Edu-Bio; Vol. 3, Tahun 2012
INTERAKSI SIMBOLIK, KONSTRUKTIVISME, TEORI KRITIS, POSTMODERNIMISME DAN POSTSTRUKTURALISME (Telaah Basis Teoritis Paradigma Penelitian Kualiatatif) M. Syahran Jailani*
A. Latar Belakang Pada hakikatnya penelitian diawali dari hasrat keingintahuan peneliti yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan atau permasalahan. Setiap pertanyaan atau permasalahan tersebut perlu jawaban atau pemecahan. Dari jawaban dan pemecahan tersebut peneliti memperoleh pengetahuan yang benar mengenai suatu masalah. Pengetahuan yang benar adalah yang dapat diterima akal dan berdasarkan fakta empirik. Untuk memperolehnya harus mengikuti kaidah-kaidah dan menurut cara-cara bekerjanya akal yang disebut logika, dan dalam pelaksanaannya diwujudkan melalui penalaran.. Pengetahuan yang benar tersebut disebut juga pengetahuan ilmiah atau ilmu. Dengan demikian penelitian ilmiah adalah suatu metode ilmiah untuk memperoleh pengetahuan menggunakan penalaran. Penalaran tersebut dilaksanakan melalui prosedur logika deduksi dan induksi. Dengan pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain untuk pengembangan pengetahuan dan teknologi, perencanaan pembangunan dan untuk pemecahan masalah-masalah dalam kehidupan manusia. Penelitian atau research sebagaimana dimaksudkan, melihat dari asal katanya berawal dari kata re dan to search yang berarti mencari kembali yang menunjukkan adanya proses berbentuk siklus bersusun yang selalu berkesinambungan. Namun pada dasarnya, penelitian dimaksud dimulai dari hasrat keingintahuan dan pemahaman terhadap permasalahan, dilanjutkan dengan pengkajian landasan teoritis yang terdapat dalam kepustakaan untuk mendapatkan jawaban sementara atau hipotesis, tetapi hal ini juga sangat tergantung kepada jenis metodologi yang digunakan oleh si peneliti. Selanjutnya direncanakan dan dilakukan pengumpulan data untuk menguji hipotesis yang akan diperoleh kesimpulan dan jawaban permasalahan. Dalam proses pemecahan masalah dan dari jawaban permasalahan tersebut akan timbul
1
Syahran Jailani, Interaksi …
permasalahan baru, sehingga akan terjadi siklus secara berkesinambungan. Sementara itu, setiap metode ataupun pendekatan yang digunakan didasari oleh pemikiran-pemikiran ataupun teori-teori yang digunakan sebagai pijakan berpikir. Tanpa teori suatu metode ataupun pendekatan bagaikan bangunan tanpa fondasi akibatnya metode tersebut akan mudah tergoyahkan. Salah satu fungsi utama teori ialah memberikan fondasi dalam rangka berpikir ilmiah. Pada desain penelitian kualitatif bersifat fleksibel dan berubah-ubah sesuai dengan kondisi lapangan tidak seperti desain riset penelitian kuantitatif yang bersifat tetap, baku dan tidak berubah-ubah. Walaupun pada dasarnya secara umum diakui terdapat dua paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma positivist (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif) sebagaimana dimaksudkan, namun ada ahli yang memposisikannya secara diametral, namun ada juga yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna integratif maupun bersifat komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran filosofis/teoritis maupun dalam tataran praktis pelaksanaan penelitian yang justru dengan perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode yang akan diterapkan apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Secara praktis perbedaan antara keduanya nampak sederhana dan hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya mempunyai landasan epistemologis/filosofis yang sangat berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham positivisme, sementara itu penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham naturalistik (fenomenologis). Beranjak dari pemaparan di atas, tulisan ini mencoba mengulas hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman basis teoritis dari suatu bunga rampai karya ilmiah yang dianggap penting atau kapita selektanya terutama yang berkaitan dengan teori interaksi simbolik, konstruktivisme, teori-teori kritis, posmodernimisme dan posstrukturalisme dalam penelitian kualitatif. Namun demikian, keberadaan berbagai paham dan atau teori dimaksud setidaktidaknya dapat dijadikan perbandingan dan atau membantu untuk mengkaji sesuatu hal yang berkaitan dengan penelitian itu sendiri. Secara sistematis dalam tulisan ini di bahas hal-hal yang berkaitan dengan paham dan atau teori sebagaimana dimaksudkan. 2
Edu-Bio; Vol. 3, Tahun 2012
B. Pembahasan 1. Pemahaman Tentang teori dan fungsinya Secara umum istilah teori dalam ilmu sosial mengandung beberapa pengertian sebagai berikut: a. Teori adalah abstraksi dari realitas. b. Teori terdiri dari sekumpulan prinsip dan defenisi yang secara konseptual mengorganisasikan aspek-aspek dunia empiris secara sistematis; c. Teori terdiri dari asumsi-asumsi, proposisi-proposisi, dan aksioma-aksioma dasar yang saling berkaitan; d. Teori terdiri dari teorema-teorema yakni generalisasigeneralisasi yang diterima/terbukti secara empiris. Beranjak dari beberapa unsur teori di atas, dapat dikatakan bahwa teori pada dasarnya merupakan konseptualisasi atau penjelasan logis dan empirik tentang suatu fenomena. Bentuknya merupakan pernyataan-pernyataan yang dapat berupa kesimpulan tentang suatu fenomena. Hal ini berarti, teori pada dasarnya memiliki dua ciri utama yakni : a. Semua teori adalah abstraksi tentang sesuatu hal, yang berarti suatu teori bersifat terbatas; b. Semua teori adalah konstruski ciptaan individual manusia, oleh karena itu sifatnya relatif dalam arti tergantung pada cara pandang sipencipta teori, sifat dan aspek yang diamati, serta kondisi-kondisi lain yang mengikat seperti waktu, tempat dan lingkungan sekitarnya. Berkaitan dengan keberadaan teori sebagaimana dimaksudkan di atas, setidak-tidaknya terdapat 9 fungsi dari teori, antara lain : (Stephen W. Littlejohn, 1996) a. Mengorganisasikan dan menyimpulkan pengetahuan tentang suatu hal. Ini berarti bahwa dalam mengamati realitas kita tidak boleh melakukan secara sepotong-sepotong. Kita perlu mengorganisasikan dan mensintesiskan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan nyata. Pola-pola dan hubungan-hubungan harus dapat dicari dan ditemukan. Pengetahuan yang diperoleh dari pola atau hubungan itu kemudian disimpulkan. Hasilnya (berupa teori) akan dapat dipakai sebagai rujukan atau dasar bagi upaya-upaya studi berikutnya; b. Memfokuskan, artinya teori pada dasarnya menjelaskan tentang sesuatu hal, bukan banyak hal; c. Menjelaskan, hal ini berarti teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yang diamatinya. Misalnya mampu menjelaskan pola-pola hubungan dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa tertentu; 3
Syahran Jailani, Interaksi …
d. Pengamatan. Teori tidak sekedar memberi penjelasan, tapi juga memberikan petunjuk bagaimana cara mengamatinya, berupa konsep-konsep operasional yang akan dijadikan patokan ketika mengamati hal-hal rinci yang berkaitan dengan elaborasi teori; e. Membuat predikasi. Meskipun kejadian yang diamati berlaku pada masa lalu, namun berdasarkan data dan hasil pengamatan ini harus dibuat suatu perkiraan tentang keadaan yang bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori juga tercermin dalam kehidupan di masa sekarang. Fungsi prediksi ini terutama sekali penting bagi bidangbidang kajian komunikasi terapan seperti persuasi dan perubahan sikap, komunikasi dalam organisasi, dinamika kelompok kecil, periklanan, public relations dan media massa; f. Fungsi heuristik atau heurisme. Artinya bahwa teori yang baik harus mampu merangsang penelitian selanjutnya. Hal ini dapat terjadi apabila konsep dan penjelasan teori cukup jelas dan operasional sehingga dapat dijadikan pegangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya; g. Komunikasi. Teori tidak harus menjadi monopoli penciptanya. Teori harus dipublikasikan, didiskusikan dan terbuka terhadap kritikan-kritikan, yang memungkinkan untuk menyempurnakan teori. Dengan cara ini maka modifikasi dan upaya penyempurnaan teori akan dapat dilakukan; h. Fungsi kontrol yang bersifat normatif. Asumsi-asumsi teori dapat berkembang menjadi nilai-nilai atau norma-norma yang dipegang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, teori dapat berfungsi sebagai sarana pengendali atau pengontrol tingkah laku kehidupan manusia; i. Generatif. Fungsi ini terutama menonjol di kalangan pendukung aliran interperatif dan kritis. Menurut aliran ini, teori juga berfungsi sebagai sarana perubahan sosial dan kultural serta sarana untuk menciptakan pola dan cara kehidupan yang baru. 2. Interaksi Simbolik Istilah interaksi simbolik telah lama dikenal dalam lapangan ilmu pengetahuan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Chicago School Approach untuk penelitian. Jhon Dewey adalah seorang pilosof pragmatism dan juga seorang pendidik telah mengakui istilah interaksi simbolik. Geroge Herbert Mead dikenal sebagai orang yang mengembangkannya dengan formulasi otak,
4
Edu-Bio; Vol. 3, Tahun 2012
diri dan masyarakat, selanjutnya disebutlah namanya dengan istilah interaksi simbolik. (Bogdan & Biklen:1982;36) Interaksi simbolik pada dasarnya merupakan suatu model penelitian yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia, di mana interaksi simbolik ini, memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya. Oleh karenannya, perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut. Hal di atas jika dikaitkan dengan penelitian di bidang budaya, maka menurut Blumer dalam K. Denzin (1994; 143) ada beberapa premis interaksi simbolik yang perlu dipahami: Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Misalkan, para polisi, mobil polisi, penjual minum, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus; Kedua, dasar interaks simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefinikan dalam konteks orang yang berinteraksi; Ketiga, dari interaks simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpretasikan situasi. Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh prinsip interaksi simbolik, yaitu: (1) simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks; (2) karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subyek penelitian; (3) peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya; (4) 5
Syahran Jailani, Interaksi …
perlu direkam situasi yang melukiskan simbol; (5) metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya; (6) perlu menangkap makna di balik fenomena; (7) ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peneliti memang harus cermat dalam memperhatikan interaksi manusia dalam komunitasnya. Interaksi manusia tersebut, umumnya ada yang berencana, tertata, resmi, dan juga tidak resmi. Berbagai momen interaksi dalam bentuk apa pun, perlu diperhatikan oleh peneliti budaya. Pelaku budaya tidak dapat dianggap sebagai komunitas yang pasif, melainkan penuh interaksi dinamis yang banyak menawarkan simbol-simbol. Pada saat ini peneliti segera memasuki interaksi budaya pelaku. Dalam setiap gerak, pelaku budaya akan berinteraksi dengan yang lain. Pada saat itu, mereka secara langsung maupun tidak langsung telah membeberkan stock of culture yang luar biasa banyaknya. Persediaan pengetahuan yang ditampilkan lewat interaksi itulah yang menjadi fokus penelitian bagi model interaksi simbolik. Dari interaksi tersebut, akan muncul sejumlah tandatanda, baik verbal maupun non verbal yang unik. Sebagai ilustrasi, oleh karena kemajuan zaman semakin pesat, peneliti juga perlu memperhatikan ketika pelaku budaya berinteraksi melalui alat-alat canggih. Mungkin sekali mereka berinteraksi menggunakan HandPhone (HP), internet, faximile, surat dan lain-lain. Seluruh aktivitas budaya semacam itu tidak lain merupakan incaran peneliti interaksi simbolik. Yang perlu diingat oleh peneliti budaya adalah, bahwa pelaku itu sendiri adalah aktor yang tidak kalah cerdiknya dengan pemain drama. Karena itu dari waktu ke waktu interaksi mereka perlu dicermati secara mendalam. Jangan sampai ada interaksi semu yang sengaja menjebak peneliti. Hal tersebut berarti, bahwa pandangan model interaksi simbolik beranggapan bahwa perilaku budaya pada dasarnya berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi komunitasnya. Jadi, bukan sebaliknya, di mana interaksi mereka dibingkai oleh aturan-aturan mati, namun melainkan melalui interaksi simbolik akan muncul aturan-aturan yang disepakati secara kolektif. Dalam arti, makna budaya akan tergantung proses interaksi pelaku. Makna biasanya muncul dalam satuan interaksi yang kompleks, dan terkadang muncul dalam interaksi kecil antar individu. Dengan demikian, model interaksi simbolik akan menganalisis berbagai hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali 6
Edu-Bio; Vol. 3, Tahun 2012
menggunakan simbol-simbol atau model unik atau spesial yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling berinteraksi. Katakan saja, kemenyan dan bunga kantil, keduanya kalau berdiri sendiri belum mewujudkan sebuah simbol bermakna. Namun, ketika benda tersebut diletakkan pada salah satu prosesi budaya, diberi mantra oleh seorang dukun dan sebagainya, barulah benda simbolik dan hal itu mempunyai makna. Berkaitan dengan itu, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan bagi peneliti interaksi simbolik, yaitu: a. simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif; b. pelaku budaya akan mampu merubah simbol dalam interaksi sehingga menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim; c. pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan tergantung permainan bahasa si pelaku; d. makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu tertentu. Atas dasar hal-hal tersebut di atas, berarti interaksi simbolik merupakan model penelitian yang lebih cocok diterapkan untuk mengungkap makna prosesi budaya sebuah komunitas. Dari prosesi itu akan terungkap makna di balik interaksi budaya antar pelaku, artinya, yang diharapkan adalah pengungkapan proses budaya secara natural, bukan situasi buatan. Harus juga disadari, bahwa interaksionis simbolik tetap memiliki berbagai kelemahan dasar. Antara lain, seringkali model penelitian ini kurang memperhatikan masalah emosi dan gerak bawah sadar manusia dalam interaksi. Interaksionisme simbolik lebih memahami hal-hal yang.kpnkret dalam interaksi baru ditafsirkan, padahal di balik jiwa manusia terdapat gelombang besar yang kadang-kadang tidak tampak. Namun demikian, interaksionis simbolik tetap memiliki kekuatan empiris yang patut dipuji. Di samping itu, melalui pemaknaan simbol berdasarkan interaksi, berarti penafsiran selalu berada pada konteksnya. 3. Konstruktivisme Para penganut konstruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada disana dan orang tinggal mengambilnya, tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari seseorang yang 7
Syahran Jailani, Interaksi …
setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru. Konstruktivis menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan, orang dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mengoperasikan air, orang membentuk pengetahuan akan air. Bagi kaum ini, pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah tertentu, tetapi merupakan suatu proses menjadi. Pengetahuan orang akan "anjing" misalnya, mulai dibentuk sejak seorang anak berinteraksi dengan anjing. Pengetahuan ini belum lengkap. Dengan semakin banyak berinteraksi dengan macammacam anjing lain, pengertian anak itu semakin dikembangkan dan menjadi lebih rinci. Menurut von Glaserfeld, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang belum punya pengetahuan (murid). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada murid, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh murid sendiri dengan pengalaman mereka. Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses membentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari pengalamanpengalaman khusus lalu dapat melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari pengetahuan yang kita konstruksikan.Realitas dan kebenaran. Bagi kaum konstruktivis, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Malah secara ekstrem mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh disebut suatu 8
Edu-Bio; Vol. 3, Tahun 2012
realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu objek. Bettencourt menyatakan memang konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih mau menekankan bagaimana kita tahu atau menjadi tahu. Bagi konstruktivisme, realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan pengamat. Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi pengetahuan kita pula. Dalam bidang pengetahuan alam, misalnya, sangat jelas ranan pengalaman dan percobaan-percobaan dalam perkembangan hukum, teori dan konsep-konsep ilmu tersebut. Konsep, gagasan, gambaran, teori dan lain-lain saling berhubungan satu dengan yang lain membentuk struktur kognitif seseorang. Oleh oulmin struktur itu disebut ekologi konseptual. Orang cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi tersebut dengan setiap kali mencocokkan pengetahuan yang baru dengan ekologi konseptual di atas. Inilah yang juga dapat menghambat perkembangan pengetahuan. Von Glaserfeld membedakan tiga level konstruktivisme dalam kaitan hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa. Konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Bagi kaum radikal, pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu obyek yang dibentuk oleh seseorang. Menurut aliran ini kita hanya tahu apa yang dikonstruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi kenyataan. Realisme hipotesis memandang pengetahuan sebagai suatu hypotesis dari suatu struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju pengetahuan yang sejati yang dekat dengan realitas. Sedangkan konstruktivisme yang biasa, masih melihat pengetahuan sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek. Guba & Lincoln dalam K. Denzin (1994;128) mengelaborasi khazanah konstruktivisme sebagai berikut: a. Konstruktivisme mencoba untuk menempatkan sesuatu itu menjadi pengalaman.
9
Syahran Jailani, Interaksi …
b. Konstruktivisme melihat konstruk sesuatu tergantung kepada seputaran atau skope informasi oleh karenanya seorang pemikir konstruktivis harus melihat informasi itu secara arif atau bijak. c. Konstruksi merupakan suatu hal yang seimbang artinya, kollektifitas dan system harus menjadi sesuatu kesepakatan bersama. 4. Teori-teori Kritis Pengembangan teori-teori kritis membutuhkan sebuah metode riset kritis, artinya dia tidak dapat menggunakan logika penelitian saja yang dikembangkan oleh ilmu- ilmu sosial positif guna mengembangkan ilmu sosial kritis. Oleh karenannya, fungsi ilmu sosial kritis adalah meningkatkan kesadaran para pelaku perubahan dari realitas yang diputar balikkan oleh kalangan tertentu dan disembunyikan dari pemahaman sehari-hari. Fungsi ilmu sosial kritis yang demikian didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia, baik laki- laki atau perempuan secara potensial adalah agen aktif dalam pembangunan dunia sosial dan kehidupan personal. Rakyat adalah subyek dalam menciptakan proses sejarah, bukan obyek. Teori kritis menurut Anderson, secara sadar berkeinginan untuk membebaskan manusia dari konsep-konsep yang secara ideologis beku dari kenyataan dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan. Jelas bahwa metode riset yang diperlukan untuk merubah pemahaman terhadap dunia manusia tidak dapat di adopsi dari ilmu- ilmu sosial positif dan ilmu- ilmu alam. (Anderson, 1976) Metode ilmu sosial positif melihat bahwa masyarakat adalah informasi netral untuk observasi sistematis. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa dalam ilmu sosial positif kemudian terjadi monopoli pengetahuan. Metode-metode ini menjadikan manusia sebagai obyek yang diperlakukan sebagai data mentah yang kebenarannya dapat di rekayasa oleh penelitinya. Metode riset ilmu sosial positif sengaja mengeluarkan proses- proses sejarah dengan menjadikan gejala sebagai gejala alam dan melihat masyarakat berada diluar pemahaman peneliti. Sebagai kosekuensinya adalah memperkuat keterasingan pelaku penelitian sosial dari lembagalembaga sosial, politik dan ekonomi mereka sendiri. Sementara itu, Metode penelitian kritis justru menempatkan manusia sebagai sekumpulan subyek yang aktif dalam membentuk dunia mereka sendiri yang didasarkan pada dialog antar subyek (peneliti dengan pelaku), bukan sekedar observasi dan eksperimen yang menipu rakyat. Ilmu-ilmu sosial kritis karena itu 10
Edu-Bio; Vol. 3, Tahun 2012
harus secara langsung menjadikan rakyat mengerti dunia mereka sendiri dan mampu melakukan aksi- aksi revolusioner dengan cara melibatkan mereka dalam proses penelitian. Dengan begini ilmu alam menjadi sebuah metode untuk aksi penyadaran, bukan ideologi dominasi teknokrat terhadap rakyat yang dianggap pasif. Akar pemikiran ilmiah terletak pada kepercayaan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan adalah alat yang paling efektif untuk membebaskan manusia. Akan tetapi apa yang telah terjadi dalam ilmu sosial positif adalah sekedar penjelasan pengetahuan dari dasar- dasar metodologi dan epistemologinya. Ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk pembebasan manusia telah diganti dengan nama ganda, yakni untuk membebaskan atau menindas sama saja. Ilmu- ilmu sosial kontemporer, dengan demikian tidak lebih dari dominasi metodologi dan epistemologi ilmu-ilmu alam yang melihat bahwa subyek perlu dipisahkan dengan obyek, peneliti dengan yang diteliti. Teori kritis berlawanan sama sekali dengan anggapananggapan seperti diatas, di mana teori- teori kritis secara tegas menolak pandangan bahwa manusia dan masyarakat dapat dipahami melalui anggapan dasar dan metode ilmu alam yang dilihat bahwa sebagai manusia tidak kreatif dalam berfikir dan bertindak. Maka untuk membandingkan antara ilmu sosial positif dan ilmu sosial kritis, paling tidak terdapat empat pokok perbedaan: a. Perbedaan dalam melihat hakekat manusia dan masyarakat; b. Pemahaman terhadap proses-proses sosial; c. Bentuk penjelasan ilmiah tentang proses- proses sosial yang dilakukan; dan d. Peranan ilmuwan- ilmuwan sosial 5. Postmodernisme Postmodernisme telah muncul sebagai konsep dalam arsitektur pada akhir 1940-an, dan dalam sastra pada tahun 1960-an. Tetapi digunakan sebagai konsep umum baru muncul setelah konsep postmodernisme yaitu segala sesuatu itu berkembang sehingga mengapa mesti memberi makna yang begitu cepat. Postmodernisme melihat sesuatu tergantung pada posisi tertentu. Istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, dapat sangat luas, kontroversial, dan ambigu. postmodernisme atau dikenal dengan singkatan “posmo” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori postmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam 11
Syahran Jailani, Interaksi …
masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri (Denzin, 1995: 142). Pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan. Berdasarkan pandangan postmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan– nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya. Postmodernisme sendiri memecah dirinya dalam tiga jalur wacana: wacana kritis terhadap estetika modern;wacana kritis terhadap arsitektur modern wacana kritis terhadap filsafat modern; Postmodernisme sebagai wacana pemikiran harus dibedakan dengan postmodernitas sebagai sebuah kenyataan sosial. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup. Sedangkan postmodernisme adalah wacana pemikiran baru sebagai alternatif terhadap modernisme. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subjek yang sadar, rasional, dan otonom. Sebagai realitas pemikiran baru, postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme, seperti adanya subjek yang sadar-diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier. Istilah “pos”, menurut kubu postmodernisme, adalah kematian modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi, humanismeantroposentrisme, dan linieritas sejarah guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, antihumanisme, dan diskontuinitas. Postmoderen dapat mempersentasikan sesuatu yang baru karena memiliki kreativitas, tidak terkungkung pada satu cara pandang, tidak terbelenggu oleh tradisi menjadi lincah mengembangkan berfikir divergen, horizontal, malah mampu berfikir hologhraphik yang nyata-nyata tak akan dikuasai oleh
12
Edu-Bio; Vol. 3, Tahun 2012
asumsi seseorang saja (paradoks) akan tetapi yang terbaik itu adalah kokoh, solid dan integritas 6. Post-Srukturalisme PostStrukturalisme menguraikan pemaknaan terhadap sesuatu akan terus berlanjut menjadi pandangan bahwa makna dari suatu tanda akan berbeda dan berkembang terus; tidak dapat dibuat kesepakatan tentang tanda-tanda tersebut; perlu ditelaah berkelanjutan atas konstruk bahasa yang ada. Poststrukturalisme merupakan sebagai bagian dari posmodernisme, namun dia lebih memfokuskan dalam kerja diskursif terhadap pola linguistik yang memproduksi subjektivitas dan identitas. Terdapat perbedaan antara postrukturalis dengan postmodernisme. Postmodernisme lebih berorientasi kepada kritik kultural sedangkan postrukturalis berkonsentrasi pada permasalahan metode dan epistimologinya, misalnya pada kerja dekonstruksi, diskursus bahasa, makna dan simbol. Poststrukturalis adalah kerja dengan lingkup yang lebih khusus dibandingkan posmodernisme. Dalam pandangan poststrukturalis, bahasa (teks) bukan sekedar menampilkan atau merepresentasikan suatu realitas, melainkan memproduksi realitas baru. Daftar Pustaka Bogdan, R.C. & S. Bilen. 1982. Qualitative Research For Education: An Introduction To Theory And methods, Boston: Allyn and Bacon, Inc Denzin, Norman K. & Lincoln,Yvonna,S. 1994. Handbook of Qualitative Reserach: Sage Publication Stephen W. Littlejohn,. 1996.Theories of Human Communiation, Wadsworth Publication, New Jersey. Popper, R. Kart. 2008. The Logic of Scientific Discovery.Logika Penemuan Ilmiah. (terjemahan Saut Pasaribu). Pustaka Pelajar: Yogyakarta Palmquist, Stephen.2007. The Tree of Fhilosophy A Course of Introductory. Pohon Filsafat.(Terjemahan Muhammad Sadiq). Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
13