I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk. Kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur dari tingginya pertumbuhan ekonomi tetapi juga diukur dari tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran yang dicapai tercermin dari tingginya rata-rata pendapatan penduduk dan meratanya pembagian hasil pembangunan ekonomi. Semakin tinggi rata-rata pendapatan penduduk yang diimbangi dengan semakin meratanya distribusi pendapatan antar berbagai kelompok penduduk menunjukkan semakin tingginya kemajuan suatu bangsa. Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi atau yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam proses pembangunan. Indonesia memasuki era baru dengan diterapkannya sistem desentralisasi sejak tahun 2001, yang meliputi desentralisasi politik, fiskal, dan administrasi. Desentralisasi politik diwujudkan dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Desentralisasi fiskal diwujudkan dalam bentuk pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk mencari sumber pendapatan dan menentukan alokasi pengeluarannya sendiri, walaupun dalam pelaksanaanya masih menitikberatkan pada desentralisasi dari sisi pengeluaran. Adapun desentralisasi administrasi diwujudkan dengan diberikannya wewenang pemerintah daerah untuk mengatur urusan tata pemerintahannya sendiri. Desentralisasi di Indonesia bergulir seiring dengan gerakan reformasi pada tahun 1998 yang menuntut turunnya pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 33 tahun. Setelah krisis ekonomi 1997, muncul gerakan masa yang menuntut demokratisasi sebagai bentuk ketidakpuasan sistem pemerintahan sentralistik pada masa orde baru. Pada saat yang bersamaan timbul ancaman disintegrasi dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam menuntut pembagian kekuasaan dan pembagian kekayaan yang lebih besar. Untuk mengatasi permasalahan diatas, akhirnya diterapkan desentralisasi secara luas.
2
Desentralisasi sendiri diyakini sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hayek (1948), Tiebout (1956), dan Oates (1999) berpendapat bahwa desentralisasi akan mendorong penyediaan pelayanan publik melalui teori efisiensi alokasi, persaingan, dan preferensi. Oates (1999) berpendapat bahwa pemerintah daerah adalah yang lebih dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi. Aspirasi rakyat akan mudah dan cepat terekam, dan kemudian akan diterjemahkan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk memenuhi aspirasi rakyat tersebut. Salah satu diantara urusan yang didesentralisasikan adalah penyediaan pelayanan publik, termasuk didalamnya penyediaan infrastruktur, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Menurut Undang- Undang No.38 tahun 2007, penyediaan infrastruktur merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Infrastruktur mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Berbagai studi empiris telah membuktikan bahwa infrastruktur mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan (Setboonsarng 2005, Kwon 2001), serta pengurangan ketimpangan antar wilayah (D´emurger 2001, De dan Gosh 2005). Hasil studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) juga menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan faktor penting bagi pengusaha untuk berinvestasi, dari
sembilan sub-indeks tata kelola, kualitas
infrastruktur mempunyai bobot paling besar, yaitu 36 persen pada tahun 2007 dan 38 persen pada tahun 2010. Percepatan penyediaan infrastruktur tidak hanya diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pada gilirannya akan menekan tingkat kemiskinan, tetapi pada skala makro, penyediaan infrastruktur juga diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Peningkatan peringkat investasi pada akhir tahun 2011 akan mendorong arus modal masuk, sehingga diperlukan suatu perangkat, salah satunya infrastruktur, untuk menstimulasi modal masuk tersebut menjadi investasi jangka panjang. Hal ini akan mengurangi
3 terjadinya resiko bubble yang dapat memicu krisis finansial seperti yang terjadi
pada tahun 1997-1998. Setelah 10 tahun pelaksanaan desentralisasi, penyediaan infrastruktur di Indonesia ternyata belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Hal ini tercermin dari laporan The Global Competitiveness Report tahun 2010-2011 (The World Economic Forum 2010), dari 139 negara yang dikaji, Indonesia menempati peringkat 90 untuk aspek infrastruktur secara keseluruhan, sementara Malaysia dan Thailand masing-masing berada pada peringkat 27 dan 46. Dalam hal kualitas jalan, peringkat Indonesia adalah 84, jauh lebih rendah daripada Malaysia (21) dan Thailand (36). Demikian juga halnya dengan kualitas listrik, Indonesia ditempatkan di peringkat 97, sementara Malaysia peringkat 40 dan Thailand peringkat 42. Hasil studi TKED 2011 juga menunjukkan bahwa dari lima jenis infrastruktur yang dikaji, hanya infrastruktur telepon dan listrik— keduanya bukan merupakan kewenangan Pemda—yang dinilai relatif baik oleh pelaku usaha, masing-masing hanya dinilai buruk oleh sekitar 22 persen dan 34 persen pelaku usaha. Sedangkan infastruktur jalan, air bersih dan lampu penerangan jalan yang menjadi tanggung jawab Pemda masih dipandang buruk oleh lebih dari 40 persen pelaku usaha. Selain itu, selama empat tahun terakhir penyediaan infrastruktur di kabupaten/kota yang meliputi jalan, air bersih, dan listrik justru menunjukkan sebaran yang semakin lebar. Interquartile range (IQR) yang merupakan ukuran penyebaran data selama periode 2007-2010 menunjukkan trend peningkatan (Gambar 1). IQR jalan meningkat dari 0,4800 pada tahun 2008 menjadi 0,4927 pada tahun 2010. Sedangkan IQR air bersih dan listrik masing-masing meningkat dari 29,7904 pada 2007 menjadi 39,4408 pada 2010 untuk air bersih dan dari 236,683 menjadi 367,347 untuk listrik. Hal ini mengindikasikan bahwa desentralisasi telah meningkatkan ketimpangan penyediaan infrastruktur antar kabupaten/kota di Indonesia. Indikasi diatas didukung oleh pendapat Bardhan dan Mookherjee (2006) yang menyatakan bahwa desentralisasi justru akan merugikan masyarakat apabila akuntabilitas pemerintah lokal rendah, karena desentralisasi hanya akan dinikmati oleh kelompok tertentu. Untuk itu, dalam rangka pengelolaan perekonomian,
4
sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi tata kelola pemerintahan daerah menjadi penting. North (1990) dan Bardhan (2002) menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan mempunyai peran penting dalam perekonomian secara umum.
12
10
AksesJalan(Km/Km2)
8 6 4 2 0
IQR: 0,4920
IQR: 0,4800
IQR: 0,4831
2007
2008
IQR: 0,4927
2009
2010
(a) Jalan
3500
2500
3000
2000
AksesListrik(Kwh/penduduk)
AksesAirBersih(m3/rumahtangga)
2500
1500
1000
500
0
2008
1500
1000
500
0
IQR: 236,683 IQR: 237,070 IQR: 252,448 IQR: 367,347
IQR: 29,7904 IQR: 29,7818 IQR: 38,4874 IQR: 39,4408 2007
2000
2009
(c) Air bersih
2010
2007
2008
2009
2010
(b) Listrik
Sumber: BPS, diolah
Gambar 1 Boxplot infrastruktur kabupaten/kota periode 2007-2010
Namun, hasil penelitian McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia tidak menemukan hubungan yang signifikan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini diduga karena hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi bersifat kompleks. Selain itu, karena analisis dilakukan dengan data agregat sementara terdapat 61 variabel, sehingga arah hubungan tata kelola dengan pertumbuhan ekonomi bisa berbeda antara data agregat dengan data disagregat. Hal ini dikarenakan arah hubungan setiap variabel penyusun indeks bisa mempunyai arah hubungan
5 dengan pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda, sehingga pengagregatan
berupa indeks justru akan menghilangkan hubungan tersebut. Kompleksitas hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi juga dikemukan oleh De (2010) yang menyatakan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita bisa bersifat langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung tata kelola dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui jalur infrastruktur, perdagangan, dan atau investasi.
1.2 Perumusan Masalah Ada beberapa alasan mengapa studi mengenai tata kelola pemerintahan di Indonesia menarik untuk dikaji. Pertama, desentralisasi di Indonesia dilaksanakan secara big bang tanpa ada penyiapan tata kelola pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang didesentralisasikan. Padahal tata kelola pemerintahan mempunyai peran penting sebagai supporting system bagi pengelolaan perekonomian daerah. Kedua, studi empiris mengenai tata kelola pemerintahan di Indonesia masih sedikit. Studi tentang tata kelola di Indonesia kebanyakan bersifat teoritis dan politis. Sehingga belum diketahui secara empiris bagaimana peran tata kelola pemerintahan terhadap proses pembangunan di Indonesia. Hal ini karena terkendala ketersediaan data. Sejak tahun 2007 KPPOD telah melaksanakan studi TKED yang memotret tata kelola pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun 2007 KPPOD melakukan studi TKED di 15 provinsi, sedangkan tahun 2008 studi hanya dilakukan di Provinsi Aceh. Pada tahun 2010 KKPOD melakukan studi yang sama di 19 provinsi dengan tiga provinsi yang sama dengan studi tahun 2007, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sehingga data mengenai tata kelola pemerintahan secara nasional sekarang ini sudah tersedia. Ketiga, hasil kajian sebelumnya oleh McCulloch dan Malesky (2010) dengan data agregat tidak ditemukan pengaruh langsung tata kelola terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini memberi kesan bahwa tata kelola pemerintahan daerah tidak penting sehingga peningkatan kualitas institusi melalui reformasi
6
birokrasi tidak perlu dilakukan, sebagaimana menjadi salah satu implikasi kebijakan penelitian tersebut untuk mengurangi fokus pada kapasitas pemerintah daerah. Untuk itu, perlu dieksplorasi dan dikaji lebih mendalam berdasarkan data disagregat, yaitu variabel-variabel tata kelola pemerintahannya, bagaimana sebenarnya pengaruh tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, apakah tata kelola pemerintahan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, atau berpengaruh tetapi secara tidak langsung, dalam hal ini melalui jalur infrastruktur. Dengan uraian di atas maka dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran tata kelola pemerintahan daerah dan infrastruktur di Indonesia? 2. Bagaimana hubungan tata kelola pemerintahan daerah dengan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Memberikan gambaran mengenai tata kelola pemerintahan dan infrastruktur di Indonesia. 2. Menganalisis hubungan tata kelola pemerintahan dengan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan gambaran mengenai hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi, baik hubungan secara langsung maupun melalui penyediaan infrastruktur di Indonesia. Pembahasan tata kelola pemerintahan secara disagregat, baik jenis infrastruktur maupun variabel tata kelola pemerintahan daerah, diharapkan akan dapat lebih memperjelas implikasi kebijakan yang dapat diambil peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi serta pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan untuk
7 mendorong penyediaan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya, khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini.
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Cakupan penelitian ini adalah 245 kabupaten/kota tahun 2010 di 19 provinsi, sesuai dengan cakupan studi TKED yang dilaksanakan oleh KPPOD. Daftar provinsi cakupan penelitian adalah Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Khusus untuk gambaran penyediaan infrastruktur, analisis dilakukan terhadap seluruh kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2010, yang mencakup 497 kabupaten/kota. Tata kelola pemerintahan dalam penelitian ini hanya mencakup tata kelola pemerintahan daerah kabupaten/kota, tidak mencakup tata kelola pemerintahan pusat dan provinsi. Tata kelola pemerintahan daerah dinilai berdasarkan persepsi pelaku usaha terhadap tata kelola pemerintah daerah hasil studi KPPOD yang meliputi sembilan aspek dengan 61 variabel penyusun. Infrastruktur dalam penelitian hanya mencakup infrastruktur ekonomi dasar yang ada di semua kabupaten/kota, yaitu: jalan, air bersih, dan listrik. Hal ini mengacu pada penggolongan infrastruktur menurut Bank Dunia. Infrastruktur ekonomi dasar lain seperti telekomunikasi, dan sanitasi tidak dicakup karena ketidaktersediaan data di tingkat kabupaten/kota.