III. KERANGKA TEORITIS
3.1. Program Pemupukan Berimbang Program
Pemupukan
Berimbang
adalah
suatu
upaya
peningkatan
produktivitas padi dan kualitas gabah yang dihasilkan (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2004). Untuk memperoleh produksi gabah yang optimal dengan mutu yang baik dan memperhatikan kelestarian kesuburan lahan, maka pemupukan berimbang perlu disosialisasikan sampai ke petani sebagai pelaksana usahatani. Yang dimaksud dengan pemupukan berimbang menurut Abbas (1997) adalah pemberian pupuk (hara) sesuai dengan kebutuhan tanaman baik dalam jumlah maupun jenis pupuk (hara) yang dikaitkan dengan sifat tanah, status hara tanah, kebutuhan tanaman serta keadaan lingkungan. Hal itu dapat dicapai tidak hanya melalui penambahan unsur hara yang kurang, tetapi juga dapat mengurangi pemberian unsur hara yang berlebihan. Ditambahkan oleh Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2004), dalam aplikasi pemupukan berimbang di lapangan, selain memperhatikan asas 6 tepat (tepat waktu, jumlah, jenis, harga, mutu, dan penggunaan) juga disesuaikan dengan kondisi wilayahnya (spesifik lokasi). Penggunaan pupuk yang tepat jumlah untuk lokasi yang spesifik menurut Makarim, et al. (2004) akan sangat menguntungkan baik secara teknis, ekonomis dan lingkungan. Tujuan dari program peningkatan produktivitas melalui penerapan pemupukan berimbang adalah sebagai berikut:
1. Mendorong petani untuk menerapkan teknologi dengan menggunakan benih unggul bermutu dan pemupukan berimbang 2. Mendorong peningkatan produktivitas dan produksi padi dalam upaya mendukung ketahanan pangan sehingga produksi sesuai dengan kebutuhan 3. Menyiapkan sarana produksi di tingkat petani secara enam tepat 4. Mendorong terjalinnya kemitraan usaha antara petani/kelompoktani dengan penggilingan padi/stakeholders lainnya 5. Meningkatkan dan mendorong kegiatan perekonomian di pedesaan, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan mengurangi impor beras. Program peningkatan produksi padi melalui pemupukan berimbang meliputi penerapan teknologi seperti penggunaan varietas unggul bermutu, sistem tanam, pengendalian gulma hama penyakit terpadu (PHT). Teknologi anjuran dalam Program Pemupukan Berimbang adalah sebagai berikut: 1.
Penggunaan varietas unggul bermutu: Varietas a. Varietas Produksi Tinggi (IR-64, Way Apu Buru, dan lain-lain) b. Padi Tipe Baru (Fatmawati, Ciherang, Gilerang) c. Padi Hibrida (Maro, Rokan, dan lain-lain) Benih a. Pemakaian benih 30 kg/ha b. Umur benih muda 15 – 21 hari c. Penanaman benih 1 – 3 batang per lubang
2.
Cara Tanam: Tanam Pindah (Tapin) Jarak tanam 20 cm x 20 cm, 20 cm x 25 cm, 25 cm x 25 cm
3.
Pemupukan dan jenis pupuk: Dosis pupuk a. Pupuk Tunggal Urea 250 kg/ha SP-36 100 kg/ha KCl 75 – 100 kg/ha b. Pupuk Majemuk NPK Kujang 400 kg/ha NPK Phonska 300 kg/ha + Urea 150 kg/ha c. Pupuk Kandang 200 – 500 kg/ha Jadwal pemupukan Pemupukan I = 0 – 10 hari setelah tanam (hst) Pemupukan II = 30 – 35 hst
4.
Pengendalian Gulma: Penyiangan secara manual dilakukan 2 kali setiap 1 hari setelah pemupukan
5.
Pengendalian OPT a. Menggunakan pestisida nabati/alami b. Menggunakan pestisida (kimiawi) bila perlu Furadan 18 – 20 kg/ha
3.2. Perubahan Teknologi Salah satu syarat pokok pembangunan pertanian menurut Mosher (1978) adalah terjadinya perubahan teknologi. Perubahan teknologi di sektor pertanian menurut Ghatak dan Ingersent (1984) meliputi perubahan secara teknik (induced technical change) dan perubahan kelembagaan (induced institutional change). Perubahan secara teknik berhubungan dengan perubahan yang terjadi dalam cara memproduksi suatu output pada gugus pilihan yang efisien sedangkan perubahan kelembagaan berkaitan dengan cara-cara bagaimana masyarakat melakukan kerjasama, fungsi, dan tingkah lakunya sebagai pribadi dan kelompok dihubungkan dengan tingkah lakunya sendiri dan orang lain dalam proses produksi (Hutabarat, 1988). Program Pemupukan Berimbang merupakan inovasi teknologi usahatani padi sawah dengan menggunakan teknologi baru dengan pemakaian benih unggul bermutu, pemupukan berimbang dan teknik budidaya yang dianjurkan. Benih padi yang ditanam oleh petani peserta program pemupukan berimbang adalah benih berlabel, varietasnya Ciherang dan Cigeulis yang merupakan varietas produksi tinggi. Sedangkan jenis pupuk an-organik yang digunakan adalah pupuk majemuk NPK yang mampu meningkatkan produksi padi 1.02 – 1.83 ton/ha dibandingkan dengan pupuk tunggal (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2004). Benih dan pupuk ini disediakan oleh PT. Pertani sebagai mitra kerja petani dengan pembayaran secara yarnen dan produksi gabah petani ditampung/dibeli oleh PT. Pertani. Pada beberapa asumsi menyatakan produksi pada keadaan teknologi tetap. Pada kenyataannya, produksi berubah setiap waktu. Petani menghasilkan padi
mengalami perubahan setiap tahun/musim tanam. Penggunaan teknologi baru dalam proses produksi akan menyebabkan peningkatan hasil (output) dari setiap kombinasi sumberdaya (input) yang digunakan (Debertin, 1986). Dampak perubahan teknologi, kurva produksi bergerak ke arah kanan luar. Kemajuan teknologi menyebabkan pertumbuhan produksi. Produksi semakin meningkat (Chisholm and McCarty, 1978). Berdasarkan hasil penelitian Sidhu (1974), dengan penggunaan teknologi baru (penggunaan varietas baru pada komoditas gandum) telah menggeser ke atas fungsi produksi gandum. Hal ini berimplikasi bahwa dengan menggunakan varietas baru output yang dihasilkan akan lebih besar. Dengan demikian, Program Pemupukan Berimbang yang dilaksanakan di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta diharapkan dapat meningkatkan produksi padi yang dihasilkan petani. Output (Y) A
TPP2
A
Y2 Y1’ Y2’ Y1
TPP2
B
TPP1
0 C 0
D
PX
F MVP2
X1
0
MVP1 X2
Input (X)
Sumber: Hert (1981)
Gambar 2. Respon Output (Y) terhadap Penggunaan Input (X)
Dari hasil penelitian Hert (1981) terhadap petani di Philiphina, dengan teknologi modern dalam usahatani padi akan terjadi pergeseran fungsi produksi yang menunjukkan respon output terhadap pemakaian input produksi. Program Pemupukan Berimbang dengan teknologi barunya akan menggunakan input dari X1 menjadi X2, sehingga output yang dihasilkan berubah dari Y1 menjadi Y2. Pada saat itu nilai produk marginal sama dengan harga input (Px). 3.3. Pendekatan Fungsi Produksi Menurut Debertin (1986) beberapa bentuk fungsi yang dapat digunakan untuk menduga fungsi produksi, antara lain Cobb-Douglas, The Spillman Production Function, Trancendental Production Function, Fungsi Produksi Cobb-Douglas dengan elastisitas input variabel, Modifikasi de Janvry, dan bentuk Polinomial. Bentuk fungsi produksi yang dipakai dalam penelitian ini adalah fungsi linier
Cobb-Douglas.
Dipilihnya
fungsi
ini
mengingat
menggambarkan
karakteristik pola produksi komoditas padi, aplikasinya secara empiris lebih sederhana dalam analisis, pada fungsi produksi Cobb-Douglas nilai dugaan parameternya sekaligus juga menunjukkan nilai elastisitasnya. Fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk studi empirik pertama kali tahun 1928 dalam jurnal American Economic Riview. Fungsi produksi CobbDouglas yang asli menggunakan dua input produksi tenaga kerja (L) dan modal (K) dengan persamaan fungsi produksi sebagai berikut: Y = AK α L1−α …………………………….…… ………...…………….. (3.1)
dimana: L = Tenaga kerja (labor) K = Modal (capital) Karakteristik dari fungsi produksi di atas adalah 1) homogenous berderajat satu, 2) diminishing MPPL dan MPPK, A menggambarkan teknologi, dan 3) mudah diestimasi. Bentuk umum fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan seperti persamaan di bawah ini: n
Q = A π X iβ i ………..…………………….……………………..……… (3.2) i =1
Dapat dilakukan transformasi ke dalam bentuk logaritma natural, sebagai berikut: k
LnQ = ∑ β i LnX i + µ …………….....……………………….....…….. (3.3) i =1
Dari fungsi tersebut, dapat diketahui elastisitas produksinya sebagai berikut: ⎛ ∂Q ⎞⎛ X i ⎞ ⎟⎟⎜⎜ ⎟⎟ = β i AX iβ i −1 X i / AX iβ i = β i …………...….......…. (3.4) E X i = ⎜⎜ ⎝ ∂X i ⎠⎝ Q ⎠
[
][
]
dimana:
EX Q Xi A βi
= Elastisitas produksi = Output (hasil produksi) = Input (faktor produksi) ke-i = Intersep = Parameter peubah Xi
3.4. Proses Adopsi Teknologi 3.4.1. Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang Inovasi didefinisikan oleh Rogers (1983) sebagai suatu ide atau gagasan, tindakan atau barang baru oleh individu atau masyarakat. Inovasi juga diartikan oleh Lionberger dan Gwin (1982) dan Mardikanto (1996) tidak hanya sebagai
sesuatu
hal
yang
baru
diketahui/diterima/diterapkan/dilaksanakan
yang tetapi
juga
belum
banyak
dapat
mendorong
terjadinya pembaharuan dalam masyarakat. Untuk memproduksi suatu inovasi, menurut Fadholi (1986) menyatakan bahwa ada empat faktor yang harus menjadi perhatian dan pertimbangan, yaitu (1) secara teknis memungkinkan, (2) secara ekonomi menguntungkan, (3) secara sosial juga memungkinkan, dan (4) sesuai dengan kebijakan pemerintah. Hal ini dilakukan agar inovasi yang telah dirancang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan Rogers (1983) menjelaskan bahwa variabel yang menentukan tingkat adopsi adalah (1) sejauhmana
inovasi dianggap lebih menguntungkan (relative advantage), (2)
kesesuaian dengan norma dan kebutuhan yang ada (compatibility), (3) tingkat kerumitan dalam penerapannya oleh pengguna (complexity), (4) dapat dicoba oleh pengguna dengan sumberdaya yang ada (trialability), dan (5) sejauhmana manfaat penerapan inovasi dapat diketahui oleh penggunanya. Menurut Rogers (1983), terdapat lima langkah dalam proses keputusan inovasi, yaitu (1) Pengenalan (knowledge), adanya pemahaman terhadap inovasi baru, (2) Persuasi (persuation), adanya sikap terhadap inovasi, (3) Keputusan (Decision), adanya keputusan menerima atau menolak inovasi, (4) Implementasi (Implementation), melakukan inovasi, dan (5) konfirmasi (confirmation), penguatan dari keputusan yang telah dibuat. Dalam keputusan yang dilakukan individu terhadap inovasi, ada kemungkinan individu akan melanjutkan mengadopsi (continued adoption) atau menghentikannya (discontinuance). Bisa saja individu yang menolak inovasi terus
mencari informasi lebih lanjut dan terlambat mengadopsinya (later adoption) atau tetap menolak (continued rejecttion) sesuai dengan informasi yang diterimanya. Sesuai dengan kategorinya, Rogers (1983) mengelompokkan individu yang mengadopsi suatu inovasi (adopter) atas lima kategori sebagai berikut: 1.
Innovators, kelompok kosmopolit yang berani dan gemar dengan pembaharuan.
2.
Early Adopter, kelompok yang terdiri dari pemimpin informal sebagai panutan bagi adopter selanjutnya
3.
Early Majority, kelompok yang biasanya menjadi anggota tetapi lebih awal mengadopsi inovasi daripada anggota kelompok lain
4.
Late Majority, kelompok yang bertindak menjauhi resiko
5.
Laggards, kelompok yang tradisional
3.4.2. Penyuluhan Pertanian Pengembangan usahatani tidak terlepas dari peran kelembagaan yang terdiri dari beberapa instansi yang menyangkut penelitian maupun penyuluhan. Instansi baik pemerintah maupun swasta yang melakukan penelitian dan pengembangan pertanian merupakan tempat menghasilkan teknologi-teknologi baru yang akan diadopsi oleh petani sebagai subjek pertanian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat disampaikan kepada petani melalui peran komunikator penyuluhan (transfer alih teknologi). Penyuluh pertanian mempunyai peran dalam proses alih teknologi sehingga dapat diadopsi oleh petani. Cepat atau lambatnya proses adopsi teknologi oleh petani tergantung pada kinerja penyuluh pertanian di lapangan.
Proses transfer alih teknologi menurut Soekartawi (1988), dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan
berdasarkan kelembagaan dan
pendekatan berdasarkan proses. Pendekatan berdasarkan kelembagaan melalui lembaga penyuluhan pertanian (BPP). Di BPP, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) merencanakan dan membuat program penyuluhan yang dapat disampaikan kepada petani dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi (demplot, demfarm, demarea) atau dengan cara lain. PPL bersama-sama dengan kelompoktani meneruskan informasi tersebut kepada petani, melalui kunjungan lapangan atau pertemuan dengan anggota kelompoktani. Pendekatan berdasarkan proses dilakukan melalui identifikasi. Diperlukan suatu identifikasi mengenai rekomendasi yang ditetapkan dalam suatu BPP. Setelah permasalahan di wilayah BPP (WKBPP) tersebut diidentifikasi, maka disusun program sebagai bahan penyuluhan yang dapat berupa latihan-latihan ataupun kunjungan PPL ke lapangan. Kegiatan penyuluhan pertanian meliputi: (1) memfasilitasi proses pembelajaran petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis, (2) memberikan rekomendasi dan mengihtiarkan akses petani dan keluarganya ke sumber-sumber informasi dan sumberdaya yang akan membantu mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi, (3) membantu menciptakan iklim usaha yang menguntungkan, (4) mengembangkan organisasi petani menjadi organisasi sosial ekonomi yang tangguh, dan (5) menjadikan kelembagaan penyuluhan sebagai lembaga mediasi dan intermediasi, terutama yang menyangkut teknologi dan kepentingan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis.
3.5. Model Pilihan Kualitatif Model Pilihan Kualitatif (Model of Qualitative Choice) adalah suatu model dimana variabel terikat (dependent variable) Y melibatkan dua atau lebih pilihan kualitatif. Kemungkinan atau peluang yang terpilih adalah salah satu dari dua atau lebih pilihan yang tersedia. Pada Model of Qualitative Choice, variabel terikat Y digambarkan sebagai dummy variable (0,1) atau lebih dikenal dengan Model Pilihan Binary (Binary-Choice Model), dimana individu-individu dihadapkan pada suatu pilihan diantara dua alternatif dan pilihan mereka tergantung pada karakteristik masing-masing individu tersebut (Pindyck dan Rubinfeld, 1981). Pindyck dan Rubinfeld (1981) menyatakan bahwa untuk menjawab masalah-masalah yang sifatnya binary choice terdapat empat model yang dapat digunakan, yaitu linear probability model, probit model, dan logit model. Selanjutnya menurut Pindyck dan Rubinfeld (1981) serta Simatupang (1988), model linier mempunyai kelemahan karena terdapat kemungkinan nilai peluang bersyaratnya berada di luar kisaran (0 - 1), sehingga sulit dilakukan pendugaan selanjutnya menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Sedangkan pada model probit dan model logit persyaratan ini selalu dipenuhi karena nilai peluangnya selalu berada pada kisaran (0 - 1), namun model probit lebih rumit perhitungannya dan sukar diduga dibandingkan model logit. Oleh karena itu, model logit lebih banyak digunakan dalam penelitian terapan seperti yang dilakukan dalam penelitian ini. Model logit didasari oleh Fungsi Peluang Logistik Komulatif dan secara umum model ini dirumuskan sebagai berikut (Pindyck and Rubinfeid, 1981):
1 ⎛ 1 ⎞ ⎛ ⎞ =⎜ ………...……....... (3.5) Pi = F ( Z i ) = (α + βX i ) = ⎜ − zi ⎟ (α + β X i ) ⎟ ⎝1+ e ⎠ ⎝1+ e ⎠
(
)
jika ruas kanan dan ruas kiri persamaan (3.5) dikalikan dengan 1 + e − zi , maka akan diperoleh:
(1 + e )P = 1 ……………………………………………………..…..... (3.6) − zi
i
apabila kedua ruas kanan dan ruas kiri dari persamaan (3.6) dibagi dengan P i dan kemudian dikurangi 1, maka diperoleh: ⎛1 ⎞ ⎛ 1 − Pi e − zi = ⎜⎜ − 1⎟⎟ = ⎜⎜ ⎝ Pi ⎠ ⎝ Pi
⎞ ⎟⎟ ………………………………….....…….… (3.7) ⎠
Dengan mendefinisikan e − zi = 1 / e zi , maka diperoleh: ⎛ P e zi = ⎜⎜ i ⎝ 1 − Pi
⎞ ⎟⎟ ………………………………………………………… (3.8) ⎠
jika ruas kanan dan ruas kiri di-log-kan, maka diperoleh: ⎛ P Z i = log⎜⎜ i ⎝ 1 − Pi
⎞ ⎟⎟ ………………..…………………………………… (3.9) ⎠
atau dari persamaan (3.5) diperoleh: ⎛ P Z i = log⎜⎜ i ⎝ 1 − Pi
⎞ ⎟⎟ = α + β X i + ei ………………………………….… (3.10) ⎠
dimana: Pi 1 - Pi α β Xi ei
= Peluang petani mengadopsi suatu teknologi (P = 1, jika petani mengadopsi dan P=0, jika tidak mengadopsinya) = Peluang petani tidak mengadopsi suatu teknologi = Intersep = Parameter peubah Xi = Vektor peubah bebas (i = 1, 2, 3, ……., n) = galat acak