node dimana dalam model ini perubahan 287
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
parameter pemanenan konstan akan mengakibatkan model yang semula memiliki dua titik ekuilibrium dengan kestabilan yang berbeda kemudian kedua titik ekuilibrium tersebut melebur menjadi satu dan selanjutnya menghilang. Bufurkasi ini terjadi ketika nilai parameter pemanenan bergerak melewati titik ℎ = Eksistensi dari populasi dapat terjaga apabila ℎ ≤
𝑟𝐾 4
𝑟𝐾 4
.
dengan nilai awalnya 𝑥(0) >
𝑥̅3 atau 𝑥(0) ≥ 𝑥̅1 . Saran Mengingat bahwa dalam beberapa kasus ternyata daya tampung mengalami perubahan, maka model ini dapat dikaji lebih lanjut dengan melakukan modifikasi pada daya dukungnya disesuaikan dengan kondisi daya dukung populasi tersebut.
DAFTAR RUJUKAN Arugaslan, D. 2015. Dynamics of a Harvested Logistic Type Model with Delay and Piecewise Constant Argument. J. Nonlinear Sci. Appl. 8. pp.507-517. Boulanouar, M. 2014. Asynchronous Exponential Growth of a Bacterial Population. Electronic Journal of differential Equations. Vol 2014, No.06. pp.1-12. Cai, D. 2010. Multiple Equilibria and Bifurcations in an Economic Growth Model with Endogenous Carrying Capacity. International Journal of Bifurcation an Chaos. Vol.20, No.11. pp.3461-3472. Fory's, U. Marciniak-Czochra, A. 2003. Logistic Equation in Tumour Growth Modelling. Int. J. Appl. Math. Comput. Sci. Vol.13, No.3. pp.317–325. Juratoni, A. & Bundau, O. 2010. Hopf Bifurcation Analysis of The Economical Growth model with Logistic Population Growth and Delay. Proceedings of the 21st International DAAAM Symposium, Vol.21, No.1. Viennam Austria. Kuznetsov, Y.A. 1998. Elements of applied bifurcation theory. Springer-Verlag. New York. Lumi, N., Ainsaar, A. and Mankin, R. 2014. Noise-Induced Transitions in a Population Growth Model Based on Size-Dependent Carrying Capacity. Journal of Mathematical Problems in Engineering. Volume 2014. Article ID 120624. pp.1-8. Lynch, S. 2010. Dynamical Systems with Applications using Maple, 2nd Edition. Springer, New York.
288
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Purnomo, K. D. 2000. Model Pertumbuhan Populasi dengan Menggunakan Model Pertumbuhan Logistik. Majalah Matematika dan Statistika, Vol.1, No.1, pp.21–29. Verhulst, F. 1996. Nonlinear Differential Equations and Dynamical Systems. Spinger-Verlag, Berlin Heidelberg. Verhulst, PF. 1838. Notice sur la loi que la population poursuit dans son accroissement. Correspondance mathématique et physique 10: 113–121. Retrieved 2013-02-18. Verhulst, PF. 1841. Traité élémentaire des fonctions elliptiques : ouvrage destiné à faire suite aux traités élémentaires de calcul intégral. Bruxelles: Hayez. Retrieved 2013-02-18. Verhulst, PF. 1845. Recherches mathématiques sur la loi d'accroissement de la population [Mathematical Researches into the Law of Population Growth Increase]. Nouveaux Mémoires de l'Académie Royale des Sciences et Belles-Lettres de Bruxelles 18: 1–42. Retrieved 2013-02-18. Verhulst, PF. 1847. Deuxième mémoire sur la loi d'accroissement de la population. Mémoires de l'Académie Royale des Sciences, des Lettres et des Beaux-Arts de Belgique 20: 1–32. Retrieved 2013-02-18. Wiggins, S. 1990. Introduction to Applied Nonlinear Dynamical System and Chaos. Springer-Verlag, New York.
289
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KESTASIONERAN DAN SIFAT STATISTIK DARI MODEL GARCH (1,1) DAN EGARCH (1,1) Isran K. Hasan1, Khreshna Syuhada2 1
Universitas Negeri Gorontalo,
[email protected] 2 Institut Teknologi Bandung,
[email protected]
Abstrak. Model deret waktu heterokedastik merupakan salah satu kajian menarik dan istimewa dalam ilmu statistika. Dalam artikel ini, model-model GARCH (1,1) dan EGARCH (1,1) akan dibahas, khususnya mengenai kestasioneran, kurtosis bernilai tinggi, dan perilaku fungsi autokorelasi. Kata Kunci: autoregresif, fungsi autokorelasi, mean tak bersyarat, kurtosis, volatilitas.
PENDAHULUAN Analisis deret waktu merupakan salah satu bagian ilmu statistika yang mempelajari perilaku data (dan model) dengan memperhatikan waktu pengamatan data tersebut. Dua ukuran utama dalam analisisi ini adalah mean dan variansi bersyarat (volatilitas). Berdasarkan jenis volatilitasnya, model deret waktu dapat bersifat homokedastik atau heterokedastik. Artikel ini membahas model-model heteroskedastik Generalised ARCH atau GARCH orde (1,1) dan Eksponensial GARCH(1,1). Secara khusus, kajian dibatasi pada kestasioneran, kurtosis tinggi, dan perilaku fungsi autokorelasi. Model GARCH(1,1) diperkenalkan oleh Bollerslev (1986) sebagai pengembangan model ARCH (Autoregressive Conditional Heteroskedastik) yang memiliki sifat volatilitas berubah menurut waktu (Engle, 1982). Pada model GARCH, fungsi volatilitas tidak hanya memperhatikan nilai observasi sebelumnya namun juga volatitas pada waktu yang lalu. Model EGARCH (Nelson, 1991) merupakan salah satu varian dari model GARCH.
MODEL GARCH (1,1) dan EGARCH(1,1) Misalkan {𝑋𝑡 , 𝑡 ≥ 0} menyatakan proses stokastik dari return suatu aset pada waktu 𝑡. {𝑋𝑡 , 𝑡 ≥ 0} dikatakan mengikuti model GARCH(1,1) jika 𝑋𝑡 = 𝜎𝑡 𝜀𝑡 ,
(1)
290
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2 2 𝜎𝑡2 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑋𝑡−1 + 𝛽1 𝜎𝑡−1 ,
dengan asumsi 1. 𝜀𝑡 ∼ iid 𝐹(0,1), 2. 𝜎𝑡 dan 𝜀𝑡 saling bebas, 3. 𝑋𝑡−1 dan 𝜀𝑡 saling bebas, 4. 𝛼0 > 0, 𝛼1 ≥ 0 dan 𝛽1 ≥ 0. Meskipun model GARCH(1,1) sangat baik dalam memodelkan volatilitas, tetapi jika diperhatikan pada persamaan (1) terlihat bahwa nilai 𝜎𝑡2 hanya bergantung dari besarnya nilai dari data, sehingga data yang bernilai positif maupun negatif akan memiliki dampak yang sama untuk nilai 𝜎𝑡2 . Hal ini kurang sesuai dengan fakta yang dikemukakan oleh Black (1976) bahwa untuk data finansial, volatilitas cenderung naik ketika terjadi bad news dan cenderung turun ketika terjadi good news (efek asimetris). Salah satu model yang mampu menangkap fenomena ini adalah model Exponential GARCH (EGARCH). Model EGARCH(1,1) yang didefinisikan sebagai berikut: 𝑋𝑡 = 𝜎𝑡 𝜀𝑡 , 2 ln 𝜎𝑡2 = 𝜔 + 𝑔(𝜀𝑡−1 ) + 𝜓1 ln 𝜎𝑡−1 ,
(2)
Tidak seperti model GARCH (1,1) yang membatasi parameter agar 𝜎𝑡2 positif, model EGARCH tidak perlu membatasi parameter. Hal ini karena model EGARCH pada persamaan (2) adalah persamaan dalam bentuk persamaan logaritma sehingga nilai 𝜎𝑡2 akan selalu positif. KESTASIONERAN MODEL Agar data yang kita miliki dapat dimodelkan dengan model time series dibutuhkan asumsi kestasioneran. Prinsip utama dalam konsep kestasioneran adalah sifat-sifat statistik pada suatu model atau proses tidak berubah terhadap waktu. Model GARCH (1,1) Syarat kestasioneran lemah dapat diperoleh dengan menggunakan proposisi berikut: Proposisi 1. Misalkan 𝑋𝑡 memenuhi persamaan (1). Misalkan pula 𝜂𝑡 = 𝑋𝑡2 − 𝜎𝑡2 maka: 291
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
i.
𝜂𝑡 adalah white noise (w.n.) lemah
ii.
Model GARCH (1,1) pada persamaan (1) dapat ditulis kembali sebagai berikut: 2 𝑋𝑡2 = 𝛼0 + (𝛼1 + 𝛽1 )𝑋𝑡−1 − 𝛽1 𝜂𝑡−1 + 𝜂𝑡
Bukti 1.
(3)
i. Perhatikan bahwa 𝐸(𝜂𝑡 ) = 𝐸[𝜎𝑡2 𝐸(𝜀𝑡2 ) − 𝐸(𝜎𝑡 )|𝐹𝑡−1 ] = 0
dan 2 2 2 𝐶𝑜𝑣(𝜂𝑡 , 𝜂𝑡+𝑙 ) = 𝐸(𝜂𝑡 𝜂𝑡+𝑙 ) = 𝐸[(𝜎𝑡2 𝜀𝑡2 − 𝜎𝑡2 ) 𝐸(𝜎𝑡+𝑙 𝜀𝑡+𝑙 − 𝜎𝑡+𝑙 )] = 0
ii.
Jika disubtitusikan 𝜂𝑡 ke persamaan \eqref{GARCH11} maka diperoleh 2 2 𝜎𝑡2 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑋𝑡−1 + 𝛽1 𝜎𝑡−1 2 2 𝑋𝑡2 − 𝜂𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑋𝑡−1 + 𝛽1 (𝑋𝑡−1 − 𝜂_(𝑡 − 1)) 2 2 𝑋𝑡2 − 𝜂𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑋𝑡−1 + 𝛽1 (𝑋𝑡−1 ) − 𝛽1 (𝜂𝑡−1 ) 2 𝑋𝑡2 = 𝛼0 + (𝛼1 + 𝛽1 )𝑋𝑡−1 − 𝛽1 𝜂𝑡−1 + 𝜂𝑡 ∎
Persamaan (3) merupakan bentuk model ARMA dalam bentuk 𝑋𝑡2 . Jadi, model GARCH (1,1) dapat dipandang sebagai representasi dari model ARMA untuk 𝑋𝑡2 . Selanjutnya, Persamaan tersebut dapat ditulis dalam kembali menjadi (1 − (𝛼1 + 𝛽1 )𝐿)𝑋𝑡2 = 𝛼0 + (1 + 𝛽1 𝐿)𝜂𝑡 2 dimana 𝐿 𝑋^2_{𝑡} = 𝑋𝑡−1 dan 𝐿 𝜂_(𝑡) =\𝑒𝑡𝑎_{𝑡 − 1}
Dari sini dapat diperoleh polinomial karakteristik (1 − (𝛼1 + 𝛽1 )𝑧) = 0 sehingga proses ini akan stasioner jika|𝑧| > 1. Akibatnya, |𝛼1 + 𝛽1 | < 1. sehingga diperoleh bahwa model GARCH (1,1) akan stasioner jika 0 < 𝛼1 + 𝛽1 < 1. Sebagai ilustrasi akan disimulasikan dengan program MATLAB model GARCH (1,1) dengan dengan berbagai parameter.
Gambar 1 Ilustrasi dengan 𝛼0 = 1, 𝛼1 = 0.2, dan 𝛽_1 = 0.3 (model stasioner)
292
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Gambar 2 Ilustrasi dengan 𝛼0 = 1, 𝛼1 = 0.5, dan 𝛽1 = 0.6 (model tidak stasioner) Model EGARCH (1,1) Kestasioneran lemah dari model EGARCH (1,1) dengan mudah dapat ditentukan dengan memperhatikan 𝑉𝑡 = ln 𝜎𝑡2 sehingga persamaan (2) dapat ditulis sebagai berikut 𝑉𝑡 = 𝜔 + 𝜓1 𝑉𝑡−1 + 𝑔(𝜀𝑡−1 ) sehingga syarat kestasioneran
ln 𝜎𝑡2
(4)
adalah |𝜓1 | < 1.Sebagai ilustrasi perhatikan
gambar berikut:
Gambar 3 Ilustrasi variansi dan mean model EGARCH (Kiri) 𝜔 = 0.5, 𝜓 = 0.4, 𝛿 = −0.2 dan 𝜃 = −0.3; (Kanan) 𝜔 = 0.5, 𝜓 = 1, 𝛿 = −0.2 dan 𝜃 = −0.3
SIFAT KURTOSIS TINGGI DAN PERILAKU FUNGSI AUTOKORELASI Kurtosis Proposisi 2. Misalkan Misalkan 𝑋𝑡 memenuhi persamaan (1). maka kurtosis dari 𝑋𝑡 adalah 2
𝜅𝜀 (1 − (𝛼1 𝑚2 + 𝛽1 )) 𝜅 = 1 − (𝛼12 𝑚4 + 2𝛼1 𝛽1 𝑚2 + 𝛽12 ) dengan 𝜅𝜀 adalah kurtosis dari 𝜀𝑡 dan 𝑚2 dan 𝑚4 masing-masing adalah 𝐸(𝜀𝑡2 ) dan 𝐸(𝜀𝑡4 ). Bukti 2. Perhatikan bahwa 𝜅 =
𝐸(𝑋𝑡4 )
2
[𝐸(𝑋𝑡2 )]
=
𝜅𝜀 (𝐸(𝜎𝑡4 )) 2
[𝐸(𝑋𝑡2 )]
dengan 𝜅𝜀 adalah kurtosis
293
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dari 𝜀𝑡 , sehingga 2 2 ]2 𝐸(𝜎𝑡4 ) = 𝐸([𝛼0 + 𝛼1 𝑋𝑡−1 + 𝛽1 𝜎𝑡−1 4 4 2 2 = 𝐸(𝛼02 + 𝛼12 𝑋𝑡−1 + 𝛽12 𝜎𝑡−1 + 2𝛼0 𝛼1 𝑋𝑡−1 + 2𝛼0 𝛽1 𝜎𝑡−1 2 2 + 2𝛼1 𝛽1 𝑋𝑡−1 𝜎𝑡−1 ) 4 4 2 2 = 𝛼02 + 𝛼12 𝐸(𝑋𝑡−1 ) + 𝛽12 𝐸(𝜎𝑡−1 ) + 2𝛼0 𝛼1 𝐸(𝑋𝑡−1 ) + 2𝛼0 𝛽1 𝐸(𝜎𝑡−1 ) 2 2 + 2𝛼1 𝛽1 𝐸(𝑋𝑡−1 𝜎𝑡−1 )
Perhatikan bahwa 4 𝐸(𝜎𝑡4 ) = 𝐸(𝜎𝑡−1 )
Karena 𝑋𝑡 = 𝜎𝑡 𝜀𝑡 maka 𝐸(𝑋𝑡4 ) = 𝐸(𝜎𝑡4 )𝐸( 𝜀𝑡4 ) = 𝑚4 𝐸(𝜎𝑡4 ) 2 2 4 𝐸(𝑋𝑡−1 𝜎𝑡−1 ) = 𝐸(𝜎𝑡−1 )𝐸( 𝜀𝑡2 ) = 𝑚2 𝐸(𝜎𝑡4 )
dan 𝛼0 𝑚2 1 − 𝛼1 𝑚2 − 𝛽1 𝛼0 2 𝐸(𝜎𝑡−1 )= 1 − 𝛼1 𝑚2 − 𝛽1
2 𝐸(𝑋𝑡−1 )=
dengan 𝑚2 = 𝐸(𝜀𝑡2 ) dan 𝑚4 = 𝐸(𝜀𝑡4 ). Dari sini diperoleh 𝐸(𝜎𝑡4 ) =
𝛼02 (1 + 𝛼1 𝑚2 + 𝛽1 )/(1 − 𝛼1 𝑚2 − 𝛽1 ) 1 − 𝛼1 𝑚4 − 2𝛼12 𝛽1 𝑚_2 − 𝛽12
Sehingga diperoleh kurtosis untuk model GARCH(1,1) adalah 𝛼02 (1 + 𝛼1 𝑚2 + 𝛽1 )/1 − 𝛼1 𝑚2 − 𝛽1 (1 − 𝛼1 𝑚2 − 𝛽1 )2 𝜅 = × 1 − 𝛼1 𝑚4 − 2𝛼12 𝛽1 𝑚2 − 𝛽12 𝛼02 2
𝜅𝜀 (1 − (𝛼1 𝑚2 + 𝛽1 )) = ∎ 1 − (𝛼12 𝑚4 + 2𝛼1 𝛽1 𝑚2 + 𝛽12 ) Misalkan 𝑋𝑡 mengikuti model EGARCH (1,1) pada persamaan (2) maka kurtosis dari 𝑋𝑡 adalah (Terasvirta, 2006)
(𝛿 + 𝜃)2 𝜅 = 3 exp { }× 1 − 𝜓2
294
KNPM 6
∞
× ∏ 𝑖=1
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Φ(2𝜓 𝑖−1 (𝛿 + 𝜃)) + exp{−8𝜓2𝑖−2 𝛿𝜃} Φ(2𝜓𝑖−1 (𝛿 − 𝜃)) [Φ(2𝜓𝑖−1 (𝛿 + 𝜃)) + exp{−2𝜓 {2𝑖−2}𝛿𝜃 } Φ(2𝜓𝑖−1 (𝛿 − 𝜃))]
2
dengan Φ(. ) adalah fungsi distribusi kumulatif dari distribusi Gaussian. Jika nilai 𝛿 = 0 maka persamaan diatas menjadi lebih sederhana yaitu 𝜅 = 3 exp{𝜃 2 (1 − 𝜓 2 )−1 } Fungsi Autokorelasi Proposisi 3. Misalkan Misalkan 𝑋𝑡 memenuhi persamaan (1) maka fungsi autokorelasi return kuadrat dari 𝑋𝑡 dan 𝑋𝑡−1 adalah 𝑙=0
1, 𝜌𝑙 = {
𝛼1 (1−𝛼1 𝛽1 −𝛽12 ) (1−2𝛼1 𝛽1 −𝛽12 )
(𝛼1 + 𝛽1
)𝑙−1
,
𝑙=1
𝜌1 ,
𝑙>1 Bukti 3. Fungsi Autokorelasi dari model GARCH (1,1) dapat dilihat pada 𝛼
persamaan (\eqref{ARMA11}). Perhatikan bahwa 𝐸(𝑋𝑡2 ) = 𝜇 = 1−(𝛼 0+𝛽 ), 1
1
sehingga persamaan \eqref{ARMA11} dapat ditulis kembali 2 𝑋𝑡2 − 𝜇 = (𝛼1 + 𝛽1 )(𝑋𝑡−1 − 𝜇) − 𝛽1 𝜂𝑡−1 + 𝜂𝑡 2 jika kedua ruas dikalikan dengan 𝑋𝑡−𝑙 − 𝜇 kemudian diekspetasikan maka
diperoleh
Untuk 𝑙 = 0 2 𝐸[(𝑋𝑡2 − 𝜇)(𝑋𝑡2 − 𝜇)] = (𝛼1 + 𝛽1 )𝐸[(𝑋𝑡−1 − 𝜇)(𝑋𝑡2 − 𝜇)
−𝛽1 E[ηt−1 (Xt2 − μ)] + E[ηt (Xt2 − μ)] 𝛾0
= (𝛼1 + 𝛽1 )𝛾1 − 𝛽1 𝐸[𝜂𝑡−1 (𝑋𝑡2 − 𝜇)] + 𝐸[𝜂𝑡 (𝑋𝑡2 − 𝜇)]
Perhatikan bahwa 2 𝐸[𝜂𝑡 (𝑋𝑡2 − 𝜇)] = 𝐸[𝜂𝑡 ((𝛼1 + 𝛽1 )(𝑋𝑡−1 − 𝜇) − 𝛽1 𝜂𝑡−1 + 𝜂𝑡 )]
= 𝜎𝜂2 dan 2 𝐸[𝜂𝑡−1 ( 𝑋𝑡2 − 𝜇)] = 𝐸[𝜂_(𝑡 − 1)((𝛼1 + 𝛽1 )(𝑋𝑡−1 − 𝜇) − 𝛽1 𝜂𝑡−1 + 𝜂𝑡 )]
= [(𝛼1 + 𝛽1 ) − 𝛽1 ]𝜎𝜂 = 𝛼1 𝜎𝜂
295
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dari sini diperoleh 𝛾0 = (𝛼1 + 𝛽1 )𝛾1 + (1 − 𝛼1 𝛽1 )𝜎𝜂
(5)
Untuk 𝑙 = 1
2 2 2 𝐸[(𝑋𝑡2 − 𝜇)(𝑋𝑡−1 − 𝜇)] = (𝛼1 + 𝛽1 )𝐸[(𝑋𝑡−1 − 𝜇) (𝑋𝑡−1 − 𝜇)] 2 2 −𝛽1 𝐸[𝜂𝑡−1 (𝑋𝑡−1 − 𝜇)] + 𝐸[𝜂𝑡 (𝑋𝑡−1 − 𝜇)
dari sini langsung diperoleh 𝛾1 = (𝛼1 + 𝛽1 )𝛾0 − 𝛽1 𝜎𝜂
(6)
Untuk 𝑙 ≥ 2 2 2 2 𝐸[(𝑋𝑡2 − 𝜇)(𝑋𝑡−𝑙 − 𝜇)] = (𝛼1 + 𝛽1 )𝐸[(𝑋𝑡−𝑙 − 𝜇) (𝑋𝑡−𝑙 − 𝜇] 2 2 −𝛽1 𝐸[𝜂𝑡−1 (𝑋𝑡−𝑙 − 𝜇)] + 𝐸[𝜂𝑡 (𝑋𝑡−𝑙 − 𝜇)]
dari sini langsung diperoleh 𝛾𝑙 = (𝛼1 + 𝛽1 )𝛾𝑙−1 Selanjutnya dengan menyelesaikan persamaan (5) dan (6) diperoleh (1 − 2𝛼1 𝛽1 − 𝛽12 )𝜎𝜂2 𝛾0 = 1 − (𝛼1 + 𝛽1 )2 [𝛼1 (1 − 𝛼1 𝛽1 − 𝛽 2 )]𝜎𝜂2 𝛾1 = 1 − (𝛼1 + 𝛽1 )2 Dari hasil sebelumnya diperoleh 𝜌1 =
𝛾1 𝛼1 (1 − 𝛼1 𝛽1 − 𝛽12 ) = 𝛾0 (1 − 2𝛼1 𝛽1 − 𝛽12 )
dengan meneruskan proses ini diperoleh fungsi autokorelasi dari 𝜌𝑙 untuk 𝑙 ≥ 2 yaitu 𝜌𝑙 = (𝛼1 + 𝛽1 )𝑙−1 𝜌1 ∎ Proposisi 4. Misalkan 𝑉𝑡 = ln 𝜎𝑡2 memenuhi persamaan (4). Persamaan ini dapat ditulis lagi sebagai berikut: 𝑖−1
𝑉𝑡 = (𝑃𝑖 )𝜔 + (𝑄𝑖 )𝑉𝑡−𝑖 + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 ) 𝑗=0
dimana 𝑖 ∈ ℕ, 𝑃1 = 1dan 𝑄1 = 𝜓1 . Untuk 𝑖 ≥ 2 berlaku
296
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝑃𝑖 = 𝑃𝑖−1 + 𝑄𝑖−1 𝑄𝑖 = 𝑄(𝑖−1) 𝑄1 Bukti 4. Pertama akan dibuktikan untuk 𝑖 = 2 benar. Dari persamaan (2) dapat diperoleh 𝑉𝑡−1 = 𝜔 + 𝜓1 𝑉𝑡−2 + 𝑔(𝜀𝑡−2 ) sehingga untuk 𝑉𝑡 dapat ditulis lagi sebagai berikut 𝑉𝑡 = (1 + 𝜓1 )𝜔 + 𝜓12 𝑉𝑡−2 + 𝜓1 𝑔(𝜀𝑡−2 ) + 𝑔(𝜀𝑡−1 ) Misalkan 𝑃1 = 1 dan 𝑄1 = 𝜓1 maka diperoleh 𝑃2 = 𝑃1 + 𝑄1 = 1 + 𝜓1 dan 𝑄2 = 𝑄1 𝑄1 = \𝑝𝑠𝑖12 . Dari sini terlihat bahwa 1
𝑉𝑡 = (𝑃2 )𝜔 + (𝑄2 ) 𝑉_(𝑡 − 𝑖) + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 ) 𝑗=0
Jadi untuk 𝑖 = 2 pernyataan benar. Selanjutnya, Misalkan untuk 𝑖 = 𝑘 benar maka akan dibuktikan untuk 𝑖 = 𝑘 + 1 benar. Untuk 𝑖 = 𝑘 berlaku 𝑘−1
𝑉𝑡 = (𝑃𝑘 )𝜔 + (𝑄𝑘 )𝑉𝑡−𝑘 + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 ) 𝑗=0
Dimana 𝑃𝑘 = 𝑃𝑘−1 + 𝑄𝑘−1 = 1 + 𝜓1 +. . . +𝜓1𝑘−1 𝑄𝑘 = 𝑄𝑘−1 𝑄1 = 𝜓1𝑘 Dari persamaan (2) dapat diperoleh 𝑉𝑡−𝑘 = 𝜔 + 𝜓1 𝑉𝑡−𝑘+1 + 𝑔(𝜀𝑡−𝑘+1 ) untuk 𝑉_𝑡 dapat ditulis lagi sebagai berikut 𝑘
𝑉𝑡 = (1 +
𝜓1 +. . . +𝜓1𝑘−1
+
𝜓1𝑘 )𝜔
+
𝜓1𝑘+1 𝑉𝑡−𝑘+1
+ ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 ) 𝑗=0
Misalkan 𝑃1 = 1 dan 𝑄1 = 𝜓1 maka diperoleh 𝑃_(𝑘 + 1) = 𝑃𝑘 + 𝑄𝑘 = 1 + 𝜓1 +. . . +𝜓1𝑘−1 + 𝜓1𝑘 𝑄_(𝑘 + 1) = 𝑄1 𝑄1 = 𝜓1𝑘+1 dari sini terlihat bahwa
297
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝑘
𝑉_𝑡 = (𝑃𝑘+1 )𝜔 + (𝑄𝑘+1 )𝑉𝑡−𝑘+1 + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 ) 𝑗=0
Jadi untuk 𝑖 = 𝑘 + 1 pernyataan benar. ∎ Fungsi autokorelasi dari 𝑋𝑡2 untuk model EGARCH dapat ditulis sebagai berikut: 𝐶𝑜𝑣(𝑋_𝑡^2, 𝑋_{𝑡 − 𝑙}^2) 𝐸(exp{𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 }) − (𝐸(exp{𝑉𝑡 })) 𝜌𝑙 = = 𝑉𝑎𝑟(𝑋_𝑡^2) 𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 )
2
Proposisi 5. Misalkan 𝑉𝑡 memenuhi proposisi 4 dengan 𝑉𝑡 ∼ 𝑁(𝜇𝑣 , 𝜎𝑣2 ) maka 1
a. 𝐸(exp{𝑉𝑡 }) = exp {𝜇𝑣 + 2 𝜎𝑣2 } 2
b. 𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 ) = exp{2𝜇𝑣 + 𝜎𝑣2 } [𝐸(𝜀𝑡4 ) − (𝐸(𝜀𝑡2 )) ] 1
c. 𝐸(exp{𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 }) = exp{𝑃𝑙 𝜔} exp{(1 + 𝑄𝑙 )𝜇𝑣 } exp {2 (1 + 𝑄𝑙 )𝜎𝑣 } × 𝑘−1
× 𝐸 (∏ exp{𝑄1𝑖 𝑔(𝜀𝑡−𝑖+1 )}) 𝑖=0
Bukti 5. a. Karena 𝑉𝑡 ∼ 𝑁(𝜇𝑣 , 𝜎𝑣2 ) maka 𝐸(exp{𝑉𝑡 }) adalah fungsi pembangkit moment dari 𝑉𝑡 sehingga langsung diperoleh 1 𝐸(exp{𝑉𝑡 }) = exp {𝜇𝑣 + 𝜎𝑣2 } 2 b. Perhatikan bahwa 𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 ) = 𝐸(𝑌𝑡4 ) − 𝐸(𝑌𝑡2 )2 Sehingga diperoleh 2
𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 ) = 𝐸(exp{2𝑉𝑡 } 𝐸(𝜀𝑡4 ) − 𝐸(exp {2𝑉𝑡 })(𝐸(𝜀𝑡2 )) \\ 2
= exp{2𝜇𝑣 + 𝜎𝑣2 } [𝐸(𝜀𝑡4 ) − (𝐸(𝜀𝑡2 )) ] c. Dengan menggunakan proposisi (4) dapat diperoleh 𝑖−1
𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 = (𝑃𝑙 )𝜔 + (1 + 𝑄𝑙 )𝑉𝑡−𝑙 + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 ) 𝑗=0
sehingga dengan menggunakan hasil (a) maka diperoleh
298
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝐸(exp{𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 } = 𝐸(exp{(𝑃𝑙 )𝜔})𝐸(exp{(1 + 𝑄𝑙 )𝑉𝑡−𝑙 }) × 𝑖−1
× 𝐸(exp {∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 )} 𝑗=0
1 = exp{𝑃𝑙 𝜔} exp(1 + 𝑄𝑙 )𝜇𝑣 exp{ (1 + 𝑄𝑙 )𝜎_𝑣 } × 2 𝑘−1
× 𝐸(∏ exp{𝑄1𝑖 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 )}) ∎ 𝑖=0
KESIMPULAN 1. Model GARCH (1,1) dapat dinyatakan dalam bentuk model ARMA (1,1) dalam bentuk 𝑋𝑡2 . Oleh karena itu, syarat kestasioneran model GARCH(1,1) dapat diperoleh dari model ARMA (1,1) yaitu 0 < 𝛼1 + 𝛽1 < 1. 2. Syarat Kestasioneran Model EGARCH (1,1) dapat diperoleh dengan memrepresentasikan model EGARCH (1,1) dalam bentuk model AR (1) sehingga diperoleh syarat kestasioneran ln\𝑠𝑖𝑔𝑚𝑎^2_𝑡 adalah |𝜓1 | < 1. 3. Fungsi autokorelasi return kuadrat dari model GARCH (1,1) adalah 𝑙=0 1, 𝜌𝑙 = {
𝛼1 (1−𝛼1 𝛽1 −𝛽12 ) (1−2𝛼1 𝛽1 −𝛽12 ) (𝛼1 + 𝛽1 )𝑙−1 𝜌1 ,
,
𝑙=1
𝑙>1 4. Fungsi autokorelasi return kuadrat untuk model EGARCH sulit diperoleh karena dalam bentuk logaritma. Oleh karena itu, untuk mempermudah kalkulasi maka model EGARCH dapat dinyatakan dalam bentuk rekursif, yaitu; 𝑖−1
𝑉𝑡 = (𝑃𝑖 )𝜔 + (𝑄𝑖 )𝑉𝑡−𝑖 + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 ) 𝑗=0
dimana 𝑖 ∈ ℕ, 𝑃1 = 1dan 𝑄1 = 𝜓1 . Untuk 𝑖 ≥ 2 berlaku 𝑃𝑖 = 𝑃𝑖−1 + 𝑄𝑖−1 𝑄𝑖 = 𝑄(𝑖−1) 𝑄1
5. Fungsi autokorelasi dari $X_t^2$ untuk model EGARCH dapat ditulis sebagai berikut: 299
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝐶𝑜𝑣(𝑋_𝑡^2, 𝑋_{𝑡 − 𝑙}^2) 𝐸(exp{𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 }) − (𝐸(exp{𝑉𝑡 })) 𝜌𝑙 = = 𝑉𝑎𝑟(𝑋_𝑡^2) 𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 )
2
Dengan 1
a. 𝐸(exp{𝑉𝑡 }) = exp {𝜇𝑣 + 2 𝜎𝑣2 } 2
b. 𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 ) = exp{2𝜇𝑣 + 𝜎𝑣2 } [𝐸(𝜀𝑡4 ) − (𝐸(𝜀𝑡2 )) ] 1
c. 𝐸(exp{𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 }) = exp{𝑃𝑙 𝜔} exp{(1 + 𝑄𝑙 )𝜇𝑣 } exp {2 (1 + 𝑄𝑙 )𝜎𝑣 } × 𝑘−1
× 𝐸 (∏ exp{𝑄1𝑖 𝑔(𝜀𝑡−𝑖+1 )}) 𝑖=0
Referensi Bollerslev, T. (1986). Generalized autoregressive conditional heteroskedasticity. Journal of Econometrics, 31, 307-327. Engle, R.F. (1982). Autoregressive Conditional Heteroscedasticity with Estimates of the Variance of United Kingdom Inflation. Econometrica, 50, 987-1007 Hasan, I.K. (2015). Model GARCH (1,1) dan EGARCH (1,1): Fakta Empiris Return dan Volatilitas. Tesis. Bandung: Fakultas MIPA, Institut Teknologi Bandung. Nelson, D.B. (1991). Conditional heteroskedasticity in asset returns: A new approach. Econometrica , 59, 347-370.
300
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ANALISIS SENSITIVITAS PENGARUH EDUKASI, SKRINING DAN TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA MODEL PENYEBARAN HIV/AIDS Marsudi1, Noor Hidayat2, RatnoBagus E.W.3 1
Universitas Brawijaya, e-mail:
[email protected] 2 Universitas Brawijaya, e-mail:
[email protected] 3 Universitas Brawijaya, e-mail:
[email protected]
Abstrak. Sebuah model matematika nonlinear telah digunakan untuk mengkaji pengaruh edukasi, skrining dan terapi antiretroviral pada model penyebaran HIV/AIDS. Dalam model penyebaran HIV/AIDS, populasi dibagi menjadi enam subpopulasi: susceptibles, educated susceptibles, unaware infectives, aware infectives dan AIDS population. Model telah dianalisis eksistensi dari titik kesetimbangan dan kestabilannya serta analisis sensitivitas dari angka reproduksi efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa titik kesetimbangan bebas penyakit adalah stabil asimtotik jika angka reproduksi efektif lebih kecil dari satu dan tidak stabil jika angka reproduksi efektif lebih besar dari satu. Dari analisis keempat keadaan epidemiologi dalam populasi disimpulkan bahwa endemisitas HIV dapat direduksi menggunakan skrining pada unaware infectives, program edukasi pada susceptible dan program terapi antiretroviral pada screened infectives dalam populasi. Menggunakan data simulasi, angka reproduksi efektif lebih besar satu (infeksi HIV/AIDS bertahan dalam populasi). Analisis sensitivitas dan kajian numerik dari model mendukung dan memverifikasi hasil analisis secara analitik dalam memeriksa pengaruh parameter-parameter kunci dalam penyebaran infeksi HIV/AIDS. Kata Kunci : HIV/AIDS, angka reproduksi efektif, analisis sensitivitas, edukasi, dan skrining.
PENDAHULUAN Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang dan menghancurkan sistem kekebalan dalam tubuh manusia. Sistem kekebalan merupakan sistem pertahanan tubuh yang alami untuk melawan segala jenis infeksi dan penyakit. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kondisi pada pengidap HIV yang mengalami sakit serius karena sistem kekebalan tubuhnya tidak dapat lagi berfungsi secara efektif melawan penyakit. Penderita AIDS kehilangan begitu banyak sel darah putih (sel CD4). Jika sel CD4 yang tersedia 200 sel/mm3 darah, maka tubuh tidak cukup terlindungi. Sepanjang sejarah epidemi infeksi HIV/AIDS, program pencegahan ditujukan terutama untuk menurunkan resiko penularan pada individu yang negatif HIV atau individu yang tidak mengetahui status HIVnya. Salah satu program pencegahan 301
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
HIV/AIDS adalah sosialisasi pencegahan melalui media komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS. Sampai saat ini, banyak penelitian menggunakan program atau srategi-strategi untuk pengendalian penyebaran HIV/AIDS, misalnya Naresh et al. [1] mengkaji efek vaksinasi pada penyebaran HIV/AIDS dalam populasi homogen, Safiel et al. [2] mengkaji pengaruh skrining dan trietmen pada penyebaran infeksi HIV/AIDS dalam populasi. Hussaini et al. [5] mengkaji program edukasi kesehatan publik dalam penyebaran HIV. Salah satu permasalahan yang timbul adalah bagaimana mengukur efektifitas dari program-program pengendalian tersebut. Saat ini, perkembangan efektifitas layanan edukasi, VCT (Voluntary Counseling and Testing) memadai meskipun
cakupan
dan terapi antiretroviral (ARV) belum
program
meningkat.
Banyak
aspek
penanggulangan yang belum diketahui, misalnya fenomena penyebaran epidemik HIV/AIDS. Analisis sensitivitas mengkaji variasi output dari model yang disebabkan oleh variasi dalam input. Pada dasarnya, analisis sensitivitas menentukan parameterparameter dan kondisi awal mana (input) mempengaruhi kuantitas yang diperhatikan (output) dari model. Chitnis et al. [3], Marsudi [4] mengkaji sensitivitas model epidemiologi HIV dengan edukasi dan Marsudi dkk. [5] telah mengevaluasi indeks-indeks sensitivitas dari angka reproduksi efektif terhadap parameter-parameter model penyebaran HIV/AIDS dengan pengaruh skrining dan pengobatan (terapi). Dalam artikel ini akan difokuskan pada analisis sensitivitas pengaruh edukasi, skrining dan terapi anteretroviral dalam penyebaran HIV/AIDS dalam populasi menggunakan model matematika nonlinear.
MODEL PENYEBARAN HIV/AIDS Model penyebaran HIV/AIDS dengan edukasi, skrining dan terapi antiretroviral dideskripsikan menggunakan model kompartemen di mana secara demografi populasi dibagi menjadi enam subpopulasi: susceptibles (S), educated susceptibles (E) unaware infectives (I1), screened infectives (I2), therapy infectives (T) dan AIDS patients (A). Diasumsikan bahwa: Laju penyebaran proporsional dengan 302
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
susceptibles dan rasio antara anggota-anggota populasi terinfeksi dengan total populasi, unaware infectives menjadi screened infectives dengan laju , unaware infectives, screened infectives dan unaware infectives menjadi AIDS patients dengan laju masing-masing 1 , 2 dan ( 2 1 ), hanya individu-individu screened infectives yang menjadi unaware infectives dan menerima terapi HIV dengan laju dan unaware infectives, screened infectives dan unaware infectives dapat menginfeksi populasi unaware infectives dengan laju
1 , 2 dan 3
( 3 2 1 ). Ada rekruitmen educated susceptible dengan proporsi p. Edukasi HIV/AIDS pada susceptible mereduksi laju infeksi dengan faktor (1 ), di mana mengukur keefektifan edukasi HIV/AIDS (0 1). adalah laju rekruitmen
susceptible, adalah laju kematian karena penyakit dan adalah laju kematian alami. Berdasarkan asumsi di atas, transisi antara keenam subpopulasi dapat disajikan dalam model matematika berbentuk sistem persamaan diferensial nonlinear
dS (1 p) E ( ) S dt dE p S [(1 ) ]E dt dI1 S (1 )E ( 1 ) I 1 dt dI 2 I 1 ( 2 ) I 2 dt dT I 2 ( )T dt dA 1 I 1 2 I 2 T ( ) A dt di mana
(1)
c1 1 I 1 c 2 2 I 2 c3 3T , N S E I1 I2 T A dengan kondisi awal N
S (0) S 0 , E (0) E0 , I 1 (0) I 10 , I 2 (0) I 20 , T (0) T0 , A(0) A0 .
(2)
Himpunan solusi fisibel dari sistem (1) adalah
( S , E , I 1 , I 2 , T , A) R 6 S E I 1 I 2 T A N
(3)
di mana merupakan himpunan invarian positif dari sistem (1). ANGKA REPRODUKSI EFEKTIF 303
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Angka reproduksi efektif, Re mengukur rata-rata jumlah infeksi baru yang disebabkan oleh satu individu terinfeksi HIV dalam suatu populasi di mana program edukasi HIV/AIDS, skrining dan terapi antiretroviral digunakan sebagai strategi kontrol. Sistem (1) mempunyai titik kesetimbangan bebas penyakit
[(1 p)( ) p ] [(1 p) p( )] E 0* , , 0, 0, 0, 0 . ( ) ( )
(4)
Angka reproduksi efektif dari sistem (1) diperoleh menggunakan metode matriks generasi berikutnya. Angka reproduksi efektif (Re) dari sistem (1) adalah
Re
c11 [ p( (1 )( )) (1 p)( (1 ) )] ( )( 1 )
c2 2 [ p( (1 )( )) (1 p)( (1 ) )] ( )( 1 )( 2 )
c3 3 [ p( (1 )( )) (1 p)( (1 ) )] . ( )( 1 )( 2 )( )
(5)
Dari ekspresi angka reproduksi efektif (5) di mana Re merupakan jumlahan angka reproduksi dari unaware infectives I1,
ReI1
c1 1 [ p( (1 )( )) (1 p)( (1 ) )] , ( )( 1 )
(6)
angka reproduksi dari aware infectives I2, ReI2
c2 2 [ p( (1 )( )) (1 p)( (1 ) )] ( )( 1 )( 2 )
(7)
dan angka reproduksi dari therapy infectives T, ReT
c3 3 [ p( (1 )( )) (1 p)( (1 ) )] . ( )( 1 )( 2 )( )
(8)
Jadi, Re ReI1 ReI2 ReT .
(9)
Dari ekspresi persamaan-persamaan ReI1 , ReI 2 dan ReT di atas, tampak bahwa ReI1 ReI2 ReT artinya: unaware infectives (I1) mempunyai kontribusi yang
signifikan pada penyebaran infeksi HIV/AIDS diikuti oleh screened infectives (I2) dan mempertahankan endemik penyakit dalam populasi melalui c1 1 dan c2 2 .
304
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kemudian diikuti oleh therapy infectives (T) melalui c3 3 . Dalam hal tidak ada infeksi, ukuran populasi mendekati sebuah titik mantab (steady point) / . Selanjutnya dianalisis empat keadaan dalam populasi: (1) Model tanpa intervesi ( S 2 0, I 2 0, T 0) Dalam hal ini, ekivalen dengan mengambil 2 0 . Maka angka reproduksi efektif Re direduksi menjadi R0
c11 . N ( 1 )
(10)
Perhatikan bahwa Re R0 . Dengan demikian, intervensi seperti edukasi kesehatan, skrining dan terapi antiretroviral mempunyai dampak positif pada pereduksian penyebaran infeksi HIV dalam populasi.
(2) Model hanya dengan skrining ( S 2 0, T 0) Dalam model ini terdapat skrining tetapi tanpa edukasi kesehatan dan terapi antiretroviral. Oleh karena itu, 0 . Maka angka reproduksi efektif Re direduksi menjadi ReS
c11 ( 2 ) c2 2 . ( 1 )( 2 )
(11)
Jika 0, maka Res R0 . Ekspresi ReS dapat ditulis sebagai ReS R01 R02
(12)
di mana
R01
c1 1 c2 2 dan R02 . ( 1 ) ( 1 )( 2 )
Perhatikan bahwa R01 R02 , Dari ekspresi ReS (12), HIV dapat dieliminasi dari masyarakat jika Res 1 dan ini hanya mungkin jika laju skrining meningkat. (3) Model hanya dengan skrining dan edukasi kesehatan (T 0)
Dalam kasus ini terdapat skrining dan edukasi kesehatan tetapi tidak ada terapi antiretroviral. Oleh karena itu, 0 . Maka angka reproduksi efektif Re direduksi menjadi
305
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ReSE
c11 [ p( (1 )( )) (1 p)( (1 ) )] ( 1 )( )
c [ p( (1 )( )) (1 p)( (1 ) )] 2 2 . ( 1 )( 2 )( )
(13)
Ekspresi dari ReSE dapat ditulis sebagai ReSE R03 R04
(14)
di mana R03
c11 [ p( (1 )( )) (1 p )( (1 ) )] ( 1 )( )
R04
c2 2 [ p( (1 )( )) (1 p)( (1 ) )] . ( 1 )( 2 )( )
Perhatikan bahwa R03 R04 . Jika laju edukasi kesehatan turun, maka HIV ada dan menjadi endemik dalam populasi. (4) Model hanya dengan skrining dan terapi antiretroviral ( S 2 0)
Dalam kasusu ini terdapat skrining dan terapi antiretroviral tetapi tanpa edukasi kesehatan. Hal ini ekivalen dengan mengambil p 0 . Maka angka reproduksi efektif Re direduksi menjadi ReST
c11 ( 2 )( ) c2 2 ( ) c3 3 . ( 1 )( 2 )( )
(15)
Ekspresi dari ReST dapat ditulis sebagai ReST R01 R05 R06
(16)
di mana R01
c11 , ( 1 )
R06
c3 3 . ( 1 )( 2 )( )
Perhatikan bahwa
R05
c2 2 , ( 1 )( 2 )
R01 R05 R06 , yang berarti bahwa edukasi kesehatan
kurang berkontribusi pada penyebaran infeksi HIV. Laju edukasi kesehatan sangat penting dalam mereduksi penyebaran infeksi dalam populasi. Nilai parameter besar akan menurunkan ReST dan akan mengeliminasi penyakit jika ReST 1.
Angka reproduksi efektif, Re yang diperoleh dari metode matriks generasi 306
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
berikutnya menentukan kestabilan lokal dari titik kesetimbangan bebas penyakit. Menggunakan teori kestabilan, diperoleh hasil sebagai berikut.
Teorema 1 Titik kesetimbangan bebas penyakit E0 dari sistem (1) adalah stabil asimptotik lokal jika Re 1 dan tidak stabil jika Re 1.
ANALISIS SENSITIVITAS Analisis sensitivitas dilakukan untuk menemukan parameter-parameter model yang berpengaruh tinggi pada nilai ambang Re. Indeks sensitivitas dari nilai ambang Re mengukur penyebaran penyakit awal dan untuk mengukur perubahan relatif dalam Re jika suatu parameter berubah sementara parameter-parameter lain tetap. Indeks sensitivitas pada parameter yang mempunyai pengaruh tinggi pada Re dapat dijadikan sasaran dalam rangka mengendalikan penyebaran penyakit. Oleh karena itu, perlu dihitung indeks sensitifitas dari nilai ambang Re menggunakan rumus normalisasi maju dari Re yang bergantung diferensiasi pada
parameter p ,
didefinisikan dengan I pRe
Re p . p Re
(17)
Menggunakan nilai-nilai parameter: 1 086 , 2 0.15, 3 0.10, 0.6, 0.1, 0.99, c1 3, c2 2, c3 1, 1 0.20, 2 0.01, 0.001, 0.32, 0.015 , 0.99, 0.615, p 0.145 dan 700 diperoleh :
Re 1.9199 , ReS 4,6849 , ReST 3,6425 , ReSE 2,4693 dan R0 8,60 . Menggunakan nilai-nilai parameter di atas, indeks sensitivitas dari Re terhadap
1 dan adalah I Re 1
Re 1 0.5519 1 Re
dan
IRe
Re 1.4589 Re
(18)
Indeks sensitifitas dari angka-angka reproduksi Re terhadap parameter-parameter yang lain disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Indeks sensitivitas dari angka reproduksi 307
KNPM 6
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Indeks sensitivitas
Parameter
1 and c1
3 and c3 1
2 and c2
p
2
Re -1.4589 0.5519 0.3431
ReSE -1.4589 0.6119 -
ReST 0.7869 0.1631
ReS 0.6119 -
R0 1 -
-0.3242 -0.2222 -0.2186 -0.1983 0.1050 -0.0602 -0.0389 0.0309 -0.0041 -0.0034
-0.2966 -0.2222 -0.2786 -0.1983 0.3881 -0.0389 0.0309 -0.0353 -
-0.2919 -0.2222 -0.4537 0.1050 -0.0286 -0.0019 -0.0016
-0.4639 -0.2222 -0.2786 0.3881 -0.0353 -
-0.3333 -0.6666 -
Dari Tabel 1, secara umum menunjukkan bahwa parameter-parameter
1 , 2 , 3 , c1 , c2 , c3 dan mempunyai indeks sensitifitas positif, artinya: jika parameter-parameter 1 , 2 , 3 , c1 , c2 , c3 dan dinaikkan (diturunkan) sementara parameter yang lain konstan akan menaikkan (menurunkan) nilai dari Re. Sedangkan parameter-parameter , , 1 , , , , p, 2 dan mempunyai indeks sensitifitas
negatif,
artinya:
jika
parameter-parameter
, , 1 , , , , p, 2 dan dinaikkan (diturunkan) sementara parameter yang lain konstan akan menurunkan (menaikkan) nilai dari Re . Tabel 1 kolom tiga menunjukkan urutan parameter yang paling sensitif sampai yang kurang sensitif terhadap perubahan Re. Parameter yang paling sensitif adalah laju keefektifan edukasi , diikuti oleh laju kontak (frekwensi hubungan) dari unaware infectives dengan suscepribles (1 (c1 )), dan parameter yang kurang sensitif adalah laju progresi dari therapy infectives ke AIDS patient ( ). Dalam hal ini, laju rekrutmen ( ) dan laju kematian karena HIV/AIDS ( ) tidak berpengaruh terhadap Re. Menggunakan nilai-nilai parameter di atas dan kondisi inisial:
N (0) 1000.000.000, S (0) 25.000.000, I1 (0) 1.000.000, I 2 (0) 125.000, T (0) 25 .0000 dan A(0) 10 .0000 , diperoleh diagram variasi dari populasi
308
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dalamkelas-kelas berbeda (Gambar 1) sebagai berikut: 7
Populasi
10
x 10
8
S E I1
6
I2
4
T A
2 0
0
1
2
3
4
5 Waktu (Tahun)
6
7
8
9
10
Gambar 1. Diagram variasi dari populasi dalam kelas-kelas berbeda Gambar 1 menunjukkan bahwa kurva prevalensi cenderung turun menuju nilai konstan (titik kesetimbangan endemik), artinya dengan intervensi (edukasi kesehatan, skrining dan terapi antiretroviral penyebaran HIV/AIDS dapat diturunkan menuju nilai konstan.
KESIMPULAN Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa dengan menaikkan laju keefektifan laju edukasi, laju skrining dan laju terapi antiretroviral akan menurunkan menurunkan penyebaran infeksit HIV. Sebaliknya, dengan menurunkan laju kontak (frekwensi hubungan) antara unaware infectives, screened infectives dan therapy infectives dengan susceptible akan menurunkan menurunkan penyebaran infeksit HIV. Mengingat program edukasi kesehatan, skrining dan terapi antiretroviral dapat mereduksi penyebaran HIV/AIDS, maka program ini harus dipertahankan dan ditingkatkan jangkauannya. Program edukasi kesehatan publik harus ditingkatkan dan mencapai masyarakat untuk semua jenjang sosial untuk meningkatkan perilaku positif dalam rangka mencegah penyebaran penyakit khusunya HIV/AIDS. Parameter yang paling sensitif adalah laju keefektifan edukasi , diikuti oleh laju kontak (frekwensi hubungan) dari unaware infectives dengan suscepribles (1 (c1 )), dan parameter yang kurang sensitif adalah laju progresi dari therapy
infectives ke AIDS patient ( ). 309
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR PUSTAKA Naresh, R. , Tripath, A. and Sharma, D. 2009. Modelling the Effect of Risky Sexual Behavior on The Spread of HIV/AIDS, International Journal of Applied Mathematics and Computation 1 (3), 132-147. Safiel, R., Massawe, E. S. and Makinde, D. O. , 2012. Modelling the Effect Screening and Treatment on Transmission of HIV/AIDS Infection in a Population, American Journal of Mathematics and Statistics 2 (4), 75–88. Chitnis, N., Hyman, J.M. and Cushing, J.M. 2008.Determining Important Parameter in the Spread of Malaria Through the Sensitivity Analysis of Mathematical Model, Department of Public Health and Epidemiology 70, 1272-1296. Marsudi, 2014.Analisis Sensitivitas Model Epidemiologi HIV dengan Edukasi, Prosiding KNM XVII 2014, ISBN:978-602-96426-3-6, 907-917.
310